Promotion (promosi) (skripsi dan tesis)

Promosi adalah merupakan salah satu alat komunikasi antara penjual dengan pembeli yang sangat di perlukan dalam kegiatan usaha/bisnis. Dengan promosi, penjual dapat menyebarluaskan informasi usah/bisnis, mempengaruhi, atau membujuk pembeli/konsumen, dan juga bisa mengingat agar barang/jasa yang kita jual tidak terlupakan dari benak para konsumen. (Niken Tri H : 2010).

Peran Sektor Perkebunan Dalam Perekonomian (skripsi dan tesis)

Pengembangan dan pembangunan perkonomian suatu wilayah diawali dengan melakukan analisis terhadap struktur dan tingkat kinerja kegiatan ekonomi atau perkonomian wilayah yang bersangkutan. Analisis ini berguna untuk mengetahui karakteristik dari struktur perekonomian yang ada dalam suatu wilayah serta mengetahui pertumbuhan atau kemampuan tumbuh kembang perekonomian wilayah dari tahun-ketahun, serta peran dari masing-masing sektor ekonomi pada suatu wilayah, sehingga dapat mengenali sektor unggulan yang dapat dikembangkan sehinggga mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah. Peran sektor unggulan dalam usaha pengembangan dan pembangunan ekonomi wilayah ditujukan guna mengatasi keterbatasan dana dan sumber daya serta meningkatkan efisiensi pemanfataan sumber daya yang tersedia untuk dapat melaksanakan pembangunan dan pengembangan kota yang optimal dan dalam rangka optimasi dan efisiensi pembangunan perekonomian daerah sebagai landasan dalam perencanaan pembangunan. Dalam lingkup pengarahan pembangunan diperlukan adanya suatu prioritas. Penentuan prioritas 34 pembangunan dapat didasarkan kepada suatu pendapat yang menyangkut bahwa pertumbuhan dari suatu wilayah akan dapat dioptimalkan apabila kegiatan pembangunan dapat dikonsentrasikan pada aktivitas-aktivitas sektor ekonomi yang dapat memanfaatkan kekuatan atau kelebihan yang secara alamiah dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan (Syafizai, 1985). Penentuan prioritas pembangunan diperlukan karena adanya keterbatasan dalam hal waktu, pendanaan, tenaga, dan sumber daya yang tersedia. Salah satu cara untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah adalah dengan cara melakukan kajian dan analisis terhadap kegiatan perekonomian atau sektor ekonomi unggulan yang ada guna mengetahui kemampuan kinerja serta tumbuh kembang dari masing-masing sektor ekonomi. Kemampuan tumbuh kembang pada salah satu sektor ekonomi akan menjadi faktor penunjang dan penentu atau pemacu dari pertumbuhan sektor yang lainnya. Salah satu faktor terpenting didalam pengembangan wilayah adalah pertumbuhan perekonomian wilayah dengan cara mengembangkan sektor-sektor unggulan yang ada. Pemahaman terhadap struktur ekonomi wilayah menjadi hal yang sangat penting untuk dapat menilai permasalahan dan potensi serta peluang yang dimiliki oleh suatu wilayah atau daerah yang bersangkutan. Suatu gambaran yang komprehensif mengenai struktur ekonomi wilayah sangat bermanfaat dalam prencanaan wilayah (Sitohang, 1977). Francois Perroux mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah disebabkan oleh adanya berbagai kegiatan industri dalam suatu daerah, perkembangan yang terjadi pada kutub-kutub pertumbuhan akan menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dengan efek yang beragam pula terhadap keseluruhan kegiatan perekonomian (Sitohang, 1977). (Boundeville,1966), mengemukakan bahwa setiap wilayah mempunyai perbedaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia pada wilayah tersebut. Sementara cara untuk menyebarkan pertumbuhan ekonomi dengan memilki kutub pertumbuhan yang akan mendorong efek kumulatif kegiatan ekonomi dan menyebarkan ke hinterland, kemampuan suatu sektor kegiatan untuk menyebabkan pertumbuhannya tergantung multiplier effect yang dibuatnya seperti tenaga kerja dan pendapatan.  Seperti diungkapkan tersebut diatas menunjukkan bahwa setiap daerah memilki kekuatan atau kelebihan berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang berbeda yang secara alamiah dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan sektor unggulan tiap daerah akan berbedabeda. Daerah pedesaan biasanya akan menitik beratkan kegiatan ekonominya pada sektor tersier (pertanian), daerah perkotaan biasanya menitik beratkan kegiatan pada kegiatan sekunder (industri) dan sektor kegiatan tersier (jasa).

Prinsip – Prinsip Ekonomi Dalam Usaha Tani (skripsi dan tesis)

Istilah intensifikasi banyak sekali digunakan di negara kita dan menjadi sangat populer terutama dalam hubungan usaha peningkatan produksi padi. Intensifikasi dimaksudkan penggunaan lebih banyak faktor produksi tenaga kerja dan modal atas sebidang tanah tertentu untuk mencapai hasil produksi yang lebih besar. Sebaliknya ekstensifikasi pada umumnya diartikan sebagai perluasan pertanian dengan cara mengadakan pembukaan tanah – tanah pertanian baru. Pengertian ekstensifikasi yang demikian sebenarnya tidak tepat karena ditekankan pada akibat baru atau konsekuensi dari pengerjaan tanah yang tidak intensif. Kalau dalam pengerjaan tanah yang makin intensif petani terus menerus menambah tenaga modal atas tanah yang sudah ada maka dalam pengerjaan tanah yang ekstensif penggunaan tenaga dan modal dikurangi untuk dipindahkan ke tanah pertanian lainnya (Mubyarto, 1889). Terdapat beberapa sebab ekonomi mengapa usahatani memproduksikan lebih dari satu komoditi saja atau usaha bagian (enterprise). Bagi petani yang mengusahakan tanaman tumpangsari di Kecamatan Soreang tujuan utamanya adalah mendapatkan hasil produksi yang optimal dari sawah atau ladang. Selain itu karena umur tanaman – tanaman yang bersangkutan tidak sama, maka ini berarti menjamin tersedianya bahan makanan sepanjang tahun. Dengan cara ini resiko dapat dikurangi. Kalau satu macam tanaman tidak berhasil maka diharapkan tanaman lainnya akan memberikan hasil. Alasan untuk mengurangi resiko kerugian dengan semacam diversifikasi ini merupakan praktek yang biasa bagi petani yang memang biasanya tidak berdaya menghadapi kekuatan – kekuatan alam yang tidak dapat dikontrolnya. Dengan adanya keperluan petani yang beraneka ragam, hasil – hasil produksi petani dijual untuk ditukarkan dengan hasil – hasil produksi pertanian lainnya yang dihasilkan keluarga lain dan akhirnya timbullah spesialisasi. 31 Perdaganan merupakan akibat logis dari adanya spesialisasi antar daerah yang merupakan faktor ekonomi yang sangat penting. Adanya spesialisasi dalam produksi pertanian antar daerah yang satu dengan daerah yang lain yang menimbulkan perdagangan dapat diterangkan secara sederhana dengan teori keuntungan absolut (law of absolute advantage) dan teori keuntungan komparatif (law of comparatif advantage). Prinsip keuntungan absolut adalah suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi barang di mana negara tersebut mempunyai absolute advantage. Apabila spesialisasi dijalankan terlalu jauh, maka suatu daerah tertentu dapat menjadi terlalu tergantung pada satu jenis hasil pertanian saja. Dalam berbagai daerah nampaknya baik spesialisasi maupun diversifikasi masing – masing mempunyai tempat dan pertimbangan sendiri – sendiri. Adapun faktor – faktor yang mendorong spesialisasi bagi suatu daerah dapat berupa: 1. Tidak adanya sumber – sumber alam yang berarti; 2. Keuntungan komparatif yang tinggi dalam suatu produk, baik dalam persediaan bahan baku maupun dalam permodalan dan keterampilan manusia; 3. Hubungan transpor dan komunikasi yang cukup baik dengan daerah – daerah lain sehingga keburukan – keburukan spesialisasi tidak perlu tumbul; 4. Industri pertanian yang bersangkutan memungkinkan pembagian kerja yang baik dengan daerah – daerah sekitarnya, sehingga membawa keuntungan secara nasional. Sebaliknya ada faktor – faktor lain yang membenarkan kecenderungan ke arah diversifikasi, antara lain: 1. Prosepek jangka panjang yang kurang menentu dari satu hasil utama; 2. Tersedianya sumber – sumber alam lain yang mempunyai prospek yang baik dan permintaan yang lebih elastis; 3. Biaya transpor yang tinggi dalam ekspor – impor antar daerah. Spesialisasi tidak hanya pada satu hasil pertanian saja tetapi pada dua atau tiga, sedangkan diversifikasi juga tidak dijalankan terlalu jauh tetapi hanya pada beberapa hasil pertanian yang benar – benar dapat diusahakan dengan cukup mengungtukan (Mubyarto, 1989)

Teori – Teori Pembangunan dan Pengembangan Ekonomi Pertanian (skripsi dan tesis)

