Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerja sama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Modal sosial muncul dari hasil interaksi di dalam masyarakat dengan proses yang lama. Meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi, dan kemudian menjalin kerja sama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri. Interaksi semacam ini melahirkan modal sosial yang berupa ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut para ahli modal sosial dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syabra, 2003).

Sedangkan Burt tahun 1992 (dalam Suparman 2012) mendefinisikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi(berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Sejalan dengan Fukuyama (dalam Anconk 2007) menjelaskan bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilaiatau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Adapun menurut Cohen dan Prusak tahun 2001 (dalam Suparman 2012), modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilainilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Sependapat dengan penjelasan dari Cohen dan Prusak, (Hasbullah, 2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), hubungan timbal balik dan aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Modal sosial juga adalah sebuah potensi yang dimana dapat meningkatkan kesadaran bersama tentang banyaknya kemungkinan peluang yang bisa dimanfaatkan dan juga kesadaran bahwa nasib bersama akan saling terkait dan ditentukan oleh usaha bersama yang dilakukan. Berbagai pandangan tentang kapital sosial tersebut di atas bukan sesuatu yang bertentangan. Ada keterkaitan dan saling mengisi sebagai sebuah alat analisa penampakan kapital sosial di masyarakat. Dengan menyimak tentang berbagai pengertian kapital sosial yang sudah dikemukakan di atas, kita bisa mendapatkan pengertian kapital sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, nilai dan norma dan kepercayaan.

Hubungan Kinerja Usaha dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

Penelitian yang terkait dengan hubungan ini adalah penelitian Heady and Wooden (2004), menggunakan data tahun 2001 dan 2002 yang diamabil pada survey rumah tangga, pendapatan dan dinamika buruh di Australia. Penelitian ini menaganalisis pengaruh kekayaan (pendapatan) pada kesejahteraan subjektif dan kesehatan. Pandangan yang diterima di kalangan psikolog dan ekonom adalah sama, dimana pendapatan rumah tangga memiliki efek statistik yang cukup signifikan pada ukuran kesejahteraan subjektif subjektif, walaupun pendapatan merupakan ukuran yang tidak sempurna dari keadaan ekonomi rumah tangga. Penelitian Sacks et all (2010) pada 132 negara, dengan membuat jajak pendapat terhadap kesejahteraan subjektif subjektif, dengan mengeksplorasi hubungan antara kesejahteraan subjektif dan pendapatan. Hasil penelitian menyatakan kepuasan hidup rata-rata lebih tinggi di negara-negara dengan pendapatan per kapita yang lebih besar, walaupun pendapatan absolut tetap memainkan peran penting dalam mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Kepuasan hidup warga Negara tumbuh sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Hasil akhir yang diperoleh dalam penelitian ini menyatakan tingkat pertumbuhan kesejahteraan subjektif sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan pendapatan warga Negara.

Hubungan Orientasi Kewirausahaan dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

Penelitian yang terkait dengan hubungan ini adalah penelitian Aryogi (2013) pada obyek individu dalam rumah tangga berdasarkan perwakilan SUSENAS yang diperoleh dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2007. Hasil penelitian  menyatakan bahwa, upaya peningkatan pendapatan melalui aktivitas berbagai sektor perekonomian diperlukan agar terjadi peningkatan dalam kesejahteraan subjektif. Penelitian Callaghan (2009) di kota Johannesburg, tentang dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL). Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko berpengaruh secara langsung dan berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan menuju peningkatan kesejahteraan subjektif

Hubungan Modal Sosial dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

Penelitian yang sejalan dalam hubungan ini adalah penelitian Suandi (2014) terhadap 132 keluarga pada bulan Nopember 2012 di dua kecamatan, yaitu: 82 Kecamatan Keliling Danau, dan Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Jambi. Hasil penelitian menyatakan bahwa modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap kesejahteraan subjektif ekonomi keluarga. Penelitian Johannes (2009) yang mengkaji efek dari modal sosial terhadap kemiskinan rumah tangga menggunakan hasil survey terhadap 2.001 rumah tangga di Kamerun. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, keanggotaan dalam asosiasi sebagai indikator modal sosial berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan per kapita rumah tangga (mengurangi kemiskinan). Hasil analisis lebih lanjut tenyata bagi pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif hidup rumah tangga disarankan untuk mempertimbangkan dan mempromosikan modal sosial sebagai salah satu implementasi yang relevan. Sedangkan penelitian Rose (2009) di Rusia, menyatakan bahwa beberapa bentuk dan keadaan jaringan modal sosial menghasilkan sejumlah peningkatan kesejahteraan subjektif individu (pribadi). Juga ditekankan bahwa modal sosial tidak harus dianalisis secara terpisah tetapi sebagai bagian dari portofolio sumber daya yang digunakan individu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan subjektif.

Hubungan Orientasi Kewirausahaan dan Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

Sejumlah penelitian yang terkait hubungan ini adalah: (1) Suryanita (2006) pada pengusaha industri pakaian jadi di Kota Semarang, dimana orientasi kewirausahaan mempunyai efek positif dan signifikan terhadap kinerja pemasaran, (2) Suci (2006) pada kabupaten/kota yang memiiliki industri kecil menengah (IKM) Bordir di Provinsi Jawa Timur dengan 365 responden, dimana temuannya orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pada IKM 81 border di Provinsi Jawa Timur, (3) Risnawati dan Noermijati (2011) pada koperasi primer di Kota Palu Sulawesi Tengah, yang menyatakan orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja koperasi, baik kinerja keuangan maupun kinerja non keuangannya, dan (4) Rudy dan Soegianto (2013) pada karyawan/pemilik PT. Mentari Esa Cipta di Jakarta sejalan dengan studi ini, dimana hasilnya ternyata ada pengaruh positif dan signifikan antara orientasi kewirausahaan terhadap kinerja kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta.
Demikian juga penelitian Yang (2006) pada UKM di Taiwan, yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan orientasi kewirausahaan yang tinggi dapat memberi kontribusi terhadap kinerja bisnis yang lebih tinggi. Penelitian Callaghan (2009) di kota Johannesburg, tentang dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL) dengan mengukur kinerja kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan diuji melalui penyelidikian faktor-faktor kontekstual yang membentuk orientasi kewirausahaan dan memberikan kontribusi terhadap kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan sangat terkait dengan peningkatan pendapatan PKL seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko

Hubungan Modal Sosial dan Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

Penelitian terkait dalam hubungan modal sosial dengan kinerja usaha adalah penelitian Rudy dan Soegianto (2013) yang berjudul “Analisis Pengaruh Modal Sosial dan Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta”, dengan responden para karyawan dan manajer/pemilik PT. Mentari Esa Cipta di Jakarta, yang menyatakan ternyata tidak ada pengaruh yang signifikan antara modal sosial terhadap kinerja kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta. Penelitian Subroto (2015) terhadap pelaku UMKM bidang garmen di Kabupaten Klaten, juga menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara modal sosial terhadap kinerja pada UMKM bidang garmen di Kabupaten Klaten. Penelitian di luar negeri yang dilakukan oleh Durojaiye et all (2013) terhadap bisnis perdagangan bahan makanan di Southwestern Nigeria, yang menyatakan bahwa modal sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan keuntungan penjualan bahan makanan di Negeria

Hubungan Modal Sosial dan Orientasi Kewiruausahaan (skripsi dan tesis)

Penelitian Thobias, dkk. (2013), yang berjudul “Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perilaku Kewirausahaan: Suatu studi pada pelaku usaha mikro kecil menengah di Kecamatan Kabaruan, Kabupaten Kepulauan Talaud”, dengan 74 responden, dimana modal sosial berpengaruh positif bagi pengusaha mikro kecil menengah (MKM) yang ada terhadap orientasi kewirausahaan pelaku MKM tersebut. Penelitian Primadona, dkk (2014) terhadap wirausahawan etnis Minang, dimana kebijakan dan model kewirausahaan dengan modal sosial secara langsung berpengaruh pada etnis Minang, karena berhasilnya etnis Minang selama ini di dalam berwirausaha sangat ditopang oleh nilai modal sosial.
Penelitian Wimba (2015) yang menyatakan bahwa modal sosial secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi kewirausahaan pada UKM kerajinan kayu di Provinsi Bali. Penelitian di luar negeri melalui penelitian Atazadeh, et al (2014) di Tabriz (Iran) dengan sampel 400 responden, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kewirausahaan dan modal sosial, dimana pada berbagai kepercayaan, kerjasama dan norma dalam partisipasi memiliki dampak yang signifikan pada kewirausahaan. Ada hubungan positif yang signifikan antara pengaruh emosi dan karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan kewirausahaan seperti pengambilan risiko, dan pragmatisme. Ini berarti terjadi peningkatan efek yang memperkuat rasa percaya dan karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan kewirausahaan seperti risiko, pengendalian internal dan pragmatisme

Industri Kreatif (skripsi dan tesis)

Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008) pengertian industri kreatif didefinisikan sebagai “Industri yang berasal dari pemanfaatan  kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.” Contohnya: industri batik, industri tenun, industri jasa arsitektur, industri jasa periklanan, dsb. Ekonomi kreatif dan industri kreatif akhir-akhir ini semakin hangat dibicarakan baik oleh pemerintah, swasta dan pelakunya sendiri. Khususnya pemerintah sudah semakin menaruh perhatiannya. Sedikitnya ada Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Komunikasi dan Informasi, dan Departemen Tenaga Kerja. Karena istilah “industri” pada industri kreatif, menimbulkan banyak interpretasi, bagaimanakah mencocokkan secara kontekstual antara ekonomi kreatif, industri kreatif dengan Undang-undang No. 5/1984 tentang Perindustrian. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025 yang dirumuskan oleh Departemen Perdagangan RI (2008) dijelaskan adanya evoluasi ekonomi kreatif.
Berdasarkan dokumen rencana ini dapat diketahui bahwa adanya pergeseran dari era pertanian ke era industrialisasi lalu ke era informasi yang disertai dengan banyaknya penemuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta globalisasi ekonomi. Perkembangan industrialisasi menciptakan pola kerja, pola produksi dan pola distribusi yang lebih murah dan efisien. Pandangan tentang ekonomi kreatif dan industri kreatif dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Industri dapat dibedakan menjadi sektor-sektor utama (menutur BPS ada 16 sektor utama), yang mendasari pembagian lapangan usaha. Kelompok industri kreatif ini (misalnya: musik, periklanan, tekstil, arsitektur, dll.) akan memiliki lapangan usaha yang merupakan bagian dari beberapa sektor industri. Sebagian besar dari lapangan usaha industri kreatif ini merupakan industri jasa.
2) Ekonomi kreatif merupakan keseluruhan dari industri kreatif, yaitu seluruh industri yang tercakup dalam kelompok industri kreatif.
Selanjutnya menurut Depertemen Perdagangan RI (2008), jenis-jenis industri kreatif di Indonesia meliputi:
(1) periklanan; yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan,
(2) arsitektur; yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan informasi produksi,
(3) pasar seni dan barang antik,
 (4) kerajinan; yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi produk kerajinan,
(5) desain; yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan,
 (6) desain tekstil; yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya,
 (7) Video, Film dan Fotografi; yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusinya,
 (8) permainan interaktif; yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi,
(9) musik; yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik,
(10) seni pertunjukan; yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten dan proses 69 produksi pertunjukan,
(11) Penerbitan & Percetakan; yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan karya tulis serta digital,
 (12) layanan komputer dan piranti lunak; yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi (IT),
13) televisi dan radio; yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio, dan
 (14) Riset dan Pengembangan; yang terkait dengan usaha inovatif dan produk baru

Konsep Industri (skripsi dan tesis)

 Secara umum industri didefinisikan sebagai usaha atau pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Industri pada dasarnya tidak hanya berfokus kepada produksi dari barang atau jasa, tetapi juga terhadap distribusi, pertukaran (sales, komersialisasi) serta konsumsi dari barang dan jasa. Hanya saja industri selalu  dikaitkan dengan pabrikasi atau manufaktur (secondary industry), karena pada era industrialisasi ditandai dengan perkembangan secara dramatis dari industri manufaktur ini. Industri merupakan bagian dari ekonomi, atau bisa dikatakan industri merupakan segmentasi dari ekonomi dalam upaya manusia untuk memilah-milah aktivitas ekonomi secara lebih mendetil (Depatemen Perdagangan RI, 2008).
Sedangkan industri kecil didefinisikan secara berbeda-beda oleh sejumlah badan pemerintah ataupun berbagai macam instansi. Beberapa macam definisi industri kecil tersebut antara lain:
(1) menurut Depperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan) Tahun 1999, industri kecil merupakan kegiatan usaha industri yang memiliki investasi sampai Rp. 200.000.000,- tidak termasuk bangunan dan tanah tempat usaha;
(2) menurut Biro Pusat Statistik (2012), mendefinisikan industri kecil adalah usaha rumah tangga yang melakukan kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang termasuk pengusaha;
 (3) menurut Bank Indonesia, industri kecil yakni industri yang asset (tidak termasuk tanah dan bangunan), bernilai kurang dari Rp. 600.000.000,-; dan (4) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995: a. (Pasal 1): ayat 1, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, b. (Pasal 5):
1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,
2)  memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-,
3) milik warga negara Indonesia,
4) berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar,
5) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Kategori industri kecil menurut Departemen Perindustrian (Disperindag Provinsi Bali. 2015) adalah sebagai berikut: (1) Industri Kecil Modern, yang meliputi industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya (intermediate process technologies), mempunyai skala produksi yang terbatas, tergantung pada dukungan industri besar dan menengah dan dengan system pemasaran domestik dan ekspor, menggunakan mesin khusus dan alat-alat perlengkapan modal lainnya. Dengan kata lain, industri kecil yang modern telah mempunyai akses untuk menjangkau system pemasaran yang relatif telah berkembang baik di pasar domestik ataupun pasar ekspor;
 (2) Industri Kecil Tradisional, pada umumnya mempunyai ciri-ciri antara lain, proses teknologi yang digunakan secara sederhana, mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif sederhana, lokasi di daerah pedesaan, akses untuk menjangkau pasar yang berada di luar lingkungan yang berdekatan terbatas; dan
(3) Industri Kecil Kerajinan, yang sangat beragam, mulai dari industri kecil yang menggunakan proses teknologi yang sederhana sampai industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan sudah menggunakan proses teknologi yang tinggi.
Selanjutnya BPS Provinsi Bali (2015b) dalam penjelasan konsep dan metode pengukuran sektor industri pengolahan, menerangkan beberapa hal berikut,
1) Industri pengolahan (manufaktur) adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan merubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehinggga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan.
2) Jasa industri adalah kegiatan industri yang melayani keperluan pihak lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak lain, sedangkan pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapat imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah makloon), misalnya perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan menggiling padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu.
 3) Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya, serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas risiko usaha tersebut.
 4) Klasifikasi atau pengelompokan industri pengolahan terdiri dari empat jenis, yaitu:
 Industri besar adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.
  Industri Sedang adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 – 99 orang.
 Industri Kecil adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 5 – 19 orang.
  Industri Rumah Tangga (RT) adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 1 – 4 orang.
 Kelompok lapangan usaha dalam industri pengolahan terdiri atas 16 jenis, meliputi industri: (1) batubara dan kilang migas (pertambangan), (2) makanan dan minuman, (3) pengolahan tembakau, (4) tekstil dan pakaian jadi, (5) kulit, barang dari kulit dan alas kaki, (6) kayu, barang dari kayu dan gabus, anyaman bambu dan rotan, (7) kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media, (8) kimia, farmasi dan obat tradisional, (9) karet, barang dari karet dan plastik, (10) barang galian bukan logan, (11) logam dasar, (12) barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik, (13) mesin dan perlengkapan, (14) alat angkutan, (15) furnitur, dan (16) pengolahan lainnya. Usaha industri tenun dalam kelompok industri pengolahan termuat dalam industri tekstil dan pakaian jadi

Konsep Ekonomi Kelembagaan (skripsi dan tesis)

 Kelembagaan dapat didefinisikan sebagai batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan berbagai interaksi baik politik, sosial dan ekonomi (North, 1990). Kelembagaan dipandang sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) untuk menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa 61 yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. North (1990) mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang nyata hanya dengan hanya memperbaiki kebijakan ekonomi makro. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi. Beberapa contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah. Menurut North institusi adalah peraturan perundang-undangan berikut sanksi dari peraturan-peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antara manusia secara berulangulang.
Selanjutnya konsep ekonomi kelembagaan mewadahi kondisi bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan asset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan) dan lain-lain. Intinya, selalu ada intensif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar (non- market institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain aturan main/kelembagaan (institusion) (Yustika, 2013). 62 Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisiplinier sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya dan yang lain sebagai satu kesatuan analitis.
 Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode yang dibangun dari tiga premis penting (Yustika, 2013) yaitu: (1) partikular, dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat, yang berarti setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain); (2) subyektif, dimaknai sebagai penelitian yang melihat realitas atau fenomena sosial dan lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “ orang dalam”; dan (3) non prediktif, dimaknai sebagai paradigma penelitian yang tidak hanya masuk ke wilayah prediksi ke depan, tetapi yang ditekankan di sini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomena

Kesejahteraan Masyarakat Secara Makro dan Subjektif (skripsi dan tesis)

Menurut Todaro and Smith, 2006, bagaimanapun masalah kesejahteraan itu dikemas, terlihat bahwa pendapatan atau konsumsi, atau pemenuhan hasrat dan kesenangan subjektif semata, belum secara tepat mendefinisikan kesejahteraan. Hampir semua pendekatan tentang kesjahteraan berujung kepada pertimbangan terhadap kesehatan dan pendidikan, selain pendapatan. Pandangan tentang indikator kesejahteraan yang meliputi pendapatan, kesehatan, dan pendidkan di tingkat makro, oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dinyatakan sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). IPM oleh PBB dipandang sebagai peringkat pembangunan manusia sebagai indikator kesehjahteraan makro bagi semua Negara dari skala 0 (tingkat yang paling rendah) hingga
1 (tingkat yang paling tinggi), yang didasarkan pada tiga tujuan atau produk akhir pembangunan, yaitu:
(1) masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup (kesehatan),
(2) pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (2/3) dan rata-rata tahun bersekolah (1/3) (pendidikan), dan
(3) standar kehidupan (standard of living) yang diukur dengan pendapatan riil per kapita dan disesuaikan dengan paritas daya beli (pendapatan).
Pengelompokan IPM adalah : tingkat pembangunan manusia rendah (0,000 hingga 0,499), tingkat pembangunan manusia menengah (0,500 hingga 0,799), dan tingkat pembangunan manusia tinggi (0,800 hingga 1,000). Kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna (Bade and Parkin, 2001). 1) Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (sosial welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.
2) Sebagai pelayanan sosial. Pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (sosial security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal sosial services).
 3) Sebagai tunjangan sosial. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, dan ketergantungan.
 4) Sebagai proses atau usaha terencana, yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.  Tujuan tercapainya kesejahteraan diharapkan dapat mendukung standar hidup dan mengurangi kesenjangan, dengan demikian harus menghindari ledakan biaya dan mencegah perilaku yang kondusif bagi moral hazard. Semua tujuan ini harus dicapai dan dapat meminimalkan biaya administrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang bertugas menjalankan itu. Tujuan kesejahteraan disusun melalui konsep ekonomi kelembagaan dalam lingkup negara, melalui terobosan dan pengaturan berdasarkan pada tiga pilar:
a) tunjangan keluarga,
b) pelayanan kesehatan yang komprehensif, dan
 c) kebijakan pendidikan murah.
Penelitian Hagfors and Kajanoja (2007) di Finlandia menghasilkan gagasan bahwa risiko dan kemiskinan masyarakat harus ditanggung oleh kesejahteraan negara, dimana kesejahteraan negara meningkatkan kesetaraan pada masyarakat dengan menutup risiko dan menyamakan peluang serta distribusi pendapatan. Inti permasalahan yang dimunculkan adalah kesetaraan yang diciptakan oleh kesejahteraan negara sejalan (positif) terkait dengan kepercayaan umum antara rakyat dan peran modal sosial dalam menjembatani keterkaitan ini. Pengurangan risiko itu sangat berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, secara umum kepercayaan dan modal sosial yang menjembataninya semakin penting dalam perekonomian saat ini. Perubahan historis teori ekonomi neo-klasik tidak dijadikan acuan, yang dilihat hanya peran kebijakan sosial masa kini dan kesetaraan, serta keterkaitan hubungan antara modal sosial dan kesejahteraan. Analisis kesejahteraan sosial diukur melalui kegiatan ekonomi dari individuindividu yang membentuk masyarakat. Oleh karena itu, individu dengan kegiatan ekonomi yang terkait, adalah unit dasar yang akan menggabungkan kesejahteraan sosial, baik dari kelompok, komunitas, atau masyarakat. Kesejahteraan sosial mengacu pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan bisa dianggap sebagai penjumlahan dari kesejahteraan semua individu dalam masyarakat (Bade and Parkin , 2001). Salah satu usaha meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat adalah melalui usaha pengembangan masyarakat, perkembangan fisik lingkungan, dan perkembangan manajemen terhadap profesinya, dalam rangka mencapai kemandirian masyarakat.
Adanya pengaruh tiga usaha tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat ditandai dengan meningkatnya pendapatan riil, tingkat pendidikan, kesehatan serta rasa aman dan nyaman. Kemandirian masyarakat digambarkan dengan meningkatnya kemandirian di dalam pengadaan modal usaha, kemandirian dalam berpartisipasi dalam pembangunan desa, dan kemandirian didalam peningkatan peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Kejahteraan sosial masyarakat sendiri pada akhirnya mempengaruhi kemandirian masyarakat melalui ukuran kesejahteraan ekonomi subjektif (KES).
 Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) menurut Hayo and Seifert dalam Suandi (2007) banyak diteliti karena ada tiga alasan penting, yaitu :
 (1) KES merupakan kunci penting dalam kebijakan ekonomi, dimana makro ekonomi suatu negara berko-relasi positif dengan KES,
(2) KES menjadi dasar pertimbangan dalam politik ekonomi, karena kepuasan ekonomi individu dan masyarakat akan mempengaruhi dukungan politik terhadap ekonomi pasar dan demokrasi, dan
(3) KES 57 menjadi dasar dalam melihat kondisi ekonomi objektif dan subjektif dalam membuat perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan pengukuran KES menggunakan istilah subjektivitas dan relativitas, dan kedua istilah ini menggunakan terminologi persepsi. Menurut Ravallion and Lokshin dalam Suandi (2007), pendekatan subjektivitas dapat menggambarkan kesejahteraan yang lebih komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan jasa di pasar. Kesejahteraan dalam konteks subyektivitas dapat menggambarkan berbagai aspek dalam kehidupannya, seperti : aktivitas ekonomi, semangat hidup, tingkat independensi, dan kebahagiaan di waktu luang. Sedangkan pendekatan relativitas memiliki beberapa konsekuensi, yaitu :
 (1) kesejahteraan yang dirasakan bukan hanya sesaat, tetapi mampu membandingkan kesejahteraan sekarang dengan waktu yang lampau dan di masa yang akan datang,
 (2) ada unsur penyerapan informasi baru dari luar, dan
 (3) tidak mampu menggambarkan persepsi kesejahteraan secara keseluruhan.
Pendekatan yang sering digunakan dalam persepsi kesejahteraan subjektif adalah kepuasan dan kebahagiaan. Secara operasional, variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagiaan karena tingkat kepuasan lebih mampu melihat gap antara inspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Sen dalam Suandi (2007) menyatakan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi yang mampu menjangkau berbagi kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan institusi dan masyarakat. 58 Disamping itu, kepuasan individu, keluarga, dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan masa depan Kesejahteraan masyarakat merupakan jumlahan KES semua individu yang tinggal di suatu daerah atau masyarakat. Sedangkan kesejahteraan subjektif (individu) akan mencerminkan kualitas hidup seseorang. Banyak faktor yang mempengaruhi kulaitas hidup seseorang, yang terpenting adalah tujuan dan dimensi subjektif dari kualitas hidup itu sendiri. Pengukuran tujuan dan dimensi subjektif kualitas hidup seseorang dikembangkan oleh The International Wellbeing Group (2013) melalui Indeks Kesejahteraan Pribadi (IKP), sebagai ukuran kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan subjektif diukur melalui pertanyaan tentang kepuasan yang diarahkan kepada perasaan seseorang terhadap diri mereka sendir

Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

Pengukuran kinerja akan memberikan informasi situasi dan posisi relatif terhadap target atau mengetahui apakah perencanaan dan aktifitasnya telah secara optimal dijalankan (Robbins dan Judge, 2008). Para wirausaha memegang informasi prestasi untuk mengetahui posisi kinerjanya relatif terhadap orang lain, kelompok lain, maupun terhadap sasaran usaha. Bila prestasi pada suatu di bawah target, maka akan dijadikan dasar untuk mengejar ketertinggalan dan mecarikan tindakan manajerial atas upaya, menambah input dan atau memerbaiki proses kerja sehingga kinerjanya dapat kembali sesuai perencanaan.
 Monitoring kinerja di lapangan relatif mudah dilakukan seperti halnya monitoring kinerja proses operasional di fasilitas produksi yang sudah terotomatisasi. Variabel ukur tak sepenuhnya dengan mudah diakses (muncul sendiri dari proses) atau diukur (karena sifatnya yang kualitatif) atau hal-hal lain yang menyebabkan rendahnya objektivitas dalam pengukuran. Definisi kinerja merujuk pada tingkat pencapaian atau prestasi dari perusahaan dalam periode waktu tertentu. Tujuan perusahaan yang terdiri dari: tetap berdiri atau eksis (survive), untuk memperoleh laba (benefit) dan dapat berkembang (growth), dapat tercapai apabila perusahaan tersebut mempunyai performa yang baik (Jauch dan Glueck, dalam Suci, 2006).
Kinerja (performa) perusahaan dapat dilihat dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan, tingkat turn over dan pangsa pasar yang diraihnya. Strategi perusahaan selalu diarahkan untuk menghasilkan kinerja usaha dan pemasaran (seperti volume penjualan dan tingkat pertumbuhan penjualan) yang baik dan juga kinerja keuangan yang baik. Hal ini menyebabkan beragam pengukuran kinerja dalam penelitian bidang bisnis terus berkembang dengan dasar indikasi yang bervariasi. Rasio-rasio akuntansi dan ukuran-ukuran pemasaran merupakan dua kelompok besar indikator kinerja perusahaan, tetapi indikator-indikator ini telah banyak dikritik karena indikator-indikator itu tidak cukup jeli dalam menjelaskan halhal yang bersifat intangibel dan seringkali tidak tepat digunakan untuk menilai sumber dari keunggulan bersaing. Sudut pandang stategi berbasis sumber daya menyarankan pengukuran dengan mengkombinasikan ukuran kinerja secara finansial dan non finansial untuk keuntungan secara ekonomis yang sesungguhnya. Kinerja perusahaan meliputi dua hal yaitu pengukuran kinerja berdasarkan faktor keuangan dan pengukuran kinerja berdasarkan penjualan unit produk. Kedua hal ini dapat dipakai secara bersama-sama dalam mengukur kinerja perusahaan secara umum. Bentuk implementasinya yaitu dengan menggunakan empat indikator, yakni: (1) peningkatan produksi, (2) peningkatan jenis hasil usaha, (3) peningkatan volume penjualan, dan (4) peningkatan laba usaha (kemampulabaan)

Orientasi Kewirausahaan (skripsi dan tesis)

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovatif, kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Kemendikbud, 2013).  Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-sebut sebagai pelopor untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Sedangkan wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai serta menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia yang unggul dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan wirausahawan. Bentuk aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan yang direfleksikan dengan kemampuan inovatif, proaktifi, dan kemampuan dalam pemecahan masalah (Prawirokusumo, 2010). Orientasi kewirausahaan mengacu kepada proses, praktik, dan aktivitas pembuatan keputusan yang mengarah kepada usahaa baru (new entry), melalui penciptaan produk atau jasa baru (Lumpkin and Dess, 1996). Orietansi kewirausahaan mencakup tiga dimensi, meliputi:

(1) kemauan untuk berinovatif (inovatif),
(2) kecenderungan untuk menjadi proakatif terhadap pasar (proaktif), dan
 (3) keberanian mengambil keputusan atau risiko (pemecahan masalah).
 Dimensi pertama dari orientasi kewirausahaan adalah inovatif (innovativeness). Keinovatifan mengacu kepada kecenderungan perusahaan ikut serta dan mendukung gagasan baru, kebaruan (novelty), eksperimentasi, dan proses kreatif yang berakibat  pada proses teknologi, jasa, dan produk baru. Oleh karenanya, keinovatifan mirip dengan suatu iklim, budaya atau orientasi bukan hasil. Keinovatifan terjadi sepanjang suatu kontinum, contoh dari mencoba lini produk baru atau mengadakan percobaan produk baru, mencoba menguasuai suatu teknologi terbaru. Lebih lanjut dinyatakan bahwa keinovatifan akan mengarah kepada perangkap, karena pengeluaran pada pengembangan produk baru dapat menjadi pemborosan sumberdaya jika upaya ini tidak memberi hasil.
Dimensi kedua orientasi kewirausahaan adalah proaktif (proactiveness) terhadap pasar. Proaktif berkaitan dengan melihat kedepan (foward looking), penggerak pertama upaya pencarian keunggulan untuk membentuk lingkungan dengan memperkenalkan produk baru atau memproses persaingan ke depan. Keproaktifan adalah penting karena menyiratkan pendirian untuk melihat kedepan (foward looking) yang disertai dengan aktivitas yang inovatif atau spekulasi baru. Dengan demikian, perusahaan yang proaktif adalah leader bukan follower, karena perusahaan memiliki kemauan dan tinjauan ke masa depan untuk meraih kesempatan baru. Lebih lanjut, perusahaan yang proaktif sering merupakan perusahaan yang mengajukan produk baru dan seringkali memperkenalkan produk baru mendahului pesaingnya.
 Dimensi ketiga dari orientasi kewirausahaan adalah pemecahan masalah melalui keberanian mengambil keputusan/risiko (risk taking), yang didefinisikan sebagai sejauhmana para pimpinan/manajer berkeinginan membuat komitmen terhadap sumberdaya yang berisiko. Sama seperti keinovatifan, pengambilan risiko terjadi secara kontinu yang berkisar dari risiko yang relatif aman sampai risiko yang sangat  tinggi (misalnya meluncurkan produk baru di pasar baru. Meskipun banyak risiko dapat menurunkan kinerja pengembangan produk baru, risiko itu sendiri tak dapat dihindari karena kinerja akhir dari pengembangan produk baru tidak dapat diketahui sebelumnya. Perusahaan pasti seringkali memanfaatkan sumberdaya pada proyek pengembangan ketika kesempatan ditangkap oleh pasardan sebagian tanpa pengetahuan tentang bagaimana proyek pengembangan ini akan menghasilkan. Pengambilan risiko meliputi perangkap dan bahaya, tetapi perusahaan sering bertindak tanpa mengetahui apakah tindakan mereka akan menghasilkan.
Menurut Nadim and Seymour (2007), konsep orientasi kewiraushaan akan melibatkan tiga unsur yaitu :
 (1) pengusaha (orang-orang atau pemilik usaha yang berusaha untuk menghasilkan nilai, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi, dengan mengidentifikasi dan mengeksploitasi produk baru, proses atau pasar,
(2) aktivitas kewirausahaan (tindakan giat manusia dalam mengejar nilai tambah, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi, dengan mengidentifikasi dan mengeksploitasi produk baru, proses atau pasar, dan
 (3) kewirausahaan (fenomena yang terkait dengan aktivitas kewirausahaan). Aktivitas (kegiatan) kewirausahaan melibatkan pemahaman empat pertimbangan utama, yaitu:
 (a) aktivitas kegiatan manusia;
(b) memanfaatkan kreativitas, inovatif dan/atau peluang,
(c) menciptakan bisnis dan lingkungan baru yang lebih luas, dan
(d) penciptaan nilai.
Pemahaman orientasi kewirausahaan diukur dengan capaian kompetensi kewirausahaaan yang oleh Entrepreneurial Development Institut (EDI) of India (Jyotsna dan Saxena, 2012) diidentifikasi melalui:
(1) inisiatif; bertidak sesuai pilihan bukan karena paksaan, mengawali tindakan,
 (2) gigih mencari peluang; pola pikir yang dilatih untk mencari peluang usaha dari pengalaman sehari-hari,
 (3) kegigihan dalam berusaha (Persistensi); sikap pantang menyerah dan mencari informasi terus menerus sampai berhasil,
(4) rasa ingin tahu tinggi; sikap rajin mencari ide-ide dan informasi baru, konsultasi dengan ahlinya., (5) proaktif mencari pasar dan pesanan kerja; sikap kerja yang aktif untuk mencari konsumen dan menyelesaikan tugas sesuai jadwal,
(6) proaktif merancang produk baru; selalu mencari sumber rincian standar atas produk baru yang dapat dikerjakan,
(7) berorientasi pada perluasan pasar; sikap proaktif pada perluasan pasar dan pemasaran,
 (8) proakif menggalang dukungan dan mempengaruhi orang lain dalam suatu usaha,
 (9) ketegasan dalam bertindak (Assertiveness); mampu menyampaikan visi secara tegas dan meyakinkan orang lain tentang visi tersebut,
(10) percaya diri; sikap tidak terlalu takut terhadap resiko yang terkait dengan usaha,
(11) perencanaan sistematik; mempunyai perencanaan yang matang dan mem-punyai tujuan akhir, dan
 (12) berani mengambil keputusan dan risiko; mampu mengamati gejala, mendiagnosa dan memutuskan, serta siap menanggung risikonya.
Kompetensi (1) s/d (4) diproksi sebagai indikator untuk inovatif, kompetensi (5) s/d (8) diproksi sebagai indikator untuk proaktif, dan kompetensi (9) s/d (12) diproksi sebagai indikator untuk kemampuan mengambil keputusan dan pemecahan masalah. Penelitian Callaghan (2009), memaparkan dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL) dengan mengukur kinerja kewirausahaan. Kinerja wirausaha didefinisikan dalam kontek ini sebagai konstruksi yang terdiri dari pendapatan dan kepuasan berkelanjutan. Orientasi kewirausahaan diuji melalui penyelidikian faktor-faktor kontekstual yang membentuk orientasi kewirausahaan dan memberikan kontribusi terhadap kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan sangat terkait dengan peningkatan pendapatan seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko. Penelitian ini juga memberikan bukti bahwa faktor-faktor pembelajaran yang terkait, berkontribusi untuk membentuk orientasi kewirausahaan yang secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan (kesejahteraan).

