Strategi pembangunan yang terlalu sentralistik merupakan contoh ketidakpastian birokrasi masa lalu terhadap variasi pembangunan masyarakat lokal dan kurang tanggap terhadap kepentingan dan kebutuhan akan masyarakat. Hal ini menyebabkan partisipasi dan spirit masyarakat untuk mengembangkan potensi lokal tidak dapat berkembang dengan wajar.
Partisipasi selain telah menjadi kata kunci dalam pembangunan, juga menjadi salah satu karakteristik dari penyelenggaraan pemerintah yang baik. Secara etimologi, partisipasi berasal dari bahasa inggris “participation” yang berarti mengambil bagian/keikutsertaan. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan “partisipasi” berarti: hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta. Secara umum pengertian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keperansertaan semua anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk ikut membuat keputusan dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan termasuk di dalamnya memutuskan tentang rencanarencana kegiatan yang akan dilaksanakan, manfaat yang akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan dan mengevaluasi hasil pelaksanaannya.
Melihat dampak penting dan positif dari perencanaan partisipatif, dengan adanya partisipasi masyarakat yang optimal dalam perencanaan diharapkan dapat membangun rasa pemilikan yang kuat dikalangan masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang ada. Geddesian (dalam Soemarmo 2005 :26) mengemukakan bahwa pada dasarnya masyarakat dapat dilibatkan secara aktif sejak tahap awal penyusunan rencana. Keterlibatan masyarakat dapat berupa: (1) pendidikan melalui pelatihan, (2) partisipasi aktif dalam pengumpulan informasi, (3) partisipasi dalam memberikan alternatif rencana dan usulan kepada pemerintah.
Bentuk lain dari partisipasi masyarakat adalah seperti yang dikemukakan oleh Robert (dalam Soemarmo, 2005). Robert pada dasarnya sependapat dengan geddesian. Ia mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat pada dasarnya diperlukan sejak awal dalam perencanaan pembangunan. Perencanaan pertisipatif menurut Robert dibagi atas perencanaan sebagai aktivitas perencana dan aktivitas masyarakat, digambarkan sebagai berikut:
Alexander Abe (2002) mengemukakan pengertian perencanaan partisipatif sebagai berikut: “perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak langsung) tujuan dan cara harus dipandang sebagai satu kesatuan. Suatu tujuan untuk kepentingan rakyat dan bila dirumuskan tanpa melibatkan masyarakat, maka akan sangat sulit dipastikan bahwa rumusan akan berpihak pada rakyat.”
Lebih lanjut Abe mengemukakan langkah-langkah dalam perencanaan partisipatif yang disusun dari bawah yang dapat digambarkan sebagai tangga perencanaan sebagai berikut:
Langkah-langkah di atas, dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut:
- Penyelidikan, adalah sebuah proses untuk mengetahui, menggali dan mengumpulkan persoalan-persoalan bersifat local yang berkembang di masyarakat.
- Perumusan masalah, merupakan tahap lanjut dari proses penyelidikan. Data atau informasi yang telah dikumpulkan diolah sedemikian rupa sehingga diperoleh gambaran yang lebih lengkap, utuh dan mendalam.
- Identifikasi daya dukung, dalam hal ini daya dukung diartikan sebagai dana konkrit (uang) melainkan keseluruhan aspek yang bisa memungkinkan target yang telah ditetapkan.
- Rumusan Tujuan. Tujuan adalah kondisi yang hendak dicapai, sesuatu keadaan yang diinginkan (diharapkan), dan karena itu dilakukan sejumlah upaya untuk mencapainya.
- Langkah rinci. Penetapan langkah-langkah adalah proses penyusunan apa saja yang akan dilakukan. Proses ini merupakan proses membuat rumusan yang lebih utuh, perencanaan dalam sebuah rencana tindak.
- Merancang anggaran, disini bukan berarti mengahitung uang, melainkan suatu usaha untuk menyusun alokasi anggaran atau sumber daya yang tersedia.
Pendekatan partisipatif dalam perencanaan pembangunan menjadikan masyarakat tidak hanya dianggap sebagai objek pembangunan semata, tetapi juga sebagai subyek dalam pembangunan. Pembangunan yang berorientasi pada masyarakat berarti hasil pembangunan yang akan dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat, selain itu juga resiko akan ditanggung pula oleh masyrakat.
Partisipasi masyarakat seperti diamanatkan dalam peraturan dan perundangan –sekedar menyebutkan sebagian– seluruhnya mengamanatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan harus melalui pelibatan penyelenggara negara dan masyarakat. Dengan demikian, ruang partisipasi seluruh pelaku pembangunan dijamin dan terbuka luas. Ada tiga asas penting yang membuka partisipasi masyarakat dalam undang-undang tersebut yaitu: (1) Asas “kepentingan umum” yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; (2) Asas“keterbukaan” yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara; (3) Asas“akuntabilitas” yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, partisipasi masyarakat penting dalam sistem pemerintahan daerah. Partisipasi masyarakat berguna untuk: (1) Mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat; (2) Menciptakan rasa memiliki pemerintahan; (3) Menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum; (4) Mendapatkan aspirasi masyarakat dan; (5) Sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana.