Teori Preferensi Konsumen (skripsi dan tesis)

Heirshleifer dan Glazer (1992:56) memberikan gambaran ideal dari preferensi individual atas alternatif barang-barang konsumsi dalam dua hukum (revealed preferences) yaitu.

1. Aksioma Perbandingan

Setiap dua barang yang berbeda (misalnya barang A dan B) dapat dibandingkan menjadi preferensi oleh individu. Setiap perbandingan pasti mengarah pada salah satu diantara ketiga hal berikut:

a. barang A lebih disukai dari barang B;

b. barang B lebih disukai dari barang A; atau

c. barang A dan B sama saja.

2. Aksioma Transitivitas

Apabila ada tiga barang yaitu A, B, dan C. jika barang A lebih disukai dari barang B dan barang B lebih disukai dari barang C, maka barang A lebih disukai dari barang C.

Kedua aksioma tersebut apabila digabungkan akan berbentuk proporsi pengurutan preferensi yaitu seluruh barang yang ada secara konsisten diurutkan menurut urutan

preferensi oleh seseorang, pengurutan ini disebut fungsi preferensi. Menurut Browning dan Zupan (1997:75) terdapat tiga asumsi dasar dalam preferensi konsumen yaitu:

1. konsumen dapat meranking urutan preferensi secara lengkap terhadap semua barang di pasar. Urutan preferensi menunjukkan tingkat kesenangan relative tanpa memperhatikan harga barangnya;

2. preferensi adalah transitivitas. Asumsi ini memungkinkan orang untuk memiliki preferensi yang rasional dan konsisten; dan

3. konsumen akan lebih menyukai barang dalam jumlah yang banyak dari pada barang yang sedikit.

Teori Lokasi Perumahan (skripsi dan tesis)

Pemilihan dan penentuan lokasi untuk properti perumahan bagi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan pertimbangan masing-masing individunya. Beberapa ahli membuat kesimpulan mengenai pemilihan lokasi properti perumahan sebagai berikut (Richadson, 1978: 280-281) :

1. Filter Down Theory

Teori ini muncul pada tahun 1920 oleh EW Burgess untuk menerangkan pola pemukiman di Chicago. Menurut EW. Burgerss, perkembangan CBD yang pesat membuat pusat kota menjadi tidak menarik (tanah mahal, macet, polusi)sehingga perumahan akan terlokasi dipinggir kota.

2. Hipotesis Tiebout (1956)

Tiebout mengemukakakan bahwa seseorang memilih lokasi perumahan kota atau kabupaten yang pajaknya rendah atau pelayanan publiknya bagus.

3. Trade off Model oleh Alonso (1964) dan Solow (1972,1973)

Secara sederhana diartikan sebagai adanya trade off aksesibilitas terhadap ruang yang dipilih rumah tangga sebagai lokasi untuk properti perumahan. Model ini juga mengasumsikan bahwa kota melingkar dengan sebuah pusat tenaga kerja dan transportasi yang tersedia dimana-mana, semua lokasi dipertimbangkan secara homogen kecuali jarak ke pusat kota. Rumah tangga akan bersedia membayar lebih untuk properti dengan lokasi yang lebih dekat dengan CBD karena biaya commuting lebih rendah.

4. Ellis ( 1967 )

Ellis menekankan pentingnya preferensi lingkungan dan karakteristik sekitar dalam memilih lokasi perumahan.

5. Senior dan Wilson (1974)

Senior dan Wilson menyatakan bahwa untuk beberapa rumah tangga, kemudahan pencapaian ke tempat kerja tidak berarti sama sekali.

6. Little (1974) dan Kirwan & Ball (1974)

Mereka meneliti mengenai implikasi dari keinginan sebagian besar keluarga- keluarga untuk hidup dengan tetangga yang homogen.

7. Social Aglomeration Theory (1985)

Dikemukakan bahwa orang memilih rumah dengan pertimbangan utama bahwa dia akan nyaman bersama dengan kelompok sosial tertentu dimana kelompok ini bisa terbentukk berdasarkan ras, pendapatan, usia, dan lain sebagainya, yang kemudian timbul segregasi.

Pilihan lokasi untuk rumah tinggal menggambarkan suatu usaha individu untuk menyeimbangkan dua pilihan yang bertentangan, yaitu kemudhan ke pusat kota dan luas tanah yang bisa diperoleh. Menurut Synder dan Anthony (1991: 153) ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi perumahan:

1. Perwilayahan (zoning). Peraturan antara lain terkait dengan tipe dan ukuran bangunan, persyaratan ketinggian bangunan, garis sepadan bangunan.

2. Utilitas (utilities) Meliputi ketersediaan dan kondisi saluran pembuangan air hujan, sanitasi, pemasangan gas, listrik, dan telepon.

3. Faktor-faktor teknis (technical factor). Kondisi tanah, topografi, dan drainase, desain dan biaya.

4. Lokasi (location). Ketersediaan di pasar untuk penggunaan yang diusulkan, aksesibilitas, kondisi pesekitaran, dan kondisi lalu lintas.

5. Estetika (eisthetics). Meliputi pemandangan dan bentang alam yang ada.

6. Komunitas (community). Terutama terkait lingkungan termasuk di dalamnya kesehatan dan jasa-jasa yang diselenggarakan pemerintah.

7. Pelayanan kota (city service). Penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, dan jasa-jasa yang diselenggarakan pemerintah.

8. Biaya (cost). Biaya dan keterjangkauan penyewa.

Karakteristik Perumahan (skripsi dan tesis)

Menurut Mahfud Sidik (2000), karakteristik perumahan yang bersifat unik terutama menyangkut hal- hal sebagai berikut :

1. Lokasinya yang tetap dan hampir tidak mungkin dipindah

2. Pemanfaatannya dalam jangka panjang.

3. Bersifat heterogen secara multidimensional, terutama dalam lokasi, sumber daya alam dan preferensinya.

4. Secara fisik dapat dimodifikasi.

Menurut Mahfud Sidik (2000), karakteristik perumahan bersifat unik, terutama menyangkut hal- hal sebagai berikut :

1. Lokasinya yang tetap dan hampir tidak mungkin dipindah

2. Pemanfaatannya dalam jangka panjang

3. Bersifat heterogen secara multidimensional, terutama dalam lokasi, sumber daya alam, dan preferensinya.

4. Secara fisik dapat dimodifikasi

Secara Spasial lokasinya tetap berarti bahwa lokasi perumahan memiliki atribut yang khusus tidak saja menyangkut aspek fisik, tetapi juga aspek kenyamanan, strata sosial, akses pada fasilitas umum, pusat perbelanjaan dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Jarak dengan tempat kerja, gaya hidup dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Jarak dengan tempat kerja, gaya hidup dan kenyamanan lingkungan sekelilingnya dan tujuan lainnya. Pemanfaatan rumah tinggal dalam jangka panjang adalah ciri umum dari bangunan perumahan.Pada umumnya penghuni rumah melakukan modifikasi bentuk, interior, eksterior, dan ruangan bangunan perumahan dari bentuk aslinya. Dari sisi pasar perumahan, di lokasi yang lain. Di lain pihak, modifikasi hunian yang banyak dilakukan oleh individu-individu di suatu lingkungan perumahan tertentu akan mempengaruhi kondisi pasar perumahan di lingkungan tersebut.

Perumahan (skripsi dan tesis)

Ada beberapa pengertian mengenai rumah dan perumahan. Menurut The Dictioonary of Real Estate Appraisal (2002:313) pengertian properti perumahan adalah tanah kosong atau sebidang tanah yang dikembangkan, digunakan atau disediakan untuk tempat kediaman, seperti single family houses, apartemen, rumah susun. Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.

a. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.

b. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan

c. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan unian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Menurut American Institute Of Real Estate Appraisal (2001), resindential property dibagi menjadi single family resindential dan multifamily residential. Menurut Abd. Rahman (1992: 170) properti perumahan bisa dikategorikan kepada beberapa jenis, yaitu :

1. Rumah tinggal, dapat dibedakan menjadi rumah elit, rumah menengah, rumah sederhana dan rumah murah.

2. Flat, dapat dibedakan menjadi rumah susun, apartemen, dan kondominium.

Menurut Harvey (1989), rumah memilikki 2 arti penting, yaitu :

1. Rumah sebagai kata benda, menunjukkan bahwa tempat tinggal (rumah dan tanah) sebagai suatu komiditi.

2. Rumah sebagai kata kerja, menunjukkan suatu proses dan aktivitas manusia yang terjadi dalam pembangunan, pengembangan maupun sampai proses penghuninya.

Menurut SKB Menteri Dalam Negeri, Menteri PU, Menteri Perumahan Rakyat tahun 1992 Properti perumahan dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Rumah sederhana adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling antara 54 m2 sampai 200 m2 dan biaya pembangunan per m2 tidak melebihi dari harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas pemerintan kelas C yang berlaku.

2. Rumah menengah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling antara 200 m2 sampai 600 m2 dan/atau biaya pembangunan per m2 antara harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas pemerinah kelas C sampai A yang berlaku.

3. Rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling antara 600 m2 sampai dengan 2000 m2 dan/ atau biaya pembangunan per m2 di atas harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas kelas A yang berlaku.

Harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah dinas pemerintah adalah harga satuan per m2 tertinggi yang tercantum dalam Pedoman Harga Satuan per m2 tetinggi untuk pembangunan gedung pemerintahan dari rumah dinas yang secara berkala ditetapkan oleh departemen Pekerjaan Umum dan Direktorat Jenderal Cipta Karya.

Menurut Burgess dalam Mulyo Hendarto (2002), penyebaran kru permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

1. Saingan (Competition)

Warga kota yang satu dengan yang lainnya saling bersaing mendapatkan perumahan sesuai dengan keinginannnya. Keinginan untuk mendapatkan tempat yang baik tergantung kepada kemampuan ekonomi masing-masing.Jadi dengan demikian ada kemungkinan sukar

diaturnya mengadakan kompleks perumahan apabila faktor ekonomi perorangan ini menjadi faktor penentu.

2. Hak Milik Pribadi (Private Ownership)

Tanah-tanah yang sudah dimiliki dan direncanakan untuk membangun rumahnya, tidak mudah dimiliki oleh pihak lain. Terlebih jika letaknya strategis. Pemilikan seperti ini menulkitkan adanya perencanaan tata kota.

3. Perbedaan Keinginan (Differential Desirability)

Penilaian ini berkaitan dengan masalah pribadi, masalah prstise, masalah sosial, dan lainnya.

4. Topografi

Secara langsung maupun tidak langsung topografi ini berpengaruh terhadap kedudukan dari suatu bangunan, sehingga dapat mempengaruhi harga tanah ataupun bangunan di tempat- tempat tertentu, daya tarik untuk mkemiliki atau menolak tempat tersebut.

5. Transportasi

Berpengaruh terhadap waktu dan biaya perjalanan dikaitan dengan ketersesiaan dan kemampuan finansial, maka hal ini akan juga berpengaruh terhadap lokasi dan juga persebaran permukiman.

6. Struktur Asal (Intertia of Early)

Kota-kota dengan bangunan historis yang memiliki nilai budaya yang tinggu akan mempunyai kesulitan dalam rangka mengatur permukiman masa kini. Biasanya bangunan tersebut dipertahankan sebagai momentum bersejarah.

Selain faktor-faktor diatas yang dapat mempengaruhi lokasi permukiman ada pula satu faktor lain yang berpengaruh terhadap pergeseran lokasi permukiman, yaitu nilai tanah.

Permintaan Perumahan (skripsi dan tesis)

Permintaan perumahan memainkan peranan penting dalam mempengaruhi nilai pasar properti jenis perumahan. Hal ini di karenakan penawaran tanah untuk pembangunan terbatas dari segi keluasaan akan tetap dari segi permintaan selalu berubah dan bertambah. Awang Firdaos (1997 : 14) menjelaskan bahwa permintaan konsumen terhadap perumahan dipengaruhi oleh faktor – faktor sebagai berikut :

1. Lokasi

Keberadaan lokasi perumahan, apakah dipusat di pinggir kota sangat mempengaruhi minat konsumen dalam membeli rumah. Semakin strategis letak perumahan tersebut berarti semakin baik dan memiliki tingkat permintaan yang semakin tinggi. Faktor-faktor ekonomi dari keberadaan lokasi perumahan juga menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih rumah yang dikehendakinya. Jarak menuju tempat kerja, tempat hiburan, dan fasilitas umum sebagai motif efesiensi waktu dan biaya transportasi merupakan faktor ekonomi yang menjadi pertimbangan konsumen di dalam memilih lokasi rumah yang dimaksud.

2. Pertambahan penduduk

Dengan alasan bahwa setiap orang memerlukan tempat tinggal sebagai tempat berlindung, maka setiap pertambahan penduduk baik secara alamai maupun non alami (karena urbanisasi) akan meningkatkan permintaan akan rumah.

3. Pendapatan Konsumen

Kesanggupan seseorang di dalam memiliki rumah sangat dipengaruhi pendapatan yang diperolehnya. Apabila pendapatan seseorang meningkat dan kondisi perekonomian tidak terjadi resesi dan inflasi, kecenderungan untuk memiliki rumah akan meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.

4. Kemudahan Mendapatkan Pinjaman

Pada pasar properti perumahan, permintaan perumahan dipengaruhi juga oleh kebijakan pemerintah dan institusi keuangan seperti perbankan. Karakteristik pasar properti yaitu membutuhkan dana besar, menyebabkan konsumen sangat tergantung pada kemudahan pendanaan. Kemudahan pendanaan ini dapat berupa fasilitas kredit pinjaman, penurunan tingkat suku bunga pinjaman, dan jangka waktu pelunasan pinjaman. Apabila kemudahan tersebut dapat diperoleh konsumen, dipercaya permintaan akan rumah oleh konsumen akan bertambah. Sebaliknya jika syarat mendapatkan pinjaman sangat ketat, atau suku bunga pinjaman yang tinggi akan menurunkan permintaan rumah oleh masyarakat.

5. Fasilitas dan Sarana Umum

Fasilitas disini meliputi fasilitas umum dan fasilitas sosial, diantaranya infrastruktur, sarana pendidikan, kesehatan, keagamaan, sarana transportasi, dan lain-lain. Keberadaan fasilitas tersebut membangun serta menarik minta investor yang selanjutnya akan meningkatkan permintaan akan rumah di kawasan tersebut.

6. Harga Pasar Rumah

Seperti dalam hal teori permintaan dan penawaran, semakin tinggi harga barang akan mengakibatkan penurunan permintaan akan barang yang dimaksud. Apabila harga rumah menengah naik, sementara kecenderungan memiliki rumah dengan tingkat harga tersebut akan berkurang dan permintaan akan beralih ke rumah dengan harga yang lebih rendah.

7. Undang-undang

Peraturan tentang jenis hak penggunaan lahan/tanah yang membatasi hak atas tanah tersebut turut menjadi faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen akan rumah. Demikian juga dengan peraturan lain seperti peraturan perpajakan (PBB dan BPHTB) turut menjadi faktor yang menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli rumah.

Pasar Real Estate (skripsi dan tesis)

Pasar real estate berbeda dengan pasar ekonomi, yaitu sebagai suatu bisnis yang berjangka panjang memiliki karakteristik pasar yang sangat unik yaitu :

a. Pasar real estate bukan merupakan pasar persaingan sempurna karena keragaman barang, jumlah pembeli dan penjual yang terbatas, pasar real estate sangat erat dengan intervensi pemerintah, bersifat tidak mudah dipindahkan dan informasi berkaitan dengan real estate tidak sama antara pembeli dengan penjual.

b. Pasar real estate dicirikan oleh karakteristik pasokan yang tidak elastis. Hal ini berkaitan dengan adanya tenggang waktu pembangunan dengan operasi penggunaan.

c. Pasar real estate mengalami siklus untuk jangka waktu tertentu,dimana masing-masing lokasi berbeda.

Real estate adalah semua benda yang termasuk didalam dan diatas tanah yang merupakan bagian alam dari tanah dan juga semua benda yang dibuat dan dibangun oleh manusia (misalnya : bangunan rumah, sumurdan jaringan pipa air bersih). (AIREA : 2001). Elemen yang membentuk pasar perumahan dan perilaku para pelaku pasar menurut AIREA (2001) adalah: Lokasi, terkait erat dengan wilayah mana keputusan ekonomi yang relevan dilakukan. Kompetisi, berhubungan dengan fungsi permintaan dan penawaran, ketersediaan rumah dan jumlah pembeli potensial pada pasar. Demand unit merupakan suatu bagian yang menyatakan permintaan atas suatu produk yang didasarkan pada demografi, yang mendefinisikan jumlah pembeli sekarang dan yang akan datang

Elastisitas Permintaan (skripsi dan tesis)

Elastisitas merupakan suatu hubungan kuantitatif antar variabel-variabel,misal

antara jumlah yang diminta dengan harga barang tersebut. Sesuai dengan hukum permintaan komoditi tersebut. Besar perubahan permintaan akibat perubahan harga tersebut akan berbeda dari satu keadaan ke keadaan lain. Secara teori ekonomi dikenal istilah elastisitas harga permintaan (price elasticity of demand) sebagai suatu konsep yang menghubungkan perubahan kuantitas pembelian/ permintaan optimal atas suatu komoditi dengan perubahan harga relatifnya (Miller dan Meiner,2000,111).

Menurut Sukirno (2003) pengukuran elastisitas permintaan sangat bermanfaat bagi pihak swasta dan pemerintah. Bagi pihak swasta pengukuran elastisitas permintaan dapat digunakan sebagai landasan untuk menyusun kebijakan perekonomian yang akan dilaksanakannya seperti misalnya kebjakan impor komoditi yang akan mempengaruhi harga yang ditanggung rakyatnya. Pengukuran elastisitas permintaan kerap dinyatakan dalam ukuran koefisien elastisitas permintaan. Koefisien permintaan merupakan ukuran perbandingan persentase perubahan harga atas barang tersebut (Sukirno,2003).

Elastis

Barang dikatakan elastis sempurna bila kurva permintaan mempunyai koefisien elastisitas lebih besar daripada satu. Hal ini terjadi bila jumlah barang yang diminta lebih besar daripada persentase perubahan harga barang tersebut.

2. Elastisitas Uniter

Barang dikatakan elastis uniter bila kurva permintaan mempunyai koefisien elastisitas sebesar satu. Persentase perubahan harga direspon proporsional terhadap persentase jumlah barang yang diminta.

3. Tidak elastis

Barang dikatakan tidak elastis bila persentase perubahan jumlah yang diminta lebih kecil daripada persentase perubahan harga sehingga koefisien elastisitas permintaannya antara nol dan satu.

Menurut Sukirno (2003) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi elastisitas permintaan suatu barang, yaitu :

1. Tingkat kemampuan barang – barang lain untuk menggantikan barangyang bersangkutan.

Apabila suatu barang mempunyai banyak barang pengganti (barang substitusi), permintaan atas barang tersebut cenderung akan bersifat elastis. Perubahan harga yang kecil akan beralih ke barang lain sebagai penggantiannya. Untuk barang yang tidak memiliki barang pengganti, permintaan atas barang tersebut barang yang tidak memiliki barang pengganti, permintaan atas barang tersebut bersifat tidak elastis. Karena konsumen sukar memperoleh barang pengganti apabila harga barang tersebut naik permintaan tidak banyak berkurang.

2. Persentase pendapatan yang akan dibelanjakan untuk membeli barang tersebut.

Besar bagian pendapatan yang digunakan untuk membeli suatu barang dapat mempengaruhi elastisitas permintaan terhadap barang tersebut. Semakin besar bagian pendapatan yang diperlukan elastisitas permintaan terhadap barang tersebut. Semakin besar bagian pendapatan yang diperlukan untuk membeli suatu barang, maka permintaan barang tersebut akan semakin elastis.

3. Jangka waktu pengamatan atas permintaan.

Semakin lama jangka waktu permintaan dianalisis, permintaan atas barang tersebut semakin elastis. Jangka waktu yang singkat permintaan tidak bersifat elastis karena perubahan pasar belum diketahui oleh konsumen. Dalam jangka waktu lebih lama konsumen akan mencari barang alternatif untuk menggantikan barang yang mengalami kenaikan harga.

Hukum Permintaan (skripsi dan tesis)

Hukum permintaan merupakan suatu hipotesa yang menjelaskan hubungan antara harga barang dengan jumlah barang yang dibeli konsumen.Jumlah barang yang dibeli konsumen berbanding terbalik dengan harga. Makin tinggi harga suatu barang makin

sedikit permintaan akan barang tersebut, sebaliknya makin rendah harga suatu barang makin banyak permintaan akan barang tersebut, dimana faktor-faktor lain dianggap tetap seperti pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, selera masyarakat, tidak adanya barang substitusi dan ramalan (estimasi) harga dimasa yang akan datang.

Penyebab utama berlakunya hukum permintaan ini karenaterbatasnya pendapatan konsumen. Hubungan terbalik antara harga dan jumlah permintaan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kenaikan harga menyebabkan para pembeli mencari barang lain yang dapat digunakan sebagai pengganti terhadap barang yang mengalami kenaikan harga. Sebaliknya, apabila harga turun maka orang mengurangi pembelian terhadap barang lain yang sama jenisnya dan menambah pembelian terhadap barang yang mengalami penurunan harga. Hal ini disebut sebagai efek subtitusi.

2. Kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil para pembeli berkurang. Pendapatan yang merosot tersebut memaksa para pembeli untuk mengurangi pembeliannya terhadap berbagai jenis barang, dan terutama barang yang mengalami kenaikan harga. Permintaan akan suatu barang di pasar akan terjadi apabila konsumen mempunyai keinginan (willing) dan kemampuan (ability) untuk membeli, pada tahap kosumen hanya memiliki keinginan atau kemampuan saja maka permintaan barang belum terjadi, kedua syarat willing dan ability harus ada untuk terjadinya permintaan. Hal ini disebut sebagai efek pendapatan (Sukirno, 2005).

Namun demikian terdapat beberapa perkecualian sehingga hukum permintan ini tidak berlaku, yaitu:

1. Kasus barang giffen

Barang giffen adalah barang inferior, tetapi tidak semua baranginferior adalah barang giffen.Dalam kasus ini ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat harga menyebabkan permintaan terhadap barang ini menunjukkan harga yang semakin meningkat. Oleh karena itu barang giffen dikatakan sebagai barang yang mempunyai slope kurva permintaan positif.

2. Kasus pengaruh harapan dinamis

Dalam hal ini, perubahan jumlah yang diminta dipengaruhi oleh perubahan harga yang terkait dengan harapan konsumen. Artinya,kenaikan harga suatu barang hari ini akan diikuti kenaikan permintaan terhadap barang tersebut, karena terselip adanya harapan bahwa barang tersebut akan terus mengalami kenaikan, contoh: valas.

3. Kasus barang prestise

Pada kasus ini memasukkan kepuasan konsumen dalam pembeliansuatu barang. Semakin tinggi harga suatu barang semakin tinggi kepuasan konsumen sehingga meningkatkan unsur prestise, akibatnya semakin tinggi pula kesediaan konsumen untuk membayar harga barang tersebut, contoh: permata.

2.1.1.3 Kurva Permintaan

Jika dimisalkan permintaan seseorang hanya dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, maka setiap perubahan harga barang tersebut akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk menentukan berapa jumlah yang akan dimintanya. Pada umumnya jika suatu harga barang naik maka jumlah barang yang diminta akan turun, begitu pula

sebaliknya. Kurva permintaan adalah kurva yang menghubungkan antara tingkat harga suatu barang dengan jumlah yang diminta atas barang tersebut, ceteris paribus.perubahan harga akan mempengaruhi jumlah yang diminta, bukan permintaan. Sedangkan perubahan permintaan akan menyebabkan kurva permintaan bergeser ke kanan dan ke kiri. Pegeseran kurva permintaan berarti jumlah yang diminta akan berubah di setiap tingkat harga.

Kurva permintaan mempunyai slope yang menurun ke kanan (berslope negatif) yang berarti jika harga suatu barang naik (asumsi yanglain tetap- ceteris paribus) maka konsumen akan cenderung untuk menurunkan permintaanya atas barang tersebut, begitu pula sebaliknya dan hal ini disebut Hukum Permintaan. (Suryawati, 2005).

Teori Permintaan (Skripsi dan tesis)

Menurut Sukirno (2005) permintaan adalah keinginan konsumen membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga tertentu selama periode waktu tertentu. Fungsi permintaan seorang konsumen akan suatu barang dapat dirumuskan sebagai :

Dx = f ( Px, Y, Py, T, u )

Dimana :

Dx = Jumlah barang X yang diminta

Px = Harga Barang X

Y = Pendapatan Konsumen

Py = Harga Barang Lain

T = Selera

u = Faktor-faktor Lainnya

Persamaan tersebut berarti jumlah barang X yang diminta dipengaruhi oleh harga barang X, pendapatan konsumen, harga barang lain, selera dan faktor-faktor lainnya.Dimana Dx adalah jumlah barang Xyang diminta konsumen, Y adalah pendapatan konsumen, Py adalah harga barang selain X, T adalah selera konsumen dan u adalah Faktor-faktor lainnya. Dalam kenyataannya permintaan akan suatu barang tidak hanya dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri namun juga oleh faktor-faktorlain.

Menurut Miller dan Meiners (2000) permintaan merupakan fungsi dari :

1. Harga Barang Sendiri

Apabila harga barang sendiri mengalami kenaikan maka permintaan akan barang tersebut turun.

2. Pendapatan

Kenaikan pendapatan biasanya akan mengakibatkan kenaikan permintaan.

3. Selera dan preferensi

Keterbatasan teori yang mengkaji tentang perubahan seleramempersulit dalam mengukur selera dan preferensi konsumen,sehingga diasumsikan selera konsumen konstan.

4. Harga barang subsitusi

Merujuk kepada barang apapun yang perubahan harganya akan mempengaruhi permintaan.

5. Perubahan dugaan tentang harga di masa depan (ekpektasi harga)

Perkiraan akan terjadi penurunan harga dimasa depan akan meningkatkan permintaan barang tersebut.

6. Penduduk

Kenaikan jumlah penduduk dalam suatu perekonomian (asumsipendapatan konstan) akan meningkatkan permintaan.

Masyarakat Menengah Ke Bawah (skripsi dan tesis)

Secara garis besar perbedaan yang ada dalam masyarakat berdasarkan materi yang dimiliki seseorang yang disebut sebagai kelas sosial (social class). Noor membagi kelas sosial dalam tiga golongan, yaitu:

  1. Kelas atas (upper class)

Upper class berasal dari golongan kaya raya seperti golongan konglomerat, kelompok eksekutif, dan sebagainya. Pada kelas ini segala kebutuhan hidup dapat terpenuhi dengan mudah, sehingga pendidikan anak memperoleh prioritas utama, karena anak yang hidup pada kelas ini memiliki sarana dan prasarana yang memadai dalam belajarnya dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tambahan sangat besar. Kondisi demikian tentu akan membangkitkan semangat anak untuk belajar karena fasilitas mereka dapat dipenuhi oleh orang tua mereka.

  1. Kelas menengah (middle class)

Kelas menengah biasanya diidentikkan oleh kaum profesional dan para pemilik toko dan bisnis yang lebih kecil. Biasanya ditempati oleh orang-orang yang kebanyakan berada pada tingkat yang sedang-sedang saja. Kedudukan orang tua dalam masyarakat terpandang, perhatian mereka terhadap pendidikan anak-anak terpenuhi dan mereka tidak merasa khawatir akan kekurangan pada kelas ini, walaupun penghasilan yang mereka peroleh tidaklah berlebihan tetapi mereka mempunyai sarana belajar yang cukup dan waktu yang banyak untuk belajar.

  1. Kelas bawah (lower class)

Menurut Sumardi (2005) kelas bawah adalah golongan yang memperoleh pendapatan atau penerimaan sebagai imbalan terhadap kerja mereka yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan pokoknya. Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah sebagai orang miskin dan kehilangan amnisi dalam merengkuh keberhasilan yang lebih tinggi. Golongan ini antara lain pembantu rumah tangga, pengangkut sampah dan lain-lain. Penghargaan mereka terhadap kehidupan dan pendidikan anak sangat kecil dan sering kali diabaikan, karena ini sangat membebankan mereka. Perhatian mereka terhadap keluarga pun tidak ada, karena mereka tidak mempunyai waktu luang untuk berkumpul dan berhubungan antar anggota keluarga kurang akrab.

Gunawan (2000) mengemukakan mengenai ciri-ciri umum keluarga dengan status sosial ekonomi atas dan bawah yaitu:

  1. Ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi atas:

1) Tinggal di rumah-rumah mewah dengan pagar yang tinggi dan berbagai model yang modern dengan status hak milik.

2) Tanggungan keluarga kurang dari lima orang atau pencari nafkah masih produktif yang berusia dibawah 60 tahun dan tidak sakit.

3) Kepala rumah tangga bekerja dan biasanya menduduki tingkat professional ke atas.

4) Memiliki modal usaha.

  1. Ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah:

1) Tinggal di rumah kontrakan atau rumah sendiri namun kondisinya masih amat sederhana seperti terbuat dari kayu atau bahan lain dan bukan dari batu.

2) Tanggungan keluarga lebih dari lima orang atau pencari nafkah sudah tidak produktif lagi, yaitu berusia 60 tahun dan sakit-sakitan.

3) Kepala rumah tangga menganggur dan hidup dari bantuan sanak saudara dan bekerja sebagai buruh atau pekerja rendahan seperti pembantu rumah tangga, tukang sampah dan lainnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi dapat dilihat dari tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan kekayaan yang dimiliki individu yang bersangkutan

Preferensi Lokasi Perumahan (skripsi dan tesis)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penger tian dari preferensi adalah hal yang didahulukan daripada yang lain, prioritas, pilihan, kecenderungan dan kesukaan.

Pilihan terhadap kebutuhan tempat tinggal akan berbeda pada setiap individu ataupun keluarga (Chen & Nakama, 2015). Preferensi lokasi perumahan adalah keinginan seseorang untuk bermukim atau tidak bermukim di suatu tempat (Rahman, Hasshim, & Rozali, 2015). Preferensi bertempat tinggal dipengaruhi beberapa faktor yang tidak sama nilainya bagi seseorang atau keluarga (Purbosari & Hendarto, 2012). Pada perkembangannya, factor-faktor tersebut akan mendorong individu atau keluarga untuk melakukan mobilitas tempat tinggal di daerah perkotaan (Howley, Scott, & Redmond, 2009).

 Masalah yang berkaitan dengan kelompok sasaran penghuni adalah masalah lokasi. Bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang, aspek lokasi akan mempunyai implikasi ekonomi karena keterkaitannya dengan tempat kerja dan fasilitas sosial. Jarak yang jauh dengan tempat kerja dan fasilitas sosial berarti akan menambah persentase pengeluaran ongkos transportasi dibandingkan seluruh pengeluaran rutin keluarga.

Kualitas kehidupan yang berupa kenyamanan dan keamanan dari suatu rumah sangat ditentukan oleh lokasinya. Daya tarik dari suatu lokasi ditentukan oleh dia hal yaitu aksesibilitas dan lingkungan. Aksesibilitas merupakan daya tarik yang ditentukan oleh kemudahan dalam pencapaian keberbagai pusat kegiatan seperti pusat perdagangan, pusat pendidikan, daerah industri, jasa pelayanan perbankan, tempat rekreasi, pelayanan pemerintahan, jasa profesional, dan bahkan merupakan perpaduan antara semua kegiatan tersebut (Luhst, 1977)dalam Kalesaran (2013).

Menurut Bourne (1975) dalam Kalesaran (2013), faktor lingkungan yang menjadi pertimbangan dalam memilih lokasi perumahan meliputi:

  1. Aksesibilitas ke pusat kota: jalan raya utama, sekolah dan tempat rekreasi.
  2. Karakteristik fisik dan lingkungan pemukiman: Kondisi jalan, pedestrian, pola jalan dan ketenangan.
  3. Fasilitas dan pelayanan: kualitas dari utilitas, sekolah, polisi, dan pemadam kebakaran. d. Lingkungan sosial: pemukiman bergengsi, komposisi sosial ekonomi, etnis dan demografi.
  4. Karakteristik site rumah: luas tanah, luas bangunan, jumlah kamar dan biaya pemeliharaan.

Menurut Drabkin (1980) dalam Kalesaran (2013), ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan lokasi perumahan yang secara individu berbeda satu sama lain yaitu :

  1. Aksesibilitas yaitu terdiri dari kemudahan transportasi dan jarak ke pusat kota
  2. Lingkungan, dalam hal ini terdiri dari lingkungan sosial dan fisik seperti kebisingan, polusi dan lingkungan yang nyaman
  3. Peluang kerja yang tersedia, yaitu kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya.
  4. Tingkat pelayanan, lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki pelayanan yang baik dalam hal sarana dan prasarana.

Dari banyak kriteria yang mempengaruhi pemilihan tempat,

yang paling utama menurut Catanese (1992) adalah :

  1. Hukum dan lingkungan. Akankah hukum yang berlaku mengijinkan didirikannya gedung dengan ukuran tertentu, persyaratan tempat parkir, tinggi maksimum gedung, batasanbatasan kemunduran dan berbagai kendala lain yang berkaitan.
  2. Sarana. Suatu proyek membutuhkan pemasangan air, gas, listrik, telepon, tanda bahaya (alarm), jaringan drainase.
  3. Faktor teknis. Bagaimana keadaan tanah, topografi, dan drainase yang mempengaruhi desain tempai atau desain bangunan
  4. Lokasi. Yang dipertimbangkan adalah pemasarannya, aksesibilitas, dilewati kendaraan umum dan dilewati banyak pejalan kaki.
  5. Estetika Bagaimana view yang ada dimanfaatkan sebaik mungkin.
  6. Masyarakat Yang dipertimbangkan adalah dampak pembangunan perumahan tersebut terhadap masyarakat sekitar, kemacetan lalu lintas dan kebisingan
  7. Fasilitas pelayanan. Yang dipertimbangkan adalah aparat kepolisian, pemadam kebakaran, pembuangan sampah dan fasilitas sekolah
  8. Biaya. Yang dimaksud dengan biaya adalah tanah/lahan yang murah

Menurut Anthony (2017), faktor yeng mempengaruhi preferensi pemilihan lokasi perumahan khususnya perumahan bersubsidi adalah :

  1. Harga, yang terdiri dari sub faktor:

– Kesesuaian harga dengan daya beli

– Kesesuaian harga dengan cicilan terjangkau yang sesuai kemampuan

– Kesesuaian harga melalui uang muka yang ringan

– Kesesuaian harga melalui pajak dan biaya transaksi yang terjangkau

  1. Lokasi, yang terdiri dari sub faktor:

– Jarak ke pusat kota

– Jarak ke tempat kerja

– Jarak ke pusat kegiatan

– Kemudahan transportasi

– Tidak banjir

  1. Desain dan kualitas bangunan, yang terdiri dari sub faktor:

– Desain dan tampak depan bangunan

– Denah bangunan

– Spesifikasi bangunan

– Kualitas pengerjaan

  1. Lingkungan, yang terdiri dari sub faktor:

– Keamanan lingkungan

– Keasrian dan kenyamanan lingkungan

– Lahan perumahan luas dan jalan lebar

– Perumahan sudah ramai

– Tetangga-tetangga dikenal dengan baik

Perkembangan Permukiman di Pinggiran Kota (skripsi dan tesis)

Pertumbuhan  kota ke area pinggiran  karena meningkatnya kebutuhan dapat terjadi secara alami.  Kondisi tersebut mengakibatkan  terjadinya  perubahan  penggunaan lahan ke arah luar kota (non urban) terutama untuk memenuhi kebutuhan manusia berupa tempat bermukim telah berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Proses perubahan tersebut merupakan  peristiwa terjadinya perubahan  kenampakan fisik kotayang merembet kearah luar yang disebabkan oleh adanya penetrasi  dari  suatu  kelompok  penduduk  area  terbangun  kota  (built  up  area) kearah  luar, sehingga wilayah perbatasan menjadi area yang dituju bagi orientasi perkembangan kota (Adisasmita, 2006). Menurut pendapat Yunus (2012), ketersediaan ruang di wilayah kota dalam kondisi tetap dan terbatas mengakibatkan  pengambilan ruang di area pinggiran kota untuk memenuhi kebutuhan ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal dan fungsi-fungsi yang lain.

Tanda-tanda perkembangan kota yang menjalar ke area pinggiran kota dikenal sebagai “invasion” dan proses terjadinya kenampakan fisik kota menuju ke arah luar kota desebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 2012)

Penjalaran fisik kota menurut Northam dalam Yunus (2012)  terbagi menjadi tiga macam model, yaitu :

  1. a)Perkembangan Konsentris(concentric development) adalah penjalaran fisik kota yang bersifat rata pada sisi luar yang terjadi dalam tempo yang lambat dan terdapat tanda-tanda yang mengindikasikan adanya morfologi kota yang kompak.
  2. b)Perkembangan fisik memanjang atau linier (ribbon/linear/axial development) merupakan penjalaran fisik kota pada area yang berada di sepanjang jaringan jalan dan  mengikuti pola jaringan jalan tersebut dan terdapat perbedaan penjalaran dalam setiap bagian perkembangan kota.

  1. c)Perkembangan yang meloncat (leap frog/chercher board development) merupakan penjalaran fisik kota tanpa pola.

    Spencer (dalam Yunus, 2012),mengemukakan definisi beberapa alasan yang mendorong perpindahan penduduk ke daerah pinggirann kota: (1) penggunaan tanah untuk permukiman di kota bersaing dengan tanah lain yang lebih komersil, sehingga tanah yang tersedia untuk permukiman semakin berkurang ;(2) penduduk kota semakin meningkat jumlahnya; (3) sarana transportasi menuju pinggiran kota menjadi lebih baik dan fleksibel, sehingga memungkinkan  penduduk  dan  perusahaan-perusahaan   pindah  lebih  jauh  dari pusat-pusat bisnis (kota), menyebar ke pinggiran kota mengikuti jalur transportasi; (4) orang-orang  kota menginginkan  tempat tinggal yang lebih luas dan tenang, karena mereka merasa bahwa tempat tinggal di kota sangat padat dan sesak; (5) Pemerintah  telah  membantu  penduduk  untuk  mengusahakan  pemilikan  rumah yang menarik dengan syarat pembayaran yang ringan di daerah pinggiran kota.

Ruswurm,  1980  dalam  Yunus  (2012:131),  berpendapat  bahwa,  faktor- faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pinggiran kota yakni: 1) Pertumbuhan penduduk (population growth); 2) persaingan memperoleh lahan (competition for land); 3) hak-hak kepemilikan (property right); 4) kegiatan “developers” (developers activities); 5) perencanaan (planning controls); 6) perkembangan   teknologi   (technological   development);   7) lingkungan   fisik (physical environement).

Menurut pendapat Rugg (1979 : 71) dalam  Warsono (2006), pinggiran kota merupakan kota yang  letak wilayahnya berada di perbatasan dengan kota di sebelahnya yang memiliki hirarkhi lebih tinggi, berkarakteristik  wilayah pedesaan dan kondisi  intensitas wilayah terbangun lebih rendah dari kota pusatnya, intensitas ini akan menurun dari kota ke desa.

Menurut Bintarto  (1989),  gejala terjadinya perembetan  kota dapat diidentifikasi dari kenampakan  fisik kota ke arah luar yang dapat dilihat melalui terbentuknya zone-zone yang meliputi daerah-daerah  : (1) area yang melingkari sub urban dan merupakan daerah peralihan antara desa kota (sub urban fringe), (2) area batas luar kota yang memiliki sifat-sifat mirip kota (urban fringe), dan (3)  area terletak antara daerah kota dan desa yang   ditandai   dengan   penggunaan   tanah   campuran   (Rural-Urban-Fringe).

 Bar-Gal, 1987 dalam Kustur (1997:4), mengemukakan bahwa, sebagai  daerah  urban  fringe,  dapat dilihat   melalui  berbagai  karakteristik, seperti peningkatan harga tanah yang drastis, perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan  komposisi  penduduk  dan  tenaga  kerja,  serta  berbagai  aspek  sosial lainnya. Evers (1986:29-31) dalam Warsono (2006) berpendapat bahwa, gejala perkembangan perluasan kota terjadi yang terjadi secara terencana maupun tidak direncanakan (natural), berdampak pada perubahan konsep fungsi tanah sebagai gejala baru di pinggiran kota terutama bagi penduduk asli.

Rumah, Perumahan dan Permukiman (skripsi dan tesis)

2.

Menurut Johan Silas (2002) rumah memiliki pengertian sebagai tempat penyelenggaraan kehidupan dan penghidupan keluarga.rumah harus memenuhi kebutuhan yang bersifat biologis seperti makan, belajar, dan lain-lain, juga memenuhi kebutuhan non biologis, seperti bercengkrama dengan anggota keluarga atau dengan tetangga.fungsi rumah dikelompokan menjadi tiga yaitu rumah berfungsi sebagai sarana infestasi, rumah sebagai sarana berusaha dan rumah sebagai tempat bernaung. Rumah berfungsi sebagai sarana investasi memiliki arti rumah mempunyai nilai investasi yang bersifat moneter yang dapat diukur dengan uang dan non moneter yang tidak dapat diukur dengan uang, tetapi lebih pada keuntungan moral dan kebahagiaan keluarga. Rumah sebagai sarana berusaha dapat diartikan sebagai melalui rumah penghuni dapat meningkatkan pendapatannya guna kelangsungan hidupnya.

Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Rumah sebagai tempat bernaung harus memenuhi kebutuhan ruang akan kegiatan bagi penghuninya. Terdapat beberapa ruang pokok yang ada pada sebuah rumah, yaitu ruang tidur, ruang belajar atau ruang kerja, ruang keluarga, ruang services seperti dapur, dan teras atau ruang tamu. Makna yang terkandung didalam kebutuhan ruang-ruang tersebut mencerminkan bahwa rumah adalah tempat untuk istirahat, tempat untuk mengembangkan diri guna meningkatkan mutu kehidupan, rumah sebagai tempat sosialisasi utamanya dengan keluarga, rumah sebagai tempat menyediakan kebutuhan jasmani dan rohani serta rumah sebagai tempat bernaung.

Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. (Sumber: UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempattinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan saranalingkungan (Musthofa, 2008).

Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. (UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman). Pemakaian atau penggunaan perumahan adalah sah apabila ada persetujuan pemilik dengan mengutamakan fungsi perumahan bagi kesejahteraan masyarakat. (Pasal 7 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1964 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 6 Tahun 1962 Tentang Pokok-Pokok Perumahan).

Sedangkan permukiman adalah suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional, ekonomi dan fisik tata ruang yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana secara umum dan fasilitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh (C. Djemabut Blaang, 1986). Permukiman merupakan sebuah sistem yang terdiri dari lima unsur, yaitu: alam, masyarakat, manusia, lindungan dan jaringan. Bagian permukiman yang disebut wadah tersebut merupakan paduan tiga unsur: alam (tanah, air, udara), lindungan (shell) dan jaringan (networks), sedang isinya adalah manusia dan masyarakat. Permukiman terbentuk dari kesatuan isi dan wadahnya. (Doxiadis dalam Suparno Sastra dkk, 2006).

PERGESERAN GUNA LAHAN (skripsi dan tesis)

Menurut Lestari (2009) mendefinisikan perubahan atau pergeseran guna lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh:

  1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi.
  2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.
  3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering.
  4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.

Menurut Wahyunto (2001), perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan kebutuhan hidup yang lebih baik. Menurut Irawan (2005), ada dua hal yang mempengaruhi alih fungsi lahan. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.

Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

  1. Faktor Eksternal.

  Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. Pertumbuhan perkotaan didorong oleh pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang ada baik dari kelahiran maupun urbanisasi, hal ini menyebabkan kebutuhan ruang untuk tempat tinggal juga akan meningkat sementara lahan perkotaan sangatlah terbatas. Selain itu, pertumbuhan perekonomian kota seperti kebutuhan penyediaan fasilitas umum, maupun infrastrutur untuk bisnis dan perdagangan juga samakin membutuhkan ketersediaan lahan yang besar.

  1. Faktor Internal.

Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Kebutuhan sosial ekonomi masyarakat petani semakin tinggi sehingga seringkali kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi dari usaha pertanian saja dan pada akhirnya hanya dapat dipenuhi dengan cara menjual lahan pertanian yang mereka miliki dan beralih profesi ke non pertanian.

  1. Faktor Kebijakan

  Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi. Pemrintah harus membuat kebihakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan lahan dan kebutuhan pangan masyarakat.

Perubahan penggunaan lahan tersebut juga bukannya tanpa ada sebab, terdapat empat faktor utama yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Bourne, 1982), yaitu:

  1. Perluasan batas kota;
  2. Peremajaan pusat kota;
  3. Perluasan jaringan infrastruktur khususnya jaringan transportasi;
  4. Tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu.

Dalam perencanaan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, factor-faktor tersebut antara lain manusia, aktivitas, serta lokasi kegiatan (Catanese, 1986:317).

Hubungan antara ketiga faktor tersebut sangat berkaitan sehingga dapat disebut sebagai siklus perubahan penggunaan lahan. Dari hubungan dinamik ini akan timbul bentuk aktivitas yang akan menimbulkan beberapa perubahan (Bintarto, 1989: 73-74). Beberapa perubahan yang akan terbentuk adalah sebagai berikut:

  1. Perubahan Lokasi (Locational Change)
  2. Perubahan Perkembangan (Developmental Change)
  3. Perubahan Tata Laku (Behavioral Change)

DAMPAK SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN (skripsi dan tesis)

Sosial ekonomi yaitu lingkungan yang terdiri dari manusia baik secara individu maupun kelompok yang saling berhubungan, sehingga terbentuklah komunitas- komunitas sosial dan kegiatan-kegiatan perekonomian. Komunitas sosial dan kehidupan ekonomi akan sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan kehidupan dimana manusia tersebut berada. Kualitas lingkungan sosial ekonomi yang baik yaitu jika kehidupan manusia yang ada di lingkungan tersebut secara ekonomi terpenuhi, tidak kekurangan pangan dan sandang, memiliki rumah, berpendidikan, merasa aman dan nyaman, terpenuhinya sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan lain sebagainya. Semua kebutuhan tersebut akan dapat terpenuhi dengan cara mereka harus memiliki pekerjaan dan pendapatan yang tepat dan memadai (Sunarko, 2007).

Sementara itu, menurut Soekanto (2002), sosial ekonomi adalah posisi seseorang dalam masyarakat yang berkaitan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulan, prestasinya, dan hak-hak serta kewajibannya dalam hubungannya dengan sumberdaya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat akan selalu mengalami perubahan, melalui proses sosial dan interaksi sosial yaitu suatu proses hubungan dan saling mempengaruhi, yang terjadi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok

Pembangunan dan penataan lingkungan buatan akan berdampak pada aspek Sumber Daya Alam (SDA) baik air, udara dan tanah. Semua itu akan memberikan dampak pada aspek sosial, baik perubahan ke arah negatif maupun ke arah positif. Namun sebagian besar perubahan yang ditimbulkan dari berubahnya lingkungan alam dan buatan telah memberikan perubahan sosial ke arah negatif (Reksohadiprodjo, 1997).

Akibat dari perubahan kualitas lingkungan alam, manusia sebagai makhluk yang berada di dalamnya akan memberikan reaksi penyesuaian diri. Reaksi tersebut diawali dengan stress yang mana aspek ini diakibatkan oleh suatu keadaan dimana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang. Ada dua macam tindakan manusia dalam menghadapi stress ini, pertama adalah tindakan langsung dan yang kedua adalah penyesuaian mental. Migrasi atau berpindah tempat adalah contoh tindakan langsung akibat perubahan lingkungan.

Menurut Roucek dan Warren aspek sosial ekonomi pada suatu masyarakat umumnya dipengaruhi oleh aspek lingkungan alam dimana masyarakat tersebut berdomisili. Aspek sosial ekonomi memberikan gambaran mengenai tingkat pendapatan masyarakat, jenis atau keragaman mata pencaharian yang ditekuni, aspek perumahan serta hubungan atau interaksi antara individu maupun kelompok masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Aspek sosial ekonomi seseorang dapat ditentukan lewat kegiatan ekonomi yang dilakukan, jumlah pendapatan yang diperoleh, jenis pekerjaan yang ditekuni, pendidikan formal, pemilikan barang dan pemilikan rumah.

Menurut Hagul (1985) pendekatan sosial ekonomi pembangunan terbatasi atas tiga berdasarkan manusianya, yaitu: Universitas Sumatera Utara

  1. The Trickle Down Theory, yaitu suatu pendekatan program percepatan pembangunan dan hasilnya dinikmati baik secara langsung atau tidak oleh masyarakat.
  2. Basic Needs Approach, yaitu pendekatan yang meliputi upaya secara langsung menanggulangi masalah kebutuhan pokok misalnya: Gizi, kesehatan, kebersihan, pendidikan, dll.
  3. Development From Within, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengembangkan potensi kepercayaan dan kemampuan masyarakat itu sendiri serta membangun sesuai tujuan yang mereka kehendaki.

Selanjutnya Reksohadiprodjo (1997) mengemukakan bahwa pembangunan kota akan mempunyai dampak social ekonomi yang bernilai positif maupun negatif. Berbagai masalah kota muncul seperti kemiskinan akibat terbatasnya mata pencaharian dan tingkat pendapatan, masalah kesehatan yang akan berakibat terhadap produktivitas, masalah pendidikan yang akan berakibat terhadap sumber daya manusia, masalah lingkungan hidup yang akan berakibat terhadap daya dukung kota.

Salah satu konsep tentang dampak suatu pembangunan infrastruktur jalan bertolak dari pemikiran bahwa masyarakat itu dipandang sebagai suatu bagian dari ekosistem. Perubahan dari salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem yang lain. Di dalam masyarakat terdapat tiga subsistem yang saling interaktif yakni (Sudharto P. Hadi, 2005):

  1. sistem social,

Secara sosial pembangunan infrastruktur transportasi menyediakan berbagai kemudahan, diantaranya (Prapti, 2015): a) Pelayanan untuk perorangan atau kelompok, b) Pertukaran atau penyampaian informasi, c) Perjalanan untuk bersantai, d) Memendekkan jarak, e) Memencarkan penduduk Di samping itu ada manfaat lain

  1. sistem ekonomi,

J’afar M. (2007) menyatakan bahwa, infrastruktur memiliki peranan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan jangka pendek menciptakan lapangan kerja sektor konstruksi dan jangka menengah dan panjang akan mendukung peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor-sektor terkait. Infra- struktur sepertinya menjadi jawaban dari kebutuhan negara- negara yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan membantu penanggulangan kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup, mendukung tumbuhnya pusat ekonomi dan meningkatkan mobilitas barang dan jasa serta merendahkan biaya aktifitas investor dalam dan luar negeri

  1. sistem fisik atau lingkungan fisik.

Meskipun membawa dampak positif, pembangunan infrastruktur jalan juga membawa dampak negatif diantaranya (Kementrian Pekerjaan Umum RI, 2010): 1. Berkurangnya lahan produktif pertanian. 2. Adanya pengurangan luasan lahan terbuka hijau. 3. Rusaknya lingkungan hidup di sekitar pembangunan infrastruktur jalan.

Dampak muncul ketika terdapat aktivitas: proyek, program atau kebijaksanaan yang akan diterapkan pada suatu masyarakat. Bentuk intervensi ini (karena aktivitas biasanya selalu datang dari luar masyarakat) mempengaruhi keseimbangan pada suatu sistem (masyarakat). Pengaruh itu bisa positif, bisa pula negatif (Sudharto P. Hadi, 2005)

PERKEMBANGAN KOTA (skripsi dan tesis)

1.

Batas fisik kota selalu mengalami perubahan, sehingga batas fisik kota tidak selalu berada didalam batas administrasi kota. Northam dalam Yunus (1994) mengatakan terdapat tiga macam kemungkinan hubungan antara eksistensi batas fisik kota dengan batas administrasi kota, yaitu

  1. Batas fisik kota yang ditunjukkan areal terbangun berada jauh diluar batas administrasi kota (Under Bound City).
  2. Batas fisik kota berada didalam batas administrasi kota (Over Bounded City).
  3. Batas fisik kota berimpitan dengan batas administrasi kota (True Bounded City).

Menurut Branch (1995) beberapa unsur yang mempengaruhi perkembangan kota, antara lain: keadaan geografis, lokasi site, fungsi kota, sejarah, serta kebudayaan yang melatar belakanginya. Sedangkan pertumbuhan kota lebih cenderung dianalisis dari pertumbuhan penduduk perkotaan. Semua unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi, dan dalam tampilan fisik tercermin dari bentukan fisik perkotaan yang mengalami fungsi – fungsi tertentu. Keadaan topografi dan perkembangan sosial ekonomi akan mengakibatkan perkembangan pola kota yaitu:

  1. Pola menyebar, pada keadaan topografi yang seragam dan kegiatan ekonomi yang homogen di suatu wilayah akan menyebabkan perkembangan dengan pola menyebar.
  2. Pola sejajar, terjadi akibat adanya perkembangan kota mengikuti jalur jalan, lembah, sungai, atau pantai.
  3. Pola merumpun, berkembang karena adanya sumberdaya alam tertentu yang menonjol.