Pengukuran Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Pengukuran modal sosial mungkin sulit, tetapi bukan tidak mungkin, dan beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi pendekatan yang berguna untuk modal sosial, dengan menggunakan jenis dan kombinasi dari metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang berbeda (Woolcock, 2000). Pengukuran modal sosial sangat tergantung pada bagaimana modal sosial itu dimaknai.
Menurut The World Bank Group (2011), modal sosial diukur dengan sejumlah cara yang inovatif, meskipun untuk mendapatkan satu ukuran yang valid mungkin mustahil. Hal ini disebabkan oleh :
 (1) definisi yang paling komprehensif dari modal sosial yang multidimensi, ternyata menggabungkan tingkat dan unit analisis yang berbeda,
(2) adanya upaya untuk mengukur konsep dari sifat-sifat ambigu seperti rasa percaya, norma, masyarakat, jaringan dan organisasi selalu menimbulkan masalah
(3) beberapa survei terdahulu sering dipakai acuan untuk mengukur modal sosial melalui kompilasi indeks dari berbagai item perkiraan, seperti tingkat kepercayaan pada pemerintah, tren perolehan suara dalam pemilu, keanggotaan dalam organisasi kemasyarakatan, jam kerja yang dihabiskan secara sukarela.
Survei terbaru saat ini sedang diuji yang diharapkan akan menghasilkan lebih banyak indikator langsung dan akurat untuk pengukuran modal sosial. Mengukur modal sosial mungkin sulit, tetapi bukan tidak mungkin, dan beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi pendekatan untuk mewakili pengukuran modal sosial, dengan menggunakan jenis dan kombinasi dari metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang berbeda. Pretty and Ward (2001) menyatakan terdapat empat aspek utama yang membangun modal sosial, yaitu :
 (1) hubungan dari rasa percaya,
(2) resiproksitas dan pertukaran,
(3) aturan umum, norma, dan sanksi, serta
 (4) koneksi, kerjasama, dan kelompok.
Rasa percaya mempermudah jalinan kerjasama dan mengurangi biaya trasaksi. Rasa percaya dibedakan atas dua tipe, yaitu rasa percaya terhadap orang yang dikenal (thick trust) dan rasa percaya terhadap orang yang belum dikenal (thin trust). Resiproksitas dan pertukaran juga berperan meningkatkan rasa percaya. Resiproksitas ada dua tipe, yaitu resiproksitas spesifik yang berkaitan dengan pertukaran simultan dan resiproksitas difusif yang merujuk pada pertukaran yang berkelanjutan. Determinan modal sosial seperti rasa percaya, norma, dan jaringan kerja dapat berdampak positif atau negatif terhadap kinerja pembanguan ekonomi. Rasa saling percaya yang tinggi akan mendorong peningkatan kinerja ekonomi yang lebih tinggi, asalkan mampu membangun kondisi persaingan yang sehat. Norma akan mempunyai dampak positif bila kemungkinan berkembangnya kreativitas lebih besar dibandingkan kemungkinan melemahnya etika kerja. Jaringan kerja akan berdampak positif terjadi bila dampak proteksi pada perilaku senang meminjam (rent-seeking) lebih besar daripada pengurangan (crowding out) waktu kerja.  Fokus dari pengukuran modal sosial itu sebenarnya ingin melihat pada kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola inter-relasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, serta dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma dan nilai nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip tentang persamaan, kebebasan, dan nilai-nilai kemajemukan serta humanitarian. Akhirnya dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur pokok pengukuran modal sosial adalah.
1). Rasa Percaya; kepercayaan adalah sesuatu yang mempunyai nilai yang sangat tinggi di dalam melakukan apapun dengan orang lain. Rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993, 1995 dan 2002).
Pandangan Fukuyama (2000), menyatakan bahwa rasa percaya adalah sikap saling mempercayai di masyarakat tersebut, saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Beberapa indikator yang sesuai dengan unsur rasa percaya pada pelaku usaha industri tenun, misalnya: rasa peduli dan toleransi terhadap orang lain,  kepercayaan terhadap tokoh agama, rasa saling percaya terhadap orang lain, kepercayaan terhadap pemerintah, dsb.
 2). Norma Sosial; norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Unsur modal sosial ini dapat berasal dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti hanya kode etik professional. Menurut Fukuyama (2000) norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama. Hasbullah (2005) menyatakan norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat apalagi dalam kehidupan sekarang dan tidak lagi dipandang sebagai modal yang penting di dalam tantanan kehidupan masyarakat setempat.
 Beberapa indikator norma sehubungan dengan pelaku usaha industri tenun dikaitkan dengan budaya setempat, seperti: norma keharmonisan sesuai Tri Hita Karana (THK), kepatuhan terhadap aturan (awig-awig) yang ada, kemudahan mencari bantuan modal, kemudahan memperoleh bantuan pembinaan kewirausahaan (manajemen), dsb. Dalam hal ini, Konsep THK merupakan konsep harmonisasi hubungan yang selalu dijaga masyarakat Hindu Bali meliputi: parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan antar-manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan) yang bersumber dari kitab suci agama Hindu Baghawad Gita. Oleh karena itu, konsep THK yang berkembang di Bali, merupakan konsep  nilai kultur (budaya) lokal yang telah tumbuh, berkembang dalam tradisi masyarakat Bali, dan bahkan saat ini telah menjadi landasan falsafah bisnis, filosofi pengembangan pariwisata, pengaturan tata ruang, dan rencana stratejik pembangunan daerah. (Windia dan Ratna, 2011).
 3). Jaringan Kerja; modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan terletak pada kecendrungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi serta membangun jaringannya agar mampu membuat modal sosial berperan. Beberapa indikator jaringan kerja yang berhubungan dengan pelaku usaha industri tenun, seperti: kepadatan atau partisipasi dalam kegiatan bersama, kerjasama dengan teman/ karyawan dalam satu usaha (bonding), kerjasama pada sesama pelaku usaha lain (bridging), kerjasama dan bantuan dari pemerintah (linking), dsb

Modal Sosial dalam Pembangunan dan Kesejahteraan (skripsi dan tesis)

Pembangunan yang dialakukan seluruh negara di dunia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tidak hanya dipandang dari sisi ekonomi tetapi juga mencakup kesejahteraan lainnya seperti kebebasan sipil, kebebasan dari tindak kejahatan, lingkungan hidup yang bersih serta kondisi penduduk yang sehat secara fidik dan mental (OECD, 2011). Lebih jauh dijelaskan bahwa kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:
 (1) modal alam,
 (2) modal fisik, dan
(3) modal manusia dan modal sosial.
Modal alam, fisik dan manusia dikenal dengan modal tradisional pembangunan, sedangkan modal sosial erat kaitannya modal  manusia. Jika modal manusia mewakili pengetahuan, keterampilan dan kesehatan, maka modal sosial merujuk pada rasa percaya, norma dan jejaring yang memfasilitasi kerjasama antar manusia di dalam maupun antar kelompok. Modal sosial terbentuk dari hubungan sosial antar manusia, sehingga besaran modal sosial tergantung dari kapabilitas sosial tiap individu. Kapabilitas sosial mempunyai peran yang sama penting dengan modal pembangunan lainnya (OECD, 2011). Ini yang menyebabkan modal sosial sering dianggap sebagai perekat yang memungkinkan modal pembangunan lainnya berkerja secara efektif dan efisien. Modal sosial bersama modal manusia secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia, tetapi keduannya juga berperan melalui modal pembangunan lainnya dalam bentuk kapabilitas manusia dan sosial.
Narayan and Pritchett ( 1999) menjelaskan lima mekanisme bagaimana modal sosial mempengaruhi hasil pembangunan, yaitu.
1) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memantau kinerja pemerintah, baik karena pejabat pemerintah lebih tertanam dalam jaringan sosial atau karena memantau penyediaan layanan publik seperti barang publik;
2) Meningkatkan kemungkinan tindakan kooperatif dalam memecahkan masalah dengan elemen lokal yang dimiliki oleh umum;
 3) Memfasilitasi difusi inovatif dengan meningkatkan keterkaitan individu;
4) Mengurangi ketidaksempurnaan informasi dan memperluas jangkauan penegakan mekanisme, sehingga meningkatkan transaksi dalam output, kredit, tanah dan pasar tenaga kerja;
5) Meningkatkan asuransi formal ( atau jaring pengaman informal) antara rumah tangga, sehingga memungkinkan rumah tangga untuk mengejar keuntungan yang lebih tinggi, walaupun lebih berisiko, aktif dalam kegiatan dan teknik produksi.
Sementara itu Cullen and Kratzmann (2000) menyatakan bahwa kehadiran modal sosial dapat membantu meningkatkan penggunaan manusia, alam, modal fisik, dan modal keuangan. Dalam hal ini, modal sosial dapat menyebabkan manajemen pembangunan yang lebih efisien dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan demikian, modal sosial dapat menjadi agen mediasi antara bentuk-bentuk modal, memperkuat dan meningkatkan efek yang terjadi. Di sisi lain, rendahnya tingkat modal sosial cenderung mengarah pada mengecilnya manfaat bentuk-bentuk modal yang lain bagi masyarakat secara keseluruhan.
The World Bangk Group (2011), memaparkan bukti-bukti yang menunjukkan modal sosial merupakan kontributor potensial untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi metode dan alat pengukuran modal sosial yang relevan. Hal ini sangat menarik karena modal sosial terdiri dari konsep-konsep seperti kepercayaan, norma-norma dalam komunitas, dan jaringan yang sulit untuk diukur. Tantangannya meningkat ketika muncul permasalahan pencarian alat ukur yang mampu untuk mengukur bukan hanya kuantitas tetapi juga kualitas dari modal sosial pada berbagai skala. Sejumlah peneliti modal sosial mengidentifikasi metode dan alat yang dapat mengukur dan memenuhi syarat agar modal sosial dapat digunakan oleh pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingan, sehingga memungkinkan untuk menganalisis dampak yang ada dan menciptakan modal sosial baru yang bisa menguntungkan bagi masyarakat miskin dan bangsa

Dimensi Modal Sosial (skrpsi dan tesis)

Akhirnya, pengelompokan sumber dan dimensi modal sosial sangat dipengaruhi oleh metoda pendekatan yang digunakan dalam pengukuran modal sosial. Mengacu dari pembahasan konsep modal sosial, dalam penelitian ini digunakan tiga kelompok utama sebagai refleksi modal sosial, yaitu :

 (1) Rasa percaya,
(2) Norma/etika, dan
 (3) Jaringan Kerja.
1) Rasa Percaya
 Dasar perilaku manusia dalam membangun modal sosial adalah rasa percaya, melalui moralitas yang tinggi. Manusia dapat hidup damai bersama dan berinteraksi satu sama lain, memerlukan aktivitas kerjasama dan koordinasi sosial yang diarahkan oleh tingkatan moralitas. Kasih sayang dalam keluarga dilandasi oleh rasa saling percaya antar individu, sedangkan rasa percaya menjadi alat untuk membangun hubungan. Adanya hubungan lebih luas yang harmonis akan mampu menekan biaya transaksi dalam hal komunikasi, kontrak dan kontrol. Rasa percaya merupakan sikap yang siap menerima resiko dan ketidakpastian dalam berinteraksi. Kerjasama yang baik dimulai dari rasa percaya yang tinggi terhadap seseorang, semakin tebal rasa percaya terhadap orang lain akan semakin kuat jalinan kerjasama yang terbentuk. Kepercayaan sosial akan muncul dari interaksi yang didasari oleh adanya norma dan jaringan kerja pada pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi tersebut.
Aktivitas memonitor perilaku orang lain agar sesuai norma yang dianut dan disepakati tidak akan diperlukan lagi bila sudah terbentuk rasa saling percaya. Tingkat homogenitas (homogenity), komposisi populasi, dan tingkat ketidaksamaan (inequality) akan menentukan tingkatan rasa percaya. Pada daerah dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat ketidaksamaan yang rendah akan memberikan tingkat rasa percaya yang tinggi. Ketuhanan, etika, dan hukum merupakan sumber utama dari rasa percaya, sedangkan penyusunan  kelembagaan dan kekeluargaan menjadi bentuk struktural dari rasa percaya.
Rasa saling percaya dapat tumbuh berdasarkan interaksi intensif antar teman dan keluarga. Rao (2001) menyatakan bahwa rasa saling percaya (mutual trust) berperan penting dalam membangun ekonomi pasar yang sehat. Rasa percaya akan mengurangi gejolak dalam penegakan kontrak dan biaya monitoring sehingga mampu mengefisiensikan biaya transaksi. Kebenaran dan norma akan membangun rasa percaya yang berkelanjutan, tetapi keterbatasan manusia akan sifat rasionalitas cukup berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut. Oleh karena itu, perlu memperluas dan mengintensifkan komunikasi agar selalu tersedia informasi yang benar. Sejumlah penelitian memperlihatkan hasil bahwa rasa percaya berpengaruh positif dan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, demikian pula sebaliknya, keberhasilan peme-rintah dalam pembanguan ekonomi dapat memperkuat rasa percaya sosial masyarakat terhadap pemerintah.
2) Norma/Etika
 Norma sangat berperan mengatur individu dalam suatu kelompok sehingga keuntungan yang dihasilkan setiap individu proporsional dengan usaha yang dilakukan dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini, individu dalam kelompok harus berjuang dalam mencapai tujuan bersama dengan sukarela. Individu dalam kelompok diharapkan lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan individu. Norma merupakan nilai universal yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Fukuyama (1999) menyatakan modal sosial sebagai norma  informal yang bersifat instan dan dapat membangun kerjasama antar dua atau lebih individu. Norma sebagai bagian dari modal sosial dapat dibangun dari norma/etika yang disepakati antar teman. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa, rasa percaya, norma dan komunitas sosial yang terbentuk sangat berkaitan dengan modal sosial yang muncul sebagai hasil dari modal sosial tetapi bukan modal sosial secara fisik.
Menurut Plateau (2000), pembangunan ekonomi yang berkembang telah terjadi manakala tujuan dan nilai-nilai sosial memperoleh ruang yang lebih luas. Prinsip keadilan yang mengarahkan seseorang dalam berperilaku tidak mementingkan diri sendiri, dipandang sebagai norma sosial yang merupakan aturan bagi setiap individu berperilaku bersama dalam suatu kelompok.
3) Jaringan Kerja
Setiap orang memiliki pola tertentu dalam berinteraksi, melakukan pilihan dengan siapa berinteraksi, dan dengan alasan tertentu pula. Jaringan kerja merupakan system pada saluran komunikasi untuk mengembangkan dan menjaga hubungan interpersonal. Biaya transaksi akan muncul sebagai akibat adanya bangunan saluran komunikasi. Nilai-nilai bersama (norma) juga berperan pada keinginan untuk bergabung membentuk jaringan kerja dengan orang lain. Munculnya koalisi dan koordinasi juga disebabkan adanya jaringan kerja. Keputusan melakukan investasi dalam suatu jaringan kerja disebabkan oleh adanya kontribusi saluran komunikasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Interaksi sosial tergantung dari struktur jaringan kerja dan struktur masyarakatnya, sehingga posisi individu pada struktur tersebut menjadi dasar pada evaluasi modal  sosial. Coleman (1988), mengatakan densitas dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan efisiensi penguatan perilaku kerjasama pada suatu organisasi. Modal sosial memberi manfaat pada individu dan jaringan kerja individu itu sendiri. Modal sosial merupakan jumlah dari modal interaksi yang dimiliki sejumlah individu yang terbentuk atas dasar norma yang dianut bersama. Modal sosial mempunyai ekternalitas ekonomi yang positif pada tingkat lokal melalui proses aktivitas aksi bersama (collective action), yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial dan struktur sosial dalam jaringan kerja tertutup. Hubungan sosial tergantung dari tingkat ketertutupan struktur sosial yang sangat penting dalam membangun kepercayaan dan penegakan norma yang efektif.
Woolcock (2000), memaparkan bahwa dalam modal sosial terdapat tiga hubungan, yaitu: (1) modal sosial mengikat (bonding sosial capital), (2) modal sosial menyambung (bridging sosial capital), dan (3) modal sosial mengait (linking sosial capital). Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding), pada umumnya berasal dari ikatan kekeluargaan, kehidupan bertetangga dan persahabatan. Hubungan antar individu dalam kelompok seperti ini mempunyai interaksi yang intensif, antar muka dan saling mendukung. Modal sosial yang bersifat menyambung (bridging), terbentuk dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekuensi yang relatif lebih rendah, seperti kelompok etnis tertentu, kelompok agama, paguyuban, sekaa, atau kelompok sosial lainnya. Sedangkan modal sosial yang bersifat mengait (linking), umumnya terbentuk dari interaksi individu atau kelompok dalam organisasi formal, 36 seperti lembaga politik, bank, klinik kesehatan, sekolah, kelompok tani (subak), kelompok profesi, dsb. Cullen and Kratzmann (2000) juga menyebutkan bahwa ikatan kuat yang mengikat (bonding) banyak terjadi pada hubungan anggota keluarga, tetangga, dan teman-teman dekat. Hubungan ini biasanya berfokus pada hati dan berfungsi sebagai mekanisme perlindungan sosial selama dibutuhkan. Hubungan ini juga bertindak sebagai kendaraan utama untuk transmisi norma-norma perilaku pada anak-anak (sosialisasi) dan mempengaruhi pengembangan sumber daya manusia. Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak-anak sangat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kepercayaan orang lain di luar keluarga. Dinamika keluarga juga mendorong upaya timbal balik dan pertukaran, yang merupakan dua faktor penting lainnya dalam lingkup modal sosial. Dukungan material dan emosional dibagi secara bebas antara anggota keluarga untuk menghasilkan kesediaan secara implisit pada dukungan tersebut (The World Bank, 2011).
Modal sosial bonding menjadi penting dalam difusi informasi, menetapkan norma-norma, mengendalikan penyimpangan, mencipta-kan kondisi saling membantu, dan melindungi kelompok yang rentan. Jenis modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai sumber utama kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi para anggotanya. Namun ikatan yang kuat seperti ini dapat membatasi pertumbuhan ekonomi melalui pemberlakukan hambatan dalam menjalin hubungan eksternal. Hubungan dalam interaksi antar orang-orang dari latar belakang etnis dan pekerjaan yang berbeda membentuk modal sosial menyambung (bridging). Jenis 37 modal sosial ini sangat penting bagi keberhasilan masyarakat sipil karena memberikan kesempatan untuk berpartisipasi, meningkatkan jaringan untuk pertukaran, dan saluran untuk menyuarakan keprihatinan kelompok yang mempengaruhi perubahan. Modal sosial menyambung ini adalah yang paling bermanfaat dalam hal pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan ekonomi masyarakat dan pemerintah yang efektif, secara positif akan meningkatkan peran warga dikaitkan dengan solidaritas, integritas, dan partisipasi (jaringan keterlibatan masyarakat). Jaringan kerja masyarakat yang terjadi melalui ikatan dan norma asih-asuh timbal balik akan memperkuat sentimen kepercayaan dalam masyarakat dan juga berfungsi untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dan organisasi sosial. Modal sosial mengait (linking) mengacu pada sifat dan tingkat hubungan vertikal antara kelompok-kelompok orang yang memiliki saluran dan akses terbuka, sumber daya, dan kekuasaan atau pemerintah. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat juga tercakup dalam hubungan modal sosial. Sektor publik (yaitu : negara dan lembaga-lembaga) sangat berperan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Undang-undang dan peraturan pemerintah menentukan dimensi ruang yang tersedia untuk masyarakat sipil, yang memungkinkan untuk berkembang atau mati/layu. Kehadiran modal sosial tidak selalu berarti adanya hubungan inklusif dalam masyarakat. Pendapatan dan kesenjangan kekayaan (linking yang lemah), ketegangan rasial dan etnis (bridging yang rendah), dan perbedaan dalam partisipasi politik serta keterlibatan masyarakat yang lemah (bonding yang lemah), semuanya berhubungan dengan kurangnya kohesi sosial. Kohesi sosial yang tinggi/kuat dapat ditunjukkan 38 dengan tingkat kepercayaan yang kuat dan norma timbal balik bagi kelompokkelompok dengan ikatan (bonding) yang kuat, banyaknya bridging yang harmonis, dan adanya mekanisme pengelolaan konflik (demokrasi responsif, peradilan yang independen, dll ) melalui hubungan antar kelompok termasuk pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, kohesi sosial mencerminkan adanya hubungan terintegrasi, baik hubungan horizontal (bonding dan bridging ) maupun hubungan secara vertikal dengan modal sosial linking (Gambar 2.1) .

Diagram menggunakan segitiga untuk menggambarkan hubungan antara kohesi (kerapatan) sosial terhadap modal sosial, yang meliputi :
 a. Tiga titik pada segitiga, yaitu :
(1) Linking (hubungan vertikal);
 (2) Bonding (keluarga, agama, dan etnis); dan
(3) Bridging (hubungan lintas sektoral)
b. Tiga posisi pada sisi segitiga, meliputi :
 (1) Kohesi sosial rendah (sisi segitiga antara linking dan bonding), yang terdiri dari kondisi: pengecualian, penindasan dan otoriter, ketimpangan/ketidakadilan, korupsi dan birokrasi yang tidak efisien, dan masyarakat tertutup;
 (2) Kohesi sosial yang tinggi (sisi segitiga antara linking dan bridging), yang terdiri dari kondisi : Inklusif, supremasi hukum dan demokrasi, akses dan kesetaraan kesempatan; serta efisiensi dengan birokrasi yang tidak korup; dan
(3) Hubungan modal sosial horisontal (sisi segitiga antara bonding dan bridging).

Sisi Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Analisis modal sosial dapat dilihat dari dua sisi yaitu:

 1) tingkatan analisis yang digunakan dan
 2) manifestasi modal sosial yang diteliti. Point pertama, memandang modal sosial dari level mikro samapai dengan makro.
Point kedua, memperluas jangkauan modal sosial dari menifestasi struktural ke kognitif (BPS Pusat, 2013a). Pada point pertama, modal sosial level mikro meliputi individu, rumah tangga, atau masyarakat dalam kominutas tertentu. Pada level ini modal sosial tercermin dari hubungan horizontal. Interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial pada komunitas tertentu akan menjamin kepatuhan terhadap norma, nilai, dan resiprositas antar manusia. Jejaring sosial yang terbentuk akan menciptakan eksternalitas yang bisa positif atau negatif bagi komunitas secara keseluruhan. Modal sosial pada level meso memandang modal sosial secara lebih luas baik pada hubungan horizontal maupun vertikal di dalam kelompok ataupun antar kelompok. Hubungan vertikal dilakukan terhadap pemilik otoritas/kekuasaan yang lebih tinggi sebagai akibat dari struktur sosial dalam kelompok. Pandangan ini sesuai dengan konsep modal sosial dari Coleman (1998). Pada level makro, modal sosial merujuk pada hubungan sosial yang sangat luas meliputi lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan memungkinkan norma untuk berkembang. Modal sosial dipandang sebagai pembentuk utama hubungan antar institusi formal (pemerintah maupun non pemerintah) dan tata kelola yang dianut (politik, hukum, peradilan, kebebasan politik dan sipil). Pada point kedua, manifestasi modal sosial dapat dilihat dari variabel yang digunakan untuk membangun indikator modal sosial. Modal sosial struktural mengacu  pada wujud yang lebih mudah dan nyata terlihat, seperti: institusi lokal, organisasi, dan jaringan antar orang, berdasarkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, politik, atau tujuan lain. Sedangkan modal sosial kognitif mengacu pada wujud yang lebih abstrak seperti rasa percaya, norma, dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antar orang-orang dalam mencapai tujuan bersama. Pengukuran kelompok/organisasi dapat diamati secara langsung berdasarkan ukuran keanggotaannya, intensitas pertemuan dan kegiatan. Dalam hal ini, norma dan rasa percaya harus diperhatikan secara tidak langsung melalui persepsi masyarakat yang bertindak menurut kepatuhannya terhadap norma yang berlaku. Modal sosial struktural dan kognitif saling melengkapi, dimana struktur organisasi membantu menerjemahkan norma dan keyakinan ke dalam daerah perilaku tujuan sehingga berorientasi adanya koordinasi.
Partisipasi masyarakat jarang terjadi secara spontan, melainkan melibatkan persiapan sosial yang memerlukan proses :
(1) mengumpulkan informasi tentang keadaan dan sumber daya yang ada;
(2) analisis situasi;
(3) pemilihan prioritas tindakan;
(4) bergabung bersama-sama ke dalam kelompok atau organisasi yang mereka pilih sendiri; dan
 (5) bekerja dengan sarana untuk menerapkan persiapan.
Persiapan sosial membutuhkan pola yang sistematis dalam konteks aksi-refleksi-reaksi, yang merupakan praktek inti dalam dasar pembangunan partisipatif

Bentuk Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Tiga bentuk dari modal sosial menurut Coleman (1998), yaitu :

 (1) Struktur kewajiban (obligations), ekspektasi, dan kepercayaan. Dalam konteks ini, bentuk modal sosial tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Perspektif ini memperlihatkan bahwa, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan rasa saling percaya yang tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi sebaliknya,
 (2) Jaringan informasi (information channels). Informasi sangatlah penting sebagai basis tindakan, tetapi harus disadari bahwa informasi itu mahal dan tidak gratis. Tentu saja, individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi, demikian pula sebaliknya, dan
 (3) Norma serta sanksi yang efektif (norms and effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk memperoleh prestasi (achievement) tentu saja bisa digolongkan sebagai bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda dan berpotensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu seoptimal mungkin.

Konsep Modal Sosial (skripsi dan tesis)

 Berkembangnya ilmu ekonomi kelembagaan dalam pembangunan ekonomi yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE), muncul sebagai akibat adanya aksi kolektif (collective action), biaya transaksi (transaction cost), dan rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, masalah koordinasi, dan perkembangan teknologi. Dalam NIE, informasi pasar yang sempurna dan simetris, ketiadaan biaya transaksi, dan rasioanlitas yang tidak terbatas sebagai asumsi neo-klasik sudah dianggap tidak relastik lagi dan justru menjadi lebih longgar. Teori modal sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Bourdieu pada tahun 1972 dan Coleman tahun 1988 (Hauberer, 2011). Definisi mendasar yang diperkenalkan adalah modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam hubungan sosial. Individu yang terlibat dalam hubungan sosial dapat mempergunakan sumber daya sosial ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sejumlah intelektual menggunakan teori modal sosial sebagai salah satu bahan diskusi penting yang mempertemukan berbagai disiplin ilmu.
Berbeda dengan dua modal lainnya yang lebih dulu popoler dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), modal sosial akan berfungsi jika sudah berinteraksi dengan struktur sosial. Modal ekonomi yang dimiliki  seseorang/perusahaan mampu melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia. Sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni bila keberadaannya tidak muncul akan membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih. Sejumlah definisi tentang modal sosial dipaparkan oleh para ahli, misalnya :
1. Uphoff dalam Hobbs (2000) yang menyatakan bahwa modal sosial dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerjasama.
2. Putnam (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kelembagaan sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan.
 3. Hobbs (2000), menyatakan modal sosial sebagai fitur organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma (etika timbal balik), dan jaringan (keterlibatan sipil), yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Secara luas disepakati bahwa fasilitas modal sosial yang saling menguntungkan adalah aksi kolektif.
4. Bank Dunia (2000) dalam www.worldbank.org, menyatakan modal sosial sebagai aturan, norma, kewajiban, dan kepercayaan yang tertanam dalam hubungan sosial, struktur sosial, serta pengaturan kelembagaan masyarakat yang memungkinkan anggota untuk mencapai tujuan individu dan komunitas.
 Pandangan terbaru The Worl Bank Group (2011), menyatakan bahwa cakupan lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan norma-norma lebih memungkinkan untuk berkembang. Analisis ini memperluas pentingnya modal sosial untuk hubungan kelembagaan yang paling formal dan terstruktur, seperti: pemerintah, rezim politik, aturan hukum, sistem pengadilan, serta kebebasan sipil dan politik.
Pandangan ini tidak hanya memaparkan kebajikan dan keburukan modal sosial, serta pentingnya menempa hubungan antar personal dan di masyarakat, tetapi mengakui bahwa kapasitas berbagai kelompok sosial untuk bertindak sesuai dengan kepentingan mereka sangat bergantung pada dukungan atau ketiadaan yang yang mereka terima dari negara serta sektor swasta. Pembangunan ekonomi dan sosial tumbuh subur ketika perwakilan dari negara, sektor korporasi, dan masyarakat sipil membuat forum, dan melalui forum diupayakan menjadi sarana untuk mengidentifikasi dan mengejar tujuan bersama. Berdasarkan konsep dan pandangan tentang modal sosial seperti diungkapkan sejumlah pakar, maka dalam penelitian ini digunakan konsep modal sosial sebagai jaringan bersama dengan norma, rasa percaya dan pemahaman yang memfasilitasi kerja sama diantara atau antar kelompok. Modal sosial mengacu pada lembaga, hubungan, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat. Modal sosial baru dapat diimplementasikan bila telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial. Modal sosial berhubungan dengan norma atau jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kolektif. Hal ini  berimplikasi, bahwa modal sosial lebih memfokuskan kepada sumber (sources) daripada konsekuensi atas modal sosial itu sendiri. Deskripsi tentang modal sosial, seperti kepercayaan, norma dan hubungan timbal-balik, dikembangkan sebagai sebuah proses yang terus-menerus.

