- Perlindungan Hukum Preventif
Setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh wajib pajak pasti akan menimbulkan konsekuensi bagi wajib pajak itu sendiri, tidak terkecuali dalam pelunasan PPh, yang mana secara formil pembayaran PPh tersebut masih dalam ruang lingkup Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER -26/PJ/2014, sehingga terdapat tata cara penerimaan pajak melalui ke-empat cara yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada setiap transaksi atau setiap pelunasan PPh, wajib pajak akan mendapatkan tanda bukti pelunasan PPh yang mana berdasarkan pasal (1) angka 26 Permenkeu Nomor 242/PMK.03/2014 Surat Setoran Pajak atau SSP merupakan bukti pembayaran pajak dengan menggunakan formulir, lalu berdasarkan pasal 15 ayat (1) Permenkeu nomor 242/PMK.03/2014 menjelaskan bahwa BPN merupakan bukti pembayaran pajak secara elektronik, dari sini terlihat bahwa terdapat dua jenis bukti pembayaran pajak, akan tetapi berdasarkan pasal 3 ayat (3) huruf d Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor Per -26/PJ/2014 BPN diterbitkan dalam bentuk teraan BPN pada SSP, sehingga teraan BPN pada SSP inilah yang diakui sebagai bukti pembayaran pajak.
Berdasarkan pasal 19 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan nomor 32/PMK.05/2014 menjeleaskan bahwa pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada BPN, pasal ini mempertegas bahwa BPN merupakan bukti pelunasan kewajiban pembayaran pajak dalam hal ini PPh. Payung hukum untuk melindungi wajib pajak yang telah melakukan pembayaran PPh dengan cara cessie adalah Bukti Penerimaan Negara atau yang dikenal dengan nama BPN melalui pasal tersebut.
Pada permenkeu Nomor 32/PMK.05/2014 dijelaskan mengenai BPN (Bukti Peneriman Negara) sebagai bukti pelunasan pajak lalu wujud BPN dijelaskan melalui pasal 3 ayat 3 huruf a,b,c,d Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER -26/PJ/2014 yaitu :
1) Dokumen bukti pembayaran yang diterbitkan Bank/Pos Persepsi, untuk pembayaran/penyetoran melalui Teller dengan Kode Billing;
2) Struk bukti transaksi, untuk pembayaran melalui ATM dan EDC
3) Dokumen elektronik, untuk pembayaran/penyetoran melalui internet banking
4) Teraan BPN pada SSP, untuk pembayaran melalui Teller Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan SSP
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat hal diatas adalah bentuk BPN yang sah dan juga sekaligus sebagai perlindungan hukum preventif bagi wajib pajak yang melakukan pelunasan PPh
- Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif adalah suatu perlindungan hukum yang ditempuh apabila telah terdapat keputusan pemerintah dan telah memberikan akibat hukum, dimana akibat hukum ini memicu terjadinya suatu sengketa. sehingga perlindungan hukum represif memilki tujuan untuk menyelesaikan sengketa. Walaupun pemerintah bersikap hati-hati dalam mengeluarkan keputusan bisa saja terjadi suatu keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi rakyat, sehingga perlindungan hukum represif sangat diperlukan untuk melindungi hak dan pelaksanaan kewajiban saat telah terjadi sengketa.[1]
Dalam hal ini yang akan dibahas adalah perlindungan hukum bagi wajib pajak ketika fiskus menilai bahwa tidak terdapat pembayaran PPh dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk selanjutnya disebut SKPKB oleh fiskus, akan tetapi wajib pajak telah melakukan pembayaran PPh.
Berdasarkan pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 wajib pajak dapat mengajukan keberatan terhadap SKPKB kepada Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan pada ayat 3 pasal yang sama menjelaskan bahwa batas waktu pengajuan keberatan adalah 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), lalu pada ayat (3a) pasal yang sama menjelaskan bahwa wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Kemudian pada ayat (9) pasal yang sama menjelaskan bahwa Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan, akan tetapi jika terhadap keputusan keberatan dilakukan banding maka denda denda sebesar 50% (lima puluh persen) tidak berlakukan menurut ayat (10) pasal yang sama.
Berdasarkan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan, kemudian pada ayat (3) menjelaskan bahwa Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar, kemudian pada ayat 5 menjelaskan apabila dalam jangka 12 bulan tanggal surat keberatan diterima direktur jendral pajak tidak mengeluarkan keputusan maka dianggap mengabulkan keberatan wajib pajak.
Berdasarkan pasal 27 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 terhadap keputusan keberatan dapat dilakukan upaya banding ke pengadilan pajak, berdasarkan pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 definisi banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Pada pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menjelaskan bahwa73:
1) Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.
2) Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima keputusan yang dibanding.
3) Pada Surat Banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding.
4) Banding hanya dapat diajukan jika jumlah yang terutang dimaksud telah terbayar sebesar 50% (lima puluh persen)
Berdasarkan pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menjelaskan bahwa yang memiliki hak mengajukan banding adalaj wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa hukumnya atau pengampunya dalam hal pemohon banding pailit. Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan (pemekaran) usaha likuidasi dimaksud. [3]
Berdasarkan ketentuan pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu sebagaimana pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Berdasarkan pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menjelaskan bahwa surat banding yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dapat ditarik kembali dalam pencabutan berdasarkan surat pernyataan pencabutan kepada pengadilan pajak. Pencabutan surat banding dapat dilakukan oleh pembanding atau kuasa hukum pembanding karena : [4]
1) Surat banding itu mengandung cacat yuridis sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan alat bukti yang ada.
2) Adanya perdamaian yang terjadi antara pembanding dan terbanding.
3) Telah dikabulkannya tuntutan pembanding seperti yang tercantum dalam surat bandingnya.
Berdasarkan pasal 27A ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Apabila permohonan banding atas SKPKB dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) dengan ketentuan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding.
Bukti Penerimaan Negara merupakan alat bukti pelunasan pajak PPh, akan tetapi dengan berlakunya pasal (3) ayat 6 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER -26/PJ/2014 maka kekuatan pembuktikan BPN menjadi terbantahkan, atas peraturan kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur Jendral Pajak tersebut, terdapat suatu perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan. Terdapat dua cara untuk meninjau kembali peraturan kebijakan, yaitu dengan judicial review dan executive review.
Executive review dapat dilakukan oleh pejabat tata usaha negara atas dasar asas contrarius actus (siapa yang membuat aturan, dia yang berhak mencabut), akan tetapi menurut Nalle tidak hanya pembuat peraturan kebijakan tersebut yang boleh melakukan executive review melainkan lembaga yang secara struktural berada diatas pembuat peraturan kebijakan berhak melakukan executive review atas peraturan kebijakan yang dibuat oleh lembaga yang secara struktural berada dibawahnya. Menurut Nalle untuk melakukan executive review tidak terbatas pada peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau tidak melainkan juga dapat diuji dengan Asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB) dan asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik. Dalam hal ini Kementrian Keuangan dapat melakukan executive review atas Peraturan Direktur Jendral Pajak, karena berdasarkan sturktur lembaga Dierktorat Jenderal Pajak dibawah Menteri Keuanngan. Dalam hal ini terdapat pertentangan peraturan pada pasal (3) ayat 6 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER -26/PJ/2014 bertentangan dengan peraturan diatasnya yaitu pasal 19 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 dan berlaku asas lex superiori derogat lege inferiori yaitu peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga dapat dismpulkan bahwa Kementrian Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak dapat mencabut peraturan kebijakan tersebut.
Berdasarkan Nalle untuk melihat dapat atau tidaknya peraturan kebijakan dapat dialukan uji materil di Mahkamah Agung maka peraturan kebijakan tersebut harus dicermati, peraturan kebijakan tersebut bersifat materiil atau formil. Peraturan kebijakan materiil melihat peraturan kebijakan sebagai implementasi dari wewenang bebas atau diskresi oleh badan atau pejabat Administrasi. Seringkali peraturan yang dibentuk dalam menjalankan wewenang bebeas tersebut justru dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi inilah suatu peraturan dapat disebut sebagai peraturan kebijakan materiil. Sedangkan kebijakan formil adalah peraturan kebijakan yang selama ini dikenal dalam konsep aslinya, baik dalam hal substansi kekuatan mengikat, dan nomenklaturnya.
Berdasarkan pasal 24 A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, lalu pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 pada pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang dapat diuji oleh Mahkama Agung adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum dibawah undang-undang. Menurut Nalle pengujian peraturan kebijakan oleh MA cukup dibatasi pada peraturan kebijakan materiil saja, karena jika MA dapat menguji peraturan kebijakan yang bersifat formil akan mengaburkan perbedaan antara peraturan kebijakan dan peraturan perundang-undangan.[5]
Dalam hal ini pembentukan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER – 26/PJ/2014 merupakan suatu perintah dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, Sehingga bentuk dari peraturan kebijakan ini adalah berbentuk peraturan perundang-undangan, yang mana dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut bersifat mengatur (regelend), sifat mengatur pada peraturan kebijakan ini dapat dilihat dari substansi peraturan tersebut yang memberikan pengaturan yang lebih rinci terhadap sistem pembayaran pajak secara elektronik yang sebelumnya diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014. Menurut Nalle ciri-ciri dari peraturan kebijakan yang bersifat materiil adalah dibentuk atas dasar diskresi, berbentuk peraturan perundang-undangan dan bersifat mengatur (regelend).Sehingga wajib pajak yang telah membayar atau melunasi utang pajak penghasilan dapat menggunakan perlindungan hukum dengan mekanisme keberatan dan banding.