Sedangkan menurut Jayadinata (1999), pola – pola perkembangan kota yang terdapat di atas lahan yang bertopografi datar dapat menjadi bentuk – bentuk radial menerus, radial tidak menerus, gridion menerus, radial menerus atau linear menerus. Kota terbentuk dari berbagai aspek yaitu aspek fisik, ekonomi, sosial, serta kebudayaan. Perkembangan aspek – aspek tersebut secara otomatis akan mempengaruhi perkembangan kota satu dengan lainnya tidak sama, ada kota yang tumbuh pesat namun adapula yang sulit berkembang. Hal ini disebabkan setiap kota memiliki ciri atau kondisi aspek yang beragam satu sama lainnya. Dengan didasari perkembangan tersebut suatu kota memiliki pendorong maupun penarik perkembangan yang beragam pula.

Apabila dicermati, berkembangnya suatu kawasan tidak akan terlepas dari berkembangnya pusat kota. Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan proses perkembangan kawasan kota, yaitu:

  1. Proses Perkembangan Fisik Wilayah

Proses ini adalah proses perkembangan fisik wilayah ke arah “mengkota”. Perubahan bentuk fisik wilayah ini tentunya terjadi pada wilayah yang secara administrasi dekat dengan kota.

  1. Proses Aglomerasi Penduduk

Proses perkembangan penduduk di suatu kawasan pusat kota sangat dipengaruhi oleh aglomerasi penduduk yang memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupannya dan mendapat akses yang lebih mudah untuk menjangkau pusat kota.

  1. Proses Urbanisasi Penduduk

Aktivitas identik dengan manusia, sehingga semakin banyak aktivitas mengindikasikan banyaknya manusia yang ada di kawasan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan proses urbanisasi, karena disuatu kawasan terdapat sebuah pusat aktivitas baru yang menyebabkan orang-orang berdatangan kedalam kawasan tersebut.

  1. Pemanfaatan Lahan dengan Kepadatan Tinggi

Adanya minat yang tinggi dari masyarakat untuk bermukim di lahan perkotaan menjadikan perluasan wilayah perkotaan secara fungsional di wilayah pinggiran menjadi solusinya. Akan tetapi perlu dicermati pula bahwa keseimbangan wilayah harus tetap terjaga antara wilayah perkotaan dan non-perkotaan agar kontinuitas wilayah dapat berjalan dalam waktu yang panjang. Berkaitan dengan hal tersebut maka wilayah perkotaan juga harus bisa dibatasi, salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan lahan secara vertikal. Perluasan bangunan tidak lagi dilakukan melebar, namun memanfaatkan ruang kosong yang ada diatas.

PENGERTIAN JALAN TOL (skripsi dan tesis)

Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya untuk mewujudkan sasaran pembangunan seperti pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mendefinisikan jalan sebagai prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, sedangkan jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri. Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan. Sementara itu, menurut statusnya jalan umum dikelompokkan ke dalam jalan nasiomal, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa.

Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, menyebutkan bahwa jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Sedangkan tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol. Tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan dan kelayakan investasi.

Adapun tujuan dari adanya tariff tol yaitu untuk pengembalian investasi, pemeliharaan dan pengembangan jalan tol itu sendiri. Penyelenggaraan jalan tol dimaksudkan untuk :

  1. memperlancar lalu lintas di daerah berkembang,
  2. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi,
  3. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan, dan
  4. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan

Partisipasi Masyarakat (Skripsi dan tesis)

Partisipasi adalah keikutsertaan suatu kesatuan untuk mengambil kesatuan bagian dalam aktifitas yang dilaksanakan oleh susunan kesatuan yang lebih besar (Reading, dalam Boedojo, 1986:12). Ilmuwan Keith Davis dalam bukunya “Human Relation at Work” dalam Sastropoetra (dalam Boedojo, 1986:14) mengemukaan definisi partisipasi sebagai keterlibatan mental/fikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam upaya mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Sifat-sifat dan ciri-ciri partisipasi antara lain :

a. Partisipasi harus bersifat sukarela

b. Bebagai issue atau masalah haruslah disajikan dan dibicarakan secara jelas dan obyektif

c. Kesempatan untuk berpartisipasi haruslah mendapat keterangan/informasi yang jelas dan memadai tentang setiap segi/aspek dari program yang akan didiskusikan (Parjono dalam Sastropoetro, dalam Boedojo, 1986).

Sartono (dalam Boedojo, 1986:14) mengatakan bahwa partisipasi ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor penentu yang mutlak ada. Faktor pengetahuan dan sikap adalah bagian penting dalam perilaku, oleh karenanya menjadi hal prinsip berpengaruh terhadap besar kecilnya partisipasi.

Perilaku yang positif diduga menghasilkan partisipasi yang tinggi begitu sebaliknya. Green (dalam Boedojo, 1986:17) berpendapat bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi perilaku individu yaitu :

a. Faktor-faktor dasar (predisposing factors) yang terdapat di dalam masyarakat termasuk kebiasaan, kepercayaan, tradisi dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), sumberdaya atau potensi masyarakat.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) : sikap dan perilaku petugas yang berwenang dan lain-lain

Pengertian Persepsi (skripsi dan tesis)

 

Suwarto, dalam ( Boedojo, 1986:11) mendefinisikan persepsi sebagai proses kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Allison mengatakan bahwa persepsi adalah ‘lensa konseptual’ (conceptual lens) yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah. Akibat dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman dan perumusan atas suatu isu sesungguhnya amat bersifat subjektif. Persepsi ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi penilaian mengenai status peringkat yang terkait pada suatu isu. Persepsi mempunyai peran penting dalam pengambilan keputusan. Persepsi diartikan sebagai fungsi psikologis yang membuat individu mampu mengamati rangsangan inderawi dan mengubahnya menjadi perjalanan yang berkaitan secara tertata. Walgito mendefinisikan persepsi sebagai proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan proses yang berarti dan merupakan proses integral dalam diri individu (Walgito, dalam Boedojo, 1986:11). Persepsi mencakup penafsiran objek, tanda, dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan. Persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus dan penterjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisir yang akhirnya mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap.

Persepsi diartikan sebagai pengorganisasian dan penterjemahan stimulus yang menghasilkan perilaku dan sikap. Perilaku merupakan proses interaksi antara kepribadian dan lingkungan yang mengandung rangsangan (stimulus), kemudian ditanggapi dalam bentuk respon. Respon inilah yang disebut perilaku. Perilaku ditentukan oleh persepsi dan kepribadian, sedang persepsi dan kepribadian dilatarbelakangi oleh pengalamannya. Sebagai proses kognitif, proses persepsi dapat digambarkan sebagai berikut

Teori Perubahan Penggunaan Lahan (skripsi dan tesis)

Perubahan guna lahan secara umum artinya adalah menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Namun dalam kajian land economics, pengertiannya difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan. Ada empat proses utama yang menyebabkan terjadinya perubahan guna lahan yaitu (Bourne, dalam Suberlian, 2003:42):

1. Perluasan batas kota

2. Peremajaan di pusat kota

4. Tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu.

Menurut (Sujarto, dalam Suberlian, 2003 : 36) faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan guna lahan di perkotaan adalah :

1. Topografi

Topografi merupakan faktor pembatas bagi perkembangan suatu kawasan karena topografi tidak dapat berubah kecuali dalam keadaan yang labil. Meskipun demikian usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah topografi atau mengatasi keadaan ketinggian, kelerengan tanah; misalnya menggali bukit, menguruk tanah reklamasi laut/rawa.

2. Penduduk

Perkembangan penduduk menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman meningkat sebagai akibat langsung dari pemenuhan kebutuhan permukiman. Peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman sudah tentu diikuti oleh tuntutan kebutuhan lahan untuk sarana dan prasarana serta fasilitas yang lain.

3. Nilai lahan

Dilihat dari faktor-faktor penyebabnya, pada umumnya proses perubahan penggunaan lahan kota-kota di Indonesia dipengaruhi faktor penentu dari segi ekonomi (economic determinants). Dalam perspektif ekonomi, penggunaan sebidang lahan perkotaan ditentukan pasar lahan perkotaan (the urban land market). Ini berarti bahwa lahan merupakan komoditi yang diperdagangkan sehingga penggunaannya ditentukan oleh tingkat demand dan supply. Sesuai dengan teori keseimbangan klasik harga lahan menjadi fungsi biaya yang menjadikan lahan produktif dan fungsi pendapatan dari pengembangan suatu lahan. Secara rasional penggunaan lahan oleh masyarakat biasanya ditentukan berdasarkan pedapatan atau produktifitas yang bisa dicapai oleh lahan, sehingga muncul konsep highest and best use, artinya adalah penggunaan lahan terbaik adalah penggunaan yang dapat memberikan pendapatan tertinggi. Jadi faktor ekonomi menjadi pegangan dalam pengambilan keputusan untuk mengembangkan sebidang lahan.

4. Aksesibilitas

Dalam struktur ruang kota, terdapat beberapa faktor yang terkait dengan nilai ekonomi lahan. Aksesibilitas (accesibility) suatu lahan dan faktor saling melengkapi (complementarity) antar penggunaan lahan akan menentukan nilai ekonomi suatu lahan. Suatu lahan dengan jangkauan transportasi yang baik mempunyai nilai ekonomi yang relatif lebih baik, karena akan mengurangi biaya perjalanan (traveling cost) dan waktu tempuh. Sebagaimana dikemukakan (Wingo, dalam Suberlian, 2003 : 36) bahwa harga lahan merupakan fungsi dari biaya transportasi. Sementara faktor complementarity akan menarik kegiatan-kegiatan yang saling melengkapi/terkait untuk berlokasi saling berdekatan sehingga saling memberikan keuntungan.

5. Prasarana dan sarana

Kelengkapan sarana dan prasarana, sangat berpengaruh dalam menarik penduduk untuk bermukim disekitarnya, sehingga dapat menarik pergerakan penduduk untuk menuju ke daerah tersebut.

6. Daya Dukung Lingkungan

Kemampuan daya dukung lahan dalam mendukung bangunan yang ada diatasnya, menentukan kawasan terbangun, lahan pertanian, dan harus dipelihara serta dilindungi.

Model Interaksi Guna Lahan-Transportasi (skripsi dan tesis)

Pemodelan merupakan penyederhanaan dari teori yang rumit sebelum diterapkan dalam masalah-masalah publik. Pembuatan model teoritik menunjuk pada suatu teknik dan asumsi yang luas untuk membentuk representasi (model) sederhana dari teori (Dunn, dalam Suberlian, 2003:41). Dalam studi ini model yang digunakan adalah berdasarkan teori interaksi guna lahan dan transportasi di atas Alex J. Bone 1959:75 (dalam Suberlian, 2003:41), menyatakan faktor utama penyebab terjadinya perubahan guna lahan dan transportasi adalah populasi, harga lahan dan sistem transportasi. Berikut perumusan model interaksi guna lahan permukiman dan transportasi.

Hubungan antar submodel-submodel yang telah terbentuk memiliki dua jenis, yaitu hubungan yang membentuk siklus tertutup dan siklus terbuka. Hubungan yang membentuk siklus tertutup merupakan hubungan sebab akibat yang berjalan dua arah, misalnya submodel guna lahan dan submodel transportasi. Sedangkan hubungan yang membentuk siklus terbuka adalah hubungan antara submodel harga lahan dengan submodel transportasi. Hubungan submodel-submodel adalah sebagai berikut :

a. Guna lahan – transportasi

Output dari submodel guna lahan akan memberikan masukan pada submodel transportasi melalui bangkitan perjalanan zona. Submodel transportasi akan mempengaruhi submodel guna lahan melalui indeks aksesibilitas atau tingkat aksesibilitas. Semakin tinggi nilai indeks aksesibilitas, maka semakin tinggi pula indeks kesesuaian lokasi untuk ketiga submodel guna lahan.

b. Harga lahan – Guna lahan

Ouput dari submodel harga lahan, yaitu harga lahan menjadi masukan bagi submodel guna lahan, kecuali pada submodel guna lahan komersial. Semakin tinggi harga lahan akan menurunkan indeks kesesuaian lokasi bagi submodel guna lahan. Hasil dari submodel guna lahan adalah luas guna lahan yang dibutuhkan, akan dibandingkan dengan luas zona. Jika luas guna lahan yang dibutuhkan lebih besar dari luas zona yang tersedia, maka akan terjadi permintaan lahan.

c. Populasi – Guna lahan

Output dari submodel populasi, adalah jumlah penduduk menjadi masukan bagi submodel guna lahan untuk menentukan kebutuhan luas setiap guna lahan yang dibutuhkan dengan menghitung standar kebutuhan lahan setiap jenis guna lahan perpenduduk atau tenaga kerja, menghasilkan luas lahan untuk setiap jenis guna lahan. Pengaruh dari submodel populasi terhadap submodel guna lahan diwakili oleh submodel guna lahan industri. Pertambahan luas industri, diasumsikan akan menambah jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan oleh faktor migrasi masuk.

d. Transportasi – Harga lahan

Output submodel transportasi, yaitu indeks aksesiblitas akan mempengaruhi harga lahan. Semakin tinggi tingkat aksesiblitas maka semakin tinggi harga lahan zona.

Konsep Interaksi Guna Lahan-Transportasi (skripsi dan tesis)

Konsep dasar dari interaksi atau hubungan antara tata guna lahan dan transportasi adalah aksesibilitas (Hanson dalam Suberlian, 2003 : 39). Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografis

dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu

ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi

satu sama lain dan “mudah” atau “susahnya” lokasi tersebut dicapai melalui sistem

jaringan transportasi (Black dalam Suberlian, 2003:39).

Untuk menjelaskan bagaimana interaksi itu terjadi, ( Miller, dalam Suberlian,

2003:39) menunjukkan kerangka sistem interaksi guna lahan dan transportasi.

Perkembangan guna lahan akan membangkitkan arus pergerakan, selain itu perubahan

tersebut akan mempengaruhi pula pola persebaran dan pola permintaan pergerakan.

Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut adalah adanya kebutuhan sistem jaringan

serta sarana transportasi. Sebaliknya konsekuensi dari adanya peningkatan penyediaan

sistem jaringan serta sarana transportasi akan membangkitkan arus pergerakan baru.

Interaksi seperti dikemukakan bagan tersebut di atas menunjukkan bahwa

bekerjanya sistem interaksi guna lahan dan transportasi sangat dinamis dan melibatkan

unsur-unsur lain sebagai pembentuk watak setiap komponen seperti pada komponen guna

lahan terliput adanya unsur kependudukan, sosial ekonomi, ekonomi wilayah, harga

lahan dan sebagainya. Selain itu komponen sistem transportasi terliput adanya unsur

kemajuan teknologi, keterbatasan sistem jaringan, sistem operasi dan lain sebagainya.

Implikasi dari perubahan atau perkembangan sistem aktivitas adalah meningkatnya

kebutuhan prasarana dan sarana dalam bentuk pemenuhan kebutuhan aksesibilitas.

Peningkatan aksesibilitas ini selanjutnya akan memicu berbagai perubahan guna lahan.

Proses perubahan yang saling mempengaruhi ini akan berlangsung secara dinamis.

Perubahan penggunaan lahan selanjutnya akan menjadi faktor dominan dalam

mengarahkan dan membentuk struktur kota. Perubahan ini akan mengakibatkan pula

peningkatan produktivitas guna lahan dalam bentuk alih fungsi ataupun peningkatan

intensitas ruang. Tentunya proses ini tidak selalu berimplikasi positif, implikasi yang

bersifat negatif kerap terjadi pada saat beban arus pergerakan mulai mengganggu

keseimbangan kapasitas jalan pada sistem jaringan kota (Paquette, dalam Suberlian, 2003

: 41). Selanjutnya Martin (1959 dalam Suberlian, 2003 : 41) menyatakan bahwa adanya

saling keterkaitan antara perkembangan guna lahan, perubahan guna lahan, perubahan

populasi, serta perubahan pada sistem transportasi membentuk siklus suatu sistem

dinamis yang saling mempengaruhi antara guna lahan dan transportasi.

Meyer ( dalam Suberlian, 2003 : 42) menyimpulkan bahwa sistem interaksi guna

lahan dan transportasi tidak pernah mencapai keseimbangan, sebagai contoh : populasi

sebagai salah satu subsistem selalu berkembang setiap saat mengakibatkan subsistem

lainnya akan berubah untuk mengantisipasi kondisi. Yang pasti adalah sistem tersebut

akan selalu menuju kesetimbangan.

Hal yang utama dalam kesetimbangan sama pentingnya dengan efisiensi (Rafsky,

dalam Suberlian, 2003 : 42). Kesetimbangan mensyaratkan adanya pembangunan

jaringan transportasi untuk mengembangkan suatu kawasan dalam kota. Tentunya akan

menjadi tidak efisien, jika suatu industri baru ditempatkan pada suatu lokasi yang

mempunyai kepadatan tinggi dan volume lalu lintas yang tinggi. Industri baru tersebut

akan sukar berkembang. Kebijaksanaan untuk mengalokasikan industri pada daerah

pinggir kota perlu diimbangi dengan penyediaan jaringan transportasi yang memadai.

Interaksi guna lahan dan transportasi merupakan interaksi yang sangat dinamis

dan kompleks. Interaksi ini melibatkan berbagai aspek kegiatan serta berbagai

kepentingan. Perubahan guna lahan akan selalu mempengaruhi perkembangan

transportasi dan sebaliknya. Didalam kaitan ini, (Black, dalam Suberlian, 2003:42)

menyatakan bahwa pola perubahan dan besaran pergerakan serta pemilihan moda

pergerakan merupakan fungsi dari adanya pola perubahan guna lahan diatasnya.

Sedangkan setiap perubahan guna lahan dipastikan akan membutuhkan peningkatan yang

diberikan oleh sistem transportasi dari kawasan yang bersangkutan.

Model interaksi guna lahan dan transportasi didalam kerangka konsep tersebut

juga dipengaruhi oleh faktor luar yang ikut berinteraksi didalam sistem, yaitu faktor

kebijakan. Kerangka konsep tersebut akan menjadi pendekatan dalam mekanisme kerja

model interaksi guna lahan permukiman dan transportasi dalam studi.

empat faktor pengambilan keputusan (skripsi dan tesis)

Terdapat empat faktor perilaku individual yang mempengaruhi pengambilan
keputusan (Gibson, Ivancevich, dan Donnely, 1997) diantaranya:
a. Nilai
Nilai dapat diartikan sebagai pedoman yang digunakan oleh seseorang
apabila ia harus memilih sesuatu. Nilai meresap dan tergambar dalam
perilaku pengambil keputusan sebelum mengambil keputusan, menentukan
pilihan yang sebenanya dan melaksanakan keputusan yang diambil.
b. Kepribadian
Kepribadian merupakan salah satu kekuatan psikologis yang mempengaruhi
proses pengambilan keputusan seseorang. Variabel kepribadian ini
mencakup sikap, kepercayaan, dan kebutuhan individu.
c. Kecenderungan mengambil resiko
Besar kecilnya tingkat resiko yang ditemui setelah suatu keputusan diambil
akan mempengaruhi alternatif keputusan yang dipilih oleh seseorang.
d. Kemungkinan ketidakcocokan
Disonansi kognitif merupakan kekurangan konsistensi diantara berbagai
macam kondisi seseorang (misalnya sikap dan kepercayaan) sesudah
keputusan diambil. Artinya, akan terjadi konflik antara apa yang diketahui
dan diyakini oleh pengambil keputusan dengan apa yang telah dilakukan,
akibatnya adalah pengambil keputusan menjadi ragu-ragu dan mempunyai
pikiran lain mengenai pilihan yang telah diambilnya.

Teori Pengambilan Keputusan (skripsi dan tesis)

Morgan dan Cerullo (1984) dalam Salusu (1996) mendefinisikan keputusan
sebagai sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan yang
terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertimbangan adalah menganalisis
beberapa kemungkinan atau alternatif sesudah itu dipilih satu diantaranya.
Ditinjau dari sudut perolehan informasi, keputusan dibagi menjadi empat :
a. Keputusan Representasi
Pengambil keputusan menghadapi informasi yang cukup banyak dan
mengetahui dengan tepat bagaimana memanipulasikan informasi tersebut.
b. Keputusan Empiris
Suatu keputusan yang miskin akan informasi tetapi memiliki cara yang jelas
untuk memproses informasi pada saat informasi itu diperoleh.
c. Keputusan Informasi
Keputusan yang diambil dari situasi yang kaya informasi, tetapi diliputi
kontroversi tentang bagaimana memperoleh informasi tersebut. Hal ini akan
memicu timbulnya konflik ketika lahir perbedaan tentang informasi mana
yang akan diproses dan yang akan digunakan.
d. Keputusan Eksplorasi
Keputusan yang diambil dari situasi yang miskin dengan informasi dan
tidak terdapat kata sepakat tentang cara yang hendak diambil untuk memulai
mencari informasi. Sehingga dengan hal ini diperlukan eksplorasi untuk
menemukan informasi yang tepat.
Menurut Koontz, O’Donnel, dan Weihrich (1991) pengambilan keputusan
diartikan sebagai proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode
yang efisien sesuai dengan situasi. Pengambilan keputusan merupakan inti dari
perencanaan. Suatu rencana tidak dapat dikatakan ada sebelum adanya suatu
keputusan yang diambil. Untuk itu, proses pengambilan keputusan merupakan
suatu hal pokok yang harus dilakukan dan diperhatikan

Strategi Pengendalian Konversi Lahan Sawah (skripsi dan tesis)

Menurut Irawan (2005), peraturan yang ditujukan untuk mencegah
konversi lahan sawah sebenarnya telah diterbitkan pemerintah. Namun
pendekatan yuridis tersebut kurang efektif dan efisien disebabkan oleh:
a) Kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah.
b) Peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara
umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas.
c) Ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri
pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi
lahan.
Pasandaran (2006) mengemukakan bahwa ada tiga alternatif kebijakan
yang dibahas dalam pengendalian konversi lahan sawah beririgasi, yaitu
kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral, pemberian insentif
terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah beririgasi yang perlu
dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif masyarakat tani
setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Model kebijakan
yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan dapat
memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena munculnya
rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan. Oleh karena kelangkaan
lahan dan air akan berlangsung terus menerus, maka kebijakan
pengendalian konversi lahan hendaknya ditempatkan dalam kerangka
pendekatan keterpaduan pengelolaan sumber daya lahan dan air dalam
suatu daerah aliran sungai (DAS) dan perbaikan sistem usaha tani.
Ketentuan perlindungan terhadap lahan sawah dapat ditelusuri dari undangundang,
keputusan presiden, peraturan, keputusan, ataupun surat edaran
menteri sampai dengan peraturan daerah. Namun demikian, peraturan
tersebut belum mampu mengendalikan konversi lahan sawah secara efektif.
Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan setingkat undang-undang yang
secara khusus mengatur perlindungan lahan pertanian (Isa, 2004).

Dampak Konversi Lahan Sawah (skripsi dan tesis)

Menurut Irawan (2005), proses konversi lahan pada tingkat mikro dapat
dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain. Konversi lahan
yang dilakukan oleh pihak lain secara umum memiliki dampak yang lebih
besar terhadap penurunan kapasitas produksi pangan karena proses
konversi lahan tersebut biasanya mencakup hamparan lahan yang cukup
luas, terutama ditujukan untuk pembangunan kawasan perumahan.
Konversi lahan yang dilakukan oleh pihak lain biasanya berlangsung
melalui pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain yang
kemudian diikuti dengan pemanfaatan lahan tersebut untuk kegiatan non
pertanian. Dampak konversi lahan pertanian terhadap masalah pengadaan
pangan pada dasarnya terjadi pada tahap kedua. Namun, tahap kedua
tersebut secara umum tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena
sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh peta

Faktor-faktor Penyebab Konversi Lahan Sawah (skripsi dan tesis)

Irawan (2005) menyatakan bahwa faktor determinan konversi lahan sawah
pada dasarnya terjadi akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan antara
sektor pertanian dan sektor non pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan
lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial
yaitu keterbatasan sumberdaya lahan, pertumbuhan penduduk, dan
pertumbuhan ekonomi. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan
terjadinya konversi lahan sawah diantaranya (Lestari, 2005) :
a) Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya
dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
b) Faktor internal, lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosialekonomi
rumah tangga pertanian pengguna lahan.
c) Faktor kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan
fungsi lahan pertanian.
Agus (2004) menerangkan penyebab konversi lahan sawah ditentukan oleh:
a) Nilai persewaan lahan sawah disekitar pusat pembangunan lebih rendah
dibandingkan untuk permukiman dan industri.
b) Fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan masih lemah.
c) Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar
pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian
sumberdaya alam di era otonomi ini. Alasan peningkatan PAD sangat
berisiko tinggi dimana harus ada konsep ketahanan pangan sebagai
pemersatu bangsa. Ketahanan pangan menjadi tanggung jawab
nasional sehingga konversi harus dihentikan.

Definisi Konversi Lahan Sawah (Skripsi dan tesis)

Lestari (2009) mendefinisikan konversi lahan sebagai perubahan fungsi
sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang
direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah)
terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Konversi lahan juga
dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh
faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang semakin bertambah dan peningkatan tuntutan
akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Winoto (2005) menyatakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan
terhadap konversi adalah lahan sawah. Hal ini disebabkan oleh:
a) Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem
dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan
agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan
juga lebih tinggi.
b) Lokasi persawahan banyak berdekatan dengan daerah perkotaan.
c) Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah
persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering.
d) Pembangunan sarana dan prasarana perumahan (real estate), kawasan
industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah
bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi datar
ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.
Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) menerangkan bahwa data luas konversi
lahan sawah menurut periode, sampai saat ini diyakini belum ada yang
akurat, dan bervariasi antara satu sumber data dan sumber lainnya. Faktor
utama yang menyebabkan terjadinya kondisi demikian adalah:
a) Belum ada koordinasi antara instansi dalam pendataan masalah sawah.
b) Masing-masing instansi cenderung mengungkapkan data lahan yang
sesuai dengan kepentingannya sendiri, misalnya Dinas Pengairan
Umum (PU) cenderung menerbitkan data luas sawah irigasi teknis yang
lebih besar dari fakta di lapangan agar anggaran pemeliharaan irigasi
menjadi lebih besar lagi.
c) Setiap instansi menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda
dalam memonitor perkembangan luas lahan.
Irawan (2005) menambahkan bahwa data konversi lahan sawah yang
diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) lebih dapat diterima daripada
data yang diterbitkan oleh instansi lain yang ada pada tahun 2005 seperti
Badan Pertahanan Nasional (BPN), Permukiman dan Prasarana Wilayah
(Kimpraswil), dan Departemen Pertanian. Hal ini disebabkan oleh :
a) BPS sangat termotivasi untuk dapat menghasilkan data yang sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
b) BPS memiliki jaringan pengumpul data yang lebih mendekati lapangan
yaitu melalui mantis di setiap kecamatan.
c) BPS juga mengumpulkan data luas panen dan produksi padi sawah
yang dapat dipergunakan untuk mengevaluasi konsistensi data dilihat
dari segi perkembangan teknologi usahatani

Teori Nilai Lahan Pertanian (Agricultural Rent) (skripsi dan tesis)

Menurut Dunn dan Isard, land rent di setiap lokasi adalah sama dengan
nilai dari produk dikurangi biaya produksi dan biaya transportasi. Dalam
teori ini diasumsikan hanya ada satu pasar dimana produk pertanian dapat
dijual dan hanya ada satu jenis produk pertanian. Rentang nilai antara
penerimaan dan biaya dalam kegiatan pertanian merupakan sewa ekonomi
dan juga dapat menjadi sewa yang dibayarkan oleh penggarap kepada
pemilik lahan  penerimaan dan biaya dalam kegiatan pertanian merupakan sewa ekonomi
dan juga dapat menjadi sewa yang dibayarkan oleh penggarap kepada
pemilik lahan.

