Perjanjian yang telah disepakati dapat dibatalkan apabila mengandung cacat kehendak. Di dalam terminologi lama, cacat kehendak yang termuat dalam Pasal 1321 KUHPerdata meliputi kesesatan atau kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang atau bedreigning), dan penipuan (bedrog).[1]
- Satrio menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan keadaan, yaitu pada waktu menutup perjanjian salah satu pihak berada posisi yang terjepit, baik dikarenakan oleh keadaan ekonomis yang menekan; kesulitan keuangan yang mendesak atau; adanya hubungan atasan-bawahan; keunggulan ekonomis pada salah satu pihak; hubungan majikan buruh; orang tua/wali anak belum dewasa ataupun; adanya keadaan lain yang tidak menguntungkan, seperti pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli; dan perjanjian tersebut mengandung hubungan prestasi yang tidak seimbang seperti pembebasan majikan dari menanggung risiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh; dan kerugian yang besar bagi salah satu pihak.[2]
Menurut Niewenhuis, menyatakan terdapat 4 (empat) syarat-syarat adanya penyalahgunaan keadaan. Pertama, keadaan-keadaan istimewa (bizondere omstendigheden) seperti: keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman. Kedua, suatu hal yang nyata (kenbaarhedi). Salah satu pihak mengetahui atau semistisnya mengetahui bahwa pihak lain karena istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian. Ketiga, penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya. Keempat, hubungan klausul (causaal verband), penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup, dalam artian unsur-unsur sebelumnya memiliki hubungan sebab dan akibat hingga akhirnya suatu perjanjian tersebut disepakati.[3]
Penyalahgunaan keadaan ini dapat mengakibatkan suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum, kalau perjanjian itu diadakan dengan bertolak dari suatu penyebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik dan penggunaan keadaan yang mengakibatkan pihak lawan tidak dapat mengambil putusan yang bersifat independen.
Batalnya suatu perjanjian karena penyalahgunaan keadaan sama sekali tidak mutlak adanya satu taraf tertentu atau satu bentuk tertentu dari hal yang merugikan itu. Dirugikannya salah satu dari pihak-pihak hanya merupakan salah satu dari faktor-faktor yang di samping semua keterangan-keterangan lain seperti sifat dari keadaan-keadaan yang digunakan cara berlangsungnya penggunaan itu dan hubungan antara pihak-pihak menentukan apakah perjanjian itu bertolak satu sebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik.[4]
Kemudian apabila Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) di lihat dari sistem hukum Belanda NBW, maka konsep penyalahgunaan keadaan ini sudah termuat di dalam sistem hukum belanda tepatnya di dalam pasal 44 yang pada dasarnya menyebutkan bahwa seorang dianggap melakukan suatu misbruik van omstandigheden apabila ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa orang lain telah melakukan suatu perbuatan hukum tertentu karena orang itu berada dalam keadaan-keadaan yang khusus, seperti berada dalam keadaan yang sangat membutuhkan, berada dalam keadaan ketergantungan, berada dalam keadaan kecerobohan, memiliki kondisi mental yang abnormal, atau tidak mempunyai pengalaman, dan ia telah menganjurkan perbuatan hukum itu oleh orang lain, meskipun hal yang diketahui atau hal yang seharusnya diketahui itu seharusnya mencegah ia untuk menganjurkan orang lain itu berbuat yang demikian.[5]
Dengan demikian, akibat dari munculnya doktrin penyalahgunaan keadaan yang saat ini di Indonesia sendiri baru hanya sebatas yurisprudensi, maka salah satu unsur dari cacat kehendak adalah penyalahgunaan keadaan terlepas dari unsur-unsur cacat kehendak yang lainnya.[6]
Namun seiring berjalannya waktu, ternyata terdapat banyak perselisihan yang menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan (undue influence / misbruik van ombstandigheden) tidak dapat dipersatukan dengan unsur-unsur penyalahgunaan keadaan, sehingga secara faktual cacat kehendak tidak dapat dipergunakan sebagai dasar terhadap pembatalan perjanjian meskipun diketahui bahwa perjanjian tersebut mengandung ketidakadilan.
Lantas bagaimana posisi sesungguhnya penyalahgunaan keadaan ini, apakah mungkin bisa dikatakan sebagai unsur suatu kausa yang diperbolehkan seperti halnya yang termuat di dalam pasal 1320 KUHPerdata. Mengenai permasalahan ini kemudian terdapat beberapa ahli yang berpendapat yang mengkaji permasalahan penyalahgunaan keadaan yang disandingkan dengan sebab kausa yang diperbolehkan / halal.
Menurut Prof. Mr. JM. Van Dunne dan Prof. Mr. Gr. Van Den Burght mengajukan beberapa pendapat sebagai berikut:
“Dalam ajaran hukum, pengertian tentang sebab ini diartikan sedemikian sehingga perjanjian berhubungan dengan tujuan atau maksud bertentangan dengan undang-undang, kebiasaan yang baik atau ketertiban. Pengertian “sebab yang tidak dibolehkan”, itu, dulu dihubungkan dengan isi perjanjian. Pada penyalahgunaan keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat.”[7]
Begitu pula menurut Prof. Choen di dalam Hendry P. Pangabean bahwa pada dasarnya menyatakan kurang tepat jika penyalahgunaan keadaan disamaartikan atau di setarakan keberadaannya dengan kausa yang tidak halal (ongeoorloofde oorzak), karena karakter dari kausa yang tidak halal sudah cukup berbeda dengan penyalahgunaan keadaan, karena memang pada dasarnya tidak berkaitan dengan kehendak yang cacat. Meskipun di dalam suatu gugatan perdata terkait perjanjian tidak mencantumkan terkait dengan kausa yang tidak halal, hakim memiliki kewajiban secara ex officio untuk mempertimbangkannya. Hal ini pun jelas bereda dan menjadi bertolak belakang jika kita kaitkan dengan suatu kehendak yang cacat (wilsgebrek), karena pernyataan batal atau pembatalan perjanjian itu hanya akan diperiksa oleh hakim kalau didalilkan oleh yang bersangkutan.[8]
Oleh karenanya, melihat konstruksi hukum yang terbentuk antara penyalahgunaan keadaan dengan kausa yang halal dan cacat kehendak. Maka akan lebih tepat apabila penyalahgunaan keadaan merupakan satu kesatuan dengan cacat kehendak. Hal ini didasarkan pada apabila terdapat suatu kasus yang berkaitan dengan perjanjian yang mengakibatkan salah seorang dirugikan untuk menuntut pembatalan suatu perjanjian, maka gugatan yang mendasarkan pada penyalahgunaan keadaan harus terjadi pada suatu tujuan tertentu dan penggugat harus mendalilkan bahwa perjanjian tersebut sesungguhnya tidak dikehendaki dalam bentuk yang sedemikian rupa.[9]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan keadaan merupakan bagian dari suatu kehendak yang cacat dalam pembuatan perjanjian, yang memang pada hakikatnya lebih sesuai dengan penyalahgunaan itu sendiri, sehingga keberadaannya tidak berhubungan dengan syarat objektif perjanjian, melainkan mempengaruhi syarat-syarat subjektif.
Perbuatan penyalahgunaan keadaan menurut Van Dunne dibedakan menjadi dua penyebab yakni karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan. Adapun persyaratan dari masing-masing keunggulan tersebut adalah[10];
- Syarat penyalahgunaan keadaan keunggulan ekonomis:
- Adanya keunggulan ekonomis terhadap pihak lain.
- Perjanjian itu diadakan dalam keadaan terpaksa.
- Syarat penyalahgunaan keadaan keunggulan kejiwaan:
- Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami istri, dokter pasien, pendeta jemaat, hubungan antara sesama pedagang dan lain-lain.
- Adanya penyalahgunaan keadaan terhadap jiwa istimewa kepada pihak lain, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, terhadap barang yang dijadikan objek perjanjian, gegabah kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik dan sebagainya.