PEMANTAUAN KADAR OBAT DALAM DARAH (skripsi dan tesis)

  

Menurut Usman (2007), pemantauan kadar obat di dalam darah adalah suatu teknik yang digunakan klinisi untuk mengoptimalkan dosis obat dengan memberikan dosis yang ditetapkan berdasarkan konsentrasi target (C target) dengan cara mengukur kadar obat dalam darah dan bila perlu melakukan penyesuaian dosis. Pemantauan kadar obat dalam darah ini bertujuan untuk mem-bantu meningkatkan penggunaan obat yang lebih rasional baik keamanan dan efektifitas dosis pada individu penderita.

          Keberhasilan suatu terapi dengan obat terletak pada pendekatan sejauh mana optimalisasi keseimbangan antara efek terapeutik yang diinginkan dengan efek samping atau efek toksik yang tidak diinginkan dapat dicapai. Untuk men-capai hasil terapi yang optimal, pemilihan obat dan rancangan regimen dosis yang tepat perlu dilakukan. Rancangan regimen dosis yang diberikan dokter pada penderita adalah berdasarkan tujuan untuk pengo-batan individu, di mana dosis yang dibe-rikan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing penderita. Cara penentuan dosis ini di kenal dengan “individualisasi dosis”. Di dalam pemberian regimen dosis akan melibatkan tiga pertanyaan yang saling berkaitan, Berapa banyak obat yang diberikan ?. Berapa kali per hari obat diberikan ?. Berapa lama obat diberikan?.  Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini agar tujuan dan sasaran terapeutik dapat dicapai.

Adanya variabilitas individu baik intra maupun inter individu pada pen-derita, menyebabkan pengaturan dosis yang sesuai dengan penderita diperlukan, terutama untuk obat dengan indek terapi sempit. Pada dasarnya obat-obat yang perlu dilakukan TDM mempunyai kriteria atau kondisi klinik antara lain (Usman (2007).

  1. Obat yang mempunyai batas keamanan (margin of safety) yang sempit
  2. Efek toksis sukar diamati atau dipasti-kan secara klinis
  3. Efek terapinya sukar di pantau secara klinis
  4. Kadar obat dalam plasma bervariasi antar individu
  5. Penderita mempunyai gangguan pada salah satu organ ekskresi
  6. Penderita yang sudah diberi dosis tetapi memperlihatkan tanda toksik atau tidak memperlihatkan efek terapi yang diha-rapkan
  7. Terjadinya interaksi obat akibat polifar-masi
  8. Untuk menilai kepatuhan penderita makan obat secara teratur

Salah satu cara pemantauan kadar obat dalam darah adalah dengan menggunakan metode farmakokinetika. Farmakokinetika yaitu suatu cara untuk melakukan pengukuran kuan-titatif keberadaan obat dalam tubuh sebagai suatu sistem yang dinamik, di mana obat berubah setiap saat oleh proses ADME (Absorbsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekresi). Bila konsep farmakokinetika ini digunakan untuk tujuan keamanan dan efektifitas terapi pada penderita di klinik, di sebut Farmakokinetika Klinik. Dari perubahan kadar obat setiap saat dalam darah (dc/dt) dapat ditentukan parameter kinetik yaitu besarnya absorbsi (Ka), kadar puncak (Cmaks), kadar tunak (Css), klirens, volume distribusi (Vd), waktu paruh (t1/2) dan bioavailabiltas. Dari parameter kinetik diciptakan model farmakokinetik. Model adalah salah satu alat dasar dari ilmu pengetahuan yang sifatnya tiruan dan merupakan sistim riil yang sederhana. Model kompartemen dalam ilmu faal dan ilmu farmakokinetika sering digunakan untuk mengambarkan perilaku zat-zat endo-gen atau eksogen termasuk obat.

Model farmakokinetik ini bertujuan untuk mendapatkan metode yang sesuai dalam menggambarkan dan menginterprestasikan satu data atau beberapa set data yang di peroleh dari percobaan. Model ini me-ngarah kepada pembuatan konsep mate-matika yang disebut model kompartemen. Prinsip dari model kompartemen ini menganggap tubuh terdiri dari bagian-bagian atau kompartemen yang satu dengan yang lain saling berhubungan, di mana distribusi obat di dalam tubuh tidaklah sama, hal ini disebabkan perbe-daan anatomi, faal organ, media cairan tubuh serta proses difusi yang terjadi. Penggunaan model matematika ini dengan parameter farmakokinetik, dapat meng-gambarkan dan meramalkan hubungan antara waktu dan perubahan kadar obat dalam darah setiap saat sebagai fungsi dari dosis serta cara dan frekuensi pemberiaan obat.

atalaksana terapi pada pasien yang menjalani hemodialisis memerlukan perhatian pada manajemenstatus cairan/volume ekstra vaskuler dan penyesuaian terapianti (National Kidney Foundation, 2005). Penyesuaian terapi diperlukan karena adanya jenis obat yang terdialisis serta adanya abnormalitas respon tubuh terhadap hemodialisis. Kadar obat yang terdialisis mengakibat-kan penurunan efektifitas obat atau under dose (Bochler et al, 1999 ; Chen etal, 2006) yang berakibat tidak ter-kontrolnya tekanan darah sehingga meningkatkan risiko penyakit jantungdan pembuluh (Agarwal,1999). Oleh karenanya, kadangkala pasien mem-butuhkankan adanya supplemental dose dari obat yang digunakan setelah dialysis untuk mempertahankan konsentrasi obatdi dalam darah (Quan dan Aweeka,2005; Bochler et al, 1999 ; Keller et al,1999 ). Bahkan berkurangnya kadar obatdi dalam darah dapat berakibat fatal pada pasien dengan kondisi kritis (Keller et al,1999)

Frekuensi hemodialisis (skripsi dan tesis)

Perdede (dalam RS PGI Cikini, 2007) menyatakan bahwa jumlah jam hemodialisis per minggu untuk mencapai adekuasi yaitu 10-15 jam. Adapun jadwal hemodialisis sebagai berikut:

  1. 2 x 5 jam/ minggu
  2. 3 x 4 jam/ minggu
  3. 4 x 3 jam/ minggu
  4. 5 x 3 jam/ minggu
  5. Setiap hari selama 2 jam

Untuk pasien baru terapi hemodialisis dapat dilakukan dengan jadwal sebagai berikut :

  1. Minggu I : 2-3 jam per hemodialisis atau semampu pasien. Hemodialisis dilakukan setiap hari atau setiap 2-3 hari.
  2. Minggu II : 3-4 jam per hemodialisis → 3-4 jam per minggu.
  3. Minggu III : 3-4 jam per hemodialisis → 3-4 jam per minggu.
  4. Minggu IV : 3-5 jam per hemodialisis → 2-3 jam per minggu. Minggu berikutnya diprogramkan kembali sesuai dengan indikasi medik

komplikasi hemodialisis (skripsi dan tesis)

 Menurut Smeltzer (2002) komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai berikut :

  1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
  2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
  3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
  4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.
  5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini memungkinkan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
  6. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
  7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
  8. Komplikasi hemodialisis menurut Situmorang (dalam RS PGI Cikini, 2007) meliput:
  9. Jangka Pendek

1)     Komplikasi yang sering adalah hipotensi 20-30%, kram 5-20%, mual/ muntah 5-15%, sakit kepala 5%, nyeri dada 2-3%, nyeri punggung 2-5%

2)     Kurang sering tapi serius Sindrom disekuilibrium, reaksi hipersensitivitas, aritmia, cardiac tamponade, hemolysis, reaksi dialisis, perdarahan intracainial, emboli udara.

  1. Jangka Panjang

Terjadi resiko kardiovaskular meningkat,osteodistrofi renal, neuropati uremik, amyloidosis disease, kegagalan akses.

Kelemahan hemodialisis (skripsi dan tesis)

     Kelemahan hemodialisis menurut Nuryandari (1999) sebagai berikut:

  1. Tergantung mesin
  2. Sering terjadi hipotensi, kram otot, disequilibrium sindrom
  3. Terjadi activasi: complemen, sitokines, mungkin menimbulkan amyloidosis
  4. Vasculer access: infeksi, trombosis
  5. Sisa fungsi ginjal cepat menurun, dibandingkan peritoneal dialisis.

Keunggulan hemodialisis (skripsi dan tesis)

  1. Keunggulan hemodialisis menurut Nuryandari (1999) sebagai berikut :
  2. Produk sampah nitrogen molekul kecil cepat dapat dibersihkan
  3. Waktu dialisis cepat

Dialiser akan mengeluarkan melekul dengan berat sedang dengan laju yang lebih cepat dan melakukan ultrafiltrasi dengan kecepatan tinggi hal ini di perkirakan akan memperkecil kemungkinan komplikasi dari hemodialisis misalnya emboli udara dan ultrafiltrasi yang tidak kuat atau berlebihan (hipotensi, kram otot, muntah).

  1. Resiko kesalahan teknik kecil
  2. Adequasy dapat ditetapkan sesegera, underdialisis segera dapat dibenarkan

Adequasy hemodialisis atau kecukupan hemodialisis segera dapat ditetapkan dengan melihat tanda-tanda tercapainya berat badan kering/tidak ada oedema, pasien tampak baik, aktif, tensi terkendali dengan baik, hb >10 gr% demikian juga bila terjadi keluhan-keluhan tersebut berarti tidak terpenuhinya kecukupan dialisis sehinnga dapat di benarkan terjadi underdialisis.

Pengobatan Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu : dialisis dan transplantasi ginjal

  1. Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialis peritoneal dan hemofiltrasi

Cuci darah apabila fungsi ginjal untuk membuang zat-zat metabolik yang beracun dan kelebihan cairan dari tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak mampu lagi menjaga kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus dilakukan dialisis (cuci darah) sebagai terapi pengganti fungsi ginjal. Ada dua jenis dialisis yaitu:

1)      Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)

Cara yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser untuk dibersihkan melalui proses difusi dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus untuk dialisis), kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh.

Agar prosedur hemodialisis dapat berlangsung, perlu dibuatkan akses untuk keluar masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat bersifat sementara (temporer) Akses temporer berupa kateter yang dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah leher. Sedangkan akses permanen biasanya dibuat dengan akses fistula, yaitu menghubungkan salah satu pembuluh darah balik dengan pembuluh darah nadi (arteri) pada lengan bawah, yang dikenal dengan nama cimino. Untuk memastikan aliran darah pada cimino tetap lancar, secara berkala perlu adanya getaran yang  ditimbulkan oleh aliran darah pada cimino tersebut.

2)      Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut).

Adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. Dapat dilakukan pada di rumah pada malam hari sewaktu tidur dengan bantuan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu. Sedangkan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) tidak membutuhkan mesin khusus tersebut, sehingga dapat dikatakan sebagai cara dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri di rumah atau di kantor (Pernefri, 2003)

  1. Transplantasi ginjal yang dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah (cadaver).

Cangkok atau transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal terminal. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver). Akan lebih baik bila donor tersebut dari anggota keluarga yang hubungannya dekat, karena lebih besar kemungkinan cocok, sehingga diterima oleh tubuh pasien. Selain kemungkinan penolakan, pasien penerima donor ginjal harus minum obat seumur hidup. Juga pasien operasi ginjal lebih rentan terhadap penyakit dan infeksi, kemungkinan mengalami efek samping obat dan resiko lain yang berhubungan dengan operasi (Alam & Hadibroto, 2008).

Terapi hemodialisis adalah pengobatan dengan menggunakan hemodialisis yang berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memisahkan darah dari bagian yang lain. Jadi hemodialisis yaitu memisahkan sampah nitrogen dan sampah yang lain dari dalam darah melalui membran semipermiabel. Hemodialisis tidak mampu menggantikan seluruh fungsi ginjal, namun dengan hemodialisis kronis pada penderita gagal ginjal kronis dapat bertahan hidup bertahun-tahun. (Nuryandari, 1999).

Indikasi hemodialisis yaitu BUN (> 100 mg/dl), kreatinin (> 10 mg/dl), hiperkalemia, acidosis metabolik. Secara klinis meliputi (1) Anoreksi, nausea, muntah; (2) Ensepalopati ureikum; (3) Odema paru; (4) Pericarditis uremikum; (5) Pendarahan uremik (Nuryandari, 1999).

Komplikasi Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita penyakit gagal ginjal kronik menurut Alam & Hadibroto (2008) antara lain :

  1. Anemia

Terjadinya anemia karena gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan.

  1. Osteodistofi ginjal

Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.

  1. Gagal jantung

Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita gagal ginjal kronis dimulai dari anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left venticular hypertrophy/ LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal).

  1. Disfungsi ereksi

Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon testeron) untuk merangsang hasrat seksual (libido), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Namun, penyebab utama gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal.

Komplikasi Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita penyakit gagal ginjal kronik menurut Alam & Hadibroto (2008) antara lain :

  1. Anemia

Terjadinya anemia karena gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan.

  1. Osteodistofi ginjal

Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.

Gagal ginjal kronik (cronic renal failure) (skripsi dan tesis)

Gagal ginjal kronik (cronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan di tandai dengan uremia(urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau tansplantasi ginjal) (Nursalam, 2002).

Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefretis kronis, pielonefretis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstuksi traktus urinarius, lesi heriditer, lingkungan dan agen berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis seperti timah, kadmium, merkuri, dan kromium. Dialisis atau transplantasi ginjal kadang-kadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien (Smeltzer, 2002).

Pengertian Evaluasi (skripsi dan tesis)

 

Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan dampak serta biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang sistematis dari dampak program (Anonim, 2002).

Evaluasi bermanfaat untuk (Anonim, 2002) :

  1. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang berjalan.
  2. Meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan memperbaikinya.
  3. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif
  4. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi
  5. Kesesuaian tuntutan tanggung jawab.

     Proses evaluasi akan memberikan lima langkah umpan balik sebagaimana yang diungkapkan oleh Hunger and Wheelen (2000). Kelima langkah umpan balik tersebut adalah :

  1. Menentukan apa yang diukur
  2. Menetapkan standar kerja
  3. Mengukur kinerja aktual
  4. Membandingkan kinerja aktual standar yang telah ditetapkan
  5. Mengambil tindakan perbaikan

Tujuan diadakan evaluasi adalah untuk memperbaiki pelaksanaan dan perencanaan program sehubungan dengan perlu adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain: untuk mengecek relevansi dari program dalam hal perubahan -perubahan kecil yang terus-menerus mengukur kemajuan terhadap target yang direncanakan menentukan sebab dan faktor di dalam maupun di luar yang mempengaruhi pelaksanaan program (Subarsono,2005).

ndikator-indikator pengadaan obat Kabupaten/Kota (skripsi dan tesis)

Menurut Departemen Kesehatan RI (Anonim, 2002) melaui penelaahan konsep pada Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, maka diukur indikator-indikator pengadaan obat Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

  1. Alokasi dana pengadaan obat

Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan obat untuk populasi merupakan prasyarat terlaksananya penggunaan obat yang rasional yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dengan indikator ini dapat dilihat komitmen Kabupaten/Kota dalam penyediaan dana pengadan obat sesuai kebutuhannya. Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang disediakan/dialokasikan oleh pemerintah Kabupaten/Kota untuk memenuhi kebutuhan obat pelayanan kesehatan diwilayah tersebut. Yang dilihat pada indikator ini adalah jumlah dana anggaran pengadaan obat yang disediakan pemerintah daerah Kabupaten/Kota dibandingkan dengan jumlah kebutuhan dana untuk pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan populasi. Angka ideal dana pengadaan obat yang disediakan apabila sangat mendekati dengan kebutuhan sebenarnya.

  1. Persentase alokasi dana pengadaan obat

Obat merupakan pendukung utama untuk hampir semua program kesehatan di unit pelayanan kesehatan. Untuk itu ketersediaan dana pengadaan obat harus proposional dengan anggaran kesehatan secara keseluruhan. Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang disediakan/dialokasikan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung program kesehatan di daerahnya dibandingkan dengan jumlah alokasi dana untuk bidang kesehatan. Angka ideal dana pengadaan obat harus proposional dengan anggaran kesehatan secara keseluruhan.

  1. Biaya obat perpenduduk

Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai kebutuhan populasi bervariasi untuk masing-masing Kabupaten/Kota untuk itu perlu diketahui besarnya dana yang disediakan oleh Kabupaten/Kota apakah telah memasukkan parameter jumlah penduduk dalam pengalokasian dananya.

tujuan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan (skripsi dan tesis)

Menurut Departemen Kesehatan RI (Anonim, 2008) tujuan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan adalah :

  1. Tersedianya obat dan perbekalan kesehatan dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan.
  2. Mutu obat dan perbekalan kesehatan terjamin.
  3. Obat dan perbekalan kesehatan dapat diperoleh pada saat diperlukan.

metode pengadaan obat (skripsi dan tesis)

Terdapat beberapa metode pengadaan menurut WHO (2002) ,yaitu:

  1. Tender terbuka

Tender terbuka adalah metode penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan pengumuman secara luas mealui media massa dan  pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Untuk pelaksanaan sistem tender terbuka ini perlu dipersiapkan beberapa hal yang mencakup jadwal lelang, pengumuman lelang, persyaratan peserta, periode lelang, seleksi dan penetapan peserta lelang. Dalam tender terbuka akan banyak penawar yang mengajukan penawaran, untuk mengevaluasi penawar memerlukan waktu yang lama dan terkadang tidak dapat dilakukan sesuai dengan jadwal proses lelang yang berakibat pada terhambatnya proses pengadaan.

  1. Tender tertutup

Tender hanya dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan mempunyai riwayat yang baik. Tender terbuka biasanya didahului dengan prakualifikasi supplier, tetapi secara keseluruhan beban kerja tender tertutup lebih ringan daripada tender terbuka. Penetapan metode ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pengadaan obat dengan kualitas produk yang akan diperoleh tetap akan terjamin walaupun dengan supplier terbatas.

  1. Pemilihan langsung

Pemilihan langsung dilaksanakan apabila metode tender terbuka dan tertutup dinilai tidak efisien dari segi biaya tender. Pemilihan dilaksanakan dengan membandingkan sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun harga serta diumumkan melaui pengumuman resmi. Pengadaan langsung memungkinkan terjadinya penawaran secara rinci kepada pemasok, baik meliputi jumlah, jenis, dan harga. Negosiasi umumnya dilakukan kepada beberapa pemasok terpilih untuk mendapatkan harga yang layak. Keuntungan pemilihan langsung adalah obat dapat segera terpenuhi tanpa harus melaui proses tender yang berkepanjangan.

  1. Pengadaan langsung,

Pengadaan langsung dilakukan dalam jumlah kecil untuk jenis obat yang harus segera tersedia. Metode pengadaan langsung yang dikombinasikan dengan kontrak negosiasi, akan memberikan keuntungan yang lebih besar  karena harga dapat disepakati dengan harga yang lebih murah.

Pengelolaan obat (skripsi dan tesis)

Menurut Quick et al (1997) siklus pengelolaan obat meliputi seleksi, pengadaan, distribusi, serta penggunaan yang didukung oleh struktur organisasi, keuangan, dan sistem informasi manajemen yang layak serta staf yag termotivasi.

Tujuan pengelolaan obat adalah terjaminnya ketersediaan obat yang bermutu baik, secara tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu serta digunakan secara rasional dan supaya dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas) (Anonim,2002). Agar tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka pada Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dalam pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan sebaiknya ada pembagian tugas dan peran seperti di bawah ini :

  1. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim perencanaan obat terpadu berdasarkan system “bottom up”
  2. Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi.
  3. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana, agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak tumpang tindih.
  4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya.
  5. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Puskesmas
  6. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas.
  7. Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
  8. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pen-distribusian obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar.
  9. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan perbekalan kesehatan yang rusak dan kadaluwarsa.
  10. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat yang ada di Instalasi Farmasi dan Unit Pelayanan Kesehatan Dasar.

Instalasi Farmasi di Provinsi/ Kabupaten/ Kota mempunyai tugas pokok melaksanakan semua aspek pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian penggunaan, pencatatan pelaporan, monitoring, supervisi dan evaluasi. Termasuk didalamnya pelatihan pengelolaan obat serta melakukan koordinasi dalam perencanaan dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan.

Instalasi Farmasi di Provinsi/ Kabupaten/ Kota mempunyai fungsi antara lain :

  1. Melakukan seleksi obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar.
  2. Melakukan perhitungan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar.
  3. Pro-aktif membantu perencanaan dan pelaksanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/ Kota.
  4. Melakukan penerimaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari berbagai sumber anggaran.
  5. Melakukan penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan dari berbagai sumber anggaran.
  6. Melakukan pendistribusian obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari berbagai sumber anggaran sesuai dengan permintaan dari pemilik program atau permintaan unit pelayanan kesehatan.
  7. Melakukan pencatatan pelaporan obat publik dan perbekalan kesehatan serta obat program kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya.
  8. Melakukan monitoring, supervisi dan evaluasi pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan pada unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya.
  9. Melaksanakan kegiatan pelatihan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta penggunaan obat rasional bagi tenaga kesehatan di unit pelayanan kesehatan dasar
  10. Melaksanakan kegiatan bimbingan teknis pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta pengendalian penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan dasar
  11. Melaksanakan kegiatan administrasi unit pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan

  A.1 Perencanaan

Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Quick et al (1997), perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan pengelolaan obat yang memerlukan adanya dukungan sumber daya manusia dan kebijakan obat yang berkaitan erat dengan penyediaan obat sehingga untuk meningkatkan mutu pelayanan maka perencanaan obat harus dikelola secara efektif dan efisien. Dengan adanya efesiensi dalam perencanaan obat dapat menurunkan biaya belanja obat, sehingga dana tersebut dana tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada gilirannya dapat meningkatkan petumbuhan ekonomi negara (Chan,C.K, 2000).

Proses pemilihan obat sebaiknya mengikuti pedoman seleksi obat yang telah disusun oleh WHO (1993), yaitu: memilih obat yang telah terbukti efektif dan merupakan drug of choice, mencegah duplikasi obat, pemilihan obat yang seminimal untuk suatu jenis penyakit, melaksanakan evaluasi kontra indikasi dan efek samping secara cermat.

