Pelaksanaan Diskresi Pada Kepolisian Negara RI (skripsi dan tesis)

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memeliahara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam melaksanakan tugas di lapangan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sering dihadapkan pada situasi, kondisi atau permasalahan yang mendesak, sehingga perlu melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dengan berdasarkan pertimbangan sendiri namun tetap tidak melanggar peraturan (disebut sebagai diskresi). Pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan tetap menghormati/menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Diskresi meskipun dapat dikatakan suatu kebebasan dalam mengambil keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Diskresi itu disamakan begitu saja dengan kesewenang-wenangan untuk bertindak atau berbuat sekehendak hati polisi. Tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada prinsip moral dan prinsip kelembagaan, sebagai berikut[1]:

  1. prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.
  2. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.

Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama di dalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh di dalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau arogansi petugas yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif.

Menurut Satjipto Raharjo[2] , tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:

  1. Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
  2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
  3. Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar.
  4. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak

Berdasarkan uraian di atas maka  langkah kebijaksanaan yang diambil oleh polisi itu. Biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut[3]:

  1. Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan hukum positif yang berlaku.
  2. Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban dan masyarakat.
  3. Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada semata-mata menggunakan hukum positif yang ada.
  4. Atas kehendak mereka sendiri.
  5. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum Adanya diskresi kepolisian akan mempermudah polisi di dalam menjalankan tugasnya, terutama pada saat penyidikan di dalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.

Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, prinsip-prinsip penggunaan kekuatan sebagai batas dalam tindakan kepolisian (diskresi) adalah:

  1. Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku
  2. Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi
  3. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon

Aparat kepolisian sebagai bagian dari administrasi publik harus melaksanakan diskresi sebgai bagian untuk mewujudkan pelayanan ke masyarakat sebaik-baiknya, dengan berpegangan pada  paradigm “The New Public Service”  yang diuraikan sebagai berikut:

  1. Melayani warga masyarakat bukan pelanggan (serve citizen, not customers)
  2. Mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest)
  3. Lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship)
  4. Berpikir strategis dan bertindak demokratis (think strategically, act democratically)
  5. Menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah (recognize that accountability is not simple)
  6. Melayani daripada mengendalikan (serve rather than steer)
  7. Menghargai orang bukan produktivitas semata (value people, not just productivity) anggota polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/ penderitaan yang berlebihan
  8. Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum
  9. Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan
  10. Masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahaya terhadap masyarakat.