Wanprestasi terjadi disebabkan oleh sebab-sebab sebagai berikut[1]:
- Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri. Unsur kesengajaan ini, timbul dari pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya adalah:
- Tidak memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali;
- Faktor keadaan yang bersifat general;
- Tidak disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut ketika sudah kadaluwarsa;
- Menyepelekan perjanjian.
- Adanya keadaan memaksa (overmacht). Biasanya, keadaan memaksa (overmacht) terjadi karena unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya seperti kecelakaan dan bencana alam.
Disebutkan bahwa keadaaan terpaksa dimuat dalam pernyataan sebagai berikut:
- Keadaan Memaksa bersifat Objektif
Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat dipenuhi oleh siapapun. Menurut ajaran ini debitur baru bisa mengemukakan adanya keadaan memaksa (overmacht) kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya). Jadi keadaan memaksa tersebut ada jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi prestasi yang berupa benda objek perikatan itu. Oleh karena itu ukurannya “orang” (pada umumnya) tidak bisa berprestasi bukan “debitur” tidak bisa berprestasi, sehingga kepribadiannya, kecakapan, keadaanya, kemapuan finansialnya tidak dipakai sebagai ukuran, yang menjadi ukuran adalah orang pada umumnya dan karenanya dikatakan memakai ukuran objektif.
- Keadaan Memaksa Relatif bersifat Subjektif
Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu sendiri, menyangkut kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada perbuatan atau kemampuan debitur. Oleh karena yang dipakai sebagai ukuran adalah subjek debitur tertentu, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari pertimbangan “debitur yang bersangkutan dengan semua ciri-cirinya” atau dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial, kemampuan ekonomis debitur yang bersangkutan turut diperhitungkan
Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah :
- Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap.
- Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuataan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.
- Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.
Ada 4 (empat) akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut[2]:
- Perikatan tetap ada;
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
- Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata);
- Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;
- Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 (empat) macam, yaitu[3]:
- Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata);
- Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata);
- Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata);
- Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka Hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR).
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata. Dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya Pasal 1237 KUHPerdata mengatakan, bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur. Ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata sekarang kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.