Kerumunan (Crowd) (skripsi dan tesis)

 

Kerumunan (crowd) merupakan kelompok sosial yang relatif tidak teratur. Dalam suatu kerumunan sering terjadi banyak hal mengenai interaksi yang bersifat sementara, spontan dan tidak terduga Bahkan menjadikan kedudukan sosial seseorang menjadi sama dengan orang lain yang hadir dalam kerumunan itu sendiri. (Soerjono Soekanto, 2010:129) Kerumunan itu sendiri apabila dilihat dari artikulasi dengan struktur sosial terbagi menjadi dua, yaitu :
 a. Formal Audience Khalayak penonton atau pendengar yang formal (formal audience) merupakan kerumunan-kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan persamaan tujuan, tetapi sifatnya pasif. Contohnya adalah penonton film, orang-orang menghadiri khotbah keagaaman.
b. Planned Expressive Group Kelompok ekspresif yang telah direncanakan (planned expressive group) adalah kerumunan yang pusat perhatiannya tak begitu penting, tetapi mempunyai persamaan tujuan yang tersimpan dalam aktivitas kerumunan tersebut serta kepuasan yang dihasilkannya. Fungsinya adalah sebagai penyalur keteganganketegangan yang dialami orang karena pekerjaan sehari-hari. Contoh orang-orang yang berpesta, berdansa dan sebagainya (Soerjono Soekanto. 2010:130). Suporter sepakbola terdiri dari ratusan bahkan ribuan aktor didalamnya, maka tak heran apabila suporter merupakan kerumunan yang ada dalam stadion ketika ada tim yang bertanding. Bagaimana 23 cara-cara suporter dalam menunjukkan eksistensi mereka dapat diketahui dengan teori kerumunan tersebut

Konsep Suporter (skripsi dan tesis)

Kata ‘suporter’ berasal dari kata kerja (verb) dalam bahasa Inggris to support dan akhiran (suffict) –er. To support artinya mendukung, sedangkan akhiran –er menunjukkan pelaku. Jadi suporter dapat diartikan sebagai orang yang memberikan suport atau dukungan (Suryanto. 2011 dalam suryantopsikologi.wordpress.com). Sementara itu suporter adalah orang yang memberikan dukungan, sehinga bersifat aktif. Di lingkungan sepakbola, suporter erat kaitannya dengan dukungan yang dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme terhadap tim. Jika manajer adalah otak tim, pemain adalah energi tim, maka suporter adalah inspirator permainan. Tidak salah apabila mereka sering disebut pemain ke 12 (Ubaidillah Nugraha. 2008 : 53).
 Ada beberapa hal yang membedakan antara suporter sepakbola dengan suporter cabang olahraga lain. Misalnya dari segi jumlah dan penampilan. Dari segi jumlah, suporter sepakbola jauh lebih banyak daripada suporter olahraga lain. Selain karena popularitasnya, juga karena kapasitas tempat (stadion) yang cenderung lebih besar daripada olahraga lainnya. Dari segi penampilan, suporter sepakbola dikenal lebih fanatik dan atraktif dalam mendukung suatu kesebelasan. Fanatisme ataupun sikap atraktif bisa dilihat dari atribut yang mereka gunakan dan juga yelyel atau lagu yang mereka tampilkan di stadion (Anung Handoko. 2007: 33). Suporter merupakan kelompok sosial yang terbentuk karena ada minat yang sama dalam diri setiap anggotanya untuk mendukung tim yang dibanggakannya (Bimo Walgito, 2010:11). Sementara itu kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soerjono Soekanto, 2010: 104).

Komponen Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Modal sosial pada penelitian ini cenderung melihat pada bagaimana kelompok sosial pada suporter terakomodir melalui tiga bentuk yaitu melalui norma, jaringan, dan kepercayaan.

a) Konsep Norma (Norms)
Dasar pengertian norma yaitu memberikan pedoman bagi seseorang untuk bertingkah laku dalam masayarakat. Kekuatan mengikat norama-norma tersebut sering dikenal dengan empat pengertian antara lain cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom) (Soerjono Soekanto. 2010: 174). Kelompok sosial seperti pada suporter sepakbola dalam hal ini adalah Paserbumi tentu juga memiliki norma sebagai pedoman bagi anggota didalamnya, maka pada penelitian ini ingin mengungkap seberapa kuat suatu norma itu berfungsi serta memberikan pengaruh terhadap tingkah laku anggota Paserbumi. Apabila dilihat dari bentuknya maka norma terbagi menjadi dua macam yaitu norma tertulis dan norma tidak tertulis, maka pembahasan norma pada penelitian ini melihat bagaimana kedua bentuk norma tersebut mampu mengorganisir seluruh anggota maupun pengurus pada Paserbumi
b) Konsep Kepercayaan (Trust)
Taqiudin Subki (2011: 17) dalam makalahnya mengutip dari Fukuyama menyampaikan bahwa kepercayaan (trust) muncul jika di suatu kelompok terdapat nilai (shared value) sebagai dasar dari kehidupan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Eric M Uslaner dalam Handbook of Social Capital membedakan kepercayaan menjadi dua, yaitu kepercayaan moralistik dan kepercayaan strategis. Kepercayaan moralistik adalah pernyataan tentang bagaimana orang harus bersikap. Sementara itu kepercayaan strategis mencerminkan harapan kita tentang bagaimana orang akan berperilaku (Castiglione, 2007: 103). Kepercayaan moralistik merupakan keyakinan bahwa orang lain memiliki nilai-nilai dasar moral dan karena itu harus diperlakukan seperti kita ingin diperlakukan oleh mereka. Nilai-nilai tersebut dapat disampaikan bervariasi dari satu orang ke orang lain. Hal terpenting adalah rasa koneksi dengan orang lain karena kita melihat mereka sebagai anggota komunitas kita sendiri yang kepentingannya harus ditanggapi dengan serius. Bukan berarti kepercayaan strategis bersifat negatif akan tetapi didasarkan pada ketidakpastian (Castiglione, 2007: 103). Dari konsep tersebut maka modal sosial berupa kepercayaan (trust) dalam keanggoatan Paserbumi termasuk dalam moralistik ataukah strategis, bila dilihat dari perkembangan Paserbumi yang mengalami pasang surut ditengah konflik dualisme liga.
 c) Konsep Jaringan (Networks)
 Jaringan ialah sekelompok orang yang memiliki norma-norma atau nilai-nilai informal di samping norma-norma atau nilai-nilai yang diperlukan untuk transaksi biasa di pasar (Fukuyama, 2005: 245). Jaringan (net-work) sosial adalah ikatan antarsimpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan antarmedia (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat oleh kepercayaan, bentuk strategis, dan bentuk moralitas. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat pihak-pihak yang berinteraksi (Agus Salim. 2008: 73). Jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, di mana ‘ikatan’ yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia (person) (Ruddy Agusyanto. 2007: 13). Hubungan sosial bisa dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu orang (titik) dengan orang-orang lain di mana melalui jalur atau saluran tersebut bisa dialirkan sesuatu (Ruddy Agusyanto. 2007: 14). Dari beberapa definisi diatas maka jaringan sosial adalah suatu ikatan atau hubungan sosial antar manusia yang salin berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Conseptualisation of the wider benefits of learning yang dikemukakan oleh Schuller juga mencamtumkan mengenai jaringan/teman ke dalam konsep tersebut, sehingga jaringan/teman juga mempunyai peran yang penting dalam suatu modal, baik modal manusia, modal sosial maupun modal identitas (Schuller, 2004: 11) Jaringan sosial meliputi aktor/node (individu) sebagai pelakunya yang kemudian berhubungan sosial baik dengan individu lain ataupun kelompok bisa dikatakan sebagai ikatan atau ties. Nan lin menjelaskan bahwa aktor/kelompok dalam jaringan sosial saling terikat untuk mencapai tujuan tertentu (Castiglione, dkk. 2007: 64). Terkait dengan suporter Paserbumi ialah bagaimana suporter sebanyak itu dapat terkoordinir menjadi sebuah jaringan padahal secara tidak langsung interaksi diantara mereka tidak terlalu intensif, namun apabila tim Persiba berlaga dukungan terus digulirkan oleh Paserbumi. Analisis Steven N. Durlauf mengenai membership, bahwa dalam suatu keanggotaan apabila mempunyai ikatan (ties) yang kuat dengan yang lainnya, maka dia akan mudah untuk mengakses sumber daya kelompok itu sendiri, seperti halnya membuat keputusan dan cenderung mengecualikan mereka yang bukan anggota (Castiglione, dkk. 2007: 595). Membership group merupakan suatu kelompok di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut (Soerjono Soekanto. 2010: 123). Membership (keanggotaan) pada suporter Paserbumi terkait dengan munculnya dualisme kompetisi masihkah tetap stabil, mengingat dualisme tersebut merupakan salah satu penyebab pecahnya beberapa suporter di tim sepakbola lain

Multikulturalisme (skripsi dan tesis)

Masyarakat mengenal kata multikulturalisme sebagai sesuatu yang beraneka ragam. Terdapat tiga pengertian tentang multikulturalisme menurut Liliweri, yaitu :
1. Multikulturalisme adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan dengan makna yang saling berkaitan. Pertama, multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi. Kedua, multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Hal ini beralasan karena, bagaimanapun juga semua kelompok etnik atau suku bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan dan pembangunan bangsa.
 2. Sebagian besar negara, multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diintroduksi ke dalam pemerintahan agar pemerintah dapat menjadikannya sebagai kebijakan pemerintah. Rasionalisasi masuknya multikulturalisme dalam perumusan kebijakan pemerintahan karena hanya pemerintah yang dianggap sangat representatif ditempatkan di atas kepentingan maupun praktik budaya dari semua kelompok etnik dari suatu bangsa. Akibatnya setiap kebijakan pemerintah diharapakn mampu mendorong lahirnya sikap apresiasif, toleransi, prinsip kesetaraan antara berbagai kelompok etnik termasuk kesetaraan bahasa, agama, maupun praktik budaya lainnya.
3. Pendidikan multikulturalisme (multicultural education). Multikulturalisme merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keragaman latar belakang kebudayaan dari peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat sekurangkurangnya dari sekolah sebagai lembaga pendidikan, dapat terbetuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, keseimbangan dan demokrasi dalam artian luas (Liliweri, 2005:68). Perkembangan masyarakat yang modern belakangan ini menumbuhkan semangat para kaum minoritas untuk menuntut pengakuan atas identitas dan kebudayaan mereka yang berbeda. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas beragam kelompok sosial dengan sistem norma dan kebudayaan yang berbeda. Masyarakat multikultural merupakan bentuk dari masyarakat modern yang anggotanya terdiri dari berbagai golongan, suku, etnis, ras, agama, dan budaya.
Penguatan dan pengembangan wawasan multikulturalisme diyakini bisa menjadi alternatif terhadap penguatan politik identitas. Sebab, dalam perspektif multikulturalisme, keragaman dan perbedaan tidak saja diakui, tapi juga dirayakan sebagai berkah kehidupan. Dalam menyelesaikan segala macam persoalan, multikulturalisme menawarkan dialog, keterbukaan, sikap toleran dan penolakan terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan. Dalam hal ini, multikulturalisme adalah titik tolak bagi terciptanya perdamaian. Menurut Parekh dalam Munir, terdapat lima macam multikulturalisme, yaitu sebagai berikut :
1. Multikulturalisme isolasionis yang mengacu pada kehidupan masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok kultural secara otonom. Keragaman diterima, namun masing-masing kelompok berusaha mempertahankan identitas dan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat umum lainnya.
2. Multikulturalisme akomodatif yaitu sebuah masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, namun yang dominan juga memberikan ruang bagi kebutuhan kultur yang minoritas. Antara yang dominan dan minoritas saling hidup berdampingan, tidak saling menentang dan tidak saling menyerang. Jembatan akomodasi tersebut biasanya dengan merumuskan dan menerapkan hukum, undang-undang atau peraturan lainnya
. 3. Multikulturalisme otonomis, dalam masyarakat ini, setiap kelompok masyarakat kultur berusaha mewujudkan equality (kesetaraan) dengan budaya yang dominan serta berusaha mencapai kehidupan otonom dalam kerangka politik yang dapat diterima secara kolektif. Tujuan akhir dari kelompok ini adalah setiap kelompok dapat tumbuh eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal dan interaktif. Dalam masyarakat ini mengutamakan upaya tercapainya kultur kolektif yang dapat menegaskan dan mencerminkan perspektif distingtif mereka. Dalam pelaksanaannya, biasanya terjadi pertentangan antara kelompok dominan dengan kelompok minoritas.
5. Multikulturalisme kosmopolitan. Dalam masyarakat ini akan berusaha menghilangkan sama sekali batas-batas kultur sehingga setiap anggota secara individu maupun kelompok tidak lagi terikat oleh budaya tertentu. Kebebasan menjadi jagoan utama dalam keterlibatan dan eksperimen pengetahuan intelektual serta mengembangkan kehidupan kulturalnya masing-masing secara bebas (Munir, 2008: 110).
 Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang berbeda dalam kelompok sosial, budaya, dan suku. Meskipun berbeda kelompok sosial, budaya, dan sukunya, masyarakat multikultural sangat menjunjung tinggi perbedaan serta hak dan kewajiban dari setiap perbedaan yang ada. Masyarakat multikultural sangat memperjuangkan kesederajatan kelompok minoritas dan mayoritas baik secara hukum maupun sosial. Multikulturalisme adalah suatu gerakan pembacaan untuk penyadaran terhadap bentuk-bentuk penghargaan atas perbedaan yang di dalamnya politik identitas bisa lebih leluasa bermain (Abdilah S, 2002). Relevansinya dengan konteks Malaysia adalah bahwa Malaysia merupakan sebuah negara dengan masyarakat yang terdiri dari bergam suku, etnis, budaya, dan agama yang berbeda yang ingin disatukan menjadi satu kesatuan. Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan jika multikulturalisme menurut peneliti adalah keanekaragaman masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial, budaya, etnis dan agama yang berbeda yang harus dijunjung tinggi serta diperlakukan sama di dalam kehidupan bermasyarakat maupun di dalam pemerintahan. Masyarakat multikultural tidak bedanya dengan masyarakat yang plural, yaitu masyarakat yang hidup dengan segala perbedaan. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu menampung seluruh perbedaan yang ada secara sama, sehingga mampu membentuk integrasi sosial yang baik di dalam kehidupan bermasyarakat.

Politik Identitas (skripsi dan tesis)

Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep yang menjadi basis untuk pengenalan sesuatu hal. Kita akan mengenali sesuatu halnya itu kalau kita tahu identitasnya. Ini juga akan berarti bahwa kalau kita mengenali identitas sesuatu hal, maka kita akan memiliki pengetahuan akan sesuatu halnya itu. Politik identitas merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh. Dalam filsafat sebenarnya wacana ini sudah lama muncul, namun penerapannya dalam kajian ilmu politik mengemuka setelah disimposiumkan pada suatu pertemuan internasional Asosiasi Ilmuwan Politik Internasional di Wina pada 1994 (Abdilah, 2002: 16).

 Identitas menurut Jeffrey Week adalah berkaitan dengan belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan yang lain. Pendapat Jeffrey Week tersebut menekankan pentingnya identitas bagi tiap individu maupun bagi suatu kelompok atau komunitas (Widayanti, 2009: 14). Namun demikian, sebenarnya akan lebih mudah bila kita memahami konsep identitas ini dalam bentuk contoh. Ketika seseorang lahir, ia tentu akan mendapatkan identitas yang bersifat fisik dan juga non-fisik. Identitas fisik yang terutama dimiliki adalah apakah ia berjenis kelamin pria atau wanita. Sedangkan untuk identitas non-fisik adalah nama yang digunakan, juga status yang ada pada keluarga pada saat dilahirkan. Identitas dalam sosiologi maupun politik biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan (citizenship)). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of bellonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness) (Setyaningrum, 2005: 19). Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identitas” (politica of identity). Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme 16 politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik (Setyaningrum, 2005: 19).

Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka (Widayanti, 2009: 13). Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai identitas dan akan kita pakai dalam pembahasan berikutnya mengenai politik identitas. Menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari „sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas‟. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference) (Setyaningrum, 2005: 26). Identitas selalu melekat pada setiap individu dan komunitas. Identitas merupakan karekteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain supaya orang tersebut dapat dibedakan dengan yang lain. Identitas adalah pembeda antara suatu komunitas dengan komunitas lain. 17 Identitas mencitrakan kepribadian seseorang, serta bisa menentukan posisi seseorang. Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu: 1. Primodialisme. Identitas diperoleh secara alamiah, turun temurun. 2. Konstruktivisme. Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil dari proses sosial yang kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui ikatanikatan kultural dalam masyarakat. 3. Instrumentalisme. Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan (Widayanti, 2009: 14-15). Politik identitas bisa dikatakan terjadi di setiap kelompok atau komunitas, salah satunya yang terjadi dalam serial film Upin dan Ipin. Masing-masing individu yang memiliki identitas pribadi yang berbeda dari suku, etnis dan agama telah bergabung menjadi satu komunitas yang memiliki identitas kolektif. Walaupun mereka memiliki identitas kolektif sebagai warga negara Malaysia yang sah, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka tetap memiliki ego untuk memperjuangkan identitas pribadinya. Disinilah terjadi persaingan antar individu dalam suatu komunitas yang ada dalam film Upin dan Ipin ini. Hal ini disebut sebagai politik identitas. 18 Menurut Cressida Heyes (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007) mendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalamanpengalaman ketidakadilan yang dialami bersama anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu (www.assignmentfilzaty.blogspot.com).

Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang lingkup ideologi atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Dalam hal ini Cressida Heyes beranggapan jika politik identitas lebih mengarah kepada kepentingan terhadap individu atau kelompok yang terpinggirkan dari pada pengorganisasian. Agnes Heller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). Di dalam setiap komunitas, walaupun mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bisa dipungkiri bahwa di dalamya terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing. Hal ini dikarenakan kepribadian dan identitas individu yang berbeda dan unik, sangat mungkin terjadi dominasi antar individu yang sama-sama memiliki ego dan tujuan pribadi. Sehingga menyebabkan pergeseran kepentingan terkait dengan perebutan kekuasaan dan persaingan untuk 19 mendapatkan posisi strategis bagi tiap individu di dalam komunitas tersebut (www.desantara.or.id/politik-identitas-sebagai-modus-multikulturalisme). Jadi dapat disimpulkan bahwa politik identitas menurut peneliti adalah suatu tindakan politik yang dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal etnis, jender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya. Politik identitas sering digunakan untuk merekrut dukungan orang-orang yang termarjinalkan dari kelompok mayoritas

Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Fenomena perubahan sosial dan politik memberikan ruang yang sangat luas bagi berkembangnya varian varian analisis sosial politik yang saling berkaitan, tidak hanya pada lingkup kajian keilmuan tertentu secara eksklusif, tetapi juga melihat pola hubungan antara kepentingan satu keilmuan dengan bidang ilmu yang lainnya. Pada awalnya, pembahasan mengenai konsep modal sosial hanya digunakan dalam ranah ilmu ekonomi yang dimaknai sebagai “sejumlah uang yang diakumulasi yang dapat diinvestasikan dengan harapan akan memperoleh hasil yang menguntungkan dimasa yang akan datang” baru sekitar tahun 1960-an, masih dengan menggunakan perspektif ekonomi, konsep modal sosial berkembang dengan menggunakan manusia dan kapasitasnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keterampilan sebagai alat pelengkap yang bisa mengukur produktivitas dari investasi modal fisik seperti alat produksi.

 Selanjutnya pada kurun waktu 1980-an berkembang diskursus tentang modal sosial dengan cakupan analisis yang lebih luas lagi dengan mengaitkannya pada konsep ilmu sosial yang diperdebatkan pengaruh dari tulisan tulisan Pierre Bourdieu, James Coleman, dan Robert Putnam.Modal sosial selalu membicarakan kualitas hubungan antar manusia, terutama dalam melihat pesatnya perkembangan hubungan asasiasional, Alexis de Tocqueville melihat bagaimana relasi sosial asasiasional yang dibangun memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan demokrasi dan memberikan dukungan bagi kekuatan ekonomi di Amerika. Yang menjadi fokus utama konsep modal sosial adalah bagaimana jaringan sosial menjadi aset yang sangat berharga dan memberi dasar bagi terjadinya kohesi atau kerekatan sosial karena memberikan ruang sekaligus dorongan orang untuk saling terikat satu sama lain untuk saling memberikan manfaat.
Dengan mengutip Putnam (1993), Jhon field mendefinisikan modal sosial sebagai “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi”.45 Norman Uphoff mengaitkan definisi modal sosial dengan konsep aset yang dimaknai sebagai: “Segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif dimasa mendatang lebih efesien, efektif, inovatif dan dapat diperluas/disebarkan dengan mudah, sedangkan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama.” Lebih jauh Uphoff menjelaskan bahwa modal sosial bisa lebih mudah difahami dengan membaginya menjadi

 “Kategori struktural yaitu yang berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringan-jaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari tindakan kolektif, dimana aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial. Sedangkan kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi- norma-norma, nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama.”
Dua kategori diatas tidak bisa dianalisis secara terpisah, karena keduanya saling berkaitan dan menjadi faktor subjektif yang bisa menjelaskan fenomena sosial, struktural ataupun kognitif menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku individu maupun masyarakat walaupun bentuk dari keduanya berbeda. Yaitu kategori struktural lebih bersifat eksternal dan kategori kognitif bersifat internal, sinergi kedua kategori tersebut akan mampu menunjukkan bagaimana modal sosial yang dibentuk dari lingkungan sosial dan politik yang melahirkan norma-norma dapat membangun dan membentuk struktur sosial

Nasionalisme (skripsi dan tesis)

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. James G Kellas memaknai nasionalisme sebagai: “Nasionalism is both an ideology and a form of behaviour. The ideology of nationalism builds on peoples awareness of nation (national self-consciousness) to give a set of attitudes and programme of action, they may be cultural, economic or political. Since ‘nation’ can be defined in ethnic, social, or official sense, so nationalism can take these form also”33 (Nasionalisme merupakan sebuah ideologi dan bentuk perilaku. Ideologi nasionalisme dibangun di atas masyarakat yang memiliki kesadaran berbangsa (kesadaran diri nasional) yang ditunjukkan dengan sikap dan aksi, dalam bentuk budaya, ekonomi atau politik).

 Nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa. Anthony D. Smith mengemukakan nasionalisme sebagai “sebuah ideologi, nasionalisme memiliki sasaran untuk mencapai pemerintahan yang kolektif, penyatuan wilayah, dan identitas budaya, juga kerapkali mempunyai program politik dan budaya yang jelas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.”Pemahaman tersebut berkaitan dengan sasaran nasionalisme itu sendiri yaitu dicapainya otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional yang disatukan dalam sebuah pemahaman mengenai sebuah bangsa yang aktual dan bangsa yang potensial. Komponen utama pembahasan mengenai nasionalisme adalah konsep mengenai bangsa dan kelompok etnis yang menjadi subyek sekaligus obyek dari nasionalisme itu sendiri. Pemahaman mengenai bangsa (nation), seperti yang dikemukakan M.D La Ode dengan mengutip Hans Kohn bahwa: “Nationalism astate of mind, in wich supreme loyality of the individual is felt to be due the nation-satate. A deep attachment to one’s native soil, to local traditions and to established territorial authority has existed in varying strenght throughthout history (Nasionalisme merupakan bentuk tertinggi dari sebuah loyalitas yang dirasakan oleh seorang individu atas sebuah bangsa. Ini juga merupakan sebuah perasaan yang mendalam terhadap tanah asal (kampung halaman) seseorang, tradisi lokal dan otoritas teritorial yang didirikan dan sepanjang sejarah)

 Nasionalisme dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai kelompok etnis atau etnosentris (kesukuan) dipandang sebanding dengan pemaknaan tentang nation atau bangsa. Bedanya adalah bahwa kelompok etnis nyaris dimaknai sama dengan makna nation atau bangsa, sedangkan etnosentrisme lebih berakar dalam perspektif psikologi sosial dari pada makna nasionalisme yang lebih berakar pada dimensi psikologis, namun demikian kelompok lebih memiliki dimensi ideologis dan politis. James G. Kelles melihat korelasi makna nasionalisme dalam konteks kelompok etnis sebagai: “the term ‘ethnic group’ is frequently used to describe a quasi-national kind of ‘minority group’ within the state, wich has somehow not achived the status of nation”(Istilah ‘kelompok etnis’ sering digunakan untuk menggambarkan jenis kuasi-nasional ‘kelompok minoritas dalam negara, yang tidak mencapai status negara). Lebih lanjut Kellas mengatakan bahwa etnisitas bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah namun merupakan sebuh kontruksi yang dibuat oleh negara.
 Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme mengklaim dan menuntut loyalitas dari setiap individu untuk bangsa dan kepentingan nasional sedangkan politik etnis lebih melihat pada komitmen kelompok dan etnis tertentu, Kellas mencoba mengintegrasikan makna politik nasionalisme dan etnisitas sebagai sebuah kesatuan yang bisa digunakan untuk melihat sebuah tatanan politik dari sebuah bangsa. Dalam perkembangannya, nasionalisme ditentukan oleh interaksi politik, ekonomi dan perkembangan budaya. Lebih lanjut Kellas mengemukakan bahwa ada dua aspek yang saling berkaitan mengenai nasionalisme politik, yaitu: pentingnya identitas nasional dan adanya keinginan untuk memperbaiki sistem sosial dan politik dari dominasi seseorang atau kelompok tertentu.Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang. La Ode melanjutkan bahwa dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia (disebut sebagai etnis Cina), nasionalisme dibagun berdasarkan dua nilai substansi fundamental dari makna nasionalisme itu sendiri yaitu nasionalisme kultural dan nasionalisme politik, dimana nasionalisme kultural menjadi manifestasi nilai kultural etnis Tionghoa sebagai asal leluhurnya dan nasionalisme politik merupakan manifestasi nasionalisme sebagai bagian dari rakyat Indonesia, dan uniknya dua substansi fundamental nasionalisme tersebut bisa digunakan secara simultan dan menjadi nilai secara konsisten didalam diri individu atau bisa juga digunakan bergantian tergantung dari kondisi dan perkembangan politik nasiona

Multikulturalisme (skripsi dan tesis)

Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang ditunjukkan dengan tatanan hidup saling berdampingan namun tetap membaur dalam sebuah unit politik. Seperti dicontohkan bagaimana harmonisasi yang terjadi antara masyarakat Cina, India, dan Melayu yang dekat secara geografis namun memiliki budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya namun  mampu bersinergi sebagai kekuatan etnoreligius tanpa menghilangkan identitas kultural masing-masing. Clifford Geertz berkomentar bahwa kemerdekaan nasional merangsang sentimen-sentimen etno religious di negara-negara baru karena termotivasi oleh visi dan misi tentang kemerdekaan yang memperebutkan kontrol atas negara. Karena itu dibutuhkan kekuatan yang lebih besar dari sekedar kekuatan negara yaitu kekuatan masyarakat secara lebih kondusif yang dibangun diatas nilai nilai pluralisme dan multikulturalisme. Masyarakat menjadi ujung tombak dari kontrol yang harus dilakukan terhadap berkembangnya konflik diantara kekuatan-kekuatan kelompok baik yang berbasis etnis maupun agama, karena seiring berkembangnya kapitalisme modern, struktur sosial secara langsung telah membuat kotak-kotak budaya yang ada didukung oleh ekonomi pasar yang seharusnya mampu memperkuat cita-cita demokratis keselarasan sipil dan kewarganegaraan.

 Hal tersebut penting untuk dilakukan untuk memperkuat pembentukkan nation building dengan menggunakan kotak-kotak budaya yang sudah ada atau dengan pembentukkan faksi-faksi baru yang akan muncul seiring dengan berkembangnya kesadaran sosial dan politik masyarakat. Secara sederhana, multikulturalisme dimaknai sebagai pengakuan dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya (misal bahasa-bahasa minoritas), dan pada saat yang bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas yang seringkali tidak seimbang.Cashmore menjelaskan dalam kaitannya dengan kebijakan negara, multikulturalisme bertujuan pada dua hal:
(1). Untuk memelihara keselarasan antara kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam,
(2) untuk menstrukturkan hubungan  antara negara dan minoritas etnik.
 Pembahasan mengenai multikulturalisme selalu dikaitkan dengan konsep konsep kewarganegaran, seperti konsep bangsa, etnis, suku dan rakyat atau penduduk. Secara historis, konsep kebangsaan di Indonesia selalu merujuk pada fenomena tentang ras, keberagaman suku, masa penjajahan, gerakan kemerdekaan. Kymlica menjelaskan konsep kebangsaan ini berawal dari konsep bangsa yang bersifat sosial-budaya-politik, sementara konsep negara lebih berorientasi pada hukum, lebih jauh Kymlica mengemukakan bahwa bagsa adalah komunitas sejarah, yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik

Model Dalam Politik Identitas (skripsi dan tesis)

Dalam menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih dahulu dilakukan identifikasi bagaimana konstruksi sebuah identitas muncul yang menurutnya bisa dilihat dengan 3 model bentukkan identitas, yaitu:

a. Legitimizing identity atau legitimasi identitas, yaitu identitas yang dibangun oleh institusi (penguasa) yang dominan ada dalam kehidupan sosial. Institusi ini menunjukkan dominasinya dengan melekatkan sebuah identitas tertentu pada seseorang atau kelompok.
 b. Resistance identity atau resistensi identitas, yaitu identitas yang dilekatkan oleh aktor aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut dilakukan dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu resistensi dan membentuk identitas baru yang berbeda dari kebanyakan anggota komunitas sosial yang lain, konstruksi identitas inilah yang oleh Coulhoun dimaknai sebagai politik identitas.
c. Project identity atau proyek identitas, konstruksi identitas pada model ini dilakukan oleh aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan membentuk identitas baru untuk bisa mencapai posisi posisi tertentu dalam masyarakat, hal ini bisa terjadi sebagai implikasi dari gerakan sosial yang bisa merubah struktur sosial secara keseluruhan.

Politik Identitas (skripsi dan tesis)

 

Ada beberapa pemahaman yang muncul mengenai pemahaman tentang politik identitas sebagai sebuah teori dalam ilmu politik. Memaknai politik identitas harus dilekatkan pada konsep identitas itu sendiri, yang oleh Suparlan disebut juga sebagai jati diri. Masih menurut Suparlan, identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang dikaitkan dilekatkannya rangkaian ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang menandainya masuk dalam satu kelompok atau golongan tertentu. Sementara Buchari dengan mengutip Jumadi (2009) mengemukakan bahwa konsep identitas secara umum dapat dimaknai sebagai sebuah citra yang membedakan individu atau suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain, hal tersebut dilakukan secara simultan dalam interaksi sosial sampai memunculkan opini tertentu yang berkaitan dengan keberadaan individu atau kelompok tersebut.
 Secara tegas, Cressida Heyes dalam Stanford Encyclopedia of Philosophymendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalamanpengalaman ketidakadilan yang dialami bersama anggota- anggota dari kelompokkelompok sosial tertentu.22Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang lingkup ideologi atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan atas pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Politik identitas seakan-akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensial tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas. Merujuk pada Castells yang mengatakan bahwa identitas merupakan atribut yang melekat kepada seseorang secara kultural, masyarakat Tionghoa di Indonesia secara tegas teridentifikasi sebagai kelompok masyarakat non pribumi yang terpisah dari masyarakat asli Indonesia walaupun dalam diri mereka melekat identitas kesukuan Indonesia seperti Jawa (Cina jawa), Batak (Cina Batak), Manado (Cina manado), Betawi (Cina Benteng), dan lain lain, identifikasi tersebut tidak hanya diberikan oleh orang diluar Tionghoa tetapi dilekatkan pula oleh komunitas mereka sendiri berdasarkan struktur silsilah etnis mereka secara genetik dan budaya nenek moyang. Politik identitas dikalangan orang Tionghoa bisa dengan sangat mudah tampak pada streotip yang ditunjukkan dan menjadi asumsi umum misalnya kebiasaan orang Tionghoa yang hidup berkelompok di wilayah tertentu24 (disebut pecinan), perayaan tradisi yang dilakukan secara bersamaan seperti Imlek dan Cap Go Meh, namun demikian, Castells juga menegaskan bahwa: “Identities can also be originated from dominant institutions, they become identities only when and if social actors internalize them and construct their meaning around this internalization”25Castells mengemukakan bahwa identitas tidak hanya tentang bagaimana individu mengidentifikasi dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana kelompok dominan memberikan klaim dan menginternalisasi seseorang atau kelompok tertentu yang dilekatkan pada ciri-ciri dan streotif yang dilekatkan pada mereka.