Salah satu cara untuk meningkatkan efesiensi penggunaan dana obat yang terbatas adalah dengan cara mengelompokkan obat berdasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan berdasarkan metode VEN. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok berikut:

  1. Kelompok V (Vital) adalah kelompok obat-obatan yang sangat esensial, yang termasuk dalam kelompok ini adalah obat-obatan penyelamat (life saving drugs), obat-obat untuk pelayanan kesehatan khusus (vaksin, dll), obat-obatan untuk mengatasi penyakit-penyakit penyebab kematian terbesar.
  2. Kelompok E (Esensial) adalah kelompok obat-obatan yang harus ada yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan, yang bekerja pada sumber penyakit.
  3. Kelompok N (Non Esensial) adalah merupakan obat-obat penunjang yaitu obat-obatan yang kerjanya ringan yang biasa digunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatas keluhan ringan contohnya vitamin (Quick et al, 1997)

Analisa perencanaan lain yang dapat digunakan adalah analisa ABC (Always Better Control) yaitu suatu metode pengelompokan obat berdasarkan kebutuhan dana, yaitu:

  1. Kelompok A adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70 % dari jumlah dana obat keseluruhan
  2. Kelompok B adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%
  3. Kelompok C adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana keseluruhan.

   Untuk lebih akuratnya perencanaan obat dan untuk menyesuaikan rencana pengadaan obat dengan jumlah dana yang tersedia, maka dapat dilakukan analisa ABC-VEN

Beberapa macam metode yang digunakan dalam melakukan perencanaan, antara lain:

  1. Metode Epidemiologi

Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan pola pengobatan penyakit yang terjadi dalam masyarakat sekitar. Juga dengan memperhatikan kemampuan dan sosio cultural masyarakat sekitar.

  1. Metode Konsusmsi

Perencanaa dengan metode ini dibuat berdasarkan data pengeluaran barang metode lalu.

  1. Metode kombinasi

Merupakan metode gabungan dari metode epidemiologi dan metode konsumsi

Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat adalah sebagai berikut (Anonim,2002a):

  1. Tahapan pemilihan obat, tahap ini dimulai dengan tahap seleksi atau pemilihan obat bertujuan untuk menentukan apakah obat benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah.
  2. Tahap kompilasi pemakaian obat, berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masing-masing jenis obat di Puskesmas selama satu tahun sebagai pembanding stok optimum.
  3. Tahap perhitungan kebutuhan obat dapat menggunakan metode konsumsi, metode epidemiologi atau gabungan dari kedua metode tersebut.
  4. Tahap proyeksi kebutuhan obat, adalah perhitungan kebutuhan obat secara komprehensif dengan mempertimbangkan data pemakaian obat dan jumlah sisa stok pada periode yang masih berjalan dari berbagai sumber anggaran.
  5. Tahap penyesuaian rencana pengadaan obat, dengan melaksanakan penyesuaian rencana pengadaan obat dengan jumlah dana yang tersedia maka informasi yang didapat adalah jumlah rencana pengadaan, skala prioritas masing-masing jenis obat dan jumlah kemasan, untuk rencana pengadaan obat tahun yang akan datang.

Proses perencanaan obat diawali dengan seleksi obat untuk menentukan obat-obat yang diperlukan berdasarkan obat generik yang tercantum dalam DOEN yang masih berlaku. World Health Organization (WHO) merekomendasikan kriteria seleksi obat-obat esensial berdasarkan bahwa obat-obat tersebut dapat memberikan kepuasan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat, tersedia setiap saat dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat. Pemilihan obat berdasarkan pola prevalensi penyakit di fasilitas pelayanan dengan personel yang berpengalaman dan terlatih. Obat yang dipilih mempunyai mutu yang terjamin, termasuk bioavailabilitas, stabil dalam penyimpanan dan dengan bahan aktif yang tunggal (Quick et al., 1997).

Tahap kompilasi pemakaian obat dilakukan dengan menentukan jumlah pemakaian obat setiap bulan dari masing-masing sub unit  menggunakan format Laporan Pemakain Dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang diajukan oleh Puskesmas dengan mengetahui kepala Puskesmas untuk ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota dan selanjutnya diproses oleh Instalasi Farmasi (IF) (Depkes, 2004). LPLPO merupakan sistem informasi obat yang digunakan Puskesmas untuk meminta dan melaporkan pemakaian obat ke IF. Kegunaan dari LPLPO adalah sebagai bukti penerimaan, pengeluaran dan penggunaan obat di Puskesmas. Informasi yang didapat di dalam LPLPO berupa sisa stok, jumlah pemakaian, jumlah obat yang diterima dan jumlah kunjungan resep tiap bulannya. Format ini juga digunakan sub-sub unit pelayanan untuk memperoleh obat ke Puskesmas (Depkes, 2005).

Menurut Departemen Kesehatan RI (Anonim, 2002) melaui penelaahan konsep pada Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, maka diukur indikator-indikator perencanaan obat Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

  1. Ketepatan perencanaan obat

Ketersediaan perencanaan obat adalah perencanaan kebutuhan nyata obat untuk Kabupaten/Kota dibagi dengan pemakaian obat pertahun. Ketepatan perencanaan kebutuhan obat Kabupaten/Kota merupakan awal dari fungsi pengelolaan obat yang strategis. Angka ideal dari perencanaan kebutuhn adalah 100% dari kebutuhan baik dalam jumlah dan jenis obat.

  1. Kesesuian item obat yang tersedia dengan DOEN

Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan. Kesesuaian jenis obat dengan DOEN merupakan upaya untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi pemanfaatan dana pengadaan obat. Angka ideal kesesuaian jenis obat adalah 100% dari daftar DOEN. Kesesuaian item obat dengan DOEN adalah total obat yang masuk dalam DOEN dibagi dengan total jenis obat yang tersedia di gudang/instalasi pengelolaan obat.

  1. Rata-rata waktu kekosongan obat

Rata-rata waktu kekosongan obat menggambarkan kapasits sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin kesinambungan suplai obat dan merupakan salah satu faktor koreksi dalam perencanaan obat khususnya dalam penetapan pemakaian rata-rata per bulan. Angka ideal kekosongan obat adalah 0 (nol). Rata-rata waktu kekosongan obat didefinisikan sebagai jumlah hari obat kosong dalam waktu satu tahun.

  1. Tingkat ketersediaan obat

Ketersediaan kebutuhan obat adalah kondisi terpenuhinya jumlah obat-obatan yang diperlukan daerah dalam rangka pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kategori status ketersediaan obat adalah:

  1. a)Berlebih jika persediaan lebih dari 18 bulan pemakaian rata-rata
  2. b)Aman jika persediaan antara 12-18 bulan pemakaian rata-rata
  3. c)Kurang jika persediaan dibawah 12 bulan pemakaian rata-rata
  4. d)Stok kosong apabila persediaan kurang dari 1 bulan pemakaian rata-rata

Obat yang disediakan untuk tingkat pelayanan kesehatan di Puskesmas harus sesuai dengan kebutuhan populasi berarti jumlah (kuantum) obat yang tersedia minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat. Kecukupan obat merupakan indikasi kesinambungan pelayanan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.

  1. Persentase obat kadaluwarsa

Terjadinya obat kadaluwarsa mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurang baik sistem distribusi, kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan perubahan pola penyakit. Angka ideal persentase obat kadaluwarsa adalah 0%. Persentase obat kadaluwarsa didefinisikan sebagai jumlah jenis obat yang kadaluwarsa dibagi dengan total jenis penyakit.

A.2 Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui pembelian, baik secara langsung atau tender dari distributor, produksi/pembuatan sediaan farmasi baik steril maupun non steril, maupun bersasal dari sumbangan/hibah (Anonim, 2004).

Proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam Keppres No. 80 tahun 2003 untuk proses pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan setelah tahun 2003 (sebelumnya proses pengadaan barang/jassa dilaksanakan sesuai Keppres No. 18 tahun 2000), bertujuan agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayi oleh APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.

Kebijakan Terkait Tentang Produk Suplemen Penstimulasi Stamina (skripsi dan tesis)

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM) memberi
batasan mengenai suplemen sebagai produk yang digunakan untuk melengkapi
makanan dan mengandung satu atau lebih bahan-bahan seperti, vitamin, mineral,
asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka kecukupan gizi
dalam bentuk konsentrat, metabolit, ekstrak atau kombinasi dari bahan-bahan
sebelumnya (BPOM, 1996).
Pemerintah melalui Departemen Perindustrian cq. Dewan Standarisasi
Nasional telah melakukan standarisasi terhadap produk suplemen untuk menjaga
mutu produksi. Standar mutu produk atau yang dikenal dengan nama Standar
Nasional Indonesia (SNI) dibentuk pemerintah dengan pertimbangan melindungi
produsen, menunjang ekspor non migas, mendukung perkembangan agroindustri
dan melindungi konsumen.
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1996 tentang pangan pasal
38 meyatakan bahwa, setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diedarkan harus bertanggungjawab atas keamanan, mutu, dan gizi
pangan (Syah et al. 2005). Keamanan pangan merupakan kondisi yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan demi kepentingan kesehatan manusia.
Mutu pangan dimaksud adalah jaminan yang wajib dilakukan oleh produsen,
sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. Sementara gizi pangan yang
dimaksud dalam ketentuan UU tersebut adalah setiap orang yang memproduksi
pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan tata cara
pengolahan pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan
kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan.
Dalam surat keputusan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Nomor HK.00.023060 tahun 1996 tentang suplemen ditegaskan bahwa,
penandaan (label) tidak boleh mencantumkan (a) klaim efek produk terhadap
kesehatan dan pencegahan atau penyembuhan penyakit; (b) informasi yang tidak
benar dan menyesatkan; (c) perbandingan dengan produk lain; (d) promosi produk
suplemen tertentu; (e) informasi tentang bahan dalam bentuk stiker atau bentuk
lain yang belum disetujui. Penandaan dapat mencantumkan klaim fungsi gizi
dengan ketentuan hanya menjelaskan peran gizi dalam mekanisme tubuh seperti;
kalsium membantu perkembangan tulang gigi yang kuat (BPOM, 1996).
Terkait dengan iklan produk suplemen, dijelaskan dalam UU No. 8 Tahun
1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen bahwa (a) iklan harus sesuai
dengan indikasi jenis produk; (b) iklan tidak boleh menyatakan/memberi kesan
bahwa vitamin dan mineral selalu dibutuhkan untuk melengkapi makanan yang
sudah sempurna nilai gizinya; (c) iklan tidak boleh menyatakan memberi kesan
bahwa penggunaan vitamin/mineral adalah syarat mutlak bagi semua orang;
(d) iklan tidak boleh menyatakan bahwa kesehatan, kegairahan dan kecantikan
akan dapat diperoleh hanya dari menggunakan vitamin dan mineral; (e) iklan tidak
boleh mengandung pernyataan tentang peningkatan kemampuan sex secara
langsung atau tidak langsung (Widjaya dan Yani, 2000).

Mineral Untuk Tubuh (skripsi dan tesis)

Secara alamiah, air telah mengandung bermacam-macam mineral,
seperti fluor, kalsium, magnesium, iodium, natrium, kalium dan lain- lain.
Kadar mineral dalam air minum sangat bervariasi dan terbatas jumlahnya,
yang ditentukan oleh sumber air dan proses pengolahannya, sehingga
beralasan bahwa, mineral sangat penting ditambahkan ke dalam berbagai jenis
produk suplemen. Winarno (1982) mengemukakan bahwa, mineral dapat
dibagi atas mineral makro dan mikro.
Mineral mikro merupakan istilah yang digunakan bagi sisa mineral yang
secara tetap terdapat dalam sistem biologis dalam jumlah sedikit (Winzerling
and Law, 1997). Sementara Fessenden and Fessenden (1997) mengemukakan
bahwa, metabolisme tubuh cenderung memanfaatkan kembali mineral yang
ada di dalam tubuh daripada membuangnya.
Menurut Linder (1992), natrium, klor, kalsium, fosfor, magnesium dan
belerang yang terdapat dalam tubuh cukup besar. Natrium dan klorida
biasanya berhubungan erat, baik sebagai bahan makanan maupun fungsinya
dalam tubuh. Griffith (1988) mengatakan bahwa, natrium dan klorida
membantu mempertahankan tekanan osmotik sehingga cairan tidak keluar dari
darah dan masuk ke dalam sel, disamping membantu menjaga keseimbangan
asam dan basa dengan mengimbangi zat-zat yang membentuk asam, transmisi
syaraf, kontraksi otot dan absorpsi glukosa. Kalsium dalam sel tubuh
berbentuk ion yang berperan pada pembentukan tulang, transmisi impuls
syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, proses penyerapan vitamin B12,
struktur dan pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim
(Winarno, 1982).
Iodium merupakan komponen esensial tiroksin dan kelenjar tiroid
(Griffith, 1988). Ohtaki et al. (1985) mengungkapkan bahwa, tiroksin
mempunyai peran dalam meningkatkan laju oksidasi dalam sel-sel tubuh,
sehingga meningkatkan basal metabolic rate (BMR), menghambat proses
fosforilasi oksidatif, sehingga terbentuknya adenosin tripospat (ATP)
berkurang dan lebih banyak dihasilkan panas.
Kalsium berperan dalam aktivitas enzim, menurunkan permeabilitas
membran sel dan pembuluh kapiler, membantu proses pembekuan atau
koagulasi darah, transmisi impuls syaraf, kontraksi dan kekenyalan otot,
membantu fungsi jantung (Winarno, 1982). Sedangkan kalium berperan
sebagai kation utama dalam cairan intrasel, bergerak dari sel ke cairan
ekstraseluler, berkaitan dengan fungsi sel dan metabolisme, terutama
metabolisme karbohidrat dan penyimpanan glikogen, membantu sintesa
protein, membantu potensi transmembran, berperan terhadap kerja otot,
termasuk otot jantung, dan aktivator enzim.

Pemanis buatan (skrispi dan tesis)

Pemanis buatan yang ditambahkan ke dalam produk suplemen
merupakan pengganti gula, karena mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan pemanis alami yaitu rasanya lebih manis, membantu mempertajam
penerimaan terhadap rasa manis, tidak mengandung kalori dan harga lebih
murah. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan
pangan di Indonesia adalah aspartam, sorbitol, sakarin dan siklamat yang
mempunyai tingkat kemanisan masing-masing 30-80 dan 300 kali gula alami
(Syah et al. 2005).
Menurut Permenkes 208/Menkes/Per/IV/85, pemanis buatan hanya
digunakan untuk penderita diabetes dan penderita yang memerlukan diet
rendah kalori, yaitu aspartam, sakarin dan sorbitol. Aspartam merupakan
molekul dipeptida dari asam amino L- fenilalanin sebagai metil ester dan Lasam
aspartat dengan tingkat kemanisan mencapai 160-220 kali sukrosa dan
stabil pada kisaran pH 3 hingga 5, serta titik isoelektriknya 5,2 (Brannen et al,
1990), sementara sakarin yang merupakan pemanis buatan tanpa energi (nonnutritive)
memiliki daya kemanisan 300 kali lipat lebih kuat dibanding gula
(Syah et al, 2005). Menurut Brannen et al, (1990), sorbitol merupakan gula
alkohol yang banyak digunakan sebagai pemanis buatan dalam produk diet
dan juga berguna sebagai humektan maupun penstabil, namun penggunaan
sorbitol dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan flatulensi dan diare,
(Syah et al, 2005) derajat kemanisannya berkisar 50-70% gula dan energi
yang dihasilkan 2,6 kalori per gr.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Surat
Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang
Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam
produk pangan. Surat keputusan ini merupakan panduan bagi produsen dalam
menambahkan pemanis buatan untuk produk yang dihasilkan, dan sebagai
rujukan konsumen untuk memilih dan menggunakan produk yang aman bagi
kesehatan.

Kafein (skripsi dan tesis)

Kafein merupakan derivate xantin berbentuk serbuk berwarna putih dan
sedikit rasa pahit yang dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat dan otot
sehingga mencegah rasa mengantuk, menaikkan daya tangkap pancaindra,
mempercepat daya pikir dan mempengaruhi rasa lelah (Konarek et al. 1994),
mempengaruhi sistem pernapasan, sistem pembuluh darah dan jantung,
mempercepat laju sperma, serta mempertahankan ereksi, sering dimanfaatkan
untuk menciptakan efek penstimulasi stamina (Ashurst, 1998) dan
menumbuhkan kewaspadaan tingkat tinggi (Martindale, 1997). Oleh karena
itu, setiap mengkonsumsi kopi 85–200 mg atau 1-3 cangkir/hari stamina terasa
meningkat, bersemangat dan tidak mudah lelah atau mengantuk (Yunita,
1997).
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan kandungan
kafein dalam produk suplemen tidak boleh melebihi 50 mg. Jika dikonsumsi
melebihi dosis, dalam jangka panjang konsumen akan terkena penyakit
jantung, darah tinggi, ginjal dan penyakit gula serta efek kecanduan yang
diindikasikan dengan rasa lesu jika tidak mengkonsumsi produk suplemen
(BPOM, 1996). Hal senada dikemukakan Linder (1992) bahwa, konsumsi
kafein berlebih dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung,
pembengkakan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, peningkatan aktivitas
usus, pengeluaran asam lambung, gagal ginjal, (Martindale, 1997) rasa
gelisah, susah tidur, sering buang air kecil, nafsu makan turun dan iritasi pada
lambung sehingga produksi getah lambung meningkat.

Vitamin (skripsi dan tesis)

Vitamin dibagi atas kelarutannya, yaitu vitamin larut dalam air dan
vitamin larut dalam minyak (Linder, 1992). Sementara Winarno (1982)
mengemukakan bahwa, vitamin yang larut air mudah diserap ke dalam darah,
tidak melalui saluran lymphe dan tidak dapat ditimbun di dalam tubuh.
Vitamin yang ditambahkan ke dalam produk suplemen umumnya berupa
vitamin yang larut dalam air (Hidayat, 2002).
Produk suplemen sebagian besar mengandung multivitamin B dan zat
non gizi, stimulant dan flavouring. Jenis vitamin yang banyak digunakan
adalah vitamin B komplek, yaitu vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), niasin
(asam nikotinat, niasinamida), vitamin B6 (pyridoxine) asam pantotenat,
inositol dan vitamin B12 (Sianokobalamin).
emua bahan pangan baik hewani maupun nabati mengandung vitamin
B1 (tiamin) (Hendler, 2001). Menurut Winarno (1982), tiamin berperan
sebagai koenzim dalam reaksi-reaksi yang menghasilkan energi dari
karbohidrat dan memindahkan energi membentuk senyawa kaya energi.
Kekurangan tiamin akan terjadi polyneuritis yang disebabkan terganggunya
transmisi syaraf atau jaringan syaraf menderita kekurangan energi. Hal yang
sama diungkapkan Tallaksen et al. (1997) bahwa, vitamin B1 dikenal esensial
bagi tubuh untuk fungsi pertumbuhan, menambah nafsu makan, memperbaiki
fungsi saluran pencernaan dan memelihara proses kehidupan sel-sel dalam
tubuh. Winarno (1982) mengatakan bahwa, vitamin B2 (riboflavin) larut
dalam air dan memberi warna fluoresens kuning-kehijauan merupakan
komponen suatu sistem enzim yang dikenal sebagai flavoprotein dan terlibat
dalam reaksi-reaksi metabolisme intermediet.
Niasin merupakan dua komponen koenzim, yaitu nicotinamide adenine
dinucleotide (NAD) dan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
(NADP) (Hendler and Rorvik, 2001) yang berfungsi sebagai katalis reaksireaksi
reduksi dan oksidasi guna menjaga sistem syaraf dan sistem
pencernaan, menurunkan kolesterol dan trigliserida dalam darah (Carpenter.
1981), serta menjaga agar suplai energi dalam jaringan tubuh berjalan normal
(Winarno, 1982).
Vitamin B6 (pyridoxine HCl) merupakan kelompok piridina dengan
keasaman tinggi (Winarno, 1982) yang terdiri dari piridoksin, piridoksal dan
piridoksamina (Hanna, 1997). Vitamin B6 berfungsi sebagai koenzim
piridoksal fosfat yang banyak berperan dalam reaksi enzim, terutama dalam
metabolisme asam amino, membantu fungsi otak, produksi energi (Tsuge,
1997), mencegah stress, memacu pembentukan sel darah merah, memelihara
keseimbangan cairan tubuh dan pengaturan eksresi air (Griffith, 1988).
Menurut Winarno (1982), vitamin B12 (sianokobalamin) merupakan senyawa
berbentuk kristal, berwarna merah yang berperan menjaga agar sel-sel
berfungsi normal, terutama sel-sel saluran pencernaan dan sistem syaraf .

