Pengeluaran atau belanja pemerintah daerah untuk keperluan pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat yang dibiayai melalui APBD. Pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran Kas Daerah dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja Rutin (operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak tersangka. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, stuktur belanja pemerintah daerah, terdiri atas:
- Belanja Rutin/Operasional (RecurrentExpenditure). Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset atau kekayaan bagi daerah. Belanja rutin ditujukan terutama untuk menggerakkan roda pemerintahan sehari-hari, dalam kondisi keterbatasan keuangan daerah maka belanja rutin ini perlu lebih diupayakan adanya penghematan sehingga mampu melakukan tabungan (saving) guna membiayai kegiatan proyek pembangunan. Hal ini perlu dilakukan karena pengeluaran untuk membiayai kegiatan pembangunan mempunyai nilai pengganda (multiplier) yang lebih besar daripada pengeluaran rutin.
Belanja rutin terdiri dari:
1). Belanja administrasi umum, terdiri dari:
- a) Belanja Pegawai,
- b) Belanja Barang,
- c) Belanja Perjalanan Dinas, dan
- d) Belanja Pemeliharaan.
2). Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
Belanja investasi / Pembangunan (Invesment/CapitalExpenditure). Belanja investasi/ modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah,dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaanya. Penyusunan belanja pembangunan selalu didasarkan atas kebutuhan nyata dari masyarakat tingkat bawah, untuk menentukan alokasi belanja pembangunan terhadap proyek-proyek yang akan dibangun, inisiatif harus datang dari masyarakat itu sendiri melalui lembaga pemerintahan yang berada ditingkat bawah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1982 tentang “Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P3D)”, bahwa mekanisme perencanaan pembangunan di daerah merupakan perpaduan antara perencanaan dari bawah (Bottom Up Planning)dengan perencanaan dari atas (Top Down Planning). Perencanaan dari bawah bertujuan untuk menampung aspirasi masyarakat tentang permasalahan dan kebutuhan pembangunan, sedangkan perencanaan dari atas merupakan kebijaksanaan pusat di daerah yang tercermin dari pencapaian tujuan program yang telah disusun secara nasional. Belanja investasi/pembangunan terdiri dari:
1). Belanja publik adalah belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja publik merupakan belanja modal (capitalexpenditure) yang berupa investasi fisik (pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan aset daerah.
2). Belanja aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang.
3). Pengeluaran transfer adalah pengalihan uang dari pemerintah daerah dengan kriteria:
- a) Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti layaknya terjadi transaksi pembelian dan penjualan;
- b) Tidak mengharapkan dibayarkembali dimasa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman; dan
- c) Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan, seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investsi.Pengeluaran transfer tersebut terdiri atas: angsuran pinjaman, dana bantuan dan dana cadangan.
4) Pengeluaran Tidak Tersangka. Pengeluaran tidak tersangka adalah pengeluaran yang disediakan untuk pembiayaan:
- a) Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah;
- b) Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan dan/atau tidak tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan; dan
- c) Pengambilan penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan/atau kelebihan penerimaan.
Implikasi pelaksanakaan otonomi daerah bahwa pemerintah daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, yang tidak terlepas dari kesiapan masing-masing daerah yang menyangkut permasalahan pendanaan (Yuliati, 2001). Oleh karena itu, pemerintah daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang besar menyambut otonomi daerah dengan penuh harapan, sebaliknya daerah yang miskin sumberdaya alam menanggapinya dengan sedikit rasa khawatir dan was-was (Mardiasmo, 2002). Hal ini sangat dirasakan oleh daerah yang miskin sumberdaya alam. Sumber dana mereka hanya akan berasal dari pendapatan asli daerah yang berupa bagian PBB dan BPHTB, serta dari hasil pungutan retribusi daerah lainnya, di samping sumber dana dari subsidi atau bantuan pemerintah pusat (Suparmoko, 2002).
Banyak daerah yang memikirkan bagaimana meningkatkan tarif pajak dan retribusi daerah serta memikirkan untuk menciptakan obyek-obyek pajak dan restribtusi daerah yang baru. Namun hal ini justeru menimbulkan keresahan di daerah, karena rakyat khawatir akan membayar pajak lebih banyak kepada pemerintah daerah dibanding dengan sebelum adanya otonomi daerah (Aswarodi, 2001). Demikian pula pernyataan Bambang Sudibyo (Suara Pembaharuan, 5 April 2001), bahwa “Pemerintah daerah dan DPR cenderung mengembangkan pendapatan asli daerahnya dengan cara memungut pajak dan retribusi daerah secara berlebihan, dan bahkan tidak pantas. Kebijakan semacam itu justeru menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian makro”.
Tampubolong (2001) menjelaskan bahwa pungutan yang berasal dari pajak dan retribusi cenderung mendistorsi ekonomi daerah melalui pengaruhnya terhadap biaya produksi dan pemasaran komoditas yang dihasilkan daerah yang bersangkutan. Moko (2001) menjelaskan bahwa dampak lebih jauh dari munculnya berbagai macam pungutan adalah banyak investor dalam dan luar negeri menjadi enggan berinvestasi di daerah. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus selektif menggali sumber pendapatan yang berasal dari pajak dan retribusi daerah dengan melakukan identifikasi potensi masing-masing komponen pajak dan retribusi daerah.
Rendahnya kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang sah selama ini, selain disebabkan oleh faktor sumberdaya manusia dan kelembagaan, juga disebabkan oleh batasan hukum (Abas, 2001). Pemberlakuan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 yang mengalokasikan sebagian jenis-jenis pajak yang gemuk bagi pemerintah pusat, merupakan salah satu faktor penyebab keterbatasan kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaannya. Kondisi semacam ini, jelas tidak akan mampu mendukung pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang diharapkan. Penyelenggaraan otonomi perlu diimbangi dengan kemampuan untuk menggali dan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerahnya masing-masing (Saragih, 2003).
Kenyataan menunjukkan bahwa peran Pendapatan Asli Daerah dalam struktur pendapatan dan belanja daerah relatif masih sangat rendah. Anggaran belanja pemerintah daerah masih sangat bergantung terhadap peran dana perimbangan dari pusat melalui APBN (Bahri, 2001). Oleh karena itu, dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik secara optimal, maka pemerintah daerah harus dapat mengelola sumber-sumber PAD untuk meningkatkan pendapatan daerahnya serta mengurangi ketergantungan terhadap dana perimbangan dari pusat. Namun demikian, upaya tersebut tidak justeru menjadi hambatan dalam pembangunan ekonomi dan meresahkan masyarakat (Dedy, 2001).
Anggaran daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa yang akan datang, sumber pengembangan, ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja (Jones dan Pendlebury, dalam Mardiasmo, 2002).