Representasi Politik (skripsi dan tesis)

Menurut Nuri Suseno dalam bukunya yang berjudul Representasi Politik, bahwa perkembangan representasi politik dapat diamati sejauh mana keberadaan Negara dalam pelaksanaan demokrasinya yang sangat dipengaruhi oleh perubahan fenomena politik. Viera dan Runciman mengatakan bahwa semua negara modern saat ini merupakan negara perwakilan. Representasi yang secara sederhana diartikan “menghadirkan yang tidak ada atau yang tidak hadir” berubah untuk memahami praktik politik demokrasi (Nuri Suseno, 2013:16). Pada awalnya, menurut Hanna Pitkin representasi sepanjang sejarah tidak ada hubungan dengan demokrasi, ahkan tidak identik dengan demokrasi itu sendiri. Demokrasi dipandang sebagai pemerintahan rakyat sedangkan representasi adalah menghadirkan yang tidak hadir. Tentunya ini sangat berlawanan.Demikian pula yang dikatakan Benard Manin dalam The Principles of Representative Government (1997), pemerintahan perwakilan tidak sama dengan demokrasi (Nuri Suseno, 2013:26). Menurut perspektif Manin dalam melihat state dan civil sebagai representasi politik dari perspektif demokrasi, lembaga yang dipandang sentral didalam pemerintahan perwakilan adalah “election” atau pemilihan dengan distinction.Sehingga dari election lahirlah wakil-wakil politik.

Menurut Hanna Pitkin, dikatakan layak seseorang wakil dalam perspektif demokrasi adalah (1) authorization (otorisasi), (2) substantive acting for (tindakan mewakili dalam artian sesungguhnya), dan (3) accountability (pertanggungjawaban atau penanggunggugatan). Dari sini, paradigma yang semula menentang antara represtasi dengan demokrasi berbeda dapat menemukan benang merahnya (Nuri Suseno, 2013:30-31) Repsentasi politik dari perspektif demokrasi cenderung dinamis, sebagaimana yang diungkap oleh Laura Montanaro. Montanaro melihat representasi politik dari intuisi normative demokrasi, bahwa representasi tidak harus dari election (representasi electoral) tetapi adanya self appointed representation yang berasal dari individu, kelompok masyarakat non pemerintahan (lokal, nasional, atau global). Demokrasi yang inklusif memungkinkan representasi politik yang tereklsusikan untuk hadir dan terwakili diarena pengambilan keputusan. Representasi politik sering dipahami sebagai keterwakilan suatu pihak atas pihak lain. Namun konsep ini bukan berarti menjadi konsep mutlak dari representasi.
Seperti yang tercantum dalam kutipan berikut: …the very notion of representation tells us that the represented is not present. Prevailing conceptual definitions in any period are shaped by its advocates who are themselves formed by their political representation is both contingent and contested, a complex combination of elements that is ill-suited to simple definition or application… (…gagasan representasi menunjukkan bahwa pihak yang direpresentasikan tidak hadir. Definisi-definisi konseptual yang ada dalam suatu periode dibentuk oleh para penganjurnya, mereka sendiri dibentuk oleh konteks dan prioritas politik pada masanya.
Makna representasi politik, dengan demikian, [bersifat] sementara dan dapat diperdebatkan, sebuah kombinasi yang kompleks dari unsurunsur yang kurang cocok bagi definisi atau penerapan yang sederhana…). (Nuri Suseno, 2013:25) Kutipan diatas menunjukan bahwa konsep dari representasi politik tidak mudah dipahami dan didefinisikan secara universal. Hal ini dikarenakan ada banyak perdebatan mengenai makna dari representasi politik. Representasi politik terlalu kompleks dan terdiri dari unsur-unsur yang sukar untuk didefinisikan. Representasi politik tidak hanya seputar wakil dan pihak yang diwakilinya, namun lebih dari itu. Menurut Hanna Pitkin, setidaknya ada 4 pandangan berbeda tentang representasi yakni formal, substantif, simbolis dan deskriptif. Pandangan formal dan deskriptif melihat representasi pada way of acting atau acting for. Sedangan pandangan simbolis dan substantive memandang dari way of being atau standing for. Gambaran representasi dari Pitkin sendiri dianggap representasi tradisonal karena fokus yang kuat pada pemilu baik pada gagasan maupun praktik serta fokus yang kuat pada karakter dan penampilan perwakilan dari wakil disatu sisi dan mengabaikan yang diwakili disisi lainnya (Nuri Suseno, 2013:33-34). Perkembangan representasi dan election haruslah dikaitkan dengan state dan civil serta the people menurut Urbinati. Sehingga diperlukan pembenahan pada institusi- institusi representasi politik. Teori representasi politik ini tidak semata dikaitkan dengan agen-agen atau institusiinstitusi pemerintahan tetapi memandang representasi politik sebagai bentuk proses politik yang terstruktur dalam hubungan diantara institusi- institusi dan masyrakat sehingga dengan demikian tidak terbatas hanya pada pemusyawarahan atau pengambilan keputusan didalam majelis

Politik Identitas (skripsi dan tesis)

Secara teoritis politik identitas menurut Lukmantoro adalah politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari polit ik perbedaan. Politik Identitas merupakan tidakan politis dengan upaya-upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai- nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas tercermin mula dari upaya memasukan nilai- nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan separa tis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu. Sedangkan Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah penandaan aktivitaspolitis (Cressida Heyes, 2007). Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas.Jika dicermati Politik identitas sebenarnya merupakan nama lain dari  biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikkan oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan biologisnya dari suatu titik pandang. Sebagai contoh adalah politik ras dan politik gender. (Hellner, 1994:4).

Menurut Agnes Heller politik identitas adalah gerakan politik yang focus perhatiannya pada perbedaan sebagai satu kategori politik utama. Politik identitas muncul atas kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas partikular, dalam bentuk relasi dalam identitas primordial etnik dan agama. Namun, dalam perjalanan berikutnya, politik identitas justru dibajak dan direngkuh oleh kelompok mayoritas untuk memapankan dominasi kekuasaan. Penggunaan politik identitas untuk meraih kekuasaan, yang justru semakin mengeraskan perbedaan dan mendorong pertikaian itu, bukan berarti tidak menuai kritik tajam. Politik identitas seakanAkan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensialistik tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas. Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). Di dalam setiap komunitas, walaupun mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bias dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing.

Jadi secara umum teori umum politik identitas dan berbagai hasil penelitian menunjukkan, ada dua faktor pokok yang membuat etnis dan agama menjadi menarik dan muncul (salient) untuk dipakai dan berpengaruh dalam proses politik. Pertama, ketika etnis dan agama menjadi faktor yang dipertaruhkan. Ada semacam keperluan untuk mempertahankan atau membela identitas yang dimiliki suatu kelompok. Kedua, ketika proses politik tersebut berlangsung secara kompetitif. Artinya, proses politik itu menyebabkan kelompok-kelompok identitas saling berhadapan dan tidak ada yang dominan, sehingga tidak begitu jelas siapa yang akan menjadi pemenang sejak jauh-jauh hari. Pemilihan umum, termasuk pilkada, adalah proses politik di mana berbagai faktor seperti identitas menjadi pertaruhan. Tinggal sekarang bagaimana aktor-aktor yang terlibat di dalamnya mengelola isu-isu seperti etnis dan agama, menjadi hal yang masuk pertaruhan

Kredibilitas Selebriti Endorser (skripsi dan tesis)

Penggunaan selebriti sebagai endorser sebuah merek memang sudah lama menjadi salah satu cara promosi perusahaan-perusahaan besar untuk menunjang penjualan mereka. Ketenaran selebriti dapat membuat seseorang mudah untuk mengenal sebuah nama merek bahkan juga mengingatnya. Asumsi dasar yang melatarbelakangi penggunaan selebriti endorser adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang selebriti dapat tertanamkan sebagai nilai merek yang diwakili oleh selebriti tersebut yang pada nantinya nilai positif yang ada dalam diri selebriti akan dapat memperkuat posisi merek di mata konsumen, seperti dikutip dari Wijayanti (2010:6): “Endorser sebagai opinion leader yang menyampaikan pesan hingga sampai ke konsumen mengenai produk yang diiklankan. Perusahaan harus memilih endorser yang memiliki kredibilitas, cocok dan sesuai dengan produk yang diiklankan, sehingga iklan tersebut sampai kepada konsumen yang dapat membentuk opini dan mereka akan meneruskan opini tersebut sesuai dengan persepsi masing-masing. Dengan demikian diharapkan akan bertambahnya kesadaran audiens akan adanya produk.”
Penggunaan endorser diharapkan dapat memberikan asosiasi positif antara produk dengan endorser. Selebriti mengilhami merek yang disahkan dengan kepribadian yang sesuai dengan citra populer selebriti (Keller, 2013). Oleh karena itu, citra yang dirasakan dari seorang celebrity endorser secara kognitif mengalir ke merek yang disahkan dan menjadi bagian dari kumpulan asosiasi merek yang disahkan (Keller, 2013). Seorang selebriti yang dianggap oleh konsumen sebagai kredibel membawa asosiasi daya tarik, kepercayaan dan keahlian yang dapat diandalkan (Ohanian, 1990), sehingga secara langsung dan positif menambah pengetahuan konsumen akan merek yang disahkan. Menurut Ohanian (1990) kredibilitas selebriti endorser adalah sejauh mana sumber dipandang memiliki keahlian yang relevan dengan topik komunikasi dan dapat dipercaya untuk memberikan pendapat obyektif tentang subjek. Menurut Goldsmith et al. (2000) kredibilitas selebriti endorser adalah tingkat kepercayaan konsumen kepada sumber dalam memberikan informasi terhadap konsumen.
Ohanian 20 (1990) mengidentifikasi tiga dimensi yang membentuk kredibilitas selebriti yaitu : daya tarik (attractiveness), kepercayaan (trustworthiness), dan keahlian (expertise).
1. Daya Tarik
 Menurut Shimp (2003), daya tarik mengacu pada diri yang dianggap menarik untuk dilihat dalam kaitannya dengan konsep daya tarik. Komunikator yang menarik secara fisik memiliki dampak positif pada perubahan opini serta evaluasi produk (Spry, 2009).
 2. Kepercayaan
 Ohanian (1990) tingkat kepercayaan mengacu pada kepercayaan konsumen kepada sumber untuk memberikan informasi dengan cara yang obyektif dan jujur. Ohanian (1990) mengemukakan bahwa sebuah pesan iklan dapat merubah sikap audiens jika mereka menganggap bahwa pembawa pesan dapat dipercaya.
3. Keahlian
Keahlian menurut Abednia et al., (2011) didefinisikan kemampuan endorser untuk memberikan informasi akurat yang berasal dari pengetahuan, pengalaman, pelatihan atau keterampilan yang dimiliki endorser dalam menyampaikan iklan

Niat Pembelian Konsumen (skripsi dan tesis)

Sebelum konsumen memutuskan untuk membeli dan menggunakan barang atau jasa, pasti konsumen mengalami proses dalam keputusan membeli produk tersebut. Proses pengambilan keputusan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik eksternal maupun internal. Niat merupakan salah satu faktor yang berasal dari 18 dalam diri konsumen yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk melakukan pembelian pada suatu produk barang maupun jasa. Niat pembelian mengacu pada “kemungkinan konsumen akan merencanakan atau bersedia membeli produk atau layanan tertentu di masa depan” (Wu, Yeh, & Hsiao, 2011, hal.32). Peter (2010) niat beli adalah rencana keputusan atau niat untuk membeli produk tertentu atau merek. Peter menganggap bahwa niat beli dapat juga diartikan sebagai niat perilaku yaitu sebuah rencana untuk melakukan tindakan pembelian. Dalam Tuu (2012) menurut Johnson, et al (2006) & Oliver (2009) niat beli merupakan konsep penting dalam literatur pemasaran. Dalam Wu dan Chen (2014) menurut Grewal, et al (1998) niat beli menunjukkan reaksi emosional yang dihasilkan dari evaluasi keseluruhan konsumen terhadap suatu produk serta menunjukkan kemungkinan bahwa konsumen ingin membeli produk. Item pengukuran dari niat pembelian meliputi kemungkinan untuk membeli, niat untuk membeli, dan pertimbangan untuk membeli (Zeithaml, 1988)

Dimensi Ekuitas Merek (skripsi dan tesis)

Dimensi ekuitas merek berbasis pelanggan diuraikan sebagai berikut :

1. Kesadaran merek (brand awareness)
 Menurut Aaker (2000), kesadaran merek adalah kemampuan seseorang untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek yang merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran merek adalah kondisi yang diperlukan untuk membentuk ekuitas merek, tanpa kesadaran merek konsumen tidak dapat memiliki asosiasi merek, persepsi kualitas dan loyalitas merek (Pappu dan Quester, 2006).
2. Asosiasi merek (brand associations)
Menurut Aaker (1991) asosiasi merek adalah segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi merek berhubungan dengan informasi tentang apa yang ada dalam pikiran pelanggan tentang merek, baik positif maupun negatif, terhubung dengan simpul memori otak (Emari et al., 2012). Asosiasi merek bertindak sebagai alat pengumpulan informasi untuk mengeksekusi diferensiasi merek dan perluasan merek (Osselaer dan Janiszewski, 2001). Semakin tinggi asosiasi merek dalam produk, semakin banyak yang akan diingat oleh konsumen dan loyal terhadap merek. Penelitian sebelumnya oleh Pouromid dan Iranzadeh (2012) menunjukkan bahwa hubungan antara asosiasi merek dan ekuitas merek positif dan signifikan.
3. Persepsi kualitas (perceived quality)
Menurut Aaker (1991) persepsi kualitas adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang berkaitan dengan apa yang diharapkan pelanggan. Touminen (2000) kualitas yang dirasakan dari merek memberikan alasan penting untuk membeli. Penting untuk dicatat bahwa kualitas produk adalah sumber daya perusahaan yang penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Aaker 1989).
4. Loyalitas
Menurut Rangkuty (2002), loyalitas merek adalah satu ukuran kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Simamora (2001), menyatakan bahwa loyalitas merek adalah ukuran kedekatan pelanggan pada sebuah merek. Sedangkan menurut Durianto et al. (2004), loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan seorang pelanggan kepada sebuah merek.

Ekuitas Merek (skripsi dan tesis)

 

Mengelola ekuitas merek sebagian besar melibatkan pengendalian makna yang terkait dengan merek dalam memori (Keller dalam Spry et al, 2011). Faktor-faktor seperti asosiasi merek, loyalitas merek, kesadaran merek, citra merek, dan ekuitas merek diuraikan lebih lanjut dalam bagian ini, yang didasarkan pada prinsip panduan Model Aaker (1991). Penelitian terdahulu oleh Chan et al. (2013), Fleck dkk. (2012), Luijten dan Reijnders (2009), Tantiseneepong et al. (2012), dan Thwaites dkk. (2012) menemukan bahwa konsumen yang memiliki persepsi positif terhadap merek, akan cenderung mengembangkan kemauan yang lebih besar untuk membeli produk dan kemudian secara aktif mencari produk di toko.
 Selain itu, komunikasi pemasaran juga berhubungan positif dengan ekuitas merek selama komunikasi yang diberikan dapat menciptakan reaksi positif konsumen terhadap produk, dibandingkan produk non-bermerek lainnya dalam kategori yang sama (Yoo, Donthu, & Lee, 2000). Hal ini tentu dapat meningkatkan ekuitas merek dengan kemungkinan bahwa merek tertentu akan dibentuk dalam rangkaian pertimbangan konsumen, mempersempit pilihan merek konsumen, dan mengubah pilihan itu menjadi kebiasaan (Yoo, Donthu, & Lee, dalam Soewandi, Melinda 2015). Menurut Aaker (dalam Severi et al, 2014) ekuitas merek adalah serangkaian aset dan kewajiban merek yang terkait nama dan simbolnya, sehingga dapat menambah nilai yang terdapat dalam produk dan jasa tersebut kepada perusahaan atau pelanggan perusahaan tersebut.

Perluasan Merek (Brand Extension) (skripsi dan tesis)

Menurut Boyd (2000:280) pada dasarnya perluasan merek melibatkan penggunaan nama merek yang telah mantap pada suatu kelas produk sebagai alat untuk masuk ke kelas produk yang lainnya. Perluasan merek merupakan strategi alamiah bagi perusahaan yang sedang tumbuh dan mengeksploitasi asetnya. Perluasan merek dapat dilakukan dengan cara menggunkan aset tersebut untuk penetrasi pada kategori produk baru atau memberi lisensinya kepada produk lain atau mengakuisisi sebuah perusahaan yang mempunyai merek yang bisa dijadikan landasan bagi perusahaan.
Menurut Boyd (2000: 280) perluasan merek secara umum dapat dibedakan berdasarkan:
 a. Perluasan lini (line extension) Perluasan lini artinya perusahaan membuat produk baru dengan menggunakan merek lama yang terdapat pada merek induk. Meskipun target market produk yang baru tersebut berbeda, tetapi kategori produknya sudah dilayani oleh merek induk (atau merek yang lama).
b. Perluasan kategori (category extention) Perluasan kategori artinya, perusahaan tetap menggunkan merek induk yang lama untuk memasuki kategori produk yang sama sekali berbeda dari yang dilayani oleh merek induk sekarang.
 Menurut Buell (Rangkuti, 2004:114), perluasan merek terjadi apabila:
a. Merek individual dikembangkan untuk menciptakan suatu merek kelompok.
b. Produk yang memiliki hubungan ditambahkan pada suatu merek kelompok yang sudah ada.
 c. Suatu merek individu atau kelompok, dikembangkan ke produk-produk yang tidak memiliki hubungan.
 Menurut Aaker (Rangkuti, 2004:115) strategi perluasan merek membutuhkan 3 tahap, yaitu:
a. Mengidentifikasi asosiasi-asosiasi merek.
 b. Mengidentifikasi produk-produk yang berkaitan dengan asosiasiasosiasi tersebut.
 c. Memiliki calon yang terbaik dari daftar produk tersebut untuk dilakukan uji konsep dan pengembangan produk baru.
 Menurut Rangkuti (2004:121) keunggulan dari perluasan merek:
 a. Mengurangi persepsi resiko ditolaknya produk tersebut oleh pelanggan.
b. Memanfaatkan kemudahan saluran distribusi yang sudah ada.
c. Meningkatkan efisiensi biaya promosi.
 d. Mengurangi biaya perkenalan produk serta program tindak lanjut pemasaran.
 e. Mengurangi biaya pengembangan produk baru.
 f. Meningkatkan efisiensi desain logo dan kemasan.
g. Menyediakan variasi pilihan produk kepada pelanggan.
Menurut Rangkuti (2004:121) kelemahan dari perluasan merek antara lain:
a. Dapat membingungkan pelanggan dalam memilih produk mana yang paling baik.
b. Retail cenderung beranggapan bahwa perluasan lini semata-mata merupakan me-too product, yaitu semata-mata merupakan fotokopi dari merek yang sudah ada, sehingga mereka tidak perlu menyimpan stok produk tersebut.
c. Dapat merusak merek induk yang sudah ada.
 d. Seandainya produk baru dengan perluasan lini tersebut sukses di pasar, ada kemungkinan ia memakan merek induk yang sudah ada.  Penyebabnya adalah konsumen produk yang sudah ada beralih ke poroduk baru.
 e. Kerugian lain dari perluasan merek adalah merek tersebut menurun kekuatannya. Merek yang sebelumnya memiliki fokus ke salah satu strategi, akibat adanya perluasan merek, menjadi memiliki bermacam-macam kategori sehingga tidak memiliki identitas yang jelas.
 f. Seandainya perluasan merek tersebut dilakukan oleh tidak secara konsisten. Artinya, atribut atau manfaat yang melekat pada merek tersebut saling bertentangan dengan merek induk, sehingga konsumen merubah persepsinya.
g. Seandainya perluasan merek tersebut dilakukan besar-besaran, sehingga merek tersebut menjadi tidak terkontrol dan mudah dipalsukan. Hal ini akan menyebabkan menurunnya persepsi terhadap merek tersebut.
Berikut ini merupakan dimensi dari perluasan merek menurut Barata (2007: 65-66) yaitu:
a. Pengetahuan Merek Induk (Reputasi)
 Pengetahuan konsumen tentang merek dibutuhkan untuk mengevaluasi merek tersebut. Dalam kaitannya dengan brand extention, konsumen dapat lebih mudah mengevaluasi dan menilai persepsi kecocokan dari produk yang menggunakan brand extention dengan memiliki pengetahuan tentang merek induknya. Secara umum pengetahuan merek dapat beruba brand awareness.
 b. Persepsi Kualitas (Perceived Quality)
Perceived quality didefinisikan sebagai gambaran umum dari penilain konsumen tentang keunggulan atau kesempurnaan dari suatu produk dan dalam level tertentu dapat dibandingkan dengan atribut tertentu dari produk. Konsumen menilai kualitas dari suatu produk berdasarkan berbagai informasi yang didapatkannya baik melalui pengalaman menggunakan produk itu sendiri, iklan, informasi dari orang lain.
Adapun indicator yang terdapat dalam dimensi ini yaitu:
1) Performance (kinerja) merupakan karakteristik operasi pokok dari produk yang dibeli.
 2) Features (fitur/ciri-ciri tambahan) yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap.
3) Appearances (penampilan) yaitu daya tarik produk terhadap panca indera, misalnya bentuk fisik yang menarik, model/desain yang artistic, warna, dsb.
c. Inovatif
Menurut Keller (2003), produk atau merek baru yang berhasil serta inovatif dipersepsikan oleh konsumen sebagai produk atau merek yang modern atau up to date, merupakan hasil dari investasi riset dan pengembangan produk, diproduksi dengan teknologi terbaik memiliki features produk terbaru. Dalam kaitannya dengan brand extention, konsumen cenderung untuk mengevaluasi produk baru tersebut sesuai  dengan persepsinya tentang merek induk. Indicator dalam dimensi adalah modern, investasi, dan unik.
 d. Konsistensi Konsep Merek (similiarity) Strategi brand extention berfokus pada pentingnya asosiasi yang sesuai serta adanya persepsi kecocokan antara merek induk dengan merek extention nya, namun demikian tetap terdapat perbedaan dalam menentukan dimensi dari kecocokan itu sendiri. Persepsi kecocokkan ini terdiri dari beberapa komponen yaitu: kemiripan (similiarity), kesamaan tipe (typicality), keterkaitan (relatedness), dan konsistensi konsep merek atau brand concept consistency

Strategi Merek (skripsi dan tesis)

 

Menurut Kotler (2001:588), perusahaan memiliki lima pilihan strategi merek yaitu:
a. Perluasan lini (Line Extension) Perluasan lini terjadi jika perusahaan memperkenalkan unit produk tambahan dalam kategori produk yang sama, biasanya dengan tampilan baru seperti rasa, bentuk, warna baru, tambahan, ukuran kemasan, dan lainnya.
 b. Perluasan merek (Brand Extension) Perluasan merek terjadi jika perusahaan memutuskan untuk menggunakan merek yang sudah ada pada produknya dalam satu kategori baru. Perluasan merek memberikan keuntungan karena merek baru tersebut umumnya lebih cepat diterima (karena sudah dikenal sebelumnya). Hal ini memudahkan perusahaan memasuki pasar dengan kategori baru. Perluasan merek dapat menghemat banyak biaya iklan yang biasanya diperlukan untuk membiasakan konsumen dengan suatu merek.
c. Multi merek (Multi Brand) Multi merek dapat terjadi apabila perusahaan memperkenalkan berbagai merek tambahan dalam kategori produk yang sama. Tujuannya adalah untuk membuat kesan, feature serta daya tarik yang lain kepada konsumen sehingga lebih banyak pilihan.
d. Merek baru (New Brand) Merek baru dapat dilakukan apabila perusahaan tidak memiliki satupun merek yang sesuai dengan produk yang akan dihasilkan atau citra dari merek tersebut tidak membantu untuk produk baru tersebut.
 e. Merek bersama (Co-Brand) Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah meningkatkan strategi merek bersama. Co-branding terjadi apabila dua merek terkenal atau lebih digabung dengan satu penawaran dengan tujuan agar merek yang satu dapat memperkuat merek yang lain sehingga dapat menarik minat konsumen.

Brand Image (skripsi dan tesis)

 

Keterkaitan konsumen pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakkan untuk mengkomunikasikannya sehingga akan terbentuk citra merek (brand image). Citra merek yang baik akan mendorong untuk meningkatkan volume penjualan. Citra merek dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan pada merek tertentu, sama halnya ketika kita berpikir mengenai orang lain. Pendapat Phillip Kotler dan Gary Amstrong (1997:164) dimana Brand Image adalah himpunan keyakinan konsumen mengenai berbagai merek. Intinya Brand Images atau Brand Description, yakni deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek tertentu. 22 Dari sebuah produk dapat lahir sebuah brand jika produk itu menurut persepsi konsumen mempunyai keunggulan fungsi (functional brand), menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen (image brand) dan membangkitkan pengalaman tertentu saat konsumen berinteraksi dengannya (experiential brand). Citra produk dan makna asosiatif brand dikomunikasikan oleh iklan dan media promosi lainnya, termasuk public relation dan event sponsorhips. Iklan dianggap mempunyai peran terbesar dalam mengkomunikasikan citra sebuah brand dan sebuah image brand juga dapat dibangun hanya menggunakan iklan yang menciptakan asosiasi dan makna simbolik yang bukan merupakan ekstensi dari fitur produk Penting untuk dicatat bahwa membangun sebuah brand tidak hanya melibatkan penciptaan perceived difference melalui iklan.

Sering terjadi kesalahpahaman bahwa sebuah brand dibangun semata-mata menggunakan strategi periklanan yang jitu untuk menciptakan citra dan asosiasi produk yang diinginkan. Memang iklan berperan penting dalam membangun banyak merek terutama yang memang dideferensiasikan atas dasar citra produk akan tetapi, sebuah image brand sekalipun harus didukung produk yang berkualitas, strategi penetapan harga yang tepat untuk mendukung citra yang dikomunikasikan melalui iklan produk tersebut.

Pengertian Merek (skripsi dan tesis)

Brand adalah salah satu atribut yang sangat penting dari sebuah produk yang penggunaannya pada saat ini sudah sangat meluas karena beberapa alasan, dimana merek suatu produk berarti memberikan nilai tambah produk tersebut. Merek adalah nama, istilah, simbol, atau desain khusus atau beberapa kombinasi unsur-unsur ini yang dirancang untuk mengidentifikasikan barang atau jasa yang ditawarkan oleh penjual (Stanton dan Lamarto, 1994: 269). Merek (brand) berfungsi mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau kelompok penyaji dan membedakannya dari produk sejenis dari penyaji lain (Kotler, 2000: 163). Lebih dari itu, merek adalah sesuatu yang dibentuk dalam pikiran pelanggan yang memiliki kekuatan membentuk kepercayaan pelanggan (Peter & Olson, 1996: 168). Jika perusahaan mampu membangun merek yang kuat di pikiran pelanggan melalui strategi pemasaran yang tepat, perusahaan akan mampu membangun mereknya. Dengan demikian merek dapat memberi nilai tambah pada nilai yang ditawarkan oleh produk kepada pelanggannnya yang dinyatakan sebagai merek yang memiliki ekuitas merek (Aaker, 1997: 14) Definisi lainnya menyebutkan “Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing” (The American Marketing Association menurut Kotler, 1997: 63). Merek dapat juga dibagi dalam pengertian lainnya, seperti (Rangkuti, 2002: 2)

 1) Brand name (nama merek) yang merupakan bagian dari yang dapat diucapkan.
 2) Brand mark (tanda merek) yang merupakan sebagian dari merek yang dapat dikenali namun tidak dapat diucapkan, seperti lambang, desain huruf, atau warna khusus.
 3) Trade mark (tanda merek dagang) yang merupakan merek atau sebagian dari merek yang dilindungi hukum karena kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu yang istimewa. Tanda dagang ini melindungi penjual dengan hak istimewanya untuk menggunakan nama merek ( tanda merek).
 4) Copyright (hak cipta) yang merupakan hak istimewa yang dilindungi oleh undang-undang untuk memproduksi, menerbitkan, menjual karya tulis, karya musik, atau karya seni.
Pikiran para pelanggan dipengaruhi oleh beragam yang sampai pada angka ribuan pesan kesan dan sering berubah-ubah. Merek tidak hanya emonitor kesan-kesannya, tetapi merek juga harus menempati suatu posisi khusus dalam pikiran untuk benar-benar menjadi sebuah merek. Permasalahannya bila merek tidak mendapat tempat yang khusus atau berbeda dalam benak konsumen, maka akan memberi kesempatan bagi para pesaing untuk menempati posisi dalam benak konsumen tersebut dan merek itu menjadi kurang sejati. Oleh karena itulah maka diperlukan apa yang dinamakan dengan merek sejati.
 Merek sejati tersebut terdiri dari tiga hal yang merupakan sifat fundamental yang membedakan merek sejati dalam benak konsumen yakni internalisasi jumlah kesan-kesan, suatu khusus di “pikiran (mind’s eye)” konsumen, dan manfaat-manfaat fungsional dan emosional yang dirasakan. Secara definitif merek sejati dapat dijelaskan sebagai internalisasi jumlah dari semua kesan yang diterima para pelanggan dan konsumen yang dihasilkan dalam sebuah posisi khusus di “pikiran” konsumen berdasarkan manfaat-manfaat fungsional dan emosional. Cara yang paling mudah untuk membedakan merek sejati dengan merek lain adalah dengan melihatnya pada serangkaian kesatuan yang membandingkan kekhususan relatif. Jika merek menjadi khusus dalam benak konsumen, maka merek tersebut lebih mendekati definisi merek sejati. Definisi lain tentang merek dijelaskan oleh Philip Kotler dan Gary Armstrong dalam bukunya Dasar-dasar Pemasaran Principles of marketing. Menurut mereka merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari semua ini yang dimaksudkan untuk mengenali produk atau jasa dari seseorang atau penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Jadi merek mengidentifikasi pembuat atau penjual dari suatu produk. Merek juga merupakan janji penjual untuk menyampaikan kumpulan sifat, manfaat, dan jasa spesifik secara konsisten kepada pembeli.
Philip Kotler dan Gary Armstrong (2007:283) merek dapat menyampaikan empat tingkat arti:
 1) Atribut Merek akan mengingatkan orang pada pada atribut tertentu. Misalnya keawetan dan sebagainya sehingga hal ini memberikan suatu landasan pemosisian bagi atribut lain dari produk tersebut.
2) Manfaat Pelanggan tidak membeli atribut tetapi mereka membeli manfaat dari produk tersebut. Oleh karena itu atribut harus diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional.
 3) Nilai Merek juga mencerminkan sesuatu mengenai nilai-nilai pembeli. Misalnya saja menilai prestasi, keamanan, dan prestise tinggi suatu produk.
4) Kepribadian. Merek menggambarkan kepribadian. Merek akan menarik orang yang gambaran sebenarnya dan citra dirinya cocok dengan citra merek.
Merek menjadi tanda pengenal bagi penjual atau pembuat suatu produk atau jasa. Dalam Durianto, dkk (2004: 2) disebutkan bahwa merek lebih dari sekedar jaminan kualitas kerena di dalamnya tercakup enam pengertian sebagai berikut :
1) Atribut, yaitu suatu merek dapat mengingatkan pada atribut-atribut tertentu seperti kualitas, gengsi, nilai jual kembali, desain, dan lainlain.
 2) Manfaat, dimana atribut-atribut harus diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional. Meskipun suatu merek membawa sejumlah atribut, konsumen sebenarnya membeli manfaat dari produk tersebut.
3) Nilai, yaitu suatu merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsennya.
4) Budaya, yaitu suatu merek mungkin juga melambangkan budaya tertentu.
 5) Kepribadian, suatu merek dapat mencerminkan kepribadian tertentu.
6) Pemakai, yaitu suatu merek menyiratkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan suatu produk.
Suatu merek memiliki daya tarik tertentu dalam menarik konsumen. Merek mewakili perusahaan untuk selalu melakasanakan fungsi berharga bagi perusahaan, merek menyederhanakan penanganan atau penelusuran produk, merek membantu catatan persediaan dan catatan akutansi, merek juga menawarkan perlindungan hukum untuk menjaga fitur aspek-aspek unik dalam produk melalui nama dagang terdaftar. Perusahaan juga harus senantiasa menjaga citra merek, untuk mendapatkan loyalitas konsumen, karena merek menandakan tingkat kualitas tertentu. Loyalitas merek memberikan tingkat permintaan yang aman yang dapat diperkirakan oleh perusahaan dan menciptakan penghalang yang mempersulit kompetitor untuk memasuki pasar.
 Meskipun pesaing dapat meniru proses manufaktur dan desain produk, namun mereka tidak dapat dengan mudah menyesuaikan kesan yang tertinggal lama di pikiran orang dan organisasi selama bertahun tahun melalui pengalaman produk dan kegiatan pemasaran. Artinya penetapan merek dapat menjadi alat yang berguna untuk mengamankan keunggulan kompetitif. Di dalam bukunya (Kotler, 2010: 269) terdapat beberapa elemen merek. Elemen merek (brand element) itu sendiri adalah alat pemberi nama dagang yang mengidentifikasikan dan mendifferensiasikan merek. Sebagian besar merek kuat menerapkan berbagai elemen merek. Uji kemampuan pembangunan merek dari elemen-elemen ini adalah apa yang dipikirkan atau dirasakan konsumen terhadap merek jika hanya elemen merek yang mereka ketahui. Elemen merek yang memberikan kontribusi positif pada kekuatan merek dengan memperlihatkan asosiasi atau respons nilai tertentu. Berikut adalah kriteria utama dalam memilih elemen-elemen merek:
 1) Dapat diingat, seberapa mudah elemen merek itu dapat diingat dan dikenali
2) Berarti, apakah elemen merek itu kredibel dan mengindikasikan kategori yang berhubungan dengannya, dan apakah elemen merek itu menyiratkan sesuatu tentang bahan produk atau tipe orang yang mungkin menggunakan merek.
 3) Dapat disukai, seberapa menarik estetika elemen merek dan apakah elemen merek itu dapat disukai secara visual, verbal, dan cara yang lain.
 4) Dapat ditransfer, apakah elemen merek yang digunakan untuk memperkenalkan produk baru dalam kategori yang sama atau berbeda, apakah elemen merek itu menambah ekuitas merek melintasi batas geografis dan segmen pasar.
5) Dapat disesuaikan, seberapa mudah elemen merek itu disesuaikan dan diperbarui.
6) Dapat dilindungi, seberapa mudah elemen merek itu dapat dilindungi secara hukum.
Elemen merek dapat memainkan sejumlah peran pembangunan merek. Jika konsumen tidak memeriksa banyak informasi dalam mengambil keputusan produk mereka, elemen merek seharusnya mudah dikenali dan diingat serta bersifat deskriptif dan persuasif. Keramahan dan daya tarik elemen merek juga dapat memainkan peran penting dalam kesadaran dan asosiasi yang mengarah ke ekuitas merek.