Teori Lokasi Von Thunnen (skripsi dan tesis)

Berdasarkan teori lokasi Von Thunen, surplus ekonomi suatu lahan banyak
ditentukan oleh lokasi ekonomi (jarak lahan ke kota). Biaya transportasi
dari lokasi suatu lahan ke kota (pasar) merupakan input produksi yang
penting. Semakin dekat lokasi suatu lahan ke kota maka makin tinggi
aksesibilitasnya atau biaya transport makin rendah. Oleh karena itu, sewa
lahan berbanding terbalik dengan jarak. Semakin jauh jarak ke pusat pasar
maka biaya transportasi semakin mahal sehingga land rent semakin turun
sejalan dengan semakin meningkatnya biaya transportasi

Teori Ricardian Rent (Skripsi dan tesis)

Menurut David Ricardo, land rent dapat didefinisikan sebagai surplus
ekonomi atas lahan tersebut. Artinya, keuntungan yang didapat atas dasar
produksi dari lahan tersebut setelah dikurangi biaya. Perbedaan surplus
ekonomi yang didapat pada suatu lahan dikarenakan perbedaan tingkat
kesuburan. Andaikan ada tiga jenis lahan dengan tingkat kesuburan
berbeda dipergunakan untuk memproduksi komoditas dan menggunakan
faktor-faktor lain yang sama. Menurut teori ini, perbedaan kesuburan lahan
dengan tingkat harga output dan input yang sama akan diperoleh surplus
yang berbeda

Teori Alokasi dan Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) (skripsi dan tesis)

Sumber daya lahan merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia. Hal ini disebabkan karena sumberdaya lahan
merupakan masukan (input) yang diperlukan untuk setiap bentuk aktivitas
manusia. Lahan juga merupakan faktor produksi yang sangat menentukan bagi proses pembangunan ekonomi suatu negara. Negara yang memiliki lahan yang subur sangatlah mungkin memiliki tingkat produktivitas pertanian yang tinggi pada tahap awal dari pertumbuhan ekonomi. Peningkatan produktivitas sangat mempengaruhi perkembangan sektor-sektor lain seperti sektor industri dan jasa pada tahap perkembangan ekonomi lebih lanjut (Suparmoko, 1989).
Prayudho (2009) menjelaskan bahwa penggunaan lahan merupakan resultan
dari interaksi berbagai macam faktor yang menentukan keputusan perorangan, kelompok, ataupun pemerintah. Proses perubahan penggunaan lahan sifatnya sangat kompleks. Mekanisme perubahan itu melibatkan kekuatan pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan politik. Untuk itu, tingkah laku individual yang dimasukkan dalam mekanisme pasar harus didasarkan pada nilai penggunaan (utility) yaitu highest and best use.
Adanya kelangkaan sumberdaya lahan menyebabkan lahan memiliki nilai yang
semakin tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan konsep nilai ekonomi
lahan (land rent) yang merupakan konsep penting dalam teori ekonomi sumber daya lahan. Ada dua aspek penting yang menentukan land rent yaitu faktor kesuburan dan jarak lahan tersebut dari pusat fasilitas.

Tinjauan Umum Multifungsi Lahan Sawah (Skripsi dan tesis)

Sebagai penyokong utama kehidupan, lahan sawah perlu dilihat dalam dimensi
yang lebih luas. Lahan sawah tidak hanya semata-mata dilihat sebagai
penghasil produk pertanian yang tampak nyata dan dapat dipasarkan (tangible
and marketable). Akan tetapi, lahan sawah juga dapat dilihat sebagai
penghasil jasa yang tidak tampak nyata (intangible). Kebanyakan dari jasa
tersebut tidak atau belum diperhitungkan di dalam sistem pasar yang ada (non
marketable). Berbagai jasa yang disumbangkan oleh lahan sawah dikenal
dengan multifungsi lahan sawah (Organization of Economic Cooperation and
Development, 2001).
Menurut Agus dan Husein (2005), konsep multifungsi lahan sawah sangat
penting dalam rangka mereposisikan peran sektor lahan sawah pada kedudukan
yang semestinya. Konsep tersebut memperhitungkan nilai berbagai jasa dan
biaya untuk menghasilkan jasa lahan sawah yang dewasa ini masih berada di
luar perhitungan ekonomi dan kebijakan (externalities). Kondisi demikian
menyebabkan keberadaan lahan sawah mudah dikalahkan oleh penggunaan
lain seperti industri dan permukiman.
Menurut Munasinghe (1993) keberadaan lahan sawah memberi manfaat yang
sangat luas baik secara ekologi maupun secara ekonomi, diantaranya adalah :
a. Manfaat langsung yang diperoleh dari kegiatan usahatani, terdiri atas:
(a) Output yang dapat dipasarkan dan nilainya dapat diukur secara empiris
(marketed output) misalnya padi, palawija, buah-buahan, ikan, jerami,
dan pendapatan asli daerah (PAD).
(b) Output yang nilainya tidak terukur secara empiris (unpriced benefit)
dimana manfaatnya dapat juga dirasakan oleh masyarakat misalnya
ketersediaan pangan, sarana rekreasi, budaya, dan lapangan kerja.
b. Manfaat tidak langsung umumnya berkaitan dengan lingkungan misalnya
mencegah terjadinya banjir serta erosi, sumber air tanah, dan pendaur ulang
sampah organik.
c. Manfaat bawaan yaitu berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya
walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan usahatani misalnya
mempertahankan keragaman hayati atau spesies tertentu yang manfaatnya di
masa akan datang mungkin sangat berguna.
Lahan sawah juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan akibat
pengelolaan lahan yang salah. Dampak negatif tersebut antara lain
menurunnya kualitas lahan sawah akibat praktek pertanian konvensional,
sebagai sumber gas methana (CH4), dan sumber pencemaran perairan.
Menurut Irawan (2007), terdapat tiga fungsi utama lahan sawah dimana fungsi
lahan sawah tersebut memberikan manfaat dalam menghasilkan barang dan
jasa serta menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan

Teori Permukiman (skripsi dan tesis)

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 bab 1,pasal 1, permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Sedangkan Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.

Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya,prasarana meliputi jaringan jalan raya, jaringan utilitas seperti : air bersih, air kotor, pengaturan air hujan, jaringan telepon, jaringan listrik dan sistem pengelolaan sampah.

Sebuah permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara keseluruhan dapat dilihat dari elemen pembentuk pola permukiman.Permukiman sebagai produk tata ruang mengandung arti tidak sekedar fisik saja tetapi juga menyangkut hal-hal kehidupan. Permukiman pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah tempat dimana penduduk/pemukim tinggal, berkiprah dalam kegiatan kerja dan kegiatan usaha, berhubungan dengan sesama pemukim sebagai suatu masyarakat serta memenuhi berbagai kegiatan kehidupan.

Menurut Doxiadis (1974) dalam Kuswatojo (2005), permukiman merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 (lima) unsur utama yaitu :

  1. Alam (nature), lingkungan biotik maupun abiotik. Permukiman akan sangat ditentukan oleh adanya alam baik sebagai lingkungan hidup maupun sebagai sumber daya seperti unsur fisik dasar.
  2. Manusia (antropos), Permukiman dipengaruhi oleh dinamika dan kinerja manusia
  3. Masyarakat (society), hakekatnya dibentuk karena adanya manusia sebagai kelompok masyarakat. Aspek-aspek dalam masyarakat yang mempengaruhi permukiman antara lain : kepadatan dan komposisi penduduk, stratifikasi sosial, struktur budaya, perkembangan ekonomi, tingkat pendidikan, kesejahteraan, kesehatan dan hukum.
  4. Ruang kehidupan (shell), ruang kehidupan menyangkut berbagai unsur dimana manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat melaksanakan kiprah kehidupannya.
  5. Jaringan (network), yang menunjang kehidupan (jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan drainase, telekomunikasi, listrik dan sebagainya).

 

Tingkat Status Sosial Ekonomi (skripsi dan tesis)

Ada beraneka ragam masyarakat yang kita jumpai dalam kehidupan

bermasyarakat diantaranya ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang

berada pada tingkat pendidikan yang tinggi ada pula yang belum bisa

mengenyam dunia pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan

bermasyarakat dimanapun berada pasti menunjukkan adanya strata sosial

karena terdapat perbedaan tingkat ekonomi, pendidikan, status sosial,

kekuasaan dan sebagainya.

Sistem pelapisan masyarakat ini biasa dikenal dengan stratifikasi

sosial. stratifikasi sosial menurut Pitirim A Sorokin yaitu perbedaan penduduk

atau masyarakat ke dalam kelas kelas yang tersusun secara bertingkat

(hierarkis) (Wahyu, 1986:98). Sementara Max Weber mendefinisikan

stratifikasi sosial merupakan penggolongan orang-orang yang masuk dalam

suatu sistem sosial tertentu kedalam lapisan hierarki menurut dimensi

kekuasaan, previlese, dan prestise (Abubakar, 2010:373) cuber mengartikan

stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari

hak-hak yang berbeda.

Sejumlah ilmuan sosial membedakan antara tiga lapisan atau lebih.

Warner membagi tingkat status sosial ekonomi orang tua dalam 6 kelas, yaitu

kelas atas atas (upper-upper), atas bawah (lower upper), menengah atas

(upper middle), menengah bawah (lower middle), bawah atas (upper lower),

dan bawah bawah (lower lower) (Sunarto, 2004:88).

Secara garis besar perbedaan yang ada dalam masyarakat berdasarkan

materi yang dimiliki seseorang yang disebut sebagai kelas sosial (social

class). M. Arifin Noor membagi kelas sosial dalam tiga golongan, yaitu:

a. Kelas atas (upper class)

Upper class berasal dari golongan kaya raya seperti golongan

konglomerat, kelompok eksekutif, dan sebagainya. Pada kelas ini segala

kebutuhan hidup dapat terpenuhi dengan mudah, sehingga pendidikan

anak memperoleh prioritas utama, karena anak yang hidup pada kelas ini

memiliki sarana dan prasarana yang memadai dalam belajarnya dan

memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tambahan sangat

besar. Kondisi demikian tentu akan membangkitkan semangat anak untuk

belajar karena fasilitas mereka dapat dipenuhi oleh orang tua mereka.

b. Kelas menengah (middle class)

Kelas menengah biasanya diidentikkan oleh kaum profesional dan

para pemilik toko dan bisnis yang lebih kecil. Biasanya ditempati oleh

orang-orang yang kebanyakan berada pada tingkat yang sedang-sedang

saja.

Kedudukan orang tua dalam masyarakat terpandang, perhatian

mereka terhadap pendidikan anak-anak terpenuhi dan mereka tidak merasa

khawatir akan kekurangan pada kelas ini, walaupun penghasilan yang

mereka peroleh tidaklah berlebihan tetapi mereka mempunyai sarana

belajar yang cukup dan waktu yang banyak untuk belajar.

c. Kelas bawah (lower class)

Menurut Mulyanto Sumardi kelas bawah adalah golongan yang

memperoleh pendapatan atau penerimaan sebagai imbalan terhadap kerja

mereka yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan

pokoknya (Sumardi, 1982:80-81). Mereka yang termasuk dalam kategori

ini adalah sebagai orang miskin dan kehilangan amnisi dalam merengkuh

keberhasilan yang lebih tinggi. Golongan ini antara lain pembantu rumah

tangga, pengangkut sampah dan lain-lain. Penghargaan mereka terhadap

kehidupan dan pendidikan anak sangat kecil dan sering kali diabaikan,

karena ini sangat membebankan mereka. Perhatian mereka terhadap

keluarga pun tidak ada, karena mereka tidak mempunyai waktu luang

untuk berkumpul dan berhubungan antar anggota keluarga kurang akrab.

Disini keinginan-keinginan yang dimiliki upper class itu kurang terpenuhi

karena alasan-alasan ekonomi dan sosial.

Konsep tentang stratifikasi sosial tergantung pada cara seseorang

dalam menentukan golongan sosial tersebut. Golongan sosial timbul karena

adanya perbadaan status di kalangan masyarakat. Untuk menentukan

stratifikasi sosial dapat diikuti dengan tiga metode, yaitu:

1. Metode obyektif, stratifikasi ditentukan berdasarkan kriteria obyektif

antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan dan jenis

pekerjaan.

2. Metode subyektif, dalam metode ini golongan sosial dirumuskan

menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya dalam hierarki

kedudukan dalam masyarakat itu.

3. Metode reputasi, metode ini dikembangkan oleh W. Lyod Warner cs.

Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana

masing-masing anggota masyarakat menempatkan dirinya dalam

stratifikasi masyarakat tersebut. Kesulitan penggolongan itu sering tidak

sesuai dengan tanggapan orang dalam kehidupan sehari-hari yang nyata

tentang golongan sosial masing-masing.

Ukuran yang biasa dipakai untuk menggolongkan masyarakat dapat

dilihat dengan kekayaan ilmu pengetahuan. Kriteria sosial ekonomi dapat

dibedakan dari jabatan, jumlah dan sumber pendapatan, tingkat pendidikan,

agama, jenis dan luas rumah, lokasi rumah, asal keturunan, partisipasi dalam

kegiatan organisasi. Status seseorang tercermin pula dari tipe dan letak tempat

tinggalnya seperti perbedaan ukuran rumah dan tanah, desain rumah, dan

perlengakapan rumah. Tidak hanya itu, setiap kegiatan dapat memunculkan

simbol status sosial ekonomi individu tersebut, baik dalam kegiatan rekreasi

sekalipun.

Selain itu Gunawan (2000) mengemukakan mengenai ciri-ciri umum

keluarga dengan status sosial ekonomi atas dan bawah yaitu:

a. Ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi atas:

1. Tinggal di rumah-rumah mewah dengan pagar yang tinggi dan

berbagai model yang modern dengan status hak milik.

2. Tanggungan keluarga kurang dari lima orang atau pencari nafkah

masih produktif yang berusia dibawah 60 tahun dan tidak sakit.

3. Kepala rumah tangga bekerja dan biasanya menduduki tingkat

professional ke atas.

4. Memiliki modal usaha.

b. Ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi bawah:

1. Tinggal di rumah kontrakan atau rumah sendiri namun kondisinya

masih amat sederhana seperti terbuat dari kayu atau bahan lain dan

bukan dari batu.

2. Tanggungan keluarga lebih dari lima orang atau pencari nafkah sudah

tidak produktif lagi, yaitu berusia 60 tahun dan sakit-sakitan.

3. Kepala rumah tangga menganggur dan hidup dari bantuan sanak

saudara dan bekerja sebagai buruh atau pekerja rendahan seperti

pembantu rumah tangga, tukang sampah dan lainnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi dapat dilihat

dari tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan kekayaan yang dimiliki

individu yang bersangkutan

Klasifikasi Status Sosial Ekonomi (skripsi dan tesis)

Klasifikasi status sosial ekonomi menurut Coleman dan Cressey

dalam Sumardi (2004) adalah:

a. Status sosial ekonomi atas

Status sosial ekonomi atas merupakan kelas sosial yang berada

paling atas dari tingkatan sosial yang terdiri dari orang-orang yang

sangat kaya seperti kalangan konglomerat, mereka sering menempati

posisi teratas dari kekuasaan. Sedangkan Sitorus (2000) menyatakan

bahwa status sosial ekonomi atas yaitu status atau kedudukan

seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan

menurut harta kekayaan, dimana harta kekayaan yang dimiliki di atas

rata-rata masyarakat pada umumnya dan dapat memenuh kebutuhan

hidupnya dengan baik. Havinghurst dan Taba dalam Wijaksana (1992),

masyarakat dengan status sosial atas yaitu sekelompok keluarga dalam

masyarakat yang jumlahnya relatif sedikit dan tinggal di kawasan elit

perkotaan.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan

bahwa status sosial ekonomi atas adalah status sosial atau kedudukan

seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan

menurut kekayaan, dimana harta yang dimiliki ada di atas rata-rata

masyarakat pada umumnya dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari

dengan baik.

b. Status sosial ekonomi bawah

Menurut Sitorus (2000) status sosial ekonomi bawah adalah

kedudukan seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan

penggolongan menurut kekayaan, dimana harta kekayaan yang

dimiliki termasuk kurang jika dibandingkan dengan rata-rata

masyarakat pada umumnya serta tidak mampu dalam memenuhi

kebutuhan hidup sehari-haru.

Sedangkan menurut Havinghurst dan Taba dalam Wijaksana

(1992) mengemukakan masyarakat dengan status sosial ekonomi

bawah adalah masyarakat dalam jumlah keluarga yang cukup besar

dan juga pada umumnya cenderung selalu konflik dengan aparat

hukum

Aspek-aspek status sosial ekonomi (skripsi dan tesis)

Menurut Talcon Parsons (dalam Taufik Rahman: 2008),

berpendapat bahwa beberapa indikator tentang penilaian seseorang

mengenai kedudukan seseorang dalam lapisan sosial di masyarakat antara

lain (a) bentuk ukuran rumah, keadaan perawatan, tata kebun, dan

sebagainya, (b) wilayah tempat tinggal, apakah bertempat di kawasan elite

atau kumuh, (c) pekerjaan atau profesi yang dipilih seseorang, (d) sumber

pendapatan. Total penghasilan, pengeluaran, simpanan dan kepemilikan

harta yang bernilai ekonomis merupakan indikator untuk menentukan

tingkat kondisi ekonomi seseorang (Abdulsyani, 2008). Jadi dapat

disimpulkan bahwa indikator dari status sosial ekonomi antara lain adalah:

1. Pendidikan

2. Pekerjaan

3. Pendapatan

4. Status kepemilikan

5. Tanggungan

6. Jenis tempat tinggal

7. Menu makanan sehari-hari

8. Status dalam masyarakat

9. Partisipasi dalam masyarakat

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Sosial Ekonomi (skripsi dan tesis)

Soekanto memiliki ukuran atau kriteria dalam menggolongkan anggota

masyarakat dalam suatu lapisan sosial, kriteria tersebut diantaranya ukuran

kekayaan, ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan dan ukuran ilmu

pengetehuan. Namun status sosial ekonomi masyarakat juga dapat dilihat dari

beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu:

a) Pekerjaan

Manusia adalah makhluk yang berkembang dan makhluk yang

aktif. Manusia disebut sebagai makhluk yang suka bekerja, manusia

bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokoknya yang terdiri dari pakaian,

sandang, papan, serta memenuhi kebutuhan sekunder seperti pendidikan

tinggi, kendaraan, alat hiburan dan sebagainya (Mulyanto, 1985:2).

Pekerjaan akan menentukan status sosial ekonomi karena dari

bekerja segala kebutuhan akan dapat terpenuhi. Pekerjaan tidak hanya

mempunyai nilai ekonomi namun usaha manusia untuk mendapatkan

kepuasan dan mendapatkan imbalan atau upah, berupa barang dan jasa

akan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan seseorang akan

mempengaruhi kemampuan ekonominya, untuk itu bekerja merupakan

suatu keharusan bagi setiap individu sebab dalam bekerja mengandung dua

segi, kepuasan jasmani dan terpenuhinya kebutuhan hidup. Dalam kaitan

ini Soeroto (1986:5) memberikan definisi mengenai pekerjaan adalah

kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa bagi diri sendiri atau orang

lain, baik orang melakukan dengan dibayar atau tidak.

Soeroto (1986:167) menjelaskan bahwa dengan bekerja orang akan

memperoleh pendapatan, dari pendapatan yang diterima orang tersebut

diberikan kepadanya dan keluarganya untuk mengkonsumsi barang dan

jasa hasil pembangunan dengan demikian menjadi lebih jelas, barang siapa

yang mempunyai produktif, maka ia telah nyata berpartisipasi secara nyata

dan aktif dalam pembangunan.

Ditinjau dari segi sosial, tujuan bekerja tidak hanya berhubungan

dengan aspek ekonomi/mendapatkan pendapatan (nafkah) untuk keluarga

saja, namun orang yang bekerja juga berfungsi untuk mendapatkan status,

untuk diterima menjadi bagian dari satu unit status sosial ekonomi dan

untuk memainkan suatu peranan dalam statusnya (Kartono, 1991:21).

19

Dalam pedoman ISCO (International Standart Clasification of

Oecuption) pekerjaan diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Profesional ahli teknik dan ahli jenis

2. Kepemimpinan dan ketatalaksana

3. Administrasi tata usaha dan sejenisnya

4. Jasa

5. Petani

6. Produksi dan operator alat angkut.

Dari berbagai klasifikasi pekerjaan diatas, orang akan dapat

memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan yang

dimilikinya. Dalam masyarakat tumbuh kecenderungan bahwa orang yang

bekerja akan lebih terhormat di mata masyarakat, artinya lebih dihargai

secara sosial dan ekonomi.

Jadi untuk menentukan status sosial ekonomi yang dilihat dari

pekerjaan, maka jenis pekerjaan dapat diberi batasan sebagai berikut:

1. Pekerjaan yang berstatus tinggi, yaitu tenaga ahli teknik dan ahli jenis,

pemimpin ketatalaksanaan dalam suatu instansi baik pemerintah

maupun swasta, tenaga administrasi tata usaha.

2. Pekerjaan yang berstatus sedang, yaitu pekerjaan di bidang penjualan

dan jasa.

3. Pekerjaan yang berstatus rendah, yaitu petani dan operator alat angkut

atau bengkel.

Tingkat pekerjaan orang tua yang berstatus tinggi sampai rendah

tampak pada jenis pekerjaan orang tua, yaitu sebagai berikut:

1. Pekerjaan yang menunjukkan status sosial ekonomi tinggi, PNS

golongan IV ke atas, pedagang besar, pengusaha besar, dokter,.

2. Pekerjaan yang menunjukkan status sosial ekonomi sedang adalah

pensiunan PNS golongan IV A ke atas, pedagang menengah, PNS

golongan IIIb-IIId, guru SMP /SMA, TNI, kepala sekolah, pensiunan

PNS golongan IId-IIIb, PNS golongan IId-IIIb, guru SD, usaha toko.

3. Pekerjaan yang menunjukkan status sosial ekonomi rendah adalah

tukang bangunan, tani kecil, buruh tani, sopir angkutan, dan pekerjaan

lain yang tidak tentu dalam mendapatkan penghasilan tiap bulannya

(Lilik, 2007).

b) Pendidikan

Pendidikan berperan penting dalam kehidupan manusia,

pendidikan dapat bermanfaat seumur hidup manusia. Dengan pendidikan,

diharapkan seseorang dapat membuka pikiran untuk menerima hal-hal

baru baik berupa teknologi, materi, sistem teknologi maupun berupa ideide

baru serta bagaimana cara berpikir secara alamiah untuk kelangsungan

hidup dan kesejahteraan dirinya, masyarakat dan tanah airnya.

Ngadiyono (1998:46) membedakan pendidikan berdasarkan isi

program dan penyelenggaraannya menjadi 3 macam, yaitu:

1. Pendidikan formal merupakan pendidikan resmi di sekolah-sekolah,

penyelenggaraannya teratur dengan penjenjangan yang tegas,

persyaratan tegas, disertai peraturan yang ketat, pendidikan ini

didasarkan pada peraturan yang tegas.

21

2. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang diperoleh melalui

hasil pengalaman, baik yang diterima dalam keluarga maupun

masyarakat. Penjenjangan dan penyelenggaraannya tidak ada,

sistemnya tidak diformulasikan.

3. Pendidikan non formal merupakan pendidikan yang dilakukan di luar

sekolah, penyelenggaraannya teratur. Isi pendidikannya tidak seluar

pendidikan formal, begitu juga dengan peraturannya.

Tingkat pendidikan orang tua bergerak dari tamat D3-sarjana,

tamat SMA, Tamat SMP dan Tamat SD. Seseorang yang telah

mendapatkan pendidikan diharapkan dapat lebih baik dalam kepribadian,

kemampuan dan ketrampilannya agar bisa lebih baik dalam bergaul dan

beradaptasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga

mempermudah seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

(Abdullah, 1993:327).

c) Pendapatan

Christoper dalam Sumardi (2004) mendefinisikan pendapatan

berdasarkan kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang

dalam bentuk gaji, upah sewa, bunga, laba dan lain sebagainya.

Biro pusat statistik merinci pendapatan dalam kategori sebagai

berikut:

1. Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang

sifatnya regular dan diterima biasanya sebagai balas atau kontra

prestasi, sumbernya berasal dari:

a. Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan,

kerja lembur dan kerja kadang-kadang.

b. Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi,

penjualan dari kerajinan rumah.

c. Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik

tanah. Keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari hak

milik.

2. Pendapatan yang berupa barang yaitu: pembayaran upah dan gaji yang

ditentukan dalam beras, pengobatan, transportasi, perumahan dan

kreasi.

Berdasarkan penggolongannya BPS (Badan Pusat Statistik)

membedakan pendapatan penduduk menjadi 4 golongan yaitu:

1) Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata

lebih dari Rp. 3.500.000 per bulan.

2) Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp

2.500.000 s/d Rp. 3.500.000 per bulan.

3) Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawah

antara Rp. 1.500.000 s/d 2.500.000 per bulan.

4) Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata Rp.

1.500.000 per bulan.

d) Jumlah Tanggungan Orang Tua

Proses pendidikan anak dipengaruhi oleh keadaan keluarga sebagai

berikut: pertama adalah ekonomi orang tua yang banyak membantu

perkembangan dan pendidikan anak. Kedua adalah kebutuhan keluarga,

kebutuhan keluarga yang dimaksud adalah kebutuhan dalam struktur

keluarga yaitu adanya ayah, ibu dan anak. Ketiga adalah status anak,

apakah anak tunggal, anak kedua, anak bungsu, anak tiri, atau anak angkat.

Jumlah tanggungan orang tua yaitu berapa banyak anggota

keluarga yang masih bersekolah dan membutuhkan biaya pendidikan,

yaitu 1 orang, 2 orang, 3 orang, lebih dari 4 orang (Lilik, 2007).

e) Pemilikan

Pemilikan barang-barang yang berhargapun dapat digunakan untuk

ukuran tersebut. Semakin banyak seseorang memiliki sesuatu yang

berharga seperti rumah dan tanah, maka dapat dikatakan bahwa orang itu

mempunyai kemampuan ekonomi yang tinggi dan mereka semakin

dihormati oleh orang-orang di sekitarnya.