Produk Suplemen (skripsi dan tesis)

Produk suplemen pada dasarnya merupakan pangan olahan, karena dalam
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1996 tentang pangan dikatakan
bahwa, pangan olahan adalah makanan dan minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan (Syah et al. 2005).
Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM, 1996), minuman suplemen adalah salah satu bentuk produk makanan
suplemen yang mengandung satu atau lebih vitamin, mineral, tumbuhan atau
bahan yang berasal dari tumbuhan, asam amino, bahan yang digunakan untuk
meningkatkan angka kecukupan gizi, atau konsentrat, metabolit, konstituen,
ekstrak, atau kombinasi beberapa bahan tersebut.
Bisnis minuman di Indonesia sedikitnya telah mengalami lima periode
perkembangan. Periode pertama sekitar tahun 60-an ditandai dengan mulai
dipasarkannya jenis minuman soft drink. Sekitar tahun 70-an mulai dikenal
minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, misalnya teh botol yang saat itu
sempat menguasai pasaran. Produk tersebut selanjutnya digantikan oleh air
mineral pada tahun 90-an. Periode 1990-1995 dikenal produk baru yang disebut
minuman sari buah (fruit juice) dan akhirnya pada tahun 1995, minuman
kesehatan (suplemen) mulai banyak diproduksi dan dipasarkan (Yunita, 1997).
Berbagai produk minuman baru yang oleh produsen sering disebut sebagai
minuman kesehatan (health drink), meliputi produk yang diklaim sebagai
minuman untuk meningkatkan kesehatan, minuman berenergi tinggi
(energy/stamina drink) atau minuman untuk olahragawan (sport drink), minuman
isotonik (isotonik drink) dan minuman kesehatan dari susu (milk base). Minuman
berenergi dibedakan menjadi dua, yaitu dengan dasar vitamin dan mineral
(vitamin base) dan minuman dengan dasar ginseng (ginseng base). Minuman
isotonik juga dibedakan menjadi dua, yaitu berflavor (flavour base) dan tidak
berflavour (non flavour base) (BPOM, 1996).
Trend produk suplemen telah merambah Indonesia yang ditandai beredarnya
produk Lipovitan produksi PT. Taisho Indonesia (TI). Produk Lipovitan dapat
dikatakan sebagai biangnya, karena sebelum merek-merek seperti Kratingdaeng,
Hemaviton dan Extra Joss, Lipovitan sudah menguasai pasar lebih dari 10 tahun.
Di tengah maraknya produk suplemen, merek Lipovitan yang menjadi pioner
dalam industri produk suplemen justru menurun, walaupun tetap melakukan
upaya pemasaran dan periklanan. Lipovitan tertinggal jauh dibanding produk
suplemen Kratingdaeng, Hemaviton dan Extra Joss. Lipovitan mulai goyah pada
awal 1990-an setelah hadirnya produk suplemen Kratingdaeng dengan
menawarkan cita rasa dan konsep pemasaran yang strategis pada tahun 1993
(Durianto et al, 2004a).
Sementara PT. Bintang Toejoe pada tahun 1994 meluncurkan langkah
spektakuler dengan produk suplemen Extra Joss dalam bentuk serbuk yang di
kemas sachet dengan harga jual murah (Hidayat, 2002). Tiga kekuatan produk
suplemen Extra Joss tersebut mendapat minat konsumen yang umumnya sering
mengkonsumsi produk suplemen dalam bentuk cair kemasan botol dan harga
relatif mahal. Permintaan dan prospek pasar menjanjikan ini, mendorong produsen
lain untuk mencari positioning baru yang berbeda dari produk terdahulu. Salah
satu kelebihan yang ditawarkan produsen adalah komposisi. Hemaviton Energy
Drink produksi PT. Tempo Scan Pacifik memposisikan diri sebagai produk
suplemen yang cenderung memiliki atribut seksualitas, seperti yang melekat pada
produk sebelumnya, Hemaviton kapsul. Tidak dapat dipungkiri (Yunita, 1997),
produk-produk suplemen sangat dekat dengan atribut seksual. Apalagi unsur
ginseng dan madu selain vitamin dijadikan kekuatan utama untuk menstimulasi
stamina. Oleh karena itu, konsumen semakin tertarik untuk mengkonsumsi produk
suplemen, sehingga pertumbuhan produk terus berkembang di Indonesia.
Perkembangan produk suplemen ternyata tidak selalu berjalan lancar. Pada
tahun 2001, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan menarik
empat jenis produk suplemen: Kratingdaeng, Kratingdaeng-S, Galian Bugar dan
M-150 dari peredaran, karena ketidakcocokan antara kandungan produk dengan
label yang tertera.

Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe II (skripsi dan tesis)

 

DM tipe II bisa menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun DM merajalela ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga berdenging atau tuli, sering berganti kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak pada usia dini, dan terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa berakhir dengan kebutaan), kebutaan akibat retinopathy, melumpuhnya saraf mata terjadi setelah 10-15 tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal neuphropathy, saraf-saraf lumpuh, atau muncul gangrene pada tungkai dan kaki, serta serangan stroke.

Pasien DM tipe II mempunyai risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, kematian akibat penyakit jantung 16,5% dan kejadian komplikasi ini terus meningkat. Kualitas pembuluh darah yang tidak baik ini pada penderita diabetes mellitus diakibatkan 20 faktor diantaranya stress, stress dapat merangsang hipotalamus dan hipofisis untuk peningkatan sekresi hormonhormon kontra insulin seperti ketokelamin, ACTH, GH, kortisol,dan lainlain. Akibatnya hal ini akan mempercepat terjadinya komplikasi yang buruk bagi penderita diabetes mellitus (Nadesul, 2002).

Faktor resiko Diabetes Mellitus Tipe II (skripsi dan tesis)

Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer & Bare, 2002)  antara lain  kelainan genetik, usia,  gaya hidup stress, dan pola makan yang salah. Secara genetis diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Berkaitan dengan usia umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.

Gaya hidup stress cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM tipe II. Hal ini bisa diperparah oleh pola makan yang salah, karena pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga  cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan.  Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk

Terapi Farmakologi diabetes (skripsi dan tesis)

Terapi farmakologi dilakukan apabila penatalaksanaan terapi non farmakologi belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus. Menurut PERKENI (2006), terapi farmakologi bagi penderita diabetes mellitus dapat diberikan dalam 2 macam, yaitu:

  1. Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:

1)      Pemicu sekresi insulin

  1. a)Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

  1. b)Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresikan secara cepat melalui hati.

2)      Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Golongan tiazolidindion mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Pada pasien yang menggunakan golongan obat ini perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

3)      Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia.

4)      Penghambat glukosidase alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

  1. Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis, yaitu:

1)      Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

2)      Insulin kerja pendek (short acting insulin)

3)      Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

4)      Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Terapi Non Farmakologi Untuk Diabets (skripsi dan tesis)

Dalam penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat/terapi non farmakologi yang berupa pengaturan diet dan olah raga.

  1. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat sebanyak 60-70%,  protein sebanyak 10-15%, dan lemak sebanyak 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

  1. Olah raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat baik pengaruhnya bagi kesehatan. Olah raga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurence Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan akktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Diagnosis Diabetss (skripsi dan tesis)

Kriteria diagnosis DM menurut Triplitt, et al. (2005):

  1. Gejala diabetes disertai kadar glukosa dalam plasma darah pada keadaan biasa≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Keadaan biasa ini maksudnya setiap waktu

sepanjang hari tanpa memperhatikan makan terakhir.

b.Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa artinya tidak ada masukan kalori selama minimal 8 jam.

c.Kadar glukosa dalam plasma selama 2 jam setelah pemberian glukosa ≥200 mg/dL ditetapkan dengan oral glucose tolerance test (OGTT). OGTT harus dilakukan dengan proses seperti yang diberikan WHO, yaitu menggunakan cairan glukosa yang setara dengan 75 g glukosa yang dilarutkan dalam air.

Tanda dan gejala (skripsi dan tesis)

Gejala yang khas pada DM yaitu polidipsi (banyak minum), poliphagia (banyak makan) dan poliuria (banyak kencing) disertai keluhan rasa lelah dan kelemahan otot akibat ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi (Corwin, 2007).

Terjadinya hiperosmolaritas yang parah dapat menyebabkan menurunnya tekanan intraokuler yang dapat menyebabkan bola mata dan lensa mata mengalami perubahan bentuk yang kemudian berakibat pada penurunan penglihatan menjadi buram (blurred vision) (Harris dan Greene, 2000).

Patofisiologi Diabetes (skripsi dan tesis)

Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan, makanan yang terdiri atas karbohidrat dipecah menjadi glukosa, protein dipecah menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya berfungsi sebagai bahan bakar zat makanan itu harus diolah, dimana glukosa dibakar melalui proses kimia yang menghasilkan energi yang disebut metabolisme (Misnadiarly,2006).

Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukossa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas, bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat (Misnadiarly,2006).

Pada Diabetes Melitus tipe 1, terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respons autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri (Misnadiarly,2006).

Pada Diabetes Melitus tipe 2, jumlah insulin normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat (Misnadiarly,2006).

Epidemiologi Diabetes (skripsi dan tesis)

 DM tipe 2 lebih umum terjadi dibandingkan DM tipe 1 dimana lebih dari 75% dari seluruh pasien DM dari suatu populasi menderita DM tipe 2. Kejadian DM tipe 2 meningkat seiring dengan usia dan meningkatnya obesitas dimana DM tipe 2 biasanya terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 45 tahun (Walker, 2003).

Prevalensi di Amerika Serikat 6% sampai 7% pada orang berusia 45 sampai 65 tahun dan 10% sampai 12% pada orang berusia lebih dari 65 tahun; sekitar 16 juta orang di Amerika serikat terdiagnosis diabetes, 90% di antara mereka menderita diabetes tipe II. Terdapat peningkatan epidemi diabetes melitus tipe II pada anak muda sesuai dengan peningkatan obesitas dan gaya hidup nyaman (kurang gerak) pada kelompok usia ini (Brashers, 2008).

Klasifikasi Diabetes (skripsi dan tesis)

 

 Beberapa klasifikasi diabetes mellitus, antara lain DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe lain. DM tipe 1 terjadi karena adanya destrtuksi sel beta pankreas yang mengakibatkan terjadinya defisiensi insulin. Diabetes tipe 1 ini dapat muncul disegala usia. DM tipe 2 terjadi karena adanya resistensi insulin atau kekurangan sekresi insulin. DM gestasional merupakan DM yang terjadi karena intoleransi glukosa selama masa kehamilan. DM tipe lain disebabkan oleh kerusakan genetik fungsi sel benta pankreas, endokrinopati, induksi obat atau senyawa kimia, infeksi, atau karena sindrom genetik lainnya (Triplitt, et al., 2005)

Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin.  Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (Corwin, 2007).

Pengertian Diabetes Mellitus (SKRIPSI DAN TESIS)

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok gejala penyimpangan metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein sebagai akibat dari kurangnya insulin, sentitivitas tubuh terhadap insulin atau keduanya yang ditandai naiknya kadar gula dalam darah (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).

Diabetes mellitus adalah sekelompok sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia; perubahan metabolism lipid, karbohidrat dan protein; dan peningkatan kompplikasi penyakit kardiovaskular. (Goodman & Gilman, 2003)

Klasifikasi obat generik (skripsi dan tesis)

Obat generik dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu  obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkasiat yang dikandungnya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010)  dan obat generik bermerek/bernama dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Obat generik adalah obat yang sama dengan zat berkhasiat yang dikandungnya, sesuai nama resmi International Non Propietary Names yang telah di tetapkan dalam Farmakope Indonesia. Pengertian lain dari Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Wakidi, 2009)

Obat generik merupakan obat yang ketersediaannya dalam  jumlah banyak dan jenis yang cukup terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan keamanannya. Obat generik tersebut perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

            Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 memuat tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, menimbang :

  1. bahwa ketersediaan obat generik dalam jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan keamanannya, perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.
  2. bahwa agar penggunaan obat generik dapat berjalan efektif perlu mengatur kembali ketentuan Kewajiban Menuliskan Resep dan/atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dengan Peraturan Menteri Kesehatan. (Anonim, 2010b)

Permenkes 2010 merupakan penegasan dari Permenkes 1989 yang memuat tentang Kewajiban Menuliskan Resep dan/atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Fakta yang ada, kewajiban ini sering diabaikan oleh tenaga kesehatan (dokter dan apoteker) dalam memberikan pelayanan pada pasien. Dokter dan apoteker tetap memberikan obat generik bermerek pada pasien, tanpa melihat daya beli pasien dan masyarakat pada umumnya (Anonim, 2010).

Harga Obat Generik (skripsi dan tesis)

Menurut Menkes, harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. (Depkes, 2004) Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) akan merasionalisasikan harga Obat Generik. Menurut Syamsul Arifin Sekretaris Jendral GP Farmasi, itu sudah merupakan kewenangan GP Farmasi untuk melakukan rasionalisasi agar masyarakat umum juga bisa menjangkaunya. (Anonim, 2006)

Produksi dan Distribusi Obat Generik (skripsi dan tesis)

Saat ini obat generik diproduksi oleh perusahaan milik negara, yaitu PT Kimia Farma, PT Indofarma, dan PT Phapros, serta beberapa perusahaan swasta sebanyak 20 perusahaan farmasi swasta yang telah ditunjuk pemerintah dan sudah mendapatkan sertifikat CPOB (Isnawati, 2008) Sebagai produsen obat generik utama, Indofarma dibangun pemerintah untuk melayani kebutuhan rakyat akan obat-obatan dengan harga semurah-murahnya, karena 90 % produknya adalah obat generik (Yanfar, 2006)

Kebijakan pemerintah mengenai obat generik (skripsi dan tesis)

Dalam pemasaran obat di Indonesia, masyarakat dapat memilih antaraobat paten atau obat generik. Namun untuk meningkatkan akses terapi bagi masyarakat yang kurang mampu, pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kebijakan Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah (Menkes,2010). Bila kebijakan penggunaan obat generik dapat diterapkan, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh, antara lain dapat menghemat biaya obat.

Mutu obat generik (skripsi dan tesis)

Masyarakat umumnya berpendapat bahwa obat generik adalah obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu karena harganya yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama kualitasnya dengan obat bermerk. Kualitas obat generik tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). (Arif,2004)

Para ahli farmasi menyatakan bahwa obat paten dan obat generik sama sekali tidak berbeda, kecuali pada nama dan harganya, harganya yang jauh lebih murah bukan berarti mutunya rendah, atau dibuat dari baku yang bermutu rendah, tetapi karena banyak factor-faktor biaya yang dapat dipangkas dalam produksi dan pemasaran misalnya pada biaya pengemasan dan juga biaya dalam periklanan, selain itu promosi obat ke dokter membuat obat paten mahal.

Pengertian tentang obat generik (skripsi dan tesis)

Ketika suatu industri farmasi mengembangkan obat baru, yang bersangkutan memiliki hak paten selama 15-20 tahun untuk memasarkan obat produknya tanpa diusik industri farmasi lain. Obat yang memiliki hak paten ini lazim disebut obat originator. Setelah masa paten terlewati, industri farmasi lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama. Ini yang disebut sebagai obat generik. Jika obat generik diberi logo, disebut obat generik berlogo (Dwiprahasto, 2010).

Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 085/Menkes/Per.1/ 1989 tanggal 28 Januari 1989, yang dimaksud dengan obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkasiat yang dikandungnya.

Pengertian Kesehatan (skripsi dan tesis)

Kesehatan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa ada gangguan yang menghalanginya. Setiap orang ingin selalu sehat itu merupakan hal yang wajar karena karena sempurna apapun keadaan seseorang, bila terkena sakit pasti tidak akan merasa senang dan tidak dapat memanfaatkan segala kemampuan yang dimilikinya tersebut.

Departemen kesehatan dengan bersumber pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa: Sehat adalah sejahtera jasmani, rohani dan sosial bukan hanya bebas dari penyakit, ataupun kelemahan.

Menurut batasan ilmiah dan teori kesehatan WHO, sehat atau kesehatan telah dirumuskan dalam Undang – Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 sebagai berikut : “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi”. Notoatmodjo (2005:2) menjelaskan kesehatan yaitu:  ‘kesehatan adalah keadaan seseorang dalam kondisi tidak sakit, tidak ada keluhan, dapat menjalankan kegiatan sehari – hari, dan sebagainya.’ ‘Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari fisik, mental dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi’ (Poltekes Depkes 2010:64)

Kesehatan merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Kesehatan (sesuai dengan definisi pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009) adalah keadaaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hartini dan Sulasmono, 2010).

Rekam Medis (skripsi dan tesis)

 

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa rekam medis adalah kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan kegiatan pelayanan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu. Catatan ini berupa tulisan atau gambar, dan belakangan ini dapat berupa pula rekaman elektronik, seperti komputer, mikrofilm,  dan rekaman suara (Tunggal 2010).

Bila ditelusuri lebih jauh, rekam medis mempunyai hukum kedisiplinan dan etik petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu mutu serta manajemen rumah sakit dan audit medis. Secara umum kegunaan rekam medis adalah sebagai berikut: (Tunggal 2010).

  1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien
  2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada pasien.
  3. Sebagai bukti tertulis berkunjung/dirawat dirumah sakit.
  4. Sebagai dasar analisa, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien.
  5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
  6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan.
  7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medis pasien.
  8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan.

Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

Rumah sakit adalah institusi (atau fasilitas) yang menyediakan pelayanan pasien rawat inap, ditambah dengan beberapa penjelasan lain. Sementara itu, Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik, dan subspesialistik (Tunggal 2010).

            Fungsi rumah sakit berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 5 sebagai berikut :

  1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
  2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
  3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
  4. Penyelengaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Peresepan Antibiotik Irasional (Rani 2010) (skripsi dan tesis)

Penggunaan obat yang tidak rasional (irasional) merupakan masalah yang kadang-kadang terjadi karena maksud baik dan perhatian dokter. Menurut departemen kesehatan peresepan irasional dapat dikelompokkan menjadi :

1).  Peresepan berlebih (over prescribing), yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan, misalnya pemberian vitamin sementara pasien tidak menunjukkan gejala defisiensi  vitamin.

2). Peresepan kurang (under prescribing), yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam dosis jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkan obat yang tidak diperlukan untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam ketegori ini.

3). Peresepan majemuk (multiple prescribing), yaitu mencakup pemberian beberapa obat untuk indikasi yang sama.

4). Peresepan salah (incorect prescribing), yaitu mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, pada kondisi yang sebenarnya kontra indikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih, pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan pada pasien dan sebagainya.

Konsep Penggunaan Obat Yang Rasional (Rational Drug Therapy/RDT (Priyanto 2009) (skripsi dan tesis)

  1.    

1). Pemilihan obat yang tepat yaitu : efektif, aman, dan dapat diterima dari segi mutu dan biaya serta diresepkan pada waktu yang tepat, dosis yang benar, cara pemakaian yang tepat, dan jangka waktu yang benar.

2).  Menurut WHO : penggunaan obat yang efektif, aman, murah, tidak polifarmasi, individualisasi, pemilihan obat atas dasar-dasar obat yang telah ditentukan bersama.

3).  Pemberian obat yang rasional adalah pemberian obat yang mencakup hal-hal sebagai berikut (Rani D 2010)

a). Tepat diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.

b). Tepat indikasi

Setiap obat memiliki spectrum terapi yang spesifik. Antibiotik , misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri.

c). Tepat obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spectrum penyakit.

d). Tepat dosis

Dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi atau timbul efek berbahaya. Kesalahan dosis sering terjadi pada pasien anak-anak, lansia atau orang obesitas. Pada pasien tersebut paramedis harus mengerti cara mengkonversi dosis dari orang dewasa normal.

e).     Tepat rute

Jalur atau rute pemberian obat adalah jalur obat masuk kedalam tubuh. Jalur pemberian yang salah dapat berakibat fatal atau minimal obat-obat yang diberikan tidak efektif.

f). Tepat interval waktu pemberian

          Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien.

g). Tepat lama pemberian

          Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.

h).  Tepat dokumentasi

Aspek dokumentasi sangat penting dalam pemberian obat karena sebagai sarana untuk evaluasi. Dokumentasi pemberian obat yang harus dikerjakan meliputi nama obat, dosis, jalur pemberian, tempat pemberian, alasan kenapa obat di berikan, dan tandatangan yang memberikan.

Dosis Antibiotik Pada Anak (Priyanto 2009) (skripsi dan tesis)

Usia, berat badan, luas permukaan tubuh atau kombinasi faktor-faktor ini dapat digunakan untuk menghitung dosis anak dari dosis dewasa. Dari usia, berat badan (BB), luas permukaan tubuh (LPT), perhitungan dosis berdasarkan LPT adalah yang paling tepat. Kesulitan yang sering timbul dalam menghitung dosis berdasarkan LPT adalah menemukan tinggi badan dan berat badan secara akurat pada anak yang sedang sakit.Selain itu, kebanyakan informasi dosis dari industri untuk kebanyakan obat adalah berdasarkan berat badan.

Dalam menghitung LPT dapat berdasarkan nomogram west atau berdasarkan rumus berikut, yaitu berdasarkan akar hasil perkalian antara tinggi badan (TB) dengan berat badan (BB).

LPT = √TB (cm) x BB (kg)

                        3600

Selain itu juga dapat digunakan pedoman praktis seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.  Dosis Neonatus dan Anak Berdasarkan Usia dan Berat Badan (BB)(Priyanto 2009)

Usia Berat badan (Kg) Dosis anak *

(% dosis dewasa)

Neonatus 3,4 <12,5
1 bulan 4,2 <14,5
3 bulan 5,6 18
6 bulan 7,7 22
1 tahun 10 25
3 tahun 14 33
5 tahun 18 40
7 tahun 23 50
12 tahun 37 75

*   Dihitung berdasarkan luas permukaan tubuh.

*   Untuk neonatus sampai 1 bulan gunakan dosis lebih rendah lagi, sesuai keadaan klinik pasien.

Antibiotik Untuk ISPA (skripsi dan tesis)

1).  Sefalosforin generasi III

Sefalosforin termasuk antibiotik beta-laktam dengan struktur, khasiat dan sifat yang banyak mirip dengan penisilin.Obat ini umumnya kurang efektif terhadap kuman gram positif dibandingkan sefalosforin generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceaesp dan Pseudomonas aeruginosa (Sukandar 2008). Golongan sefalosforin generasi ketiga yang umum digunakan dalam terapi infeksi saluran pernafasan akut adalah :

  1. Sefiksim

          Sefiksim merupakan antibiotik golongan sefalosforin generasi ketiga yang diberikan secara oral.Obat ini biasa digunakan untuk terapi infeksi saluran kemih, otitis media, dan bronkhitis (Gunawan 2007).

  1. Seftriakson

Obat ini aktif terhadap kuman gram positif. Waktu paruhnya mencapai 8 jam (Gunawan 2007). Obat ini umum digunakan untuk infeksi saluran pernafasan akut (BPOM RI 2008).

  1. Sefotaksim

Sefotaksim bersifat anti pseudomonas sedang dan biasa digunakan untuk terapi infeksi karena kuman gram negatif (Tjay dan Kirana 2007). Obat ini umum digunakan untuk infeksi saluran pernafasan akut (Depkes 2005).

