Hakim dalam menjatuhkan pidana memperhitungkan sifat perbuatan pidana dan keadaan si pembuat serta perkembangan konsepsi individualisasi pidana sebagai pengaruh dari kriminologi yang mendorong adanya perhatian terhadap pribadi terdakwa sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Konsep inilah yang sering dinamakan sistem dua jalur (Twintrack system) dimana individualisasi pidana juga dipertimbangkan (Punishment should fit the criminal). 2 Tujuan pemidanaan yang memperhatikan individualisasi ini dalam penjelasan Pasal 51 Rancangan Konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKKUHP) 2005 secara tegas menentukan bahwa[1] :
(1) Pemidanaan bertujuan untuk :
- Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
- Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikan orang yang baik dan berguna;
- Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
- Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, memandang perlu adanya pengawasan dan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan sebagai berikut :
- Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa;
- Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan tersebut ayat (1) oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.
Hal ini menegaskan bahwa untuk mendapatkan jaminan bahwa putusan pengadilan tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya, Ketua Pengadilan yang bersangkutan mengawasi pelaksanaan tersebut. Ketentuan tentang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan diatur pula dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tangggal 31 Desember 1981 Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) yang menggantikan Het Herzien Indonesisch Reglement yang disingkat dengan HIR (S. 1941-44 jo. S. 1948-224) yaitu Bab XX tentang Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, Pasal 277 sampai dengan Pasal 283.[2]
Bab XX KUHAP mengatur kewenangan Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud oleh Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman didelegasikan kepada hakim yang disebut dengan Hakim Pengawas dan Pengamat (KIMWASMAT) sebagaimana diatur dalam Pasal 277 KUHAP sampai dengan Pasal 283 KUHAP. Selain itu di dalam KUHAP dan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengaturan tentang Hakim Pengawas dan Pengamat juga diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tanggal 11 Februari Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat. Tugasnya adalah mengontrol pelaksanaan putusan pengadilan (pidana penjara dan kurungan) semenjak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sampai selesai pelaksanaanya, dengan wewenangnya mengoreksi secara langsung aparat yang melalaikan atau menyimpang dari putusan yang telah dijatuhkan.
Dalam kaitannya dengan tugas pengawasan dan pengamatan menurut Poernomo, kemanfaatan yang paling utama dalam peraturan Bab XX KUHAP bukan terletak pada tugas pengawasannya, akan tetapi terletak pada tugas pengamatannya sebagai bahan penelitian hasil guna penjatuhan pidana. Alasan yang diberikannya adalah, hakim dalam tugas khusus ini turut melakukan pendekatan secara langsung, agar dapat mengetahui sampai di mana hasil baik atau buruknya pada diri narapidana atas putusan hakim yang bersangkutan. Usaha pendekatan dari hakim ini akan menambah kemampuan di bidang hukum penitensier dan pengenalan atas penerapan penologi sehingga hakim tidak lagi sekedar tukang putus hukuman tanpa ikut memikirkan manfaat putusannya. [3]