Kotler (2001) mendefinisikan layanan (jasa) sebagai kinerja yang ditawarkan atau dilakukan oleh seseorang atau organisasi pada orang lain. Layanan tersebut tidak berwujud suatu barang, tetapi dapat merupakan produk itu sendiri, atau pun terikat secara fisik pada barang tertentu.
Kualitas layanan umumnya divisualisasikan sebagai jumlah dari persepsi pelanggan dari pengalaman setelah mendapatkan pelayanan (Johns, 1992). Perbedaan antara kualitas pelayanan dan kepuasan persepsi kualitas layanan adalah penilaian global, atau sikap, yang berkaitan dengan keunggulan layanan. Sedangkan kepuasan berhubungan dengan transaksi tertentu (Parasuraman, Valarie, Zeithaml & Berry, 1988). Pelanggan membentuk ekspektasi layanan dari berbagai sumber, seperti pengalaman masa lalu pengalaman setelah mengkonsumsi atau menggunakan jasa, dari mulut ke mulut, dan dari iklan.
Secara umum, pelanggan membandingkan layanan yang dirasakan dengan pelayanan yang diharapkan (Voss, Parasuraman & Grewal, 1998). Jika pelayanan yang dirasakan berada di bawah pelayanan yang diharapkan, pelanggan tidak puas dan jika kualitas pelayanan yang dirasakan berada di atas tingkat yang diharapkan, menciptakan pelanggan yang puas (Andreassen, 1995).
Para marketer perlu memahami bahwa pelanggan lebih dari sekadar konsumen output kualitas layanan, mereka adalah co-produser kualitas proses (Gronroos & Ojasalo, 2004).
Menurut Berry, Parasuraman dan Zeithaml (1988) kualitas layanan telah menjadi pembeda yang signifikan dan senjata kompetitif yang paling kuat (Clow & Vorhies, 1993). Perusahaan sukses adalah perusahaan yang mampu meningkatkan manfaat dalam memberikan penawaran mereka, yang tidak hanya memuaskan pelanggan tetapi mampu memberikan surprise dan mampu membuat pelanggan bahagia. Memuaskan pelanggan adalah hal yang melebihi harapan (Rust & Oliver, 2002).
Penelitian tentang kualitas pelayanan telah dilakukan di berbagai aspek melalui waktu yang sangat panjang. Riset yang memadai dalam menyelenggarakan kualitas layanan telah disumbangkan oleh (Gronroos, 1982; Berry, Zeithaml, & Parasuraman, 1985; Parasuraman, Zeithaml, & Berry, 1985; Zeithaml, Parasuraman, & Berry, 1985; Brady & Cronin, 2001) dalam mengembangkan konsep kualitas pelayanan.
Terdapat kebutuhan untuk perubahan konseptual yang akan dibangun sebagai konsep saat ini karena kualitas pelayanan tidak sesuai dengan situasi yang multidimensi di seluruh negara. (Cronin dan Taylor, 1992; Brady dan Cronin, 2001) dalam penelitian mereka ditegaskan bahwa ada kebutuhan untuk mengatasi aspek multidimensi kualitas layanan.
Pengukuran kualitas layanan di seluruh sektor jasa beberapa telah dieksplorasi oleh para peneliti seperti (Parasuraman et al, 1985; Parasuraman, Berry, & Zeithaml, 1991; Koelemeijer, 1991; Cronin & Taylor, 1992; Vandamme & Leunis, 1993; Parasuraman, Zeithaml, & Malhotra, 2005).
