Nilai capaian akhir Program dapat dihitung dengan rumus :
NCAP =
Selanjutnya nilai capaian program diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh nilai capaian akhir program pada jumlah nilai capaian untuk kebijaksanaan.
Olah Data dan Pendampingan Penyusunan Artikel Ilmiah
Nilai capaian akhir Program dapat dihitung dengan rumus :
NCAP =
Selanjutnya nilai capaian program diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh nilai capaian akhir program pada jumlah nilai capaian untuk kebijaksanaan.
Penetapan capaian kinerja dimaksudkan untuk mengetahui dan menilai capaian indikator kinerja dari pelaksanaan kegiatan/program dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh suatu instansi pemerintah. Pencapaian indikator-indikator kinerja tersebut tidak terlepas dari proses yang merupakan kegiatan mengolah input menjadi output, atau proses penyusunan kebijaksanaan/program/kegiatan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan.
Formula yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metoda akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Metode ini menggunakan alat analisis sebagai berikut.
Indikator kinerja yang digunakan adalah indikator masukan (input), indikator keluaran (output), indikator hasil (outcome), indikator manfaat (benefit) dan indikator dampak (impacts) capaian indikator kinerja dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (LAN dan BPKP, 2000).
Nilai capaian kegiatan = x 100%
Nilai capaian indikator kinerja kegiatan dapat diperoleh dengan menggunakan rumus;
Nilai capaian
Indikator kinerja =
Nilai capaian kel.
indik.kinerja =
Nilai capaian
Akhir kegiatan =
Nilai capaian
Akhir Program =
Penentuan bobot dilakukan secara subyektif yang didasarkan pada visi, misi dan strategi pembangunan daerah. Bobot kegiatan ditentukan sehingga jumlah nilai capaian program adalah seratus persen. Dengan menggunakan alat-alat analisis di atas kemudian dapat dibuat kesimpulan hasil evaluasi dengan menggunakan skala pengukuran kinerja. Skala pengukuran kinerja yang digunakan adalah skala pengukuran ordinal yang dibuat sesuai dengan pertimbangan masing-masing instansi pemerintah mengikuti pola Tim Asistensi Pelaporan Akuntansi Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yaitu :
|
Untuk memudahkan penentuan bobot perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Penetapan indikator kinerja merupakan proses identifikasi dan klasifikasi indikator kinerja melalui sistem pengumpulan dan pengolahan data/informasi untuk menentukan capaian tingkat kinerja kegiatan/program. Penetapan indikator kinerja tersebut didasarkan pada kelompok masukan, keluaran, hasil, manfaat dan dampak, serta indikator proses jika diperlukan
Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja.
Ada beberapa jenis indikator kinerja yang sering digunakan dalam pelaksanaan pengukuran kinerja suatu organisasi.
Untuk dapat melaksanakan pengukuran kinerja yang baik harus didukung dengan sistem informasi dan pelaporan yang memadai. Selama ini di Indonesia sistem akuntansi yang digunakan oleh pemerintah masih berdasarkan single entry, sehingga belum dapat menyajikan laporan keuangan secara lengkap. Selain itu penggunaan cash basis sebagai dasar pencatatan tidak memungkinkan dilakukannya penilaian kinerja secara memadai (Baridwan, 2000:3).
Akuntabilitas kinerja sebagai salah satu media pertanggungjawaban dari suatu pemerintah daerah pada dasarnya adalah merupakan perwujudan kewajiban suatu pemerintah daerah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan atau kegagalan dalam pelaksanaan visi dan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja mempunyai makna ganda yaitu pengukuran kinerja sendiri dan evaluasi kinerja, di mana kedua hal tersebut terlebih dahulu harus ditentukan tujuan dari suatu program secara jelas. Pengukuran kinerja merupakan jembatan antara perencanaan strategik dengan akuntabilitas sehingga suatu pemerintah dapat dikatakan berhasil jika terdapat indikator-indikator atau ukuran-ukuran capaian yang mengarah pada pencapaian misi. Teknik dan metode yang digunakan dalam menganalisis kinerja kegiatan yang pertama-tama dilakukan adalah dengan melihat sejauh mana adanya kesesuaian antara program dan kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam perencanaan strategik pemerintah daerah yang bersangkutan.
Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, perencanaan strategik merupakan langkah awal untuk melaksanakan mandat. Perencanaan strategik instansi pemerintah memerlukan integrasi antara keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan lingkungan. Analisis terhadap lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal merupakan langkah yang sangat penting dalam memperhitungkan kekuatan (strengths), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan tantangan/kendala (threats) yang ada. Analisis terhadap unsur-unsur tersebut sangat penting dan merupakan dasar bagi perwujudan visi dan misi serta strategi instansi pemerintah (LAN dan BPKP, 2000: 44).
Dengan demikian perencanaan strategik yang disusun oleh suatu instansi pemerintah harus meliputi: 1) pernyataan visi, misi strategi, dan faktor-faktor keberhasilan organisasi, 2) rumusan tentang tujuan dan sasaran serta uraian aktivitas organisasi, dan 3) uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Dengan memiliki visi, misi, dan strategi yang jelas maka diharapkan instansi pemerintah akan dapat menyelaraskan dengan potensi, peluang dan kendala yang dihadapi (LAN dan BPKP, 2000: 44).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan implementasi dari rencana pembangunan dan kebijaksananaan pemerintah, sehingga penyusunan, pengelolaan dan penatausahaan keuangan daerah harus dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan sistem akuntansi pemerintah (Baswir, 1999:151). Sistem akuntansi yang digunakan oleh pemerintah selama ini masih berdasarkan single entry, sehingga belum dapat menyajikan bentuk laporan yang optimal.
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas segala tindakan seseorang/badan hukum pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berwenang untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban (LAN dan BPKP, 2000: 43). Akuntabilitas merupakan salah satu ciri dari terapan good governace atau pengelolaan pemerintahan yang baik dari setiap tindakan seseorang/badan hukum suatu organisasi yang merupakan issue utama dalam pencapaian menuju clean government (Akbar dan Nurbaya, 2000: 5).
Sistem akuntabilitas menekankan pada pengukuran hasil yang akan membantu para pemimpin politik dalam membuat kebijaksanaan pada saat mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan kata lain tujuan dari suatu kebijakan dan program harus dijelaskan agar sistem akuntabilitas dapat bermanfaat (LAN dan BPKP, 2000: 37).
Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah, perlu kiranya diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut.
Comperative Budget Statement (CBS) baik vertikal maupun horizontal disesuaikan dengan variabel yang tersedia, yaitu mengkaji perbandingan perkembangan belanja dari tahun ke tahun dalam APBD secara horizontal dengan tiga ukuran yaitu absolut, relatif dan rasio serta mengkaji perbandingan posisi dari masing-masing pos belanja dalam APBD secara vertikal. Apabila CBS horizontal secara absolut (Ab) dan relatif (R1) bertanda negatif menunjukkan terjadinya penurunan dan sebaliknya, sedangkan jika CBS horizontal secara rasio (R0) kurang dari satu menunjukkan terjadinya penurunan dan sebaliknya (Widodo, 1990:77) dengan formulasi:
CBS horizontal yaitu:
Absolut : Ab = Vx – Vx-1
Relatif : Ri = Vx – Vx-1
Vx-1
Rasio : Ro = Vx
Vx-1
di mana:
AB = CBS absolut
Ri = CBS relatif
Ro = CBS rasio
Vx = Variabel tertentu tahun x
Vx-1 = Variabel tertentu tahun sebelumnya
Selanjutnya CBS vertikal untuk mengukur proporsi masing-masing pos dalam APBD yang formulanya sebagai:
V1
P1 = ——– x 100%
Vt
V2
P2 = ——– x 100%
Vt
di mana:
P1 = Proporsi variabel 1
P2 = Proporsi variabel 2
Vt = Variabel tertentu.
Untuk hubungan antara pengeluaran rutin dan penerimaan digunakan analisis korelasi dengan formulasi sebagai berikut (Algifari, 1997:146):
nSxy -SxSy
r =
ÖnSx² – (Sx)² ÖSy² – (Sy)²
di mana :
r = koefisien korelasi
n = jumlah periode
y = realisasi penerimaan
x = realisasi pengeluaran rutin
Nilai daripada koefisien korelasi ( r ) antar dua variabel berkisar antara negatif satu sampai dengan positif satu dengan koefisien determinasinya ( r )² , kriteria pengambilan keputusan adalah, apabila nilai r negatif atau positif maka ada hubungan antara variabel X dan Y. Jika nilai r = o berarti tidak ada hubungan antara varibel X dengan Y.
Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan suatu organisasi. Apabila suatu organisasi mencapai tujuan maka organisasi tersebut telah berjalan dengan efektif. Analisis efektivitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah dapat dirumuskan dengan menggunakan rasio perbandingan antara realisasi penerimaan dengan target yang ditetapkan dikalikan dengan seratus dalam bentuk persentase
Realisasi penerimaan
Efektivitas = x 100 %…………….( 2 – 4)
Target
Nilai efektivitas diperoleh dari perbandingan sebagai mana tersebut diatas diukur berdasarkan pada Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1994 tentang Pedoman Penilaian dan Kinerja Keuangan yang disusun dalam tabel berikut ini :
Tabel.2.2
Kriteria Kinerja Keuangan
PRESENTASE KINERJA KEUANGAN | KRITERIA |
100% keatas
90 % – 100 % 80 % – 90 % 60 % – 80 % dibawah dari 60 % |
Sangat Efektif
Efektif Cukup Efektif Kurang Efektif Tidak Efektif |
Sumber : (lihat Medi 1996: 77).
Efisiensi dapat diukur dengan rasio antara output/keluaran dan input/masukan sekunder, sedangkan analisis yang dilakukan terhadap pengelolaan keuangan daerah dengan pengeluaran rutin menggunakan ukuran tingkat efisiensi yaitu perbandingan antara realisasi pengeluaran anggaran rutin dengan pendapatan/penerimaan daerah dikalikan dengan seratus dalam bentuk persentase.
Penerimaan
Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi pengeluaran rutin dan realisasi penerimaan dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut dapat dilakukan terhadap sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah, dengan kriteria penilaian berdasarkan pada Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1994 tentang Pedoman Penilaian dan Kinerja Keuangan yang disusun dalam tabel berikut ini :
Tabel.2.1
Kriteria Kinerja Keuangan
PERSENTASE KINERJA KEUANGAN | KRITERIA |
100% keatas
90 % – 100 % 80 % – 90 % 60 % – 80 % dibawah dari 60 % |
Tidak efisien
Kurang efisien Cukup efifien Efisien Sangat efisien |
Sumber : ( lihat Medi, 1996,17-19)
Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan realisasi penerimaan dan pengeluaran rutin daerah dapat digunakan formula (Widodo, 1990 : 36 ) :
D X = X 100 % …………………………….…( 2-2 )
di mana :
D X = Rasio pertumbuhan realisasi penerimaan atau pengeluaran rutin
Xt = Jumlah penerimaan atau pengeluaran rutin
X(t-i) = Jumlah penerimaan atau pengeluaran rutin tahun sebelumnya.
Efisiensi adalah hubungan antara input dan output. Efisiensi merupakan ukuran apakah penggunaan barang dan jasa yang dibeli oleh organisasi untuk mencapai output tertentu. Efisiensi juga mengandung beberapa pengertian antara lain :
Beberapa cara untuk meningkatkan efisiensi adalah dengan meningkatkan output dengan input yang sama, atau dengan menaikan output dengan proporsi yang besar dengan kenaikan ouput yang proporsional, atau juga dengan menurunkan input dengan proporsi yang besar dan menurunkan ouput secara proporsional.
Pengertian efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan atau dapat juga dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi. Efektivitas juga berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditentukan. Efektivitas menurut Devas, dkk, (1989 : 279-280) adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-sepatnya.
Faktor penentu efisiensi dan efektivitas sebagai berikut.
Pengertian korelasi menurut Algifari (1997 :146) adalah untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dengan menggunakan koefisien korelasi yaitu dengan menggunakan nilai absolut dari koefisien korelasi tersebut. Kemudian menurut Sardjonopermono (1981 : 1) analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan garis lurus (linear) antara 2 (dua) variabel atau lebih. Dengan dua variabel, semakin nyata hubungan garis lurus (linear) semakin kuat atau tinggi derajat hubungan garis lurus (linear) antar kedua variabel tersebut. Ukuran untuk derajat hubungan garis lurus ini dinamakan koefisien korelasi ( the correlation coefficient).
Hal-hal pokok yang diperlukan untuk proses awal penyusunan anggaran yang baik adalah kemampuan manajemen dalam menetapkan visi, misi, tujuan dan sasaran. Visi dan misi merupakan arahan yang harus dipertimbangkan dalam rangka menyusun anggaran agar sesuai dan seiring dengan apa yang menjadi harapan sebagian besar masyarakat dan daerah. Tujuan dan sasaran merupakan pernyataan tentang posisi target yang ingin dicapai oleh unit kerja di pemerintahan daerah atau petunjuk tentang variable-variabel penting yang seharusnya digunakan dalam menentukan arah unit kerja dimasa datang.
Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi DKI Jakarta yang diawali dengan proses penentuan rencana plafond APBD sesuai siklus anggaran dimulai dari :
Selanjutnya hasil rencana anggaran yang telah disusun secara terpadu diajukan kepada Kepala daerah untuk mendapat persetujuan dan kemudian Rancangan Anggaran Pendapatan Daerah tersebut diserahkan kepada DPRD. Dalam pembahasan diharapkan pihak legislatif memberikan komentar, tanggapan dan masukan yang sifatnya hanya mengklarifikasi dan meratifikasi draft anggaran yang diusulkan oleh pihak eksekutif dengan dokumen Kebijakan Pembangunan Tahunan dan Kebijakan Anggaran Tahunan (APBD) yang telah disepakati sebelumnya. Setelah dibahas dan disetujui oleh DPRD maka penetapannya dapat dituangkan dalam peraturan daerah. Seluruh rangkaian proses penjadwalan yang diuraikan dapat dilihat tahap-tahapnya sebagai berikut.
Dalam pelaksanaannya pengelolaan di bidang keuangan daerah harus didukung dengan sumber daya manusia yang baik di mana hal tersebut dapat dinilai dari kinerja aparatur pemerintah daerah. Kinerja diartikan sebagai bentuk prestasi atau hasil dari perilaku pekerja tertentu yang merupakan fungsi dari kemampuan (ability), dukungan (support) dan usaha (effort), untuk mengetahui dan mengukur daripada kinerja aparatur pemerintah daerah tersebut dapat diukur dengan kriteria efektivitas dan efisiensi.
Dalam melaksanakan dan merealisasikan anggaran pendapatan dan belanja daerah, maka pemerintah daerah memberikan wewenang kepada instansi terkait dalam mengelola dan mengurus keuangan daerah baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran khususnya kepada Dinas Pendapatan Daerah dan Biro Keuangan Propinsi di mana masing masing mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi yang antara lain adalah sebagai berikut.
1). sebagai aparat yang diserahi tugas untuk memungut pajak dan retribusi daerah;
2). sebagai koordinator pendapatan daerah;
3). perangkat pelaksana operasional pungutan pajak daerah, retribusi daerah, lain-lain pendapatan daerah;
1). melakukan pengenaan pajak daerah sebaik-baiknya berdasarkan objek pajak dan subjek pajak yang semestinya;
2). melakukan penetapan pajak yang sebaik-baiknya;
3). melakukan penagihan pajak;
1). terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah berfungsi sebagai soko guru pelestarian otonomi daerah;
2). dilihat dari segi otonomi daerah merupakan sumber dana dari daerah.
1). melakukan pencatatan pembukuan baik yang menyangkut sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran;
2). mengumpulkan dan menganalisis data dalam rangka menyusun Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), perubahan APBD, perhitungan APBD serta melaksanakan pembinaan administrasi keuangan;
3). melaporkan keadaan posisi kas keuangan daerah setiap saat jika diperlukan oleh Kepala Daerah;
1). mempersiapkan data guna menyusun APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD;
2). mengelola administrasi keuangan;
3). membina pelaksanaan penyusunan APBD, perubahan APBD, perhitungan APBD, serta pelaksanaan APBD;
4). menguji kebenaran penagihan dan penerbitan SPMU;
5). mengadakan pemeriksaan keuangan;
6). merumuskan petunjuk-petunjuk pelaksanaan peraturan daerah di bidang keuangan.
7). menyiapkan program kerja keuangan serta pengawasan;
8). melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh Kepala Daerah maupun Sekretaris.
Sesuai dengan Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia Nomor 903/2735/SJ tahun 2000, tentang Pedoman Penyusunan dan Pelaksanaan APBD, maka hendaknya penyusunan APBD mengacu pada norma dan prinsip-prinsip anggaran sebagai berikut.
Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab, mengingat anggaran daerah merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat, maka APBD harus memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu setiap dana yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
APBD disusun dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemilahan antara belanja yang bersifat rutin dengan belanja yang bersifat pembangunan/modal harus diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi pencampuradukkan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang teratur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap Pos/Pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD.
Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan.
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran defisit (deficit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus dan defisit anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk Dana Cadangan, sedangkan bila terjadi defisit, dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Jones & Pendlebury ( 1996 : 53) anggaran daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang selama periode tertentu (satu tahun). Anggaran ini digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan sebagai alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan PAU-SE (Universitas Gadjah Mada) menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai, sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Dengan demikian APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah di mana merupakan perwujudan dari rencana kerja keuangan tahunan pemerintah daerah, selain berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku juga berdasarkan pada :
Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989 : 279-280) adalah sebagai berikut.
Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum.
Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.
Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.
Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai
Pengertian sistem adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu skema yang menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari suatu organisasi, sedangkan prosedur-prosedur yang saling berhubungan disusun sesuai dengan skema yang menyeluruh adalah suatu urut-urutan pekerjaan kerani (clerical), biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu bagian atau lebih, disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu organisasi (Baridzwan,1998 : 3). Menurut Jaya (1999 :11) keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. Menurut Mamesah ( 1995 :16 ) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Mardiasmo ( 2000 : 3 ) mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selanjutnya dalam pasal 4 dan 5 dikatakan pula bahwa, pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.
Model Input Output pertama kali diperkenalkan oleh Wassily W. Leontief dari Harvard University pada tahun 1963. Analisis Input Output merupakan suatu model matematis untuk menelaah struktur perekonomian yang saling kait mengkait antar sektor atau kegiatan ekonomi. Analisis Input Output bertolak dari anggapan bahwa suatu sistem perekonomian terdiri atas sektor-sektor yang berkaitan. Masing-masing sektor tersebut menggunakan output dari sektor lain sebagai input untuk memproduksi output yang akan diproduksi sektor tersebut (PAU SE UGM dan BAPPENAS 2000: IV – 1).
Baumol menyatakan analisis Input Output sebagai usaha untuk memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empiris sisi produksi (lihat Nazara 1997 :2), selanjutnya Nazara (1997: 2) menyatakan bahwa analisis Input Output merupakan suatu peralatan analisis keseimbangan umum. Analisis itu didasarkan suatu situasi perekonomian, dan bukan pendekatan teoritis ala Walras semata. Keseimbangan dalam analisis Input Output didasarkan arus transaksi antar pelaku perekonomian. Penekanan utama dalam analisis Input Output ini adalah pada sisi produksi. Teknologi produksi yang digunakan oleh perekonomian tersebut memegang peranan penting dalam analisis. Lebih spesifik lagi, teknologi yang memegang peranan besar adalah teknologi dalam kaitannya dengan penggunaan input antara.
Analisis dengan menggunakan metode ini didasarkan atas suatu tabel yang disebut tabel Input Output. Tabel Input Output adalah suatu sistem informasi statistik yang disusun dalam bentuk matrik yang mengambarkan transaksi barang dan jasa-jasa antar sektor-sektor ekonomi. Aspek yang ingin ditonjolkan oleh tabel Input Output adalah bahwa setiap sektor mempunyai keterkaitan/ketergantungan dengan sektor lain, seberapa besar ketergantungan suatu sektor ditentukan oleh besarnya input yang digunakan dalam proses produksinya, dengan kata lain pengembangan suatu sektor tidak akan tercapai tanpa dukungan input yang memadai dari sektor lain, oleh karena itu perencanaan suatu sektor harus pula memperhatikan prospek pengembangan sektor-sektor terkait secara terintegrasi.
Untuk memberikan gambaran tabel Input Output berikut diberikan suatu ilustrasi tabel dengan menyederhanakan suatu sistem ekonomi menjadi tiga sektor produksi (Boediono, 1999 : 52)
Tabel 2.1
Ilustrasi Tabel Input Output 3 X 3 Sektor
|
Permintaan antara |
Permintaan Akhir |
Jumlah output |
|||
1 | 2 | 3 | ||||
Sektor
Produksi |
1 | X11 | X12 | X13 | F1 | X1 |
2 | X21 | X22 | X23 | F2 | X2 | |
3 | X31 | X32 | X33 | F3 | X3 | |
Nilai Tambah | V1 | V2 | V3 | V | – | |
Jumlah input | X1 | X2 | X3 | – | X |
Selanjutnya dengan mengunakan tabel Input Output tiga sektor seperti contoh di atas, dapat dibuat persamaan dari masing-masing sektor yaitu :
X11 + X12 + X13+ F1 = X1
X21 + X22 + X23+ F2 = X2
X31 + X32 + X33+ F3 = X3
Kemudian, untuk mendapatkan model koefisien input langsung yang dikenal dengan sebutan koefisien teknologi, digunakan rumus
………………… (2.1)
Matrik (I – A)-1 dikenal dengan nama matrik kebalikan Leontief. Elemen matrik ini dinotasikan dengan aij dan mencerminkan efek langsung dan tidak langsung dari perubahan permintaan akhir terhadap output sektor-sektor di dalam perekonomian. Permintaan akhir tersebut adalah variabel yang eksogen sifatnya.
Adanya peningkatan permintaan akhir pada suatu sektor akan meningkatkan output itu sendiri dan sektor-sektor lain di perekonomian. Peningkatan output sektor-sektor lain ini tercipta akibat adanya efek langsung dan efek tidak langsung dari peningkatan permintaan akhir. Besarnya kelipatan perubahan output untuk sektor ke-n di dalam perekonomian dihitung dari penjumlahan kolom ke-n dari matrik kebalikan Leontif untuk perekonomian yang bersangkutan. Dengan menggunakan notasi aj bagi elemen matriks kebalikan Leontief tersebut, angka pengganda output didefinisikan
………………….. (2.8)
Analisis mengenai keterkaitan antar sektor merupakan analisis yang umum dilakukan dengan mengunakan model Input Output. Analisis ini pada dasarnya melihat dampak terhadap output, dari kenyataan bahwa pada dasarnya sektor-sektor dalam perekonomian tersebut saling pengaruh mempengaruhi. Hubungan suatu sektor dan sektor-sektor lainnya dalam ekonomi dikenal dalam literatur ekonomi pembangunan sebagai kaitan ke depan (forward linkages) dan kaitan kebelakang (backward linkages).
2.3.1.1 Keterkaitan ke belakang. Adanya peningkatan output sektor tertentu akan mendorong peningkatan output sektor-sektor lainnya. Peningkatan output sektor-sektor lainnya tersebut dapat terlaksana melalui dua cara. Pertama peningkatan output sektor i akan meningkatkan permintaan input sektor i sendiri dan input yang berasal dari sektor lain, misalnya sektor j. Oleh karenanya, sektor i akan meminta output sektor j lebih banyak dari pada sebelumnya.
Keterkaitan kebelakang langsung merupakan penjumlahan angka koefisien input (aij). Angka keterkaitan langsung dinotasikan dengan B(d)j maka angka keterkaitan ke belakang langsung dirumuskan (Nazara, 1997:93 serta PAU SE UGM dan BAPPENAS 2000, VI -11) :
…………………… (2.2)
Keterkaitan ke belakang tersebut tidak saja memiliki efek langsung seperti yang ditunjukkan di atas, namun juga memiliki efek tidak langsung dari penambahan output, yang ditunjukkan oleh matrik kebalikan Leontif. Penjumlahan dari elemen kebalikan Leontif secara kolom akan menunjukkan keterkaitan kebelakang secara total yang dirumuskan dengan
………………… (2.3)
B (d+i)j adalah keterkaitan kebelakang total.
Bila diketahui nilai keterkaitan ke belakang langsung dan keterkaitan kebelakang total, maka nilai keterkaitan ke belakang tidak langsung diperoleh dari selisih antara kedua nilai tersebut. Untuk melihat sektor mana yang merupakan sektor-sektor utama diantara sektor-sektor yang ada berkaitan dengan kaitan kebelakang digunakan rumus Rasmussen (BPS,1995:55), rumus ini dikenal dengan indeks daya penyebaran.
……………….. (2.4)
aj adalah indek daya penyebaran sektor j.
Besaran aj dapat menpunyai nilai sama dengan (= 1), lebih besar (>1) atau kecil (< 1). Bila aj sama dengan (=1) berarti daya penyebaran sektor j sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi dan bila nilai aj besar (> 1) menunjukkan bahwa daya penyebaran sektor j berada di atas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi dan sebaliknya aj kecil (< 1) menunjukkan daya penyebaran sektor j lebih rendah. Dalam banyak analisis tabel Input Output, disebut juga sebagai tingkat dampak kaitan ke belakang (backward linkages effect ratio).
2.3.1.2 Keterkaitan ke depan . Keterkaitan ke depan adalah total output yang tercipta akibat meningkatnya output suatu sektor perekonomian melalui mekanisme distribusi output dalam perekonomian. Jika terjadi peningkatan output tersebut didistribusikan ke sektor-sektor produksi dalam perekonomian, termasuk ke sektor i sendiri.
Keterkaitan ke depan secara langsung melalui mekanisme output ditunjukkan oleh penjumlahan baris dari matriks input output, keterkaitan ke depan langsung dirumuskan dengan (Nazara, 1997:93 serta PAU SE UGM dan BAPPENAS 2000, VI -11) :
………………… (2.5)
Di mana F (d)i adalah keterkaitan ke depan langsung.
Selain itu ada efek tidak langsung dengan terjadinya peningkatan output. Efek langsung dan tidak langsung tersebut tergambar dari matrik kebalikan output (I-A) –1 pada baris ke i atau dinyatakan dengan
……………………. (2.6)
di mana F(d+i) adalah keterkaitan kedepan total dan qij elemen matrik kebalikan output (I-A) –1. Bila diketahui nilai keterkaitan ke depan langsung dan keterkaitan ke depan total maka nilai keterkaitan ke depan tidak langsung diperoleh dari selisih antara kedua nilai tersebut.
Untuk melihat sektor mana yang merupakan sektor utama diantara sektor-sektor yang ada berkaitan dengan kaitan ke depan, digunakan rumus Rasmussen (BPS,1995:55) yang dikenal juga dengan rumus indek derajat kepekaan sektor
……………… (2.7)
Besaran bi dapat menpunyai nilai sama dengan (= 1), lebih besar (>1) atau kecil (< 1). Bila bi sama dengan (=1) berarti derajat kepekaan sektor i sama dengan rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor ekonomi dan bila nilai bi besar (> 1) menunjukkan bahwa derajat kepekaan sektor i berada di atas rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor ekonomi dan sebaliknya bi kecil (< 1) menunjukkan derajat kepekaan sektor i lebih rendah. Dalam banyak analisis tabel Input Output, disebut juga sebagai tingkat dampak kaitan ke depan (foreward linkages effect ratio).
Model Input Output pertama kali diperkenalkan oleh Wassily W. Leontief dari Harvard University pada tahun 1963. Analisis Input Output merupakan suatu model matematis untuk menelaah struktur perekonomian yang saling kait mengkait antar sektor atau kegiatan ekonomi. Analisis Input Output bertolak dari anggapan bahwa suatu sistem perekonomian terdiri atas sektor-sektor yang berkaitan. Masing-masing sektor tersebut menggunakan output dari sektor lain sebagai input untuk memproduksi output yang akan diproduksi sektor tersebut (PAU SE UGM dan BAPPENAS 2000: IV – 1).
Baumol menyatakan analisis Input Output sebagai usaha untuk memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empiris sisi produksi (lihat Nazara 1997 :2), selanjutnya Nazara (1997: 2) menyatakan bahwa analisis Input Output merupakan suatu peralatan analisis keseimbangan umum. Analisis itu didasarkan suatu situasi perekonomian, dan bukan pendekatan teoritis ala Walras semata. Keseimbangan dalam analisis Input Output didasarkan arus transaksi antar pelaku perekonomian. Penekanan utama dalam analisis Input Output ini adalah pada sisi produksi. Teknologi produksi yang digunakan oleh perekonomian tersebut memegang peranan penting dalam analisis. Lebih spesifik lagi, teknologi yang memegang peranan besar adalah teknologi dalam kaitannya dengan penggunaan input antara.
Analisis dengan menggunakan metode ini didasarkan atas suatu tabel yang disebut tabel Input Output. Tabel Input Output adalah suatu sistem informasi statistik yang disusun dalam bentuk matrik yang mengambarkan transaksi barang dan jasa-jasa antar sektor-sektor ekonomi. Aspek yang ingin ditonjolkan oleh tabel Input Output adalah bahwa setiap sektor mempunyai keterkaitan/ketergantungan dengan sektor lain, seberapa besar ketergantungan suatu sektor ditentukan oleh besarnya input yang digunakan dalam proses produksinya, dengan kata lain pengembangan suatu sektor tidak akan tercapai tanpa dukungan input yang memadai dari sektor lain, oleh karena itu perencanaan suatu sektor harus pula memperhatikan prospek pengembangan sektor-sektor terkait secara terintegrasi.
Untuk memberikan gambaran tabel Input Output berikut diberikan suatu ilustrasi tabel dengan menyederhanakan suatu sistem ekonomi menjadi tiga sektor produksi (Boediono, 1999 : 52)
Tabel 2.1
Ilustrasi Tabel Input Output 3 X 3 Sektor
|
Permintaan antara |
Permintaan Akhir |
Jumlah output |
|||
1 | 2 | 3 | ||||
Sektor
Produksi |
1 | X11 | X12 | X13 | F1 | X1 |
2 | X21 | X22 | X23 | F2 | X2 | |
3 | X31 | X32 | X33 | F3 | X3 | |
Nilai Tambah | V1 | V2 | V3 | V | – | |
Jumlah input | X1 | X2 | X3 | – | X |
Selanjutnya dengan mengunakan tabel Input Output tiga sektor seperti contoh di atas, dapat dibuat persamaan dari masing-masing sektor yaitu :
X11 + X12 + X13+ F1 = X1
X21 + X22 + X23+ F2 = X2
X31 + X32 + X33+ F3 = X3
Kemudian, untuk mendapatkan model koefisien input langsung yang dikenal dengan sebutan koefisien teknologi, digunakan rumus
………………… (2.1)
Matrik (I – A)-1 dikenal dengan nama matrik kebalikan Leontief. Elemen matrik ini dinotasikan dengan aij dan mencerminkan efek langsung dan tidak langsung dari perubahan permintaan akhir terhadap output sektor-sektor di dalam perekonomian. Permintaan akhir tersebut adalah variabel yang eksogen sifatnya.
Untuk menghitung laju pertumbuhan anggaran belanja rutin maupun pembangunan menurut sektor digunakan rumus Widodo (1990:36) dengan melakukan penyesuaian dari PDB menjadi anggaran belanja rutin dan belanja pembangunan menurut sektor yaitu:
ABRt – ABRt-1
PABRt = X 100% …. ……………………………….. (2.5)
ABRt-1
ABPt – ABPt-1
PABPt = X 100% …………………….……………. (2.6)
ABPt-1
Keterangan :
PABRt | = | Laju pertumbuhan anggaran belanja rutin |
PABPt | = | Laju pertumbuhan anggaran belanja pembangunan |
T | = | Tahun tertentu |
t-1 | = | Tahun anggaran sebelumnya |
ABR | = | Anggaran belanja rutin |
ABP | = | Anggaran belanja pembangunan menurut sektor. |
Alat ini digunakan untuk mengkaji perbandingan perkembangan belanja dari tahun ke tahun dalam APBD secara horizontal dengan tiga ukuran yaitu absolut, relatif dan rasio serta mengkaji perbandingan posisi rata-rata dari masing-masing pos belanja dalam APBD secara vertikal. Apabila CBS horizontal secara absolut (Ab) dan relatif (R1) bertanda negatif menunjukkan terjadinya penurunan dan sebaliknya, sedangkan jika CBS horizontal secara rasio (R0) kurang dari satu menunjukkan terjadinya penurunan dan sebaliknya (Widodo, 1990:78).
Absolut : Ab = Vx – Vx-1
Vx – Vx-1
Relatif : R1 = X 100 % ………………………….…………… (2.1)
Vx-1
Vx
Ratio : Ro = ……………………………………………………. (2.2)
Vx-1
Keterangan:
Ab | = | CBS Absolut |
R1 | = | CBS Relatif |
R0 | = | CBS Ratio |
Vx | = | Variabel tertentu tahun x |
Vx-1 | = | Variabel tertentu tahun sebelumnya |
V1
P1 = x 100 % ………….…………………………………………..…… (2.3)
Vt
V2
P2 = x 100 % …………….…………………………………………..… (2.4)
Vt
Keterangan:
P1 | = | Proporsi variabel 1 |
P2 | = | Proporsi Variabel 2 |
Vt | = | Variabel tertentu |
Baswir (1998:26-39), mengemukakan bahwa penyusunan anggaran berdasarkan suatu struktur dan klasifikasi tertentu adalah suatu langkah penting untuk mendapatkan sistem penganggaran yang baik dan berfungsi sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara, sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan dan kemampuan pemerintah. Penyusunan anggaran tidak bisa dilepaskan dari karakteristik suatu daerah, untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam pengalokasian anggaran.
Surat Keputusan Mendagri (2000:1-3), mengatakan bahwa penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran berikut ini.
Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Selain itu setiap dana yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
APBD disusun dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan.
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran surplus atau defisit (surplus deficit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedangkan bila terjadi defisit dapat ditutupi antara lain melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penyusunan anggaran merupakan suatu rencana tahunan yang merupakan aktualisasi dari pelaksanaan rencana jangka panjang maupun menengah. Dalam penyusunan anggaran, rencana jangka panjang dan rencana jangka menengah perlu diperhatikan. Salah satu fungsi anggaran adalah membantu manajemen pemerintah dalam pengambilan keputusan dan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja unit kerja di bawahnya. Shah (1994:31-32) menyebutkan bahwa kebutuhan pengeluaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan tingkat kinerja bagi keberadaan program pemerintah baik yang berasal dari tingkat kabupaten maupun propinsi. Pengeluaran pemerintah daerah terutama pada anggaran daerah akan membantu pemerintah daerah dalam mengambil keputusan dan perencanaan pembangunan, di samping itu dapat dikembangkan menjadi ukuran-ukuran standar untuk mengevaluasi kinerja semua aktivitas unit kerja.
Kunarjo (1996:81), mengatakan bahwa tujuan perencanaan pengeluaran adalah untuk menjamin bahwa suatu keputusan yang menyangkut pengalokasian dana yang terbatas, telah dipertimbangkan : (a). Prioritas kebutuhan; (b). Akibat yang akan timbul (dilihat dari perekonomian secara keseluruhan), misalnya apakah pengalokasian dana dapat mengakibatkan inflasi. Pada prinsipnya perencanaan pengeluaran oleh pemerintah bertujuan untuk memenuhi keinginan seluruh masyarakat.
Kaho (1997:124) mengatakan bahwa salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah untuk mengukur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Secara realistis, praktek penyelenggaraan pemerintah daerah selama ini menunjukkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari program kerja yang ada dalam keuangan daerah cenderung merupakan arahan dari pemerintah pusat sehingga besarnya alokasi dana rutin dan pembangunan daerah belum didasarkan pada standard analisa belanja tetapi dengan menggunakan pendekatan tawar menawar inkremental (incremental bargaining approach).
Menurut Mardiasmo (2000:3) perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah sebagai upaya pemberdayaan pemerintah daerah adalah:
Pengukuran efisiensi dilakukan dengan cara menghitung Cost of Collection Efficiensi Ratio (CCER), yang merupakan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan total penerimaannya. Semakin kecil rationya, maka semakin efisien dalam pengelolaan pemungutannya. Rumus Cost of Collection Efficiensi Ratio (CCER), yang dikemukakan oleh Sidik (1994 : 65-67) adalah sebagai berikut :
Biaya Pemungutan
CCER = x 100 %
Realisasi Penerimaan
Efektivitas atau hasil guna menunjukan pada keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan (objectives). Oleh karenanya suatu tujuan harus dinyatakan secara spesifik dan rinci sehingga pengukuran efektivitas dapat lebih bermakna dan bermanfaat. Untukl mengukur tingkat efektivitas digunakan rumus yang dikemukakan Oleh Insukindro ,dkk (1994 : 6 ) sebagai berikut :
Realisasi Penerimaan Pajak Hotel
Efektivitas = x 100 %
Potensi Pajak Hotel
Untuk menghitung potensi pajak hotel digunakan rumus yang dikemukakan oleh Jamli dan Rahayu (1997 : 214) sebagai berikut :
PPH = Tk x Jk x Jh x OR x Tp
Keterangan :
PPH = Potensi Pajak Hotel
Tk = Tarif Kamar
Jk = Jumlah Kamar
Jh = Jumlah hari
OR = Occupancy Rate (Tingkat Hunian)
Tp = Tarif Pajak
Pajak Hotel sebelumnya menurut undang-undang 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, merupakan salah satu obyek pajak yang termasuk kedalam pajak hotel dan restoran. Selanjutnya dengan diberlakukannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, diubah menjadi jenis pajak tersendiri yaitu pajak Hotel yang diatur berdasarkan undang-undang nomor 34 tahun 2000.
Menurut Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, disebutkan bahwa :
Menurut Devas,dkk (1989 : 61- 62), untuk menilai pajak daerah dapat digunakan kriteria pengukuran sebagai berikut :
Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah (UU No 34 Tahun 2000).
Menurut Davey (1988 : 39 ), perpajakan daerah dapat diartikan sebagai berikut :
Menurut Suparmoko (2000:116-117), bahwa sering terjadi suatu jumlah pajak dibayar oleh seorang wajib pajak dan ternyata yang menderita/ memikul beban pajaknya bukan si wajib pajak tersebut. Dengan kata lain wajib pajak tidak sama dengan si pemikul beban pajak. Jadi wajib pajak dapat menggeserkan sebagian atau seluruh beban pajak itu kepada orang lain. Jadi masalah distribusi beban pajak (incidence of taxation) adalah mengenai siapa sebenarnya yang memikul beban pajak yang terakhir setelah terjadi pergeseran.
Dalam pengertian ekonomis masalah dapat tidaknya beban pajak itu digeserkan membawa konsekuensi mengenai macam sifat pajak. Pajak yang bebannya dapat digeserkan disebut dengan pajak tidak langsung, sedangkan pajak yang bebannya tidak dapat di geserkan disebut pajak langsung.
Para ahli dalam bidang perpajakan memberikan pengertian atau definisi berbeda-beda mengenai pajak, namun demikian mempunyai arti/tujuan yang sama. Salah satunya menurut Munawir, (1998 : 3) mengutip pendapat Prof.Dr. Rochmat Sumitro, S.H. yang mengatakan sebagai berikut :
Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (tegen prestise) dari negara yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publik uitgaven).
Dari definisi pajak tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur pajak adalah :
1. Iuran masyarakat kepada negara dalam arti bahwa yang berhak melakukan pemungutan pajak adalah negara, dengan alasan apapun swasta atau partikelir tidak boleh memungut pajak.
2. Berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dalam arti bahwa walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun dalam hal pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari rakyat yaitu melalui undang-undang.
3. Tanpa jasa timbal (prestasi) dari negara yang dapat langsung ditunjuk, dalam arti bahwa jasa timbal atau kontra prestasi yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak.
4. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum dalam arti bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah tersebut mempunyai manfaat bagi masyarakat secara umum.
Munawir (1998 : 4), menambahkan pendapat Prof. S.I. Djajadiningrat tentang pengertian pajak yang lebih luas sebagai berikut :
Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak sebagai berikut :
1. Pajak dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah) berdasarkan kekuatan undang-undang dan aturan pelaksanaannya. Dengan kata lain, pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogratif pemerintah.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra prestasi individual dari pemerintah (tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prtestasi secara individual).
3. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus dipergunakan untuk membiayai public investment, sehingga tujuan utama dari pemungutan pajak adalah sebagai sumber keuangan negara (budgetair).
4. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
Dengan demikian pajak hanya dapat dipungut oleh pemerintah dan pemerintah dapat memungut pajak kalau sudah ada undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Pajak merupakan kewajiban bagi masyarakat, yang bila diabaikan akan terkena sangsi sesuai dengan undang-undang dimaksud.
Bertitik tolak pada definisi pajak yang diberikan oleh para ahli pajak tersebut, menurut Munawir (1998 : 6), memberikan kesan bahwa pemerintah memungut pajak terutama untuk memperoleh uang atau dana guna membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sehingga seakan-akan pajak hanya mempunyai fungsi sebagai sumber keuangan negara (budgetair) tetapi sebenarnya pajak mempunyai fungsi yang lebih luas, yaitu fungsi mengatur (regulerend); dalam arti bahwa pajak itu dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial.
Untuk menghitung besarnya proyeksi penerimaan retribusi Pasar dapat menggunakan trend eksponensial berikut:
Y1 = abx ………………………………………(2.3)(7)
Untuk mencari mencari nilai a dan b pada persamaan diatas digunakan bantuan logaritma, dengan persamaan sebagai berikut
Log Y1 = log a + x log b……………………..(2.3)(8)
Untuk mencari nilai log a dan log b digunakan rumus
S log Y S (x.log Y)
Log a = ————— dan log b = ————-…………….(2.3)(9)
N S x2
Untuk mengetahui dan menilai suatu suatu jenis pajak atau retribusi daerah yang potensial untuk dikembangkan dapat digunakan matrik klasifikasi pajak atau retribusi. Matrik klasifikasi pajak atau retribusi pada dasarnya merupakan suatu alat ukur, untuk dapat melihat proporsi suatu jenis pajak atau retribusi dari rerata pajak atau retribusi (Xi/x ). Dan untuk dapat melihat proporsi tambahan suatu jenis pajak atau retribusi dari total tambahan penerimaan pajak atau retribusi ( DXi/DX ).
. Menurut Jaya (1998) Matrik Kelasifikasi Potensi Jenis Pajak atau Retribusi dapat disajikan seperti tersebut dibawah ini
PROPORSI
TAMBAHAN |
Xi / X > 1
|
Xi / X < 1 |
DXi/DX > 1 | Prima | Berkembang |
DXi / DX < 1
|
Potensial | Terbelakang |
Untuk mengukur/menghitung kontribusi retribusi pasar terhadap total retribusi atau terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat digunakan analisis proporsi yaitu dengan membandingkan antara realisasi penerimaan retribusi pasar dengan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) kemudian dikalikan dengan seratus persen (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000:17) atau dapat diformulasikan sebagai berikut
Xi
P (proporsi) = ——- x 100%………………………(2.3) (6)
X
Keterangan : P = Kontribusi
Xi = Penerimaan retribusi pasar
X = Total penerimaan retribusi atau PAD
% Perubahan Ret. Pasar
EPDRB = ——————————-…..……………………..(2.3)(4)
% Perubahan PDRB
% Perubahan Ret. Pasar
EPDRB = ——————————–………………….……..(2.3)(5)
% Perubahan Penduduk
Elastisitas retribusi pasar terhadap PDRB dan jumlah penduduk dapat diterjemahkan sebagai seberapa jauh kepekaan atau sensitivitas penerimaan retribusi pasar karena adanya perubahan PDRB dan jumlah penduduk.
Perhitungan efektivitas (hasil guna) digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan, yaitu dengan formulasi
Realisasi Penerimaan Retribusi Pasar
Efektivitas = ————————————————— x 100%.…(2.3)(2)
Potensi Penerimaan Retribusi Pasar
Dalam perhitungan efektivitas, apabila hasilnya menunjukkan persentase yang semakin besar dapat dikatakan bahwa pengelolaan retribusi pasar semakin efektif, demikian pula sebaliknya semakin kecil persentase hasilnya menunjukkan pengelolaan retribusi pasar semakin tidak efektif. Selanjutnya Departemen Dalam Negeri menetapkan standarisasi untuk mengukur efektivitas adalah sebagai berikut (Yandi, 1996: 57)
Alat analisis yang digunakan untuk menghitung potensi retribusi pasar adalah dengan perhitungan matematik sederhana yang diformulasikan dalam rumus sebagai berikut (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000: 24)
{(å lk x r) + (å ll x r) + (å lt x r) + {(å la x r) + (å lku x r) + {(å llr x r) +
(å hk x r)+ (å hb x r)} x hpb x 12 + mck + adm …………..………..(2.3)(1)
di mana : lk = luas kios
ll = luas los yang digunakan
lt = luas dasaran terbuka yang digunakan
la = luas dasaran adegan yang digunakan
lku = luas dasaran kupingan yang digunakan
llr = luas dasaran leroban yang digunakan
hk = jumlah hewan kecil
hb = jumlah hewan besar
hpb = jumlah hari pasar buka per bulan
r = tarif retribusi
mck = penerimaan dari mck
adm = penerimaan dari biaya administrasi
Untuk menilai Administrasi Penerimaan Daerah Davey (1998) mengemukakan tiga hal yaitu :
Efisiensi adalah kriteria yang mengukur bagian hasil pajak yang digunakan untuk menutupi biaya pemungutan pajak bersangkutan. Efektivitas pada umumnya digunakan sebagai ukuran keberhasilan perangkat usaha dan kegiatan dalam rangka pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Sasaran makro efek pemungutan dapat diukur dengan membandingkan realisasi penerimaan dengan potensi yang ada. Analisis elastisitas digunakan untuk menunjukkan derajat kepekaan perubahan retribusi pasar akibat adanya perubahan indikator-indikator ekonomi daerah.
Adapun penilaian posisi unit-unit pasar yang ada dilakukan dengan memakai variabel pertumbuhan dan kontribusi masing-masing unit terhadap total penerimaan retribusi pasar yang diterapkan pada suatu matrik. Matrik klasifikasi pajak atau retribusi pada dasarnya merupakan suatu alat ukur, untuk dapat melihat proporsi suatu jenis pajak atau retribusi dari rerata pajak atau retribusi (Xi/x ). Dan untuk dapat melihat proporsi tambahan suatu jenis pajak atau retribusi dari total tambahan penerimaan pajak atau retribusi (DXi/DX)
Menurut Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1997 (1997:108), pembiayaan pemerintahan dan pembangunan yang bersumber dari pendapatan asli daerah, khususnya dari retribusi daerah harus dipungut, dikelola secara lebih bertangung jawab dan diharapkan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemungutan, serta memperhatikan jenis pelayanan kepada masyaraka. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1997 secara khusus diatur tentang retribusi daerah, dimana salah satu jenis retribusi jasa umum adalah retribusi pasar. Retribusi pasar adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa fasilitas pasar tradisional/ sederhana yang berupa pelataran/ los yang dikelola oleh pemerintah dan khusus disediakan untuk pedagang, tidak termasuk yang dikelola oleh Perusahaan Daerah (PD) Pasar. Retribusi ini merupakan retribusi atas jasa usaha.
Retribusi daerah merupakan salah satu komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dalam undang-undang nomor 18 tahun 1997 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan daerah yang dengan leluasa tanpa intervensi pemerintah pusat dapat dipergunakan untuk penyelenggaraan urusan-urusan pemerintah, kemasyarakatan dan pembangunan. Menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 pendapatan asli daerah terdiri dari :
Kabupaten Pacitan, termasuk salah satu Kabupaten dari Propinsi Daerah Jawa Timur yang berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Pacitan terletak diantara 07.550 – 8.170 Lintang Selatan dan 110,550 – 111,250 Bujur timur, dengan batas- batas wilayah sebagai berikut :
– Sebelah Utara : Kabupaten Ponorogo ( Jawa Timur )
– sebelah selatan : Samudra Indonesia
– Sebelah Timur : Kabupaten Trenggalek ( Jawa Timur )
– Sebelah Barat : Kabupaten Wonogiri ( Jawa Tengah )
Kabupaten Pacitan memiliki luas wilayah seluruhnya sebesar 1342,42 Km. daerah tersebut sebagian besar berupa bukit , jurang terjal dan gunung ( termasuk deretan Pegunungan Seribu yang membujur sepanjag Pulau Jawa ) , dengan kandungan kulit bumi bagian Selatan daerah ini berupa kapur dan bagian Utara berupa tanah.
II.1.1. Pemerintahan
Wilayah Pemerintah Kabupaten Pacitan terbagi kedalam :
Wilayah Kecamatan sebanyak 12 Kecamatan
Desa Sebanyak 159 Desa
Kelurahan Sebanyak 5 Kelurahan
II.1.2. Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Pacitan pada akhir tahun 1999 adalah ± 536.494 jiwa, dengan komposisi 260.988 Jiwa laki-laki dan 275.506 perempuan , laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,36 %. serta tingkat kepadatan penduduk rata-rata sebanyak 399 jiwa per Km2, Kecamatan Pacitan merupakan wilayah yang terpadat penduduknya yaitu sebesar 865 jiwa per km2 sedangkan Kecamatan Pringkuku memiliki kepdatan yang terendah yakni sebesar 255 jiwa per km 2. Dari jumlah pencari kerja pada tahun 1999 yaitu sebesar 5.965 orang , 68,23 % atau sebanyak 4070 orang diantaranya adalah tamatan Sekolah Dasar ( Pada akhir tahun tersebut 4119 orang diantaranya telah mendapat pekerjaan ) .
II.1.3. Perhubungan, Komunikasi dan Pariwisata
Kabupaten Pacitan mempunyai jalan sepanjang 578,94 km ( dalam kondisi baik sepanjang 319,36 km, kondisi sedang 186,60 km dan kondisi rusak ringan sepanang 72,58 km ) , jalan utama menghubungkan dengan Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah dan Kabupten Ponorogo di Jawa Timur. Di Kabupaten Pacitan terdapat 7 kantor pos pembantu dan hanya 32 bis surat yang tersebar diseluruh wilayah Kabupaten .Adapun obbyek wisata di Kabupaten Pacitan antara lain, Pantai Klayar di Kecamatan Dionoredjo, Goa Gong, Goa Putri dan Goa Tabuhan di Kecamatan Punung, Pantai Watu Karung di Kecamatan Pringkuku, Pantai Teleng Ria di Kecamatan Pacitan, Pemandian Air Hangat Tirto Husodo di Kecamatan Anjosari dan Monumen Panglima Besar Sudirman di Kecamatan Nawangan, kegiatan wisata ini juga didukung oleh 9 hotel ( 8 hotel di Kecamatan Pacitan dan satu di Kecamatan Nawangan ), serta beberapa Bank , diantaranya adalah BRI, BNI, Bank Jatim, BTN dan Bank Danamon sera beberapa BPR.
Struktur perekonomian Kabupaten Pacitan masih didominasi oleh Sektor Pertanian dimana kontribusi prosentase PDRB sektor ini pada tahun 2001 memberikan sumbangan paling besar yaitu sebesar 39,44. Selanjutnya diikuti oleh Sektor Jasa-jasa sebesar 19,71 % dan Perdagangan, 16,16%.
Namun demikian apabila dilihat perkembangannya dari tahun ketahun sumbangan sektor Pertanian semakin menurun, yang berarti ketergantungan pada sektor ini semakin berkurang seiring dengan menguatnya sumbangan dari sektor-sektor Non Pertanian seperti Keuangan, Bangunan Pengangkutan dan sektor lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel II.2. 1
PDRB dan PDRB Perkapita ( Berdasarkan Harga Konstan )
DI Kabupaten Pacitan
No. | U r a i a n | T a h u n ( Rp. ) | ||
1993 | 1994 | 1998 | ||
1.
2.
|
PDRB
PDRB Perkapita |
261 M.
501 Ribu |
274 M.
523 Ribu |
335 M.
628 Ribu |
Tabel II. 2. 2
Laju Pertumbuhan Sektoral Terhadap PDRB Dari Tahun 1993, 1994,
Dan Tahun 1998 ( Berdasarkan Harga Konstan )
Di Kabupaten Pacitan
No. | U r a i a n | P D R B | ||
1993 (%) | 1994 (%) | 1998 (%) | ||
1.
2.
3
4.
5
6.
7.
8..
9. |
Pertanian
Jasa
Perdagangan
Keuangan
Bangunan
Pengangkutan
Industri
Pertambangan
Listrik |
47,56 – 20,24
11,94
1,93
6,55
4,33
3,54
3,47
0,43 |
46,66
20,23
12,19
1,95
6,55
4,42
3,69
3,59
0,44 |
39,44
19,71
10,77
8,95
7,53
5,98
3,61
3,50
0,51
|
Total | 100 | 100 | 100 |
Sumber : pacitanl dalam angka tahun 1999
Perkembangan PDRB perkapita Kabupaten Pacitan , selama tahun 1993-1998 menunjukkan kenaikan yang cukup berarti, yang mana pada tahun 1993 PDRB perkapita Kabupaten Pacitan adalah Rp. 501.000 ,00 meningkat menjadi Rp. 628.000,00 pada tahun 1998. sedangkan perkembangan PDRB Kabupaten Pacitan pada tahun 1993 sebesar Rp. 261.000.000.000,00 dan pada tahun 1998 meningkat menjadi sebesar Rp. 335.000.000.000,00.
Adapun peran PAD di Kabupaten Pacitan adalah sebagai berikut :
Tabel II.3.1
Komposisi Penerimaan APBD
Sumber : Nota Perhitungan APBD Kabupaten Pacitan ( Yang telah diolah )
Metode analisis kontribusi sektor, Widodo (1990:20), kontribusi sektor adalah sumbangan atau peranan (share) yang diberikan oleh masing-masing sektor terhadap PDB. Indikator kontribusi sektor ini dipergunakan untuk menganalisis sektor mana yang paling besar memberikan sumbangan atau berperan terhadap PDB. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya kontribusi realisasi Belanja Pembangunan menurut sektor dalam APBD (BPA) terhadap anggaran Belanja Pembangunan menurut sektor dalam Repelita VI TA 1994/1995-1998/1999 dan Repelitada VII/MTOD TA 1999/2000-2000 (BPR) dilakukan penyesuaian terhadap rumus Widodo dari Value Added sektor (Vas) menjadi BPA dan PDB menjadi BPR, sehingga rumusnya menjadi :
BPA
KS = ——————— X 100 %
BPR
Keterangan :
KS = Kontribusi realisasi belanja pembangunan menurut sektor dalam APBD terhadap anggaran belanja pembangunan menurut sektor dalam Repelitada VI dan Repelitada VII (MTOD).
BPA = Realisasi Belanja Pembangunan menurut sektor dalam APBD
BPR= Anggaran Belanja Pembangunan menurut sektor dalam Repelitada VI dan Repelitada VII (MTOD).
Rumus tersebut digunakan juga untuk menghitung kontribusi realisasi belanja pembangunan terhadap anggaran belanja pembangunan menurut sektor dalam APBD serta menghitung kontribusi jumlah proyek dalam DURP terhadap realisasi jumlah proyek dalam APBD Kabupaten menurut bidang pembangunan.
Metode analisis pertumbuhan, Widodo (1990:36) untuk menghitung pertumbuhan absolut dan pertumbuhan proporsional belanja pembangunan menurut sektor dalam APBD Kabupaten Muara Enim setiap tahun selama Repelita VI TA 1994/1995-1998/1999 dan MTOD TA 1999/2000-2000 dengan terlebih dahulu melakukan penyesuaian dari PDB menjadi P (sektor belanja pembangunan), sehingga rumus tersebut menjadi seperti berikut ini.
Pn – Po
R = ————————- X 100%
Po
Keterangan :
Pn = realisasi sektor/proporsi belanja pembangunan pada tahun n
Po = realisasi sektor/proporsi belanja pembangunan pada tahun n-1
R = tingkat pertumbuhan (dalam %)
Metode analisis proporsional, Bappenas (1989:21), untuk menghitung besarnya proporsi realisasi belanja pembangunan pada masing-masing sektor setiap tahun terhadap total realisasi belanja pembangunan, dengan rumus :
Jumlah Rs
P = ——————- X 100%
Jumlah Rt
Keterangan :
P = Proporsi Belanja Pembangunan menurut sektor ( dalam % )
Rs = Realisasi Sektor Belanja Pembangunan dalam APBD
Rt = Realisasi Total Belanja Pembangunan dalam APBD
Rumus tersebut juga digunakan untuk menghitung besarnya proporsi belanja rutin menurut komponennya terhadap total belanja rutin dalam APBD.
Prinsip-prinsip pokok manajemen keuangan, seperti yang diterapkan diatas harus diterapkan pada setiap tahap siklus anggaran daerah. Hal ini perlu dilakukan agar anggaran daerah benar-benar dapat mencapai misi dan visi yang dibebankan kepadanya. Bagi pengelola keuangan daerah , prinsip-prinsip pokok tersebut merupakan koridor bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah, sehingga dapat menjamin pengelolaan keuangan daerah selalu berorientasi pada kepentingan publik.
Dalam konteks asas desentralisasi yaitu adanya otonomi yang jauh lebih luas dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka prinsip-prinsip pokok siklus anggaran daerah perlu adanya analisis atas keadaan yang selama ini berlangsung. Analisis dan usulan akan dilihat berdasarkan tahapan yang didiskusikan diatas dan dengan asumsi tidak ada perubahan struktur organisasi pemda yang drastis. Mardiasmo (1999:396-400), lebih jauh menjelaskan tahapan siklus anggaran daerah dalam konteks otonomi daerah berikut ini.
Berdasarkan pasal 86 ayat 1 UU No.22/99, dan pasal 20 ayat 1 UU No.25/99, maka anggaran dapat direncanakan dan disiapkan dengan baik untuk mendukung prinsip dan fungsi anggaran sebagai alat perencana keuangan daerah. Dana-dana yang berasal dari pusat terutama yang termasuk Dana Alokasi Umum, prosedur penentuan dan pendistribusiannya harus berdasar pada sistem dan prosedur yang jelas dan transparan serta tepat waktu.
Untuk perencanaan pendapatan, maka fungsi DIPENDA sebagai koordinator harus diperankan sesuai dengam peraturan yang berlaku. Berdasar pengalaman masa lau sering salah digunakan pengertian “target” dengan “potensi”, sehingga sering terjadi efektifitas pencapaian pendapatan diatas 100%.
Untuk perencanaan pengeluaran, khususnya belanja pembangunan fungsi Bappeda harus ditempatkan sesuai dengan tugas dan wewenangnya, yaitu sebagai perencana kegiatan bukan pelaku. Rakorbang dengan segala tahapannya seperti Pra-rakorbang perlu direview agar sesuai dengan maksud dan tujuan hakiki dari diadakannya Rakorbang tersebut. Demikian pula keterlibatan dalam proses pengusulan kegiatan pembangunan betul-betul melibatkan pihak yang kompeten ,sehingga sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat dan fungsi desentralisasi betul-betul dapat berjalan.
Untuk belanja rutin lebih banyak berkaitan dengan Bagian keuangan. Standar biaya jangan lagi didasarkan “petunjuk pusat” yang kadang-kadang kurang memperhatikan dunia nyata yang berakibat tidak rasionalnya usulan-usulan yang diajukan. Dalam kaitan ini semua “line-item budgeting” perlu ditinjau kembali. Perlu pemikiran-pemikiran yang lebih maju seperti adanya Standard Spending Assessment (SSA).
Mengacu pada UU No.22/99 pasal 14 dan 16 adanya pemisahan fungsi yang jelas antara eksekutif dan legislatif. Dengan terpisahnya kedua fungsi tersebut maka pihak Pemda lebih berfungsi sebagai pihak yang mengajukan anggaran dan DPRD lebih berfungsi sebagai pihak yang menyetujui/menolak anggaran, walaupun dapat juga menentukan anggaran. Hal ini didukung pula oleh proses ratifikasi yang tidak perlu melibatkan pemerintah pusat. Selain itu tahap ratifikasi juga pada saat adanya revisi anggaran seperti yang dikehendaki oleh pasal 20 ayat 2 UU No.25/99. Dengan demikian secara teoritis tahap ratifikasi dilakukan DPRD, baik pada saat anggaran dibuat dan ditetapkannya anggaran awal (initial budget) maupun revisi anggaran sudah menunjukkan semakin besarnya peran DPRD dalam asas desentralisasi ini.
Setelah anggaran daerah diratifikasi oleh DPRD lalu dilaksanakan oleh pemda. Pada tahap ini penting sekali optimalisasi peranan badan pengawasan yang dilaksanakan oleh inspektorat wilayah kabupaten/kota sebagai internal auditor. Dengan fungsi yang demikian diharapkan inspektorat kabupaten/kota dapat memonitor pelaksanaan belanja pembangunan maupun belanja rutin mulai dari awal pelaksanaan, sehingga dapat dilakukan pencegahan terhadap kegiatan yang akan menyimpang. Optimalisasi peran badan pengawas ini hendaknya lebih diarahkan secara preventif guna meluruskan kembali, apabila terjadi kesalahan.
Pada tahap pelaporan dan evaluasi ini secara teoritis tidak akan lepas dari tahap-tahap sebelumnya. Pelaporan keuangan seperti perhitungan APBD oleh Pemda yang diinginkan tidak hanya untuk pihak DPRD sebagai “shareholders”, tetapi juga untuk masyarakat setempat sebagai “stakeholders”. Agar pelaporan tersebut lebih meyakinkan, maka semestinya dimungkinkan keterlibatan pihak yang independen dalam “menilai“ pelaporan keuangan yang dibuat oleh Pemda. Dengan melibatkan pihak luar yang independen diharapkan DPRD mempunyai dasar yang kuat dalam menerima atau menolak laporan pihak eksekutif. Sesuai dengan jiwa pasal 24 ayat 2 UU No.25/99 pelaporan ini memungkinkan untuk menghadirkan pihak-pihak diluar anggota DPRD seperti tokoh-tokoh masyarakat, asosiasi/LSM dan wakil perguruan tinggi, sehingga terjadi “horizontal communication”. Selanjutnya mendorong pula terjadinya “horizontal accountability”.
Sesuai dengan asas desentralisasi dan otonomi yang lebih luas, maka dalam tahap evaluasi hendaknya ada indikator kinerja yang lebih jelas, dan dapat dimungkinkan berbeda-beda antar daerah, mengingat heterogeniotas Pemda Kabupaten/Kota yang sangat tinggi. Dengan demikian evaluasi akan lebih lebih akurat, adil, dan tepat sasaran. Dengan indikator yang berbeda maka dimungkinkan pula adanya pelaporan/pertanggungjawaban yang berbeda, sepanjang tidak menyalahi standar akuntansi keuangan pemerintah daerah. Untuk maksud tersebut perlu adanya kesepakatan antara pemda sebagai pelaksana anggaran daerah dengan DPRD sebagai pihak yang mengesahkan pelaporan tentang bentuk dan format pelaporan yang diinginkan sehingga dapat dimengerti semua pihak , lebih akurat dan tepat sasaran
Perbaikan kinerja anggaran dan pengelolaan keuangan daerah menduduki posisi penting dalam strategi pemberdayaaan pemerintah daerah terlebih lagi menyongsong pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. World bank (1988) menyebutkan bahwa perencanaan pengeluaran yang berorientasi pada kinerja akan meningkatkan kinerja anggaran daerah.
Perkiraan jumlah alokasi dana untuk setiap unit kerja pemerintahan daerah dan atau program kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu tingkat pelayanan publik, disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, sehingga identifikasi input, teknik produksi pelayanan publik dan tingkat kualitas minimal yang harus dihasilkan oleh suatu unit kerja menjadi syarat dalam menentukan alokasi dana yang optimal untuk setiap unit kerja pelayanan publik. Dengan demikian pengeluaran pemerintah daerah dapat menciptakan ukuran kinerja yang akan mempermudah dalam melakukan kegiatan pengendalian dan evaluasi kebijakan pemerintah daerah. Karena merupakan kebijakan pemerintah daerah, maka orientasi pemerintah daerah pada pembangunan akan lebih dekat dengan gerak dinamis masyarakatnya. Artinya akan bersifat terbuka sehingga tuntutan dan kebutuhan publik masuk dalam penentuan strategi, prioritas dan kebijakan alokasi.
Anggaran daerah merupakan disain teknis untuk pelaksanaan strategi, sehingga apabila pengeluaran pemerintah mempunyai kualitas yang rendah, maka kualitas pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah daerah juga cenderung melemah yang berakibat kepada wujud daerah dan pemerintah daerah di masa yang akan datang sulit untuk dicapai. Ediharsi,dkk,(1998) menyebutkan pengelompokan anggaran menurut sektor lebih mengarah kepada pemberian informasi tentang prioritas pembangunan daripada penentuan target pertumbuhan.
Dalam rangka meningkatkan kinerja anggaran daerah, salah satu aspek penting adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk itu diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. World Bank (1998:46) menyebutkan bahwa dalam pencapaian visi dan misi daerah, penganggaran dan manejemen keuangan dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pokok yang meliputi komprehensif dan disiplin, akuntabilitas, kejujuran, transparansi, fleksibilitas, terprediksi, dan informatif. Selanjutnya Mardiasmo (2000:1-3) mengemukakan elemen manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi : akuntabilitas, value for money, kejujuran, transparansi, dan pengendalian.
Akuntabilitas keuangan daerah adalah kewajiban Pemerintah daerah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penerimaan dan penggunaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (DPRD dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan ialah : pertama, aspek legalitas penerimaan dan pengeluaran daerah. Setiap transaksi yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya. Kedua, pengelolaan (stewardship) keuangan daerah secara baik, perlindungan asset fisik dan finansial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus. Prinsip-prinsip akuntabilitas keuangan daerah meliputi : pertama, adanya suatu sistem akuntansi dan sistem anggaran yang dapat menjamin bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kedua, pengeluaran daerah yang dilakukan berorientasi pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (manfaat) yang akan dicapai.
2) Value for money
Kinerja anggaran pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus dapat memanfaatkan uang sebaik mungkin dengan konsep value for money yang berorientasi kepada kepentingan publik. Hal ini berarti dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut harus mencerminkan tiga pilar utama (3E) dalam proses penganggaran yaitu ; ekonomis, efisiensi dan efektivitas.
Peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan pemerintah pusat, melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Konsep VFM ini penting bagi pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasinya akan memberikan manfaat seperti :
sasaran;
Dalam konteks otonomi daerah, VFM merupakan jembatan untuk mengantarkan pemerintah daerah mencapai good governance, yaitu pemerintah daerah yang transparan, ekonomis, efisiensi, efektif, responsif dan akuntabel. VFM tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
3) Kejujuran
Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.
4) Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah, sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara Pemerintah Daerah dengan masyarakatnya, sehingga tercipta Pemerintah Daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
5) Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran daerah harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians/selisih terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi kedepan.
Analisis ini mengukur tingkat kecukupan biaya pengelolaan persampahan agar pelayanan persampahan dapat optimal yaitu dengan mengukur :
2.3.4.1 Volume sampah setiap obyek pelayanan persampahan, dengan menggunakan formulasi sebagai berikut :
åsetiap obyek sampah x standar laju generasi sampah …….(2.5)
2.3.4.2 Kebutuhan alat pengumpulan, digunakan formulasi sebagai berikut :
å gerobak = … (2.6)
å TPS = … (2.7)
2.3.4.3 Kebutuhan alat pengangkutan terdiri dari kendaraan truk , untuk mengetahui jumlah kebutuhan tersebut di atas digunakan formulasi sebagai berikut :
å Truk = …………………………………………… (2.8)
di mana :
Jk =
Fk =
2.3.4.4 Struktur pembiayaan terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan. Biaya investasi digunakan perhitungan sebagai berikut : åInvestasi x Harga satuan per unit ………… (2.9)
Besaran ini mengukur bagian dari hasil retribusi yang digunakan untuk menutup biaya (biaya marjinal) memungut retribusi yang bersangkutan. Daya guna akan lebih besar bila biaya untuk menata penerimaan ditekan serendah mungkin . Formulasi yang digunakan adalah (Devas,1989):
Efisiensi = ……….. ………………… (2.2)
Untuk mengetahui profil penerimaan retribusi kebersihan maka dapat dilihat dari sejumlah obyek pelayanan persampahan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan, berupa : industri / pabrik-pabrik, hotel / penginapan, restoran / rumah makan, toko-toko, kantor-kantor, tempat usaha lainnya, rumah tinggal yang bersatu dengan toko yang terletak di luar jalan protokol, rumah tinggal yang terletak di jalan protokol dan kompleks perumahan, warung-warung dan sejenisnya yang terletak di jalan protokol, kios-kios/ warung-warung dan pedagang dalam areal pasar.
Berdasarkan data tersebut, dapat diperoleh formulasi penghitungan potensi penerimaan retribusi pelayanan persampahan/ kebersihan sebagai berikut ( Davey,1988:30) :
Pr = [ (in x r ) + (ht x r) + (sk x r) + (kp x r ) + (pp x r ) + (ps x r ) + (rp x r) ] …………………………………………….. (2.1)
Di mana :
Pr = Potensi retribusi kebersihan
r = tarif retribusi kebersihan (Perda No. 5/1998)
in = industri
ht = hotel
sk = sarana komersil
kp = komplek perumahan
pp = perumahan di jalan protokol
rp = ruko di jalan protokol
ps = pasar
Motivasi intrinsik menurut pendapat Zaman et al (2013) intrinsic Motivation is a motivation that comes from inside of an individual, rather than from any external reward, such as money or grades. Sedangkan menurut Warr, et al., (1979) dalam Zaman (2013) menyatakan bahwa motivasi intrinsik sebagai derajat atau tingkat keinginan seseorang untuk bekerja untuk memperoleh kepuasan yang hakiki.
Menurut Schunk dkk (2008) dalam Rahman (2012) motivasi intrinsik sebagai kebutuhan manusia untuk merasa kompeten dan memiliki determinasi diri dalam berhubungan dengan lingkungannya. Shah dkk (2012) dalam Rahman (2012) menyatakan motivasi intrinsik sebagai timbulnya kepuasan dalam diri individu dan dari kepuasan tersebut menimbulkan motivasi karena ketertarikan dan kesenangan pada aktivitas itu sendiri.
Ridwan (2009) dalam Abbas (2013) menyatakan bahwa motivasi pada dasarnya dapat bersumber pada diri seseorang (motivasi intrinsik) dan dapat pula bersumber dari luar diri seseorang (motivasi ekstrinsik). Faktor-faktor motivasi tersebut dapat berdampak positif dapat pula berdampak negatif bagi seorang guru. Dalam hal ini guru di tuntut memiliki motivasi intrinsik kerja guru.. Deci & Ryan (1985) dalam Brown & Huning (2010) Motivasi intrinsik telah didefinisikan sebagai penggiatan perilaku yang berorientasi pada tujuan individu disebabkan faktor dari dalam seseorang dari pada faktor dari luar individu itu sendiri.
Menurut Robbin & Judge (2009) motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan. Wilson (2005) dalam Rahman (2012) membagi motivasi menjadi dua bagian yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik dapat didefinisikan sebagai individu merasa percaya diri dalam melakukan suatu aktivitas karena ada kemampuan dalam dirinya dan menjadi suatu kebanggaan atas kemampuan yang individu miliki. Motivasi ekstrinsik yaitu sebagai kinerja dari suatu aktivitas atau kegiatan untuk mencapai penghasilan yang maksimal.
Intrinsic motivation, generally involves internal desires to engage in an activity for pleasure and enjoyment Decy & Ryan (1985) dalam Li dkk (2008). Seseorang mengembangkan motivasi intrinsik melalui kemampuannya Bandura (1997). Robbin and Judge (2009), menyatakan bahwa pemberian penghargaan-penghargaan ekstrinsik untuk prilaku yang sebelumnya memuaskan secara intrinsik cenderung mengurangi tingkat motivasi secara keseluruhan (Teori Evaluasi Kognitif). Motivator ekstrinsik yang terdiri dari imbalan kerja yang tinggi, promosi, hubungan pengawas yang baik dan kondisi kerja yang menyenangkan cenderung akan menurunkan motivator intrinsik seperti pencapaian, tanggung jawab dan kompetensi.
Hal ini terjadi karena individu mengalami kehilangan kendali atas prilakunya sendiri sehingga motivasi intrinsik yang sebelumnya ada mulai berkurang. Individu akan mulai berfokus kepada penghargaan dari pada tugas yang diberikan. Tetapi penghargaan yang bersifat verbal atau menerima pujian dari kawan maupun atasan akan meningkatkan motivasi intrinsik dan mendorong mereka menjalankan tugas dengan baik (Robbins and Judge,2009).
Masih menurut Robbins and Judge (2009), apabila individu mengejar tujuan-tujuan karena minat intrinsik, mereka cenderung mencapai tujuanyang diinginkan dan merasa senang meskipun mereka tidak mencapai tujuan tersebut. Hal itu dapat terjadi karena proses perjuangan untuk meraihnya sangatlah menyenangkan. Individu yang mengejar tujuan-tujuan kerja untuk alasan intrinsik merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka, merasa seoah-olah mereka benar-benar cocok dengan organisasi. Dan memungkan bekerja denga sebaik-baiknya.
Sedangkan Vallerand (2007) dalam Moreno et al.(2009) berpendapat bahwa motivasi intrinsik berarti motivasi yang berasal dari dalam diri manusia yang tidak dipengaruhi faktor dari luar, karena motivasi jenis ini berorientasi pada kepuasan dan menikmati pekerjaan. Komponen motivasi intrinsik berisi: fokus dalam pekerjaan yang dihadapi, hidup yang bersemangat, senang akan sesuatu yang positif, kenikmatan, kepuasan, menaruh perhatian, berkonsentrasi, berusaha, berkeras hati, menghindari kecemasan, kebosanan, keletihan, berusaha untuk berterus terang dan ketaatan.
Menurut pendapat Robbins and Judge (2009) motivasi ekstrinsik berarti motivasi yang berasal dari eksternal individu. Motivasi jenis ini akan muncul apabila ada rangsangan yang berbentuk imbalan kerja yang tinggi, promosi, hubungan pengawas yang baik, kondisi kerja yang menyenangkan dan penghargaan dalam bentuk nyata (materi).
Manullang (2001) dalam Ridwan (2012) menyatakan bahwa motivasi ekstrinsik merupakan daya dorong yang datang dari luar diri seseorang seperti gaji, kebijakan dan administrasi, kondisi kerja, hubungan kerja, prosedur perusahaan dan status.
Menurut Hasibuan (2005) dalam Ridwan (2012) motivasi ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar diri yang menentukan perilaku seseorang yang dikenal dengan teori hygiene factor. Menurut Herzberg yang dikutip Luthans (2011) dalam Akbar (2012) yang tergolong sebagai hygiene factor antara lain:
Menurut Hezberg jika lingkungan yang baik dapat tercipta, maka prestasi tinggi dapat tercipta. Kondisi lingkungan kerja yang baik dan nyaman akan meningkatkan motivasi kerja dibandingkan dengan kondisi kerja yang penuh tekanan dan inferior.
Gaji merupakan salah satu unsur penting yang memiliki pengaruh besar terhadap motivasi seseorang. Sehingga harus hati-hati dalam melakukan kebijakan masalah gaji agar dapat meningkatkan kinerja guru.
Menurut Hasibuan (2010) motivasi berasal dari kata latin ‘’MOVERE“ yang berarti dorongan atau DAYA PENGGERAK. Motivasi hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut. Motivasi penting karena dengan motivasi diharapkan setiap individu mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktifitas yang tinggi.
Menurut pendapat Badeni (2013) motivasi diartikan sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah (Marihot Tua Effendi Hariandja, 2006). Sedikit berbeda denan pengertian motivasi yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins (1996). Ia mengatakan bahwa motivasi adalah ‘’the willingness to exert high level of effort toward organizational goal, conditioned by effort ability to satisfy’s individual needs’’. Menurutnya bahwa motivasi merupakan kemauan untuk mengeluarkan upaya yang tinggi untuk mencapai tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual. Secara umum dapat diartikan bahwa motivasi merupakan suatu proses yang menghasilkan suatu intensitas, arah/tujuan, dan ketekunan individual dalam mencapai tujuan.
Pengertian motivasi menurut Robbin & Judge (2009), motivation as the process that account for an individual’s intensity, direction and persistence of effort toward attaining goal. Motivasi adalah catatan atau penjelasan tentang intensitas individu, arah, dan kesanggupan berusaha untuk mencapai tujuan. Motivasi merupakan suatu proses dimana kebutuhan–kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ketercapainya suatu tujuan tertentu Mangkunegara (2009) dalam Ridwan (2012).
Menurut Hasibuan (2010), motivasi diartikan sebagai pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya dan upayanya untuk mencapai kepuasan. Pendapat yang serupa Hasibuan (2010), berpandangan bahwa motivasi dapat mendorong pekerja dan berusaha untuk memuaskan kebutuhan atau suatu tujuan. Sedangkan Hasibuan (2010) mengatakan bahwa motivation is a force that results from an individual’s desire to satisfy there needs (e.g. hungry, thirst, social approval). Motivasi adalah suatu kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya misalnya: rasa lapar, haus dan bermasyarakat.
Sumantri ( 2012) dalam Ridwan (2012) berpendapat bahwa kata motivasi (motivation) kata dasarnya motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan seseorang melakukan suatu kegiatan secar sadar. Menurut pendapat Robins and Judge (2009), motivasi berarti kebutuhan fundamental yang mendasari prilaku seseorang untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk rasa memilki, kebutuhan akan harga diri, untuk mengaktualisasi diri dan kebutuhan untuk berpendapat.