2).  Kotrimoksazol

Kotrimoksazol merupakan antibiotik golongan sulfonamida.Kombinasi ini dari sulfametoksazol dan trimetoprim bersifat bakterisid (Tjay dan Kirana 2007). Obat ini efektif terhadap bronkhitis, otitis media, dan sinusitis. Tetapi tidak dianjurkan untuk mengobati faringitis karena tidak dapat membasmi mikroba (Gunawan 2007).

3).  Klaritromisin

Klaritromisin adalah antibiotik golongan makrolida yang diindikasikan untuk infeksi saluran pernafasan (BPOM RI 2008). Efek samping berupa iritasi saluran pencernaan, lebih jarang dibandingkan eritromisin (Gunawan 2007).

4). Amoksisilin

Amoksisilin memiliki aktivitasyang sama dengan ampisilin. Obat ini diabsorbsi baik bila digunakan per oral dan tidak terganggu dengan adanya makanan, biasanya digunakan untuk penderita bronkhitis dan infeksi saluran kemih (Gunawan 2007).

5). Klindamisin

Clindamycin merupakan antibiotik makrolide yang termasuk ke dalam kelas lincosamide, dan Clindamycin seringkali digunakan untuk infeksi bakteri anaerob. Clindamycin bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri dengan menghambat translokasi ribosomal, Clindamycin dapat digunakan pada infeksi anaerob seperti abses, bisul/furuncle, infeksi pada gigi (pulpitis, abses periapikalis, gingivitis, dan paska operasi / pencabutan gigi), infeksi saluran nafas, infeksi jaringan lunak dan peritonitis. (Gunawan 2007).

Penggolongan Antibiotik (skripsi dan tesis)

Berdasarkan mekanisme kerjanya,antibiotik dibagi dalam lima kelompok yaitu :

  1. Menghambat metabolisme sel mikroba.

Antimikroba yang termasuk kelompok ini adalah sufonamid dan trimetoprim.

  1. Menghambat sintesis dinding sel mikroba

Obat yang termasuk kelompok ini ialah penisilin, sefalosforin dan basitrasin.

  1. Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba

Obat yang termasuk kelompok ini ialah polimiksin dan golongan polien.

  1. Menghambat sintesis protein mikroba

Obat yang termasuk kelompok ini ialah golongan makrolid, tetrasiklin dan kloramfenikol.

  1. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba

Obat yang termasuk kelompok ini ialah golongan aminoglikosid, makrolid, tetrasiklin dan kloramfenikol (Gunawan 2007).

Pengertian Antibiotik (skripsi dan tesis)

Antibiotik (Anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Kirana 2007).

Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif mungkin.Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Gunawan 2007).

Terapi Antibiotik Untuk ISPA Anak (skripsi dan tesis)

Tabel 1. Terapi Antibiotik untuk Anak ISPA Menurut Dipiro (2009)

Penyakit Antimikroba
Bronkitis Amoksisilin 3×250 mg/kg/hari
Seftazidim 3x150mg/kg/hari
Faringitis Amoksisilin 40-50 mg/kg/hari (dalam 3 dosis)
Eritromisin 40mg/kg/hari (dalam 2 dosis)
Sefaleksin 25-50 mg/kg/hari (dalam 4 dosis)
Otitis media Amoksisilin 80-90 mg/kg/hari (dalam 2 dosis)
Klindamycin 30–40 mg/kg /hari (dalam 3 dosis)
Seftriakson 50mg/kg/hari
Pnemunia Klaritromisin 15mg/kg/hari
Seftazidim 150mg/kg/hari
Seftriakson 50-75mg/kg/hari
Sefotaksim 75mg/kg/hari
Sinusitis Amoksisilin 40-50 mg/kg/hari (dalam 3 dosis)
Kotrimoksazol 36-48mg/kg/hari ( dalam 2 dosis)
Klaritromisin 15mg/kg/hari (dalam 2 dosis)
Sefiksim 18mg/kg/hari (dalam 2 dosis)
Klindamycin 30–40 mg/kg /hari (dalam 3 dosis)

 

Pencegahan ISPA (Dini 2010)

Beberapa upaya untuk mencegah ISPA menurut Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2005 antara lain :

  1. Pemberian imunisasi, yaitu imunisasi campak pada usia 9bulan.
  2. Perbaikan gizi anak.
  3. Menjauhkan anak dari penderita ISPA.
  4. Menjaga agar lingkungan tempat tinggal tetap bersih dan menjaga kesehatan perorangan.

Penatalaksanaan ISPA (Hera 2010) (skripsi dan tesis)

   Menurut pedoman penatalaksanaan penyakit ISPA Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008, klasifikasi ISPA berdasarkan derajat keparahan penyakit, yaitu ISPA ringan, ISPA sedang dan ISPA berat.

1)      Infeksi Saluran Penafasan Akut ringan / non pneumonia :

Penatalaksanaannya cukup dilakukan di rumah tidak perlu dibawa kedokter atau puskesmas, cukup diberi obat yang dijual bebas di toko atau apotik.

2)      Infeksi Saluran Pernafasan Akut sedang :

Penatalaksanaannya memerlukan pengobatan dengan antimikroba, tetapi tidak dirawat. Tanda dan gejala : suhu lebih dari 39°C, pernafasan lebih dari 50 kali/menit, tenggorokan berwarna merah, pernafasan berbunyi seperti mendengkur atau mencuit-cuit dan telinga sakit.

3)      Infeksi Saluran Pernafasan Akut berat :

Penatalaksanaannya harus dirawat di rumah sakit atau puskesmas karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen dan infus. Tandadan gejala : Bibir atau kulit membiru, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan berbunyi mengorok dan tampak gelisah.

Etiologi ISPA (skripsi dan tesis)

Etiologi  ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan ricketsia. Bakteri penyebabnya adalah antara lain Streptococcus, Haemofilus, Bordetelia, dan Corynebacterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Miscovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, dan Herpesvirus (Kunoli 2013).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bawah (ISPAb) (skripsi dan tesis)

a). Bronkhitis

                   Inflamasi pada cabang trakheobronkial tidak termasuk alveoli.Tanda dan gejala dari bronkhitis akut adalah batuk, pilek, pusing, demam jarang hingga 390C. Batuk merupakan tanda utama dari bronkhitis, frekuensi batuk non produktif, tetapi berkepanjangan.Bronkhitis disebabkan oleh virus (Rhinovirus, Adenovirus) dan bakteri (Myoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia, Bordetella pertussis) (Sukandar dan Retnosari 2008). Diagnosis bronkhitis dilakukan dengan cara: Tes C-reactif protein (CRP) dengan sensitifitas sebesar 80-100%, namun hanya menunjukkan 60-70% spesifitas dalam mengidentifikasi infeksi bakteri. Metode lainnya adalah pemeriksaan sel darah putih (Depkes RI 2005).

  b). Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstitial. Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia merupakan suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk membuat suatu definisi tunggal yang universal. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan penyakitnya. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan. Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Insidens pneumonia pada anak.

Gejala berupa demam meningkat, batuk produktif sputum berwarna atau berdarah, nyeri dada, dan takikardia. Diagnosis berupa tes thorax dan tes darah (leukositosis meningkat, gas darah O2 arteri rendah). Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun. Antibiotik intravena yang danjurkan adalah: ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime (IDAI, 2009).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut atas (ISPA ) (skripsi dan tesis)

a). Sinusitis

Sinusitis adalah infeksi pada sinus yang disebabkan oleh streptococcus pneumonia 30-40% dan haemophilus influenza 20-30%.Gejala umum dari sinusitis yaitu, keluarnya cairan kental berwarna dari hidung, sumbatan di hidung, nyeri pada muka, sakit gigi, dan demam.Gejala tersebut dapat sembuh sendiri dalam 48 jam, bila tidak membaik maka dilakukan pemberian antibiotik dengan lama terapi 10-14 hari (Sukandar dan Retnosari 2008).Penegakan diagnosis adalah melalui pemeriksaan THT, dilanjutkan dengan kultur dan dijumpai lebih dari 104/ml koloni bakteri, pemeriksaan x-ray dan CT scan (Depkes RI 2005).

b). Faringitis

                  Faringitis adalah inflamasi faring dan jaringan sekitarnya akibat infeksi virusdanbakteri(streptococcus pyogenes).Gejala umum berupa sakit tenggorokan, disfagia (kesulitan menelan), dan demam (Sukandar dan Retnosari 2008). Didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan, kultur swab tenggorokan, pemeriksaan kultur memiliki sensivitas 90-95% dari diagnosis, sehingga diandalkan sebagai penentu faringitis (Depkes RI 2005).

c). Otitis Media

Otitis media adalah peradangan telinga tengah yang gejala dan tanda-tandanya muncul cepat. Manifestasi klinik berupa lebih dari 1gejala: gangguan pendengaran, demam dan adanya cairan pada telinga bagian tengah. Bakteri penyebab berupa streptococcus pneumonia 35% dan haemophilus influenza 25% (Sukandar dan Retnosari 2008). Diagnosis dengan melihat membran timpani menggunakan otoscope.Teslainnya dengan mengukur kelenturan membran timpani dengan tympanometer

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (skripsi dan tesis)

    

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Kunoli 2013).

Menurut WHO, ISPA adalah suatu penyakit saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya dan lingkungan (WHO 2007).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007) istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Batasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut :

  1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
  2. Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.

Infeksi akut adalah 

Prevalensi TB-HIV (skripsi dan tesis)

Pada daerah dengan angka prevalensi
HIV tinggi atau di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, konseling
dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk
seluruh penderita TB secara rutin. Pada
daerah dengan angka prevalensi HIV
rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
hanya diindikasikan pada pasien TB dengan
keluhan dan tanda yang diduga
berhubungan dengan HIV dan pada pasien
TB dengan riwayat resiko tinggi terpajan
HIV. TB paru yang memerlukan uji HIV
yaitu : riwayat perilaku resiko tinggi
tertular HIV, hasil pengobatan OAT tidak
memuaskan, MDR TB / TB kronik.
Pemeriksaan minimal yang perlu
dilakukan untuk memastikan diagnosis TB
paru adalah pemeriksaan BTA sputum, foto
thorax dan bila memungkinkan pemeriksaan
CD4.
Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat
penyakit, pemeriksaan langsung sputum 3
hari berturut-turut, faktor resiko HIV, foto
thorak terlihat pembesaran kelenjar hilus,
infiltrat di apek paru, efusi pleura, kavitas
paru atau gambaran TB milier. Sensitivitas
pemeriksaan sputum BTA pada penderita
HIV/ AIDS sekitar 50%, tes tuberkulin
positif pada 30 – 50% pasien HIV/AIDS
dengan TB.
Diagnosis presumtif ditegakkan
berdasarkan ditemukannya basil tahan asam
(BTA) pada spesimen dengan gejala sesuai
TB atau perbaikan gejala setelah terapi
OAT. Diagnosis definitif TB pada penderita
HIV/AIDS adalah dengan ditemukannya
MTB pada pembiakan spesimen

Manifestasi klinis TB pada HIV/AIDS (skripsi dan tesis)

Manifestasi klinis TB pada HIV/AIDS
menyerupai akibat infeksi lain, berupa
demam berkepanjangan (100%), penurunan
berat badan dramatis (74%), batuk (37%),
diare kronis (28%), meningitis (12%), sesak
nafas (5%), Hematochezia (3,5%), Obstruksi
saluran cerna (2,6%). Menurut WHO
manifestasi koinfeksi dapat ditinjau dari
keluhannya berupa infeksi menular seksual,
herpes zoster (sering disertai jaringan parut),
pneumonia (baru atau rekuren), infeksi
bakteri berat, baru masuk program terapi OAT, penurunan berat badan > 10% dari
berat badan basal, diare kronis > 1 bulan,
nyeri retrospinal saat menelan (curiga
kandidiasis esophageal), kaki terasa panas
akibat neuropati perifer sensorik. Sedangkan
gejala yang timbul berupa jaringan parut
akibat herpes zoster, rash kulit popular dan
gatal, sarkoma kaposi, limpadenopati
generalisata simetris, kandidiasis oris,
kheilitis angularis, gingivitis necrotizing,
ulserasi aphthous besar, ulserasi genital
dengan nyeri persisten.
Radiologis : Hasil pemeriksaan radiologi
paru sangat tergantung pada luas dan
beratnya kerusakan serta penyulitnya.
Laboratoris : Pada infeksi dini (CD4 >
200/mm3), sputum mikroskopis sering
positif dibandingkan pada infeksi lanjut
(CD4 < 200/mm3) yang sering negative,
keadaan mikrobakteremia dijumpai pada
infeksi lanjut.

HUBUNGAN TB DAN HIV (skripsi dan tesis)

MTB mempunyai komponen penting
yaitu Lipoarabinomannan (LAM) yang
memiliki kemampuan luas menghambat
pengaruh imunoregulator. LAM merupakan
kompleks heteropolisakarida yang tersusun
dari pospatidilinositol, berperan langsung
dalam pengendalian pengaruh sistem imun
sehingga MTB tetap mampu
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Dalam upaya mempertahankan
kehidupannya tersebut MTB juga menekan
proliferasi limfosit T, menghambat aktivitas
makrofag, dan menetralisasi pengaruh toksik
radikal bebas. Di sisi lain LAM
mempengaruhi makrofag dan sebagai
induktor transkripsi mRNA sehingga
mampu menginduksi produksi dan sekresi
sitokin termasuk TNF, granulocyte macrophage- CSF, IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8
dan IL-10. Pengaruh sitokin tersebut
menghambat peran antimikrobial, memicu
gejala demam, mengakibatkan nekrosis
jaringan. Tetapi LAM tidak menginduksi
transkripsi mRNA dari sitokin yang
mestinya diproduksi limfosit seperti
limfositokin, IFN-γ, IL-2, IL-3, IL-4.
Struktur yang lebih sederhana dari LAM
adalah Limpomannan (LM) dan
phosphatidylinositol mannosides (PIM). LM
tidak memiliki Arabian, sementara PIM
memiliki arabain dan residu mannan. LAM,
LM dan PIM menginduksi transkripsi
mRNA sitokin sehingga dapat memicu
munculnya manifestasi klinis tuberkulosis
seperti demam, penurunan berat badan,
nekrosis jaringan dan kakeksia. Ada tiga
mekanisme yang menyebabkan terjadinya
TB pada penderita HIV, yaitu reaktivasi,
adanya infeksi baru yang progresif serta
terinfeksi. Penurunan CD4 yang terjadi
dalam perjalanan penyakit infeksi HIV akan
mengakibatkan reaktivasi kuman TB yang
dorman. Data dari Rwanda dan Zaire
menunjukkan bahwa pengidap HIV yang
telah pernah terinfeksi TB (Mtx positif)
ternyata 20 kali lebih sering mendapat TB.
Pada penderita HIV jumlah serta
fungsi sel CD4 menurun secara progresif,
serta gangguan pada fungsi makrofag dan
monosit. CD4 dan makrofag merupakan
komponen yang memiliki peran utama
dalam pertahanan tubuh terhadap
mikobakterium. Salah satu aktivator
replikasi HIV di dalam sel limfosit TB
adalah tumor necrosis factor alfa. Sitokin ini
dihasilkan oleh makrofag yang aktif dan
dalam proses pembentukan jaringan
granuloma pada TB. Kadar bahan ini 3-10
kali lebih tinggi pada mereka yang terinfeksi
TB dengan HIV-AIDS dibandingkan dengan
yang terinfeksi HIV saja tanpa TB.
Tingginya kadar tumor necrosis factor alfa
ini menunjukkan bahwa aktivitas virus HIV
juga dapat meningkat, yang artinya
memperburuk perjalanan penyakit AIDS.
Pada penelitian lain dijumpai adanya
peningkatan kadar beta 2 mikroglobulin
pada penderita HIV/AIDS dengan TB.
Acquired immune deficiency
syndrome (AIDS) disebabkan oleh HIV
adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam
famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae,
genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya
HIV termasuk famili retrovirus obligat
intraseluler dengan replikasi sepenuhnya di
dalam sel host, dan merupakan virus RNA
dengan berat molekul 9,7 kb (kilobase ).
Maifestasi TB pada HIV dapat berupa
TB paru atau infeksi di luar paru. TB ekstra
pulmonal lebih sering terjadi pada penderita
HIV sampai 70% dibanding populasi
umum, dapat berupa limfadenitis TB, infeksi
pada saluran genital, saluran kencing,
susunan saraf pusat dan sumsum tulang,
biasanya terjadi pada CD4 <400 sel /mm3.
Di negara maju resiko terinfeksi MTB pada
penderita HIV adalah 50% sedangkan orang
dengan HIV negatif hanya 5-10%. Di Asia
Tenggara, infeksi sekunder TB mencapai
40%, pada tahun 2005 di UPIPI RSU Dr
Soetomo men manifestasi AIDS akibat
infeksi sekunder TB paru mencapai 25-83%.

GAMBARAN RADIOLOGI TUBERCOLOSIS (skripsi dan tesis)

Tidak ada gambaran khas TB pada
paru, secara radiologis TB dapat memberi
gambaran bermacam-macam, dapat berupa :
a) Bayangan lesi di lapangan atas paru atau
segmen apical lobus bawah. b) Bayangan
berawan atau berbercak. c) Adanya kavitas
tunggal atau ganda. d) Bayangan bercak
milier. e) Bayangan efusi pleura umumya
unilateral. f) Destroyed lobe sampai
destroyed lung. g) Kalsifikasi. h) Schwarte
Luas proses yang tampak pada foto
thoraks dapat dinyatakan sbb : a) Lesi
minimal: bila proses mengenai sebagian
kecil dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari volume paru yang terletak di
atas chondrosternal junction dari iga kedua
dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis
IV atau korpus vertebrs torakalis V dan tidak
dijumpai kavitas. b) Lesi sedang : proses
penyakit lebih luas dari minimal dan dapat
menyebar dengan densitas sedang, tetapi
luas proses tidak boleh lebih luas dari satu
paru, atau jumlah seluruh proses yang ada
paling banyak seluas satu paru atau bila
proses tuberculosis tadi mempunyai densitas
lebih padat, lebih tebal, maka luas proses
tidak boleh lebih dari sepertiga luas satu
paru dan proses ini dapat/tidak disertai
kavitas. Bila disertai kavitas, maka luas
semua kavitas (diameter) tidak boleh lebih
dari 4 cm. c) Lesi luas : kelainan lebih luas
dari lesi sedang.

PATOFISIOLOGI TUBERKULOSIS (skripsi dan tesis)

TB primer : Mikobakterium
Tuberkulosis (MTB) yang mengalami
inhalasi melalui saluran napas mencapai
permukaan alveoli, MTB tumbuh serta
berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag dan membentuk sarang tuberkel
pneumonik yang disebut sarang primer atau
kompleks primer. Melalui aliran limfe MTB
mencapai kelenjar limfe hilus. Dari sarang
primer akan timbul peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal) dan diikuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer ditambah limfangitis lokal ditambah
limfadenitis regional dikenal sebagai
kompleks primer.
Idea Nursing Journal Mulyadi,dkk
163
TB post primer : Infeksi MTB post
primer akan muncul beberapa bulan atau
tahun setelah terjadi infeksi primer karena
reaktivasi atau reinfeksi. Hal ini terjadi
akibat daya tahan tubuh yang lemah. Infeksi
tuberkulosis post primer dimulai dengan
sarang dini yang umumnya terdapat pada
segmen apikal lobus superior atau lobus
inferior dengan kerusakan paru yang luas
dan biasanya pada orang dewasa.
Patogenesis dan manifestasi patologi
tuberkulosis paru merupakan hasil respon
imun seluler dan reaksi hipersensitiviti tipe
lambat terhadap antigen kuman tuberkulosis,
perjalanan infeksi tuberkulosis terjadi
melalui 5 tahap.
Wallgreen membuat suatu skema fase
perjalanan dan penyebaran TB primer yang
mengikuti suatu pola tertentu yang meliputi
empat tahapan sebagai berikut :
Tahap pertama : terjadi rata-rata 3-8
minggu setelah masuknya kuman,
memberikan test tuberculin yang positif,
disertai demam dan pada fase ini terbentuk
komplek primer.
Tahap kedua : berlangasung ratarata
3 bulan (1-8 bulan) sejak pertama
kuman masuk. Pada fase ini sering
terjadi penyebaran milier atau terjadi
meningitis TB.
Tahap ketiga : terjadi rata-rata
dalam 3-7 bulan (1-12 bulan), pada fase ini
terjadi penyebaran infeksi ke pleura.
Tahap keempat : rata-rata dalam
waktu 3 tahun (1 – 6 tahun), terjadi setelah
komplek primer mereda, tahap ini
merupakan periode skeletal.
Penyebaran dan perkembangannya
tidak harus mengikuti tiap tahap, adakalanya
dengan cepat menuju tahap lanjut.

Studi kohort retrospektif (skripsi dan tesis)

Studi kohort retrospektif dilakukan dengan menggunakan dua kelompok yaitu kelompok studi (sekelompok orang yang terpajan pada faktor risiko) dan kelompok kontrol (sekelompok orang yang tidak terpajan faktor risiko). Kedua kelompok itu selanjutnya diikuti terus-menerus selama periode waktu tertentu untuk memastikan apakah individu yang terpajan atau tidak terpajan faktor risiko itu terjadi keluaran atau tidak. Kegunaan studi kohort adalah untuk memberikan informasi yang pasti mengenai faktor etiologi, terutama pada penyakit yang kronik, dan untuk mengukur asosiasi berbagai tingkatan faktor risiko dengan penyakit (Chandra, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi outcome terapi. (skripsi dan tesis)

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan baik di Indonesia ataupun di luar negeri didapatkan beberapa hasil.

