Birokrasi tidak berada di ruang hampa. Sosok dan kinerja birokrasi merupakan resultan dari interaksi antara beberapa variabel yang kompleks baik di dalam maupun di luar birokrasi sebagai etnisitas., Birokrasi sangat dipengaruhi oleh sistem politik, pemerintah, budaya, dan ekonomi yang beroperasi di lingkungannya. Dengan demikian, kesuksesan jalannya birokrasi dan reformasi birokrasi di negara lain di barat maupun di Asia, seperti Korea Selatan dan Jepang, tidak selalu memberikan hasil yang sama ketika diterapkan di Indonesia (Dwiyanto, 2011: 1-2).
Birokrasi sebagai organisasi yang hidup dan beroperasi di antara masyarakat tidak terhindar dari nilai-nilai maupun budaya yang yang berkembang di dalam masyarakat. Morgan (dalam Wright,1997: 18-20) mengatakan bahwa, sistem formal organisasi tidak imun terhadap budaya. Lebih lanjut Morgan menunjukkan setidaknya terdapat tiga model sistem formal dalam organisasi, yaitu organisasi sebagai mesin, organisasi sebagai organisme, dan organisasi sebagai budaya. Pertama adalah organisasi sebagai mesin, yaitu organisasi dikelola secara klasik dan kaku. Sistem model organisasi ini, bersifat tertutup berada dalam struktur yang tersegmentasi dan membagi tiap tujuan organisasi menjadi tugas yang lebih kecil dalam setiap hierarki. Dengan demikian semua tugas dikendalikan secara terpusat oleh seorang manajer sedangkan pekerja diharapkan dapat berkerja dan berperilaku seperti mesin. Kedua adalah organisasi sebagai organisme, yaitu organisasi dipandang sebagai metafora organisme yang hidup dan berasal dari hubungan masyarakat beserta teori kontigensi. Dalam pengertian ini Morgan “meminjam” pandangan dari ilmu Biologi Ekologi dalam menginformasikan sistem formal organisasi yang dikombinasikan dengan bahasa manajemen untuk menggambarkan ketergantungan pada lingkungan untuk bertahan hidup, memenuhi kebutuhannya dan untuk mengembangkan diri. Ketiga adalah organisasi sebagai budaya yang menganggap adanya nilai bersama yang menjadi perekat dalam suatu organisasi. Nilai disini digambarkan sebagai kelompok dalam keberagaman statis dan adanya konsensus. Konsep ini, menganalogikan suatu perusahaan yang memiliki satu budaya, tetapi memiliki tenaga kerja dengan budaya yang berbeda sehingga harus ada percampuran nilai budaya demi tercapainya tujuan bersama dari organisasi tersebut. Nicholson (dalam Wright,1997:19) menjelaskan bahwa, pada model ini, sangat jelas terlihat interaksi antara model birokrasi barat dengan sistem adat dalam pengorganisasian. Dalam birokrasi seperti ini, birokrasi ’’’terpaksa’” memutuskan untuk memasukkan konsep adat kedalamn agar dapat melindungi prosedur birokrasi.
Bryant dan White (dalam Widodo,2008:39), menambahkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya organisasi publik (birokrasi) lebih banyak menekankan pada aspek pengaruh lingkungan. Setidaknya terdapat dua hal yang terkait dengan pengaruh lingkungan ini. Pertama, lingkungan dapat menyediakan sumber-sumber daya dan kedua, lingkungan dapat membatasi kegiatan-kegiatan organisasi (birokrasi). Dengan demikian, organisasi harus mempunyai fleksibilitas struktur dan prosedur agar dapat menyesuaikan diri dengan variasi lingkungan. Sementara itu, Effendi (2005:4-5) menyatakan bahwa, budaya organisasi adalah semua ciri yang menunjukkan kepribadian suatu organisasi: keyakinan bersama, serta nilai-nilai dan perilaku-perilaku yang dianut oleh semua anggota organisasi. Menurut Hersey (1995: 161), kondisi birokrasi dipengaruhi oleh struktur organisasi, sedangkan struktur organisasi mengacu pada hubungan antara elemen-elemen sosial yang meliputi orang, posisi dan unit-unit organisasi tempatnya berada. Dapat diartikan bahwa struktur organisasi menjelaskan pengaturan berbagai elemen efektif untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Kemudian ditambahkan oleh Robbins (1984:5), bahwa struktur organisasi dapat didefinisikan sebagai pendefinisian struktur organisasi tentang cara tugas-tugas dialokasikan, siapa melapor kepada siapa, serta mekanisme-mekanisme koordinasi formal dan pola-pola interaksi yang menyertainya.