Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2014 tentang jaminan
Produk Halal (UU JPH), membawa beberapa perubahan, khususnya terkait
kelembagaan penyelenggaraan sertifikasi halal. Dalam pelaksanaan UU
tersebut, maka dibentuklah BPJPH yang bekerjasama dengan lembaga lain
seperti Kementerian, LPH dan MUI. Sejak tahun 2014, beberapaproduk
regulasi terkait jaminan halal, di antaranya adalah:
Produk regulasi terkait sertifikasi halal dari tahun 2014 yang dalam
pelaksanannya terdapat beberapa isu penting yang menjadi perhatian
masyarakat, salah satunya adalah kewajiban sertifikasi halal yang didasarkan
oleh deklarasi secara mandiri oleh pelaku UMK, sehingga dalam hal ini
pelaku usaha mengacu pada standar yang ditetapkan BPJPH.
Terkait halal self declare sebagaiman tercantum pada UU Ciptaker
Pasal 48 terkait adanya perubahan pada UU JPH, yaitu disisipkannya Pasal
4A di antara Pasal 4 dan Pasal 5 bahwa adanya kewajiban sertifikasi halal
khusus pelaku UMK didasari oleh deklarasi mandiripelaku UMK tersebut
dengan mengacu pada standar halal dari BPJPH. Sehingga dapat dijelaskan
bahwa dalam pelaksanaan Pasal tersebut, halal self declare harus mengacu
pada standar yang ditetapkan BPJPH, sehingga dengan demikian masyarakat
khususnya masyarakat muslim dapat mempercayakan jaminan ketatnya
sertifikasi halal sebagaimana yang telah diatur sebelumnya yang membuat
masyarakat tetap merasa aman. Adapun pengaturan lebih mendetail terkait
hal tersebut, terdapat pada pengaturan turunannya, yaitu Pasal 79 Ayat (2)
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Jaminan Produk Halal, sebagai berikut:
“(2) Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud Ayat (1)
merupakan usaha produktif yang memiliki kekayaan bersih atau memiliki
hasil penjualan tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dengan kriteria:
a. Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan
kehalalannya; dan
b. Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana
Kemudian di ayat ke (3) Pasal tersebut dijelaskan bahwa pernyataan
pelaku usaha tersebut didasari atau merujuk kepada standar halal yang
ditetapkan oleh BPJPH. Adapun standar halal yang dimaksud adalah paling
sedikit terdiri dari:
a. Pernyataan pelaku usaha berupa akad atau ikrar yang mencakup
kehalalan produk dan bahan yang digunakan, serta adanya PPH (Proses
Produk Halal); dan
b. Terdapat pendampingan PPH, yang pada ketentuannya, pendamping
PPH dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam atau
lembaga keuangan Islam yang berbadan hukum dan/atau perguruan
tinggi. Ketika pelaku UMK mengajukan self declare (berupa pengajuan
ikrar/akad), tugas pendamping adalah sebagai pemberi jaminan atau
sebagai saksi yang dapat memperkuat bahwa pernyataan pelaku UMK
tersebut telah benar dan memenuhi persyaratan.
Dalam kebijakan halal self declare bagi UMK memang lebih
berorientasi pada kemudahan berbisnis bagi pelaku UMK, sedangkan
pemerintah mengambil peran dalam melindungi masyarakat yang
membutuhkan kejelasan kehalalan produk. di Indonesia dalam aturan tersebut
tidak digambarkan dengan jelas meskipun ada aturan turunan lainnya bahwa
deklarasi halal tersebut tidak serta merta dapat dilaksanakan tanpa adanya
pengawasan dari lembaga terkait, sehingga hal inilah yang dalam pendekatan
maṣlahah sejalan dengan tujuan syar’i yang lima dan dalam rangka mencapai
kemaslahatan dan menghilangkan/menolak kemudharatan, maka dalam
penerapannya peran produsen dalam rangka melindungi umat