  1. Faktor yang mempengaruhi outcome terapi CD4

1). Jenis kelamin

Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan dengan peningkatan jumlah CD4. Gandhi et al., (2006) di Italia melaporkan bahwa perempuan memiliki median jumlah CD4 yang meningkat sebesar 346 sell/mm 3 dibandingkan laki-laki dengan median jumlah CD4 yang meningkat hanya sebesar 282 sell/mm3 (p=0.02) pada minggu ke 144 terapi. Di Indonesia, Yuneti (2014) melaporkan bahwa perempuan lebih besar dalam peningkatan CD4>350 sell/mm3 dibandingkan dengan lakilaki (p=0,001). Sebaliknya Diego et al., (2008) di Peru melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan peningkatan jumlah CD4.

2). Umur

Beberapa penelitian melaporkan bahwa usia yang lebih tua mempunyai peningkatan CD4 yang lebih baik dibandingkan usia yang lebih muda. Kaufman (2005) di Swiss melaporkan bahwa pasien dengan usia 36,5 tahun mempunyai hubungan yang mempengaruhi peningkatan jumlah CD4 >500 sel/mm3 selama 5 tahun pengobatan ARV. Prisilia (2012) di Depok melaporkan bahwa pasien dengan usia >30 tahun mengalami peningkatan CD4 lebih besar dibandingkan usia250 sel/mm3 .

3). Pendidikan

Pendidikan diduga mempengaruhi hasil pengobatan. Berdasarkan penelitian Alvarez (2012) di India melaporkan bahwa pendidikan rendah terkait dengan hasil akhir (peningkatan CD4) pada pasien yang melakukan pengobatan ARV. Yuneti (2014) melaporkan bahwa pendidikan rendah mengalami kenaikan jumlah CD4 lebih besar daripada pendidikan tinggi tapi tidak bermakna.

4). Jumlah CD4 awal

Jumlah CD4 awal yang tinggi pada pasien HIV dengan terapi ARV dihubungkan dengan kenaikan jumlah CD4 yang lebih besar. Boris (2012) di Afrika melaporkan bahwa pasien dengan jumlah  CD4 awal 200 sel/m3 dan 2x tidak mengalami peningkatan jumlah CD4 >500 sel/mm3 selama 12-30 bulan terapi ARV. Sebaliknya Muzah (2012) melaporkan bahwa selama 13 bulan terapi ARV, pasien dengan jumlah CD4 ≥200 sel/mm3 berhubungan dengan peningkatan CD4 lebih besar dibandingkan jumlah CD4 ≤200 sel/mm3 .

  1. Faktor yang mempengaruhi outcome terapi berat badan

HIV yang menyerang sel CD4 menyebabkan sel tersebut menurun secara terus menerus, sehingga jika tidak diobati maka akan terjadi imunocompromised dan mudah terkena infeksi lainnya. Tubuh berada pada kondisi yang sulit untuk mempertahankan metabolismenya karena infeksi itu sendiri, dan akhirnya tubuh kehilangan kalori dan berat badan menjadi turun. Sehingga dengan pengobatan ARV bisa menaikkan jumlah CD4, sel imunitasnya naik sehingga bisa mengurangi infeksi yang terjadi dan berat badan bisa naik kembali (Anonim, 2014). Oktaviani (2011) di Semarang melaporkan bahwa peningkatan berat badan setelah pengobatanARV dapat memperbaiki kondisi infeksi dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan asupan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh.

 Faktor-faktor lain yang mempengaruhi outcome terapi berat badan:

1). Umur

Noor (2008) mengatakan bahwa umur merupakan karakteristik yang paling utama karena berhubungan dengan keterpaparan. Umur juga mempunyai hubungan dengan besarnya resiko terhadap penyakit tertentu.

2). Jenis kelamin

Perbedaan kejadian penyakit menurut jenis kelamin dapat timbul karena perbedaan bentuk anatomis, fisiologis, dan hormonal. Jenis kelamin juga mempunyai hubungan yang cukup erat dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan terhadap penyakit.

3). Pendidikan

Pendidikan merupakan sarana untuk medapatkan pengetahuan dan pengaruh perilaku. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pasien HIV/AIDS untuk menyerap informasi mengenai pola hidup sehat, cara pencegahan terhadap penularan penyakit, mampu mengembangkan sikap positif serta dapat mempengaruhi dalam mengambil keputusan untuk mencari pengobatan, dan kepatuhan dalam berobat.

Etiologi HIV/AIDS (skripsi dan tesis)

HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus ribonucleic acid (RNA) dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4 dibagian dalam terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. pada inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein, mempunyai peran penting pada terjadinya infeksi karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel host.Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran selubung yang mengandung protein (Nasronudin, 2007).

Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah salinan deoxyribo nucleic acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang lain, HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel induk. Di dalam inti virus, juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA yakni antara lain: reverse transcriptaseintegrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus. Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas penyakit infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T dari darah tepi (Baratawidjaya, 2009).

Infeksi oportunistik (skripsi dan tesis)

                Infeksi oportunistik adalah infeksi yang terjadi karena penurunan imunitas tubuh. Infeksi ini terjadi ketika jumlah CD4 <500 sel/mm3. Infeksioportunistik terjadi akibat organisme non patogen (flora normal) maupun organisme patogen yang mengalami reaktivasi dalam tubuh.Ada beberapa jenis infeksi oportunistik yang sering terjadi pada penderita HIV (+), antara lain :

  1. Pneumonia pneumosistis karinii ( PPK )

Infeksi oportunistik jenis ini merupakan infeksi awal yang sering terjadi pada penderita AIDS. Hal ini terjadi karena organisme kecil (protozoa) penyebab infeksi ini, terdapat pada sebagian besar paru-paru seseorang (Crofton et al., 2001). Pada manusia sehat organisme ini tidak menimbulkan PPK. Hal ini di karenakan daya tahan tubuh yang baik dapat melawan organisme ini. Pada penderita AIDS, daya tahan tubuh rusak berat sehingga organisme ini dapat menimbulkan penyakit. Gejala awal PPK hampir menyerupai gejala umum AIDS, yaitu penurunan berat badan, keringat malam, pembesaran kelenjar getah bening, lelah, kehilangan nafsu makan, diare kronik dan sariawan yang hilang timbul. Terkadang gejala ini tidak ada, tetapi timbul gejala lain seperti batuk kering, demam dan sesak nafas, terutama bila jalan jauh atau naik tangga. Demam hampir selalu ada dengan suhu yangtidak terlalu tinggi, dan biasanya timbul pada sore hari. Gejala tersebut dapat timbul bertahap dan dalam jangka waktu 2-6 minggu menjadi berat. Pleuritis dengan gejala sakit dada dibagian tengah, pernafasan dangkal, dan tidak dapat menarik nafas juga sering dijumpai pada 30% pasien PPK.

PPK dapat diatasi dengan pengobatan yang efektif. Banyak kemajuan yang telah ditemukan mengenai diagnosis awal dan pengobatan penyakit ini. Sebagian besar pasien dapat disembuhkan, namun penyembuhan PPK ini tidak diikuti dengan kembalinya kekebalan tubuh pasien. Diagnosis penyakit ini dipastikan dengan menggunakan foto rontgen paru, analisa gas darah, dan sputum. Cara terbaik diagnosis penyakit ini adalah dengan menggunakan pemeriksaan bonkoskopi disertai dengan biopsi dan bilasan (Crofton et al.,2001).

  1. Kandidiasis

Kandidiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur candida dan sering menimbulkan masalah serius pada penderita AIDS ataupun penderita yang masih dalam tahap HIV. Infeksi ini biasanya terjadi di mulut dan tenggorokan. Kandisiasis mulut sering mendahului infeksi oportunistik lain seperti sarkoma kaposi, sedangkan kandidiasis esofagus sering ditemukan pada pasien AIDS  (Crofton et al.,2001).

  1. Sarkoma Kaposi

Gejala klinik sarkoma kaposi yaitu kelainan pada mulut dan kulit atau pembesaran kelenjar getah bening. Biasanya kelainan berawal dari daerah langit- langit mulut atau muka. Sarkoma kaposi dapat ditemukan juga di kaki, lengan dan badan. Kelainan di kulit bisa dilihat dari adanya palpasi, tetapi jarang menonjol dan berwarna ungu. Bentuk lesi penyakit ini adalah bulat lonjong, tetapi dapat juga berupa garis memanjang bila terletak di lipatan kulit. Pada tingkat awal penyakit tidak disertai rasa nyeri, tetapi pada tingkat lanjut dapat disertai nyeri terutama di kaki dan tungkai bawah. Sarkoma kaposi yang menyerang saluran pencernaan menunjukkan gejala ringan dan tidak ditemukan adanya perdarahan. Penyakit ini juga menyerang paru-paru dengan gejala yang lebih berat dan progresif, jika dibandingkan dengan serangan pada saluran cerna (Crofton et al.,2001).

  1. Tuberculosis

HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif. TB yang didapat pada penderita HIV bisa berasal dari infeksi laten maupun infeksi baru dan bisa juga terjadi di setiap perjalanan penyakit(Crofton et al.,2001). Penyakit TB ditimbulkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sepertiga dari penduduk dunia pernah terpajan oleh jenis bakteri ini. Risiko orang sehat untuk mengalami penyakit TB adalah sebesar 5-10%, sedangkan pada penderita HIV, risiko untuk mengalami TB adalah sebesar 50 % (Crofton et al.,2001).

Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status HIV pasien TB tetapi mengikuti Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian TB (BPN PPTB). Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera. Pengobatan ARV baru dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.

  1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV

Pasien yang belum dalam pengobatan ARV, maka pengobatan TB dapat segera dimulai. Jika pasien dalam pengobatan TB, maka pengobatan TB-nya diteruskan sampai dapat ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan untuk memulai pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan  tata laksana pasien TB-HIV.

  1. Pengobatan TB pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV

Pasien yang sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya memulai pengobatan TB di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV. Ini bertujuan agar pengobatan yang diterima pasien sesuai dengan aturan medis untuk pengobatan ko-infeksi TB-HIV. Hal ini penting karena ada banyak kemungkinan masalah yang harus dipertimbangkan, antara lain: interaksi obat (Rifampisin dengan beberapa jenis obat ARV), kegagalan pengobatan ARV, immune reconstitution syndrome (IRIS) atau perlu substitusi obat ARV.

  1. Memulai pengobatan ARV pada pasien yang sedang dalam pengobatan TB Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa memandang jumlah CD4. Namun pengobatan TB tetap merupakan prioritas utama untuk pasien dan tidak boleh terganggu oleh terapi ARV. Seperti telah dijelaskan di atas, pengobatan ARV perlu dimulai meskipun pasien sedang dalam pengobatan TB. Perlu diingat, pengobatan TB di Indonesia selalu mengandung Rifampisin. Oleh karena itu pasien yang menjalani pengobatan TB dan mendapat obat ARV bisa mengalami masalah interaksi obat dan efek samping obat. Pengobatan ARV yang mengandung Efavirenz (EFV) perlu diberikan pada pasien yang sedang dalam pengobatan TB. Jadi, jumlah obat yang digunakan bertambah banyak sehingga diperlukan beberapa perubahan dalam paduan ARV. Setiap perubahan tersebut harus dijelaskan secara seksama kepada pasien dan pengawas menelan obat (PMO).

EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan, sehingga penggunaan pada wanita usia subur (WUS) harus mendapat perhatian khusus. Jika seorang ibu hamil trimester ke-2 atau ke-3 sakit TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat dipikirkan untuk diberikan. Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan OAT yang mengandung Rifampisin bila tidak ada alternatif lain. Pemberian NVP pada ODHA perempuan dengan jumlah CD4 >250 sel/mm3 harus hati-hati karena dapat menimbulkan gangguan fungsi hati yang lebih berat atau meningkatnya hipersensitifitas.

NVP dapat diberikan kembali setelah pengobatan dengan Rifampisin selesai. Waktu mengganti kembali (substitusi) dari EFV ke NVP tidak memerlukan loading dose (langsung dosis penuh). Mengingat hal tersebut di atas, rencana pengobatan ko-infeksi TB-HIV seharusnya dilakukan minimal oleh dokter di RS yang telah dilatih TB-HIV. Pasien yang akan mendapat pengobatan ko-infeksi TB-HIV perlu diberi pengetahuan tentang efek samping pengobatan baik ringan maupun berat dan tindakan yang harus dilakukan selanjutnya. Petugas kesehatan di Puskesmas dapat melanjutkan pengobatan ko-infeksi TB-HIV setelah paduan pengobatan yang diberikan oleh dokter di RS dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien.

Pasien HIV yang akan memulai pengobatan ARV perlu mendapatkan konseling tentang pengobatan ARV dan implikasinya. Pasien juga perlu difasilitasi untuk mendapatkan akses dukungan nutrisi dan psikososial dari keluarga dan kelompok dukungan sebaya (KDS). Hal ini penting untuk menjamin kesinambungan perawatan dan pengobatan  ARV(KemenKes RI, 2012).

Koping terhadap peristiwa kedukaan (skripsi dan tesis)

Pengalaman kehilangan yang begitu nyata terutama melibatkan kematian dari orang yang dikasihi pada waktu yang tidak diharapkan (untimely), menimbulkan gangguan dalam pola hidup sehari-hari. Kematian yang tidak diharapkan dari orang yang dikasihi dapat digolongkan sebagai non-normative life events yang merupakan sumber stress bagi orang yang mengalaminya.

 Rasa kehilangan membawa rasa sakit secara psikis, namun dukungan yang didapatkan pada masa kedukaan dan bagaimana seseorang menghadapi serta menyesuaikan diri terhadap kehilangan tersebut, merupakan bagian mendasar dari pertumbuhan sebagai individu. Oleh karena itu ada yang disebut sebagai proses koping terhadap rasa duka yang dialami akibat kematian orang yang dikasihi.\Koping yang dilakukan dalam menghadapi kedukaan tidak sekedar untuk mengatasi masalah yang ada, tetapi lebih untuk bagaimana melewati masa kedukaan dan kembali ke fungsi yang lebih efektif. Tujuan yang ingin dicapai ialah agar individu yang mengalami kedukaan bisa sampai pada tahap resolusi. Ada 3 proses untuk mencapai tahap resolusi, yakni : 1) Penerimaan kognitif Proses ini merupakan usaha dari individu yang berduka untuk mengembangkan penjelasan yang memuaskan\ mengenai penyebab dari kehilangan mereka. Penjelasan yang memuaskan ini lebih bersifat subyektif dan tidak harus bersifat objektif. Jika penjelasan yang memuaskan belum tercapai, maka kemungkinan besar individu yang berduka akan terus merasa cemas dan penasaran untuk mencari jawabannya. 2) Penerimaan emosional Dalam proses ini, individu yang berduka berusaha untuk mencapai netralisasi dari memori dan asosiasi sehingga kemunculan ingatan mengenai individu yang meninggal atau hal apapun yang diasosiasikan dengannya tidak lagi dirasa mengganggu. Salah satu cara untuk mencapai penerimaan emosional ialah dengan mengulang serangkaian skenario yang mungkin dapat mencegah kematian secara kompulsif. Serangkaian pemikiran “Seandainya….” Ini harus sedemikian rupa diusahakan untuk menjadi netral seiring juga dengan ingatan dan asosiasi yang menyakitkan. 3) Perubahan identitas Perubahan identitas merupakan hal yang penting bagi individu untuk mengembangkan citra diri mereka yang baru, sehingga keterikatan mereka terhadap individu yang sudah meninggal dapat dilihat sebagai bagian dari masa lalu. Jika tahap ini terselesaikan, maka individu yang bersangkutan harus mulai membuat komitmen untuk menjalin relasi yang baru, 4namun hal ini lebih mungkin terjadi bagi mereka yang mengalami kehilangan pasangan dan hampir tidak mungkin bagi mereka yang mengalami kematian anak

Penyakit Lupus (skripsi dan tesis)

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1. Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:11. Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat, dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, terkendali ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul, LES dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat3. Untuk menilai aktivitas penyakit LES dapat dilakukan penilaian dengan skor, salah satunya adalah MEX-SLEDAI. Sedangkan, untuk menilai status kesehatan pasien LES dapat dilakukan penilaian dengan kuesioner SF-36 (Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2009).

Menurut kriteria MEX-SLEDAI, pasien yang memiliki skor < 2 memiliki aktivitas penyakit LES ringan. Kemudian, pasien yang memiliki skor 2-5 memiliki aktivitas penyakit LES sedang. Terakhir, pasien yang memiliki skor > 5 memiliki aktivitas penyakit LES berat4. Pada SF-36, skor tertinggi yang dapat dicapai adalah 1005. Setiap pertanyaan memiliki skor maksimal 100 dan skor minimal 0. Setiap pertanyaan dibagi menjadi 8 sub penelitian, antara lain fungsi fisik, peranan fisik, rasa nyeri, persepsi kesehatan umum, vitalitas, fungsi sosial, peranan emosi, dan kesehatan jiwa. Semuanya dirangkum menjadi 2 skor komponen, yaitu gabungan skor komponen mental dan gabungan skor fisik sehingga didapatkan total skor status kesehatan/ kualitas hidup6. Pada beberapa penelitian, aktivitas penyakit pada LES dianggap mempengaruhi status kesehatan pasien LES sehingga akan mempengaruhi prognosis pada tiap pasien LES (McMurry RW, May W, 2003).

Gizi Balita (skripsi dan tesis)

1) Definisi Balita
Menurut Proverawati (2009), balita atau anak bawah lima tahun
adalah anak usia kurang dari lima tahun. Anak dengan usia 1-5 tahun dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari satu tahun sampai tiga
tahun yang dikenal dengan “batita” dan anak usia lebih dari tiga tahun
sampai lima tahun yang dikenal dengan usia “prasekolah”.
2) Pemenuhan Kebutuhan Gizi Balita
Kalori berasal dari karbohidrat, protein dan lemak. Konsumsi kalori
yang dianjurkan oleh WHO yang bersumber dari karbohidrat 55%-75%,
dari protein 10%-15%, dan dari lemak 15%-30%. Satu gram karbohidrat
setara dengan 4 Kkal, 1 gram protein setara dengan 4 Kkal dan 1 gram
lemak setara dengan 9 Kkal. Konsumsi maksimal per hari untuk kalsium
adalah 1200 mg, fosfor 1200 mg, besi 35 mg, vitamin A 2800 RE, vitamin
B 400 mg dan vitamin C 400 mg.
Menurut Proverawati (2009) kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah
yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan pada umumnya.
Antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada keseimbangan
sehingga diperoleh status gizi yang baik. Status gizi pada masa balita perlu
mendapatkan perhatian yang serius dari para orang tua, karena kekurangan
gizi pada masa ini akan menyebabkan kerusakan yang irreversible (tidak
dapat dipulihkan). Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka menopang
tumbuh kembang fisik dan biologis balita perlu diberikan secara tepat dan
berimbang. Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung zat-zat gizi
yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti
komposisi zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai
usianya. Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan
otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun akan
berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang mengatur
sistem sensorik dan motoriknya.
Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis yang baik, akan berdampak
pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan terjaga
dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit

Pedoman Umum Gizi Seimbang (skripsi dan tesis)

Pendidikan gizi merupakan salah satu unsur yang berperan dalam
meningkatkan status gizi masyarakat dalam kaitannya mengatasi
permasalahan gizi ganda yaitu gizi kurang dan gizi lebih di Indonesia.
Pedoman gizi seimbang adalah pedoman untuk memilih jenis dan jumlah
makanan yang sesuai dan cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap
zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral). Adapun tujuan dari
disusunnya pedoman gizi seimbang adalah sebagai berikut:
a. Membantu konsumen dalam memilih makanannya sehari-hari dengan baik
dan benar, sehingga meningkatkan kesehatannya dengan meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap penyakit.
b. Membantu pemerintah dan masyarakat dalam menentukan kebijakan
pangan dan gizi dalam menanggulangi masalah gizi.
c. Meningkatkan evektivitas pendidikan gizi dalam membentuk pola hidup
sehat bagi masyarakat dan perorangan.
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) berprinsip bahwa tiap golongan
usia, jenis kelamin, kesehatan dan aktifitas fisik memerlukan PUGS yang
berbeda, sesuai dengan kondisi masing-masing kelompok tersebut
(Cakrawati,2012)

Angka Kecukupan Gizi (skripsi dan tesis)

Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah
zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua
penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis,
seperti kehamilan dan menyusui.
Kegunaan angka kecukupan gizi yang dianjurkan adalah sebagai berikut
(Cakrawati, 2012):
1) Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi
makanan bagi penduduk /golongan masyarakat tertentu yang didapatkan
dari hasil survey gizi/makanan.
2) Untuk merencanakan pemberian makanan tambahan balita.
3) Untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional.
4) Untuk patokan label gizi makanan yang dikemas apabila perbandingan
dengan angka kecukupan gizi diperlukan.
5) Untuk bahan pendidikan gizi

Definisi Riwayat Alamiah Penyakit (RAP) (skripsi dan tesis)

Riwayat alamiah penyakit adalah perkembangan penyakit secara alamiah, tanpa ikut campur tangan medis atau intervensi kesehatan lainnya. Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang perjalanan waktu danPerkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik (CDC, 2010c). Riwayat alamiah penyakit perlu dipelajari. Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit sama pentingnya dengan kausa penyakit untuk upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. Dengan mengetahui perilaku dan karakteristik masing-masing penyakit maka bisa dikembangkan intervensi yang tepat untuk mengidentifikasi maupun mengatasi problem penyakit tersebut (Gordis, 2000; Wikipedia, 2010) Manfaat yang diperoleh dari riwayat alamiah penyakit, yaitu: 1. Untuk diagnostik: masa inkubasi dapat dipakai sebagai pedoman penentuan jenis penyakit, misalnya jika trejadi KLB (Kejadian Luar Biasa 2. Untuk pencegahan: dengan mengetahui kuman patologi penyebab dan rantai perjalanan penyakit dapat dengan mudah dicari titik potong yang penting dalam upaya pencegahan penyakit. Dengan mengetahui riwayat penyakit dapat trelihat apakah penyakit itu perlangsungannya akut ataukah kronik. Tentu berbeda upaya pencegahan yang diperlukan untuk penyakit yang akut dibanding dengan kronik 3. Untuk terapi: intervensi atau terapi hendaknya biasanya diarahkan ke fase pasling awal. Pada tahap perjalanan awal penyakit itu terapi tepat sudah perlu diberikan. Lebih awal terapi akan lebbih baik hasil yang diharapkan. Keteralambatan diagnosis akan berkaitan dengan keterlambatan terapi. Pengetahuan mengenai Riwayat Alamiah Penyakit (RAP) merupakan dasar untuk melakukan upaya pencegahan. RAP dan hasil pemeriksaan fisik akan mengarahkan pemeriksa (tenaga kesehatan) untuk menetapkan diagnosis dan kemudian memahami bagaimana perjalanan penyakit yang telah didiagnosis. Hal ini penting untuk dapat menerangkan tindakan pencegahan, keganasan penyakit, lama kelangsungan hidup penderita, atau adanya gejala sisa berupa cacat atau carrier. Informasi-informasi ini akan berguna dalam strategi pencegahan, perencanaan lama perawatan, model pelayan yang akan dibutuhkan kemudian, dan lain sebagainya. Proses penyakit menular dimulai dengan terjadinya pemaparan agen infeksius yang dapat mengakibatkan penyakit. Tanpa tindakan pengobatan, proses perjalanan penyakit dapat berakhir dengan kondisi sembuh sempurna, carrier, cacat, atau meninggal. Sebagian besar penyakit memiliki karakteristik riwayat alamiah tertentu namun beberapa penyakit belum dapat dipahami dengan baik mengenai riwayat alamiah penyakitnya. Karakteristik RAP menular mempunyai kerangka waktu dan manifestasi yang berbeda-beda dan bervariasi antarindividu. Namun dengan pemberian pengetahuan tentang penyakit pada individu, perkembangan penyakit dapat dihambat dengan tindakan pencegahan dan pengobatan, meningkatkan faktor yang berhubungan dengan kesehatan pejamu dan faktor lainnya yang dapat mempengatuhi kejadian penyakit.

