Program Pemeliharaan Jalan (skripsi dan tesis)

Program pemeliharaan walaupun mempunyai economic return yang tinggi, akan tetapi tidak begitu menarik di lingkungan dunia konstruksi, karena biaya/paketnya relatif sangat kecil dibandingkan dengan program-program lainnnya seperti peningkatan dan ataupun rehabilitasi. Selain itu program penanganan pemeliharaan jalan dilaksanakan secara partial dan dilaksanakan oleh banyak kontraktor kecil secara tersebar. Hal ini tentu saja tidak efisien, dan dapat dibuktikan melalui pendekatan kuantitatif kontrak-kontrak pemeliharaan rutin yang ada dan disimulasi dengan kontrak pemeliharaan yang berskala besar.

Selain dana yang kecil, waktu pekerjaan kontrak-kontrak pemeliharaan itu hanya berlaku s/d 12 bulan maksimum. Sehingga tidak mendorong industri kontraktor mempunyai peralatan untuk pekerjaan pemeliharaan. Ini merupakan konsekwensi logis dari pertimbangan ekonomis, kalau kontraktor tersebut membeli alat pada saat menang, alat itu belum tentu dapat dipergunakan lagi 12 bulan mendatang, karena dia harus mengikuti tender pada pekerjaan baru. Padahal diketahui bahwa biaya pekerjaan pemeliharaan hanya berkisar 3 s/d 7% dari total biaya jalan.(Antameng, 2005)

Miquel dan J. Condron (1991) dalam studi yang dibiayai oleh Bank Dunia menemukan data bahwa British Columbia dan United Kingdom serta Malaysia yang telah men set-up kontrak maintenance yang tidak partial (Comprehensive). Kontrak tersebut meliputi suatu kawasan besar dan dalam waktu relatif lama. Sebelumnya kontrak pemeliharaan di British Columbia memakan waktu 3 tahun, United Kingdom berjangka waktu 18 bulan dan Malaysia 2 tahun. Berdasarkan jawaban responden terhadap questionnaire yang diajukan oleh Miquel, ditemukan bahwa para kontraktor pada 3 negara tersebut, menghendaki agar kontrak pemeliharaan dapat dilaksanakan selama 5 tahun. Sehingga dapat memberikan kesempatan dan insentif kepada mereka untuk menanam investasi berupa pembelian peralatan pemeliharaan yang berteknologi canggih. Saat ini British Columbia sudah menjalani kontrak pemeliharaan dengan jangka waktu 5 tahun, sedangkan United Kingdom juga melaksanakan 5 tahun kontrak. Malaysia (Taufik Widjojono, 2000) melaksanakan kontrak pemeliharaan dengan jangka waktu 15 tahun.

Jangka waktu kontrak tentunya tidak cukup untuk mendapatkan hasil pekerjaan yang optimal, diperlukan performance based contract untuk pekerjaan pemeliharaan. Performance based contract akan memberikan sangsi baik kepada pemberi pekerjaan maupun pihak penerima kerja, dan ini tentunya akan berkonsekwensi bahwa kedua belah pihak akan lebih berhati-hati dalam pelaksanaan kontrak.

Zietlow 1999, mendefinisikan performance sebagai bentuk perjanjian antara Penguasa Jalan dengan kontraktor yang menetapkan tingkat minimun dari kinerja pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh kontraktor dengan parameter yang dapat diukur, sefta mendefinisikan kinerja dari asset system drainase, asset lalulintas, permukaan jalan dan jembatan di dalam konteks outcome dari program pemeliharaan.

Kontrak pemeliharaan berdasarkan kinerja diperkenalkan di Amerika Latin dan banyak negara-negara yang mempergunakan kontrak kinerja untuk pekerjaan pemeliharan jalan. Pengenalan kontrak kinerja untuk pekerjaan tersebut, bersamaan dengan pengenalan Road Fund di Amerika Latin. Adapun bentuk-bentuk standar yang biasa dilaksanakan di Amerika Latin (Africa Technical Note, 1998) adalah sebagai berikut:

  1. IntemationalRoughness Index (IRI) untuk mengukur ketebalan permukaan jalan yang mempengaruhi Biaya Operasi kendaraan.
  2. Tidak adanya “pothole” serta pengawasan terhadap cracks dan rutting.
  3. Jumlah minimum jejak (friction) antara ban mobil dengan permukaan jalan untuk alasan keselamatan.
  4. Jumlah minimum bungkalan dari tanah liat yang menutupi/menghalangi sistem drainase.
  5. Retroflexivity dari road sign and marking.
  6. Pengawasan terhadap tingginya alang-alang atau tumbuhan sampai pada tinggi tertentu

Persyaratan dasar suatu jalan pada hakekatnya adalah dapatnya menyediakan lapisan permukaan yang selalu rata, konstruksi yang kuat sehingga dapat menjamin kenyamanan dan keamanan yang tinggi untuk masa pelayanan (umur jalan) yang cukup lama yang memerlukan pemeliharaan sekecil kecilnya dalam berbagai keadaan.