Strategi Pemasaran (skripsi dan tesis)

Strategi pemasaran menurut Tull dan Kahle seperti yang telah dikutip oleh Tjiptono (2000: 6) menyatakan sebagai berikut: “Strategi pemasaran adalah alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang berkesinambungan melalui pasar yang digunakan untuk melayani pasar sasaran tersebut”. Pada dasarnya strategi pemasaran memberikan arah dalam kaitannya dengan variabel-variabel seperti segmentasi pasar, identifikasi pasar sasaran, positioning elemen pemasaran dan bagian integral dari strategi bisnis yang memberikan arah pada semua fungsi manajemen suatu organisasi

Manajemen Pemasaran (skripsi dan tesis)

Definisi manajemen pemasaran yang dirumuskan oleh American Marketing Association, “Manajemen pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penentuan harga, promosi, dan distribusi barang, jasa dan gagasan untuk menciptakan pertukaran 13 dengan kelompok sasaran yang memenuhi tujuan pelanggan dan organisasi” (Kotler, 2000: 13). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen pemasaran dapat dirumuskan sebagai suatu proses manajemen yang meliputi penganalisaan, perencanaan, dan pengendalian kegiatan pemasaran yang dilakukan perusahaan, hal ini bertujuan menimbulkan pertukaran yang diinginkan baik yang menyangkut barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan psikologi, sosial dan budaya.

Konsep Pemasaran (skripsi dan tesis)

Konsep pemasaran merupakan orientasi manajemen yang beranggapan bahwa tugas pokok perusahaan adalah menentukan kebutuhan, keinginan dan penilaian pasar sasaran serta menyesuaikan kegiatan perusahaan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kepuasan pasarnya secara efisien dan efektif dari pesaingnya. Seluruh kegiatan dalam perusahaan yang menganut konsep pemasaran harus diarahkan untuk memenuhi tujuan tersebut. Definisi Konsep Pemasaran menurut Swashta dan Handoko (2000: 6) “Konsep pemasaran adalah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan hidup perusahaan”. Tiga unsur-unsur pokok konsep pemasaran adalah:
1) Orientasi pada konsumen
2) Penyusunan kegiatan pemasaran yang integral
3) Kepuasan konsumen
 Berpegang pada konsep pemasaran tersebut, maka manajemen pemasaran harus selalu mempunyai langkah-langkah strategis dalam merencanakan dan merumuskan strategi pemasaran sehingga usahausaha dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien

Pengertian Pemasaran (skripsi dan tesis)

“Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan dan bertukar sesuatu yang bernilai dengan sesuatu yang lain” (Kotler, 2000: 8). Stanton WJ dalam Swasta dan Irawan (2005: 5): “Pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial”. Definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemasaran mencakup kegiatan-kegiatan: 1) Mengidentifikasikan kebutuhan konsumen yang perlu dipuaskan. 2) Menentukan produk yang perlu diproduksi. 3) Menentukan harga yang sesuai. 4) Merencanakan saluran distribusi yang efektif

Merek (skripsi dan tesis)

Definisi dari sebuah merek adalah nama, terminologi, tanda, simbol atau disain, atau kombinasi diantaranya yang ditujukan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari satu penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dengan pesaing (Kotler dan Keller, 2008:258). Merek merupakan suatu simbol yang memiliki arti yang lebih kompleks dari sekedar sebuah nama. Menurut Kotler (2000:460) merek adalah suatu simbol yang kompleks yang menjelaskan 6 tingkatan pengertian yaitu sebgai berikut :
1) Merek sebagai atribut, merek memberikan ingatan pada atribut tertentu dari suatu produk.
2) Merek sebagai manfaat, merek lebih dari serangkaian atribut, pelanggan tidak membeli atribut tetapi merek memberi manfaat.
3) Merek sebagai penilai, merek menyatakan sesuatu tentang nilai produk, nilai produsen atau pemegang merek, dan nilai pelanggan.
4) Merek sebagai budaya, merek berperan mewakili budaya tertentu.
5) Merek sebagai kepribadian, merek mencerminkan kepribadian tertentu.
6) Merek sebagi pemakai, merek dapat menunjukkan jenis konsumen yang membeli dan menggunakan produk tersebut.
Maka dapat disimpulkan bahwa merek adalah nama, simbol, logo atau desain yang menunjukan identitas dari suatu produk atau jasa yang membedakan antara produsen yang satu dan lainnya. Selanjutnya penggunaan merek itu sendiri memiliki beberapa manfaat baik bagi perusahaan dan juga untuk konsumen

Manajemen Konstruksi (skripsi dan tesis)

Manajemen konstruksi (construction management) adalah bagaimana agar
sumber daya yang terlibat dalam proyek konstruksi dapat diaplikasikan oleh manajer proyek secara tepat. Sumber daya dalam proyek konstruksi dapat dikelompokkan menjadi manpower, material, machines, money, method.
Manajemen pengelolaan setiap proyek konstruksi sipil meliputi delapan fungsi dasar manajemen (Ervianto, 2002), yaitu: Penetapan tujuan (goal setting), Perencanaan (planning), Pengorganisasian (organizing), Pengisian staff (staffing), Pengarahan (directing), Pengawasan  (supervising), Pengendalian (controling) dan Koordinasi (coordinating)

Pengertian Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

Sebagaimana kita ketahui dalam suatu perusahaan yang bergerak di bidang
konstruksi memiliki organisasi yang  terstruktur secara utuh dan menyeluruh akan terdiri dari bagian-bagian yang saling berinteraksi baik secara fisik seperti halnya pimpinan, pelaksana pekerjaan, ahli, material / bahan, dana, informasi, pemasaran dan pasar itu sendiri. Mereka saling bahu-membahu
melaksanakan berbagai macam kegiatan yang dilakukan dalam suatu proses pekerjaan yang saling berhubungan karena adanya interaksi dan ketergantungan, segala aktivitas dalam sebuah perusahaan menunjukan adanya sistem didalam-nya. Dengan demikian disimpulkan, bahwa pengertian tentang sistem adalah suatu proses dari gabungan berbagai komponen /
unsur / bagian / elemen yang saling berhubungan, saling berinteraksi dan saling ketergantungan satu sama lain yang dipengaruhi oleh aspek lingkungan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai (Tarore dan Mandagi, 2006).
Manajemen merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang seni memimpin
organisasi yang terdiri atas kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian terhadap sumber-sumbar daya yang terbatas dalam usaha mencapai tujuan dan sasaran yang efektif dan efisien
(Abrar Husein, 2008). Secara sistematis fungsi manajemen menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk itu perlu diterapkan fungsi-fungsi dalam manaje-men itu sendiri seperti perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan dan pengendalian (controlling).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ditinjau dari segi keilmuan dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapan mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Penerapan K3 dijabarkan ke dalam Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang disebut SMK3
(Soemaryanto, 2002). Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang disebut SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan,
prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan K3 dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor. 09 / PER / M / 2008) Menurut Peraturan Menteri No PER. 05 /
MEN /1996, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan prosedur, proses
dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Manfaat penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) bagi perusahaan menurut Tarwaka (2008)
adalah:
1. Pihak manajemen dapat mengetahui kelemahan-kelemahan unsur sistem
operasional sebelum timbul gangguan operasional, kecelakaan, insiden dan
kerugian-kerugian lainnya.
2. Dapat diketahui gambaran secara jelas dan lengkap tentang kinerja K3 di perusahaan.
3. Dapat meningkatkan pemenuhan terhadap peraturan perundangan bidang K3.
4. Dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran tentang K3,
khususnya bagi karyawan yang terlibat dalam pelaksanaan audit.
5. Dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Peraturan dan prosedur keselamatan kerja (skripsi dan tesis)

Peraturan dan prosedur keselamatan kerja merupakan salah satu faktor yang dapat meminimalisasi kecelakaan yang diakibatkan adanya kondisi tidak
aman (Pipitsupaphol, 2003) karena dapat memberikan gambaran dan batasan yang jelas terhadap penerapan program keselamatan kerja pada proyek konstruksi. Mohamed (2002) mengungkapkan bahwa peraturan dan prosedur keselamatan kerja yang diterapkan oleh perusahaan hendaknya mudah dipahami dan tidak sulit untuk diterapkan pada proyek konstruksi, ada sangsi
yang tegas bila peraturan dan prosedur keselamatan kerja dilanggar, dan ada perbaikan secara berkala sesuai dengan kondisi proyek konstruksi.
Permasalahan yang sering muncul adalah perusahaan menerapkan peraturan dan prosedur yang tidak sesuai dengan keadaan proyek konstruksi, maupun sulit diterapkan pada pekerjaan, sehingga hal tersebut mendorong pekerja untuk melanggar peraturan dan prosedur keselamatan kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan

Komitmen top manajemen (skripsi dan tesis)

Menurut Reason (1997), program keselamatan kerja hendaklah dimulai dari awal, dalam hal ini dimulai dari tingkat teratas organisasi (top management)
perusahaan tersebut. Untuk memulai program keselamatan kerja, top management dapat merumuskan suatu kebijakan yang menunjukkan
komitmen terhadap masalah keselamatan kerja. Langkah awal ini selanjutnya akan menentukan pengambilan kebijakan berikutnya dalam hal
keselamatan kerja. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Cheyne et al., 1998; Mohamed 2002; Pipitsupaphol, 2003) menunjukkan bahwa faktor
komitmen merupakan salah satu faktor utama budaya keselamatan kerja, dimana tanpa dukungan dari pihak manajemen sangatlah sulit untuk mencapai
keberhasilan dalam menjalankan program keselamatan kerja

Budaya keselamatan kerja (skripsi dan tesis)

Budaya keselamatan kerja merupakan salah satu komponen penting dari budaya organisasi yang membahas keselamatan kerja individu, pekerjaan dan
hal-hal yang diutamakan oleh organisasi mengenai keselamatan kerja. Budaya keselamatan kerja menurut Uttal (1983) merupakan gabungan dari nilainilai dan kepercayaan-kepercayaan yang berinteraksi dengan struktur organisasi dan sistem pengendalian yang membentuk norma-norma perilaku (dikutip dari
Cooper, 2000). Sedangkan menurut Turner (1992), budaya keselamatan kerja merupakan kumpulan kepercayaan, norma, sikap, peraturan dan  praktek-praktek sosial serta teknis yang ditujukan untuk mengurangi kondisi yang dapat membahayakan pekerja, manajer, pelanggan dan anggota masyarakat.

Perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja (skripsi dan tesis)

Perilaku tidak aman pekerja dapat berupa kesalahan atau kelalaian yang dilakukan manusia. Reason (1990) membagi perilaku ini menjadi tiga tingkatan, yaitu: skill-based error, kesalahan yang berhubungan dengan keahlian dan kebiasaan pekerja; rule-based error, kesalahan dalam memenuhi standard dan prosedur yang berlaku; dan knowledge-based error,
kesalahan dalam mengambil keputusan karena kurangnya pengetahuan. Selain itu, Reason juga menambahkan violation atau pelanggaran sebagai
salah satu bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh pekerja.
Pada penelitian ini faktor perilaku pekerja terdiri dari delapan indikator, yaitu: (1) melaporkan kecelakaan yang terjadi, (2) mengingatkan pekerja lain tentang
bahaya dan keselamatan kerja, (3) menggunakan perlengkapan keselamatan kerja, (4) meletakkan material dan peralatan pada tempat yang ditentukan,
(5) mengikuti semua prosedur keselamatan kerja, (6) mengikuti semua instruksi dari atasan, (7) bergurau dengan rekan kerja waktu bekerja, (8) melakukan gerakan berbahaya seperti berlari, melempar, dan melompat.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (skripsi dan tesis)

Keselamatan kerja merupakan keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja juga dapat diartikan sebagai suatu usaha atau kegiatan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, serta mencegah semua bentuk kecelakaan yang mungkin terjadi. Keselamatan kerja berlaku disegala tempat kerja, baik di darat, di laut, di permukaan air, di dalam air maupun di udara.Tempattempat kerja demikian tersebar pada kegiatan ekonomi, pertanian, industri pertambangan, perhubungan pekerjaan umum, jasa dan lain-lain. Salah satu aspek penting sasaran keselamatan kerja mengingat resiko bahayanya adalah penerapan teknologi, terutama teknologi canggih dan mutakhir. Hal ini akan memacu pekerja untuk meningkatkan motivasi dan produktivitas dari tenaga kerja. Lokasi proyek merupakan salah satu lingkungan kerja yang mengandung resiko cukup besar terjadi kecelakaan. Tim manajemen sebagai pihak yang bertanggung jawab selama proses pembangunan harus mendukung dan mengupayakan programprogram yang dapat menjamin agar dapat meminimalisir bahkan menghilangkan kecelakaan kerja. Hubungan antara pihak yang berkewajiban memperhatikan masalah keselamatan dan kesehatan kerja adalah kontraktor dengan pekerja. Kewajiban kontraktor dan rekan kerjanya adalah mengasuransikan pekerjanya selama masa pembangunan berlangsung. Pada rentang waktu pelaksanaan pembangunan, kontraktor sudah selayaknya tidak mengizinkan pekerjanya untuk beraktivitas, bila terjadi hal-hal berikut:

1. Tidak mematuhi peraturan keselamatan dan kesehatan kerja,
2. Tidak menggunakan peralatan pelindung diri selama bekerja,
3. Mengizinkan pekerja menggunakan peralatan yang tidak aman.
Kesehatan kerja adalah suatu keadaan atau kondisi badan/tubuh yang terlindungi dari segala macam penyakit atau gangguan yang diakibatkan oleh pekerjaan yang dilaksanakan. Dalam dunia pekerjaan segala kendala kerja harus dihindari, sementara produk-tivitas yang optimal merupakan keinginan setiap pengusaha konstruksi, dengan demikian sasaran keuntungan akan dapat dicapai. Salah satu kendala dalam proses kerja adalah penyakit kerja. Penyakit kerja membawa dampak kerugian bagi perusahaan berupa pengurangan waktu kerja dan biaya untuk mengatasi penyakit kerja tersebut. Sehingga bagi pengusaha konstruksi, pencegahan jauh lebih menguntungkan daripada penanggulangannya. Dengan melihat pengertian masingmasing dari keselamatan kerja dan kesehatan kerja, maka keselamatan dan kesehatan kerja dapat diartikan sebagai kondisi dan faktor-faktor yang berdampak pada kesehatan karyawan, pekerja kontrak, personel kontraktor, tamu dan orang lain di tempat kerja. (Balandatu, 2000

Profil Produktivitas (skripsi dan tesis)

Dalam hubungan produktivitas dikenal pola umum yang
menggambarkan profil kecenderungan naik turunnya
produktivitas tenaga kerja (direct labor) selama tahap
kontruksi. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai
berikut :
1. Mobilisasi :Pada tahap awal ini yang berlangsung10-15% dari masa konstruksi, produktivitas berkurang (±10%). Hal ini karena para pekerja memerlukan masa pengenalan dan peyesuaian pekerjaan. juga pada masa menanjak (build up) sering kali sulit mengikuti secara tepat kenaikan jumlah kegiatan dengan kenaikan jumlah pekerja yang diperlukan sehingga menimbulkan pengaturan yang kurang efisien.
2. Periode Puncak :Pada masa ini dicapai produktivitas optimal, jumlah tenaga kerja tidak bertambah dan telah terbiasa dengan pekerjaan maupun kondisi medan atau lapangan yang dihadapi.
3. Periode Menurun : Pada masa menjelang akhir
konstruksi, produtivitas cenderung menurun,
terutama disebabkan oleh :
 Kurang tepatnya perencanaan. Misalnya masa kontrak kerja belum berakhir sadangkan pekerjaan sudah menipis, sehingga terjadi kelebihan tenaga kerja.
 Sikap mental atau semangat yang mengendur, karena melihat pekerjaan mulai berkurang dan belum tentu tersedia lapangan kerja yang berikutnya.
 Terlambatnya demobilisasi, sering dijumpai penyelia ingin menahan pekerja yang berlebihan dengan menunggu sampai hasil kerjanya meyakinkan

Tenaga Kerja Konstruksi (skripsi dan tesis)

Yang perlu ditinjau disini adalah produktivitas tenaga kerja : kualitas dan kuantitas kerja, efisiensi rencana kerja, jam kerja, kondisi lingkungannya dan lain-lain.
Berikut ini adalah fungsi dan tugas dari tenaga kerja berdasarkan keahliannya:
1. Mandor adalah orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu. Mandor membawahi langsung
pekerja-pakerja atau tukang-tukang.
2. Kepala tukang adalah orang yang mempunyai keahlian dalam bidang pertukangan untuk jenis pekerjaan tertentu dan memberi petunjuk-petunjuk
kepada para tukang yang berhubungan dengan jenis pekerjaan tersebut.
3. Tukang adalah orang yang langsung mengerjakan pekerjaan dilapangan dalam bidang tertentu sesuai petunjuk kapala tukang. Orang-orang ini biasanya memiliki sedikit keterampilan.
4. Pekerja (Buruh) adalah orang yang membantu tukang atau kepala tukang untuk semua jenis pekerjaan tanpa harus memiliki keahlian atas
pekerjaan tertentu.
Produtivitas tenaga kerja mencerminkan manfaat tenaga kerja, intensitasnya menunjukkan jumlah kerja.Adapun pengertian produktivitas menurut ILO “penelitian kerja dan produktivitas” adalah perbandingan antara jumlah yang dihasilkan dan jumlah tiap sumber tenaga kerja yang dipakai selama produksi berlangsung. Secara umum dapat dikatakan bahwa produktivitas tenaga kerja
adalah volume pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang pekerja atau oleh satu tim pekerja (kelompok pekerja) selama tenggang waktu tertentu.
Bila dilihat dari bentuk hubungan kerja antara pihak yang bersangkutan, maka tenaga kerja proyek khususnya tenaga kerja konstruksi dibedakan menjadi 2
yaitu:
a. Tenaga kerja borongan, tenaga kerja berdasarkan ikatan kerja yang ada antara perusahaan penyedia tenaga kerja (labour supplier) dengan kontraktor
untuk jangka waktu tertentu.
b. Tenaga kerja langsung (direct hire), tenaga kerja yang direkrut dan menandatangani ikatan kerja perorangan dengan perusahaan kontraktor.
Umumnya diikuti dengan latihan, sampai dianggap cukup memiliki kemampuan dan kecakapan dasar.
Produktivitas tenaga kerja besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan proyek antara lain pada aspek jumlah tenaga kerja dan fasilitas yang diperlukan. Apabila pada suatu daerah tenaga kerja tersedia cukup banyak, biaya upah kerja menjadi murah sehingga pada situasi seperti ini adalah tidak memerlukan teknologi tinggi.

Keselamatan kerja (skripsi dan tesis)

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan
tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. (Ridley, 2004). Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan
baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat
makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. (Armanda, 2006).
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja. (Ramli, 2010). Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun
1992 Bagian 6 Tentang Kesehatan Kerja, pada Pasal 23 berisi:
1) Kesehatan kerja disenggelarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal.
2) Kesehatan kerja meliputi perlindungan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.
3) Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Tidak terduga oleh karena latar belakang peristiwa itu tidak terdapat adanya unsur kesengajaan, lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Oleh karena peristiwa kecelakaan disertai kerugian material ataupun penderitaan dari yang paling ringan sampai pada yang paling berat. (Austen dan Neale, 1991).

Faktor produktivitas tenaga kerja (skripsi dan tesis)

Menurut Iman Soeharto Variabel-variabel yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja lapangan dapat dikelompokan menjadi:
1. Kondisi fisik lapangan dan sarana bantu Kondisi fisik ini berupa iklim, musim, atau keadan cuaca. Misalnya adalah temperatur udara panas dan dingin, serta hujan dan salju. Pada daerah tropis dengan kelembaban udara yang tinggi dapat mempercepat rasa lelah tanaga kerja, sebaliknya di daerah dingin, bila musim salju tiba, produktivitas tanaga kerja lapangan akan menurun. Untuk kondisi fisik lapangan kerja seperti rawa- rawa, padang pasir atau tanah
berbatu keras, besar pengaruhnya terhadap produktivitas. Hal ini sama akan dialami di tempat kerja dengan keadaan khusus seperti dekat dengan unit yang sedang beroperasi, yang biasanya terjadi pada proyek perluasan instalasi yang telah ada, yang sering kali dibatasi oeh bermacam-macam peraturan keselamatan dan terbatasnya ruang gerak, baik untuk pekerja maupun peralatan. Sedangkan untuk kekurang lengkapnya sarana bantu seperti
peralatan akan menaikkan jam orang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Sarana bantu diusahakan siap pakai dengan jadwal pemeliharaan yang tepat.
2. Sistem manajemen proyek yang dimaksud dengan supervisi adalah segala sesuatu yang berhubungan langsung dengan tugas pengelolaan para tenaga kerja, memimpin para pekerja dalam pelaksanaan tugas, termasuk menjabarkan perencanaan dan pengendalian menjadi langkah-langkah pelaksanaan janngka pendek, serta mengkoordinasikan dengan rekan atau
penyelia lain yang terkait. Keharusan memilikki kecakapan memimpin anak buah bagi penyelia, bukanlah sesuatu hal yang perlu dipersoalkan lagi. Melihat lingkup tugas dan tanggung jawabnya terhadap pengaturan pekerjaan dan penggunaan tenaga kerja, maka kualitas penyelia besar pengaruhnya terhadap produktivitas secara menyeluruh
3. Skill dan pendidikan termasuk pengaruh faktor lingkungan dan keluarga terhadap pendidikan formal yang diambil tenaga kerja. Kemampuan tenaga kerja untuk menganalisis situasi yang terjadi dalam lingkup pekerjaannya dan sikap moral yang diambil pada keadaan tersebut.
4. Kesesuain upah dalam meningkatkan produktivitas karyawan dalam melaksanakan pekerjaan diperlukan adanya motivasi kepada para tenaga kerja, yaitu salah satunya dengan memperhatikan upah yang sesuai. Apabila upah tenaga kerja diabaikan oleh perusahaan maka akan menimbulkan
masalah bagi perusahaan, membuat malas para tenaga kerja, mogok kerja, atau melakukan usaha untuk pindah ke perusahaan lain. Tapi sebaliknya apabila perusahaan mempunyai upah dan kesejahteraan tenaga kerja yang direncanakan dengan baik maka itu dianggap faktor yang dapat
memotivasi tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas.
5. Kesehatan Pekerja
Penelitian menunjukan bahwa kesehatan pekerja juga mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di lapangan, dalam arti semakin sehat atau pekerja dalam kondisi yang prima, dapat mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di lapangan.
6. Pengalaman
Kurva pengalaman atau yang sering dikenal dengan learning curve. Didasarkan atas asumsi bahwa seseorang atau sekelompok orang yang mengerjakan pekerjaan relatif sama dan berulang-ulang, maka akan memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan.
7. Usia
Usia juga dapat mempengaruhi tingkat produktivitas tenaga kerja, karena didalam usia produktif kerja relatif memiliki tenaga yang lebih untuk meningkatkan produktivi

Material (skripsi dan tesis)

Pada pekerjaan pasangan dinding, material merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan karena sangat mempengaruhi nilai produktivitas. Dalam penelitian ini material dikategorikan jadi dua yaitu bata ringan, dan mortar. Keunggulan utama bata ringan ini terletak pada beratnya yang ringan (400-600 kg/m³), dapat dipotong dengan gergaji biasa, sambungan-sambungan dapat di rekatkan dengan mortar sehingga hasil dinding sangat rata dan teratur. Dari segi ekologi bata ringan ini dapat dinilai baik dalam daya menanggulangi bising dan panas yang tinggi.
Dilihat dari sejarahnya sebenarnya bata ringan bukanlah produk baru karena bata ringan ini ditemukan pada tahun 1923. Bata ringan untuk saat ini banyak dipakai di kawasan Eropa dan Asia. Untuk wilayah Amerika lebih dari 40% pembangunan menggunakan bata ringan. Keuntungan bata ringan yang mempunyai efisiensi sumber daya yang tinggi dalam penerapannya dilapangan berdasarkan hasil wawancara, bahwa dalam pemakaiannya material bata ringan ini sangat mempengaruhi disain struktur bangunan menjadi jauh lebih ringan, pemakaian tulangan yang lebih kecil dan berdampak pada pemakaian bahan-bahan lain yang jauh lebih hemat misalnya: Semen yang dipergunakan untuk pondasi, kolom, balok serta bagian lain dari bangunan yang memakai semen sebagai bahan utamanya menjadi berkurang banyak. Waste material (sisa material) menjadi lebih sedikit karena bata ringan ini tidak mudah pecah dan dikarenakan mempunyai bentuk yang dapat disesuaikan dengan keperluan di lapangan maka dalam penempatannya di lapangan pun lebih mudah untuk dipantau. Dalam bangunan tinggi pemakaian tower crane akan menimbulkan polusi udara yang berasal dari asap sisa pembuangan generator (genset), dan polusi suara yang ditimbulkan oleh generator itu sendiri.
Karena bata ringan mempunyai berat sepertiga dari bata, maka tower crane yang sama dapat mengangkut material bata ringan ini lebih banyak daripada bata biasa sehingga selain menghemat dalam bahan bakar juga mengurangi polusi udara dan suara yang ditimbulkan oleh generator tower crane tersebut.
Pemakaian tulangan yang lebih sedikit tentunya akan menghemat pemakaian bahan material besi tulangan yang akan dipakai secara keseluruhan untuk proyek dan tentunya secara tidak langsung mengurangi polusi udara dan suara yang dihasilkan dari proses pengolahan tulangan tersebut dilapangan (pengelasan, pemotongan)

Tahapan kegiatan pada siklus proyek (skripsi dan tesis)

Tahapan kegiatan pada siklus proyek dapat berbeda karena pola penanganan
dan pengelolaannya cukup berbeda. Siklus proyek menggambarkan urutan
langkah-langkah sejak proses awal hingga berakhirnya proyek. Tahapan
kegiatan dalam siklus proyek konstruksi adalah :
a. Tahap konseptual gagasan : tahapan ini terdiri atas kegiatan perumusan
gagasan, kerangka acuan, studi kelayakan awal, indikasi awal dimensi,
biya dan jadwal proyek.
b. Tahap studi kelayakan : studi kelayakan dengan tujuan mendapatkan
keputusan tentang kelanjutan investasi pada proyek yang akan
dilakukan. Informasi dan data dalam implementasi perencanaan
proyek lebih lengkap dari langkah di atas sehingga penentuan
dimensi dan biaya proyek lebih akurat lagi dengan tinjauan terhadap
aspek-aspek social, buadaya, ekonomi, finansial, legal, teknis dan
administrative yang lebih komprehensif.
c. Tahap detail desain : tahapan ini terdiri atas kegiatan, pendalaman
berbagai aspek persoalan, design engineering dan pengembangan,
pembuatan jadwal induk dan anggaran serta mentukan perencanaan
sumber daya, pembelian dini, penyiapan perangkap dan penentuan
peserta proyek dengan program lelang.
d. Tahap pengadaan : tahapan ini adalah memilih kontraktor pelaksana
dengan menyertakan dokumen perencanaan, aturan teknis
danadministrasi yang lengkap, produk tahapan detail desain. Dari
proses ini diperoleh penawaran yang kompetitif dari kontraktor
dengan tingkat akuntabilitas dan transparansi yang baik.
e. Tahap implementasi : tahap ini terdiri atas kegiatan, design engineering
yang rinci, pembuatan spesifikasi dan kriteria, pembelian peralatan
dan material, fabrikasi dan konstruksi, inspeksi mutu, uji coba, start
up, demobilisasi dan laporan penutup proyek. Tujuan akhir proyek
adalah mendapatkan kinerja biaya, mutu, waktu dan keselamatan
kerja paling maksimal, penjadwalan dan pengendalian yang lebih
cermat serta terperinci dari proses sebelumnya.
f) Tahap operasi dan pemeliharaan : tahap ini terdiri atas kegiatan operasi
rutin dan pengamatan prestasi akhir proyek serta pemeliharaan
fasilitas bangunan yang dapat digun

Keterlambatan Proyek (skripsi dan tesis)

