Proses Non-katalitik (skripsi dan tesis)

Proses transesterifikasi dengan menggunakan katalis (baik katalis homogen maupun heterogen) masih memiliki kelemahan. Oleh karena itu, para peneliti berusaha untuk mencari teknologi proses transesterifikasi baru yang dapat mengganti ataupun mengurangi kelemahan proses katalitik tersebut. Salah satu metode potensial tersebut adalah proses produksi biodiesel dengan reaksi transesterifikasi secara non-katalitik (Kusdiana dan Saka 2001, Demirbas 2002, Madras et al. 2004, Cao et al. 2005, Han et al. 2005, Bunyakiat et al. 2006, He et al. 2007, Silva et al. 2007, Varma dan Madras 2007, Rathore dan Madras 2007, Song et al. 2008, Demirbas 2008, Vieitez et al. 2008, Hawash et al. 2009, Yamazaki et al. 2007, Joelianingsih et al. 2008, Susila 2009). Menurut Kusdiana dan Saka (2001), reaksi transesterifikasi non-katalitik dapat terjadi bila alkohol mengalami kondisi superkritik pada suhu 623 K. Menurut Kusdiana dan Saka (2004), kelebihan dari metode superkritik alkohol tidak memerlukan katalis dan bisa mendekati konversi yang hampir sempurna dalam waktu yang relatif singkat.

Selain itu, menurut Diasakou et al. (1998) proses superkritik non-katalitik berpotensi memiliki keuntungan lingkungan karena tidak ada limbah yang dihasilkan dari perlakuan katalis dan pemisahan dari produk akhir. Selanjutnya, metode non-katalitik ini tidak memerlukan perlakuan awal (pretreatment) dari bahan baku karena pengotor dalam umpan bahan baku minyak tidak mempengaruhi reaksi secara signifikan. Pada kondisi di atas titik kritis (yaitu, suhu dan tekanan kritis) tapi di bawah tekanan yang dibutuhkan untuk terkondensasi menjadi padat, menurut Kusdiana dan Saka (2001) fluida berada dalam fasa superkritik (super critical fluid, SCF). Dalam kondisi seperti itu, kerapatan fasa cair dan gas menjadi identik dan perbedaan di antara keduanya lenyap (Kusdiana dan Saka 2004). Lebih khusus lagi, kondisi SCF memiliki kepadatan seperti cairan dan sifat pengangkut seperti gas (misalnya, difusivitas dan viskositas). Sifat superkritik metanol adalah Tc = 512 K dan Pc = 8.09 MPa. Keadaan superkritik metanol meningkatkan sifat saling melarutkan dari campuran minyak – metanol karena penurunan konstanta dielektrik metanol dalam keadaan superkritik (Marchetti 2013). Menurut Kusdiana dan Saka (2004), kondisi superkritik alkohol pada tekanan dan suhu kritisnya mempengaruhi mekanisme reaksi dari proses transesterifikasi.

Potensi Sumber Katalis Heterogen di Indonesia (skripsi dan tesis)

Ketersediaan sumber alam yang cukup melimpah di Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi para peneliti untuk mengembangkan katalis heterogen berbasis CaO untuk transesterifikasi. Sumber alami di Indonesia yang dapat diolah menjadi katalis heterogen berbasis CaO sangat bervariasi, baik dari abu tanaman organik, cangkang hewan maupun hasil pengolahan limbah. Pemanfaatan abu dari tanaman organik ini secara umum adalah untuk mendapatkan K2CO3 sebagai katalis heterogen. Salah satu sumber alami yang dapat dijadikan katalis heterogen tersebut adalah dari abu sabut kelapa. Husin et al. (2011) melaporkan penelitian penggunaan katalis abu sabut kelapa sebagai pengganti K2CO3 untuk konversi minyak jarak menjadi biodiesel dengan metanol. Reaksi dilangsungkan dalam labu leher tiga pada temperatur konstan 333 K dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 6:1 selama 3 jam. Menurut Husin et al. (2011), penggunaan katalis abu sabut kelapa (10%) tanpa pemijaran memberikan hasil yield biodiesel sebesar 87.05%.

Sedangkan penggunaan katalis abu sabut kelapa (10%) dengan pemijaran pada 1073 K menghasilkan yield biodiesel sebesar 87.97%. Sitorus dan Murtiasih (2015) melaporkan penelitian tentang penggunaan abu sabut kelapa (kandungan K2CO3 sebesar 17.4%) sebagai katalis heterogen basa pada proses transesterifikasi minyak jarak pagar. Reaksi transesterifikasi minyak dilakukan dengan metanol pada suhu 333 K selama 2 jam. Katalis abu sabut kelapa sebesar 4% menghasilkan konversi optimum sebesar 78.45%. Selain dari abu sabut kelapa, pemanfaatan abu tandan aren dan abu pelepah pisang juga telah diteliti. Penggunaan katalis dari abu tandan aren dilaporkan oleh Alamsyah et al. (2010) pada proses transesterifikasi minyak jelantah. Reaksi dilakukan dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 6:1, suhu reaksi 333-343 K, selama 2 jam reaksi. Penggunaan katalis abu tandan aren 5% (abu dari kompos tandan aren) memberikan hasil terbaik dengan yield 87.90 %.

Selain pemanfaatan abu tanaman organik, pemanfaatan cangkang hewan yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) yang tinggi juga berpotensi sebagai sumber katalis heterogen setelah melalui proses pemijaran. Saputra et al. (2012) melaporkan penelitian transesterifikasi minyak sawit mentah (CPO) dengan katalis CaO dari cangkang bekicot yang dikalsinasi. Transesterifikasi dilakukan dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 12:1, suhu reaksi 333 K, dan waktu reaksi selama 60 menit. Katalis dengan perlakuan kalsinasi pada suhu 1073 K sebanyak 10% memberikan hasil terbaik rendemen produk biodesel 90%. Proses kalsinasi dari cangkang hewan tersebut pada dasarnya adalah untuk mengubah kandungan CaCO3 menjadi CaO yang berpotensi sebagai katalis. Selain proses pemijaran cangkang hewan untuk mendapatkan CaO, beberapa peneliti juga melakukan proses pemijaran zat kapur alami (CaCO3) langsung untuk mendapatkan CaO sebagai katalis. Awaluddin et al. (2009) melaporkan penelitian proses produksi biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO) dengn katalis CaCO3 yang dipijarkan. Reaksi dilakukan secara bertahap dengan melalui esterifikasi dengan katalis asam dan dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan katalis CaO (CaCO3 yang dipijarkan). Reaksi dilakukan dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 9:1, suhu reaksi 343 K, dan waktu reaksi selama 1.5 jam. Penggunaan katalis CaCO3 yang dipijarkan pada suhu 1173 K sebanyak 1.5% memberikan konversi terbaik sebesar 74.6%. Sedangkan Padil et al. (2010) melaporkan penggunaan katalis CaCO3 yang dipijarkan pada proses produksi biodiesel dari minyak kelapa. Reaksi dilakukan dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 8:1, suhu reaksi 333 K, dan waktu reaksi selama 1.5 jam.

Penggunaan katalis CaCO3 yang dipijarkan pada suhu 1173 K sebanyak 2% memberikan konversi terbaik sebesar 75.02%. Sumber katalis heterogen alami lainnya yang dikembangkan adalah zeolit alam dan alumina dari pengolahan limbah. Kartika dan Widyaningsih (2012) melaporkan penelitian transesterifikasi minyak jelantah dengan dengan katalis KOH yang disertasi proses esterifikasi menggunakan katalis zeolit alam teraktivasi asam khlorida-HCl (ZAH). Kondisi sempurna (100%) proses transesterifikasi minyak jelantah diperoleh secara bertahap dengan didahului proses esterifikasi menggunakan katalis KOH pada suhu 333 K, rasio molar metanol:minyak sebesar 6:1, kemudian dilanjutkan proses transesterifikasi menggunakan katalis ZAH sebesar 2% dengan waktu reaksi 60 menit. Transesterifikasi menggunakan katalis KOH tanpa proses esterifikasi hanya menghasilkan konversi biodiesel sebesar 53.29%. Wicakso (2011) melaporkan penelitian transesterifikasi minyak sawit mentah (crude palm oil – CPO) dengan katalis alumina dari pengolahan limbah PDAM. Hasil optimum diperoleh dengan kondisi suhu 333 K, rasio molar metanol:minyak sebesar 6:1, menggunakan katalis alumina 5% dan waktu reaksi 120 menit menghasilkan yield sebesar 70.5%. Proses transesterifikasi ini didahului dengan proses esterifikasi menggunakan katalis asam sulfat sebanyak 5% pada suhu 333 K selama 60 menit.

Katalis Heterogen Basa (skripsi dan tesis)

Pengembangan katalis heterogen basa dari berbagai oksida logam seperti magnesium metoksida, kalsium oksida, kalsium alkoksida, dan barium hidroksida dipelajari untuk mengatasi kekurangan dari katalis homogen. Potensi kalsium oksida (CaO) murni sebagai katalisator proses transesterifikasi telah dilaporkan oleh Kouzu et al. (2008). Penggunaan CaO sebagai katalis menghasilkan hasil tertinggi dibandingkan dengan bentuk senyawa kalsium lainnya seperti dalam bentuk kalsium hidroksida (Ca(OH)2) atau kalsium karbonat (CaCO3). Kawashima et al. (2009) melaporkan bahwa CaO aktif dan dapat menghasilkan biodiesel 90% dari transesterifikasi minyak rapeseed dengan metanol dalam waktu 3 jam. Pengaruh kelembaban pada aktivitas katalitik CaO dieksplorasi oleh Liu et al. (2008). Salah satu bahan limbah potensial mengandung CaO tinggi yang bisa dimanfaatkan sebagai katalis heterogen adalah abu kiln semen (AKS). Komposisi AKS menurut Lin et al. (2009) terdiri dari berbagai oksida terutama kalsium oksida (CaO), alumina (Al2O3), ferroksida (Fe2O3), dan silika (SiO2).

Menurut Cai et al. (2011), bahan ini terdiri dari partikel halus yang dikumpulkan oleh sistem pengumpulan abu dalam proses produksi semen. Ukuran partikel AKS berkisar antara 0.1 sampai 100 mikron, dan memiliki berat jenis antara 2.6 dan 2.8. Bahan ini mengandung campuran partikulat dari bahan yang dikalsinasi parsial dan bahan baku yang belum diproses, abu klinker, bahan bakar abu, sulfat, halida, dan bahan volatil lainnya. Lin et al. (2009) melaporkan bahwa bahan AKS ini merupakan katalis yang ekonomis dan ramah lingkungan yang dapat digunakan pada reaksi esterifikasi maupun transesterifikasi. Katalis AKS ini telah digunakan secara komersial untuk produksi biodiesel oleh perusahaan Catilin Inc. – Amerika (Cai et al. 2011). Katalis oksida campuran berbasis kalsium lainnya (CaMgO dan CaZnO) telah diteliti oleh Taufiq-Yap et al. (2011) untuk transesterifikasi minyak jarak pagar atau Jatropha curcas oil (JCO) dengan metanol. Katalis CaMgO dan CaZnO disiapkan dengan metode kopresipitasi larutan logam campuran nitrat yang sesuai dengan adanya garam karbonat yang larut pada pH 8-9. Konversi JCO oleh CaMgO dan CaZnO dipelajari dan dibandingkan dengan katalis kalsium oksida (CaO), magnesium oksida (MgO) dan seng oksida (ZnO). Katalis CaMgO

Katalis Asam Super (skripsi dan tesis)

Asam-asam yang lebih kuat dari Ho =-12 dibandingkan dengan kekuatan asam 100% H2SO4 bisa disebut sebagai ‘asam super’. Menurut Arata (1996), yang merupakan asam super umum adalah asam HF (asam Brønsted) dan BF3 (asam Lewis). Zirkonia sulfat dan zirkonia tungstat adalah contoh katalis heterogen asam super dan menunjukkan aktivitas katalitik yang tinggi untuk gugus asam aktif (Tanabe dan Yamaguchi 1994). Zirkonia telah menunjukkan aktivitas katalitik dan juga penyangga yang baik untuk katalis, hal ini disebabkan stabilitas termal yang tinggi, stabilitas di bawah kondisi reaksi oksidasi dan reduksi, dan karakter gugus hidroksil permukaan amfoter. Furuta et al. (2004) melaporkan penelitian menggunakan tungstated zirconia-alumina (WZA), sulfat timbal oksida (STO), dan sulfate zirconiaalumina (SZA) sebagai katalis heterogen asam super untuk transesterifikasi minyak kedelai dan asam esterifikasi n-oktanoat. Lebih dari 90% konversi selama transesterifikasi dengan WZA diperoleh pada suhu 523 K dengan minyak kedelai sebagai bahan baku. Selama transesterifikasi asam n-oktanoat, konversi dengan menggunakan katalis WZA, SZA dan STO masingmasing 94%, 99%, dan 100% pada suhu 448 K. Konversi menggunakan katalis WZA dan SZA meningkat menjadi 100% pada suhu 473 K (Furuta et al. 2004).

Berbagai jenis katalis heterogen seperti Amberlyst-15, Nafion-NR50, zirkonia sulfat (SZ), tungstated zirconia (WZ), dan ETS-10 (Na, K) digunakan untk membandingkan kinerjanya dengan katalis homogen yang konvensional (NaOH dan H2SO4) pada transesterifikasi triasetin dilaporkan oleh Lo’pez et al. (2005). Aktivitas katalis Amberlyst-15, Nafion-NR50, WZ, dan ETS-10 memberikan hasil yang cukup baik dan cukup layak sebagai alternatif pengganti NaOH atau H2SO4. Menurut Lo’pez et al. (2005), dari segi kecepatan reaksi total masih lebih rendah dibandingkan katalis homogen tersebut. Namun dari segi kecepatan reaksi per gugus basa aktif, katalis heterogen tersebut setara dengan aktivitas H2SO4. Untuk meningkatkan kecepatan reaksi, gugus basa dari katalis heterogen tersebut harus diaktivasi terlebih dahulu. Suhu kalsinasi adalah salah satu faktor yang berperan penting dalam aktivasi katalis heterogen asam. Menurut Kiss et al. (2010), suhu kalsinasi optimum adalah 973 K untuk jenis katalis zirkonia sulfat dalam esterifikasi asam lemak. Suhu kalsinasi optimum untuk SZ pada 773 K dan untuk TiZ pada 673-773 K. Pada suhu lebih tinggi dari suhu tersebut menyebabkan hilangnya belerang sehingga menurunkan luas permukaan katalis dan akhirnya kehilangan aktivitasnya. Zirkonia yang dimodifikasi, yaitu titania zirkonia (TiZ), SZ, dan WZ, telah digunakan sebagai katalis heterogen untuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi secara bersamaan oleh López et al. (2005). Kehadiran ion sulfat menstabilkan struktur zirkonia dan meningkatkan luas permukaan. Dari ketiga katalis tersebut, WZ menunjukkan aktivitas yang lebih baik pada SZ karena regenerasi katalis WZ lebih mudah setelah digunakan dalam reaktor unggun tetap. 128 Wahyudin, et al. Katalis zirkonia sulfat dibuat dengan menggunakan metode yang berbeda seperti presipitasi tanpa pelarut telah dilaporkan oleh Garcia et al. (2008). Hanya SZ yang dibuat dengan metode bebas pelarut yang memberikan konversi yang efisien (98.6% dengan metanol dan 92% dengan etanol) terhadap minyak kedelai untuk produksi biodiesel dalam waktu reaksi 1 jam pada suhu 393 K.

Menurut Garcia et al., hal ini terkait dengan banyaknya gugus asam yang aktif. Konversi rendah ketika menggunakan etanol dikaitkan dengan adanya air sebesar 0.44% dalam etanol dibandingkan dengan 0.08% air dalam metanol. Konversi dengan menggunakan etanol meningkat menjadi 96% saat reaksi dilakukan selama 6.5 jam. Lou et al. (2008) melaporkan zirkonia tersulfatasi dan asam niobik (Nb2O5.nH2O) digunakan sebagai katalisator untuk esterifikasi dan transesterifikasi minyak goreng bekas dengan kadar ALB tinggi (27.8% w/w) memberi hasil yield rendah 44% dan 16% secara berurutan pada kondisi 14 Jam waktu reaksi. Kiss et al. (2010) telah melaporkan bahwa katalis zirkonia sulfat adalah katalis yang paling menjanjikan di antara berbagai katalis heterogen asam (jenis zeolit lain, resin penukar ion) yang dicoba pada esterifikasi asam dodekanoat. Katalis dilaporkan stabil terhadap dekomposisi termal. Penonaktifan katalis tidak terjadi pada fasa organik dengan sejumlah kecil air. Aktivitas katalis menurun sampai 90% dari nilai awal dan tetap konstan setelahnya. Aktivitas katalis dapat dikembalikan ke kondisi awalnya setelah dikalsinasi ulang.

Resin dan Membran (skripsi dan tesis)

Resin pertukaran ion telah umum digunakan untuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi. Resin penukar ion memiliki matriks polimer cross-linked dimana kation aktif untuk reaksi esterifikasi terbentuk karena proton menempel pada gugus sulfonat (Tesser et al. 2010). Dengan diameter pori yang lebih tinggi dari resin ini memungkinkan masuknya asam lemak bebas (ALB) ke permukaan katalis yang menghasilkan reaksi esterifikasi yang lebih baik. Resin penukar kation (NKC-9, 001 × 7 dan D61) adalah resin yang dicoba oleh Feng et al. (2010) dan dilaporkan efektif untuk reaksi transesterifikasi dengan bahan baku minyak goreng limbah dengan nilai asam tinggi (13.7 mg KOH/g) dan dengan konversi lebih besar dari 90%. NKC9 memiliki kapasitas penyerapan air yang tinggi sehingga mendukung perannya secara efektif dalam reaksi transesterifikasi. Kondisi reaksi yang digunakan adalah rasio molar reaktan 6:1 (alkohol:minyak) dan sebanyak 24% berat katalis pada suhu 337 K selama 4 jam waktu reaksi. Katalis NKC-9 dapat digunakan kembali hingga 10 kali percobaan.

Aktivitas katalis dalam penggunaan selanjutnya tidak menurun, malah sebaliknya. Setelah 10 kali penggunaan, ada kehilangan sejumlah katalis selama proses pemisahan yang pada akhirnya menurunkan konversi asam lemak bebas (ALB) sehingga perlu ditambahkan resin baru. Kitakawa et al. (2007) mencoba menukar antara resin penukar anion-kation sebagai katalis heterogen untuk reaksi transesterifikasi triolein dalam reaktor unggun dengan sistem batch dan kontinyu. Menurut Kitakawa et al. bahwa resin anion lebih baik daripada resin kation dengan konversi yang tinggi sebesar 98.8%. Aktivitas katalitik menurun pada percobaan selanjutnya karena ion hidroksil dari resin banyak yang hilang. Metode regenerasi tiga langkah diadopsi untuk penggunaan kembali katalis, sehingga katalis dapat digunakan sampai empat kali proses dengan aktivitas katalis yang sama

Katalis CaO dari Cangkang Kepiting (skripsi dan tesis)

Pada umumnya, sintesis biodiesel dilakukan melalui reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa cair (NaOH atau KOH) dan enzim (lipase), dan melalui proses esterifikasi menggunakan katalis asam cair (H2SO4 atau H3PO4). Hasil konversi reaksi pembentukan biodiesel menggunakan katalis basa cair dapat mencapai 98%. Bila digunakan katalis asam cair dapat mencapai 99%, dan penggunaan enzim lipase dapat menghasilkan konversi sekitar 91% (Fanny dkk, 2012). Kalsium Oksida merupakan katalis heterogen jenis oksida logam yang sering digunakan untuk reaksi transesterifikasi. Oksida-oksida tersebut berasal dari logam transisi, logam alkali dan logam alkali tanah. Oksida logam-logam transisi cenderung bersifat asam, mahal, dan menghasilkan yield yang rendah. Berbeda dengan oksida logam alkali dan alkali tanah yang bersifat basa, murah, dan menghasilkan konversi yang tinggi (Fanny dkk., 2012).

Kalsium Oksida biasanya dibuat oleh dekomposisi termal dari bahan seperti kapur, yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3; mineral kalsit ). Hal ini dapat tercapai melalui pemanasan bahan sampai suhu di atas 800°C, proses ini dinamakan Kalsinasi, untuk memisahkan CO2 dari senyawa. Ini dilakukan dengan memanaskan material di atas 800° C. Kalsium Oksida telah diteliti sebagai katalis basa yang kuat dimana untuk menghasilkan biodiesel, CaO sebagai katalis basa mempunyai banyak manfaat, misalnya aktivitas yang tinggi, kondisi reaksi yang rendah, masa katalis yang lama, serta biaya operasional katalis yang rendah (Tuti dkk, 2011). Katalis basa heterogen CaO dapat dibuat melalui proses kalsinasi CaCO3. Salah satu sumber CaCO3 yang mudah diperoleh disekitar kita adalah cangkang kepiting. Cangkang kepiting memiliki kandungan kitin 18,70-32,20%, Protein 15,60- 2,90%, dan mineral CaCO3 53,70-78,40% (Focher, 1992). Terlihat bahwa CaCO3 dengan mineral cangkang kepiting terbesar sebanyak 77 %.

Katalis Basa (Heterogen) (skripsi dan tesis)

Terdapat dua jenis katalis basa yang dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel, yaitu katalis basa homogen dan katalis basa heterogen. Katalis basa homogen seperti NaOH (natrium hidroksida) dan KOH (kalium hidroksida) merupakan katalis yang paling umum digunakan dalam proses pembuatan biodiesel karena dapat digunakan pada temperatur dan tekanan operasi yang relatif rendah serta memiliki kemampuan katalisator yang tinggi. Akan tetapi, katalis basa homogen sangat sulit dipisahkan dari campuran reaksi sehingga tidak dapat digunakan kembali dan pada akhirnya akan ikut terbuang sebagai limbah yang dapat mencemarkan lingkungan (Sharma, 2010). Di sisi lain, katalis basa heterogen seperti CaO, meskipun memiliki kemampuan katalisator yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa homogen, dapat menjadi alternatif yang baik dalam proses pembuatan biodiesel. Katalis basa heterogen dapat dengan mudah dipisahkan dari campuran reaksi sehingga dapat digunakan kembali, mengurangi biaya pengadaan dan pengoperasian peralatan pemisahan yang mahal serta meminimasi persoalan limbah yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan.

Meskipun katalis basa memiliki kemampuan katalisator yang tinggi serta harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan katalis asam, untuk mendapatkan kinerja proses yang baik, penggunaan katalis basa dalam reaksi transesterifikasi memiliki beberapa persyaratan penting, diantaranya alkohol yang digunakan harus dalam keadaan anhidrous dengan kandungan air < 0.1 – 0.5 %-berat serta minyak yang digunakan harus memiliki kandungan asam lemak bebas < 0.5% (Lotero, dkk, 2005). Keberadaan air dalam reaksi transesterifikasi sangat penting untuk diperhatikan karena dengan adanya air, alkil ester yang terbentuk akan terhidrolisis menjadi asam lemak bebas. Lebih lanjut, kehadiran asam lemak bebas dalam sistem reaksi dapat menyebabkan reaksi penyabunan yang sangat mengganggu dalam proses pembuatan biodiesel.

R-COOH + KOH → R-COOK + H2O

(Asam Lemak Bebas) (Alkali) (Sabun) (Air)

Akibat reaksi samping ini, katalis basa harus terus ditambahkan karena sebagian katalis basa akan habis bereaksi membentuk produk samping berupa sabun. Kehadiran sabun dapat menyebabkan meningkatnya pembentukkan gel dan viskositas pada produk biodiesel serta menjadi penghambat dalam pemisahan produk biodisel dari campuran reaksi karena menyebabkan terjadinya pembentukan emulsi. Hal ini secara signifikan akan menurunkan nilai ekonomis dari proses pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis basa. Katalis heterogen dalam proses produksi biodiesel merujuk pada katalis berwujud padat. Penggunaan katalis heterogen didasarkan adanya kelemahan katalis homogen yang memerlukan proses pemurnian lebih lanjut. Terlebih sifatnya yang tidak ramah lingkungan. Melalui penggunaan katalis heterogen diharapkan diperoleh produk biodiesel murni. Keunggulan katalis heterogen dibandingkasn katalis homogen (Budiman dkk, 2014) di antaranya:

a. Tidak sensitif terhadap adanya FFA (asam lemak bebas).

b. Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi dapat terjadi secara bersamaan.

c. Tidak memerlukan tahap pencucian katalis. d. Katalis mudah dipisahkan dari produk utama maupun produk samping sehingga kontaminasi katalis terhadap produk rendah. e. Katalis dapat didaur ulang. f. Mengurangi adanya masalah korosi Sebagian besar industri kimia menggunakan katalis heterogen. Keuntungan pemakaian katalis heterogen (berupa padatan) adalah jenis katalisnya banyak, mudah dimodifikasi dan dapat diregenerasi pada suhu pemisahan serta dapat digunakan untuk mereaksikan senyawa yang peka terhadap suasana asam dan tidak merusak warna hasil reaksi. Persyaratan utama suatu katalis heterogen adalah permukaan yang aktif dan mampu mengadsorpsi reaktan. Kelebihan utama katalis heterogen adalah kemudahannya dipisahkan dari hasil reaksi (Berry dkk., 1980).

Katalis Asam (Homogen) (skripsi dan tesis)

Alternatif lain yang dapat digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah dengan menggunakan katalis asam. Selain berfungsi sebagai katalis pada reaksi transesterifikasi minyak tumbuhan menjadi biodiesel, katalis asam juga digunakan pada reaksi esterifikasi asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak menjadi biodiesel mengikuti reaksi berikut ini:

R-COOH + CH3OH → R-COOCH3 + H2O

(Asam Lemak Bebas) (Metanol) (Biodiesel) (Air)

Katalis asam umumnya digunakan dalam proses pretreatment terhadap bahan baku minyak tumbuhan yang memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi namun sangat jarang digunakan dalam proses utama pembuatan biodiesel. Katalis asam homogen seperti asam sulfat, bersifat sangat korosif, sulit dipisahkan dari produk dan dapat ikut terbuang dalam pencucian sehingga tidak dapat digunakan kembali sekaligus dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Katalis asam heterogen seperti : Nafion, meskipun tidak sekorosif katalis asam homogen dan dapat dipisahkan untuk digunakan kembali, cenderung sangat mahal dan memiliki kemampuan katalisasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Agrawal, 2012).

Parameter Katalis (skripsi dan tesis)

Untuk menilai baik tidaknya suatu katalis, menurut Nurhayati (2008), ada beberapa parameter yang harus diperhatikan, antara lain sebagai berikut:

1. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan menjadi produk yang diinginkan. 2. Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat satu reaksi di antara beberapa reaksi yang terjadi sehingga produk yang diinginkan dapat diperoleh dengan produk sampingan seminimal mungkin.

3. Kestabilan, yaitu lamanya kkatalis memiloiki aktivitas dan selektivitas seperti pada kedaan semula. 4. Rendemen katalis / Yield, yaitu jumlah produk tertentu yang terbentuk untuk setiap satuan reaktan yang terkonsumsi.

5. Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas dan selektivitas katalis seperti semula

Klasifikasi Katalis (skripsi dan tesis)

Berdasarkan fasanya, katalis dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu katalis enzim, katalis homogen dan katalis heterogen (Nurhayati., 2008).

1. Katalis Enzim

Enzim adalah molekul protein ukuran koloidal, merupakan katalis diantara homogen dan heterogen. Enzim merupakan driving force untuk reaksi biokimia, karakterisasinya adalah efisiensi dan selektivitas, sesuai dengan untuk keperluan industri (Widyawati., 2007).

2. Katalis Asam (Homogen)

Katalis homogen berada pada fasa yang sama seperti reaktan dan produk. Beberapa contoh misalnya hidrolisis ester oleh asam (cair-cair), oksidasi SO2 oleh NO2 (uap-uap) dan dekomposisi potasium khlorat dengan MnO2 (padat-padat). Reaksi sangat spesifik dengan yield yang tinggi dari produk yang diinginkan. Kelemahan pada katalis homogen ini adalah hanya dapat digunakan pada skala laboratorium, sulit dilakukan secara komersial, operasi pada fase cair dibatasi pada kondisi suhu dan tekanan, sehingga peralatan lebih kompleks (Widyawati, 2007). Menurut Husin dkk (2011), pemisahan antara produk dengan katalis suit karena berada pada satu fasa, penggunaan katalis ini hanya sekali saja dan tidak dapat didaur ulang.