Meskipun SERVQUAL sebagai alat ukur yang digunakan dalam berbagai penelitian, itu disesuaikan agar sesuai sektor tertentu dan konteks tertentu pula, seperti ES-Qual untuk sektor elektronik dan SERVPERF untuk preferensi layanan. Oleh karena itu ada ruang untuk SERVQUAL dapat dimodifikasi lebih lanjut untuk umum sebagai standardisasi (Parasuraman et al, 1991). Masalah meningkatkan kualitas layanan di mana oleh organisasi dapat memperoleh keunggulan kompetitif telah diselidiki oleh (Reicheld dan Sasser, 1990; Berry, Zeithaml, Parasuraman &, 1990; Hensel, 1990; Berry, Parasuraman, & Zeith aml, 1994; Berry & Parasuraman , 1997; Glynn & Brannick, 1998; Johnston & Heineke, 1998; Harvey, 1998).
Kualitas pelayanan telah digunakan sebagai bahan dalam memahami perilaku konsumen. Sebuah perilaku konsumen positif pada kualitas layanan akan mengarah ke hasil yang lebih tinggi (Zahorik & Rust 1992, Boulding, Kalra, Staelin, & Zeith aml, 1993; Zeithaml, Berry, & Parasuraman, 1996; Liu, Sudharshan, & Hamer, 2000).
Parasuraman et al. (1988) menginformasikan bahwa kualitas layanan merupakan konstruk abstrak, terutama karena bersifat tidak berwujud (intangibility), beragam (heterogenitas), dan ketidakterpisahan antara produksi dan konsumsi yang unik untuk layanan. Oliver (1993) menguraikan bahwa ini adalah karena penggunaan layanan secara substansial berbeda dari konsumsi barang. Ringkasan hasil penelitian yang diuraikan Lovelock (1991) mengungkapkan bahwa karakteristik yang membedakan laayanan jasa dan konsumsi produk antara lain: a) layanan diberikan sebagai bentuk dari kinerja, b) pelanggan sering terlibat dalam proses produksi, c) pelanggan lain juga mungkin terlibat dalam proses produksi, d) kontrol kualitas hanya dapat dilakukan selama proses trasfer/pengiriman jasa tersebut, e) layanan tidak dapat diinventarisir, f) pengiriman adalah ‘real-time’, dan, g) saluran distribusi tidak ada atau terkompresi.
Konsep kualitas pelayanan mulai mendapat perhatian yang cukup besar pada awal tahun 1980 dengan tulisan-tulisan dari Gronroos (1982, 1984), Lehtinen dan Lehtinen (1982), Lovelock (1981) dan masih banyak lagi para peneliti yang melakukan penelitian terkait layanan (Steven M. Fehl, 2006).
Helson (1959) mengadopsi hipotesis teori tingkat yang menekankan bahwa seseorang akan merasakan rangsangan dalam kaitannya dengan standar pelayanan yang telah disesuaikan. “Standar merupakan fungsi dari persepsi stimulus itu sendiri, konteks, dan karakteristik psikologis dan fisiologis organisme” (Oliver, 1980, p.461). pada tingkat individu, layanan itu merupakan sebuah harapan tentang kinerja (atau layanan) produk sehingga dapat dianggap sebagai tingkat adaptasi bila diterapkan pada keputusan yang berkaitan dengan kepuasan. Harapan demikian dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama (Oliver, 1980). Ini menjadi salah satu dasar untuk memahami berbagai konsep saling terkait dengan kepuasan pelanggan serta kualitas pelayanan yang dirasakan.
Kualitas pelayanan telah disamakan dengan penilaian pelanggan tentang keunggulan penyedia keseluruhan layanan atau superioritas (Zeithaml, 1987). Konsisten dengan konsep keunggulan atau superioritas, Parasuraman et al. (1988) menyamakan persepsi kualitas layanan untuk menjadi penilaian global, mirip dengan sikap, dan berhubungan dengan keunggulan layanan. Mereka yakin bahwa ini bentuk sikap dari hasil perbandingan dari harapan dengan persepsi kinerja, dan berhubungan dengan kinerja organisasi tetapi tidak setara dengan kepuasan.