Proyek sering mengalami keterlambatan. Bahkan bisa dikatakan hampir
80% proyek mengalami keterlambatan. Jeleknya, keterlambatan proyek sering berulang pada aspek yang dipengaruhi maupun faktor yang mempengaruhi. Waktu (Time) adalah salah satu constraint dalam Project Management di samping biaya (Cost), dan kualitas (Quality). Keterlambatan proyek akan berdampak pada aspek lain dalam proyek. Sebagai contoh, meningkatnya biaya untuk effort mempercepat pekerjaan dan bertambahnya biaya overhead proyek.
Dampak lain yang juga sering terjadi adalah penurunan kualitas
karena pekerjaan “terpaksa” dilakukan lebih cepat dari yang seharusnya
sehingga memungkinkan beberapa hal teknis “dilanggar” demi mengurangi
keterlambatan proyek. Keterlambatan proyek akan menyebabkan kerugian
bagi pihak Pemilik Proyek yang tidak sedikit.
Kehilangan kesempatan / opportunity karena proyek belum bisa
menghasilkan profit sudah sering terjadi. Kejadian ini umunya menjadi
sumber konflik baru bagi Penyedia Jasa dan Pemilik Proyek itu bagi Pemilik
Swasta. Bagi proyek pemerintah, misalnya pada proyek rumah sakit, maka
kerugian akan mengarah pada kerugian non-materiil seperti tertundanya
penggunaan ruang operasi yang sifatnya urgent sehingga pasien harus
dirujuk ke rumah sakit lain jika tidak operasinya ditunda.
Keterlambatan proyek dapat dilihat dalam dua hal seperti yang
telah disebutkan di atas yaitu aspek yang terpengaruh dan faktor yang
mempengaruhi atau yang menjadi penyebab. Adapun faktor yang terpengaruh
menyebabkan proyek terlambat adalah:
 Keterlambatan terkait material
 Keterlambatan terkait tenaga kerja
 Keterlambatan terkait peralatan
 Perencanaan yang tidak sesuai
 Lemahnya kontrol waktu proyek
 Keterlambatan Sub-kontraktor
 Koordinasi yang lemah
 Pengawasan yang tidak memadai
 Metode pelaksanaan yang tidak sesuai
 Kurangnya personil secara teknikal
 Komunikasi yang lemah.
Lebih lanjut pada penelitian tersebut, dilakukan analisis mengenai faktor
yang berkontribusi pada keterlambatan proyek yang dikaji dari penelitian
sebelumnya. Hasilnya diperoleh suatu peringkat 25 faktor yang paling
berkontribusi atau paling mempengaruhi keterlambatan proyek.
Metode pelaksanaan pekerjaan atau yang biasa disingkat CM
(Construction Method) merupakan urutan pelaksanaan pekerjaan yang logis
dengan teknik sehubungan dengan tersedianya suber daya yang dibutuhkan
dan kondisi medan kerja guna memperoleh cara pelaksanaan yang efektif dan
efisien. Metode pelaksanaan pekerjaan tersebut sebenarnya telah dibuat oleh
kontraktor yang bersangkutan pada waktu membuat atau pun mengajukan
penawaran pekerjaan.
Kegiatan yang dilakukan dalam proses pengendalian dapat berupa
pengawasan, pemeriksaan serta tindakan koreksi yang dilakukan selama
proses implementasi. Sasaran dan tujuan seperti optimasi kinerja biaya,
mutu, waktu dan keselamatan kerja harus memiliki format terstandar kriteria
sebagai alat ukur, agar dapat mengindikasikan pencapaian kinerja proyek.
Alat ukur yang digunakan dapat berupa jadwal, kuantitas pekerjaan, standar
mutu/spesifikasi pekerjaan serta standar keselamatan dan kesehatan kerja
yang untuk selanjutnya diproses dalam suatu sistem informasi

Pengukuran Produktivitas Kerja (skripsi dan tesis)

Pengukuran produktivitas kerja sebagai sarana untuk menganalisa dan
mendorong efisiensi produksi. Manfaat lain adalah untuk menentukan target
dan kegunaan, praktisnya sebagai standar dalam pembayaran upah karyawan.
Untuk mengukur suatu produktivitas dapatdigunakan dua jenis ukuran jam
kerja manusia yakni jam – jam kerja yang harus dibayar dan jam – jam kerja
yang harus dipergunakan untuk bekerja.
Ada dua macam alat pengukuran produktivitas, yaitu :
a. Physical productivity, yaitu produktivitas secara kuantitatif seperti
ukuran (size), panjang, berat, banyaknya unit, waktu, dan biaya tenaga
kerja.
b. Value productivity, yaitu ukuran produktivitas dengan menggunakan
nilai uang yang dinyatakan dalam rupiah, yen, dollar dan seterusnya.
(Ravianto, 1986 : 21)

Produktivitas kerja (skrispi dan tesis)

Produktivitas kerja adalah kemampuan menghasilkan suatu kerja yang
lebih banyak daripada ukuran biasa yang telah umum. (The Liang Gie,1981
: 3). Pengertian produktivitas pada dasarnya mencakup sikap mental yang
selalu mempunyai pandangan bahwa kehidupan di hari lebih baik dari hari
kemarin dan hari esok lebih baik dari baik dari hari ini (Sinungan, 1985 :
12). Secara teknis produktivitas adalah suatu perbandingan antara hasil yang
dicapai (out put) dengan keseluruhan sumber daya yang diperlukan (in put).
Produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang
dicapai dengan peran tenaga kerja persatuan waktu (Riyanto, 1986 : 22).
Soepardi Harris, Bambang Perkasa Alamdan Arief Nugroho Wibowo
58 Tecnoscienza Vol.2 No.1 Oktober 2017
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja
adalah kemampuan karyawan dalam berproduksi dibandingkan dengan
input yang digunakan, seorang karyawan dapat dikatakan produktif apabila
mampu menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan diharapkan dalam
waktu yang singkat atau tepat. Faktor yang mempengaruhi Produktivitas
Kerja.
Untuk mencapai produktivitas yang tinggi suatu perusahaan dalam
proses produksi, selain bahan baku dan tenaga kerja yang harus ada juga
didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Pendidikan
2. Keterampilan
3. Sikap dan etika kerja
4. Tingkat penghasilan
5. Jaminan sosial
6. Tingkat sosial dan iklim kerja
7. Motivasi
8. Gizi dan kesehatan
9. Hubungan individu
10. Teknologi
11. Produksi.
(Ravianto, 1985 : 139).

Produktivitas (skripsi dan tesis)

Produktivitas merupakan istilah dalam kegiatan produksi sebagai perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input). Menurut Herjanto, produktivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Produktivitas dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu industri atau UKM dalam menghasilkan barang atau jasa. Sehingga semakin tinggi perbandingannya, berarti semakin tinggi produk yang dihasilkan. Ukuran-ukuran produktivitas bisa bervariasi, tergantung pada aspekaspek output atau input yang digunakan sebagai agregat dasar, misalnya indeks produktivitas buruh, produktivitas biaya langsung, produktivitas biaya total, produktivitas energi, produktivitas bahan mentah, dan lain-lain.

Konsep produktivitas dijelaskan oleh Ravianto (1989: 18) adalah sebagai berikut:

1. Produktivitas adalah konsep universal, dimaksudkan untuk menyediakan semakin banyak barang dan jasa untuk semakin banyak orang dengan menggunakan sedikit sumber daya.

2. Produktivitas berdasarkan atas pendekatan multidisiplin yang secara efektif merumuskan tujuan rencana pembangunan dan pelaksanaan cara-cara produktif dengan menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien namun tetap menjaga kualitas.

3. Produktivitas terpadu menggunakan keterampilan modal, teknologi manajemen, informasi,energi, dan sumber daya lainnya untuk mutu kehidupan yang mantap bagi manusia melalui konsep produktivitas secara menyeluruh.

4. Produktivitas berbeda di masing-masing negara dengan kondisi, potensi, dan kekurangan serta harapan yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan dalam jangka panjang dan pendek, namun masingmasing negara mempunyai kesamaan dalam pelaksanaan pendidikan dan komunikasi.

5. Produktivitas lebih dari sekedar ilmu teknologi dan teknik manajemen akan tetapi juga mengandung filosofi dan sikap mendasar pada motivasi yang kuat untuk terus menerus berusaha mencapai mutu kehidupan yang baik.

6. Sinungan (1995: 18) menjelaskan produktivitas dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

a. Rumusan tradisional bagi keseluruhan produksi tidak lain adalah ratio apa yang

b. dihasilkan (output) terhadap keseluruhan peralatan produksi yang digunakan.

c. Produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai

d. pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini lebih baik dari pada kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. e. Produktivitas merupakan interaksi terpadu serasi dari tiga faktor esensial, yakni :

f. Investasi termasuk pengetahuan dan tekhnologi serta riset, manajemen dan tenaga kerja.

Siklus produktivitas merupakan salah satu konsep produktivitas yang membahas upaya peningkatan produktivitas terus-menerus. Ada empat tahap sebagai satu siklus yang saling terhubung dan tidak terputus:

1. Pengukuran

2. Evaluasi

3. Perencanaan

4. Peningkatan Produktivitas yang diperhitungkan hanya produk bagus yang dihasilkan saja, jika suatu work center banyak mengeluarkan barang cacat dapat dikatakan work center tersebut tidak produktif. Keempat kegiatan tersebut sudah menjadi dasar industri dalam melakukan peningkatan produktivitas. Siklus produktivitas digunakan sebagai dasar perbaikan masalah produksi terutama pada skala industri. Beberapa permasalahan yang menyebabkan penurunan produktivitas perusahaan adalah:

1. Tidak ada evaluasi produktivitas

2. Keterlambatan pengambilan keputusan oleh manajemen

3. Motivasi rendah dalam pekerjaan.

4. Perusahaan tidak mampu berkompetisi dan beradaptasi pada kemajuan teknologi dan informasi. Upaya peningkatan produktivitas membutuhkan beberapa indikator sebagai evaluasi. Salah satu diantaranya adalah metode OEE (Overall Equipment Effectiveness). Sementara identifikasi permasalahan dapat dilakukan dengan pendekatan lean production. Produktivitas berarti kemampuan menghasilkan sesuatu. Sedangkan kerja berarti kegiatan melakukan sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah mata pencaharian (Poerwadarminta, 1984 : 70)

Perhitungan Optimalisasi Produktuvitas Tenaga Kerja (skripsi dan tesis)

Perhitungan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dihitung berdasarkan Standard time. Standard time dihitung dengan menggunakan metode time study, dimana metode ini dilakukan dengan pengamatan langsung dilapangan. Langkah perhitungan untuk mendapat nilai optimal dari produktivitas sebagai berikut :

1. Menghitung standard time setiap breakdown pekerjaan pembesian dengan metode time study.

2. Menghitung besar rata-rata produktivitas tenaga kerja pada pekerjaan pembesian.

3. Dengan cara mendesain standard time yang baru yang diperlukan untuk mengoptimalkan produktivitas dengan berpatokan dengan standard time yang dihitung sebelumnya.

Perhitungan Produktivitas dengan menggunakan Metode Time Study (skripsi dan tesis)

Metode time study digunakan untuk menghitung nilai standard time suatu pekerjaan. Penggunaan metode ini dilakukan dengan pengamatan langsung dilapangan, bagaimana suatu pekerjaan dilakukan dari tahap awal hingga tahap akhir. Tahap-tahap pengamatan dengan cara time study :
1. Menentukan jenis pekerjaan yang akan diamati dan memahami kondisi pekerjaan pada saat itu.
2. Setiap pekerjaan di-breakdown menjadi beberapa elemen pekerjaan
3. Setiap breakdown pekerjaan diamati dari tahap awal hingga akhir
4. Waktu yang dicatat dimasukkan didalam lembaran time study
5. Mengkonversikan upah pekerja kedalam tukang dengan standard upah tukang
6. Menghitung nilai basic time dengan mengalihkan nilai konversi upah tukang dengan waktu dicatat
7. Data basic time kemudian dihitung dengan memperhatikan waktu contingency dan relaxation
untuk memperoleh standart time.
Langkah-langkah perhitungan dengan cara time study sehingga didapat nilai produktivitas.
1. Mencatat waktu setiap kali pengamatan elemenelemen pekerjaan dilapangan dan kemudian dimasukan dalam lembar time study untuk
memperoleh nilai basic time dari tiap pengamatan
setiap elemen pekerjaan. Nilai basic time adalah
nilai manhour untuk 1 volume pekerjaan.
2. Nilai basic time dari tiap pengamatan elemenelemen pekerjaan kemudian di jumlah dan diratarata untuk memperoleh average basic time
3. Nilai average basic time kemudian dihitung dengan memperhatikan waktu contingency dan relaxation untuk memperoleh nilai standard time dari tiap elemen pekerjaan
4. Setelah itu dihitung total standard time dari tiap elemen pekerjaan dengan cara mengalikan nilai standard time elemen pekerjaan dengan volume
perolehan untuk elemen pekerjaan tersebut ( volume ) perolehan dan total standard time haruslah berasal dari 1 kali pengamatan dalam waktu tertentu
5. Membandingkan volume total perolehan pekerjaan dengan total standard time untuk memperoleh nilai produktivitas suatu pekerjaan

Prinsip Metode Time study  (skripsi dan tesis)

 

Rating
Ervianto (2004) mengemukakan pada umumnya penelitian dilakukan berdasarkan angka 100, yang memberikan informasi bahwa kinerja yang
terjadi dalam keadaan normal.
Basic Time
Basic time, adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu aktivitas dengan rating standard. Angka basic time di peroleh dengan rumus:
Basic time = observed time x (observed rating / standard rating )
Basic Time dihitung pada sejumlah observasi/pengamatan kemudian diambil nilai rataratanya. Dalam hal ini nilai rata-rata digunakan sebagai dasar basic time dari suatu kegiatan (Ervianto 2004).
Standard Time
Yang di maksud dengan standard time adalah “waktu seharusnya” yang dapat dicapai oleh tenaga ahli yang bekerja dengan standard rating untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Untuk menentukan standard time juga harus
diperhitungkan tentang Relaxation Allowance ( waktu relaksasi ) dan Contingency ( waktu kontigensi ).
Waktu relaksasi adalah waktu di saat pekerja harus berhenti sejenak dari pekerjaan yang mereka lakukan untuk menyegarkan kembali kondisi
badan mereka. Untuk lebih jelas tentang penyebab diperlukannya relaksasi dapat dilihat pada tabel relaksasi akibat faktor panas dan kelembapan udara
dan tabel pengaruh relaksasi terhadap basic time.

Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi (skripsi dan tesis)

Ukuran produktivitas yang sering diamati
adalah berkaitan dengan tenaga kerja. Pengertian
tenaga kerja menurut Undang-undang Republik
Indonesia No. 13 Tahun 2003 adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat. (Seri Perundang-undangan,Undang –
undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Berikut adalah fungsi dan tugas-tugas
tenaga kerja berdasarkan kehaliannya :
1. Mandor adalah orang yang mempunyai
keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan
jenis pekerjaan tertentu. Mandor membawahi
langsung pekerja-pekerja atau tukang-tukang.
2. Kepala tukang adalah orang yang mempunyai
keahlian dalam bidang pertukangan untuk
jenis pekerjaan tertentu dan memberi
petunjuk-petunjuk kepada para tukang yang
berhubungan dengan jenis pekerjaan tersebut.
3. Tukang adalah orang yang langsung
mengerjakan pekerjaan dilapangan dalam
bidang tertentu sesuai petunjuk kepala
tukang.orang-orang ini biasanya memiliki
sedikit keterampilan.
4. Pekerja (buruh) adalah orang yang membantu
tukang atau kepala tukang untuk semua jenis
pekerjaan tanpa harus memiliki keahlian atas
pekerjaan tertentu.

Tujuan dan Fungsi/Kegunaan mixed methods research (skripsi dan tesis)

Metode penelitian campuran kuantititatif-kualitatif (mixed methods research)adalah sebuah metode yang berfokus pada pengumpulan dan analisis data serta memadukan antara data kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan metode penelitian campuran ini adalah untuk menemukan hasil penelitian yang lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu pendekatan saja, misalnya menggunakan pendekatan kuantitatif saja atau dengan pendekatan kualitatif saja). Dengan menggunakan metode ini akan diperoleh data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. 

Meode ini digunakan untuk menangani tingkatan yang berbeda dalam satu sistem. Temuan dari setiap tingkatan dipadukan untuk merumuskan interpretasi menyeluruh.

Prosedur Analisis Mixed (skripsi dan tesis)

Ada beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu dalam merancang prosedur-prosedur mixed methods research, yaitu sebagai berikut:

  1. Timing (waktu)

Peneliti harus mempertimbangkan waktu dalam pengumpulan data kualitatif dan kuantitatifnya. Apakah data akan dikumpulkan secara bertahap (sekunsial) atau dikumpulkan pada waktu yang sama (konkuren). Ketika data dikumpulkan secara bertahap, peneliti perlu menentukan apakah data kuantitatif atau kualitatif yang akan dikumpulkan terlebih dahulu. Hal ini tergantung pada tujuan awal peneliti. Bila data kualitatif dikumpulkan pertama, tujuannya adalah untuk mengeksplorasi topik dengan cara mengamati partisipan di lokasi penelitian. Setelah itu peneliti memperluas pemahamannya melalui tahap kedua, yaitu data kuantitatif, di mana data dikumpulkan dari sejumlah besar partisipan (biasanya sampel dari populasi). Ketika data dikumpulkan secara konkuren, berarti data kuantitatif dan kualitatif dikumpulkan pada waktu yang sama dan pelaksanaannya simultan (serempak). Pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif secara bersaman dianggap paling efektif karena tidak membutuhkan waktu lama dalam proses pengumpulannya.

  1. Weighting (bobot)

Bobot yang dimaksud dalam merancang prosedur mixed methods adalah prioritas yang diberikan antara metode kuantitatif atau kualitatif. Dalam studi tertentu bobot dapat sama atau seimbang. Dalam beberapa penelitian lain mungkin lebih menekankan pada satu metode. Penekanan pada satu metode tergantung dari kepentingan peneliti, keinginan pembaca (seperti pihak kampus, organisasi profesional) dan hal apa yang ingin diutamakan oleh peneliti. Dalam kerangka yang lebih praktis, bobot dalam mixed methods bisa dipertimbangkan melalui beberapa hal, antara lain apakah data kualitatif dan kuantitatif yang akan diutamakan terlebih dahulu, sejauh mana treatment terhadap masing-masing dari kedua data tersebut atau apakah metode induktif (seperti, membangun tema-tema dalam kualitatif) atau metode deduktif (seperti, menguji suatu teori) yang akan diprioritaskan.

  1. Mixing (pencampuran)

Mencampur (mixing) berarti bahwa data kualitatif dan kuantitatif benar-benar dileburkan dalam satu end of continuum, dijaga keterpisahannya dalam end of continuum yang lain atau dikombinasikan dengan beberapa cara. Dua data bisa saja ditulis secara terpisah namun keduanya tetap dihubungkan (connecting) satu sama lain selama tahap-tahap penelitian. bahwa peneliti mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif secara konkuren dan menggabungkan (integrating) database keduanya dengan mentransformasikan tema-tema kualitatif menjadi angka-angka yang bisa dihitung (secara statistik) dan membandingkan hasil penghitungan ini dengan data kuantitatif deskriptif. Dalam hal ini, pencampuran menggabungkan dua database dengan meleburkan secara utuh data kuantitatif dengan data kualitatif. Atau dalam hal lain, peneliti tidak menggabungkan dua jenis metode penelitian yang berbeda tetapi sebaliknya peneliti justru tengah menancapkan (embedding) jenis data sekunder (kualitatif) ke dalam jenis data primer (kuantitatif) dalam satu penelitian. Database sekunder memeinkan peran pendukung dalam penelitian ini.

  1. Teorizing (teorisasi)

Faktor terakhir yang perlu diperhatikan dalam merancang mixed method adalah perspektif teori apa yang akan menjadi landasan bagi keseluruhan prosesw/tahap penelitian perspektif ini bisa berupa teori ilmu-ilmu sosial atau perspektif-perspektif teori lain yang lebih luas. Dalam mixed methods research, teori biasanya muncul dibagian awal penelitian untuk membentuk rumusan masalah yang diajukan, siapa yang berpartisipasi dalam penelitian, bagaimana data dikumpulkan dan implikasi-implikasi apa yang diharapkan dari penelitian

Konsep dan landasan penelitian Mix-Method (skripsi dan tesis)

Mixed Methods Research (Creswell, John W. and Clarck Vicki : 2008) adalah suatu disain penelitian yang didasari asumsi seperti halnya metoda inkuiri. Metode ini memberikan asumsi bahwa dalam menunjukkan arah atau memberi petunjuk tentang cara pengumpulan dan menganalisis data serta perpaduan pendekatan kuantitatif dan kualitatif melalui beberapa fase proses penelitian. Mixed methods research berfokus pada pengumpulan dan analisis data serta memadukan antara data kuantitatif dan data kualitatif, baik dalam single study (penelitia tunggal) maupun series study (penelitian berseri). Nana Syaodih Sukmadinata (2009 : 95) mengemukakan, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan instrumen-instrumen formal, standar dan bersifat mengukur. Sementara penelitian kualtatif menggunakan peneliti sebagai instrumen.

 Premis sentral yang dijadikan dasar mixed methods research adalah menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk menemukan hasil penelitian yang lebih baik dibanding menggunakan salah satu pendekatan saja (misalnya dengan pendekatan kuantitatif saja atau dengan pendekatan kualitatif saja). 

Perbedaan Mixed Methods Research dibandingkan dengan Quantitative danQualitative Research adalah sebagai berikuit :

  1. Ditinjau dari sudut pandang filosofis
  1. Penelitian kuantitatif didasari oleh pandangan pospositivisme. Menurut pandangan ini bahwa peneliti mengklaim pengetahuan didasarkan pada : 1) determinasi atau pemikiran sebab-akibat; 2) reduksionisme, dengan cara mempersempit dan memusatkan pada variabel yang akan dihubungkan; 3) mengobservasi secara detail dan melakukan pengukuran terhadap variabel; 4) melakukan testing teori yang secara kontinyu diperbaiki. 
  1. Penelitian kualitatif dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme, dimana konstruktivisme ini memiliki pandangan yang berbeda. Pemahaman atau makna suatu fenomena terbentuk oleh partisipan dan pandangan-pandangan subjektif dari partisipan. Pada saat partisipan memberikan pemahamannya atau jawabannya, maka mereka berbicara sesuai dengan makna yang dialami selama berinteraksi sosial dengan orang lain dan apa yang mereka bicarakan juga berasal dari latar belakang pribadinya. Penemuan penelitian dibentuk dari pola bottom up, yakni dari perspektif individu untuk dijadikan pola yang lebih luas yang pada akhirnya membentuk teori. 
  1. Penelitian mixed methods research dipengaruhi oleh pandangan filsafat pragmatisme. Fokus utamanya berpusat pada pertanyaan mendasar dalam penelitian dan bukan semata-mata berorientasi pada metode penelitian. Multi metoda untuk pengumpulan data dilakukan dalam rangka memperoleh jawaban tentang masalah yang diteliti. Dengan kata lain pragmatisme ini bersifat pluralistik dan berorientasi pada pekerjaan apa serta bersifat praktis.
  1. Ditinjau dari sudut pandang metodologi
  1. Dalam penelitian postpositivisme peneliti bekerja secara top down, dari sebuah teori dirumuskan hipotesis, pengumpulan data, dan dari data dikontradiksikan dengan teori. 
  1. Penelitian konstruktivisme, pendekatan yang ditempuh adalah bottom up,menggunakan pandangan-pandangan partisipan untuk membentuk tema-tema yang lebih luas dan menggeneralisasikan suatu teori berdasarkan interkoneksi atau menghubungkan antara tema-tema yang terbentuk. 
  1. Pragmatisme, pendekatan penelitian dikombinasikan antara berfikir deduktif dan berfikir induktif. Peneliti mixes (memadukan) data kuantitatif dandata kualitatif. 
  1. Ditinjau dari pengumpulan dan analisis data

 

  1. Kuantitatif

1)  Data kuantitatif berasal dari informasi yang bersifat close-ended (jawaban tertutup). Misalnya : pengukuran sikap, perilaku, atau instrument pengukuran perilaku yang lain.

2)  Koleksi data kuantitatif menggunakan instrument daftar check list close-ended, yang dapat dilakukan peneliti dengan cara memberi tanda check (√ ) pada perilaku yang terlihat.

3)  Kadang-kadang informasi/data kuantitatif diperoleh dari dokumen, catatan hasil sensus, catatan kehadiran.

4)  Analisis data kuantitatif menggunakan analisis statistic berdasarkan skor yang terkumpul dari instrument (checklist, dokumen, hipotesis )

  1. Kualitatif

1)  Data kualitatif bersumber dari informasi yang bersifat open-ended (jawaban terbuka) yang dikumpulkan oleh peneliti melalui interview dengan partisipan.

2)  Pada umumnya pertanyaan-pertanyaan open ended disampaikan pada saat berlangsungnya interviu dan sepenuhnya memberi kesempatan kepada partisipan untuk menjawab dengan menggunakan kata/kalimat/bahasanya sendiri.

3)  Data kualitatif dikumpulkan melalui observasi kepada partisipan atau subyek penelitian, memperoleh dokumen pribadi partisipan (misal : catatan harian(diary), dokumen yang bersifat umum (lamanya suatu pertemuan), atau mengumpulkan dokumen individual (video, artefaks).

4)  Analisis data kualitatif (kata, kalimat, image, pendapat) dikelompokkan sesuai jenisnya menurut kelompok informasi (kategori kata atau image) atau kelompok berbagai ide yang diperoleh selama pengumpulan data. 

  1. Mix-method research

1)   Data kualitatif bersumber dari informasi yang bersifat open-ended (jawaban terbuka) yang dikumpulkan oleh peneliti melalui interview dengan partisipan.

2)   Pada umumnya pertanyaan-pertanyaan open ended disampaikan pada saat berlangsungnya interviu dan sepenuhnya memberi kesempatan kepada partisipan untuk menjawab dengan menggunakan kata/kalimat/bahasanya sendiri.

3)   Data kualitatif dikumpulkan melalui observasi kepada partisipan atau subyek penelitian, memperoleh dokumen pribadi partisipan (misal : catatan harian(diary), dokumen yang bersifat umum (lamanya suatu pertemuan), atau mengumpulkan dokumen individual (video, artefaks).

4)   Analisis data kualitatif (kata, kalimat, image, pendapat) dikelompokkan sesuai jenisnya menurut kelompok informasi (kategori kata atau image) atau kelompok berbagai ide yang diperoleh selama pengumpulan data. 

Berangkat dari titik-titik kelemahan kuantitatif dan kualitatif maka muncullahMixed Methods Research, dengan kelebihan sebagai berikut : 

  1. Mixed method research menghasilkan fakta yang lebih komprehensif dalam meneliti masalah penelitian, karena peneliti memiliki kebebasan untuk menggunakan semua alat pengumpul data sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan. Sedangkan kuantitatif atau kualitatif hanya terbatas pada jenis alat pengumpul data tertentu saja. 
  1. Mixed method research dapat menjawab pertanyaan penelitian yang tidak dapat dijawab oleh penelitian kuantitatif atau kualitatif. Contoh : apakah pendapat partisipan yang diperoleh dari wawancara dan hasil pengukuran dengan instrument tertentu harus dipisah ? (pertanyaan inilah yang akan dijawab olehmixed method research, bahwa alat pengumpul data tidak hanya terbatas pada satu alat saja. “Apa yang dapat menerangkan atau memperjelas hasil penelitian kuantitatif ? (mixed method research menjawab, data kualitatif menerangkan/memperjelas hasil penelitian kuantitatif). 
  1. Mixed method research mendorong peneliti untuk melakukan kolaborasi, yang tidak banyak dilakukan oleh penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Kolaborasi dimaksud adalah kolaborasi social, behavioral, dan kolaborasi humanistic. 
  1. Mixed method research mendorong untuk menggunakan berbagai pandangan atau paradigma. 
  1. Mixed method research itu “praktis” karena peneliti memiliki keleluasaaan menggunakan metoda untuk meneliti masalah. 

Pengertian  Pendekatan Mix-method (skrispi dan tesis)

Mix-method penelitian adalah metode yang memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam hal metodologi (seperti dalam tahap pengumpulan data), dan kajian model campuran memadukan dua pendekatan dalam semua tahapan proses penelitian (Abbas, 2010: Viii). Sedangkan menurut Creswell (2014: 5) mix- methods merupakan pendekatan penelitian yang mengkombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan menurut Johnson dan Cristensen (2007)Mix-Methods atau metode penelitian kombinasi merupakan pendekatan dalam penelitian yang mengkombinasikan atau menghubungkan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif  (mencakup landasan filosofis, penggunaan pendekatan dan mengkombinasikan kedua pendekatan dalam penelitian). Sehingga dari berbagai definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Mix-method penelitian adalah penelitian yang memadukan atau mengkombinasikan pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif.

Audit (skripsi dan tesis)

Secara umum auditing adalah proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan
tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada para pemakai
yang berkepentingan. (Mulyadi, 2002 : 9). Tujuan audit secara umum atas laporan keuangan oleh auditor adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan hasil usaha dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia. Kewajaran laporan keuangan dinilai berdasarkan asersi yang terkandung dalam setiap unsur yang disajikan dalam laporan keuangan. Asersi adalah pernyataan manajemen yang terkandung dalam komponen laporan
keuangan yang dapat bersifat implisit atau eksplisit. (Arens, 1995 : 114).

Manfaat Laporan Keuangan (skripsi dan tesis)

Manfaat laporan keuangan bisa digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. Berikut adalah para pengguna laporan keuangan dan
manfaatnya :
1. Investor
Untuk membantu menentukan tindakan apakah yang harus dilakukan di dalam melakukan penilaian investasi perusahaan.
2. Pemegang saham
Untuk memperoleh informasi mengenai harga saham dan transaksi-transaksi lainnya sangat dibutuhkan para pemegang saham dalam menentukan keputusan yang dapat mempengaruhi kestabilan harga saham.
3. Manajer
Harus memegang kendali tentang hak dan kewajiban mereka. Hak dan kewajiban tersebut akan dilaksanakan oleh manajemen berdasarkan
laporan keuangan.
4. Karyawan
Merupakan salah satu faktor untuk dapat mencapai tujuan perusahaan. Mereka tertarik kepada informasi mengenai stabilitas, profitabilitas serta informasi yang memungkinkan untuk menilai kemampuannya
dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja.
5. Pemerintah
Berkepentingan terhadap aktivitas perusahaan, seperti halnya dalam menetapkan kebijaksanaan pajak serta sebagai dasar untuk menyusun
statistik pendapatan nasional.

