Pengertian penegakan hukum dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini pengertiannya mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keaadilan yang terkandung di dalam bunyi atau formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.[1]
Secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ”Law Enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materiil, diistilahkan dengan penegakakan keadilan. Setiap orang dalam pergaulan di dalam masyarakat harus memperhatikan dan melaksanakan (mentaati) peraturan hukum, agar tercipta kehidupan yang tertib dan tenteram. Kalau terjadi pelanggaran hukum terhadap peraturan hukum yang berlaku, maka peraturan yang dilanggar itu harus ditegakkan.[2]
Sehingga pada dasarnya penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat.[3]
Menurut Jimly Asshiddiqie [4], penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya.
Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Agar dalam melaksanakan fungsi dan perannya diseluruh wilayah Negera Republik Indonesia atau yang dianggap sebagai wilayah negara republik Indonesia tersebut dapat berjalan dengan efektif dan effisien, maka wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 Bab 3 Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
- Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
- Menegakkan hukum, dan
- Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14, dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
- Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
- Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;
- Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
- Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
- Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
- Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
- Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
- Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
- Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
- Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang;
- Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
- Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai btahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.[5]
Wewenang kepolisian yang diperoleh secara atributif, yakni wewenang yang dirumuskan dalam pasal peraturan undang-undangan seperti wewenang kepolisian yang dirumuskan Pasal 30 ayat (4) Undang-undang Dasar, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, dan lain-lain. Berdasarkan wewenang atributif tersebut kemudian dalam pelaksanaannya lahir wewenang delegasi dan wewenang mandat, yakni pemberian wewenang dari satuan atas kepada satuan bawah (berupa mandat), maupun pendelegasian kepada bidang-bidang lain di luar struktur Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu penyelenggara kegiatan pemerintahan di bidang penegakan hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat tidaklah memiliki tugas yang ringan, karena ruang lingkup tugas kepolisian sangat luas yakni seluruh masyarakat, dan perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, mengakibatkan adanya perubahan tuntutan pelayanan terhadap masyarakat di segala bidang, termasuk pelayanan kepolisian terhadap masyarakat.[6]
Penegakan hukum di Indonesia yang sebagian masyarakatnya yang belum memahami bahwa penegakan hukum merupakan tanggungjawab bersama dalam menegakkan hukum itu sendiri, menganggap hukum sebagai tindakan represif dari aparat hukum, yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana seperti dalam tindakan penyelidikan penyidikan, penuntutan dan seterusnya sampai dilaksanakannya pidana. Terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan tugas-tugas oleh penyidik dalam proses penyelidikan dan penyidikan menimbulkan kesenjangan bagi masyarakat yang sebagian tidak mengerti hukum di Indonesia ini sudah pasti menjadi korban kesalahan penyidik tersebut. Hal ini tidak menetapkan komitmen untuk menegakkan Hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[7]
Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi. Langkah diskresi kepolisian dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab kepolisian yang diberikan negara. Menurut Adrianus Meliala (1988), kasus-kasus pidana yang potensial diselesaikan melalui upaya penyelesaian di luar pengadilan, termasuk di dalamnya dengan cara menerapkan diskresi, di antaranya:
- Kasus Penipuan dan penggelapan yang mana pelaku telah mengembalikan kerugian yang diderita korban;
- Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP;
- Tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
- Kejahatan ringan (lichte musjdriven) sebagaimana diatur dalam KUHP sebagai berikut;
- Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan;
- Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia;
- Pasal 364 tentang pencurian ringan;
- Pasal 373 tentang penggelapan ringan;
- Pasal 379 tentang penipuan;
- Pasal 482 tentang penadahan ringan;
- Pasal 315 tentang penghinaan ringan.
Sekalipun diskresi kepolisian bukan tindakan menyimpang, namun dalam praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus pidana. Padahal, Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi. Selengkapnya Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik menyebutkan: (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Menurut Chryshnanda (2009),[8] tindakan diskresi yang dilakukan aparat kepolisian dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori yaitu:
- Tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan, yaitu tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya, seperti petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan,
- Tindakan diskresi berdasarkan petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinannya. Tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual karena pengambilan keputusan diskresi didasarkan atau berpedoman pada kebijakan–kebijakan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara mereka.