Apabila seseorang memiliki tanah sendiri, rumah sendiri, sepeda

motor, mobil, komputer, televisi dan tape biasanya mereka termasuk

golongan orang mampu atau kaya. Apabila seseorang belum mempunyai

rumah dan menempati rumah dinas, punya kendaraan, televisi, tape,

mereka termasuk golongan sedang. Sedang apabila seseorang memiliki

rumah kontrakan, sepeda dan radio biasanya termasuk golongan biasa.

f) Jenis Tempat Tinggal

Menurut Kaare Svalastoga dalam Sumardi (2004) untuk mengukur

tingkat sosial ekonomi seseorang dari rumahnya, dapat dilihat dari:

1) Status rumah yang ditempati, bisa rumah sendiri, rumah dinas,

menyewa, menumpang pada saudara atau ikut orang lain.

2) Kondisi fisik bangunan, dapat berupa permanen, kayu dan bambu.

Keluarga yang keadaan sosial ekonominya tinggi, pada umumna

menempati rumah permanen, sedangkan keluarga yang keadaan

sosial ekonominya menengah ke bawah menggunakan semi

permanen atau tidak permanen.

3) Besarnya rumah yang ditempati, semakin luas rumah yang ditempati

pada umumnya semakin tinggi tingkat sosial ekonominya.

Rumah dapat mewujudkan suatu tingkat sosial ekonomi bagi

keluarga yang menempati. Apabila rumah tersebut berbeda dalam hal

ukuran kualitas rumah. Rumah yang dengan ukuran besar, permanen dan

milik pribadi dapat menunjukkan bahwa kondiri sosial ekonominya tinggi

berbeda dengan rumah yang kecil, semi permanen dan menyewa

menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonominya rendah.

Dasar Lapisan Masyarakat (skripsi dan tesis)

Pembedaan antar individu dalam lingkungan masyarakat masih saja

terjadi sampai saat ini, karena menurut Soerjono Soekanto (Abdulsyani,

2007:83) selama masyarakat masih menghargai sesuatu maka hal ini menjadi

bibit bertumbuhnya lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Sedangkan

menurut Hassan Shadily (1993), lapisan masyarakat pada umumnya

menunjukkan:

a. Keadaan nasib, dengan keadaan ini dapat terlihat jelas keadaan

seseorang baik yang terendah maupun yang tertinggi, seperti lapisan

pengemis, lapisan pengamen dan sebagainya.

b. Persamaan batin atau kepandaian, lapisan orang terpelajar dan

sebagainya.

Dalam menunjukkan statusnya, seseorang menggunakan simbol status

agar membedakan dengan orang lain dalam masyarakat. Setiap kegiatan yang

dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat mencerminkan status

sosialnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Barber Lobel (Sunarto,

2004:99) in all societies, the clothes which all people wear have at least three

(mixed latent and manifest) functions: utilitarian, esthetic, and symbolic of

their social role. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Barber bahwa setiap

orang menunjukkan simbol tertentu yang dapat memperlihatkan kedudukan

(status) sosialnya yang dapat membedakan dengan orang lain dalam

lingkungan masyarakat.

Golongan bangsawan tentu berbeda dengan golongan orang biasa,

anggota dari golongan bangsawan berhak mendapatkan gelar yang

membedakan mereka dengan orang biasa serta membedakan tingkatan dalam

golongan mereka sendiri. Pembedaan kedudukan (status) sosial seseorang

berguna dalam menggunakan fasilitas yang disediakan oleh lingkungan

masyarakat sesuai dengan status sosial ekonominya (Wahyu, 1986:102).

Dari beberapa uraian di atas, dapat diketahui dasar ukuran atau kriteria

yang biasa dipakai dalam menggolongkan anggota masyarakat dalam lapisan

masyarakat adalah sebagai berikut:

a. Ukuran kekayaan. Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak,

termasuk dalam lapisan teratas dan yang memiliki kekayaan yang sedikit

maka akan dimasukkan dalam lapisan bawah. Kekayaan tersebut, misalnya

dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, caracaranya

berpakaian serta bahan yang dipakainya, dan kebiasaannya

berbelanja barang dan jasa dan seterusnya (Soekanto, 2007:208). Ukuran

kekayaan ini merupakan dasar yang paling banyak digunakan dalam

pelapisan sosial (Basrowi, 2005:62).

b. Ukuran kekuasaan. Seseorang yang memiliki kekuasaan atau wewenang

yang besar akan masuk pada lapisan atas dan yang tidak memiliki

kekuasaan maka masuk dalam lapisan bawah (Basrowi, 2005:62).

c. Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari

ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani dan

dihormati, mendapatkan tempat teratas dalam lapisan sosial. Keadaan

seperti ini biasa ditemui di masyarakat tradisional, yang masih kental

dengan adat (Basrowi, 2005:62).

d. Ukuran ilmu pengetahuan. Biasa dipakai oleh masyarakat yang

menghargai ilmu pengetahuan (Soekanto, 2007:208). Walau kadang

masyarakat salah persepsi karena masyarakat hanya meninjau dari segi

gelar yang diperoleh seseorang saja, sehingga dapat menimbulkan

kecurangan yang mana seseorang yang ingin berada dalam lapisan atas

akan menghalalkan segala cara dalam memperoleh gelar yang dikehendaki

(Basrowi, 2005:62).

Dasar ukuran atau kriteria di atas tidak bersifat terbatas, karena masih

ada ukuran lain yang digunakan dalam menggolongkan lapisan masyarakat.

Namun, ukuran di atas yang menonjol sebagai dasar timbulnya pelapisan

sosial dalam masyarakat. Jadi kriteria pelapisan sosial tergantung pada nilai

atau norma yang dianut oleh anggota masyarakat yang bersangkutan (Wahyu,

1986:104)

Pengertian Status Sosial Ekonomi (skripsi dan tesis)

Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, oikonomia. Kata

oikonomia berasal dari dua kata yaitu oikos dan nomos. Oikos berarti rumah

tangga, sedangkan nomos berarti mengatur. Jadi oikonomia berarti mengatur

rumah tangga. Ekonomi berkembangan menjadi suatu ilmu, sehingga ekonomi

berarti pengetahuan yang tersusun menurut cara yang runtut dalam rangka

mengatur rumah tangga. Rumah tangga diartikan secara lebih luas, rumah

tangga disini berkaitan dengan kelompok sosial yang dianggap sebagai rumah

tangga sebagai kesatuan kelompok manusia yang hidup menurut norma dan

tata aturan tertentu (M.T Ritonga, 2000:36).

Menurut George Soul, ekonomi adalah pengetahuan sosial yang

mempelajari tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat khususnya

dengan usaha memenuhi kebutuhan dalam rangka mencapai kemakmuran dan

kesejahteraan (Richard G Lipsey dan Pete O Steiner, 1991:9).

Tidak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri status sosial

ekonomi seseorang berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, pekerjaan,

bahkan pendidikan. Menurut Polak (Abdulsyani, 2007:91) status (kedudukan)

memiliki dua aspek yaitu aspek yang pertama yaitu aspek struktural, aspek

struktural ini bersifat hierarkis yang artinya aspek ini secara relatif

mengandung perbandingan tinggi atau rendahnya terhadap status-status lain,

sedangkan aspek status yang kedua yaitu aspek fungsional atau peranan sosial

yang berkaitan dengan status-status yang dimiliki seseorang. Kedudukan atau

status berarti posisi atau tempat seseorang dalam sebuah kelompok sosial.

Makin tinggi kedudukan seseorang maka makin mudah pula dalam

memperoleh fasilitas yang diperlukan dan diinginkan.

Kata status dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti keadaan atau

kedudukan (orang atau badan) dalam hubungan dengan masyarakat di

sekelilingnya (kamus besar bahasa Indonesia, 1988). Menurut Soerjono

Soekanto (Abdulsyani, 2007:92), status sosial merupakan tempat seseorang

secara umum dalam masyarakatnya yang berhubungan dengan orang-orang

lain, hubungan dengan orang lain dalam lingkungan pergaulannya, prestisenya

dan hak-hak serta kewajibannya. Status sosial ekonomi menurut Mayer

(Soekanto, 2007:207) berarti kedudukan suatu individu dan keluarga

berdasarkan unsur-unsur ekonomi.

Menurut Nasution, kedudukan atau status menentukan posisi seseorang

dalam struktur sosial, yakni menentukan hubungan dengan orang lain. Status

atau kedudukan individu, apakah ia berasal dari golongan atas atau ia berasal

dari golongan bawah dari status orang lain, hal ini mempengaruhi peranannya.

Peranan adalah konsekuensi atau akibat kedudukan atau status sosial ekonomi

seseorang. Tetapi cara seseorang membawakan peranannya tergantung pada

kepribadian dari setiap individu, karena individu satu dengan yang lain

berbeda (Nasution, 1994:73).

Sedangkan FS. Chapin (Kaare, 1989:26) mengungkapkan status sosial

ekonomi merupakan posisi yang ditempati individu atau keluarga yang

berkenaan dengan ukuran rata-rata yang umum berlaku tentang kepemilikan

kultural, pendapatan efektif, pemilikan barang dan partisipasi dalam aktifitas

kelompok dari komunitasnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa status sosial

ekonomi adalah tinggi rendahnya prestise yang dimiliki seseorang berdasarkan

kedudukan yang dipegangnya dalam suatu masyarakat berdasarkan pada

pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya atau keadaan yang menggambarkan

posisi atau kedudukan suatu keluarga masyarakat berdasarkan kepemilikan

materi.

Selain ditentukan oleh kepemilikan materi, status sosial ekonomi

seseorang dapat didasarkan pada beberapa unsur kepentingan manusia dalam

kehidupannya, status dalam kehidupan masyarakat, yaitu status pekerjaan,

status dalam sistem kekerabatan, status jabatan dan status agama yang dianut.

Dengan memiliki status, seseorang dapat berinteraksi dengan baik terhadap

individu lain (baik status yang sama maupun status yang berbeda), bahkan

banyak pergaulan sehari-hari seseorang tidak mengenal seseorang secara

individu, namun hanya mengenal status individu tersebut. Status sosial

ekonomi orang tua berkaitan dengan kedudukan dan prestise seseorang atau

keluarga dalam masyarakat serta usaha untuk menciptakan barang dan jasa,

demi terpenuhinya kebutuhan baik jasmani maupun rohani.

Status sosial merupakan keadaan kemasyarakatan yang selalu

mengalami perubahan-perubahan melalui proses sosial. Proses sosial terjadi

karena adanya interaksi sosial. Menurut Abdulsyani (2002:152), interaksi

sosial diartikan sebagai hubungan timbale balik yang dinamis yang

menyangkut hubungan antara orang-orang secara perseorangan, antara

kelompok manusia maupun antara orang dengan kelompok-kelompok

manusia. Sedangkan kondisi ekonomi adalah keadaan atau kenyataan yang

terlihat atau terasakan oleh indera manusia tentang keadaan orang tua dan

kemampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhannya. Jadi permasalahan

ekonomi yang dihadapi orang tua atau keluarga utama adalah usaha atau

upaya orang tua atau keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhannya sehingga

mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan jasmani

(material) dan kebutuhan rohani (spiritual). Kondisi sosial ekonomi orang tua

dalam kehidupan sehari-hari dihadapkan pada dua hal yang saling

berhubungan yaitu adanya sumber-sumber penghasilan yang dimiliki orang

tua atau keluarga (pendapatan) yang sifatnya terbatas yang akan digunakan

untuk membiayai atau memenuhi kebutuhan keluarga yang tidak terbatas baik

jumlah maupun kualitasnya.

Menurut proses perkembangannya, status sosial dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu:

1. Ascribet status atau status yang diperoleh atas dasar keturunan.

Kedudukan ini diperoleh atas dasar turunan atau warisan dari orang

tuanya, jadi sejak lahir seseorang telah diberi kedudukan dalam

masyarakat. Kedudukan ini tidak memandang perbedaan-perbedaan

ruhaniah dan kemampuan seseorang tapi benar-benar didapatkan dari

keturunan (kelahiran). Contoh seorang suami dikodratkan memiliki status

berbeda dengan istri dan anaknya dalam keluarga, di masa dimana

emansipasi telah berkembang di bidang pendidikan, politik, pekerjaan dan

jabatan, wanita berkedudukan sama dengan laki-laki namun wanita tidak

akan bisa menyamai laki-laki dalam hal fisik dan biologis (Abdulsyani,

2007: 93).

2. Achieved status atau status yang diperoleh atas dasar usaha yang dilakukan

secara sengaja. Kedudukan ini diperoleh setelah seseorang berusaha

melalui usaha-usaha yang dilakukan berdasarkan kemampuannya agar

dapat mencapai kedudukan yang diinginkan. Contoh seseorang bisa

mendapatkan jabatan sebagai manager perusahaan asalkan bisa memenuhi

syarat yang telah ditentukan dan berusaha serta bekerja keras dalam proses

pencapaian tujuannya (Basrowi, 2005:63).

Mayor Polak membedakan lagi atas satu macam status yaitu Assigned

status atau status yang diberikan. Status ini berhubungan erat dengan achieved

status, status ini biasanya diperoleh karena pertimbangan tertentu sehingga

status tersebut diberikan, sebagai contoh seseorang yang telah berjasa dalam

memperjuangkan sesuatu dalam memenuhi kepentingan dan kesejahteraan

masyarakat, individu yang bersangkutan mendapatkan status tersebut.

Dari pemaparan tentang status sosial ekonomi di atas, dapat

disimpulkan bahwa status sosial ekonomi adalah tinggi rendahnya prestise

yang dimiliki seseorang berdasarkan kedudukan yang dipegangnya dalam

suatu masyarakat berdasarkan pada pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya

atau keadaan yang menggambarkan posisi atau kedudukan suatu keluarga

dalam masyarakat berdasarkan kepemilikan materi, dan lainnya yang dapat

menunjukkan status sosial ekonomi yang dimiliki individu tersebut.

Tolok Ukur Hasil Pembangunan Terhadap Konversi Lahan (skripsi dan tesis)

Widjanarko dkk, (2006) menyatakan bahwa terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas. Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian ialah:

1) Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.

2) Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.

3) Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.

Dampak Konversi Lahan (skripsi dan tesis)

Pada dasarnya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan mendorong peningkatan permintaan lahan untuk berbagai kebutuhan, seperti pertanian, industri, jasa dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu persediaan lahan (supply) tidak berubah dalam suatu wilayah, maka perubahan permintaan menggeser peranan sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Dalam keadaan demikian lahan pertanian akan mendapat tekanan permintaan untuk penggunaan kepentingan kegiatan di luar pertanian. Anwar (1993), mengemukakan konversi lahan sawah menjadi bentuk penggunaan lainnya tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan sektor tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan saah letaknya dekat sumber pertumbuhan ekonomi maka akan menggeser penggunaannya ke bentuk lain seperti perumahan, pabrik dan jalan. Hal ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah. Permasalahan yang timbul akibat pergeseran penggunaan lahan sawah ke bentuk penggunaan nonpertanian akan dapat menurunkan produksi pertanian. Pada giliran berikutnya hal ini dapat menurunkan tingkat konsumsi pangan, dan dampaknya yang lebih luas yaitu kerawanan pangan, perubahan sosial yang merugikan, menurunnya kualitas lingkungan hidup terutama menyangkut sumbanngan fungsi lahan sawah pada konservasi tanah dan air untuk menjamin kehidupan masyarakat pada masa depan. Dampak kemajuan ekonomi dari wilayah yang banyak mengalami konversi lahan adalah membuka lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan dan upah masyarakat pedesaan. Namun bagi petani yang lahannya telah terjual karena pengalihan fungsi
lahan, mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan baru

Konversi Lahan (skripsi dan tesis)

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan sumber hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, faktor produksi lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Irawan (2004) mengungkapkan bahwa konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding dengan komoditas non pertanian. Oleh karena itu pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan laju lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan komoditas pertanian. Konsekuensi lebih lanjut adalah karena kebutuhan lahan untuk memproduksi setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas yang bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.

Utomo dkk. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Di negara-negara yang sedang berkembang konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya merangsang terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan kompleks perumahan. Secara umum pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997

Penguasaan Lahan (skripsi dan tesis)

Aspek penguasaan lahan seperti yang dikutip oleh Syahyuti (dalam Munir : 2008) tertuang dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek ‘penguasaan dan pemilikan’ dan aspek ‘penggunaan dan pemanfaatan’. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek ‘penguasaan dan pemilikan’ jelas berbeda dengan aspek ‘penggunaan dan pemanfaatan’, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan lahan, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana lahan (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi.

Wiradi (2002) juga menjelaskan batasan pola-pola penguasaan lahan dengan menelaah istilah pemilikan, penguasasan, dan pengusahaan lahan. Kata ‘pemilikan’ merujuk kepada penguasaan formal, sedangkan ‘penguasaan’ menunjuk kepada penguasaan efektif, dalam artian mengusahakan lahan secara efektif. ‘Pengusahaan’ menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang lahan diusahakan secara produktif. Terkait dengan pola hubungan agraria (lahan), Sihaloho (2004) menggolongkan penguasaan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu:

1) Masyarakat yang memiliki lahan luas dan menggarap lahannya kepada orang lain; pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun bagi hasil. Bagi hasil yang umum disepakati adalah maro dan mertelu.

2) Pemilik lahan sempit yang melakukan pekerjaan usahatani dengan tenaga kerja keluarga. Pola ini umumnya tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani karena seluruh kegiatan usahatani dilakukan sendiri sehubungan luas lahan yang dimiliki juga sempit.

3) Pemilik lahan yang melakukan usahatani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani. Petani yang dimaksud di sini adalah petani berlahan sempit maupun berlahan luas.

Fenomena pemilikan lahan terkait erat dengan pertumbuhan penduduk. Makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, sejalan dengan pertumbuhan penduduk, mereka yang tak berlahan diperkirakan semakin bertambah (tunakisma). Dalam keadaan tekanan penduduk yang berat ini memberikan peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang menguntungkan penggarap. Persaingan antara sesama buruh tani semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja (Rusli, 1995). Melihat kondisi di atas, terkait dengan perencanaan penggunaan lahan, satu hal yang sering dilupakan adalah hak atas lahan. Pengaturan mengenai hak atas lahan tersebut merupakan jaminan bagi anggota masyarakat tentang penguasaannya atas sebidang lahan dan merupakan penghalang bagi anggota masyarakat yang satu untuk mengambil lahan orang lain tanpa persetujuan atau persyaratan yang bersangkutan. Sihaloho (2004) mengemukakan bahwa pola penguasaan dapat diketahui pertama dari pemilikan lahan dan bagaimana lahan tersebut diakses oleh orang lain. Menurutnya, penguasaan dapat dibagi dua yaitu, pertama, pemilik sekaligus penggarap. Pemilik penggarap umumnya dilakukan oleh petani berlahan sempit, karena ketergantungan ekonomi dan kebutuhan akan rumahtangga maka pemilik sekaligus menggarap lahannya dengan menggunakan tenaga kerja keluarga dan atau memanfaatkan tenaga buruh tani. Kedua adalah pemilik yang mempercayakan kepada penggarap. Secara umum, konversi lahan menyebabkan perubahan struktur agraria. Perubahan ini dilihat dari pemilikan lahan yang makin sempit bagi masyarakat setempat. Konversi juga menyebabkan hilangnya akses terhadap lahan bagi petani penggarap dan buruh tani

Penggunaan Lahan (skripsi dan tesis)

Menurut Saefulhakim (dalam Ruswandi, 2005), penggunaan lahan merupakan

gambaran perilaku manusia terhadap lahan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dari

penggunaan lahan tersebut. Sesuai dengan pendapat Bratakusumah (dikutip oleh

Ruswandi, 2005) bahwa rencana tataguna lahan merupakan ekspresi kehendak

lingkungan masyarakat mengenai pola tataguna lahan suatu lingkungan pada masa yang

akan datang, sehingga tujuan dari perencanaan tataguna lahan adalah melakukan

penentuan pilihan dan penerapan salah satu pola tataguna lahan yang terbaik dan sesuai

dengan kondisi yang ada sehingga diharapan dapat mencapai suatu sasaran tertentu.

Di wilayah pinggiran kota yang sedang tumbuh, persaingan dalam penggunaan

lahan tersebut menjadi sangat keras karena banyak alternatif keperluan penggunaan,

antara lain untuk pertanian, bangunan perumahan, infrastruktur seperti jalan, pabrik,

kawasan perkotaan dan komersial lainnya (Anwar,1993).

Dorfman (dalam Fauzia,1999) menyatakan bahwa penggunaan lahan bersifat

kompetitf sehingga dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan rent terbesar

denngan urutan peruntukan penggunaan lahan sebagai berikut: 1) Industri, 2)

Perdagangan, 3)Pemukiman, 4)Pertanian Intensif, 5) Pertanian Ekstensif dan kehutanan.

Utomo, et al (1992) mengatakan bahwa secara garis besar penggunaan lahan dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu:

1) Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti

kesuburan lahan, kandungan mineral atau endapan bahan galian dibawah

permukaannya.

2) Penggunaan lahan dalam kaitannya dengan pemanfaatan untuk ruang

pembangunan, di mana dalam penggunaannya tidak memanfaatkan potensi

alaminya, namun lebih ditentukan oleh adanya hubungan – hubungan tata ruang

dengan penggunaan- penggunaan lain yang telah ada, diantaranya ketersediaan

prasarana dan fasilitas umum lainnya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar perencanaan penggunaan lahan

dapat berguna, seperti dalam FAO (yang dikutip Ruswandi,dkk, 2007) yaitu:

1) Perencanaan harus atas dasar adanya kebutuhan akan perubahan lahan atau

menghindari perubahan perubahan yang tidak diinginkan yang dianggap akan

merugikan, dan harus melibatkan masyarakat setempat yang bertempat tinggal di

sekitar lahan.

2) Harus ada keinginan secara politik dan kemampuan untuk mengaplikasikannya.

Pengertian Lahan dan Fungsi Utama Lahan (skripsi dan tesis)

Manusia dalam hidupnya tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah atau lahan

merupakan sumberdaya alam yang penting dalam menopang setiap aktivitas kehidupan

manusia sebagai sumberdaya yang dapat diolah dan sebagai tempat tinggal. Namun

karena sebidang lahan dapat dipergunakan untuk bermacam-macam keperluan untuk

memenuhi kebutuhan hidup, maka timbullah persaingan di dalam pemanfaatannya.

Lahan merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman,

lebar yang ciri – cirinya mungkin secara tidak langsung berkaitan dengan vegetasi dan

pertanian sekarang) ditambah ciri – ciri fisik lain seperti: penyediaan air dan tumbuhan

penutup yang dijumpai, Soepardi (dalam Supriadi, 2004). Sedangkan Menurut FAO

(1995), lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup

pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi, hidrologi, dan bahkan keadaan

vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh

terhadap penggunaan lahan. Menurut Utomo,dkk (1992), lahan memiliki ciri – ciri yang

unik dibandingkan dengan sumberdaya lainnya, yakni lahan merupakan sumberdaya

yang tidak akan habis, namun jumlahnya tetap dan dengan lokasi yang tidak dapat

dipindahkan.

Lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan dan

penghidupan, menurut Utomo,dkk (1992) memiliki dua fungsi dasar, yakni fungsi

kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan,

seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan

hutan produksi, dan lain-lain. Fungsi yang kedua adalah fungsi lindung; kawasan yang

ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup

yang ada, yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta

budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya

Teori Produksi Cobb-Douglas (skripsi dan tesis)

Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara masukan prosuksi (Input) dan  Produksi (output). Analisis fungsi produksi sering dilakukan oleh para peneliti, karena mereka menginginkan informasi bagaimana sumber daya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja dan modal dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum dapat diperoleh.

Fungsi produksi Cobb-Douglas diperkenalkan oleh Cobb, C.W dan Douglass, P.H (1982), yang dituliskan dan dijelaskan Cobb, C.W dan Douglass, P.H dalam artikelnya “A Theory of Production”. Artikel ini dimuat dalam majalah American Economic Review 18, halaman 139-165. Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependen (yang dijelaskan/Y), dan yang lain disebut variabel independen (yang menjelaskan/X). Dalam fungsi produksi, maka fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi produksi yang ingin memperlihatkan pengaruh input yang digunakan dengan output yang diinginkan. Pentingnya pendugaan menggunakan EKONOMETRIKA (Ekonomi, Matematika, Statistika). Dalam dunia ekonomi, pendekatan Cobb-Douglas merupakan bentuk fungsional dari fungsi produksi secara luas digunakan untuk mewakili hubungan output untuk input

Minat Berkunjung Ulang (skripsi dan tesis)

Menurut Eysenck dkk (2002) dalam Susanti (2010), minat adalah suatu kecenderungan untuk bertingkah laku yang berorientasi kepada objek. Menurut Hurlock (1996) dalam Susanti 2010 mengartikan minat sebagai sumber motivasi yang akan mengarahkan seseorang pada apa yang akan mereka lakukan bila diberi kebebasan untuk memilihnya. Minat merupakan suatu kecenderungan seseorang dalam bertingkah laku yang dapat diarahkan untuk memperhatikan suatu objek atau suatu aktivitas tertentu yang didorong oleh perasaan senang karena dianggap bermanfaat bagi dirinya. Menurut Miller, Glawter, dan Primban dalam Basiya dan Rozak (2012) mendefinisikan minat berkunjung ulang adalah keadaan mental seseorang yang mencerminkan rencana untuk melakukan beberapa tindakan dalam jangka waktu tertentu, dimana pelanggan akan melakukan tindakan/ motivasi pembelian kembali diwaktu yang akan datang sebagai respon langsung dari perilaku setelah pembelian dalam jangka waktu tertentu. Menurut Umar (2003) minat berkunjung kembali merupakan perilaku yang muncul sebagai respon terhadap objek yang menunjukkan keinginan pelanggan untuk melakukan kunjungan ulang. Menurut Ranaweera (2003) dalam Hsuan Li (2010) bahwa minat/motivasi pembelian kembali merupakan kecenderungan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang dengan perusahaan yang sama dalam waktu dekat.

Minat membeli ulang tercipta karena konsumen merasa kualitas produk dan pelayanan yang diberikan sesuai dengan harapan konsumen, sehingga konsumen berniat membeli ulang di waktu yang akan datang (Faradiba dan Astuti, 2013). Minat berkunjung ulang adalah keinginan yang kuat pengunjung untuk kembali berkunjung diwaktu yang akan datang sebagai respon langsung paska kunjungan pada waktu tertentu di karenakan reputasi baik atas produk wisata dan kesan kualitas/ citra objek wisata menurut Mingfang Zhu dan Zhang Hanyu (2014). Dalam penelitian ini teori minat beli ulang dapat digunakan sebagai referensi Minat Kunjung Ulang, karena minat kunjung ulang sama dengan minat membeli tiket masuk objek wisata tersebut. Minat membeli merupakan dorongan untuk melakukan pembelian atau dorongan untuk melakukan pembelian ulang pada konsumen yang pernah melakukan pengalaman pembelian sebelumnya.

