Perlindungan kerja bertujuan untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Untuk ini pengusaha wajib melaksanakan ketentuan perlindungan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lingkup perlindungan terhadap pekerja atau buruh menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, meliputi :
- Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja atau buruh untuk berunding dengan pengusaha;
- Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
- Perlindungan khusus bagi pekerjaatau buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat; dan
- Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja.
Secara yuridis dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Sedangkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, mewajibkan para pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja atau buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Perlindungan tenaga kerja menjadi dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
- Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya.
- Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
- Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.[1]
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam upaya melindungi atau melarang perlu diperhatikan yaitu ada 2 (dua) aspek:
- Tenaga kerja itu sendiri.
- Faktor yang terdapat dalam sistem kerja yaitu:
- Hubungan kerja perlu ditelusuri bentuk hubungan kerja:
- hubungan kerja tetap
- hubungan kerja tidak tetap atau tidak menentu
- hubungan kerja ilegal seperti kerja paksa, tergadai atau dijual, dan
- hubungan kerja diskriminatif yaitu hubungan kerja yang perlu diklarifikasi sehingga jelas, bila tidak dapat perlu diupayakan agar hubungan kerja diberhentikan.
- Pengupahan
Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, meliputi :
- a) upah minimum;
- b) upah kerja lembur;
- c) upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
- d) upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain
- e) diluar pekerjaannya;
- f) bentuk dan cara pembayaran upah;
- g) denda dan potongan upah;
- h) hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
- i) struktur dan skala pengupahan yang proposional;
- j) upah untuk pembayaran pesangon;
- k) upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
- Pekerjaan yang dilakukan
Pekerjaan yang dilakukan dapat merugikan seseorang apabila pekerjaan itu membebani fisik maupun mentalnya, dikerjakan tanpa pengamanan dan atau pelindung, dalam lingkungan yang tidak higienis, tidak tersedianya fasilitas kesejahteraan, termasuk kesempatan untuk berkosulatasi. Untuk lebih meringankan beban tenaga kerja perlu dilakukan penataan lingkungan kerja yang lebih baik, lebih higienis dan pengadaan fasilitas kesejahteraan.
- Lingkungan kerja
Untuk menghindari bahaya karena lingkungan kerja, perlu diperhatikan dan diupayakan:
- (a) Faktor fisik : tingkatkan penyimpangan dan penaganan bahan, tingkat kompleks kerja, terajukan prinsip-prisip keamanan mesin produktif, tingkatkan ventilasi umum dan lokal, pencahayaan, cegah bising dan getaran.
- (b) Faktor kimia : bahwa tenaga kerja sebaiknya hindarkan bekerja dengan bahan kimia, tingkatkan lingkungan kerja dan kondisi kerja, terapkan prinsip-prinsip penanganan bahan berbahaya.
- (c) Faktor biologi : hindarkan, lindungi dari kemungkinan konta
- (d) Faktor fisiologik : tingkatkan ergonomik untuk menempatkan bahan, alat, dan tombol pada tempat yang mudah dijangkau, perbaiki posisi kerja, gunakan alat bantu untuk hemat waktu dan energi.
Peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat yang ditunjuk. Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan tentang peraturan perusahaan kepada tenaga kerja. Perlindungan buruh dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam peraturan perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan Hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosilogis dan filosofis.[2]
Menurut Kartasapoetra, yang dimaksud dengan Buruh adalah buruh adalah para tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dimana tenaga kerja tersebut harus tunduk pada perintah-perintah kerja yang diadakan oleh pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab atas lingkungan perusahaannya yang mana tenaga kerja itu akan memperoleh upaya dan jaminan hidup lainnya yang wajar.[3]
Sedangkan istilah pengusaha menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 adalah:
- Orang atau badan hukum yang menjalankan suatu usaha milik sendiri untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja.
- Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu bukan miliknya dari untuk orang lain.
- Orang atau badan hukum yang di Indonesia memiliki orang atau badan hukum termaksud pada a dan b.
Adapun tujuan perburuhan Indonesia adalah meningkatkan taraf hidup layak, syarat-syarat kerja, upah yang memuaskan serta kesempatan kerja kerja yang cukup memadai bagi tenaga kerja pada umumnya