Kualitas Belanja Daerah (skripsi dan tesis)

Belanja Daerah yang berkualitas tercermin dari APBD yang berkualitas. APBD yang berkualitas adalah anggaran yang proses penyusunannya telah mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipasi, transparansi, dan proses penyusunannya menggunakan pendekatan kinerja. Implikasi dari penerapan prinsip-prinsip tersebut akan menghasilkan anggaran yang bertumpu pada kepentingan masyarakat bukan kepentingan para penguasa dan pengusaha.

Kualitas belanja Daerah /APBD ( termasuk belanja pusat /APBN ) mempunyai atribut – atribut sebagai berikut : 1. Belanja yang taat pada perundang – undangan;   2. Belanja yang tertib;  3. Belanja yang efisien; 4. Belanja yang ekonomis;  5. Belanja yang efektif; 6. Belanja yang transparansi; 7. Belanja yang dapat dipertanggung jawabkan dengan mempertahankan asas keadilan , keputusan dan manfaat kepada masyarakat.

Sedangkam untuk dapat mengetahui pengertian belanja daerah maka ada beberapa peraturan perundangan yang bisa diacu yaitu :

1). Undang – undang  nomor : 17 tahun 2003, 2). Peraturan Pemerintah nomor: 58 tahun 2005. Tentang pengelolaan keuamgam daerah  3). Pemendagri nomor : 13 tahun 2006 tentang Pedoman pengelolaan keuangan daerah. Dari ketiga peraturan perundang – undangan tersebut pengertian mengenal Belanja Daerah didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Adapunpengertian belanja dapat didefinisikan sebagai semua pengeluaran pemerintah daerah pada suatu periode anggaran.

Dalam penggunaannya berdasarkan Pemendagri nomor : 13 tahun 2006, Belanja  Daerah diprioritaskan untuk melaksanakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota  yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang – undangan.

Pembagian Urusan ,Fungsi,Organisasi,Program dan Kegiatan serta Kelompok Belanja dalam Pemendagri 13  tahun  2006 membaginya dalam kelompok  berikut ini:

Tabel 2.1.:  Pembagian Urusan, Fungsional , Organisasi, Program Dan Kegiatan

              Belanja  Dalam Pemendagri  13 Tahun 2006

 

Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung
·         Belanja Pegawai

·         Belanja Bunga

·         Belanaja Subsidi

·         Belanja Hiba

·         Belanja Bantuan Sosial

·         Belanja Bagi Hasil

·         Bantuan Keuangan

·         Belanaja Tak Terduga

·         Belanja Pegawai

·         Belanja Barang dan Jasa

·         Belanja Modal

 

 

Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak  dipengaruhi secara langsung oleh ada tidaknya program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sedang Belanja langsung merupakan belanja yang dipergunakan secara langsung oleh  adanya program  dan kegiatan SKPD yang kontribusinya terhadap pencapaian prestasi kerja dapat diukur.

Dengan demikian dalam rangka pelaksanaan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota  akan melaksanakan belanja daerah yang merupakan semua kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang kekayaan bersih ( ekuitas dana ) dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam belanja daerah ini , Pemerintah Daerah tidak akan mendapatkan pembayaran kembali, baik pada tahun anggaran berjalan maupun tahun anggaran berikutnya.

Lebih lanjut sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor : 58 tahun 2005 tentang pengelolahaan Keuangan Daerah, dimana belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah  yang diwujudkan dalam bentuk penigkatan pelayanan dasar, pendidikan,kesehatan, fasilitas social dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan system jaringan social. Karena manajemen belanja daerah merupakan bagian manajemen atau pengelolaan keuangan daerah yang tyercermin dalam APBD , maka secara umum Belanja Daerah   yang berkualitas adalah belanja daerah yang sesuai dengan yang diinginkan  berdasarkan peraturan pemerintah nomor  58 tahun2005 tersebut.

Sesuai dengan prinsip dalam keuangan Negara bahwa semua yang berkaitan dengan keuangn harus didasari dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, maka karateristik yang melekat pada kualitas belanja seharusnya  juga berbasis pearutan perundang – undangan  yang berlaku. Dalam Peraturan Pemerintah nomor: 58 / 2005, bagian ketiga tentang Asas Umum Pengelolaan KeuanganDaerah, pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa Keuangan Daerah  dikelolah tertib,taat pada peraturan  perundang – undangan , efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat.Karakteristik Anggaran menurut Mulyadi (2001) yaitu sebagai berikut :

  1. Anggaran dinyatakan dalam satuan keuangan dan satuan selain keuangan.
  2. Anggaran umumnya mencakupi jangka waktu satu tahun.
  3. Anggaran berisi komitmen dan kesanggupan manajemen, yang berarti bahwa para manajer setuju untuk menerima tanggung jawab untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam anggaran.
  4. Usulan anggaran review dan disetujui oleh pihak yang berwenang lebih tinggi dari Penyusunan Anggaran.
  5. Sekali disetujui, anggaran hanya dapat diubah di bawah kondisi tertentu
  6. Secara berkala, kinerja keuangan sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran dan selisihnya dianalisis dan dijelaskan.