Pembangunan ekonomi dengan pemberian prioritas pada sektor pertanian bukan hanya kasus yang terjadi di Negara Indonesia terutama di Kecamatan Soreang saja, tetapi merupakan garis kebijaksanaan yang mulai populer sejak awal tahun enam puluhan. Pembangunan pertanian didorong dari segi penawaran dan dari segi fungsi produksi melalui penelitian – penelitian, pembangunan teknologi pertanian yang terus menerus, pembangunan prasarana sosial dan ekonomi di pedesaan dan investasi – investasi oleh suatu negara dalam jumlah besar. Pertanian di suatu wilayah kini dianggap sebagai sektor pemimpin (leading sector) yang diharapkan mendorong perkembangan sektor – sektor lainnya. Untuk keberhasilan suatu pembangunan pertanian diperlukan beberapa syarat atau pra – kondisi untuk setiap daerah. Pra – kondisi tersebut meliputi bidang teknis, sosial budaya dan lain – lain. Menurut (A. T Mosher dalam Myrna, 2005), menjelaskan bahwa Mosher telah menganalisa syarat – syarat mutlak 28 dibanyak negara dan menggolongkannya menjadi syarat mutlak dan syarat pelancar. Menurut Mosher ada lima (5) syarat yang tidak boleh dihilangkan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian. Syarat – syarat mutlak tersebut adalah: 1. Adanya pasar untuk hasil – hasil usaha tani; 2. Teknologi yang senantiasa berkembang; 3. Tersedianya bahan – bahan dan alat – alat produksi secara lokal; 4. Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu. Selain syarat – syarat mutlak, terdapat syarat – syarat yang tidak mutlak tetapi jika ada benar – benar sangat memperlancar pembangunan pertanian. Syarat – syarat tersebut adalah: 1. Pendidikan Pembangunan; 2. Kredit produksi; 3. Kegiatan gotong – royong petani; 4. Perencanaan sosial pembangunan pertanian. Menurut (Hanani, Ibrahim, Purnomo, 2003), dalam mengembangkan usaha pertanian kegiatan utama yang harus dilakukan peningkatan produksi barang pertanian serta mendorong petani, meningkatkan produktifitas pertanian serta mendorong pengembangan komoditas yang sesuai dengan potensi wilayah. Kualitas dan kuantitas yang baik dari produk pertanian yang dihasilkan petani sangat mempengaruhi pendapatan petani. Pasarpun sangat menuntut kualitas produk sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan tingkat pendapatan masyarakat. Syarat – syarat dalam pengembangan pertanian yaitu: 1. Kelestarian Lingkungan Pertanian merupakan usaha yang sangat tergantung pada alam. Iklim dan lahan merupakan komponen utama yang mempengaruhi keberhasilan usahatani. Kelestarian alam merupakan upaya yang harus dilakukan petani agar usahataninya berhasil dan berkelanjutan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengembangan pola – pola usahatani terpadu diantara komoditi pangan, holtikultura, peternakan dan perkebunan. Sebagai contoh 29 pengusahaan pertanian tanaman pangan didukung oleh usaha peternakan dengan menyediakan bahan organik bagi lahan. 2. Dukungan Kelembagaan Agribisnis Dari sisi pengelolaan, pengembangan pertanian selama ini belum terpola. Struktur pertanian yang diperluan dan dikembangkan adalah sturktur pertanian industrial (proses konsolidasi usahatani disertai dengan koordinasi secara vertikal) yang memungkinkan terjadinya hubun gan fungsional saling menguntungkan di antara pelaku pertanian. Kegiatan yang diperlukan dalam membangun struktur pertanian industrial tersebut antara lain: (i) pengembangan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaku pertanian terutama petani dalam kewirausahaan agribisnis, (ii) peningkatan pelayanan usaha agribisnis, (iii) pengembangan kelembagaan usaha seperti organisasi petani, kemitraan, kelembagaan pemasaran, koperasi pertanian, dan kelompok usaha lain, dan (iv) pengembangan kemampuan pelayanan seperti penyuluhan, informasi pasar, lembaga finansial dan lainnya. 3. Teknologi Strategis Berbasis Lokal Hal lain yang sangat penting dalam mengembangkan teknologi berbasis lokal adalah tunjangan kelembagaan teknologi. 4. Pendayagunaan dan Perlindungan Sumberdaya Hayati Indonesia mempunyai keanekaragaman sumberdaya hayati dan kekayaan alami yang besar mencakup tanaman pangan, holtikultura, tanaman industri, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Keanekaragaman yang melimpah tersebut masih bersifat semu karena baru berupa potensi, sedangkan kemampuan untuk menggali, memanfaatkan dan mengembangkan berdasarkan teknologi mutakhir, belum optimal. Dengan ketersediaan sumberdaya hayati yang lengkap dan aman maka berbagai kegiatan pendukung dalam mengembangkan teknologi dan perluasan tanaman dapat dengan aman dilakukan. 5. Sistem Informasi Yang Tangguh. Pengembangan sistem informasi pertanian memerlukan dukungan data yang akurat, sistem informasi dan layanan data dan informasi pertanian yang baik.   Dengan sistem informasi yang baik akan dapat dilakukan pemantauan dan penyebarluasan informasi pertanian secara cepat, akurat dan murah.

Pengertian Efisiensi Usaha Tani (skripsi dan tesis)

Dalam memproduksi beras petani memerlukan faktor produksi, faktor produksi sering dikenal dengan input. Proses produksi merupakan proses perubahan input menjadi output. Berdasarkan defenisi efisiensi dibagi atas 3 yaitu efisiensi teknis, efisiensi biaya dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis merupakan upaya untuk menghasilkan output maximun dengan input tertentu. Sedangkan efisiensi biaya adalah upaya untuk menghasilkan output tertentu dengan biaya minimum. Dan efisiensi ekonomis merupakan gabungan antara efisiensi teknis dengan efisiensi biaya. Efisiensi ekonomis merupakan perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari alokasi sumber daya yang digunakan petani dalam usahataninya secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan.

Usahatani efektif bila petani mampu mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya dengan baik dan efisien (Soekartawi, 2005). Dalam analisis efisiensi, kita mengenal istilah biaya.Efisiensi biaya berasal dari harga input dan harga output optimal yang dipilih. Efisiensi teknis merupakan perbedaan antara output dengan output maksimal. Efisiensi ekonomis merupakan perpaduan dari 2 sumber yaitu efisiensi teknis dan biaya. Dengan efisiensi teknis kita dapat mengartikan hubungan karakteristik antara produksi yang diobservasi dengan produksi idealnya atau produksi potensialnya. Dan efisiensi biaya merupakan perbandingan antara biaya frontiernya dengan biaya observasinya (Greene, 1993). Universitas Sumatera Utara 9 Namun dalam kenyataannya produksi petani belum berada pada kondisi yang efisien dikarenakan oleh berbagai kendala yang dikenal dengan gap.

Menurut Gomez di dalam Soekartawi (1994) dalam berproduksi dikenal 2 gap yaitu :

1. Gap I adalah gap yang terjadi akibat variabel yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia seperti agroklimat, keberuntungan, bencana alam dll. Variabel ini disebut stochastic disturbance.

2. Gap II adalah gap yang terjadi akibat variabel-variabel teknis biologis. Variabel-variabel inilah yang menyebabkan gangguan efisiensi pada usahatani Gap ini dapat dikendalikan/diperkecil oleh petani dengan cara efisiensi (Soekartawi, 2005)

Pendapatan Usaha Tani (skripsi dan tesis)

Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya yang dikeluarkan. Secara umum dapat dituliskan sebagai berikut :

NR = TR – TC

TR = Py . Y

TC = Px . X

Dimana : NR   = Pendapatan Bersih (Net Revenue )

TR   = Penerimaan Total (Total Revenue)

TC   = Biaya Total (Total Cost )

Y     = Output

X     = Input

Py    = Harga Output

Px    = Harga Input

Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa bagaimana pendapatan, penerimaan, maupun biaya dan hasil dalam usaha tani cabai merah. Usaha tani dapat  dikatakan berhasil jika usaha tani tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Usaha tani harus dapat menghasilkan cukup pendapatan untuk membayar biaya semua alat-alat yang diperlukan.
  2. Usaha tani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat dipergunakan untuk membayar bunga modal yang digunakan dalam usaha tani, baik modal milik sendiri, maupun modal yang dipinjam dari pihak lain.
  3. Usaha tani harus dapat membayar upah tenaga petani dengan keluarganya yang digunakan dalam usaha taninya secara layak.
  4. Usaha tani yang bersangkutan harus paling sedikit berada dalam keadaan semula. Jadi harus dapat memelihara diri sendiri.
  5. Usaha tani harus dapat pula membayar tenaga petani sebagai tenaga manager yang harus mengambil keputusan mengenai apa yang harus dijalankan, bilamana, bagaimana, dan dimana (Soedarsono, 1982).

 

Efisiensi Usaha Tani (skripsi dan tesis)

Efisiensi usaha tani merupakan bentuk kerjasama antara faktor produksi. Bentuk kerjasama tersebut merupakan kombinasi yang pada suatu tingkat dapat mencapai efisien. Faktor-faktor produksi merupakan faktor yang langsung berpengaruh terhadap tingkat produksi, sehingga efisiensi sangat tergantung faktor produksi tersebut.

Efisiensi ekonomi adalah konsep ukuran marginal tentang perubahan input yang dicapai mengakibatkan penambahan output, yang dihubungkan harga masing-masing dalam usaha mencapai keuntungan rasional maksimal. Pada dasarnya petani selalu mengadakan perhitungan ekonomis dan keuntungan walaupun pada umumnya tidak secara tertulis. Dalam ilmu ekonomis dikatakan bahwa petani membandingkan antara hasil yang diharapkan pada saat panen dan biaya yang diharapkan pada saat panen (Mubayarto, 1989).