Karakteristik Lingkungan (skripsi dan tesis)

a. Topografi: situasi lingkungan tertentu, baik yang natural maupun buatan
manusia yang mungkin mempengaruhi terjadinya dan penyebaran suatu
penyakit tertentu.
b. Geografis: keadaan yang berhubungan dengan struktur geologi dari bumi yang berhubungan dengan kejadian penyakit.
Didalam epidemiologi dekriptif, terdapat tiga variabel determinan yaitu orang,
tempat dan waktu. Frekuensi penyakit berubah menurut perubahan variabel-variabel epidemiologi tersebut

Karakteristik Agen (skripsi dan tesis)

 Agen adalah penyebab penyakit yang dapat terdiri dari berbagai jenis yaitu agen biologis (virus, bakteri, fungi, riketsia, protozoa, metazoa); Agen nutrien (Protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air); Agen fisik: Panas, radiasi, dingin, kelembaban, tekanan; Agen kimia (Dapat bersifat endogenous seperti asidosis, diabetes (hiperglikemia), uremia, dan eksogenous (zat kimia, alergen, gas, 16 debu, dll.); dan agen mekanis (Gesekan, benturan, pukulan yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan). Adapun karakteristik dari agen berupa :
a. Infektivitas: kesanggupan dari organisma untuk beradaptasi sendiri terhadap lingkungan dari penjamu untuk mampu tinggal dan berkembangbiak (multiply) dalam jaringan penjamu. Umumnya diperlukan jumlah tertentu dari suatu mikroorganisma untuk mamppu menimbulakan infeksi terhadap penjamunya. Dosis infektivitas minimum (minimum infectious dose) adalah jumlah minimal organisma yang dibutuhkan untuk menyebabkan infeksi. Jumlah ini berbeda antara berbagai spesies mikroba dan antara individu.
b. Patogenensis: kesanggupan organisma untuk menimbulakan suatu reaksi klinik khusus yang patologis setelah terjadinya infeksi pada penjamu yang diserang. Dengan perkataan lain, jumlah penderita dibagi dengan jumlah orang yang terinfeksi.hampir semua orang yang terinfeksi dengan virus smaalpox menderita penyakit (high pathogenenicity), swedangkan orang yang terinfeksi polivirus tidak semua jatuh sakit (low pathogenenicity).
 c. Virulensi: kesanggupan organisma tertentu untuk menghasilakan reaksi patologis yang berat yang selanjutnya mungkin menyebabkan kematian. Virulensi kuman menunjukkan beratnya (suverity) penyakit.
d. Toksisitas: kesanggupan organisma untuk memproduksi reaksi kimia yang toksis dari substansi kimia yang dibuatnya. Dalam upaya merusak jaringan untuk menyebabkan penyakit berbagai kuman mengeluarkan zat toksis.
 e. Invasitas: kemampuan organisma untuk melakukan penetrasi dan menyebar setelah memasuki jaringan.
f. Antigenisitas: kesanggupan organisma untuk merangsang reaksi imunologis dalam penjamu. Beberapa organisma mempunyai antigenesitas lebih kuat dibanding yang lain. Jika menyerang aliran darah (virus measles) akan lebih merangsang immunoresponse dari yang hanya menyerang permukaan membran (gonococcuc).

Karakteristik Penjamu (Skripsi dan tesis)

Pejamu adalah tempat yang dinvasi oleh penyakit. Penjamu dapat berupa manusia, hewan atapun tumbuhan. Manusia mempunyai karakteristik tersendiri dalam menghadapi ancaman penyakit, yang bisa berupa: a. Resistensi: kemampuan dari penjamu untuk bertahan terhadap suatu infeksi. Terhadap suatu infeksi kuman tertentu, manusia mempunyai mekanisme pertahanan tersendiri dalam menghadapinya. b. Imunitas: kesanggupan host untuk mengembangkan suatu respon imunologis, dapat secara alamiah maupun perolehan (non-ilmiah), sehingga tubuh kebal terhadap suatu penyakit tertentu. Selain mempertahankan diri, pada jenis-jenis penyakit tertentu mekanisme pertahanan tubuh dapat menciptakan kekebalan tersendiri. Misalnya campak, manusia mempunyai kekebalan seumur hidup, mendapat imunitas yang tinggi setelah terserang campak, sehingga seusai kena campak sekali maka akan kebal seumur hidup. c. Infektifnes (infectiousness): potensi penjamu yang terinfeksi untuk menularkan penyakit kepada orang lain. Pada keadaan sakit maupun sehat, kuman yang berada dalam tubuh manusia dapat berpindah kepada manusia dan sekitarnya.

Trias Epidemilologi (skripsi dan tesis)

Didalam epidemiologi deskriptif dipelajari bagaimana frekuensi penyakit berubah menurut perubahan variabel-variabel epidemiologi yang terdiri dari orang (person), tempat (place) dan waktu (time). Epidemiologi terdapat Hubungan asosiasi dalam bidang adalah hubungan keterikatan atau saling pengaruh antara dua atau lebih variabel, dimana hubungan tersebut dapat bersifat hubungan sebab akibat maupun yang bukan sebab akibat. Dalam kaitanya dengan penyakit terdapat hubungan karasteristik antara Karakteristik Segitiga Utama. Yaitu host, agent dan improvment. Serta terdapat interaksi antar variabel epidemologi sebagai determinan penyakit. Ketiga faktor dalam trias epidemiologi terus menerus dalam keadaan berinteraksi satu sama lain. Jika interaksinya seimbang, terciptalah keadaan seimbang. Begitu terjadi gangguan keseimbangan, muncul penyakit. Terjadinya gangguan keseimbangan bermula dari perubahan unsur-unsur trias itu. Perubahan unsur trias yang petensial menyebabkan kesakitan tergantung pada karakteristik dari ketiganya dan interakksi antara ketiganya

Transisi Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Yang dimaksud dengan transisi epidemiologi adalah perubahan pola kesehatan dan pola penyakit yang berinteraksi dengan demografi, ekonomi, dan sosial. Transisi epidemiologi berkaitan dengan transisi demografi, begitu juga dengan transisi teknologi.
Misalnya pergantian dari penyakit infeksi ke penyatit man-made disease atau lifestyle disease.
Pergeseran penyakit ini dapat dibuktikan dengan berubahnya pola penyakit
penyebab kematian tertinggi antara tahun 1960, dengan wabah penyakit pneumonia, tuberkulosis, dan diare, dengan 1990 penyakit jantung, neoplasma, dan penyakit otakpembuluh darah.
Penyebab terjadinya transisi epidemiologi antara lain :
1. Teknologi kedokteran

Perubahan standar hidup
3. Angka kelahiran
4. Peningkatan gizi
5. Kontrol vektor dan sanitasi
6. Perubahan gaya hidup
Berikut adalah tiga model transisi epidemiologi :
1. Model Klasik, contohnya di Eropa Barat
2. Model Dipercepat, contohnya di Jepang
3. Model Lambat, contohnya di negara berkembang
Proposisi-proposisi dalam transisi epidemiologi
1. Mortalitas adalah faktor fundamental
2. Pergeseran pola kematian penyakit pandemi penyakit infeksi secara bertahap
diganti penyakit degeneratif
3. Perubahan pola penyakit pada anak-anak dan wanita muda, keselamatan anakanak dan wanita muda meningkat.
4. Pergeseran pola kesehatan dan penyakit pada masa transisi erat hubungannya
dengan transisi demografi dan sosioekonomi.
Pola kematian yang timbul tiga periode transisi epidemiologi :
a. Tahap 1
– Tahap kesengsaraan dan paceklik
– Mortalitas tinggi tidak ada pertambahan penduduk
– Angka harapan hidup 20—40 tahun
b. Tahap 2
– Penyakit infeksi menghilang
– Penurunan mortalitas
– Angka harapan hidup 30—50 tahun
– Pertambahan jumlah penduduk secara eksponensial
c. Tahap 3
– Penyakit degeneratif turun
– Angka pertumbuhan penduduk tergantung angka fertilitas
Transisi epidemiologi yang lambat dapat memicu ledakan penduduk. Faktor transisi
negara berkembang :
a. Faktor Ekobiologi
Terjadi keseimbangan antarkomponen dalam segitiga epidemiologi
b. Faktor Sosial, Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Pada faktor ini kelompok yang rentan menjadi korban adalah kelompok usia
balita
c. Faktor Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan

Peranan Epidemiologi Dalam Pemecahan Masalah Kesehatan Masyarakat (skripsi dan tesis)

Epidemiologi merupakan salah satu bagian dari pengetahuan ilmu kesehatan
masyarakat yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit dan masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat. Epidemiologi menekankan upaya bagaimana distribusi penyakit dan bagaimana berbagai faktor menjadi faktor penyebab penyakit tersebut.
Epidemiologi mempunyai peranan dalam bidang kesehatan masyarakat berupa:
1. Menerangkan tentang besarnya masalah dan ganguan kesehatan (termasuk
penyakit) serta penyebarannya dalam suatu penduduk tertentu.
2. Menyiapkan data/informasi yang esensial untuk keperluan perencanaan,
pelaksanaan program, serta evaluasi berbagai kegiatan pelayanan (kesehatan)
pada masyarakat, baik bersifat pencegahan dan penanggulangan penyakit
maupun bentuk lainnya serta menentukan skala prioritas terhadap kegiatan
tersebut.
3. Mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi penyebab masalah atau faktor yang berhubungan dengan terjadinya masalah tersebut.
Dalam melakukan peranannya, epidemiologi tidak dapat melepaskan diri dalam keterkaitannya dengan bidang-bidang disiplin Kesmas lainnya seperti Administrasi Kesehatan Mayarakat, Biostatistik, Kesehatan Lingkungan, dan Pendidikan Kesehatan/Ilmu Perilaku. Misalnya, peranan epidemiologi dalam proses perencanaan kesehatan. Tampak bahwa epidemiologi dapat dipergunakan dalam proses perencanaan yang meliputi identifikasi masalah memilih prioritas, menyusun objektif, menerangkan kegiatan, koordinasi dan evaluasi.
Selain itu, dalam mempersiapkan suatu intervensi pendidikan kesehatan,
epidemiologi dapat dipergunakan dalam membuat suatu “Diagnosis Epidemiologi” dari masalah yang memerlukan intervensi itu. Sebagai contoh peranannya sebagai alat diagnosis keadaan kesehatan masyarakat, epidemiologi dapat memberikan gambaran atau diagnosis tentang masalah yang berkaitan dengan kemiskinan (poverty) berupa malnutrisi, overpopulasi, kesakitan ibu, rendahnya kesehatan infant, alcoholism, anemia, penyakit-penyakit parasit dan kesehatan mental.

Peranan Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Pada mulanya epidemiologi diartikan sebagai studi tentang epidemi. Hal ini
berarti bahwa epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam perkembangan selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi, sehingga dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit pada manusia di dalam konteks lingkungannya. Epidemiologi, mencakup juga studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian determinan-determinan penyakit tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epidemiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang penyebaran penyakit serta determinan-determinan yang
mempengaruhi penyakit tersebut.
Di dalam batasan epidemiologi, sekurang-kurangnya mencakup 3 elemen, yakni:
1. Mencakup semua penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun
penyakit non infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrisi),
kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan kerja, sakit jiwa dan sebagainya.
Bahkan di negara-negara maju, epidemiologi ini mencakup juga kegiatan
pelayanan kesehatan.
2. Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran dari penyakitpenyakit individu maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi penyakit pada populasi (masyarakat) atau kelompok.
3. Pendekatan ekologi
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada keseluruhan
lingkungan manusia baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal inilah
yang dimaksud pendekatan ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang dikaji dari manusia dan total lingkungannya.
Peranan epidemiologi, khususnya dalam konteks program Kesehatan dan
Keluarga Berencana adalah sebagai tool (alat) dan sebagai metode atau pendekatan. Demikian pula pendekatan pemecahan masalah tersebut selalu dikaitkan dengan masalah, di mana atau dalam lingkungan bagaimana penyebaran masalah serta bilaman masalah tersebut terjadi. Kegunaan lain dari epidemiologi khususnya dalam program kesehatan adalah ukuran-ukuran epidemiologi seperti prevalensi, point of prevalence dan sebagainya dapat digunakan dalam perhitungan-perhitungan : prevalensi, kasus
baru, case fatality rate dan sebagainya.

Pengertian Epidemiologi Ditinjau Dari Berbagai Aspek (skripsi dan tesis)

1. Aspek Akademik Secara Akademik
Epidemiologi berarti Analisa data kesehatan, sosial-ekonomi, dan trend yang
terjadi untuk mengindentifikasi dan menginterpretasi perubahan-perubahan
kesehatan yang terjadi atau akan terjadi pada masyarakat umum atau kelompok
penduduk tertentu.
2. Aspek Klinik
Ditinjau dari aspek klinik, Epidemiologi berarti Suatu usaha untuk mendeteksi
secara dini perubahan insidensi atau prevalensi yang dilakukan melalui
penemuan klinis atau laboratorium pada awal timbulnya penyakit baru dan awal
terjadinya epidemi.
3. Aspek Praktis
Secara praktis epidemiologi berarti ilmu yang ditujukan pada upaya pencegahan
penyebaran penyakit yang menimpa individu, kelompok penduduk atau
masyarakat umum.
4. Aspek Administrasi
Epidemiologi secara administratisi berarti suatu usaha mengetahui keadaan
masyarakat di suatu wilayah atau negara agar dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan masyarakat

Kegunaan / Manfaat Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Apabila Epidemiologi dapat dipahami dan diterapkan dengan baik, akan
diperoleh berbagai manfaat yang jika disederhanakan adalah sebagai berikut:3
1. Membantu Pekerjaan Administrasi Kesehatan.
Epidemiologi membantu pekerjaan dalam Perencanaan ( Planning ) dari
pelayanan kesehatan, Pemantauan ( Monitoring ) dan Penilaian ( Evaluation )
suatu upaya kesehatan. Data yang diperoleh dari pekerjaan epidemiologi akan
dapat dimanfaatkan untuk melihat apakah upaya yang dilakukan telah sesuai
dengan rencana atau tidak (Pemantauan) dan ataukah tujuan yang ditetapkan
telah tercapai atau tidak (Penilaian).
2. Dapat Menerangkan Penyebab Suatu Masalah Kesehatan.
Dengan diketahuinya penyebab suatu masalah kesehatan, maka dapat disusun langkah – langkah penaggulangan selanjutnya, baik yang bersifat pencegahan ataupun yang bersifat pengobatan.
3. Dapat Menerangkan Perkembangan Alamiah Suatu Penyakit.
Salah satu masalah kesehatan yang sangat penting adalah tentang penyakit.
Dengan menggunakan metode Epidemiologi dapatlah diterangkan Riwayat
Alamiah Perkembangan Suatu Penyakit (Natural History of Disease).
Pengetahuan tentang perkembangan alamiah ini amat penting dalam
menggambarkan perjalanan suatu penyakit. Dengan pengetahuan tersebut dapat dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit sedemikian rupa sehingga penyakit tidak sampai berkelanjutan. Manfaat / peranan Epidemiologi dalam menerangkan perkembangan alamiah suatu penyakit adalah melalui pemanfaatan keterangan tentang frekwensi dan penyebaran penyakit terutama penyebaran penyakit menurut waktu. Dengan diketahuinya waktu muncul dan berakhirnya suatu penyakit, maka dapatlah diperkirakan perkembangan penyakit tersebut.

Perpaduan ciri- ciri ini pada akhirnya memetakan 4 (empat) Keadaan Masalah
Kesehatan yaitu :
1. Epidemi
Keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit ) yang
ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekwensi yang meningkat.
2. Pandemi
Suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit ) yang
ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat memperlihatkan peningkatan yang amat tinggi serta penyebarannya telah mencakup suatu wilayah yang amat luas.
3. Endemi
suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit) yang
frekwensinya pada suatu wilayah tertentu menetap dalam waktu yang lama.
4. Sporadik
Suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit ) yang ada di suatu wilayah tertentu frekwensinya berubah – ubah menurut perubahan waktu.

Batasan dan Pengertian Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Jika ditinjau dari asal kata (Bahasa Yunani) Epidemiologi berarti Ilmu yang
mempelajari tentang penduduk {EPI = pada/tentang ; DEMOS = penduduk ; LOGOS = ilmu}. Sedangkan dalam pengertian modern pada saat ini EPIDEMIOLOGI adalah : “ Ilmu yang mempelajari tentang Frekuensi dan Distribusi (Penyebaran) masalah kesehatan pada sekelompok orang/masyarakat serta Determinannya (Faktor – factor yang Mempengaruhinya).”
Dari definisi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam pengertian epidemiologi terdapat 3 hal Pokok yaitu :
1. Frekuensi masalah kesehatan
Frekuensi yang dimaksudkan disini menunjuk pada besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia/masyarakat. Untuk dapat mengetahui frekwensi suatu masalah kesehatan dengan tepat, ada 2 hal yang harus dilakukan yaitu :
a. Menemukan masalah kesehatan yang dimaksud.
b. Melakukan pengukuran atas masalah kesehatan yang ditemukan tersebut.
2. Distribusi ( Penyebaran ) masalah kesehatan
Yang dimaksud dengan Penyebaran/Distribusi masalah kesehatan adalah
menunjuk kepada pengelompokan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksudkan dalam epidemiologi adalah :
a. Menurut Ciri – ciri Manusia ( MAN ) siapakah yang menjadi sasaran
penyebaran penyakit itu atau orang yang terkena penyakit.
b. Menurut Tempat ( PLACE ) , di mana penyebaran atau terjadinya penyakit.
c. Menurut Waktu ( TIME ) , kapan penyebaran atau terjadinya penyakit
tersebut.
3. Determinan ( Faktor – faktor yang mempengaruhi )
Determinan adalah menunjuk kepada factor penyebab dari suatu penyakit /
masalah kesehatan baik yang menjelaskan Frekwensi, penyebaran ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah kesehatan itu sendiri. Dalam hal ini ada 3 langkah yang lazim dilakukan yaitu :
a. Merumuskan Hipotesa tentang penyebab yang dimaksud.
b. Melakukan pengujian terhadap rumusan Hipotesa yang telah disusun.
c. Menarik kesimpulan.
Adapun definisi Epidemiologi menurut CDC 2002, Last 2001, Gordis 2000
menyatakan bahwa EPIDEMIOLOGI adalah : “ Studi yang mempelajari Distribusi dan Determinan penyakit dan keadaan kesehatan pada populasi serta penerapannya untuk pengendalian masalah – masalah kesehatan”. Dengan demikian dapat dirumuskan
tujuan Epidemiologi adalah :
1. Mendeskripsikan Distribusi, kecenderungan dan riwayat alamiah suatu penyakit
atau keadaan kesehatan populasi.
2. Menjelaskan etiologi penyakit.
3. Meramalkan kejadian penyakit.
4. Mengendalikan distribusi penyakit dan masalah kesehatan populasi.
Sebagai ilmu yang selalu berkembang, Epidemiologi senantiasa mengalami
perkembangan pengertian dan karena itu pula mengalami modifikasi dalam
batasan/definisinya.

Variabel Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Variabel-variabel yang biasa digunakan dalam epidemiologi deskriptif adalah: 1. Variabel orang

 Karakteristik yang selalu diperhatikan dalam suatu penyelidikan epidemiologi untuk variabel orang adalah umur, jenis kelamin, kelas sosial (pendidikan, pekerjaan, penghasilan), golongan etnik, status perkawinan, besarnya keluarga, paritas (keturunan), dan lain sebagainya yang berhubungan dengan variabel orang, seperti gaya hidup dan kebiasaan makan (Sutrisna, 1994). Variabel orang dapat digunakan untuk mengetahui populasi yang berisiko.

 2. Variabel tempat
 Karakteristik dalam variabel tempat yang biasa digunakan adalah daerah berdasarkan batas-batas pemerintahan (kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kotamadya, propinsi), daerah perkotaan dan pedesaan, daerah berdasarkan batasbatas alam (pegunungan, pantai, laut, sungai, padang pasir), daerah berdasarkan batas negara. Variabel tempat dalam suatu penyelidikan epidemiologi dapat digunakan untuk mengetahui distribusi geografis dari suatu penyakit sehingga dapat dilakukan perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat mengetahui faktor penyebab dari suatu penyakit (Sutrisna, 1994).
3. Variabel waktu
 Karakteristik dalam variabel waktu dilihat berdasarkan panjangnya waktu terjadinya perubahan pada suatu penyakit dan dibedakan menjadi fluktuasi jangka pendek atau epidemi (jam, hari, minggu, dan bulan), perubahan secara siklis dimana terjadi perubahan angka kesakitan yang berulang-ulang (beberapa hari, beberapa bulan/musiman, tahunan, beberapa tahun), dan fluktuasi jangka panjang atau disebut juga secular trends (bertahun-tahun, puluhan tahun) (Sutrisna, 1994)

Tujuan dan Kegunaan Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Tujuan dari epidemiologi adalah memberikan gambaran mengenai penyebaran, kecenderungan, dan riwayat alamiah penyakit; menjelaskan penyebab dari suatu penyakit; meramalkan kejadian suatu penyakit; serta mengendalikan penyebaran penyakit dan masalah kesehatan lainnya di masyarakat (Murti, 2003). .  Kegunaan epidemiologi adalah untuk memperoleh informasi mengenai riwayat alamiah penyakit, proses terjadinya suatu penyakit, serta informasi mengenai penyebaran penyakit pada berbagai kelompok masyarakat. Selain itu juga epidemiologi dapat digunakan untuk mengelompokkan penyakit, membuat program pemeliharaan kesehatan, dan membuat cara-cara untuk mengevaluasi program pemeliharaan kesehatan yang dilakukan (Sutrisna, 1994).

Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata epi yang berarti pada atau tentang, demos yang berarti penduduk, serta logos yang berarti ilmu. Jadi, epidemiologi berarti adalah ilmu yang mempelajari tentang penduduk. Definisi ini terlalu luas sehingga dapat diterapkan pada semua hal yang terjadi pada penduduk (Sutrisna, 1994). Pada awalnya, epidemiologi didefinisikan sebagai ilmu yang hanya mempelajari penyebaran atau perluasan suatu penyakit menular pada suatu kelompok atau masyarakat. Namun seiring dengan adanya perubahan kondisi serta masalah yang dihadapi oleh masyarakat, epidemiologi tidak hanya digunakan untuk mempelajari penyakit menular saja, tetapi juga digunakan untuk mempelajari penyakit tidak menular, kecelakaan lalu lintas, bencana alam, dan sebagainya (Sutrisna, 1994). Dengan kata lain epidemiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (Azwar, 1988). Dari definisi epidemiologi tersebut, dapat dipahami bahwa epidemiologi mempelajari gambaran penyebaran penyakit berdasarkan orang (siapa yang terserang penyakit), tempat (dimana terjadinya penyakit), dan waktu (kapan terserang penyakit) yang dipelajari dalam epidemiologi deskriptif. Selain itu juga epidemiologi mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit yang dipelajari dalam epidemiologi analitik (Sutrisna, 1994).

Variabel Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Studi epidemiologi deskripstif adalah suatu studi terhadap jumlah dan
distribusi penyakit, kondisi, cedera, ketidakmampuan, dan kematian dalam populasi.
Untuk melakukan studi ini, ahli epidemiologi harus mengkaji semua aspek waktu,
tempat dan orang. Variabel waktu dijawab melalui investigasi dan penelitian
terhadap semua aspek elemen waktu yang berhubungan dengan penyebab, kejadian
luar biasa, penyebaran, distribusi, dan perjalanan penyakit serta kondisi. Variabel
tempat berkaitan dengan lokasi sumber penyakit secara geografis, lokasi saat
terjadinya infeksi atau terjadinya cedera dan pengklasteran kasus. Variabel manusia
(orang) perlu diselidiki dan dianalisis secara mendalam tentang banyaknya kerusakan
yang ditimbulkan penyakit tersebut pada kehidupan dan penderitaan manusia.
Variabel ini dipengaruhi oleh penyebaran, distribusi, dan perjalanan penyakit serta
kondisi. berbagai pola perilaku, berbagai keyakinan. Dalam menyebabkan
penyebaran penyakit dan meningkatkan kondisi dan kegiatan yang tidak sehat dalam
keluarga, kelompok, dan populasi, variabel manusia dipengaruhi oleh faktor pola
perilaku, berbagai keyakinan, tradisi, budaya, dan harapan sosial sampai ke suatu
tingkat yang dapat menyebabkan kematian (yang sebenarnya tidak perlu terjadi).
(Timmreck, 2004: 256)

Segitiga Epidemiologi (Skripsi dan tesis)

Epidemiologi memakai cara pandang ekologi untuk mengkaji interaksi
berbagai elemen dan faktor dalam lingkungan dan implikasi yang berkaitan dengan
suatu penyakit. Ekologi merupakan hubungan organisme, antara satu dengan lainnya.
Semua penyakit atau kondisi tidak selalu dapat dikaitkan hanya pada satu faktor
penyebab (tunggal). Jika diperlukan lebih dari satu penyebab untuk menimbulkan
satu penyakit, hal ini disebut sebagai penyebab ganda (multiple caution). Segitiga
Epidemiologi (Triad Epidemiology) yang biasa digunakan dalam penyakit menular
merupakan dasar dan landasan untuk semua bidang epidemilogi. Namun saat ini
penyakit infeksi tidak lagi menjadi penyebab utama kematian di negara industri
sehingga diperlukan model segitiga epdemiologi yang lebih mutakhir. Model ini
mencakup semua aspek dalam model penyakit menular, dan agar dapat dipakai
bersama penyebab penyakit, kondisi, gangguan, defek, dan kematian saat ini, model
ini harus dapat mencerminkan penyebab penyakit dan kondisi saat ini
Ada empat faktor epidemilogi yang sering berkontribusi dalam terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB) suatu penyakit saat ini, yaitu: (1). Peran pejamu, (2).
Agen atau penyebab penyakit, (3). Keadaan lingkungan yang dibutuhkan penyakit
untuk berkembang pesat, bertahan, dan menyebar, dan (4). Permasalahan yang
berkaitan dengan waktu
Model ini berguna untuk memperlihatkan interaksi dan ketergantungan satu
sama lainnya antara lingkungan, pejamu, agens,dan waktu. Segitiga epidemiologi
digunakan untuk menganalisis peran dan keterkaitan setiap faktor dalam
epidemiologi penyakit menular, yaitu pengaruh, reaktivitas, dan efek yang dimiliki
setiap faktor terhadap faktor lainnya.
a. Agens (faktor penyebab)
Agen adalah penyebab penyakit, bisa bakteri, virus, parasit, jamur, atau
kapang yang merupakan agen yang ditemukan sebagai penyebab penyakit infeksius.
Pada penyakit, kondisi, ketidakmampuan, cedera, atau situasi kematian lain, agen
dapat berupa zat kimia, faktor fisik seperti radiasi atau panas, defisiensi gizi, atau
beberapa substansi lain seperti racun ular berbisa. Satu atau beberapa agen dapat
berkontribusi pada satu penyakit. Faktor agen juga dapat digantikan dengan faktor
penyebab, yang menyiratkan perlunya dilakukan identifikasi terhadap faktor
penyebab atau faktor etiologi penyakit, ketidakmampuan, cedera, dan kematian. Pada
kejadian kecelakaan faktor agen dapat berupa mekanisme kecelakaan, kendaraan
yang dipakai.
b. Host (pejamu)
Pejamu adalah organisme, biasanya manusia atau hewan yang menjadi
tempat persinggahan penyakit. Pejamu memberikan tempat dan penghidupan kepada
suatu patogen (mikroorganisme penyebab penyakit) dan dia bisa saja terkena atau
tidak terkena penyakit. Efek yang ditimbulkan organisme penyebab penyakit
terhadap tubuh juga ditentukan oleh tingkat imunitas, susunan genetik, tingkat
pajanan, status kesehatan, dan kebugaran tubuh pejamu. Pejamu juga dapat berupa
kelompok atau populasi dan karakteristiknya. Seperti halnya pada kecelakaan lalu
lintas, yang menjadi host adalah manusia (pengendara maupun penumpang).
c. Lingkungan (environment)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi luar manusia
atau hewan yang menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit. Faktorfaktor
lingkungan dapat mencakup aspek biologis, sosial, budaya, dan aspek fisik
lingkungan. Lingkungan dapat berada di dalam atau di luar pejamu (dalam
masyarakat), berada di sekitar tempat hidup organisme dan efek dari lingkungan
terhadap organisme itu. Lingkungan yang berkontribusi dalam kecelakaan adalah lingkungan yang tidak aman seperti kondisi jalan, marka dan rambu jalan.
(Timmreck, 2004: 6-15)

Manfaat Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Ada tujuh manfaat epidemiologi dalam bidang kesehatan masyarakat, yaitu:
a. Mempelajari riwayat penyakit
Ilmu epidemiologi bermanfaat untuk mempelajari tren penyakit untuk
memprediksi tren penyakit yang mungkin akan terjadi. Hasil penelitian epidemiologi
tersebut dapat digunakan dalam perencanaan pelayanan kesehatan dan kesehatan
masyarakat.
b. Diagnosis masyarakat
Epidemiologi memberikan gambaran penyakit, kondisi, cedera, gangguan,
ketidakmampuan, defek/cacat apa saja yang menyebabkan kesakitan, masalah
kesehatan, atau kematian di dalam suatu komunitas atau wilayah.
c. Mengkaji risiko yang ada pada setiap individu karena mereka dapat
mempengaruhi kelompok maupun populasi.
Epidemiologi memberikan manfaat dengan memberikan gambaran faktor
risiko, masalah, dan perilaku apa saja yang mempengaruhi suatu kelompok atau
suatu populasi. Setiap kelompok dikaji dengan melakukan pengkajian terhadap
faktor risiko dan menggunakan teknik pemeriksaan kesehatan, misalnya: risiko
kesehatan, pemeriksaan, skrining kesehatan, tes kesehatan, pengkajian penyakit, dan
sebagainya.
d. Pengkajian, evaluasi, dan penelitian.
Epidemiologi memberikan manfaat dalam menilai sebaik apa pelayanan
kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan dalam mengatasi masalah dan
memenuhi kebutuhan populasi atau kelompok. Epidemiologi juga berguna untuk
mengkaji keefektifan; efisiensi; kualitas; kuantitas; akses; ketersediaan layanan untuk
mengobati, mengendalikan atau mencegah penyakit; cedera; ketidakmampuan; atau
kematian.
e. Melengkapi gambaran klinis.
Ilmu epidemiologi berguna dalam proses identifikasi dan diagnosis untuk
menetapkan bahwa suatu kondisi memang ada atau bahwa seseorang memang
menderita penyakit tertentu. Epidemiologi juga berguna untuk menentukan hubungan
sebab akibat, misalnya: radang tenggorokan dapat menyebabkan demam rematik.Identifikasi sindrom.
Dalam hal ini, ilmu epidemiologi membantu dalam menyusun dan
menetapkan kriteria untuk mendefinisikan sindrom, misalnya: sindrom down, fetal
alkohol, kematian mendadak pada bayi.
g. Menentukan penyebab dan sumber penyakit.
Temuan epidemiologi memberikan manfaat untuk memungkinkan
dilakukannya pengendalian, pencegahan, dan pemusnahan penyebab penyakit,
kondisi, cedera, ketidakmampuan dan kematian. (Timmreck, 2004: 5-6)

Ruang Lingkup dan Penerapan Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Epidemiologi dalam sejarahnya dikembangkan dengan menggunakan
epidemik penyakit menular sebagai suatu model studi dan landasannya masih seperti
pada model penyakit, metode, dan pendekatannya. Pada jaman dahulu, beberapa
epidemik setelah ditelusuri ternyata berasal dari penyebab-penyebab noninfeksius.
Pada tahun 1700, James Lind menemukan bahwa penyakit skorbut disebabkan
karena kekurangan vitamin C dalam makanan. Penyakit defisiensi gizi lainnyadihubungkan dengan kekurangan vitamin A dan vitamin D. Beberapa studi juga telah
berhasil menghubungkan keracunan timbal dengan berbagai penyakit ringan, kolik,
gout, keterbelakangan mental dan kerusakan saraf pada anak, pelukis dan pengrajin
tembikar.
Dewasa ini, epidemiologi juga telah terbukti efektif dalam mengembangkan
hubungan sebab akibat pada kondisi-kondisi noninfeksius seperti penyalahgunaan
obat, bunuh diri, kecelakaan lalu lintas, keracunan zat kimia, kanker, dan penyakit
jantung. Saat ini area epidemiologi penyakit kronis dan penyakit perilaku merupakan
cabang ilmu epidemiologi yang paling cepat berkembang.
Epidemiologi dipakai untuk menentukan kebutuhan akan program-program
pengendalian penyakit, untuk mengembangkan program pencegahan dan kegiatan
perencanaan layanan kesehatan, serta untuk menetapkan pola penyakit endemik,
epidemik, dan pandemik. (Timmreck, 2004: 4)

Tujuan Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Menurut Lilienfeld dalam buku Timmreck (2004) menyatakan bahwa ada
tiga tujuan epidemiologi, yaitu:
1. Menjelaskan etiologi (studi tentang penyebab penyakit) satu penyakit atau
sekelompok penyakit, kondisi, gangguan, defek, ketidakmampuan, sindrom,
atau kematian melalui analisis terhadap data medis dan epidemiologi dengan
menggunakan manajemen informasi sekaligus informasi yang berasal dari
setiap bidang atau disiplin ilmu yang tepat, termasuk ilmu sosial/ perilaku.
2. Menentukan apakah data epidemiologi yang ada memang konsisten dengan
hipotesis yang diajukan dan dengan pengetahuan, ilmu perilaku, dan ilmu
biomedis yang terbaru.
3. Memberikan dasar bagi pengembangan langkah-langkah pengendalian dan
prosedur pencegahan bagi kelompok dan populasi yang berisiko, dan untuk
pengembangan langkah-langkah dan kegiatan kesehatan masyarakat yang
diperlukan; yang semuanya itu akan digunakan untuk mengevaluasi
keberhasilan langkah-langkah, kegiatan, dan program intervensi.
(Timmreck, 2004: 3)

Definisi Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Epidemiologi adalah metode investigasi yang digunakan untuk mendeteksi
penyebab atau sumber dari penyakit, sindrom, kondisi atau risiko yang menyebabkan
penyakit, cedera, cacat atau kematian dalam populasi atau dalam suatu kelompok
manusia. Epidemiologi juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sifat,
penyebab, pengendalian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan
distribusi penyakit, kecacatan, dan kematian dalam populasi manusia. Ilmu ini
meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit, atau masalah
kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi, agama,
pendidikan, pekerjaan, perilaku, waktu, tempat, orang dan sebagainya. (Timmreck,
2004: 2)
Epidemiologi berfokus pada tipe dan keluasan cedera, kondisi, atau penyakit
yang menimpa suatu kelompok atau populasi, epidemiologi juga menangani faktor
risiko yang dapat memberikan dampak, pengaruh, pemicu, dan efek pada distribusi
penyakit, cacat/ defek, ketidakmampuan, dan kematian. Sebagai metode ilmiah,
epidemiologi juga digunakan untuk mengkaji pola kejadian yang mempengaruhi
faktor-faktor di atas. Subjek-subjek yang dibahas dalam epidemiologi adalah
distribusi kondisi patologi dari populasi manusia atau faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi tersebut.(Timmreck, 2004: 2)

Peran Desain dalam Penelitian (skripsi dan tesis)

Desain merupakan kerangka acuan bagi pengkajian hubungan antar-variabel. Desain mengacu pada pengukuran dan analisis; misalnya manakah yang ternasuk variabel bebes (variabel independen, prediktor, risiko, atau kausa) dan mana yang merupakan variabel tergantung (variabel dependen, variabel efek, outcome, event). Dari variabel bebeas dapat dilihat mana yang termasuk dalam variabel aktif (misalnya kebiasaan merokok), dan mana yang merupakan variabel atribut (misalnya jenis kelamin).

Beberapa hal penting yang perlu dikaji sebelum jenis desain ditentukan:

  1. Sejak awal peneliti harus menentukan apakah akan melakukan intervensi, yaitu studi intervensional (eksperimental), atau hanya melaksanakan pengamatan saja tanpa intervensi, yaitu melaksanakan studi observasional.
  2. Apabila dipilih penelitian observasional, harus ditentukan apakah akan dilakukan pengamatan sewaktu (yaitu studi cross-sectional) atau dilakukan follow-up dalam kurun waktu tertentu (studi longitudinal)
  3. Apakah akan dilakukan studi retrospektif, yaitu mengevaluasi peristiwa yang sudah berlangsung ataukah studi prospektif yaitu dengan mengikuti subyek untuk meneliti peristiwa yang belum terjadi.

Pemilihan desain bertujuan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian dengan cara yang paling efisien dan dengan hasil yang memuaskan. Hasil suatu penelitian observasional untuk mencari data awal sustu penyakit,yang sering disebut sebagai studi deskriptif , misalnya mengenai gambaran klinis  dan laboratorium suatu penyakit, dapat digunakan untuk menyusun studi analitik mengenai hubungan sebab-akibat beberapa variabel, misalnya faktor yang meningkatkan terjadinya penyakit.

Desain Penelitian (skripsi dan tesis)

Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menuntun peneliti untuk dapat memeperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Dalam pengertian yang lebih luas desain penelitian mencakup pelbagai hal yanga dilakukan peneliti, mulai dari identifikasi masalah, rumusan hipotesis, operasionalisasi hipotesis, cara pengumpulan data, samapai akhirnya analisis data. Dalam pengertian sempit desain penelitian mengacu pada jenis penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan peneltian.

Dengan demikian maka pada hakekatnya desain penelitian merupakan suatu wahana untuk mencapai tujuan penelitian,yang juga berperan sebagai rambu-rambu yang akan menentukan peneliti dalam seluruh proses penelitian. Dalam garis besar, desain penelitian mempunyai 2 kegunaan yang amat penting dalam keseluruhan proses penelitian, yakni:

  • Merupakan sarana bagi peneliti untuk memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian.
  • Merupakan alat bagi peneliti untuk dapat mengendalikan atau mengontrol pelbagai variabel yang berpengaruh atau berperan dalam suatu penelitian

Eksperimen Dalam Studi Medis (skripsi dan tesis)

 Dengan studi eksperimental, peneliti meneliti efek intervensi dengan cara memberikan berbagai level intervensi kepada subjek penelitian dan membandingkan efek dari berbagai level intervensi itu. Kelompok subjek yang mendapatkan intervensi disebut kelompok eksperimental (kelompok intervensi). Kelompok subjek yang tidak mendapatkan intervensi atau mendapatkan intervensi lain disebut kelompok kontrol. Kelompok kontrol mendapatkan intervensi kosong (plasebo, sham treatment), intervensi lama (standar), atau intervensi dengan level/ dosis yang berbeda.Dalam eksperimen, peneliti mengontrol kondisi penelitian untuk meningkatkan validitas internal, yaitu agar kesimpulan yang ditarik tentang efek intervensi memang merupakan efek yang sesungguhnya dari intervensi tersebut. Terdapat lima cara mengontrol kondisi penelitian: (1) Memberikan gradasi intervensi yang berbeda; (2) Melakukan randomisasi; (3) Melakukan restriksi; (4) Melakukan “pembutaan” (blinding); dan (5) Melakukan “intention-to-treat analysis”. Pertama, peneliti memberikan berbagai level intervensi kepada subjek penelitian agar dapat mempelajari efek dari pemberian berbagai level intervensi itu. Pendekatan ini merupakan implementasi metodologis inferensi kausal dalam kriteria kausasi Hill yang disebut “dose-response relationship” (hubungan dosisrespons). Jika perubahan level intervensi/ paparan faktor diikuti oleh perubahan efek intervensi secara proporsional menurut level intervensi, maka temuan itu menguatkan kesimpulan hubungan kausal (Ibrahim et al., 2001; Last, 2001). Kedua, peneliti menerapkan prosedur randomisasi dalam mengalokasikan (menempatkan) subjek penelitian ke dalam kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Dengan prosedur random maka hanya faktor peluang (chance) yang menentukan subjek penelitian akan terpilih ke dalam kelompok eksperimental atau kelompok kontrol, bukan kemauan subjektif peneliti. Randomisasi menyebarkan faktor-faktor perancu yang diketahui maupun tidak diketahui oleh peneliti secara ekuivalen ke dalam kelompok-kelompok studi. Dengan demikian randomisasi mengeliminasi atau mengurangi pengaruh faktor perancu. Kondisi itu merupakan karakteristik randomized controlled trial (RCT). Karena distribusi faktor perancu telah dibuat sebanding antara kelompok eksperimental dan kelompok kontrol pada posisi awal (baseline) sebelum dilakukan intervensi, maka peneliti tidak perlu mengukur variabel hasil sebelum intervensi, melainkan cukup mengukur variabel hasil setelah intervensi. Jika subjek penelitian dialokasikan ke dalam kelompok eksperimen atau kelompok kontrol tidak dengan prosedur randomisasi, maka desain studi eksperimental ini disebut eksperimen kuasi (eksperimen non-randomisasi) (Last, 2001).
 Pada eksperimen kuasi, distribusi fakktor perancu pada awal studi (sebelum intervensi) tidak sebanding. Karena itu agar mendapatkan hasil analisis efek intervensi yang benar, peneliti harus mengukur variabel hasil sebelum dan sesudah intervensi, lalu memperhitungkan posisi awal variabel hasil tersebut pada analisis data ketika membandingkan efek intervensi antara kelompok intervensi dan kontrol setelah intervensi. Ketiga, sebagai alternatif randomisasi, pengaruh faktor perancu dapat dikendalikan dengan restriksi. Dengan restriksi peneliti menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi dalam memilih subjek penelitian, sehingga semua subjek penelitian pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki level atau kategori faktor perancu yang sama. Karena level atau kategori faktor perancu sama antara kelompok eksperimental dan kelompok kontrol, maka sampai pada tingkat tertentu restriksi dapat mengontrol pengaruh faktor perancu. Meskipun demikian, satu hal perlu dicamkan. Peneliti harus paham bahwa metode restriksi untuk mengendalikan faktor perancu sesungguhnya bersifat dilematis dan kontraproduktif. Mengapa? Karena restriksi memangkas sampel potensial.