Robbin berpendapat bahwa motivasi adalah sebagai proses mengarahkan dan ketekunan setiap individu dengan tingkat intensits yang tinggi untuk meningkatkan suatu usaha untuk mencapai tujuan. Motivasi ini sebagai suatu dorongan untuk meningkatkan usaha dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi, dalam batas-batas keemampuan untuk memberikan kepuasan atas kebutuhan seseorang (Sofyandi, 2007). Motivasi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam menentukan kinerja guru. Tinggi rendahnya kinerja guru yang dimiliki akan dipengaruhi oleh faktor seperti motivasi kerja guru. Menurut Hasibuan (2006) dalam Akbar (2012) motivasi itu penting karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.
Menurut Akbar (2012) motivasi dapat berasal dari dalam diri (intrinsik) maupun luar diri seseorang (ekstrinsik). Jika motivasi intrinsik seseorang berhasil maka cenderung terus termotivasi. Sebaliknya , jika gagal mewujudkan motivasinya , mungkin tetap terus bekerja sampai motivasinya tercapai atau menjadi putus asa yang berakibat langsung kepada kinerja. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan faktor eksternal dari luar yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang.
Menurut teori Herzberg’s dual- factor theory of job satisfaction and motivation satisfier berhubungan dengan sifat pekerjaan itu sendiri. Faktor-faktor dari satisfier (intrinsik) .Sedangkan faktor dissatisfier (ekstrinsik) , terkait dengan hubungan individual terhadap konteks atau lingkungan dimana mereka bekerja Sunyoto (2013). Incentives theory mengatakan bahwa motivasi di pengaruhi oleh rangsangan atau imbalan dari luar. Sedangkan Cognitive theory mengatakan bahwa motivasi dipengaruhi dari dalam intrinsik motivation, dimana aktivitas yang dilaksanakan untuk mencari kesenangan bukan reward dan exstrinsic motivation yaitu aktivitas yang didasarkan pada ganjaran yang nyata.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007, indikator-indikator kompetensi guru adalah sebagai berikut:
Menurut Udiyono (2011), guru memegang peranan penting karena sebagai ujung tombak, dalam proses belajar mengajar yang bertugas mengantarkan siswanya dalam rangka mencapai tujuan pembelajarannya yaitu siswa memiliki kompetensi, baik kognitif, afektif maupun psikomotor serta kompetensi kooperatif.Interaksi antara guru dan siswa memiliki kedudukan yang sangat penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Menurut Hamalik (2007) dalam Udiyono (2011) guru merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar siswa. Dan oleh karena itu guru harus menguasai materi yang akan diajarkanya, disamping menguasai metode pembelajaranya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”.
Sardiman (2012) mengatakan bahwa guru sebagai tenaga profesional harus memahami ‘’sepuluh kompetensi guru’’ yang merupakan profil kemampuan dasar bagi seorang guru, meliputi menguasai bahan, mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas, menggunakan media/sumber, menguasai landasan pendidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah serta memahami prinsip-prinsip dan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Berdasarkan Standar Pendidik dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2007 disebutkan bahwa “Pendidik harus memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi yang berlaku secara nasional, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” yang meliputi:
1) Kualifikasi akademik pendidikan minimal diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
2) Latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang atau mata pelajaran yang diajarkan;
3) Sertifikat profesi guru (minimal 36 sks di atas D-IV/S1);
Menurut Sagala (2009) dalam Barinto (2012) Kompetensi guru dikelompokkan menjadi 10 kompetensi yaitu: 1.kemampuan menguasai pelajaran, 2. Mengelola pembelajaran, 3. Mengelola kelas, 4. Menggunakan media, 5. Menguasai landasan pendidikan, 6. Mengelola interaksi pembelajaran, 7. Mampu menilai peserta didik, 8. Mampu mengenal fungsi program BK, 9. Menyelenggara- kan administrasi sekolah, dan 10. Mampu memahami prinsip-prinsip hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
Pengembangan dan peningkatan kualitas kompetensi guru diserahkan pada guru. Jika mau mengembangkan, maka akan menjadi berkualitas. Idealnya pemerintah memfasilitasi guru untuk mengembangkan kemampuan bersifat kognitif, afektif, maupun performansi. Sehingga bisa meningkatkan kemampuan pedagogik guru Sagala (2009). Masih menurut Sagala, Kompetensi pedagogik meliputi: 1. Pemahaman guru terhadap filsafat pendidikan, 2. Petensi peserta dididk, 3. Mengembangkan kurikulum, 4. Menyusun RPP, standar kompetensi dan kompetensi dasar, 5. Melaksanakan pembelajaran yang dialogis, 6. Mengevaluas,i dan 7. Mampu mengembangkan minat dan bakat siswa.
Menurut Daradjat (1980 dalam Barinto (2012) kepribadian sebagai sesuatu yang abstrak, sukar dilihat hanya dapat diketahui lewat penampilan, ucapan dan tindakan dalam menghadapi suatu persoalan.Kompetensi kepribadian menurut Usman (2004) dalam Barinto (2012) meliputi: 1. Mengembagka kepribadian, 2. Mampu berkomunikasi, 3. Mampu melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Kompetensi kepribadian terkait dengan penampilan guru yang disiplin, berpenampilan baik, bertanggungjawab, komitmen dan menjadi teladan Sagala (2009) dalam Barinto (2012).
Menurut Slamet (2006) dalam Barinto (2012) kompetensi professional berhubungan dengan bidang studi terdiri dari: 1. Memahami materi, 2. Memahami standar kompetensi, standar isi, peraturan mentri dan bahan ajar, 3. Memahami konsep keilmuan, 4. Memahami hubungan antar pelajaran yang terkait, 5. Menerapkan konsep keilmuan sehari-hari.
Djoyonegoro (1998) dalam Barinto (2012) mengatakan profesionalime pekerjaan ada 3 faktor: 1. Keahlian khusus di bidangnya, 2. Mampu memperbaiki keahlian khususnya, 3. Memperoleh penghasilan yang memadai karena keahlian khususnya. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan yang harus dimiliki seorang guru terdiri diri: kompetensi paedagogik, kepribadian dan profesional.
Masih menurut Wijaya (2009) kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogianya dapat dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku, maupun hasil yang dapat ditampilkan oleh guru. Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya.
A competent teacher is temperamentally warm and cordial. She has clear vision of the set objectives. She executes meticulously whatever is planned. Management of affairs is done effectively by her inside and outside the classroom. Her skill of presentation of subject matter is able to seek attention of students. She is capable of motivating the back benchers (Bhargava & Pathy, 2011). Guru yang kompeten adalah yang memiliki perasaan emosi yang dekat dan baik. Memiliki visi dan tujuan yang jelas. Dia melaksanakan apapun yang direncanakan dengan cermat. Manajemen dilakukan secara efektif baik didalam maupun di luar kelas. Kemampuan mengajarkan pelajaran mampu mencari perhatian peserta didik. Dan mampu memotivasi peserta didik.
. Marinkovic dkk (2012) berpendapat model kompetensi guru memiliki tiga kompetensi dasar yaitu: key (utama), basic (dasar), special (khusus). Utama yaitu kompetensi guru yang dibutuhkan untuk berkomunikasi menyampaikan informasi, kemampuan kemasyarakatan, kemampuan berbahasa, dan kemampuan dalam kebudayaan. Sedangkan kompetensi dasar meliputi: kemampuan dalam berorganisasi, kemampuan didaktis (mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya). Kemampuan berfikir pedagogis,kemampuan psikologis, kemampuan mengevaluasi, kemampuan menasehati, kemampuan kognitif, kemampuan mengembangkan sebagai guru yang profesional. Kompetensi yang terakhir yaitu kompetensi khusus yaitu kompetensi guru yang menggambarkan tingkat kompetensi guru yang berisi tentang subjek yang diajarkan untuk praktek penelitannya untuk menciptakan model pembelajarannya.
Menurut Syah (2000) dalam Satya (2012) kompetensi adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhui syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawai dalam melaksanakan profesinya.
Menurut Mathis (2006) dalam Satya (2012) mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik dasar yang dapat dihubungkan dengan kinerja yang meningkatkan individu atau tim. Sedangkan Wibowo (2007) dalam Satya (2012) mendefinisikan kompetensi sebagai suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas ketrampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang ditu\ntut oleh pekerjaan tersebut. Dengan demikian, kompetensi menunjukkan ketrampilan atau pengetahuan yang dicirikan oleh kemampuan dalam suatu bidang tertentu sebagai sesuatu yang terpenting sebagai unggulan bidang tersebut.
Menurut pendapat Siagian (2007) dalam Rahayu & Pujaningsih (2008), bahwa kompetensi dapat diartikan sebagai tindakan atau perilaku yang dapat diukur melalui kombinasi pengetahuan, keahlian dan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Kompetensi di tunjukkan pada konteks tugas dan dipengaruhi oleh budaya organisasi dan lingkungan kerja serta, dengan kata lain kompetensi terdiri dari kombinasi pengetahuan, keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi di tempat kerja. Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Wijaya (2009) mengatakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang penting. Kompetensi guru menggambarkan apa yang seyogianya dapat dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku, maupun hasil yang dapat ditunjukkan. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Terry (2005) dalam Arifin (2013) mengatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan seseorang atau karyawan yang harus melakukan pekerjaanya dengan baik , efektif, efisien, produktif, dan berkualitas dalam mencapai tujuan organisasi. Wijaya (2009) mengutip pendapat Holmes mengatakan bahwa kompetensi dapat dijelaskan dengan kondisi di mana seseorang bekerja dalam bidang pekerjaan tertentu yang seyogianya mampu dilakukan. Hal itu menggambarkan tindakan, perilaku, dan hasil di mana seseorang seyogianya mampu menampilkannya.
Menurut Bhargava & Pathy (2011) Competencies are specific and demonstrable characteristics or attributes inevitable for teaching professionals to create a convincing and learner friendly environment. Kompetensi adalah sifat khusus yang bisa dibuktikan atau kedudukan yang tidak bisa dielakkan bagi guru professional dengan menciptakan keyakinan kepada peserta didik dan ramah dengan lingkungannya. Dengan adanya tantangan kehidupan global, maka peran dan tanggung jawab guru di masa yang akan datang semakin kompleks sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian terhadap penguasaan kompetensinya.
Kompetensi merupakan seperangkat penguasaan kemampuan, ketrampilan, nilai, dan sikap yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai guru yang bersumber dari pendidikan, pelatihan, dan pengalamannya sehingga dapat menjalankan tugas mengajarnya secara profesional.
Alat analisis yang digunakan untuk mengukur peranan PAD dalam struktur APBD Kabupaten Pinrang didasarkan pada analisis tabel struktur penerimaan dan pengeluaran, melalui perhitungan koefisien rasio (share) masing-masing komponen penerimaan APBD terhadap total penerimaan APBD, selanjutnya dicari rata-rata share dari variabel-variabel tersebut dengan rumus (Saleh, 1999 : 11) :
keterangan,
X = rata-rata hitung
= nilai data dari X1, X2, ……….Xn
N = jumlah data
Untuk menghitung laju pertumbuhan variabel-variabel digunakan rumus tingkat pertumbuhan berikut ini ( Susanti dkk., 1995 : 23 )
keterangan ,
r = tingkat pertumbuhan
Pt = nilai pada tahun t
Pt-1 = nilai pada tahun sebelumnya (t-1)
Untuk mengukur tingkat kemampuan keuangan daerah berpedoman pada hasil penelitian oleh Litbang Depdagri dengan Fisipol UGM (1991), dianalisis dengan menghitung rasio PAD terhadap total pendapatan daerah dan rasio total sumbangan dan bantuan terhadap total pendapatan daerah, serta rasio PAD terhadap total pengeluaran rutin, digunakan rumus proporsi sebagai berikut :
keterangan,
Xi = Pendapatan Asli Daerah (PAD) / Sumbangan dan Bantuan,
Z = Total penerimaan daerah dalam APBD / Total pengeluaran rutin,
K = Tingkat kemampuan keuangan daerah
Apabila :
Nilai K antara 0,00 % – 10,00 % dinilai sangat kurang,
Nilai K antara 10,01 % – 20.00 % dinilai kurang
Nilai K antara 20,01 % – 30,00 % dinilai sedang,
Nilai K antara 30,01 % – 40,00 % dinilai cukup,
Nilai K antara 40,01 % – 50,00 % dinilai baik,
Nilai K di atas 50 % dinilai sangat baik.
Bantuan (grant) dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yanglebih rendah merupakan fakta didalam pemerintahan dengan sistem multitingkat (Radianto.1997:43) Menurut Davey (1989:20-23) tujuan pemberian bantuan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah antara lain :
Tidak semuah jenis bantuan memberikan keleluasaan yang sama kepada daerah dalam pengalokasiannya. Dalam konteks yang lain bantauan pemerintah dari Pemerintah Pusat dikenal dengan istilah bantuan dan sumbangan atau bantuan inpres, dan menurut sifatnya dapat dibedakan atas dua jenis, (1) bantuan umum (general grant/block grant/unconditional grant) yaitu bantuan yang diberikan kepada daerah yang tidak disertai ikatan atau syarat tertentu. Artinya daerah dapat menggunakan atau mengalokasikan kegiatan/program berdasarkan kehendak dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. (2) bantuan khusus (specific grant/conditional grant) yaitu bantuan yang diberikan kepada daerah untuk menyediakan pelayanan atau jasa publik yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
Dalam konteks Indonesia, transfer pemerintah dalam bentuk bantuan untuk pembangunan sebelum diberlakukannya UU nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dikenal sebagai bantuan pembnagunan daerah atau inpres, yang juga terdiri atas dua bentuk.
Secara konseptual penggunaan dana bantuan umum/Dana Alokasi Umum (DAU) tidak ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, akan tetapi sesuai dengan prioritas/kebutuhan daerah. Penggunaan dana yang bersifat bantuan khusus (specific grant) ditentukan oleh Pemerintah Pusat baik prioritas maupun alokasi dana kegiatan/program/sektor, sedangkan daerah hanya berwenang untuk menentukan lokasi dan pelaksanaannya.
Setelah diberlakukannya paket undang-undang otonomi dan desentralisasi fiskal, maka bantuan umum merupakan bagian dari dana Pemerintah Daerah yang berasal dari APBN, yang lebih dikenal dengan DAU. Pengalokasian DAU (transfer) bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan penggunaan dana tersebut menjadi kewenangan penuh daerah kabupaten/kota. Sebaliknya, Dana Alokasi Khusus (DAK) juga dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu, di mana kriteria kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK ditetapkan oleh menteri teknis/instansi terkait dengan memperhatikan kebutuhan yang merupakan komitmen atau perioritas nasional.
Sajalan dengan tujuan otonomi daerah, maka bantuan dari Pemerintah Pusat sesungguhnya berfungsi sebagai instrumen yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah sehingga berdampak pada semkain meningkatnya pendapatan asli daerah dan bukan sebaliknya. Hal ini ditekankan oleh Arsyad (1990 : 23) bahwa hakekat bantuan adalah untuk memperkuat tingkat otonomi suatu daerah. Olehnya itu, daerah perlu memiliki keleluasaan (discretion) dalam menggunakan dana bantuan (transfer) sesuai sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan pelayanan masyarakat dan peningkatan penerimaan daerah.
diberlakukannya Undang-undang nomor 22 tentang otonomi daerah telah memberikan arti khusus bagi terselenggaranya azas desentraliasasi yang semakin jelas artinya pemerintah pusat/daerah tingkat yang lebih atas tidak terlalu mencampuri urusan rumah tangga daerah. Desentralisasi pasa dasarnya ditujukan untuk lebih memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan funsi pelayanan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hakekat semangat otonomi harus tercermin dalam pengelolaan keuangan daerah (otonomi fuskal daerah) melalui perncanaan, pengawasan,pengendalian dan avaluasi seluruh fungsi fungsi pemerintahan yang telah disentralisasikan., dengan kata lain, daerah harus mempunyai kewenangan untuk merencanakan, menggunakan dan mempertanggung jawabkan pengelolaan seluruh sumber penerimaan daerah kepada masyarakat melalui DPRD tampa adanya intervensi pemerintah pusat seperti dimasa lalu (Turtiantoro, 2000:29-30) Hal-hal yang mendasar dalam azas desentralisdasi adalah komitmen untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, pengembangan dan fungsi dewan perwakilan rakayat.
Sala satu aspek yang dapat menetukan keberhasilan otonomi daerah adalah kemendirian pemerintah daerah (Radianto,1999:42) dengan demikia inplikasi pengembangan otonomi daerah tidak semata-mata merupakan penembahan ururasan yang diserahkan, melainkan juga seberapa besar wewenang yang diserahkan tersebut memberikan kemampuan menganbil prakarsa dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk desentralisasi fiskal sehingga daerah dapat mengurangi derajat ketergantungannya kepada pusat dan dapat membiayai kegiatan pembangunan daerah.) adapun Sumber-sumber pendapatan dalam rangka pelaksanaan otonomi dan desentralisasi, yakni terdiri atas :
Hal tersebut di atas juga dipertegas oleh Bird dan Vaillancourt (2000 : 167 – 169) bahwa sistem fiskal yang sangat sentralistis merupakan penyebab kemampuan Pemerintah Daerah untuk menjalankan fungsi-fungsinya yang tergantung pusat, sehingga telah mengakibatkan kecilnya porsi penerimaan sendiri dalam struktur pengeluaran daerah. Demikian pula, dengan ketergantungan yang tinggi terhadap transfer Pemerintah Pusat telah menyebabkan kurangnya insentif pencarian sumber-sumber untuk menutupi biaya daerah (fiscal needs). Dalam merencanakan berbagai peraturan tentang keseimbangan fiskal, Alisyahbana(2000:7),mengatakan bahwa beberapa permasalahan penting yg harus diperhatikan.Masalahyang penting tersebut yaitu desentralisasi fiskal dan hubungan antara pusat dan daerah.
Penelitian tentang keuangan daerah di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa orang, antara lain Devas,dkk (1989 : 46), mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah sangat tergantung dari Pemerintah Pusat. Dalam garis besarnya, penerimaan daerah (termasuk pajak yang diserahkan) hanya menutup seperlima dari pengeluaran Pemerintah Daerah. Meskipun banyak pula negara lain dengan keadaan yang sama atau lebih buruk lagi. Namun demikian, Pemerintah Daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan agar dapat memiliki tingkat otonomi yang berarti, yang penting adalah “wewenang di tepi” atau wewenang pangkal, artinya memiliki penerimaan daerah sendiri yang cukup sehingga dapat mengadakan perubahan di sana sini pada tingkat jasa layanan yang disediakan.