Menurut Soekartawi (1990), efisiensi merupakan upaya penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil produksi yang sebesar-besarnya. Tingkat efisiensi adalah penggunaan faktor produksi tercapai dengan maksimumkan keuntungan bila sejumlah faktor produksi tercapai, maka persamaannya tertulis sebagai berkut :

p = Py . Y – Px . X

Keuntungan maksimum dapat dicapai bila

dp = 0 => dy . Py – Px    = 0

dx              dx

dy . Py           = Px

dx

MPPx . Py      = Px

NPPx             = Px

NPMx/Px       = 1

Efisiensi penggunaan faktor produksi tercapai bila

NPM xi = Pxi atau NPMxi = 1

Pxi

 

NPMxi/Pxi    = 1 berarti penggunaan input tercapai pada tingkat optimal dan perolehan keuntungan maksimal sehingga tingkat penggunaan input dinyatakan efisien.

NPMxi/Pxi > 1 Penggunaan input masih perlu ditambah karena keuntungan belum maksimal, keadaan seperti ini penggunaan input belum efisien.

NPMxi/Pxi  < 1 Tingkat penggunaan input perlu dikurangi karena besarnya penerimaan yang didapat akibat penggunaan satu input ke satu ternyata lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk satu unit produksi tersebut.

Produksi dan Fungsi Produksi (skripsi dan tesis)

Usaha tani sesungguhnya tidak sekedar hanya terbatas pada pengembalian hasil, melainkan benar-benar usaha produksi. Di sinilah berlangsung pendayagunaan tanah, investasi, tenaga kerja, manajemen. Keberhasilan dalam pendayagunaan ini barulah akan mendatangkan hasil yang tinggi. Kualitas dan kuantitas hasil akan sangat tergantung pada pengelolaannya, jika pengelolaan berlangsung baik sejak awal sampai akhir pengambilan hasil dan pemeliharaan hasil, maka kualitas dan kuantitas hasil akan sangat memuaskan produsennya (Kartasapoetra, 1988).

Hasil akhir dari suatu proses produksi adalah produk atau out put. Produk atau produksi dalam bidang pertanian dapat bervariasi yang antara lain disebabkan karena perbedaan kualitas. Hal ini dapat dimengerti karena kualitas yang baik hanya akan dihasilkan  oleh proses produksi yang baik, yang dilaksanakan dengan baik begitu juga sebaliknya.

Sumber atau unsur-unsur produksi yang digunakan secara terpadu dalam proses produksi dapat terwujud kualitas dan kuantitas yang disebut input atau faktor produksi. Tanah, tenaga kerja, pupuk, bibit, obat-obatan, dan lain-lain merupakan input. Macam faktor produksi/input tersebut, berikut jumlah dan kualitasnya perlu diketahui oleh produsen. Oleh karena itu, untuk menghasilkan suatu produk, maka perlu untuk mengetahui hubungan input dengan produk  (Soekartawi,1990).

Menurut Moebayarto, (1989) hubungan fisik antara hasil produksi dengan faktor produksi, disebut dengan fungsi produksi, atau dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi ini dituliskan sebagai berikut:

Y = f (X1,X2, . . . . . .Xn)

Dimana :

Y                 = hasil produksi

X1 . . . . Xn = faktor produksi

Pengertian fungsi produksi akan lebih jelas lagi dengan memperhatikan persamaan berikut :

P = f (S,K,R,L,T)

Dimana :

P = menyatakan produk yang dihasilkan

F= menyatakan fungsi dari masukan-masukan yang di sini meliputi :

K = Modal untuk peralatan yang digunakan

R = bibit tanaman unggul, pupuk, obat-obatan lain-lain

L = jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam produksi ini

T= tingkat teknologi yang digunakan

Persamaan ini merupakan gambaran tentang hubungan teknis yang berbentuk matematika secara umum yang pada dasarnya mempunyai arti bahwa tingkat produksi suatu produk tergantung pada tanah yang tersedia untuk dipergunakan, bibit, tanaman unggul, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja yang terlibat,  dan tingkat teknologi yang digunakan (Kartasapoetra, 1988).

Berubahnya jumlah suatu input, akan membawa pengaruh pada produksi, yang mungkin dapat meningkatkan produksi. Akan tetapi, menurut Soekartawi (1985), peningkatan produk tidak akan selalu terjamin dengan adanya perubahan salah satu input, karena adanya hukum “kenaikan hasil yang semakin berkurang “The Law of Diminishing Return.

Hukum ini menyatakan bahwa bila satu macam input ditambah penggunaannya sedang input-input yang lain tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula menaik tetapi kemudian seterusnya turun bila input tersebut terus ditambah

Biaya Usaha Tani (skripsi dan tesis)

 

Dalam usaha tani penggunaan faktor-faktor produksi merupakan biaya usaha tani itu sendiri, yang yang besarnya mempengaruhi pendapatan petani. Biaya dalam usaha tani merupakan jumlah kompenen tetap ( fixed cost ) dan biaya variabel. Biaya tetap ialahh biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan arus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit.  Jadi besarnya biaya tetap tidak tergantung pada besar-kecilnya produksi yang diperoleh.sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh(Soekartawi,2002).

Menurut Gilarso (1993) pengertian tentang biaya produksi dapat dibagi dua yaitu biaya implisit dan biaya eksplisit. Biaya implisit ialah biaya yang tidak secara nyata dikeluarkan oleh produsen selama proses produksi berlangsung,misalnya biaya tenaga kerja dalam keluarga. Sedangkan biaya eksplisit merupakan biaya yang secara nyata dikeluarkan oleh produsen selama proses produksi berlangsung,missal biaya pupuk,biaya tenaga kerja luar keluarga dan pestisida. Dikemukakan oleh Gilarso (1993) bahwa jenis-jenis biaya dapat digolongkan sebagai: (i) biaya langsung yaitu biaya secara lagsung dapat dibebankan pada produk itu,missal upah tenaga kerja lurar keluarga. Sedangkan biaya tidak langsung merupakan biaya yang tidak berhubungan dengan proses produksi sebagai keseluruan,misalnya upah tenaga kerja dalam keluarga. (ii) biaya tetap dan biaya variabel, (iii) biaya implisit dan biaya eksplisit.

Menurut Gilarso (1993), dalam proses produksi ada namanya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh produksi seperti biaya pembelian dan biaya transportasi.

Adapun beberapa konsep biaya dalam ilmu ekonomi yaitu:

  1. biaya total tetap (TFC) ialah jumlah yang tetap dibayar produsen pada beberapa tingkat output
  2. biaya varibel total (TVC) ialah jumlah biaya yang berubah-ubah menurut tinggi rendahnya output yang diproduksi, termasuk biaya untuk bahan mentah dan tenaga kerja
  3. biaya tetap rata-rata (ATC) ialah biaya tetap yang dibebankan pada setiap unit output
  4. biaya variabel rata-rata (AVC) merupakan biaya variabel yang dibebankan pada setiap unit output. Besarnya merupakan pembagian biaya variabel total (AVC) dengan output yang dihasilkan (Q)
  5. biaya total rata-rata (ATC) merupakan biaya untuk tiap unit output. Besarnya merupakan pembagian antara biaya total dengan jumlah output yang dihasilkan
  6. biaya total (TC) adalah biaya dari semua produksi yang digunakan dalam memproduksi output pada tingkat tertentu. Dalam jangka pendek biaya total terdiri dari biaya tetap (TFC) dan total biaya variabel (AVC).

Adapun rumus dari biaya total menurut Soekartawi (2002) adalah sebagai berikut:

TC = TFC + TVC

Keterangan :    TC       = Total Cost

                        TFC     = Total Fixed Cost

                        TVC    = Total Variable Cost

Biaya alat-alat dapat dihitung berdasarkan biaya penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus, menurut Hadisapoetra (1973) rumus biaya penyusutan per tahun adalah :

P =

Keterangan :    P          = biaya penyusutan

NB      = nilai beli

NS       = nilai sekarang

A         = umur ekonomis

Kacang Panjang (skripsi dan tesis)

Kacang panjang merupakan tanaman sayuran yang berasal dari Benua Afrika. Kacang panjang juga merupakan salah satu jenis sayuran yang disukai masyarakat karena rasanya enak dan mengandung gizi tinggi. Beberapa bagian tanamannya bisa dikonsumsi baik polongnya yang masih muda, daun muda, maupun bijinya. Buahnya (polongnya) berbentuk bulat panjang dan ramping (Tuhana Taufiq Andrianto dan Novo Indarto, 2004).

Kacang panjang (Vigna Sinensis) termasuk dalam famili Leguminoceae/Papilionaceae yang tergolong tanaman semusim berbentuk perdu. Batangnya panjang, liat, dan sedikit berbulu. Daunnya tersusun tiga-tiga dengan bunga berbentuk kupu-kupu. Seperti tanaman Leguminoceae lainnya, kacang panjang mempunyai akar berbentuk bintil yang dapat mengikat nitrogen (N) bebas dari udara yang bermanfaat menyuburkan tanah. Tanaman ini dapat hidup dari dataran rendah hingga dataran tinggi. (Tuhana Taufiq Andrianto dan Novo Indarto, 2004).

Ada dua daerah penyebaran utama tanaman kacang panjang yaitu di kawasan Afrika Barat dan di kawasan Asia Tenggara (Ashari, 1995). Ada dua jenis kacang panjang yang dikenal yaitu kacang panjang jenis merambat dan tidak merambat. Jenis kacang panjang yang merambat terdiri dari kacang panjang biasa dan kacang panjang usus. Ada beberapa macam kultivar kacang panjang jenis merambat yang ditanam di Indonesia baik varietas lokal maupun varietas unggul. Adapun contoh varietas lokal tanaman kacang panjang yang ditanam di Indonesia antara lain lokal Subang, Super Subang, Usus Hijau Subang, Guhonde, Tendelong, Chianghai, Busitau, Usus Hijau Purwokerto dan Usus Putih. Sedangkan varietas unggul kacang panjang jenis merambat adalah kacang panjang-1 (KP-1), kacang panjang-2 (KP-2) dan kacang hijau  (Tuhana Taufiq Andrianto dan Nono Indarto, 2004).

Jenis kacang panjang yang tidak merambat atau disebut juga kacang tunggak dan biasanya bagian tanaman yang dikonsumsi adalah polong muda atau bijinya. Yang termasuk dalam varietas ini adalah kacang tunggak atau kacang dadap (Vigna unguicwaka) dan kacang uci atau kacang endel (phaseolus calcaratus). Ada dua macam kacang tunggak yaitu kacang tunggak TVU-3629 dan kacang tunggak no. 1259 (Tuhana Taufiq Andrianto dan Nono Indarto, 2004).

Tanaman kacang panjang dapat tumbuh optimal pada daerah dengan suhu antara 20-300C dengan iklim kering serta curah hujan 600-1500mm/tahun. Tanaman kacang panjang juga dapat tumbuh optimal pada berbagai jenis tanah terutama tanah latosol berpasir, subur, gembur dan mengandung bahan organik dan drainase baik serta PH sekitar 5,5 – 6,5 mendapat sinar matahari penuh (www.waristek-progresio.or.id). Dari segi produktivitas kacang panjang merupakan tanaman yang memiliki produktivitas yang tinggi hal ini dapat dilihat dari produksi rata-rata untuk varietas unggul berkisar antara 5,9-15 ton/ha. Sedangkan untuk varietas lokal produksi rata-ratanya adalah 2,5 ton/ha (Tuhana Taufiq Andrianto dan Nono Indarto, 2004).

Kacang panjang merupakan sayuran yang dipromosikan sebagai sumber protein dan mineral, hal ini dikarenakan kandungan gizi yang terdapat pada kacang panjang itu sendiri.

Sentra tanaman kacang panjang didominasi oleh P. Jawa terutama Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel, Aceh, Sumut, Lampung, dan Bengkulu. Di Indonesia kacang panjang merupakan mata dagangan sehari-hari. Pendayagunaan kacang panjang sangat beragam, yakni dihidangkan untuk berbagai masakan mulai dari mentah sampai masak. Prospek ekonomi dan sosial kacang panjang sangat menjanjikan terutama dalam tahun-tahun terakhir banyak permintaan baik dalam maupun luar negeri, dimana permintaan tersebut belum terpenuhi (www.waristek-progresia.or.id, 2005).

Biodiesel (skripsi dan tesis)

Biodiesel merupakan bahan bakar terbarukan karena bahan bakunya dibudidayakan oleh manusia, selanjutnya dipanen dan diolah menjadi bahan bakar. Pemanfaatannya yang terus-menerus menjadikan bahan bakar nabati disebut bahan bakar yang dapat diperbarui.

FAME atau fatty acid methyl ester (metil ester asam lemak) adalah minyak nabati, lemak hewani, atau minyak goreng bekas yang diubah melalui proses transesterifikasi yang pada dasarnya mereaksikan minyak-minyak tersebut dengan metanol atau etanol dan katalisator NaOH atau KOH. Secara populer, FAME disebut dengan nama biodiesel. Semua minyak yang berasal dari tanaman bisa dijadikan FAME atau biodiesel. Di mancanegara bahan yang digunakan bisa berasal dari tanaman berikut ini:

  • Kedelai (Glycine max) sehingga disebut SME (soybean methyl ester).
  • Kanola atau rapeseed (Brassica rape) yang disebut RME (rapeseed methyl ester).
  • Kelapa (Cocos nucifera) yang disebut CME (coco methyl ester).
  • Bunga matahari (Helianthus annus), neem atau mimba (Azadirahta indica), malapari atau karanja (Pongamia pinnata). (Rama, et al., 2006)

Secara umum, parameter standar mutu biodiesel terdiri atas densitas, titik nyala, angka sentana, viskositas kinematik, abu sulfat, energi yang dihasilkan, bilangan iod, dan residu karbon. Kini, beberapa negar telah mempunyai standar mutu biodiesel yang berlaku di negaranya masing-masing. Ada pun persyaratan mutu biodiesel indonesia tercantum dalam RSNI EB 020551.

Bahan alternatif biodisel (skripsi dan tesis)

Indonesia memiliki beragam sumber daya energi. Sumber daya energi berupa minyak, gas, batubara, panas bumi, air dan sebagainya digunakan dalam berbagai aktivitas pembangunan baik secara langsung ataupun diekspor untuk mendapaikan devisa. Sumberdaya energi minyak dan gas adalah penyumbang terbesar devisa hasil ekspor. Kebutuhan akan bahan bakar minyak dalam negeri juga meningkat seiring meningkatnya pembangunan. Sejumlah laporan menunjukkan bahva sejak pertengahan tahun 80-an terjadi peningkatan kebutuhan energi khususnya untuk bahan bakar mesin diesel yang diperkirakan akibat meningkatnya jumlah industri. transportasi dan pusat pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) diberbagai daerah di Indonesia. Peningkatan mi mengakibatkan berkurangnya devisa negara disebabkan jumlah minyak sebagai andalan komoditi kspor semakin berkurang karena dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Disisi lain, bahwa cadangan minyak yang dimiliki Indonesia semakin terbatas karena merupakan produk yang tidak dapal diperbaharui. Oleh sebab itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mencari bahan bakar alternatif.

Ide penggunaan minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar diesel didemonstrasikan pertama kalinya oleh Rudolph Diesel (± tahun 1900). Penelitian di bidang ini terus berkembang dengan memanfaatkan beragam lemak nabati dan hewani untuk mndapatkan bahan bakar hayati (biofuel) dan dapat diperhaharui (renewable) perkembangan ini mencapai puncaknya di pertengahan tahun 80-an dengan ditemukannya alkil ester asam lemak yang memiliki karakteristik hampir sama dengan minyak diesel fosil yang dikenal dengan biodiesel.

Indonesia adalah salah satu penghasil minyak nabati terbesar didunia. Ini merupakan potensi bahan baku yang besar untuk tujuan pengembangan BBM alternatif tersebut. Salah satu bahan baku yang dipakai yaitu fraksi stearin yang diperoleh dan sisa pengolahan CPO di pabrik minyak nabati (Fractinalion Refining factory). Produksi minyak sawit dewasa ini cenderung meningkat dan diperkirakan akan berlanjut satu atau dua dekade ke depan.

Pembuatan biodiesel dan minyak nabati dilakukan dengan mengkonversi trigliserida (komponen utama minyak nabati) menjadi metil ester asam lemak, dengan memanfaatkan katalis pada proses esterifikasi. Beberapa katalis telah digunakan secara komersial dalam memproduksi biodiesel

Transesterifikasi CPO (skripsi dan tesis)

 

Metil ester merupakan suatu senyawa alkyl ester yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Metil ester memiliki sifat fisik dan kimia yang hampir sama dengan minyak diesel yang dihasilkan dari minyak bumi tetapi emisi pembakaran dari penggunaan metil ester lebih rendah dari pada emisi pembakaran minyak solar.

Transesterifikasi CPO dalam asam merupakan reaksi senyawa ester dengan senyawa alkohol (methanol) dengan bantuan katalis asam kuat untuk menghasilkan metil ester.

Apabila methanol ditambahkan dengan CPO maka akan terbentuk senyawa ester. Reaksi tersebut dapat dipercepat dengan penambahan katalis baik itu katalis asam antara lain: asam sulfat (H2SO4), asam khlorida (HCL). Dan katalis basa antara lain: natrium hidroksida(NaOH), kalium hidroksida(KOH).

Metil ester asam lemak memiliki rumus molekul Cn-1 H2(n-r)-1 CO-OCH3 dengan nilai n yang umum adalah angka genap antara 8 sampai 24 dan nilai r yang umum 0,1,2, atau 3. Kelebihan metil ester asam lemak dibanding asam-asam lemak lainnya :

  1. Ester dapat diproduksi pada suhu reaksi yang lebih rendah.
  2. Gliserol yang dihasilkan dari proses alkoholisis adalah bebas air.
  3. Pemurnian metil ester lebih mudah dibandingkan dengan lemak lainnya karena titik didihnya lebih rendah.
  4. Metil ester dapat diproses dalam peralatan karbon steel dengan biaya lebih rendah dari pada asam lemak yang memerlukan peralatan stainless steel.

Metil ester/etil ester asam lemak tak jenuh memiliki bilangan sentana yang lebih kecil dibanding metil ester/etil ester asam lemak jenuh. Meningkatnya jumlah ikatan rangkap suatu metil ester/etil ester akan menyebabkan penurunan bilangan sentana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk komponen biodisel lebih dikehendaki metil ester/etil ester asam lemak jenuh seperti yang terdapat dalam fraksi stearin minyak sawit.

Reaksi transesterifikasi dilakukan dengan mencampurkan antara asam sulfat dan alkohol (metanol-etanol) dengan minyak sawit mengunakan reaktor yang dipanaskan dalam water bath dengan suhu konstan dan diberi pendingin balik, diberi pengadukan magnetic yang di set dengan kecepatan konstan serta alat pengukur suhu (Termometer), dengan kenaikan atau kekurangan suhunya              ± 0,02 oC (Munir dan Darnoko, 2000).

Reaksi transesterifikasi berkatalis asam berjalan lebih lambat namun metode ini lebih sesuai untuk minyak atau lemak yang memiliki kandungan asam lemak bebas relatif tinggi (Freedman, dkk., 1984) dan  (Fukuda dkk., 2001) dalam (Mardiah dkk., 2005). Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan menunjukkan bahwa transesterifikasi berkatalis asam dapat digunakan pada bahan baku minyak bermutu rendah atau memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi (Aksoi, et al., 1998) dan (Ju, 2003) dalam (Mardiah dkk., 2005).

