Menurut hukum termodinamik, obesitas terjadi karena ketidakseimbanganantara asupan energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran energy yang rendah ( Damayanti, 2002 ).
Soetjiningsih ( 1995 ) menyebutkan 3 faktor utama penyebab obesitas adalah masukan energi yang melebihi dari kebutuhan tubuh, penggunaan kalori yang kurang, dan faktor hormonal.Disamping itu obesitas juga di sebabkan oleh beberapa faktor predisposisi seperti faktor herediter, suku bangsa, dan persepsi bayi gemuk adalah bayi sehat.Damayanti secara garis besar membagi faktor penyebab obesitas menjadi 2, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Berikut ini akan di paparkan berbagai penyebab obesitas yang di rangkum dari berbagai sumber.
2.3.1 Faktor Genetik
Tingginya angka obesitas pada orang tua yang memiliki anak obes dipercaya bahwa faktor genetik menjadi faktor yang cukup penting.Penelitian telah menunjukkan 60 – 70% remaja obes mempunyai salah satu atau kedua orang tua yang juga obes. 40 remaja obes mempunyai saudara kandung yang juga obes ( Pipes, 1993 ).
Faktor genetik yang diketahui mempunyai peranan kuat adalah parental fatness, anak yang obesitas biasanya berasal dari keluarga yang obesitas. Bila kedua orang tua obesitas, sekitar 80% anak – anak mereka akan menjadi obesitas. Bila salah satu orang tua obesitas kejadiaannya menjadi 40%, dan bila kedua orang tua tidak obesitas maka prevalensi obesitas akan turun menjadi 14%. Peningkatan resiko menjadi obesitas tersebut kemungkina disebabkan oleh pengaruh gen atau faktor lingkungan dalam keluarga ( Damayanti, 2002 )./
2.3.2 Konsumsi ASI
Telah diketahui sejak dulu bahwa pemberian susu formula dan makanan semi solid dapat menjadi penyebab obesitas ( Pipes, 1993 ). Y.H. Hui dalam bukunya Principles and Issue in Nutrition menyebutkan bahwa salah satu penyebab obesitas yakni pengaruh kondisi masa kecil ( chiidhood conditioning ) dimana salah satu turunan dari childhood conditioning ialah infancy eating dan maladjustment. Ini berarti bayi telah di berikan makanan tambahan/ pendamping ASI yang padat serta susu formula yang tinggi kalorinya terlalu dini. Hal itu tentu saja menggagalkan bayi dari proses pemberian ASI eksklusif yang seharusnya menjadi hak mereka dan dapat mencegah dari kemungkinan menjadi obesitas di kemudian hari. Untuk mencegah obesitas orang tua harus memberi ASI tanpa memberi makanan pendamping ASI ( MP ASI ) sebelum usia 3 – 4 bulan, setelah usia 5 – 6 bulan orang tua baru di perbolehkan memberi MP ASI pada anak. Pemberian ASI eksklusif sejak saat lahir hingga usia 6 bulan merupakan langkah awal yang paling tepat dalam menjamin asupan yang baik ( Mokoagow, 2007 ).
Handayani ( 2007 ) dalam penelitiannya tentang durasi pemberian ASI dan resiko terjadinya obesitas pada anak pra – sekolah di kabupaten Purworejo menyebutkan pemberian ASI dapat memperkecil resiko terjadinya obesitas, jika ASI di berikan >12 – < 24 bulan. Selain itu umur mulai mendapatkan makanan tambahan juga menjadi faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas pada anak.
2.3.3 Kebiasaan Makan
Hui ( 1985 ) mengatakan bahwa orang obes sangat suka sekali makan. Mereka biasanya makan dengan jumlah kalori lebih banyak daripada yang mereka butuhkan. Kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau kelompok individu dalam memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya. Kebiasaan makan sebagai tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhnnya akan makanan meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Kebiasaan makan juga merupaka istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan. Seperti tata karma, frekuensi makan, pola makan yang dimakan, kepercayaan yang dimakan ( misalnya pantangan ), distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan ( suka atau tidak suka ) dan pemilihan bahan makan yang hendak dimakan ( Suhardjo, 1989 ).
