Tinjauan Mengenai Perlindungan Konsumen Muslim


Kaitannya dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama
Islam, maka atas dasar kenyataan tersebut mayoritas konsumen terbesar
adalah konsumen muslim. Di sisi lain, masih banyak aspek yang tidak
tercakup dalam sistem perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum bagi konsumen muslim, khususnya perlindungan dari
makanan yang haram.
Islam melihat sebuah perlindungan konsumen bukan sebagai
hubungan keperdataan semata melainkan menyangkut kepentingan publik
secara luas, bahkan menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah
SWT. Dalam konsep hukum Islam perlindungan atas tubuh berkait dengan
hubungan vertikal (Manusia dengan Allah) dan horizontal (sesama
manusia). Dalam Islam melindungi manusia dan juga masyarakat sudah
merupakan kewajiban negara sehingga melindungi konsumen atas barang-
barang yang sesuai dengan kaidah Islam harus diperhatikan.

Berdasarkan hal tersebut, maka masyarakat Islam (konsumen
muslim) harus mendapatkan perlindungan atas kualitas mutu barang dan
jasa serta tingkat kehalalan suatu barang dan jasa yang ditawarkan oleh
pelaku usaha. Perlindungan konsumen merupakan hak warga negara yang
pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga
negaranya khususnya atas produk yang halal dan baik, yaitu bagi konsumen
muslim. Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik
(Thoyyib) telah terdapat dalam Al-Quran:
a. Surat Al Baqarah (2) ayat 168, ayat 172 dan ayat 173
Ayat 168:
“Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syetan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Ayat 172:
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang
baik-baik dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepada-Nya kamu menyembah”.
Ayat 173:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
19
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
b. Surat Al Maa-idah (5) ayat 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,
yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang tertekam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefisikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus
asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusemprnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepada
ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lahi Maha Penyayang”.
20
Ayat 88:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada kamu yang
beriman kepada-Nya”.
c. Surat Al An’aam (6) ayat 121 dan ayat 145
Ayat 121:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan
yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu
membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu,
dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi
orang-orang yang musyrik”.
Ayat 145:
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi-karena sesungguhnya semua itu kotor-atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam
keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
21
d. Surat Al A’Raaf (7) ayat 31:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan”.
Definisi dari ”sertifikasi halal” adalah pemeriksaan yang rinci
terhadap kehalalan produk yang selanjutnya diputuskan kehalalannya
dalam bentuk fatwa MUI, sedangkan ”labelisasi halal” merupakan
perizinan pemasangan kata halal pada kemasan produk dari suatu
perusahaan oleh Departemen Kesehatan.
Ketentuan pangan halal dalam hukum positif yang mengatur khusus
mengenai sertifikasi halal dan labelisasi halal belum ada. Peraturan-
peraturan yang menjadi dasar hukum perlindungan konsumen adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Keputusan Menteri
Agama (Kepmen) Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Pasal-pasal yang relevan dengan
masalah halal adalah sebagai berikut:
22
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 8 ayat (1) huruf h menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang
tidak memenuhi ketentuan produksi secara halal sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan dalam label