Oliver(1980) mengungkapkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari disconfirmation kinerja dari harapan diinginkan, Parasuraman, et al. (1985, 1988) kemudian mengajukan pandangannya bahwa kualitas pelayanan adalah fungsi dari perbedaan antara harapan dan kinerja sepanjang dimensi kualitas layanan yang diberikan. Dengan kata lain, mereka mengusulkan bahwa perbedaan antara kinerja yang dirasakan dan kinerja yang diharapkan pada akhirnya menentukan kualitas pelayanan secara keseluruhan dirasakan (Lee, Lee, & Yoo, 2000; Parasuraman et al, 1985;. 1988). Bolton dan Drew (1991a) mengeksplorasi bagaimana persepsi pelanggan mengintegrasikan layanan mereka untuk kemudian membentuk evaluasi keseluruhan layanan tersebut.
Temuan mereka menunjukkan harapan sebelumnya yang pelanggan, bersama dengan persepsi mereka terhadap kinerja saat ini, ditambah dengan pengalaman diskonfirmasi mereka mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan dengan layanan. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi penilaian pelanggan terhadap kualitas layanan.
Parasuraman, et.al (1991) mengemukakan bahwa kualitas layanan merupakan sebuah penilaian konsumen sebagai hasil membandingkan antara ekspektasi (harapan) terhadap layanan/jasa yang diberikan dengan persepsi mereka pada kinerja aktual layanan. Terdapat lima dimensi pokok yang umum digunakan dalam mengevaluasi jasa yang bersifat intangible terhadap suatu produk, di antaranya :
- Tangibles (bukti langsung); yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan untuk sarana komunikasi. Bukti langsung atas layanan yang diberikan dapat berwujud penampilan dari petugas/staf yang bersih dan rapi, kebersihan, kenyamanan, serta keamanan gedung dan fasilitas.
- Reliability (keandalan); yaitu kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Reliabilitas digunakan sebagai ukuran konsistensi, akurasi, dan keterikatan dalam memberikan layanan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan staf untuk meminimalisasi kesalahan informasi.
- Responsiveness (ketanggapan); yaitu kemampuan untuk menolong pelanggan dan ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik. Ketanggapan digunakan untuk mengukur besarnya komitmen staf dalam memberikan layanan secara efektif. Ketanggapan juga berkaitan dengan efisiensi waktu yang digunakan staf dalam menangani pelanggan.
- Empathy (empati); yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan, serta kemudahan untuk dihubungi. Empati berhubungan dengan kepedulian, pengertian, dan perhatian secara personal dari staf terhadap pelanggan.
- Assurance (kepastian); yaitu pengetahuan, kesopanan, kredibilitas, keamanan, dan rasa hormat yang ditunjukkan oleh staf kepada pelanggan. Jaminan digunakan sebagai ukuran profesionalisme dari staf dan manajer (pengelola) dalam melakukan interaksi dengan pelanggan secara personal, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Di dalam mempertimbangkan penerapan kualitas layanan, perusahaan akan dihadapkan pada cara-cara untuk memposisikan dirinya dalam memahami nilai dasar pelanggan yang tercermin pada konsep kepuasan pelanggan yang kuat (Gwinner et.al, 1998). Peningkatan kualitas layanan memungkinkan perusahaan untuk menciptakan nilai pada merek yang ditawarkan sehingga dapat mewujudkan aspirasi konsumen secara efektif.
Penelitian berikutnya mengelompokan Indikator Kualitas Layanan dari dimensi yang telah dikemukakan oleh Parasuraman et.al (1991). Hubungan antara variabel dan dimensi yang membentuknya tertuang dalam model sebagai berikut :
Keterangan :
X1 = Tangibles (bukti langsung); yaitu meliputi fasilitas fisik
X2 = Reliability (keandalan); memberikan layanan sesuai dengan janji
X3 = Responsiveness (ketanggapan); cepat dalam melayani pelanggan
X4 = Empathy (empati); yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan.
X5 = Assurance (kepastian); memiliki pengetahuan yang baik tentang produk atau jasa