3. Katalis Basa (Heterogen)

Katalis heterogen merupakan katalis yang berada dalam fasa yang berbeda dengan reaktan, biasanya katalis heterogen berupa padatan dan interaksi pada permukaan padat-gas atau padat-cair (Ulyani., 2008). Penggunaan katalis heterogen menguntungkan dengan beberapa alasan antara lain: selektivitas produk yang diinginkan dapat ditingkatkan dengan adanya pori yang terdapat pada katalis heterogen. Aktivitas intrinsik dari active site dapat dimodifikasi oleh struktur padat. Komposisi kimia pada permukaan dapat digunakan untuk meminimalisasi atau meningkatkan adsorpsi komponen tertentu. Katalis heterogen dapat dipisahkan dari produk dengan penyaringan dan dapat digunakan kembali dengan konstruksi peralatan sederhana (Widyawati, 2007)

Katalis (skripsi dan tesis)

Katalis ditemukan oleh J.J. Berzelius pada tahun 1836 sebagai komponen yang dapat meningkatkan laju reaksi kimia, namun tidak ikut bereaksi. Definisi katalisator adalah suatu substansi yang dapat meningkatkan kecepatan, sehingga reaksi kimia dapat mencapai kesetimbangan tanpa terlibat di dalam reaksi secara permanen. Namun pada akhir reaksi katalis tidak tergabung dengan senyawa produk reaksi. Entalpi reaksi dan faktor-faktor termodinamika lainnya merupakan fungsi sifat dasar dari reaktan dan produk, sehingga tidak dapat diubah dengan katalis. Adanya katalis dapat mempengaruhi faktor-faktor kinetika suatu reaksi seperti laju reaksi, energi aktivasi, sifat dasar keadaan transisi dan lain-lain (Widyawati, 2007). Katalis merupakan zat yang ditambahkan dalam sistem reaksi untuk mempercepat reaksi. Katalis dapat menyediakan situs aktif yang befungsi untuk mempertemukan reaktan dan menyumbangkan energi dalam bentuk panas sehingga molekul pereaktan mampu melewati energi aktivasi secara lebih mudah. Oleh karena fungsinya yang sangat penting, maka penggunaan katalis menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam berbagai industri. Kebutuhan akan katalis dalam berbagai proses industri cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena proses kimia yang menggunakan katalis cenderung lebih ekonomis. Dalam mempercepat laju reaksi, katalis bersifat spesifik, artinya suatu katalis dapat mempercepat pada reaksi tertentu saja tidak pada semua reaksi kimia.

Contohnya, suatu katalis A mampu mempercepat laju reaksi pada reaksi hidrogenasi namun kurang baik jika digunakan pada reaksi oksidasi. Hal tersebut terikat erat dengan sifat fisika dan sifat kimia katalis. Dalam reaksi yang sama terdapat beberapa kemungkinan jenis material yang dapat digunakan dalam proses reaksi tersebut. 5 Misalnya dalam reaksi hidrogenasi dapat digunakan katalis Fe, Co, Ni (Le Page, 1987). Kemampuan suatu katalis dalam mempercepat laju reaksi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja katalis antara lain adalah sifat fisika dan kimia katalis; kondisi operasi seperti temperatur, tekanan, laju alir, waktu kontak; jenis umpan yang digunakan; jenis padatan pendukung yang digunakan. Katalis yang dipreparasi dengan cara yang berbeda akan menghasilkan aktivitas dan selektivitas yang berbeda (Rieke dkk, 1997). Kemampuan suatu katalis dalam suatu proses biasanya diukur dari aktivitas dan selektivitasnya. Aktivitas biasanya dinyatakan dalam rosentase konversi atau jumlah produk yang dihasilkan dari jumlah reaktan yang digunakan dalam waktu reaksi tertentu, sedangkan selektivitas adalah ukuran katalis dalam mempercepat reaksi pada pembentukan suatu produk tertentu, karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kinerja katalis dalam mempercepat laju reaksi, maka perlu dilakukan pemilihan katalis secara cermat sebelum menggunakan katalis dalam suatu proses tertentu. Pemilihan katalis yang tepat dalam suatu proses dapat menyebabkan proses yang diinginkan memiliki hasil yang optimal. Pemilihan katalis yang tidak tepat dapat menyebabkan proses menjadi kurang efisien sehingga akibatnya juga menjadi kurang ekonomis. Bahkan pemilihan katalis yang tidak tepat bisa juga menyebabkan adanya efek toksisitas yang berbahaya ataupun dapat mencemari lingkungan (Dewi, 2012). Dalam reaksi pembuatan biodiesel diperlukan katalis karena reaksi cenderung berjalan lambat. Katalis berfungsi menurunkan energi aktivasi reaksi sehingga reaksi dapat berlangsung lebih cepat. Katalis yang digunakan dalam pembuatan biodiesel dapat berupa katalis basa maupun katalis asam. Dengan katalis basa reaksi berlangsung pada suhu kamar sedangkan dengan katalis asam reaksi baru berjalan baik pada suhu sekitar 100°C. Bila tanpa katalis, reaksi membutuhkan suhu minimal 250°C (Lam, 2010). Katalis yang berada pada fasa yang sama (liquid) dengan reaktan disebut sebagai katalis homogen, sedangkan katalis yang berada pada fasa yang berbeda 6 dengan reaktannya (dapat berupa padatan, cairan yang tidak dapat bercampur ataupun gas) disebut sebagai katalis heterogen (Helwani, 2009)

Sejarah SEM (skripsi dan tesis)

Konsep awal yang melibatkan teori pemindaian mikroskop elektron pertama kali diperkenalkan di Jerman (1935) oleh M. Knoll. Konsep standar dari SEM moderen dibangun oleh von Ardenne pada tahun 1938 yang menambahkan kumparan scan untuk mikroskop elektron transmisi. Desain SEM telah diubah cukup dengan Zworykin dkk. pada tahun 1942 saat bekerja untuk RCA Laboratorium di Amerika Serikat. Desain itu lagi kembali di rancang oleh CW Oatley pada tahun 1948 seorang profesor di Universitas Cambridge. Sejak itu ada banyak kontribusi penting lainnya yang telah sangat ditingkatkan dan dioptimalkan kerja dari scanning mikroskop elektron moderen. Cara kerja SEM yaitu dengan memindai sinar halus fokus elektron ke sampel. Elektron berinteraksi dengan komposisi molekul sampel. Energi dari elektron berinteraksi ke sampel secara langsung sebanding dengan jenis interaksi elektron yang dihasilkan dari sampel.

Serangkaian energi elektron yang terukur dapat dianalisis oleh mikroprosesor canggih yang menciptakan pseudo gambar tiga dimensi atau spektrum elemen unik dari sampel yang dianalisis (Prasetyo, 2011). Elektron memiliki resolusi yang lebih tinggi dari pada cahaya. Cahaya hanya mampu mencapai 200 nm sedangkan elektron bisa mencapai resolusi sampai 0,1 – 0,2 nm. Disamping itu dengan menggunakan elektron kita juga bisa mendapatkan beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan karakterisasi. Jika elektron mengenai suatu benda maka akan timbul dua jenis pantulan yaitu pantulan elastis dan pantulan non elastic. SEM merupakan alat yang dapat membentuk bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda yang akan diuji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada dasarnya, SEM menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron dan dipantulkan atau berkas sinar elektron sekunder. SEM memiliki kemampuan untuk menganalisis sampel tertentu dengan memanfaatkan salah satu metode yang disebutkan di atas. Sayangnya, setiap jenis analisis dianggap merupakan aksesori perangkat tambahan untuk SEM. 13 Aksesori yang paling umum dilengkapi dengan SEM adalah dispersif energi detektor x-ray atau EDX (kadang-kadang dirujuk sebagai EDS) Jenis detektor memungkinkan pengguna untuk menganalisis komposisi molekul sampel. deteksi pertama yang dikenal dengan sinar-x ditemukan secara tidak sengaja oleh fisikawan Jerman Wilhelm Conrad Roeentgen pada tahun 1895 saat mempelajari sinar katoda dalam tegangan tinggi, tabung debit gas (Hal itu diketahui bahwa ketika katoda dari sebuah sirkuit listrik dipanaskan dalam ruang hampa dengan beda potensial yang besar diterapkan antara katoda dan anoda, kemudian ada gelombang bergerak antara dua elektroda. Awalnya ini dianggap gelombang elektromagnetik, sehingga mereka disebut sinar katoda, JJ Thompson (1856-1940) menciptakan sinar katoda tabung-CRT dasar untuk monitor komputer dan televisi). Karena alasan tersebut, Wilhelm Conrad Roeentgen menciptakan istilah “x-radiasi”. Panjang gelombang elektromagnetik sinar-x sekitar 01-100 angstrom (disingkat Å) adalah salah satu dari sepuluhmiliar (1/10000000000) meter (Prasetyo, 2011).

X-Ray Difraction (XRD) (skripsi dan tesis)

Sinar X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895, di Universitas Wurtzburg, Jerman. Karena asalnya tidak diketahui waktu itu maka disebut sinar-X. Untuk penemuan ini Rontgen mendapat hadiah nobel pada tahun 1901, yang merupakan hadiah nobel pertama di bidang fisika. Sejak ditemukannya, sinar-X telah umum digunakan untuk tujuan pemeriksaan tidak merusak pada material maupun manusia. Disamping itu, sinar-X dapat juga digunakan untuk menghasilkan pola difraksi tertentu yang dapat digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif material. Pengujian dengan menggunakan sinarX disebut dengan pengujian XRD (X-Ray Diffraction). XRD digunakan untuk analisis komposisi fasa atau senyawa pada material dan juga karakterisasi kristal. Prinsip dasar XRD adalah mendifraksi cahaya yang melalui celah kristal. Difraksi cahaya oleh kisi-kisi atau kristal ini dapat terjadi apabila difraksi tersebut berasal dari radius yang memiliki panjang gelombang yang setara dengan jarak antar atom, yaitu sekitar 1 Angstrom. Radiasi yang digunakan berupa radiasi sinar-X, elektron, dan neutron (Anonim., 2008).

X-Ray Fluoresensi (XRF) (skripsi dan tesis)

Spektroskopi XRF adalah teknik analisis unsur yang membentuk suatu material dengan dasar interaksi sinar-X dengan material analit. Teknik ini banyak digunakan dalam analisa batuan karena membutuhkan jumlah sampel yang relatif kecil (sekitar 1 gram). Teknik ini dapat digunakan untuk mengukur unsur-unsur yang tertutama banyak terdapat dalam batuan atau mineral. Sampel yang digunakan biasanya berupa serbuk hasil penggilingan atau pengepresan menjadi bentuk film. Instrumen yang digunakan untuk melakukan pengukuran tersebut dinamakan X-Ray Fluorescence Spektrometer. Perlatan ini terdiri dari tabung pembangkit sinar-X yang mampu mengeluarkan elektron dari semua jenis unsur yang sedang diteliti. Sinar-X ini yang dihasilkan harus berenergi sangat tinggi, sehingga anoda target dalam tabung pembangkit harus berupa unsur Cr, Mo, W, atau Au (Eni, 2010). Prinsip analisis material dengan XRF yaitu apabila elektron dari suatu kulit atom bagian dalam dilepaskan, maka elektron yang terdapat pada bagian kulit luar akan berpindah pada kulit yang ditinggalkan tadi menghasilkan sinar-X 11 dengan panjang gelombang yang karakteristik bagi unsur tersebut. Seperti pada tabung pembangkit sinar-X, elektron dari kulit bagian dalam suatu atom pada sampel analit menghasilkan sinar-X dengan panjang gelombang karakteristik dari setiap atom di dalam sampel. Untuk setiap atom di dalam sampel, intensitas dari sinar-X karakteristik tersebut sebanding dengan jumlah (konsentrasi) atom di dalam sampel. Dengan demikian, jika kita dapat mengukur intensitas sinar–X karakteristik dari setiap unsur, kita dapat membandingkan intensitasnya dengan suatu standar yang diketahui konsentrasinya, sehingga konsentrasi unsur dalam sampel bisa ditentukan (Eni, 2010)

Surface Area Analyzer (SAA) (skripsi dan tesis)

SAA merupakan salah satu alat utama dalam karakterisasi material. Alat ini khususnya berfungsi untuk menentukan luas permukaan material, distribusi pori dari material dan isotherm adsorpsi suatu gas pada suatu bahan. Alat ini prinsip kerjanya menggunakan mekanisme adsorpsi gas, umumnya nitrogen, argon dan helium, pada permukaan suatu bahan padat yang akan dikarakterisasi pada suhu konstan biasanya suhu didih dari gas tersebut. Alat tersebut pada dasarnya hanya mengukur jumlah gas yang dapat diserap oleh suatu permukaan padatan pada tekanan dan suhu tertentu. Secara sederhana, jika kita mengetahui berapa volume gas spesifik yang dapat diserap oleh suatu permukaan padatan pada suhu dan tekanan tertentu dan kita mengetahui secara teoritis luas permukaan dari satu molekul gas yang diserap, maka luas permukaan total padatan tersebut dapat dihitung (Nurwijayadi., 1998). Tentunya telah banyak teori dan model perhitungan yang dikembangkan para peneliti untuk mengubah data yang dihasilkan alat ini berupa jumlah gas yang diserap pada berbagai tekanan dan suhu tertentu (disebut juga isotherm) menjadi data luas permukaan, distribusi pori, volume pori dan lain sebagainya.

Misalnya saja untuk menghitung luas permukaan padatan dapat digunakan BET teori, Langmuir teori, metode t-plot, dan lain sebagainya. Yang paling banyak dipakai dari teori – teori tersebut adalah BET. – Metode BET (Brunaeur-Emmet-Teller) BET merupakan singkatan dari nama-nama ilmuwan yang menemukan teori luas permukaan pada suatu material. Mereka adalah Brunaeur, Emmet dan Teller. BET digunakan untuk karakterisasi permukaan suatu material yang meliputi surface area (SA, m2 /g), diameter pori (D) dan volume pori (Vpr, cc/g). Teori BET menjelaskan bahwa adsorbsi terjadi di atas lapisan adsorbat monolayer. Sehingga, isotherm adsorbs BET dapat diaplikasikan untuk adsorbs multilayer. 10 Keseluruhan proses adsorpsi dapat digambarkan sebagai berikut : a. Penempatan molekul pada permukaan padatan (adsorben) membentuk lapisan monolayer. b. Penempatan molekul pada lapisan monolayer membentuk lapisan multilayer. Metode ini menganggap bahwa molekul padatan yang paling atas berada pada kesetimbangan dinamis. Ini berarti jika permukaan hanya dilapisi oleh satu molekul saja, maka molekul-molekul gas ini berada dalam kesetimbangan dalam fase uap padatan. Jika terdapat dua atau lebih lapisan, maka lapisan teratas berada pada kesetimbangan dalam fase uap padatan. Bentuk isoterm tergantung pada macam gas adsorbat, sifat adsorben dan sturktur pori. Gejala yang diamati pada adsorpsi isoterm berupa adsorpsi lapisan molekul tunggal, adsorpsi lapisan molekul ganda dan kondensasi dalam kapiler

Karakteristik Katalis (skripsi dan tesis)

Dalam pembuatan katalis, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui struktur dan karakteristiknya. Pengujian katalis ini disebut dengan karakterisasi. Pemilihan metode karakterisasi merupakan hal yang amat penting untuk mengidentifikasi sifat-sifat katalis. Pemilihan metode karakterisasi katalis dapat ditinjau dari keperluan atau kepentingannya secara ilmiah dan teknis, biaya karakterisasi, dan kemudahan akses peralatan (Istadi, 2011). Kinerja katalis dipengaruhi oleh beberapa parameter yakni aktivitas, selektivitas, deaktivasi, aliran fluida dan stabilitas katalis. Kinerja katalis juga 8 dipengaruhi oleh karakteristik dari katalis itu sendiri. Karakter-karakter yang mempengaruhi kinerja katalis diantaranya pemilihan komponen aktif atau situs aktif, luas permukaan katalis, serta sifat kebasaan dan keasaman permukaan. Aktivitas dan selektivitas dicapai sebagai keadaan optimum dengan menentukan material dan metode preparasi yang sesuai (Nasikin dan Susanto, 2010).

Pada katalis heterogen padat diyakini bahwa tidak seluruh permukaannya bereaksi. Hanya situs tertentu pada permukaan katalis yang berperan dalam reaksi, situs-situs tersebut disebut dengan situs aktif. Situs aktif dapat berupa atom tak berikatan yang dihasilkan dari ketidakseragaman permukaan atau atom dengan sifat kimia yang memungkinkan interaksi dengan atom atau molekul yang teradsorbsi reaktan. Permukaan katalis mencakup permukaan eksternal dan internal pori-pori. Untuk material yang sangat berpori, luas permukaan internal pori-pori jauh lebih tinggi dari pada luas permukaan eksternal. Distribusi ukuran pori katalis dipengaruhi oleh kondisi preparasi dan jumlah masukan komponen aktif. Biasanya terdapat distribusi ukuran pori yang luas pada katalis, akan tetapi, katalis juga dapat dirancang untuk memiliki distribusi ukuran pori yang sangat kecil. Pada katalis, situs-situs aktif tersebar di seluruh matriks berpori. Dalam kondisi temperatur dan tekanan yang sesuai, gas secara bertahap dapat terserap pada permukaan padat dan akhirnya menyebabkan cakupan menyeluruh (Burca, 2014). Secara garis besar, teknik karakterisasi katalis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan sifat-sifat yang akan diteliti, antara lain:

1. Sifat – sifat partikel, meliputi: luas permukaan (surface area), porositas atau distribusi ukuran pori (adsorpsi uap pada suhu rendah, Hg porosimetry, dan incipient wetness), densitas, ukuran partikel, sifat-sifat mekanis, dan difusifitas.

2. Sifat-sifat permukaan (surface), meliputi: struktur dan morfologi (SEM, TEM, XRD, XRF, UV-Vis), dispersi (chemisorption), dan keasaman (TPD). 9 3. Sifat-sifat bulk, meliputi: komposisi elemental (XRF, AAS), sifat-sifat senyawa atau struktur fasa (XRD, Raman, IR, DTA, TPR, TPO, TEM), struktur molekul (IR, Raman, UV-Vis, XAFS, NMR, dan EPR), serta reaktifitas bulk (XRD, UV-Vis, TGA, DTA, TPR, dan TPO) (Istadi, 2011).

Metoda Sintesis Katalis (skripsi dan tesis)

Terdapat bermacam-macam metode sintesis katalis. Pemilihan metode yang digunakan tergantung pada kebutuhan dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain sifat kimia dari komponen katalis, prekusor, perbedaan komposisi, sifat fisik dan kondisi reaksi yang digunakan untuk menghilangkan kontaminan. Terdapat dua metode yang paling sering digunakan untuk sintesis katalis, yaitu impregnasi dan kopresipitasi (Kanade, dkk., 2005). Metode imregnasi adalah proses penjenuhan total sesuatu menggunakan zat tertentu. Banyak katalis yang disintesis dengan metode ini. Salah satu yang mendasari pemilihan metode impregnasi adalah bahwa didalam pengemban tidak terdapat anion atau kation yang dapat dipertukarkan (karena kalau ada anion atau kation yang dapat dipertukarkan metodenya disebut pertukaran ion). Metode tersebut bergantung pada kation logam yang ingin diembankan. Untuk ion kompleks yang sukar mengalami pertukaran kation, maka metode yang tepat adalah impregnasi, sedangkan untuk kation tersolvasi yang lebih mudah mengalami pertukaran kation, metode yang tepat adalah pertukaran ion. Dapat juga dipertimbangkan faktor biaya. Untuk larutan garam yang mahal dapat dilakukan impregnasi kering. Sedangkan larutan garam yang lebih murah dapat dilakukan impregnasi basah atau pertukaran ion. Metode Impregnasi ini merupakan teknik preparasi katalis yang paling sering digunakan daripada metode lainnya. Alasan utamanya adalah karena kemudahan dalam pengerjaannya. Tujuannya adalah untuk mengisi pori-pori 7 menggunakan larutan garam logam dengan konsentrasi tertentu.

Setelah diimpregnasi, langkah selanjutnya adalah pengeringan dan pemanasan pada suhu tinggi (kalsinasi), sehingga terjadi dekomposisi prekursor menjadi spesi aktif. Impregnasi dibedakan menjadi dua, yaitu impregnasi basah dan impregnasi kering. Perbedaan impregnasi kering dan basah didasarkan pada perbandingan volume larutan prekursor dengan volume pori pengemban. Untuk impregnasi kering, volume larutan berkisar 1-1,2 kali dari volume pori pengemban. Karena diharapkan nantinya jumlah antara larutan prekursor dengan pori yang tersedia pada pengemban adalah sama. Sedangkan, untuk impregnasi basah, volume larutan prekursor lebih dari 1,5 kali dari volume pori pengemban. Oleh karenanya, untuk impregnasi kering, diawal perlu diketahui volume pori pengemban untuk menentukan volume larutan prekursor yang sesuai. Kopresipitasi menurut kamus oxford adalah proses yang menyebabkan suatu zat dari bentuk cairan menjadi berbentuk padat. Pada metode ini komponenkomponen prekursor katalis dicampurkan kemudian diendapkan bersama-sama pada pH tertentu dengan penambahan bahan pengendap. Pengendapan ini dikarenakan oleh pengaruh ion senama yang ditambahkan pada larutan. Hal ini tentu saja membuat zat yang kelarutannya kecil untuk mengendap terlebih dahulu. Tujuan utama kopresipitasi adalah untuk menghasilkan campuran yang merata antar komponen katalis dan pembentukan partikel yang sangat kecil untuk menyediakan luas permukaan yang luas (Kanade, dkk., 2005)

Katalis CaO dari cangkang kepiting (skripsi dan tesis)

CaO merupakan katalis heterogen jenis oksida logam yang sering digunakan untuk reaksi transesterifikasi. Oksida-oksida tersebut berasal dari logam transisi, logam alkali dan logam alkali tanah. Oksida logam-logam transisi cenderung bersifat asam, mahal, dan menghasilkan yield yang rendah. Berbeda dengan oksida logam alkali dan alkali tanah yang bersifat basa, murah, dan menghasilkan konversi yang tinggi (Fanny dkk., 2012). Kalsium Oksida (CaO) biasanya dibuat oleh dekomposisi termal dari bahan seperti kapur, yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3; mineral kalsit ). Hal ini tercapai dengan memanaskan bahan sampai suhu diatas 800°C, proses ini dinamakan calcination, untuk memisahkan CO2 dari senyawa. Ini dilakukan dengan memanaskan material di atas 800 °C. CaO telah diteliti sebagai katalis basa yang kuat dimana untuk menghasilkan biodiesel menggunakan CaO sebagai katalis basa mempunyai banyak manfaat, misalnya aktivitas yang tinggi, kondisi reaksi yang rendah, masa katalis yang lama, serta biaya katalis yang rendah (Tuti dkk., 2011) Katalis basa heterogen CaO dapat dibuat melalui proses kalsinasi CaCO3. Salah satu sumber CaCO3 yang mudah diperoleh disekitar kita adalah cangkang kepiting. Cangkang kepiting memiliki kandungan kitin 13-15 %, Protein 30-35 %, dan mineral 50 %. Mineral yang paling banyak berupa CaCO3 77 % dan sebagian kecisl Mg, silika, anhidrat fosfik dan lain-lain sebesar 23 % (Suhardi, 1993)

Katalis Basa (skripsi dan tesis)

Terdapat dua jenis katalis basa yang dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel, yaitu katalis basa homogen dan katalis basa heterogen. Katalis basa homogen seperti NaOH (natrium hidroksida) dan KOH (kalium hidroksida) merupakan katalis yang paling umum digunakan dalam proses pembuatan biodiesel karena dapat digunakan pada temperatur dan tekanan operasi yang relatif rendah serta memiliki kemampuan katalisator yang tinggi. Akan tetapi, katalis basa homogen sangat sulit dipisahkan dari campuran reaksi sehingga tidak 4 dapat digunakan kembali dan pada akhirnya akan ikut terbuang sebagai limbah yang dapat mencemarkan lingkungan (Sharma, 2010). Di sisi lain, katalis basa heterogen seperti CaO, meskipun memiliki kemampuan katalisator yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa homogen, dapat menjadi alternatif yang baik dalam proses pembuatan biodiesel. Katalis basa heterogen dapat dengan mudah dipisahkan dari campuran reaksi sehingga dapat digunakan kembali, mengurangi biaya pengadaan dan pengoperasian peralatan pemisahan yang mahal serta meminimasi persoalan limbah yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Menurut penelitian, CaO merupakan katalis yang paling aktif dibandingkan Ca(OH)2 dan CaCO3 (Arzamedi dkk., 2008). CaO memiliki tingkat alkalinitas yang tinggi, kelarutan yang rendah, harga yang relatif lebih murah dibandingkan KOH ataupun NaOH, serta mudah proses pemisahannya dari produk (Reddy dkk., 2006). Beberapa material alam yang dianggap sebagai limbah ternyata mengandung unsur Ca yang cukup tinggi sebagai contohnya cangkang moluska dan tulang. Limbah inilah yang kemudian dimanfaatkan menjadi katalis untuk meningkatkan nilai kemanfaatannya dan untuk mengurangi jumlah limbah di alam (Budiman dkk., 2014). Meskipun katalis basa memiliki kemampuan katalisator yang tinggi serta harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan katalis asam, untuk mendapatkan performa proses yang baik, penggunaan katalis basa dalam reaksi transesterifikasi memiliki beberapa persyaratan penting, diantaranya alkohol yang digunakan harus dalam keadaan anhidrous dengan kandungan air < 0.1 – 0.5 %- berat serta minyak yang digunakan harus memiliki kandungan asam lemak bebas < 0.5% (Lotero dkk., 2005). Keberadaan air dalam reaksi transesterifikasi sangat penting untuk diperhatikan karena dengan adanya air, alkil ester yang terbentuk akan terhidrolisis menjadi asam lemak bebas. Lebih lanjut, kehadiran asam lemak bebas dalam sistem reaksi dapat menyebabkan reaksi penyabunan yang sangat menggangu dalam proses pembuatan biodiesel.

R-COOH + KOH → R-COOK + H2O…………………………………… (2)

(Asam Lemak Bebas) (Alkali) (Sabun) (Air)

Akibat reaksi samping ini, katalis basa harus terus ditambahkan karena sebagian katalis basa akan habis bereaksi membentuk produk samping berupa sabun. Kehadiran sabun dapat menyebabkan meningkatnya pembentukkan gel dan viskositas pada produk biodiesel serta menjadi penghambat dalam pemisahan produk biodisel dari campuran reaksi karena menyebabkan terjadinya pembentukan emulsi. Hal ini secara signifikan akan menurunkan keekonomisan proses pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis basa. Berikut ini Bahan untuk mendapatkan Kalsium Oksida sebagai Katalis

Katalis Asam (skripsi dan tesis)

Alternatif lain yang dapat digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah dengan menggunakan katalis asam. Selain dapat mengkatalisis reaksi transesterifikasi minyak tumbuhan menjadi biodiesel, katalis asam juga dapat mengkatalisis reaksi esterifikasi asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak menjadi biodiesel mengikuti reaksi berikut ini:

R-COOH + CH3OH → R-COOCH3 + H2O………….. (1)

(Asam Lemak Bebas) (Metanol) (Biodiesel) (Air)

Katalis asam umumnya digunakan dalam proses pretreatment terhadapat bahan baku minyak tumbuhan yang memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi namun sangat jarang digunakan dalam proses utama pembuatan biodiesel. Katalis asam homogen seperti asam sulfat, bersifat sangat korosif, sulit dipisahkan dari produk dan dapat ikut terbuang dalam pencucian sehingga tidak dapat digunakan kembali sekaligus dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Katalis asam heterogen seperti Nafion, meskipun tidak sekorosif katalis asam homogen dan dapat dipisahkan untuk digunakan kembali, cenderung sangat mahal dan memiliki kemampuan katalisasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Agrawal, 2012)

Katalis (skripsi dan tesis)

Katalis merupakan suatu senyawa yang dapat meningkatkan laju reaksi tetapi tidak terkonsumsi oleh reaksi. Katalis digunakan secara luas baik di alam, laboratorium dan industri (Shriver, D. & Atkins, P., 1999). Katalis merupakan zat yang mampu meningkatkan laju suatu reaksi kimia agar reaksi tersebut dapat berjalan lebih cepat. Dalam suatu reaksi sebenarnya katalis ikut terlibat, tetapi pada akhir reaksi terbentuk kembali seperti bentuknya semula. Dengan demikian, katalis tidak memberikan tambahan energi pada sistem dan secara termodinamika tidak dapat mempengaruhi keseimbangan. Katalis mempercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi reaksi. Penurunan energi aktivasi tersebut terjadi sebagai akibat dari interaksi antara katalis dan reaktan. Katalis menyediakan situssitus aktif yang berperan dalam proses reaksi. Situs-situs aktif ini dapat berasal dari logam-logam yang terdeposit pada pengemban atau dapat pula berasal dari pengemban sendiri. Logam-logam tersebut umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d kosong atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998). Katalis yang berada pada fase yang sama (liquid) dengan reaktan disebut sebagai katalis homogen. Sedangkan katalis yang berada pada fase yang berbeda dengan reaktannya (dapat berupa padatan, cairan yang tidak dapat bercampur ataupun gas) disebut sebagai katalis heterogen (Helwani, Z. 2009).

Walaupun banyak keuntungan dari katalis homogen, kekurangannya adalah pada proses pemisahan dari campuran terkadang juga menghambat penggunaannya dalam industri. Katalis Heterogen menghasilkan kemudahan dalam pemisahan dan penggunaan ulang katalis dari suatu campuran. Laporan terakhir mengungkapkan bahwa katalis berukuran nanometer merupakan katalis yang efisien dan dapat dengan mudah dipisahkan dari campuran reaksi (Abdullah, 2009). Tingginya luas permukaan terhadap perbandingan volume dari nanopartikel logam oksida memainkan peranan penting dari kemampuan katalis tersebut. Sebagian besar industri kimia menggunakan katalis heterogen. Keuntungan pemakaian katalis heterogen (berupa padatan) adalah jenis katalisnya banyak, mudah dimodifikasi dan dapat diregenerasi pada suhu pemisahan serta dapat digunakan untuk mereaksikan senyawa yang peka terhadap suasana asam dan tidak merusak warna hasil reaksi. Persyaratan utama suatu katalis heterogen adalah permukaan yang aktif dan mampu mengadsorpsi reaktan. Kelebihan utama katalis heterogen adalah kemudahannya dipisahkan dari hasil reaksi (Li, 2005). Dalam katalis heterogen, reaktan dan katalis berada dalam fasa yang berbeda. Dalam katalis heterogen, zat padat yang bertindak sebagai katalis dapat mengikat sejumlah gas atau cairan pada permukaannya berdasarkan adsorspsi. Saat ini, proses katalitik heterogen dibagi menjadi dua kelompok besar, reaksireaksi reduksi-oksidasi (redoks), dan reaksi-reaksi asam-basa. Reaksi-reaksi redoks meliputi reaksi-reaksi dimana katalis mempengaruhi pemecahan ikatan secara homolitik pada molekul-molekul reaktan menghasilkan elektron tak berpasangan, dan kemudian membentuk ikatan secara homolitik dengan katalis melibatkan elektron dari katalis. Sedangkan reaksi-reaksi asam-basa meliputi reaksi-reaksi dimana reaktan membentuk ikatan heterolitik dengan katalis melalui penggunaan pasangan elektron bebas dari katalis atau reaktan (Li, 2005).

Untuk menilai baik tidaknya suatu katalis, menurut Nurhayati (2008), ada beberapa parameter yang harus diperhatikan, antara lain sebagai berikut:

1. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan menjadi produk yang diinginkan. 2. Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat satu reaksi di antara beberapa reaksi yang terjadi sehingga produk yang diinginkan dapat diperoleh dengan produk sampingan seminimal mungkin.

3. Kestabilan, yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan selektivitas seperti pada kedaan semula. 4. Rendemen katalis / Yield, yaitu jumlah produk tertentu yang terbentuk untuk setiap satuan reaktan yang terkonsumsi.

5. Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas dan selektivitas katalis seperti semula.

Dalam reaksi pembuatan biodiesel diperlukan katalis karena reaksi cenderung berjalan lambat. Katalis berfungsi menurunkan energi aktivasi reaksi sehingga reaksi dapat berlangsung lebih cepat. Katalis yang digunakan dalam pembuatan biodiesel dapat berupa katalis basa maupun katalis asam. Dengan 3 katalis basa reaksi berlangsung pada suhu kamar sedangkan dengan katalis asam reaksi baru berjalan baik pada suhu sekitar 100° C. Bila tanpa katalis, reaksi membutuhkan suhu minimal 250° C (Lam, 2010).

Karakterisasi Katalis (skripsi dan tesis)

Karakterisasi adalah hal yang sangat penting dalam bidang katalisis. Beberapa metode seperti difraksi, spektroskopi, dan mikroskopi memberikan kemudahan dalam menyelidiki sifat-sifat suatu katalis, sehingga diharapkan kita dapat mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang katalis agar kita dapat meningkatkan atau mendesain suatu katalis yang memiliki aktivitas yang lebih baik (Chorkendorf and Niemantsverdriet, 2003).

1. Analisis Struktur Kristal Keberadaan atau terbentuknya katalis NiMoFe2O4 dalam bentuk amorf dan kristal dapat diidentifikasi menggunakan metode difraksi sinar-X (XRD), karena metode XRD didasarkan pada fakta bahwa pola difraksi sinar-X untuk masing-masing material kristalin adalah karakteristik. Dengan demikian, bila pencocokan yang tepat dapat dilakukan antara pola difraksi sinar-X dari sampel yang tidak diketahui 12 dengan sampel yang telah diketahui, maka identitas dari sampel yang tidak diketahui itu dapat diketahui (Skoog dan Leary, 1992). Dari Gambar 2, dua sinar datang yaitu sinar 1 dan 2 menghasilkan sudut (theta). Sebuah hasil pencerminan maksimum dari planes akan menghasilkan gelombang yaitu 1’ dan 2’ dalam satu fase. Perbedaan dari panjang dari 1 terhadap 1’ dan 2 terhadap 2’ kemudian diintegralkan dari panjang gelombang (Lambda) dan kita dapat menggambarkan hubungan matematik hukum Bragg (Scintag Inc., 1999)

2. Keasaman Katalis

Dalam penelitian ini untuk menentukan sifat keasaman yang terdapat pada katalis NiMoFe2O4 dilakukan análisis keasaman, yang meliputi penentuan jumlah situs asam dan jenis situs asam. Penentuan jumlah situs asam memberikan informasi tentang banyaknya situs asam yang terkandung pada katalis, yang pada umumnya berbanding lurus dengan situs aktif pada katalis yang menentukan keaktifan suatu katalis. Sedangkan penentuan jenis situs asam memberikan informasi tentang situs asam yang terkandung pada katalis apakah asam Lewis atau asam BrӧnstedLowry, yang pada umunya berkaitan dengan interaksi ikatan yang terjadi antara katalis dan reaktan. Penentuan jumlah situs asam dalam katalis dapat dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri melalui adsorpsi basa adsorbat dalam fasa gas pada permukaan katalis (ASTM, 2005). Basa adsorbat yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah situs asam katalis antara lain amoniak atau piridin. Jumlah situs asam menggunakan adsorpsi amoniak sebagai basa adsorbat merupakan penentuan jumlah situs asam total katalis, dengan asumsi bahwa ukuran molekul amoniak yang kecil sehingga memungkinkan masuk sampai ke dalam pori-pori katalis. Sedangkan penentuan jumlah situs asam menggunakan piridin sebagai basa adsorbat merupakan penentuan jumlah situs asam yang terdapat pada permukaan katalis, dengan asumsi bahwa ukuran molekul piridin yang relatif besar sehingga hanya dapat teradsorpsi pada permukaan katalis (Rodiansono dkk., 2007).

Sedangkan untuk penetuan jenis situs asam yang terkandung dalam katalis dapat ditentukan menggunakan spektroskopi infra merah (FTIR) dari katalis yang telah mengadsorpsi basa adsorbat (Seddigi, 2003). Spektroskopi inframerah adalah metode analisis yang didasarkan pada absorpsi radiasi inframerah oleh sampel yang akan menghasilkan perubahan keadaan vibrasi dan rotasi sampel. Frekuensi yang diabsorpsi tergantung pada frekuensi vibrasi dari molekul (karakteristik). Intensitas absorpsi bergantung pada seberapa efektif energi foton inframerah dipindahkan ke molekul, yang dipengaruhi oleh perubahan momen dipol yang terjadi akibat vibrasi molekul (Åmand and Tullin, 1999)

3. Analisis Morfologi

Permukaan Katalis Interaksi antara gas dan permukaan material dan reaksi-reaksi pada permukaan material memiliki peran yang sangat penting dalam bidang katalisis. Siklus awal katalsis diawali dengan adsorpsi molekul reaktan pada permukaan katalis. Oleh karena itu kita perlu untuk mempelajari morfologi permukaan dari katalis (Chorkendorff and Niemantsverdriet, 2003). Untuk mempelajari morfologi permukaan katalis dapat menggunakan instrumentasi Scanning Electron Microscopy (SEM) (Ertl et al., 2000). SEM merupakan metode untuk menggambarkan permukaan suatu bahan dengan resolusi yang tinggi. Resolusi yang tinggi pada SEM dihasilkan dari penggunaan elektron dalam menggambarkan permukaan bahan. Resolusi yang dihasilkan juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mikroskop cahaya (0,1 – 0,2 nm untuk SEM dan 200 nm untuk mikroskop cahaya) (Hanke, 2001).

Spinel Ferite (skripsi dan tesis)

Spinel ferite adalah katalis yang memiliki rumus umum AB2O4 dimana A adalah kation-kation bervalensi 2 seperti Fe, Ni, Mo, dll., yang menempati posisi tetrahedral dalam struktu kristalnya dan B adalah kation-kation bervalensi 3 seperti Fe, Mn, Cr dll., yang menempati posisi oktahedral dalam struktur kristalnya, serta terdistribusi pada lattice fcc yang terbentuk oleh ion O2- (Kasapoglu et al., 2007 ; Almeida et al., 2008 ; Iftimie et al., 2006).

Berdasarkan sisi kemungkinan interstitialnya, ferrite dapat dikaterogikan dalam tiga perbedaan kelas seperti normal, terbalik atau campuran spinel (Chien and Y.C.KO, 1991). Beberapa ferite mengandung komposisi dua atau lebih ion divalen (Ni2+, Mn2+, Zn2+, Cu2+ dan lain-lain ) (Sakurai et.al.,2008). Salah satu spinel ferite yang telah banyak digunakan sebagai katalis adalah nikel ferite (NiFe2O4). Nikel ferite ini memiliki struktur spinel terbalik (inverse) yang mana setengah dari ion Fe mengisi pada posisi tetrahedral (posisi A) dan sisanya menempati posisi pada oktahedral (posisi B) hal ini dapat dituliskan dengan rumus (Fe3+ 1.0)[Ni2+ 1.0Fe3+ 1.0]O2- 4 (Kasapoglu et al., 2007 ; Maensiri et al., 2007). NiFe2O4 telah banyak digunkan sebagai katalis untuk benzoilasi toluene dengan benzil klorida dan kemampuan sebagai sensor gas klorin pada konsentrasi rendah (Ramankutty and Sugunan, 2001 ; Reddy et al., 1999 ; Iftimie et al., 2006) untuk reaksi hidrogenasi (CO2 + H2) menjadi senyawa alkohol (Situmeang et al., 2010).

Nanokatalis (skripsi dan tesis)

Nanosains dan nanoteknologi adalah sintesis, karakterisasi, eksplorasi dan eksploitasi dari material berukuran-nano. Material ini terkarakterisasi oleh ukuran dimensinya yaitu nanometer (1 nm = 10-9 m). Yang termasuk nanostruktur adalah clusters, quantum dots, nanokristal, nanowires, dan nanotubes ( Rao et al., 2004; Rao and Cheetham, 2001). Material nanopartikel telah banyak menarik peneliti karena material nanopartikel menunjukkan sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dari bulk materialnya, seperti kekuatan mekanik, elektronik, magnetik, kestabilan termal, katalitik dan optik (Mahaleh et al., 2008; Deraz et al., 2009). Nanokatalis sendiri adalah nanopartikel yang memiliki peran sebagaimana mestinya katalis yaitu mempercepat suatu reaksi tanpa ikut serta dalam hasil reaksi. Keunggulan nanokatalis adalah aktivitas yang lebih baik sebagai katalis karena material nanokatalis memiliki permukaan yang luas dan rasio-rasio atom yang tersebar secara merata pada permukaannya. Sifat ini menguntungkan untuk transfer massa di dalam pori-pori dan juga menyumbangkan antar muka yang besar untuk reaksi-reaksi adsorpsi dan katalitik (Widegren et al., 2003).

Berdasarkan Qi dan Wang (2002), ketika perbandingan dari ukuran atom terhadap partikel tersebut menjadi kurang dari 0,1 atau 0,1, gaya kohesi mulai menurun, dimana menurunkan titik leleh. Dalam suatu laporan, Nanda et al.,(2003) menunjukkan bahwa energi dari permukaan bebas nanopartikel lebih tinggi daripada ukuran bulk dari material tersebut. Selain itu nanokatalis telah banyak dimanfaatkan sebagai katalis untuk menghasilkan bahan bakar dan zat kimia serta 9 menangani pencemaran lingkungan (Sietsma et al., 2007). Salah satu nanokatalis tersebut adalah katalis berjenis spinel ferite. Banyak metode yang telah dikembangkan untuk sintesis nanokatalis, Berbagai metode dari pembuatan nanokatalis spinel ferrite seperti ball milling, metode keramik dengan pembakaran (Khedr et al., 2006), koopresipitasi (Khedr et al., 2006; Silva et al., 2004; Zi et al., 2009), reverse micelles (Calero-Ddelc and Rinaldi, 2007), metode hidrotermal (Zhao et al., 2007), polymeric precursor (Gharagozlou, 2009), sol-gel (Gul and Masqood, 2008), microemulsions (Pillai and Shah,1996), laser ablation (Zhang and Lan, 2008), metode poliol (Baldi et al., 2007), metode sonokimia (Shafi et al., 2007), dan metode aerosol (Singhai et al., 2005).Dari beberapa metode sintesis tersebut, dalam penelitian ini digunakan metode sol-gel untuk mendapatkan nanokatalis NiMoFe2O4. Metode sol-gel ini dipilih karena secara luas telah digunakan dalam sintesis katalis berpendukung logam. Selain itu metode ini memiliki banyak keunggulan seperti dispersi yang tinggi dari spesi aktif yang tersebar secara homogen pada permukaan katalis, tekstur porinya memberikan kemudahan difusi dari reaktan untuk masuk ke dalam situs aktif (Lecloux and Pirard, 1998), luas permukaan yang cukup tinggi, peningkatan stabilitas termal, serta kemudahannya dalam memasukkan satu atau dua logam aktif sekaligus dalam prekursor katalis (Lambert and Gonzalez, 1998). Dengan alasan ini diharapkan keunggulan dari metode sol-gel ini dapat diterapkan pada katalis spinel ferite NiMoFe2O4 dalam uji aktivitasnya terhadap konversi gas CO

Katalis (skripsi dan tesis)

Katalis merupakan zat yang mampu meningkatkan laju suatu reaksi kimia agar reaksi tersebut dapat berjalan lebih cepat. Dalam suatu reaksi sebenarnya katalis ikut terlibat, tetapi pada akhir reaksi terbentuk kembali seperti bentuknya semula. Dengan demikian, katalis tidak memberikan tambahan energi pada sistem dan secara termodinamika tidak dapat mempengaruhi keseimbangan. Katalis mempercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi reaksi. Penurunan energi aktivasi tersebut terjadi sebagai akibat dari interaksi antara katalis dan reaktan. Katalis menyediakan situs-situs aktif yang berperan dalam proses reaksi. Situs-situs aktif ini dapat berasal dari logam-logam yang terdeposit pada pengemban atau dapat pula berasal dari pengemban sendiri. Logam-logam tersebut umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d kosong atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998). Reaksi katalitik secara umum dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu reaksi katalitik homogen dan reaksi katalitik heterogen. Pada reaksi katalitik homogen, reaktan dan katalis berada dalam fasa yang sama dan reaksi terjadi di seluruh fasa. 6 Walaupun banyak keuntungan dari katalis logam homogen, kekurangannya adalah pada proses pemisahan dari campuran terkadang juga menghambat penggunaannya dalam industri. Katalis Heterogen menghasilkan kemudahan dalam pemisahan dan penggunaan ulang katalis dari suatu campuran. Laporan terakhir mengungkapkan bahwa katalis berukuran nanometer merupakan katalis yang efisien dan dapat dengan mudah dipisahkan dari campuran reaksi (Yoon et al., 2003; Stevens et.al., 2005; Stevens et.al., 2005).

Tingginya luas permukaan terhadap perbandingan volume dari nanopartikel logam oksida memainkan peranan penting dari kemampuan katalis tersebut (Bell, 2003). Dalam katalis heterogen, reaktan dan katalis berada dalam fasa yang berbeda. Dalam katalis heterogen, zat padat yang bertindak sebagai katalis dapat mengikat sejumlah gas atau cairan pada permukaannya berdasarkan adsorspsi. Saat ini, proses katalitik heterogen dibagi menjadi dua kelompok besar, reaksi-reaksi reduksi-oksidasi (redoks), dan reaksi-reaksi asam-basa. Reaksi-reaksi redoks meliputi reaksi-reaksi dimana katalis mempengaruhi pemecahan ikatan secara homolitik pada molekul-molekul reaktan menghasilkan elektron tak berpasangan, dan kemudian membentuk ikatan secara homolitik dengan katalis melibatkan elektron dari katalis. Sedangkan reaksi-reaksi asam-basa meliputi reaksi-reaksi dimana reaktan membentuk ikatan heterolitik dengan katalis melalui penggunaan pasangan elektron bebas dari katalis atau reaktan (Li, 2005). Pada kenyataannya, proses katalis heterogen pada permukaan padatan selalu berhubungan dengan adsorpsi molekul reaktan dan desorpsi produk. Kajian kontak katalis didasarkan pada proses adsorpsi – desorpsi. Akibat terjadinya adsorpsi kimia, aktivitas molekul mengalami perubahan. Atom yang teradsorpsi menjadi lebih reaktif dibandingkan molekul bebasnya, karena mengalami pemutusan ikatan kovalen atau ikatan hidrogen. Proses adsorpsi menyebabkan berkurangnya energi bebas (G) sistem sehingga entropi (S) juga berkurang. Sebagian besar industri kimia menggunakan katalis heterogen. Keuntungan pemakaian katalis heterogen (berupa padatan) adalah jenis katalisnya banyak, mudah dimodifikasi dan dapat diregenerasi pada suhu pemisahan serta dapat digunakan untuk mereaksikan senyawa yang peka terhadap suasana asam dan tidak merusak warna hasil reaksi. Persyaratan utama suatu katalis heterogen adalah permukaan yang aktif dan mampu mengadsorpsi reaktan. Kelebihan utama katalis heterogen adalah kemudahannya dipisahkan dari hasil reaksi (Berry et.al., 1980). Hal ini dapat diwujudkan dengan menyiapkan katalis dalam ukuran yang lebih kecil yaitu ukuran nano. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan NiMoFe2O4 sebagai katalis heterogen dan diharapkan sebagai nanokatalis

Infiltrasi (skripsi dan tesis)

 

Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air tersebut ke tanah yang lebih dalam. Dengan kata lain, Infiltrasi adalah aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Laju maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah dinamakan kapasitas Infiltrasi. Kapasitas Infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya, apabila intensitas hujan lebih kecil daripada kapasitas Infiltrasi, maka laju Infiltrasi sama dengan laju curah hujan.

Ada tiga cara untuk menentukan besarnya Infiltrasi (Knapp, 1978), yakni:

1)   Menentukan beda volume air hujan buatan dengan volume air larian pada percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan.

2)   Menggunakan alat infiltrometer

3)   Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan.

Koefisien Run Off (skripsi dan tesis)

 

Koefisien run off merupakan nilai banding antara bagian hujan yang run off di muka bumi dengan hujan total terjadi. Koefisien run off rasio jumlah limpasan terhadap jumlah curah hujan, dimana nilainya tergantung pada tekstur tanah, kemiringan lahan, dan jenis penutupan lahan.

Berikut ini disampaikan berbagai nilai antara koefisien run off dari permukaan bumi. Koefisien run off tersebut sebagian besar mempunyai nilai antara, tetapi sebaiknya untuk analisis dipergunakan nilai terbesar atau nilai maksimum. Besarnya koefisien run off didasarkan pada tipe area dapat ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Koefisien Run Off untuk Drainase Muka Tanah

Tipe Area Koefisien Run Off
Pegunungan yang curam 0,70 – 0,90
Tanah yang bergelombang 0,50 – 0,75
Dataran yang ditanami 0,45 – 0,60
Atap yang tidak tembus air 0,75 – 0,90
Perkerasan aspal, beton 0,80 – 0,90
Tanah padat sulit diresapi 0,40 – 0,55
Tanah agak mudah diresapi 0,05 – 0,35
Taman/lapangan terbuka 0,05 – 0,25
Kebun 0,20
Perumahan tidak begitu rapat (20 rumah/ha) 0,25 – 0,40
Perumahan kerapatan sedang (21 – 60 rumah/ha) 0,40 – 0,70
Perumahan rapat (61 – 160 rumah/ha) 0,70 – 0,80
Daerah rekreasi 0,90 – 0,95
Daerah Industri 0,80 – 0,90
Daerah perniagaan 0,20 – 0,30

Sumber: Hasmar, 2002

Sedangkan besarnya koefisien run off yang didasarkan pada lereng, tanaman penutup tanah dan tekstur tanah disajikan pada tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2. Koefisien Run Off Berdasarkan Lereng, Tanaman Penutup Tanah, dan Tekstur Tanah

Lereng (%) Lempung Berpasir (Sandy Loam) Liat dan Debu Berlempung (Clay and Silt Loam) Liat Berat (Tight Clay)
Hutan      
0 – 5 0,10 0,30 0,40
5 – 10 0,25 0,35 0,50
10 – 30 0,30 0,50 0,60
Padang Rumput      
0 – 5 0,10 0,30 0,40
5 – 10 0,15 0,35 0,55
10 – 20 0,20 0,40 0,60
Lahan Pertanian (Arable Land)      
0 – 5 0,30 0,50 0,60
5 – 10 0,40 0,60 0,70
10 – 20 0,50 0,70 0,80

Sumber: Schwab, 1966.

Sedangkan besarnya koefisien run off yang didasarkan pada karakter penutupan disajikan pada tabel 2.3 berikut ini:

 

 

 

 

Tabel 2.3 Koefisien Run Off Berdasarkan  Karakter Permukaan

Karakter Permukaan Periode Ulang (tahun)
2 5 10 25 50 100 500
Daerah Telah Berkembang:              
         Aspal 0,73 0,77 0,81 0,86 0,90 0,95 1,00
         Beton/atap 0,75 0,80 0,83 0,88 0,92 0,97 1,00
Rerumputan (Taman):              
   Kondisi Jelek              
(Penutupan >50%):              
               
   Datar (0-2%) 0,32 0,34 0,37 0,40 0,44 0,47 0,58
   Sedang (2-7%) 0,37 0,40 0,43 0,46 0,49 0,53 0,61
   Curam (<7%) 0,40 0,43 0,45 0,49 0,52 0,55 0,62
    Kondisi Sedang (Penutupan 50-70%)              
   Datar 0,25 0,28 0,30 0,34 0,37 0,41 0,53
   Sedang 0,33 0,36 0,38 0,42 0,45 0,49 0,58
   Curam 0,37 0,40 0,42 0,46 0,49 0,53 0,60
    Kondisi Baik (Penutupan >70%)              
   Datar 0,21 0,23 0,25 0,29 0,32 0,36 0,49
   Sedang 0,29 0,32 0,35 0,39 0,42 0,46 0,56
   Curam 0,34 0,37 0,40 0,44 0,47 0,51 0,58
Daerah belum berkembang:              
    Lahan Diusahakan pertanian:              
   Datar 0,31 0,34 0,36 0,40 0,43 0,47 0,57
   Sedang 0,35 0,38 0,41 0,44 0,48 0,51 0,60
   Curam 0,39 0,42 0,44 0,48 0,51 0,54 0,61
    Penggembalaan:              
   Datar 0,25 0,28 0,30 0,34 0,37 0,41 0,53
   Sedang 0,33 0,36 0,38 0,42 0,45 0,49 0,58
   Curam 0,37 0,40 0,42 0,46 0,49 0,53 0,60
    Hutan:              
   Datar 0,22 0,25 0,28 0,31 0,35 0,39 0,48
   Sedang 0,31 0,34 0,36 0,40 0,43 0,47 0,56
   Curam 0,35 0,39 0,41 0,45 .0,48 0,52 0,58

Sumber: Ven Te Chow, 1988

Karakteristik DAS (skripsi dan tesis)

 

Karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan meliputi:

  1. a) Luas dan Bentuk DAS

Luas dan volume aliran permukaan makin bertambah besar dengan bertambahnya luas DAS. Tetapi, apabila aliran permukaan tidak dinyatakan sebagai laju dan volume persatuan luas, besarnya akan berkurang dengan bertambahnya luas DAS. Ini berkaitan dengan waktu yang diperlukan air untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke titik kontrol (waktu konsentrasi) dan juga penyebaran atau intensitas hujan.

  1. b) Topografi

Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan parit atau saluran, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya mempunyai pengaruh pada laju dan volume aliran permukaan.

  1. c) Tata Guna lahan

pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (C), yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan (Suripin, 2003)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Limpasan (skripsi dan tesis)

 

Aliran pada saluran atau sungai tergantung dari berbagai faktor secara bersamaan. Dalam kaitannya dengan limpasan, faktor yang berpengaruh secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu faktor meteorologi dan karakteristik daerah tangkapan saluran atau daerah aliran sungan (DAS).

1)  Faktor Meteorologi

Faktor-faktor meteorologi yang berpengaruh pada limpasan terutama  adalah karakteristik hujan, yang meliputi:

  1. Intensitas Hujan

Pengaruh intensitas hujan terhadap limpasan permukaan sangat tergantung pada laju Infiltrasi. Jika intensitas hujan melebihi laju Infiltrasi, maka terjadi limpasan permukaan sejalan dengan peningkatan intensitas curah hujan. Intensitas hujan berpengaruh pada debit maupun volume limpasan.

 

  1. Durasi Hujan

Total limpasan dari suatu hujan berkaitan dengan durasi hujan dnegan intensitas tertentu. Jika hujan yang terjadi lamanya kurang dari lama hujan kritis, maka lamanya limpasan akan sama dan tidak tergantung pada intensitas hujan.

 

  1. c) Distribusi Curah Hujan

Laju dan volume limpasan dipengaruhi oleh distribusi dan intensitas hujan di seluruh DAS

Air Limpasan (Run Off) (skripsi dan tesis)

 

Sebagaimana telah diuraikan dalam siklus hidrologi, bahwa air hujan yang turun dari atmosfer jika tidak ditangkap oleh vegetasi atau oleh permukaan-permukaan buatan seperti atap bangunan atau lapisan kedap air lainnya, maka akan jatuh ke permukaan bumi dan sebagian akan menguap, berInfiltrasi, atau tersimpan dalam cekungan-cekungan. Bila kehilangan dengan cara-cara tersebut telah terpenuhi, maka sisa air hujan akan mengalir langsung di atas permukaan (surface run off), sedangkan untuk pengendalian banjir tidak hanya aliran permukaan, tetapi limpasan (run off). Limpasan merupakan gabungan antara aliran permukaan, aliran-aliran yang tertunda pada cekungan-cekungan, dan aliran bawah permukaan (subsuface flow). (Suripin, 2003)

 

Kapasitas Aliran Akibat Air Hujan (skripsi dan tesis)

 

Hujan yang terjadi menyebabkan adanya kemungkinan genangan dan aliran di permukaan tanah (run off) dan sebagian meresap (Infiltrasi) ke dalam lapisan tanah. Jika pada permukaan tanah terjadi genangan lebih besar dari Infiltrasi, maka untuk pengaliran air digunakan drainase muka tanah.

Kapasitas (debit) aliran maksimum dianalisis berdasarkan metode rasional

Q            =             x       0,2772    x    It      x       A

Keterangan:

Q               =    Debit aliran (m3/dt)

               =    Koefisien run off

0,2772       =    Faktor konversi debit puncak ke satuan

It               =    Intensitas hujan

A               =    Luas area hujan (Hasmar, 2002)

Siklus Hidrologi (skripsi dan tesis)

 

Air di alam terjadi dari hasil proses siklus hidrologi, yaitu suatu proses terjadinya penguapan air permukaan, pembasahan kulit bumi oleh air atau tengkapan air berbentuk embun. Sebagai molekul air yang ringan menjadi awan di udara. Berkumpulnya molekul air yang didinginkan di awan menjadi molekul air semakin besar dan membentuk kristal air yang berat dan akibat grafitasi jatuh kembali ke permukaan bumi yang kemudian disebut hujan. Proses yang terjadi adalah proses penguapan (evaporasi) dan transpirasi. Air hujan kembali ke permukaan tanah, mengalir ke sungai dan teresap ke dalam perut bumi menjadi air tanah. Air yang mengalir di permukaan tanah ini disebut ”run-off water” atau limpasan (Tjokrokusumo, 1998).

Siklus hidrologi adalah suatu proses yang diawali oleh evaporasi/penguapan kemudian terjadinya kondensasi dari awan hasil evaporasi. Awan terus terproses, sehingga terjadi hujan yang jatuh kepermukaan tanah. Pada saat air hujan jatuh ke permukaan tanah, sebagai air run off meresap ke dalam lapisan tanah. Limpasan air permukaan mengalir kepermukaan air di laut, danau, dan sungai. Air infiltrasi meresap kedalam lapisan tanah, menambah tinggi muka air tanah (Hasmar, 2002).

Bagian dari air yang sampai ke permukaan tanah disebut persediaan air permukaan, yang akan mengalir ke permukaan atau masuk ke dalam tanah. Peristiwa masuknya air ke dalam tanah disebut infiltrasi. Aliran permukaan akan terkumpul di dalam danau dan reservoir atau sungai kemudian ke laut. Air yang masuk ke dalam tanah dapat kembali ke udara dengan penguapan langsung dari permukaan tanah melalui transpirasi oleh tumbuhan atau penguapan dari permukaan sungai setelah air tersebut sampai ke dalam sungai melalui aliran bawah tanah.