Kualitas Pelayanan/Anseliri (skripsi dan tesis)

            Kualitas pelayanan merupakan seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang diterima (Rusdiana, 2014). Menurut Kotler (2009) kualitas adalah seluruh ciri serta sifat suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat. Definisi kualitas ini berpusat pada konsumen, seorang produsen dapat memberikan kualitas bila produk atau pelayanan yang diberikan dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen. Menurut Goetsch dan Davis (2010) kualitas pelayanan adalah sesuatu yang berhubungan dengan terpenuhinya harapan/kebutuhan pelanggan, dimana pelayanan dikatakan berkualitas apabila dapat menyediakan produk dan jasa (pelayanan) sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Dalam hal ini, kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang baik, yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. Sinambela dkk (2006) dalam Hardiansyah (2018) kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan.

Tjiptono (2005) menyatakan bahwa kualitas jasa mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Maka, suatu perusahaan dituntut untuk memaksimalkan kualitas pelayanannya agar mampu menciptakan kepuasan para pelanggannya. Kualitas pelayanan memberikan dorongan khusus bagi para pelanggan untuk menjalin ikatan relasi saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan perusahaan, yang selanjutnya pelanggan berkontribusi pada terciptanya rintangan beralih (switching barriers), biaya beralih (switching cost), dan loyalitas pelanggan (Tjiptono, 2005). Pengembangan konseptualisasi model hubungan antara kualitas pelayanan yang dirasakan, nilai layanan, dan kepuasan serta pengaruh relatifnya terhadap perilaku minat beli seperti dikemukanan oleh Baker & Crompton (2000) yang menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan dan kepuasan telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari minat kunjungan kembali pengunjung (visitors future behavioral intention).

Parasuraman et.al. (1985) dalam  Hardiansyah (2018) mendefinisikan penilaian kualitas pelayanan sebagai suatu pertimbangan global atau sikap yang berhubungan dengan keunggulan (superiority) dari suatu pelayanan (jasa). Dengan kata lain, penilaian kualitas pelayanan adalah sama dengan sikap individu secara umum terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya ditambahkan bahwa penilaian kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah perbedaan antara persepsi dan harapan pelanggan. Selisih antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari munculnya konsep gap (perception-expectation gap) dan digunakan sebagai dasar skala SERVQUAL, yang didasarkan pada:

  1. Tangibility (Berwujud), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
  2. Realibility (Kehandalan), yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan.
  3. Responsiveness (responsif), yaitu kemampuan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
  4. Assurance (Jaminan), mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
  5. Emphaty (Empati), mencakup kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan.

Menurut Zeithaml dkk (1990) dalam Hardiansyah (2018) Kualitas Pelayanan dapat diukur dari:

  1. Tangibel (Berwujud), terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi.
  2. Reliability (Kehandalan), terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.
  3. Responsiviness (Ketanggapan), kemauan untuk membantu konsumen bertanggungjawab terhadap mutu layanan yang diberikan.
  4. Assurance (Jaminan), pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan karyawan  untuk menyampaikan kepercayaan dan kepercayaan diri .
  5. Empathy (Empati), memberikan perhatian dan perhatian khusus kepada pelanggan.

Pendapat lain yang senada mengenai kualitas pelayanan dikemukakan oleh Fandy Tjiptono (1997) dalam Hardiansyah (2018) yaitu:

  1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.
  2. Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
  3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
  4. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan dapat dipercaya yang dimiliki para staf; bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan.
  5. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan.

Menurut Brown dalam Moenir (1998) Hardiansyah (2018) dalan bahwa di mata masyarakat, kualitas pelayanan meliputi ukuran-ukuran sebagai berikut:

  1. Reability (Keandalan), yaitu kemampuan untuk memproduksi jasa sesuai yang diinginkan secara tepat.
  2. Assurance (Jaminan), yaitu pengetahuan dan kemampuannya untuk meyakinkan.
  3. Empathy (Empati), yaitu tingkat perhatian dan atensi individual yang diberikan kepada pelanggan.
  4. Responsiviness (Responsif), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan memberikan pelayanan yang tepat.
  5. Tangible (Berwujud), yaitu penyediaan fasilitas fisik dan kelengkapan serta penampilan pribadi.

Aksesibilitas (skripsi dan tesis)

            Pengertian aksebilitas menurut Wardhani (2008) adalah kemudahan untuk dikunjungi dan memiliki jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan. Lokasi wisata yang layak, aman, nyaman dan dapatdijangkau/ditempuh oleh wisatawan secara individu maupun rombongan dan adanya sarana penunjang transportasi, seperti kelayakan dan kenyamanan, serta keamanan jalan menuju lokasi.Kecuali bagi wisatawan adventure, yang mampu menelusuri lokasi wisata dengan berjalan kaki, namun pada jarak tertentu. Contoh: transportasi yang dapat menuju ke tempat lokasi wisata adalah pesawat udara, kapal laut, kereta api, bus, minibus, mobil, motor, sepeda, becak dan lain-lain. Akesibilitas merupakan sarana dan infrastruktur yang memberikan kemudahan kepada wisatawan untuk bergerak dari satu daerah ke daerah lain. Faktor-faktor yang penting terkait dengan aspek aksesibilitas wisata meliputi petunjuk arah, bandara, terminal, waktu yang dibutuhkan, biaya perjalanan, dan frekuensi transportasi menuju lokasi wisata (Sunaryo, 2013).

Soekadijo (2003) mengungkapkan persyaratan aksesibilitas terdiri dari akses informasi dimana fasilitas harus mudah ditemukan dan mudah dicapai, harus memiliki akses kondisi jalan yang dapat dilalui dan sampai ke tempat obyek wisata serta harus ada akhir tempat suatu perjalanan. Masukan informasi yang lengkap tentunya akan menyebabkan para wisatawan semakin mudah untuk menyeleksi kawasan kawasan yang akan dikunjungi. Informasi itu dapat berupa promosi dan publikasi. Promosi adalah kegiatan yang intensif dalam waktu yang relatif singkat. Promosi juga merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan suatuprogram pemasaran. Akses kondisi jalan menuju obyek wisata, dan jalan akses itu harus berhubungan dengan prasarana umum.

Menurut Lothar A.Kreck dalam Yoeti (1996) standar kelayakan aksesibilitas. Dimana untuk kriteria trasportasi daerah tujuan wisata harus adanya transportasi lokal yang nyaman, variatif yang menghubungkan akses masuk dan untuk kriteria akses harus adanya jalan, dan kemudahan rute. Berdasarkan peraturan Mentri Pariwisata Nomor 3 Tahun 2018 tentang petunjuk operasional pengelolaan dan alokasi khusus fisik bidang pariwisata. Pembangunan aksesibilitas pariwisata mencakup penyediaan dan pengembangan sarana, prasarana dan sistem transportasi baik angkutan jalan, angkutan udara, dan angkutan kereta api

Fasilitas (skripsi dan tesis)

Wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata juga membutuhkan adanya fasilitas yang menunjang perjalanan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan perjalanan tersebut, perlu disediakan bermacam-macam fasilitas, mulai dari pemenuhan kebutuhan sejak berangkat dari tempat tinggal wisatawan, selama berada di destinasi pariwisata dan kembali ke tempat semula (Isdarmanto, 2017). Fasilitas wisata adalah sarana dan prasarana yang memudahkan dalam kegiatan beratraksi yang telah disediakan oleh kawasan wisata tersebut (Suchaina, 2014). Menurut Suwantoro (2004), sarana wisata merupakan kelengkapan  daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan  dalam menikmati perjalanan wisatanya seperti : hotel, biro perjalanan, alat  transportasi, restoran dan rumah makan. Menurut Tjiptono (2004), fasilitas adalah sumber daya fisik yang harus ada sebelum jasa ditawarkan kepada konsumen. Fasilitas merupakan sesuatu yang sangat penting dalam dalam usaha jasa, oleh karena itu fasilitas yang ada yaitu kondisi fasilitas, kelengkapan  desain interior dan eksterior serta kebersihan fasilitas harus dipertimbangkan terutama yang berkaitan erat dengan apa yang dirasakan konsumen secara langsung.

Menurut Sumayang (2003), menjelaskan bahwa fasilitas adalah penyediaan perlengkapan fisik yang memberikan kemudahan kepada konsumen untuk melakukan aktivitasnya sehingga kebutuhan konsumen dapat terpenuhi. Sumayang (2003) menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan fasilitas antara lain. Pertama kelengkapan, kebersihan, dan kerapian fasilitas yang ditawarkan adalah keadaan fasilitas perusahaan yang dilengkapi oleh atribut yang menyertainya dan didukung dengan kebersihan dan kerapian saat konsumen menggunakan fasilitas tersebut. Kelengkapan alat yang digunakan adalah alat yang digunakan oleh konsumen sesuai dengan spesifikasinya. Kedua kondisi dan fungsi fasilitas yang akan ditawarkan adalah fasilitas yang berfungsi dengan baik dan tidak mengalami kerusakan. Ketiga kemudahan menggunakan fasilitas yang ditawarkan adalah fasilitas yang ditawarkan kepada konsumen adalah fasilitas yang sudah familier bagi konsumen sehingga konsumen dapat menggunakannya dengan mudah. Sugiono (2004) dalam Irwan (2017) berpendapat fasilitas (amenities) yang ada di sebuah ojek wisata seperti fasilitas umum (warung makan, MCK), dan fasilitas pendukung (tempat ibadah, listrik, dan tempat parkir). Menurut Wardhani (2008) Amenitas merupakan fasilitas lain yang menunjang perjalanan wisata seperti telepon, penukaran uang, toko souvenir, dan lain-lain. Tersedianya fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh wisatawan seperti : bank, money changer, ATM, rumah makan, toilet yang memadai, kantor pos, toko cinderamata, pasar, jaringan internet, bangku taman dan lain-lain.

Kriteria standar kelayakan fasilitas pariwisata di suatu daerah tujuan wisata menurut Lothar A. Kreck dalam Yoeti (1996) adalah adanya pelayanan penginapan, agen perjalanan, pusat informasi, fasilitas kesehatan, pemadam kebakaran, hydrant, TIC (Tourism Information Center), pemandu wisata, plang informasi, petugas yang memeriksa masuk dan keluarnya wisatawan, restoran/rumah makan, tempat pembelajaan, internet akses, sinya telepon, bank/ATM, fasilitas keamanan (rambu-rambu peringatan), tempat sampah, sarana ibadah, dan tempat parkir.

Daya Tarik Wisata atau Atraksi (skripsi dan tesis)

  Daya tarik wisata atau “tourist attraction”, istilah yang lebih sering digunakan, yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu (A. Yoeti, 2008). Daya tarik wisata adalah sesuatu yang memiliki daya tarik untuk dilihat dan dinikmati yang layak dijual ke pasar wisata (Zaenuri, 2012). Hermawan & Brahmanto (2018) menekankan pentingnya keaslian dalam menentukan kriteria kualitas daya tarik wisata, baik dari segi originalitas, maupun otentisitasnya. Kemudian Sugiono (2004) dalam Irawan (2017) berpendapat bahwa berhasilnya suatu tempat wisata hingga tercapainya kawasan wisata sangat tergantung pada atraksi (attraction), seperti tingkat keunikan, nilai objek wisata, ketersedian lahan, dan kondisi fisik objek wisata. Berdasarkan Kementan (2012), daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Daya Tarik wisata adalah sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dari alam maupun budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menjadi sasaran tertentu guna untuk kunjungan wisatawan (I Ketut Muskin, 2016).

Attraction atau atraksi adalah produk utama sebuah destinasi. Atraksi berkaitan dengan what to see dan what to do. Apa yang bisa dilihat dan dilakukan oleh wisatawan di destinasi tersebut. Atraksi bisa berupa keindahan dan keunikan alam, budaya masyarakat setempat, dan peninggalan bangunan bersejarah. Seharusnya sebuah atraksi harus mempunyai nilai diferensiasi yang tinggi. Unik dan berbeda dari daerah atau wilayah lain (Isdarmanto, 2017). Daya tarik wisata yang biasanya ditampilkan di destinasi pariwisata adalah daya tarik wisata alam (natural tourist attractions), segala bentuk daya tarik yang dimiliki oleh alam, misalnya: laut, pantai, gunung, danau, lembah, bukit, air terjun, ngarai, sungai, hutan. Daya tarik wisata buatan manusia (man-made tourist attractions), meliputi daya tarik wisata budaya (cultural tourist attractions), misalnya tarian, wayang, upacara adat, lagu, upacara ritual dan daya tarik wisata yang merupakan hasil karya cipta, misalnya bangunan seni, seni pahat, ukir, lukis (Isdarmanto, 2017).

Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan (I Ketut dan I Gusti, 2017). Daya tarik wisata merupakan segala sesuatu yang mempunyai daya tarik, keunikan,  dan nilai yang tinggi, yang menjadi tujuan wisatawan datang ke suatu daerah tertentu (Suryadana, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Basiya R dan Hasan A R (2012) menyimpulkan bahwa daya tarik wisata alam (natural attraction) meliputi pemandangan alam lautan, pantai, iklim, dan ciri khas geografis  lainnya dari tempat tujuan wisata. Daya tarik wisata berupa arsitektur bangunan (building attraction) meliputi bangunan-bangunan dengan arsitektur modern, arsitektur bersejarah,  monumen, promenades, taman dan kebun, convention center,  arkeologi, manage visitor attractions generally, lapangan golf, toko toko khusus, dan themed retailareas. Daya tarik wisata budaya (cultural attraction) meliputi history and folklore, religion and art, teater, musik, tari-tarian (dance) dan entertainment lainnya, museum, dan peristiwa-peristiwa khusus sepertifestival dan drama bersejarah (pageants). Daya tarik wisata sosial (social attraction) seperti gaya hidup, bahasa penduduk di tempat tujuan wisata, serta kegiatan sehari-hari. Masing-masing daya tarik wisata ini memiliki hubungan langsung dan positif terhadap minat berkunjung ulang para pengunjung.

PENGERTIAN EKOWISATA (skripsi dan tesis)

Ekowisata Menurut (Ellen Scott, 1998 dalam Yekti, 2001) Ekowisata yaitu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. Maksudnya melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat. Menikmati keaslian alam dan lingkungannya, sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam. Semua ini sering disebut back to Melihat perkembangan wisata dunia khususnya ekowisata tampaknya cukup menjanjikan apabila diterapkan di Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya akan jenis flora dan fauna serta ekosistem lain, sehingga Indonesia disebut sebagai mega biodiversity country. Apalagi paradigma pembangunan yang berkelanjutan sekarang ini sedang dipakai di Indonesia. Ekowisata sendiri merupakan salah satu alat untuk mengawetkan keanekaragaman hayati dan memajukan pembangunan berkelanjutan (Boo,1995). ekowisata bertemu dengan upaya – upaya konservasi dan salah satu yang terpenting adalah pengelolaan kawasan konservasi . Ekowisata merupakan salah satu jenis pariwisata yang muncul baru – baru ini. Jenis pariwisata ini mulai mendapat perhatian di kalangan aktivis LSM,pengelola wisata dan perencana dalam beberapa tahun terakhir.Ekowisata muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap wisata alam dan wisata terbuka yang mengundang banyak pengunjung (tourisme massa ) yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem dan kerusakan pendapatan potensial (destroying income potensial).

Secara konseptual konsep ekowista dapat di defenisiskan suatu konsep pengembangan parawisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya upaya pelestarian lingkungan (Alam dan Budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelolaan, sehingga memberi manfat Ekonomi kepada masyarakat Setempat sementara di tinjau dari segi pengelolaannya,Ekowisata dapat di definisikan sebagai penyelenggaran kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah dan di buat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomiberkelanjutan yang mendukung upaya-uapaya pelestarian lingkungan (alam dan Budaya) dan meningkatkan kesejahteran masyarakat setempat.

Menurut Dias Satria (2009),Perjalanan Ekowisata merupakan perjalanan ke suatu lingkungan baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial budaya, Ekowisata Menitik beratkan kepada tiga hal Utama yaitu;Keberlangsungan alam atau ekologi,memberikan manfat ekonomi,dan secara psikologi dapat di terima dalam kehidupan sosialmasyarakat. Jadi,kegiatan Ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang utuk melihat,mengetahui dan menikmati pengelaman alam.dan nintelektual dan budaya masyarakat lokal. Aktivitas Ekowisata sat ini tengah menjadi tren yang menarik yang di lakukan oleh para wisatawan untuk menikmati bentuk-bentuk wisata yang berbeda dari biasanya. Dalam konteks ini wisata yang di lakukan memiliki bagian yang tidak di pisahkan dengan Upaya-upaya konsevasi,pemerdayaan ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tanggi terhadap perbedaan kultur tau budaya. Hal inilah yang mendasari berbedaan antara konsep Ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah ada sebelumnya. Konsep wisata menurut wikipedia memiliki karakteristik-karakteristik umum,antara lain: Tujuan perjalanan menyangkut wisata alam,minimal dampak yang di timbulkan terhadap lingkungan,memebangun kesadaran terhadap lingkungan sekitar,menghasilkan kebutuhan finansial secara langsung yang dapat di lakukan konservasi alam,memberikan keuntungan finansial dan memberikan kesempatan kepada penduduk lokal dan tidak melangar hak asasi manusia dan pergerakan demografi.telah di akui secara nasional maupun internasional (Gumelar.s sastrayuda,2010).

OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA (skripsi dan tesis)

Daya tarik wisata yang juga di sebut dengan objek wisata merupakan potensi yang menjadi mendorong kehadiran wisatawan ke daerah tujuan wisata.

  1. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata di kelompokan kedalam:
    1. pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam,
    2. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya.
    3. pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus. Dalam kedudukannya yang sangat menentukan itu maka daya tarik wisata harus di rancang dengan di bangun/di kelola secara profesional sehingga menarik wisatawan yang datang. Untuk membangun suatu objek wisata harus di rancang dan di bangun berdasarkan kriteria tertentu.
  2. Umumnya daya tarik suatu objek wisata berdasar pada:
  3. Adanya sumber daya yang dapat menimbulkan rasa senang.
  4. Adanya akebilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya
  5. Adanya ciri khusus/spesifikasi yang bersifat langka.
  6. Adanya sarana/prasarana penunjang untuk melayani parawisatawan yang berdatangan.
  7. Objek wisata alam mempunyai daya tarik tinggi karena pengunungan,,sungai,pasir,pantai, hutan,dan sebagainya.
  8. Objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian,upacara-upacara adat, nilai leluhur yang terkandung dalam suatu objek sebuah karya pada masa lampau.

KOMPONEN DALAM WISATA (skripsi dan tesis)

Menurut Gunn (1994),unsur pokok yang harus mendapatkan perhatian guna menunjang pengembangan parawisata di daerah tujuan wisata yang menyangkut,perencanan pelaksanan pembangunan dan pengembanganya meliputi 5 unsur :

  1. Objek dan daya tarik wisata
  2. prasarana Wisata
  3. sarana Wisata
  4. masyarakat/lingkungan.

PENGERTIAN WISATA (skripsi dan tesis)

Istilah parawisata berhubungan erat dengan perjalanan wisata,sebagai suata perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang mehasilkan upah. Dengan demikian dapat di katakan bahwa perjalanan wisata perupakan suatu perjalanan yang di lakukan seseorang atau lebih dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu. Yang dapat juga karena kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan ola raga untuk kesehatan, konversi keagaman dan keperluan usaha lainya (gamal Suantoro,2004).

 

KAWASAN WISATA PANTAI (skripsi dan tesis)

    Bagian kwasan pesisir yang paling produktif adalah wilayah muka pesisir atau pantai. Daerah pantai adalah suatu kawasan pesisir beserta perairan dimana daerah tersebut masing terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut (praktikto et al.,1997).garis merupakan sutu garis batas pertemuan (kontak) antara daratan dengan air laut.pisisinya bersiifat tidak tetap, dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut ait air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai terletak pada surut terendah dan air pasang tertinggi (bengen,2001).

Praktikto et al. (1997) menyatakan bahwa berdasarkan asal mula pembentukan pantai di indonesia di kategorikan sebagai 4 kelompok yaitu:

  1. Pantai tanggelam (sub-emergence) ; terbentuk oleh genangan air laut pada daratan yang tenggelam.
  2. Pantai timbul (emergence) : di bentuk oleh genangan air laut pada dataran yang sebagian terangkat.
  3. Pantai netral : pembentukanya tidak tergantung pada pengangkatan atau penurunan daratan,melainkan pengedapan aluvialnya. Pantai ini di cirikan dengan pantai pada ujung delta yang dalam dengan bentuk pantai sederhana atau melengkung.
  4. Pantai campuran (compound) terbentuk oleh proses pengangkatan dan penurunan daratan,yang di indikasikan oleh adanya daratan pantai (emergence) dan teluk-teluk (sub-emergence).

Karakter bentuk pantai berbeda-beda antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Ada pantai yang berlumpur ,brpasir yang datar dan landai,berbatu dan terjal.keadan topografi dan geologi wilayah pesisir mempengaruhi perbedaan bentuk pantai

STRATEGI PENGEMBANGAN TATA KOTA (skripsi dan tesis)

 

Secara konsepsional Strategi Pengembangan adalah upaya untuk melakukan analisis terhadap kondisi lingkungan kawasan baik internal yang meliputi kelemahan dan kekuatan dan kondisi lingkungan eksternal yaitu peluang dan ancaman yang akan di hadapi,kemudian di ambil alternatif untuk menentukan strategi yang harus di lakukan. Analisis lingkungan internal merupakan suatu proses untuk menilai faktor-faktor keunggulan strategis perusahaan/organisasi untuk menentukan dimana letak kekuatan dan kelemahanya,sehingga penyusunan strategi dapat di manfatkan secara efektif,kesempatan lingkungan dan menghadapi hambatanya,pengembangan profil sumber daya dan keunggulan, membandingkan profil tersebut dengan kunci sukses, dan mengidentifikasi kekuatan utama dimana industri dapat membangun strategi untuk mengekploitasi peluang dan minimalkan kelemahan dan mencegah kegagalan.

Strategi adalah seni memadukan atau menginteraksikan antara faktor kunci keberhasilan antara kunci faktor keberhasilan agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan. Strategi merupakan sarana kinerja. Dalam konsep manajemen cara terbaik untuk mencapai tujuan,sasaran dan kinerja adalah dengan strategi memperdayakan sumber daya secara efektif dan efesien. Barney,jay B (1977) dalam LAN-RI (2008) mengemukakan definisi kerja strategi adalah suatu pola alokasi sumber daya yang memupuk norganisasi memilihara bahkan meningkatkan kinerja.

Strategi yang baik adalah suatu strategi yang menetralisir ancaman/tantangan,dan merebut peluang-peluang yang ada dengan memanfaatkan kekuatan yang tersedia serta meniadakan atau memperbaiki kelemahan-kelemahan yang masaih ada.

Asas-asas pemungutan PBB (skripsi dan tesis)

Berdasarkan teori soverenitas, maka hal ikhwal atau dasar dari pemajakan suatu negara berasal dari soverenitas (kedaulatan) suatu negara. Dengan demikian hanya negara yang berdaulat (merdeka) saja yang mempunyai fondamenhak pemajakan. Pemajakan dilihat sebagai pelaksanaan jurisdiksi (kewenangan mengatur) dalam wilayah kedaulatan suatu negara. Juridiksi merupakan atribut pemajakan atas orang atau badan yang karena beberapa hal mempunyai pertalian fiskal dengan negara dimaksud. Sementara itu sesuai konstitusi pemerintahan Indonesia terdiri dari pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kedua level pemerintahan ini memerlukan dana untuk menjalankan tugas pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu sesuai dengan  kewenangan masing-masing, kedua level pemerintahan itu dapat memungut pajak dari masyarakat. Selain teori soverenitas, beberapa teori tradisional seperti teori asuransi, kepentingan, bakti, daya pikul, daya beli, dan teori pembangunan juga merupakan dasar-dasar perumusan kebijakan perpajakan di Indonesia. Demikian juga dengan beberapa asas konvensional pemungutan pajak (yuridis, ekonomis, finansial) dan beberapa prinsip pemungutan pajak seperti : fiskal, administratif, ekonomi, dan etika sosial.

Secara umum pertimbangan yang dilakukan dalam pemungutan pajak dari sisi keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya

menurut Rimsky perlu memperhatikan asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith sebagai berikut : 1. Asas persamaan, dalam asas ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak. 2. Asas kepastian, dalam asas ini ditekankan pentingnya kepastian mengenai pemungutan pajak yaitu, kepastian mengenai hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek pajak, kepastian mengenai objek pajak dan kepastian mengenai tata cara pemungutannya. 3. Asas kemudahan pembayaran, dalam asas ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat dalam memenuhi kewajiban pajaknya. 4. Asas efisiensi, dalam asas ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut.

Lebih jauh menurut KJ. Davey, pajak properti itu mempunyai asas yang khusus yang membedakan dengan jenis pajak lainnya sebagai berikut : 1. Kecukupan dan Elastisitas Yang dimaksud dengan kecukupan di sini adalah sumber dari pajak yang akan dipungut tersebut harus menghasilkan penerimaan yang besar, sedangkan elastisitas merupakan suatu kualitas jenis pajak yang penerimaannya sejalan dengan perubahan tingkat inflasi dan Pendapatan Nasional Kotor. 2. Keadilan Asas keadilan ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Adam Smith. Pengertian asas keadilan di sini adalah beban pengeluaran pemerintah haruslah dipikul bersama untuk semua golongan dalam masyarakat. 3. Kemampuan administratif Pengertian kemampuan administratif adalah sumber pendapatan berbeda baik dalam jumlah serta kondisinya. Kemampuan administratif diperlukan untuk menentukan saat kapan pemajakan dilakukan, yaitu padaa saat memiliki suatu barang atau saat membelanjakan, untuk ini diperlukan kecermatan kemampuan administratif yang dapat menjaring pemajakan tersebut.  4. Kesepakatan Politis Kesepakatan politis diperlukan dalam pemungutan pajak, yaitu dalam pengenaan pajak, penetapan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus dikenakan pajak dan bagaimana pajak tersebut ditetapkan, serta memaksakan sanksi kepada para pelanggar.

