Pendapatan bank syariah tidak diperoleh dari bunga, tetapi dari : 1). Biaya administrasi terhadap penyaluran kredit al-qardh. 2). Mark up terhadap penyaluran kredit al-mura>bah}ah dan al-ba’i bi saman ‘ajil. 3). Bagi hasil dari penyaluran kredit-kredit al-mud}a>rabah dan al-musya>rakah. 4). Fee terhadap penggunaan jasa-jasa perbankan umumnya seperti al-kafalah (jaminan bank), al-hiwalah (pengalihan utang), al-jialah (pelayanan khusus), al-wakalah (penerbitan Lc) dan sebagainya. Penyimpanan dana pada bank syariah tidak memperoleh imbalan bunga simpanan tetapi akan memperoleh imbalan bagi hasil dari pendapatan bank sesuai dengan porsi dan peranannya pada pembentukan pendapatan bank tersebut.[1]
Dalam rangka menghindari pembayaran dan penerimaan riba atau bunga, maka dalam melaksanakan kegiatan pembiayaan (financing), perbankan syariah menempuh mekanisme bagi hasil (profit and loss sharing investment) sebagai pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing) dan investasi berdasarkan imbalan (fee based investment) melalui mekanisme jual beli sebagai pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing).[2] Bentuk equity financing ini terdiri dari dua macam kontrak yaitu, musya>rakah (joint venture profit sharing), dan mud}a>rabah (trustee profit sharing). Sedangkan debt financing dilakukan dengan menggunakan teknik jual beli yang biasa dilakukan dengan cara segera (cash) atau dengan tangguh (deferent). Yang termasuk dalam jenis ini adalah mura>bah}ah, ba’i bi saman ‘ajil, ba’i salam, ba’i istisna’i, ijarah atau sewa. Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, hubungan antar nasabah dengan bank syariah adalah sebagai investor dan pedagang. Dalam operasionalnya bank syariah memberikan jasa kepada penyandang dana dengan cara menerima deposito dari mereka melalui beberapa tipe rekening, yaitu rekening Koran, rekening tabungan, rekening investasi umum dan rekening investasi khusus.
1) Musya>rakah (Kredit Modal Usaha Bersama)
Dalam bank Islam, modal musya>rakah, sebagai kerjasama pendanaan “inan” (syirkah ‘inan fi> al-ma>l) merupakan bentuk yang cocok bagi bank-bank Islam. Sehingga penggunaan dalam teks kata musya>rakah ini adalah dalam kerjasama (partnership), masing-masing partner bisa memberikan kontribusi persentase modal tertentu dan para pelaku tidak diharuskan memberikan kontribusi modal secara sama.[3]
- Syafii Antonio menyatakan aplikasimusya>rakahdalam perbankan Islam dilakukan dalam bentuk : 1). Pembiayaan proyek, nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai suatu proyek. Setelah proyek itu selesai, nasabah berkewajiban mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. 2). Modal Ventura. Modal Ventura ini dilakukan pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat atau bertahap.[4] Musya>rakah dalam perbankan Islam dipahami sebagai suatu mekanisme yang bisa membawa tenaga kerja dan modal bersama untuk produksi barang dan jasa yang secara sosial menguntungkan. Ia bisa digunakan dalam semua pekerjaan yang dijalankan menurut dorongan untuk mendapatkan keuntungan. Meskipun beberapa penulis dalam masalah perbankan Islam tampaknya menggunakan kata musya>rakah dalam arti partisipasi dalam proyek-proyek investasi. Kata itu digunakan oleh bank-bank Islam dalam arti yang sedemikian luas. Bagi bank-bank ini, musya>rakah bisa digunakan untuk tujuan-tujuan yang murni komersial yang biasanya bersifat jangka pendek, ataupun untuk partisipasi dalam equity dari proyek-proyek jangka menengah sampai jangka panjang. Jenis-jenis musya>rakah yang digunakan dalam perbankan Islam adalah: 1). Musya>rakah komersial 2). Partisipasi tidak tetap serta 3). Partisipasi tetap.[5]
Namun demikian beliau menandaskan bahwa meskipun mekanisme bagi hasil pada saat ini telah menjadi metode unggulan bagi perbankan syariah, namun perlu ditegaskan bahwa posisi syariah yang juga berbasis pada prinsip kebebasan berkontrak adalah fleksibel. Semua jenis kontrak transaksi pada prinsipnya diperbolehkan sepanjang tidak berisi elemen riba atau gharar.[6]
Dalam praktek perbankan Islam tidak mengikuti sebuah metode yang seragam dalam membagi laba usaha yang didanai berdasarkan pada peranan partner dalam manajeman proyek, serta kontribusi modal oleh partner dan bank. Surat lamaran pendanaan musya>rakah (tujuan komersial) dari bank Islam intern. Instansi dan pembangunan mengajukan pembagian laba musya>rakah sebelum pajak sebagai berikut : 1). Persentase tertentu bagi partner atas jasa-jasanya dalam membeli, menjual, menyimpanan serta menarik hutang berkaitan dengan musya>rakah. 2). Persentase tertentu bagi bank atas jasa manajeman dan pengawasnya. 3). Persentase tertentu atau kontribusi modal usaha (sesuai dengan kontribusi yang diberikan masing-masing).[7]
2) Mud}a>rabah (kredit modal usaha)
Konsep mud}a>rabah dapat dibagi menjadi mud}a>rabah pada penarikan dana (funding) dan mud}a>rabah pada penyaluran dana (financing). Selain pembagian di atas, mud}a>rabah juga dibedakan menjadi mud}a>rabah mutlaqah (tak terbatas) dan mud}a>rabah muqayyadah (terbatas).[8] Dalam mud}a>rabah mutlaqah terdapat beberapa hal yang sangat berbeda secara fundamental dalam hal nature of relationship between bank and customers pada bank konvensional, yaitu 1). Penabung atau deposan di bank syariah adalah investor dengan sepenuhnya. Dia bukanlah lender atau creditor bagi bank seperti halnya di bank umum. Dengan demikian deposan entitled untuk risk atau return dari usaha bank. 2). Bank memiliki dua fungsi, yaitu terhadap deposan atau penabung ia bertindak sebagai pengelola (mud}a>rib), sedangkan dalam dunia usaha ia berfungsi sebagai pemilik dana (s}a>h}ib al-ma>l). Dengan demikian baik “ke kiri maupun ke kanan” bank harus sharing risk dan return. 3). Dunia usaha berfungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang harus berbagi hasil dengan pemilik dana, yaitu bank. Dalam pengembangannya nasabah pengguna dana dapat juga menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, sewa, fee based services.[9]
- Mud}a>rabah pada funding
Jenis mud}a>rabah ini adalah akad kerjasama antara dua pihak, dimana s}a>h}ib al-ma>l menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan sedangkan jika rugi ditanggung oleh pemilik modal selama bukan akibat kelalaian pengelola, tetapi seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab.[10]
Jenis mud}a>rabah dalam kelompok ini ada dua macam, yaitu tabungan mud}a>rabah dan deposito mud}a>rabah. Tabungan mud}a>rabah adalah simpanan pihak ketiga di bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai dengan perjanjian. Bank bertindak sebagai mud}a>rib dan nasabah sebagai s}a>h}ib al-ma>l. Bank akan membagi keuntungan sesuai dengan nisbah yang telah disetujui, pembagian keuntungan dilakukan setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selama periode tersebut. Misalnya seseorang memiliki saldo tabungan mud}a>rabah sebesar Rp 5 juta. Nasabah bagi hasil adalah 50 % : 50%.[11]
Bentuk kedua dari tabungan mud}a>rabah ini adalah deposito mud}a>rabah. Deposito mud}a>rabah merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo) dengan mendapatkan imbalan bagi hasil. Imbalan ini dibagi dalam bentuk berbagi pendapatan (revenue sharing) atas penggunaan dana tersebut secara syariah dengan proporsi, misalnya 70:30.[12] Deposito ini sebagaimana tabungan biasa, menerapkan konsep mud}a>rabah.[13] Penerapan mud}a>rabah terhadap deposito disebabkan karena kesesuaian yang terdapat di antara keduanya. Misalnya bahwa akad mud}a>rabah mensyaratkan adanya tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar dana itu bisa diputarkan. Tenggang waktu ini merupakan salah satu sifat deposito, bahkan dalam deposito terdapat pengaturan waktu, seperti 30 hari, 90 hari dan seterusnya.[14]
Pada tabungan (funding), bank syariah menerapkan dua macam akad, yaitu wadi’ah dan mud}a>rabah. Tabungan yang menerapkan akad wadi’ah mengikuti prinsip-prinsip wadi’ah yad}-d}amanah. Artinya tabungan ini tidak mendapatkan keuntungan karena ia bersifat titipan dan dapat diambil sewaktu-waktu dengan menggunakan buku tabungan atau media lain melalui ATM. Tabungan yang berdasarkan wadi’ah ini tidak mendapatkan keuntungan dari bank karena sifatnya sebagai titipan. Akan tetapi bank tidak dilarang jika ingin memberikan semacam bonus atau hadiah. Tabungan yang menerapkan akad mud}a>rabah mengikuti prinsip-prinsip akad mud}a>rabah diantaranya sebagai berikut:
Pertama, keuntungan dari dana yang digunakan harus di bagi antara s}a>h}ib al-ma>l (nasabah) dan mud}a>rib (pihak bank).
