Investasi

Investasi di suatu daerah dan pada waktu tertentu akan berbeda dengan investasi di daerah lain dan waktu yang lain, perbedaan ini dikarenakan perbedaan karakteristik suatu daerah, misalnya perbedaan sumber daya alam dan sumber daya lain yang dimiliki oleh suatu daerah berbeda dengan daerah yang lain. Begitu pun dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan keamanan suatu daerah menentukan dalam investasi.

Menurut Harrord-Domar setiap perekonomian pada dasarnya harus mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto terhadap cadangan stock  modal (Todaro dan Smith, 2006:128).

Pola dan Struktur Ekonomi

Menurut Kuncoro (2004: 130) dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita sebagai sumbu horizontal , daerah dalam hal ini Kabupaten/Kota yang diamati dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:

  1. Daerah/Kabupaten/Kota yang cepat maju dan cepat tumbuh, yaitu Kabupaten/Kota yang pertumbuhan ekonominya tinggi dan pendapatan per kapitanya juga tinggi.
  2. Daerah/Kabupaten/Kota yang maju tetapi tertekan, yaitu Kabupaten/Kota  yang pendapatan per kapitanya tinggi, namun pertumbuhan ekonominya rendah.
  3. Daerah/ Kabupaten/Kota yang berkembang cepat, yaitu Kabupaten/Kota yang pertumbuhan ekonominya tinggi namun pendapatan per kapitanya rendah.
  4. Daerah/ Kabupaten/Kota yang relatif tertinggal, yaitu Kabupaten/Kota yang pertumbuhan ekonominya rendah dan pendapatan per kapitanya juga rendah.

 

  • Ketimpangan Ekonomi antar Daerah

Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan (lihat Kuncoro, 2004: 133).

Ketimpangan pembangunan antar daerah dapat dianalisis menggunakan indeks ketimpangan regional yang disebut indeks ketimpangan Williamson (Sjahfrizal, 2008). Sesuai dengan formula Indeks Williamson untuk mengetahui indeks ketimpangan pembangunan antar daerah, nilai indeks Williamson terletak antara nol dan satu (0 < IW < 1). Apabila nilai indeks mendekati 1 (satu), berarti ketimpangan pembanguan semakin besar dan apabila nilai indeks mendekati 0 (nol), berarti ketimpangan pembangunan semakin kecil. Ardani (1992), mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antardaerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu  tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri (Kuncoro, 2004: 133).

Kesenjangan Regional

Menurut Kuncoro (2006: 146), kesenjangan ekonomi di Indonesia dapat dilihat dari 3 dimensi, yaitu:

  1. Kesenjangan dari tingkat kemodernan, yaitu kesenjangan antara sektor modern dan sektor tradisional. Sektor modern umumnya berada di perkotaan dan sektor industri, sedangkan sektor tradisional umumnya berada di perdesaan dan sektor tradisional.
  2. Kesenjangan regional, yaitu kesenjangan antara Kawasan Timur Indonesia (Katimin), dan Kawasan Barat Indonesia (Kabarin).
  3. Kesenjangan menurut etnis, yaitu antara penduduk pribumi dengan penduduk non pribumi.

Menurut hipotesis Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antarwilayah tersebut akan menurun. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kurva ketimpangan pembangunan antarwilayah berbentuk huruf U terbalik (Sjafrizal, 2008:105).

Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang . Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi  di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan (Kuncoro, 2004: 133).

Menurut Sjafrizal (2008) penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah adalah:

  1. Adanya perbedaan kandungan sumber daya alam
  2. Adanya perbedaan kondisi demografis
  3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
  4. Adanya konsentrasi ekonomi wilayah
  5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah

Menurut Kuncoro (2004),  penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah adalah:

  1. Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber berupa akumulasi modal, ketrampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki suatu daerah yang merupakan pemicu pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
  2. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik wilayah .

Konsep Daerah

Arsyad (2010:373-374) daerah mempunyai defenisi yang berbeda-beda tergantung aspek tinjauannya. dari tinjauan Aspek ekonomi, daerah memiliki tiga defenisi yaitu :

  1. Daerah homogen adalah suatu daerah dianggap sebagai ruang di mana kegiatan ekonomi terjadi dan di dalam berbagai pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan sifat-sifat tersebut anatara lain tercermin dari segi pendapatan per kapitanya, sosial-budayanya. geografisnya dan sebagainya.
  2. Daerah nodal adalah suatu daerah yang dianggap sebagai suatu ruang ekonomi yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi.
  3. Daerah Administrasi (daerah perencanaan) adalah suatu daerah sebagai suatu ruang ekonomi yang berada di bawah satu administrasi tertentu, seperti satu provinsi, kabupaten, kecamatan, dan sebagainya.

Dalam prakteknya pembagian wilayah di Indonesia didasarkan atas pembagian wilayah administrasi, oleh karena itu wilayah negara dibagi menjadi wilayah-wilayah atau daerah-daerah ekonomi berdasarkan suatu administrasi yang ada. Pembagian wilayah secara administrasi lebih mudah dianalisis, karena pada umumnya pengumpulan data di berbagai daerah dalam suatu negara pembagiannya didasarkan pada satuan administratifnya.

Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Simon Kuznets (1971)  pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah peningkatan kemampuan suatu negara untuk menyediakan barang-barang ekonomi bagi penduduknya, kenaikan pada kemampuan ini disebabkan oleh adanya kemajuan teknologi, kelembagaan serta penyesuaian idiologi yang dibutuhkannya (lihat Arsyad 2010:277).

Menurut Arsyad (2010:269) ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat (negara) yaitu :1)Akumulasi modal, termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fisik (mesin-mesin), dan sumber daya manusia (human resources); 2) Pertumbuhan Penduduk; 3) Kemajuan teknologi; 4) Sumberdaya institusi (sistem kelembagaan).

Boediono (1999:1) menyatakan bahwa pertumbuhan haruslah bersumber pada proses intern perekonomian tersebut. Bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan tetapi pertumbuhan itu tercipta karena banyaknya bantuan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan terhenti apabila suntikan dana itu dihentikan. Hal ini merupakan salah satu penyebab timbulnya perbedaan pertumbuhan antardaerah.

Uji pengaruh secara bersama-sama

Untuk menguji pengaruh secara bersama-sama variabel independen terhadap variabel dependen digunakan uji F.  (Supranto, 1997)

Dengan tingkat kepercayaan 95 % (a = 0,05) maka :

Ho  diterima jika p value > α atau tidak ada pengaruh variabel X secara bersama-sama terhadap Y

Ho  ditolak jika p value £  α atau terdapat pengaruh variabel X secara bersama-sama terhadap Y

Goodness of Fit Model Regresi

Dilakukan untuk mengukur ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual secra statistik, setidaknya hal ini dapat diukur dari nilai koefisien determinasi, (Ghozali,2006).

Koefisien determinan (R²) dimaksudkan untuk mengetahui tingkat ketepatan paling baik dalam analisis regresi, dimana hal yang ditunjukkan oleh besarnya koefisiensi determinasi (R²) antara 0 (nol) dan 1 (satu). Koefisien determinasi (R²) nol variabel independent sama sekali tidak berpengaruh terhadap variabel dependent, apabila koefisien determinasi semakin mendekati satu, maka dapat dikatakan bahwa variabel independent berpengaruh terhadap variabel dependent, selain itu koefisien determinasi dipergunakan untuk mengetahui presentase perubahan variabel terikat (Y) yang disebabkan oleh variabel bebas (X). Besaran R2 yang didefinisikan dikenal sebagai koefisien determinasi (sampel) dan merupakan besaran yang paling lazim digunakan untuk mengukur kebaikan sesuai (goodness of  fit) garis regresi. Secara verbal, R2 mengukur proporsi (bagian) atau prosentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi.

 

Heterokedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan satu ke pengamatan yang lain, jika varians dari residu atau dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homokedastisitas. Dan jika varians berbeda maka disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas (Singgih Santoso, 2000). Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan melihat grafik scatter plot antara nilai prediksi variable terikat (z PRED) dan nilai residualnya (s RESID)

Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas dilakukan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independent, jika terjadi korelasi, maka dinamakan terdapat problem multikolinearitas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independent. Uji multikolinearitas pada penelitian dilakukan dengan matriks korelasi. Pengujian ada tidaknya gejala multikolinearitas dilakukan dengan meperhatikan nilai matriks korelasi yang dihasilkan pada saat pengolahan data serta nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance-nya, apabila nilai matriks korelasi tidak ada yang lebih besar dari 0,5 maka dapat dikatakan data yang akan dianalisis terlepas dari gejala multikolinearitas, kemudian apabila nilai VIF berada dibawah 10 dan nilai Tolerance mendekati 1, maka diambil kesimpulan bahwa model regresi tersebut tidak terdapat problem multikolinearitas (Singgih Santoso, 2000).

 

  1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Validitas adalah tingkat ketepatan penggunaan alat terhadap suatu gejala. Pengujian validitas digunakan untuk pengukuran kuesioner, apakah kuesioner yang telah disusun sudah valid atau belum. Untuk menguji validitas kuesioner diambil sampel yang dianggap mewakili keseluruhan responden dengan menggunakan teknik korelasi product moment (Singarimbun dan Soffian Effendi, 1995) :

 

r           =          korelasi product moment

X         =          skor butir (pertanyaan)

Y         =          skor faktor (variabel)

n          =          ukuran sampel

Dengan kepercayaan 95 persen, maka jika :

r hitung > r tabel maka pengukuran valid.

r hitung £  r tabel maka pengukuran  tidak valid.

Setelah pengukuran valid tidaknya suatu kuesioner maka dilanjutkan dengan pengujian reliabilitas, yaitu untuk menguji sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konstan apabila dilaksanakan pengujian kembali. Reliabilitas adalah tingkat kestabilan dari suatu hasil alat ukur dalam mengukur suatu gejala. Untuk mengukur reliabilitas digunakan rumus alpha cronbach (Umar, 2000). Adapun rumusnya sebagai berikut :

 

Keterangan :

r11       =          reliabilitas instrumen

k          =          banyaknya butir pertanyaan

a2t       =          varians total

Sa2b    =          jumlah varians butir

Dengan tingkat kepercayaan 95 persen, maka jika :

r hitung > r tabel maka pengukuran reliabel.

r hitung £  r tabel maka pengukuran  tidak reliabel

Operasionalisasi Performansi kerja

Performansi kerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika. Dimana penilaian performansi berdasarkan judgement (Judgement-Based Performance Evaluation)  berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik, quantity of work, quality of work, job knowledge, cooperation, initiative, dependability, dan personal qualities

Operasionalisasi Kepuasan kerja

  • Kepuasan kerja adalah orientasi emosional individu untuk menjalankan peran dan karakteristik pekerjaan mereka serta merupakan kunci dari kesuksesan bisnis. Dimana dimensi pengukurannya meliputi; Kepuasan pada pengembangan potensi diri, Kepuasan pada lingkungan kerja, Kepuasan pada pekerjaan, dan Kepuasan pada pendapatan

Operasionalisasi Budaya organisasi

  • Budaya organisasi merupakan aspek subjektif dari seseorang dalam memahami apa yang terjadi dalam organisasi mengenai nilai-nilai dan norma-norma yang meliputi semua kegiatan bisnis, yang mungkin terjadi tanpa disadari. Dimana dimensi pengukurannya meliputi toleransi terhadap tindakan beresiko, arah, integrasi, dukungan manajemen, toleransi terhadap konflik, dan pola-pola komunikasi.

Operasionalisasi Penghargaan intrinsik

  • Penghargaan intrinsik adalah penghargaan yang ditentukan oleh individu dalam interaksinya dengan pekerjaannya dan dinilai di dalam serta dari mereka sendiri. Dimana dimensi pengukurannya meliputi Penyelesaian, Pencapaian Prestasi, Otonomi dan Pertumbuhan Pribadi.

Operasionalisasi Ambiguitas Peran

  • Ambiguitas Peran adalah ketidakpastian akan tindakan yang harus diambil untuk memenuhi tuntutan peran tersebut. Dimana dimensi pengukurannya adalah otoritas (wewenang), tujuan dan sasaran, harapan, tanggung jawab, dan gambaran pekerjaan

Dimensi Dalam Performansi Kerja

Montowidlo (1995) memisahkan performansi kerja dalam dua bagian yaitu task performansi dan contextual performansi. Task performansi adalah pikiran tradisional tentang kemampuan seberapa baik para pekerja melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas khusus, misalnya memadamkan api, mengajar siswa, menulis cerita. Contextual performansi mengukur aspek performansi yang tidak berhubungan dengan tugas-tugas khusus, misalnya sukarelawan memberikan usaha yang lebih bekerja sama mengikuti aturan dan prosedur, mendukung tujuan organisasi, hal ini sama pentingnya dengan performansi kerja.

Performansi kerja menurut Mitchell (dalam Sedarmayanti, 2001) meliputi beberapa aspek, yaitu kualitas kerja (quality of work), kecepatan dan ketepatan (promptness), inisiatif (initiative), kecakapan (capability) serta komunikasi (communication).

Metode penilaian prestasi kinerja pada umumnya dikelompokkan menjadi 3 macam, yakni  (Robbins, 2003)

  • Penilaian performance berdasarkan hasil (Result-based performance evaluation). Tipe kriteria performansi ini merumuskan performansi pekerjaan berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir (end results). Sasaran performansi bisa ditetapkan oleh manajemen atau oleh kelompok kerja, tetapi jika menginginkan agar para pekerja meningkatkan produktivitas mereka, maka penetapan sasaran secara partisipatif, dengan melibatkan para pekerja, akan jauh berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas organisasi. Praktek penetapan tujuan secara partisipatif, yang biasanya dikenal dengan istilah Management By Objective (MBO), dianggap sebagai sarana motivasi yang sangat strategis karena para pekerja langsung terlibat dalam keputusan-keputusan perihal tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Para pekerja akan cenderung menerima tujuan-tujuan itu sebagai tujuan mereka sendiri, dan merasa lebih bertanggung jawab untuk dan selama pelaksanaan pencapaian tujuan-tujuan itu.
  • Penilaian performansi berdasarkan perilaku (Behavior Based Performance Evaluation). Tipe kriteria performansi ini mengukur sarana (means) pencapaian sasaran (goals) dan bukannya hasil akhir (end result). Dalam praktek, kebanyakan pekerjaan tidak memungkinkan diberlakukannya ukuran-ukuran performansi yang berdasarkan pada obyektivitas, karena melibatkan aspek-aspek kualitatif. Jenis kriteria ini biasanya dikenal dengan BAR (behaviorally anchored rating scales) dibuat dari critical incidents yang terkait dengan berbagai dimensi performansi. BARS menganggap bahwa para pekerja bisa memberikan uraian yang tepat mengenai perilaku atau perfomansi yang efektif dan yang tidak efektif. Standar-standar dimunculkan dari diskusi-diskusi kelompok mengenai kejadian-kejadian kritis di tempat kerja. Sesudah serangkaian sesi diskusi, skala dibangun bagi setiap dimensi pekerjaan Jika tercapai tingkat persetujuan yang tinggi diantara para penilai maka BARS diharapkan mampu mengukur secara tepat mengenai apa yang akan diukur. BARS merupakan instrumen yang paling bagus untuk pelatihan dan produksi dari berbagai departemen. Sifatnya kolaboratif memakan waktu yang banyak dan khusus pada jenis pekerjaan tertentu (job specific), sehingga tidak dapat dipindahkan dari satu organisasi ke organisasi lain.
  • Penilaian performansi berdasarkan judgement (Judgement-Based Performance Evaluation) Tipe kriteria performansi yang menilai dan/atau mengevaluasi perfomansi kerja pekerja berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik, quantity of work, quality of work, job knowledge, cooperation, initiative, dependability, personal qualities dan yang sejenis lainnya. Dimensi-dimensi yang biasanya menjadi perhatian dari penilaian jenis ini adalah .
  1. Quantity of work, jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan;
  2. Quality of work, kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya;
  3. Job knowledge, luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan ketrampilannya;
  4. Cooperation, kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain (sesame anggota organisasi).
  5. Initiative, semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung jawabnya;
  6. Personal qualities, menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.

Dalam penelitian ini akan menggunakan dimensi pengukuran performansi kerja menurut Robbins (2003). Penilaian performansi berdasarkan judgement (Judgement-Based Performance Evaluation)  berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik, quantity of work, quality of work, job knowledge, cooperation, initiative, dependability, dan personal qualities.

Pengertian Performansi Kerja

Performance merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses. Data tentang produktivitas kerja ini berupa performance appraisal, yaitu penilaian kerja. Hal ini dikarenakan penilaian kerja merupakan faktor evaluasi bagi pihak perusahaan terhadap kerja karyawan dan juga evaluasi bagi karyawan sendiri sebagai perwujudan untuk peningkatan produktivitas kerja (Cascio, 2008).

Bernandin dan Russell dalam Ruky (2002) memberi batasan mengenai performansi sebagai  “…the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time priode” (catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode tertentu). Performansi kerja lebih menekankan pada hasil atau yang diperoleh dari sebuah pekerjaan sebagai kontribusi pada perusahaan.

Pengukuran Dalam Kepuasan Kerja

Dalam Hariandja (2002) dan penelitian Harsiwi (2004), kepuasan kerja secara umum mencakup beberapa aspek, yaitu:

  • Kepuasan pada pekerjaan, yaitu kepuasan terhadap isi pekerjaan yang dilakukan seseorang. Apakah memiliki elemen yang memuaskan atau tidak.
  • Kepuasan pada pendapatan, yaitu kepuasan terhadap jumlah bayaran atau pendapatan yang diterima seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan kerja. Apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasa adil atau tidak.
  • Kepuasan pada lingkungan kerja, yaitu kepuasan terhadap lingkungan di tempat di mana seseorang tersebut bekerja. Apakah terasa menyenangkan, kondusif, dan nyaman atau tidak. Mencakup kemudahan seseorang tersebut untuk tetap menjalin hubungan baik dengan bawahan-bawahannya, rekanan bisnisnya, sekaligus keluarganya.
  • Kepuasan pada pengembangan potensi diri, yaitu kepuasan pada kemungkinan untuk berkembang melalui kebebasan yang dipunyai untuk belajar hal-hal baru, dan bertemu orang-orang baru yang memberikan inspirasi.

Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (T. Hani Handoko, 1998). Luthans (2005) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai hasil dari persepsi tentang seberapa baiknya pekerjaan mereka menyediakan berbagai hal yang dipandang penting atau primer bagi mereka. Kepuasan kerja juga didefinisikan dengan hingga sejauh mana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor atau dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya (Hariandja, 2002: 290). Davis (2005) dalam Soemardi (2008) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka atau suatu perasaan senang atau tidak senang yang relatif berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku.

Kepuasan kerja merupakan orientasi emosional individu untuk menjalankan peran dan karakteristik pekerjaan mereka serta merupakan kunci dari kesuksesan bisnis. Kepuasan kerja dapat dipahami melalui tiga aspek. Pertama, kepuasan kerja merupakan bentuk respon pekerja terhadap kondisi lingkungan pekerjaan. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh hasil pekerjaan atau kinerja. Ketiga, kepuasan kerja terkait dengan sikap lainnya yang dimiliki oleh setiap pekerja. Individu yang merasa tidak mampu untuk mencapai aktualisasi profesional dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja. Gengsi dan pendapatan yang tinggi dalam status professional diperkirakan secara konvensional berhubungan dengan kepuasan kerja yang tinggi (Kalbers dan Fogarty, 2005)

Dimensi Dalam Budaya Organisasi

Jika suatu organisasi menerapkan budaya kuat maka itu akan mendorong terjadinya peningkatan keefektifan pada organisasi tersebut, menurut Robbins (2003:527), budaya yang kuat dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama-sama secara luas. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai karateristik yang merupakan nilai inti dari organisasi yang dapat membantu terciptanya budaya yang kuat. Dimana karateristik tersebutlah yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya.

Menurut Robbins, dalam Umar (2010:208), untuk menilai kualitas budaya suatu organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor utama, yaitu sebagai berikut:

  • Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi yang dipunyai individu.
  • Toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil resiko
  • Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai organisasi.
  • Integrasi, yaitu tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
  • Dukungan manajemen, yaitu tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka.
  • Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
  • Indentitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota teridentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional.
  • Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas criteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, pilih kasih, dan sebagainya.
  • Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para pegawai diberikan kebebasan untuk mengemukakan masalah yang ada dan memberikan kritik secara terbuka.
  • Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.

Menjelaskan salah satu faktor dari dimensi diatas yaitu integrasi, Menurut Schein (2009:27), budaya organisasi adalah pola asumsi bersama yang dipelajari oleh suatu kelompok dalam memecahkan masalah melalui adaptasi eksternal dan integrasi internal. Integrasi internal meliputi visi, misi, teknologi, dan struktur organisasi. Dimana dalam hal ini para karyawan mengembangkan identitas  kolektif dan tahu bagaimana bekerja sama secara efektif. Inilah budaya yang menuntun hubungan kerja sehari-hari dan menentukan bagaimana karyawan didorong untuk bekerja dengan cara yang terstruktur dalam hal penyampaian informasi dari bawahan ke atasan, maupun dari atasan ke bawahan.

Pengertian Budaya Organisasi

Budaya merupakan sejumlah pemahaman penting seperti norma, nilai, sikap, dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Budaya sebagai suatu pola asumsi dasar yang dimiliki bersama yang didapat oleh kelompok ketika memecahkan masalah penyesuaian eksternal dan integrasi internal yang telah berhasil dengan cukup baik untuk dianggap sah dan oleh karena itu, diharapkan untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang tepat untuk menerima, berpikir, dan merasa berhubungan dengan masalah tersebut (Veithzal, 2008).

Susanto (2006) memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi kedalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. Menurut Davis (1984) dalam Hasbi (2010), budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi.

Ndraha (2003:4) dalam Brahmasari (2004:12) mengemukakan bahwa budaya perusahaan (corporate culture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi (organizational culture) terhadap badan usaha atau perusahaan. Kedua istilah ini sering dipergunakan untuk maksud yang sama secara bergantian.

Dimensi Dalam Penghargaan Intrinsik

Decenzo dalam Sedarmayanto (2009) membagi penghargaan/imbalan dalam dua aspek, yakni pertama, penghargaan/imbalan intrinsik yang mencangkup : partisipasi dalam pengambilan keputusan, diskresi dan kebebasan yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih, pekerjaan yang lebih menarik, kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, penganekaragaman.

Selanjutnya Robbins (2002) membagi jenis penghargaan intrinsik yakni :

  1. Membuat keputusan partisipatif.
  2. Memiliki tanggung jawab yang lebih banyak.
  3. Kesempatan untuk mengembangkan diri.
  4. Kebebasan kerja dan kebebasan memilih yang lebih besar.
  5. Pekerjaan yang lebih menarik.
  6. Perbedaan yang beragam.

Menurut Gibson, et all. dalam Indrio Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita (2008),penghargaan  instrinsik terdiri dari :

Kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik merupakan hal yang penting bagi semua orang. Orang-orang tersebut memberi arti atas penyelesaian tugasnya. Dampak yang dirasakan seseorang dengan penyelesaian tugasnya dengan baik adalah penghargaan  terhadap dirinya.

  1. Pencapaian Prestasi

Pencapaian prestasi berkaitan dengan kemampuan untuk menyelesaikan tujuan yang menantang (challenging goal). Sebagian orang menyenangi tujuan-tujuan yang menantang (tujuan yang cukup berat tetapi masih mungkin tercapai), dan sebagian lagi menyenangi tujuan yang moderat maupun rendah. Menurut Lock dalam motivasi penetapan tujuan, bahwa penetapan tujuan yang menantang dapat meningkatkan prestasi kerja. Untuk itu program pencapaian prestasi yang dilakukan oleh organisasi harus mempertimbangkan perbedaan kemampuan bawahan.

  1. Otonomi

Banyak orang merasa puas bekerja jika mereka diberi kebebasan dalam pelaksanaan tugasnya dan diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam batas-batas tertentu bawahan diberi kebebasan untuk melakukan yang terbaik menurut mereka. Mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dalam kaitannya dengan keputusan yang akan diambil.

  1. Pertumbuhan Pribadi

Pertumbuhan pribadi pada dasarnya berkaitan dengan kemampuan dan peluang yang tersedia bagi karyawan untuk mengembangkan keahlian dan karirnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan  pertumbuhan pribadi dapat dilakukan dengan cara membuat mekanisme atau aturan pengembangan karir yang jelas dan diketahui oleh para anggota organisasi.

Pengertian Penghargaan Intrinsik

Sistem penghargaan intrinsik berisi penghargaan yang berasal dari respon individu terhadap pekerjaan itu sendiri (berasal dari satu transaksi antara satu individu dengan tugasnya, tanpa ikut serta pihak ketiga). Artinya, penghargaan intrinsik ditentukan oleh individu dalam interaksinya dengan pekerjaannya. Sebagai contoh, penghargaan intrinsik dapat berupa rasa tanggung jawab, rasa tertantang, rasa unggul, rasa mengontrol, rasa berpartisipasi, dan lain sebagainya (Siswanto, 2003).

Ivancevich, Konopaske dan Mattenson (2006:230) mengartikan imbalan intrinsik sebagai penghargaan yang diatur sendiri oleh seseorang. Imbalan intrinsik menyediakan rasa puas atau terima kasih, sering kali perasaan bangga akan pekerjaan yang dilakukan dengan baik dan juga tantangan yang ada pada suatu perkerjaan tersebut. Tantangan pekerjaan diperlukan karena merupakan bahan bakar yang sangat dahsyat dalam pencapaian sesuatu tujuan dalam organisasi.

Menurut Henry Simamora (2004).Penghargaan intrinsik adalah penghargaan yang dinilai di dalam dan dari mereka sendiri. Penghargaan intrinsik bersifat internal bagi individu dan normalnya berasal dari keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas atau tugas tertentu. Penghargaan intrinsik melekat/inheren pada aktivitas itu sendiri, dan pemberiannya tidak tergantung pada kehadiran atau tindakan orang lain atau hal lainnya. Sedangkan menurut Indrio Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita (2000), Penghargaan  intrinsik adalah penghargaan  yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri atau penghargaan  yang merupakan bagian dari pekerjaan itu sendiri.

Dimensi dalam Ambiguitas Peran

Khan, dkk. (2004); Rizzo, House dan Ritzman (1970); menyetujui adanya empat dimensi ambiguitas peran yang mungkin dialami oleh pemegang peran dan berdasar pada persepsi dari pemegang peran. Keempat dimensi tersebut adalah :

  1. Ambiguitas harapan, yakni apa yang diharapkan, apa yang harus dilakukan.
  2. Ambiguitas proses, yakni bagaimana caranya menyelesaikan tugas yang diberikan, bagaimana caranya mencapai tujuan organisasi.
  3. Ambiguitas prioritas, kapan sesuatu tugas harus dilaksanakan dan dengan cara apa.
  4. Ambiguitas perilaku, bagaimana saya mengharapkan untuk bertindak dalam berbagai situasi? Perilaku apa yang bisa membawa saya menghasilkan hasil yang dibutuhkan?

Berdasar dari beberapa penelitian tentang ambiguitas peran sebelumnya, Singh, dkk (1996) menyebutkan ada empat aspek yang menyebabkan terjadinya ambiguitas peran. Keempat aspek ini mungkin sering dialami oleh pekerja. Keempat aspek itu adalah :

  1. Ambiguitas harapan.

Seorang pekerja yang tidak tahu tentang apa yang seharusnya dilakukan.

  1. Ambiguitas prioritas.

Karena seorang pekerja tidak menguasai bidang yang diberikan padanya, maka kapan pekerjaan itu harus selesai dia tidak tahu.

  1. Ambiguitas proses.

Seorang pekerja yang tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan pekerjaannya.

  1. Ambiguitas perilaku.

Perilaku macam apa yang harus ditunjukkan untuk menyelesaikan pekerjaannnya.

Babin & Boles (1998, h.89), menyebutkan indikator-indikatordari ambiguitas peran dan mendefinisikannya sebagai berikut :

  1. Otoritas (wewenang).

Seorang pekerja tidak mengetahui dengan jelas wewenang apa sajayang diemban olehnya dalam menjalankan pekerjaan.

  1. Tujuan atau sasaran.

Seorang pekerja tidak mengetahui tujuan atau sasaran pekerjaan yang direncanakan dengan baik dan jelas.

Seorang pekerja tidak mengetahui apa yang diharapkan oleh pihak atau orang lain dari pekerjaannya.

  1. Tanggung jawab.

Seorang pekerja tidak mengetahui tanggung jawab yang diemban berkaitan dengan pekerjaannya.

  1. Gambaran pekerjaan.

Seorang pekerja tidak mengetahui dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Pengertian Ambiguitas Peran

Beberapa ahli mendefinisikan ambiguitas peran dengan kalimat yang berbeda-beda namun kebanyakan memiliki persamaan arti pokoknya. Para ahli tersebut mendefinisikan ambiguitas peran sebagai keadaan kurangnya informasi yang jelas mengenai tanggungjawab dan harapan dari suatu jabatan, yang dibutuhkan bagi pemegang peran (role incumbent) untuk dapat berkinerja dengan memadai sesuai peran yang dipegangnya (Kahn, dkk., 2004), Klenke-Hamel & Mathieu (2000). Kahn dkk., berargumen bahwa stresor peran ditimbulkan dari lingkungan sosial yang diciptakan oleh organisasi. Mereka memandang bahwa organisasi adalah suatu jaringan peran yang saling berkait denganpemberi peran yang muncul dari berbagai tempat dalam organisasi. Top management, supervisor menengah dan teman sekerja serta anggota tim akan mungkin berfungsi sebagai pemberi peran (role sender) untuk seorang pemegang peran, (Kahn, dkk. 2004).