Pengendalian Pencemaran Air (skripsi dan tesis)

 

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2008 Pasal 49 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, kegiatan konservasi sumberdaya air diarahkan melalui kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air (PSDA) dengan maksud untuk menjaga kelangsungan, keberadaan, daya dukung, saya tampung, dan fungsi sumberdaya air. Untuk mencapai tujuan konservasi sumberdaya air tersebut, dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan, yaitu:

  1. Perlindungan dan pelestarian sumber air;
  2. Pengawetan air;
  3. Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Kementerian Pekerjaan Umum (2010) menjelaskan bahwa kondisi lingkungan dan permasalahan konservasi sumber daya air di Wilayah Kabupaten sleman terkait dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, yaitu :

  1. Semakin menurunnya kualitas air akibat pertumbuhan penduduk beserta aktifitasnya yang menjadi sumber pencemar baik pertanian, domestik, maupun non-domestik (industri, rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan lainnya);
  2. Kualitas air sungai di hampir semua sungai berada di bawah baku mutu kelas kualitas air yang sudah ditetapkan;
  3. Belum tercukupinya jumlah IPAL komunal/terpusat dibandingkan dengan jumlah penduduk yang membutuhkan;
  4. Masih adanya industri, rumah sakit, hotel, restoran, yang belum mempunyai IPAL secara mandiri untuk mengolah limbahnya masing-masing;
  5. Kurangnya sosialisasi tentang pentingnya IPAL terpusat/komunal dan belum tegasnya sanksi hukum terhadap para pelanggaran.

Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pada pasal 1 (3) menyebutkan bahwa pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air.

Sumber dan Komponen Air Buangan Industri (skripsi dan tesis)

 

Perkembangan industri memberikan dampak positif dan negatif, antara lain berupa kenaikan devisa negara, transfer teknologi, dan penyerapan tenaga kerja. Namun demikian, perkembangan industri juga menyebabkan pencemaran limbah industri yang bila tidak dikelola dengan baik dan benar akan mengganggu keseimbangan lingkungan, sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan tidak dapat tercapai (Hamid & Pramudyanto, 2007).

Pengamatan terhadap sumber pencemar dapat dilakukan pada masukan, proses, maupun pada keluarannya dengan melihat spesifikasi dan jenis limbah yang dihasilkan.

Gambar 2.9  Skema Sistem Input Output dalam Proses Industri

Sumber : Kristanto, 2002

 

 

 

 

 

 

 

Kandungan zat-zat yang berasal dari setiap industri ditentukan oleh jenis industri itu sendiri. Tabel berikut menunjukkan perkiraan komposisi air limbah beberapa jenis industri.

Tabel 2.9  Perkiraan Komposisi Air Limbah Beberapa Jenis Industri

Sumber : Puslitbang Pengairan, Prasurvei Polusi di Pulau Jawa, 1974 dalam Mahbub dkk., 1990

Jenis Industri Perkiraan Jenis Pencemar dalam Limbah
Industri logam  
Industri baja Zat tersuspensi, minyak, asam, kapur, logam berat, soda
Industri pengecoran Sianida, NaOH, Cl2, Cu, Cr, F, Pb, Na, Zn, zat tersuspensi, Ca(OH)2, H2SO4, NaCO3, dan lainnya.
Pabrikasi Metal Asam, basa, sianida, logam, dan lainnya.
Industri kimia  
Industri bahan kimia Bahan-bahan kimia organik dan anorganik.
iIndustri kertas Selulosa, fiber, lignin, soda, Na2S, H2SO4, NaHCO3, dan lainnya.
Industri Petrokimia Amoniak, soda, asam sulfida, arsen, dan lainnya
Industri gas Fenol, ammonia, sianida.
Industri sabun NaOH, gliserin, asam-asam organik
Industri spiritus/alcohol Alkohol, karbohidrat.
Industri Tekstil  
Drying/finishing NaOH, Na2CO3, detergen, zat warna, kanji, malam, petins, alkohol, asam-asam, zat organik, dan lainnya.
Batik Nila, FeSO4, CaO, tawas, NaOH, Na2CO3, zat organik (asam tannin dan zat warna) dan lainnya.
Industri bahan makanan  
Pabrik gula Zat tersuspensi, glukosa, ampas, malam, tebu, CaCO3, Ca-oksalat, garam fosfat, SiO2, garam Ca dan lainnya.
Pengolahan susu makanan-minuman Zat organik (protein, lemak, laktosa dan lainnya)
Industri Farmasi Bahan kimia organik dan anorganik
Penyamakan Kulit Zat tersuspensi protein, CaCO3, Ca(OH)2, CaSo4, NaS, asam tannin, zat warna, H2SO4, Cr dan lainnya.
Agro industri tapioca Zat organik, sianida

 

Kualitas Air (skripsi dan tesis)

 

Karakteristik sumberdaya air sangat dipengaruhi oleh aspek topografi dan geologi, keragaman penggunaannya, keterkaitannya (hulu-hilir, instream-offstream, kuantitas-kualitas), waktu, serta siklus alaminya. Oleh karena faktor topografi dan geologi, maka sumberdaya air dapat bersifat lintas wilayah administrasi sehingga air sering kali disebut sebagai sumberdaya dinamis yang mengalir (dynamic flowing resources ) (Sunaryo  dkk, 2004). Air merupakan bagian dari siklus hidrologi yang alami, dimana batas-batas hidrologis tidak selalu sama dengan batas-batas administrative (Masjhudi, 2002). Hal ini secara langsung mengakibatkan ketersediaan air tidak merata, baik dari aspek waktu, tempat, jumlah, maupun mutu.

Menurut Notoarmodjo (1997), air yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Syarat Fisik

Persyaratan fisik untuk air konsumsi yang sehat adalah bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu di bawah suhu udara luarnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari cara mengenal air yang memenuhi persyaratan fisik ini tidak sukar.

  1. Syarat Kimia

Air konsumsi yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu di dalam jumlah yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia dalam air akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia.

  1. Syarat Bakteriologis

Air untuk keperluan berbagai macam kegaiatan konsumsi terutama air minum harus bebas dari segala mikroba terlebih bakteri pathogen.

Kualitas air merupakan karakteristik atau sifat yang digambarkan oleh parameter kimia organik, kimia anorganik, fisik, biotik, dan radioaktif bagi perlidungan dan pengembangan air untuk peruntukan tertentu (Wardhana, 2004). Kualitas air dapat berubah-ubah karena ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alami dan non-alami. Faktor alam yang mempengaruhi kualitas air diantaranya adalah proses geologi, seperti kegiatan gunung api, pembentukan tanah humus atau perbedaan litologi batuan, sedangkan kegiatan manusia yang mempengaruhi kualitas air diantaranya adalah permukiman, industri, pertambangan, dan pertanian (Siregar dkk., 2004).

Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, unsure, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air (PP No. 82 Tahun 2001).

INDUSTRI PERTAMBANGAN (skripsi dan tesis)

Pertambangan adalah suatu industri dimana bahan galian mineral diproses dan dipisahkan dari material pengikut yang tidak di perlukan. Dalam industri mineral, proses untuk mendapatkan mineral-mineral yang ekonomis biasanya menggunakan mineral pengikut yang tidak di perlukan. Akan menjadi limbah indutri pertambangan dan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan pada pencamaran dan dagradasi lingkungan. Industri pertambangan sebagai industri yang menghasilkan sumberdaya dan merupakan sumber bahan baku bagi industri yang diperlukan oleh manusia (Noor Dalam Sulto 2011). Sementara sumber daya mineral itu sendiri dapat diartikan sebagai sumberdaya yang yang diperoleh dari hasil ekstraksi batuan-batuan yang ada di bumi. Adapun jenis dan manfaat sumberdaya mineral bagi kehidupan manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara ( Noor Dalam Sulto 2011).

Jenis Bahan Tambang Sesuai UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

  1. Mineral/Unsur Radioaktif
  • Radium
  • Trorium
  • Uranium
  • Bahan-bahan galian radioaktif lainnya
  1. Mineral/Unsur Logam
  • Litium
  • Berilium
  • Magnesium/monasit
  • Kalium
  • Kalsium
  • Emas
  • Wolfram
  • Titanium
  • Barit
  • Vanadium
  • Kromit
  • Antimoni
  • Kobalt
  • Tantalum
  • Air raksa
  • Besi
  • Perak
  • Tembaga
  • Timah
  • Seng
  1. Mineral/Unsur Bukan Logam
  • Intan
  • Korundum
  • Grafit
  • Arsen
  • Kuarsa
  • Klonit
  • Asbes
  • Halit
  • Mika
  • Rijang (SiO2)
  • Gipsum
  1. Batuan
  • Pumice
  • Tras
  • Toseki
  • Obsidian
  • Perlit
  • Tanah diatoe
  • Tanah serap
  • Opal
  • Batu kapur
  • Basalt
  • Tanah liat
  • Batu apung
  • Tanah urung
  • Pasir sepanjang tidak mengandung unsur unsur mineral logam.
  1. Batubara
  • Bitumen padat
  • Batuan aspal
  • Batubara

Bengkel (skripsi dan tesis)

 

Bengkel adalah sebuah bangunan yang dilengkapi alat pengaturan dan menyediakan ruang dan peralatan untuk melakukan konstruksi atau manufaktur, dan/atau memperbaiki benda mekanik. Perbengkelan  adalah  pengetahuan dan keterampilan tentang peralatan dan metode untuk membuat, membentuk, mengubah bentuk, merakit, ataupun memperbaiki suatu benda menjadi bentuk yang baru atau kondisi yang lebih baik secara manfaat maupun estetika. Pada umumnya bengkel mempunyai spesifikasi tertentu menurut jenis pekerjaan jasa yang dapat dilayani, missal bengkel bubut, bengkel las, bengkel listrik, bengkel mobil dan lain-lain.

  1. Bengkel bubut adalah bengkel yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan benda-benda mekanik seperti sekrup, mur/baut, as serta membuat suatu alat dengan spesifikasi tertentu yang terkadang ukurannya tidak standar di pasaran.
  2. Bengkel listrik adalah bengkel yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki peralatan-peralatan yang berhubungan dengan penggunaan tenaga listrik, seperti dynamo, coil, rangkaian dalam peraatan listrik lainnya.
  3. Bengkel las adalah bengkel yang mempunyai kemampuan untuk melakukan penyambungan berbagai jenis logam yang terpisah.
  4. Bengkel umum kendaraan bermotor adalah bengkel umum kendaraan bermotor yang berfungsi untuk memperbaiki, dan merawat kendaraan bermotor agar tetap memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan, yang selanjutnya dalam buku panduan ini disebut bengkel. Sedangkan kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu. Untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan jasa yang lebih baik, pelayanann jasa di bengkel juga dikembangkan. Berbagai bengkel sekarang juga melayani jasa cuci kendaraan yang lebih modern lagi membuka jasa salon kendaraan.

KEPMEN Perindustrian dan Perdagangan No. 551/MPP/Kep/10/1999 mengklasifikasikan tipe bengkel sebagaimana didasarkan atas jenis pekerjaan yang dilakukan, yaitu :

  1. Bengkel tipe A, merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, perbaikan chassis dan body.
  2. Bengkel tipe B, merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil dan perbaikan besar, atau jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil serta perbaikan chassis dan body.
  3. Bengkel tipe C, merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil.

Limbah cair dari usaha perbengkelan dapat berupa oli bekas, bahan ceceran, pelarut/pembersih dan air. Bahan pelarut/ pembersih pada umumnya mudah sekali menguap, sehingga keberadaannya dapat menimbulkan pencemaran terhadap udara. Terhurpnya bahan pelarut juga dapat menimbulkan gangguan terhadap pernapasan para pekerja. Air limbah dari usaha perbengkelan banyak terkontaminasi oleh oli (minyak pelumas), gemuk dan bahan bakar. Air yang sudah terkontaminasi akan mengalir mengikuti saluran yang ada, sehingga air ini mudah sekali untuk menyebarkan bahan-bahan kontaminan yang terbawa olehnya. Oli bekas jika tidak dikelola dengan baik dpaat menimbulkan kesan kotor dan sulit dalam pembersihannya, selain itu oli bekas dapat membuat kondisi lantai licin yang dapat berakibat mudahnya terjadi kecelakaan kerja. Oli yang sudah lama tidak diganti, kotoran mengumpul dan berubah jadi lumpur (sludge).

Pengelolaan bahan-bahan B3 yang berasal dari kegiatan perbengkelan dilakukan dengan cara dikumpul kemudian dilakukan kerjasama antar bengkel maupun dengan para pengumpul limbah B3 kemudian diserahkan ke pihak ketiga

Industri (skripsi dan tesis)

Industrialisasi merupakan sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Industri sangat esensial untuk memperluas landasan pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat (Kristanto, 2002). Pengertian industri menurut Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasa industri.

Zona industri merupakan suatu kawasan peruntukan industri, yang menurut PP RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang kawasan industri, didefinisikan sebagai bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan RTRW yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kawasan industri didefinisikan sebagai kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri.

Menurut Kristanto (2002), industri secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi:

  1. Industri dasar atau hulu, memiliki sifat padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi maju dan teruji.
  2. Industri hilir, merupakan perpanjangan proses industri hulu, yaitu mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi.
  3. Industri kecil, banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan dengan peralatan sederhana.

Selain pengelompokkan di atas, industri juga diklasifikasikan secara konvensional sebagai berikut (Kristanto, 2002) :

  • Industri primer, yaitu industri yang mengubah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi.
  • Industri sekunder, yaitu industri yang mengubah barang setengah jadi menjadi barang jadi.
  • Industri tersier, yaitu industri yang sebagian besar meliputi industri jasa dan perdagangan atau industri yang mengolah bahan industri sekunder.

Air Permukaan (Surface Water) (skripsi dan tesis)

 

Air permukaan adalah air yang berada di sungai, danau, waduk, rawa dan badan air lainnya yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah. Areal tanah yang mengalirkan air ke suatu badan air disebut watersheds. Air yang mengalir dari daratan menuju suatu badan air disebut limpasan permukaan (surface run off). Sekitar 69% air yang masuk ke sungai berasal dari air hujan, pencairan es/salju, dan sisanya berasal dari air tanah. Wilayah di sekitar aliran sungai yang menjadi tangkapan air disebut catchment basin.

Air hujan yang jatuh ke bumi dan menjadi air air permukaan memiliki karakteristik bahan-bahan terlarut atau unsur hara yang sangat sedikit. Air hujan biasanya bersifat asam, dengan nilai pH sekitar 4,2. Hal ini disebabkan hujan melarutkan gas-gas yang terdapat di atmosfer, misalnya gas karbondioksida (CO2), sulfur (S), nitrogen oksida (NO2) yang dapat membentuk asam lemah (Novotny dan Olem, 1994). Setelah jatuh ke permukaan bumi air hujan mengalami kontak dengan tanah dan melarutkan bahan-bahan yang terkandung di dalam tanah.

Perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu, badan air tergenang (lentik) dan badan air mengalir (lotik).

Sumberdaya Air dan Pemanfaatannya (skripsi dan tesis)

Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Sifat air sangat berbeda dibandingkan dengan sumberdaya lainnya, sebab air merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resources), tidak mengenal batas administrasi, dan dibutuhkannya sangat bergantung pada waktu, ruang, jumlah, dan mutu. Permasalahn air secara garis besar dapat dibagi menjadi :

  1. Terlalu banyak air (too much), umumnya terjadi pada musim hujan dan kerap kali menyebabkan bencana banjir;
  2. Air terlalu kotor (too dirty), yaitu terjadinya pencemaran air, banyak terjadi akibat limbah industry, rumah tangga dan pertanian;
  3. Air terlalu sedikit (too little), kekurangan air ini menimbulkan bencana kekeringan. Hal ini juga menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antar pengguna air, seperti yang kerap terjadi di musim kemarau (Hatmoko & Wahyudi, 2011).

Sumberdaya air memiliki fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras (UU No. 7 Tahun 2004 Pasal 4 tentang Sumberdaya Air). Penggunaan air oleh masyarakat ditentukan berdasarkan hak guna air. Hak guna air adalah hak untuk memenuhi keperluan pokok sehari-hari untuk mendukung kehidupan dan penghidupannya, misal penggunaan untuk konsumsi minum, memasak, mandi, mencuci, peribadatan, dan pertanian rakyat di dalam sistem irigasi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Air Pasal 40 (3) menyebutkan bahwa studi kelayakan pengelolaan sumberdaya air mencakup:

  1. Kelayakan teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan;
  2. Kesiapan masyarakat untuk menerima rencana kegiatan;
  3. Keterpaduan antarsektor;
  4. Kesiapan pembiayaan; dan
  5. Kesiapan kelembagaan.

Pencemaran Air (skripsi dan tesis)

 

Pencemaran air diakibatkan oleh dimasukkannya secara sengaja atau tidak disengaja bahan pencemar (polutan) yang dapat berupa gas, bahan-bahan terlarut, dan partikulat ke dalam air. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Sedangkan menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menjelaskan bahwa pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pencemar memasuki badan air dengan berbagai cara, misalnya melalui atmosfer, tanah, limpasan (run off) pertanian, limbah domestik dan perkotaan, pembuangan limbah industri, limbah kegiatan non domestik, dan lainnya.

Bahan pencemar merupakan bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut (Effendi, 2009). Berdasarkan cara masuknya ke lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki lingkungan (misalnya badan air) secara alami, misalnya akibat letusan gunug berapi, tanah longsor, banjir, dan fenomena alam lainnya. Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), kegiatan urban (perkotaan), maupun kegiatan non-domestik (industri dan lainnya). Berdasarkan sifat toksiknya, polutan dibedakan menjadi dua yaitu toksik dan tidak toksik.

Sumber pencemar dapat berupa suatu lokasi tertentu (point source) atau tersebar (diffuse source). Sumber pencemar tersebar dapat berupa point source dalam jumlah banyak dan menyebar. Misalnya, limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik), limpasan dari daerah perkotaan, limbah cair dari kegiatan industri dan non-domestik lainnya. Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian maupun bukan kematian pada organisme tergantuk jenis, konsentrasi dan besarnya kandungan toksik pada polutan tersebut. Misalnya, terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan karakteristik morfologi berbagai organisme. Polutan toksik pada umumnya bukan berupa bahan-bahan alami, misalnya pestisida, detergen, dan bahan artificial lainnya.

Rao (1991) mengelompokkan bahan pencemar di perairan menjadi beberapa kelompok, yaitu limbah yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut, limbah yang mengakibatkan munculnya penyakit, senyawa organik sintesis, nutrien tumbuhan, senyawa anorganik dan mineral, sedimen, redioaktif, panas (thermal discharge) dan minyak. Bahan pencemar (polutan) yang masuk ke badan air biasanya merupakan kombinasi dari beberapa jenis pencemar yang saling berinteraksi.

  1. Senyawa Organik

Penyusun utama bahan organik biasanya berupa polisakarida (karbohidrat), polipeptida (protein), lemak (fats), dan asam nukleat (nucleid acid). Setiap bahan organik memiliki karakteristik fisik, kimia dan toksisitas yang berbeda. Tabel 2.1 menunjukkan komponen penyusun limbah bahan organik.

Tabel 2.1  Komposisi Limbah Organik

            Jenis Bahan Organik Persentase (%)
Lemak 30
Protein 25
Abu 21
Asam Amin, Kanji (starch)                                8
Lignin 6
Selulosa 4
Hemiselulosa 3
Alkohol 3

(Sumber : Higgins dan Burns, 1975 dalam Abel 1989)

 

Selain jenis-jenis bahan organik tersebut, limbah organik juga mengandung bahan-bahan organik sintetis yang toksik. Beberapa contoh bahan organik yang bersifat toksik terhadap organisme akuatik adalah minyak, fenol, pestisida, surfaktan, Polychlorinated biphenyl (PCB’s). Senyawa organik sintesis pada umumnya tidak mudah didegradasi secara biologi. Senyawa organik sintesis juga bersifat persisten atau bertahan dalam waktu yang lama didalam badan air dan juga bersifat kumulatif.

Jenis-jenis bahan organik dibedakan menjadi oil dan grease. Istilah grease diterapkan pada beberapa jenis bahan organik yang dapat diekstraksi dari larutan atau suspensi, dengan menggunakan pelarut heksana atau triklhloro trifluoro etana (Freon). Grease terdiri atas hidrokarbon, ester, oli, lemak, waxes, dan asam lemak dengan berat molekul besar.

Istilah oil mewakili sejumlah bahan yang berupa hidrokarbon dengan berat molekul kecil hingga besar, gasoline hingga yang berupa pelumas. Selain itu, gliserida dalam bentuk larutan yang berasal dari hewan dan tumbuhan juga dikategorikan sebagai oil.

 

 

  1. Minyak Mineral dan Hidrokarbon

Terdapat sekitar 800 jenis senyawa minyak mineral yang terdiri atas hidrokarbon alifatik, aromatic, resin,dan aspal (tabel 2.9.2). Minyak tersebuar dalam bentuk terlarut, laposan film yang tipis yang terdapat di permukaan, emulsi, dan fraksi terserap. Pada perairan, interaksi dari bentuk minyak ini sangat kompleks, dipengaruhi oleeh nilai specific gravity, titik didih, tekanan permukaan, viskositas, kelarutan dan penyerapan.

Tabel 2.2. Komponen Utama Senyawa Mineral

Senyawa Persentase (%)
Parafinik 10-70
Naftenik (Mono dan polisiklik) 25-75
Aromatik (mono dan polisiklik) 6-40
Naftenon-aromatik 30-70
Resin 1-40
Aspal 0-80

(Sumber : UNESCO/WHO/UNEP, 1992)

Kadar minyak mineral dan produk-produk petroleum yang diperkenankan terdapat pada air minum berkisar 0,01-0,1 mg/liter. Kadar melebihi 0,3 mg/liter bersifat toksik terhadap bebebrapa jenis ikan air tawar (UNESCO/WHO/UNEP, 1992).

 

  1. Surfaktan

Surfaktan merupakan bahan organik yang berperan sebagai bahan aktif pada detergen, sabun dan sampo. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga memungkinkan partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau terlarut didalam air. Surfaktan dikelompokkan menjadi empat, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amphoteric.

Selain digunakan sebagai sabun, surfaktan juga digunakan dalam industri tekstil dan pertambangan, baik sebagai lubrikan, emulsi maupun flokulan (Effendi, 2009). Komposisi surfaktan dalam detergen berkisar 10%-30% disamping polifosfat dan pemutih. Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan terbentuknya busa di perairan. Meskipun tidak bersifat toksik, keberadaan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan dapat menurunkan absorbs oksigen.

 

  1. Senyawa Anorganik

Senyawa anorganik terdiri dari logam berat yang pada umumnya bersifat toksik. Bahan anorganik yang bersifat toksik adalah arsen (As), barium (Ba), timbal (Pb), Zinc (Zn), Kadmium (Cd), Kromium (Cr), lead (Pb), Merkuri (Hg), selenium (Se) dan Silver (Ag).

Logam berat mengalami biokonsentrasi dan bioakumulasi sehingga kadar timbal di dalam tubuh makhluk hidup yang lebih besar daripada di lingkungan perairan. Logam berat menyebabkan gangguan pada proses fisiologis organisme akuatik. Effendi (2009) mengemukakan bahwa tumbuhan air dan algae dapat menyerap logam berat.

 

  1. Radioaktif

Radioaktif dalam waktu paruh pendek akan melepaskan radiasi dalam jumlah yang besar dan berbahaya bagi makhluk hidup, sedangkan radioaktif dalam waktu paruh panjang melepaskan radiasi dalam jumlah sedikit dan relatif lebih tidak berbahaya bagi makhluk hidup.

Pengaruh radioaktif dapat bersifat akut atau kronis. Pada kadar yang tinggi, pengaruh radioaktif terhadap makhluk hidup bersifat akut, yakni mengganggu proses pembelahan sel dan mengakibatkan rusaknya kromosom. Setiap organ tubuh memperlihatkan respon yang berbeda terhadap radioaktif. Radiasi sinar X dapat mengakibatkan defisiensi sel darah putih dalam waktu dua hari setelah seluruh tubuh mendapatkan radiasi sinar X sebesar 2 Gy-5 Gy, sedangkan pengurangan sel darah merah terjadi 2-3 minggu kemudian (Effendi, 2009).

Pengaruh kronis yang muncul dalam jangka waktu panjang dapat terjadi pada genetik dan somatik. Pengaruh somatik berupa timbulnya kanker, sedangkan pengaruh genetik berupa abnormalitas atau cacat bawaan pada bayi sejak lahir.

Polutan yang berupa bahan-bahan kimia bersifat stabil dan tidak mudah mengalami degradasi sehingga bersifat persisten di lingkungan dalam kurun waktu yang lama yang disebut dengan rekalsitran. European Community (didalam Mason, 1993) mengelompokkan bahan pencemar toksik menjadi black dan grey list, yang terdapat dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3  Black dan Grey List bahan pencemar toksik

Black List Grey  List
Senyawa Halogen Senyawa logam dan metaloid: Zinc, perak, Copper, nikel, kromium, lead, selenium, arsen, antimonium, timah, molibdenum, titanium, uranium, barium, berilium, boron, tellurium, vanadium, kobalt, dan talium.
Senyawa Organofosfat Biosida yang tidak muncul pada blacklist
Senyawa Organotin Bahan-bahan yang menimbulkan bau dan rasa yang tidak enak
Bahan-bahan karsinogen Bahan organik toksik dan persisten
Merkuri Senyawa organik fosfor
Kadmium Minyak mineral dan hidrokarbon petroleum non persisten
Minyak mineral dan petroleum hidrokarbon Sianida dan fluorida
Bahan-bahan sintesis persisten Bahan-bahan yang mempengaruhi kesetimbangan oksigen, missal ammonia dan nitrit

(Sumber : Mason, 1993)

  • Limbah Cair

Limbah cair merupakan limbah yang bersifat cair dan berupa sisa buangan hasil suatu proses yang sudah tidak dipergunakan lagi, baik berupa sisa industri, rumah tangga, peternakan, pertanian, dan sebagainya. Limbah cair merupakan polutan yang memasuki perairan yang terdiri dari berbagai jenis serta karakteristik polutan. Jika di perairan terdapat lebih dari dua jenis polutan maka kombinasi pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

  1. Additive, pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan merupakan penjumlahan dari pengaruh masing-masing polutan. Misalnya, pengaruh kombinasi zinc dan cadmium terhadap organisme perairan.
  2. Synergism, pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan lebih besar daripada penjumlahan pengaruh dan masing-masing polutan.
  3. Antagonism, pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan saling mengganggu sehingga pengaruh secara kumulatif lebih kecil atau mungkin hilang.

Rao (1991) mengelompokkan bahan pencemar diperairan menjadi beberapa kelompok yaitu, limbah cair yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut, limbah cair yang mengakibatkan munculnya penyakit, limbah cair yang mengandung senyawa organik sintesis, anorganik, sedimen dan radioaktif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 2.4  Klasifikasi tingkat pencemaran limbah cair berdasarkan beberapa parameter kualitas air.

Parameter Tingkat Pencemaran
Berat Sedang Ringan
Padatan total (mg/liter) 1000 500 200
Bahan padatan terendapkan (mg/liter) 12 8 4
BOD (mg/liter) 300 200 100
COD (mg/liter) 800 600 400
Nitrogen total (mg/liter) 85 50 25
Amonia-nitrogen (mg/liter) 30 30 15
Klorida (mg/liter) 175 100 15
Alkalinitas (mg/liter CaCO3) 200 100 50
Minyak Dan lemak 40 20 0

 

(Sumber : Effendi, 2009)

Ruang Terbuka Hijau Dilihat dari Fungsi Peruntukannya (skripsi dan tesis)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan Pasal 3 menegaskan bahwa fungsi RTH Kawasan Perkotaan  adalah :

  1. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;
  2. pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;
  3. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati;
  4. pengendali tata air; dan
  5. sarana estetika kota.

Pada pasal 4 ditegaskan bahwa manfaat RTH Kawasan Perkotaan adalah :

  1. sarana untuk mencerminkan identitas daerah;
  2. sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;
  3. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;
  4. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
  5. menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;
  6. sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;
  7. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;
  8. memperbaiki iklim mikro; dan
  9. meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.

Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di setiap kota memiliki tiga fungsi penting yaitu ekologis, sosial-ekonomi dan evakuasi. Ruang terbuka hijau merupakan salah satu ruang public memiliki fungsi utama sebagai sarana sosial yang mengeratkan hubungan antar warga. Tanpa ruang publik dikhawatirkan akan semakin mengembangkan pola kehidupan yang semakin individualis.Tiadanya ruang publik akan mengurangi kepedulian sosial, memicu keretakan dan mengurangi kerukunan antar masyarakat. Karena masyarakat tidak pernah bertemu dalam aktivitas sosial  (Irwan, 2005  ).

Pada dasarnya fungsi ruang terbuka dapat dibedakan menjadi dua fungsi utama yaitu fungsi sosial dan fungsi ekologis (Hakim, 2003:52 dalam Paulus Hariyono, 2007 : 153). Fungsi sosial dari ruang terbuka antara lain:

  • tempat bermain dan berolahraga;
  • tempat komunikasi sosial
  • tempat peralihan dan menunggu;
  • tempat untuk mendapatkan udara segar
  • sarana penghubung satu tempat dengan tempat lainnya;
  • pembatas di antara massa bangunan;
  • sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan;
  • sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan lingkungan.

Fungsi sosial hutan kota terjadi karena penataan tumbuh-tumbuhan dalam hutan kota dengan baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial lainnya. Fungsi sosial politik ekonomi misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buah-buahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotik hidup.

Konsep dalam memanfaatkan hutan kota ataupun taman kota akan terpeta melalui pengalaman tiap-tiap masyarakat melalui latar belakang budaya masyarakatnya. Karena itu, pemahaman konsep akan taman kota dapat dilihat latar belakang kebudayaan melalui tinjauan nilai budaya dan nilai sosial masyarakatnya dalam kaitannya dengan taman kota. Konsep penanaman tanaman dalam masyarakat Jawa lebih mengutamakan makna. Sebagai misal, pohon sawo kecik ditanam di halaman depan rumah sebagai lambang akan makna bahwa manusia hidup harus memiliki pikiran yang benar (Fandely, 2004 dalam Paulus Hariyono, 2007:232 ).  Menurut Tanjung dalam epilog buku tulisan Soesilo (2005: ix), orientasi nilai sosial yang mengutamakan kebersamaan, akan melahirkan konsep taman kota yang memiliki fungsi sosial yang tinggi. Taman kota yang dapat digunakan untuk bercengkerama, berolah raga, dan bermain menjadi bentuk ideal bagi masyarakat.

 

 Fungsi Keberadaan Ruang Terbuka Hijau Bagi Sebuah Kota (skripsi dam tesis)

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang rusak adalah dengan pembangunan ruang terbuka hijau kota yang mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem kota. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara membangun hutan kota yang memiliki beranekaragam manfaat. Menurut  Irwan (2005) Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Identitas Kota

Jenis tanaman dapat dijadikan simbol atau lambang suatu kota yang dapat dikoleksi pada areal hutan kota. Propinsi Sumatra Barat misalnya, flora yang dikembangkan untuk tujuan tersebut di atas adalah Enau (Arenga pinnata) dengan alasan pohon tersebut serba guna dan istilah pagar-ruyung menyiratkan makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu manis (Cinnamomum burmanii), karena potensinya besar dan banyak diekspor dari daerah ini.

  1. Nilai Estetika

Komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi di lingkungan kota akan menambah nilai keindahan kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervariasi dengan penempatan (pengaturan tata ruang) yang sesuai akan memberi kesan keindahan tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi kesan lembut pada bangunan di perkotaan yang cenderung bersifat kaku. Suatu studi yang dilakukan atas keberadaan hutan kota terhadap nilai estetika adalah bahwa masyarakat bersedia untuk membayar keberadaan hutan kota karena memberikan rasa keindahan dan kenyamanan .

  1. Penyerap Karbondioksida (CO2)

Ruang terbuka hijau merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain dari fitoplankton, ganggang dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menyusutnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun hutan kota untuk membantu mengatasi penurunan fungsi hutan tersebut. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan, baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas karbon dioksida dengan air menjadi karbohidrat (C6H12O6.) dan oksigen (O2). Proses kimia pembentukan karbohidrat (C6H12O6.) dan oksigen (O2) adalah 6CO2 + 6H2O + Energi dan klorofil menjadi C6H12O6. + 6 O2.

Proses fotosintesis sangat bermanfaat bagi manusia. Pada proses fotosintesis dapat menyerap gas yang bila konsentarasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses fotosintesis menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan. Jenis tanaman yang baik sebagai penyerap gas Karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen adalah damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis), dan beringin (Ficus benjamina).  Penyerapan karbon dioksida oleh hutan kota dengan jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun.  (Simpson and McPherson, 1999)

  1. Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi tingkat erosi, menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah di lingkungan sekitarnya. Pada musim hujan laju aliran permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada musim kemarau potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di lingkungan perkotaan. Hutan kota dengan luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat hujan dan meresapkan air ke dalam tanah sejumlah 10.219 m3 setiap tahun.(Urban Forest Research, 2002)

  1. Penahan Angin

Ruang terbuka hijau berfungsi sebagai penahan angin yang mampu mengurangi kecepatan angin 75 – 80 %. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain hutan kota untuk menahan angin adalah sebagai berikut :

  1. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang memiliki dahan yang kuat.
  2. Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang
  3. Memiliki jenis perakaran dalam.
  4. Memiliki kerapatan yang cukup (50 – 60 %).
  5. Tinggi dan lebar jalur hutan kota cukup besar, sehingga dapat melindungi wilayah yang diinginkan.

Penanaman pohon yang selalu hijau sepanjang tahun berguna sebagai penahan angin pada musim dingin, sehingga pada akhirnya dapat menghemat energi sampai dengan 50 persen energi yang digunakan untuk penghangat ruangan pada pemakaian sebuah rumah. Pada musim panas pohon-pohon akan menahan sinar matahari dan memberikan kesejukan di dalam ruangan.

  1. Ameliorasi Iklim

Ruang terbuka hijau dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu ruang terbuka hijau sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh hutan kota adalah kelembaban. Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu udara 3-10 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penanaman pohon pada suatu areal akan mengurangi temperatur atmosfer pada wilayah yang panas tersebut.      (Forest Service Publications, 2003)

 

  1. Habitat Hidupan Liar

Ruang terbuka hijau bisa berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hidupan liar dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hutan kota merupakan tempat perlindungan dan penyedia nutrisi bagi beberapa jenis satwa terutama burung, mamalia kecil dan serangga. Hutan kota dapat menciptakan lingkungan alami dan keanekaragaman tumbuhan dapat menciptakan ekosistem lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk burung dan binatang lainnya.

 

  1. Pengolahan sampah

Ruang terbuka hijau kota dapat diarahkan untuk pengolahan sampah, yaitu dapat berfungsi sebagai : (1) penyekat bau; (2) penyerap bau; (30 pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah; dan (4) penyerap zat yang berbahaya (dan beracun / B30 yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta B3 lainnya.

  1. Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori-pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopisdengan kemmpuan menyerap air yang besar. Maka kadar air tanah hutan akan meningkat. Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang memounyai daya evaporation rendah. Disamping itu sistem perakarannya dapat memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang meresap masuk kedalam tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit air yang berupa air limpasan (surface run off).( Bernatzky, 1978)

  1. Penepis Cahaya Silau

Sebagaimana sifat benda jika terkena cahanya akan cenderung menyerap dan atau memantulkan cahaya. Keberadaan pohon dapat membantu melakukan penyerapan cahaya yang ditimbulkan oleh benda yang ada. Keefektifan pohon dalam meredam dan melunakan cahaya tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatan pohonnya.

  1. Meningkatkan keindahan

Benda-benda disekililing manusia dapat ditata dengan indah menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya (Budihardjo, 1993 hal 64) sehingga diperoleh suatu bentuk komposisi yang menarik. Ruang Terbuka Hijau yang didalamnya terdapat unsure tanaman ddalam bentu, warna dan teksturnya dapat dipadukan dan dikombinasikan dengan benda lain, sehingga menghasilkan sebuah tatanan panorama yang indah.

  1. Mengamankan pantai dari abrasi

RTH kota berupa formasi tanaman (hutan mangrove dapat bekerja meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses penegndapan lumpur dipantai. Keberadaanya bisa berdiri sendiri sebagai hutan monospesies atau dapat dikombinasi dengan tanaman lain misalnya keben, nyamplung, ketapang, kelapa dan berbagai jenis semak dan rumput. Hal ini akan dapat digunakan untuk melindungi pantai dari hempasan air yang besar seperti tsunami misalnya.

  1. Meningkatkan industri pariwisata

Keberadaan ruang terbuka hijau kota dapat dikombinasikan dengan fungsi pariwisata. Kita lihat keberadaan bunga bangkai (Amorphophalllus titanium) dikebun raya Bogor dan bungan Raflesia Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik wisatawan Nusantara maupun wisatawan manca negara.

  1. Produksi Terbatas atau Manfaat Ekonomi

Manfaat ruang terbuka hijau dalam aspek ekonomi bisa diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, manfaat ekonomi hutan kota diperoleh dari penjualan atau penggunaan hasil hutan kota berupa kayu bakar maupun kayu perkakas. Penanaman jenis tanaman hutan kota yang bisa menghasilkan biji, buah atau bunga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan oleh masyarakat untuk  meningkatkan taraf gizi, kesehatan dan penghasilan masyarakat. Buah kenari selain untuk dikonsumsi juga dapat dimanfaatkan untuk kerajinan tangan. Bunga tanjung dapat diambil bunganya. Buah sawo, pala, kelengkeng, duku, asam, menteng dan lain-lain dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan gizi dan kesehatan masyarakat kota. Sedangkan secara tidak langsung, manfaat ekonomi hutan kota berupa perlindungan terhadap angin serta fungsi hutan kota sebagai perindang, menambah kenyamanan masyarakat kota dan meningkatkan nilai estetika lingkungan kota. (Fandeli, 2004).

Hutan kota dapat meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat dengan cara menarik minat wisatawan dan peluang-peluang bisnis lainnya, orang-orang akan menikmati kehidupan dan berbelanja dengan waktu yang lebih lama di sepanjang jalur hijau, kantor-kantor dan apartemen di areal yang berpohon akan disewakan serta banyak orang yang akan menginap dengan harga yang lebih tinggi dan jangka waktu yang lama, kegiatan dilakukan pada perkantoran yang mempunyai banyak pepohonan akan memberikan produktivitas yang tinggi kepada para pekerja (Forest Service Publications, 2003. Trees Increase Economic Stability, 2003).

Dampak negatif dari tidak optimalnya RTH dimana RTH tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas  baik disebabkan karena RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsonal, fragmentasi lahan menurunkan kapasitas lahan dan selanjutnya menurunkan  kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan terjadi teruama dalam bentuk / kejadian :

  • Menurunnya kenyamanan kota meliputi penurunan kapasitas dan daya dukung wilayah yang dapat mengakibatkan pencemaran meningkat, ketersediaan air tanah menurun, suhu kota meningkat.
  • Menurunkan keamanan kota
  • Menurunkan keindahan alami kota ( natural amenities) dan artifak alami sejarah yang bernilai kultural tinggi.
  • Menurunnya tingkat kesehatan masyarakat baik secara fisik maupun non fisik, meliputi :
  1. Tidak terserap dan terjerapnya partikel timbal
  2. Tidak terserap dan terjerapnya debu semen
  3. Tidak ternetralisirnya bahaya hujan asam
  4. Tidak terserapnya karbon monoksida (CO)
  5. Tidak terserapnya karbon dioksida
  6. Tidak teredamnya kebisingan
  7. Tidak tertahannya hembusan angin
  8. Tidak terserap dan tertapisnya bau.

 

 Peranan Ruang Terbuka Hijau bagi Sebuah Daerah Perkotaan (skripsi dan tesis)

Kota merupakan suatu pusat pemukiman penduduk yang besar dan luas yang tidak haya merupakan kumpulan gedung-gedung dan sarana fisik lainnya. Komponen  kota adalah antara lingkungan fisik kota dan warga kota yang selalu berinteraksi selama proses perkembangan kota.

Peranan ruang terbuka hijau bagi sebuah kota dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikt :

  1. Terhadap Kualitas lingkungan kota
  2. Terhadap Kelestarian lingkungan
  3. Menunjang tata guna dan kelestarian air.
  4. Menunjang tata guna dan pelestarian tanah.
  5. Menunjang pelestarian plasma nutfah
  6. Menyegarkan udara atau sebagai paru-paru kota.

Sedangkan latar belakang yang mendasari arti penting keberadaan suat ruang terbuka hijau pada suatu kota adalah sebagai berikut :

  1. Kota mempunyai luas yang tertentu dan terbatas
  2. Tata ruang kota penting dalam usaha untuk efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaanya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya.
  3. RTH perkotaan memiliki manfaat kehidupan yang tinggi.
  4. Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan.

Kebijakan Ruang Terbuka Hijau (skripsi dan tesis)

Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa RTH terdiri dari RTH Publik dan Privat. Total  luasan RTH perkotaan harus mencapai 30 % dari luasan kota.  Yang terdiri dari 10 % dari luasan wilayah merupakan RTH Privat dan  20 % dari luasan berupa RTH publik.

Menurut Permendagri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Kawasan Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan jenis RTH Kawasan Perkotaan meliputi: taman kota; taman wisata alam ; taman rekreasi ; taman lingkungan perumahan dan permukiman ; taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial ; taman hutan raya ; hutan kota ; hutan lindung ; bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah; cagar alam; kebun raya; kebun binatang; pemakaman umum; lapangan olah raga; lapangan upacara; parkir terbuka; lahan pertanian perkotaan; jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET); sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa; jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; kawasan dan jalur hijau; daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan taman atap (roof garden).

Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri dari :

  1. Pertamanan  kota
  2. Kawasan hijau hutan kota
  3. Kawasan hijau rekreasi kota
  4. Kawasan hijau kegiatan olahraga
  5. Kawasan hijau pekarangan.

Ruang terbuka hijau diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya (Fandeli, 2004:72).

Kehadiran pohon di perkotaan memberikan nuansa kelembutan tersendiri. Perkembangan kota yang biasanya diwarnai kehidupan yang keras baik dalam arti fisik ataupun psikis, sedikit banyak dapat dilunakkan dengan elemen alamiah seperti air (baik yang diam-tenang maupun yang bergerak-mengalir) dan aneka tanaman (mulai dari rumput, semak sampai pohon) (Budihardjo, 1993:45).

Berdasarkan  Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No : 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi:

  1. kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis;
  2. kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi;
  3. area pengembangan keanekaragaman hayati;
  4. area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan;
  5. tempat rekreasi dan olahraga masyarakat;
  6. tempat pemakaman umum;
  7. pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan;
  8. pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis;
  9. penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta criteria pemanfaatannya;
  10. area mitigasi/evakuasi bencana; dan ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut.

Adapun pembagian jenis-jenis RTH yang ada sesuai dengan tipologi RTH dapat dikelompokkan sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.1. Jika dilihat  dari  fungsinya  RTH  dapat  berfungsi  ekologis,  sosial  budaya,  estetika,  dan ekonomi.  Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang,  tersebar),  maupun  pola  planologis  yang  mengikuti  hirarki  dan struktur  ruang perkotaan.

Pengertian Ruang Terbuka Hijau (skripsi dan tesis)

 

Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau di klasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya (Fandeli, 2004: 27).  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang  disebutkan bahwa pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Peraturan Menteri PU No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan,  Ruang Terbuka Hijau dibedakan menjadi dua yakni Runag Terbuka Hijau Publik dan Ruang Terbuka Hijau Privat. Ruang Terbuka Hijau publik adalah RTH yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat umum. Sedangkan Ruang Terbuka Hijau Privat dalah RTH milik instansi tertentu atau perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Jenis RTH Publik Kawasan Perkotaan meliputi: taman kota; taman wisata alam ; taman rekreasi ; taman lingkungan perumahan dan permukiman ; taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial ; taman hutan raya ; hutan kota ; hutan lindung ; bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah; cagar alam; kebun raya; kebun binatang; pemakaman umum; lapangan olah raga; lapangan upacara; parkir terbuka; lahan pertanian perkotaan; jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET); sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa; jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; kawasan dan jalur hijau; daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan taman atap (roof garden). Sedangkan untuk RTH Privat meliputi pekarangan rumah tinggal, kebun, halaman perkantoran/took/tempat usaha, taman atap bangunan, taman RT, dan taman RW.

Sedangkan menurut Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14  Tahun 2011 Tentang  Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun  2011 –  2031 menyebutkan bahwa   Ruang Terbuka Hijau  privat meliputi: 1) Ruang Terbuka Hijau pekarangan; dan 2)  Ruang  Terbuka  Hijau  halaman  perkantoran,  pertokoan,  dan  tempat usaha.  Ruang  Terbuka  Hijau  Kota  Publik  meliputi: 1)  ruang terbuka hijau taman dan hutan kota; 2) ruang terbuka hijau jalur hijau jalan; dan 3)  ruang terbuka hijau fungsi tertentu.

Status kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang penyedia dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota, dan RTH privat atau non-publik yang penyedia dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh pemerintah kabupaten/kota.

 

 

Tabel 2.1.

 

Kepemilikan RTH

 

No. Jenis RTH Publik RTH Privat
1. RTH Pekarangan    
  a. Pekarangan rumah tinggal   V
  b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat   V
    usaha            
  c. Taman atap bangunan         V
2. RTH Taman dan Hutan Kota          
  a. Taman RT     V V
  b. Taman RW     V V
  c. Taman kelurahan     V V
  d. Taman kecamatan     V V
  e. Taman kota     V  
  f. Hutan kota     V  
  g. Sabuk hijau (green belt)     V  
3. RTH Jalur Hijau Jalan        
  a. Pulau jalan dan median jalan V V
  b. Jalur pejalan kaki V V
  c. Ruang dibawah jalan layang V  
4. RTH Fungsi Tertentu    
  a. RTH sempadan rel kereta api V  
  b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi V  
  c. RTH sempadan sungai V  
  d. RTH sempadan pantai V  
  e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air V  
  f. Pemakaman V  

Sumber: Peraturan Menteri PU No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

 

 

Ruang terbuka hijau menurut sifat penggunaannya terbagi dalam dua kategori yaitu terbuka pasif dan terbuka aktif. Ruang terbuka aktif umumnya dipergunakan  untuk kegiatan kemanusiaan misalnya taman kota, areal camping, taman kota, lapangan olah raga, dan sebagainya. Ruang terbuka pasif yaitu ruang terbuka yang digunakan untuk menunjang ekosistem setempat seperti kantong-kantong hijau, jalur hijau, lapangan terbang, kuburan, waduk, dan hutan kota.

Ruang terbuka hijau (RTH) adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, 2006).

Peraturan Menteri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika (pasal 1 ayat 2). RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota (pasal 1 ayat 19). Pemanfaatan RTHKP publik dikelola oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan para pelaku pembangunan. RTHKP publik tidak dapat dialihfungsikan. Pemanfaatan RTHKP publik dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga ataupun antar pemerintah daerah (Pasal 12 ayat 3 dan 4).

 

Potensi pengembangan (skripsi dan tesis)

      Menurut seed dkk (1962) dalam Hardiyatmo (2002) mendefinisikan potensi pengembangan (swell potential) adalah persentase pengembangan dibawah tekanan 6,9 kPa pada contoh tanah yang terbebani secara terkekang pada arah lateral dengan contoh tanah yang dipadatkan pada kadar air optimum sehingga mencapai berat volume kering maksimumnya.

      Menurut Victorine dkk (1997) dalam Syawal (2004) mengukur potensi kembang susut tanah diperlukan dua metoda yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung.Metoda langsung dengan mengadakan pengujian sebenarnya terhadap pengembangan, metoda tidak langsung melibatkan klasifikasi dan sifat-sifat fisik tanah untuk memperediksi potensi kembang susut.

a.Metoda langsung ( direct method )

      Dalam menentukan besarnya potensi pengembangan (swell potential) untuk tanah ekspansif  dilakukan pengujian dilaboratorium dengan menngunakan alat type konsolidometer. Pengembangan yang diukur adalah pengembangan arah vertikal setelah tanah sampel digenangi air, ratio dari tinggi awal sampel kedeformasi didefinisikan sebagai persen pengembangan.

b.Metoda tidak langsung (indirect method)

      Seed dkk (1962) dalam Hardiyatmo (2002) memberikan klasifikasi nilai potensi pengembangan yang diperoleh dilaboratorium, dapat diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi potensi pengembangan (Seed dkk,1962)

Derajat ekspansif Potensi pengembangan, S(%)
Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

0 – 1,5

1,5 – 5

5 – 25

> 25

       Menurut Mechan and Karp (1994) dalam Day (1999) potensial mengembang dapat diketahui berdasarkan nilai prosentasi lempung (ukuran butir < 0,002 mm) dan indeks plastisitas seperti Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Hubungan potensial mengembang dengan IP (Day,1999)

No. %d<0,002 mm Indeks Plastisitas Potensial mengembang
1 0-10 0% – 10% Sangat rendah
2 10-15 10% – 15% Rendah
3 15-25 15% – 25% Medium
4 25-35 25% – 35% Tinggi
5 >35 >35 Sangat tinggi

Tanah Ekspansif (skripsi dan tesis)

Tanah ekspansif adalah tanah berlempung yang mempunyai ciri-ciri yaitu mengalami perubahan volume yang besar dalam merespon langsung  perubahan  kadar air. Tanah ekspansif cenderung mengalami peningkatan volume yaitu akan mengembang (swell) ketika kadar air pada tanah meningkat dan mengalami penyusutan (shrink) ketika kadar air pada tanah menurun.Walaupun potensi ekspansif dapat dihubungkan dengan banyak faktor seperti susunan dan struktur tanah, kondisi lingkungan, dan lain sebagainya, semua itu yang menjadi kontrol utamanya adalah mineralogi tanah lempung.Tanah yang mengandung kaolinite yang berplastisitas rendah cenderung untuk memperlihatkan suatu potensi kembang susut yang lebih rendah dibandingkan tanah yang mengandung montmorillonite yang berplastisitas tinggi.(Syawal,2004).

Tanah Lempung (skripsi dan tesis)

      Tanah lempung adalah tanah yang berbutir sangat halus berbentuk pipih dan panjang yang apabila dalam keadaan kering sangat keras, terjadi retak retak dibeberapa tempat sedangkan apabila dalam keadaan basah menjadi lunak dan lengket bahkan apabila kadar airnya berlebih berubah menjadi lumpur yang tidak mempunyai kuat dukung sama sekali.(Soekoto,1984).

      Partikel lempung mempunyai diameter efektif sama atau kurang dari 0,002 mm, sehingga ukuran partikel belum dapat untuk menentukan mineral lempung, tetapi masih harus dilihat dari kandungan komposisi mineralnya Chen (1975) dalam Hardiyatmo (2002).

      Partikel lempung dalam kondisi asli selalu dikelilingi oleh air dan ikatan antara air dan permukaan padat mineral lempung disebut Adsorbed water (Das-Mochtar,1993).

       Derucher dkk (1998) mengemukakan bahwa ada tiga jenis mineral yang dominan dalam mineral lempung yaitu : Kaolinite, illite, dan Montmorillonite.

      Mineral lempung dapat didefinisikan sebagai hasil pelapukan tanah akibat reaksi kimia yang menghasilkan susunan kelompok partikel berukuran koloid dengan diameter butiran lebih kecil dari 0,002 mm.(Hardiyatmo,2002).

      Hampir semua mineral lempung berbentuk lempengan sehingga sifat partikel sangat dipengaruhi oleh gaya permukaan.(Craig – Susilo,1991).

      Bentuk partikel tanah lempung adalah mungkin berbentuk bulat, bergerigi maupun bentuk diantaranya dan mempunyai spesifik gravity antara 2,58 – 2,75. (Hardiyatmo,2002).

      Untuk menghasilkan kekuatan tertentu, tanah berbutir halus seperti lempung membutuhkan semen yang lebih banyak, hal ini karena permukaan partikel yang harus ditutup memberikan sementasi pada titik kontak antar partikelnya lebih besar dibandingkan dengan tanah dengan butiran yang lebih besar.(Soekoto,1984).

Pengertian Tanah (skripsi dan tesis)

Bowles (1984) menuliskan bahwa tanah merupakan campuran dari partikel partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis sebagai berikut :

  1. Berangkal atau boulders yaitu potongan batuan yang besar dengan ukuran 250 mm sampai 300 mm.
  2. Kerakal (cobbles) atau pebbles yaitu batuan yang berukuran 150 mm sampai 250 mm.
  3. Kerikil atau gravel merupakan partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm
  4. Pasir atau sand merupakan batuan yang berukuran antara 0,074 mm sampai 5 mm
  5. Lanau atau silt merupakan batuan berukuran antara 0,002 mm sampai 0,074 mm
  6. Lempung atau clay adalah partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm
  7. Koloid (colloids) adalah partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,001 mm.

      Faktor utama yang mempengaruhi kualitas campuran tanah semen adalah macam tanah, kadar semen, pemadatan, waktu pemeraman, cara pencampuran (Hardiyatmo,2006).

      Ruktiningsih (2002) melakukan penelitian tentang stabilisasi tanah lempung menggunakan semen. Hasil penelitian menunjukan penambahan semen pada tanah lempung terjadi kenaikan batas cair, batas plastis, menurunkan indeks plastisitas dan menaikan berat volume kering tanah, menurunkan kadar air optimum, menaikan nilai CBR, menurunkan nilai swelling.

      Wesley (1977) menyatakan pada tanah berbutir halus diketahui tidak ada hubungan langsung antara sifat-sifatnya dengan ukuran butir-butirnya,maka untuk menyatakan sifat dan mengklasifikasikannya dipakai metoda lain terutama percobaan batas Atterberg.

       Tanah yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar (Subgrade) yang berasal dari lokasi sendiri atau didekatnya yang telah dipadatkan sampai tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai kekuatan daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat.(Sukirman,1995).

      Sifat tanah yang akan dipergunakan sebagai bahan tanah dasar jalan , tanah itu dikelompokan berdasarkan sifat plastisitas dan ukuran butirnya, serta kuat dukung tanah dasar yang dapat diperkirakan dengan mempergunakan hasil klasifikasi tanah ataupun dengan mencari nilai CBR dan dinyatakan dalam persen (Sukirman,1995).

Dampak Bencana Banjir (skripsi dan tesis)

Benson and Clay (2004) membagi dampak dari bencana alam menjadi tiga bagian. Pertama, dampak langsung dari bencana. Dampak langsung meliputi kerugian finansial dari kerusakan aset-aset ekonomi (misalnya rusaknya bangunan seperti tempat tinggal dan tempat usaha, infrastruktur, lahan pertanian, dan sebagainya). Dalam istilah ekonomi, nilai kerugian ini dikategorikan sebagai stock value. Dampak langsung juga meliputi kerusakan fisik, atau berubahnya lingkungan fisik.

Kedua, dampak tidak langsung. Dampak tidak langsung meliputi terhentinya proses produksi, hilangnya output dan sumber penerimaan. Dalam istilah ekonomi, nilai kerugian ini dikategorikan sebagai flow value. Dampak tidak langsung juga berkaitan dengan dampak sosial ekonomi bencana alam.

Ketiga, dampak sekunder (secondary impact) atau dampak lanjutan. Contoh dari dampak sekunder bisa berwujud terhambatnya pertumbuhan ekonomi, terganggunya rencana-rencana pembangunan yang telah disusun, meningkatnya defisit neraca pembayaran, meningkatnya utang publik dan meningkatnya angka kemiskinan.

Dampak langsung akibat bencana alam lebih mudah untuk dihitung kerugiannya dibandingkan dengan dampak tidak langsung dan dampak sekunder. Konsekuensinya sangat sulit untuk secara tepat menghitung total kerugian ekonomi akibat bencana alam. Untuk menentukan skala bantuan yang optimum dibutuhkan perhitungan kerugian yang tepat.

Coppola (2007) mengidentifikasikan konsekuensi bencana yang merugikan masyarakat dan mengurangi kualitas hidup individu dalam masyarakat adalah sebagai berikut:

  1. Kurangnya kemampuan untuk bergerak atau melakukan perjalanan karena infrastruktur transportasi yang rusak dan hancur;
  2. Terganggunya kesempatan pendidikan karena kerusakan sekolah atau guru dan siswa yang cedera atau cacat karena adanya tekanan, seperti trauma;
  3. Hilangnya warisan budaya, fasilitas keagamaan, dan sumber daya masyarakat;
  4. Hilangnya pasar dan kesempatan berdagang yang disebabkan oleh gangguan bisnis jangka pendek akibat hilangnya konsumen, pekerja, fasilitas, persediaan atau peralatan;
  5. Hilangnya kepercayaan investor yang mungkin berpotensi menarik kembali investasi (penanaman modal) mereka dan ini di kemudian hari akan menciptakan pengangguran karena pemotongan kerja dan kerusakan di tempat kerja;
  6. Sulitnya komunikasi karena kerusakan dan kehilangan infrastruktur;
  7. Adanya tunawisma yang disebabkan oleh hilangnya rumah dan harta benda;
  8. Kelaparan karena terputusnya rantai suplai makanan yang menyebabkan kekurangan suplai makanan dan meningkatnya harga;
  9. Kehilangan, kerusakan, dan pencemaran lingkungan akibat kerusakan bangunan dan infrastruktur yang rusak dan belum diperbaiki, serta deformasi dan hilangnya kualitas tanah;

Kerusuhan publik ketika respons pemerintah tidak memadai

Mitigasi Banjir (skripsi dan tesis)

Definisi mitigasi menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana banjir adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana banjir, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan mitigasi sebagaimana dilakukan melalui:

  1. pelaksanaan penataan tata ruang;
  2. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan;
  3. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

Coburn,dkk. (dalam Harjono, 2012) juga mendefinisikan mitigasi bencana sebagai pengambilan tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh suatu bahaya sebelum bahaya itu terjadi.

Bencana Banjir (skripsi dan tesis)

     Banjir adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan manuasia yang disebabkan oleh meluapnya air sungai oleh faktor alamiah akibat rusaknya kawasan penyangga pada daerah aliran sungai (DAS) yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Paimin et al.,2009, Hermon,2012, dalam Hermon, 2015:37).  Untuk mengurangi dampak kerusakan dan kerugian yang diakibatkan banjir maka dilakukan kegiatan mitigasi banjir, baik yang melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan mengahdapi ancaman banjir.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pada dasarnya secara umum bencana banjir  disebabkan oleh tiga hal. Pertama, aktifitas manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam, misalnya, pembangunan hunian di bantaran sungai telah mempersempit badan sungai sehingga memicu terjadinya banjir karena sungai tidak lagi menampung aliran air. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan air sungai meluber. Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada daerah resapan airpendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya (Bappenas, 2010).

Banjir yang terjadi di wilayah Indonesia pada umumnya disebabkan gabungan antara buruknya kondisi jaringan drainase mikro dan makro karena berbagai sebab (kurang memadainya dimensi dan kemiringan saluran drainase karena sampah dan sedimentasi, dan sebagainya) dengan meluapnya aliran sungai melebihi palung sungai karena tingginya intensitas hujan dan pendangkalan sungai karena sedimentasi dan sumbatan sampah atau sebab lainnya (air laut pasang). Perubahan tata guna lahan  yang merupakan faktor yang paling banyak dijumpai pada kasus-kasus banjir di Indonesia. Penggundulan hutan di bagian hulu DAS, pendirian bangunan, serta berbagai bentuk alih fungsi lahan lainnya telah menyebabkan berkurang atau hilangnya daerah resapan air. Kurangnya daerah resapan air menyebabkan aliran air hujan di permukaan (run off) akan makin besar, dan volume air yang masuk ke saluran air atau sungai juga bertambah, yang pada akhirnya menimbulkan banjir ketika badan sungai sungai tidak lagi mampu menampung air tersebut

Kualitas air limbah (skripsi dan tesis)

Kualitas air limbah pada umumnya mengandung banyak kotoran-kotoran yang tersuspensi maupun terlarut dalam air yang secara alami dapat mengganggu penggunaan air untuk tujuan-tujuan tertentu. Parameter-parameter yang digunakan untuk pengukuran kualitas air, meliputi parameter kimia, fisika dan biologi. Parameter fisika merupakan parameter kualitas air yang dapat diamati secara langsung, seperti kekeruhan, warna air, bau dan suhu. Parameter kimia meliputi, alkalinitas, keasaman, karbohidroksida, kesadahan, ammonia, nitrat, fosfor dan

nitrogen. Sedangkan parameter biologi pada air limbah dilakukan dengan pengamatan populasi organisme mikro, seperti tumbuhan perintis, bakteri, protozoa dan ganggang hijau (Ayuwanjani, 2008).

Sumber dan jenis air limbah (skripsi dan tesis)

Menurut Ayuwanjani (2008), berdasarkan sumbernya air limbah dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Air limbah rumah tangga (domestik), adalah air limbah yang berasal dari kegiatan hunian, seperti rumah tinggal, hotel, sarana pendidikan, perkantoran, pasar dan fasilitas pelayanan. Air limbah domestik dapat dikelompokan menjadi, air buangan kamar mandi, air buangan WC dan air buangan dapur atau cucian.

b. Air limbah industri, adalah air limbah yang berasal dari kegiatan industri, seperti pabrik kertas logam, tekstil, kulit, pangan (makanan dan minuman), industri kimia, perikanan dan lainnya.

c. Air limbah atau rembesan air hujan, adalah air limbah yang melimpas di atas permukaan tanah dan meresap ke dalam tanah sebagai akibat terjadinya hujan.

Klasifikasi limbah (skripsi dan tesis)

Menurut Ayuwanjani (2008), klasifikasi air limbah berdasarkan tingkat penguraian dan kandungan nitrogennya, adalah sebagai berikut:

a. Limbah rendah penguraian dan rendah nitrogen, yang termasuk kelompok ini adalah limbah-limbah berserat tinggi dan limbah-limbah tanaman tua, diantaranya seperti jerami, sekam, serat sawit, kulit buah coklat dan kulit luar biji-bijian.

8

b. Limbah rendah penguraian tetapi tinggi kandungan nitrogen. Limbah industri pangan sering menghasilkan limbah dengan kategori ini seperti limbah kopi.

c. Limbah tinggi kandungan energi tetapi rendah nitrogen. Limbah industri gula (molase) dan limbah industri hortikultura termasuk kategori limbah dengan kandungan energi tinggi tetapi rendah kandungan nitrogen.

d. Limbah tinggi kandungan energi dan tinggi kandungan nitrogen. Limbah yang termasuk kategori ini mayoritas lebih cenderung sebagai bahan pakan ternak monogasterik seperti tepung darah, limbah pemotong ternak, tepung ikan, bungkil dan beberapa limbah sayuran.

Air Limbah (skripsi dan tesis)

Cairan buangan yang berasal dari rumah tangga dan industri serta tempat-tempat umum lainnya dan mengandung bahan atau zat yang dapat membahayakan kesehatan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan hidup (Kusnoputranto, 1985). Limbah dapat berwujud padat, gas maupun cair. Dalam dunia perikanan, limbah cair merupakan wujud limbah yang paling mudah mencemari lingkungan terutama pada kegiatan budidaya. Hal ini di karenakan dalam kegiatan budidaya perikanan, air merupakan media hidup organisme yang akan dibudidayakan, sehingga limbah dalam wujud cair akan lebih cepat menyebar dan memiliki efek langsung terhadap organisme budidaya (peraturan daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1988 dalam Darmawan, 2010).

Pelet (skripsi dan tesis)

 

Istilah pelet digunakan untuk menyatakan bentuk yang tidak berbutir, bukan pula tepung, melainkan potongan-potongan pipa seperti bentuk obat nyamuk yang dibakar itu. Panjang pelet biasanya 1-2 cm. Jadi pelet tidak merupakan tepung dan juga tidak berupa batang. Pelet mudah diperoleh, kandungan gizinya tinggi antara lain :

Tabel 5. Kandungan Gizi Dalam Pelet

No Kandungan Jumlah
1. Protein 25
2. Lemak 10-25
3. Karbohidrat 10-20
4. Vitamin dan mineral 1

(Mudjiman, 1992)

Selain itu pelet mempunyai bentuk dan kemasan yang ideal sehingga sangat disukai ikan dan tidak mudah hancur  didalam air. Untuk meramu pelet itu, pertama-tama harus disusun persennya dulu berdasarkan kadar protein yang diinginkan dan nilai masing-masing jenis makanan yang diramu, untuk itu setelah diketahui daftar komposisi masing- masing bahan makanan sudah dapat dibuat rekaan diatas kertas bahan-bahan apa saja yang akan digunakan dalam pembuatan pelet yang kesemuanya harus berjumlah 100 bagian. Banyaknya bahan penyusun ditentukan oleh kandungan proteinnya (Siregar, 1999).

Menurut Djajadiredja, dan Anvin, (1977) untuk meramu bahan makanan pelet itu, pertama-tama harus disusun resepnya dulu, berdasarkan kadar proteinnya yang diinginkan, dan nilai masing-masing bahan makanan yang diramu itu.

Sifat-sifat penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan pelet adalah bentuk bahan baku makanan harus berupa tepung halus dan daya malayangnya dalam air juga harus diperhatikan. Makanan berupa pelet ini harus melayang beberapa lama sebelum akhirnya tenggelam. Pelet yang bermutu harus dapat melayang dekat permukaan air paling sedikit 5 menit, sebelum ia menghisap air dan tenggelam kedasar (Mudjiman, 1992).

Dedak Sebagai Bahan Campuran Pakan Ikan (skripsi dan tesis)

Dedak merupakan bahan nabati yang merupakan sisa proses produksi yang biasanya dinamakan dedak padi. Ada 2 macam dedak yaitu, dedak halus (bekatul) dan dedak kasar.

Dedak halus merupakan produk samping penggilingan gabah (rice mill). Bahan ini di pedesaan dapat diperoleh setiap kali menumbuk padai. Kulit gabah yang mengelupas dan hancur beserta selaput beras disaring dengan ayakan lembut untuk dipisahkan dari ampasnya. Dedak halus ini dalam pembuatan pakan ikan digunakan sebagai sumber karbohidrat (Widayati, 1996).

Dedak padi merupakan sumber energi bagi ternak, disamping sebagai sumber vitamin B yang dukup baik. Penggunaan dedak dalam makanan bertujuan sebagai bahan pengisi agar makanan bersifat bulky (menggumpal) dan tidak memiliki kepadatan yang terlalu tinggi.(BPPT, 2000)

Dedak yang bermutu baik, kandungan gizinya adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Kandungan Gizi Dalam Dedak.

No. Kandungan gizi Jumlah (%)
1. Karbohidrat 28,62
2. Serat kasar 24,46
3. Lemak 12,15
4. Protein 11,35
5. Air 10,15
6. Abu 10,5
7. Nilai ubah 8

(Widayati, 1996).

Dalam menggunakan dedak halus untuk campuran makanan ikan, diharapkan berhati-hati dalam memilihnya. Sebab besar sekali kemungkinan dedak itu banyak campurannya, seperti campuran sekam, pasir, batu kapur, tepung batu dll. Selain itu, dedak yang sudahterlalu lama disimpan (sampai 3 bulan atau lebih), mutunya juga sudah merosot vitaminnya, sudah rusak dan baunyapun tengik (Widayati, 1996).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih dedak antara lain

  1. Memperhatikan baunya. Untuk itu perlu dicium dedaknya dan dirasakan apakah berbau enak atau tidak (bila berbau tengik, berbau jamur yang apek atau berbau obat berarti jelek).
  2. Memperhatikan kelembabannya. Untuk itu perlu diraba dedaknya dengan tangan. Dedak yang baik akan melekat pada seluruh tangan.
  3. Bentuk luarnya perlu dihancurkan, apakah berbentuk kapur halus, kasar atau lembut.
  4. Dibandingkan dengan sejumlah dedak yang diamati dengan dedak yang sudah jelas bermutu baik dalam jumlah yang sama, untuk mengetahui adanya bahan-bahan campuran.
  5. Warnanya harus sesuai dengan warna berasnya. Ada yang kuning, keabu-abuan, kuning muda, kecoklatan dll (Mudjiman, 1992).

 

Pemanfaatan Limbah Darah Unggas Sebagai Bahan Pakan Ikan (skripsi dan tesis)

Berbagai macam bahan pakan dapat digunakan sebagai bahan alternatif pengganti tepung ikan dengan memperhatikan nilai gizinya yang tinggi, harganya lebih murah dan mudah didapat. Salah stu bahan alternatif yang dapat digunakan adalah limbah peternakan berupa darah ayam. Limbah peternakan berupa darah ayam memiliki kandungan protein tinggi. Darah ayam dapat diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang terdapat diseluruh Indonesia. Berat darah ayam sebagai hasil samping penyembelihan hewan antara 2-3% berat badan hewan (Mudjiman, 1995).

Tepung darah berasal dari darah segar dan bersih yang biasanya diperoleh dari rumah pemotongan hewan (RPH). Darah segar hanya mengandung bahan kering ± 20% berarti sebelum dijadikan tepung diperlukan proses penguapan air atau pengeringan yang membutuhkan waktu cukup lama. Pengeringan darah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan biasa atau melalui pemanasan (vat drying) dan dengan menggunakan freeze drying untuk menguapkan air pada temperatur rendah. Metode pengolahan yang digunakan tentu akan mempengaruhi kualitas tepung darah yang dihasilkan. Kandungan zat makanan dengan menggunakan cara vat drying adalah bahan kering 94,0%, protein kasar 81,1%, lemak kasar 1,6%, dan serat kasar 0,5% sedangkan dengan cara lain didapatkan bahan kering 93,0%, protein kasar 88,9%, lemak kasar 1,0%, dan serat kasar 0,6%.(BPPT,2000)

Menurut Mudjiman (1995), darah ayam mengandung jenis protein yang sukar dicerna, sehingga penggunaanya perlu dibatasi. Supaya darah ayam lebih mudah dicerna oleh tubuh ikan maka perlu diolah dulu sebelum digunakan. Salah satu cara pengolahannya adalah dibuat tepung darah. Darah yang dibuat tepung memiliki kandungan ferrum (Fe) tinggi, kadar protein kasar 80% dan lisin yang cukup tinggi juga tetapi mempunyai kandungan kalsium dan fosfor yang rendah. Tepung darah kaya akan kandungan asam amino arginin, metionin, sisitin dan leusin tetapi mempunyai kekurangan yaitu miskin akan asam amino isoleusin,dan dibandingkan dengan tepung ikan, tepung daging bekicot dan tepung tulang daging, tepung darah mengandung sedikit glisin (Nesheim., 1979).

Darah ayam tersebut dipanaskan sampai 100ºC sehingga membentuk gumpalan, kemudian dikeringkan dan diproses (tekanan tinggi) untuk mengeluarkan serum yang tersisa. Setelah itu dikeringkan dengan pemanasan lagi dan akhirnya digiling. Tepung darah hewan ini biasanya berwarna coklat gelap dengan bau yang khas. Tepung ini mengandung Lysine, Arginine,Methiorine, Cystine dan Leucine, tetapi sedikit mengandung Ileucine dan Glycine (Darmono, 1993).

Baik buruknya tepung darah yang digunakan sebagai bahan baku dari segi kesehatan, tergantung pada bagaimana bahan itu diperoleh dari rumah potong hewan. Bila berasal dari penampungan yang bercampur kotoran, tentu bahan ini tidak layak digunakan, tapi bila berasal dari penampungan yang bersih, maka tepung ini memenuhi syarat sebagai bahan baku pakan. Kelemahan dari tepung darah adalah miskin isoleucin dan rendah kalsium dan fosfor, juga bila dipakai lebih dari 5% akan menimbulkan efek “bau darah” pada ikan. Oleh karena itu penggunaanya harus dicampurkan dengan bahan lain.(Musyamsir, 2001)

 

Limbah Rumah Pemotongan Hewan (skripsi dan tesis)

Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dll (Sihombing, 2000).  Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Dikhususkan pada kegiatan rumah pemotongan ayam maka  paling banyak menghasilkan limbah berupa manure, bulu dan darah.

Proses usaha produk daging unggas dimulai dengan memotong leher kemudian mengeluarkan daging unggas dan dicelupkan ke air panas untuk melonggarkan atau melepaskan bulunya. Pelepasan bulu bisa dilakukan secara mekanis atau manual. Isi perut dikeluarkan kemudian unggas tersebut dipotong-potong atau dibiarkan utuh lalu didinginkan dan dikemas untuk dijual

Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan limbah. Salah satunya adalah dengan pemanfaatan kembali produk limbah tersebut. Pelbagai manfaat dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada ternak.   Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan.  Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances).  Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media pelbagai tujuan (Sihombing, 2002).

Dalam operasi pemrosesan daging unggas, biasanya darah, bulu dan kotoran diperoleh kembali dan dijual kepada perusahaan yang mengubah bahan tersebut menjadi makanan hewan dan pupuk. Limbah cair yang dihasilkan dari pencucian peralatan, lantai dan unggas dari pencelupan  di dalam air panas untuk melonggarkan bulu akan mengandung darah, bulu, gemuk dan daging.  Untuk mengolah kembali limah tersebut maka terdapa dua macam olahan yaitu rendering basahdan rendering kering.

Rendering biasanya dibagi antara produk yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan. Bahan-bahan tersebut digiling kemudian menjadi bagian-bagian yang halus lalu dimasak. Rendering basah dilakukan dalam tangki bertekanan menggunakan injeksi uap langsung, menghasilkan produk berupa lemak, padatan dan cairan yang biasanya diuapkan untuk menghasilkan zat pemerkaya protein untuk makanan hewan. Sedangkan rendering kering dilakukan dalam tangki terbuka atau dalam udara hampa. Pemasakan dilanjutkan sampai uap teruapkan lalu padatan sisa disaring untuk memisahkan lemak dari bahan padatan yang kaya protein. Lemak dan gemuk diendapkan sebelum disimpan dan di kemas. Makanan tersebut digiling, disaring dan dicampur. Rendemen kering menghasilkan produk kering.

Kontak Khlorin (skripsi dan tesis)

 

            Pembunuhan mikroorganisme dalam desinfeksi dibutuhkan waktu yang merupakan periode tertentu untuk interaksi antara desinfektan dengan konstituen (zat pencemar) di dalam air, biasa disebut waktu kontak dan sangat penting dirancang alat ini dalam sistem desinfeksi untuk pengolahan air minum, biasa disebut bak kontak khlorin. Waktu kontak minimum yang dibutuhkan untuk khlorinasi adalah 10 – 15 menit, agar desinfeksi dapat berjalan secara efektif. Secara umum dilapangan, kontak khlorin dilakukan di dalam pipa distribusi utama sebelum sampai ke pelanggan pertama. Apabila kontak seperti itu tidak dimungkinkan, maka harus digunakan bak kontak khlorin (Schulz dan Okun,1984).

Desinfeksi (skripsi dan tesis)

 

            Air bersih sebelum ditampung di dalam reservoir harus dilakukan desinfeksi untuk membunuh organisme patogenik apapun yang terdapat di dalam air. Desinfeksi yang umum digunakan adalah menggunakan khlorin. Khlorin terlarut di dalam air akan mengoksidasi bahan organik, termasuk organisme patogenik. Adanya sisa khlorin aktif di dalam air merupakan indikator bahwa tidak terdapat lagi organisme yang perlu dioksidasi dan dapat dianggap bahwa air sudah terbebas dari penyakit yang disebabkan oleh organisme patogenik. Air yang dialirkan di dalam sistem distribusi harus mengandung sisa khlor untuk menjaga terhadap kontaminasi selama dalam distribusi. Inilah mengapa air dari jaringan distribusi air minum sering berbau khlorin (Vesilind, 1997).

Menurut Sanropie (1984), menyatakan bahwa Desinfeksi adalah suatu proses untuk membunuh bakteri patogen (bakteri penyebab penyakit) yang ada didalam air dengan menggunakan bahan desinfektan. Desinfeksi secara kimia antara lain dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia seperti Cl2, Br2, I2, O3, KMnO4, O2, Cl2, CuSO4  dan ZnSO4. Bahan kimia yang paling banyak digunakan adalah senyawa khlorin yang disebut proses khlorinasi atau desinfeksi. Di Indonesia kebanyakan digunakan kaporit karena mudah didapat dan mudah penggunaannya. Disinfeksi merupakan bagian dari proses pengolahan air terakhir yang penting dan merupakan teknologi bersih. Disinfektan senyawa khlorin, dapat digunakan untuk menghilangkan bakteri patogen, meminimalkan gangguan mikroorganisme dan sebagai oksidator.  Sebagai oksidan, khlorin  dapat juga digunakan untuk menghilangkan zat besi, mangan, menghilangkan rasa air dan  senyawa berbau serta meminimalkan amonia nitrogen. Terminologi disinfeksi yang berarti menghilangkan atau menghancurkan seluruh mikroorganisme yang hidup termasuk didalamnya spora disebut sterilisasi. Namun istilah disinfeksi tidak seluruhnya benar karena ada beberapa spora bakteri yang lebih tahan terhadap disinfeksi dibanding bentuk vegetatif, seperti halnya organisme tuberculosis lebih tahan dibanding dengan negatif-gram sel coliform.  Dalam proses dan operasi pengolahan air, pada pra disinfeksi seperti sedimentasi, koagulasi, flokulasi dan penyaringan, telah dapat mengurangi mikroorganisme yang tahan (resisten) terhadap disinfeksi.

Kecepatan proses yang kompleks ini tergantung pada :

  1. Fisika kimia dari disinfektan;
  2. Kelakuan cyto kimia dan sifat fisik dan patogen;
  3. Interaksi dari (1) dan (2);
  4. Efek kuantitatif dari faktor media reaksi seperti : Suhu, pH, Elektrolit, Kondisi Gas dan Kondisi Fisika (panas, ultra violet, radiasi, ionisasi, pH).

Khlorin dalam senyawa kimia terdapat pada :

  1. Asam Hipokhlorit (HOCl).
  2. Kalsium Hipokhlorit, Ca(OCl)2 , diperdagangkan disebut kaporit.
  3. Sodium Hipokhlorit, (NaOCl).

Kaporit dalam kemasan yang baik berupa kristal atau tablet mengandung khlorin sampai dengan 90 persen dan mudah larut dalam air.  Sodium hipokhlorit dapat diperoleh dalam bentuk cair dengan konsentrasi khlorin  5-15  persen.

Dari reaksi berikut :

Cl2 + H2O  à  HCl + HOCl                       H+ + OCl            (P.VII-1)

 

dapat dijelaskan bahwa khlorin dengan air akan menjadi asam khlorida dan asam hipokhlorit dengan kondisi keseimbangan reaksi menjadi ion H dan OCl.

Pada pH > 8 HOCl tetap tidak terionisassi  sedang pada pH < 7  HOCl akan terionisasi menjadi OCl yang bersifat oksidator.

Selanjutnya,

Ca(OCl)2 + H2O   à      Ca++  +  2OCl  + H2O                     (P.VII-2)

HOCl sangat reaktif terhadap amonia menurut reaksi berikut :

HOCl + NH3     à     NH2 + NH2Cl  (Monochloroamin)       (P.VII-3)

HOCl + NH2     à     H2O + NHCl2  (Dichloroamin)            (P.VII-4)

HOCl + NHCl2  à    H2 O + NCl3 (Trichloroamin)               (P.VII-5)

Reaksi reaksi diatas tergantung pada keadaan pH, Suhu, Waktu Reaksi dan Kemurnian Chlorin.

Reaksi pada (P.VII-3) dengan  (P.VII-4)  berjalan pada  pH 4,5 –8,5 sedang diatas pH 8,5 monochloroamin akan bereaksi. Pada pH dibawah 4,4 akan terjadi reaksi (P.VII-5)

Dengan  desinfektan yang digunakan adalah Kaporit, Ca(OCl)2, maka :

  1. Konsentrasi larutan 5-10%.
  2. Waktu kontak 15-30
  3. DPC 1,18-1,22 mg/l
  4. Sisa Chlor 0,1-0,5 mg/l
  5. Dosis klorin : 30 – 40 mg/l
  6. Untuk kapasitas pengolahan dalam satuan liter/menit,
  7. Dosis Chlor Total = DPC + Sisa Chlor ( Degremont, 1979 ).

Menurut Berthouex (1998), dikatakan bahwa desinfeksi diperlukan pada akhir pengolahan air bersih/minum. Desinfeksi menggunakan klorin akan dapat membunuh 99% bakteri dalam waktu 10 menit pada suhu 50C dan pH sekitar 7-8. Untuk suhu yang lebih tinggi , waktu kontak minimum yang dibutuhkan adalah 30 menit untuk kadar Colitinja minimum 400 MPN/100 ml.  Pada umumnya indikator coliform akan lebih besar dibanding dengan colitinja, maksimum jumlah rata-rata colitinja 75 % dari coliform. Kebutuhan konsentrasi klorin yang mampu membunuh 99% bakteri dalam waktu 10 menit pada suhu 50C, seperti terlihat pada Tabel 2.2 di bawah ini :

 

Tabel 2.2. Konsentrasi Klorin Yang Mampu Membunuh 99% Bakteri Dalam Waktu 10 menit pada Suhu 50C.

 

 

Mikroorganisme

Konsentrasi dibutuhkan; mg/l
Cl2 bebas pH 7 Cl2 bebas

pH 8

HOCl OCl
Enteric bacteria 0,04 0,1 0,02 2
Virus > 8 > 2 0,002 – 0,4 > 20
E. hystolytica 20 50 10 10
Bacterial Spores 20 50 10 1000

Sumber : Berthouex (1998)

 

Menurut Schulz dan Okun (1984), Senyawa khlorin mempunyai kemampuan untuk membunuh organisme patogenik dan memberikan sisa khlor pada sistem distribusi secara baik dengan biaya relatif murah, sehingga digunakan secara luas untuk desinfeksi. Pemakaian secara terbatas sebagai pengganti khlorin adalah ozonisasi, dan sudah dugunakan di kota-kota besar di negara Eropa dan Amerika dalam penyediaan air minum. Penggunaan ozon tidak secara umum direkomendasikan untuk kota-kota di negara berkembang, oleh karena tingginya biaya instalasi dan kebutuhan akan tenaga listrik serta perawatannya. Disamping itu membutuhkan juga penyediaan tenaga listrik yang menerus dan peralatan maupun suku cadang proses ozonisasi masih harus impor dari negara maju. Adapun keputusan menggunakan desinfektan gas khlorin (Cl2) atau larutan hipokhlorit dipengaruhi beberapa faktor yaitu : 1) Kuantitas air yang diolah, 2) Biaya dan ketersediaan bahan kimia, 3) Peralatan yang dibutuhkan untuk aplikasinya, dan 4) Ketrampilan (skill) yang dibutuhkan untuk operasi dan kontrol. Larutan hipokhlorit lebih banyak digunakan dibanding gas khlorin, oleh karena pengumpan (feeder) dapat dibuat secara lokal dan relatif tidak membutuhkan skill untuk pengoperasiannya.

Sumber Khlorin yang banyak digunakan saat ini adalah jenis kaporit tablet dengan kemurnian 90% yang mampu menyuntikkan dosis khlorin sebesar 40 mg/l berupa tablet kaporit ukuran 200 gram sebanyak 2 tablet untuk debit aliran antara 1 – 5 liter per detik (Anonim, 1993).

Penyakit bawaan Air (skripsi dan tesis)

Adanya penyebab penyakit di dalam air dapat menyebabkan efek langsung terhadap kesehatan. Penyebab penyakit yang ditularkan melalui air dapat dikelompokan menjadi dua bagian (seomirat, 1994), yaitu:

  1. Penyebab hidup, yang menyebabkan penyakit menular
  2. Penyebab tidak hidup, yang menyebabkan penyakit tidak menular.

Tabel 2.3 : Beberapa penyakit bawaan air dan Agentnya.

Agent Penyakit
Virus :

Rota Virus

Virus Hepatitis A

Virus Poliomielitis

 

Diare pada anak-anak

Hepatitis A

Polio

Bakteri:

Vibrio Cholerae

Escherichia Coli enteropatogenik

Salmonella typhi

Salmonella paratyphi

Shigella dysentrieae

 

Cholera

Diare Dysentri

Thypus Abdominalis

Paratyphus

Dysentri

Protozoa :

Entamoeba Histolytica

Balantidia coli

Giardia lamblia

 

Dysentri Amoeba

Balantidiasis

Giardiasis

Metazoa:

Ascaris lumbricoides

Clonorchis sinensis

Dyphylobothrium latum

Taenia saginata/solium

Schistosoma

 

Ascariasis

Clonorchisasis

Dyphylobothriasis

Taeniasis

Schistosomiasis

Sumber : Soemirat, J. Slamet, 1994

Peranan air di dalam penularan penyakit adalah (1) Aie sebagai penyebar mikroba patogen, (2) Air sebagai sarang insekta penyebar penyakit, (3) Air sebagai sarang hospes penular penyakit dan (4) Air sebagai media bagi pencemaran dan bahan-bahan kimia.

Penyakit menular yang disebarkan melalui air di sebut penyakit bawaan air (water borne diseases), penyakit-penyakit tersebut hanya dapat menular apabila mikroorganisme penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jenis mikroba yang dapat disebarkan melalui air, yaitu virus, bakteri, protozoa dan metazoa.

 

Kualitas Air (skripsi dan tesis)

Kualitas air dapat di definisikan sebagai kondisi kualitatif yang dicerminkan sebagai kategori fisik, kimia, biologi, dan radiologis sesuai dengan peruntukannya. (Soemirat J., 2004).  Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI  No.416 tahun 1990 maka kualitas air bersih  harus memenuhi beberapa syarat yaitu kualitas fisik, kimia, dan kualitas mikrobiologis. Namun untuk penelitian ini berdasarkan hanya ditekankan pada standar kualitas mikrobiologis saja yaitu Colitinja dengan batas syarat kadar maksimum yang diperbolehkan adalah 50 MPN colitinja per 100 ml sampel (Permenkes, 416 Tahun 1990).  Khususnya pada air minum persyaratan mikrobiologis sangat ditekankan, selain syarat fisik dan kimia. Sebab di dalam air dimungkinkan terdapatnya mikro pathogen atau penyebab penyakit misalnya kolera, disentri, demam thypoid dan lain-lain. Karena dan isolasi mikro tersebut sangat sulit dan mikroorganismenya tersebut berasal dari perut penderita yang dikeluarkan bersama kotorannya (facces), maka untuk keperluan praktis adanya kontaminasi dalam air ditandai dengan adanya bakteri yang terdapat dalam kotoran manusia atau hewan (Supardi,1990). Coli  adalah  organisme yang ditemukan dalam saluran pencernaan manusia dan hewan, dimana keberadaanya dalam air menandakan adanya pencemaran kuman yang berbahaya. Dalam teknologi pengelolaan kualitas air, parameter mikrobiologis secara umum merupakan indikator potensi water- borne dieseases terbatas untuk penyakit yang di sebabkan oleh virus, bakteri dan protozoa pathogen (Brock dan Brock).