6. Masyarakat Laporan keuangan membantu masyarakat dengan
menyediakan informasi kecenderungan dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan dan rangkaian aktivitasnya

Laporan Keuangan (skripsi dan tesis)

Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Pelaporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang mengkomunikasikan keadaan keuangan dari hasil operasi perusahaan dalam periode tertentu kepada pihak-pihak yang berkepentingan sehingga manajemen mendapatkan informasi yang bermanfaat. Laporan keuangan mempunyai tujuan utama yakni memberikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan ekonomis. Para pemakai laporan keuangan akan menggunakannya untuk meramalkan, membandingkan dan menilai
dampak keuangan yang timbul dari keputusan ekonomis yang diambilnya

Pengaruh Kompleksitas Operasi Perusahaan Terhadap Audit Delay (skripsi dan tesis)

Tingkat kompleksitas operasi sebuah perusahaan yang bergantung pada jumlah dan lokasi unit operasinya (cabang) serta diversifikasi jalur produk dan pasarnya, lebih cenderung mempengaruhi waktu yang dibutuhkan auditor untuk menyelesaikan pekerjaan auditnya. Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi audit delay. Hubungan tersebut juga didukung oleh penelitian
Ashton, Willingham dan Elliot dalam Rahayu (2011) yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara kompleksitas operasi perusahaan dengan audit delay. Jumlah anak perusahaan suatu perusahaan mewakili kompleksitas jasa audit yang diberikan yang merupakan ukuran rumit atau tidaknya transaksi yanng dimiliki oleh klien KAP untuk di audit (Hay et al., dalam Sulistiyo, 2010). Menurut Beams dalam Halim (2000), apabila perusahaan
memiliki anak perusahaan didalam negeri maka transaksi yang dimiliki klien semakin rumit karena ada laporan konsolidasi yang perlu di audit oleh auditor. Selain itu apabila perusahaan memiliki anak perusahaan diluar negeri maka laporan tambahan yang perlu di audit adalah laporan reasurement dan atau laporan-laporan transaksi. Penelitian yang dilakukan Owusu-Ansah dalam Sulistiyo (2010) menemukan bukti empiris bahwa tingkat kompleksitas operasi sebuah perusahaan memiliki hubungan positif sehingga akan
berpengaruh terhadap audit delay. Perusahaan yang memiliki unit operasi (cabang) lebih banyak akan memerlukan waktu yang lebih lama bagi auditor untuk melakukan pekerjan auditnya

Pengaruh Jumlah Komite Audit Terhadap Audit Delay (skripsi dan tesis)

Pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan bagi perusahaan publik untuk mencapai good corporate governance antara lain Bapepam-LK dengan Surat Edaran No. SE-03/PM/2000  mensyaratkan bahwa setiap perusahaan go publik di Indonesia wajib membentuk komite audit dengan anggota minimal 3 orang yang diketuai oleh satu orang komisaris independen perusahaan
dan dua orang dari luar perusahaan yang independen terhadap perusahaan. Selain independen surat edaran tersebut juga mensyaratkan bahwa anggota komite audit harus menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Sementara bagi perusahaan BUMN/BUMD, sesuai dengan
Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: 117/M-MBU/2002 menyatakan bahwa: “Komisaris/Dewan Pengawas harus membentuk komite yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris/Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya, yaitu membantu Komisaris/ Dewan Pengawas dalam memastikan efektifitas sistem pengendalian intern,  efektivitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan auditor internal”.
Rahayu (2011) menyatakan dengan kontribusi yang diberikan oleh komite audit diharapkan dapat membantu proses audit yang dilakukan oleh auditor dan akhirnya dapat mempercepat penyelesaian laporan keuangan auditator

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Audit Delay (skripsi dan tesis)

Ukuran perusahaan merupakan gambaran besar kecilnya perusahaan yang ditentukan berdasarkan ukuran nominal misalnya jumlah kekayaan dan total penjualan perusahaan dalam satu periode penjualan (Rahayu, 2011). Keputusan Ketua Bapepam-LK No. Kep. 11/PM/1997 menyebutkan perusahaan kecil dan menengah berdasarkan aktiva (kekayaan) adalah badan hukum yang memiliki total aktiva tidak lebih dari seratus milyar, sedangkan perusahaan besar adalah badan hukum yang total aktivanya diatas seratus milyar (Yuliyanti, 2010). Penelitian ini menggunakan jumlah kekayaan (total asset) yang dimiliki perusahaan sebagai proksi ukuran perusahaan.
Menurut Courtis di New Zealand, penelitian Gilling, penelitian Davies dan Whitterd di Australia, dan lain sebagainya dalam Rachmawati (2008) menunjukkan bahwa audit delay memiliki hubungan negatif dengan ukuran perusahaan yang menggunakan proksi total aktiva. Artinya bahwa semakin besar aset perusahaan maka semakin pendek audit delay. Penyebabnya
adalah perusahaan – perusahaan go public atau perusahaan besar mempunyai sistem pengendalian internal yang baik sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan dalam penyajian laporan keuangan perusahaan sehingga memudahkan auditor dalam melakukan pengauditan laporan keuangan.
Lemahnya pengendalian internal klien memberikan dampak audit delay yang semakin panjang karena auditor membutuhkan sejumlah waktu untuk mencari evidential matter yang lebih lengkap dan kompleks untuk mendukung opininya.

Pengaruh Jenis Opini Auditor Terhadap Audit Delay (skripsi dan tesis)

Opini atau pendapat auditor merupakan kesimpulan auditor berdasarkan hasil audit. Auditor menyatakan pendapatnya berpijak pada audit yang dilaksanakan berdasarkan standar auditing dan atas temuan-temuannya. Ada lima tipe pendapat laporan audit yang diterbitkan oleh auditor (Mulyadi 2002, h.20-22): (1) Pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion), (2) Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (Unqualified Opinion report with Explanatory Language), (3) Pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified Opinion), (4) Pendapat tidak wajar (adverse Opinion), (5) Pernyataan tidak memberikan pendapat (Disclaimer of Opinion). Opini selain wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) merupakan opini yang tidak diharapkan oleh semua manajemen. Semakin tidak baik opini yang diterima oleh perusahaan maka semakin lama laporan keuangan auditan dipublikasikan. Laporan keuangan yang disampaikan tidak tepat waktu mencerminkan ketidakpatuhan perusahaan terhadap ,peraturan yang ada. Subekti dan Widiyanti (2004) membuktikan bahwa audit delay yang lebih panjang dialami oleh perusahaan yang menerima pendapat selain unqualified opinion. Hal ini dikarenakan pendapat selain unqualified opinion dianggap sebagai badnews, maka auditor akan melibatkan negosiasi dengan klien, konsultasi dengan partner auditor yang lebih senior atau staf teknis, dan perluasan lingkup audit, sehingga audit delay akan semakin panjang. Lain halnya dengan perusahaan yang menerima pendapat unqualified opinion, perusahaan tersebut akan melaporkan pendapat tepat waktu karena merupakan berita baik. Dalam hal ini, opini audit yang baik (unqualified opinion) harus mengemukakan bahwa laporan keuangan telah diaudit sesuai dengan ketentuan Standar Akuntansi Keuangan dan tidak ada penyimpangan material yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan

Pengaruh Kualitas Auditor Terhadap Audit Delay (skripsi dan tesis0

Kualitas auditor dapat dilihat dari afiliasi Kantor Akuntan Publik (KAP) big4 dan
non-big4. Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah suatu bentuk organisasi akuntan publik yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berusaha dibidang pemberian jasa professional dalam praktek akuntan publik (Rachmawati, 2008).
Pemilihan kantor akuntan publik yang berkompeten kemungkinan dapat membantu waktu penyelesaian audit menjadi lebih segera atau tepat waktu. Penyelesaian waktu audit secara tepat waktu kemungkinan dapat meningkatkan reputasi kantor akuntan publik dan menjaga kepercayaan
klien untuk memakai jasanya kembali untuk waktu yang akan datang. Dengan demikian besar kecilnya Ukuran Kantor Akuntan Publik kemungkinan dapat mempengaruhi waktu penyelesaian audit laporan keuangan.
Hasil penelitian Ashton, Willingham, dan Elliott (1987) dalam Rahayu (2011)
menemukan bahwa audit delay akan lebih pendek bagi perusahaan yang diaudit oleh KAP  yang tergolong besar. Hasil yang sama juga ditemukan Ahmad dan Kamarudin dalam Yuliana dan Ardiati (2004) yaitu bahwa audit delay pada KAP Big Four akan lebih pendek dibandingkan dengan audit delay pada KAP kecil. Hal ini diasumsikan karena KAP besar memiliki karyawan dalam jumlah yang besar, dapat mengaudit lebih efisien dan efektif, memiliki jadwal yang fleksibel sehingga memungkinkannya untuk menyelesaikan audit tepat waktu, dan memiliki dorongan yang lebih kuat untuk menyelesaikan auditnya lebih cepat guna menjaga reputasinya.

Peraturan Pemerintah Indonesia Mengenai Rotasi Wajib Auditor (skripsi dan tesis)

Keraguan mengenai independensi auditor menjadi isu yang banyak
diperbincangkan kalangan profesi akuntan. Isu tersebut berkaitan dengan
pemberian jasa audit oleh auditor. Pemerintah sebagai regulator berusaha mengatasi masalah ini dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang membahas mengenai pergantian KAP secara wajib. Adanya peraturan tersebut diharapkan dapat memfasilitasi kepentingan dari semua pihak baik pihak auditor, pihak perusahaan, dan pihak eksternal.
Di Indonesia, pergantian KAP bersifat voluntary dan mandatory. Pergantian
secara mandatory (wajib dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 423/KMK.06/2002 tentang “Jasa Akuntan Publik”.
Pada tahun 2003 peraturan tersebut diperbaharui dengan Keputusan Menteri
Keungan Nomor 359/KMK.06/2003 pasal 2, yang mengatur bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling lama 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan paling lama 3 (tiga) tahun buku berturut-turut oleh seorang Akuntan Publik. Perjalanan sebuah aturan selalu mengikuti perkembangan zaman begitu juga dengan peraturan mengenai pergantian auditor. Peraturan mengenai pergantian auditor tersebut mengalami penyempurnaan dengan dikeluarkannnya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 pasal 3 tentang “Jasa Akuntan Publik”. Perubahan yang dilakukan adalah mengenai pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling lama 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan paling lama 3 (tiga) tahun buku berturut turut ole h seorang Akuntan Publik (pasal 3 ayat 1).
Kemudian Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dapat menerima kembali penugasan audit umum atas laporan keuangan klien yang sama setelah 1 (satu) tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan keuangan klien yang sama (pasal 3 ayat 2 dan ayat 3). Adanya aturan tersebut menyebabkan perusahaan diwajibkan melakukan pergantian Akuntan Publik dan KAP setelah jangka waktu yang ditetapkan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008
tentang “Jasa Akuntan Publik” menjadi landasan yang digunakan dalam penelitian ini karena periode waktu penelitian ini adalah 2010-2014. Peraturan tersebut telah berlaku semenjak 2008 sehingga dimulai dan mengikuti peraturan tersebut periode penelitian ini berlangsung selama 5 (lima) tahun berturut-turut

Opini Auditor (skripsi dan tesis)

Pendapat auditor dalam laporan keuangan auditan sangatlah penting bagi perusahaan maupun pihak-pihak luar yang membutuhkan informasi keuangan perusahaan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Terdapat lima jenis opini yang dikeluarkan oleh auditor atas laporan keuangan menurut Mulyadi (2009) yaitu sebagai berikut :

  1. Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion).

Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan oleh auditor jika tidak terjadi pembatasan dalam lingkup audit dan terdapat pengecualian yang signifikan 32 mengenai kewajaran dan penerapan Prinsip Akuntansi Berterima Umum dalam penyusunan laporan keuangan, konsistensi penerapan Prinsip Akuntansi Berterima Umum tersebut, serta pengungkapan memadai dalam laporan keuangan.

  1. Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelasan (Unqualified Opinion report with Explanatory Language).

Pendapat ini diberikan apabila audit telah dilaksanakan atau telah sesuai standar auditing. Penyajian laporan keuangan sesuai prinsip akuntansi yang diterima umum, tetapi terdapat keadaan tertentu yang mengharuskan auditor menambahkan suatu paragraf penjelasan (penjelasan lain) laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan.

 

  1. Pendapat Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion).

Auditor memberikan pendapat wajar dengan pengecualian dalam laporan audit apabila lingkup audit dibatasi klien, auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat memperoleh informasi penting karena kondisikondisi yang berada diluar kekuasaan klien maupun auditor, laporan keuangan tidak disusun dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak ditetapkan secara konsisten.

  1. Pendapat Tidak Wajar (adverse Opinion).

Pendapat tidak wajar merupakan kebalikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Akuntan memberikan pendapat tidak wajar jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan Prinsip Akuntansi Berterima Umum sehingga tidak 33 menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan klien.

  1. Pernyataan Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion).

Jika auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditor, maka laporan audit ini disebut dengan laporan tanpa pendapat (no opinion report). Kondisi yang menyebabkan auditor menyatakan tidak memberikan pendapat adalah:

  1. Pembatasan yang luar biasa sifatnya terhadap lingkungan audit.
  2. Auditor tidak independen dalam hubungannya dengan kliennya.

Penelitian yang dilakukan Ahmad dan Kamarudin (2003) menyimpulkan bahwa opini audit berpengaruh positif terhadap audit report lag dimana audit report lag akan dialami lebih panjang pada perusahaan yang mendapatkan qualified opinion. Hal ini didasarkan adanya kemungkinan kontra antara auditor dengan manajemen perusahaan yang berpengaruh terhadap penerbitan laporan keuangan.

Adapun proses pemberian pendapat qualified opinion tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama, karena hal ini melibatkan proses negosiasi yang cukup rumit antara auditor dengan manajemen perusahaan. Akan tetapi, Iskandar dan Trisnawati (2010) membuktikan bahwa opini audit tidak berpengaruh terhadap audit report lag. Hal ini disebabkan pemberian opini audit dilakukan pada tahap terakhir pada proses audit, sehingga pendapat apapun yang diberikan auditor kepada perusahaan tidak mempengaruhi lamanya audit report lag

Ukuran Kantor Akuntan Publik (skripsi dan tesis)

Kantor akuntan publik (KAP) adalah suatu bentuk organisasi akuntan publik yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berusaha di bidang pemberian jasa profesional dalam praktik akuntan publik. Menurut Arens, et al. (2008), terdapat empat kategori ukuran kantor akuntan publik (KAP), antara lain KAP Internasional, KAP lokal dan regional, KAP nasional, dan KAP kecil.

Kantor akuntan publik (KAP) internasional dikenal dengan julukan “The Big Four” dimana masing-masing kantor akuntan publik (KAP) internasional memiliki kantor di setiap kota besar di Amerika Serikat dan di banyak kota besar di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Tabel berikut menunjukkan mitra KAP Internasional Big Four dengan KAP di Indonesia.

Tabel 1.2

Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP)

 

The Big Four Mitra Indonesia
Deloitte Touche Tohmatsu Osman, Bing, Satrio dan rekan
Ernst and Young Purwantono, Sarwoko, dan Sandjaja
Kingsfield, Peat, Marwick, Goerdeller (KPMG) Siddharta dan Widjaja
Price Waterhouse Coopers (PWC) Haryanto, Sahari dan rekan

Sumber: Tuanakkotta (2011).

 

KAP besar cenderung memiliki karyawan dalam jumlah yang besar, dapat mengaudit lebih efisien dan efektif, memiliki jadwal yang fleksibel sehingga memungkinkannya untuk menyelesaikan audit tepat waktu, dan memiliki dorongan yang lebih kuat untuk menyelesaikan auditnya lebih cepat guna menjaga reputasinya (Utami, 2006).

Hal ini diperkuat oleh pendapat Prabandari dan Rustiana (2007) yang menyatakan bahwa KAP Big Four pada umumnya memiliki sumber daya yang lebih besar (kompetensi, keahlian, dan kemampuan auditor, fasilitas, sistem dan prosedur pengauditan yang digunakan, dll) dibandingkan dengan KAP non Big Four, sehingga KAP Big Four akan dapat menyelesaikan pekerjaan audit dengan lebih efektif dan efisien.

Selain itu, KAP Big Four cenderung memperoleh insentif yang lebih tinggi atas pekerjaan yang dilakukannya dibanding dengan KAP non Big Four. Proses pengauditan yang dilakukan KAP Big Four cenderung lebih singkat yang merupakan cara mereka untuk mempertahankan reputasinya. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa perusahaan yang diaudit oleh KAP yang termasuk Big Four cenderung lebih cepat menyelesaikan tugas audit bila dibandingkan dengan KAP non Big Four.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Walker dan Hay (2006) serta Iskandar dan Trisnawati (2010) menyatakan bahwa ukuran KAP berpengaruh terhadap audit report lag. Sedangkan Prabandari dan Rustiana (2007) menyatakan bahwa audit report lag tidak terbukti dipengaruhi oleh ukuran KAP. Menurut Prabandari dan Rustiana (2007), KAP Big Four lebih cepat menyelesaikan tugas audit, dikarenakan bahwa mereka harus menjaga reputasi. KAP Big Four umumnya memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan KAP non Big Four sehingga mereka dapat menyelesaikan pekerjaan auditnya relatif lebih efektif dan efisien.

Namun demikian, dengan adanya semakin ketatnya persaingan dalam lingkungan KAP, maka KAP non Big Four berusaha untuk mengaudit laporan keuangan klien dengan efektif dan efisien yang ditunjukkan bahwa dalam penelitian mereka selisih audit report lag pada perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four dan KAP non Big Four hanya selama 5 hari dengan selisih standar deviasi 3 hari. KAP non Big Four berusaha untuk memberikan jasa audit kepada kliennya dengan kualitas yang sama baiknya dengan KAP Big Four.

Berdasarkan Buku Profil Akuntan Publik dan Kantor AkuntanPublik tahun 2014 yang dipublikasikan oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), ukuran KAP dapat dibedakan berdasarkan komposisi jumlah rekan KAP sebagaimana diuraikan berikut ini :

  1. KAP Kecil : KAP Perseorangan
  2. KAP Menengah : KAP Persekutuan dengan 2-5 orang rekan
  3. KAP Besar : KAP Persekutuan dengan 6-10 orang rekan
  4. KAP Sangat Besar : KAP Persekutuan dengan >10 orang rekan, namun tidak termasuk KAP Big Four
  5. KAP Big Four : KAP yang bekerja sama dengan OAA yang merupakan kategori Big Four di dunia.

Sementara berdasarkan Mustofa (2014), ukuran KAP dapat dibedakan sebagai berikut:

  1. KAP Kecil : KAP Perseorangan
  2. KAP Menengah : KAP Persekutuan dengan 2-10 orang rekan

KAP Besar : KAP Persekutuan dengan >10 orang rekan

Auditor Switching (skripsi dan tesis)

 

Keraguan mengenai independensi auditor menjadi isu yang banyak diperbincangkan kalangan profesi akuntan. Isu tersebut berkaitan dengan pemberian jasa audit oleh auditor. Pemerintah sebagai regulator berusaha mengatasi masalah ini dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang membahas mengenai pergantian KAP secara wajib. Adanya peraturan tersebut diharapkan dapat memfasilitasi kepentingan dari semua pihak baik pihak auditor, pihak perusahaan, dan pihak eksternal.

Di Indonesia, pergantian KAP bersifat voluntary dan mandatory. Pergantian secara mandatory (wajib dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 423/KMK.06/2002 tentang “Jasa Akuntan Publik”. Pada tahun 2003 peraturan tersebut diperbaharui dengan Keputusan Menteri Keungan Nomor 359/KMK.06/2003 pasal 2, yang mengatur bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling lama 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan paling lama 3 (tiga) tahun buku berturut-turut oleh seorang Akuntan Publik.

Perjalanan sebuah aturan selalu mengikuti perkembangan zaman begitu juga dengan peraturan mengenai pergantian auditor. Peraturan mengenai pergantian auditor tersebut mengalami penyempurnaan dengan dikeluarkannnya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 pasal 3 tentang “Jasa Akuntan Publik”. Perubahan yang dilakukan adalah mengenai pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling lama 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan paling lama 3 (tiga) tahun buku berturut turut ole h seorang Akuntan Publik (pasal 3 ayat 1). Kemudian Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dapat menerima kembali penugasan audit umum atas laporan keuangan klien yang sama setelah 1 (satu) tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan keuangan klien yang sama (pasal 3 ayat  2 dan ayat 3). Adanya aturan tersebut menyebabkan perusahaan diwajibkan melakukan pergantian Akuntan Publik dan KAP setelah jangka waktu yang ditetapkan.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik” menjadi landasan yang digunakan dalam penelitian ini karena periode waktu penelitian ini adalah 2010-2014. Peraturan tersebut telah berlaku semenjak 2008 sehingga dimulai dan mengikuti peraturan tersebut periode penelitian ini berlangsung selama 5 (lima) tahun berturut-turut.

Auditor switching  adalah pergantian auditor atau Kantor Akuntan Publik yang dilakukan secara mandatory atau voluntary. Pergantian tersebut dapat disebabkan beberapa faktor baik dari pihak perusahaan atau KAP. Faktor tersebut diantaranya ukuran KAP, ukuran perusahaan klien, pertumbuhan perusahaan klien, financial distress, pergantian manajemen, opini, dan peluang dalam manipulasi income.

Teori keagenan menggambarkan hubungan keagenan sebagai hubungan yang timbul karena adanya kontrak yang ditetapkan antara principal yang menggunakan agent untuk melaksanakan jasa yang menjadi kepentingan principal. Terdapat dua bentuk keagenan, yaitu antara manajer dengan pemegang saham dan hubungan antara manajemen dengan pemberi pinjaman. Berikut adalah gambaran hubungan auditor, perusahaan dan pengguna laporan keuangan diluar perusahaan:

Pergantian auditor secara mandatory tertuang dalam Undang-Undang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik bahwa pemberian jasa audit oleh Akuntan Publik atas informasi keuangan historis keuangan suatu klien untuk tahun yang berturut-turut dapat dibatasi dalam jangka waktu tertentu untuk Perusahaan yang bergerak dalam bidang perbankan, dana pension, industri di sector pasar modal, Perusahaan asuransi, dan Badan Usaha Milik Negara. Lebih lanjut ditegaskan oleh Undang-Undang Akuntan Publik dan Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2016 yang memberikan batasan paling lama 5 (lima) tahun buku berturut-turut dilakukan oleh KAP yang sama dan oleh Akuntan Publik yang sama. Pergantian Akuntan Publik secara voluntary artinya Perusahaan melakukan pergantian Akuntan Publik sendiri sebelum 5 (lima) tahun. Hal ini bisa terjadi karena dua alasan yaitu faktor dari aturan dari Peraturan Menteri Keuangan tersebut dan Perusahaan itu sendiri.Pergantian auditor yang terjadi karena faktor dari Perusahaan misalnya fee auditor yang terlalu tinggi dan kualitas auditor yang tidak sesuai dengan ekspektasi perusahaan, sedangkan faktor pergantian auditor karena faktor aturan Kementerian keuangan memang karena hal ini sudah diatur terlebih dahulu dalam Undang-Undang ataupun Peraturan Menteri Keuangan tersebut.

Saat ini pergantian auditor telah diatur dengan peraturan terbaru yaitu Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2015 tentang Praktik Akuntan Publik yang merupakan peraturan lebih lanjut dari Undang-Undang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Peraturan ini dirasakan akan dapat memberikan keuntungan tersendiri karena auditor dapat mempertahankan klien yang menggunakan jasanya untuk memeriksa laporan keuangan karena peraturan ini tidak mengatur batasan paling lama periode perikatan audit atas laporan keuangan historis dengan KAP yang sama, dengan catatan setiap paling lama 5 (lima) tahun buku berturut-turut KAP harus mengganti Akuntan Publik atau Akuntan Publik Terasosiasi yang melakukan audit atas laporan keuangan historis pada perusahaan tersebut

Pengertian Audit Delay (skrispi dan tesis)

 

Audit Delay didefinisikan sebagai lamanya waktu penyelesaian audit yang diukur dari tanggal penutupan tahun buku hingga tanggal diterbitkannya laporan audit (Halim, 2000). Senada dengan pernyataan Halim, Aryati (2005) menyebutkan Audit Delay sebagai rentang waktu penyelesaian laporan audit laporan keuangan tahunan, diukur berdasarkan lamanya hari yang dibutuhkan untuk memperoleh laporan keuangan auditor independen atas audit laporan keuangan perusahaan sejak tanggal tutup buku perusahaan, yaitu per 31 Desember sampai tanggal yang tertera pada laporan auditor independen.

Audit Delay adalah rentang waktu antara tanggal tutup buku dengan tanggal pelaporan laporan keuangan. Semakin lama rentang Audit Delay, semakin tidak tepat waktu. Ketepatan waktu merupakan salah satu syarat relevansi dan keandalan penyajian laporan keuangan, namun pada penerapan ketepatan waktu pelaporan terdapat banyak kendala. Untuk melihat ketepatan waktu, biasanya suatu penelitian melihat ketepatwaktuan pelaporan (lag). (Margaretta dan Soepriyanto, 2012)

Menurut Dyer dan McHugh, ada tiga kriteria ketepatwaktuan, yaitu: ketepatwaktuan audit (Auditors’ Report Lag) yaitu interval jumlah hari antara tanggal laporan keuangan sampai tanggal laporan auditor ditandatangani; keterlambatan Pelaporan (Reporting Lag) yaitu interval jumlah hari antara tanggal laporan auditor ditandatangani sampai tanggal pelaporan oleh BEI; dan keterlambatan total (Total Lag) yaitu interval jumlah hari antara tanggal periode laporan keuangan sampai tanggal laporan dipublikasikan oleh bursa (Margaretta dan Soepriyanto, 2012)

Keterlambatan penyelesaian audit laporan keuangan dapat disebabkan karena perusahaan berusaha untuk mengumpulkan informasi yang banyak untuk menjamin keandalan dari laporan keuangan (IAI, 2007:8). Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal No. KEP 36/PM/2003 yang menyatakan bahwa laporan keuangan tahunan yang disertai dengan laporan auditor independen harus disampaikan kepada BAPEPAM selambat-lambatnya 90 hari setelah tanggal laporan keuangan. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa dalam hal penyampaian laporan tahunan dimaksud melewati batas waktu penyampaian laporan keuangan tahunan, maka hal tersebut diperhitungkan sebagai keterlambatan penyampaian laporan keuangan tahunan.

Menurut Dyer dan Mchugh dalam Pramesti dan Dananti (2012) membagi keterlambatan atau lag menjadi:

  1. Prelimary lag, yaitu interval antara berakhirnya tahun fiskal sampai dengan tanggal diterimanya laporan keuangan pendahulu oleh pasar modal.
  2. Auditor’s signature lag, yaitu interval antara berakhirnya tahun fiskal sampai dengan tanggal yang tercantum dalam laporan auditor.
  3. Total lag, yaitu interval antara berakhirnya tahun fiskal sampai sampai dengan tanggal diterimanya laporan ke tahunan publikasi oleh pasar

Pengertian Pajak (skripsi dan tesis)

Pengertian pajak beranekaragam tergantung dari sudut kajian bagi
mereka yang merumuskannya, berkaitan dengan defenisi pajak. Menurut Dr.
P. J. A Adriani, ”Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan)
yang terhutang oleh WP untuk membayarnya menurut peraturan dengan
tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.”
Menurut Sudarsono, “Pungutan wajib, biasanya berupa utang yang
harus dibayaroleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau
pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan barang, harga beli
barang dan sebagainya.”
Menurut Soemitro, “Pajak adalah iuran rakyat kepada khas negara
berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membiayai penggunaan umum.”
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, “Pajak adalah iuran rakyat
kepada negara berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan), yang
langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan.”
Menurut Prof. Dr. MJH. Smeets, “Pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat
dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran
pemerintahan”.
Menurut Guritno Mangkoesoebroto, “Pajak adalah suatu pungutan
yang merupakan hak prerogative pemerintah, pungutan tersebut didasarkan
pada Undang-Undang, pemungutannya dapat dipisahkan kepada subjek
pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat di tunjukkan
penggunaannya”.16
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, “pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, pajak adalah “kontribusi wajib kepada daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Sistem Hukum (skripsi dan tesis)

Berbicara tentang hukum sebagai sebuah sistem, diawali dengan
pembicaraan tentang sistem itu sendiri. Pemahaman yang umum mengenai
sistem mengatakan bahwa suatu sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat
kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain.
Smith dan Taylor mendefinisikan sistem sebagai suatu kumpulan
komponen-komponen yang berinteraksi dan bereaksi antar atribut
komponen-komponen untuk mencapai suatu akhir yang logis sedangkan
John Burch mendefenisikan sistem sebagai suatu kumpulan dari objek-objek
yang saling berhubungan dan di perintahkan untuk mencapai sasaran atau
tujuan bersama.
Menurut Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa “sistem hukum
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai
interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan
tersebut.”
Menurut Lawrence Meir Friedman komponen sistem hukum terdiri atas
kultur hukum, substansi hukum, dan struktur hukum, kultur hukum adalah
budaya hukum masyarakat, substansi hukum artinya materi hukum yang termuat dalam perundang-undangan dan struktur hukum berarti lembaga
pelaksana hukum
Fuller meletakkan ukuran apakah kita suatu saat dapat berbicara
mengenai adanya suatu sistem hukum dalam delapan asas yang
dinamakannya principles of legality yaitu:
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3. Tidak boleh ada aturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang
demikian itu ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi
pedoman tingkah laku.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa di mengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa
yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga
menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.\

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang di Undangkan dengan
pelaksanaanya sehari-hari.
Fuller sendiri mengatakan, bahwa kedelapan asas yang di ajukannya
itu sebetulnya lebih dari sekadar persyaratan bagi adanya suatu sistem
hukum, melainkan memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum
sebagai sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu

Tujuan Hukum (skripsi dan tesis)

Dalam merumuskan apa yang menjadi tujuan hukum, para ahli
mengemukakan pendapat yang berbeda beda, yang akan diuraikan beberapa
di antaranya di bawah ini:
a. Menurut teori etis, hukum hanya semata mata bertujuan mewujudkan
keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filosof Yunani,
Aristoteles dalam karyanya Ethica Nicomachea dan Rhetorika yang
menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi
kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya.

b. Menurut teori utilities, teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham bahwa
hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja.
Pendapat ini di titikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang
banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Menurut
Bentham hakikat kebahagian adalah kenikmatan dan kehidupan yang
bebas dari kesengsaraan, karenanya maksud manusia melakukan
tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan mengurangi penderitaan. Baik buruknya tindakan diukur dari baik
buruknya akibat yang di hasilkan tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik
jika tindakan itu menghasilkan kebaikan sebaliknya, dinilai buruk jika
mengakibatkan keburukan (kerugiaan).
c. Teori yuridis dogmatik adalah teori yang bersumber dari pemikiran
positivitis di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai
sesuatu yang otonom dan mandiri karena hukum tak lain hanya
kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, hanyalah sekedar menjamin
terwujudnya kepastian hukum, kepastian hukum itu di wujudkan oleh
hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum.
Menurut penganut teori ini, meskipun aturan hukum atau penerapan
hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi
mayoritas anggota masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan
kepastian hukum dapat terwujud

Pengertian Hukum (skripsi dan tesis)

Hukum banyak sekali seginya dan luas sekali cakupannya karena hukum mengatur semua bidang kehidupan masyarakat, tidak hanya masyarakat suatu bangsa tetapi juga masyarakat dunia yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan terus menerus. Perkembangan sejarah kehidupan umat manusia senantiasa menyebabkan terjadinya perubahan tentang apa yang di maksud dengan hukum dari masa kemasa, sebelum manusia mengenal Undang-Undang hukum identik dengan kebiasaan dan tradisi yang menjadi pedoman dalam kehidupan. Pertanyaan tentang apa itu hukum merupakan pertanyaan yang memiliki jawaban yang lebih dari satu sesuai dengan pendekatan apa yang dipakai oleh karna itu hukum pada hakekatnya bersifat abstrak.

Terlepas dari penyebab intern, yaitu keabstrakan hukum dan keinginan
hukum untuk mengatur hampir seluruh kehidupan manusia, kesulitan pendefinisian juga bisa timbul dari faktor eksteren hukum, yaitu faktor
bahasa itu sendiri. Jangankan hukum yang memang bersifat abstrak sesuatu
yang konkritpun sering sulit untuk di defenisikan.

Hukum dapat didefenisikan dengan memilih satu dari 5 kemungkinan
di bawah ini yaitu:
3a. Sesuai sifat-sifatnya yang mendasar, logis, relijius, atau pun etis.
b. Menurut sumbernya, yaitu Undang-Undang.
c. Menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat.
d. Menurut metode pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya.
e. Menurut tujuan yang ingin di capainya.
Berikut akan disebutkan beberapa defenisi hukum menurut para pakar:
a. Ceorg Frenzel yang berpaham sosiologi, “hukum hanya merupakan suatu
rechtgewohnheiten.”
b. Holmes yang berpaham realis, hukum adalah apa yang diramalkan akan
diputuskan oleh pengadilan.
c. Paul Bohannan yang berpaham antropologis, hukum merupakan
himpunan kewajiban yang telah di lembagakan dalam pranata hukum.
d. Karl Von Savigni yang berpaham Historis, keseluruhan hukum sungguhsungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan yaitu
melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam.
e. Emmanuel Kant yang berpaham hukum alam, hukum adalah keseluruhan
kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan pribadi seseorang dengan keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum umum tentang kemerdekaan.
f. Hans Kelsen yang berpaham positivis, hukum adalah suatu perintah
memaksa terhadap tingkah laku manusia.

Gambaran Tenaga Kerja Malaysia (skripsi dan tesis)

TKI  yang  mencari  penyelesaian  atas  kasus  penganiayaannya  di  pengadilan  Malaysia,  menghadapi  banyak pembatasan  dan  hambatan  untuk  melanjutkan  kasusnya  ke  pengadilan  karena  proses  hukum  yang  sangat lamban; kebanyakan majikan tidak dipenjara selama menunggu; tidak memperhitungkan pertimbangan secara personal yang mempengaruhi TKI dan kesulitan dalam membuktikan kasus mereka.