Peterson dkk.(2005), memperluas definisi ambiguitas peran dengan memasukkan ketidakpastian akan tindakan yang harus diambil untuk memenuhi tuntutan peran tersebut. Ritzer (2006) mengatakan bahwa masyarakat saat ini terus berkembang dan bergerak ke arah makin kompleksnya peran serta terjadi proses pelembagaan peran. Katz dan Kahn (1978) mengatakan bahwa pergeseran pada pemberi peran, yang muncul pada saat organisasi mengubah strategi ataupun struktur, misalnya, berubah ke arah orientasi tim, dan fungsi tim menggantikan peran supervisor, sama artinya dengan perubahan dalam identitas peran yang bisa diperkirakan dapat menimbulkan ambiguitas peran. Menghadapi perubahan peran, tanggung jawab tugas yang beraneka-ragam dan baru, serta kemajuan teknologi, seorang pekerja atau pemegang peran mendapati dirinya berada dalam situasi yang ambigu. (Huber, 2001).

Analisis SEM (Structure Equation Modeling)

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model kausalitas, dimana untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah SEM (Structure Equation Modeling) yang dioperasikan melalui program AMOS 16.0. Permodelan penelitian dengan menggunakan SEM memungkinkan seorang peneliti dapat menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat dimensional dan regresi.

Penelitian ini menggunakan dua macam teknik analisis yaitu :

  1. Analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis)

Analisis faktor konfirmatori pada SEM digunakan untuk mengkonfirmasikan faktor-faktor yang paling dominan dalam satu kelompok variabel. Pada penelitian ini analisis faktor konfirmatori digunakan untuk menguji indikator yang membentuk gaya kepemimpinan, budaya organisasi, komitmen organisasional dan kinerja karyawan.

 

 

  1. Regression weight

Regression weight pada SEM digunakan untuk meneliti seberapa besar pengaruh hubungan variabel-variabel yang secara teoritis ada. Dalam penelitian ini variabel-variabel tersebut terdiri dari Kualitas Pelayanan, Kredibilitas Organisasi,  Kepuasan Pelanggan, dan Kepercayaan Konsumen sehingga pada penelitian ini regression weight digunakan untuk menguji hipotesis H1,H2,H3,H4.

Ferdinand (2006 : 82), menyatakan terdapat tujuh langkah yang harus dilakukan apabila menggunakan permodelan SEM. Sebuah permodelan SEM yang lengkap pada dasarnya terdiri dari measurement model dan structural model. Measurement model atau model pengukuan ditujukan untuk mengkonfirmasi dimensi-dimensi yang dikembangkan pada sebuah faktor. Structural model adalah model mengenai struktur hubungan yang membentuk atau menjelaskan kausalitas antara faktor.

Untuk membuat permodelan yang lengkap beberapa langkah berikut perlu dilakukan :

  1. Mengembangkan teori berdasarkan model

SEM berdasarkan pada hubungan sebab akibat, dimana perubahan yang terjadi pada satu variabel diasumsikan untuk menghasilkan perubahan pada variabel yang lain.

 

  1. Membentuk sebuah diagram alur dari hubungan kausal

Langkah berikutnya adalah menggambarkan hubungan antara variabel pada sebuah diagram alur yang secara khusus dapat membantu dalam menggambarkan serangkaian hubungan kausal antar konstruk dari model teoritis yang telah dibangun pada tahap pertama. Adapun dalam menyusun bagan alur digambarkan dengan hubungan antara konstruk melalui anak panah. Anak panah yang digambarkan lurusmenyatakan hubungan kausal yang langsung antara satu konstruk dengan konstruk lainnya. Sedangkan garis-garis lengkung yang terdapat antar konstruk dengan anak panah pada setiap ujungnya menunjukkan korelasi antar konstruk.

Ferdinand (2006 : 93), menyatakan konstruk-konstruk yang dibangun dalam diagram alur dapat dibedakan dalam dua kelompok konstruk yaitu :

  1. Konstruk eksogen, dikenal juga sebagai source variables atau independent variables yang tidak di prediksi oleh variabel yang lain dalam model. Konstruk eksogen adalah konstruk yang dituju oleh garis dengan satu ujung panah.
  2. Konstruk endogen, merupakan faktor-faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa konstruk. Konstruk endogen dapat memprediksi satu atau beberapa konstruk endogen lainnya, tetapi konstruk eksogen hanya dapat berhubungan kausal dengan konstruk endogen.

 

  1. Mengubah alur diagram ke dalam persamaan struktural dan model pengukuran. Pada langkah ketiga ini, persamaan struktural dan model pengukuran yang spesifik siap dibuat yaitu dengan mengubah diagram alur ke model pengukuran. Persamaan yang dibangun dari diagram alur yang dikonversi terdiri dari :
  2. Persamaan struktural, yang dirumuskan untuk menyatakan hubungan kausalitas, bahwa setiap konstruk endogen merupakan variabel dependen yang terpisah. Sedangkan variabel independen adalah semua konstruk yang mempunyai garis dengan anak panah yang menghubungkan ke konstruk endogen, dengan pedoman sebagai berikut :

Variabel endogen = variabel eksogen + variabel endogen + error

  1. Memilih matriks input dan estimasi model

Hair et al (1995), menyarankan agar menggunakan matriks varians/kovarians pada saat pengujian teori sebab matriks varian/kovarians lebih memenuhi asumsi metodologi dimana standar error yang dilaporkan menunjukkan angka yang lebih akurat dibandingkan dengan matriks korelasi (dimana dalam matriks korelasi rentang umum berlaku antara 0 s/d 1)

Ukuran sampel yang sesuai adalah antara 100-200 karena ukuran sampel akan menghasilkan dasar estimasi kesalahan sampling. Program computer yang digunakan untuk mengestimasi model adalah program AMOS 16.0 dengan menggunakan teknik maximum likelihood estimation.

  1. Menganalisis kemungkinana munculnya masalah identifikasi

masalah identifikasi adalah ketidakmampuan model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang baik. Bila estimasi tidak dapat dilakukan maka software AMOS 16.0. akan memunculkan pesan pada monitor computer tentang kemungkinan penyebabnya.

Salah satu cara untuk mengatasi identifikasi adalah dengan memperbanyak constrain pada model yang dianalisis dan berarti sejumlah estimated coefficient di eliminasi.

  1. Mengevaluasi kriteria goodness-of-fit

Pada langkah ini dilakukan evaluasi terhadap kesesuaian model melalui telaah terhadap berbagai kriteria goodness-of-fit, urutannya adalah :

  1. Asumsi-asumsi SEM

Tindakan pertama adalah mengevaluasi apakah data yang digunakan dapat memnuhi asumsi-asumsi SEM, yaitu :

  1. Ukuran sampel
  2. Normalitas dan linearitas
  3. Outliers
  4. Multikolinearitas dan singularitas

 

  1. Uji kesesuaian dan uji statistik

Beberapa indeks kesesuaian dan cut-off untuk menguji apakah sebuah model dapat diterima atau di tolak adalah :

  1. Chi-square statistic

Pengukuran yang paling mendasar adalah likehood ratio chi-square statistic. Model yang di uji akan dipandang baik apabila nilai chi-squarenya rendah karena chi-square yang rendah/kecil dan tidak signifikan yang diharapkan agar hipotesis nol sulit ditolak dan dasar penerimaan adalah probabilitas dengan cut-off value sebesar p ≥ 0,05 atau p ≥ 0,10 (Ferdinand, 2006 : 83).

  1. Probability

Nilai probability yang dapat diterima adalah p ≥ 0,05

  1. Goodness-of-fit (GFI)

Indeks ini akan menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarian sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan. GFI adalah sebuah ukuran non statistical yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai dengan 1,0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks menunjukkan sebuah “better fit”.

 

 

  1. Adjusted goodness-of-fit index (AGFI)

Tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah apabila AGFI mempunyai nilai sama dengan atau lebih besar dari 0,90 (Hair, et al. 1995). Nilai sebesar 0,95 dapat di interpretasikan sebagai tingkatan yang baik-good overall model fit sedangkan besaran nilai antara 0,9 – 0,95 menunjukkan tingkatan cukup – adequates fit.

  1. Comparative fit index (CFI)

Besaran indeks ini adalah pada rentang nilai sebesar 0 – 1, dimana semakin mendekati 1, mengindikasikan tingkat fit yang paling tinggi – a very good fit (Arbuckle, 1997). Nilai yang direkomendasikan adalah CFI ≥ 0,95.

  1. Tucker lewis index (TLI)

TLI adalah sebuah alternatif increamental fit index yang membandingkan sebuah model yang di uji terhadap sebuah baseline model. Nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah penerimaan ≥ 0,95 (Hair, 1995) dan nilai yang sangat mendekati I menunjukkan a very good fit (Arbuckle, 1997).

  1. The minimum sample discrepancy function (CMIN)

Dibagi dengan Degree of Freedom (DF). CMIN/DF adalah salah satu indikator untuk mengukur tingkat fitnya sebuah model. Dalam hal ini CMIN/DF tidak lain adalah Chi-Square dibagi DF atau Chi-Square Relatif (=X2 relatif). Nilai X2 Relatif ≤ 2.

  1. The root mean square error of approximation (RMSEA)

RMSEA adalah sebuah indeks yang dapat digunakan untuk mengGaya Kepemimpinan chi-square statistic dalam sampel yang besar. Nilai RMSEA menunjukkan goodness of fit yang dapat diharapkan apabila model di estimasi dalam populasi. Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu berdasarkan degrees of freedom (Brown, 1993 dalam Augusty, 2000).

 

Berikut tabel 3.3. adalah ringkasan beberapa fit index yang diuraikan di atas :

Tabel 3.2.

Goodness of Fit Index

Goodness of fit index Nilai batas
Chi square < X2 ; α = 0,05
Significant probability ≥ 0,05
GFI ≥ 0,90
AGFI ≥ 0,90
CFI ≥ 0,95
TLI ≥ 0,95
CMIN/DF ≤ 2,0
RMSEA ≤ 0,08

 

  1. Intrepretasi dan modifikasi model

Pada tahap selanjutnya model di intrepretasikan dan dimodifikasi. Bagi model yang tidak memenuhi syarat pengujian yang dilakukan. Setelah model di estimasi, residual kovariansnya haruslah kecil atau mendekati nol dan distribusi frekuensi dari kovarians residual harus bersifat simetrik. Batas kemanan untuk jumlah residual yang dihasilkan oleh model adalah 5%. Nilai residual values yang lebih besar atau sama dengan 2,58 di interpretasikan sebagai signifikan secara statis pada tingkat 1% dan residual yang signifikan ini menunjukkan adanya prediction error yang substansial untuk sepasang indikator.

 

Uji Reliabilitas

Setelah kesesuaian model diuji, evaluasi lain yang harus dilakukan adalah penilaian unidimensionalitas dan reliabilitas. Unidimensionalitas adalah sebuah asumsi yang digunakan dalam menghitung reliabilitas dari model yang menunjukkan bahwa dalam sebuah model satu dimensi, indicator yang digunakan memiliki derajad kesesuaian yang baik. Pendekatan yang dianjurkan dalam menilai sebuah model pengukuran adalah menilai besaran composite reliability serta variance extracted dari masing-masing konstruk. Reliabilitas adalah ukuran mengenai konsistensi internal dari indikator sebuah konstruk yang menunjukkan derajad sampai dimana masing-masing indikator itu mengindikasikan sebuah konstruk atau faktor laten yang umum. Nilai batas yang digunakan untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas yang dapat diterima adalah 0,70. Artinya bila penelitian yang dilakukan bersifat eksploratori maka nilai dibawah 0,70 pun masih dapat diterima sepanjang disertai dengan alasan-alasan empirik yang terlihat dalam eksploratori. Validitas menyangkut tingkat yang dicapai oleh sebuah indikator dalam menilai sesuatu atau akuratnya pengukuran atas apa yang seharusnya diukur.

Word-of-Mouth (WOM)

Secara harfiah, bentuk komunikasi dari mulut ke mulut (Word-of-Mouth) sesungguhnya sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat. Dalam istilah tradisional Jawa, WOM dikenal dengan ungkapan gethok tular yang prinsipnya agar berita, pemberitahuan, undangan, dan jenis informasi lainnya mudah disebarluaskan secara lisan. Filosofi WOM inilah yang kemudian diterapkan dalam pemasaran sebagai media komunikasi yang lebih hemat dan praktis, melengkapi peran dari media konvensional seperti iklan, publisitas, dan lain-lain.

Filosofi WOM adalah sebuah percakapan yang didesain secara online maupun offline, memiliki multiple effect, non-hierarki, horizontal, dan mutasional (Hasan, 2010). Dalam menciptakan Ekuitas Merek, tentunya perusahaan mengharapkan adanya WOM positif dari konsumen atas merek produk yang ditawarkan. WOM Positif merupakan bentuk dialog dan percakapan positif bersumber dari advokasi merek dan orang-orang (recommender) yang bersedia berpindah tempat untuk berbagi pendapat, pengalaman, dan antusiasme mereka terhadap suatu produk.

Buttle (2008) mengemukakan beberapa unsur yang menjadi ciri khas WOM, antara lain :

  • Valence; Valensi merupakan perbedaan sudut pandang yang terjadi antara perusahaan dan konsumen. Apa yang dipandang positif bagi perusahaan atas merek yang ditawarkan, bisa jadi merupakan hal yang negatif di mata konsumen, atau sebaliknya.
  • Focus; Perusahaan berfokus membangun dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan dengan pelanggan (sebagai mediator maupun end user), pemasok, karyawan, influencer, sumber rekrutmen, dan recommender.
  • Timing; WOM dapat terjadi pada sebelum maupun sesudah konsumsi. Pelanggan yang melakukan rekomendasi sebelum konsumsi disebut sebagai input WOM. Sedangkan pelanggan yang memberi rekomendasi pasca konsumsi/setelah adanya pengalaman disebut dengan output WOM.
  • Solicitation; Merupakan bentuk surat permohonan yang dapat disusun ketika jumlah recommender atas suatu merek sangat banyak. Namun, ketika sumber informasi hanya berasal dari seorang recommender, maka ia berperan sebagai otoritas WOM dan tidak memerlukan solisitasi.
  • Intervention; Meskipun WOM dapat tercipta secara spontan, tak jarang perusahaan yang tetap melakukan intervensi proaktif sebagai upaya mengelola aktivitas WOM tersebut.

Haywood (1989; dalam Stokes, 2002) mengemukakan bahwa WOM merupakan bentuk komunikasi lisan yang mudah meresap dan memberikan pengaruh, yang melibatkan adanya pertukaran informasi reguler antar individu maupun para pemangku kepentingan secara meluas. Pemasaran WOM adalah upaya memberikan alasan agar orang berbicara tentang merek suatu barang maupun jasa melalui bentuk komunikasi yang sederhana dan mudah (Szabo, 2009).

Menurut Word of mouth Marketing Association pengertian dari word of mouth adalah usaha meneruskan informasi dari satu konsumen ke konsumen lain (www.womma.org, 2010). Di dalam masyarakat word of mouth dikenal juga dengan istilah komunikasi dari mulut ke mulut. Komunikasi personal ini dipandang sebagai sumber yang lebih dapat dipercaya atau dapat diandalkan dibandingkan dengan informasi dari nonpersonal (Gremler dan Brown, 1994; Zeithml dan Bitner, 1996).

Word of mouth tidak dapat dibuat-buat atau diciptakan. Karena word of mouth dilakukan oleh konsumen dengan sukarela atau tanpa mendapatkan imbalan. Berusaha membuat-buat WOM sangat tidak etis dan dapat memberikan efek yang lebih buruk lagi, usaha tersebut dapat merusak brand dan merusak reputasi perusahaan.

WOM dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan atau malah mendatangkan masalah. Oleh karena itu menurut sifatnya WOM dapat dibagi menjadi dua yaitu :

  • WOM Positif

Bentuk WOM yang dapat timbul ketika produk yang sudah dikonsumsi berhasil memuaskan konsumennya. Konsumen yang terpuaskan belum tentu akan menceritakannya kepada orang lain. WOM positif baru akan muncul dari suatu pengalaman yang dianggap luar biasa oleh konsumen yang pada saat itu tingkat kepuasan emosionalnya tinggi. Artinya apa yang diperoleh konsumen setelah transaksi lebih tinggi dari harapannya. Sehingga tanpa diminta konsumen akan menceritakan pengalaman yang dirasakan pada orang terdekatnya.

  • WOM Negatif

WOM yang dapat timbul ketika produk yang dikonsumsi ternyata mengecewakan.  Merupakan suatu fenomena paling ditakutkan perusahaan karena seorang konsumen yang kecewa akan berbicara, tidak hanya ke orang-orang terdekatnya saja. Konsumen akan berusaha menyampaikan kekecewaannya ke sebanyakmungkin orang.

Word of Mouth berawal dari suatu bentuk yang timbul secara alamiah dan tidak didesain oleh perusahaan juga pemasar. Word of Mouth tersebut timbul karena keunggulan produk. Belakangan word of mouth ditujukan untuk menggantikan program komunikasi pemasaran konvensional seperti iklan yang kian kehilangan kredibilitasnya. Rahasia sukses word of mouth:

  1. Percakapan Langsung

Riset membuktikan bahwa manusia akan lebih tergerak dengan adanya rangsangan audio jika dibandingkan dengan rangsangan visual. Seseorang akan lebih mampu mengingat dengan jelas apa yang didengar dibanding apa yang dilihat. Karena alasan inilah sehingga percakapan langsung dengan konsumen akan memberikan rangsangan yang lebih baik jika dibandingkan dengan penyampaian secara visual.

  1. Kredibilitas dan Komunikasi Informal

Konsumen akan lebih percaya mengenai kualitas suatu produk atau merek jika yang mengatakan adalah kerabat atau sahabatnya karena mereka tidak berbicara dalam kapasitas seorang profesional perusahaan, tetapi cenderung sebagai teman. Ini berlangsung dalam bentuk komunikasi informal. Kerabat ataupun sahabat selalu berupaya menjaga nama baik mereka sehingga informasi yang mereka berikan cenderung jujur, relevan dan dapat dipercaya.

Hubungan antara variabel dan dimensi yang membentuknya tertuang dalam model sebagai berikut :

Keterangan :

X15     =  Selalu membicarakan kelebihan (berbicara positif) tentang

Organisasi

X16     =  Meyakinkan untuk datang ke Organisasi dan menikmati pelayanan

X17     =  Minat merekomendasikan organisasi pada orang atau pihak lain.

Keterangan :

X18     =  Selalu membicarakan kekurangan (berbicara negatif) tentang

Organisasi

X19     =  Meyakinkan untuk tidak datang ke Organisasi.

X20     =  Tidak akan merekomendasikan organisasi pada orang atau

pihak lain.

 

 

 

 

Kepercayaan Konsumen

 

Dalam konteks bisnis membaca fenomena yang seolah memaparkan semakin pentingnya relationship marketing selama dua dekade terakhir, konstruk kepercayaan telah menjadi semakin penting dalam berbagai industri. Sementara transaksional klasik pemasaran berbasis menempatkan penekanan yang jelas pada transaksi terisolir dan terpisah, hubungan pemasaran memandang kepercayaan sebagai alat untuk mengembangkan dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan untuk tujuan pihak yang terlibat (Palmatier, et al, 2006).

Beberapa penulis bahkan menyatakan bahwa “hubungan pemasaran dibangun di atas dasar kepercayaan” (Berry, 2000, hal. 242) dan bahwa ” Kepercayaan adalah pusat hubungan pemasaran yang sukses”. (Morgan dan Hunt, 1994, p. 22). Oleh karena itu, kepercayaan secara luas diterima sebagai variabel mediasi kunci dalam hubungan layanan (Ganesan, 1994;. Palmatier, et al, 2006).

Beberapa peneliti telah menyajikan berbagai upaya untuk mendefinisikan dan mengkonseptualisasikan kepercayaan. Banyak dari pendekatan ini dipengaruhi oleh Rotter (1967, hlm. 651), yang mendefinisikan kepercayaan atau trust sebagai “harapan yang dimiliki oleh  individu bahwa kata, janji, pernyataan lisan atau tertulis ataupun lainnya. Dapat diandalkan “Definisi ini mengungkapkan bahwa kepercayaan mencakup dua persyaratan dalam konteks bisnis.. Pertama, kepercayaan pelanggan atau harapan tentang karakteristik spesifik dari hubungan mitra, dan kedua, niat pelanggan untuk mengandalkan bahwa mitra, didasarkan pada keyakinan dikembangkan. Kebanyakan peneliti setuju bahwa kepercayaan dapat dipahami sebagai hubungan variabel, yang berhubungan dengan masa depan dan menyiratkan kerentanan tertentu trust (Moorman et al, 1993;. Morgan dan Hunt, 1994; Garbarino dan Johnson, 1999;. Grayson et al, 2008).

Kepercayaan merupakan pondasi dari bisnis. Suatu transaksi bisnis antara dua pihak atau lebih akan terjadi apabila masing-masing saling mempercayai. Kepercayaan (trust) ini tidak begitu saja dapat diakui oleh pihak lain/mitra bisnis, melainkan harus dibangun mulai dari awal dan dapat dibuktikan. Kepercayaan telah dipertimbangkan sebagai katalis dalam berbagai transaksi antara penjual dan pembeli agar kepuasan konsumen dapat terwujud sesuai dengan yang diharapkan (Yousafzai et al., 2003).

Beberapa literatur telah mendefinisikan kepercayaan dengan berbagai pendekatan (Mukherjee dan Nath, 2003). Pada awalnya kepercayaan banyak dikaji dari disiplin psikologi, karena hal ini berkaitan dengan sikap seseorang. Pada perkembangannya, kepercayaan menjadi kajian berbagai disiplin ilmu (Riegelsberger et al., 2003; Murphy dan Blessinger, 2003; Kim dan Tadisina, 2003), termasuk menjadi kajian dalam ecommerce.

Menurut Yousafzai et al. (2003) setidaknya terdapat enam definisi yang relevan dengan aplikasi e-commerce. Hasil identifikasi dari berbagai literature tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

  • Rotter (1967) mendefinisikan kepercayaan adalah keyakinan bahwa kata atau janji seseorang dapat dipercaya dan seseorang akan memenuhi kewajibannya dalam sebuah hubungan pertukaran.
  • Morgan dan Hunt (1994) mendefinisikan bahwa kepercayaan akan terjadi apabila seseorang memiliki kepercayaan diri dalam sebuah pertukaran dengan mitra yang memiliki integritas dan dapat dipercaya.
  • Mayer et al. (1995) mendefinisikan kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada kemampuannya untuk mengawasi dan mengendalikannya.
  • Rousseau et al. (1998) mendefinisikan kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perhatian atau perilaku yang baik dari orang lain.
  • Gefen (2000) mendefinisikan kepercayaan adalah kemauan untuk membuat dirinya peka pada tindakan yang diambil oleh orang yang dipercayainya berdasarkan pada rasa kepercayaan dan tanggung jawab.
  • Ba dan Pavlou (2002) mendefinisikan kepercayaan adalah penilaian hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu menurut harapan orang kepercayaannya dalam suatu lingkungan yang penuh ketidak-pastian.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dinyatakan bahwa trust adalah kepercayaan pihak tertentu terhadap yang lain dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa orang yang dipercayainya tersebut akan memenuhi segala kewajibannya secara baik sesuai yang diharapkan.

Dalam penelitian ini, hubungan antara variabel dan dimensi yang membentuknya tertuang dalam model sebagai berikut :

Keterangan :

X12     =  Kepercayaan terhadap kemampuan dalam memberikan pelayanan atau service

X13     =  Kepercayaan terhadap kejujuran organisasi

X14     =  Kepercayaan terhadap tanggung jawab Organisasi

 

Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)

Spreng dan MacKoy (1996) mencatat bahwa literatur tentang kepuasan dan kualitas pelayanan telah menekankan pada konsep bahwa pelanggan akan membuat perbandingan antara kinerja pelayanan dan standar tertentu terkait layanan tersebut. Sedangkan Santos dan Boote (2003) berpendapat bahwa baiknya kualitas layanan dan kepuasan konsumen hendaknya menjadi landasan dan bagian bersama untuk mengukur relatifitas ekspektasi konsumen dan hubungan timbal balik mereka dengan evaluasi persepsi, seharusnya secara teoritis mungkin untuk melintasi-memupuk konsep yang berkaitan dengan harapan konsumen dari kualitas pelayanan menjadi panduan utama kepuasan konsumen.

Cronin dan Taylor (1994), bagaimanapun, menunjukkan bahwa literatur ini telah konsisten dalam konseptualisasi konstruksi ini. Iacobucci et al. (1994b), apalagi, percaya bahwa ketidakkonsistenan ini telah mengakibatkan kesulitan konseptual dan kebingungan yang membatasi kemajuan pembangunan teoritis untuk menilai atau mengukur kepusan konsumen.

Oliver (1981) menegaskan bahwa “kepuasan adalah ringkasan keadaan psikologis yang dihasilkan ketika emosi yang mengelilingi harapan dibenarkan digabungkan dengan perasaan sebelum konsumen pada saat melakukan atau mengkonsumsi” (hal.27). Parasuraman et al. (1988) pada dasarnya setuju dengan penilaian Oliver dan menganggap kriteria mirip dengan kualitas layanan – menginformasikan bahwa kualitas pelayanan yang dirasakan adalah penilaian global seperti sikap, sedangkan kepuasan menemukan spesifik dan dengan demikian lebih terkait untuk transaksi individual.

Cronin dan Taylor (1992) mengamati bahwa perbedaan antara kepuasan dan kualitas layanan penting bagi manajer dan peneliti, dalam penyedia layanan harus menentukan apakah tujuan utama mereka harus memberikan tingkat tinggi kualitas layanan untuk memuaskan pelanggan dengan kinerja mereka. Meskipun dalam banyak kasus nampaknya kedua tujuan akan berjalan seiring. Spreng dan Singh (1993) membuat argumen bahwa menyediakan tingkat tinggi kualitas pelayanan selama pertemuan layanan kemungkinan akan menghasilkan pelanggan yang puas, sehingga perbedaan antara dua konstruksi mungkin tidak begitu penting.

Cronin dan Taylor (1992), bagaimanapun, mengandaikan bahwa persepsi kualitas mungkin lebih penting daripada kepuasan dalam situasi keterlibatan tinggi, di mana hanya memenuhi persyaratan minimum pelanggan mungkin tidak cukup. Caruana (2002) yang bertentangan, menyatakan bahwa manajemen harus lebih memperhatikan kepuasan, dengan alasan bahwa ia memiliki pengaruh langsung lebih terhadap loyalitas pelanggan.

Kepuasan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya (Tjiptono, 2000). Seorang konsumen bersedia mengorbankan uang yang dimilikinya ketika sebuah produk mampu memenuhi harapannya. Kepuasan konsumen dapat merangsang pembelian ulang serta mengarah pada terciptanya loyalitas terhadap merek yang ditawarkan perusahaan (Zeithaml et.al, 1996). Kotler (2001:13) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan adalah suatu tingkat dimana perkiraan kinerja produk sesuai dengan harapan pembeli.

Umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk (barang atau jasa). Sedangkan kinerja yang dirasakan adalah persepsi pelanggan terhadap apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli. Lupiyoadi (2000) menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan, di antaranya :

  1. Kualitas Produk; pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.
  2. Kualitas Layanan; dalam industri jasa, pelanggan akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan.
  3. Perasaan Emosional; pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum padanya bila menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk, tetapi nilai sosial atau self-esteem yang membuat pelanggan menjadi puas menggunakan merek tertentu.
  4. Harga; produk dengan kualitas yang sama, tetapi memiliki harga yang relatif murah dan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya.
  5. Biaya; pelanggan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa, akan cenderung puas terhadap produk atau jasa tersebut.

Definisi mengenai kepuasan pelanggan bersifat sangat luas dan terus berkembang, disesuaikan dengan faktor-faktor pembentuk perilaku konsumen yang sifatnya unik. Dalam industri jasa, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dengan menghadirkan suasana yang menyenangkan, tak terduga, dan sulit dilupakan atau dengan kata lain perusahaan harus mampu menciptakan pengalaman positif yang kuat di benak pelanggan (Bitner, et.al 2000 : 146). Dalam penelitian ini, hubungan antara variabel dan dimensi yang membentuknya tertuang dalam model sebagai berikut :

 

Keterangan :

X9       =  Senang terhadap layanan yang diberikan

X10     =  Puas terhadap tarif yang ditetapkan

X11     =  Bangga dengan pelayanan yang diberikan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kredibilitas Perusahaan

 

Kredibilitas perusahaan berhubungan dengan reputasi yang dicapai perusahaan di pasar dan merupakan landasan untuk hubungan yang kuat. Jika pertanyaan atau tantangan terkait membangun reputasi perusahaan dibenturkan dalam kokteks realitas, maka membangun sebuah reputasi adalah sebuah pekerjaan yang melelahkan dan membutuhkan banyak energi.

