Sikap Dalam Kematian (skripsi dan tesis)

Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian merupakan sesuatu yang sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan (melakukan bunuh diri) yang dalam pandangan agama maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun diharamkan (Lalenoh, 1993 : 1). Sebaliknya, bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia cenderung membawa serta makin besarnya kesadaran akan datangnya kematian, dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang yang menghadapi kematian tidak merasa takut terhadap kematian. Kematian diterima sebagai seorang sahabat (Tony 1991 : 15).

Terdapat dua sikap yang umumnya dilakukan ketika menghadapi kematian: Pertama, kematian akan diterima dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam. Kedua, manusia yang menghadapi kematian dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya kematian, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada (Hurlock, 1996 : 439).

Seperti yang telah dikemukakan diatas, menghadapi kematian merupakan proses yang wajar dan terjadi pada setiap orang. Permasalahannya adalah bagaimana manusia tersebut bisa menyadari dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Di sisi lain, ada sebuah anggapan atau pencitraan yang negatif dan positif. Semakin bisa berfikir positif, orang akan semakin bisa menerima kenyataan namun “ menerima ” itu bukan berarti kita menerima apa adanya. Maksudnya adalah bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan usia, melakukan aktivitas secara wajar sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis usia tua.

Elizabeth Kubler Ross (1969) membagi perilaku dan proses berpikir seseorang yang sekarat menjadi 5 fase: penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan.

  1. Penolakan dan isolasi (denial and isolation) merupakan fase pertama yang diusulkan Kubler Ross di mana orang menolak bahwa kematian benar-benar ada. Orang tersebut mungkin berkata “tidak”, “itu tidak dapat terjadi pada saya”. Hal ini merupakan reaksi utama pada penyakit yang tidak tertolong lagi namun penolakan merupakan bagian dari pertahanan diri yang bersifat sementara dan kemudian akan digantikan dengan rasa penerimaan yang meningkat saat seseorang dihadapkan dengan beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai dan kekhawatiran mengenai kehidupan anggota keluaraga lain nantinya.
  2. Kemarahan (anger) merupakan fase ke dua di mana orang yang menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan. Penolakan seringkali memunculkan rasa benci, marah dan iri. Pertanyaan yang biasanya muncul pada diri orang yang sekarat adalah “mengapa saya?”. Pada titik ini seseorang makin sulit dirawat karena amarahnya seringkali salah sasaran dan diproyeksikan kepada dokter, perawat anggota keluarga juga Tuhan. Realisasi dari kehilangan ini besar dan mereka yang menjadi symbol dari kehidupan, energi dan fungsi-fungsi yang merupakan target utama dari rasa benci dan cemburu orang tersebut.
  3. Tawar menawar (bargaining) merupakan fase ketiga menjelang kematian di masa seseorang mengembangkan harapan bahwa sewaktu-waktu kematian dapat ditunda atau diundur. Beberapa orang tawar menawar atau negoisasi seringkali dengan Tuhan sambil mencoba untuk menunda kemtian. Secara psikologis seseorang berkata “Ya, saya , tapi…” dalam usaha mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan dari kehidupan, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya yang didedikasikan hanya untuk Tuhan atau melayani orang lain
  4. Depresi (depression) merupakan fase keempat menjelang kematian di mana orang yang sekarat akhirnya menerima kematian. Pada titik ini satu periode depresi atau persiapan berduka mungkin akan muncul. Orang yang menjelang kemtiannya mungkin akan menjadi pendiam serta menghabiskan waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal dalam situasi tersebut dan sebenarnya merupakan usaha untuk membahagiakan orang yang menjelang kemtianya pada fase ini justru menjadi penghalang karena orang tersebut untuk merenungkan ancaman kematian
  5. Penerimaan (acceptance) merupakan fase kelima menjelang kematian di mana seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir dan dan dalam beberapa hal ingin ditinggal sendiri. Pada fase ini perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan fase kelima ini sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.

Tidak ada satu orang pun yang dapat mengkonfirmasikan bahw seseorang akan secara pasti melewati fase yang digambarkan Kubler Ross. Oleh karenanya terdapat variasi pada setiap inividual mengenai bagaimana kita menghadapi kematian namun urutan yang telah dikemukakan secara optimal akan sesuai.

Oleh karenanya kecemasan terhadap kematian justru akan memperpanjang fase seseorang dalam fase penolakan. Pemahaman terhadap kontrol dapat bekerjasama sebagai suatu strategi adaptasi pada beberapa orang dewasa yang sedang menghadapi kematian. Pada individu yang dapat mempengaruhi dan mengkontrol kejadian seperti kecemasan menghadapi kematian akan menjadi lebih waspada dan ceria. Hal ini akan membawa perubahan diantaranya peningkatan kondisi tubuh serta penerimaan diri (Rodin dan Langer, 1977)