Menurut Sincalir (Hadi Sabari Yunus 2002, dalam Ernawati 2005), nilai tanah dibagi ke dalam dua tipe yang berbeda, yaitu nilai tanah pertanian yang dikaitkan dengan usaha – usaha dalam bidang pertanian dan nilai tanah spekulatif sebagai akibat adanya derajad antisipasi terhadap perluasan fisik kota yang meningkat pada areal yang bersangkutan sehingga penentuan besarnya nilai tanah selalu dikaitkan dengan kepentingan non agraris. Karena gejala perluasan kota dianggap sebagai sesuatu yang berjalan terus, walau lambat namun pasti, maka para petani mempunyai penilaian bahwa nilai tanah yang mendekati kota mempunyai nilai spekulasi yang semakin tinggi. Menurut Von Thunen, dalam Haris, ketersediaan infrastruktur (termasuk di dalamnya sarana dan prasarana perhubungan) di kawasan perkotaan juga memiliki hubungan yang positif dan efek saling ketergantungan dengan nilai tanah. Dengan adanya infrastruktur, menyebabkan nilai tanah menjadi lebih tinggi, sebaliknya proyek infrastruktur juga urung dilaksanakan jika harga tanah yang menjadi calon lokasi harganya terlalu mahal. Menurut Chapin (Sri Purwati 1999, dalam Ernawati 2002), pola dan struktur nilai tanah kota dikemukakan sebagai berikut :
1. Pusat wilayah perdagangan atau CBD (Central Business District) mempunyai nilai tanah tertinggi dibandingkan dengan wilayah – wilayah lain.
2. Pusat wilayah kerja dan pusat perkotaan yang terletak disekeliling perbatasan pusat kota mempunyai nilai tanah tertinggi setelah CBD.
3. Di luar dari kawasan tersebut, terdapat kawasan perumahan dengan nilai tanah yang semakin jauh dari pusat kota semakin berkurang nilai tanahnya.
4. Pusat – pusat pengelompokan industri dan perdagangan yang menyebar mempunyai nilai tanah yang tinggi dibanding dengan sekelilingnya, dimana biasanya kawasan ini dikelilingi perumahan.