Tentunya perusahaan tidak menginginkan ketika membangun reputasi dianalogikan seperti membangun sebuah istana pasir di tepi pantai, yang dalam prosesnya sangat lama, rumit, dan memerlukan kehati-hatian dalam membangaunnya, akan tetapi istana itu akan mudah hancur ketika ada ombak yang menerjangnya.

Maka diperlukan sebuah kekokohan tekad serta komitmen dari perusahaan tersebut untuk membangun reputasi tersebut. Hal ini yang mendasari bahwa mempertahankan reputasi perusahaan serta memeliharanya adalah sebuah keharusan, keharusan dan keharusan.

Problem yang acap kali dialami oleh perusahaan adalah sulitnya bagi perusahaan untuk mengembangkan  ikatan yang kuat dengan konsumen atau perusahaan lain jika tidak terlihat bisa dipercaya.

Kredibilitas perusahaan pada gilirannya bergantung pada tiga faktor (Kotler dan Keller, 2006), yaitu:

  1. Keahlian perusahaan (corporate  expertise) yaitu sejauhmana perusahaan terlihat mampu membuat dan menjual produk atau melakukan layanan.
  2. Kepercayaan perusahaan (corporate  trustworthiness) yaitu sejauhmana perusahaan tampak  termotivasi untuk mejadi jujur, bergantung dan peka terhadap kebutuhan pelanggan.
  3. Daya tarik perusahaan (corporate  attractiveness) yaitu sejauhmana perusahaan terlihat disukai, menarik, bergengsi, dinamik, dan lain-lain.

Bagi perusahaan tau institusi bisnis ketiga faktor tersebut diatas memang perlu diperhatikan dan menjadikannya blueprint dalam setiap aktivitas bisnis yang mereka lakukan. Tujuannya adalah agar perusahaan memiliki ikatan atau engagement dengan konsumen-konsumen mereka, patner bisnis serta komponen-komponen yang masuk dalam stakeholder mereka.

Perusahaan yang dapat dipercaya akan terlihat baik dalam apa yang dilakukannya. Perusahaan tetap mengingat kepentingan terbaik pelanggan dan senang untuk diajak bekerja sama. Kepercayaan  juga  adalah  penentu  utama  kredibilitas dan hubungan perusahaan dengan perusahaan lain.

Keterangan :

X6       =  Kejujuran organisasi dalam memberikan informasi serta layanan

X7       =  Organisasi memiliki citra yang baik

X8       =  Organisasi memiliki reputasi yang baik.

Kredibilitas Organisasi (Organizational Credibility)

Kredibilitas sebuah lembaga, organisasi atau institusi, mungkin sama esensinya dengan kredibilitas yang ada di dalam perusahaan. Karena sama kredibilitas dalam organisasi juga sama-sama selalu memprioritaskan bagaimana setiap lini dalam organisasi tersebut merupakan memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Kredibilitas perusahaan juga memeliki makna yang sama dengan kredibilitas yang ada dalam organisasi.

Biasanya dalam perusahaan untuk memaksimalkan efektivitas periklanan, para marketer dan para peneliti yang memiliki konsentrasi dalam bidang marketing, hendaknya berusaha keras untuk mengerti hubungan yang sangat erat atau keterikatan antara kredibilitas perusahaan dengan perilaku konsumen. Menurut Harding Frank (1999), kredibilitas perusahaan merupakan salah satu kunci yang sangat pokok untuk mencapai kesuksesan dalam dunia bisnis, ini merupakan konsep bisnis yang memerlukan kehati-hatian.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa, kredibilitas organisasi atau perusahaan memainkan peran yang cukup penting dalam mempengaruhi sikap dan keputusan membeli (Laferty & Goldsmith, 1999; Goldsmith et.al, 2000). Selain itu juga penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, menyebutkan kredibilitas perusahaan sebagai  kredibilitas pengiklan (Lutz et.al, 1983; Lutz, 1985; Mackenzie dan Lutz, 1989), reputasi pengiklan (Goldberg dan Hartwick, 1990), dan  yang terbaru, sebagai determinan dari reputasi perusahaan (Fombrun, 1996; Keller, 1998).

Kredibilitas organisasi atau perusahaan merupakan bagian dari image atau reputasi positif perusahaan atau organisasi itu sendiri (Gregory 1991; Sobol et al. 1992 Fombrun 1996; Keller 1998). Sebuah image perusahaan adalah keseluruhan dari kesan-kesan perusahaan yang dibuat dalam benak konsumen yang baik, baik itu dalam bentuk nama perusahaan ataupun logo dari perusahaan tersebut (Pope and Voges 1999).

Kredibilitas perusahaan atau yang mana menyangkut konsumen, investor, dan berbagai macam konstituen yang mempercayai serta akan expertise atau keahlian perusahaan, dapat meningkatkan image dari perusahaan (Fombrun 1996).

Sebuah kredibilitas perusahaan dapat terancam ketika, di dalam perusahaan tersebut diduga melakukan hal yang dapat membahayakan konsumen melalui aktivitas produksinya, ataupun memiliki mutu yang rendah (inferior product). Ketika perusahaan tersebut membohongi konsumen-konsumen mereka ataupun yang lain, atau juga ketika perusahaan tersebut melakukan pelanggaran  hukum ataupun norma dan etika (Fombrun 1996)

Kredibilitas perusahaan memainkan peran dan fungsi dalam hal kecakapan perusahaan atau kemampuan perusahaan dalam menjamin pinjaman atau investasi yang diberikan oleh peminjam dan investor, serta dapat membangun kepercayaan terhadap partnerships dan market product yang mereka bidik (Gregory 1991; Haley 1996).

Kredibilitas perusahaan sangat penting untuk membentuk identitas perusahaan atau corporate identity (Stuart and Kerr 1999). Konsumen yang menganggap sebuah perusahaan memiliki kredibilitas tinggi kemungkinan besar akan meng-evaluasi kegiatan periklanan-periklanan perusahaan dengan baik dan cermat, kemudian akan membeli produk-produk dari perusahaan (Keller 1998).

Goldsmith et al. (2000) menggambarkan hubungan kausalitas antara kredibilitas perusahaan dan kredibilitas endorser dalam konteks variable tersembunyi atau latent variables dalam DMH model. Pengembangan pada model yang mereka ajukan menjadi dasar dan awal dari studi yang mengarahkan pada hubungan antara Aad advertisement, AB attitude to Buy dan PI atau purchasing Intention (Lafferty and Goldsmith 1999).

Sedangkan pada studi yang dilakukan oleh Goldsmith memberikan penekanan pada pengujian secara empirik The Dual Credibility  Model (DCM) (Goldsmith 2000). Dalam konteks advertising dan mengarahkan pada theoretical, managerial, dan methodological implikasi dari yang mereka temukan (Goldsmith 2000).

Kredibilitas perusahaan didefinisikan oleh Keller (1998) sebagai seberapa jauh konsumen percaya bahwa suatu perusahaan bisa merancang dan menghadirkan produk serta jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Walaupun kurang dijabarkan secara spesifik, Keller juga secara konsisiten memasukkan kredibilitas perusahaan sebagai bagian atau determinan dari reputasi perusahaan.

Harding, Frank (1999) juga menambahkan, kadang-kadang kredibilitas ini juga merupakan sebuah fondasi untuk para investor, dan para stakeholder yang mana mencakup para karyawan (employees), para pelanggan (customers), para pemasok, komunitas lokal dan beberapa kelompok yang terlibat didalam aktivitas perusahaan pada dasarnya mereka mempercayai adanya influence atau pengaruh dari membangun dan menjaga kredibilitas perusahaan, agar perusahaan tersebut mencapai kesuksesan kedepannya[1].

Dari beberapa penelitian terbaru tentang kredibilitas perusahaan, rata-rata mengikuti model-model kredibilitas tradisional untuk konsep pengembangan perusahaannya tersebut (conceptual  development). Studi-studi kredibilitas sumberdaya dalam perusahaan sebagian besar disusun atau dibentuk oleh krdibilitas endorser ataupun juru bicara (spokesperson) dalam aktivitas periklanan /advertising, umumnya mengidentifikasi keahlian dan kepercayaan sebagai dua dimensi dasar sumberdaya kredilibilitas perusahaan tersebut (Ohanian 1990).

Kita tidak dapat menafikan bahwa kredibilitas perusahaan berhubungan dengan keahlian atau Expertise perusahaan dalam melaksanakan aktivitas bisnis mereka. Dalam kontek yang sama juga perusahaan akan mendapatkan tempat tersendiri di benak konsumen sebagai perusahaan yang kredibel dan dapat dipercaya.

Keahlian atau Expertise mengandung arti sejauh mana sumber daya yang dimiliki itu dianggap sebagai pengetahuan atau memiliki keterampilan yang relevan dengan materi pelajaran. Sedangkan kepercayaan mengacu pada kemampuan sumberdaya yang mereka miliki, apakah sumber dapat dipercaya untuk memberikan informasi atau pendapat secara obyektif dan jujur ​​( Belch and Belch 1994; Mc Ginnies and Ward 1980; Ohanian 1990).

Kredibilitas perusahaan adalah salah satu aspek dalam reputasi perusahaan yang dianggap  berpengaruh bagi keberhasilan perusahaan (Fombrun, 1996; Newel, 2000). Reputasi perusahaan didefinisikan sebagai representasi perseptual dari gabungan kinerja masa lampau dan prospek masa depan perusahaan. Dan hal ini dinyatakan secara keseluruhan oleh kumpulan penilaian atau opini personal mengenai perusahaan yang bersangkutan (Fombrun, 1996)[2].

Sedangkan Whetten and Mackey (2002) menekankan bahwa kredibilitas perusahaan merupakan salah salah satu elemen yang sangat erat kaitannya dengan reputasi perusahaan. Pada  kesempatan yang sama, Whetten and Mackey (2002) mengungkapkan bahwa reputasi perusahaan atau organisasi adalah suatu jenis umpan balik, yang diterima oleh sebuah organisasi atau perusahaan dari para stakeholder, mengenai kredibilitas identitas organisasi atau perusahaan tersebut[3].

Tiga atribut kunci ditekankan oleh Fombrun (1996) untuk mendefinisikan reputasi adalah: (1) Reputasi didasarkan pada persepsi, Atribut yang pertama adalah bahwa konstruksi atribut ini didasarkan pada persepsi, ini berarti reputasi yang keluar dari perusahaan tertentu (Brown et.al, 1997).

Kemudian yang ke (2) itu adalah agregat persepsi dari semua pemangku kepentingan dalam organisasi atau perusahaan atau stakeholder; dan yang ke (3) adalah komparatif dari keduanya (Brown dan Longsdon, 1997; Wartick, 2002). Selain tiga atribut tersebut yang di sebut oleh Fombrun yang menjadi core untuk menancapkan reputasi perusahaan yang tentunya kelak akan memberi pengaruh terhadap kredibilitas perusahaan kedepannya, kemudian ada dua lagi atribut tambahan yang sering disebut-sebut dalam menentukan reputasi perusahaan itu baik itu reputasi positif atau negatif, serta stabil atau tidak.

Sedangkan atribut yang kedua Fombrun (1996: 37) menekan bahwa dalam pandangannya reputasi perusahaan sebagai estimasi keseluruhan dimana perusahaan dipegang oleh konstituennya. Konstituen yang dimaksud adalah konstituen seluruh stakeholder yang terlibat didalamnya. Fombrun (1996: 72) mendefinisikan bahwa reputasi adalah sebuah persepsi dan representasi dari tindakan masa lalu perusahaan dan prospek masa depan yang menggambarkan daya tarik keseluruhan elemen atau bagian yang ada dalam perusahaan untuk semua konstituen utamanya, dibandingkan dengan pesaing lainnya  atau rival mereka.

Kemudian Fombrun dan Van Riel (1997:10) mengungkapkan bahwa sebuah reputasi perusahaan merupakan representasi kolektif dari tindakan masa lalu perusahaan dan hasil yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk memberikan hasil yang berharga untuk para stakeholder. Ini menyangkut pengukuran kedudukan secara relatif pada suatu perusahaan, baik secara internal perusahaan dengan karyawan ataupun lingkungan eksternal atau dengan para stakeholder, ketika berada di lingkungan yang sangat kompetitif.

Seperti yang ditunjukkan oleh Fombrun (1996:59) karena reputasi bukan langsung di bawah kendali siapa pun, sulit untuk memanipulasi. Hal ini konsisten dengan argumen sebelumnya bahwa reputasi didasarkan pada persepsi agregat stakeholder baik internal maupun eksternal. Selain itu, penekanan pada persepsi menyoroti bahwa reputasi dapat berkembang agak independen dari realitas, dan dengan demikian dibentuk berdasarkan konstruksi sosial (Berger dan Luckmann,1966). Artinya, reputasi tidak perlu, dan mungkin tidak mungkin, benar benar faktual: atau tidak semua informasi yang disampaikan adalah akurat (Fombrun,1996: 70).

Ada pandangan lain terkait dengan kredibilitas perusahaan, yaitu kredibilitas perusahaan membentuk bagian dari citra atau reputasi perusahaan yang positif (Gregory, 1991; Sobal et.al, 1992; Fombrun, 1996;  Keller, 1998). Citra perusahaan adalah totalitas kesan yang dibuat perusahaan dalam benak konsumen dan ditunjukkan melalui nama atau logo perusahaan (Pope dan Voges, 1999). Kredibilitas perusahaan, adalah sejauhmana  konsumen, investor, dan stakeholder lainnya yakin pada kejujuran dan keahlian perusahaan, menyempurnakan bagian dari citra perusahaan (Fombrun, 1996).

 

Kualitas Layanan (Service Quality)

Kotler (2001) mendefinisikan layanan (jasa) sebagai kinerja yang ditawarkan atau dilakukan oleh seseorang atau organisasi pada orang lain. Layanan tersebut tidak berwujud suatu barang, tetapi dapat merupakan produk itu sendiri, atau pun terikat secara fisik pada barang tertentu.

Kualitas layanan umumnya divisualisasikan sebagai jumlah dari persepsi pelanggan dari pengalaman setelah mendapatkan pelayanan (Johns, 1992). Perbedaan antara kualitas pelayanan dan kepuasan persepsi kualitas layanan adalah penilaian global, atau sikap, yang berkaitan dengan keunggulan layanan. Sedangkan kepuasan berhubungan dengan transaksi tertentu (Parasuraman, Valarie, Zeithaml & Berry, 1988). Pelanggan membentuk ekspektasi layanan dari berbagai sumber, seperti pengalaman masa lalu pengalaman setelah mengkonsumsi atau menggunakan jasa, dari mulut ke mulut, dan dari iklan.

Secara umum, pelanggan membandingkan layanan yang dirasakan dengan pelayanan yang diharapkan (Voss, Parasuraman & Grewal, 1998). Jika pelayanan yang dirasakan berada di bawah pelayanan yang diharapkan, pelanggan tidak puas dan jika kualitas pelayanan yang dirasakan berada di atas tingkat yang diharapkan, menciptakan pelanggan yang puas (Andreassen, 1995).

Para marketer perlu memahami bahwa pelanggan lebih dari sekadar konsumen output kualitas layanan, mereka adalah co-produser kualitas proses (Gronroos & Ojasalo, 2004).

Menurut Berry, Parasuraman dan Zeithaml (1988) kualitas layanan telah menjadi pembeda yang signifikan dan senjata kompetitif yang paling kuat (Clow & Vorhies, 1993). Perusahaan sukses adalah perusahaan yang mampu meningkatkan manfaat dalam memberikan penawaran mereka, yang tidak hanya memuaskan pelanggan tetapi mampu memberikan surprise dan mampu membuat pelanggan bahagia. Memuaskan pelanggan adalah hal yang melebihi harapan (Rust & Oliver, 2002).

Penelitian tentang kualitas pelayanan telah dilakukan di berbagai aspek melalui waktu yang sangat panjang. Riset yang memadai dalam menyelenggarakan kualitas layanan telah disumbangkan oleh (Gronroos, 1982; Berry, Zeithaml, & Parasuraman, 1985; Parasuraman, Zeithaml, & Berry, 1985; Zeithaml, Parasuraman, & Berry, 1985; Brady & Cronin, 2001) dalam mengembangkan konsep kualitas pelayanan.

Terdapat  kebutuhan untuk perubahan konseptual yang akan dibangun sebagai konsep saat ini karena kualitas pelayanan tidak sesuai dengan situasi yang multidimensi di seluruh negara. (Cronin dan Taylor, 1992; Brady dan Cronin, 2001) dalam penelitian mereka ditegaskan bahwa ada kebutuhan untuk mengatasi aspek multidimensi kualitas layanan.

Pengukuran kualitas layanan di seluruh sektor jasa beberapa telah dieksplorasi oleh para peneliti seperti (Parasuraman et al, 1985; Parasuraman, Berry, & Zeithaml, 1991; Koelemeijer, 1991; Cronin & Taylor, 1992; Vandamme & Leunis, 1993; Parasuraman, Zeithaml, & Malhotra, 2005).

Meskipun SERVQUAL sebagai alat ukur yang digunakan dalam berbagai penelitian, itu disesuaikan agar sesuai sektor tertentu dan konteks tertentu pula, seperti ES-Qual untuk sektor elektronik dan SERVPERF untuk preferensi layanan. Oleh karena itu ada ruang untuk SERVQUAL dapat dimodifikasi lebih lanjut untuk umum sebagai standardisasi (Parasuraman et al, 1991). Masalah meningkatkan kualitas layanan di mana oleh organisasi dapat memperoleh keunggulan kompetitif telah diselidiki oleh (Reicheld dan Sasser, 1990; Berry, Zeithaml, Parasuraman &, 1990; Hensel, 1990; Berry, Parasuraman, & Zeith aml, 1994; Berry & Parasuraman , 1997; Glynn & Brannick, 1998; Johnston & Heineke, 1998; Harvey, 1998).

Kualitas pelayanan telah digunakan sebagai bahan dalam memahami perilaku konsumen. Sebuah perilaku konsumen positif pada kualitas layanan akan mengarah ke hasil yang lebih tinggi (Zahorik & Rust 1992, Boulding, Kalra, Staelin, & Zeith aml, 1993; Zeithaml, Berry, & Parasuraman, 1996; Liu, Sudharshan, & Hamer, 2000).

Parasuraman et al. (1988) menginformasikan bahwa kualitas layanan merupakan konstruk abstrak, terutama karena bersifat tidak berwujud (intangibility), beragam (heterogenitas), dan ketidakterpisahan antara produksi dan konsumsi yang unik untuk layanan. Oliver (1993) menguraikan bahwa ini adalah karena penggunaan layanan secara substansial berbeda dari konsumsi barang. Ringkasan hasil penelitian yang diuraikan Lovelock (1991) mengungkapkan bahwa karakteristik yang membedakan laayanan jasa dan konsumsi produk antara lain: a) layanan diberikan sebagai bentuk dari kinerja, b) pelanggan sering terlibat dalam proses produksi, c) pelanggan lain juga mungkin terlibat dalam proses produksi, d) kontrol kualitas hanya dapat dilakukan selama proses trasfer/pengiriman jasa tersebut, e) layanan tidak dapat diinventarisir, f) pengiriman adalah ‘real-time’, dan, g) saluran distribusi tidak ada atau terkompresi.

Konsep kualitas pelayanan mulai mendapat perhatian yang cukup besar pada awal tahun 1980 dengan tulisan-tulisan dari Gronroos (1982, 1984), Lehtinen dan Lehtinen (1982), Lovelock (1981) dan masih banyak lagi para peneliti yang melakukan penelitian terkait layanan (Steven M. Fehl, 2006).

Helson (1959) mengadopsi hipotesis teori tingkat yang menekankan bahwa seseorang akan merasakan rangsangan dalam kaitannya dengan standar pelayanan yang telah disesuaikan. “Standar merupakan fungsi dari persepsi stimulus itu sendiri, konteks, dan karakteristik psikologis dan fisiologis organisme” (Oliver, 1980, p.461). pada tingkat individu, layanan itu merupakan sebuah harapan tentang kinerja (atau layanan) produk sehingga dapat dianggap sebagai tingkat adaptasi bila diterapkan pada keputusan yang berkaitan dengan kepuasan. Harapan demikian dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama (Oliver, 1980). Ini menjadi salah satu dasar untuk memahami berbagai konsep saling terkait dengan kepuasan pelanggan serta kualitas pelayanan yang dirasakan.

Kualitas pelayanan telah disamakan dengan penilaian pelanggan tentang keunggulan penyedia keseluruhan layanan atau superioritas (Zeithaml, 1987). Konsisten dengan konsep keunggulan atau superioritas, Parasuraman et al. (1988) menyamakan persepsi kualitas layanan untuk menjadi penilaian global, mirip dengan sikap, dan berhubungan dengan keunggulan layanan. Mereka yakin bahwa ini bentuk sikap dari hasil perbandingan dari harapan dengan persepsi kinerja, dan berhubungan dengan kinerja organisasi tetapi tidak setara dengan kepuasan.

Oliver(1980) mengungkapkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari disconfirmation kinerja dari harapan diinginkan, Parasuraman, et al. (1985, 1988) kemudian mengajukan pandangannya bahwa kualitas pelayanan adalah fungsi dari perbedaan antara harapan dan kinerja sepanjang dimensi kualitas layanan yang diberikan. Dengan kata lain, mereka mengusulkan bahwa perbedaan antara kinerja yang dirasakan dan kinerja yang diharapkan pada akhirnya menentukan kualitas pelayanan secara keseluruhan dirasakan (Lee, Lee, & Yoo, 2000; Parasuraman et al, 1985;. 1988). Bolton dan Drew (1991a) mengeksplorasi bagaimana persepsi pelanggan mengintegrasikan layanan mereka untuk kemudian membentuk evaluasi keseluruhan layanan tersebut.

Temuan mereka menunjukkan harapan sebelumnya yang pelanggan, bersama dengan persepsi mereka terhadap kinerja saat ini, ditambah dengan pengalaman diskonfirmasi mereka mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan dengan layanan. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi penilaian pelanggan terhadap kualitas layanan.

Parasuraman, et.al (1991) mengemukakan bahwa kualitas layanan merupakan sebuah penilaian konsumen sebagai hasil membandingkan antara ekspektasi (harapan) terhadap layanan/jasa yang diberikan dengan persepsi mereka pada kinerja aktual layanan. Terdapat lima dimensi pokok yang umum digunakan dalam mengevaluasi jasa yang bersifat intangible terhadap suatu produk, di antaranya :

  • Tangibles (bukti langsung); yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan untuk sarana komunikasi. Bukti langsung atas layanan yang diberikan dapat berwujud penampilan dari petugas/staf yang bersih dan rapi, kebersihan, kenyamanan, serta keamanan gedung dan fasilitas.
  • Reliability (keandalan); yaitu kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Reliabilitas digunakan sebagai ukuran konsistensi, akurasi, dan keterikatan dalam memberikan layanan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan staf untuk meminimalisasi kesalahan informasi.
  • Responsiveness (ketanggapan); yaitu kemampuan untuk menolong pelanggan dan ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik. Ketanggapan digunakan untuk mengukur besarnya komitmen staf dalam memberikan layanan secara efektif. Ketanggapan juga berkaitan dengan efisiensi waktu yang digunakan staf dalam menangani pelanggan.
  • Empathy (empati); yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan, serta kemudahan untuk dihubungi. Empati berhubungan dengan kepedulian, pengertian, dan perhatian secara personal dari staf terhadap pelanggan.
  • Assurance (kepastian); yaitu pengetahuan, kesopanan, kredibilitas, keamanan, dan rasa hormat yang ditunjukkan oleh staf kepada pelanggan. Jaminan digunakan sebagai ukuran profesionalisme dari staf dan manajer (pengelola) dalam melakukan interaksi dengan pelanggan secara personal, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Di dalam mempertimbangkan penerapan kualitas layanan, perusahaan akan dihadapkan pada cara-cara untuk memposisikan dirinya dalam memahami nilai dasar pelanggan yang tercermin pada konsep kepuasan pelanggan yang kuat (Gwinner et.al, 1998). Peningkatan kualitas layanan memungkinkan perusahaan untuk menciptakan nilai pada merek yang ditawarkan sehingga dapat mewujudkan aspirasi konsumen secara efektif.

Penelitian berikutnya mengelompokan Indikator Kualitas Layanan dari dimensi yang telah dikemukakan oleh Parasuraman et.al (1991). Hubungan antara variabel dan dimensi yang membentuknya tertuang dalam model sebagai berikut :

Keterangan :

X1       =  Tangibles (bukti langsung); yaitu meliputi fasilitas fisik

X2       =  Reliability (keandalan); memberikan layanan sesuai dengan janji

X3       =  Responsiveness (ketanggapan); cepat dalam melayani pelanggan

X4       = Empathy (empati); yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan.

X5       = Assurance (kepastian); memiliki pengetahuan yang baik tentang produk atau jasa

 

 

Model Empiris Pengukuran Manajemen Laba

Model empiris bertujuan untuk mendeteksi manajemen laba, pertama kali
dikembangkan oleh Healy, De Angelo, Model Jones serta model Jones dengan
modifikasi :
1. Model Healy (1985) Healy mengembangkan manajemen laba dengan
menghitung nilai total akrual (TAC) dengan mengurangi laba akuntansi yang
diperolehnya selama satu periode tertentu dengan arus kas operasi periode
bersangkutan.
2. Model De Angelo (1986) Model De Angelo mengembangkan manajemen
laba juga dengan menghitung total akrual (TAC) dengan mengurangkan laba
akuntansi dengan arus periode bersangkutan.
3. Model Jones (1991) Jones menggunakan dua asumsi sebagai dasar
pengembangan, yaitu: (1) Akrual periode berjalan, yaitu perubahan dalam
rekening modal kerja, dimana hal tersebut merupakan hasil dari perubahan
yang terjadi di lingkungan ekonomi perusahaan yang dihubungkan dengan
perubahan penjualan, sehingga seluruh variable yang digunakan akan dibagi
dengan aktiva atau penjualan periode sebelumnya; dan (2) Gross property,
plant dan equipment merupakan salah satu komponen utama yang digunakan
untuk menghitung total akrual, khusunya untuk biaya depresiasi non
discretionary.
4. Model Jones Dimodifikasi (1995) Dechow, Sloan, dan Sweeney
menggunakan total akrual dan model regresi untuk menghitung akrual yang
diharapkan (expected accruals) dan akrual yang tidak diharapkan (unexpected
accruals). Model ini menggunakan discretionary accruals sebagai proksi
manajemen laba. Model ini mempunyai kelebihan dalam memecah total
akrual menjadi empat komponen utama akrual, yaitu discretionary current
accruals dan discretionary long-term accruals merupakan akrual yang
berasal dari aset lancar (current assets), sedangkan non-discretionary current
accruals dan non-discretionary long-term accruals merupakan akrual yang
berasal dari aset tidak lancar (fixed assets).
Berikut ini merupakan rumus dalam mendapatkan skala pengukuran
variabel untuk melakukan manajemen laba (Lucy,2016) :
∆ 𝐸 =𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 it − 𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 i (t−1)𝑀𝑎𝑟𝑘𝑒𝑡 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑖 (t−1)
Keterangan :
∆ 𝐸 = Manajemen laba
Net Income it = Laba bersih setelah pajak perusahaan i tahun t
Net Income i = Laba bersih setelah pajak tahun t
Market Value Equity= Dalam penelitian ini, menggunakan tingkat kapasitas
sebagai proksi market value of equity. Nilai kapasitas
tersebut diukur dengan mengalikan jumlah saham
beredar perusahaan i pada akhir tahun t-1dengan harga
saham perusahaan i pada akhir tahun t-1.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa,
Manajemen laba merupakan suatu kebijakan manajer dalam memanajemen laba
usaha perusahaan dengan cara menaikan atau menurunkan laporan keuangan
perusahaan guna kepentingan pelaporan eksternal yang bertujuan untuk
menguntungkan perusahaan itu sendiri dalam menarik para calon investor.
Apa yang dilakukan manajer itu bisa diterima, sejauh yang dilakukan
manajer masih dalam ruang lingkup prinsip akuntansi diterima umum. Atau
dengan kata lain, apabila manajemen laba yang dilakukan seseorang manajer
merupakan “permainan” memilih metode dan standar akuntansi yang sesuai
dengan kebutuhannya dan diungkapkan dalam laporan keuangan, maka tindakan
ini tidak dikategorikan sebagai kecurangan.