Kedua, adanya tenggang waktu antara dana yang diberikan dan pembagian keuntungan, karena untuk melakukan investasi dengan memutarkan dana itu diperlukan waktu yang cukup.[15]
3). Mud}a>rabah pada Lending
Pembiayaan modal investasi disediakan sepenuhnya oleh bank syariah (sebagai s}a>h}ib al-ma>l), sedangkan nasabah menyediakan usaha dan manajemennya (nasabah sebagai mud}a>rib). Hasil keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan dalam bentuk nisbah (persentase) tertentu dari keuntungan pembiayaan. Misalnya bank syariah sebagai s}a>h}ib al-ma>l mendapat keuntungan sebesar 65% dan nasabah sebagai mud}a>rib mendapat keuntungan sebesar 35%.[16]
Pembiayaan (lending), mud}a>rabah diterapkan untuk 1). Pembiaya-an modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa. 2). Investasi khusus, disebut juga mud}a>rabah muqayyadah, di mana sumber dana dengan penyaluran khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh s}a>h}ib al-ma>l.[17]
Konsep mud}a>rabah ini dapat dilakukan untuk modal kerja seperti modal kerja perdagangan dan jasa. Bahkan menurut Abdullah Saeed, mud}a>rabah pada dasarnya merupakan kongsi dengan motif laba, dan unsur pokoknya adalah menggabungkan dua hal, yaitu pekerjaan dan modal. Laba bagi tiap-tiap pihak ditentukan berdasarkan dua hal tersebut. Faktor resiko juga dijadikan perhitungan dalam menentukan laba.[18] Jika proyek ini mendapatkan keuntungan maka dibagi menurut kesepakatan. Sedangkan jika terjadi kerugian yang disebabkan bukan karena kelalaian nasabah, maka hal itu menjadi resiko bank (investor) dengan menanggung resiko kehilangan sebagian atau keseluruhan modal, sedangkan mud}a>rib menanggung resiko tidak dapat imbalan atas tenaga dan usaha.[19]
4) Mura>bah}ah
Mura>bah}ah berarti pembelian barang dengan pembayaran ditangguhkan. Pembayaran mura>bah}ah adalah pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory). Pembiayaan ini mirip dengan “kredit modal kerja” yang biasa diberikan oleh bank konvensional.[20]
Dalam konteks ini perbankan Islam, mengajukan beberapa argumen untuk mendukung keabsahan suatu harga yang lebih tinggi dalam penjualan dengan pembayaran di tunda : 1). Bahwa teks syariah tidak melarangnya. 2). Bahwa berbeda antara cash yang ada di waktu sekarang dengan cash yang ada pada masa mendatang karena menurut Ali al-Khafif, seorang ahli hukum kontemporer, “menurut kebiasaan (urf) cash yang diberikan segera (sekarang) lebih besar nilainya dibandingkan cash yang diberikan pada waktu yang akan datang”. 3). Bahwa penambahan (peningkatan) ini bukan untuk masa perpanjangan pembayaran, dan karena itu, tidak sama dengan riba pada masa sebelum Islam yang dilarang dalam al-Qur’an. 4). Bahwa peningkatan ini diminta pada waktu penjual, bukan setelah penjualan terjadi. 5). Bahwa peningkatan ini karena faktor-faktor yang mempengaruhi pasar seperti faktor demand dan supply, dan kenaikan atau penurunan dalam pembelian nilai mata uang sebagai akibat inflasi atau deflasi. 6). Bahwa penjual terlibat dalam kegiatan perdagangan yang diakui dan produktif. Rofiq al-Misri, seorang teoritisi perbankan Islam kontemporer dan pendukung pandangan ini, sementara mengakui bahwa penambahan itu tergolong “bunga pinjaman”, mengatakan “dalam sistem penjualan dengan pembayaran ditunda, penjual tidak bisa disamakan dengan rentenir, meski sistem itu dalam kenyataannya terdiri dari penjualan cash dan pinjaman berbunga, bagaimana penjual sendiri menggabungkan dua hal tersebut dalam satu aktivitas, yaitu penjualan”. Dalam hal ini penjual setidaknya melakukan suatu kegiatan perdagangan yang produktif dan diakui sah. 7). Bahwa penjual boleh menentukan berapapun harga yang diinginkan.[21]