Kandidat subjek penelitian tidak jadi diteliti karena termasuk dalam kriteria eksklusi. Alasan lainnya yang lebih serius, restriksi membuat sampel yang diteliti menjadi spesifik, sehingga mempersempit kemampuan generalisasi (generalizability) kesimpulan penelitian. Dengan kata lain, restriksi mencederai validitas eksternal (external validity). Makin banyak restriksi, makin terbatas kemampuan generalisasi temuan penelitian. Di sisi lain, restriksi yang tidak cukup sempit akan meninggalkan kerancuan sisa (residual confounding) (Kleinbaum et al., 1982; Hennekens dan Buring, 1987; Rothman, 2002). Keempat, peneliti studi eksperimental perlu menerapkan “pembutaan” (blinding). Dengan pembutaan, subjek penelitian, pengamat, dan penganalisis data dibuat tidak mengetahui status intervensi subjek yang diteliti, atau status intervensi yang diberikan kepada subjek penelitian (apakah intervensi yang sesungguhnya atau plasebo/ obat standar). Pembutaan bertujuan untuk mencegah bias informasi (bias pengukuran, “information/measurement bias”). Jika subjek penelitian mengetahui bahwa dia mendapatkan intervensi yang sesungguhnya atau hanya plasebo, maka sadar atau tidak, respons subjek penelitian dapat dipengaruhi oleh pengetahuan tersebut. Demikian pula jika pengamat mengetahui hipotesis penelitian dan status intervensi subjek penelitian, maka ada kemungkinan proses pengukuran variabel, wawancara, pencatatan, dan pemasukan data, akan terpengaruh oleh hipotesis penelitian, disebut “interviewer bias” (bias pewawancara) (Hennekens dan Buring, 1987). Demikian juga jika penganalisis data mengetahui hipotesis penelitian, maka ada kemungkinan proses pemasukan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan hasil analisis akan dipengaruhi oleh hipotesis penelitian. Kelima, untuk mempertahankan efek randomisasi dalam mengontrol kerancuan, data dari RCT hendaknya dianalisis dengan “intention-to-treat analysis” (ITT). Dengan ITT, semua subjek hasil randomisasi, baik yang mematuhi protokol penelitian maupun tidak (misalnya, ketidakpatuhan minum obat), baik yang menyelesaikan intervensi maupun drop out, dilakukan analisis. Jadi hasil ITT mencerminkan hasil randomisasi dan menunjukkan efektivitas (effectiveness) intervensi ketika diterapkan pada populasi yang sesungguhnya. Pada realitas sehari-hari, karena suatu alasan tidak semua pasien minum obat dengan teratur dan tidak semua menyelesaikan waktu pengobatan sesuai dengan yang diinginkan. Jika analisis data pada keadaan seperti itu tetap menunjukkan efektivitas terapi, maka bisa disimpulkan bahwa terapi tersebut benar-benar efektif ketika digunakan pada populasi pasien yang sesungguhnya. Dalam epidemiologi dikenal eksperimen alamiah (“natural experiment”). Dengan eksperimen alamiah peneliti hanya mengamati efek intervensi yang telah diberikan oleh pihak lain, bukan oleh peneliti sendiri. Penyelidikan wabah kolera yang dilakukan John Snow di London merupakan contoh “natural experiment”. Karena peran peneliti bersifat observasional, maka “natural experiment” hakikatnya identik dengan studi kohor prospektif (Rothman, 2002).

Studi obervasional Dalam Studi Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Dengan studi observasional peneliti tidak sengaja memberikan intervensi, melainkan hanya mengamati (mengukur), mencatat, mengklasifikasi, menghitung, dan menganalisis (membandingkan) perubahan pada variabel-variabel pada kondisi yang alami. Studi observasional mencakup studi kohor, studi kasus kontrol, dan studi potong-lintang. Agar diperoleh kesimpulan yang benar secara internal (validitas internal) tentang hubungan/ pengaruh variabel, maka peneliti harus mengontrol bias dan kerancuan (confounding). Peneliti harus menghindari bias dalam memilih subjek penelitian (bias seleksi) dan bias dalam mengukur variabel (bias informasi, bias pengukuran). Kerancuan dapat dicegah pada tahap desain penelitian, yaitu (1) restriksi; (2) pencocokan, atau dikontrol pada tahap analisis data, yaitu (1) analisis berstrata, dan (2) analisis multivariat.

Desain memilih sampel Dalam Studi Epidemiologi (Skripsi dan tesis)

Desain pemilihan sampel (desain pencuplikan, sampling design) berguna untuk memperoleh sampel yang representatif tentang karakteristik populasi, atau sampel yang memungkinkan perbandingan valid kelompok-kelompok studi. Desain pemilihan sampel merupakan bagian penting dari desain studi. Kesalahan dalam memilih sampel menyebabkan bias seleksi, sehingga mengakibatkan kesimpulan yang tidak benar (tidak valid) tentang hubungan/ pengaruh variabel. Desain pemilihan sampel dibedakan menurut kriteria (1) randomness (kerandoman), dan (2) restriksi pemilihan subjek. Kriteria random membedakan dua pendekatan pemilihan sampel: (1) pemilihan sampel random (probabilitas) dan (2) pemilihan sampel non-random (non-probabilitas). Kriteria restriksi membedakan dua cara pemilihan sampel: (1) pemilihan sampel dengan restriksi; (2) pemilihan sampel tanpa restriksi. Teknik pemilihan sampel random memilih subjek penelitian dari populasi sumber berdasarkan peluang (probabilitas), bebas dari pengaruh subjektif peneliti. Setiap elemen populasi dipilih secara independen; masing-masing elemen memiliki probabilitas yang diketahui untuk terpilih ke dalam sampel. Pada pemilihan sampel random sederhana (simple random sampling, SRS), setiap elemen dari populasi memiliki peluang sama untuk terpilih ke dalam sampel. Sesuai hukum regularitas statistik, pemilihan sampel random menghasilkan sampel yang secara statistik representatif terhadap populasi (Kothari, 1990). Sebagai contoh, studi potong lintang yang bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik populasi (misalnya, meneliti prevalensi ko-infeksi TB-HIV) sebaiknya menggunakan pemilihan sampel random. Dalam studi epidemiologi analitik, lazimnya peneliti memilih sampel sesuai dengan arah pengusutan. Contoh, “fixed-exposure sampling” memilih sampel berdasarkan status paparan, sedang status penyakit bervariasi mengikuti status paparan yang “fixed” (Gerstman, 1998). Karena arah pengusutan studi kohor bersifat prospektif dari paparan ke penyakit, maka “fixed-exposure sampling” umumnya dilakukan pada studi kohor. Di pihak lain, “fixed-disease sampling” memilih sampel berdasarkan status penyakit, sedang status paparan bervariasi mengikuti status penyakit yang “fixed” (Gerstman, 1998). Karena arah pengusutan studi kasus kontrol bersifat retrospektif, maka “fixed-disease sampling” umumnya dilakukan pada studi kasus-kontrol

Data campuran Dalam Studi Epidemiologi (skripsi dan tesis)

Data campuran adalah data yang dikumpulkan sebagian berasal dari masa lalu dan sebagian berasal dari waktu yang sama dengan waktu penelitian. “Nested case control study” merupakan contoh sebuah desain studi yang menggunakan data campuran. Pada nested case-control study diidentifikasi kasus yang terjadi dari sebuah kohor. Untuk masing-masing kasus kemudian dipilihkan dan dibandingkan dengan anggota kohor yang tidak mengalami penyakit sebagai kontrol, dan memiliki tingkat faktor perancu yang sama dengan kasus (disebut matched control) (Wikipedia, 2011). Data perlu dibedakan menurut kronologi pengumpulan data. Mengapa? Pertama, jenis data menurut kronologi pengumpulan menentukan kualitas data. Pada umumnya data sewaktu lebih reliabel daripada data historis, karena validasi data bisa dilakukan langsung oleh peneliti (Gerstman, 1998). Kedua, jenis data menurut kronologi berguna untuk mengelaborasi lebih lanjut jenis desain studi. Jenis data tidak tergantung arah pengusutan. Implikasinya, desain studi yang arah pengusutannya prospektif dapat saja menggunakan data historis. Studi kohor yang menggunakan data historis disebut studi kohor historis (studi kohor retrospektif). Studi kohor yang menggunakan data sewaktu disebut studi kohor (prospektif) (Bosma et al., 1997; Okasha et al., 2002; Rothman, 2002). Sebaliknya, desain studi yang arah pengusutannya retrospektif dapat menggunakan data sewaktu. Studi kasus kontrol yang menggunakan data sewaktu disebut studi kasus kontrol prospektif. Studi kasus kontrol yang menggunakan data historis disebut studi kasus kontrol (retrospektif) (Rothman, 2002). Studi kasus kontrol yang menggunakan data historis dan data sewaktu, yakni data primer yang berasal dari studi kohor sebagai penelitian induk, disebut “nested case control study” atau “ambidirectional staudy”. Desain “nested casecontrol study” membutuhkan biaya dan upaya pengumpulan data yang lebih rendah daripada studi yang sepenuhnya menggunakan pendekatan kohor

Jenis data (skripsi dan tesis)

Berdasarkan kronologi pengumpulan data, data studi epidemiologi dapat dibedakan menjadi 3 jenis (Gerstman, 1998): (1) data sewaktu; (2) data historis; dan (3) data campuran (Gambar 3). Data sewaktu. Data sewaktu (concurrent data, contemporary data) adalah data tentang status paparan, status penyakit, dan variabel lainnya, yang dikumpulkan bersamaan dengan waktu penelitian. Karena umumnya dikumpulkan sendiri oleh peneliti maka data sewaktu sering kali merupakan data primer. Data historis. Data historis (historical data) adalah data tentang status paparan, status penyakit, dan variabel lainnya, yang dikumpulkan pada waktu sebelum dimulainya penelitian. Data historis dapat berasal dari sumber sekunder, yaitu catatan yang sudah tersedia, misalnya catatan kelahiran dan kematian, rekam medis, data sensus, survei kesehatan rumah tangga (SKRT), riwayat pekerjaan. Tetapi data historis dapat juga berasal dari sumber primer, diperoleh dari wawancara dengan subjek penelitian, keluarga, atau teman (disebut “surrogates”), untuk mengingat kembali (recall) peristiwa masa lalu.

Studi Epidemiologi Prospektif (skripsi dan tesis)

Arah pengusutan dikatakan prospektif (forward direction) jika peneliti menentukan dulu status paparan atau intervensi lalu mengikuti ke depan efek yang diharapkan. Studi epidemiologi yang bersifat prospektif adalah studi kohor dan eksperimen. Terdapat sejumlah alasan mengapa perlu membedakan arah pengusutan. Pertama, arah pengusutan suatu desain studi menunjukkan logika inferensi kausal. Sebagai contoh, salah satu kriteria Hill yang harus dipenuhi untuk menarik kesimpulan kausal tentang hubungan/ pengaruh variabel adalah sekuensi temporal. Kriteria ini menegaskan, agar dapat dikatakan kausa, maka paparan harus mendahului penyakit, atau intervensi harus mendahului variabel hasil (Ibrahim et al., 2001; Last, 2001). Sifat non-directional dari studi potonglintang menyebabkan desain studi itu kurang baik untuk digunakan memastikan hubungan kausal. Sebaliknya sifat prospektif studi kohor dan eksperimen membuat desain studi itu tepat untuk membantu memastikan hubungan kausal. Sedang sifat retrospektif dan “antilogis” dari studi kasus kontrol membuat desain studi tersebut kurang kuat dibandingkan dengan studi kohor untuk memberikan bukti kausal, meskipun lebih baik dibandingkan dengan studi potong lintang.

Kedua, arah pengusutan berimplikasi kepada kemampuan desain studi dalam menggunakan ukuran frekuensi penyakit (menunjukkan risiko terjadinya penyakit), maupun ukuran asosiasi paparan-penyakit (menunjukkan risiko relatif terjadinya penyakit). Pada studi prospektif, yaitu studi kohor dan eksperimen, peneliti mengikuti sekelompok subjek (disebut kohor) dan mengamati terjadinya penyakit atau variabel hasil yang diteliti. Dengan studi kohor dan eksperimen peneliti dapat menghitung risiko (insidensi), sehingga dapat menghitung RR (studi kohor dan eksperimen), maupun RRR, ARR, dan NNT (eksperimen). Pada studi potong lintang, karena bersifat “non-directional”, peneliti tidak bisa menghitung insidensi (kasus baru), yang menunjukkan risiko terjadinya penyakit dalam suatu periode waktu. Jadi pada studi potong lintang, peneliti tidak bisa menghitung risiko dan risiko relatif (RR). Data yang diperoleh studi potong lintang adalah prevalensi, terdiri atas kasus baru dan lama. Prevalensi adalah jumlah kasus yang ada di suatu saat dibagi dengan jumlah populasi studi. Jika prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dibagi dengan prevalensi penyakit pada kelompok tak terpapar, maka diperoleh Prevalence Ratio (PR). Demikian pula jika odd penyakit pada kelompok terpapar dibagi dengan odd penyakit pada kelompok tak terpapar, diperoleh Prevalence Odds Ratio (POR). Berbeda dengan studi kohor, pada studi kasus kontrol, peneliti tidak mengikuti suatu kohor subjek penelitian yang belum sakit ke depan, tidak mengamati terjadinya penyakit, tidak dapat menghitung insidensi (kasus baru) dalam suatu periode waktu. Pada studi kasus kontrol, peneliti menggunakan kasus-kasus yang sudah ada dan memilih kontrol (non-kasus) yang sebanding. Lalu peneliti mencari informasi status (riwayat) paparan masing-masing subjek kasus dan kontrol. Jadi pada studi kasus kontrol peneliti tidak bisa menghitung risiko dan risiko relatif (RR). Sebagai ganti risiko, pada studi kasus kontrol peneliti menggunakan odd. What is odd? Odd adalah probabilitas dua peristiwa yang berkebalikan, misalnya sakit verus sehat, mati versus hidup, terpapar versus tak terpapar. Pada studi kasus kontrol, odd pada kasus adalah rasio antara jumlah kasus yang terpapar dibagi tidak terpapar. Odd pada kontrol adalah rasio antara jumlah kontrol terpapar dibagi tidak terpapar. Jika odd pada kasus dibagi dengan odd pada kontrol, diperoleh Odds ratio (OR). OR digunakan pada studi kasus kontrol sebagai pengganti RR.

STUDI EPIDEMIOLOGI Retrospektif (skripsi dan tesis)

Arah pengusutan dikatakan retrospektif (backward direction) jika peneliti menentukan status penyakit dulu, lalu mengusut riwayat paparan ke belakang. Arah pengusutan seperti itu bisa dikatakan “anti-logis”, sebab peneliti mengamati akibatnya dulu lalu meneliti penyebabnya, sementara yang terjadi sesungguhnya penyebab selalu mendahului akibat. Studi epidemiologi yang bersifat retrospektif adalah studi kasus kontrol.

Studi Epidemiologi Non-directional (skripsi dan tesis)

Arah pengusutan disebut non-directional jika peneliti mengamati paparan dan penyakit pada waktu yang sama. Studi potong lintang (cross sectional) bersifat non-directional sebab hubungan antara paparan dan penyakit pada populasi diteliti pada satu waktu yang sama. Cara studi potong lintang meneliti hubungan antara paparan dan penyakit: (1) membandingkan prevalensi penyakit pada berbagai subpopulasi yang berbeda status paparannya; (2) membandingkan status paparan pada berbagai subpopulasi yang berbeda status penyakitnya. Frekuensi penyakit dan paparan pada populasi diukur pada saat yang sama, maka data yang diperoleh merupakan prevalensi (kasus baru dan lama), bukan insidensi (kasus baru saja), sehingga studi potong lintang disebut juga studi prevalensi, atau survei.

ASPEK KUNCI DESAIN STUDI EPIDEMIOLOGI (skripsi dan tesis)

Desain studi epidemiologi dapat dibedakan berdasarkan beberapa aspek kunci berikut (Kleinbaum et al, 1982; Kramer dan Baivin, 1987; Kothari, 1990; Gerstman, 1998): (1) Arah pengusutan; (2) Jenis data; (3) Desain pemilihan sampel; (4) Peran peneliti dalam memberikan intervensi.
Arah pengusutan Berdasarkan arah pengusutan (direction of inquiry) status paparan dan penyakit, studi epidemiologi dibedakan menjadi 3 kategori (Gerstman, 1998): (1) Non-directional; (2) Prospektif; (3) Retrospektif (Gambar 2). Non-directional.

Epidemiologi analitik (skripsi dan tesis)

Epidemiologi analitik menguji hipotesis dan menaksir (mengestimasi) besarnya hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit. Tujuan epidemiologi analitik: (1) Menentukan faktor risiko/ faktor pencegah/ kausa/ determinan penyakit, (2) Menentukan faktor yang mempengaruhi prognosis kasus; (3) Menentukan efektivitas intervensi untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi. Dua asumsi melatari epidemiologi analitik. Pertama, keadaan kesehatan dan penyakit pada populasi tidak terjadi secara random melainkan secara sistematis yang dipengaruhi oleh faktor risiko/ kausa/ faktor pencegah/ faktor protektif (Hennekens dan Buring, 1987; Gordis, 2000). Kedua, faktor risiko atau kausa tersebut dapat diubah sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan penyakit pada level individu dan populasi (Risser dan Risser, 2002).

Epidemiologi deskriptif (skripsi dan tesis)

Epidemiologi deskriptif mendeskripsikan distribusi penyakit pada populasi, berdasarkan karakteristik dasar individu, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, kelas sosial, status perkawinan, tempat tinggal dan sebagainya, serta waktu. Epidemiologi deskriptif juga dapat digunakan untuk mempelajari perjalanan alamiah penyakit. Tujuan epidemiologi deskriptif: (1) Memberikan informasi tentang distribusi penyakit, besarnya beban penyakit (disease burden), dan kecenderungan (trend) penyakit pada populasi, yang berguna dalam perencanaan dan alokasi sumber daya untuk intervensi kesehatan; (2) Memberikan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit; (3) Merumuskan hipotesis tentang paparan sebagai faktor risiko/ kausa penyakit Contoh, case series merupakan studi epidemiologi deskriptif tentang serangkaian kasus, yang berguna untuk mendeskripsikan spektrum penyakit, manifestasi klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case series banyak dijumpai dalam literatur kedokteran klinik. Tetapi desain studi ini lemah untuk memberikan bukti kausal, sebab pada case series tidak dilakukan perbandingan kasus dengan non-kasus. Case series dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis yang akan diuji dengan desain studi analitik. Case report (laporan kasus) merupakan studi kasus yang bertujuan mendeskripsikan manifestasi klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case report mendeskripsikan cara klinisi mendiagnosis dan memberi terapi kepada kasus, dan hasil klinis yang diperoleh. Selain tidak terdapat kasus pembanding, hasil klinis yang diperoleh mencerminkan variasi biologis yang lebar dari sebuah kasus, sehingga case report kurang andal (reliabel) untuk memberikan bukti empiris tentang gambaran klinis penyakit. Studi potong-lintang (cross-sectional study, studi prevalensi, survei) berguna untuk mendeskripsikan penyakit dan paparan pada populasi pada satu titik waktu tertentu. Data yang dihasilkan dari studi potong-lintang adalah data prevalensi. Tetapi studi potong-lintang dapat juga digunakan untuk meneliti hubungan paparan-penyakit, meskipun bukti yang dihasilkan tidak kuat untuk menarik kesimpulan kausal antara paparan dan penyakit, karena tidak dengan desain studi ini tidak dapat dipastikan bahwa paparan mendahului penyakit.

Penelitian eksperimental Dalam Medis (skripsi dan tesis)

 Studi eksperimental, sering pula disebut studi intervensional, adalah salah satu rancangan penelitian yang dipergunakan untuk mencari hubungan sebab-akibat. Dibandingkan dengan studi observasional, studi eksperimental ini mempunyai kapasitas asosiasi yang lebih tinggi. Simpulan adanya hubungan sebab akibat pada studi observasional, baik studi cross sectional, studi kasus-kontrol, maupun kohort hanya sampai pada tingkatan dugaan atau dugaan kuat dengan landasan teori atau telaah logis. Pada penelitian eksperimental asosiasi sebab-akibat yang diperoleh lebih tegas dan lebih nyata, sehingga simpulan yang diperoleh pun lebih definitif daripada yang diperoleh dari studi observasional. Namun studi eksprimental ini pada umumnya mahal dan pelaksanaannya rumit, sehingga penggunaannya lebih terbatas. Di klinik, studi eksperimental sering dilakukan, yang didominasi oleh uji klinis untuk menilai efek terapeutik obat atau prosedur pengobatan. Di lapangan, studi eksperimental dilakukan dalam bentuk intervensi komunitas, misalnya penelitian tentang pengaruh penyuluhan pembersihan air tergenang di sekitar rumah terhadap insidens demam berdarah dengue di suatu daerah.
Di laboratorium studi eksperimental juga sering dilakukan, termasuk penelitian dengan hewan coba. Di antara ketiganya, kondisi yang ideal dapat dibuat di laboratorium, di klinik sampai batas tertentu lingkungan penelitian dapat dibuat mendekati ideal, sedangkan di lapangan studi intervensi dilakukan atas dasar keadaan faktual di masyarakat. Perbedaan tersebut tentu membawa pengaruh terhadap tingkat kepercayaan kita terhadap hasil masing-masing studi. Studi eksperimental juga mempunyai tingkatan atau gradasi, mulai dari studi pra eksperimental (pre-experimental), studi kuasi – eksperimental (quasi experimental), dan studi eksperimental benar (true experimental). Pembaca yang  berminat dapat mempelajarinya dalam buku Campbell & Stanley yang kini menjadi rujukan klasik.