Pada penelitian tentang hubungan pola makan dan aktivitas fisik pada anak dengan obesitas usia 6 -7 tahun di Semarang tahun 2003 menyebutkan bahwafrekuensi makan lebih dari 3 kali sehari setiap hari memiliki resiko terjadinya obesitas 2,1 kali dibandingkan makan kurang atau sama dengan 3 kali sehari ( Damayanti, 2002 ).
2.3.4 Kebiasaan Sarapan
Penelitian membuktikan bahwa ketika mengkonsumsi sarapan seorang anak akan memiliki tingkah laku dan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan ketika tidak mengkonsumsi sarapan. Pollitt et al. dalam penelitiannyya menemukan anak usia 9 – 11 tahun dengan gizi baik yang melewatkan sarapan menunjukkan sebuah penurunan respon yang akurat dalam memecahkan masalah, namun meningkat dalam keakuratan berfikir jangka pendek. Anak perempuan lebih menyukai sarapan di rumah ( 46% ) dibandingakan anak laki – laki , dan sekitar 20% dari anak usia 10 tahun melewatkan sarapannya setiap hari ( Wortingthon, 2000 ).
Penelitian di wilayah Minneapolis, Amerika Serikat oleh Pereira ( 2008 ) menyebutkan remaja yang melewatkan sarapan setiap harinya mempunyai kecenderungan resiko untuk mengalami kegemukan lebih tinggi. Ia juga menyimpulkan makan pagi secara rutin dapat mengendalikan nafsu makan lebih baik sepanjang hari. Hal inilah yang mencegah dari makan berlebihan saat makan siang atau makan malam.
Albiner ( 2003 ) mengatakan sarapan bersifat mempunyai pengaruh terhadap ritme, pola, dan siklus waktu makan. Orang yang tidak sarapan akan merasa lapar pada siang hari dan malam hari daripada orang yang sarapan. Sehingga mereka akan mengkonsumsi lebih banyak makanan pada siang dan malam hari. Selain itu, sarapan bersifat lebih mengenyangkan disbanding makan pada siang atau malam hari.Sehingga sarapan dapat mengurangi rasa lapar pada siang dan malam hari.
2.3.5 Konsumsi Fast Food
Konsumsi fast food/ makanan cepat saji yang banyak mengandung energi dari lemak, karbohidrat, dan gula akan mempengaruhi kualitas diet dan meningkatkan resiko obesitas ( MMI Volume 40, Nomor 2 Tahun 2005 ). Meningkatnya konsumsi fast food diyakini merupakan satu masalah, karena obesitas meningkat pada masyarakat yang keluarganya banyak keluar mencari makanan cepa saji dan tidak mempunyai waktu lagi untuk menyiapkan makanan di rumah ( WHO, 2000 ).Padahal makanan tersebut sangat beresiko untuk terjadinya obesitas pada anak karena banyak mengandung lemak dan kolesterol. Anak – anak yang memakan fast food lebih dari 3 kali perminggu cenderung menjadi sedikit tidak suka pada makanan yang lebih sehat seperti buah, sayur, susu, dan makanan lain ketika mereka diminta untuk memilih ( Kimberly et al., 2006 ).
2.3.6 Kebiasaan Jajan
Makanan jajanan yang umumnya di sukai anak – anak adalah berupa kue – kue yang sebagian besar terbuat dari tepung dan gula. Oleh karena itu, makanan jajanan tersebut hanya memberikan sumbangan energi saja, sedangkan tambahn zat pembangun dan pengatur sangat sedikit ( Suhardjo, 1989 ).
Jika anak sudah dibiasakan jajan, maka anak ini akan menangis dan tidak mau makan kalau keinginannya tidak dipenuhi. Jajan boleh di lakukan sekali – kali supaya anak mendapat selingan makanan dari luar, asal jangan ia sendiri yang membeli. Orang tua harus mengontrol dan memperhatikan makanan jajanan anak ( Suhardjo, 1989 ).