Sebagai pembanding, data IMF Government Finance Statistic 1985 menggambarkan bahwa persentase penerimaan daerah total yang berasal dari penerimaan daerah sendiri yang diserahkan pada beberapa negara, Filipina (1976) 31 %, Thailand (1983) 54 %, Malaysia (1981) 80 %, India (1982) 59 %, Pakistan (1979) 89 %, Brazil (1983) 82 %, Prancis (1983) 57 %, Amerika Serikat (1983) 78 %. Olehnya itu, mungkin sudah memadai jika 20 persen dari pengeluaran berasal dari sumber-sumber daerah. Wewenang pangkal dimaksud lebih jauh dikatakan bahwa yang penting adalah wewenang menentukan pengeluaran, wewenang atas sumber penerimaan saja belum cukup untuk otonomi daerah.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa peluang untuk menaikkan penerimaan daerah sangat kecil, karena banyak penerimaan khususnya pajak yang tidak memuaskan (potensinya kecil). Peluang untuk menciptakan jenis-jenis pajak yang baru juga kecil, sebab Pemerintah Pusat sudah menguasai lahan pajak yang penting, sehingga peluang untuk menaikkan penerimaan daerah dari sumber sendiri terbatas di satu sisi. Selain dari pada itu, Pemerintah Pusat juga menguasai hampir semua bidang pajak di sisi lain, maka alternatif yang dimungkinkan untuk meningkatkan penerimaan daerah adalah memberikan (melimpahkan) beberapa sumber penerimaan kepada daerah atau menggarap beberapa bidang pajak bersama-sama dengan daerah.
Tim Peneliti Fisipol UGM bekerja sama dengan Litbang Depdagri (1991) menentukan tolok ukur kemampuan daerah dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total APBD, yaitu:
Penentuan tolok ukur kemampuan keuangan daerah dilihat dari rasio antara PAD terhadap APBD tersebut dinilai wajar, mengingat sebagian besar sumber penerimaan di daerah telah dijadikan pajak sentral dan dipungut oleh Pemerintah Pusat, sehingga kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah serta Pendapatan Asli Daerah lainnya terhadap total penerimaan daerah adalah sengat kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pemerintah Pusat mengkatagorikan bagi daerah yang rasio PAD terhadap APBD berada di atas 30 % dinyatakan sudah cukup mampu dalam pelaksanaan otonomi dilihat dari dari sisi keuangannya. Menyadari hal tersebut, Pemerintah Pusat setiap tahun anggaran selalu memberikan subsidi dan bantuan kepada daerah.
Jamaluddin (1990) menelaah tentang derajat desentralisasi fiskal Pemerintah Daerah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, Indonesia merupakan negara berkembang yang menduduki posisi fiskal yang paling rendah dari segi penerimaan. Hal ini berkaitan dengan sumber-sumber PAD yang kurang potensial, lemahnya administrasi dan struktur pajak belum memenuhi kriteria pajak yang ada. Sejalan dengan hal di atas, Lains (1985) meneliti tentang keuangan dan pembangunan daerah di Sumatera Barat menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan daerah ditemukan bahwa, kemampuan pembiayaan dengan PAD adalah kecil. Dengan kata lain, bahwa sebagian besar pembangunan daerah dibiayai oleh Pemerintah Pusat.
Kecilnya proporsi PAD dalam total penerimaan daerah antara lain karena jenis-jenis pajak yang menjadi hak daerah kurang potensial. Lains menyarankan perlu adanya desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta sistem perpajakan, yaitu dengan pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah, juga diungkapkan bahwa, subsidi khusus mungkin lebih efisien dalam penggunaan dana dibandingkan dengan bantuan umum.
Mardiasmo dan Makhfatih (2000: 8-12) menguarikan bahwa potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang perkembangan beberapa variabel yang dikendalikan (yaitu variabel-variabel kebijakan dan kelembagaan), dan yang tidak dapat dikendalikan (yaitu variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan daerah. Olehnya itu, dalam menghitung potensi perlu memperhatikan beberapa faktor berikut: (1) kondisi awal suatu daerah, (2) peningkatan cakupan atau ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan daerah, (3) perkembangan PDRB per kapita ril, (4) pertumbuhan penduduk, (5) penyesuaian tarif, (6) tingkat inflasi, (7) pengembangan baru, (8) sumber pendapatan baru, (9) perubahan peraturan.
Otonomi daerah adalah suatu kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai denganperaturan perundang undangan yang berlaku (undang undang No. 22 tahun 1999) membicarakan otonomi daerah tidak terlepas dari adanya pembegian kekuasaan didalam suatu negara antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Prinsip dasar otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang undang No, 22 tahun 1999 adalah megatur penyelenggaraan pemerintahan daerah Daerah dan Undang-undang nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah menjadi tonggak dan upaya nyata pemberdayaan (empowerment) daerah, melalui lembaga-lembaga yang ada serta sebagai perwujudan demokrasi. Penyerahan sebagian fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah akan menciptakan keleluasaan bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Begitu pula, diharapkan dapat mempercepat proses distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi daerah yang lebih mandiri.
Cara lain untuk menganalisis posisi fiskal daerah dengan menghitung elastisitas PAD terhadap PDRB. Elastisitas pajak di suatu daerah terhadap PDRB di daerah itu merupakan salah satu cara untuk mendeteksi struktur pajak di suatu daerah atau jenis pajak tertentu. Semakin elastis PAD suatu daerah maka struktur PAD di daerah tersebut semakin baik. Elastisitas PAD dapat dihitung dengan menggunakan rumus matematis (Ahmad, 1990 : 38).
e …………………………………………….. (2.8)
di mana e = Elastisitas Pajak Daerah
Y = PDRB pada harga yang berlaku
d = Perubahan
TR = Penerimaan Pajak
Kapasitas Pajak (fiscal capasity). Kapasitas pajak dapat digunakan pendekatan perhitungan sebagai berikut (Ahmad, 1990 : 68).
…………………………… (2.6)
di mana : KFi = Kapasitas Fiskal di Daerah
PDRBi = PDRB tanpa pertambangan dan galian di daerah i.
KFs = Kapasitas Fiskal Standar.
Kapasitas Fiskal Standar atau rata–rata dirumuskan sebagai berikut :
………………………….. (2.7)
Indeks kinerja PAD (IKPAD). Indeks Kinerja PAD (IKPAD) yaitu dengan membagi upaya pengumpulan PAD (UPAD) dengan tingkat PAD standar (TPS) dapat diperoleh indeks kinerja PAD (IPAD), dapat dirumuskan sebagai berikut (Ahmad, 1990 :66) :
……………………………………………… (2.5)
Tingkat PAD Standar (TPS) adalah perbandingan antara Total PAD Kabupaten/Kota dengan Total PDRB Kabupaten/Kota, dirumuskan sebagai berikut (Ahmad, 1990 :65) :
…………………………………………. (2.4)
di mana : TPS adalah tingkat PAD Standar.
å PAD Kabupaten adalah total PAD kabupaten
å PDRB Kabupaten adalah total PDRB Kabupaten
Untuk mengukur kemampuan keuangan daerah dalam pembiayaan kegiatan pembangunan digunakan analisis kontribusi PAD terhadap APBD (Derajat Otonomi Fiskal Daerah) yaitu nisbah antara PAD pada tahun tertentu dengan APBD pada tahun tertentu (Sugiyanto, 2000 : 2).
……………………………………….. (2.2)
di mana :
DOFD t = Derajat Otonomi Fiskal Daerah tahun ke-t
PADt = Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun ke-t.
APBDt = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun ke-t.
Analisis perumbuhan terhadap komponen penerimaan daerah dengan menggunakan rumus, Jaya, dkk (2000 :25) diformulasikan sebagai berikut :
……………………………………… (2.1)
di mana : g adalah pertumbuhan
Xt adalah nilai pada tahun t
Xt-1 adalah nilai pada tahun sebelumnya.
Posisi fiskal dapat pula dipelajari dengan memperbandingkan pajak terhadap komponen pajak. Posisi fiskal sama dengan upaya pengumpulan pajak (tax effort), dengan demikian dapat dirumuskan sebagai berikut (Ahmad, 1990 : 37).
di mana : Tej adalah Upaya pengumpulan pajak di daerah j.
Trj adalah penerimaan pajak di daerah j.
Tcj adalah kapasitas pajak di daerah j.
Nilai Te yang akan diperoleh berkisar antra nol sampai satu. Untuk menentukan posisi fiskal disuatu daerah apakah lemah atau kuat itu bergantung pada standar yang digunakan. Secara sederhana dapat dikatakan bila nilai Te mendekati satu, maka posisi fiskal dapat disebut kuat dan bila nilai Te mendekati nol, maka posisi fiskal disebut lemah.
Kapasitas pajak di suatu daerah dapat dirumuskan sebagai berikut :
Tcj = ts . Bj
Di mana : Tcj = Kapasitas pajak di daerah j.
ts = Standar tarif pajak.
Bj = Basis pajak di daerah j.
Kemampuan rutin daerah atau kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran rutin daerah yang tercermin dalam Indeks Kemampuan Rutin (IKR) yaitu ratio pendapatan Asli Daerah terhadap total belanja rutin daerah, digunakan tolok ukur yang dikemukakan Tumilar (1997: 38), sebagai berikut.
DOF =
PAD / APBD (%) |
KRITERIA |
IKR =
PAD / BL. RUTIN (%) |
KRITERIA |
0,00 – 10,00 | Sangat Kurang | 0,00 – 20,00 | Sangat Kurang |
10,10 – 20,00 | Kurang | 20,10 – 40,00 | Kurang |
20,10 – 30,00 | Sedang | 40,10 – 60,00 | Cukup |
30,10 – 40,00 | Cukup | 60,10 – 80,00 | Baik |
40,10 – 50,00 | Baik | 80,10 – 100,00 | Sangat Baik |
Di atas 50,00 | Sangat baik | – | – |
Posisi fiskal (fiscal position) suatu daerah dapat dipelajari dengan menggunakan konsep-konsep rasio pajak (tax ratio), upaya pengumpulan pajak (tax effort), kapasitas pajak (taxable capacity), kebutuhan fiscal (fiscal needs), indeks penampilan pajak (tax performance index) dan elastisitas pajak. Menurut Musgrave dan Musgrave, (1984 : 530-534) posisi fiskal disebut kuat kalau kapasitas pajak lebih tinggi dari kebutuhan, dan disebut lemah apabila terjadi sebaliknya. (lihat Ahmad, 1990 :36).
Sebelum diberlakukannya UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 bantuan pembangunan di Indonesia dikenal dengan bantuan pembangunan daerah atau Inpres yang terdiri dari dua bentuk.
Dilihat dari segi penggunaan dana bantuan umum (block grant) tidak ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam pengertian bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menentukan untuk apa bantuan tersebut dengan ketentuan penggunaannya sejalan dengan sektor-sektor yang sesuai dengan program yang telah disetujui sebelumnya. Bantuan khusus (specific grant) pemerintah daerah hanya terbatas pada wewenang dalam hal penentuan lokasi proyek dan cara pelaksanaannya dan pemerintah pusatlah yang akan menentukan prioritas penggunaan dan alokasi dananya.
Setelah UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 mulai diberlakukan, maka bantuan umum berubah menjadi Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan antara daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang pengelolaannya sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota. Bantuan khusus (specific grant) berubah menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus / tertentu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh menteri teknis yang terkait dengan tetap memperhatikan kebutuhan yang merupakan komitmen atau perioritas nasional.
Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan otonomi daerah adalah kemandirian pemerintah daerah. Dengan demikian implikasi dari pengembangan otonomi daerah bukan semata-mata merupakan penambahan urusan yang diserahkan, akan tetapi juga seberapa besar wewenang yang diserahkan tersebut memberikan kemampuan mengambil prakarsa dalam pengelolaan keuangan daerah termasuk desentralisasi fiskal sehingga daerah dapat mengurangi derajat ketergantungannya kepada pusat dan dapat membiayai kegiatan pembangunan daerahnya.
Derajat otonomi fiskal di Kabupaten dan Kota di Indonesia pada umumnya masih rendah. Hal ini tercermin dalam indeks kemampuan rutin (IKR) yang masih rendah, artinya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari masing-masing Kabupaten dan Kota belum mampu untuk membiayai keseluruhan belanja rutin daerahnya. Pengukuran derajat otonomi fiskal daerah menjelaskan mengenai kemampuan suatu daerah dalam membiayai urusan rumahtangganya dengan menghitung rasio pendapatan asli derah terhadap total penerimaan daerah tanpa transfer (Radianto, 1997 : 47). Pada struktur pengeluaran daerah, derajat otonomi fiskal dapat tercermin dalam angka indeks kemampuan rutin yaitu proporsi antara Pendapatan Asli Daerah dengan pengeluaran rutin tanpa transfer pemerintah pusat (Kuncoro, 1995 : 9 dan Radianto, 1997 :42).
Selanjutnya Bird dan Vaillancourt (2000 :167-169) menyatakan bahwa sistem fiskal yang sangat sentralistik merupakan penyebab mengapa kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi-fungsinya tergantung kepada pusat. Hal ini telah mengakibatkan kecilnya porsi penerimaan sendiri dalam struktur penerimaan daerah. Ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pemerintah pusat telah menyebabkan kurangnya insentif pencarian sumber-sumber untuk menutupi biaya daerah.
Ketergantungan terhadap subsidi pemerintah pusat memang umum terjadi hampir di semua negara tidak terkecuali negara-negara maju seperti Amerika Serikat, di mana pada tahun 1900, sekitar 34% dari pengeluaran pelayanan publik dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 66% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Sejak tahun 1949, komposisi pengeluaran sektor publik tersebut bergeser menjadi 70% dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 30% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Proporsi ini bergerak pada tingkat yang hampir sama sampai tahun 1990, yaitu 67% dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 33% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Namun tingkat ketergantungan negara bagian dan pemerintah lokal tersebut tentu saja tidak mengurangi kewajiban mereka
untuk meningkatkan PAD-nya, (Sidik 2000 : 3).
Rendahnya Pendapatan Asli Daerah tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Depdagri dengan FISIPOL – UGM tahun 1991 terkait dengan kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah dengan salah satu variabel utama yaitu keuangan daerah menyebutkan bahwa dari seluruh daerah tingkat II di Indonesia (292) sebanyak 71,23% hanya memberikan kontribusi PAD terhadap APBD sebesar 20% atau kurang dan 41,78% yang hanya memberikan kontribusi 10% atau kurang (Nugroho, 2000 : 119).
Menurut Jaya (1996 : 5) masih rendahnya Pendapatan Asli Daerah yang mengakibatkan masih besarnya tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat adalah disebabkan karena kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah, tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, pajak daerah kendati jumlahnya cukup beragam namun hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan, alasan praktis dimana ada kehawatiran bahwa apabila daerah memiliki sumber pendapatan yang tinggi akan mendorong disintegrasi bangsa dan yang terakhir adalah karena pola pemberian subsidi dari pemerintah pusat yang hanya sedikit memberi kewenangan kepada daerah untuk merencanakan pembangunan daerahnya sendiri. Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah dan dapat dipandang sebagai indikator penting dalam mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap pemerintah pusat (Insukindro, dkk, 1994 :1).
Dalam kenyataannya pada hampir semua daerah tingkat II, sumber PAD belum menunjukkan peranan yang berarti. Hasil penelitian Devas, dkk (1989:163) dan Nazara (1997:9) menunjukkan bahwa pada daerah tingkat II di Indonesia, PAD hanya menempati porsi sekitar dua persen dari keseluruhan anggaran pembangunan, sementara itu pada tingkat propinsi, PAD hanya menyumbang sekitar tujuh persen. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian suatu daerah dalam rangka membiayai segala urusan otonomi daerah.
alat analisis penunjang untuk menghitung kontribusi dan pertumbuhan dari penerimaan dan belanja daerah beserta komponennya dengan menggunakan alat analisis menurut Widodo (1993 : 20) sebagai berikut :
Vi
Kontribusi (kvi)= X100%Vtotal |
…………..………. 2.5 |
di mana ; Kvi = Kontribusi variabel komponen APBD
Vi = Variabel Komponen APBD
Vtotal = Total Variabel (APBD)
Vx – Vx-1 Pertumbuhan (DY)= X 100%Vx-1 |
……..………… 2.6 |
di mana ; (DY) = Laju pertumbuhan
Vx = Variabel tahun tertentu
Vx-1 = Tahun sebelumnya
Batas Maksimal Pinjaman (BMP) adalah jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melibihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Batas Maksimal pinjaman ini merupakan batas paling tinggi jumlah pinjaman daerah yang dianggap layak menjadi beban APBD, dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut :
Kumulatif Pokok Pinjaman Daerah
BMP= ≤ 75 % ………………….2.2Penerimaan Umum APBDt-1
|
Debt Service Coverage Ratio (DSCR) adalah perbandingan antara penjumlahan Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, penerimaan sumber daya alam dan bagian daerah lainnya seperti Pajak Penghasilan Perseorangan, serta Dana Alokasi Umum, setelah dikurangi Belanja Wajib, dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman lainnya yang jatuh tempo,
Di mana ; PAD adalah Pendapatan Asli Daerah; BD adalah Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan sumber daya alam, serta bagian daerah lainnya seperti Pajak Penghasilan Perseorangan; DAU adalah Dana Alokasi Umum; BW adalah Belanja Wajib yaitu belanja yang harus dipenuhi/tidak bisa dihindarkan dalam tahun anggaran yang bersangkutan oleh Pemerintah Daerah seperti belanja pegawai; P adalah Angsuran pokok pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan; B adalah Bunga pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan; dan BL adalah Biaya lainnya (biaya komitmen, biaya bank, dll) yang jatuh tempo.
Jumlah pinjaman daerah dapat dihitung berdasarkan kemampuan keuangan daerah, dengan mempertimbangkan jangka waktu, masa tenggang dan bunga pinjaman. Menurut Sartono (1997), formula yang digunakan sebagai berikut;
..……….…………..(2.5)
Keterangan ;
PD = Pinjaman daerah.
A = Angsuran pinjaman.
r = Tingkat suku bunga
n = Jangka waktu pinjman
A = P [ r : {1 – (1 + r)‾ⁿ}] ……………………………..(2.6)
Keterangan ;
A = Besarnya angsuran per periode.
P = Pokok pinjaman.
r = Tingkat suku bunga.
n = Jangka waktu pembayaran angsuran pokok.
Batas maksimum pinjaman merupakan batas yang dianggap layak menjadi beban APBD. Perhitungan batas maksimum pinjaman ini diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut;
Komulatif Pokok Pinjaman Daerah
BMP = ——————————————————— 75 %
Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya ……..(2.4)
Keterangan ;
Komulatif Pokok Pinjaman Daerah = Pokok Pinjaman Lama + Pinjaman baru
Penerimuaan Umum APBD = Semua Penerimaan daerah tidak termasuk
DAU, dana darurat, pinjaman lama dan lain
Penerimaan.
(PAD+BD+DAU) – BW
DSCR = ———————————– ≥ 2,5 ……….… ( 2.3)
P + B + BL
Keterangan;
DSCR = Debt Service Coverage Ratio.
Penerimaan daerah.
(1). PAD = Pendapatan Asli Daerah.
(2). BD = Bagian daerah yang terdiri dari PBB,BPHTB,SDA.
(3). DAU = Dana Alokasi Umum.
(4). BW = Belanja Wajib, belanja yang harus dipenuhi/tidak bisa
dihindari dalam tahun anggaran yang bersangkutan
seperti belanja rutin.
Pengeluaran daerah.
(1). Rutin = Pengeluaran Rutin.
(2). DIK = Daftar Isian Kegiatan yang akan di daerahkan.
Angsuran Pokok.
(1). P = Angsuran pokok pinjaman.
(2). B = Bunga Pinjaman.
(3). BL = Biaya lainnya.
Menurut Widodo (1991:20), untuk mengetahui pertumbuhan dan kontribusi digunakan formula berikut ini;
Vx – Vx -1
Pertumbuhan (∆Y) = X 100 % …….. …….. (2.1)
Vx –1
dimana ; ∆Y = Laju Pertumbuhan . x = tahun tertentu,
x -1 = tahun sebelumnya, V = variabel tertentu.
……………… (2.2)
dimana; Kvi = kontribusi variabel komponen APBD
Vi = Variabel komponenen APBD
Vtotal = Total Variabel (APBD)
Ada dua pandangan yang dikemukakan tentang pinjaman publik, yang mempunyai pemikiran berbeda satu sama lainnya. Menurut aliran klasik (lihat Simanjuntak, et .al., 2000:18), menyatakan bahwa pinjaman publik akan menghambat pembangunan, karena pengeluaran publik bersipat non produktif. Sedangkan menurut aliran Keynesian menyatakan bahwa kredit publik dapat berfungsi sebagai basis jumlah uang beredar dan dapat meningkatkan produktivitas, karena hutang dapat membantu tercapainya transformasi ekonomi dengan cara;
Dari kedua pandangan tersebut menunjukkan, bahwa pinjaman dapat diperkenankan asalkan digunakan untuk menutupi kekurangan dana dan hal-hal yang bersipat produktif, yang langsung dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah, seperti mendirikan pasar, terminal dan hotel (Devas, 1989:221).
Secara umum, kebijaksanaan untuk melakukan pinjaman, merupakan kebijakan pemerintah daerah, akan tetapi dalam hal ini, pemerintah yang lebih tinggi memegang kuasa atas pemerintah daerah, karena pinjaman pemerintah daerah baru akan dapat dilakukan apabila telah mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Hal ini, dimaksudkan agar pinjaman pemerintah daerah hendaknya tertanan pada kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong pendapatan daerah, sehingga daerah akan mampu membayar kembali pinjaman yang dilakukan. Dengan demikian seberapa besarpun pinjaman yang dilakukan daerah tidak menjadi masalah, selama daerah memiliki kemampuan membayarnya.
Menurut teori pertumbuhan ekonomi klasik, yang dipelopori oleh Adam Smith, mengatakan bahwa sumber-sumber pertumbuhan produksi nasional (Boediono, 1999:9) terdiri dari pertumbuhan tenaga kerja dan kapital, perbaikan efisiensi dalam penggunaan kapital oleh tenaga kerja melalui spesialisasi dan kemajuan teknologi, serta perdagangan internasional yang dapat memperluas pasar. Selanjutnya, menurut Adam Smith (lihat Arsyad,1997:51), makin besar stok modal makin besar pula kemungkinan spesialisasi dan pembagian kerja yang akan meningkatkan produktivitas perkapita, sehingga akan menghasilkan output. Jadi pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauhmana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu.
Berdasarkan pada teori tersebut, karena adanya perbedaan potensi sumber daya alam dan sumberdaya manusia antar daerah, akan menyebabkan perbedaan pertumbuhan antar daerah. Bagi daerah yang memiliki sumberdaya alam berupa minyak dan gas alam cenderung mempunyai laju pertumbuhan yang cukup tinggi (Syafrizal, 1997:27-38).
Secara umum, kebijaksanaan pertumbuhan daerah merupakan hasil kombinasi antara kebijaksanaan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, akan tetapi dalam hal ini pemerintah yang lebih tinggi memegang kuasa atas pemerintah daerah, sehingga kebijaksanaan pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah (Nazara, 1994:19-36). Implikasi dari kebijakan tersebut diwujudkan dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang mempengaruhi kegiatan pembangunan di daerah, karena ada daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup banyak, akan tetapi belum sepenuhnya menikmati dari hasil sumberdaya yang dimilikinya.
Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, sebutan daerah otonom tidak mengalami perubahan, hanya diubah sebutannya menjadi daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota, yang berarti ada tiga bentuk daerah otonom, yang masing-masing berdiri sendiri, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat. Implikasinya, bagi daerah kabupaten dan kota, yang wilayahnya mempunyai potensi ekonomi cukup banyak, maka laju pertumbuhan daerah dan kemandirian otonomi daerahnya akan lebih terjamin. Sebaliknya bagi daerah yang potensinya terbatas, maka akan mendapatkan kesulitan dalam mengejar pertumbuhan daerahnya dan kemandirian otonominya juga akan terhambat. Namun demikian kelemahan ini setidak-tidaknya akan dapat dikurangi melalui kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (E.Koswara:2000:47).
Menurut Davey K, et.al. (1989:179) hubungan keuangan pusat dan daerah menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan -kegiatan tertentu antara tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutupi pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan itu. Tujuan utama hubungan pusat dan daerah untuk mencapai perimbangan antara pembagian potensi dan sumber daya dapat sesuai dengan peranan yang dimainkan oleh pemerintah daerah..
Mahi, (2000:56), mengemukakan bahwa, untuk menentukan besarnya ketersediaan dana antar pemerintah daerah digunakan prinsip kebutuhan daerah melalui pembagian fungsi-fungsi (urusan-urusan) yang direfleksikan dalam kebijaksanaan otonomi daerah, yang didalamnya mengatur mengenai pembagian kewenangan sekaligus pembiayaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sumber-sumber penerimaan daerah selain diperoleh dari sumber-sumber keuangan yang dimiliki oleh daerah, pemerintah daerah untuk menutup kekurangan sumber-sumber keuangannya dapat juga melakukan pinjaman. Dana pinjaman ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
Sidik (1998 : 28) mengemukakan bahwa pinjaman daerah merupakan salah satu instrumen bagi pemerintah daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Daerah dapat melakukan pinjaman atau menerbitkan obligasi untuk membiayai pembangunan daerah. Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, negara donor melalui pemerintah pusat (two step loan), pasar modal dan tabungan masyarakat. .
Menurut Riphat dan Hutahaean ( 1997 : 33) sumber pinjaman daerah secara teoritis dapat dikelompokan menjadi sembilan jenis yaitu (1) pinjaman dari pemerintah yang lebih tinggi; (2) pinjaman dari lembaga keuangan internasional; (3) pinjaman dari bank kredit pusat (central credit bank) atau dana pinjaman pusat (central loan fund); (4) penerbitan saham atau obligasi daerah; (5) pinjaman atau penarikan uang melebihi saldo bank (overdraft); (6) pinjaman dengan jaminan asset Pemda; (7) pinjaman dari dana cadangan sendiri (internal reserve fund); (8) pinjaman dalam bentuk pembelian atau sewa peralatan; dan (9) pembiayaan pendahuluan pembangunan proyek oleh kontaktor. Namun kenyataannya sumber dana pinjaman daerah di Indonesia baru dapat dikelompokan menjadi : pinjaman dari pemerintah pusat atau Rekening pembangunan Daerah (RPD) dan pinjaman non RPD. Sumber dana RPD selain berasal dari dana sendiri (revolving fund) dan APBN, juga berasal dari luar negeri yang disalurkan ke daerah dengan prosedur Subsidiary loan agreement (SLA). Pinjaman non RPD adalah dana pinjaman yang bersumber dari dalam negeri diluar RPD, seperti pinjaman dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Umum lainnya. Untuk pinjaman yang bersumber dari luar negeri harus melalui pemerintah pusat. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan dan pengendalian devisa, sehingga tidak berdampak pada terganggunya stabilitas ekonomi makro nasional. Menurut Devas dkk (1999 : 222) di berbagai negara pada umumnya, kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman dibatasi hal tersebut terjadi karena :
Dengan adanya batasan tersebut, apabila pemerintah daerah akan melakukan pinjaman harus mengetahui dulu kemampuan keuangannya dan sampai sejauh mana pemerintah daerah sanggup membayar kembali hutangnya. Hal ini perlu diketahui karena apabila pinjaman tersebut tidak terkendali, maka pemerintah daerah akan berhadapan dengan berbagai kesulitan.
Selanjutnya Devas dkk (1999 : 223), mengemukakan bahwa sebagian besar pinjaman daerah dipergunakan untuk membiayai pembangunan perkotaan dengan beberapa alasan :
Pengertian pinjaman daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor : 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan mengenai persyaratan pinjaman daerah yang meliputi jumlah, jangka waktu dan larangan penjaminan pinjaman daerah. Dengan adanya persyaratan tersebut maka perlu dilakukan proyeksi terhadap kemampuan keuangan daerah, penerimaan daerah, jumlah dan angsuran jangka panjang yang optimal bagi pemerintah daerah. Jangka waktu pinjaman perlu disesuaikan dengan pengalokasian pinjaman tersebut. Pinjaman jangka panjang, dapat digunakan daerah untuk membiayai sarana dan prasarana yang merupakan asset daerah dan menghasilkan sejumlah pendapatan bagi daerah (cost recovery) yang bisa digunakan untuk melunasi pinjaman tersebut serta dapat memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.
Untuk menilai kemampuan keuangan suatu daerah dapat mengembalikan pinjaman pada dasarnya merupakan kondisi pinjaman total yang optimal dan relatif aman ditinjau dari aspek keuangan dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor : 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah, pada pasal 6 dan pasal 7 disebutkan tentang Batas Maksimum Pinjaman (BMP) daerah yang bersifat jangka panjang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : (a) jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan (b) berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit 2,5 (dua setengah). Untuk pinjaman jangka pendek ketentuannya sebagai berikut : (a) jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah 1/6 ( satu per enam) dari jumlah APBD tahun anggaran yang berjalan; (b) pinjaman jangka pendek dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan penerimaan daerah untuk membayar pinjaman tersebut pada waktunya.
Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. keadaan keuangan daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Usman (1998:63) mengatakan salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata, kemampuan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan.
Mamesah (1995: 16) mengemukakan bahwa keuangan daerah secara sederhana dapat dirumuskan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam keuangan daerah terdapat dua unsur penting yaitu :
Pemerintah Daerah di dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana/modal untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (government expenditure) terhadap barang-barang publik (publik goods) dan jasa pelayanannya. Menurut Kunarjo (1996 : 181) bahwa untuk melaksanakan pembangunan prasarana, pemerintah daerah dapat membiayai dari sumber pendapatan asli daerah, dana perimbangan maupun pinjaman daerah. Karena kecilnya pendapatan asli daerah dibanding dengan kebutuhan pembangunan maka dalam beberapa hal pemerintah daerah memerlukan pinjaman untuk digunakan pada proyek-proyek yang dapat menghasilkan pendapatan.
Untuk melaksanakan otonomi daerah tentunya tidak mudah, karena menyangkut masalah kemampuan daerah itu sendiri dalam membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan beserta pelaksanaan pembangunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, masalah kemampuan daerah berarti menyangkut masalah bagaimana daerah dapat memperoleh dan meningkatkan sumber-sumber pendapatan daerah untuk menjalankan kegiatan pemerintahannya. Menurut Prabowo (1999 : 4) sesuai dengan konsep asas desentralisasi dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah sangat dibutuhkan dana dan sumber-sumber pembiayaan yang cukup memadai, karena kalau daerah tidak mempunyai sumber keuangan yang cukup akibatnya tergantung terus kepada pemerintah pusat.
Selanjutnya Hirawan (1990: 26) mengemukakan bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di daerah, semakin besar pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh Pemerintah Daerah, kebutuhan dana tersebut tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh dana yang bersumber dari pemerintah daerah sendiri. Dengan demikian kita perlu mengetahui apakah suatu daerah itu mampu untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka kita harus mengetahui keadaan kemampuan keuangan daerah. seperti yang dikemukakan oleh Syamsi (1986 ; 199) ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran.
Struktur organisasi Pemerintah Daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah unit-unit beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.
Aparat Pemerintah Daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diidam-idamkan oleh daerah.
Pemerintah Daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
Pemerintah Daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu kemampuan keuangan daerah harus mampu mendukung terhadap pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Soediyono (1992: 7) mengemukakan bahwa selain faktor alam, tenaga kerja, dan teknologi, maka salah satu faktor utama lainnya adalah faktor kapital, yang biasa disebut sumber daya modal atau capital resources. Dari pengertian tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa penerimaan daerah merupakan sumber modal, yang dihimpun dan dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pelaksanaan pembangunan daerah. Selanjutnya Davey (1988: 258) mengungkapkan bahwa otonomi daerah menuntut adanya kemampuan pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang tidak tergantung kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) berkaitan erat dengan peningkatan dalam produksi barang dan jasa, yang diukur adalah kenaikan GNP/GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertambahan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Penilaian ini dapat dilakukan atas dasar harga berlaku pada tahun perhitungan atau atas dasar harga konstan dari satu tahun yang dipilih sebagai tahun dasar. Meningkatnya produksi barang dan jasa maka akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat.
Menurut Boediono (1981: 43) mendefinisikan teori tentang pertumbuhan ekonomi sebagai suatu aktivitas kegiatan, dan menjelaskan mengenai faktor-faktor apa saja yang menentukan output per kapita dalam jangka panjang. Penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain sehingga terjadinya suatu proses pertumbuhan ekonomi.
Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan memperhatikan value for money (VFM). Konsep VFM tersebut penting bagi pemerintah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasi konsep tersebut memberikan manfaat:
Dalam kontek otonomi daerah, VFM merupakan jembatan untuk menghantarkan Pemerintah Daerah mencapai good governance, yaitu Pemerintah Daerah yang transparan, ekonomis, efisien, efektif, responsif, dan akuntabel. VFM tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Akuntabilitas publik merupakan kata kunci, karena pemerintah sebagai pengemban amanat masyarakat bertanggungjawab atas kinerja yang telah dilakukannya, hal tersebut karena pemerintah berkewajiban untuk mengelola dana masyarakat dalam rangka menjalankan pemerintahannya. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana masyarakat yang mendasarkan konsep VFM, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja (performance budget). Anggaran kinerja tersebut adalah untuk mendukung terciptanya akuntabilitas publik Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi kepada Kabupaten dan Kota memberikan jalan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Daerah dituntut untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada Pemerintah Daerah untuk membuat laporan keuangan dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
Perubahan dalam sistem anggaran daerah yang dikehendaki adalah:
Mardiasmo (2001) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari Pemerintah Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah merupakan instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah. Anggaran daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, alat bantu untuk pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang. Ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas disemua aktivitas berbagai unit kerja.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah masing-masing serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Peran anggaran dalam penentuan arah dan kebijakan Pemerintah Daerah, tidak terlepas dari kemampuan anggaran tersebut dalam mencapai tujuan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu Pemerintah Daerah perlu memperhatikan bahwa pada hakekatnya anggaran daerah merupakan perwujudan amanat rakyat pada pihak eksekutif dan legislatif untuk meningkatkan kesejahtraan dan pelayanan umum kepada masyarakat dalam batas otonomi daerah yang dimilikinya. Untuk itu Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan PAU-SE Universitas Gadjah Mada mengemukakan bahwa prinsip-prinsip penyusunan anggaran daerah adalah sebagai berikut.
Strategi dan prioritas APBD adalah suatu tindakan dan ukuran untuk menentukan keputusan perencanaan anggaran daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan yang dipilih diantara alternatif kegiatan-kegiatan yang lain, untuk mencapai tujuan dan sasaran dari Pemerintah Daerah. Plafon anggaran adalah batasan anggaran tertinggi/maksimum yang dapat diberikan kepada unit kegiatan dalam rangka membiayai segala aktivitasnya. Plafon anggaran hanya ditujukan untuk perencanaan anggaran belanja investasi, bukan belanja rutin.
Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset atau kekayaan bagi daerah. Anggaran biaya rutin dibiayai dari PAD dan sumber-sumber lainya. Belanja investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah, serta selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya.
Untuk menentukan strategi dan prioritas APBD, diperlukan beberapa kriteria atau variabel. Beberapa variabel yang digunakan untuk menentukan strategi dan prioritas APBD adalah sebagai berikut.
Aspek pengelolaan keuangan daerah, pada dasarnya menyangkut tiga hal yang saling terkait satu dengan yang lainya, yaitu:
Pendapatan daerah dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu sumber-sumber pendapatan dari daerah sendiri dan sumber-sumber dari luar daerah. Sumber-sumber pendapatan dari daerah sendiri adalah sumber-sumber pendapatan yang dikumpulkan secara langsung dari masyarakat daerah yang bersangkutan, misalnya pajak dan retribusi yang langsung dipungut dan dimiliki daerah yang bersangkutan. Sumber-sumber pendapatan daerah sendiri dapat juga diperoleh dari hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainya yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Sumber-sumber pendapatan eksternal adalah sumber-sumber pendapatan yang berasal dari luar daerah seperti pemerintah diatasnya (propinsi) dan pemerintah pusat dan pinjaman serta lain-lain penerimaan yang sah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999, sumber sumber penerimaan daerah dapat berasal dari berbagai sumber/jenis, namun demikian secara garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam tiga sumber penerimaan yaitu:
Pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan Pemerintah Daerah. Dalam struktur anggaran daerah dengan pendekatan kinerja, pengeluaran daerah (belanja daerah) dirinci menurut organisasi, fungsi kelompok, dan jenis belanja.
2 Salah satu unsur yang paling penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah sistem atau cara pengelolaan keuangan daerah, hal ini penting dan mendasar untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada serta upaya untuk mengakomodasi berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang akan dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pasal 4 dan 5 menyebutkan bahwa, pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.
Devas, dkk (1989) mengemukakan bahwa pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut.
Mardiasmo (2000) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari Pemerintah Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah.
Dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai perwujudan dari rencana kerja keuangan akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan selain berdasarkan pada ketentuan umum juga berdasarkan pada:
Managemen strategis menurut Suwarsono (1994:6) dapat diartikan sebagai usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan. Komponen pokok dari manajemen strategis adalah:
Menurut Salusu (1996:493), manajemen strategis adalah suatu cara untuk mengendalikan organisasi secara efektif dan efisien, sampai kepada implementasi garis terdepan, sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai. Menurut Wahyudi (1996:15) manajemen strategis adalah suatu seni dan ilmu dari pembuatan (formulating), penerapan (implementing) dan evaluasi (evaluating) terhadap keputusan strategis antara fungsi-fungsi yang memungkinkan organisasi mencapai masa depan. Siagian (1995:15-42) mengatakan bahwa merumuskan manajemen strategis sebagai rangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan.
Dengan berkembangnya organisasi menjadi sangat kompleks, di mana pengelolaan sumber daya organisasi menjadi semakin rumit. Keadaan ini menyebabkan semakin pentingnya suatu manajemen strategi agar organisasi berkembang secara sehat dan mampu mempertahankan eksistensinya. Membahas konsep manajemen strategis berarti membicarakan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya, lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Dalam lingkungan organisasi, manajemen strategis mampu menciptakan sinergi dan l’esprit de corps yaitu semangat korps yang penuh integritas sehingga dapat melicinkan jalan menuju sasaran organisasi. Semangat itu diharapkan akan meningkatkan produktivitas mereka. Dengan begitu organisasi akan mampu bertahan lama bebas dari perasaan curiga antar karyawan. Hasilnya akan lebih mampu memberikan pelayanan terbaik kepada konsumennya.
Manajemen strategis di lingkungan pemerintahan akan banyak berkaitan dengan pengalokasian kekuasaan dan sumber daya, pendelegasian wewenang mengambil keputusan, penggalian sumber-sumber keuangan pemanfaatan dana yang diperoleh dari rakyat berupa pajak dengan cara yang paling efisien dan paling efektif. Manajemen strategis tidak terlepas dari strategi itu sendiri. Strategi secara luas dapat dipandang sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan atau alokasi sumber daya yang mendefinisikan bagaimana organisasi itu, apa yang dikerjakan organisasi, dan mengapa organisasi itu melakukannya (Bryson, 1988:5).
Hax dan Majluf (1991) menawarkan rumusan yang komprehensif tentang strategi sebagai berikut (lihat Salusu,1996: 100-101).
Dengan definisi ini, strategi menjadi suatu kerangka yang fundamental tempat suatu organisasi akan mampu menyatakan kontinuitasnya yang vital, sementara pada saat yang bersamaan organisasi akan memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Menurut Salusu (1996:101) strategi ialah suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Oleh karena itu strategi dapat dikatakan sebagai perluasan misi guna menjembatani organisasi dan lingkungannya dalam pencapaian tujuan. Strategi dikembangkan untuk mengatasi isu strategis, strategi menjelaskan tentang respon organisasi terhadap pilihan kebijakan pokok.
Manajemen strategis adalah suatu cara untuk mengendalikan organisasi secara efektif dan efisien, sampai kepada implementasi garis terdepan, sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai. Dengan manajemen strategis, organisasi dimungkinkan untuk mengidentifikasi peluang-peluang dalam lingkungan eksternal dan sekaligus memanfaatkannya. Ancaman dari lingkungan dapat dihindari seminimal mungkin dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki organisasi. Dengan peluang dan kekuatan, organisasipun dapat memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Bahkan manajemen strategis dapat memberi petunjuk awal bagaimana mengantisipasi perubahan-perubahan awal dari lingkungan eksternal (Salusu, 1996:495).
Manfaat dari penggunaan manajemen strategik menurut Yoo dan Digman (1987) adalah (lihat Salusu 1996:498).
Setiap perusahaan baik milik swasta maupun pemerintah memiliki tujuan yang harus dicapai. Di dalam organisasi/perusahaan terdapat pimpinan atau manajer yang bertugas membuat keputusan strategik yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kinerja suatu organisasi atau perusahaan tergantung pada kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut. Penilaian kinerja suatu organisasi atau perusahaan oleh berbagai pihak memiliki sudut pandang yang berbeda.
Helfert, (1991: 52-53) mengungkapkan bahwa kinerja perusahaan adalah hasil dari semua keputusan yang dilakukan secara terus menerus. Oleh karena itu untuk menilai kinerja perusahaan perlu menaikannya dengan kinerja keuangan komulatif dan ekonomi dari keputusan-keputusan itu. Analisis kinerja keuangan didasarkan pada data keuangan yang dipublikasikan, seperti tercermin di dalam laporan keuangan yang dapat dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang lazim. Kinerja keuangan perusahaan harus diukur untuk melihat apakah kinerja keuangan perusahaan mengalami pertumbuhan atau tidak. Ukuran ini diperlukan untuk menyediakan informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan, yang dapat dipergunakan sebagai dasar pengambilan keputusan manajemen di masa yang akan datang.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa hasil dari pelaksanaan semua keputusan manajemen merupakan perwujudan dari kinerja perusahaan. Pembuatan keputusan manajemen bukan hanya didasarkan pada pertimbangan internal perusahaan, tetapi juga menyangkut aspek-aspek eksternal seperti pemilik perusahaan, kreditor, pemerintah, masyarakat serta calon investor. Oleh karena itu, kelompok eksternal tersebut juga berkepentingan dalam mengevaluasi kinerja perusahaan.
Penilaian kinerja perusahaan fokusnya berbeda dengan instansi pemerintah, karena kegiatan perusahaan tidak terlepas dari aspek ekonomi , yaitu mencari keuntungan, sedangkan instansi pemerintah berorientasi sosial, sehingga harus mengutamakan kepuasan masyarakat secara adil dan merata. Konsekuensi dari orientasi perusahaan tersebut, maka penilaian kinerjanya lebih dominan diukur dari aspek keuangan.
Powell (1992:551-558) mengungkapkan bahwa secara umum manajemen strategis memperbaiki kinerja lebih sering dibandingkan jika tanpa perubahan. Tercapainya kesesuaian antara lingkungan organisasi dan strategi, struktur serta proses organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa pengetahuan tentang manajemen strategis sangat penting bagi kinerja bisnis yang efektif dalam lingkungan yang berubah. Penggunaan perencanaan strategis dan pemilihan latihan-latihan alternatif dari tindakan berdasarkan penilaian faktor-faktor internal dan eksternal merupakan bagian penting dari pekerjaan manajer (lihat Wheelen dan Hunger, 2001:6)
Salah satu pemicu yang mendorong sebuah perusahaan untuk melakukan perubahan strategi adalah kesenjangan kinerja (Wheelen dan Hunger, 2001:8), yaitu ketika kinerja perusahaan tidak memenuhi harapan. Kesenjangan kinerja biasanya terjadi ketika penjualan dan laba menurun atau ketika tidak ada kemajuan penjualan sedangkan para pesaing mengalami peningkatan.
BUMN/BUMD merupakan wujud nyata dari investasi negara dalam dunia usaha, tujuannya adalah untuk mendorong dan mengembangkan aktivitas perekonomian nasional. Adapun tujuan BUMN menurut Rees (1984) adalah (lihat Sri Maemunah,1996:14-19) adalah:
Menurut Sri Maemunah (1996:7) tujuan BUMN adalah: (1). Menunjang perkembangan ekonomi. (2). Mencapai pemerataan secara horizontal dan vertikal melalui perintisan usaha dan pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi. (3). Menjaga stabilitas dengan menyediakan persediaan barang yang cukup terutama menyangkut hajat hidup orang banyak. (4). Mencapai efisiensi teknik agar dapat menjual dengan harga yang terjangkau tanpa mengurangi mutu dan kemampuan memupuk dana dari keuntungan. (5). Menunjang terselenggaranya rencana pembangunan.
Tujuan BUMN selalu terdiri dari tujuan sosial dan tujuan komersial. Sebaiknya tujuan sosial dibedakan dari tujuan komersial, untuk tujuan sosial pemerintah memberi subsidi sedang tujuan komersial dibayar oleh konsumen.Turut campur tangan pemerintah dalam perekonomian dalam bentuk BUMN/BUMD, secara ekonomis merupakan tindakan untuk mengatasi kegagalan mekanisme pasar dalam distribusi sumber daya secara optimal, yang berarti pula mengatasi adanya kegagalan mekanisme pasar dalam mencapai nilai ekonomis yang optimal atas sumber daya.
Kegagalan pasar pertama adalah kegagalan yang disebabkan oleh struktur pasar di mana tingkat teknologi yang menyebabkan turunnya biaya (decreasing cost technology) menyebabkan terbentuknya monopoli secara alamiah (natural monopoly) atau oligopoli. Apabila terjadi monopoli atau oligopoli maka pasar akan dikuasai oleh sebuah atau beberapa perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar untuk mendapatkan keuntungan yang berlebihan dengan mengurangi produksi dan menaikkan harga di atas biaya marginal.
Kegagalan pasar yang lain adalah eksternalitas yaitu adanya perbedaan nilai dan manfaat sosial dengan manfaat dan nilai pribadi (Mangkoesoebroto. 2000:43). Kegagalan pasar yang lain adalah kegagalan mekanisme pasar secara dinamis yang disebabkan belum berkembangnya pasar modal dan keengganan pihak swasta terhadap resiko usaha. Apabila kondisi ini dibiarkan tanpa adanya turut campur tangan pemerintah maka akan terjadi kebangkrutan, dan pengangguran yang mempunyai akibat luas terhadap perekonomian suatu negara.
BUMN mempunyai peran penting dalam pembangunan negara berkembang. Timbulnya BUMN dapat disebabkan oleh beberapa alasan karena kegagalan mekanisme pasar mencapai alokasi sumber daya secara optimal, disebabkan adanya monopoli dan eksternalitas, alasan idiologi, alasan sosial politis, dan sebagai warisan sejarah.
BUMN merupakan organisasi yang mempunyai 2 (dua) dimensi. Sebagai badan usaha harus menghasilkan keuntungan, tumbuh dan selalu menjaga kelangsungan usahanya. Sebagai alat kebijakan pemerintah ia mempunyai tujuan yang berorientasi kepentingan masyarakat. Dua kepentingan berbeda dan mungkin berlawanan itu harus dipadukan secara berimbang, walaupun sulit untuk dilaksanakan. Senada dengan pernyataan tersebut, Jones, dkk (1982:12) mengemukakan bahwa BUMN mempunyai dua dimensi yaitu dimensi publik dan dimensi badan usaha (enterprise). Dimensi publik sebuah badan usaha akan ditentukan oleh pemilikan (ownership) dan oleh pengawasan dari pemerintah yaitu sejauh mana keputusan intern dapat dilakukan oleh pimpinan perusahaan.
Sepherd (1979:406), berpendapat bahwa untuk memperjelas arti BUMN ada 3 (tiga) dimensi ekonomi yang akan menentukan menentukan dimensi publik dari sebuah badan usaha:
Perbedaan konseptual antara BUMN dengan perusahaan swasta terletak pada definisi public purpose (Sicherl, 1983:79). Pada perusahaan swasta sasaran perusahaan ditentukan di dalam perusahaan oleh pimpinan/pemilik untuk mencapai hasil yang optimal sesuai dengan kepentingan mereka. Dampak terhadap masyarakat berada di luar kepentingan mereka. Sasaran BUMN ditetapkan berdasarkan tujuan dasar negara yang ditetapkan sebagai public purpose. Ini berarti tujuan BUMN merupakan bagian dari tujuan pembangunan nasional.
Public ownership menyatakan adanya pemilikan perusahaan oleh pemerintah. Pemilikan saham dapat secara langsung/tidak langsung melalui pemilikan saham sebesar 50% dari modal saham atau lebih. Hal ini untuk menjamin pengawasan dari pemerintah atas perusahaan. Pemilikan di bawah 50% dari modal saham hanya akan membawa pengaruh besar atas perusahaan apabila pemerintah melengkapi pemilikan tersebut dengan pengawasan ketat.
Public control adalah pengawasan atas pelaksanaan top manajeman yang meliputi keputusan investasi, modal, penetapan harga, kebijakan upah, corporate plan, dan pengangkatan direksi. Implikasi lebih jauh dari public control adalah publik manajemen. Implikasi public control dan publik manajemen adalah public accountability yang merupakan fenomena kompleks yang meliputi evaluasi kinerja atas berbagai tujuan multi dimensi dan ketepatan dari tindakan manajerial BUMN bertanggung jawab kepada berbagai pengawasan dan kepentingan.
BUMD dalam hal ini, tidaklah jauh berbeda dengan tujuan BUMN, yang bertujuan menunjang perkembangan ekonomi, mencapai pemerataan secara horizontal dan vertikal bagi masyarakat, menyediakan persediaan barang yang cukup bagi hajat hidup orang banyak, mampu untuk memupuk keuntungan dan menunjang terselenggaranya rencana pembangunan. Hanya perbedaannya terletak pada kepemilikan yaitu dalam konteks negara dan daerah. Salah satu BUMD yang mengemban amanat dan peran strategis di daerah adalah PDAM, yang berfungsi melayani kebutuhan hajat hidup orang banyak dan sekaligus menggali dana masyarakat melalui perolehan keuntungan dari usahanya untuk digunakan kembali dalam membangun sarana dan prasarana yang diperlukan oleh masyarakat.
Dengan demikian PDAM dalam usahanya sebagai badan usaha milik pemerintah daerah, yang melaksanakan fungsi pelayanan menghasilkan kebutuhan air minum/air bersih bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan pelayanan akan air bersih yang merata kepada seluruh lapisan masyarakat, membantu perkembangan bagi dunia usaha dan menetapkan struktur tarif yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat. Dalam hal ini keberadaan PDAM sebagai BUMD dapat membantu memenuhi kebutuhan masyarakat, menunjang bagi perkembangan kelangsungan dunia usaha dan perkembangan ekonomi di daerah, percepatan pembangunan di daerah, karena produk air bersih yang dihasilkan oleh PDAM merupakan barang yang essential yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Di sisi lain dengan menjual air bersih ini PDAM diharapkan juga memiliki efisiensi sehingga memiliki kemampuan dalam memupuk dana dan menghasilkan keuntungan, yang juga merupakan kontribusi bagi PAD. Dana dari PAD ini yang kemudian diharapkan mampu menunjang terselenggaranya rencana pembangunan di daerah, dan hasil pembangunan itu pada akhirnya dapat dinikmati kembali oleh masyarakat. Maka sejalan dengan itu agar PDAM berjalan dengan tujuan dan fungsinya, memerlukan pengelolaan yang baik dan benar dengan memperhatikan segala kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimilikinya, dalam upayanya makin mensejahterakan masyarakat di era otonomi ini.
Prinsip-prinsip pokok manajemen keuangan, seperti yang diuraikan diatas harus diterapkan pada setiap tahap siklus anggaran. Hal ini perlu dilakukan agar anggaran daerah benar-benar dapat mencapai visi dan misi yang dibebankan kepadannya. Bagi pengelola keuangan daerah, prinsip-prinsip pokok tersebut merupakan koridor bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah, sehingga dapat menjamin pengelolaan keuangan daerah selalu berorientasi pada kepentingan publik.
Dalam suasana otonomi daerah, dengan diberlakukannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbanganan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka prinsip-prinsip pokok siklus anggaran daerah perlu dianalisis keberadaannya selama ini. Analisis akan dilihat berdasarkan tahapan yang diuraikan sebelumnya dan dengan asumsi tidak ada perubahan struktur organisasi pemda yang drastis. Mardiasmo (1999:396-400), lebih jauh menjelaskan tahapan siklus anggaran daerah dalam konteks otonomi daerah
1). Tahap Persiapan Anggaran
Berdasarkan pasal 86 ayat 1 UU No.22/1999 dan pasal 20 ayat 1 UU No.25/1999, maka anggaran daerah dapat disiapkan dan direncanakan dengan baik untuk mendukung prinsip dan fungsi anggaran sebagai alat perencana keuangan daerah. Dana yang berasal dari pusat terutama yang termasuk Dana Alokasi Umum, prosedur penentuan dan pendistribusiannya harus berdasar pada sistem dan prosedur yang jelas dan transparan serta tepat waktu.
Untuk merencanakan pendapatan daerah, maka fungsi DIPENDA sebagai koordinator harus diperankan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan pengalaman masa lalu, sering salah digunakan pengertian ‘target’ dengan ‘potensi’, sehingga sering terjadi efektifitas pencapaian pendapatan melampaui target yang ditetapkan padahal target itu ditetapkan dibawah potensi yang sebenarnya.
Untuk perencanaan pengeluaran khususnya belanja pembangunan, hendaknya fungsi BAPPEDA harus ditempatkan sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya sebagai badan perencana, bukan sebagai pelaksana. Rakorbang dengan segala tahapannya seperti Pra-Rakorbang perlu direview agar sesuai dengan maksud dan tujuan hakiki dari diadakannya Rakorbang tersebut. Demikian pula ketrlibatan dalam proses pengusulan kegiatan pembangunan betul-betul melibatkan pihak-pihak yang berkompeten sehingga sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
Untuk perencanaan belanja rutin yang dikoordinir oleh bagian keuangan, hendaknya standar biaya yang digunakan tidak lagi tergantung pada petunjuk pusat, yang terkadang kurang rasional, tetapi menggunakan standar biaya yang sesuai dengan kondisi setempat. Dalam kaitan ini semua “line item budgeting” perlu ditinjau kembali.
2). Tahap Ratifikasi Anggaran
Mengacu pada UU No.25/1999 pasal 14 dan 16 yang menyatakan adanya pemisahan fungsi yang jelas antara ekskutif danlegislatif. Dengan terpisahnya kedua fungsi tersebut, maka pihak pemda lebih berfungsi sebagai pihak yang mengajukan anggaran dan DPRD lebih berfungsi sebagai pihak yang menyetujui/menolak anggaran, walaupun dapat pula menentukan anggaran. Hal ini didukung pula oleh proses ratifikasi yang tidak perlu melibatkan pemerintah tingkat atas (pusat/provinsi). Selain itu tahap ratifikasi pada saat revisi anggaran seperti yang dikehendaki oleh pasal 20 ayat 2 UU No.25/1999. Dengan demikian secara teoritis tahap ratifikasi dilakukan DPRD, baik pada saat anggaran dibuat dan ditetapkannya anggaran awal (initial budget) maupun revisi anggaran sudah menunjukkan semakin besarnya peran DPRD dalam asas desentralisasi sekarang ini.
3). Tahap Implementasi Anggaran
Setelah anggaran daerah diratifikasi oleh DPRD lalu dilaksanakan oleh pemda. Pada tahap ini penting sekali optimalisasi peranan badan pengawasan yang dilaksanakan oleh Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota (Badan Pengawasan Daerah) sebagai internal auditor. Dengan menjalankan fungsi pengawasan secara optimal diharapkan dapat memonitor secara dini pelaksanaan belanja pembangunan dan belanja rutin, sejak awal pelaksanaan, sehingga dapat dilakukan pencegahan terhadap kegiatan yang akan menyimpang. Optimalisasi peran badan pengawasan ini hendaknya lebih diarahkan secara preventif guna meluruskan kembali apabila terjadi kesalahan.
4). Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran
Pada tahap pelaporan dan evaluasi ini secar teoritis tidak akan lepas dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pelaporan keuangan seperti Nota Perhitungan APBD oleh Pemda, yang diinginkan tidak hanya untuk pihak DPRD sebagai ‘stakeholders’, tetapi juga untuk masyarakat sebagai ‘stakeholders’. Agar pelaporan tersebut lebih meyakinkan semestinya dimungkinkan keterlibatan pihak independen dalam ‘menilai’ pelaporan yang dibuat oleh Pemda. Dengan melibatkan pihak luar yang independen diharapkan DPRD mempunyai dasar yang kuat dalam menerima atau menolak laporan pihak ekskutif. Sesuai dengan jiwa pasal 24 ayat 2 UU No.25/1999 dalam menilai pelaporan ini dimungkinkan untuk menghadirkan pihak-pihak diluar anggota DPRD seperti, tokoh-tokoh masyarakat, LSM dan wakil-wakil perguruan tinggi, sehingga terjadi “horizontal communication”. Selanjutnya mendorong pula terjadinya “horizontal accountability”.
Sesuai dengan asas desentralisasi dan otonomi yang lebih luas, maka dalam tahap evaluasi hendaknya ada indikator kinerja yang lebih jelas, dan dapat dimungkinkan berbeda-beda antar daerah, mengingat heterogenitas Pemda Kabupaten/Kota yang sangat tinggi. Dengan demikian evaluasi akan lebih akurat, adil dan tepat sasaran. Dengan indikator yang berbeda maka dimungkinkan pula adanya pelaporan/pertanggungjawaban yang berbeda, sepanjang tidak menyalahi standar akuntansi keuangan Pemda. Untuk maksud tersebut perlu adanya kesepakatan antara Pemda sebagai pelaksana anggaran daerah dengan DPRD sebagai pihak yang mengesahkan pelaporan, tentang bentuk dan format pelaporan yang diinginkan sehingga dapat dimengerti semua pihak lebih akurat dan tepat sasaran.
Penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah harus sering dimonitor, yaitu, harus dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai/direalisasikan. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians/selisih terhadap penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah, agar secepat mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan.
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat.
Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintah daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntbel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Kinerja anggaran pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus dapat memanfaatkan uang sebaik mungkin dengan konsep value for money yang berorientasi kepada kepentingan publik. Hal ini berarti dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut harus mencerminkan tiga pilar utama (3 E) dalam proses penganggaran, yaitu: ekonomis, efisiensi dan efektifitas.
Peran pemerintah daerah bukan lagi merupakan alat kepentingan pemerintah pusat, melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Konsep VFM ini penting bagi pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasinya akan memberikan manfaat seperti:
Dalam konteks otonomi daerah, VFM merupakan jembatan untuk mengantarkan pemda mencapai good governance, yaitu pemda yang transparan, ekonomis, efisien, efektif serta responsif dan akuntabel. VFM tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.