Analisis Perlindungan Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia (skripsi dan tesis)

Sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya bahwa, pembaharuan hokum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy). Hakikat pembaharuan hokum pidana menurut Barda yakni, “Mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hokum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal, dan kebijakan penegakan hokum di Indonesia”.[1]

Lebih lanjut Barda jelaskan: “pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan (policy), karena merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy), serta dalam kebijakan itu sendiri terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pendekatan yakni kebijakan dan nilai. Untuk jelasnya sebagai berikut:

  1. Pendekatan Kebijakan ada 3 (tiga) klasifikasi yaitu:

1)      Sebagai bagian dari kebijakan sosial yakni untuk mengatasi masalah-masalah sosial.

2)      Sebagai bagian dari kebijakan kriminal yakni upaya perlindungan masyarakat.

3)      Sebagai bagian dari kebijakan hukum yakni, memperbaiki substansi hukum.

  1. Pendekatan Nilai yakni, pembaharuan hokum pidana hakikatnya merupakanupaya melakukan peninjauan dan penelitian kembali (reorientasi dan reevaluasi), nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan substantive hokum pidana yang dicita-citakan”.[2]

Berdasarkan pemaparan Barda di atas, dapat penulis simpulkan bahwa, pembaharuan hukum pidana sebagai manifestasi untuk menanggulangi tindak kejahatan harus berorientasi tidak hanya kuantitas perundang-undangannya (legal reform) melainkan berorientasi pada kualitas atau nilai-nilai extra legal masuk ke dalamnya (law reform), dengan kata lain, usaha mengurangi meningkatnya tindak pidana baik secara kuantitas maupun secara kualitas yang selama ini fokus perhatiannya hanya tertuju pada upaya-upaya bersifat teknis. Disamping itu, di dalam penegakan hokum pidana adanya pandangan bahwa, korban hanya berperan sebagai instrument pendukung dalam mengungkap kebenaran materiil yakni sebagai saksi belaka.

Sejalan dengan itu, Kholiq memaparkan: “Konsep baru tentang tindak pidana harus dengan adanya kesadaran / keinginan untuk merancang bangun ruang hukum pidana ke dalam konsep monodualistik yakni perhatiannya tidak hanya kepada pelaku, namun kepada masyarakat”. [3]

Berdasarkan pemaparan Kholiq di atas dapatlah penulis simpulkan bahwa, pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy) itu tidak hanya focus pada offender melainkan kepada korban dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya apa yang tercantum pada pasal 5 angka (1) mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban terutama dalam hal adanya perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.mendapatkan informasi berupa perkembangan kasus yang dialaminya dalam proses persidangan hingga putusan hakim dari pengadilan, mengetahui terpidana dibebaskan, dan memperoleh kompensasi, restitusi, dan jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial. Dengan demikian, pembaharuan hokum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy) akan kembali pada nilai filosofi dasarnya yakni, Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. [4]

Hal di atas didasari paradigma dasar bahwa korban tindak pidana pelecehan sexsual adalah pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G ayat (1). Oleh karena itu negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi, serta jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial kepada korban tindak pidana pelecehan sexsual.