2.3.7 Kebiasaan Makan Cemilan Saat Nonton TV
Hui ( 1985 ) mengatakan cemilan dikatakan buruk jika mengandung gula, garam, dan lemak yang berlebihan namun rendah protein, vitamin, dan mineral. Wortingthon ( 2000 ) mengatakan nonton TV pada anak – anak juga berhubungan dengan kebiasaan makan cemilan. Sering menonton TV berkorelasi positif dengan perilaku ngemil. Dietz ( 1985 ) menemukan efek buruk TV, yakni sering menonton TV semakin besar resiko diabetes. Selain itu, selama menonton TV biasanya anak makan lebih banyak makanan yang diiklankan di TV dalam jumlah besar.
2.3.8 Susu dan Olahannya
Meskipun selama ini susu disebut – sebut sebagai makanan yang baik untuk anak – anak, namun tidak berarti susu merupakan makanan yang sempurna. Susu tidak dapat tahan lama dan cepat basi. Susu sedikit mengandung zat besi dan beberapa vitamin, namun kaya akan lemak dan kolesterol. Beberapa individu dapat mengalami alergi susu, dan pada beberapa kasus susu dapat menyebabkan konstipasi dan penarahan pada usus. Susu juga dapat menyebabkan obesitas bila dikonsumsi secara berlebihan baik dalam produk susu maupun dalam produk makanan yang merupakan olahan susu ( Hui, 1985 ).
2.3.9 Aktivitas Fisik
Suatu data menunjukkan bahwa aktivitas fisik anak – anak cenderung menurun.Aktivitas meliputi aktivitas sehari – hari, kebiasaan, hobi, maupun latihan dan olahraga.Anak yang kurang atau enggan melakukan aktivitas fisik menyebabkan tubuh kurang menggunakan energi yang tersimpan di dalam tubuh.Oleh karena itu, jika asupan energi berlebihan tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik yang sesuai maka secara kontinyu dapat mengakibatkan obesitas. Padahal cara yang paling mudah dan umum dipakai untuk meningkatkan pengeluaran energi adalah dengan melakukan latihan fisik atau gerak badan ( Damayanti, 2002 ).
Sebaliknya menonton televisi akan menurunkan aktivias fisik dan keluaran energi karena mereka menjadi jarang atau kurang berjalan, bersepeda, maupun naik – turun tangga. Di samping itu menonton program televisi tertentu terbukti menurunkan laju metabolisme tubuh. Sebuah penelitian kohort mengatakan bahwa menonton televisi lebih dari 5 jam meningkatkan prevalensi dan angka kejadian obesitas padaanak usia 6 – 12 tahun ( 18% ),serta menurunkan angka keberhasilan sembuh dari terapi obesitas sebanyak 33% ( Damayanti, 2002 ).
Pipes ( 1993 ) menyebutkan ketidak aktifan menjadi salah satu penyebab obesitas. Anak – anak dan remaja obes sedikit bergerak/ beraktivitas daripada anak dengan berat badan normal. Kegiatan aktivitas fisik sangat diperlukan oleh anak – anak.Oleh karena itu peran orang tua sangat besar dalam mencegah obesitas pada anak.Orang tua yang sering melakukan olahraga sering mengajarkan anak – anak mereka untuk menyukai dan menikmati aktivitas fisik.
Mu’tadin ( 2002 ) mengatakan meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi 1/3 pengeluaran energi seseorang dengan berat badan normal, namun bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan, aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Saat berolah raga kalori terbakar, semakin banyak berolah raga maka semakin banyak kalori yang hilang.Kalori secara tidak langsung mempengaruhi system metabolism basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan metabolism basal tubuhnya. Kekurangan aktivitas gerak akan nmenyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olah raga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati.
Tidak berbeda dengan TV, ternyata komputer dan video games juga turut andil dalam kejadian obesitas pada anak.Meskipun beberapa komputer dan video games memiliki komponen mendidik, namun kebanyakan jauh dari aktivitas pembakaran lemak.Beberapa dokter mengatakan bahwa TV sedikit lebih berbahaya dari video games, karena komputer dan video games mendorong anak – anak untuk melakukan aktivitas yang banyak menggunakan koordinasi tangan – mata dan gerak motorik lainnya. Gerakan ini menghasilkan lebih banyak pembuangan energi daripada duduk berdiam diri di depan TV ( Kimberly, 2006 ).
