Keinginan keluar (Intention to quit) adalah kecenderungan atau tingkat
dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi Bluedorn, 1982 (dalam Grant et al., 2001). Menurut Azwar (1995) (dalam Kurniasari, 2004), intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu pertama sikap individu terhadap perilaku, kedua adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan, dan yang ketiga adalah aspek kontrol perilaku yang dihayati. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan arti intensi adalah niat atau keinginan yang timbul pada individu untuk melakukan sesuatu.
Lum et.al., 1998, mengemukakan, bahwa keinginan seseorang untuk
keluar dari organisasi yaitu evaluasi, posisi seseorang saat ini berkenaan dengan ketidakpuasan yang memicu keinginan seseorang keluar dan mencari pekerjaan lain. Abelson (1987) dalam Harif (2001), menyatakan sebagian besar karyawan yang meninggalkan organisasi karena alasan voluntary dapat dikategorikan atas perpindahan kerja sukarela yang dapat dihindarkan (avoidable voluntary turnover) dan perpindahan kerja yang tidak dapat dihindarkan (unavoidable voluntary turnover).
Keinginan untuk keluar adalah niat perilaku individu untuk secara sukarela
meninggalkan profesi atau organisasi (Coomber & Barriball, 2006; Mobley,
Horner, & Hollingsworth, 1978; Steel & Ovalle, 1984; dalam Terranova, 2008).
Penelitian-penelitian empiris mengenai intention to quit karyawan dilakukan
sebagai upaya untuk mengidentifikasi sebab-sebab pengunduran diri karyawan.
Salah satu dasar pemikiran yang penting mengenai intention to quit
karyawan adalah bahwa karyawan yang potensial dapat lebih dikembangkan di kemudian hari dan dapat ditingkatkan ke level atau produktivitas yang lebih tinggi dan juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perusahaan. Dengan demikian juga dapat meningkatkan gaji dan penghargaan. Karenanya pengembangan sumber daya manusia mempunyai peranan yang penting dan merupakan satu mata rantai dengan intention to quit karyawan (Carmeli & Weisberg, 2006).
Satu aspek yang menarik perhatian dalam niat atau keinginan karyawan
untuk keluar adalah faktor-faktor motivasi yang akan dapat mengurangi niat atau keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi, karena niat untuk pindah sangat kuat pengaruhnya terhadap keputusan untuk keluar dari organisasi. Adanya karyawan yang keluar dari organisasi memerlukan biaya yang besar dalam bentuk kerugian yang besar akan tenaga ahli yang mungkin juga mungkin memindahkan pengetahuan spesifik perusahaan kepada pesaing (Carmeli & Weisberg, 2006).
Lee (2000) seperti dikutip Maryanto (2006) menyatakan bahwa ada tiga
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya keinginan
karyawan untuk keluar dari organisasi. Ketiga indikator tesebut adalah sebagai
berikut:
a. Pikiran untuk keluar dari organisasi. Saat karyawan merasa
diperlakukan tidak adil, maka terlintas dalam pikiran mereka untuk
keluar dari organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakukan
yang tidak adil akan menstimuli karyawan berpikir keluar dari
organisasi.
b. Kemungkinan untuk mencari pekerjaan baru. Ketidakmampuan suatu
organisasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan dapat memicu
karyawan untuk berpikir mencari alternatif pekerjaan pada organisasi
yang lain. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis saat suatu
perusahaan tidak mampu memberikan/memenuhi kebutuhan karyawan
seperti kemampuan perusahaan lain memiliki kemampuan yang baik
dalam memenuhi kebutuhan karyawan.
c. Keaktifan dalam mencari pekerjaan baru. Salah atu indikator
tingginya keinginan karyawan keluar dari organisasi adalah keaktifan
seseorang mencari pekerjaan pada organisasi lain. Karyawan memiliki
motivasi untuk mencari pekerjaan baru pada organisasi lain yang
dianggap mampu memenuhi kebutuhan mereka (adil terhadap
karyawan)