Manajemen Laba (Earning Management)

Menurut Sulistyanto (2014:47) menjelaskan manajemen laba dilakukan
manajer dengan alasan :
Harga pasar saham suatu perusahaan secara signifikan dipengaruhi oleh
laba, risiko, dan spekulasi. Oleh sebab itu, perusahaan yang labanya selalu
mengalami kenaikan dari periode ke periode secara konsisten akan
mengakibatkan risiko perusahaan ini mengalami penurunan lebih besar
dibandingkan presentase kenaikan laba. Hal inilah yang mengakibatkan
banyak perusahaan yang melakukan pengelolaan dan pengaturan laba
sebagai salah satu upaya untuk mengurangi risiko.
Menurut Ray H,dkk (2014) Manajemen Laba merupakan tahapan yang
dilakukan oleh organisasi bisnis untuk mencapai tingkat laba yang diharapkan.
Sebuah proses yang disebut perencanaan laba (profit planning). Perencanaan laba
dicapai melalui penyusunan sejumlah anggaran,yang apabila disatukan, induk
(master budget).
Manajemen laba (earning management) menurut Belkaoui (2007:201)
adalah perilaku yang dilakukan oleh manajer perusahaan untuk meningkatkan atau
menurunkan laba dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk
menguntungkan dirinya sendiri.
Sementara sebagaian yang lain menilai manajemen laba sebagai aktivitas
yang lumrah dilakukan manajer dalam menyusun laporan keuangan apalagi jika
upaya rekayasa manajerial ini dilakukan dalam ruang lingkup prinsip akuntansi
(Sulistyanto, 2014:48).
Definisi manajemen laba menurut Djamaluddin (2008:56) adalah
Perilaku yang dilakukan manajer menggunakan kebijakan (judment) dalam
pelaporan keuangan dan dalam mengubah laporan keuangan dan dalam
menyusun transaksi untuk mengubah laporan keuangan dan menyesatkan
stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan, atau untuk
mempengaruhi contractual outcomes yang tergantung pada angka
akuntansi yang dilaporkan.
Menurut (Lucy,2016) manajemen laba adalah
Suatu usaha yang dilakukan oleh manajemen untuk memanipulasi angkaangka akuntansi yang dilaporkan kepada pihak eksternal dengan tujuan
untuk keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara mengubah atau
mengabaikan standar akuntansi yang telah ditetapkan, sehingga
menyajikan informasi yang tidak sebenarnya.

Profitabilitas

Menurut Hery (2017:142) secara garis besar ada 5 (lima) jenis rasio
keuangan yang sering digunakan untuk menilai kondisi keuangan dan kinerja
perusahaan :
a. Rasio likuiditas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang
segera jatuh tempo. Rasio likuiditas diperlukan untuk kepentingan
analisis kredit atau analisis risiko keuangan.
b. Rasio Solvabilitas atau Rasio Leverage merupakan rasio yang
menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh
kewajibannya.
c. Rasio Aktivitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
tingkat efisiensi atau pemanfaatan sumber daya yang dimiliki
perusahaan atau untuk menilai kemampuan perusahaan dalam
menjalankan aktivitasnya sehari-hari.
d. Rasio Profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba.
e. Rasio Penilaian atau Rasio ukuran pasar merupakan rasio yang
digunakan untuk mengestimasi nilai intrinsik perusahaan (nilai
saham).
Adapun rasio yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio
profitabilitas yang diukur dengan menggunakan Return On Assets (ROA).
Menurut Hery (2017:142),
Return on Asset adalah Rasio yang menunjukkan hasil (return) atas
penggunaan aset perusahaan dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata
lain, rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba
bersih yang akan dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam
total aset.
Sedangkan menurut Kasmir (2017:196) Return On Assets adalah :
Rasio yang menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan
memanfaatkan sumber ekonomi yang ada, guna menciptakan laba. Secara
teori, rasio ini membandingkan antara laba bersih setelah bunga dan pajak
dengan total aset. Jika rata-rata industri untuk return on assets adalah 30%
maka semakin kecil (rendah) rasio ini semakin kurang baik, demikian pula
sebaliknya. Artinya rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas dari
keseluruhan operasi perusahaan. ROA dapat dirumuskan sebagai berikut:
Berdasarkan semua pengertian di atas Return on Asset adalah rasio yang
digunakan untuk mengukur keefektivitas perusahaan dengan menggunakan semua
ROA = Laba BersihTotal Asetx100%
asset yang dimiliki perusahaan dalam usaha memperoleh laba. Return On Assets
(ROA) diperoleh dengan cara membandingkan laba bersih setelah pajak terhadap
total aset yang dimiliki perusahaan.
Return On Assets (ROA) merupakan rasio pengukuran profitabilitas yang
sering digunakan oleh manajer keuangan untuk mengukur tingkat efektifitas
aktivitas keseluruhan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan
asset yang tersedia. Di samping itu, hasil pengembalian investasi menunjukkan
produktivitas dari seluruh penggunaan dana perusahaan, baik modal pinjaman
maupun modal sendiri.

Manfaat Perencanaan Pajak

Menurut Chairil Anwar (2017:20) ada beberapa menfaat yang bisa
diperoleh dari perencaaan pajak yang dilakukan secara umum:
1. Penghematan kas keluar, karena pajak yang merupakan unsur biaya dapat
dikurangi.
2. Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan
perencanaan pajak yang matang dapat diperkirakan kebutuhan kas untuk
pajak, dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat
menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
Dalam penelitian ini perencaan pajak diukur menggunakan rumus Tax
Retentaion Rate (Tingkat Retensi Pajak), yang menganalisis suatu ukuran dari
efektifitas manajemen pajak pada laporan keuangan perusahaan. Dimana ukuran
efektifitas manajemen pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran
efektifitas perencanaan pajak. Berikut ini merupakan variabel perencaan pajak
yang diukur menggunakan rumus sebagai berikut :
TRRit =
Net Income 𝑖𝑡
Pretax Income (EBIT)𝑖𝑡
Keterangan :
TRRit = Tax Retation Rate (tingkat retensi pajak) perusahaan i
pada tahun t.
Net Incomeit = Laba bersih perusahaan i pada tahun t.
Pretax Income (EBIT)it = Laba sebelum pajak perusahaan i tahun t

Perencanaan Pajak (Tax Planning)

Perencanaan merupakan salah satu fungsi utama dari manajemen. Secara
umum perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan)
dan kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi-strategi
(program), taktik-taktik (tata cara pelaksanaan program), dan operasi (tindakan)
yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh.
Menurut Erly Suandy (2016:01) Pajak adalah salah satu sumber
penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara,
baik pengeluaran rutin maupun pengeluran pembangunan. Sebaliknya bagi
perusahaa, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih.
Perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak orang
pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai
celah kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor
ketentuan peraturan perpajakan (Hutagalo,2017).
Menurut Erly Suandy (2016:01) Perencanaan pajak merupakan tindakan
menimalisasi beban pajak yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari
yang masih berada dalam bingkai peraturan perpajakan sampai yang melanggar
peraturan perpajakan.
Menurut Chairil Anwar (2017:06) Tax Planning (perencanaan pajak)
merupakan suatu proses mengorganisasi usaha wajib pajak sedemikian rupa agar
utang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya berada dalam
jumlah minimal, selama hal tersebut tidak melanggar ketentuan undang-udang.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
perencanaan pajak merupakan suatu tindakan yang diambil oleh manajer
perusahaan dalam rangka meminimalisasi jumlah beban pajak yang harus dibayar
berdasarkan peraturan perpajakan sehingga dapat diimplementasikan secara ilegal
dengan tidak melanggar peraturan perpajakan yang berlaku.
Umumnya perencanan pajak berkonotasi negatif karena secara umum
perencanaan pajak merujuk pada proses merekayasa usaha agar hutang pajak
berada dalam jumlah yang minimal namun tetap dalam peraturan perpajakan.
Namun, perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencanaan
pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu
sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya.
Menurut Chairil Anwar (2017:10) ada 3 strategi yang dapat dilakukan
perusahaan untuk mengefisiensikan beban pajak secara legal yaitu :
1. Tax Saving
Merupakan upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
Contoh: pemberian natura kepada karyawan pada umumnya tidak
diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya dalam menghitung PPh
badan. Kebijakan pemberian natura dapat diubah menjadi pemberian tidak
dalam bentuk natura, dan dimasukkan sebagai penghasilan karyawan
sehingga dapat dikurangkan sebagai biaya. Perlakuan ini akan mengakibatkan
PPh badan turun, tetapi PPh Pasal 21 akan naik. Penurunan PPh badan akan
lebih besar daripada kenaikan PPh Pasal 21 (dengan asumsi perusahaan
memperoleh laba kena pajak di atas Rp 100 juta, dan PPh badan tidak bersifat
final).
2. Tax Avoidance
Merupakan upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari
pengenaan pajak dengan mengarahkannya pada transaksi yang bukan objek
pajak.
Contoh: Pada jenis perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan secara
final, untuk mengefisiensikan PPh Pasal 21 karyawan, dapat dilakukan
dengan cara memberikan semaksimal mungkin kesejahteraan karyawan
dalam bentuk natura. Mengingat pemberian natura pada perusahaan yang
tidak terkena PPh final bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Misal pada saat
perusahaan dalam kondisi rugi secara fiskal, atau memiliki kompensasi
kerugian fiskan dalam jumlah yang relatif besar di tahun-tahun sebelumnya.
3. Penundaan /penggeseran Pembayaran Pajak
Penundaan/penggeseran pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa
melanggar peraturan perpajakan yang berlaku.
Contoh: Ketika perusahaan harus membayar sejumlah imbalan jasa yang
nilainya cukup material atau suatu transaksi pembelian jasa profesional atau
jasa lain (yang menjadi objek pemotongan withholding tax) yang transaksi
pembayarannya dilakukan pada akhir bulan, misalnya pada akhir bulan
Agustus 2014, maka dengan penundaan transfer pembayaran jasa 1 haru saja
ke tanggal 1 September 2014 akan mengakibatkan penggeseran/penundaan
pembayaran pajak selama 1 bulan ke bulan berikutnya. Cara ini akan
membantu posisi cash flow perusahaan

Asset Pajak Tangguhaan (deferred tax assets).

Aset pajak tangguhan diakui untuk seluruh perbedaan temporer dapat
dikurangkan sepanjang kemungkinan besar laba kena pajak akan tersedia sehingga
perbedaan temporer dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba dimaksud, kecuali
jika aset pajak tangguhan timbul dari pengakuan awal aset atau pengakuan awal
liabilitas dalam transaksi yang bukan kombinasi bisnis dan pada saat transaksi
tidak mempengaruhi laba akuntansi atau laba kena pajak atau rugi pajak (PSAK
46: 2017).
Menurut Waluyo (2014:277) Aktiva pajak tangguhan (deferred tax assets)
adalah jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan (recovered) pada periode
mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa
kerugian yang dapat dikompensasikan.
Besarnya asset pajak tangguhan dicatat apabila dimungkinkan adanya
realisasi manfaat pajak di masa yang akan datang. Oleh karena itu dibutuhkan
judgment untuk menaksir seberapa mungkin asset pajak tangguhan tersebut dapat
direalisasikan (Lucy,2016).
Perhitungan aktiva pajak tangguhan dapat dilakukan dengan cara membagi
selisih jumlah aktiva pajak tangguhan periode sebelumnya dan periode yang
diteliti dengan aktiva pajak tangguhan tahun yang diteliti (Lucy, 2016). adapun
rumus untuk mencari rasio aktiva pajak tangguhan adalah sebagai berikut :
APTit =
∆ Asset Pajak Tangguhan 𝑖𝑡
Asset Pajak Tangguhan 𝑡
Keterangan :
APTit = Asset Pajak Tangguhan
∆ 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑇𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑖𝑡 = Asset Pajak Tangguhan Perusahaan i pada tahunt
𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑇𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑡 = Asset Pajak Tangguhan pada tahun t
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Aktiva
Pajak Tangguhan merupakan asset yang timbul dari adanya perbedaan antara
laporan keuangan komersial dan laporan keuangan menurut pajak karena adanya
perbedaan waktu yang menyebabkan koreksi positif pada laporan keuangan
komersial yang menyebabkan laba meningkat dikarenakan beban pajak pada
laporan keuangan komersial lebih kecil, dimana pada periode mendatang dapat
dikurangkan dan sisa kompensasi periode tahun selanjutnya

Teknik Analisis Laporan Keuangan

Teknik analisis laporan keuangan menurut Harahap (2016:20) dapat
digunakan dengan berbagai metode antara lain:
1. Metode Komparatif.
2. Analisis Tren.
3. Laporan Keuangan Bentuk Common Size.
4. Metode Index Time Series.
5. Analisis Rasio.
6. Teknik Analisis Lain seperti :
a) Analisis Sumber Dan Penggunaan Dana.
b) Analisis Break Even.
c) Analisis Gross Profit.
d) Dupont Analysis.
7. Model Analsis seperti :
a) Bankruptcy Model seperti Altman Z-Score.
b) Net Cashflow Prediction Model.
c) Take Over Prediction Model.

Tujuan dan Manfaat Analisis Laporan Keuangan

Agar laporan keuangan menjadi lebih berarti sehingga dapat dipahami dan
mudah dimengerti oleh berbagai pihak, perlu dilakukan analisis laporan keuangan
bagi pihak pemilik dan manajemen tujuan utama analisis laporan keuangan adalah
agar dapat mengetahui posisi keuangan perusahaan pada saat ini. Dengan
mengetahui posisi keuangan setelah dilakukan analisis laporan keuangan secara
mendalam akan terlihat apakah perusahaan dapat mencapai target yang telah
direncanakan sebelumnya atau tidak Kasmir (2016:66).

Pengertian Analisis Laporan Keuangan

Analisis laporan keuangan menurut Harahap (2016:207) merupakan
“Upaya mencari hubungan antara berbagai pos yang ada dalam laporan keuangan
perusahaan”.
Subramanyam (2014:4) berpendapat:
Analisis laporan keuangan (financial statement analysis) adalah aplikasi
dari alat dan teknik analitis untuk laporan keuangan bertujuan umum
dan data-data yang berkaitan untuk menghasilkan estimasi dan
kesimpulan yang bermanfaat dalam analisis bisnis. Analisis laporan
keuangan mengurangi ketergantungan pada firasat, tebakan, dan intuisi
dalam pengambilan keputusan, serta mengurangi ketidakpastian analisis
bisnis.
Berdasarkan pengertian diatas dapat diketahui bahwa analisis laporan
keuangan adalah penelaahan hubungan berbagai pos yang ada dalam laporan
keuangan perusahaan untuk menghasilkan kesimpulan yang bermanfaat dalam
bisnis serta perkembangan perusahaan

Pihak-Pihak yang Memerlukan Laporan Keuangan

Menurut Kasmir (2016:18) pihak-pihak yang memerlukan laporan
keuangan yaitu:
1. Pemilik
Pemilik pada saat ini adalah mereka yang memiliki usaha tersebut. Hal ini
tercermin dari kepemilikan saham yang dimilikinya. Kepentingan bagi
para pemegang saham yang merupakan pemilik perusahaan terhadap hasil
laporan keuangan yang telah dibuat.
2. Manajemen
Kepentingan pihak manajemen perusahaan terhadap laporan keuangan
perusahaan yang mereka juga buat juga memiliki arti tertentu. Bagi pihak
manajemen laporan keuangan yang dibuat merupakan cermin kinerja
mereka dalam suatu periode tertentu.
3. Kreditor
Pihak penyandang dana bagi perusahaan. Artinya pihak pemberi dana
seperti bank atau lembaga keuangan lainnya. Kepentingan pihak kreditor
terhadap laporan keuangan perusahaan adalah dalam hal memberi
pinjaman atau pinjaman yang telah berjalan sebelumnya.
4. Pemerintah
Pemerintah juga memiliki nilai penting atas laporan keuangan yang dibuat
perusahaan. Bahkan pemerintah melalui Departemen Keuangan
mewajibkan kepada setiap perusahaan untuk menyusun dan melaporkan
keuangan perusahaan secara periodik.
5. Investor
Investor adalah pihak yang hendak menanamkan dana di suatu perusahaan.
Jika perusahaan memerlukan dana untuk memperluas usaha atau kapasitas
usahanya disamping memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan seperti
bank dapat pula diperoleh dari investor melalui penjualan saham.
Menurut Sugiyono dan Untung (2016:2) pihak-pihak tersebut adalah:
1. Pihak Internal
a) Manajemen
Pihak manajemen berkepentingan langsung dan sangat membutuhkan
informasi keuangan untuk tujuan pengendalian (controlling),
pengkoordinasian (coordinating), dan perencanaan (planning) suatu
perusahaan.
b) Pemilik Perusahaan
Pemilik perusahaan dengan menganalisis laporan keuangan pemilik
dapat menilai berhasil atau tidaknya manajemen dalam memimpin
perusahaan.
2. Pihak Eksternal
a) Pihak Investor
Pihak investor memerlukan analisa laporan keuangan dalam rangka
penentuan kebijakan penanam modalnya. Bagi investor yang penting
adalah tingkat imbalan hasil atau return dari modal yang telah atau akan
ditanam dalam suatu perusahaan tersebut.
b) Pihak Kreditor
Pihak kreditor merasa berkepentingan terhadap pengembalian atau
pembayaran kredit yang telah diberikan kepada perusahaan. Mereka
perlu mengetahui kinerja keuangan jangka pendek atau likuiditas dan
profitabilitas dari perusahaan.
c) Pemerintah
Informasi ini sangat berguna untuk tujuan pajak dan juga oleh lembaga
lain seperti statistik dll.
d) Karyawan
Karyawan berkepentingan dengan laporan keuangan perusahaan dimana
mereka bekerja. Karena sumber penghasilan mereka tergantung pada
perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan pendapat para ahli, dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang
berkepentingan atas laporan keuangan bisa berupa pihak internal seperti pemilik
dan manajemen maupun pihak eksternal yang terdiri dari pihak investor, kreditor,
pemerintah serta karyawan

Jenis – Jenis Laporan Keuangan

Menurut Kasmir (2016:28), dalam praktiknya ada lima jenis laporan
keuangan yang biasa disusun yaitu :
1. Balance Sheet (Neraca)
Balance Sheet (neraca) merupakan laporan yang menunjukan posisi
keuangan perusahaan pada tanggal tertentu. Arti dari posisi keuangan
dimaksudkan adalah posisi jumlah dan jenis aktiva (harta) dan passiva
(kewajiban dan ekuitas) suatu perusahaan.
2. Income Statement (Laporan Laba Rugi)
Income Statement (Laporan laba rugi) merupakan laporan keuangan yang
menggambarkan hasil usaha perusahaan dalam satu periode tertentu.
Dalam laporan laba rugi ini tergambar jumlah pendapatan dan sumbersumber pendapatan yang diperoleh.
3. Laporan Perubahan Modal
Laporan perubahan modal merupakan laporan yang berisi jumlah dan jenis
modal yang dimiliki pada saat ini. Kemudian, laporan ini juga menjelaskan
perubahan modal dan sebab-sebab terjadinya perubahan modal di
perusahaan.
4. Laporan Arus Kas
Laporan arus kas merupakan laporan yang menunjukan arus kas masuk
dan kas keluar perusahaan. Arus kas masuk merupakan pendapatan atau
pinjaman dari pihak lain, sedangkan arus kas keluar merupakan biayabiaya yang telah dikeluarkan perusahaan. Baik arus kas masuk maupun
arus kas keluar dibuat untuk periode tertentu.
5. Laporan Catatan Atas Laporan Keuangan
Laporan catatan atas laporan keuangan merupakan laporan yang dibuat
berkaitan dengan laporan keuangan yang disajikan. Laporan ini
memberikan informasi tentang penjelasan yang dianggap perlu atas
laporan keuangan yang ada sehingga menjadi jelas sebab penyebabnya.
Tujuannya adalah agar pengguna laporan keuangan dapat memahami jelas
data yang disajikan.
Komponen laporan keuangan menurut Warren et al., (2014:16) adalah :
1. Laporan laba rugi
Laporan laba rugi menyajikan pendapatan dan beban untuk suatu periode
waktu tertentu berdasarkan konsep penandingan (matching concept), yang
disebut juga konsep pengaitan atau pemadanan, antara pendapatan dan
beban yang terkait.. Jika pendapatan lebih besar daripada beban, selisihnya
disebut laba bersih (net income atau net profit). Jika beban melebihi
pendapatan, selisihnya disebut rugi bersih (net loss).
2. Laporan perubahan ekuitas
Laporan perubahan ekuitas menyajikan perubahan dalam ekuitas pemilik
untuk suatu waktu tertentu. Laporan ini dibuat setelah laporan laba rugi
karena laba bersih atau rugi bersih periode harus dilaporkan di laporan ini.
Dan juga disiapkan sebelum laporan posisi keuangan karena jumlah
ekuitas pemilik pada akhir periode harus dilaporkan dalam laporan posisi
keuangan. oleh karena itu, laporan perubahan ekuitas sering dilihat sebagai
penghubung antara laporan laba rugi dan laporan posisi keuangan.
3. Laporan posisi keuangan
Laporan posisi keuangan melaporkan jumlah aset, liabilitas, dan ekuitas
pemilik. Bagian aset biasanya menyajikan aset berdasarkan urutan pos
yang paling mudah diubah menjadi uang tunai atau digunakan dalam
operasional perusahaan. Kas disajikan paling atas, diikuti dengan piutang
usaha, bahan habis pakai, asuransi dibayar dimuka, dan aset lainnya. Aset
yang sifatnya jangka panjang seperti aset tetap disajikan dibawahnya dan
liabilitas yaitu liabilitas jangka pendek dan liabilitas jangka panjang.
4. Laporan arus kas, terdiri dari tiga bagian yaitu :
a. Aktivitas operasi.
b. Aktivitas investasi.
c. Aktivitas pendanaan.
Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa jenis-jenis laporan
keuangan saat ini terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan laba rugi dan
penghasilan komprehensif lain, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas dan
catatan atas laporan keuangan

Tujuan Laporan Keuangan

Laporan keuangan disusun dengan tujuan untuk menyediakan informasi
yang menyangkut posisi keuangan, kinerja dan perubahan posisi keuangan suatu
perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan
keputusan ekonomi.
Menurut Kasmir (2016:10) tujuan laporan keuangan:
1. Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah aset atau harta yang
dimiliki perusahaan pada saat ini.
2. Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah liabilitas dan modal yang
dimiliki perusahaan pada saat ini.
3. Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah pendapatan yang
diperoleh pada suatu periode tertentu.
4. Memberikan informasi tentang jumlah biaya dan jenis biaya yang
dikeluarkan perusahaan dalam suatu periode tertentu.
5. Memberikan informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi terhadap
aktiva pasiva dan modal perusahaan.
6. Memberikan informasi tentang kinerja manajemen perusahaan dalam suatu
periode.
7. Memberikan informasi tentang catatan-catatan atas laporan keuangan.
8. Informasi laporan keuangan lainnya.
Hery (2015:4) mengungkapkan bahwa:
Tujuan keseluruhan laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi
yang berguna bagi investor dan kreditor dalam pengambilan keputusan
investasi dari kredit. Jenis keputusan yang dibuat oleh pengambil
keputusan sangatlah beragam, begitu juga dengan metode pengambilan
keputusan yang mereka gunakan dan kemampuan mereka untuk
memproses informasi. Pengguna informasi akuntansi harus dapat
memperoleh pemahaman mengenai kondisi keuangan dan hasil
operasional perusahaan lewat laporan keuangan.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat diketahui bahwa
laporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas bagi para
pengguna laporan keuangan guna pengambilan keputusan ekonomi

Pengertian Laporan Keuangan

Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh
informasi sehubungan dengan adanya keinginan pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap laporan keuangan tersebut. Laporan keuangan akan lebih berarti bagi
pihak-pihak berkepentingan yang apabila dianalisa lebih lanjut, sehingga
diperoleh informasi yang dapat mendukung kebijakan yang akan diambil.
Pengertian laporan keuangan menurut Kasmir (2016:7) adalah:
Laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini
atau dalam suatu periode tertentu. Laporan keuangan menggambarkan pospos keuangan perusahaan yang diperoleh dalam suatu periode. Dalam
praktiknya dikenal beberapa macam laporan keuangan seperti neraca,
laporan laba rugi, laporan perubahan modal, laporan catatan atas laporan
keuangan dan laporan kas.
Menurut Sugiyono dan Untung (2016:1):
Laporan keuangan pada perusahaan merupakan hasil akhir dari kegiatan
akuntansi atau siklus akuntansi yang mencerminkan kondisi keuangan dan
hasil operasi perusahaan. Informasi tentang kondisi keuangan dan hasil
operasi perusahaan sangat berguna bagi pihak baik pihak-pihak yang ada
di dalam (internal) maupun pihak yang ada di luar (eksternal) perusahaan.
Oleh karena laporan keuangan dapat dipakai sebagai alat komunikasi
dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data keuangan
perusahaan. Dan karena inilah laporan keuangan sering disebut juga
language of business.
Sedangkan Hery (2015:3) menyatakan bahwa:
Laporan keuangan (financial statements) merupakan produk akhir dari
serangkaian proses pencatatan dan pengikhtisaran data transaksi bisnis.
Seorang akuntan diharapkan mampu untuk mengorganisir seluruh data
akuntansi hingga menghasilkan laporan keuangan dan bahkan harus
menginterpretasikan serta menganalisis laporan keuangan yang dibuatnya.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan, maka dapat
diketahui bahwa laporan keuangan adalah laporan hasil proses akuntansi yang
menunjukkan kondisi keuangan suatu perusahaan pada jangka waktu tertentu.

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba

.
Perusahaan yang berukuran lebih besar memiliki struktur pemegang
kepentingan yang lebih luas dan kompleks dalam pengelolaannya. Ukuran
perusahaan merupakan cerminan dari seberapa besar total aset yang dimiliki
oleh perusahaan tersebut. Perusahaan dengan total aset yang tinggi cenderung
untuk selalu mengutamakan kualitas laba yang baik, sehingga apabila kualitas
laba yang kurang baik perusahaan dengan total aset yang tinggi akan
cenderung untuk melakukan praktik manajemen laba. (Mustikawati, 2015).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Irma Tyasari (2009) ukuran perusahaan
berpengaruh terhadap manajemen laba. Begitu pula pada penelitian
Restuwulan (2013) ukuran perusahaan berpengaruh negative dan signifikan
terhadap manajemen laba.

Model-model Pengukuran Manajemen Laba

.
Menurut (Irene V. Runturambi, 2017) pengukuran manajemen
laba dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya manajemen laba
dalam suatu perusahaan. Manajemen laba (earnings management)
diukur dengan proksi discretionary accrual (DA). Beberapa model
menggunakan asumsi bahwa perhitungan akrual yang tidak normal
diawali dengan perhitungan total akrual. Total akrual adalah selisih
antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual
sebuah perusahaan dibedakan menjadi discretionary accrual (tingkat
akrual yang normal) dan non-discretionary accrual (tingkat akrual
yang tidak normal). Tingkat akrual yang tidak normal ini merupakan
tingkat akrual hasil rekayasa laba yang dilakukan oleh manajer.
Perhitungan total akrual dengan pendekatan arus kas dan laporan
laba rugi dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
TA = Total akrual
Earn = Laba
CFO = Arus kas operasi
Terdapat lima macam model yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya earnings management yang ditunjukkan dengan
adanya discretionary accruals. Kelima model tersebut mengungkap
adanya earnings management yang dilakukan oleh Dechow et al.
pada tahun 1995.
1. The Healy Model
Model Healy (1999) menguji manajemen laba dengan
membandingkan rata-rata total akrual yang dibagi dengan total
akrual periode sebelumnya. Healy (1985) menganggap non
discretionary accrual (NDA) tidak dapat diobservasi. Model untuk
non discretionary accrual adalah sebagai berikut:
NDA = 0 sehingga TA = NDA
2. The Angelo Model
DeAngelo (1986) mengasumsikan bahwa tingkat akrual
yang non discretionary mengikuti pola. Dengan demikian, tingkat
akrual yang non discretionary perusahaan i pada periode t
TA = Earn – CFO
diasumsikan sama dengan tingkat akrual yang non discretionary
pada periode t-1. Jadi, selisih total akrual antara periode t dan t-1
merupakan tingkat akrual yang discretionary. Model perhitungannya
adalah sebagai berikut :
DAit = (TAit – TAit-1) /Ait-1
3. The Jones Model
Jones (1991) mengusulkan sebuah model yang
menggunakan asumsi bahwa nondiscretionary accruals bersifat
konstan. Model Jones mengontrol pengaruh perubahan lingkungan
ekonomi perusahaan pada non-discretionary accruals. Model Jones
untuk non-discretionary accruals menggunakan persamaan:
TAit/Ait-1 = α1 (1/ Ait-1) + α2 (ΔREVit / Ait-1) + α3 (PPEit / Ait-1)+ e
Keterangan :
∆REV = Pendapatan pada tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1..
PPE = Gross properti plant dan equipment pada tahun t dibagi
total aset tahun t-1.
A – = Total aset 1 tahun sebelum tahun t.
a1, a2, a3 = Parameter perusahaan tertentu.
4. The Modified Jones Model
Modifikasi model yang dilakukan oleh Jones didesain
untuk mengurangi adanya dugaan pada model Jones dalam
kesalahan mengukur discretionary accruals, ketika discretionary
dilakukan terhadap pendapatan. Dalam model yang dimodifikasi
ini, non-discretionary accruals adalah estimasi pada periode
kejadian (event period), yaitu selama periode earnings
management diperkirakan terjadi. Model perhitungannya adalah
sebagai berikut: (Dananjaya, 2013)
1) Melakukan analisis regresi untuk mengetahui nilai koefisien
𝛼1, 𝛼2, dan 𝛼3 atas model regresi berikut ini :
𝑇𝐴𝐶𝐶𝑖,𝑡𝑇𝐴𝑖,𝑡= 𝛼1 (1𝑇𝐴𝑖,𝑡−1) + 𝛼2 (∆𝑅𝐸𝑉𝑖,t𝑇𝐴𝑖,t−1) + 𝛼3 (𝑃𝑃𝐸𝑖,t𝑇𝐴𝑖,t−1) + 𝜀
Keterangan :
𝑇𝐴𝐶𝐶𝑖,𝑡 = Total pendapatan akrual perusahaan i selama tahun t,
𝑇𝐴𝐶𝐶𝑖,𝑡 = 𝑁𝐼𝑖,𝑡 − 𝐶𝐹𝑂𝑖,𝑡
(NI adalah total laba
perusahaan pada tahun t dan CFO adalah arus kas
bersih operasi perusahaan pada tahun t),
𝑇𝐴𝑖,𝑡 = Total aset perusahaan i pada tahun t
∆𝑅𝐸𝑉t = Pendapatan bersih perusahaan i tahun t dikurangi
pendapatan bersih tahun t-1
∆𝑅𝐸𝐶t = Piutang usaha perusahaan i tahun t dikurangi piutang
usaha tahun t-1
𝑃𝑃𝐸t = Nilai aset tetap perusahaan i pada tahun t
𝜀 = Error term perusahaan i pada tahun t
2) Menggunakan nilai koefisien 𝛼1, 𝛼2, dan 𝛼3 menghitung nondiscretionary accruals (NDACC) dengan memasukkannya ke dalam
model regresi berikut ini :
𝑁𝐷𝐴𝐶𝐶𝑖,𝑡 = 𝛼1 (1𝑇𝐴𝑖,𝑡−1) + 𝛼2 (∆𝑅𝐸𝑉𝑖,t−∆𝑅𝐸𝐶𝑖,t𝑇𝐴𝑖,t−1) + 𝛼3 (𝑃𝑃𝐸𝑖,t𝑇𝐴𝑖,t−1)
3) Dari kedua model regresi di atas, discretionary accrual (DACC)
sebagai proksi dari manajemen laba dapat dihitung dengan cara:
|𝐷𝐴𝐶𝐶𝑖,𝑡| =𝑇𝐴𝐶𝐶𝑖,𝑡𝑇𝐴𝑖,𝑡− 𝑁𝐷𝐴𝐶𝐶𝑖,𝑡
5. Model Industri
Dechow dan Sloan (1991) menyusun model pengukuran
manajemen laba yang dikenal dengan Model Industry. Serupa
dengan Model Jones, Model Industri menyederhanakan anggapan
bahwa akrual nondiskretioner konstan sepanjang waktu. Namun,
alih-alih mencoba secara langsung memodelkan faktor penentu
akrual nondiskritioner, Model Industri mengasumsikan bahwa
variasi dalam faktor penentu akrual nondiskresioner adalah umum
di seluruh perusahaan di industri yang sama. Model Industri
untuk akrual nondiskritioner adalah (Dechow dan Sloan, 1991) :
NDAt = γ1 + γ2medianI(TAt)
Dimana:
medianI(TAt) = nilai median dari total akrual yang diukur dengan
aset tahun t-1 untuk semua perusahaan non-sampel dalam kode
industry yang sama. Parameter spesifik perusahaan γ1 dan γ2
diperkirakan menggunakan koefesien regresi pada pengamatan di
Periode estimasi

Pola Manajemen Laba

Pola manajemen laba menurut Scott (2000) dalam Rizki (2012)
dapat dilakukan dengan cara:
a. Thaking a Bath
Pola ini bisa terjadi disaat reorganisasi pengangkatan CEO baru
dengan melakukan pelaporan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan
ini diharap dapat membuat laba meningkat di masa datang, sehingga
kompensasi atau bonus yang akan di terima juga akan meningkat.
b. Income Minimization
Pola ini dilakukan disaat perusahaan telah mengalami tingkat
profitabilitas yang cukup tinggi, sehingga jika laba periode mendatang
diperkirakan turun drastis bisa diatasi dengan mengambil laba di
periode sebelumnya.
c. Income Maximization
Pola ini dilakukan disaat laba mengalami penurunan. Tindakan atas
income maximinization memiliki tujuan untuk melaporkan laba bersih
yang tinggi untuk tujuan mendapat bonus yang lebih besar. Pola ini
dilakukan oleh perusahaan yang telah melakukan pelanggaran
perjanjian hutang.
d. Income Smoothing
Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang
dilaporkan sehingga bisa mengurangi fluktuasi laba yang
membengkak karena pada umumnya investor akan lebih menyukai
laba yang relatif stabil.

Teknik Manajemen Laba

Teknik memanajemen laba menurut Rizqi (2012) bisa dilakukan
dengan 3 teknik yaitu:
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba dapat dilakukan
melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara
lain yaitu estimasi tingkat atau amortisasi aktiva tak berwujud,
estimasi terhadap biaya garansi, dan sebagainya.
b. Mengubah metode akuntansi
Perubahan suatu metode akuntansi yang digunakan untuk
mencatat transaksi, contoh : mengubah metode untuk menghitung
depresiasiaktiva tetap, dari yang awalnya menggunakan metode
depresiasi angka tahun berubah ke metode depresiasi garis lurus.
c. Menggeser periode biaya atau pendapatan
Contoh rekayasa terhadap periode biaya atau pendapatan
adalah : Mempercepat atau menunda pengeluaran yang digunakan
untuk penelitian dan pengembangan sampai periode selanjutnya,
mempercepat atau menunda pengiriman produk kepada pelanggan,
mengatur penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai

Manajemen Laba

Manajemen laba adalah tindakan yang mempunyai tujuan tertentu didalam
proses pelaporan keuangan eksternal untuk memperoleh keuntungan yang
sifatnya pribadi. Manajemen laba akan menjadikan laba tak sesuai dengan
Ukuran Perusahaan = LN Total Aset
realitas ekonomi yang sebenarnya sehingga kualitas laba yang dilaporkan
rendah. Laba yang disajikan kadang tak mencerminkan realitas ekonomi, tetapi
lebih mengacu pada keinginan manajemen untuk menunjukkan kinerjanya
baik. (Wicaksono, 2015)
Sedangkan Widyaningdyah (2001) dalam Dananjaya (2013) memberikan
definisi mengenai manajemen laba menjadi dua, sebagai berikut ini.
1. Definisi sempit.
Earnings management dalam hal ini ada kaitannya dengan pemilihan
metode akuntansi. Earnings management dalam artian sempit ini diartikan
sebagai perilaku manajemen yang bermain dengan komponen discretionary
accruals dalam menentukan besarnya earnings.
2. Definisi luas.
Earnings management merupakan tindakan yang dilakukan manajer guna
meningkatkan dan atau mengurangi laba yang dilaporkan pada saat ini atas
suatu unit yang mana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan
peningkatan dana tau penurunan profitabilitas ekonomi jangka panjang unit
itu.
Menurut Sulistyanto (2008:480) dalam Rizqi (2012) disebutkan
beberapa definisi manajemen laba menurut para ahli yaitu sebagai berikut :
a. Davidson, Stickney, dan Weill (1987)
Manajemen laba adalah proses mpengambilan langkah tertentu
yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi berterima umum
untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.
b. Schipper (1989)
Manjemen laba adalah capuran tangan dalam proses penyusutan
pelaporan keuangan eksternal, bertujuan untuk mendapat keuntungan
pribadi (pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa hal ini
hanyalah upaya untuk memfasilitasi operasi yang tidak memihak
dari sebuah proses).
c. Fisher dan Rosenzweig (1995)
Manajemen laba merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan
manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari
sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa mempengaruhi kenaikan
(penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan dalam jangka panjang

Ukuran Perusahaan

Merupakan suatu skala dimana bisa diklasifikasikan menjadi besar dan
kecilnya perusahaan dengan beberapa cara diantaranya dengan total aset, total
penjualan, dan nilai saham. Semakin besar total aset, total penjualan dan nilai
saham yang dimiliki oleh perusahaan maka semakin besar juga ukuran suatu
perusahaan tersebut. Perusahaan dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu
perusahaan besar (large firm) dan perusahaan kecil (small firm). Perusahaan
besar akan cenderung lebih ketat dalam hal untuk mengawasi kegiatan
manajemen sehingga hal ini dapat meminimalisir terjadinya tindakan
manajemen laba. Sedangkan perusahaan kecil cenderung untuk menghindari
praktik manajemen laba. Hal itu karena perusahaan kecil kurang dapat dilacak
mengenai catatan dalam membuat laba yang dilaporkan, selain itu karena
perusahaan kecil cenderung dalam tahap pertumbuhan siklus hidup sehingga
pendapatan akan cenderung stabil yang selanjutnya akan mengurangi nilai
referensi dari laba yang dilaporkan. . (Mustikawati, 2015)
Variabel ukuran perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan Logaritma
Natural (Ln) dari total aset. Hal ini dikarenakan besarnya total aset masingmasing perusahaan berbeda bahkan mempunyai selisih yang besar, sehingga
dapat menyebabkan nilai yang ekstrim. Untuk menghindari adanya data yang
tidak normal tersebut maka data total aset perlu di Ln kan

Teori Bid-ask Spread

Bid-ask Spread merupakan selisih antara harga beli dengan harga
jual saham dalam perdagangan saham di pasar modal. Penggunaan bid-ask
spread sebagai proksi dari asimetri informasi menurut (Dananjaya, 2013)
karena dalam mekanisme pasar modal, pelaku pasar modal juga menghadapi
masalah keagenan. Partisipan pasar modal saling berinteraksi untuk
mewujudkan tujuannya yaitu membeli atau menjual sekuritasnya, sehingga
aktivitas yang mereka lakukan dipengaruhi oleh informasi yang diterima
baik secara langsung (laporan publik) maupun tidak langsung (insider
trading). Dealers atau market-makers memiliki daya pikir terbatas terhadap
persepsi masa depan dan menghadapi potensi kerugian ketika berhadapan
dengan informed traders. Hal inilah yang menimbulkan adverse selection
yang mendorong dealers untuk menutupi kerugian dari pedagang
terinformasi dengan meningkatkan spread-nya terhadap pedagang likuid.
Jadi dapat dikatakan bahwa asimetri informasi yang terjadi antara dealer
dan pedagang terinformasi tercermin pada spread yang ditentukannya.
(Dananjaya, 2013)

Asimetri Informasi

Dasar dari teori asimetri informasi berasal dari pengusaha dalam pasar
tenaga kerja yang sering mempunyai informasi lebih banyak tentang status
sekarang dan di masa mendatang perusahaannya, dan dapat menggunakan
SPREAD = (aski,t – bidi,t) / {(aski,t + bidi,t) /2} x 100
kelebihan ini sebagai basis negosiasi. Hal ini dapat dilihat sebagai suatu
ketidaksempurnaan dalam bekerjanya mekanisme pasar dan dapat
menyebabkan efesiensi ekonomik. Kondisi inilah yang membuat manajemen
memanfaatkan ketidakselarasan informasi untuk mencari keuntungan pihak
manajemen sendiri serta sekaligus dapat menimbulkan kerugian pihak luar
perusahaan seperti membiaskan informasi yang terkait dengan investor.
(Febrianto, 2015)
Menurut Mustikawati (2015) Asimetri informasi merupakan suatu kondisi
dimana terjadi ketidakseimbangan antara jumlah informasi yang dimiliki
manajemen perusahaan dengan jumlah informasi yang dimiliki oleh pihak
diluar perusahaan.
Menurut Scott (2009) dalam Wicaksono (2015), terdapat 2 macam asimetri
informasi. Pertama, adverse selection, bahwa para manajer dan orang-orang
dalam lainnya lebih banyak mengetahui tentang keadaan dan prospek
perusahaan dibanding pihak luar. Terdapat fakta-fakta yang tak disampaikan
kepada principal. Kedua, moral hazard, adalah kegiatan yang dilakukan oleh
manajer tidak semuanya diketahui oleh investor (pemegang saham dan
kreditor) sehingga manajer bisa melakukan tindakan yang melanggar kontrak
tanpa sepengetahuan pemegang saham. Secara etika, hal itu tidak layak untuk
dilakukan.
Penelitian ini menghitung besarnya relative bid-ask spread untuk
mengukur asimetri informasi menggunakan model yang digunakan Febrianto
(2015) yaitu:
Keterangan:
Aski,t : harga ask tertinggi saham perusahaan i yang terjadi pada periode t
Bidi,t : harga bid terendah saham perusahaan i yang terjadi pada periode t

Teori Keagenan

Teori keagenan dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara agen (manajemen) dan pricipal (pemilik). Teori keagenan
berusaha menjawab masalah keagenanan yang terjadi apabila pihak-pihak yang
saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda. Dalam
hukum, seorang agen adalah seseorang yang dipekerjakan untuk mewakili
kepentingan orang lain. Agency theory menaruh perusahaan itu sebagai Nexus
(persimpangan) hubungan agensi dan mencari untuk memahami perilaku
organisasional dengan memeriksa kelompok pada hubungan agensi diantara
perusahaan memaksimalkan kepentingannya sendiri. Konfik kepentingan yang
disebabkan oleh kemungkinan agen yang tidak selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan. Dalam beberapa
situasi tertentu, agen memungkinkan untuk membelanjakan sumber daya
perusahaan (biaya bonding / bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak
merugikan prinsipal atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan memberikan
kompensasi apabila dia benar-benar melakukan tindakan tersebut. Namun,
masih bisa terjadi divergensi antara keputusan-keputusan agen dengan
keputusan-keputusan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan agen.
(Wicaksono, 2015)
Hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi antara manajer
dengan pemilik perusahaan. Wewenang dan tanggung jawab agen dan principal
diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Teori keagenan
menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konfik
kepentingan antara manajemen dan pemilik yang timbul ketika setiap pihak
berusaha untuk mencapai dan mempertahankan tingkat kemakmuran yang
dikehendakinya. Hal ini yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
informasi yang dimiliki oleh principal dan agen. Ketidakseimbangan informasi
ini yang disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa individuindividu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri mengakibatkan agent
memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Asimetri
informasi dan konfik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent
mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada
principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran
kinerja agent. Hal ini memacu agent untuk memikirkan angka akuntansi
tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan
kepentingannya. Satu diantara bentuk tindakan agent tersebut disebut sebagai
manajemen laba. (Wicaksono, 2015)

Pengaruh Leverage Terhadap Manajemen Laba

Leverage (struktur utang) merupakan rasio yang menunjukkan besarnya utang
yang dimiliki oleh perusahaan untuk membiayai aktivitas operasinya (Darmawan dan
Sukartha, 2014: 147). Dengan semakin banyaknya hutang maka manajemen harus
dapat lebih meyakinkan pihak kreditur bahwa perusahaan tetap dapat mengembalikan
pokok pinjaman beserta bunganya. Leverage yang tinggi akan berpengaruh dengan
nilai pembiayaan yang juga tinggi dengan maksud untuk mempertahankan kinerja
keuangan perusahaan dalam jangka panjang, dengan mempertahankan kinerja
perusahaan tersebut diharapkan kreditur juga akan tetap memiliki kepercayaan
terhadap manajemen perusahaan. Besarnya tingkat hutang perusahaan (leverage) dapat
mempengaruhi tindakan manajemen laba. Menurut Sweeny (1994) perusahaan dengan
utang yang lebih banyak dibandingkan ekuitas, memiliki kemungkinan besar bahwa
manajer perusahaan memilih metode akuntansi untuk meningkatkan laba.
Hasil penelitian Barkhorder dan Tehrani (2015) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara leverage keuangan dengan manajemen laba berbasis akrual
di perusahaan dengan leverage keuangan yang tinggi dibanding perusahaan dengan
leverage keuangan yang rendah, dan hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian
dari Hoang dan Phung (2019) dimana leverage berpengaruh positif terhadap
manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni dan Wardhani (2017)
menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, dengan
adanya leverage akan meningkatkan pemantauan kreditor, sehingga mengurangi
peluang bagi manajer perusahaan untuk melakukan manajemen laba. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Prihatiningtyas (2018) menunjukkan bahwa leverage
tidak mempengaruhi manajer dalam melakukan praktik manajemen laba. Penelitian ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan Gunawan (2015); dan Almadara (2017)
dimana leverage tidak berpengaruh terhadap terjadinya manajemen laba

Pengaruh Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba

Profitabilitas merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
mencari keuntungan dan juga memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu
perusahaan. Profitabilitas suatu perusahaan ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari
penjualan dan pendapatan investasi, intinya adalah bahwa rasio ini menunjukkan
efisiensi perusahaan.
Adanya profitabilitas akan berpengaruh terhadap nilai jual saham perusahaan dan
investor harus memperhatikan profitabilitas perusahaan untuk melihat tingkat return
investasi yang ditanam di perusahaan (Asyiroh dan Hartono, 2019). Pada situasi
tersebut akan mendorong pihak manajemen perusahaan dalam melaksanakan praktik
manajemen agar kinerja perusahaan terlihat baik dihadapan investor (Widyaningrum
et al., 2016). Semakin perusahaan mampu dalam menghasilkan laba yang tinggi maka
menunjukan semakin baik kinerja perusahaan yang akan menarik minat para investor
untuk menanamkan modalnya dan mendapat kepercayaan dari para kreditur.
Penelitian yang dilakukan oleh Asyiroh dan Hartono (2019) menunjukkan bahwa
profitabilitas berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Perusahaan yang tingkat
keuntungannya tinggi maka membuat sinyal terhadap masyarakat meningkat di mana
perusahaan memiliki pandangan jangka panjang yang baik, namun hal ini akan
meningkatkan earning management agar penilaian masyarakat terhadap perusahaan
tetap terjaga dengan baik (Asyiroh dan Hartono, 2019). Penelitian tersebut tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Mujati (2019), menunjukkan bahwa
profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba

Pengaruh Free Cash Flow Terhadap Manajemen Laba

Free cash flow merupakan kas yang tersedia diperusahaan yang dapat digunakan
untuk berbagai aktivitas/kegiatan (Murhadi, 2013:48). Semakin besar free cash flow
yang tersedia dalam suatu perusahaan, maka semakin sehat perusahaan karena
memiliki kas yang tersedia untuk pertumbuhan, pembayaran hutang, dan dividen. Hal
ini dapat juga diartikan bahwa semakin kecil nilai free cash flow yang dimiliki
perusahaan, maka perusahaan bisa dikategorikan tidak sehat karena tidak adanya kas
yang ada untuk pertumbuhan, pembayaran hutang, dan dividen perusahaan (White et
al. 2003:68).
Hasil penelitian Herlambang dan Haryettti (2017); Asyiroh dan Hartono (2019)
membuktikan bahwa free cash flow memiliki pengaruh negative pada earning
management dan penyebabnya adalah tingginya free cash flow yang dimiliki
perusahaan tidak menarik terlaksanannya earning management.Penelitian yang
dilakukan oleh Cakti (2019) menunjukkan bahwa free cash flow berpengaruh terhadap
manajemen laba, hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kono dan
Yuyetta (2013); Puspitasari et al. (2019) dan Agustia (2013) yang menyatakan bahwa
free cash flow berpengaruh terhadap manajemen laba. Menurut Masheyekhi et al.
(2010) tujuan manajer perusahaan melakukan manajemen laba dengan free cash flow
yang tinggi untuk mencapai keuntungan pribadi dalam waktu singka

Manajemen Laba

Manajemen laba dapat didefinisikan sebagai intervensi manajemen dengan
sengaja dalam menentukan laba dalam proses penyusunan pelaporan keuangan
eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi (Manurung dan
Isynuwardhana, 2017). Manajemen laba merupakan suatu proses yang disengaja,
menurut batasan standar akuntansi keuangan untuk mengarahkan pelaporan laba pada
tingkat tertentu (Santana dan Wirakusuma2016). Menurut Healy dan Wallen dalam Sri
Sulistyanto (2008:50), manajemen laba terjadi ketika menggunakan keputusan tertentu
dalam laporan keuangan dan transaksi untuk mengubah laporan keuangan sebagai
dasar penilaian kinerja perusahaan yang bertujuan menyesatkan pemilik atau
pemegang saham (shareholders) atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang
mengandalkan angka-angka akuntansi yang di laporkan. Healy dan Wahlen
berpendapat bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan (judgement) dalam pelaporan keuangan, dan menyusun transaksi untuk
mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk menyesatkan stakeholders mengenai
kinerja ekonomi perusahaan, atau untuk mempengaruhi contractual out comes yang
tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Menurut Scott beberapa motivasi manajemen laba yang mendorong manajer
perusahaan untuk melakukan manajemen laba, yaitu:
1. Motivasi Bonus, yaitu manajer yang memiliki informasi atas laba bersih
perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen
laba dengan memaksimalkan laba saat ini.
2. Motivasi Kontraktual Lainnya, yaitu manajer suatu perusahaan yang memiliki
rasio debt/equity yang besar cenderung akan memilih prosedur-prosedur
akuntansi yang dapat memindahkan periode mendatang ke periode berjalan.
Manajer melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjian hutangnya.
3. Motivasi Politik, yaitu manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang
dilaporkan pada perusahaan politik. Perusahaan cenderung mengurangi laba
yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah
menetapkan peraturan lebih ketat.
4. Motivasi Pajak, menyatakan bahwa perpajakan merupakan salah satu motivasi
mengapa perusahaan mengurangi labanya yang dilaporkan. Tujuannya adalah
dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayarkan.
5. Pergantian CEO, yaitu motivasi manajemen laba ada di sekitar waktu
pergantian CEO. Biasanya CEO yang akan pensiun atau masa kontraknya
menjelang berakhir akan melakukan strategi memaksimalkan jumlah pelaporan
laba guna meningkatkan jumlah bonus yang akan mereka terima. Hal yang
sama akan dilakukan oleh manajer dengan kinerja yang buruk. Tujuannya
adalah menghindari diri dari pemecatan sehingga mereka cenderung untuk
menaikan jumlah laba yang dilaporkan.
6. Motivasi Pasar Modal, motivasi ini muncul karena informasi akuntansi
digunakan secara luas oleh investor dan para analisis keuangan untuk menilai
saham. Dengan demikian, kondisi ini memberikan kesempatan bagi manajer
untuk memanipulasi laba dengan cara mempengaruhi performa harga saham
jangka pendek.
Ada tiga faktor yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktek manajemen laba
yaitu:
1. Manajemen Akrual (Accruals Management) Faktor ini biasanya berkaitan
dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga
keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer
(Managers discretion).
2. Penerapan Suatu Kebijaksanaan Akuntansi yang Wajib Faktor ini berkaitan
dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijaksanaan akuntansi
yang wajib diterapkan oleh perusahaan yaitu antara menerapkannya lebih awal
dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya
kebijaksanaan tersebut.
3. Perubahan Aktiva Secara Sukarela Faktor ini biasanya berkaitan dengan upaya
manajer untuk mengganti atau mengubah suatu metode akuntansi tertentu di
antara sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh
badan akuntansi yang ada (Generally Accepted Accounting Principles).
Scott menyebutkan bahwa pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara:
1. Taking a bath, pola ini terjadi pada saat reorganisasi, dimana manajemen harus
melaporkan kerugian dalam jumlah besar agar dapat meningkatkan laba dimasa
yang akan datang.
2. Income minimization. Perusahaan yang tingkat profitabilitasnya tinggi akan
melakukan pola ini, sehingga apabila laba pada periode mendatang
diperkirakan akan turun drastis, maka dapat diatasi dengan mengambil laba dari
periode sebelumnya.
3. Income maximization, pola ini dilakukan pada saat laba perusahaan mengalami
penurunan. Perusahaan yang melaporkan net income yang tinggi berharap akan
memperoleh bonus yang lebih besar.
4. Income smoothing, pola ini dilakukan dengan cara meratakan laba yang
dilaporkan dengan tujuan untuk pelaporan eksternal, terutama bagi investor,
karena investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
Model Pengukuran Manajemen Laba
1. Model Healy Healy
Model (1985) menguji manajemen laba dengan membandingkan rata-rata
total akrual di seluruh variabel pembagian manajemen laba. Studi Healy
berbeda dengan kebanyakan studi manajemen laba lainnya karena ia
memprediksi bahwa manajemen laba sistematis terjadi dalam setiap periode.
Variabel pemisahnya membagi sampel menjadi tiga kelompok, dengan
pendapatan diprediksi akan dikelola ke atas di salah satu kelompok dan ke
bawah pada dua kelompok lainnya. Kesimpulan kemudian dilakukan melalui
perbandingan berpasangan dari total akrual rata-rata pada kelompok di mana
pendapatan diprakirakan akan dikelola ke atas dengan rata-rata total akrual
untuk masing-masing kelompok di mana pendapatan diprediksi akan dikelola
ke bawah.
Pendekatan ini setara dengan memperlakukan seperangkat pengamatan
dimana pendapatan diperkirakan akan dikelola ke atas sebagai periode estimasi
dan himpunan pengamatan dimana pendapatan diperkirakan akan dikelola ke
bawah sebagai periode peristiwa. Total akrual rata-rata dari periode estimasi
kemudian mewakili ukuran akrual nondiscretionary. Total accruals (ACC,)
yang mencakup discretionary (DAt) dan nondiscretionary (NDAt)
components, dihitung sebagai berikut (Healy, 1985):
ACCT = NAt + DAt
2. Model DeAngelo
Model DeAngelo (1986) menguji manajemen laba dengan menghitung
perbedaan pertama dalam total akrual, dan dengan mengasumsikan bahwa
perbedaan pertama memiliki nilai nol yang diharapkan berdasarkan hipotesis
nol yang menyatakan tidak ada manajemen laba. Model ini menggunakan total
akrual periode lalu (diskalakan dengan total aset t-1) sebagai ukuran
akrual nondiskritioner. Dengan demikian, Model DeAngelo untuk akrual
nondiskritioner adalah (DeAngelo, 1986):
3. Model Jones (1991)
Mengusulkan sebuah model yang menyederhanakan anggapan bahwa
akrual nondiskretioner bersifat konstan. Modelnya mencoba mengendalikan
efek perubahan pada lingkungan ekonomi perusahaan terhadap akrual
nondiskritioner. Model Jones untuk akrual nondiskretioner pada tahun yang
bersangkutan adalah (Jones, 1991):
Keterangan:
∆REVt = Pendapatan pada tahun t dikurangi pendapatan pada tahun
t-1 dibagi dengan Total aset pada t-1;
PPEt = Property, pabrik dan peralatan pada tahun t dibagi dengan
total aset pada t-1;
At-1 = Total aset pada tahun t-1;
ß1, ß2, ß3 = Parameter-parameter spesifik perusahaan
4. Model Industri Dechow dan Sloan
(1991) menyusun model pengukuran manajemen laba yang dikenal
dengan Model Industry. Serupa dengan Model Jones, Model Industri
menyederhanakan anggapan bahwa akrual nondiskretioner konstan sepanjang
NDAt = TAt-1
NDAt = ß1 (1 / At-l) + ß 2 (∆REVt) + ß3 (PPEt)
waktu. Namun, alih-alih mencoba secara langsung memodelkan faktor penentu
akrual nondiskritioner. Model Industri mengasumsikan bahwa variasi dalam
faktor penentu akrual nondiskresioner adalah umum di seluruh perusahaan di
industri yang sama. Model Industri untuk akrual nondiskritioner adalah
(Dechow dan Sloan, 1991):
Keterangan:
Median I (TAt) = Median dari total akrual yang diukur dengan
aset tahun t-1 untuk semua perusahaan nonsampel dalam kode industry yang sama.
Parameter spesifik perusahaan γ1 dan γ2 diperkirakan menggunakan koefesien
regresi pada pengamatan di Periode estimasi

Profitabilitas

Profitabilitas merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
mencari keuntungan dan juga memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu
perusahaan. Profitabilitas suatu perusahaan ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari
penjualan dan pendapatan investasi, intinya adalah bahwa rasio ini menunjukkan
efisiensi perusahaan. Dengan demikian, profitabilitas merupakan rasio untuk
mengetahui bagaimana kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba
operasi di periode tertentu melalui penggunaan semua sumber daya perusahaan yang
dapat mencerminkan kinerja suatu perusahaan.
Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba merupakan fokus utama
untuk penilaian prestasi perusahaan, laba menjadi indikator kemampuan perusahaan
dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur, investor, bahkan pemerintah serta
merupakan bagian dalam proses penciptaan nilai perusahaan berkaitan dengan prospek
perusahaan di masa depan, (Andriyanto, 2015). Semakin perusahaan mampu dalam
menghasilkan laba yang tinggi maka menunjukan semakin baik kinerja perusahaan
yang akan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya dan mendapat
kepercayaan dari para kreditur.
Dalam penelitian Darmadi dan Zulaikha (2013) menyebutkan bahwa terdapat
beberapa jenis rasio profitability , antara lain :
1. Profit Margin (PM)
Meningkatnya profit margin mengindikasikan bahwa perusahaan mampu
menghasilkan laba bersih yang lebih tinggi dari aktivitas penjualannya.
2. Return on asset (ROA)
ROA dapat digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas operasi.
3. Return on equity (ROE)
ROE merupakan alat ukur terakhir untuk mengukur profitabilitas perusahaan.
ROE menggambarkan keberhasilan perusahaan menghasilkan laba untuk para
pemegang saham.
Tingkat profitability perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan rasio Return
On Asset (ROA), yang diadopsi dari pengukuran profitability pada penelitian Khan et
al (2017), Maharani dan Suardana (2014), Dewinta dan Setiawan (2016), Damayanti
dan Susanto (2015).
Return on asset (ROA) dapat mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
laba dengan menggunakan total aset yang dimiliki perusahaan setelah disesuaikan
dengan biaya yang digunakan untuk mendanai aset tersebut seperti biaya
pengembangan dan pengelolaan karyawan dalam meningkatkan intellectual
(Andriyanto, 2015). Semakin tinggi nilai Return on asset (ROA) maka semakin baik
penggunaan aktiva yang dimiliki perusahaan dalam memperoleh laba perusahaan.
Adapun kelebihan dalam menggunakan pengukuran Return on asset (ROA),
dalam Andriyanto (2015), sebagai berikut :
1. Return on asset (ROA) mempunyai manfaat dalam keperluan perencanaan,
misalnya sebagai dasar pengambilan keputusan apabila perusahaan akan
melakukan ekspansi. Perusahaan dapat mengestimasikan Return on asset
(ROA) melalui investasi pada aktiva tetap;
2. Sebagai alat ukur profitabilitas dari masing-masing produk yang dihasilkan
oleh perusahaan. Dengan menerapkan sistem biaya produksi yang baik, maka
modal dan biaya dapat dialokasikan kedalam berbagai produk yang dihasilkan
oleh perusahaan; dan
3. Dapat mengefisiensi penggunaan modal, efisiensi produksi dan efisiensi
penjualan. Hal ini dapat dicapai apabila perusahaan telah melaksanakan praktik
akuntansi secara benar.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan
Return on asset (ROA) dalam mengukur rasio profitabilitas suatu perusahaan dianggap
mampu membantu mengukur efisiensi penggunaan modal yang menyeluruh dan
sensitif terhadap setiap hal yang mempengaruhi keadaan keuangan perusahaan
sehingga dapat diketahui posisi perusahaan terhadap industri.

Free Cash Flow

Free cash flow merupakan kas yang tersedia diperusahaan yang dapat digunakan
untuk berbagai aktivitas/kegiatan (Murhadi, 2013:48). Semakin besar free cash flow
yang tersedia dalam suatu perusahaan, maka semakin sehat perusahaan karena
memiliki kas yang tersedia untuk pertumbuhan, pembayaran hutang, dan dividen. Hal
ini dapat juga diartikan bahwa semakin kecil nilai free cash flow yang dimiliki
perusahaan, maka perusahaan bisa dikategorikan tidak sehat karena tidak adanya kas
yang ada untuk pertumbuhan, pembayaran hutang, dan dividen perusahaan (White et
al. (2003:68).
Brigham dan Houston, (2010:108), menyatakan bahwa arus kas bebas yang
berarti arus kas yang benar-benar tersedia untuk dibayarkan kepada seluruh investor
setelah perusahaan menempatkan seluruh investasinya pada aktiva tetap, produkproduk baru, dan modal kerja yang dibutuhkan untuk mempertahankan operasi yang
sedang berjalan

Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham yang dimilki oleh
pemerintah, perusahaan asuransi, investor luar negeri atau bank, kecuali kepemilikan
individual investor (Damayanti dan Susanto, 2015: 195). Pemilik institusional
memiliki peran yang penting dalam memantau, mendisiplinkan dan mempengaruhi
manajer. Institusi sebagai pemilik saham juga dianggap mampu dalam mendeteksi
kesalahan yang terjadi. Institusi sebagai investor yang sophisticated karena mempunyai
kemampuan dalam memproses informasi dibandingkan dengan investor individual,
sehingga dapat membatasi manajemen dalam memainkan angka pada laporan
keuangan.
Kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan manajemen dalam
memanfaatkan discretionary di laporan keuangan sehingga memberikan kualitas laba
yang dilaporkan. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan dalam
mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga
mengurangi tindakan manajemen melakukan earning management. Persentase saham
tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan
keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan
pihak manajemen (Ruddian, 2017:14).
Kepemilikan institusional yang tinggi atas saham suatu perusahaan akan
menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak institusional sehingga
dapat menghalangi perilaku oportunistik dari para manajer perusahaan. Kepemilikan
institusional dapat diukur dengan proporsi saham yang dimiliki institusional pada akhir
tahun dibandingkan dengan jumlah saham yang beredar di perusahaan tersebut (Moh’d
et al., 1998).

Profitabilitas

.
Profitabilitas merupakan suatu ukuran yang digunakan untuk menilai
sejauh mana perusahaan dapat menghasilkan keuntungan (laba) pada tingkat yang
diterima. Profitabilitas menurut K.R.Subramanyam (2013) merupakan ringkasan
hasil bersih aktivitas operasi usaha dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam
istilah.
Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan
perusahaan dalam mencari keuntungan (Kasmir, 2010). Rasio profitabilitas
merupakan rasio untuk mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan yang
ditunjukan oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam
hubungan penjualan maupun investasi (Irfan Fahmi, 2012). Dengan menggunakan
rasio profitabilitas, tingkat efektivitas manajemen dalam mengelola perusahaan
dapat dilihat dalam bentuk presentase. Semakin tinggi tingkat presentase laba,
maka semakin bagus tingkat pengelolaan manajemen perusahaan. Semakin tinggi
tingkat profitabilitas suatu badan usaha maka kelangsungan hidup badan usaha
tersebut akan lebih terjamin. Kebijakan pendanaan perusahaan sangat dipengaruhi
oleh preferensi manajemen tentang sejauh mana penguasaan pengetahuan
manajemen dalam menentukan struktur modal optimal (Harmono, 2013).
Pengukuran rasio profitabilitas dapat dilakukan dengan membandingkan
antara berbagi komponen yang ada dalam laporan keuangan laba rugi dan atau
neraca (Hery. 2016). Penghitungan profitabilitas dilakukan untuk beberapa
periode dengann tujuan untuk memonitor dan mengevaluasi tingkat
perkembangan profitabilitas perusahaan secara berkala. Menurut (Kasmir, 2010)
terdapat 5 jenis rasio untuk menghitung rasio profitabilitas, yakni :
1. Profit Margin on Sales (Profit Margin)
Merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur margin laba
atas penjualan. Untuk mengukur rasio ini adalah dengan cara
membandingkan antara laba bersih setelah pajak dengan penjualan
bersih.
2. Return on Investment (ROI)
Merupakan rasio yang menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva
yang digunakan dalam perusahaan. ROI juga merupakan suatu ukuran
tentang efektivitas manajemen dalam mengelola investasinya.
3. Return on Equity (ROE)
Merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan
modal sendiri. Rasio ini menunjukkan efisiensi penggunaan modal
sendiri. Makin tinggi rasio ini, makin baik. Artinya, posisi pemilik
perusahaan makin kuat, demikian pula sebaliknya.
4. Earning Per Share (Laba Per Lembar Saham)
Rasio untuk mengukur keberhasilan manajemen dalam mencapai
keuntungan bagi pemegang saham. Rasio yang rendah berarti manajemen
belum berhasil untuk memuaskan pemegang saham, sebaliknya dengan
rasio yang tinggi, maka kesejahteraan pemegang saham meningkat
dengan pengertian lain, bahwa tingkat pengembalian yang tinggi.
Sedangkan menurut Sutrisno (2012), perhitungan profitabillitas memiliki berbagai
macam rasio yakni :
1. Return Of Assets
Return on Assets (ROA) merupakan ukuran kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba dengan semua aktivitas yang dimiliki oleh
perusahaan.
2. Return On Equity
Return on Equity (ROE) yaitu kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang dimiliki, sehingg
ROE ini ada yang menyebut sebagai rentabilitasmodal sendiri.
3. Return On Investement
Return on investsment (ROI) merupakan kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan keuntungan yang akan digunakan untuk menutup
investasi yang dikeluarkan.
4. Net Profit Margin
Profit margin merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan dibandingkan dengan penjualan yang dicapai.

Leverage

Leverage keuangan adalah ukuran yang menunjukkan sampai sejauh
mana sekuritas dalam bentuk hutang dan saham preferen yang digunakan sebagai
modal menjadi beban tetap bagi perusahaan ( Gendro Wiyono dan Hadri Kusuma,
2017). Leverage adalah penggunaan aktiva dan sumber dana oleh perusahaan
yang memiliki biaya tetap (beban tetap) yang berasal dari pinjaman karena
memiliki bunga sebagai beban tetap dengan maksud agar meningkatkan
keuntungan potensial pemegang saham (Sjahrial, 2009). Analisis leverage
digunakan untuk mengukur seberapa jauh penggunaan aktiva perusahaan dibiayai
dengan hutang. Selain itu juga digunakan untuk mengukur seberapa banyak dana
yang disupply oleh pemilik perusahaan dalam proporsinya dengan dana yang
diperoleh dari kreditur perusahaan atau untuk mengukur sampai berapa jauh
perusahaan telah dibiayai dengan utang-utang jangka panjang.
Leverage meningkat ditentukan oleh aktiva tetap, peluang investasi dan
ukuran perusahaan (Dr. Suripto, S.Sos, M.AB, 2015). Tingkat leverage antara
satu perusahaan dengan perusahaan lain berbeda. Semakin tinggi risiko yang
dihadapi serta semakin besar tingkat return atau penghasilan yang diharapkan.
Tetapi dengan tingginya rasio leverage menunjukkan bahwa perusahaan
tidak solvable, artinya total hutangnya lebih besar dibandingakan dengan
total asetnya. Sehingga dikhwatirkan para pemegang saham akan takut untuk
berinvestasi, karena mereka berpikir assets yang dimiliki oleh perusahaan lebih
besar dibiayai oleh hutang. Apabila perusahaan tidak dapat membayar
kewajibannya ditakutkan akan berpengaruh terhadap investasi yang sudah mereka
tanam. Dalam pengukuran leverage ini digunakan rasio keuangan yakni rasio solvabilitas
(leverage ratio). Menurut Kasmir (2010) terdapat 5 jenis leverage ratio yaitu :
1. Debt to Assets Ratio (DAR)
Merupakan rasio utang yang digunakan untuk mengukur seberapa besar
aktiva perusahaan dibiayai oleh utang atau seberapa besar utang
perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva.
2. Debt to Equity Ratio (DER)
Merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas.
Untuk mencari rasio ini dengan cara membandingkan antara seluruh
utang, termasuk utang lancar dengan seluruh sekuritas. Rasio ini berguna
untuk mengetahui jumlah dana yang disediakan peminjam (kreditor)
dengan pemilik perusahaan. Dengan kata lain rasio ini untuk mengetahui
setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan untuk jaminan utang.
3. Long Term Debt to Equity Ratio
Merupakan rasio antara utang jangka panjang dengan modal sendiri.
Tujuannya adalah untuk mengukur berapa bagian dari setiap rupiah
modal sendiri yang dijadikan jaminan utang jangka panjang dengan cara
membandingkan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri yang
disediakan oleh perusahaan.
4. Times Interest Earned
Merupakan rasio untuk mencari jumlah kali perolehan (J. Fred Weston).
Rasio ini diartikan juga kemampuan perusahaan untuk membayar biaya
bunga, sama seperti coverage ratio (menurut James C. van Hone).
5. Fixed Charge Coverage
Merupakan rasio yang menyerupai rasio Times Interest Earned. Hanya
saja bedanya dalam rasio ini dilakukan, apabila perusahaan memperoleh
utang jangka panjang atau menyewa aktiva berdasarkan kontrak sewa
(lease contract). Biaya tetap merupakan biaya bunga ditambah kewajiban
sewa tahunan.
Sedangkan menurut Husnan dan Pudjiastuti (2004 : 70) secara umum terdapat
tiga rasio leverage, yaitu :
1. Debt to Equity Ratio
Rasio ini menunjukkan perbandingan antara hutang dengan modal
sendiri. Dari pengertian di atas, maka diperoleh rumus debt to equity
ratio sebagai berikut :
2. Times Interest Earned
Rasio ini mengukur seberapa banyak laba operasi (kadang ditambah
juga dengan penyusutan) mampu membayar bunga hutang. Dari
pengertian di atas, maka diperoleh rumus times interest earned
sebagai berikut :
3. Debt Service Covarage
Kewajiban finansial yang timbul karena menggunakan hutang tidak
hanya karena membayar bunga dan sewa guna (leasing). Ada juga
kewajiban dalam bentuk pembayaran angsuran pokok pinjaman.

Motivasi Manajemen Laba

Banyak motivasi dilakukannya manajemen laba, diantaranya adalah
motivasi pasar modal karena adanya keuntungan bagi seorang manajer untuk
memanipulasi laba untuk mempengaruhi harga saham. Menurut Sumabrayam dan
John Wild (2013), terjadinya motivasi manajemen laba dikarenakan terdapat
beberapa insentif, yaitu :
1. Insentif Perjanjian.
Banyak perjanjian menggunakan angka akuntansi. Misalnya perjanjian
kompensasi manajer biasanya mencakup bonus berdasarkan laba.
Perjanjian bonus biasanya memiliki batas atas dan batas bawah, artinya
manajer tidak mendapat bonus jika laba lebih rendah dari batas bawah
dan tidak mendapat bonus tambahan saat laba lebih tinggi dari batas atas.
Hal ini berarti manajer memiliki insentif untuk meningkatkan atau
mengurangi laba berdasarkan tingkat laba yang belum diubah terkait
dengan batas atas dan bawah ini. Jika laba yang belum diubah berada
diantara batas atas dan batas bawah, manajer memiliki insentif untuk
meningkatkan laba.
2. Dampak Harga Saham.
Insentif manajemen laba lainnya adalah potensi dampak terhadap harga
saham. Misalnya, manajer dapat meningkatkan laba untuk menaikkan
harga saham perusahaan sementara sepanjang satu kejadian tertentu
seperti merger yang akan dilakukan atau penawaran surat berharga, atau
rencana untuk menjual saham atau melaksanakan opsi. Manajer juga
melakukan perataan laba untuk menurunkan persepsi pasar akan resiko
dan menurunkan biaya modal.
3. Insentif Lain.
Laba sering kali diturunkan untuk menghindari biaya politik dan
penelitian yang dilakukan badan pemerintah, misalnya untuk ketaatan
undang-undang antimonopoly dan IRS. Selain itu perusahaan dapat
menurunkan laba untuk memperoleh keuntungan dari pemerintah,
misalnya subsidi atau proteksi dari persaingan asing. Perusahaan juga
menurunkan laba untuk mengelakkan permintaan serikat buruh

Strategi Manajemen Laba

.Menurut Subrayaman dan John J. Wild (2010), strategi manajemen
laba dibagi menjadi 3 yakni manajer meningkatkan laba (increasing income)
periode kini, manajer melakukan mandi besar (big bath), dan manajer melakukan
fluktuasi laba dengan perataan laba (income smoothing).
1. Peningkatan laba (increasing income)
Meningkatkan laba pada periode kini agar perusahaan dapat dipandang
lebih baik. Sehingga perusahaan dapat melaporkan laba yang lebih tinggi
berdasarkan manajemen laba sepanjang periode yang panjang.
2. Big Bath
Strategi ini dilakukan dengan cara melakukan penghapusan (write- off)
transaksi pada satu periode. Di mana periode yang dipilih biasanya
adalah periode dengan kinerja yang buruk atau sering kali pada masa
resesi di mana perusahaan lain juga melaporkan laba yang buruk atau
peristiwa saat terjadi satu kejadian yang tidak biasa seperti
perubahan manajemen, merger, atau restrukturisasi. Strategi “Big Bath”
juga sering kali dilakukan setelah strategi peningkatan laba pada periode
sebelumnya.
3. Perataan Laba (Income Smoothing)
Manajer meningkatkan atau menurunkan laba yang dilaporkan untuk
mengurangi fluktuasinya. Perataan laba juga mencakup tidak
melaporkan bagian laba pada periode tertentu baik dengan
menciptakan cadangan atau “bank” laba dan kemudian melaporkan laba
ini saat periode buruk.
Sedangkan menurutt Scott (2006), strategi manajemen laba dapat
dilakukan dengan 4 cara yaitu :
1. Taking a bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan Chief
Executive Officer (CEO) baru dengan melaporkan kerugian dalam
jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa
yang akan datang.
2. Income minimization
Income minimization adalah menurunkan jumlah laba yang akan
dilaporkan. Cara ini dilakukan saat perusahaan memperoleh tingkat
profitabilitas yang tinggi dengan maksud untuk memperoleh perhatian
secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas
barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan,
riset dan pengembangan dipercepat.
3. Income maximization
Income maximization adalah memaksimalkan laba yang dilaporkan agar
memperoleh bonus yang lebih besar, income maximization dilakukan
pada saat laba mengalami penurunan. Kecenderungan manajer untuk
memaksimalkan laba juga dapat dilakukan pada perusahaan yang
melakukan suatu pelanggaran perjanjian utang.
4. Income smoothing
Income smoothing dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba
yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu
besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif
stabil.
Dengan menggunakan strategi manajemen laba, manajer dapat melakukan
kombinasi dari beberapa strategi untuk mencapai tujuan dalam jangka panjang.

Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori yang digunakan dalam manajemen laba adalah teori keagenan
(Agency Theory). Teori keagenan merupakan teori yang mendeskripsikan
hubungan antara pemegang saham (principal) dan manajemen (agent). Teori
keagenan digunakan sebagai pemisah antara pengelola perusahaan (pihak
manajemen) dengan pemilik perusahaan (pemegang saham) (Husnan dan Eny,
2015). Antara pemegang saham dan manajemen memiliki tujuan yang berbeda
sehingga memunculkan konflik kepentingan. Seorang pemegang saham
menginginkan agar pengembalian yang diberikan atas hasil investasi dilakukan
secara cepat dengan keuntungan yang tinggi, sedangkan seorang manajer
menginginkan insentif/kompensasi sebesar-besarnya atas kinerjanya dalam
mengelola perusahaan.
Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa teori agensi
menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu:
1. Manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest.)
2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality).
3. Manusia selalu menghindari resiko (risk averse.)

Pengertian Manajemen Laba

.
Dalam artian sempit manajemen laba didefinisikan sebagai perilaku
manajemen untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam
menentukan besarnya laba. Manajemen laba dalam lingkup yang lebih luas dapat
didefinisikan sebagai tindakan manajer dalam meningkatkan (menurunkan) laba
saat ini atas suatu usaha dan manajer bertanggung jawab tanpa mengakibatkan
peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.
Manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan yang bias memberikan
informasi mengenai keuntungan ekonomis (economic advantage) yang
sesungguhnya tidak dialami perusahaan, yang dalam jangka panjang tindakan
tersebut bisa merugikan perusahaan.
Menurut Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk. (2006) yang
menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan
tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa
keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari
proses tersebut).
Sedangkan menurut Scott (2000) cara pemahaman atas manajemen
laba dibagi menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunis manajer
untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi,
kontrak utang, dan political costs (oportunistic Earnings Management). Kedua,
dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficien
Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak.
Dalam teori manajamen laba, definisi menurut Scott (2000) yang memberikan
pengertian lebih spesifik.
Pada dasarnya definisi manajemen laba adalah suatu kemampuan
untuk memanipulasi pilihan-pilihan yang tersedia dan mengambil pilihan
yang tepat untuk mendapatkan tingkat laba yang diinginkan ( Riahi, 2012).
Komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara
fisik sehingga mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus
disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan (Sulistyanto, 2008
dalam Nuraini, 2012). Artinya penerimaan atau pengeluaran di akui ketika
transaksi terjadi, bukan ketika kas untuk transaksi diterima atau dibayarkan.
Terdapat banyak metode dalam penghitungan manajemen laba yaitu :
1. Model Healey
Merupakan model yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas rekayasa
dengan menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen
laba. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Healy dan DeAngelo.
Penghitungan ini menggunakan rumus :
2. Model Modified Jones
Selanjutnya Dechow, Sloan dan Sweeney mengembangkan model Jones
menjadi model yang dimodifikasi (modified Jones Model). Model ini
menggunakan total akrual dan model regresi untuk menghitung akrual
yang diharapkan (expected accruals) dan akrual yang tidak diharapkan
(unexpected accruals). Penghitungan ini menggunakan rumus :
• Untuk menghitung total accrual
• Untuk menghitung non discretionary accrual
• Untuk menghitung discretionary accrual
Keterangan :
DAit = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t
TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t
NIit = Laba bersih perusahaan i pada tahun t
CFOit = Aliran Kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t
∆Revit = Pendapatan perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan
𝐷𝐴𝐶𝑖𝑡 = (𝑇𝐴𝑖𝑡 / 𝑆𝐴𝑖𝑡) − (𝑇𝐴𝑖𝑡 /𝑆𝑖𝑡 − 1)
𝑇𝐴𝑖𝑡 = 𝑁𝐼𝑖𝑡 − 𝐶𝐹𝑂𝑖𝑡
𝑁𝐷𝐴𝑖𝑡 = 𝛽1 (
1
𝐴𝑖𝑡 − 1
) + 𝛽2 (
∆𝑅𝐸𝑉𝑡 − ∆𝑅𝐸𝐶𝑡
𝐴𝑖𝑡 − 1
) + 𝛽2 (
∆𝑃𝑃𝐸𝑡
𝐴𝑖𝑡 − 1
)
𝐷𝐴𝑖𝑡 = 𝑇𝐴𝑖𝑡 − 𝑁𝐷𝐴𝑖𝑡
12
Tahun t-1
∆Rect = Perubahan piutang perusahaan i pada tahun t
∆PPEit = Aktiva tetap perusahaan i pada tahun t
Ait-1 = Total aktiva perusahaan i pada tahun t-1
Manajemen laba merupakan tindakan seorang manajer untuk
menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan atau bisa disebut dengan
melakukan manipulasi laba pada laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip
akuntansi. Apabila perusahaan menerapkan manajemen laba maka yang paling
diutungkan adalah pihak manajer.

Pengaruh Manajemen Laba dengan Cost Of Capital (Biaya Modal).

Menurut Wiwik (2005) manajemen laba berpengaruh positif terhadap biaya
modal. Semakin tinggi tingkat akrual, maka semakin tinggi biaya modal. Menurut
Tarjo (2008) manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap biaya modal.
Manajemen laba digunakan untuk menurunkan laba perusahaan sehingga biaya-biaya
yang dikeluarkan lebih besar. Menurut Stolowy dan Breton (2000) dalam Wiwik
(2005) menjelaskan bahwa manipulasi akun dilakukan atas dasar keinginan
manajemen untuk mempengaruhi persepsi investor atas risiko perusahaan. Risiko
tersebut dapat dipecah dalam dua komponen, yaitu:
1) risiko yang dihubungkan dengan variasi imbal hasil yang diukur dengan
laba per lembar saham (earning per share) dan
2) risiko yang dihubungkan dengan struktur keuangan perusahaan, yang
diukur dengan debt equity ratio. Tujuan dari manajemen laba itu sendiri
adalah untuk memperbaiki ukuran kedua risiko tersebut.
Berdasarkan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen laba
berpengaruh positif terhadap biaya modal. Semakin tinggi manajemen laba yang
dilakukan oleh perusahaan dalam memanipulasi labanya, maka akan semakin tinggi
biaya modal perusahaan karena tingkat risiko informasi akan semakin tinggi juga,
konsekuensinya investor akan menaikkan rate biaya modal. Perusahaan yang
memaksimumkan labanya bertujuan agar dapat meningkatkan harga sahamnya,
meningkatnya harga saham akan menyebabkan deviden yang akan dikembalikan
kepada investor akan semakin tinggi juga sehingga biaya modal yang akan
dikeluarkan oleh perusahaan akan semakin tinggi juga. Sebaliknya, apabila
perusahaan meminimumkan labanya seperti untuk tujuan penurunan laba, maka
perusahaan akan menanggung risiko yang lebih besar atas tindakannya, sehingga
42
biaya modal yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut akan semakin tinggi juga,
dengan adanya manajemen laba maka investor bereaksi dengan menaikkan tingkat
pengembalian yang dipersyaratkan kemudian akan meningkatkan biaya modal. Hal
ini tidak baik bagi investor jangka panjang investor karena investor tidak akan
berinvestasi lagi karena merasa tertipu dengan tingkat imbal hasil yang seharusnya
lebih besar. Bagi pemegang saham saat ini, biaya modal sangat penting untuk melihat
secara langsung imbal atas investasi mereka dan hanya sedikit memberikan gambaran
kepada pemegang saham masa datang, tetapi tidak bias menjadi acuan pemegang
saham masa depan dalam memprediksikan imbal hasil mereka yang akan mereka
terima nanti

Pengaruh Asimetri Informasi dengan Cost Of Capital (Biaya Modal )

Informasi asimetri berpengaruh positif terhadap biaya modal. Semakin kecil
asimetri informasi yang terjadi antara partisipan maka biaya modal akan semakin
kecil pula. Menurut Khomsiyah (2003) asimetri informasi berpengaruh positif
terhadap biaya modal, yang menyatakan bahwa hal ini konsisten dengan teori
keagenan yaitu semakin banyak informasi yang disembunyikan pihak agen, maka
akan semakin tinggi risiko yang harus ditanggung oleh pemilik modal.
Berdasarkan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa asimetri informasi
berpengaruh positif terhadap biaya modal. Asimetri informasi menyebabkan risiko
informasi semakin tinggi, tingginya risiko informasi akan berdampak pada tingginya
biaya modal yang dikeluarkan oleh perusahaan. Asimetri informasi dimana
perusahaan lebih mengetahui prospek perusahaan dimasa yang akan datang
dibandingkan investor, apabila harga saham perusahaan sekarang tinggi yang
menandakan bahwa kinerja perusahaan lebih baik, maka investor memiliki keputusan
untuk menanamkan modalnya pada perusahaan, akan tetapi investor tidak mengetahui
lebih pasti prospek perusahaan tersebut dimasa yang akan datang, apakah lebih baik
atau bahkan lebih buruk. Apabila kinerja perusahaan dimasa yang akan datang lebih
buruk yang hanya diketahui oleh manajemen perusahaan, maka perusahaan akan
mengeluarkan biaya yang lebih besar atas tindakannya. Selain itu, investor juga akan
menanggung kerugian atas investasinya, seperti kemungkinan deviden tidak akan
diterimanya kembali, sehingga biaya modal akan semakin tinggi.
Menurut Bapepam (2011), menyatakan bahwa investor yang berinformasi
(informed investor) akan melakukan transaksi berdasarkan informasi privat yang
diperolehnya, karena itu semakin banyak transaksi yang dilakukan investor, semakin
tinggi pula volatilitas harga saham dikarenakan munculnya informasi privat.
Volatilitas di pasar keuangan menggambarkan tingkat risiko yang dihadapi pemodal
karena mencerminkan fluktuasi pergerakan harga saham. kapan dapat mengurangi
ketidakpastian hasil yang akan diperolehnya dimasa yang akan datang. Sehingga
perusahaan akan mendapatkan dana dengan mudah dan dengan biaya yang rendah.
Manajemen perusahaan berusaha untuk memanipulasi labanya, untuk
mendapatkan pendanaan eksternal tersebut. Manajemen dapat menaikkan atau
menurunkan labanya sesuai dengan tujuan pribadinya yang dapat merugikan investor
sehingga risiko yang dihadapi investor pun semakin tinggi. Hal ini akan
menyebabkan biaya modal akan menjadi lebih tinggi juga. Ketidakseimbangan
informasi antara partisipan, dimana pihak manajemen lebih mengetahui prospek
perusahaan dimasa yang akan datang dibandingkan dengan investor tersebut,
menyebabkan perusahaan akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi juga, karena
tingginya risiko yang dihadapi investor atas investasinya

Asumsi-Asumsi Model Biaya Modal

Masih menurut Warsono (2002) sebagai suatu konsep keuangan maka terdapat
asumsi-asumsi dalam model biaya modal, diantaranya:
1) Risiko bisnis bersifat konstan.
Risiko bisnis merupakan potensi tingkat perubahan return atas suatu investasi.
Tingkat risiko bisnis dalam suatu perusahaan ditentukan dengan kebijakan
manajemen investasi. Biaya modal merupakan suatu kriteria investasi yang
hanya tepat untuk suatu investasi yang memiliki risiko bisnis setingkat dengan
aktiva-aktiva yang telah ada.
2) Risiko keuangan bersifat konstan.
Risiko keuangan didefinisikan sebagai peningkatan variasi return atas saham
umum karena bertambahnya pemanfaatan sumber pemiayaan hutang dan saham
istimewa. Biaya modal dari sumber individual merupakan fungsi dari struktur
keuangan berjalan.
3) Kebijakan dividen bersifat konstan.
Asumsi ini diperlukan dalam menaksir biaya modal yang berkenaan dengan
kebijakan dividen perusahaan. Asumsi ini menyatakan bahwa rasio pembayaran
dividen (dividen/laba bersih) juga konstan.