Agar penerapan diskresi kepolisian tidak dipandang sebagai alat rekayasa dari aparat kepolisian untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka penerapannya harus dilandasi dasar hukum yang kuat. Beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum penerapan diskresi, khususnya dalam proses penegakan hukum pidana, antara lain:
- Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
- Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan: Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sekalipun aparat kepolisian memiliki kewenangan bertindak atas dasar penilaiannya sendiri, hal ini tidak boleh ditafsirkan secara sempit, sehingga aparat kepolisian dengan mudah menerapkan kewenangan diskresi. Oleh karena itu, lahirnya diskresi tidak dapat dipisahkan dari adanya suatu wewenang kepolisian secara umum serta adanya hukum yang mengatur untuk bertindak, sehingga diskresi harus dilakukan dalam kerangka adanya wewenang yang diberikan oleh hukum.
Selain penerapan diskresi kepolisian harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, diskresi pun dapat diberlakukan dengan mendasarkan pada hukum adat/kebiasaan setempat. Misalnya, di Bali seringkali penyelenggaraan kegiatan/upacara adat disertai dengan kegiatan sabung ayam, yang mana berdasarkan hukum pidana nasional, dapat dikategorikan sebagai tindakan perjudian sebagaimana diatur dalam Pasal 303 KUHP. Namun aparat kepolisian tidak serta merta menangkapi orang-orang yang sedang melakukan sabung ayam, sekalipun polisi memiliki wewenang untuk melakukannya. Akan tetapi dengan melihat bahwa kegiatan sabung ayam juga merupakan bagian dari kebudayaan/ adat Bali, kepolisian menggunakan hak (diskresi) nya untuk tidak menangkap atau membubarkan orang-orang yang melakukan sabung ayam.
Agar penyidik (polisi) bisa melakukan tindakan (melakukan penyidikan) tentang tindak pidana, maka berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP ada 3 sumber untuk mengetahuinya yaitu:
- Laporan yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang tentang sedang atau telah atau diduga terjadi tindak pidana (Pasal 1 KUHAP)
- Pengaduanyaitu pemberitahuan disertai permintaan dari pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang (dalam hal ini polisi) untuk menindak secara hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan
- Tertangkap tanganyaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu. Benda tersebut menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya, turut melakukan, atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Setelah menerima laporan, pengaduan atau tertangkap tangannya pelaku tindak pidana maka penyelidik (pejabat kepolisian) menyelidiki tentang ada atau tidak terjadinya tindak pidana dalam hal ini disebut tindakan Penyelidikan. Dalam KUHAP pasal 1 penyelidikan adalah tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan menurut ketentuan KUHAP. Apabila penyelidik berkeyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana maka dilanjutkan dengan penyidikan. Tugas-tugas seorang penyelidik berdasarkan pasal 5 KUHAP yaitu:
- Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya tindak pidana
- Mencari keterangan dan barang bukti
- Menyuruh berhenti seseorang (memeriksa) yang dicurigai dan menanyakan identitasnya
- Tindakan yang lain yang bertanggung jawab
- Membuat dan menyampaikan laporan hasil tindakan-tindakan yang telah dilakukan
- Atas perintah penyidik melakukan tindakan berupa:
- Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan
- Pemeriksaan dan penyitaan surat
- Mengambil sidik jari dan memotret
- Membawa seseorang kepada penyidik
Penyelidik juga berwenang untuk melakukan penangkapan atas perintah dari penyidik; Apabila tindakan penyelidikan yang dilakukan penyelidik telah dilakukan maka proses selanjutnya adalah melakukan tindakan Penyidikan. Dalam KUHAP pasal 1 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik dalam hal ini adalah Pejabat kepolisian atau pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undangmelakukan penyidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya untuk mencari dan mengumpulkan bukti maka penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut:
- Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya tindak pidana
- Mencari keterangan dan barang bukti
- Menyuruh berhenti seseorang (memeriksa) yang dicurigai dan menanyakan identitasnya
- Melakukan Tindakan pertama di tempat kejadian.
- Melakukan pengkapan,penahanan, penggeledahan dan penyitaan
- Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
- Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
- Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
- Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
- Mengadakan penghentian penyidikan
- Tindakan lain yang bertanggung jawab
- Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
- Membuat dan menyampaikan laporan hasil tindakan-tindakan yang telah dilakukan
Penyidik dalam setiap tindakan penyidikan harus membuat berita acara terhadap semua tindakan-tindakan penyidikan seperti:
- Pemeriksaan tersangka
- Penangkapan
- Penahanan
- Penggeledahan
- Pemeriksaan rumah
- Penyitaan benda
- Pemeriksaan surat
- Pemeriksaan saksi
- Pemeriksaan di tempat kejadian
- Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan (setelah ada penetapan dan putusan).
Berita-berita acara tersebut dibuat selengkap mungkin karena akan dijadikan Berkas Perkara. Berkas tersebut akan diserahkan kepada penuntut umum (kejaksaan). Apabila oleh penyidik dianggap tindakan penyidikan telah selesai maka penyidik menyerahkan berkas perkara (beserta barang bukti) dan tersangka kepada penuntut umum.
Penyidik dapat memberikan status kepada seseorang sebagai tersangka, kalau terdapat bukti permulaan yang cukupdan memberikan petunjuk bahwa orang tersebut patut disangkakan sebagai orang yang melakukan tindak pidana itu. Bukti Permulaan yang dimaksud adalah benda-benda, keterangan saksi, petunjuk surat dan lainnya yang dapat memberikan petunjuk pelaku tindak pidana.
Dalam upaya mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan yang cukup oleh penyidik maka dia berwenang untuk melakukan pengangkapan, dan penahanan terhadap seseorang.
Penangkapan adalah pengekangan sementara waktu tersangka guna kepentingan penyidikan. Penangkapan ini dilakukan bila ada bukti permulaan yang cukup sehingga patut disangkakan seseorang melakukan tindak pidana. Hal ini untuk menghindari pihak penyidik melakukan penangkapan secara “membabi buta” tanpa alasan yang jelas.
Ketentuan-ketentuan lain mengenai penangkapan adalah:
- Penangkapan dilakukan bila ada bukti permulaan yang cukup kecuali dalam hal tertangkap tangan
- Ada surat penangkapan yang memuat jelas identitas orang yang akan ditangkap. Kecuali dalam hal tertangkap tangan
- Lamanya penangkapan paling lama sehari (24 jam)
Penyidik berwenang pula melakukan penahanan kepada tersangka jika penyidik merasa masih membutuhkan keterangan dari tersangka. Penahanan terhadap tersangka atau terdakwa bertujuan (pertimbangan subyektif):
- Agar tersangka/terdakwa tidak melarikan diri
- Agar tersangka/terdakwa tidak menghilangkan barang bukti
- Agar tersangka/terdakwa tidak mengulangi tindak pidana
- Memudahkan penyidik/penuntut umum melakukan pemeriksaan
Dengan alasan-alasan seperti yang disebutkan di atas maka penyidik (di tingkat penyidikan) atau penuntut umum (di tingkat penuntutan) berhak melakukan penahanan. Namun tersangka atau terdakwa bisa melakukan penangguhan penahanan apabila dapat meyakinkan penyidik atau penuntut umum kalau alasan/tujuan penahanan seperti yang disebutkan di atas dapat dihindari.
Namun demikian tersangka atau terdakwa tidak dapat ditahan kalau tidak memenuhi syarat obyektif seperti yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP yaitu:
- Tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana atau hukuman penjara lima tahun atau lebih.
- Tindak pidana yang tercantum dalam pasal 21 ayat (4) point B yaitu:
- Pasal 28 ayat (3) KUHP tentang tindak pidana kesusilaan atau pornografi
- Pasal 296 KUHP tentang tindak pidana persundalan/prostitusi
- Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana paksaan
- Pasal 351 ayat (1) KHUP tentang tindak pidana penganiayaan
- Pasal 353 ayat (1) KHUP tentang tindak pidana yang direncanakan lebih dahulu
- Pasal 372 KUHP tentang tindak pidana penggelapan
- Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan
- Pasal 379 a KHUP tentang penipuan dalam jual beli
- Pasal 453 KUHP tentang penghentian pekerjaan sebelum habis tempo perjanjian
- Pasal 454 KUHP tentang tindak pidana desersi
- Pasal 455 KUHP tentang melarikan diri dari pekerjaan berlayar
- Pasal 459 KUHP tentang insubordinasi
- Pasal 480 KUHP tentang tindak pidana penadahan
- Pasal 506 KUHP tentang tindak pidana germo
- Tindak pidana terhadap bea cukai
- Tindak pidana imigrasi
- Tindak pidana narkotika