Perilaku seksual siswi SMA (skripsi dan tesis)

Secara akademis, usia 16 sampai 18 tahun pada umumnya merupakan usia dimana sebagian besar remaja akhir tersebut duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut Berk (2006) late adolescene atau remaja akhir terjadi pada usia 16 sampai 18 tahun. Usia ini merupakan masa dimana remaja tersebut sepenuhnya mencapai penampilan orang dewasa dan mengharapkan penerimaan akan peranannya sebagai orang dewasa.

Dewasa ini, sekolah-sekolah menengah lanjutan seperti SMA mempertahankan orientasinya yang komprehensif. Sekolah dirancang bagi remaja bukan hanya untuk melatih remaja secara intelektual tetapi juga secara kejuruan dan sosial (Santrock, 2002). Transisi dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke SMA merupakan suatu pengalaman normatif bagi remaja. Santrock (2002) menyebutkan bahwa pengalaman tersebut menarik perhatian oleh karena proses transisi berlangsung pada suatu masa ketika banyak perubahan terjadi pada individu remaja baik di keluarga dan sekolah secara serentak.

Siswi SMA merupakan salah satu bagian dalam kehidupan seorang remaja. Pada dasarnya seorang remaja putri cenderung rentan terhadap sejumlah masalah khususnya dalam menghadapi kematangan fisik yang lebih awal. Kematangan fisik yang lebih awal pada remaja putri cenderung memberi keuntungan bagi remaja karena memiliki tubuh dan kecantikan yang lebih ideal. Ini merupakan faktor berkembangnya perilaku seksual yang lebih awal, karena perubahan tersebut mengundang respon laki-laki yang mengarah pada berkencan lebih dini dan melakukan pengalaman seksual lebih awal (Santrock, 2002).

Faktor lain yang dapat juga mendorong perilaku seksual siswi SMA tersebut adalah citra diri yang menyangkut body images dan kontrol diri (Sarwono, 1989). Menurut Sarwono (1989) penilaian diri atas keaadan tubuh yang kurang sempurna cenderung dikompensasikan dengan perilaku seksual. Keberhasilan dalam berperilaku seksual tersebut diperkirakan akan menutupi kekurangpuasan terhadap keadaan tubuh sendiri.

Dalam perkembangan sosial, remaja putri juga cenderung membangun kebersamaan dengan teman dan menilai persahabatan sebagai bentuk dukungan emosional dan pengutaraan diri (Berk, 2006). Lingkungan sosial, situasi dan kesempatan juga merupakan sebagian dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seksual (Dariyo, 2004). Itulah sebabnya siswa putri SMA lebih cenderung rentan terhadap sejumlah masalah dan konsekuensi atas perilaku seksual yang dilakukannya.

Perilaku seksual remaja cenderung meningkat karena penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa. Remaja menjadi terdorong untuk mengetahui dan mencobanya dengan meniru perilaku yang dilihat dan didengarnya dari media massa, terlebih remaja yang belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya (Mu’tadin, 2002).

Umumnya remaja putri memiliki waktu yang lebih lama untuk memulai perilaku seksual yang lebih dalam (hubungan seks) dan sangat didasarkan pada perasaan-perasaan yang menyertai perilakunya. Remaja putri seringkali tidak dapat mengendalikan diri untuk berperilaku seksual, terlebih apabila keinginan tersebut didukung oleh dorongan dari pacarnya (Sarwono, 1989).

Pengalaman seksual yang lebih awal tersebut membawa remaja pada perilaku-perilaku seksual yang lebih awal pula. Perilaku yang dilakukan tersebut umumnya terjadi dengan frekuensi dan intensitas perilaku yang bertambah, yang tentu saja semakin hari perilaku seksual justru semakin tinggi dari sebelumnya. Perilaku yang benar akan disertai dengan sikap yang mendukung perilaku, sedangkan perilaku yang salah akan diikuti dengan perilaku yang menolak perilaku.