Faktor-Faktor Yang Menentukan Biaya Modal

Menurut Warsono (2002), besar kecilnya biaya modal baik untuk perusahaan
atau proyek khusus di pengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor penting yang
mempengaruhi biaya modal antara lain:
a. Keadaan-keadaan umum perekonomian. Kondisi ekonomi secara makro seperti
tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi sangat mempengaruhi biaya
modal. Faktor ini juga menentukan tingkat bebas risiko atau tingkat hasil tanpa
risiko.
b. Kondisi pasar (Daya jual saham suatu perusahaan). Jika daya jual saham
meningkat, tingkat hasil minimum para investor akan turun dan biaya modal
perusahaaan akan rendah.
c. Keputusan-keputusan operasi dan pembiayaan yang dibuat manajemen. Jika
manajemen menyetujui penanaman modal berisiko tinggi atau memanfaatkan
utang dan saham khusus secara ekstensif, tingkat risiko perusahaan bertambah.
Para investor selanjutnya meminta tingkat hasil minimum yang lebih tinggi
sehingga biaya modal perusahaan meningkat pula.
d. Besarnya pembiayaan yang diperlukan. Permintaan modal dalam jumlah besar
akan meningkatkan biaya modal perusahaan.

Cost Of Capital (Biaya Modal)

Menurut MP. Tampubolon (2008),
“Modal adalah dana yang digunakan untuk membiyai pengadaan aktiva dan
operasi perusahaan. Modal terdiri dari hutang, saham biasa, saham preferen,
dan laba ditahan”.
Biaya modal merupakan konsep penting dalam analisis investasi karena dapat
menunjukkan tingkat minimum laba investasi yang harus diproleh dari investasi
tersebut. Jika investasi itu tidak dapat menghasilkan laba investasi sekurangkurangnya sebesar biaya yang ditanggung maka investasi itu tidak perlu dilakukan.
Lebih mudahnya, biaya modal merupakan rata-rata biaya dana yang akan dihimpun
untuk melakukan suatu investasi. Dapat pula diartikan bahwa biaya modal suatu
perusahaan adalah bagian (suku rate) yang harus dikeluarkan perusahaan untuk
memberi kepuasan pada para investornya pada tingkat risiko tertentu.
Biaya modal merupakan tingkat pengembalian atas seluruh investasi
perusahaan yang meliputi seluruh tingkat pengembalian yang diprasyaratkan oleh
pemegang saham. Komponen terpenting dalam penilaian investasi terlatak pada biaya
modal dikarenakan pemaksimuman nilai pemegang saham menghendaki semua biaya
input termasuk modal diminimumkan, dan untuk itu biaya modal harus dapat
diestimasikan.
Menurut Bringham dan Houston (2001:405)
“Biaya modal merupakan tingkat pengembalian atas investasi yang
menyebabkan nilai perusahaan meningkat. Biaya modal berkaitan dengan
risiko investasi atas saham perusahaan. Biaya modal yaitu menentukan tingkat
diskonto yang tepat yang digunakan dalam penganggaran modal”
Sedangkan Menurut Martono dan Harjito (2004:201)
“Biaya modal adalah biaya riil yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk
memperoleh dana baik yang berasal dari utang, saham prefern, saham biasa,
maupun laba ditahan untuk mendanai investasi atau operasi perusahaan.”
Menurut I Made Sudana, (2011)
“Biaya modal adalah tingkat pendapatan minimum yang di persyaratkan
pemilik modal”.
Biaya modal yang tepat untuk semua keputusan adalah rata-rata tertimbang
dari seluruh komponen modal (Weighted Cost of Capital atau WACC). Namun tidak
semua komponen modal diperhitungkan dalam menentukan WACC. Hutang dagang
(accounts payable) tidak diperhitungkan dalam perhitungan WACC. Hutang wesel
(notes payable) atau hutang jangka pendek yang berbunga (Short-term Interestbearing debt) dimasukkan dalam perhitungan WACC hanya jika hutang tersebut
merupakan bagian dari pembelanjaan tetap perusahaan bukan merupakan
pembelanjaan sementara.
Pada umumnya hutang jangka panjang dari modal sendiri merupakan unsur
untuk menghitung WACC. Dengan demikian kita harus menghitung:
1) Biaya Hutang (cost of debt),
2) Biaya laba ditahan (cost of retained earning),
3) Biaya saham Biasa Baru (cost of new common stock), dan
4) Biaya Saham Preferen (cost of preferred stock).
Weighted Average Cost of Capital (WACC) dengan rumus:
WACC = Ka = wd.Kd (1-T) + wp.Kp + Ws (Ks atau Ke)
dimana
WACC = biaya modal rata-rata tertimbang
wd = persentase hutang dari modal
wp = persentase saham preferen dari modal
Ws = persentase saham biasa atau laba ditahan dari modal
Kd = biaya hutang
Kp = biaya saham preferen
Ks = biaya laba ditahan
Ke = biaya saham biasa baru
T = pajak (dalam persentase)
Wd, Wp, Ws didasarkan pada sasaran struktur modal (capital structure)
perusahaan yang dihitung dengan nilai pasarnya (market value). Setiap perusahaan
harus memiliki suatu struktur modal yang dapat meminimumkan biaya modal
sehingga dapat memaksimumkan harga saham.
Biaya modal harus dihitung berdasarkan suatu basis setelah pajak (after tax
basis) karena arus kas setelah pajak adalah yang paling relefan untuk keputusan
investasi.
Menurut Warsono (2002), bahwa biaya modal dapat di definisikan sebagai
biaya peluang atas penggunaan dana investasi untuk di investasikan dalam proyekproyek baru.
Menurut Sutrisno (2001) biaya modal adalah semua biaya yang secara riil
dikeluarkan oleh perusahaan dalam rangka mendapatkan sumber dana. Dimana biaya
yang dikeluarkan ini bisa bersifat eksplisit seperti biaya bunga atau implisit yang akan
keluar dimasa datang seperti obligasi.
Biaya modal sebuah perusahaan bertidak sebagai penghubung antara
keputusan pembiayaan dan invetasinya. Istilah biaya modal sering digunakan yang
dapat dipertukarkan dengan tingkat pengembalian yang diinginkan perusahaan,
tingkat batas investasi baru, tingkat diskonto untuk mengevaluasi suatu perusahaan
baru, dan biaya peluang pendanaan perusahaan. Tetapi konsep dasarnya tetap sama,
yaitu biaya modal adalah tingkat yang harus di dapat pada sebuah proyek investasi
baru jika proyek tersebut dimaksutkan untuk meningkatkan nilai investasi pemegang
saham. (Keown, dkk; 2010).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba

Menurut Stice dan Skousen yang dialihbahasakan oleh Safrida dan Ahmad
Maulana (2005:206) faktor-faktor yang mempengaruhi para manajer untuk
melakukan manajemen laba yang dilaporkan, yaitu:
“1. Memenuhi target internal
2. Memenuhi harapan eksternal
3. Melakukan perataan laba
4. Mempercantik laporan keuangan untuk kepentingan IPO atau
pinjaman”.
Adapun uraian penjelasan faktor-faktor manajemen laba di atas yaitu:
1. Memenuhi target internal
Target laba internal merupakan alat penting dalam memotivasi para manajer untuk
meningkatkan usaha penjualan, pengendalian biaya dan penggunaan sumber daya
yang lebih efisien.
2. Memenuhi harapan eksternal
Berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) eksternal memiliki kepentingan
terhadap kinerja keuangan perusahaan. Misalnya saja, pegawai dan pelanggan
menginginkan perusahaan tetap berjalan baik sehingga dapat bertahan dalam
jangka panjang dan melaksanakan kewajiban pensiun serta kewajiban garansinya.
3. Melakukan perataan laba
Perusahaan umumnya lebih memilih untuk melaporkan trend pertumbuhan laba
yang stabil daripada menunjukkan perubahan laba yang meningkat atau menurun
secara drastis.
4. Mempercantik laporan keuangan untuk kepentingan IPO atau pinjaman
Laporan keuangan merupakan sarana yang digunakan perusahaan untuk
berkomunikasi dengan pihak luar termasuk untuk kepentingan IPO atau pengajuan
pinjaman, manajer perusahaan akan membuat laporan keuangan yang layak

Pendeteksian Manajemen Laba

Menurut Sri Sulistyanto (2008:211) ada beberapa model untuk pendeteksian
manajemen laba yaitu dengan model-model pemisahan akrual menjadi kelolaan dan
non kelolaan yang dibandingkan Dechow, dkk yang meliputi:
“1. The Healy Model,
2. The De Angelo Model,
3. The Jones Model,
4. The Modified Jones Model,
5. Industry Adjusted Model,
6. Akrual khusus (Beaver dan Engel) dan
7. The Cross – Sectional Model”.
Adapun penjelasan model untuk pendeteksian manajemen laba adalah sebagai
berikut:
1. The Healy Model
Pengujian Healy untuk manajemen laba dengan cara membandingkan rata-rata
total akrual (dibagi total aktiva periode sebelumnya). Healy (1985) menganggap
nondisrectionary accruals (NDA) tidak dapat diobservasi. Model untuk
nondisrectionary accruals adalah sebagai berikut:
NDA = 0 sehingga TA = NDA
2. The De Angelo Model
Model De Angelo (1986) menguji manajemen laba dengan menghitung perbedaan
awal dalam total akrual dan dengan asumsi bahwa perbedaan pertama tersebut
diharapkan nol, yang berarti tidak ada manajemen laba. Model ini menggunakan
total akrual periode terakhir (dibagi total aktiva periode sebelumnya) untuk
mengukur nondisrectionary accruals.
NDAt = TAit – 1
Keterangan:
NDAt = Estimasi nondisrectionary accruals
TAit – 1 = Total accrual dibagi total aktiva 1 tahun sebelum tahun t
3. The Jones Model
Jones (1991) mengajukan model yang menolak asumsi bahwa nondisrectionary
accruals adalah konstan. Model ini mencoba mengontrol pengaruh perubahan
keadaan ekonomi perusahaan pada nondisrectionary accruals sebagai berikut :
NDAt = ɑ 1(1/TAt – 1) + ɑ 2(ΔREVt /TAt – 1) + ɑ 3(PPEt/ TAt – 1)
Keterangan :
ΔREVt = Revenue pada tahun t dikurangi revenue pada tahun t – 1 dibagi total
aktiva tahun t – 1
PPEt = Gross property plan and equipment pada tahun t dibagi total aktiva
tahun t – 1
TAt – 1 = total aktiva tahun t – 1
ɑ 1,ɑ 2,ɑ 3 = Firm – spific parameters
4. The Modified Jones Model
Model ini dibuat untuk mengeleminasi tendensi konjungtur yang terdapat dalam
The Jones Model
NDAt = ɑ 1(1/TAt – 1) + ɑ 2(ΔREVt /ΔRECt) + ɑ 3(PPEt)
Keterangan:
ΔRECt = Net receivable (piutang bersih) pada tahun ke t dikurangi piutang bersih
pada tahun t – 1 dibagi total aktiva tahun ke t – 1
5. Industry Adjusted Model
Industry Adjusted Model (Dechow dan Sloan, 1991) mengasumsikan bahwa variasi
determinan dari nondisrectionary accruals adalah sama dalam jenis industri yang
sama. Nondisrectionary accruals dari model ini diperoleh dengan:
NDAt = ¥1 + ¥2 median1 (TAt)
6. Akrual khusus (Beaver dan Engel)
NDAit = ɑ 0 + ɑ 1 COit + ɑ 3 NPAit + ɑ 3ΔNPA it+1 + ϵ
Keterangan :
COit = Loan charge off (pinjaman yang dihapus bukukan)
LOAN = Loans outstanding (pinjaman yang beredar)
NPAit = Nonperforming assets (aktiva produktif yang bermasalah)
NPA it+1 = Selisih nonperforming assets t + 1 dengan nonperforming assets t
7. The Cross – Sectional Models
The Cross-Sectional Models sama dengan model Jones dan model Jones
modifikasi, kecuali bahwa parameter model diestimasi dengan menggunakan data
Cross Sectional dan time series.
Metode yang digunakan untuk pendeteksian manajemen laba ini mengikuti
model yang dikembangkan oleh Jones (1991) yang dikenal sebagai The Modified
Jones Model, yang merupakan modifikasi dari The Jones Model.
Menurut Sri Sulistyanto (2008:226), menyatakan bahwa:
“The Modified Jones Model ini merupakan metode pendeteksian manajemen
laba yang secara statistik paling baik dan lebih kuat dibandingkan dengan
metode pendeteksian manajemen laba lainnya sejalan dengan hasil penelitian
Dechow et al (1995)”.
Model Jones yang dimodifikasi mengestimasi level ekspektasi akrual sebagai
suatu fungsi dari perbedaan antara perubahan pendapatan dan perubahan piutang, dan
tingkat dari tanah, bangunan, dan perlengkapan (plant, property and equipment).
Menurut Sri Sulistyanto (2008:227), langkah-langkah yang dilakukan dalam
perhitungan disrectionary accruals (DTA), yaitu :
“1. Menghitung nilai Total Accruals (TCA),
2. Selanjutnya dihitung nilai total accruals (TAC) yang diestimasi dengan
melakukan regresi terhadap rumus di bawah ini untuk mendapatkan nilai
koefisien variabel independen (ɑ 1, ɑ 2, ɑ 3)
3. Nilai koefisien variabel independen (ɑ 1, ɑ 2, ɑ 3) yang diperoleh,
dimasukkan ke dalam persamaan di bawah ini untuk menghitung nilai
nondisrectionary accruals (NDTA)
4. Menghitung nilai Disrectionary Accruals (DTA)”.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam perhitungan disrectionary accruals
(DTA) dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menghitung nilai Total Accruals (TCA), dengan rumus :
TACit = Net Income (NIit) – Cash Flow from Operation (CFOit)
Dimana:
TACit = Total akrual perusahaan i pada periode t
NIit = Laba bersih perusahaan i pada periode t
CFOit = Arus kas operasi i pada periode t
2. Selanjutnya dihitung nilai total accruals (TAC) yang diestimasi dengan melakukan
regesi terhadap rumus di bawah ini untuk mendapatkan nilai koefisien variabel
independen (ɑ 1,ɑ 2,ɑ 3)
TACit/TAit-1= ɑ 1(1/TAit-1) + ɑ 2 (ΔSalesit – TAit-1) + ɑ 3(PPEit/ TAit-1) + ϵ
Dimana:
TAit-1 = Total aktiva perusahaan i pada periode ke t – 1
ΔSalesit = Perubahan penjualan perusahaan i pada periode ke t
PPEit = Nilai aktiva tetap (gross) perusahaan i pada periode t
3. Nilai koefisien variabel independen (ɑ 1,ɑ 2,ɑ 3) yang diperoleh, dimasukkan ke
dalam persamaan di bawah ini untuk menghitung nilai nondisrectionary accruals
(NDTA)
NDTAit = ɑ 1(1/TAit-1) + ɑ 2 ((ΔSalesit – ΔTRit)/TAit-1) + ɑ 3(PPEit/ TAit-1)
Dimana:
ΔTRit = Perubahan piutang dagang perusahaan i pada periode ke t
4. Menghitung nilai Disrectionary Accruals (DTA), dengan rumus:
DTAit = TACit/ TAit-1 – NDTAit
Nilai disrectionary accruals (DTA) positif, berarti perusahaan melakukan
manajemen laba dengan cara menaikan laba, bila nilai disrectionary accruals
(DTA) negatif, berarti perusahaan melakukan manajemen laba dengan cara
menurunkan laba, dan bila disrectionary accruals (DTA) nol, berarti tidak terdapat
indikasi manajemen laba dalam perusahaan.

Teknik Manajemen Laba

Teknik dan pola manajemen laba menurut Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi,
dan Liza Alvia (2010:42) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu:
“1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
2. Mengubah metode akuntansi
3. Menggeser periode biaya atau pendapatan”.
Adapun penjelasan teknik earnings management di atas sebagai berikut:
1. Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap
estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun
waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya
garansi, dan lain-lain.
2. Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi.
Contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka
tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3. Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau
menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode
akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluran promosi sampai
periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan,
mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai.

Tanda-tanda Penerapan Manajemen Laba

Adapun tanda-tanda penerapan manajemen laba. Tanda-tanda manajemen
laba dijadikan sebagai peringatan dini dan harus dijadikan pertimbangan bagi investor
dan auditor. Keenam hubungan ini merupakan tanda peringatan dini mengenai
pengelolaan laba abusif. Menurut Theodorus M. Tuanakotta (2013:211) tanda-tanda
penerapan manajemen laba, diantaranya:
“1. Arus kas yang tidak berkorelasi dengan laba.
2. Piutang yang tidak berkorelasi dengan pendapatan.
3. Penyisihan piutang ragu-ragu yang tidak berkorelasi dengan piutang.
4. Cadangan yang tidak berkorelasi dengan akun-akun neraca.
5. Akuisisi tanpa tujuan bisnis yang jelas.
6. Laba yang secara konsisten dan tepat memenuhi ekspektasi analisis pasar
modal

Motivasi Manajemen Laba

Menurut Scott (2003:377) yang dialihbahasakan oleh Susilawati (2009:30),
terdapat berbagai motivasi mengapa perusahaan dalam hal ini manajer melakukan
manajemen laba, yaitu:
“1. Kontrak utang jangka panjang (debt convenant)
2. Rencana bonus (bonus scheme)
3. Motivasi politik (political motivations)
4. Motivasi perpajakan (taxation motivations)
5. Pergantian direksi (charges of chief executive offer (CEO))
6. Penawaran perdana (initial public offering)”.
Berbagai motivasi melakukan manajemen laba di atas dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Kontrak utang jangka panjang (debt convenant)
Motivasi ini muncul ketika perusahaan melakukan perjanjian utang yang berisikan
perjanjian untuk melindungi sang pemberi pinjaman dari aksi manajer yang tidak
sesuai dengan kepentingan investor, seperti dividen yang berlebihan, pinjaman
yang berlebihan, pinjaman tambahan, pemberian modal kerja, atau laporan ekuitas
jatuh di bawah tingkat yang ditetapkan dalam semua aktivitas yang dapat
mencairkan sekuritas sang pemberi pinjaman.
2. Rencana bonus (bonus scheme)
Motivasi bonus merupakan dorongan bagi manajer perusahaan dalam melaporkan
laba yang diperoleh untuk mendapatkan bonus yang dihitung atas dasar laba
tersebut. Jika laba lebih rendah daripada laba yang ditetapkan, maka akan
mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba.
3. Motivasi politik (political motivations)
Motivasi ini terjadi pada perusahaan – perusahaan besar dan industri strategis yang
cenderung menurunkan laba visibilitasnya, khususnya selama menurunkan periode
kemakmuran tinggi.
4. Motivasi perpajakan (taxation motivations)
Dalam hal ini manajer perusahaan menurunkan laba untuk mengurangi beban
pajak, apabila laba semakin besar maka beban pajak yang harus ditanggung oleh
perusahaan semakin tinggi.
5. Pergantian direksi (charges of chief executive officer (CEO))
Motivasi ini terjadi ketika dalam kasus pergantian manajer biasanya di akhir tahun
tugasnya, manajer akan melaporkan laba yang tinggi. Sehingga CEO yang baru
merasa sangat berat untuk mencapai tingkat laba tersebut atau ketika pimpinan
perusahaan yang mempunyai kinerja buruk sehingga mereka akan melakukan
manajemen laba untuk menunda pemecatan agar pimpinan tersebut mempunyai
cukup waktu untuk memperbaiki kinerjanya.
6. Penawaran perdana (initial public offering)
Perusahaan yang baru saja menerbitkan saham perdana (IPO) belum bisa memiliki
harga pasar saham yang mapan. Cara untuk mempengaruhi pasar adalah dengan
memberikan informasi net income yang diharapkan lewat Prospectus Earning
Management dilakukan net income sebagai pasar pemberi respon positif harga
saham.

Bentuk-bentuk Manajemen Laba

Bentuk-bentuk manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2003:383)
meliputi :
“1. Taking a bath
2. Income minimization
3. Income maximization
4. Income smoothing
5. Timing revenue dan expenses recognation”.
Adapun penjelasan mengenai bentuk-bentuk manajemen laba di atas adalah
sebagai berikut:
1. Taking a bath (tekanan dalam organisasi)
Disebut juga big baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi tekanan dalam
organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya penggantian direksi. Jika teknik ini
digunakan maka biaya-biaya yang ada pada periode yang akan datang diakui pada
periode berjalan. Ini dilakukan jika kondisi yang tidak menguntungkan bisa
dihindari. Akibatnya, laba periode yang akan datang menjadi tinggi meskipun
kondisi tidak menguntungkan.
2. Income minimization (meminimumkan laba)
Pola meminimumkan laba mungkin dilakukan karena motif politik atau motif
meminimumkan pajak. Cara ini dilakukan pada saat perusahaan memperoleh
profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara
politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan (write off) atas barangbarang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, riset, dan
pengembangan yang cepat.
3. Income maximization (memaksimalkan laba)
Memaksimalkan laba bertujuan untuk mempetrend peroleh bonus yang lebih besar,
selain itu memperoleh bonus yang lebih besar, selain itu tindakan ini juga bisa
dilakukan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang
(debt convenant).
4. Income smoothing (perataan laba)
Perusahaan umumnya lebih memilih untuk melaporkan trend pertumbuhan laba
yang stabil daripada menunjukkan perubahan laba yang meningkat atau menurun
secara drastis.
5. Timing revenue dan expenses recognation (pengakuan pendapatan dan beban)
Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan dengan
timing suatu transaksi, misalnya pengakuan premature atas pendapatan

Pengertian Manajemen Laba (Earnings Management)

Laba yang dilaporkan berpengaruh kuat terhadap kegiatan perusahaan dan
keputusan yang dibuat oleh manajemennya. Keasikan perusahaan memenuhi harapan
pasar modal mencerminkan bahwa manajemen sangat peduli terhadap risiko nilai
saham perusahaan bila gagal.
Menanggapi risiko tersebut, manajemen mungkin berpandangan bahwa
tanggung jawabnya adalah melakukan apa saja yang memungkinkan dalam batasan
tertentu agar ramalan pasar modal oleh para analis dapat dipenuhi atau dilebihi, atau
melakukan manajemen laba.
Manajemen laba dipandang sebagai suatu konsep lintas periode, dimana laba
digeser dari satu periode ke periode lainnya. Sampai saat ini manajemen laba belum
didefinisikan secara akurat dan berlaku secara umum. Walaupun demikian beberapa
definisi sudah dapat diterima secara luas.
Pengertian earnings management menurut Theodorus M. Tuanakotta
(2013:210) adalah sebagai berikut:
“Pengelolaan laba (earnings management activities) adalah bagian-bagian dari
rekayasa keuangan yang lazim di pasar modal. Magrath dan Weld
membedakan kegiatan pengelolaan laba yang merupakan praktik bisnis yang
sehat (good business practices) dan pengelolaan laba yang merupakan
penyalahgunaan (abusive earnings management). Pengelolaan laba yang
merupakan penyalahgunaan (selanjutnya diistilahkan sebagai “pengelolaan
laba abusif”) bertujuan menipu masyarakat penanam modal”.
Menurut Charles W. Mulford dan Eugene E. Comiskey (2010:81) earnings
management adalah :
“Manajemen laba adalah manipulasi akuntansi dengan tujuan menciptakan
kinerja perusahaan agar terkesan lebih baik dari yang sebenarnya”.
Manajer dapat memilih kebijakan akuntansi dari sekumpulan aturan (misal,
GAAP), wajar jika mengharapkan bahwa manajer akan memilih kebijakan yang dapat
memaksimalkan kepentingan mereka dan nilai pasar sahamnya. Ini disebut
manajemen laba.
Menurut Moeljadi (2006:26) earnings management adalah :
“Earnings management dapat dilakukan dengan cara maksimalisasi laba.
Maksimalisasi laba merupakan maksimalisasi penghasilan perusahaan setelah
pajak. Maksimalisasi laba sering dianggap sebagai tujuan perusahaan”.
Berdasarkan beberapa pengertian dari para ahli sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa manajemen laba dilakukan secara sengaja, dalam batasan untuk
mengarah pada suatu tingkat laba yang diinginkan. Tindakan ini merupakan tindakan
manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas unit
dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan)
profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.

Tipe Asimetri Informasi

Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
“1. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam
lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek
perusahaan dibandingkan pihak luar. Dan mungkin terdapat fakta-fakta yang
tidak disampaikan kepada principal.
2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer
tidak seluruhnya diketahui oleh investor (pemegang saham, kreditor),
sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang
saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma
mungkin tidak layak dilakukan Moral hazard dapat terjadi karena adanya
pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik
kebanyakan perusahaan besar.
Menurut Scott (2000), Bid ask spread merupakan fungsi dari tiga komponen
biaya yang berasal dari:
“a. Pemilikan saham
Biaya pemilikan saham menunjukkan trade off antara memiliki terlalu banyak
saham dan terlalu sedikit saham, atas biaya pemilikan saham tersebut akan
menimbulkan oportunity cost.
b. Pemrosesan pesanan
Biaya pemrosesan pesanan meliputi biaya administrasi, pelaporan proses
komputer, telepon, dan lain-lain.
c. Asimetri informasi
Biaya asimetri informasi lahir karena adanya dua pihak trader yang tidak sama
dalam memiliki dan mengakses informasi. Penelitian ini memfokuskan pada
fungsi ketiga yaitu asimetri informasi. Pengukuran terhadap asimetri informasi
seringkali diproyeksikan dengan bid ask spread disebabkan asimetri informasi
tidak dapat diobservasi secara langsung. Pihak pertama adalah informed trader
yang memiliki informasi superior dan pihak lain yaitu uninformed trader yang
tidak memiliki informasi. Jika kedua belah pihak bertransaksi maka
uninformed trader menghadapi risiko rugi jika bertransaksi dengan informed
trader, upaya mengurangi risiko tersebut tercermin dalam bid ask spread.
Pengukuran asimetri informasi dilakukan dengan menggunakan relative bidask spread yang dioperasikan sebagai berikut
SPREADi,t = (ask i,t – bid i,t)/{( ask i,t + bid i,t )/2}x 100
Dimana :
SPREAD = selisih harga saat ask dengan harga bid perusahaan i pada tahun t.
Ask i,t = harga ask tertinggi saham perusahaan i yang terjadi pada tahun t.
Bid i,t = harga bid terendah saham perusahaan i yang terjadi pada tahun t.”
Menurut Supriyono (2000:186) asimetri informasi dapat timbul dalam
beberapa bentuk, yaitu:
“a. Tanpa pemantauan, hanya agent yang mengetahui apakah bekerja dengan
baik demi kepentingan principal.
b. Agent yang mungkin mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan
daripada principalnya.
c. Agent dalam melaksanakan tugasnya mungkin diarahkan oleh informasi
pribadi”.

Pengertian Asimetri Informasi

Laporan keuangan dibuat dengan tujuan untuk digunakan oleh berbagai pihak,
termasuk pihak internal perusahaan itu sendiri seperti manajer, karyawan, serikat
buruh dan lainnya. Pihak-pihak yang sebenarnya paling berkepentingan dengan
laporan keuangan adalah para pengguna eksternal (pemegang saham, kreditor,
pemerintah, masyarakat). Para pengguna internal (para manajemen) mengetahui
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada perusahaan, sedangkan pihak eksternal yang
tidak berada di perusahaan secara langsung, tidak mengetahui informasi tersebut
sehingga tingkat ketergantungan manajemen terhadap informasi akuntansi tidak
sebesar para pengguna eksternal. Salah satu kendala yang akan muncul antara agent
dan principal adalah adanya asimetri informasi (information asymmetry).
Adapun beberapa pengertian asimetri informasi menurut para ahli yaitu
sebagai berikut:
Menurut Supriyono (2000:186),
“Asimetri informasi adalah situasi yang terbentuk karena prinsipal tidak
memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agen sehingga prinsipal
tidak pernah dapat menentukan kontribusi usaha-usaha agen terhadap hasilhasil perusahaan yang sesungguhnya. Asimetri informasi merupakan suatu
keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan
yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Agency theory
mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agen) dan
pemilik (prinsipal). Kondisi ini memberikan kesempatan kepada agen
menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan
keuangan”.
Sedangkan Menurut Anthony dan Govindarajan (2005)
“Asimetri informasi adalah suatu keadaan dimana manajemen perusahaan
lebih mengetahui prospek atau kinerja perusahaan dibandingkan dengan
investor”.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) adalah:
“Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki
akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar
perusahaan”.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa jika kedua kelompok (agen
dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya,
maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu
bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya
dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang
didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang

Hubungan antara Financial Leverage dengan Manajemen Laba

Berdasarkan agency theory bahwa utang merupakan salah satu
mekanisme untuk meminimumkan masalah keagenan dengan manajer
yang terjadi jika manajer berusaha memaksimalkan kepentinganya
tapi tidak memaksimumkan kepentingan pemilik perusahaan dengan
informasi yang dimiliki. Adanya konflik kepentingan ini pihak
pemilik akan mengeluarkan biaya keagenan (agency cost) untuk
mengawasi perilaku agen.Hutangyang terlalu tinggi disebabkan
adanya penerapan strategi yang kurang tepat atau kesalahan
manajemen dalam pengelolan keuangan perusahaan.mengelola
keuangan perusahaan sehingga untuk mempertahankan kinerjanya
dimata pemegang saham dan publik pihak pembuat laporan keuangan
melakukan manajemen laba.
Pernyataan ini sesuai dengan penelitian dari(Febrianti,
2011)dengan hasil penelitian bahwa financial leverage berpengaruh
positif terhadap manajemen laba. Hubungan ini mengindikasikan
bahwa semakin tinggi rasio financial leverage perusahaan maka
semakin tinggi tingkat perusahaan menggunakan manjemen laba.