2.3.10 Pendapatan Keluarga
Pada umumnya, semakin baik taraf hidu seseorang semakin meningkat daya belinya dan semakin tinggi mutu makanan yang tersedia untuk keluarganya.Golongan ekonomi kuat cenderung boros dan konsumsinya melampaui kebutuhan sehari – hari.Akibatnya berat badan terus – menerus bertambah. Beberapa penyakit karena kelebihan gizi pun sering ditemukan ( Suhardjo, 1989 ).
Apriadji ( 1986 ) mengatakan sebuah keluarga yang pendapatannya cukup tinggi ternyata makanannya kurang memenuhi syarat. Anak – anak dalam keluarga ini sering mengantuk di sekolah dan enggan bermain – main.Setelah diteliti ternyata orang tua mereka lebih mementingkan rumah yang megah dengan perabotan mewah.Mereka begitu bersemangat untuk membeli kebutuhan sekunder.Bahkan lebih parah lagi, perhatian mereka terhadap makanan kaleng dan makanan hasil olahan pabrik semakin kuat. Gordon – Larsenn et al. ( 2003 ) menemukan hubungan antara pendapatan orang tua dengan kejadian obesitas pada remaja di AS.
2.3.11 Konsumsi Sayur dan Buah – buahan
Sayur dan buah dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi rasa lapar namun tidak menimbulkan kelebihan lemak, kolesterol, dan sebagainya.Sayur dan buah umumnya juga mengandung serat kasar yang dapat membantu melancarkan pencernaan dan mencegah konstipasi.Banyak anak yang kurang menyukai sayuran dalam menu makanan dengan alasan karena rasanya yang kurang enak. Pola makan keluarga tertentu yang tidak mengutamakan sayuran dan buah dalam menu makanan utama menambah parah kurangnya asupan sayuran pada anak ( Hui, 1985).
2.3.12 Jenis Kelamin
Apriadji ( 1986 ) mengatakan jenis kelamin adalah faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi sehingga ada hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi. Anak perempuan biasanya lebih memperhatikan penampilan sehingga seringkali membatasi makanannya, selain itu anak perempuan juga mempunyai kemampuan makan dan aktivitas fisik yang lebih rendah dari anak laki- laki ( Wortingthon seperti yang dikutip oleh Fathia, 2003 ). Namun penelitian Troiano dan Flegal ( 1998 ) pada anak usia 6 – 11 tahun menemukan bahwa kejadian obesitas pada anak laki – laki lebih besar daripada anak perempuan, dan angka tersebut terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
2.3.13 Jumlah Anggota Keluarga
Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan banyak masalah. Jika pendapatan keluarga hanya pas – pasan sedangkan anak banyak makan pemerataan dan kecukupanm makanan di dalam keluarga kurang bias di jamin. Keluarga ini bias di sebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hamper tidak tercukupi dan dengan demikian penyakit punterus meningkat ( Apriadji, 1986 ). Semakin besar jumlah penduduk di suatu daerah maka pemerintah harus menyediakan bahan makanan dengan jumlah yang lebih besar ( Apriadji, 1986 ).
2.3.14 Pengetahuan dan Pendidikan Gizi Ibu
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Semakin tinggi pendidikan orang tua, cenderung akan semakin baik memilih kualitas dan kuantitas bahan makanan ( Masyitah, 1999 ).
Perilaku mengandung aspek – aspek sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Pengetahuan gizi adalah pengetahuan tentang cara yang benar untuk memilih bahan makanan kemudian mengolah serta mendistribusiknnya. Di samping itu pengetahuan gizi juga mencakup bagaimana menyajikan makanan sehat secara ekonomis ( Apriadji, 1986 ).
2.3.15 Status Ibu Bekerja
Ada beberapa perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan bagi anak – anak apabila ibu mereka disamping sebagai ibuu rumah tangga berperan juga sebagai pencari nafkah. Karena seorang ibu yang bekerja sebagai pencari nafkah di luar rumah berarti sebagian dari waktunya akan tersita, sehingga peranannya dalam hal mempersiapkan makanan terpaksa dikerjakan oleh orang lain, demikian juga pemberian makanan terhadap anak – anaknya. Seorang ibu yang bekerja hendaknya benar – benar membagi waktu agar anak – anaknya tetap mendapat perhatian khusus serta pekerjaan juga tidak terlantar ( Suhardjo, 1989 ).