Abdulah Saeed menyebutkan tiga alasan mengapa produk mura>bah}ah ini lebih diminati, antara lain : pertama, mura>bah}ah merupakan suatu mekanisme investasi jangka pendek dan lebih cocok daripada sistem bagi untung-rugi (PLS). Kedua, keuntungan (mark-up) dalam mura>bah}ah dapat ditetapkan dalam suatu cara yang bisa menjamin bahwa bank dapat memperoleh suatu keuntungan yang sebanding dengan bank yang menerapkan sistem bunga. Ketiga, resiko ketidak-pastian sebagaimana terdapat pada usaha menggunakan sistem PLS, dapat dihindari. Dan tidak diperbolehkan bagi pihak bank mencampuri manajemen usaha karena bank bukan partner nasabah tetapi hubungan di antara mereka – dalam mura>bah}ah – adalah secara berurut, hubungan antara si kreditur dan debitur.[22]
Mura>bah}ah merupakan suatu bentuk penjualan dengan pembayaran ditunda dan suatu bentuk kontrak perdagangan semata-mata, meskipun tidak berdasarkan pada teks al-Qur’an ataupun Hadits, telah diperbolehkan menurut hukum Islam. Sistem pendanaan ini sekarang mencakup lebih dari 75 % dari pendanaan bank-bank Islam berdasarkan pada permintaan pengembalian (laba) yang ditetapkan di muka atas investasi bank, sedemikian rupa sehingga mirip pengembalian (laba) bank-bank berbasis bunga yang ditetapkan di muka.[23]
Pendanaan mura>bah}ah dan harga kredit yang lebih tinggi yang ada didalamnya secara gamblang telah menunjukkan bahwa terdapat suatu nilai pada ‘waktu’ dalam pendanaan berbasis mura>bah}ah yang menyebabkan, meskipun tidak langsung, penerimaan nilai waktu uang. Ini dengan baik sekali telah diabaikan bahwa menerima nilai waktu uang secara logis menyebabkan penerimaan nilai waktu uang secara logis menyebabkan penerimaan bunga. Menerima nilai waktu dalam transaksi-transaksi mura>bah}ah (sebagaimana sudah ditunjukkan dalam bab ini, nyaris tidak berbeda dengan transaksi uang semata) dan kemudian menolak hal-hal yang sama dalam transaksi-transaksi uang tampak tidak konsisten dan tidak logis. Jika hukum Islam bisa memperbolehkan pendanaan mura>bah}ah sebagaimana dipraktekkan di bawah perbankan Islam maka pertanyaannya adalah “adakah landasan moral untuk tidak memperbolehkan sistem bunga tetap atas pinjaman dan uang muka”.[24] Dengan demikian, dengan konsep ini bank Islam memang dilematis, wajarlah jika para teoritisi perbankan Islam menyarankan agar penggunaan produk ini diminimalkan.
5) Bai’ bi as\-S|aman A<jil
Kalau mura>bah}ah mirip dengan “kredit modal kerja”, bai’ bi as\-s\aman a>jil ini mirip dengan “kredit investasi” pada bank konvensional. Pembiayaan ini berjangka di atas satu tahun (long run financing), sedangkan mura>bah}ah ini di bawah satu tahun (short run financing).[25]
Dengan demikian, bai’ bi as\-s\aman a>jil merupakan suatu bentuk pembiayaan yang berakad jual beli, dimana pihak bank membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli barang yang diperlukan atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya bank dan bank seketika itu juga menjual barang tersebut kepada nasabah pada tingkat harga (pokok ditambah margin keuntungan) yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga pembelian atau harga pokok ditambah margin keuntungan) untuk dibayarkan dalam jangka waktu yang ditetapkan bersama, baik itu secara tunai (dengan mura>bah}ah) atau secara diangsur (bai’ bi as\-s\aman a>jil).