Hubungan antara Profitabilitas dengan Manajemen Laba

Berdasarkan teori keagenan apabila perusahaan memperoleh
laba yang rendah, manajer dapat bertindak oportunis dengan
menaikkan laba untuk menyembunyikan laba yang rendah atau kinerja
yang buruk. Karena baik buruknya suatu perusahaan dapat dilihat dari
laba yang diperoleh. Jika perusahaan dalam keadaan baik atau
memiliki laba yang tinggi maka layak untuk berinvestasi karena
tentunya investor mengharapkan deviden yang tinggi atas modal yang
ditanam. Motif utama suatu perusahaan melakukan manjemen laba
yaitu untuk menstabilkan profitabilitas pada laporan keuangan
perusahaan, sehingga lebih banyak investor yang tertarik untuk
membeli saham.
Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Indra Satya Prasvita Amertha (2013) yang menemukan bahwa,
profitabilitas yang diproksikan dengan ROA (return on
asset) berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba.
Penelitian ini menghasilkan tingkat signifkan sebesar 0.017 dengan
koefisien regresi yang bernilai positif sebesar 0.362 yang berarti
profitabilitas yang diukur dengan ROA memiliki pengaruh positif
signifikan terhadap manajemen laba. Pihak manajemen melakukan
tindakan manajemen laba agar kinerja perusahaan terlihat lebih baik
sesuai dengan harapan manajemen (Amertha, 2013)

Hubungan antara Family Firm dengan Manajemen Laba

Berdasarkan teori keagenan perusahaan keluarga merupakan
controlling stakeholder sehingga mengontrol pemilik saham minoritas
dalam pengambilan keputusan. Perusahaan keluarga merupakan
perusahaan yang konglomerasi dimana harus bekerja sama dengan
partner strategis untuk perkembangan perusahaannya. Anggota
keluarga yang menempati posisi puncak bisa memiliki keinginan
berbeda dalam mengembangkan bisnis, keluarga tidak mendefinisikan
portofolionya dan ingin mewarisi perusahaan tersebut sehingga untuk
menarik calon investor, manajer akan melakukan manajemen laba.
Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi manajemen
laba adalah kepemilikan keluarga.
Pada penelitian sebelumnya kepemilikan keluarga berpengaruh
negative signifikan terhadap dugaan praktik manajemen laba.
Pernyataan ini ditunjukkan dengan nilai t hitung sebesar -2,436 dan
nilai signifikan lebih kecil dari 0.05 yaitu sebesar 0.019 hasil ini
menyatakan bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh negative
signifikan terhadap dugaan praktik manajemen laba. Menurut (Prita,
2016) menemukan bahwa struktur kepemilikan yang diproksikan
dengan kepemilikan keluarga bepengaruh negative signifikan terhadap
manajemen laba. Hal ini karena semakin tinggi tingkat kepemilikan
keluarga menunjukkan monitoring semakin baik karena rasa tanggung
jawab yang besar sehingga menurunkan tingat penggunaan earning
management.

 Financial Leverage

Financial leverage yang merupakan nama lain dari rasio
solvabilitas adalah sumber dana yang digunakan oleh perusahaan
untuk membiayai asetnya diluar sumber dana modal dan ekuitas
(Febrianti, 2011). Financial leverage menurut Riyanto dalam Abdul
dan Bertilia (2015) adalah penggunaan dana dengan beban tetap denga
harapan untuk memperbesar pendapatan per lembar saham jasa atau
earning per share (EPS). Adanya financial leveragedikarenakan
perusahaan menggunakan sumber dana dari hutang yang
menyebabkan perusahaan harus menanggung beban tetap, atas
penggunaan dana perusahaan tersebut setiap tahunya maka dibebani
biaya bunga.
Financial leverage timbul karena perusahaan yang dibelanjai
dengan dana dengan beban tetap yaitu berupa utang dengan beban
tetapnya berupa bunga. Financial leverage dibedakan menjadi :
(1)Financial structure, menunjukkan bagaimana perusahaan
membelanjai aktivanya ; (2) Capital structure adalah bagian dari
struktur keuangan yang hanya menyangkut pembelanjaan yang
sifatnya permanen atau jangka panjang ; (3) Leverage factor, adalah
perbandingan antara nilai buku total utang (D) dengan total aktiva
(TA)atau perbandingan total utang dengan modal (E)(Sudana, 2015).
Semakin besar tingkat hutang suatu perusahaan, tentunya
memiliki risiko yang besar pula, sehingga pemilik perusahaan akan
meminta tingkat keuntungan yang tinggi supaya perusahaan tidak
mengalami likuidasi. Jika perusahaan mengalami likuidasi maka hal
yang dilakukan manajer adalah melakukan manajemen laba. Hutang
perusahaan yang tinggi cenderung melakukan manajemen laba, karena
perusahaan terancam tidak bisa memenuhi kewajibanya secara tepat
waktu. Semakin perusahaan melanggar perjanjian hutang, maka
memungkinkan memilih untuk memilih prosedur akuntasi dengan
memindahkan laba yang dilaporkan pada periode yang akan datang.
Berdasarkan agency theory bahwa utang merupakan salah satu
mekanisme bagi shareholder untuk meminimumkan masalah
keagenan dengan manajer. Masalah keagenan akan terjadi jika
manajer berusaha memaksimalkan kepentinganya tapi tidak
memaksimumkan kepentingan pemilik perusahaan dengan informasi
yang dimiliki. Adanya konflik kepentingan ini pihak pemilik akan
mengeluarkan biaya keagenan (agency cost) untuk mengawasi
perilaku agen.
Menurut Febrianti (2011)berdasarkan tingkat pembelanjaan
yang dibiayai oleh hutang dapat mempengaruhi tindakan manajemen
laba. Financial leverage mengindikasikan resiko perusahaan dalam
pemenuhan kewajiban pembayaran hutang. Keadaan ini mendorong
manajemen cenderung melakukan manajemen laba, agar tidak
melanggar perjanjian hutang. Risiko perusahaan yang memiliki rasio
hutang tinggi, maka pihak manajemen berusaha untuk menurunkan
risiko persepsian bagi kreditur dengan cara menyajikan laporan laba
yang relatif stabil, artinya manajer rekayasa laba perusahaan dengan
menggunakan manajemen laba. Dengan manajer melakukan rekayasa
atau manajemen laba, maka secara otomatis laporan keuangan dalam
hal hutang tertutupi dan investor tertarik dan menilai perusahaan
tersebut dalam kondisi yang baik.

Profitabilitas

Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk
mendapatkan laba (keuntungan) dalam suatu periode tertentu (Rezeki,
2015). Perusahaan dikatakan baik jika perusahaan tersebut mampu
memperoleh keuntungan yang besar sesuai harapan pemilik maupun
investor.Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba (I Ketut Gunawan, 2015). Tujuan akhir yang ingin
dicapai suatu perusahaan adalah laba yang maksimal.Perusahaan yang
memperoleh laba yang maksimal, maka dapat mensejahteraan
pemilik, karyawan, dan mampu meningkatkan mutu produk serta
melakukan investasi baru(Kasmir, 2016).
Rasio profitabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam mencari suatu keuntungan
(Kasmir, 2016). Penggunaan rasio ini menggunakan perbandingan
antara berbagai komponen dalam laporan keuangan, terutama dalam
neraca dan laporan laba rugi. Profitabilitas adalah gambaran kinerja
keuangan perusahaan dalam menghasilkan laba dari pengelolaan
aktiva atau yang disebut juga Return On Asset (ROA) (Wijaya, 2016).
Efektivitas perusahaan dengan memanfaatkan sumber daya diukur
dengan ROA. ROA menggambarkan kemampuan perusahaan dalam
memperoleh laba.
Tujuan akhir yang ingin dicapai suatu perusahaan yang paling
penting adalah memperoleh keuntungan atau laba yang maksimal.
Dengan diperolehnya laba yang maksimal seperti yang ditargetkan,
maka perusahaan mampu meningkatkan kesejahteraan pemilik,
karyawan, serta meningkatkan mutu produk dan melakukan investasi
baru(Kasmir, 2016). Perusahaan yang memiliki laba besar merupakan
perusahaan yang sangat diminati oleh investor, karena diharapkan
mampu memberikan pengembalian laba (return)yang lebih besar bagi
investor apabila melihat dan menganalisa laporan keuangan terlebih
dahulu. Laporan keuangan dijadikan alat analisa sebelum mengambil
keputusan untuk melakukan investasi, sehingga bisa menghindari
kerugian investasi(Suhartanto, 2015).Hal ini berkaitan erat dengan
perusahaan yang ingin menampilkan performa terbaik untuk menarik
para calon investor.
Agency theory menjelaskan bahwa perusahaan yang
menghadapi biaya kontrak dan biaya pengawasan yang rendah
cenderung akan melaporkan laba lebih rendah atau mengeluarkan
biaya untuk kepentingan manajemen. Archibalt dalam I Ketut
Gunawan dkk (2015) menjelaskan bahwa perusahaan dengan
perolehan profitabilitas yang rendah cenderung akanmelakukan
perataan laba. Perataan laba adalah salah satu bentuk dari manajemen
laba. Manajer melakukan aktivitas tersebut karena dengan laba yang
rendah, akan memperburuk kinerja manajer dimata pemilik dan
nantinya akan memperburuk citra perusahaan.

Family Firm

Perusahaan keluarga merupakan salah satu fenomena yang
terdapat didalam dunia bisnis, selain jumlahnya yang banyak,
perusahaan keluarga juga mempunyai andil yang cukup signifikan
bagi perekonomian Negara (Sobirin, 2012).Perusahaan keluarga
merupakan suatu entitas bisnis yang dengan karakteristik unik yang
tidak dimiliki oleh perusahaan pada umumnya dalam hal pengelolaan
dan transformasi.
Perusahaan keluarga memiliki pola yang unik pula juga
umumnya memiliki visi jangka panjang yang solid karena adanya
kepemilikan dan komitmen jangka panjang yang jelas, selain itu
perusahaan keluarga pada umumnya memiliki fleksibilitas dan
kecepatan dalam pengambilan keputusan yang tinggi karena
perusahaan dikelola oleh manajer-manajer yang sekaligus sebagai
pemilik, selain itu loyalitas, kedekatan, dan kecintaan para pengelola
kunci perusahaan keluarga umumnya demikian tinggi sehingga
kohesivitasnya juga demikian tinggi(Azwari, 2016). Terutama
menyangkut pengelolaan kepemilikan saham perusahaan. Menurut
teori keagenan perusahaan keluarga merupakan controlling
stakeholder sehingga mengontrol pemilik saham minoritas dalam
pengambilan keputusan.
Menurut Sumarsono (2014)perusahaan keluarga lebih
menekankan pada komponen ikatan keluarga dalam perusahaan, selain
itu menekankan pada esensi atau konsekuensi perilaku keterikatan
keluarga dalam perusahaan. Pendefinisian perusahaan tersebut
berdasarkan komponen ikatan keluarga dalam perusahaan secara
umum lebih mudah untuk dioperasionalisasikan.Perusahaan keluarga
didasarkan pada tiga komponen yaitu kepemilikan keluarga, komisaris
keluarga dan direksi keluarga. Perusahaan keluarga didefinisikan
sebagai perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga tertentu melalui
komponen seperti kepemilikan keluarga dan atau komisaris keluarga
dan atau direksi keluarga.
Menurut (Harindahyani, 2017) dari hasil survey
mengungkapkan bahwa pelanggan dan investor lebih percaya pada
usaha keluarga karena memiliki perencanaanuntuk mencapai
kesuksesan dibandingkan perusahaan non-keluarga. Dampaknya
sebesar 71% dari pimpinan perusahaan keluarga mengatakan bahwa
dengan adanya kepercayaan tersebut membuat mereka mudah dalam
menarik investor..
Perusahaan keluarga merupakan investasi jangka panjang atas
nama keluarga sehingga untuk memberikan citra yang baik manajer
melakukan manajemen laba untuk menyembunyikan kinerja yang
buruk dan menarik calon investor dengan melihat laporan keuangnya.
Pernyataan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi manajemen laba adalah
kepemilikan keluarga

Teori Keagenan (Agency Theory)

Agency theory merupakan konsep yang menjelaskan hubungan
kontraktual antara principalsdan agents (Widi, 2015).
Agentsmerupakan pihak yang mengelola perusahaan, sedangkan
principals merupakan pihak pemegang saham. Hubungan ini muncul
ketika pihak principals memberikan wewenang atau tugas kepada
pihak agents.
Teori keagenan menyatakan bahwa perusahaan yang
memisahkan fungsi pengelolaan dan kepentingan akan rentan terhadap
konflik keagenan menurutJensen and Mackeling dalam
Sunarto(2013). Teori keagenan (agency theory) merupakan
hubungan atau kontak antara principal dengan agen. Hal ini principal
memberikan tugas atau wewenang kepada agen untuk kepentingan
agen, termasuk pula pendelegasian dalam pengambilan keputusan dari
principal kepada agen. Pemegang saham bertindak sebagai principal,
sedangkan CEO bertindak sebagai agen yang diberi wewenang atau
tugas. Hubungan keagenan tersebut bisa saja menimbulkan konflik
antara manajer dan pemegang saham. Konflik itu terjadi karena
perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer.
Pemegang saham menginginkan pengembalian atau keuntungan yang
besar dan pengembalian yang cepat sedangkan pihak manajer
menginginkan insentif yang besar atas kinerjanya dalam menjalankan
perusahaan.
Teori keagenan mengunakan tiga asumsi dari sifat manusia yaitu
: (1)mementingkan kepentingan diri sendiri (self inteset),
(2)memiliki daya terbatas tentang presepsi masa mendatang,
(3)menghindari adanya risiko. Hal ini memungkinkan terjadinya
konflik antara pihak pemegang saham dengan pihak manajer karena
perbedaan kepentingan. Sebagai pihak pengelola, manajer akan
mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan untuk
meningkatkan nilai perusahaan. Perilaku ini disebut dengan
opportunistic, manajer bertindak untuk mencapai kepentingan sendiri,
padahal manajer berada di bawah wewenang pemegang saham.

Laporan Keuangan

Laporan keuangan merupakansuatu laporan yang menunjukkan
kondisi keuangan perusahaan saat ini atau dalam periode
tertentu.(Kasmir, 2016). Baik buruknya kondisi perusahaan bisa
dilihat dari seberapa baik laporan keuangan tersebut.Menurut Hartanto
dalam Eka Sartika (2012) laporan keuangan merupakan hasil akhir
dari proses akuntansi yang meliputi neraca, laporan laba rugi, dan
laporan laba ditahan, laporan perubahan posisi keuangan serta catatan
atas laporan keuangan.
Laporan keuangan dijadikan alat analisa sebelum mengambil
keputusan untuk melakukan investasi, sehingga bisa menghindari
kerugian investasi(Suhartanto, 2015). Pengambilan keputusan
didasarkan pada laporan keuangan karena pihak investor tidak
menginginkan kerugian, serta sebagai alat untuk menilai suatu
perusahaan.Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses
akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara data
keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut (I Ketut
Gunawan, 2015).
Kelengkapan laporan keuangan meliputi laporan laba rugi,
neraca, laporan perubahan posisi keuangan, catatan dan laporan lain
serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan
keuangan. Laporan keuangan sebagai laporan yang memberikan
informasi dan dapat membantu pengguna laporan keuangan dalam
pengambilan keputusan ekonomi terkait dengan financial, selain itu
sebagai bentuk tanggung jawab dari manajemen dalam mengelola
serta memberdayakan sumber daya yang dipercayakan. Sebagai
penyedia informasi, laporan keuangan dibuat untuk aktivitas usaha
utama yaitu kegiatan perencanaan, keuangan, investasi, dan operasi.
Tujuan laporan keuangan yaitu mempertanggungjawabkan tugas-tugas
yang dibebankan kepadanya dari para pemilik perusahaan.
Berdasarkan (Dwi Prastowo 2007)daristandar Akuntansi
Keuangan, penyusunan dan penyajian laporan keuangan mendasarkan
diri pada dua asumsi dasar, yaitu :
a. Dasar Akrual
Merupakan pengaruh transaksi dan peristiwa lain diaki pada saat
kejadian dan dicatat dalam catatan akuntansi dan dilaporkan dalam
bentuk laporan keuangan pada periode tertentu. Laporan keuangan
tentunya tidak hanya memberikan informasi masa lalu yang
melibatkan penerimaan dan pembayaran kas, tetapi juga memberikan
informasi tentang kewajiban pembayaran kas dan sumber daya yang
mewujudkan kas yang akan diterima di masa depan.
b. Kelangsungan Usaha
Hal ini berarti perusahaan akan tetap melanjutkan usahanya
dimasa yang akan datang. Hal ini diasumsikan bahwa perusahaan
tidak berkeinginan untuk melikuidasi atau mengurangi secara material
skala usahanya.
Laporan keuangan merupakan hal utama yang dilihat atau pusat
perhatian dimana laporan keuangan bisa digunakan untuk menilai
sebuah perusahaan. Hal ini membuat seorang manajer melakukan
manajemen laba, supaya laporan keuangan terlihat baik, jika laporan
keuangan terlihat baik maka secara otomatis para investor akan
menilai perusahaan tersebut dalam kondisi yang baik dan memiliki
kinerja yang baik pula

Manajemen Laba

Manajemen laba adalah pilihan manajer tentang kebijakan
akuntansi untuk mencapai tujuan khusus (Rahmawati, 2012).
Manajemen laba digunakan untuk membuat laporan keuangan yang
baik. Adanya keuangan yang baik tentu saja para investor tertarik
membeli saham diperusahaan tersebut karena dinilai memiliki kinerja
yang baik.
Menurut (Wirakusuma, 2016) Manajemen laba adalah suatu
proses yang disengaja, dengan batasan standar akuntansi keuangan
untuk mengarahkan pelaporan laba pada tingkat tertentu.Menurut
Schipper dalam Riske dan Basuki ( 2013) manajemen laba merupakan
suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi dalam proses
penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat
menaikkan, meratakan, dan menurunkan laba. Manajemen laba adalah
salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan
keuangan, dan menambah bias dalam laporan keuangan serta dapat
menggangu pemakai laporan keuangan yang percaya pada angka hasil
rekayasa tersebut sebagai angka real atau tanpa rekayasa.
Manajemen laba merupakan sifat akuntansi yang banyak
mengandung taksiran (estimasi), pertimbangan (judgment) dan sifat
accrual membuka peluang untuk bisa mengatur laba(Sofyan Harahap,
2011). Manajemen laba(earning management) dilakukan dengan
mempermainkan komponen akrual dalam laporan keuangan atau
memanipulasi, karena akrual adalah komponen yang mudah untuk
dipermainkan sesuai keinginan ataupun tujuan orang yang melakukan
pecatatan laporan keuangan.
Manajemen laba bukanlah suatu hal yang merugikan selama
dilakukan dalam koridor-koridor peluang, manajemen laba tidak
selalu diartikan dengan proses manipulasi laporan keuangan karena
terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dan bukan sebagai
suatu larangan (Kusumawardhani, 2012). Perilaku manajemen laba
merupakan salah satu bentuk tindakan creative accounting dari
manajer, tentunya tidak muncul dengan sendirinya, melainkan ada
motivasi ekstrinsik dibalik perilaku tersebut(Dedhy Sulistiawan,
2011).
Manajer mengelola laba bersih menggunakan pertimbanganpertimbangan. Menurut Rahmawati (2012) pertimbanganpertimbangan tersebut meliputi :
1. Mengendalikan bermacam-macam akrual dimana akrual
didefinisikan secara luas termasuk porsi item pendapatan dan
biaya pada laporan rugi laba yang tidak mempresentasikan aliran
kas
2. Perubahan kebijakan akuntansi.
Manajer menggunakan akrual untuk mengelola earnings dalam
memaksimalkan bonus. Perilaku akrual tersebut digunakan sebagai
tujuan pencapaian bonus. Manajemen laba terdiri dari beberapa
macam yaitu :
1. Taking a bath : pola ini digunakan perusahaan dalam kondisi tertekan.
Manajer cenderung melaporkan laba yang rendah dengan harapan
meningkat dimasa depan.
2. Minimisasi laba : pola ini digunakan ketika perusahaan memiliki laba
yang tinggi, untuk mengurangi visilibitasnya manajer melakukan
manajemen laba.
3. Maksimisasi laba : pola ini digunakan ketika manajer menginginkan
kenaikan bonus dan saat dihadapkan pada perjanjian hutang yang
tinggi dan tidak dapat terbayarkan
4. Perataan laba : pola ini digunakan untuk mengantisipasi kondisi yang
akan dihadapi oleh perusahaan.
Model-model pengukuran discretionary accruals untuk
mengasumsikan bahwa adanya komponen non- discretionary accruals
berasal dari total accruals.Beberapa bukti empiris menunjukkan
bahwa perusahaan secara aktif mempraktikkan earnings management
apabila memanipulasi laporan keuangan maka disimpulkan earnings
quality bersifat positif. Pengujian Dechow et al dalam Ahim
Abdurahman (2014) mengungkapkan model-model pengukuranya
sebagai berikut :
1. The Healy Model, yaitu menguji adanya manajemen laba dengan
membandingkan rata-rata total accruals dengan menggunakan skala
selisih total asset terhadap variabel pemisah manajemen laba.
2. The Angelo Model, yaitu menguji adanya earnings management
dengan menghitung perbedaan pada total accruals dengan
mengasumsikan jika perbedaan tersebut diharapkan tidak ada, model
ini menggunakan total accrual periode sebelumnya yang dibagi
dengan selisih total assets sebagai ukuran non- discretionary accruals
3. The Jones Model, yaitu mengansumsikan bahwa non- discretionary
accruals bersifat konstan, mengontrol perubahan lingkungan ekonomi
perusahaan pada non- discretionary accruals.
4. The Modified Jones Model, yaitu didesain untuk mengurangi adanya
dugaan pada jones model dalam kesalahan mengukur discretionary
accruals, model ini diestimasikan pada periode kejadian.
5. The Industry Model, yaitu mengasumsikan bahwa non- discretionary
accruals nilainya selalu konstan dan bahwa variasi dalam faktorfaktor penentu non- discretionary accruals pada umumnya.
Dalam akuntansi manajemen laba bukanlah suatu praktik yang
dilarang. Hal ini karena manajemen laba bukanlah tindakan penipuan,
fraud atau tindakan kejahatan lainya. Manajemen laba termasuk
tindakan manipulasi laporan keuangan dan mengikuti kaidah-kaidah
dalam metode akuntansi. Tetapi jika suatu perusahaan melakukan
manajemen laba terlalu tinggi maka akan merugikan pihak investor
yang sudah percaya pada laporan keuangan yang dimanipulasi, karena
investor menanamkan modalnya pada suatu perusahaan dengan
keinginan imbal balik laba yang tinggi. Investor melihat kinerja
perusahaan berdasarkan laporan keuangan yang diterbitkan suatu
perusahaan. Sisi baik dari manajemen laba adalah dari kontraktor dan
perspektif pelaporan keuangan, yaitu perspektif kontrak sejauh mana
laba manajemen bisa baik berhubungan dengan kontrak yang efisien
versus oportunistik bentuk teori akuntansi positif. Berdasarkan
kontrak efisien diinginkan untuk memberikan kemampuan kepada
manajer dalam mengelola pendapatan dalam menghadapi kontak. Sisi
buruk dari manajemen laba adalah mengaburkan informasi kinerja
ekonomis perusahaan dan kontroversi manajemen laba dikaitkan
dengan etika atau moral, karena tindakan tersebut akan menyesatkan
pemakai laporan keuangan.
Terdapat tiga pendekatan yang bisa digunakan dalam
memproksikan manajemen laba yaitu dengan pendekatan yang
mendasar pada model agregat akrual yaitu model Healy, model Jones
dan model modified Jones. Pendekatan yang mendasar pada model
spesifik akrual yaitu model Beneish dan Beaver dan McNichols.
Pendekatan berdasarkan distribusi frekuensi, fokusnya pada perilaku
laba yang dikaitkan dengan spesifik benchmark yang mana
manajemen laba dilihat dari banyaknya frekuensi perusahaan yang
melaporkan laba atau dibawah brencmark, missal Burgstahler dan
Dichev dan Myers dan Skinner.
Kajian pada McNichols serta Dechow dan Skinner maka
manajemen laba ini diproksikan dengan model spesifik akrual yaitu
akrual modal kerja. Akrual modal kerja ini dirasa lebih tepat
sebagaimana dari pengkajian Peasnell et al. akrual diskresioner tidak
diestimasi berdasarkan residual, karena teknik ini dianggap relative
rumit, maka digunakan proksi rasio akrual modal kerja dengan
penjualan. Penggunaan penjualan sebagai deflator ini juga dilakukan
oleh model Friedlan yang memodifikasi model DeAngelo yang
menjadikan rasio antara perubahan total akrual dengan penjualan.

Manajemen Keuangan

Manajemen keuangan berkaitan dengan bagaimana
mendapatkan dan mengelola asset agar sejalan dengan tujuan
perusahaan yaitu meningkatkan penghasilan pemilik perusahaan
(Lukas Setia Atmaja, 2008). Semua aktivitas organisasiperusahaan
yang berhubungan dengan usaha untuk mendapatkan danadengan
biaya murah dan menggunakandengan efektif dan efisien.Manajemen
keuangan merupakan suatu bagian dari tugas pimpinan perusahaan
dengan tanggung jawab utama berupa keputusan penting menyangkut
investasi dan pembiayaan perusahaan (Setia Mulyawan, 2017).
Manajemen keuangan merupakan suatu kegiatan perencanaan,
penganggaran, pemeriksaan, pengelolaan, pengendalian, pencarian
dan penyimpanan dana yang dimiliki oleh organisasi atau perusahaan
(Wikipedia, 2017). Tujuan manajemen keuangan yaitu untuk
memaksimakan nilai perusahaan, karena perusahaan menginginkan
laporan keuangan yang baik sehingga seringkali pihak
manajermelakukan metode akuntansi yaitu manajemen laba

Uji Parsial (t-test)

Uji t-test berguna untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Tingkat signifikansi yang digunakan sebesar 5%. Apabila t-tabel ≥ t-hitung, maka H0 gagal ditolak, sedangkan apabila t-tabel < t-hitung, maka H0 ditolak

Uji Goodness of Fit

Uji goodness of fit digunakan untuk menilai ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual. Secara statistik, model ini dapat diukur dari nilai koefisien determinasi, nilai statistik F, dan nilai statistik t. Jika nilai uji statistik berada di dalam daerah kritis maka H0 ditolak, sedangkan jika nilai uji statistik berada di luar daerah kritis maka H0 diterima.

Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat normal atau tidaknya distribusi yang digunakan. Cara untuk mendeteksi apakah variabel terdistribusi normal dalam penelitian dapat dilihat dari nilai Jarque-Bera (JB) dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Data berdistribusi normal

H1 : Data tidak berdistribusi normal

Jika nilai P-value diatas 5%, maka H0 diterima, sedangkan jika P-value dibawah 5%, maka H0 ditolak.

Uji Lagrange Multiplier

Uji Lagrange Multiplier digunakan untuk mengetahui mana yang lebih baik antara model random effect dan common effect. Uji ini didasari pada distribusi chi-squares dengan derajat kebebasan (df) sejumlah variabel independen. Hipotesis uji ini adalah sebagai berikut:

H0 : Common effects model

H1 : Random effects model

Jika LM > nilai kritis chi-squares maka H0 ditolak, sedangkan jika LM < nilai kritis chi-squares maka H0 diterima. Nilai kritis untuk 1 variabel dengan alpha 5% sebesar 3,8415. Kriteria penilaiannya juga bisa menggunakan nilai p-value. Jika p-value < 0,05 maka H0 ditolak, sedangkan jika p-value > 0,05 maka H0 diterima.

Uji Hausman

Uji Hausman digunakan untuk memilih model yang paling tepat dalam estimasi data panel antara fixed effects model dan random effects model. Hipotesis dari Uji Hausman adalah sebagai berikut:

H0 : Random effects model

H1 : Fixed effects model

Jika p-value < 0,05 maka H0 ditolak, sedangkan jika p-value > 0,05 maka H0 diterima.

Uji Chow

Uji Chow digunakan untuk memilih model yang paling tepat dalam estimasi data panel antara constant coefficient model dan fixed effects model. Hipotesis dari Uji Chow adalah sebagai berikut:

H0 : Common coefficient model

H1 : Fixed effects model

Jika p-value < 0,05 maka H0 ditolak, sedangkan jika p-value > 0,05 maka H0 diterima.

Random Effects Model

Random Effects Model merupakan teknik yang mengasumsikan intercept suatu unit individu adalah pengambilan acak dari populasi yang lebih besar dengan nilai rata-rata konstan. Model ini sering disebut error components model (ECM) dimana error tidak berkorelasi antar waktu dan antar unit, dengan asumsi error bersifat random.

 

 

Fixed Effect Model

Fixed Effect Model merupakan teknik estimasi model regresi yang mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diakomodasi dari intersep yang berbeda. Hal tersebut disebabkan adanya variabel yang tidak masuk dalam persamaan model regresi sehinnga ada kemungkinan terjadinya intercept tidak konstan. Model ini menggunakan variabel dummy atau least-squares dummy variable (LSDV) untuk menghitung intercept yang berbeda.