Sedangkan menurut Azhari (1995-81), dalam kaitannya dengan Pajak Bumi dan Bangunan, ada 4 (empat) asas utama yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Sederhana, dengan pengertian mudah dimengerti dan dapat dilaksanakan. Asas tersebut tercermin dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 sebagai hasil dari reformasi perpajakan. Undang-undang tersebut merupakan penyederhanaan dari berbagai macam jenis pungutan pajak properti yang pernah ada di Indonesia. 2. Adil, dalam arti keadilan vertikal maupun horizontal dalam pengenaan PBB yang disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak. Seringkali pengertian adil ini ditekankan pada objek PBB, yaitu dari objek yang nilainya rendah hingga tinggi sesuai dengan kemampuan wajib pajak. 3. Mempunyai kepastian hukum, dengan pengertian bahwa pengenaan PBB telah diatur dengan udang-undang dan peraturan atau ketentuan pemerintah sehingga mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. 4. Gotong royong, dimana semua masyarakat baik berkemampuan rendah maupun tinggi ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab mendukung pelaksanaan Undangundang tentang PBB serta ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sektor Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan dan Dasar Penentuan Tarif (skripsi dan tesis)

Untuk mempermudah pelaksanaannya, administrasi PBB mengelompokkan objek pajak berdasarkan karakteristiknya dalam beberapa sektor yaitu Pedesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan.

1. Sektor Pedesaan, adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri pedesaan, seperti : sawah, ladang, empang tradisional, dan lain-lain.

2. Sektor Perkotaan, adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri suatu daerah perkotaan, seperti : permukiman penduduk yang memiliki fasilitas perkotaan, real estate, komplek pertokoan, industri, perdagangan, dan jasa.

3. Sektor Perkebunan, adalah objek PBB yang diusahakan dalam bidang budidaya perkebunan, baik yang diusahakan oleh Badan Usaha Milik Negara/Daerah maupun Swasta.

4. Sektor Kehutanan, adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil hutan, seperti : kayu tebangan, rotan, damar, dan lain-lain.

5. Sektor Pertambangan, adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil tambang seperti : emas, batubara, minyak dan gas bumi, dan lainlain. Struktur tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak bisa dalam bentuk sejajar atau progresif. Apabila tarifnya flat, maka administrasinya tentu lebih sederhana dan meminimalkan kemungkinan kolusi antara wajib pajak dengan fiskus.

Untuk PBB ketentuan tarif efektif yang ditetapkan biasanya berada di bawah tarif resmi antara 1- 3%, sedangkan tarif efektifnya lebih rendah lagi. Pembedaan tarif seperti ini memungkinkan pemerintah mengenakan pajak lebih fleksibel, misalnya dengan mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi untuk properti yang mempunyai nilai tinggi. Pembedaan tarif ini juga memudahkan meminimalisir dampak inflasi. Seringkali pembuat kebijakan mengklasifikasikan objek pajak berdasarkan penggunaannya, seperti komersial, residensial dll. Properti komersial umumnya dikenakan dengan tarif lebih tinggi dibandingkan properti residensial. Pertimbangannya, properti komersial memiliki unsur profit dan menghasilkan pendapatan tunai yang dapat digunakan untuk membayar pajak dengan lebih mudah, sedangkan residensial tidak demikian. Pajak itu sendiri bersifat progresif karena besar pengenaan pajak itu sendiri akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya pendapatan subjek pajak, sebaliknya pajak juga dapat bersifat regresif dimana berarti pajak yang meningkat bersamaan dengan menurunnya pendapatan. Dalam soal tarif, idealnya pembuat kebijakan senantiasa menyesuaikan distribusi beban pajak properti secara pasti guna memperoleh keuntungan ekonomi-politik yang maksimum dengan kerugian yang minimum. Oleh sebab itu, sebagian besar sistem pajak property terutama untuk orang-orang tua atau keluarga berpenghasilan rendah, pemilik rumah bernilai rendah, dan para penyewa. Namun ironisnya sebagian kalangan justru menilai bahwa sesungguhnya pajak properti bersifat regresif. Alasannya, karena ada kecenderungan bahwa individu berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk perumahan, sehingga beban pajak properti akan terasa lebih berat pada wajib pajak yang sebenarnya berpenghasilan rendah. Tapi sebagian yang lain menilai sebaliknya bahwa pajak properti adalah progresif. Alasannya, pajak properti adalah pajak kekayaan yang lebih besar pula daripada individu berpenghasilan rendah. Di indonesia dasar pengenaan tarif adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang ditentukan melalui harga perbandingan dengan objek lain sejenis, atau dengan biaya pembuatan/penggantian baru. PBB yang terutang merupakan perkalian dari NJOP (setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak atau NJOPTKP) dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan tarif. PBB dikenakan hanya sekali dalam setahun. Tarif yang digunakan adalah Tarif rata sebesar 0,5%. NJOPTKP ditetapkan secara regional setinggi-tingginya adalah Rp. 12 juta untuk setiap wajib pajak. Dan apabila wajib pajak memiliki lebih dari satu objek pajak, maka hanya dikenakan kepada objek pajak yang mempunyai NJOP terbesar. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) sebesar minimum 20% dan maksimum 100% dari NJOP. Berdasrkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2000, NJKP 40% digunakan untuk setiap sektor kecuali untuk sektor pertambangan 20% dan sektor pedesaan/perkotaan yang NJOP-nya di bawah Rp 1 milyar

Tahun Pajak, Saat Terutang, dan Tempat Pajak Terutang dan Asas Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (skripsi dan tesis)

Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Saat yang menentukan pajak terutang untuk PBB adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Tempat pajak terutang adalah tempat dimana kabupaten/kota yang meliputi objek pajak, kecuali untuk daerah Jakarta, tempat terutang adalah wilayah Propinsi DKI Jakarta (Pasal UU No. 12 Tahun 1994 beserta penjelasannya). Pada prinsipnya sistem perpajakan nasional menganut sistem penilaian berdasarkan kemampuan ekonomis individunya. Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan membayar pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam PBB, pemberian kepercayaan tersebut adalah dengan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mendaftarkan dan melaporkan sendiri objek pajak yang dikuasai, dimiliki, atau dimanfaatkannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).

Subjek PBB (skripsi dan tesis)

Yang menjadi subjek pajak PBB menurut Pasal 4 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1994 adalah orang atau badan yang secara nyata : 1. mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau; 2. memperoleh manfaat atas bumi, dan atau; 3. memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Menurut ketentuan undang-undang, subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak disebut wajib pajak. Dengan demikian maka yang wajib membayar PBB bukan saja pemilik tanah/dan atau bangunan tetapi juga penyewa atau siapa saja yang memanfaatkan tanah dan/atau bangunan (misalnya penghuni rumah dinas suatu instansi)

Objek Pajak Bumi dan Bangunan dan Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB (skripsi dan tesis)

Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan atau bangunan (Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1994). Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang berada di bawahnya (UU No. 12 Tahun 1994 beserta penjelasannya). Sedangkan bangunan, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang tersebut, adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah : 1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemen, dan lain-lain yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut. 2. Jalan tol; 3. Kolam renang; 4. Pagar mewah; 5. Tempat olahraga; 6. Galangan kapal, dermaga; 7. Taman mewah; 8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat. Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1994 objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang : 1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. 2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu. 3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. 4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 25 5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Pengertian dan Dasar Hukum Bumi dan Bangunan (skripsi dan tesis)

PBB adalah penerimaan pajak Pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada Daerah. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan PBB tersebut dimasukkan kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak. Landasan Hukum Pajak Bumi dan Bangunan, adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Teori Lokasi Model Von Thunen (skripsi dan tesis)

Johann Heinrich Von Thunen seorang ekonom dan tuan tanah di Jerman menulis buku yang berjudul Der Isolierte Staat in Beziehung auf Land Wirtschaft pada tahun 1826. ia mengupas tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa tanah (pertimbangan ekonomi). Buku ini diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi The Isolated State in Realition in Realition to Agriculture oleh Peter Hall yang diterbitkan pada tahun 1966 di London. Dalam modelnya tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut. 1. Wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain. 2. Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah. 3. Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah, dan topografi yang seragam. 4. Fasilitas pengangkutan adalah primitif (sesuai pada zamannya) dan relatif seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa. 5. Kecuali perbedaan jarak ke pasar, semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan

Fungsi-fungsi Kota (skripsi dan tesis)

Kota-kota sebenarnya dapat dibedakan berdasarkan fungsi atau kegiatan utama yang bergerak di kota tersebut, namun dapat juga fungsi tersebut didasarkan kepada karakteristik dari kota itu sendiri. Oleh karena hal itu terdapat beberapa pengertian yang menyatakan mengenai fungsi-fungsi kota itu sendiri antara lain :

1. Menurut Bintarto Kota-kota sebagai pusat produksi perdagangan, pusat pemerintahan, pusat kebudayaan, pusat kesehatan dan pusat rekreasi.

a. Kota pusat perdagangan, sebenarnya menjadi sifat umum dari kota-kota tapi tidak semua kota didomonasi oleh kegiatan perdagangan. Ada yang hanya merupakan penyalur kebutuhan sehari-hari warga kota, ada yang merupakan perantara bagi perdagangan nasional ataupun internasional yang sering disebut dengan “enterpot”.

b. Kota pusat kebudayaan, yang terkenal di Indonesia antaralain adalah Yogyakarta, Jakarta dan beberapa kota di Bali, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya. Selain sebagai daerah-daerah yang memiliki seni dan budaya, banyak kota-kota di Indonesia menjadi tempat rekreasi atau pusat pariwisata. Kota Roma lebih terkenal sebagai pusat keagamaan Katolik daripada sebagai pusat politik, sedangkan Mekkah merupakan pusat agama Islam. Bangunan yang sering terdapat dalam kota tradisional adalah gedung-gedung pemujaan, gereja-gereja atau masjid sesuai agama yang dianut warga kotanya. Kota-kota pendidikan tidak terhitung banyaknya, lebihlebih kota yang memilki perguruan tinggi. Adanya perguruan tinggi terutama dibidang arsitektur dan seni pahat ini mempunyai pengaruh dibidang bentuk bangunan yang ada di kota-kota pendidikan dan kota kebudayaan. Pengaruh tata ruang kota banyak berhubungan dengan geografi yang memperhatikan masalah jalur atau pola jaringan jalan, sumber-sumber air didalam dan disekitar kota dan pengaturan didalam kota yang dikaitkan dengan keruangan kota atau urban space.

c. Kota pusat produksi, biasanya letaknya dikelilingi oleh daerah-daerah penghasil bumi dan hasil tambang, sehingga dapat terjadi dua macam kota, yaitu kota-kota  penghasil bahan mentah dan kota-kota yang mengubah bahan mentah tersebut menjadi barang-barang jadi. Didaerah-daerah ini dapat timbul daerah-daerah dengan kota-kota industri, dimana pusat-pusat tersebut dihubungkan dengan daerah kotanya atau Hinterland-nya.

d. Kota pusat pemerintahan, ini pada umumnya banyak dijumpai pada jaman sebelum revolusi industri. Banyak kota-kota pada waktu itu berfungsi sebagai pusat-pusat politik atau pusat-pusat pemerintahan, misal saja di Asia seperti Bangkok, Saigon, Rangoon, di Eropa antara lain London, Paris, Berlin, di Timur Tengah antara lain Teheran, Bagdad, Kairo dan Istambul. e. Kota pusat kesehatan, biasanya terdapat didaerah pegunungan yang memiliki udara bersih dan suhu yang sejuk, kota-kota seperti ini pada musim tertentu banyak menarik wisatawan alam dan luar negeri (Bintarto, 1977).

2. Menurut Koentjaraningrat, dalam masalah-masalah pembangunan (1982)

a. Kota utama : dicirikan oleh susunan spatialnya yang mencerminkan konsepsi rakyat tentang alam semesta. Contoh : Yogya dan Solo.

b. Kota pusat agama : susunan spatialnya berkisar disekitar makam raja-raja, sebuah bangunan suci berupa stupa, candi dan lain-lain. Contoh Kota Gede dekat Yogya.

c. Kota pelabuhan : terdiri dari bagian-bagian tempat tinggal para penguasa pelabuhan yang terdekat dengan pelabuhan dan beberapa pemukiman/perkampungan tempat bermukimnya para pedagang asing yang terpisah-pisah, contoh : Banten, Demak, Gresik, Ujungpandang (Makasar).

3. Schoorl, dalam Modernisasi 1981 Schoorl mengemukakan suatu jenis kota yang disebutnya “Kota Primat”, yakni kota yang besar, yang cenderung memperlihatkan watak parasitismenya terhadap masyarakat nasional, berusaha menaikkan bagian-bagian modal yang relatif besar sehingga dapat menjasi hambatan bagi daerah-daerah pedesaan maupun kota-kota yang lebih kecil. Contoh : Jakarta. 4. Lewis Mumford, dalam The Culture of City, 1983 Ia mengemukakan enam jenis kota yang dilihatnya dari tahap-tahap perkembangannya, jenis-jenis kota ini adalah :

a. Eupolis : merupakan suatu pusat dari daerah-daerahEupolis : merupakan suatu pusat dari daerah-daerahtanian dan yang mempunyai adat istiadat yang bercorak kedesaan dan sederhana.

b. Polis : merupakan tempat berpusatnya kehidupan keagamaan dan pemerintahan. Bentuknya adalah bagaikan benteng yang kokoh yang didalamnya terdapat tempettempat ibadah, pasar, industri kecil, lembaga pendidikan, tempat-tempat hiburan dan olahraga.

c. Metropolis : dicirikan oleh wajahnya yang kurang luas dan penduduknya yang banyak. Secara fisik, perkembangannya menjadi metropolis menunjukkan sifat kemegahan. Dari segi sosial memperlihatkan adanya kekontrasan antara golongan kaya dan golongan miskin.

d. Megapolis : merupakan tingkat perkembangan lanjutan dari metropolis. Pada tahap perkembangan ini, gejala sosio-patologis sangat menonjol, disatu pihak terdapat kekuatan dan kekuasaan yang didukung oleh birokrasi yang ketat, tetapi dipihak lain terdapat kemungkinan dan keresahan yang semakin meluas dalam masyarakat.

e. Tiranopolis : ditandai oleh terjadinya degenerasi, merosotnya moral penduduk, adanya kejahatan dan kemaksiatan, dan timbulnya kekuatan politik baru dari kaum ploretarian, yang sewaktu-waktu akan melanda kota dengan pemberintakan.

f. Nekropolis : adalah kota yang sedang mengalami kehancuran menjadi rangka (nekros = bangkai). Peradaban runtuh dan kota menjadi puing-puing reruntuhan. Contohnya, Babilon, Nineva, dan Romawi Kuno.

5. Gideon Sjoberg, dalam The Preindustrial City: Past and Present. Ia membahas kota-kota yang terbentuk sebelum revolusi industri. Kota-kota pra industri merupakan pusat-pusat masyarakat yang sudah agak kompleks yang disebut peradaban kuno, karena masih terikat dengan masyarakat pedesaan. Perbedaan dengan desa dalam hal kehidupan kota pra industri sudah mengalami pembesaran skala dan disiasi, perimbangan kerja dan spesialisasi, sedang kegiatan yang dominan adalah non agraris.

6. Robert Redfield dan M. B. Singer, dalam Modernization, Urbanization and The Urban Crisis, dengan mengutip Hoselitz, yang mengambil dari pirenne, mereka membedakan dua jenis kota

a. Kota sebagai pusat urban politik, intelektual, yang dibagi lagi menjadi pusat-pusat politik dan intelektual, sebab ada kota-kota dimana politik lrbih dominan kota sebagai pusat perekonomian.

b. Berdasarkan pembagian Hoselitz dan Pirenne maka Redfield and Singer mengemukakan pembagian baru sebagai berikut :

– Kota-kota budaya/administrasi (kota-kota sastra dan birokrasi pribumi); peranan dari kota-kota ini adalah memajukan, mengembangkan dan memperluas kebudayaan peradaban lokal yang telah lama terbentuk. Contohnya : Kyoto, Allahabat, Peiping dan lain-lain. – Kota-kota niaga pribumi (kota-kota pengusaha). Contohnya : Bruges, Lubeck, Maesilles dan sebagainya. – Kota-kota metropolis dengan kelas manajerial berskala dunia dan pengusaha. Contoh : London, New York, Osaka, Singapura dan sebagainya. Kota-kota ini berkembang dengan pesat sesudah terjadinya Oekumene Universal. – Kota-kota administrasi modern (kota-kota dengan birokrasi baru). Contoh: Washington DC, New Delhi dan Canbera.

Morfologi Kota (skripsi dan tesis)

Suatu kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan dalam hal ini menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan fisik. Khusus mengenai aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan kekotaan meupun penggunaan lahan kedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan arealnya. Oleh karena itu eksistensi kota dapat ditinjau dari berbagai matra (paling sedikit ada 5 matra, Hadi Sabari, 1982). Beberapa sumber mengemukakan bahwa tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan/industri) dan juga bangunan-bangunan individual (Herbert, 1973). Sementara itu Smailes (1955) sebelumnya telah memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu : (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan, (3) tipe-tipe bangunan. Dua macam konsep telah dikembangkan oleh Conzen (1960) untuk “Town Plan Analysis”, yaitu (1) Konsep sikles per plot dimana tiap plot yang ada di telusur perkembangannya melalui tahapan-tahapan. (2) Konsep pengenalan batas-batas karakteristik zona yang membedakan antara daerah terbangun dan tidak terbangun.

Berkembangnya ciri-ciri tersebut menurut Conzen (1962) menunjukkan kemdegan sementara daripada “urban sprawl”. Kalau pertumbuhan kota berlanjut lagi, maka ciriciri pinggiran tersebut tidak lagi berada di daerah pinggiran, tetapi akan berada di tengah-tengah lahan yang dibangun. Walaupun demikian, ciri-ciri pinggiran akan tetap masih nampak, dapat ditelusuri dan menjadi komponen penggunaan lahan kota

Definisi Kawasan Kota (skripsi dan tesis)

Di dalam perencanaan wilayah, sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat permukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota atau bukan. Hal ini karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan fasilitasnya pun berbeda dibandingkan dengan daerah pedesaan. Padahal di pedesaan pun terdapat lokasi permukiman plus berbagai kegiatan nonpertanian seperti perdagangan, warung kopi, tukang pangkas atau tukang jahit pakaian, wlaupun dalam jumlah intensitas yang kecil. Dalam menetapkan apakah suatu konsentrasi permukiman sudah dapat dikategorikan sebagai kota atau belum, perlu ada kriteria yang jelas untuk membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan kepadatan penduduk, misalnya ditinjau dari sudut jumlah penduduk berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, hasilnya sering kali tidak tepat karena terkadang ada bagian pinggiran wilayah administrasi kota yang belum memenuhi persyaratan sebagai wilayah kota. Pada kondisi lain kota itu sebetulnya sudah melebar melampaui batas administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah tetangga yang bukan berada pada wilayah administrasi kota. Permasalahan bagi konsentrasi permukiman atau bagi kota kecil (ibukota kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu dapat dikategorikan sebagai kota atau masih sebagai desa. Jadi, perlu menetapkan kriteria apakah suatu lokasi itu sudah memnuhi syarat untuk dinyatakan sebagai kota atau belum. Badan Pusat Statistik (BPS), dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan yang dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah suatu desa/kelurahan dikategorikan sebagai desa atau kota. Kriteria yang digunakan adalah : 1. Kepadatan penduduk per kilometer persegi,

2. Presentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya adalah pertanian atau non pertanian

, 3. Presentase rumah tangga yang memiliki komputer,

4. Presentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik,

5. Fasilitas umum yang ada di desa, seperti fasilitas pendidikan, pasar, karaoke, panti pijat, dan salon. Kriteria BPS di atas tadi hanya didasarkan atas kondisi fisik dan mestinmya dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan fungsi perkotaan. Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidsak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan.

Fungsi perkotaan, antara lain sebagai berikut :

1. Pusat perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan atas : melayani masyarakat kota itu sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran, melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat provinsi atau pusat kegiatan perdagangan antar pulau

. 2. Pusat pelayanan jasa, baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan.

3. Tersedianya prasarana perkotaan, seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem drainase, taman kota, dan pasar.

4. Pusat penyediaan fasilitas sosial, seperti prasarana pendidikan (universitas, akademi, SMU, SMP,SD), termasuk berbagai kursus keterampilan, prasarana kesehatan dengan berbagai tingkatannya, termasuk apotek, tempat ibadah, prasarana olah raga, dan prasarana sosial seperti gedung pertemuan.

5. Pusat pemerintahan, banyak kota yang sekaligus merupakan lokasi pusat pemerintahan.

6. Pusat komunikasi dan pangkalan tranportasi.

7. Lokasi permukiman yang tertata.

Beberapa ahli mendefinisikan kota, berikut beberapa definisi kota berdasarkan beberapa ahli :

1. Werner Hirsch : Kota menurut Werner : Hirsch, masyarakat dapat menemukan atau mendapatkan dan menghasilkan barang atau sesuata tepat pada waktunya, serta adanya produksi yang besar, spesialisasi dan konsumsi.

2. Fribech dalam D’estedler Zukuntt, 1836 : Kota merupakan kumpulan kelompok guna lahan yang berbeda dalam garis paralel yang membentuk lingkaran dengan jumlah populasi 100.000–1000.000 peduduk dimana skala kota yang dipakai untuk skala kota metropolitan tanpa standar khusus luas wilayah kota.

3. Walter Christaller : Teori Christaller di kenel dengan teori Central Place, kota sebagai pusat pelayanan (sevice center) dengan asumsi: – Wilayah senagai dataran yang homogen dengan penduduk yang merata. – Wilayah terdiri dari kota dan wilayah hiterland. – Kota menyajikan berbagai barang dan jasa bagi wilayah hiterland. Kota dan wilayah hiterland dalan teori ini menggunakan istilah Centrallity yaitu untuk membedakan antara ukuran kota dan pentingnya Central Place.

4. Encyclopedia Britanica. – Konsentrasi penduduk permanen. – Perbedaan pola pemukiman. – Sosial arangecement and supportng actifities. – Konsenterasi budaya yang khas.

5. Schoorl, dalam moderenisasi, 1981 : Kota adalah yang terdapat dalam sistem hiroglif (goresan suci, yakni ada tulisan perlambang yang terdapat pada piramida) Mesir kuno.dalam sistem ini kota digam barkan sebagai lingkaran dengan mempunyai palang bergaris ganda di dalamnya. Tanda atau simbol ini dikenal sebagai sebutan “vivi” paling bergaris ganda di artikan sebagai persimpangan jalan atau pertemuan pendapat. Lingkarannya diartikan sebagai tembok atau pagar bentengnya dan ini memaksudkan sesuatu yang kompak dan tertutup.

6. Grunfeld, 1978 Sosiologi Belanda : Kota adalah suatu pemukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar dari pada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencaharian nono agrari, tata guna lahan yang beraneka ragam serta dengan pergedungan yang berdiri berdekatan

. 7. Gino Germany, dalam Modernization, Urbanization and The Urban Crisis,1973. a) Sudut demografis – Kota sebagai suatu pengelompokan orang-orang atau penduduk kedalam suatu ukuran jumlah tertentu dan dalam suatu wilayah tertentu. – Kota sebagai tempat pemukiman yang mempunyai jumlah penduduk misalnya sebesar: 2000, 5000, 10.000, atau 200.000 jiwa. b) Sudut Sosiologis : Kota mencakup struktur sosial dan pola-pola psikologis dan perilaku, bahwa masyarakat adalah berbeda dari masyarakat desa. Untuk merumuskan suatu definisi yang dapat berlaku secara universal yang dapat mencakup semua tipe kota, mungkin saja tidak akan lengkap dan tidak akan 17 memadai untuk berbagai keperluan ilmu pengetahuan, alasannya ialah karena sifat urban dan non-urban yang berubah-ubah sesuai dengan sifat masyarakatnya.

8. Permendagri No. 2 tahun 1987, tentang pedoman penyusunan rencana kota : Kota adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman yang memperlihatkan watak dan ciri hidup perkotaan.

9. Undang-undang No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang : Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

10. Undang-undang No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.sama dengan UU No.24 / 1992 : Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi

Kesesuaian lahan (skripsi dan tesis)

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptibility)
suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas)
lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno, 2001 dalam Wisaksanti Rudiastuti, 2011:9). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian secara sistematik dari lahan dan menggolongkannya ke dalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha tertentu (Bakosurtanal, 1996 dalam Wisaksanti Rudiastuti, 2011:9).
Menurut Hardjowigeno (2003) dalam Irianti (2004), klasifikasi kesesuaian
lahan dapat dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif maupun
kualitatif tergantung dari data yang tersedia. Kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kuantitatif (dengan angka-angka) yang biasanya dilakukan juga perhitungan-perhitungan ekonomi. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak dengan angka) dan tidak ada perhitungan ekonomi. Biasanya dilakukan dengan cara memadankan (membandingkan) kriteria masing-masing kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor fisik (karakteristik.kualitas lahan) yang merupakan faktor penghambat terberat.
Menilai kelas kesesuaian lahan menurut Djoemantoro dan Rachmawati
(2002) dan Sitorus (1985) dalam Irianti (2004) diperoleh bahwa kesesuaian lahan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu order S (sesuai) dan order N (tidak sesuai). Lahan yang tergolong order S adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu  penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap daya lahannya. Yang termasuk order N adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan.
Pembagian kelas dalam tingkatan kesesuaian lahan merupakan pembagian
lebih lanjut dari kesesuaian lahan di dalam order. Banyaknya kelas di dalam suatu
order tidak terbatas. Di dalam penelitian ini digunakan tiga kelas untuk order S
dan satu kelas untuk order N.
a. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable), adalah lahan yang tidak memiliki
pembatas untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari.
b. Kelas S2: cukup sesuai (moderately suitable), adalah lahan yang
mempunyai sedikit pembatas untuk suatu penggunaan tertentu. Pembatas
ini akan mempengaruhi produktivitas dan keuntungan yang diperoleh
dalam mengusahakan lahan tersebut.
c. Kelas S3: sesuai bersyarat (suitable conditional), adalah lahan yang
memiliki pembatas dengan tingkat yang lebih berat, akan tetapi masih bisa
diperbaiki dengan menggunakan perlakuan teknologi yang lebih tinggi.
d. Kelas N: tidak sesuai (not suitable), adalah lahan dengan pembatas sangat
berat sehingga tidak memungkinkan unutk suatu penggunaan tertentu
secara lestari.