Pada penjelasan yang lain, CPO dalam ratio molar methanol/CPO 8-10,65 selanjutnya dimasukkan dalam reaktor metilasi, katalisnya adalah NaOH 0,92-1,83 % wt (weight) dan methanol dicampur dimasukkan ke dalam reaktor. Campuran CPO, methanol dan katalis diaduk keseluruhan hingga homogen. Temperatur reaksi ini antara 55-65 oC dan dengan kecepatan aduk 1000-2000 rpm selama 15-60 menit. Kemudian hasil reaksi dipompa ke dalam tahap netralisasi. Dalam tahap ini menggunakan H2SO4 dan dimasukkan ke dalam tahap pemisahan, untuk memisahkan gliserol, garam, sisa-sisa, metal ester dan methanol. Untuk methanol dan metil ester dilakukan dengan menggunakan air panas dalam tahap pencucian. Untuk pemurnian metal ester dari campuran dan kemudian methanol dilakukan pemurnian. Metil ester yang diperoleh kemudian dievaporasi selanjutnaya dipompa kedalam storage tank. Pada proses ini metil ester yang dihasilkan mencapai 98,8% (Chairil, dkk).

Salah satu tujuan proses ini adalah untuk menurunkan viskositas atau kekentalan CPO. Dengan proses ini viskositas biodisel CPO akan menyamai petrodiesel (solar atau ADO(automatic diesel oil)) hingga mencapai nilai 4,84 cst.

Metil ester merupakan suatu senyawa alkly ester yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Metil ester memiliki sifat fisik dan kimia yang hampir sama dengan minyak diesel yang dihasilkan dari minyak bumi tetapi emisi pembakaran dari penggunaan metil ester lebih rendah daripada emisi pembakaran minyak solar.

Sifat fisik dan standart mutu sifat fisik minyak sawit (skripsi dan tesis)

Sifat fisik lemak dan minyak berguna untuk kriteria penilaian tahap pengolahan atau digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan kegunaan lemak dan minyak tersebut untuk hasil olah yang sesuai. Sifat fisik tersebut sering juga digunakan untuk identifikasi. Untuk maksud tersebut biasanya diperlukan lebih dari satu sifat, agar hasilnya dapat lebih terjamin. Sifat fisik lemak dan minyak bervariasi dipengaruhi oleh komposisi kimia yang terkandung di dalamnya, oleh perbedaan iklim, tanah varietas, dan sebagainya (Murdijati Gardjito., Supriyanto, 1986).

Pada pembuatan hasil olah komersial dari lemak dan minyak, hampir selalu memerlukan perlakuan panas atau perlakuan fisik yang lain sebagai tambahan terhadap proses kimiawi atau biokimiawi. Akhir-akhir ini test atau analisis cara fisik dapat mengganti cara kimiawi yang kurang teliti dan memerlukan waktu yang lama. Dalam beberapa hasil analisis cara fisik dapat memberikan keterangan untuk keperluan ekstraksi minyak, yang tidak dapat diperoleh dari pendekatan cara kimiawi (Murdijati Gardjito., S Supriyanto, 1988).

Mutu minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO)  dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor lingkungan, faktor genetik, faktor teknik agronomis, faktor sistem pemanenan, faktor penundaan pengolahan tandan buah segar setelah dipanen, dan proses pengolahan tandan buah sawit di pabrik.

Sifat fisik minyak kelapa sawit seperti minyak nabati lainnya dicerminkan oleh  parameter yang menunjukkan sifat khas dari minyak kelapa sawit yaitu ;

  1. Indeks Bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium yang cerah. Indeks bias tersebut pada minyak dan lemak dipakai pada pengenalan unsur kimia dan untuk pengujian kemurnian minyak.
  2. Viskositas  adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya gaya gesek internal dalam molekul. Besarnya viskositas minyak menggambarkan tingkat kekentalan atau ketidakmampuan minyak yang diperoleh untuk mengalir (Murdijati Suprayitno, 1988).
  3. Titik Cair merupakan suhu dimana minyak mulai mencair. Titik cair asam lemak dapat meningkat dengan bertambah  panjangnya rantai dan akan menurun jika asam lemak menjadi tidak jenuh, selain itu titik cair dipengaruhi oleh derajat ketidak jenuhan, konfigurasi ikatan rangkap, hingga kisaran suhu padat-cairnya sempit.
  4. Titik Didih dari asam-asam lemak akan semangkin meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.
  5. Titik Asap adalah temperatur pada saat minyak atau lemak menghasilkan asap tipis yang kebiru-biruan pada pemanasan tersebut. Titik asap merupakan salah satu parameter mutu yang penting dalam hubungannya dengan minyak yang digunakan untuk minyak goreng.
  6. Titik nyala adalah titik kilat temperatur terendah yang menyebabkan bahan bakar dapat menyala. Penentuan titik nyala ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan bahan bakar. SNI menetapkan titik nyala biodiesel lebih tinggi sehingga lebih aman dibandingkan dengan petrodiesel atau biosolar.

Kerusakan Minyak (skripsi dan tesis)

 

Minyak nabati umumnya lebih tahan terhadap kerusakan dibandingkan dengan minyak atau lemak hewani, terutama kerusakan yang disebabkan oleh air, cahaya, panas, oksidasi dari udara dan enzim. Tetapi setelah disimpan beberapa hari akan mengalami penurunan mutu karena proses hidrolisa, oksidasi  ( Hartley, 1977 ).

Minyak sawit itu terdapat pada mesokarp di dalam vakuola yang dilapisi oleh membran vakuola yang sangat halus. Di dalam vakuola minyak dilindungi oleh membran vakuola sehingga tidak sampai bersentuhan dengan enzim lipase. Pada sel ini enzim lipase diangkut ke seluruh sitoplasma yaitu bahan cair yang mengelilingi inti sel. Jika membran vakuola dipecahkan maka minyak akan bercampur dengan enzim lipase dan terjadilah pemecahan lemak atau minyak oleh lipase menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Peristiwa ini dapat terjadi secara alami seperti halnya yang terjadi pada buah yang terlalu masak, pada buah yang mengalami pememaran serta buah yang ditempatkan pada tempat yang mempunyai suhu rendah (Hartley,1977).

  1. Kerusakan minyak karena proses hidrolisa

Hidrolisa merupakan peristiwa penguraian (lisis) yang terjadi karena air (hidro). Peristiwa ini dipercepat oleh enzim yang termasuk golongan lipase. Enzim lipase pada kelapa sawit secara aktif menghidrolisa lemak dalam bentuk trigliserida. Reaksi hidrolisa terjadi secara bertahap yaitu dari trigliserida terurai menjadi digliserida dan asam lemak. Digliserida akan terurai menjadi monogliserida dan monogliserida terurai menjadi gliserol dan asam lemak (Hartley, 1967).

Reaksi hidrolisa minyak akan dipercepat dengan adanya kenaikan suhu dan adanya katalis seperti asam sulfat dan enzim lipase. Enzim lipase dalam minyak kelapa sawit dapat berasal dari buah itu sendiri dan adanya kontaminasi jasad renik. Lilik wahyudi (1982), menyatakan bahwa enzim lipase dalam buah kelapa sawit terdapat di luar molekul-molekul minyak, sehingga apabila buah terluka atau memar maka akan terjadi kontak langsung antara enzim lipase dengan minyak yang menyebabkan terjadinya proses hidrolisis.

  1. Kerusakan minyak karena proses oksidasi

Menurut Hartley (1977), apabila minyak kelapa sawit teroksidasi akan membentuk peroksida. Penentuan jumlah peroksida yang telah terbentuk dikenal dengan bilangan peroksida. Disamping penyebab di atas proses oksidasi dapat berjalan cepat dengan adanya enzim lipoksidase.                        Hidroperoksida yang merupakan hasil oksidasi tahap pertama, selanjutnya pada tahap kedua mengalami proses degradasi sehingga terbentuknya persenyawaan tidak jenuh dengan berat molekul yang lebih rendah, misalnya aldehida atau keton yang menimbulkan bau tengik pada minyak. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kecepatan oksidasi lemak dapat dipengaruhi antara lain oleh suhu, dan cahaya.

Minyak buah kelapa sawit (skripsi dan tesis)

Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq). Secara garis besar buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan pulp dan lapisan paling dalam disebut endocarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm dan embrio. Mesocarp mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak  56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endocarp tidak mengandung minyak. Minyak kelapa sawit seperti pada umumnya minyak nabati lainnya merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen penyusun yang utama adalah trigliserida dan nontrigliserida (Pasaribu Nurhida, 2004).

Buah sawit mengandung dua jenis/tipe minyak-lemak :

  1. Minyak/lemak palmitat-oleat; terdapat dalam sabut dan biasa disebut minyak sawit (palm oil).
  2. Minyak/lemak laurat; terdapat di dalam daging buah (yang putih) dan biasa disebut minyak inti sawit (palm kernel oil).

Minyak sawit merupakan minyak utama buah sawit, karena banyaknya kira-kira 10 kali lebih besar dari minyak inti sawit. Minyak nabati merupakan produk utama yang bisa dihasilkan dari kelapa sawit. Potensi produksinya per hektar mencapai 6 ton per tahun, bahkan lebih. Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah yang sering disebut CPO (Crude palm oil) atau PKO (Palm kernel oil).selain digunakan untuk produk berbasis pangan dan minyak goreng, CPO dapat dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif (Minyak diesel). (Pasaribu Nurhida, 2004).

  1. Trigliserida pada minyak kelapa sawit

Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit terdiri atas trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak

Bila R,=R2=R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya sama, maka trigliserida ini disebut trigliserida sederhana, dan apabila salah satu atau lebih asam lemak penyusunnya tidak sama maka disebut trigliserida campuran.

Asam lemak merupakan rantai hidrokarbon; yang setiap atom karbonnya mengikat satu atau dua atom hidrogen. Asam lemak yang pada rantai karbonnya terdapat ikatan rangkap disebut asam lemak tidak jenuh, dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya disebut dengan asam lemak jenuh.

Makin jenuh molekul asam lemak dalam molekul gliserida, maka maikin tinggi titik beku atau titik cair minyak tersebut. Sehingga biasanya berada pada fase padat. Sebaliknya semakin tidak jenuh asam lemak dalam molekul trigliserida maka makin rendah titik cair /titik beku minyak tersebut, sehingga pada suhu kamar berada pada fase cair. Minyak kelapa sawit adalah minyak semi padat yang mempunyai komposisi tetap.Berikut ini adalah tabel dari komposisi trigliserida dan tabel komposisi asam lemak dari minyak kelapa sawit.

 

  1. Senyawa non trigliserida pada minyak kelapa sawit

Selain trigliserida masih terdapat senyawa nontrigliserida pada minyak kelapa sawit dalam jumlah kecil. Yang termasuk senyawa ini antara lain: monogliserida, digliserida, fosfatida, karbohidrat, turunan karbohidrat, protein dan bahan-bahan berlendir atau getah (gum) serta zat-zat berwarna yang memberikan warna serta rasa dan bau yang tidak diinginkan.

Dalam proses pemurnian dengan penambahan alkali (biasanya disebut dengan proses penyabunan) beberapa senyawa nontrigliserida dapat dihilangkan, kecuali senyawa yang disebut dengan senyawa tak tersabunkan

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Petani Dalam Adopsi Inovasi (skripsi dan tesis)

Menurut Uhi (2002),  faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam adopsi inovasi dapat berupa factor yang berhubungan dengan faktor yang berasal dari luar diri petani (eksogen) dan faktor yang berasal dari dalam diri petani (endogen). Faktor endogen yang mempengaruhi perilaku petani di antaranya adalah:

  • Usia petani.

Usia petani mempengaruhi kemampuan dan kemauan petani dalam mengelola usahanya agar menjadi lebih baik. Petani yang lebih muda biasanya akan lebih terbuka menerima pembaharuan. Umur petani yang lebih muda juga biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan menerima informasi  walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam informasi  tersebut (Soekartawi, 1998). Keengganan individu mengambil resiko dalam berusaha tani cenderung meningkat seiring bertambahnya umur.

  • Tingkat pendidikan.

Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang telah dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap kapasitas belajar yang memerlukan tingkat pengetahuan tertentu untuk dapat memahaminya. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi kemampuan dalam memahami suatu informasi baru yang diterimanya. Pendidikan merupakan faktor paling penting yang dapat mempengaruhi proses mental seseorang dalam  menanggapi suatu pembaharuan. Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang dalam memahami suatu informasi, sehingga dapat merespons info itu secara tepat (Mosher, 1968).

  • Luas lahan garapan.

Petani yang memiliki lahan luas biasanya lebih cepat dalam mengadopsi  karena kemampuan ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu lahan yang luas akan memberikan hasil yang lebih banyak, sehingga petani akan semakin merespons  yang mampu mengelola hasil usaha taninya agar dapat meningkatkan nilai jual dan pendapatannya. Hal ini berarti semakin luas usaha taninya maka responnya yang diberikan terhadap informasi  tersebut semakin tinggi (Mardikanto, 1993).

  • Intensitas petani mengikuti kegiatan penyuluhan.

Keberhasilan penyuluhan suatu program tidak hanya ditentukan oleh aktivitas penyuluh tetapi juga ditentukan oleh intensitas kehadiran petani dalam penyuluhan tersebut, karena bila tidak hadir dalam penyuluhan maka tujuan yang hendak dicapai kurang dipahami oleh petani. Petani dengan frekuensi kehadiran tinggi akan memperoleh informasi secara lengkap dan lebih memahaminya, sehingga petani yang mengikuti kegiatan penyuluhan secara rutin akan mempunyai respons positif terhadap informasi yang diberikan.

Persepsi adalah gambaran dalam benak seseorang tentang suatu obyek atau stimuli yang bersifat subyektif (Simamora, 2005).

Menurut Syafrudin (2003), faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku adopsi inovasi petani adalah:

 

  • Kinerja Peran penyuluh

Peranan utama penyuluhan di banyak negara pada masa lalu dipandang sebagai alih teknologi dari peneliti ke petani. Sekarang peranan penyuluhan lebih dipandang lebih dipandang sebagai proses membantu petani untuk mengambil keputusan sendiri dengan cara menambah pilihan bagi mereka, dan dengan cara menolong mereka mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi dari masing-masing pilihan itu (Van den Ban, 1999).

Kinerja adalah catatan mengenai akibat-akibat yang di hasilkan pada sebuah tujuan organisasi. (Kane & Kane, 1993, Bernardin & Russell, 1998, Casio, 1998). Kinerja seseorang merupakan gabungan dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat diukur dari akibat yang dihasilkannya, oleh karena itu kinerja bukan menyangkut karakteristik pribadi yang ditunjukkan oleh seseorang melalui hasil kerja yang telah dan akan dilakukan seseorang, kinerja dapat pula diartikan sebagai kesuksesan individu dalam melakukan pekerjaannya, dan ukuran kesuksesan masing-masing karyawan tergantung pada fungsi dari pekerjaannya yang spesifik dalam aktivitas selama kurun waktu tertentu, dengan kata lain ukuran kesuksesan tersebut didasarkan pada ukuran yang berlaku dan disesuaikan dengan jenis pekerjaannya.

Vroom (1964) mengatakan bahwa tingkat sejauh mana keberhasilan seseorang didalam melakukan tugas pekerjaannya dinamakan tingkat kinerja (level of performance). Seseorang yang level of performance tinggi disebut sebagai orang yang produktif, sebaliknya yang levelnya tidak mencapai standar, dikatakan sebagai tidak produktif atau kinerja rendah.

Schultz & Schultz (1994) mengatakan bahwa karyawan akan mampu memotivasi diri mereka sepenuhnya jika ada tujuan yang pasti yang ingin diraih. Tujuan tersebut adalah hasil yang akan dicapai oleh karyawan dan memberikan arah pada perilaku dan pikiran mereka sehingga membimbing kepada tujuan yang hendak dicapai. Sejauh mana kesuksesan karyawan dalam mencapai tujuan tersebut melalui tugas-tugas yang dilakukan disebut dengan kinerja.

Cherington (1994) mengatakan bahwa kinerja menunjukkan pencapaian target kerja yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Pencapaian kinerja tersebut dipengaruhi oleh kecakapan dan waktu. Kinerja yang optimal akan terwujud bilamana dapat memilih karyawan yang memiliki motivasi dan kecakapan yang sesuai dengan pekerjaannya serta memiliki kondisi yang memungkinkan mereka agar dapat bekerja secara maksimal.

Soeprihanto (1996), berpendapat bahwa pada dasarnya kinerja atau performansi kerja seseorang karyawan adalah hasil kerja seorang karyawan selama periode waktu tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

Berdasarkan uraian di atas, kinerja dapat disimpulkan sebagai hasil dari suatu usaha yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Hasil tersebut sesuai dengan kemampuan, keterampilan dan pengalaman yang diukur pada periode waktu tertentu menurut krtiteria yang telah ditetapkan dari perusahaan dimana individu tersebut bekerja.

Sedangkan penyuluh pertanian adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hal secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan penyuluhan. Materi penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh penyuluh kepada pelaku utama (petani) dan pelaku usaha (pengusaha pertanian) dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, managemen, ekonomi, hukum dan kelestarian lingkungan (UU No. 16 tahun 2006).

Peran dan tugas Penyuluh Pertanian adalah sebagai berikut (KIPPK Kabupaten Magelang, 2008b) :

  • Menyusun programa penyuluhan sebagai kerangka acuan kerja tahunan.
  • Membuat data dan potensi wilayah binaan.
  • Menyusun rencana kerja penyuluhan bulanan, yang merupakan penjabaran dari pelaksanaan programa penyuluhan.
  • Mendorong tumbuhkembangnya kelembagaan tani baik dalam bentuk kelompoktani, gabungan kelompoktani atapun asosiasi tani.
  • Mendorong terwujudnya peningkatan produktifitas Usaha tani, peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani beserta keluarganya.
  • Mendorong terciptanya petani yang berbudaya dan mandiri.
  • Mendorong terciptanya kemitraan baik itu kemitraan dalam bidang informasi teknologi , sarana produksi, modal ataupun pemasaran dengan pihak ketiga.
  • Melaksanakan Diseminasi teknologi, agar inovasi teknologi tersebut dapat di adopsi oleh petani.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kinerja penuyuluh pertanian adalah sejauh mana keberhasilan penyuluh pertanian di dalam melakukan tugas pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam Peran dan tugas Penyuluh Pertanian.

  • Sumber Modal Petani

Dalam mengadopsi inovasi pertanian pada umumnya memerlukan modal yang lebih besar dibandingkan dengan teknologi sebelumnya, sehingga kadang-kadang introduksi adopsi inovasi pertanian bagi petani subsistem dipandang tidak praktis, karena disamping memerlukan tambahan modal yang sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga menghilangkan kesempatan bekerja diluar usahatani.

Bachrein dan Hasanuddin (1997) yang menyatakan bahwa petani pada umumnya mengadopsi inovasi teknologi tidak secara utuh, namun secara parsial disesuaikan dengan kemampuan modal dan tenaga kerja yang dimilikinya. Besar usahatani yang tersedia untuk suatu usahatani digambarkan dengan besarnya modal yang dialokasikan dalam usahatani yang bersangkutan dalam satu proses produksi. Jadi keterbatasan modal usahatani merupakan kendala untuk mengadopsi inovasi pertanian. Pada kenyataannya sumber modal petani dapat berasal dari pemerintah pusat yang diambil melalui APBN, pemerintah Provinsi yang diambil dari APBD Prov, pemerintah Kabupaten yang diambil dari APBD Kab Magelang, maupun modal sendiri atau Swadaya

  • Ketersediaan sarana produksi.

Mosher (1991), tersedianya sarana produksi secara lokal merupakan salah satu syarat pokok untuk berlangsungnya pembangunan pertanian, dimana ivovasi teknologi memerlukan sarana produksi seperti benih berkualitas, pupuk, pestisida, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan petani. Tersedianya sarana produksi secara lokal yang terjangkau oleh petani baik secara fisik (kemudahan) maupun harganya akan merangsang petani untuk mengadopsi inovasi teknologi. Ketersediaanya sarana produksi secara lokal dan terjangkau oleh petani akan berpengaruh positif terhadap adopsi inovasi pertanian.

  • Pasar

Ketersediaan pasar secara lokal sebagai tempat pemasaran hasil produksi usahatani yang mudah dijangkau oleh petani merupakan salah satu syarat utama dalam modernisasi dan komersialisasi pertanian (Mosher, 1991). Dengan adanya permintaan, lancarnya penjualan dan penyaluran hasil usahatani, akan menambah gairah untuk meningkatkan produksi hasil usahataninya. Dengan demikian maka ketersediaan pasar yang dapat dijangkau oleh petani dapat meningkatkan adopsi inovasi teknologi.

Perilaku Adopsi Inovasi Teknologi (skripsi dan tesis)

Perilaku atau tanggapan dapat diartikan sebagai perubahan perilaku seseorang yang diakibatkan adanya rangsangan (stimulus) dari luar.

Perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh individu akibat merasakan rangsangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) Tanggapan terhadap sesuatu hal yang baru, (2) Reaksi terhadap sesuatu hal yang baru, dan (3) Jawaban terhadap sesuatu hal yang baru. Perilaku merupakan tanggapan seseorang terhadap suatu obyek di luar dirinya, atau kesediaan seseorang untuk menentukan sikap terhadap obyek itu. Perilaku seseorang ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu stimulus (rangsangan) dan individu itu sendiri. Bila dikaitkan secara khusus dengan pengertian perilaku petani terhadap teknologi maka dapat diuraikan sebagai perubahan sikap petani yang diakibatkan adanya teknologi.

Teori rangsangan dan tanggapan (Stimulus Response Theory) mengatakan bahwa seseorang hanya akan memberikan tanggapan atas rangsangan yang diterimanya manakala dengan memberikan ia memperoleh sesuatu manfaat. Tanggapan yang diberikan oleh sasaran akan bergantung kepada:

  • Besar kecilnya manfaat yang diharapkan akan diperoleh. Semakin besar manfaat yang dapat diharapkan, semakin cepat dan besar pula tanggapan yang diberikan.
  • Selang waktu antara penyampaian tanggapan dengan diperolehnya manfaat. Semakin cepat manfaat diperoleh, semakin cepat pula tanggapan akan diberikan.
  • Frekuensi penerimaan manfaat yang akan diterima. Semakin tinggi frekuensi manfaat yang dapat diharapkan, semakin besar pula frekuensi penyampaian tanggapan.
  • Besarnya energi atau biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh manfaat yang diharapkan.
  • Ada tidaknya isolasi. Semakin terisolasi (tidak ada saingan) rangsangan terhadap rangsangan yang lain, tanggapan yang diberikan akan semakin besar.

Dari pernyataan-pernyataan diatas maka perilaku petani diartikan sebagai perubahan sikap diuraikan sebagai perubahan sikap petani yang diakibatkan adanya proses komunikasi  teknologi. Sedangkan model perilaku sendiri dapat ditentukan oleh stimulus, dan individu itu sendiri.

Adopsi menurut Samsudin (1976), adalah suatu proses yang dimulai dari keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan kepada pihak yang kedua, sampai ide tersebut dapat diterima oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Ide-ide tersebut berupa inovasi, jadi inovasi adalah  sesuatu yang baru yang disampaikan kepada masyarakat bersifat baik dan menguntungkan bagi masyarakat. Hal-hal baru tersebut berupa ilmu dan teknologi pertanian, ilmu yang disampaikan berupa teori yang berfungsi untuk memikirkan sesuatu, sedangkan teknologi bersifat praktis untuk menjalankan yang telah dipikirkan.

Menurut Van den Ban (1999), adopsi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Ada beberapa tahapan dalam menganalisis suatu proses adopsi:

  • Kesadaran: pertama kali mendengar tentang inovasi
  • Minat: mencari informasi lebih lanjut
  • Evaluasi: menimbang manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi
  • Mencoba: menguji sendiri inovasi pada skala kecil
  • Adopsi: menerapkan pada skala besar setelah membandingkannya dengan metode lama.

Adopsi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan) hal tersebut. Dalam proses tersebut, petani akan mengambil keputusan setelah  melalui beberapa tahapan. Awalnya, petani mengetahui suatu inovasi, yang dapat berupa sesuatu yang benar-benar baru atau yang sudah lama ditemukan tetapi masih dianggap baru oleh petani sasaran. Dengan adanya inovasi, petani akan meninggalkan cara-cara lama dan akan menggunakan cara baru yang dianggap lebih menguntungkan baik dari segi waktu dan hasil.

Prospek Dan Strategi Pengembangan Lahan Rawa (skripsi dan tesis)

 

Potensi lahan rawa baik lahan pasang surut maupun lahan lebak yang cocok untuk usaha pertanian masih cukup luas. Sampai saat ini pemanfaatan lahan rawa sebagai usaha pertanian masih terbatas, sehingga peluang untuk meningkatkan peran lahan ini ke depan masih cukup besar sebagai sumber pertumbuhan pertanian. Namun diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya, karena sifat fisiko-kimia tanahnya yang khas. (Wayan Sudana, 2005)

Pemilihan komoditas perlu memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapan (Widjaja –Adhi 1992;1995). Aspek utama yang diperhatikan dalam pemilihan komoditas adalah: 1) kesesuaian agroteknis, 2) kelayakan atau potensi ekonomis, 3) ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan 4) pemasaran hasil (Ismail et al. 1993;Abduracman dan Ananto 2000; Suwarno et al. 2000)

Padi merupakan komoditas utama yang dikembangkan di lahan rawa, karena tanaman ini relative mudah dibudidayakan di lingkungan rawa terutama pada lahan tipe luapan air A dan B. Di samping itu,harganya pun lebih stabil dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya (Ismail et al.1993).

Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengembangan lahan rawa, harus mengacu kepada tipologi lahan dan tipe luapan air. Setiap tipologi lahan menghendaki cara pengelolaan yang berbeda. Pada lahan pasang surut dengan tipologi sulfat masam, dimana lapisan piritnya relatif dangkal kurang dari 50 cm, pengolahan tanahnya harus minimum atau dangkal agar lapisan pirit tidak teroksidasi, yang mengakibatkan tanah menjadi masam. Sebaliknya, pada tipologi lahan potensial dengan kedalaman lapisan pirit lebih dari 50 cm, pengolahan tanah bisa lebih dalam untuk memperluas areal perakaran tanaman, tetapi tidak sampai ke lapisan pirit. (Wayan Sudana,2005)

Berdasarkan tipe luapan, untuk tipe luapan A bisa diusahakan dengan pola tanam dua kali padi dalam setahun, sedangkan pada tipe luapan B pengelolaannya dengan sistem surjan. Sistem surjan adalah membagi bidang olah menjadi dua bagian, bagian bawah disebut tabukan sehingga dapat diusahakan dua kali padi dalam setahun dan bagian atas disebut guludan dapat ditanami palawija, atau sayuran dataran rendah yang diintegrasikan dengan tanaman tahunan. Sedangkan untuk tipe luapan C bisa ditanami dua kali padi gogo atau palawija maupun sayuran dataran rendah dengan sistem tegalan. Tipe luapan D bisa ditanami palawija, atau sayuran dataran rendah yang diintegrasikan dengan tanaman keras seperti kelapa atau lada. (Wayan Sudana,2005)

Mengingat paket pengembangan lahan rawa sangat tergantung pada tipologi lahan dan tipe luapan air, maka kajian seharusnya dilakukan pada satu hamparan yang mencakup satu tata air makro, misalnya satu hamparan jaringan saluran sekunder atau tersier. Pada hamparan ini komponen teknologi yang telah dihasilkan lewat penelitian dapat dikaji secara holistik dengan integrasi berbagai komoditas yang memungkinkan secara biofisik dan sosial ekonomi, untuk mendapatkan paket teknologi pengembangan spesifik lokasi berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan air. (Wayan Sudana,2005)

Berdasarkan pengalaman pengembangan lahan rawa melalui SUP ( sistem usaha pertanian) di Sumatera Selatan Tahun 1995, kunci keberhasilan pengembangan lahan ini terletak pada: pertama, pemilihan kelompok tani yang kooperatif dan visioner; kedua, penyediaan saprodi tepat waktu, jumlah dan kualitas, termasuk di dalamnya modal, tenaga (manusia atau alsintan), bibit, pupuk, herbisida dan pestisida; dan ketiga, dukungan pemasaran hasil produksi khususnya menjamin kesetabilan harga di tingkat petani (farm gate price).(Wayan Sudana,2005)

Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut (skripsi dan tesis)

Hasil-hasil penelitian berupa komponen teknologi dalam upaya pengembangan lahan ini, telah banyak dihasilkan baik oleh Badan Litbang Pertanian, maupun oleh pihak lain seperti Universitas. Badan Litbang Pertanian sendiri, telah memulai penelitian pada lahan ini sejak pertengahan tahun 1980 an. Hasil penelitian tersebut baru berupa komponen teknologi seperti, teknologi pengelolaan tanah dan air, varietas khususnya untuk tanaman padi unggul adaptif, pengelolaan bahan amiliorasi dan pemupukan menurut status hara tanah dan tipologi lahan, pengendalian OPT, serta pengelolaan panen dan pasca panen (Alihamsyah et al., 2001). Sedangkan teknologi produksi berupa paket teknologi, yaitu integrasi beberapa komponen yang siap untuk didiseminasikan atau dikembangkan belum banyak dilakukan kajian.