Colitinja dijadikan sebagai indikator, karena parameter ini sebagai petunjuk kehadiran parameter lain yang dimungkinkan lebih sulit dideteksi secara langsung. Parameter ini umumnya secara langsung tidak menimbulkan bahaya akan tetapi kahadirannya menandakan adanya bahaya yang patut diperhatikan. Sistem indikator ini dimaksud sebagai sistem peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya pencemaran secara efektif (Wuryadi,1991).

Menurut Sutrino dan Suciastuti (1991), menyatakan bahwa air minum boleh mengandung bakteri paatogen tetapi tidak boleh mengandung bakteri jenis Eschericia Coli melebihi batas yang telah ditentukan yaitu 1 individu 100 ml air. Sehingga apabila telah melebihi batas tersebut berarti air telah tercemar oleh tinja.

Penyaluran Air Limbah Domestik (skripsi dan tesis)

 

Menurut Tjokrokusumo (1995), bahan yang umumnya di pakai untuk pipa saluran air limbah domestik adalah :

  1. Pipa asbes semen (Asbestos cement pipe)

Pipa asbes semen tahan terhadap korosi akibat asam, tahan terhadap kondisi limbah yang sangat septik dan pada tanah yang alkalis.

 

 

  1. Pipa beton (Concrete pipe)

Pipa beton sering digunakan untuk saluran air limbah berukuran kecil dan sedang (berdiameter 600 mm). Penanganannya cukup mudah karena secara langsung dapat dibuat di lapangan, hanya saja umumnya tidak tahan terhadap asam.

  1. Pipa besi cor (Cast iron pipe)

Keuntungan pipa ini adalah umur penggunaan yang cukup lama, kuat menahan beban, dan karakteristik pengaliran yang baik. Hanya saja secara ekonomis tidak menguntungkan karena mahal, sulit untuk penggunaan secara khusus (misalnya untuk sifon, saluran yang melewati daerah rawa).

  1. Pipa tanah liat (Vetrified clay pipe)

Pipa ini sudah digunakan sejak zaman Babylonia dan sampai saat ini masih digunakan. Pipa tanah liat ini pada umumnya berdiameter antara 450 mm sampai 600 mm. pipa ini terbuat dari tanah yang dicampur dengan air, dibentuk kemudian dijemur dan dipanaskan dalam suhu tinggi. Keuntungan penggunaan pipa ini adalah tahan korosi akibat produksi H2S air limbah. Selain itu, kelemahan pipa ini mudah pecah dan umumnya dicetak dalam ukuran pendek.

  1. PVC (Polyvinyl chloride)

Pipa ini banyak digunakan karena mempunyai keunggulan, antara lain mudah dalam penyambungan, ringan, tahan korosi, tahan asam, fleksibel dan karakteristik aliran sangat baik. Sambungan pipa penyalur air limbah dapat berupa adukan semen, aspal, karet penyekat (rubber gasket), atau serat goni. Hal yang perlu diperhatikan adalah sambungan tersebut harus tahan rembesan, terhadap pertumbuhan akar pohon yang melewatinya, korosi dan mudah dalam penanganannya, serta hemat.

            Perencanaan pemipaan air Limbah domestik dimulai dari penataan pipa persil menuju pipa servis dan selanjutnya penempatan pipa servis yang tepat di ruas jalan yang berada disekitar perumahan atau pemukiman. Dimungkinkan pipa dipasang di sisi jalan atau di tengah jalan. Pada prinsipnya air limbah harus dapat mengalir cepat dan tidak meninggalkan lumpur di dalam perjalanan sampai di tempat air limbah domestik berakhir. Agar terpenuhi itu, maka perlu dipenuhi faktor lain yaitu diameter pipa, kekasaran pipa, kemiringan pipa, jarak manholes, guna melayani besar dan kecilnya arus aliran air limbah dari rumah-rumah penduduk.

 

 

 

 

Pencemaran Air Tanah Akibat Perilaku Manusia (skripsi dan tesis)

 

Pencemaran oleh karena perilaku manusia pada wilayah perkotaan terjadi akibat tingginya kepadatan dan aktivitas penduduk, terutama bila sistem buangan limbah cair dan padat, sampah, dan sanitasi tidak memadai akan menjadi potensi pencemaran air tanah (Sutrisno, 2002).

Menurut Berthouex (1998), menyatakan bahwa bakteri patogen analog dengan bahan kimia beracun, karena dapat menyebabkan penyakit apabila melebihi batas toleransi yang diperbolehkan untuk manusia. Bakteri Coliform adalah group bakteri yang sering ditemukan didalam tanah, tinja manusia, burung dan binatang berdarah panas. Adanya coliform menunjukkan adanya bakteri patogen, sehingga digunakan sebagai indikator kualitas higienis air bersih/ minum. Secara praktis apabila indikator bakteri tidak muncul di dalam air bersih/ minum, maka bakteri patogen juga tidak ada (negatif) dan air aman untuk diminum. Air dapat berfungsi pembawa penyakit (water borne disease), sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dari kontaminasi bakteri. Kontaminasi bakteri patogen pada air bersih/minum sering berasal dari septic tank dan air buangan domestik melalui tanah, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan. Pencegahan kontaminasi bakteri patogen dari septic tank maupun air buangan domestik dapat dilakukan dengan cara pengolahan dan pada akhir pengolahan dilakukan proses desinfeksi menggunakan klorin, ultra violet maupun ozon.

 

Pencemaran Air Tahan Oleh Penyebab Alamiah (skripsi dan tesis)

            Menurut Khumyahd (1991), struktur kimia tanah yang termasuk di dalam struktur pegunungan berapi di daerah tropis dengan curah hujan sedang dan tinggi pada ketinggian hingga 900 m dari permukaan laut (dpl) banyak mengandung mineral besi (Fe) dan mangan (Mn), oleh karena didominasi oleh jenis tanah regosol, litosol dan latosol. Warna jenis tanah ini adalah berwarna kuning kecoklatan, coklat kemerahan, coklat, coklat kehitaman dan hitam. Besi (Fe), Mangan (Mn) dan Kalsium (Ca) adalah konstituen alam yang terdapat pada tanah dan batuan yang terdapat pada bahan induk vulkanik berupa tufa ataupun batuan beku. Besi salah satu unsur yang sering didapati lebih besar kandungannya dibanding mangan. Besi terdapat dalam mineral silikat pada batuan beku, sedangkan mangan sering terdapat di dalam batuan metamorphik dan batuan sedimen. Unsur kimia Fe dan Mn dapat berupa mineral terlarut dan presipitat pada kondisi tertentu seperti dalam tabel di bawah ini :

 

 

 

 

 

Tabel 2.1. Unsur Kimia Fe dan Mn

Unsur Presipitat Kondisi
Fe2+ Fe(OH)2 Tidak adanya O2 dan CO32 (pH  10)
Fe2+ FeCO3 Tidak adanya O2 dan S2 (pH  8, alk > 10-2 eq/L)
Fe2+  Fe3+ Fe(OH)3 1.     4 Fe2+ + 2H+ + O2 4Fe3+ + 2OH atau 7 mg Fe/mg O2

2.     2Fe2+ + Cl2 2Fe3+ + 2Cl atau 1,6 mg Fe/mg Cl2

3.     3Fe2+ + MnO4 + 4 H+ 3Fe3+ + MnO2 + 2H2O atau 1,06 mg Fe/mg MnO4

Mn2+ Mn4+ MnOOH 1.   2H+ + Mn2+ + ½ O2 Mn4+ + H2O atau 3,5 mg Mn/mg O2

2.   Mn2+ + Cl2 Mn4+ + 2Cl atau 1,3 mg Mn/mg Cl2

3.   3Mn2+ + 2Mn7+ 5Mn4+ atau 0,52 mg Mn/mg MnO4

Sumber : Khumyahd (1991).

 

Menurut Berthouex (1998), pencemaran alamiah terjadi karena pelapukan biogeokimia di dalam tanah akibat proses pencucian (leaching) bahan organik dari top soil pada proses perkolasi. Proses oksidasi biokimia akan menipiskan oksigen tanah dan memproduksi karbondioksida (CO2) yang semakin lama menghabiskan oksigen terlarut di dalam air dan akan digantikan oleh proses anaerobik (reduksi) atau proses fermentasi biokimia. Dalam kondisi yang demikian ini CO2 akan bereaksi dengan senyawa-senyawa karbonat pada batuan alam seperti CaCO3 (Calcite), FeCO3 (Siderit) dan MnCO3 (Rhodochrosite) menghasilkan mineral-mineral terlarut. Hal ini akan dipercepat lagi apabila terjadi keronggaan lapisan tanah dalam dan pergeseran lapisan tanah oleh gempa, sehingga dapat menyebabkan kandungan mineral besi, mangan dan kalsium di dalam air tanah menjadi meningkat seperti terlihat dalam reaksi di bawah ini :

 

 

Air Sumur (skripsi dan tesis)

         Menurut Ahmad (1995) menyatakan bahwa air sumur merupakan sumber air bersih bagi sebagian besar penduduk dan dikenal ada dua macam air sumur yaitu :

  1. Air sumur dangkal (Sumur gali)

Yang termasuk dalam sumber air ini apabila kedalamannya kurang dari 50 meter. Kualitas sumber air ini sama dengan air permukaan tanah, sehingga sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia terutama aktivitas domestik apabila tidak dilakukan upaya sanitasi dengan baik.

  1. Air sumur dalam (Sumur bor/Deep well)

Yang termasuk dalam sumber air ini apabila kedalamannya lebih dari 50 meter. Kualitas air ini dipengarui oleh struktur geografis dan geologis wilayah setempat, sehingga sangat dipengarui oleh proses biogeokimia yang merupakan proses pelapukan mineral tanah secara alamiah

 

Air Sumur (skripsi dan tesis)

 

         Menurut Ahmad (1995) menyatakan bahwa air sumur merupakan sumber air bersih bagi sebagian besar penduduk dan dikenal ada dua macam air sumur yaitu :

  1. Air sumur dangkal (Sumur gali)

Yang termasuk dalam sumber air ini apabila kedalamannya kurang dari 50 meter. Kualitas sumber air ini sama dengan air permukaan tanah, sehingga sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia terutama aktivitas domestik apabila tidak dilakukan upaya sanitasi dengan baik.

  1. Air sumur dalam (Sumur bor/Deep well)

Yang termasuk dalam sumber air ini apabila kedalamannya lebih dari 50 meter. Kualitas air ini dipengarui oleh struktur geografis dan geologis wilayah setempat, sehingga sangat dipengarui oleh proses biogeokimia yang merupakan proses pelapukan mineral tanah secara alamiah

 

Air Tanah Wilayah Perkotaan (skripsi dan tesis)

 

            Menurut Sutrisno (2002), menyatakan bahwa wilayah perkotaan biasanya ditandai dengan luasan wilayah yang terbatas dengan jumlah penduduk yang besar, kepadatan yang tinggi, serta tingkat laju pertumbuhan penduduk yang tajam dan menerus, dengan perilaku sosial yang sangat heterogen. Juga ditandai dengan aktivitas yang tinggi dari pergerakan orang, barang dan jasa, sehingga perubahan penggunaan lahan yang cepat, dari lahan terbukan menjadi lahan tertutup bangunan. Akibat yang ditimbulkan adalah volume limbah padat, cair dan gas yang besar dan meningkat dari kegiatan domestik, jasa dan industri, dimana kegiatan jasa, industri, pendidikan, dan pariwisata lebih menonjol dibandingkan pertanian.

Keterdapatan air tanah di wilayah perkotaan harus dipahami dari senua aspeknya seperti pembentukan, wadah (aquifer), penyebarannya, baik vertikal maupun horizontal terutama dikaitkan dengan kewenangan pengelolaan. Dengan ciri-ciri wilayah perkotaan yang demikian, memberikan konsekuensi terhadap keberadaan sumberdaya air/air tanah, dikarenakan kebutuhan pasokan air yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan air minum, air bersih dan air industri, mengakibatkan terjadi perubahan jumlah limpasan permukaan (surface run-off ) dan imbuhan (recharge) dan ancaman pencemaran terutama terhadap air permukaan dan air tanah tak tertekan, terutama bila sistem buangan limbah cair dan padat, sampah dan sanitasi tidak memadai.

Air Tanah (skripsi dan tesis)

 

Menurut Tirtomihardjo (2003), Air tanah menunjukkan sumber daya alam yang ketersediaannya, baik kuantitas (jumlah) maupun kualitas (mutu) air tanahnya tergantung pada kondisi lingkungan di mana proses pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan air tanah tersebut berlangsung pada suatu wadah yang disebut cekungan air tanah. Cekungan airtanah Merapi – Yogyakarta terletak pada lereng selatan Gunung Merapi yang dibatasi oleh Sungai Progo di sebalah barat dan Sungai Opak di sebelah timur dan di sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Indonesia. Cekungan ini memiliki luas kurang lebih 1200 km2, dan meliputi tiga wilayah Kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketiga wilayah kabupaten tersebut adalah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, wilayah lindung resapan air di cekungan ini terletak di Kabupaten Sleman, namun dalam kenyataannya implementasi rencana ini tidak berlaku sehingga semakin banyak aktivitas penduduk mengganti lahan pertanian dan hutan di daerah resapan menjadi perumahan dan pemukiman,  hotel, sekolah, industri dan kegiatan lainnya. Akibat dari kegiatan ini dapat dipastikan bahwa siklus air di cekungan airtanah ini akan terganggu dan salah satu akibatnya adalah penurunan volume resapan air ke dalam airtanah dan  perubahan kebutuhan air yang akan meningkatkan eksploitasi sumber-sumber air. Disinilah diperlukan perhitungan kembali potensi sumber daya air dan memperkirakan efek dari perubahan lahan terhadap kesetimbangan air di wilayah ini.

Menurut Soemarto (1995), Air tanah adalah air yang menempati rongga-rongga dalam lapisan geologi. Lapisan tanah yang terletak di bawah permukaan air tanah dinamakan daerah jenuh (saturated zone), sedangkan daerah tidak jenuh terletak di atas daerah jenuh sampai ke permukaan tanah, yang rongga-rongganya berisi air dan udara. Karena air tersebut meliputi lengas tanah (soil moisture) dalam daerah perakaran (root zone), maka air mempunyai arti yang sangat penting bagi pertanian, botani dan ilmu tanah. Amtara daerah jenuh dengan tidak jenuh tidak ada garis batas yang tegas, karena keduanya mempunyai batas yang indipenden, dimana air dari kedua daerah tersebut dapat bergerak ke daerah yang lain atau sebaliknya. Beberapa pengetahuan yang menyangkut tanah seperti geologi, hidrologi, meteorologi dan oceanografi sangat berkepentingan dengan air tanah. Tetapi hidrologi air tanah dapat dipandang sebagai pengetahuan khusus yang merangkum unsur-unsur geologi, hidrologi dan mekanika fluida.

Geologi mempengaruhi distribusi air tanah, hidrologi menentukan pemasokan

(supply) air ke dalam tanah, dan mekanika fluida menjelaskan mengenai gerakannya. Ketersediaan air tanah di bumi tidak dapat terlepas dari siklus hidrologi dan komponen-komponen siklus tersebut. Bagi air tanah, komponen yang berpengaruh terhadap ketersediaannya adalah jumlah air hujan yang mengalami proses infiltrasi (peresapan ke dalam lapisan tanah) dan perkolasi (peresapan air ke dalam batuan di bawah permukaan) sebagai imbuhan air tanah. Pada proses infiltrasi dan perkolasi, tata guna lahan memiliki peranan yang sangat penting bahwa distribusi hujan setelah bersentuhan dengan bumi akan menaikkan imbuhan air tanah dan menurunkan limpasan (over land flow) atau sebaliknya. Komponen yang tidak kalah pentingnya memberikan pengaruh terhadap ketersediaan air tanah adalah ekstraksi (pengambilan air tanah), evaporasi (penguapan) air permukaan dan evapotranpirasi yang merupakan penguapan oleh sebab proses photosintesis tanaman.

Permukiman (skripsi dan tesis)

 

            Menurut Soemarwoto (2003) menyatakan bahwa permukiman merupakan kumpulan rumah tinggal penduduk yang didukung oleh sarana prasarana dan infrastruktur pendukung kehidupan. Dalam perkembangannya permukiman penduduk sangan dipengaruhi oleh komponen lingkungan seperti geofisikkimia, biologi, sosial budaya maupun ekonomi, politik dan kesehatan masyarakat.

Dikaitkan dengan keadaan kesehatan lingkungan permukiman, permasalahan yang menonjol yang akan dihadapi adalah sebagai berikut.

Pertama, pertumbuhan penduduk yang cepat di daerah perkotaan akibat urbanisasi yang didorong oleh pesatnya kegiatan industrialisasi dan kegiatan perekonomian yang lainnya, akan membawa dampak samping yaitu tumbuhnya kawasan permukiman kumuh dan daerah rawan pencemaran dan penyakit menular. Disamping itu perpindahan penduduk antar pulau, pertumbuhan permukiman baru yang pesat juga dapat berperan terhadap penyebaran beberapa penyakit menular tertentu terutama yang ditularkan dengan perantaraan vektor, seperti penyakit malaria, filariasis, dan demam berdarah dengue (DBD).

Kedua, peningkatan kegiatan intervensi terhadap permukiman untuk berbagai kepentingan dalam kaitannya dengan proses pembangunan juga berpengaruh terhadap kualitas permukiman. Kemungkinan besar masalah yang timbul adalah meningkatnya kasus pencemaran yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat akibat pembuangan limbah industri dan domestik, hasil buang dari sarana transportasi, timbul dan berkembangnya vektor penyakit, penggunaan bahan kimia (produk pestisida) dan sebagainya.

Ketiga, meningkatnya perkembangan teknologi dan tuntutan manusia serta pola hidup dan kerja, menyebabkan perubahan gaya hidup sehari-hari, khususnya terhadap konsumsi makanan/minuman. Diperkirakan kasus keracunan cengderung meningkat dan kasus-kasus penyakit akibat kerja juga akan semakin meningkat.

Keempat, sebagai dampak negatip dari globalisasi dan makin eratnya hubungan antar bangsa, memungkinkan penyakit-penyakit sosial seperti “sexually transmitted diseases” (AIDS, penyakit kelamin, dsb) akan cenderung meningkat pula dan semakin sulit untuk dicegah.

Kelima, masih belum terselesaikannya permasalahan lama dalam rangka penyediaan sarana dan fasilitas sanitasi dasar yang sehat seperti air bersih, sarana pembuangan kotoran dan limbah, perumahan yang sub standar, dan sebagainya juga akan berpengaruh terhadap upaya pemberantasan penyakit menular akibat buruknya sanitasi. Dengan demikian beberapa penyakit menular seperti diare, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), tuberculosa paru, malaria, dan demam berdarah dengue diperkirakan menjadi masalah kesehatan masyarakat meskipun angka kematiannya berhasil ditekan.

Ciri- ciri permukiman padat penduduk menurut Soemarwoto, adalah sebagai berikut:

  1. Jalan berupa gang kecil, dan
  2. Berada dipusat kota

Pengertian Sanitasi (skripsi dan tesis)

 

Sanitasi adalah suatu upaya memelihara dan mencegah terjadinya penyakit, sehingga dapat memperbaki dan meningkatkan derajad kesehatan. Pada awalnya sanitasi didifinisikan sabagai usaha menyangkut pemberantasan dan pencegahan penyakit  (Purdom, 1971).

Semua pengertian mengenai pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah tergabung dalam ilmu suatu ilmu khusus yang disebut ilmu pemeliharaan kesehatan atau yang lazim disebut Ilmu Kesehatan masyarakat (Public Health). Istilah sanitasi mempunyai tujuan yaitu mengusahakan cara hidup sehat, sehingga seseorang terhindar dari suatu penyakit. Usaha sanitasi adalah merupakan usaha mencegah penyakit yang dititik beratkan pada penghindaran penyakit yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan hidup, seperti makan, minum, perumahan, penyediaan air minum, kebersihan individu, pembuatan WC yang memenuhi syarat dan lain sebagainya (Ahmad, 1995).

Departemen Kesehatan merupakan salah satu instansi teknis yang ikut bertanggung jawab dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup yang terkait erat dengan masalah kesehatan, melalui upaya peningkatan kesehatan lingkungan. Oleh karena itu peningkatan kesehatan lingkungan yang dikembangkan oleh sektor kesehatan bertujuan untuk mewujudkan kondisi lingkungan yang mampu mendorong derajad kesehatan masyarakat dan keluarga yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan produktivitas masyarakat sebagai bagian dari perwujudan pengembangan sumber daya manusia. Pada dasarnya upaya peningkatan kesehatan lingkungan yang dilaksanakan oleh sektor kesehatam merupakan rangkaian proses kegiatan guna meningkatkan kemampuan manusia untuk hidup serasi dengan lingkungannya, mempengaruhi cara interaksi manusia dengan lingkungannya, dan mengawasi serta mengembangkan unsur-unsur lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta kemampuan yang ada (DepKes, 1992)

Usaha kesehatan masyarakat (public health) mempunyai dua usaha pokok yaitu :

  1. Usaha Kesehatan Preventif

Termasuk dalam kesehatan preventif adalah :

1)   Sanitasi Lingkungan (Environmental Sanitation)

2)   Hygiene Perorangan (Individual Hygiene)

3)   Kedokteran Preventif (Preventive Medicine)

  1. Usaha Kesehatan Kuratif

Termasuk dalam usaha ini adalah :

1)   Pengobatan (Curative Medicine)

2)   Perawatan (Nursing)

3)   Rehabilitasi (Rehabilitation)

Dalam dunia modern, usaha kesehatan masyarakat lebih mementingkan usaha kesehatan preventif, walaupun kedua usaha tersebut di atas sama pentingnya dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena ada suatu faham yang mengatakan bahwa “Prevention is Better than Cure” yang artinya “Pencegahan lebih baik dari pengobatan”. Pendapat ini berlandaskan pemikiran, bahwa usaha kesehatan preventif lebih menguntungkan secara sosial ekonomi, sebab biaya yang dikeluarkan untuk pencegahan lebih sedikit dibanding setelah orang jatuh sakit (biaya dokter, perewatan di rumah sakit, obat-obatan dan lain-lain) (Ahmad, 1995)

Pengolahan Air Limbah (skripsi dan tesis)

 

Tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD, partikel tercampur, serta membunuh organisme patogen. Selain itu diperlukan juga tambahan pengolahan untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat didegradasikan agar konsentrasi yang ada menjadi rendah (Sugiharto, 1987). Untuk itu diperlukan pengolahan secara bertahap agar bahan tersebut di atas dapat dikurangi.

Beberapa cara prngolahan air limbah yang telah diterapkan dan terus dikembangkan secara umum dibagi menjadi tiga metode pengolahan (Ginting, 1995), antara lain pengolahan secara fisik, kimia dan biologis.

  1. Pengolahan Fisik

Maksud dilakukan pengolah fisik adalah untuk mengurangi sifat – sifat fisik air limbah seperti zat – zat padat baik pasir atau zat padat kasar terapung maupun terlarut. Yang termasuk dalam pengolahan fisik / fisika adalah Screen, Comunitor, Grid Chamber, Sedimentasi, Flotasi, Filtrasi.

  1. Screen, biasanya merupakan tahap awal pada proses pengolahan air limbah. Proses ini bertujuan untuk memisahkan potongan – potongan kayu, plastik dan sebagainya.
  2. Comunitor, bertujuan untuk memecahkan benda – benda kasar dalam air limbah kasar yang masih lolos dari unit screen.
  3. Grid Chamber, bertujuan untuk menghilangkan kerikil, pasir dan partikel – partikel lain yang dapat mengendap di dalam saluran dan pipa – pipa serta untuk melindungi pompa – pompa dan peralatan lain dari penyumbatan, abrasi dan overloading.
  4. Sedimentasi, adalah pemisahan partikel dari air dengan memanfatkan gaya gravitasi. Proses ini bertujuan untuk memperoleh air buangan yang jernih dan mempermudah proses penanganan lumpur.
  5. Flotasi, berfungsi untuk memisahkan benda – benda terapung atau yang mempunyai berat jenis lebih kecil dari berat jenis air. Salah satu caranya adalah dengan menyuplai oksigen bertekanan sehingga partikel mengapung di permukaan air limbah.
  6. Filtrasi, berfungsi untuk memisahkan sisa suspended solid yang tertinggal setelah pengolahan biologis atau kimia. Filtrasi dapat menggunakan media pasir dan kerikil. Filtrasi biasanya ditempatkan pada pengolahan tingkat ketiga apabila pengolahan pertama dan kedua masih kurang bagus kualitasnya.
  7. Pengolahan Kimia

Pengolahan secara kimia pada air limbah, lazimnya digunakan untuk menghilangkan partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam – logam berat, senyawa phosphor dan organik beracun. Prinsip pengolahan secara kimia adalah dengan membubuhkan bahan kimia tertentu pada air limbah, sehingga terjadi perubahan sifat pada air limbah, yaitu; perubahan dari tak dapat mengendap menjadi dapat mengendap (koagulasi dan flokulasi), serta dari air limbah yang beracun menjadi tak beracun (netralisasi) dan dengan cara – cara lainnya.

  1. Pengolahan Biologis

Unit proses biologi adalah proses – proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan aktifitas kehidupan mikroorganisme untuk memindahkan polutan. Dalam unit proses pengolahan air limbah secara biologis, diharapkan terjadi proses penguraian secara alami untuk membersihkan air sebelum dibuang. Perbedaan mendasar antara proses alami dan artifisial adalah dalam hal intensitas proses. Dibandingkan dengan proses alami, proses biologi biasanya berlangsung lebih cepat dan membutuhkan tempat yang lebih sedikit. Hal ini merupakan keuntungan utama dalam proses biologi. Namun peningkatan intensitas menyebabkan proses lebih sensitif sehingga memerlukan proses kontrol yang intensif dan teliti. (Siregar, 2005)

 

 

Pengaruh Buruk Air Limbah (skripsi dan tesis)

 

Air limbah sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia mengingat banyak penyakit yang ditularkan melalui air limbah. Air limbah ini ada yang berfungsi sebagai pembawa penyakit saja seperti kolera, radang usus, hepatitis, tetapi air limbah juga mengandung banyak organisme patogen penyebab penyakit seperti virus, vibrio kolera, salmonella spp., Shigella spp., Basillus anthraksis, dan jenis mikroorganisme patogen lainnya. Air limbah juga mengandung bahan beracun penyebab iritasi, bau, dan suhu yang tinggi serta bahan mudah terbakar (Udin et al., 1991).

Air limbah mempunyai sifat fisik, kimiawi dan bakteriologi yang dapat menjadi sumber pengotoran lingkungan. Apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat menimbulkan pencemaran air permukaan, air tanah atau lingkungan hidupnya. Disamping itu kadang – kadang menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak menyenangkan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran pada Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air. Sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengurangi dampak buruk air limbah terhadap lingkungan.

Air Limbah Domestik (skripsi dan tesis)

  

            Yang dimaksud dengan air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari kegiatan rumah tangga, yang terdiri dari bahan buangan tubuh manusia dan pembersih tubuh, pakaian, dan peralatan rumah tangga. Air limbah domestik yang berasal dari bahan buangan manusia dari tinja dan air kemih, sedang yang berasal dari penyiapan bahan makanan dan pembersihan misalnya : sisa bahan makanan, bahan pencuci, bahan pembersih, dan lain – lain.

Air limbah domestik berwarna abu-abu keruh dan tidak begitu merangsang baunya ketika masih baru. Air limbah domestik terdiri dari air dan padatan terapung dan tersuspensi, koloid dan terlarut (Mara, 1976). Di daerah tropik air limbah domestik akan segera kehilangan oksigen sehingga menyebabkan bau busuk yang sangat menyengat.

Padatan dalam air limbah terdiri dari fraksi anorganik dan fraksi organik. Fraksi anorganik meliputi butiran kasar, garam dan logam. Fraksi organik meliputi protein, karbohidrat, lemak, dan minyak (Reynolds, 1995). Di samping senyawa kimia, tinja dan air kemih juga mengandung  berjuta bakteri usus an sejumlah organisme lain. Sebagian besar bakteri tidak berbahaya, bahkan bermanfaat, tetapi sebagian kecil mampu menimbulkan penyakit. Senyawa organik terutama protein dan karbohidrat adalah makanan yang paling disukai oleh bakteri, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penogolahan air limbah secara biologi.

Sumber utama air limbah domestik berasal dari perumahan dan daerah perdagangan, sementara sumber lainnya adalah perkantoran atau lembaga serta dari tempat rekreasi. Untuk daerah perumahan, air limbah domestik biasanya diperhitungkan melalui jumlah kepadatan penduduk dan rata – rata tiap orang dalam membuang air limbahnya. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk di suatu permukiman,  maka semakin besar jumlah air limbah yang dihasilkan (Metcalf dan Eddy, 1991 ).

 

Karakteristik Air Limbah (skripsi dan tesis)

 

            Karakteristik air limbah dapat dibedakan menurut kualitas dan kuantitasnya. Yang dimaksud dengan kualitas karakteristik air buangan adalah ditinjau dari segi fisik, kimia, dan biologi; sedangkan kuantitasnya adalah besarnya kapasitas atau debit air buangan yang dihitung berdasarkan pemakaian dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari baik itu domestik maupun non domestik.

Secara umum karakteristik kualitas air buangan dapat ditentukan oleh dua faktor yaitu: kadar Suspended Solid (SS) dari air buangan dan kadarBiological Oxygen Demand (BOD) air buangan. Karakteristik air buangan menurut kualitasnya terdiri dari :

  1. Sifat Fisik
  • Warna

Warna air buangan dipengaruhi oleh umur, komposisi zat yang terdapat dalam air buangan dari proses dekomposisi yang dilakukan mikroorganisme terhadap zat yang terkandung dalam air buangan tersebut. Perubahan warna dimulai dari warna kuning, coklat tua, kelabu, yang akhirnya menjadi hitam dimana pada saat itu kadar oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk proses dekomposisi mendekati nol.

  • Bau

Bau yang dihasilkan dari dekomposisi zat organik diantaranya berupa gas H2S, NH3 dan CH4. Bau yang timbul ditentukan oleh umur air buangan, bau yang tajam biasanya dimulai pada saat proses penguraian yang menghasilkan gas.

  • Temperatur

Temperatur merupakan parameter yang dapat mempengaruhi kehidupan di dalam air yaitu mengubah reaksi kimia dan mempengaruhi penggunaan sumber daya air. Temperatur air buangan biasanya lebih tinggi dari temperatur air bersih, hal ini disebabkan adanya panas dari aktivitas domestik dan industri. Temperatur dapat mempengaruhi proses penguraian, aktifitas dan perkembangan mikroorganisme serta berpengaruh pada kelarutan oksigen (dissolved oxygent) menjadi lebih kecil. Hal ini mengakibatkan timbulnya bau lebih cepat dan perubahan komposisi zat organik serta viskositas cairan akan bertambah.

  • Kekeruhan

Kekeruhan disebabkan oleh adanya zat padat yang tidak terlarut dalam air. Zat padat dibedakan menjadi zat padat yang tersisa setelah pemanasan pada temperatur 600°C.

  1. Sifat Kimia
  • Zat Organik

Zat organik berasal dari tumbuhan, hewan dan aktivitas manusia yang tersusun dalam komposisi ikatan karbon, H2O, O2 bersama N2. Unsur lain yang biasanya terdapat dalam air buangan adalah sulfur, fosfor dan besi. Dalam air buangan domestik terkandung 40-60 % protein, 25-50 % karbohidrat dan 10 % lipida.

  • Zat Anorganik

Beberapa komponen zat anorganik dari air buangan adalah sangat penting untuk meningkatkan dan pengawasan kualitas air minum. Pemeriksaan zat anorganik biasanya dilakukan terhadasp pH, logam berat, nitrogen, fosfor, dan zat-zat beracun. Pendekatan komposisi air buangan domestik menurut T.H.Y Tebbut (1970), adalah sebagai berikut :

  • Gas – Gas

Gas-gas dihasilkan oleh aktifitas biologis dan reaksi kimia yang terdapat dalam air buangan. Gas-gas ini berasal dari atmosfer (N2, O2, CO2) dan dekomposisi zat organik (H2S, NH3, CH4).

  1. Sifat Biologi

Bakteri – bakteri yang berada dalam air buangan berupa bakteri aerobik, anaerobik dan fakultatif, macam – macam bakteri tersebut adalah :

–     Bakteri patogen berasal dari buangan manusia yang sifatnya sangat berbahaya.

–     Bakteri Coli sebagai indikatorpencemaran karena coli mudah dikembangbiakkan dan selalu ada di dalam tinja manusia.

 

 

Bakteri Acetobacter xylinum (skripsi dan tesis)

 

Acetobacter adalah sebuah genus bakteri penghasil asam asetat, ditandai dengan kemampuannya mengubah etanol (alkohol) menjadi asam asetat (asam cuka) dengan bantuan udara. Ada beberapa bakteri dari golongan lain yang mampu menghasilkan asam asetat dalam kondisi tertentu, namun semua anggota genus Acetobacter dikenal memiliki kemampuan ini.

Bakteri-bakteri Acetobacter dikenal penting secara komersial, antara lain karena dapat digunakan dalam produksi cuka (dengan sengaja mengubah etanol pada anggur menjadi asam asetat namun dapat juga merusak anggur, dengan menghasilkan asam asetat atau etil asetat, yang merusak rasa anggur tersebut. Pertumbuhan Acetobacter pada anggur dapat dicegah dengan sanitasi yang efektif, pemisahan udara dari anggur secara sempurna, maupun penggunaan secukupnya sulfur dioksida sebagai pengawet pada anggur. Di laboratorium, Acetobacter dikenali dengan mudah dengan pertumbuhan koloninya di medium yang mengandung 7% etanol, dan ditambahi kalsium karbonat secukupnya untuk memburamkan medium sebagian. Ketika koloni tersebut membentuk asam asetat yang cukup, kalsium karbonat kemudian melarut sehingga terbentuk daerah bening yang jelas pada medium. (Martinko, 2005)

Salah satu spesies acetobacter yang banyak dikenal adalah Acetobacter xylinum. Spesies ini adalah bakteri gram negatif yang memiliki kemampuan sintesis prolific selulosa yang unik yaitu dengan mensekresikan kristal-kristal mini yang bersatu membentuk microfibrils. Material ini kemudian membentuk senyawa yang lebih besar yang disebut sebagai pita. Pita inilah yang secara langsung dapat kita lihat dengan mikroskop cahaya biasa.  (Bergey’s, 1984)

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan       : Bacteria

Filum           : Proteobacteria

Kelas           : Alpha Proteobacteria

Ordo            : Rhodospirillales

Familia        : Pseudomonadaceae

Genus          : Acetobacter

Spesies         : xilynum

Gambar 2. Acetobacter Xilynum (Sdumber: Bergey’s, 1984)

Keterangan:

  1. Dinding sel
  2. Membran sel
  3. Kapsul
  4. Citoplasma

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBUATAN  NATA (skripsi dan tesis)

 

Untuk menghasilkan produksi nata yang maksimal perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

 

 

  1. Jenis dan konsentrasi medium

Medium fermentasi ini harus banyak mengandung karbohidrat (gula) disamping vitamin dan mineral, karena pada hakekatnya nata tersebut adalah slime ( menyerupai kapsul) dari sel bakteri yang kaya selulosa yang diproduksi dari glukosa oleh bakteri Acetobacter xylinum.

Pembentukan nata terjadi karena proses pengambilan glukosa dari larutan gula kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk precursor (penciri nata) pada membrane sel. Precursor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa yang merupakan bahan dasas pembentukan slime (Palungkun,1993).

Menurut Rahman (1992) nata ini merupakan hasil fermentasi dari Acetobacter xylinum, bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang dalam medium gula dan akan mengubah gula menjadi selulosa. Kadar karbohidrat optimum untuk berlangsungnya produksi nata adalah 10%.

  1. Jenis dan konsentrasi starter

Pada umumnya Acetobacter xylinum merupakan starter yang lebih produktif dari jenis starter lainnya, sedang konsentrasi 5-10% merupakan konsentrasi yang ideal (Rahman, 1992).

 

 

  1. Lama fermentasi

lama fermentasi yang digunakan dalam pembuatan nata pada umumnya 2-4 minggu. Minggu ke-4 dari waktu fermentasi merupakn waktu maksimal produksi nata, yang berarti lebih dari 4 minggu prodfuksi nata akan menurun (Awang, 1991).

  1. Suhu fermentasi

pada umumnya suhu untuk pertumbuhan bakteri pembuat nata adalah suhu kamar (280C). suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan menggangu pertumbuhan bakteri pembuat nata yang akhirnya juga akan menghambat produksi nata.

  1. pH fermentasi

derajat keasaman yang dibtuhkan dalam pembuatan nata adalah 3-5 atau dalam suasan asam. Pada kedua sisi pH optimum, aktifitas enzim seringkali menurun dengan tajam. Penurunan pH bisa terjadi akibat fermentasi karbohidrat menjadi asam, sehingga semakin lam fermentasinya maka akan semakin cenderung terjadi penurunan pH medium.

  1. Jenis dan konsentrasi suplemen

kandungan karbohidrat dalam bahan untuk membuat nata merupakan bahan yang terpenting. Limbah dengan kadar karbohidrat rendah jika ingin digunakan sebagai medium pembuatan nata perlu ditambahkan gula pasir.

 

  1. Tempat fermentasi

Tempat fermentasi sebaiknya tidak terbuat dari unsur logam karena mudah korosif yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroorganisme pembuat nata, yang akhirnya dapat mengganggu pembuatan nata. Disamping itu tempat fermentasi diupayakan untuk tidak mudah terkontaminasi, tidak terkena cahaya matahari  secara langsung, jauh dari sumber panas, dan jangan sampai langsung berhubungan dengan tanah. Hasil penelitian Hubeis dkk (1996) tempat fermentasi yang mempunyai permukaan lebih luas akan menghasilkan nata lebih tebal dari pada tempat fermentasi yang mempunyai permukaan sempit.

UREA (skripsi dan tesis)

 

Urea merupakan senyawa organic yang terdiri dari karbon, nitrogen, oksigen, dan hidrogen, dengn rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga dikenal dengan karbamid, khususnya dalam penggunaannya di Eropa. Urea merupakan senyawa organic pertama yang dapat disintesa secara buatan dari material inorganik.

Urea diproduksi secara komersial dari dua material, yaitu ammonia dan karbon dioksida. Karbon dioksida sendiri merupakan hasil produksi dari pembuatan Amonia dari hidrokarbon. Produksi Urea terjadi pada reaksi kimia yang setimbang pda konversi tertentu.

Dua reaksi yang menjadi pronsip sinteas urea adalah

Reaksi pertama bersifat eksotermis:

2NH3 + CO2 → H2N-COONH4 (ammonium carbamate)

Sedangkan reaksi kedua bersifat endotermis

H2N-COONH4 → (NH2)2CO + H2O

Namun secara keseluruhan reaksi bersifat eksotermis.

Urea merupakan denaturant protein yang sangat kuat. Sifat ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kelarutan dari beberapa jenis protein. Menurut Adi (2006), Urea adalah sumber nutrisi bagi bakteri yang melakukan fermentasi sari kelapa atau whey menjadi nata. Fungsi utamanya sebagai penyedia nitrogen, dng adanya suplai nitrogen tambahan, bakteri akan berkembang  biak  secara cepat. Sebenarnya di dalam air kelapa atau whey sudah ada nitrogen, namun dalam bentuk organik, sehingga tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh bakteri karena bakteri hanya dapat menggunakan nitrogen dalam bentuk inorganik: – nitrate [NO3] atau ammonium [NH4+].

PEPTON (skripsi dan tesis)

 

Pepton pada dasarnya adalah salah satu jenis peptida yang dihasilkan dari daging hewan yang dicerna oleh enzim proteolases. Sedangkan peptida adalah sebuah molekul yang tersusun dari berbagai macam asam amino yang mengandung Nitrogen (N). Dalam bentuk yang lebih besar, molekul petida bergabung satu sama lain menjadi sebuah protein.

Pemanfaatan peptone dalam proses mikrobiologi khususnya proses fermentasi adalah sebagai sumber protein (N) dalam media nutrient untuk perkembangan bakteri dan jamur. Pepton dapat diformulasikan dalam bentuk padat maupun cair untuk kultur jaringan selektif maupun non selektif. Kandungan peptone dapat dilihat pada tabel berikut: (Krisno, 2000)

EKSTRAK YEAST (skripsi dan tesis)

 

Yeast adalah jamur unicellular. Klasifikasi yeast secara tepat didasarkan pada karakteristik dari selnya, koloninya serta secara fisiologis untuk mengidentifikasi spesiesnya. Salah satu kemampuan yeast yang paling banyak dikenal adalah kemampuannya dalam memfermentasi gula menjadi etanol. Yeast berkuncup adalah jamur sejati dari dilum  Ascomycetes, kelas Saccharomycetes (juga dikenal dengan Hemiascomycetes). Yeasts sejati dibagi menjadi satu ordo utama yaitu Saccharomycetales (Skinner et al, 1980).

Yeast berkembang biak dalam satu sel yang terdiri dari kuncup-kuncup (contohnya Saccharomyces) atau dalam bentuk utuh (contohnya Schizosaccharomyces), atau bahkan ada yang tumbuh sebagai filament sederhana (mycelium). Salah satu spesies yeast yang paling dikenal dan banyak dipakai adalah Saccharomyces cerevisiae. Organisme ini telah banyak digunakan dalam proses fermentasi gula dari nasi, terigu, anggur, dan jagung untuk memproduksi minuman beralkohol dan juga digunakan dalam industri pembuatan roti untuk mengembangkan adonan. Yeast seringkali digunakan sebagai sumber vitamin, karena terdiri dari 50 persen protein dan kaya akan vitamin B,  dan asam folat. (Skinner et al, 1980)

Menurut Sikyla (1983) yeast sebagai substansi organik yang mengandung protein, dapat menjadi sumber nitrogen yang baik untuk pertumbuhan mikroba, sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi yeast dalam proses fermentasi nata de soya adalah sebagai sumber nitrogen bagi perkembangan Acetobacter.

 

KARAKTERISTIK AIR LIMBAH TAHU (skripsi dan tesis)

 

Limbah cair tahu sangat potensial untuk mencemari badan air. Karakteristik limbah cair tahu, meliputi :

  1. Temperature

Temperature yang digunakan dalam proses pembuatan tahu yaitu sekitar 600 – 800C, inilah yang menyebabkan temperature limbah cair tahu lebih tinggi dibanding dengan temperature normal badan air.

  1. Warna

Warna air buangan transparan hingga kekuningan muda, disertai dengan suspensi warna putih. Jika air buangan tersebut mengalami penguraian maka akan berubah warna menjadi hitam dan bau. Hal ini dikarenakan kadar O2 dalam air buangan menjadi nol.

  1. Bau

Disebabkan terjadinya proses pemecahan protein dan karbohidrat oleh mikrobia alam, sehingga timbul bau busuk dari gas H2S.

  1. Kekeruhan

Disebabkan zat organik terlarut yang terpecah sehingga air limbah berubah seperti emulsi keruh.

  1. pH (derajat keasaman)

Dalam limbah cair tahu banyak mengandung bahan-bahan organik, apabila limbah cair tersebut dibuang ke perairan maka pH dapat menjadi asam, hal ini disebabkan pertumbuhan bahan-bahan organik yang kemudian membebaskan CO2 jika mengurai (Sastrawijaya, 1991).

  1. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Menunjukan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk aktifitas mikrobia dalam memecah zat organik biodegradasi dalam air buangan. Untuk mengetahui besarnya jumlah zat organik yang terlarut dalam air buangan dapat diketahui dengan melihat besarnya angka BOD. Angka BOD dalam satuan mg/l dan biasanya dinyatakan dalam beban yaitu gram atau kilogram persatuan waktu.

  1. COD (Chemical Oxygen Demand)

COD adalah parameter yang menunjukkan zat organik non biodegradasi, selain itu juga zat yang dapat dioksidasi oleh zat kimia K2Cr2O7 dalam asam, seperti SO3, NO2 kadar tinggi dan zat-zat reduktor lainnya. Besarnya angka COD biasanya lebih besar dari angka BOD sampai 2-3 kali.

  1. DO ( Demand Oxygen)

Angka DO pada air limbah tahu biasanya sangat rendah sekitar 0.1 mg/l.

  1. Logam

Logam pada limbah cair tahu biasanya berasal dari peralatan masak yang digunakan, atau dapat juga dari air yang digunakan selama proses.

  1. SS (suspended Solid)

Suspended solid yaitu berat atau banyaknya partikel-partikel zat padat yang tersuspensi dalam 1 liter zat cair (Sutjipto, 1983).

Suspended solid yang sebagian besar terdiri atas senyawa organic mengalami dekomposisi yang memerlukan banyak oksigen sehingga dapat menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air. Suspended solid yang mengendap dibadan air akan mengganggu kehidupan organisme dan dapat menyebabkan bau busuk (Sastrawijaya, 1991).

 

 

Air buangan industri tahu (skripsi dan tesis)

 

Pada umumnya industri tahu menggunakan air untuk proses maupun untuk pencucian alat dan kedelai. Sebagian besar air yang telah digunakan dibuang kelingkungan. Disamping dalam bentuk cair, limbah tahu juga keluar dalam bentuk padat. Buangan padat pada umumnya tidak menimbulkan masalah, karena setelah diperam, ampasnya dapat

dipergunakan sebagai makanan ternak. Sedangkan buangan cair berasal dari campuran :

  1. Air bekas masak kedelai pertama (kulit pecah)
  2. Air pencuci kupas kulit
  3. Air sisa proses koagulasi dan pemasakan
  4. Air bekas cucian saringan dan bilasan peralatan

Sifat-sifat air buangan industri tahu menurut Hanafi(1982) adalah:

  1. Warna keruh karena tingginya kandungan tersuspensi
  2. Bau kecut berasal dari amoniak dan hidrogen sulfida yang merupakan hasil dekomposisi senyawa protein didalam air buangan tersebut
  3. pH rendah, karena menggunakan asam cuka dalam pembuatan tahu
  4. bahan organik tinggi

Karakteristik Meter (skripsi dan tesis)

Setiap meter air mempunyai beberapa karakteristik yaitu karakteristik fisik, operasional dan performance. Karakteristik berkaitan dengan ukuran dan berat meter untuk setiap diameter. Karakteristik performance meliputi kapasitas nominal, maksimal, minimal, trasisi, serta tingkat ketelitian pengukuran terhadap aliran ( Flow ) tertentu. Sedangkan karakteristik operasional berhubungan dengan kemampuan mulai menditeksi aliran kecil, satuan kemampuan pencatatan maksimum dan minimum serta tekanan kerja. Karakteristik ini diperoleh dengan melakukan pengujian laboratorium yang sesuai.

Dengan belum adanya  standar yang baku maka setiap produsen meter akan menawarkan meter dengan karakteristik tertentu yang ada kalanya berbeda satu sama lainnya. misalnya dalam hal ukuran badan meter, poin pencatat maksimum dan minimum starting-flow, kurva performance dan lain- lain. Dalam tabel 2.1 dapat dilihat beberapa perbedaan karakteristik  tersebut untuk diameter 13/15mm antara beberapa merk.

 

Tabel 2. 1        Contoh perbedaan karakteristik antara beberapa merk meter.

Karakteristik Merk Meter
PAM

Puji

Line – Flow

Saeseoul

B & R
Panjang tanpa coupling 165 163 165 165 165
Panjang dengan coupling 253 260 279 245
Starting – flow (L/jam) 8 18 12 15
Maksimum – Flow (m3/jam) 3 3 3 2 3
Maksimum kecepatan (m3) 105 105 104 104 105
Minimum Pencatatan (L) 0,1 1 1 1 0,1

Kurva Performance    :  PAM (a), Puji (b),Line-Flow (c) Saeseoul (d), Bopp dan Reuther (e).

Sumber                        : Brosur Spesifikasi meter.

 

 

  • Karakteristis

Dalam membicarakan karakteristik meter air khususnya karakteristik performance, ada beberapa besaran debit (Q) yang harus diperhatikan sehubungan dengan kemampuan ukur meter air.

  1. Qmax, adalah debit terbesar yang dapat berlangsung pada meter air selama periode tertentu tanpa mengalami kerusakan, melampaui kesalahan maksimum yang di izinkan, atau melampaui nilai kehilangan tekanan maksimum.
  2. Qn ( Kemampuan ukur nominal ) merupakan besaran yang dipakai sebagai petunjuk tingkat kemampuan ukur meter air, yaitu ½ Qmax
  3. Batas peralihan (Qt) adalah debit yang merupakan batas antara rentang aliran dengan kesalahan ukur maksimum yang diizinkan sebesar + 5 % dan rentang aliran dengan kesalahan ukur maksimum sebesar + 2 %.
  4. Qmin adalah debit terkecil yang harus dipenuhi meter air dalam batas kesalahan maksimum yang diizinkan
  5. Kepekaan / Starting-flow (Qst) adalah debit terkecil yang diperlukan untuk menggerakkan komponen penghitung meter air.

 

Standar yang berlaku di banyak negara memberikan batas toleransi kesalahan pengukuran yang di izinkan sebagai berikut:

  • + 5 % s/d –  5% Untuk aliran di bawah Qt
  • + 2 % s/d – 2 % untuk aliran diatas Qt

 


  • Pengaruh Gangguan Terhadap Performan.
  • Udara

Udara yang terdapat pada meter air dapat menyebabkan gangguan. Gangguan ini akan terlihat terutama pada waktu dilakukan pengujian terhadap meter tersebut.

Pengaruh gangguan udara tersebut ada 2 macam:

  • Pada fluktuasi tekanan yang kecil, pemampatan udara mengakibatkan terjadinya gelombang yang seiring dengan aliran air, sehingga menyebabkan bertambahnya kesalahan positif ( Q meter > Q air ).
  • Adanya gelembung udara pada “gear-wheel” merupakan hambatan sehingga menyebabkan penambahan kesalahan negatif ( Q air > Q meter).

Kedua pengaruh diatas terutama dirasakan pada aliran yang kecil (Q min). pada aliran yang lebih besar, tidak ada terlihat pengaruh yang berarti.

  • Gangguan suplai

Dalam hal ini gangguan yang dimaksud adalah gangguan yang terdapat pada sistem perpipaan, seperti belokan, distribusi kecepatan yang tidak simetris (merata). Hal ini dapat diatasi dengan mengusahakan agar pipa lurus yang berhubungan langsung dengan

Pengenalan Jenis Jenis Meter Air (skripsi dan tesis)

  • Jenis meter Vane – Wheel.

Meter jenis ini mempunyai suatu kincir yang terdiri atas sudu – sudu berjarak antara 30 sampai dengan 90 derajat dengan tujuan menghindari putaran yang terlalu cepat. Air yang masuk akan diukur dengan sudut singgung 45 derajat untuk menghindari titik mati sehingga bagaimanapun posisinya, setiap sudu-sudu selalu dalam keadaan sensitif terhadap aliran air. Untuk itu meter dilengkapi dengan lubang-lubang yang terdapat disekeliling dinding tabung dengan arah tangensial terhadap dinding tabung tersebut. Air yang mengalir masuk kedalam meter akan menggerakkan kincir ynag berhubungan dengan suatu mekanisme penghitungan.

Meter jenis vane ini dapat dibagi lagi menjadi single – jet dan multi jet meter. Masing masing mempunyai dua tipe, yaitu tipe basah dan tipe kering.

  • Single jet

Lubang pemasukan dan pengeluaran  air hanya satu sehingga tekanan yang terjadi pada sudu – sudu kuat dan tidak merata. Hal ini menyebabkan umur teknis lebih pendek karena itu harganya relatif lebih murah.

  • Multi Jet.

Lubang pemasukan dan pengeluaran air lebih dari satu sehingga tekanan yang terjadi pada sudu – sudu lebih lemah dan merata. Hal ini menyebabkan umur teknis lebih lama dan harganya pun relatif lebih mahal.

  • Tipe Basah

Air membasahi sudu – sudu, roda gigi dan dial.

Keuntungan    :  Starting Flow lebih rendah

Kerugian         : Jika kualitas air tidak baik, pembacaan angka meter tersebut jadi terganggu.

  • Tipe Kering

Air membasahi sudu-sudu, tapi tidak membasahi roda gigi dan dial. Mekanisme meter menggunakan trasmisi magnetik .

Keuntungan    :  Pembacaan angka meter tersebut tidak terganggu dengan kualitas air.

  • Jenis Meter Turbin / Propeller.

Pada dasarnya kedua meter ini hampir sama. Perbedaanya kalau meter turbin sudu – sudunya mulai berputar bila ada aliran air yang menggerakkan  sedangkan Propeller bila sudu – sudunya digerakkan maka air di sekelilingnya melaju. Jenis meter tersebut mula-mula ditemukan oleh : Tn. Renhard Woltman. Kegunaanya untuk mengukur udara maupun cairan. Dengan menghitung jumlah putaran pada satu satuan waktu dan dengan diketahui diameter pipa maka dapat dihitung besar discharge.

Untuk diameter yang sama dibandingkan dengan jenis meter vane, meter woltman mempunyai kapasitas yang lebih besar dengan kehilangan tekanan yang lebih rendah tetapi kepekaanya kurang.

Ada dua jenis tipe woltman ini, yaitu :

  • Woltman Tipe horizontal
    • Posisi Propeller Horizontal
    • Dapat dipasang pada pipa horizontal dan Vertikal.
    • Aliran air diteruskan secara garis lurus.
    • Kehilangan tekanan lebih rendah.
    • Harga relatif lebih rendah, umumnya digunakan untuk keperluan domestik.


  • Woltman Type Vertikal.
    • Hanya dipasang pada pipa Vertikal.
    • Posisi Propeller
    • Aliran air mengalami pemisahan beberapa kali
    • Kehilangan tekanan lebih besar.
    • Harga relatif lebih mahal, umumnya digunakan untuk meter Industri.
    • Batasan pengukuran Minimum lebih baik.
  • Jenis Meter Venturi

Jenis meter ini mula-mula ditemukan oleh Ir Venturi dari Italia. Prinsip kerjanya menggunakan Hukum Bernauli, yaitu selisih tekanan maksimum dan minimum sebagai fungsi dari kecepatan air. Jenis meter Venturi ini banyak dipakai untuk pengukuran besar, seperti pada unit-unit produksi yang dilengkapi dengan alat remote sehingga dapat dicatat pada tempat yang berjarak dari alat venturi tersebut. Secara umum, jenis meter venturi mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan jenis Meter Woltman.

  • Jenis Meter Orifice.

Jenis meter ini adalam modifikasi dari meter venturi dengan bentuk yang lebih kecil dan praktis. Prinsip kerjanya sama, hanya mempunyai kehilangan tekanan yang lebih besar dari meter jenis venturi.

  • Jenis Meter

Jenis meter ini disebut Piston displacement, rotary piston, atau volumetric piston type. Prinsipnya dengan adanya aliran air maka piston jalan. Ciri dari meter ini mempunyai ketelitian yang tinggi namun kehilangan tekanan cukup besar.

  • Jenis Nutating – Disc – Meter.

Prinsip kerja dan kualitasnya hampir sama dengan meter piston. Jenis meter ini banyak digunakan untuk keperluan Domestik di USA.

  • Jenis Meter Coumpound.

Meter ini sebenarnya gabungan antara meter-meter kecil dengan meter besar, disatukan dan dilengkapi dengan katub – katub yang peka terhadap kecepatan aliran. Pada aliran kecil, katub – katub tertutup sehingga aliran air diteruskan lewat by-pass yang berupa meter kecil. Sedangkan untuk aliran besar, katub terbuka dan aliran dapat masuk ke meter besar. Dengan coumpound meter ini ketelitian jauh lebih baik dari pada meter tunggal.

  • Jenis Induction meter.

Dasar kerjanya menggunakan prinsip medan magnet yang dapat dipotong oleh aliran air yang akan diukur volumenya. Untuk kecepatan yang berbeda-beda maka medan magnet yang dipotong juga berbeda, dan perbedaan ini dapat diikuti oleh alat perasa (sensing device). Signal – signal ini kemudian dikuatkan lalu besarnya perubahan dikalibrasi terhadap aliran fluidanya sehingga didapat hubungan antara perubahan medan magnet dengan kecepatan aliran air untuk mengetahui volume air.

Klasifikasi Meter Air (skripsi dan tesis)

Untuk dapat mengukur jumlah air yang diproduksi, yang didistribusikan dan yang sampai kepada masing – masing pelanggan, diperlukan alat ukur air ( meter air ) . ada banyak jenis meter air yang dapat digunakan , pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok :

  • Displacement meter.
  • Velocity meter.

Displacement meter disebut juga Volumetric meter, terutama digunakan untuk aliran yang relatif kecil. Biasanya digunakan pada konsumen dengan pemakaian air kecil sampai sedang. Prinsip kerja meter kelompok ini adalah dengan melewatkan air sebagian – sebagian, setelah memenuhi suatu bagian penampang dalam meter (kontainer) yang diketahui volumenya. Banyaknya aliran (flow) diketahui dengan mencatat beberapa kali kontainer tersebut penuh dan kosong. Jenis meter air yang termasuk kedalam kelompok ini adalah  jenis Nutating – Disk Meter, Rotary dan Reciprocating.

 

 

Velocity meter atau pengukuran dengan kecepatan, mengukur aliran (Flow) dengan melewatkan air tersebut melalui suatu penampang yang diketahui luasnya. Kelompok meter ini biasanya digunakan untuk mengukur aliran dalam jumlah besar. Jenis meter yang termasuk kelompok ini adalah  Jenis Meter Turbin  / Propeller, Venturi, Orifice  dan Vane – Wheel Meters.

Secara umum kelompok displacement meter mempunyai ketelitian yang tinggi namun dengan kehilangan tekanan yang cukup besar dan velocity meter mempunyai kehilangan tekanan yang lebih kecil akan tetapi kepekaan/ ketelitian ukuran juga lebih rendah.