Selama tahun 2006 tercatat jumlah TKI di shelter sebanyak 1.129 orang, yakni 58 orang di shelter KBRI Kuala Lumpur dan 471 orang di shelter KJRI Johor Bahru. Sebagian besar (75 %) mereka bekerja pada majikan etnis Cina.  Dari  jumlah  tersebut  (1.129 orang), kasus  terbanyak dihadapi TKI  adalah  lari dari majikan  (53,41%)  karena  berbagai  alasan,  antara  lain  kerja  terlalu  berat, majikan cerewet,  tidak  dibolehkan  beribadah,  dan  dipaksa  masak  atau  makan  babi dan sebagainya.[1]

Permasalahan  TKI  di  Malaysia,  secara  umum  terkait dengan  gaji  tidak dibayar,  perlakuan  majikan/agency  (tindak  kekerasan),  pelecehan seksual/pemerkosaan, dan masalah penyesuaian diri (psikososial). Terkait  dengan  pekerjaan,  dari  118 TKI  bermasalah   di  shelter KBRI  Kuala  Lumpur/KJRI  Johor  Bahru,  36%  menyatakan  bekerja  tanpa  batas waktu  dan  tidak  ada waktu  istirahat  (over  worked),  tidak  ada waktu  cuti  (9,3%), peralatan  kerja  tidak  memadai  (5,1%),  jenis  pekerjaan  tidak  sesuai  janji/kontrak (7,6%). Sementara itu, terdapat 38% TKW yang menyatakan over worked, tidak ada waktu cuti, peralatan kerja tidak memadai, dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai janji/kontrak (jawaban gabungan).Masalah gaji, 51,7% tidak dibayar, disusul kemudian, gaji tidak sesuai/lebih kecil (9,3%), tidak ada uang kelebihan kerja (8,5%), gaji tidak tepat  waktu  (3,4%),  gaji  diminta  agen  (2,5%)[2].

Selanjutnya  juga  terdapat  15,2%  yang menyatakan:  gaji  lebih  kecil,  tidak  ada  uang  kelebihan  kerja,  gaji tidak  tepat waktu, dan gaji diminta agen  (jawaban gabungan). Sementara  sebanyak 9,3% TKW tidak memberikan jawaban.  Perlakuan  majikan/agen,  jawaban  responden  bervariasi,  yaitu:  tidak  diberi kesempatan melakukan ibadah, khususnya yang beragama Islam (17,8%), dokumen ditahan majikan/agen  (100 %),  tidak  diberi makan  sesuai  kebutuhan  (6,8%),  tidak diberi kesempatan mengenal orang lain 5,1%. Adapun TKW yang memberikan jawaban  gabungan  sebayak  42,3%  TKW  (tidak  diberi  kesempatan  melakukan ibadah, dokumen ditahan majikan/agen, tidak diberu makan sesuai kebutuhan, tidak diberi  kesempatan  mengenal  orang  lain).  5,1%  selebihnya  tidak memberikan jawaban.

Terkait  tindak  kekerasan  fisik,  12%  responden  menyatakan  biasa  dipukul oleh majikan/agen  (bagian  kepala, muka,  badan  dan  sebagainya).  Jenis  perlakuan lain yang dialami TKI adalah dikurung bersama anjing 0,8%, dan 87,2%tidak memberikan jawaban.  Dari  aparat  KBRI/KJRI  diperoleh  informasi,  banyak  kasus  TKW  legal menjadi  ilegal,  baik  karena  ulah  TKW  (antara  lain  lari  dari majikan) maupun  ulah aparat Malaysia  (Rela)  yang  mengadakan  razia  terhadap  TKW tidak  obyektif  dan cenderung mencari kesalahan TKW. Motivasi mereka adalah mendapat  imbalan dari pemerintah.

Contoh kasus yang terselesaikan oleh KBRI dan Pemerintah Indonesia

  • Kasus kekerasan yang baru terjadi pada tahun 2006 adalah AIDA korban pembunuhan TKW asal Bogak,Sumatera Utara. Para aparat kepolisian Malaysia menangkap 6 orang tersangka yang dicurigai membunuh aida waktu bekerja dirumah majikannya. Tetapi Aida bekerja secara tidak sah dikarenakan paspor Aida telah kadaluarsa sejak 2005.[3]
  • Kasus yang paling menghebohkan adalah Kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap Siti Hajar (33), Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Limbangan, Garut, Jawa Barat, telah mengundang simpati semua pihak termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. sehingga hak – hak Siti hajar harus diperjuangkan seperti membayar gaji yang tidak diberikan selama 34 bulan,dan majikannya ditahan di pihak keamanan setempat KBRI.
  • Kasus yang serupa adalah Winfaidah,wanita asal Lampung yang juga korban penyiksaan majikannya di Penang. Sesuai keputusan Mahkamah Pengadilan Pulau Penang, sejak 8 Oktober 2009, Winfaidah dititipkan di rumah perlindungan Bukit Ledang Kuala Lumpur, dalam kurun waktu paling lama 3 bulan. Winfaidah merupakan salah satu korban  human trafficking  yang proses peradilan masih terus berjalan hingga kini. Sidang kedua terhadap tersangka majikan Winfaidah akan dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2009.

TKI di Malaysia jika dibiarkan tanpa penyelesaian akan menyebabkan kerugian bagi kedua negara. KBRI Kuala Lumpur dalam setahun harus menampung sekitar 1.000 kasus TKI yang lari dari majikan dan sekitar 600 kasus kematian TKI di Malaysia. Itu belum termasuk data di empat Konsulat Jenderal RI di Penang, Johor Bahru, Kota Kinabalu, dan Kuching yang diperkirakan hampir sama dengan data kasus di KBRI Kuala Lumpur

Persyaratan Tenaga Kerja Indonesia (skripsi dan tesis)

Adanya TKI yang bekerja di luar negeri membutuhkan suatu proses perencanaan. Perencanaan tenaga kerja ialah suatu proses pengumpulan informasi secara reguler dan analisis situasi untuk masa kini dan masa depan dari permintaan dan penawaran tenaga kerja termasuk penyajian pilihan pengambilan keputusan, kebijakan dan program aksi sebagai bagian dari proses perencanan pembangunan untuk mencapai suatu tujuan.[1]

Dilihat dari prosesnya perencanaan tenaga kerja adalah usaha menemukan masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi pada waktu sekarang dan mendatang serta usaha untuk merumuskan kebijaksanaa dan program yang relevan dan konsisten untuk mengatasinya.[2]

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bahwa setiap calon TKI yang akan mendaftarkan diri untuk bekerja di luar negeri harus memenuhi prosedur yang telah ditentukan. Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:

  • berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 ( dua puluh satu) tahun;
  • sehat jasmani dan rohani;
  • tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
  • berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

Selain persyaratan tersebut di atas, menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, calon TKI juga wajib memiliki dokumen-dokumen, yaitu :

  • Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir;
  • surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;
  • surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;
  • sertifikat kompetensi kerja;
  • surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
  • paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
  • visa kerja;
  • perjanjian penempatan kerja;
  • perjanjian kerja, dan
  • KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Nigeri) adalah kartu identitas bagi

TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri. Setelah calon TKI memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka para calon TKI wajib mengikuti serangkaian prosedur sebelum nantinya ditempatkan di luar negeri. Pada masa pra penempatan kegitan calon TKI meliputi:

  • Pengurusan SIP;

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib memilki SIP dari Menteri. Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus memiliki:

  1. Perjanjian kerjasama penempatan;
  2. Surat permintaan TKI dari pengguna;
  3. Rancangan perjanjian penempatan; dan
  4. Rancangan perjanjian kerja.

Dalam proses untuk mendapatkan SIP tersebut, surat permintaan TKI dari Pengguna perjanjian kerjasama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja harus memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Selain itu Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahkan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI.

  • Perekrutan dan seleksi;

Proses perekrutan didahului dengan memberikan informasi kepada calon TKI sekurang-kurangnya tentang:

  1. tata cara perekrutan;
  2. dokumen yang diperlukan;
  3. hak dan kewajiban calon TKI/TKI;
  4. situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan; dan
  5. tata cara perlindungan bagi TKI.

Informasi disampaikan secara lengkap dan benar. Informasi wajib mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

  • Pendidikan dan pelatihan kerja;

Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan jabatan. Dalam hal TKI belum memiliki kompetensi kerja pelaksana penempatan TKI swasta wajib melakukan penddikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI dimaksudkan untuk:

  1. membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja calon TKI;
  2. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya agama, dan risiko bekerja di luar negeri;
  3. membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahas negara tujuan; dan
  4. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon TKI/TKI.

Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja swasta atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi persyaratan. Pendidikan dan pelatihan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan kerja.

  • Pemeriksaan kesehatan dan psikologi;

Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui dengan kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan. Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah.

  • Pengurusan dokumen;

Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI barus memiliki dokumen yang meliputi:

  1. Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir;
  2. surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;
  3. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;
  4. sertifikat kompetensi kerja;
  5. surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
  6. paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
  7. visa kerja;
  8. perjanjian penempatan kerja;
  9. perjanjian kerja, dan
  10. KTKLN
  • Uji kompetensi;
  • Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP);

Pembekalan Akhir Pemberangkatan yang disebut PAP adalah kegiatan pemberian pembekalan atau informasi kepada calon TKI yang akan berangkat bekerja ke luar negeri agar calon TKI mempunyai kesiapan mental dan pengetahuan untuk bekerja ke luar negeri, memahami hak dan kewajibannya serta dapat mengatasi masalah yang akan dihadapi. Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam pembekalan akhir pemberangkatan.

Tugas PAP adalah memberikan materi tentang aturan negara setempat. Perjanjian kerja (hak dan kewajiban TKI), serta pembinaan mental dan kepribadian. Adanya PAP ini diharapkan TKI sudah siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul kemudian.

Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dimaksudkan untuk memberikan pemahaman pendalaman terhadap:

  1. peraturan perundang-undangan di negara tujuan; dan
  2. materi perjanjian kerja.

Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Adanya persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi oleh calon TKI tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dengan perencanaan tenaga kerja akan memudahkan pemerintah maupun calon TKI dalam memecahkan persoalan mengenai ketenagakerjaan termasuk perlindungan kepada calon TKI, baik waktu sekarang maupun yang akan datang. Sehingga hal itu akan memudahkan pemerintah melalui Instansi yang tekait dalam hal ini Dinsosnakertrans maupun masyarakat dalam mengambil suatu kebijaksanaan guna mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai termasuk perlindungan calon TKI yang bekerja di luar negeri.

 

 

Hak dan Kewajiban calon TKI/TKI (skripsi dan tesis)

 

Setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:

  • Bekerja di luar negeri;
  • Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI di luar negeri;
  • Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri;
  • Memperoleh kebebasan menganut aama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.
  • Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan.
  • Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;
  • Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penampatan di luar negeri;
  • Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal;
  • Memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli.

Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk:

  • Menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan;
  • Menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja;
  • Membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  • Memberitahukan atau melaporkan kedatangan keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

Pengertian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) (skripsi dan tesis)

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Tenaga Kerja Indonesia. Menurut  pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

Sementara, dalam Pasal 1 Kep. Menakertrans RI No Kep 104A/Men/2002 tentang penempatan TKI keluar negeri disebutkan bahwa TKI adalah baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI. Prosedur penempatan TKI ini harus benar-benar diperhatikan oleh calon TKI yang ingin bekerja ke luar negeri tetapi tidak melalui prosedur yang benar dan sah maka TKI tersebut nantinya akan menghadapi masalah di negara tempat ia bekerja karena CTKI tersebut dikatakan TKI ilegal karena datang ke negara tujuan tidak melalui prosedur penempatan TKI yang benar.

Berdasarkan beberapa pengertian TKI tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI dengan menerima upah.

Tinjauan Tentang Lembaga BNP2TKI (skripsi dan tesis)

BNP2TKI adalah Lembaga Pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Visi dari BNP2TKI yaitu [1]:

  1. “Terwujudnya TKI yang berkualitas, bermartabat dan kompetitif” serta menciptakan kesempatan kerja di luar negeri seluas-luasnya.
  2. Meningkatkan keterampilan / kualitas dan pelayanan penempatan TKI.
  3. Meningkatkan pengamanan, perlindungan dan pemberdayaan TKI.
  4. Meningkatkan kapasitas Lembaga Penempatan dan Perlindungan TKI.
  5. Meningkatkan kapasitas Lembaga Pendukung Sarana Prasarana Lembaga Pendidikan dan Kesehatan.

BNP2TKI ini beranggotakan wakil-wakil instansi Pemerintah terkait mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Wakil-wakil instansi pemerintah terkait sebagaimana dimaksud di atas mempunyai kewenangan dari dan selalu berkoordinasi dengan instansi induk masing-masing dalam pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.[2]

Tugas BNP2TKI dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas adalah :

  1. Melakukan memiliki misi yaitu melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara pengguna Tenaga Kerja Indonesia atau Pengguna berbadan hukum di Negara tujuan penempatan.
  2. Memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai :
  1. Dokumen;
  2. Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP);
  1. Penyelesaian masalah;
  2. Sumber-sumber pembiayaan;
  3. Pemberangkatan sampai pemulangan;
  4. Informasi;
  5. Kualitas pelaksanaan penempatanTenaga Kerja Indonesia; dan peningkatan kesejahteraan Tenaga Kerja Indonesia dan keluarganya;

Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya tersebut di atas, BNP2TKI dikoordinasikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

Upaya Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja Migran (skripsi dan tesis)

 

Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama antara pengusaha dan pekerja, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama pengusaha dan pekerja, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya. Sebab-sebab terjadinya sengketa diantaranya :

  1. Perbuatan melawan hukum.
  2. Kerugian salah satu pihak.
  3. Ada pihak yang tidak puas atas tanggapan yang menyebabkan kerugian.

Dilihat dari prosesnya, penyelesaian sengketa dapat berupa :

  1. Litigasi yaitu mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan.
  2. Non Litigasi yaitu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

Menurut Pasal 85 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yaitu :

  1. Dalam hal terjadi sengketa antara TKI dengan pelaksanaan penempatan TKI swasta mengenai pelaksanaan perjanjian penempatan, maka kedua belah pihak mengupayakan penyelesaian secara damai dengan musyawarah.
  2. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah.

Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi Dan Sosial (Disnakertransos) merupakan lembaga pemerintah yang bertugas sebagai penyalur informasi kesempatan kerja yang ada di dalam dan di luar negeri. Lembaga ini juga menyiapkan pelatihan-pelatihan bagi calon tenaga kerja yang akan disalurkan. Pelatihan-pelatihan semacam itu kini juga telah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga penyalur tenaga kerja swasta yang bernaung di bawah Disnakertrans dan atas pengawasan Disnakertrans.

Pada dasarnya lembaga-lembaga swasta ini membantu calon tenaga kerja memperoleh pekerjaan dengan mengambil sedikit keuntungan dari biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh calon tenaga kerja.Ironisnya, kebanyakan lembaga pelatihan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta cenderung memberikan pelatihan domestik, misalnya untuk keperluan mengurus rumah tangga saja. Oleh karena itu, angkatan kerja wanita Indonesia tidak mengalami perubahan status. Mereka tetap menjadi sub ordinat dalam sebuah sistem kekuasaan.[1]

 

Peran dan Upaya Pemerintah Dalam Melindungi TKI Dalam Sistem Hukum (skripsi dan tesis)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 8 menerangkan bahwa : “Setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk[1] :

  1. Bekerja di luar negeri.
  2. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI diluar negeri.
  3. Memperoleh pelayanan dan perlakukan yang sama dalam penempatan di luar negeri.
  4. Memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.
  5. Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di Negara tujuan.
  6. Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan.
  7. Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri.
  8. Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal.
  9. Memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli

Kewajiban-kewajiban para TKI di jelaskan dalam Pasal 9 yang menyebutkan bahwa [2]: “Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk :

  1. Mentaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan.
  2. Menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja.
  3. Membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

  1. Memberitahukan atau melaporkan kedatangan keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di Negara tujuan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri : Pasal 1 angka 17 menerangkan bahwa :

“ Pemerintah adalah perangkat negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri”.

Pasal 5 yang menerangkan bahwa :

  1. Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di Luar Negeri.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6 yang menerangkan bahwa : “Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri”. Pasal 7 yang menerangkan bahwa :

  1. Menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri.
  2. Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI
  3. Membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri.
  4. Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan.
  5. Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelumnya pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

Dalam proses penempatan TKI ke luar negeri, Pemerintah mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar, baik sebagai regulator maupun fasilitator. Peran sebagai regulator disini pemerintah mempunyai kewenangan dalam mengatur kegiatan proses penempatan TKI ke luar negeri, sejak dari perekrutan kemudian sampai penempatan dan purna penempatan. Peran sebagai fasilitator disini Pemerintah seiring dengan tuntutan peningkatan kualitas pelayanan dalam proses dan pengurusan dokumen keberangkatan calon TKI ke luar negeri maupun perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.[3]

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 1 angka 4 menerangkan bahwa : “Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja”. Perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri dimulai dan terintegrasi dalam setiap proses penempatan TKI, sejak proses rekrutmen, selama bekerja dan ketika pulang ke tanah air. Dengan penyediaan dokumen yang benar dan absah, diharapkan TKI terhindar dari resiko yang mungkin timbul selama mereka bekerja di luar negeri. Peningkatan keterampilan dan penguasaan bahasa setempat membantu TKI dalam komunikasi, menerima perintah, dan menyampaikan pendapat kepada pihak-pihak lain terutama kepada majikannya. Kesiapan mental dan pemahaman dasar mengenai adat kebiasaan dan budaya membantu TKI beradaptasi dengan lingkungan kerja dan kondisi masyarakat setempat, sehingga dapat menghindarkan TKI dari berbagai masalah sosial di luar negeri.

Sisi lain yang diperlukan dalam perlindungan TKI di luar negeri adalah kepastian pekerjaan sebagaimana dinyatakan dalam job order yang disampaikan pengguna untuk TKI secara langsung (calling visa) atau melalui PJTKI. Dalam hal ini dituntut keseriusan dan tanggung jawab PJTKI maupun mitra kerjanya di luar negeri dalam pengurusan dokumen kerja bagi tenaga kerja yang akan ditempatkan. Kerja sama bilateral antara negara pengirim dan negara penerima merupakan pegangan dalam pelaksanaan penempatan tenaga kerja Indonesia ke negara tertentu. Dalam perjanjian bilateral penempatan TKI ke negara penerima dapat dimasukkan substansi perlindungan yang meliputi bantuan konsuler bagi TKI bermasalah dengan hukum, pembelaan, dan penyelesaian tuntutan hak TKI. Oleh karena itu penempatan TKI dapat dilakukan ke semua negara dengan ketentuan [4]:

  1. Negara tujuan memiliki peraturan adanya perlindungan tenaga kerja asing.
  2. Negara tujuan membuka kemungkinan kerja sama bilateral dengan negara Indonesia di bidang penempatan TKI.
  3. Keadaan di negara tujuan tidak membahayakan keselamatan TKI.

Bentuk perlindungan kepada TKI juga harus diberikan oleh PJTKI sebagai penyalur TKI seperti mengikutsertakan calon TKI dalam program asuransi perlindungan TKI. Program asuransi perlindungan TKI dilakukan oleh Konsorsium asuransi perlindungan TKI. memberi jaminan perlindungan hukum dalam penempatan TKI di luar negeri, maka Pemerintah Republik Indonesia menyusun, mensahkan dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik. Pemberian pelayanan penempatan secara baik di dalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan prinsip tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga kerja illegal yang tentunya berdampak kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan.

Penempatan dan perlindungan calon TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia. Penempatan dan perlindungan calon TKI bertujuan untuk [5]:

  1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
  2. Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri di negeri tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia.
  3. Meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang ada, dapat dicatat, ditnjau dari aspek perlindungan, hukum ketenagakerjaan mengatur perlindungan sejak sebelum dalam hubungan kerja, selama dalam hubungan kerja dan setelah kerja berakhir[6]

  1. Sebelum Hubungan Kerja

Bidang hukum ketenagakerjaan sebelum hubungan kerja adalah bidang hukum yang berkenaan dengan kegiatan mempersiapkan calon tenaga kerja sehingga memiliki keterampilan yang cukup untuk memasuki dunia kerja, termasuk upaya untuk memperoleh lowongan pekerjaan baik di dalam maupun di luar negeri dan mekanisme yang harus dilalui tenaga kerja sebelum mendapatkan pekerjaan.[7]

Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law sedangkan bahas Belanda disebut dengan istilah overeenscomstreecht. Lawrence Friedman mengartikan hukum kontrak adalah Perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu atau hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan .[8]

Hukum kontrak diatur dalam buku KUH Perdata, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dalam KUH Perdata yang berkaitan aspek sebelum hubungan kerja yaitu Pasal 1233 samapai 1312 KUH perdata meliputi : sumber perikatan, prestasi, penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, dan jenis-jenis perikatan.

Perjanjian pekerja yaitu Perjanjian tertulis antara Tenaga Kerja Indonesia dengan pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak. Isi perjanjian kerja yaitu :

  • Nama dan alamat pengguna
  • Jenis dan Uraian pekerjaan/jabatan
  • Kondisi dan syarat kerja yang meliputi :
  1. Jam kerja
  2. Upah
  3. Cara pembayaran
  4. Upah lembur
  5. Cuti dan waktu istirahat
  6. Jaminan soial Tenaga kerja (Lalu Husni, 2003: 25).

Ketentuan Pasal 1318 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebaskan kepada para pihak untuk :

  • Membuat atau tidak membuat perjanjian;
  • Mengadakan perjajian dengan siapapun;
  • Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan
  • Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan[9]

Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
  • Sehat jasmani dan rohani;
  • Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan;
  • Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

Calon TKI behak mendapatkan pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan, pendidikan dan pelatihan yang dimaksud yaitu :

  • Membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja CTKI;
  • Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan resiko bekerja di luar negeri;
  • Membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan;
  • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewjiban CTKI/TKI
    1. Masa Penempatan

Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan kesempatan kerja kepada tenaga kerja Indonesia dan untuk menghasilkan Devisa, sebagai bagian dari pelaksanaan perencanaan ketenagakerjaan nasional, dengan tetap memperhatikan harkat dan martabat serta nama baik bangsa dan negara.

Pasal 58 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep- 104 A/MEN/2002 menyebutkan bahwa PJTKI wajib bertanggung jawab atas perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri. Dalam pelaksanaan perlindungan dan pembelaan TKI, PJTKI baik sendiri-sendiri atau bersama-sama wajib menunjuk atau bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan TKI yang terdiri dari Konsultan Hukum dan atau Lembaga Asuransi di negara penempatan TKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Ketentuan tentang masa penempatan TKI dari kedua peraturan perundangan di atas memperlihatkan, bahwa ketentuan sebagaiana diatur dalam UU PPTKI hanya bersifat administratif semata, sedangkan ketentuan yang ada dalam Kep- 104A/MEN/2002 memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri. Hal ini mengingat justru masa penempatan inilah, TKI banyak mengalami masalah, baik permasalahan antara TKI dengan majikan/pengguna, maupun dengan PPTKIS yang tidak memenuhi kewajibannya seperti yang tercantum dalam perjanjian penempatan.

  1. Purna Penempatan

Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri disebutkan bahwa Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Kepulangan TKI dapat terjadi :

  • Berakhirnya perjanjian kerja;
  • Pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir;
  • Terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan;
  • Mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisanya menjalankan pekerjaan lagi;
  • Meninggal dunia di negara tujuan;
  • Cuti;
  • Dideportasi oleh pemerintah setempat.

Menurut Pasal 75 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI dalam hal :

  • Pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI;
  • Pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam;
  • kepulangan;
  • Pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan;
  • adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak betanggung jawab;
  • dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

Menurut Pasal 63 Ayat (1), (2), (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasnmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep- 104 A/MEN/2002, PJTKI bekerjasama dengan Mitra Usaha dan Perwalu wajib mengurus kepulangan TKI sampai di Bandara di Indonesia, dalam hal :

  • Perjanjian kerja telah berakhir dan tidak memperpanjang perjanjian kerja;
  • TKI bermasalah, sakit atau meninggal dunia selama masa perjanjian kerja sehingga tidak dapat menyelesaikan perjanjian kerja;
  • PJTKI harus memberitahukan jadwal kepulangan TKI kepada Perwakilan RI di negara setempat dan Direktur Jenderal selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum tanggal kepulangan;
  • Dalam mengurus kepulangan TKI, PJTKI bertanggung jawab membantu menyelesaikan permasalahan TKI dan mengurus serta menanggung kekurangan biaya perawatan TKI yang sakit atau meninggal dunia.

Salah satu masalah yang terjadi berkaitan dengan kepulangan TKI itu adalah persoalan keamanan dalam negeri sampai di Bandara Tanah Air. Karena itu ketentuan UU PPTKI mengatur pemberian upaya perlindungan bagi TKI terhadap kemungkinan adanya pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

Tinjauan Tentang Perjanjian Tenaga Kerja (skripsi dan tesis)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian sebagai berikut : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 1 angka 10 memberikan pengertian bahwa : “Perjanjian kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.”

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan  Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 55 ayat 5, menyebutkan bahwa : “Perjanjian Kerja sekurang-kurangnya harus memuat [1]:

  1. Nama dan alamat pengguna.
  2. Nama dan alamat TKI.
  3. Jabatan dan jenis pekerjaan TKI.
  4. Hak dan kewajiban para pihak.
  5. Kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja upah dan tata cara pembayaran, baik cuti dan waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial, dan
  6. Jangka waktu perpanjangan kerja.

Pasal 56 ayat 1 menyebutkan bahwa “Perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.”

Perjanjian kerja berakhir apabila :

  1. Pekerja meninggal dunia.
  2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian
  3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
  4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

 

[

Tinjauan Tentang Tenaga Kerja (skripsi dan tesis)

Tenaga kerja (man power) dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat”. Sedangkan pengertian tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di atas sejalan dengan pengertian tenaga kerja menurut konsep ketenagakerjaan pada umumnya sebagaimana ditulis oleh Payaman J. Simanjuntak bahwa pengertian tenaga kerja atau man power adalah mencangkup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga.[1]

 

Teori Efektifitas Hukum  (skripsi dan tesis)

Pemahaman mengenai efektifitas dalam hukum dikaitkan dengan arti keefektifan sendiri yaitu pengaruh efek keberhasilan atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable terkait yaitu: karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan.[1] Dalam hal lain, efektifitas hukum juga dikaitkan dengan taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum,termasuk para penegak hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwataraf kepatuhan yang tinggi adalah penanda bahwa suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dengan demikian berfungsinya hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. [2] Secara keseluruhan maka teori keefektifan hukum diletakkan tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup institusi dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.[3]

.Teori Kepastian Hukum (skripsi dan tesis)

Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif.[1] Oleh karenanya kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Dengan demikian bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi. [2]

Teori Keadilan (skripsi dan tesis)

Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Perdebatan terus bergulir dikarenakan ukuran mengenai keadilan itu sendiri ditafsirkan berb-beda. Demikain pula dimensi menyangkut keadilan itu sendiri, misalnya ekonomi maupun hukum. [1]  Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [2]

Keadilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu sendiri, di samping kepastian hukum dan kemanfaatan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan hukum yang terjadi di negara Indonesia yang kemudian dituangkan dalam beberapa putusan hakim. Hal ini dikemukakan dalam ilmu filsafat hukum bahwa keadilan sebagai tujuan hukum. Demikian pula Radbruch yaitu keadilan sebagai tujuan umum dapat diberikan arah yang berbeda-beda untuk mencapai keadilan sebagai tujuan dari hukum. Hal ini mengarahkan bahwa fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan tersebut tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian suatu konsep dasar, yaitu manusia harus hidup dalam suatu masyarakat dan masyarakat itu harus diatur oleh pemerintah dengan baik berdasarkan hukum. [3]

Untuk memuat nilai kepastian di dalam hukum maka kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum.[4]

Syarat dan Rukun Waris (skripsi dan tesis)

Rukun waris itu ada tiga macam, yaitu[1] :

  1. Waris (ahli waris)

 

Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan lantaran mempunyai hubungan sebab-sebab untuk mempusakai seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) yang hubungan hak perwalian dengan si muwaris

  1. Muwaris (yang mewariskan)

Muwaris adalah orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmi. Mati hukmi ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun ia sesungguhnya belum mati sejati

  1. Maurusun atau tirkah (harta peninggalan)

Maurus adalah harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang akan diwarisi kepada ahli waris setelah diambil biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun disebut juga dengan tirkah atau turats

Syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu[2]:

  1. Matinya muwaris, baik mati secara hakiki atau secara hukmi, maka ia dihukumkan mati secara hakiki.
  2. Hidupnya waris setelah matinya muwaris, walaupun hidupnya secara hukum, seperti anak dalam kandungan, maka secara hukum ia dikatakan hidup.
  3. Tidak adanya penghalang untuk memperoleh warisan.

Sistem Hukum Waris di Indonesia (skripsi dan tesis)

Dapat diketahui bahwa hukum waris di Indonesia dewasa ini mengkonsepkan tiga jenis hukum waris yang berlaku, yakni:

  • Hukum Adat

Hukum adat waris adalah aturan hukum-hukum adat yang mengatur tentang bagaimana arta peninggalan atau harta warisan akan dteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris. Dengan demikian hukum adat waris mengandung tiga unsur yaitu harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris dan adanya ahli waris yang akan meruskan pengurusan atau menerima bagiannya. [1]

  • Hukum Waris Islam

Menurut hukum Islam, warisan memiliki beberapa unsur atau yang dikenal sebagai rukun atau prinsip warisan (arkanul mirats). Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Muwarrits (Orang yang mewariskan), yakni: adanya orang yang meninggal dunia atau si pewaris. Hukum inidi dalam hukum waris BW disebut Erflater.
  2. Waris (orang yang berhak mewaris; disebut ahli waris), yakni : adanya ahli waris yang ditinggalkan si wali yang masih hidup dan yang berhak menerima pusaka si pewaris. Unsur ini dalam BW disebut Erfgenam.
  3. Mauruts miratsatan tarikah (harta warisan), yakni: adanya harta peninggalan (pusaka) pewaris yang memang nyata-nyata miliknya. Unsur ini dalam BW disebut Erfenis.[2]
  • Hukum Waris Nasional yaitu KUH Perdata dan Yurisprudensi

Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung R disebutkan bahwa hukum pewarisan memuat mengenai beberapa prinsip diantarnya adalah[3]:

  1. Bahwa hukum waris menjadi dasar untuk mempertimbangkan masalah perselisihan warisan adalah hukum adat dari orang yang meninggalkan harta warisan itu. Jadi kalau pewarisnya orang batak, maka hukum adat waris orang batak yang diterapkan.
  2. Bahwa apabila menyangkut hukum antar golongan (penduduk) yang berselisih,maka hukum dari pewarisnya yang digunakan tanpa mamperhatikan jenis barangnya.
  3. Bahwa apabila ada perkara warisan yang tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adatnya, maka digunakan bunyi hukum yang sama, misalnya untuk perkara orang semendo di gunakan humum minangkabau yang sama sendi kekerabatannya yang matrilineal.
  4. Bahwa jika ahli waris wafat sedangkan bapaknya sebagai pewaris masih hidup maka yang berhak mewarisi adalah anak-anak dari yang wafat itu sebagai waris pengganti. Jadi misalnya kepala waris wafat, maka yang mengantikannya adalah anak-anaknya yang berhak untuk emnerima penerusan harta peninggalan dari kakek (bapak dari yang wafat) itu

Indonesia adalah negara multikultural. Berbagai aturan yang ada pun tidak dapat mengotak-kotakan kultur yang ada. Sama berlakunya untuk hukum waris. Di Indonesia, belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional. Adanya hukum waris di Indonesia adalah hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata. Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda. Adapun berikut penjelasannya:

  • Hukum Waris Adat

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan sebutan hukum adat. Pengertian dari hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.

Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya. Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan

  1. Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
  2. Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
  3. Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
  4. Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
  • Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.

Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan:

  1. Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah.
  2. Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
  3. Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu, dan paman.
  • Hukum Waris Perdata

Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat nonmuslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan, baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP). Hukum waris perdata menganut sistem individual di mana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Dalam hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan:

Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat wasiat yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut Ab-instaat. Ada 4 golongan ahli waris berdasarkan undang-undang: Golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunannya; Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya; Golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya ke atas; dan Golongan IV terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.

 

Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris. Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisny