Teori sistem keluarga dikemukakan oleh Minuchin (1974) dengan mengajukan skema konsep memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen. Pertama, struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi. Kedua, keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi dalam usahanya untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya (Lestari, 2012).
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah keluarga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi. Pengulangan transaksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut menyokong sistem (Lestari, 2012).
Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap anggota keluarga. Dalam menghadapi tekanan tersebut, keluarga mempertahankan kontinuitasnya sambil melakukan restukturisasi yang dimungkinkan. Untuk itu, dibutuhkan perubahan konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam bereasi agar anggota keluarga dapat tetap tumbuh sementara sistem keluarga mempertahankan kontinuitasnya (Lestari, 2012).
Keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian saling berhubungan dan saling berkaitan serta memiliki sistem hierarki yang berarti terdapat subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu atau relasi dua pihak (Lestari, 2012). Proses saling mempengaruhi sesama anggota keluarga dapat terjadi secara langsung misalnya dalam hubungan suami-istri, ayah-anak, ibu-anak; dan terjadi secara tidak langsung berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain misalnya sikap suportif ayah akan mempengarui kualitas hubungan ibu dengan bayinya (Lestari, 2012).
Berdasarkan teori sistem keluarga yang sudah dipaparkan, pelatihan manajemen konflik dirancang untuk membantu pasangan menemukenali konflik dalam hubungan interpersonal dan cara untuk menemukan solusi yang efektif sehingga diharapkan pasangan suami istri dapat meningkatkan kualitas individu dan kualitas hubungan menjadi lebih baik. Kualitas hubungan yang baik akan mempengaruhi kuatnya ikatan antar anggota keluarga. Bila ikatan yang terjalin cukup kuat maka antar anggota keluarga dapat bersikap luwes dalam berinteraksi dan didukung terpeliharanya saat-saat kebersamaan akan mewujudkan keluarga yang harmonis (Lestari, 2012).
Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri kemudian diikuti relasi orangtua-anak dan relasi antar saudara. Relasi yang ada dalam keluarga bersifat dinamis dan dapat membawa pengaruh positif atau negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi (Lestari, 2012). Terwujudnya keharmonisan keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri yang perlu diusahakan secara terus-menerus. Keharmonisan perkawinan merupakan suatu hal yang perlu diupayakan oleh pasangan suami istri sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa keharmonisan perkawinan berpengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Williams, 2003).
Dalam usaha menciptakan dan meningkatkan keharmonisan dalam keluarga inilah dibutuhkan kemampuan baik suami maupun istri untuk mengelola konflik yang muncul, sehingga efek dari keberadaan konflik justru mampu mengeratkan ikatan suami istri (Supraktiknya, 1995). Dobos, dkk. (Benokraitis, 1996) menyatakan, beberapa hal yang dapat menimbulkan masalah dalam perkawinan, yaitu masalah keuangan, mengurus anak, adanya perbedaan gaya hidup, hubungan dengan teman, perbedaan kepribadian, masalah dengan mertua, masalah keagamaan, perbedaan politik, serta masalah seks.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan harmonis yang akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar bekerja sama dalam mengelola konflik perkawinan menggunakan manajemen konflik konstruktif sehingga dapat menemukan solusi permasalahan yang sehari-hari dihadapi.