Definisi culture shock pertama kali dikemukakan oleh Oberg yang mendefinisikan culture shock sebagai kecemasan yang timbul akibat hilangnya sign dan simbol hubungan sosial yang familiar. Gambaran culture shock lainnya di kemukakan oleh Gudykunst dan Kim (2003) yang mengatakan bahwa pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata budaya yang mengatur dan membentuk kepribadian dan perilakunya. Ketika individu dipisahkan dari budayanya, baik secara fisik maupun psikis, dan menghadapi kondisi yang berbeda atau bertolak belakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya sebelumnya maka pada saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan sistem kontrol dari budayanya yang selam ini tersembunyi. Defnisi lain tentang culture shock dikemukakan oleh Pedersen (1993) yang mendefinisikan culture shock sebagai proses penyesuaian awal pada lingkungan sosial yang tidak familiar. Selain dari pada itu Samovar (2010) mengatakan bahwa reaksi culture shock bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula, reaksi-reaksi yang terjadi dalam culture shock adalah benci terhadap lingkungan sosial yang baru, mengalami disorientasi diri, rasa penolakan, gangguan lambung dan sakit kepala, rindu lingkungan sosial yang lama, merasa kehilangan status dan pengaruh sosial, menarik diri dan menganggap orang-orang dalam budaya baru tidak peka. Harris dan Moran (dalam Rakhmat, 2005) mengatakan bahwa culture shock adalah trauma umum yang dialami seseorang dalam suatu budaya yang baru dan berbeda karena ia harus belajar dan mengatasi begitu banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nilai budaya dan pengharapan budayanya yang lama tidak lagi sesuai. Culture shock sangat identik dengan fenomena memasuki budaya baru seperti lingkungan sekolah atau universitas yang baru, lingkungan kerja baru, atau keluarga besar baru yang dimasuki lewat perkawinan. Bila perbedaan budaya tidak terlalu besar dan kita mempunyai kepribadian yang positif, seperti tegar dan toleran, kita mungkin tidak akan mengalamai gegar budaya yang berarti. Sebaliknya, bila perbedaan budaya bersifat ekstrem, sementara kita lemah, penakut, dan kurang percaya diri, kemungkinan besar kita akan mengalami gegar budaya. Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri