Faktor-faktor Determinan dalam Keharmonisan Keluarga (skripsi dan tesis)

Menurut Sarwono (1982), dalam menentukan ukuran kebahagiaan keluarga perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:

  1. Faktor kesejahteraan jiwa

Rendahnya frekuensi pertengkaran atau percekcokan di rumah, saling mengasihi dan saling membutuhkan serta saling tolong-menolong antara sesama anggota keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran masing-masing, menjadi indikator-indikator jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.

 

 

  1. Faktor kesehatan fisik

Faktor ini tidak kalah penting dari faktor pertama karena jika anggota keluarga sering sakit maka akan berakibat banyaknya pengeluaran untuk dokter, obat-obatan dan rumah sakit, hal tersebut tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.

  1. Faktor perimbangan antara pengeluaran uang dan penghasilan keluarga

Tidak semua keluarga beruntung dapat memeroleh penghasilan mencukupi.  Masalahnya tidak lain adalah kurang mampunya keluarga-keluarga bersangkutan merencanakan hidupnya, sehingga pengeluaran-pengeluaran pun menjadi tidak terencana.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga  (Dewi & Sudhana, 2012; Purba, 2012; Nancy, dkk., 2014; Rachmawati, 2010) adalah:

  1. Komunikasi interpersonal

Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau kelompok kecil dengan feed back, baik secara langsung maupun tidak langsung (Dewi & Sudhana, 2012).    Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2008).  Salah satu tipe komunikasi interpersonal yang digunakan dalam berinteraksi pada pasangan suami istri adalah yang bersifat diadik yaitu melalui komunikasi dalam situasi lebih intim, lebih dalam dan personal.  Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting untuk menjaga kelangsungan berumah tangga.    Apabila pasangan suami istri saling menunjukkan sikap yang positif terhadap pasangannya maka komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif.   Terciptanya komunikasi efektif yang ditandai dengan adanya sikap terbuka, empati, saling mendukung, sikap positif, dan kesetaraan, antara pasangan suami istri membuat hubungan interpersonal menjadi baik sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam pernikahan yang ditandai adanya saling mengerti, saling menerima, saling menghargai, saling percaya, dan saling mencintai (Dewi & Sudhana, 2012).

  1. Kecerdasan spiritual

Kecerdasan spritual adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, kejiwaan dan kemampuan potensial untuk menentukan makna, nilai, moral serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dalam sesama mahluk hidup. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta dan dapat menempatkan diri dalam kehidupan yang lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan hakiki (Purba, 2012).  Dengan memiliki kecerdasan spiritual, pasangan suami istri mampu bersikap fleksibel dalam menghadapi konflik rumah tangga dan mampu menempatkan perilakunya dengan lebih bermakna.  Untuk menciptakan keluarga harmonis diperlukan eksistensi dan peran dari masing-masing anggota keluarga serta tanggung jawab terhadap fungsi dalam keluarga.  Untuk menumbuhkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab dalam keluarga, diperlukan pemahaman dan kecerdasan spiritual (Purba, 2012).

  1. Nilai dalam pernikahan

Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh pasangan mengenai apa yang baik, berharga, disukai, patut diusahakan, patut diperjuangkan dan dipertahankan dalam perkawinan.  Melvile (Nancy, dkk., 2014) menyatakan, nilai-nilai dalam perkawinan adalah bagian-bagian yang dianut dalam kehidupan perkawinan. Nilai dalam perkawinan dapat dipandang berbeda oleh setiap orang.  Redd (Nancy, dkk., 2014) menyatakan bahwa jika nilai dalam perkawinan rendah, perkawinan menjadi kurang sehat.  Hal ini dapat dijelaskan bahwa pasangan yang memandang perkawinan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, sesuatu yang bermakna akan berusaha untuk memelihara kesatuan rumah tangga dengan memandang pasangan sebagai mitra sehingga tidak terdapat kesenjangan peran antara suami dan istri sehingga terwujud perkawinan yang egaliter, otonom, dan serasi.   Gambaran nilai dalam perkawinan yang otonomi, egaliter dan serasi akan menciptakan perkawinan yang harmonis dan akan berdampak pada kondisi keluarga yang harmonis (Nancy, dkk., 2014).

  1. Pemaafan

Pemaafan adalah suatu solusi dari risiko logis antar pribadi.  Ketidakmampuan untuk memaafkan atau dimaafkan akan menjadi sumber hancurnya suatu relasi, tak terlepas dari hubungan suami-istri yang tentunya akan mengarah kepada keretakan keluarga (Subiyanto, 2011).    Pasangan suami-istri yang memiliki sikap pemaaf kemungkinan besar akan memertahankan keutuhan keluarganya. Mereka menyadari bahwa manusia mudah melakukan kesalahan.  Apabila diketahui bahwa salah satu pasangan melakukan kesalahan, maka pihak lain dengan usaha sangat kuat akan memaafkan pihak yang berbuat salah. Pemaafan adalah suatu perjalanan sangat kompleks, termasuk kemampuan untuk mengubah sistem afektif, kognitif dan tingkah laku (Nancy, dkk., 2014).

Pemaafan memiliki implikasi yang substansial untuk relasi jangka panjang sebagai interaksi dari sebuah hubungan.  Pemaafan merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki hubungan interpersonal.  Hubungan interpersonal yang terjalin baik antara suami istri akan berpengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam keluarga (Nancy, dkk., 2014).

  1. Penyesuaian perkawinan

Penyesuaian perkawinan adalah perubahan yang terjadi selama masa pernikahan antara suami istri untuk dapat memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk menyelesaikan masalah yang ada, sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan.  Munandar (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan berarti adanya saling pengertian antara suami-istri dalam menyatakan perbedaan-perbedaan di antara suami-istri dengan melakukan hal-hal yang dapat menambah kepuasan supaya tercapai hubungan keluarga yang harmonis.

Laswell & Laswell (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa konsep penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari pasangannya.