Jenis dan Sumber Data SIG (skripsi dan tesis)

Data geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu
data spasial dan data atribut. Perbedaan antara dua jenis data tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Data Spasial
Data spasial adalah data yang bereferensi geografis atas representasi objek
di bumi. Data spasial pada umumnya berdasarkan peta yang berisikan interpretasi dan proyeksi seluruh fenomena yang berada di bumi. Sesuai dengan perkembangan, peta tidak hanya merepresentasikan objek-objek yang ada di muka bumi, tetapi berkembang menjadi representasi objek di atas muka bumi (di udara) dan di bawah permukaan bumi.
Data spasial dapat diperoleh dari berbagai sumber dalam berbagai format.
Sumber data spasial antara lain mencakup: data grafis peta analog, foto udara,
citra satelit, survei lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran dengan
menggunakan global positioning systems (GPS) dan lain-lain.
Gambar 2.2 Sumber Data dalam SIG (Ekadinata, dkk., 2008)
Data spasial memiliki dua macam penyajian, yaitu:
a. Model vektor
Model vektor menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial
dengan menggunakan titik-titik, garis-garis, dan kurva atau poligon beserta
atribut-atributnya. Bentuk dasar model vektor didefinisikan oleh sistem koordinat Kartesius dua dimensi (x,y).
Dengan menggunakan model vektor, objek-objek dan informasi di
permukaan bumi dilambangkan sebagai titik, garis, atau poligon. Masing-masing mewakili tipe objek tertentu sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Titik (point) : merepresentasikan objek spasial yang tidak memiliki dimensi
panjang dan/atau luas. Fitur spasial direpresentasikan dalam satu pasangan
koordinat x,y. Contohnya stasiun curah hujan, titik ketinggian, observasi
lapangan, titik-titik sampel.
Garis (line/segment) : merepresentasikan objek yang memiliki dimensi panjang
namun tidak mempunyai dimensi area, misalnya jaringan jalan, pola aliran, garis kontur.
Poligon : merepresentasikan fitur spasial yang memiliki area, contohnya adalah unit administrasi, unit tanah, zona penggunaan lahan.
b. Model data raster
Model data raster menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data
spasial dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid (bidang referensi horizontal dan vertikal yang terbagi menjadi kotak-kotak). Piksel adalah unit dasar yang digunakan untuk menyimpan informasi secara eksplisit. Setiap piksel memiliki atribut tersendiri, termasuk koordinatnya yang unik. Akurasi model ini sangat tergantung pada resolusi atau ukuran piksel suatu gambar. Model raster memberikan informasi spasial apa saja yang terjadi di mana saja dalam bentuk gambaran yang digeneralisasi. Dengan model raster, data geografi ditandai oleh nilai-nilai elemen matriks dari suatu objek yang berbentuk titik, garis, maupun bidang.

2. Data Atribut
Data atribut adalah data yang mendeskripsikan karakteristik atau fenomena
yang dikandung pada suatu objek data dalam peta dan tidak mempunyai hubungan dengan posisi geografi. Data atribut dapat berupa informasi numerik, foto, narasi, dan lain sebagainya, yang diperoleh dari data statistik, pengukuran lapangan dan sensus, dan lain-lain.
Atribut dapat dideskripsikan secara kualitatif dan kuantitatif. Pada
pendeskripsian secara kualitatif, kita mendeskripsikan tipe, klasifikasi, label suatu objek agar dapat dikenal dan dibedakan dengan objek lain, msalnya: sekolah, rumah sakit, hotel, dan sebagainya. Bila dilakukan secara kuantitatif, data objek dapat diukur atau dinilai berdasarkan skala ordinat atau tingkatan, interval atau selang, dan rasio atau perbandingan dari suatu titik tertentu.

Subsistem SIG (skripsi dan tesis)

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, maka SIG dapat
diuraikan menjadi beberapa sub-sistem sebagai berikut :
1. Data Input : sub-sistem ini bertugas untuk mengumpulkan,
mempersiapkan, dan menyimpan data spasial dan atributnya dari berbagai
sumber. Sub-sistem ini pula yang bertanggungjawab dalam
mengkonversikan atau mentransformasikan format-format data aslinya ke
dalam format (native) yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang
bersangkutan.
2. Data Output : sub-sistem ini bertugas untuk menampilkan atau
menghasilkan keluaran (termasuk mengekspornya ke format yang
dikehendaki) seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk
softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta, dan
lain sebagainya.
3. Data Management : sub-sistem ini mengorganisasikan baik data spasial
maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data
sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali atau di-retrieve (di-load
ke memori), di-update, dan di-edit.
4. Data Manipulation & Analysis : sub-sistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, sub-sistem ini juga melakukan manipulasi (evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan
operator matematis & logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan
informasi yang diharapkan

Pengertian Sistem Informasi Geografis (skripsi dan tesis)

Pengertian Geographic Information System atau Sistem Informasi
Geografis (SIG) sangatlah beragam. Hal ini terlihat dari banyaknya definisi SIG
yang beredar di berbagai sumber pustaka. Definisi SIG kemungkinan besar masih berkembang, bertambah, dan sedikit bervariasi, karena SIG merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang digunakan oleh berbagai bidang atau disiplin ilmu, dan berkembang dengan cepat. Berikut adalah beberapa definisi SIG yang telah beredar di berbagai sumber pustaka (Prahasta, 2009) :
1. SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer (CBIS) yang digunakan
untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG
dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek dan fenomena di mana lokasi geografis merupakan karakteristik
yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG
merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut
dalam menangani data yang bereferensi geografis: (a) masukan, (b)
manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan
manipulasi data, dan (d) keluaran [Aronoff, 1989].
2. SIG adalah sistem yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data,
manusia (brainware), organisasi dan lembaga yang digunakan untuk
mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan meyebarkan informasiinformasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi [Chrisman, 1997].
3. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data
geografis. Sistem ini diimplementasikan dengan menggunakan perangkat
keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk: (a) akusisi dan
verifikasi data, (b) kompilasi data, (c) penyimpanan data, (d) perubahan
dan atau updating data, (e) manajemen dan pertukaran data, (f) manipulasi
data, (g) pemanggilan dan presentasi data, dan (h) analisa data [Bern,
1992].
4. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk mengumpulkan,
memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisis informasi-informasi yang
berhubungan dengan permukaan bumi [Demers, 1997].
5. SIG adalah sistem yang dapat mendukung (proses) pengambilan keputusan
(terkait aspek) spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi
lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang ditemukan di
lokasi tersebut. SIG yang lengkap akan mencakup metodologi dan
teknologi yang diperlukan, yaitu data spasial, perangkat keras, perangkat
lunak, dan struktur organisasi [Gistut, 1994].

PELAYANAN SOSIAL INFRASTRUKTUR JALAN (skripsi dan tesis)

Fasilitas infrastruktur berfungsi melayani berbagai kepentingan umum.Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di suatu daerah atau populasi. Edwin (1998) menguraikan prasarana umum untuk pelayanan meliputi kategori-kategori sebagai berikut:

  1. Pendidikan, berupa Sekolah Dasar, SMP, SMA dan perpustakaan umum.
  2. Kesehatan, berupa rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas pemeriksaan oleh dokter keliling, fasilitas perawatan gigi dengan mobil keliling, fasilitas kesehatan mental dengan mobil keliling, rumah yatim piatu, perawatan penderita gangguan emosi, perawatan pecandu alkohol dan obat bius, perawatan penderita cacat fisik dan mental, rumah buta dan tuli, serta mobil ambulans.
  3. Transportasi, berupa jaringan rel kereta api, bandar udara dan fasilitas yang berkaitan, jalan raya dan jembatan di dalam kota dan antar kota serta terminal penumpang.
  4. Kehakiman, berupa fasilitas penegakan hukum dan penjara. Rekreasiberupa fasilitas rekreasi masyarakat dan olahraga.

Sedangkan World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga komponen utama, yaitu:

  1. Infrastruktur Ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi, dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).
  2. Infrastruktur Sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan, dan rekreasi.
  3. Infrastruktur Administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi, dan koordinasi.

Infrastruktur jalan memberikan layanan berupa akses terhadap infrastruktur lainnya, termasuk infrastruktur sosial, diantaranya infrastruktur pendidikan dan infrastruktur kesehatan.Semakin besar akses yang diberikan, maka semakin tinggi juga tingkat pelayanan yang dapat diberikan oleh infrastruktur pendidikan dan infrastruktur kesehatan yang pada akhirnya mengurangi kesenjangan pendidikan dan kesehatan antar wilayah.

Keterbatasan akses layanan pendidikan dan kesehatan di daerah yang terpencil dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya kondisi geografis wilayah yang spesifik, aksesibilitas pendidikan, aksesibilitas spasial, dan infrastruktur wilayah. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Rustiadi, et al (2001) bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan antar wilayah, antara lain: geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial budaya, dan (7) ekonomi.

Aksesibilitas spasial merupakan faktor penentu dalam pembangunan daerah terpencil. Adapun bentuk kesuksesan program yang dirancang untuk memperbaiki kondisi kehidupan penduduk daerah terpencil akan sangat tergantung pada akses yang dimiliki terhadap berbagai fasilitas dan barang. Salah satunya adalah pemenuhan infrastruktur.

Infrastruktur merujuk pada sistem fisik seperti jalan, jembatan, jaringan listrik, alat transportasi, bangunan-bangunan gedung, dan fasilitas publik yang lain, harus tersedia bukan hanya di daerah perkotaan terlebih di daerah pedesaan sangatlah diperlukan guna terpenuhinya kebutuhan dasar manusia baik dalam lingkup sosial, ekonomi, dan lainnya.Adanya aksesibilitas ini diharapkan dapat mengatasi beberapa hambatan mobilitas, berhubungan dengan mobilitas fisik, misalnya kemudahan dalam memperoleh pendidikan dan layanan kesehatan (Kartono, 2001).

MOBILITAS PENDUDUK (skripsi dan tesis)

Pada hakekatnya, mobilitas penduduk merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerahdengan daerah lain. Orang-orang yang dari daerah yang fasillitaspembangunannya kurang akan bergerak menuju ke daerah yang mempunyai fasilitas pembangunan lebih baik.

Perpindahan tempat yang bersifat rutin (mobilitas) berfungsi untuk salingmelengkapi (complementary) dan terjadi adanya pergerakan yang dapat diartikansebagai interaksi. Interaksi yang berlangsung antara daerah yang satu dengan daerah yang lain terjadi dalam tahapan dan jarak tertentu sehingga menimbulkan pola keruangan (spatial pattern).

Perpindahan dalam hal transportasi dimaksudkan pada dua kategori, yaitu pemindahan bahan-bahan dan hasil produksi dengan menggunakan alat angkut dan mengangkut penumpang dari satu tempat ke tempat lain. Pergerakan atau mobilitas penduduk timbul karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Kita perlu bergerak karena kebutuhan kita tidak bisa terpenuhi di tempat kita berada.

Setiap tata guna lahan atau sistem kegiatan mempunyai jenis kegiatan yang akan membangkitkan dan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan kebutuhan, besarnya pergerakan sangat berkaitan erat dengan jenis dan intensitas kegiatan yang dilakukan yang terdiri dari sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain.

Pergerakan mobilitas ini akan membentuk suatu pola, misalnya alat pergerakan, maksud perjalanan, pilihan moda dan pilihan rute tertentu. Secara keruangan pergerakan dibagi tiga kelompok, antara lain:

  1. Pergerakan internal, yaitu:perpindahan kendaraan atau orang antara satu tempat lainnya dalam batas-batas wilayah tertentu.
  2. Pergerakan external, yaitu:pergerakan dari luar wilayah menuju wilayah tertentu atau sebaliknya.
  3. Pergerakan through, yaitu: pergerakan yang hanya melewati satu wilayah tanpa berhenti pada wilayah tersebut.

Berdasarkan maksud diatas, pergerakan penduduk terbagi atas pergerakan dengan maksud berbelanja, sekolah, bisnis, dan keperluan sosial (Saxena, 1989). Maksud pergerakan akan menentukan tujuan pergerakan yang terbagi atas tujuan utama dan tujuan pilihan (Tamin, 1997).

Tujuan utama pergerakan merupakan tujuan pergerakan rutin yang dilakukan setiap orang setiap hari, umumnya berupa tempat kerja atau tempat pendidikan. Sedangkan, tujuan pilihan merupakan tujuan dari pergerakan yang tidak rutin dilakukan, misalnya ketempat rekreasi. Selain itu pergerakan akan mengikuti pola waktu. Pada waktu tertentu, pergerakan akan menyentuh jam sibuk (peak hours) karena volume pergerakan akan tinggi, yaitu pada pagi hari dan sore hari.

 

 

Sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah, handal, dan sesuai lingkungannya tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik yang disebut sistem kelembagaan. Menurut Tamin (2008), hubungan dasar antara sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan dapat disatukan dalam beberapa urutan tahapan yang biasanya dilakukan secara berurutan, sebagai berikut:

  1. Aksesibilitas dan Mobilitas, sebagai ukuran potensial atau kesempatan untuk melakukan perjalanan.
  2. Pembangkit Lalu Lintas, mengenai bagaimana perjalanan dapat dilakukan dari suatu tata guna lahan atau dapat tertarik ke suatu tata guna lahan.
  3. Sebaran Penduduk, mengenai perjalanan tersebut disebarkan secara geografis di dalam daerah perkotaan.
  4. Pemilihan Moda Transportasi, menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi untuk tujuan perjalanan tertentu.
  5. Pemilihan Rute, menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan rute dari setiap daerah asal ke setiap daerah tujuan.

Setiap tindakan tahapan di atas sangat penting, karena bila salah satu tahapan dilakukan akan mempengaruhi tahapan yang lain. Perlu diketahui hubungan antara waktu tempuh, kapasitas, dan arus lalu lintas sangat dipengaruhi oleh kapasitas rute yang ada dan jumlah arus lalu lintas yang menggunakan rute tersebut. Pihak-pihak yang terlibat, antara lain:

  1. Perencana Kota, mengatur lokasi aktivitas suatu tata guna lahan agar dapat mengatur aksesibilitas kota yang berdampak pada bangkitan dan tarikan lalu lintas serta besaran pergerakannya.
  2. Pengelola Angkutan Umum, dapat mengatur pemilihan moda dengan mengatur operasi sarana yang lebih cepat dan frekuensi lebih tinggi.
  3. Ahli Lalu Lintas, meningkatkan kecepatan lalu lintas dan membuat perjalanan lebih aman dengan menyediakan sarana marka, rambu, dan pengaturan persimpangan. Peningkatan ini akan berdampak pada tata guna lahan dengan mengubah aksesibilitas dan mobilitas serta arus lalu lintas.
  4. Ahli Jalan Raya, melakukan perubahan perbaikan jalan dan pembuatan jalan baru yang berdampak terhadap sebaran pergerakan, pemilihan moda dan rute, serta tata guna lahan (aksesibilitas).

E.G. Ravenstein mengemukakan beberapa teori yang terkait denganmobilitas (Fellmann, dkk., 2008), antara lain:

  1. Mobilitas dan Jarak, artinya banyak mobilitas pada jarak yang dekat disebabkan adanya rasa keterikatan terhadap keluarga yang ditinggalkan dan mobilitas jarak jauh lebih tertuju ke pusat-pusat perdagangan dan industri yang penting.
  2. Arus dan Arus Balik, artinya setiap arus mobilitas utama menimbulkan arus balik penggantiannya.
  3. Teknologi dan Mobilitas, artinya teknologi menyebabkan mobilitas meningkat.
  4. Motif Ekonomi, artinya dorongan utama orang melakukan mobilitas.

Mantra (1994) menyebutkan bahwa di dalam masyarakat ada dua macam perpindahan penduduk yang biasanya disebut dengan istilah mobilitas vertikal danmobilitas horisontal. Mobilitas vertikal merupakan perpindahan status atau golongandi dalam masyarakat, sedangkan mobilitas penduduk horisontal atau geografismeliputi gerakan (movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu.

Mobilitas penduduk horisontal dibagi menjadi mobilitas penduduk nonpermanen (mobilitas penduduk sirkuler) dan mobilitas penduduk permanen. Mobilitas penduduk permanen, contohnya migrasi, sedangkan mobilitas penduduk nonpermanen berupa gerak penduduk darisatu tempat menuju ke tempat lain dengan tidak ada niatan menetap di tempat tujuan. Mobilitas penduduk sirkuler dapat dibagi lagi menjadi beberapa macam bentuk seperti mobilitas ulang-alik (commuting), periodik, musiman, dan jangka panjang. Mobilitas sirkuler ini terjadi antara desa dengan desa, desa dengan kotadan kota dengan kota.

MANFAAT EKONOMI INFRASTRUKTUR JALAN (skripsi dan tesis)

Infrastruktur jalan merupakan salah satu prasarana publik paling primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara, dan ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Infrastruktur merupakan input penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya.

Menurut Marsuki (2005) dan Sjafrizal (2008) dikatakan bahwa untuk menciptakan dan meningkatkan kegiatan ekonomi diperlukan sarana infrastruktur yang memadai. Ilustrasinya sederhana, seandainya semula tidak ada akses jalan lalu dibuat jalan maka dengan akses tersebut akan meningkatkan aktivitas perekonomian. Contoh lain di suatu komunitas bisnis, semula tidak ada listrik maka dengan adanya listrik kegiatan ekonomi di komunitas tersebut akan meningkat. Fungsi strategis infrastruktur jelas tidak diragukan lagi tanpa pembangunan infrastruktur yang mencukupi, kegiatan investasi pembangunan lainnya seperti kegiatan produksi, jelas tidak akan meningkat secara signifikan. Breheny (1995) (dalam Banister 1995) mengatakan bahwa transportasi memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan daerah dan ekonomi kota dan wilayah.

Tambunan (2005) menegaskan bahwa manfaat ekonomi infrastruktur jalan sangat tinggi apabila infrastruktur tersebut dibangun tepat untuk melayani kebutuhan masyarakat dan dunia usaha yang berkembang. Tambunan (2005) juga menunjukkan bahwa manfaat variabel infrastruktur (diukur dengan panjang jalan aspal atau paved road) terhadap peningkatan beragam tanaman pangan di Pulau Jawa jauh lebih signifikan berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan dibandingkan dengan pembangunan pengairan

Selanjutnya, dikemukakan walaupun hasil analisis ini terlihat mengherankan, kalau ditelaah lebih mendalam alasannya dapat dipahami mengapa demikian. Dampak pembangunan jalan terhadap sektor pertanian memberikan beragam keuntungan diberbagai tingkatan bagi petani dibanding dengan membangun irigasi. Alasan utamanya adalah variabel jalan berdampak lebih luas karena membuka akses lebih besar bagi petani, melalui pembangunan jalan informasi produksi perdagangan dan kegiatan bisnis lainnya dari urban yang berguna bagi kegiatan petani lebih cepat diterima. Dampak itu lebih tinggi dibanding dengan dampak pembangunan irigasi, karena hanya terbatas pada peningkatan produksi tanaman pangan, walaupun demikian kedua jenis infrastruktur tersebut (jalan dan irigasi) memiliki perannya masing-masing oleh sebab itu sebaiknya dibangun secara bersamaan.

Pengertian Jalan (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, didefinisikanbahwa jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanahdan/atau air serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta apidan jalan kabel.

Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalanumum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, sedangkan jalan khususadalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan atau kelompokmasyarakat untuk kepentingan tertentu.Jalan umum dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status dan kelas. Sedangkanuntuk pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan,dikelompokkan atas jalan bebashambatan, jalan raya, jalan sedang dan jalan kecil(DPU, 2006).

Menurut Undang-undang RI No.38 Tahun 2004, jalan dapat diklasifikasi yaitu:

  1. Klasifikasi Jalan Menurut Peran dan Fungsi, terdiri atas:
  • Jalan Arteri
  • Jalan Arteri Primer: ruas jalan yang menghubungkan antar kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.

Persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain:

  1. Kecepatan rencana > 60 km/jam.
  2. Lebar badan jalan > 8,0 meter.
  3. Kapasitas jalan lebih besar dari volume lalu-lintas rata-rata.
  4. Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan dapat tercapai.
  5. Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu lintas lokal.
  6. Jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
  • Jalan Arteri Sekunder: ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

Persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain:

  1. Kecepatan rencana > 30 km/jam.
  2. Lebar jalan > 8,0 meter.
  3. Kapasitas jalan lebih besar atau sama dari volume lalu-lintas rata-rata.
  4. Tidak boleh diganggu oleh lalu-lintas lambat.
  • Jalan Kolektor.
  • Jalan Kolektor Primer: ruas jalan menghubungkan antar kota kedua dengan kota jenjang kedua, atau kota jenjang kesatu dengan jenjang ketiga.

Persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain:

  1. Kecepatan rencana > 40 km/jam.
  2. Lebar badan jalan > 7,0 meter.
  3. Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu-lintas rata-rata.
  4. Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan tidak terganggu.
  5. Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu-lintas lokal.
  6. Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki daerah kota.
  • Jalan Kolektor Sekunder: ruas jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

Persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: kecepatan rencana     > 20 km/jam dan lebar jalan > 7,0 meter.

  • Jalan Lokal
  • Jalan lokal primer: ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di bawahnya.

Persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain:

  1. Kecepatan rencana > 20 km/jam.
  2. Lebar badan jalan > 6,0 meter.
  3. Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa.
  • Jalan Lokal Sekunder: ruas jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu, kedua dengan perumahan.

Persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu kecepatan rencana       > 10 km/jam dan lebar jalan > 5,0 meter.

  • Jalan Lingkungan

Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri-ciri:

  1. Perjalanan jarak dekat
  2. Kecepatan rata-rata rendah

 

 

  1. Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang, terdiri atas:
  • Jalan Nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
  • Jalan Provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
  • Jalan Kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
  • Jalan Kota merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang berada di dalam kota.
  • Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.

 

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR (skripsi dan tesis)

Pembangunan infrastruktur mempunyai peranan yang vital dalam pemenuhan hak dasar rakyat. Infrastruktur sebagai katalis pembangunan. Kertersediaan infrastruktur dapat memberikan pengaruh pada peningkatan akses masyarakat terhadap sumberdaya sehingga meningkatkan akses produktivitas sumberdaya yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi (Winoto dan Siregar, 2006).

Infrastruktur atau prasarana dan sarana fisik, disamping memiliki keterkaitanyang sangat kuat dengan kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan juga terhadapproses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan indikasi bahwa wilayah yang memiliki kelengkapan sistem infrastruktur lebih baik biasanya mempunyai tingkat kesejahteraan sosial dan kualitaslingkungan serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pula (DPU,2006).

Kwikdalam Haris (2009) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi.Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi  marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.

World Bank (1994) menyebutkan bahwa elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07 sampai dengan 0,44 dan membagi infrastruktur menjadi tiga komponen utama, yaitu:

  1. Infrastruktur Ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, irigasi, drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang, dan sebagainya).
  2. Infrastruktur Sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi.
  3. Infrastruktur Administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.

DEFINISI INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI (skripsi dan tesis)

Transportasi memiliki peranan yang strategis dalam perkembangan perekonomian dan kehidupan masyarakat sejak dari dahulu sampai sekarang dan pada masa yang akan datang. Negara yang maju dipastikan memiliki sistem transportasi yang handal dan berkemampuan tinggi.Demikian pula keberhasilan pembangunan suatu wilayah didukung oleh tersedianya fasilitas transportasi yang efektif dan efisien (Adisasmita, 2012).

Infrastruktur adalah sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan,drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik lain yang dibutuhkan untukmemenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi (Grigg, 1998). Infrastruktur mengacu pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, air, bangunan, dan fasilitas publik lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara ekonomi dan sosial (Tanimart, 2008). Infrastruktur pada dasarnya merupakan asset pemerintah yang dibangun dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat. Prinsipnya ada dua jenis infrastruktur, yakni infrastruktur pusat dan daerah. Infrastruktur pusat adalah infrastruktur yang dibangun pemerintah pusat untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam skala nasional, seperti jalan raya antar propinsi, pelabuhan laut dan udara, jaringan listrik, jaringan gas, telekomunikasi, dan sebagainya. Infrastruktur daerah adalah infrastruktur yang dibangun pemerintah daerah, seperti penyediaan air bersih, jalan khas untuk kepentingan daerah pariwisata dan sebagainya.

Ditinjau dari fungsinya, infrastruktur dibedakan pula menjadi dua, yakni infrastruktur yang menghasilkan pendapatan dan yang tidak menghasilkan pendapatan. Jenis infrastruktur pertama, umumnya dimanfaatkan sekelompok masyarakat tertentu, dimana dengan fasilitas yang disediakan, masyarakat penggunanya dikenakan biaya. Seperti air bersih, listrik, telepon, taman wisata, dan sebagainya. Jenis infrastruktur kedua, penyediaannya untuk dinikmati masyarakat umum, seperti jalan raya, jembatan, saluran air irigasi, dan sebagainya sehingga penggunanya tidak dikenai biaya (Marsuki, 2007).

Pengertian Infrastruktur menurut kamus ekonomi diartikan sebagai akumulasi dari investasi yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sebelumnya yang meliputi barang yang dapat dilihat dan berbentuk misal jalan raya, jembatan, persediaan air dan lain-lain, serta barang-barang yang tidak berbentuk seperti tenaga kerja yang terlatih/terdidik yang diciptakan oleh investasi modal sumber daya manusia.

Menurut Grigg dalam Tanimart (2008), enam kategori besar infrastruktur, sebagai berikut:

  1. Kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan)
  2. Kelompok pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara)
  3. Kelompok air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air)
  4. Kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat)
  5. Kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar
  6. Kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas)

Sedangkan menurut Kodoatie (2005), infrastuktur dapat dibagi menjadi 13 kategori, antara lain: Sistem penyedia air; Sistem pengelolaan air limbah; Fasilitas pengelolaan limbah (padat); Fasilitas pengendalian banjir, drainase dan irigasi; Fasilitas lintas air dan navigasi; Fasilitas transportasi; Sistem transportasi publik; Sistem kelistrikan; Fasilitas gas dan energi alam; Gedung publik; Fasilitas perumahan publik; Taman kota; dan Fasilitas komunikasi.

Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dansistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapatdidefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan,instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosialdan ekonomi masyarakat (Grigg, 1998).

Definisi teknik juga memberikan spesifikasi apayang dilakukan sistem infrastruktur dan dapat dikatakan bahwa infrastruktur adalah aset fisikyang dirancang dalam sistem sehingga memberikan pelayanan publik yang penting. Peran infrastruktur sebagai mediator antara sistem ekonomi dan sosial dalamtatanan kehidupan manusia dengan lingkungan alam menjadi sangat penting.

Infrastruktur yang kurang (bahkan tidak) berfungsi akan memberikan dampak yang besarbagi manusia. Sebaliknya, infrastruktur yang terlalu berkelebihan untuk kepentinganmanusia tanpa memperhitungkan kapasitas daya dukung lingkungan akan merusak alamyang pada hakekatnya akan merugikan manusia juga makhluk hidup yang lain. Berfungsi sebagai suatu pendukung sistem sosial dan sistem ekonomi, maka infrastrukturperlu dipahami dan dimengerti secara jelas terutama bagi penentu kebijakan (Kodoatie, 2005).