Konstruksi perkerasan yang lazim pada saat sekarang ini adalah konstruksi perkerasan yang terdiri dari berberapa lapis bahan dengan kualitas yang berbeda, di mana bahan yang paling kuat biasanya diletakkan di lapisan yang paling atas. Bentuk kontruksi perkerasan seperti ini untuk pembangunan jalan-jalan yang ada di seluruh Indonesia pada umumnya menggunakan apa yang dikenal dengan jenis konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement). Perkerasan lentur (Flexible Pavement) merupakan perkerasan yang menggunakan bahan pengikat aspal dan konstruksinya terdiri dari beberapa lapisan bahan yang terletak di atas tanah dasar,

Masalah kualitas konstruksi jalan di atas sudah banyak dilakukan upaya mengatasinya mulai dari menggunakan spesifikasi baru, mengubah desain perkerasan fleksible dengan rigid pavement, medesentralisasikan desain, melatih para pengawas dan pelaksana, meminta supaya kontraktor memperbaiki AMP dan lain sebagainya, namun realisasinya juga masih belum sesuai yang kita harapkan, masih banyak mutu pekerjaan yang kehandalannya belum sesuai dengan umur rencana yang ditentukan. Jalan yang kita desain dengan umur rencana 10 tahun baru tiga tahun sudah mulai terjadi gejala kerusakan. Kualitas jalan aspal kita masih berkutat pada; bila musim hujan terjadi lobang, dan musim panas masih terjadi rutting. Begitu juga jalan beton yang kita desain 20 tahun baru 3 tahun sudah terjadi kerusakan. Jalan beton baru berumur 3 tahun telah terjadi kerusakan yang cukup merepotkan.

Permukaan perkerasan aspal pada musim panas, terjadi rutting dan lama terjadi lobang dan musim hujan lobang juga muncul cukup banyak. Secara umum deformasi disebabkan terjadinya proses pelelehan campuran aspal pada temperatur alam dan pre compacted oleh roda kendaraan sehingga Void in Mix tidak dapat lagi menampung proses pemuaian aspal pada saat leleh karena temperatur alam (temperatur dipantura pada siang hari mencapai 65°C). Kejadian ini dapat dipahami karena aspal yang digunakan berupa aspal minyak dengan titik lembek 48° C. Penambahan filler yang baik seperti semen bisa menaikkan titik lembek campuran aspal sampai 10° C hal ini berarti Softening Point asphalt campuran (hotmix) hanya bisa mencapai temperatur 58° C, lebih rendah dari aktual. (Purnomo, 2005).

Dari berbagai uraian di atas maka salah satu faktor yang penting dalam operasi pemeliharaan jalanadalah pemilihan aspal yang digunakan karena berkaitan dengan produktivitas penggunaan sumber daya tenaga, waktu dan biaya.

Secara teknis pemeliharaan jalan aspal menggunakan aspal dingin (emulsi) sangat mudah dan cepat dilakukan, namun apakah secara ekonomispun biaya perbaikannya berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan aspal panas (minyak). Oleh karena itu diperlukan analisis menganai manfaat dan biaya (cost-benefit) untuk dijdikan dasar pengambilan keputusan. Menurut Kuiper dalam Kodoatie (2005), ada tiga parameter yang sering dipakai dalam analisis manfaat dan biaya, yaitu:

  1. Perbandingan Manfaat dan Biaya (Benefit/Cost atau B/C)
  2.  Selisih Manfaat dan Biaya (Net Benefit)
  3. Tingkat Pengembalian (Rate of Return)

Ketiga parameter untuk kedua jenis lapis permukaan jalan akan diperbandingkan produktivitasnya dan dialisis secara aktual di lapangan untuk mengetahui mana yang lebih baik dan untuk menganalisis apakah perbedaannya signifikan atau tidak.