Menurut Mulyadi (2001) selain karakteristik-karakteristik umum yang telah diuraikan di atas, terdapat juga karakteristik anggaran yang baik, yaitu  (1) Anggaran disusun berdasarkan program (2) Anggaran disusun berdasarkan karakteristik pusat pertanggungjawaban yang dibentuk dalam organisasi (3) Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan dan alat pengendalian.

Menurut Muslim & Hariyadi (2004) menjelaskan bahwa disamping anggaran harus bertumpu pada kepentingan masyarakat, anggaran yang berkualitas adalah anggaran yang peka (berspektif) gender, artinya anggaran yang di susun oleh pemerintah daerah tidak mendiskrimi nasikan dan menguntungkan gender tertentu. Selama ini gender perempuan sering dirugikan dalam alokasi anggaran. Sedangkan menurut Herlambang (2004) menyebutkan bahwa anggaran yang berkualitas adalah anggaran yang mengutamakan kebutuhan dasar rakyat miskin (pro poor budget) dan anggaran tersebut harus berkeadilan (pro justice budget).

Menurut Saragih (2003), bahwa bila dikaitkan dengan peranan pemerintah daerah, maka pada pokoknya anggaran harus mencerminkan strategi pengeluaran yang rasional baik kuantitatif maupun kualitatif, sehingga akan terlihat adanya :

  1. Pertanggungjawaban pemungutan sumber-sumber pendapatan daerah oleh pemerintah daerah, misalnya untuk memperlancar proses pembangunan ekonomi;
  2. Hubungan erat antara fasilitas penggunaan dana dan pemasukannya; dan
  3. Pola pengeluaran pemerintah daerah yang dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam menentukan pola penerimaan yang pada akhirnya menjamin tingkat distribusi penghasilan dalam ekonomi daerah.

Untuk itu, Undang-undang No. 32 dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004, telah meletakkan landasan hukum yang kuat dan pengaturan yang lebih terinci dalam implementasi pengelolaan keuangan daerah, bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah dibutuhkan adanya sistem pengelolaan keuangan daerah yang mandiri, transparan dan akuntabel seiring dengan semangat otonomi daerah. Aschauer (2000) menjelaskan bahwa persoalan kebijakan fiskal pemerintah mencakup “how much you have”(Berapa banyak yang anda miliki), “how much you pay for it” ( seberapa banyak anda membayar untuk itu ), dan how much you use it” ( seberapa banyak yang anda menggunakannya) Selain cara bagaimana pemerintah membiayai pengeluarannya, faktor efektivitas dan efisiensi   pengeluaran pemerintah baik besarnya (size) maupun struktur alokasinya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang “Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah” yaitu yang dulunya top down dan cenderung mengabaikan kebutuhan rakyat, sekarang mengalami berbagai perubahan diantaranya:

  • Anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan public sesuai dengan prinsip anggaran publik,
  • Anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya yang rendah (work better and cost less),
  • Anggaran daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan,
  • Anggaran daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran,
  • Anggaran daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja disetiap organisasi yang terkait,
  • Anggaran daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for money.

Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang mencakup penyusunan, penguasaan, pelaksanaan, penatausa­haan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah (Bastian, 2002; Domai, 2002). Dengan demikian, rangkaian kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut dapat dimaknai sebagai suatu proses atau alur kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausa­haan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan terhadap pengelolaan ke­uangan daerah itu sendiri (Mamesahdalam Halim, 2007). Untuk itu penge­lolaan keuangan daerah pasca Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tidak lain adalah bagaimana implementasi pengelolaan keuangan daerah ke­ depan sesuai dengan amanat dari peraturan perundangan di bidang keuangan negara/daerah tersebut.

Obyek pengelolaan keuangan daerah adalah sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Pada sisi penerimaan, daerah dapat melakukan dua hal: pertama, mobilisasi sumber-sumber penerimaan konvensional melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah serta optimalisasi pinjaman daerah dan laba BUMD. Kedua, daerah dapat melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan baru, yaitu penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. Dari sisi pengeluaran, daerah harus dapat melakukan redefinisi proses penganggaran. Selain untuk memungkinkan adanya perbaikan pada tingkat ekonomis, efisiensi dan efektivitas setiap kegiatan pemerintahan (penghematan anggaran sesuai standar analisa belanja), redefisini anggaran juga harus mencakup ketetapan apakah suatu layanan publik masih harus diproduksi sendiri oleh pemerintah daerah atau cukup disediakan oleh pemerintah daerah melalui kemitraan atau privatisasi (Saragih 2003; Mardiasmo, 2004).

Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah tentunya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen yang dipakai sebagai tolok ukur dalam meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarkat di daerah (Barata dan Trihartanto, 2004).

Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang (rupiah) selama periode waktu tertentu (satu tahun) serta merupakan salah satu instrumen utama kebijakan dalam upaya peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah (Simanjuntak, 2001). Dengan demikian, anggaran daerah harus mampu mencerminkan kebutuhan riil masyarakat daerah. Bertitik tolak dari norma umum anggaran daerah tersebut, maka anggaran daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip anggaran (Widodo, 2001), sebagai berikut:

  1. Keadilan Anggaran;Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan makin bertambah apabila fungsi aloksi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat pelayanan bagi masyarakat daerah;
  2. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran;Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum, kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental yang sangat lemah landasan pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas;
  3. Kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenaan dengan itu, maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas anggaran;
  4. Anggaran Berimbang dan Defisit; Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Keuangan, maupun Pinjaman Daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak harus selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan atau pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan;
  5. Disiplin Anggaran;Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Anggaran pendapatan dan belanja daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk satu (1) tahun anggaran tertentu yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Sedangkan pencatatan atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan daerah di Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melak­sanakan kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Disamping itu, harus pula dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar unit kerja antara belanja rutin dan belanja pembangunan serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja; dan
  6. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran;Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat. Anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, peme­rintah daerah dan pemerintah pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harusdilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun pihak-pihak yang bersifat independent yang memerlukan.

Anggaran daerah sebagai instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah merupakan alat dalam menentukan pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran, sumber pengembangan, ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memobilisasi pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dan berbagai unit kerja (Saragih, 2003). Secara lebih spesifik, Daveydalam Mardiasmo (2004) menjelaskan bahwa anggaran daerah dalam proses pembangunan merupakan:

  1. Instrumen Politik. Anggaran daerah adalah salah satu instrumen formal yang menghubungkan eksekutif daerah dengan tuntutan dan kebutuhan publik yang diwakili oleh Legislatif Daerah;
  2. Instrumen Kebijakan Fiskal. Dengan mengubah prioritas dan besar alokasi dana, anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong,memberikan fasilitas dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah;
  3. Instrumen Perencanaan.Di dalam anggaran daerah disebutkan tujuan yang ingin dicapai, biaya dan hasil yang diharapkan dari setiap kegiatan di masing-masing unit kerja; dan
  4. Instrumen Pengendalian.Anggaran Daerah berisi rencana penerimaan dan pengeluaran secara rinci setiap unit kerja. Hal ini dilakukan agar unit kerja tidak melakukan overspending, underspending atau mengalokasikan anggaran pada bidang yang lain.

Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa anggaran daerah tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Anggaran daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses perencanaan pembangunan daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan dis­tribusi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja daerah pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pe­rencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan me­ngandung arti bahwa anggaran daerah men­jadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa ang­garan daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efek­tivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah membawa konsekuensi terhadap berbagai perubahan dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Domai, 2002). Sebelum Undang-undang Otonomi Daerah dikeluarkan, struktur APBD yang berlaku selama ini adalah anggaran yang berimbang, di mana jumlah penerimaan atau pendapatan sama dengan jumlah pengeluaran atau belanja. Kini struktur APBD mengalami perubahan bukan lagi anggaran berimbang, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Artinya, setiap daerah memiliki perbedaan struktur APBD sesuai dengan kapasitas keuangan atau pendapatan masing-masing daerah (Saragih, 2003).

Berkaitan dengan sistem anggaran, dikenal tiga (3) macam sistem anggaran yakni, anggaran surplus, anggaran balance, dananggaran deficit. Disebut anggaran balance jika pengeluarannya sama dengan pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun anggaran tertentu. Sedangkan sistem anggaran deficit memungkinkan pemerintah mempunyai pengeluaran yang melebihi pendapatannya. Kekurangan (deficit) kemudian ditutup melalui pinjaman, baik dari/melalui masyarakat (obligasi) maupun pinjaman luarnegeri (hutang). Sedangkan anggaran surplus adalah penerimaan diupayakan lebih tinggi dari pengeluaran, sehingga terdapat surplus atau tabungan (Haz, 2001; dan Suparmoko, 2002).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, struktur APBD di Indonesia, terdiri atas: (1) Pendapatan daerah, (2) Belanja daerah, dan (3) Pembiayaan. Ketiga komponen tersebut harus ada dalam setiap penyusunan APBD. Namun, bagaimana kondisi APBD suatu daerah, apakah defisit atau surplus, tergantung pada kapasitas pendapatan daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, tidak ada keharusan anggaran belanja semua daerah harus surplus atau defisit. Ada daerah yang APBD-nya surplus dan sebaliknya ada daerah yang APBD-nya defisit (Saragih, 2003).

Apabila APBD suatu daerah menunjukkan posisi defisit, maka pemerintah daerah harus menetapkan sumber pembiayaan defisit anggarannya dalam struktur APBD. Komponen pembiayaan ini sangat penting untuk melihat sumber-sumber yang dapat diusahakan daerah. Biasanya sumber pembiayaan defisit dapat dilakukan melalui pinjaman dalam negeri dan luar negeri, serta melalui penjualan aset-aset daerah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah (perda) yang bersangkutan.