Menurut Widjaya-Adhi dan Alihamsyah (1998), sistem tata air yang direkomendasikan untuk pengelolaan lahan pasang surut ini adalah sistem aliran satu arah menggunakan flap-gate untuk lahan bertipe luapan A, dan sistem tabat (bendung) menggunakan stop-log untuk lahan bertipe luapan C dan D. Hal ini karena sumber air kedua tipe lahan ini berasal dari air hujan. Sistem ini diperlukan agar aliran air menjadi terhambat, sehingga kelembaban tanah suatu kawasan dapat dipertahankan. Sedangkan untuk lahan dengan tipe luapan B,        disarankan dengan menggunakan kombinasi sistem aliran satu arah dan tabat (Sarwani, 2001).

Keberhasilan pengembangan suatu komoditas sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ketersediaan benih. Menurut Khairullah dan Sulaeman (2002), varietas padi yang telah beradaptasi baik terhadap lingkungan bio fisik maupun selera konsumen khususnya rasa dan berdaya hasil tinggi adalah varietas Margasari dan Martapura. Di samping itu masih terdapat galur harapan yang dapat dilepas dalam waktu dekat menjadi varietas. Dengan pengelolaan yang baik potensi produksi padi lahan ini dapat mencapai 5 t/ha (Alihamsyah et al., 2001).

Di samping padi, tanaman yang cocok diusahakan pada lahan ini adalah palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, beberapa tanaman hortikuhura seperti jeruk, nenas, cabai, tomat, bawang merah dan semangka. Tanaman industri yang memiliki prospek cukup baik, diusahakan pada lahan ini adalah, kelapa, lada dan jahe, serta berbagai macam ternak bisa beradaptasi baik (Ismail et al., 1993).

Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang surut adalah kemasaman tanah tinggi, serta ketersediaan unsur hara dalam tanah relatif rendah. Oleh sebab itu, ameliorasi dan pemupukan merupakan komponen penting untuk memecahkan masalah tersebut, khususnya pada lahan sulfat masam dan gambut. Bahan amelioran yang telah teruji baik adalah kapur atau abu sekam maupun abu gergajian. Dengan pemberian kapur atau abu sebagai amelioran sebanyak 1 – 3 ton/ha, akan mampu meningkatkan hasil padi secara nyata di lahan sulfat masam. Amelioran ini harus dikombinasikan dengan pemberian pupuk    an-­organik dengan dosis anjuran adalah pupuk N berkisar 67,5-135 kg, P2O2 47 hingga 70 kg, dan K2O 50-75 kg/ha. Lahan gambut; dosis kapur 1-2 t/ha serta pupuk N 45 kg, P2O2 60 kg dan K2O 50 kg/ha. Sedangkan untuk lahan potensial tanpa menggunakan kapur, namun pupuk N yang dianjurkan adalah 45-90 kg, P2O2 22,5-45 kg, dan K2O 50 kg/ha (Balitra, 1998).

Daerah Rawa Pasang Surut (skripsi dan tesis)

Daerah rawa dapat di definisikan sebagai daerah yang secara permanen atau temporal tergenang air karena tidak adanya system drainase alami serta mempunyai cirri-ciri khas secara fisik,kimia dan biologis. (Widjaja-Adhi et al.1992). Rawa pasang surut adalah lahan rawa yang genangannya airnya terpengaruh oleh pasang surutnya air laut. Selanjutnya, rawa semacam ini dibedakan berdasarkan kekuatan air pasang dan kandungan garam didalam airnya (asin/payau atau tawar) serta jauhnya jangkauan luapan air.(Sri Najiyati dkk,2005)

Berdasarkan salinitas air, rawa pasang surut dibedakan menjadi dua yaitu pasang surut air salin/ asin  dan pasang surut air tawar.(Sri Najiyati dkk,2005).

Pasang surut air salin/asin atau payau berada pada posisi Zona I ( lihat Gambar 1). Diwilayah ini , genangan selalu dipengaruhi gerakan arus pasang surutnya air laut sehingga pengaruh salinitas air laut sangat kuat, Akibatnya, air di wilayah tersebut cenderung asin dan payau, baik pada pasang besar maupun pasang kecil, selama musim hujan dan musim kemarau. Lahan rawa yang salinitas air (kadar garamnya ) antara 0,8-1,5 % dan mendapat intrusi air laut lebih dari 3 bulan dalam setahun (Ismail dkk,1993) disebut sebagai lahan salin atau lahan pasang surut asin. Lahan seperti itu biasanya didominasi oleh tumbuhan bakau. Apabila kadar garamnya hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2 bulan, disebut sebagai lahan rawa peralihan. Tidak banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin karena sering mengalami keracunan. Lahan seperti ini direkomendasikan untuk hutan bakau/mangrove,budidaya tanaman kelapa,dan tambak. (Sri Najiyati dkk,2005)

Pasang surut air tawar berada apa Zona II (lihat Gambar 1). Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang dari laut sedikit lebih besar atau sama dengan kekuatan arus/dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena energi arus pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai,lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian,namun air asin/payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke pedalaman, kekuatan arus pasang makin melemah. Kedalaman luapan air pasang juga makin berkurang, dan akhirnya air pasang tidak  menyebabkan terjadinya genangan lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah. Di kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat, hanya airnya didominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu sendiri. (Sri Najiyati dkk,2005)

Di daerah perbatasan/peralihan antara Zona I dengan Zona II, salinitas air sering meningkat pada musim kemarau panjang sehingga air menjadi payau. Lahan seperti ini sering juga disebut sebagai lahan rawa peralihan. Meskipun airnya tawar di musim hujan, di bawah ini permukaan tanah pada Zona ini terdapat lapisan berupa endapan laut (campuran liat dan lumpur) yang dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 – 120 cm di bawah permukaan tanah. (Sri Najiyati dkk,2005)

Jika ditinjau dari jangkauan luapan air pasang sebagai akibat terjadi pasang surut air laut, lahan rawa di bedakan menjadi empat tipe luapan yaitu : Tipe Luapan A,B,C dan D ( Widjaja-Adhi et al. 1992)

  1. Rawa Tipe luapan A, yaitu rawa dalam klasifikasi ini merupakan rawa yang selalu terluapi oleh air pasang tertinggi karena variasi elevasi pasang surut air sungai,baik pasang tertinggi saat musim kemarau maupun musim penghujan.
  2. Rawa Tipe luapan B, yaitu rawa yang kadang kadang tidak selalu terluapi oleh air pasang tinggi karena pengaruh pasang surut air sungai,paling tidak terluapi pada saat musim penghujan.
  3. Rawa Tipe luapan C, yaitu rawa  dalam kategori ini didefinisikan sebagai daerah rawa yang tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai .
  4. Rawa Tipe luapan D, yaitu Daerah Rawa ini adalah rawa yang menurut hydrotopografinya tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai,dan memiliki kedalaman air tanah > 50 cm dari permukaan tanah.

 

Dalam usaha mengembangkan sistem usahatani yang efisien dan memberikan keuntungan yang optimal, maka lahan pasang surut perlu ditata dan saluran airnya perlu diatur untuk menekan pengaruh negatif dari salinitas dan kemasaman tanah, dengan teknik yang mudah dilakukan oleh petani setempat.(Litbang Pertanian,1993)

Padi merupakan komoditas utama yang sesuai dalam sistem usahatani lahan pasang surut, karena dengan teknik budidaya dan penggunaan varitas yang sesuai, padi dapat tumbuh baik di semua tipologi lahan dan tipe luapan air, baik secara gogo, gogorancah, maupun sawah. Pemilihan sistem usahatani ini terutama didasarkan kepada faktor keamanan pangan bagi petani dan stabilitas harga produksinya. Penganekaragaman usahatani diperlukan untuk lebih meningkatkan pendapatan (Manwan et al. 1992).

Karakteristik dan Potensi Lahan Pasang Surut (skripsi dan tesis)

Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan agro-industri menuntut peningkatan produksi pertanian yang semakin tinggi setiap tahunnya, padahal lahan-lahan subur semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan non-pertanian. Dewasa ini diperkirakan 35.000-40.000 ha lahan subur setiap tahunnya beralih fungsi menjadi wilayah pemukiman, jalan raya, dan industri (Litbang Pertanian, 1992). Karena itu untuk mengembangkan usaha pertanian perlu diarahkan kepada lahan-lahan marginal di luar Jawa yang dikaitkan dengan program transmigrasi dan peningkatan kesempatan kerja.

Lahan pasang surut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya meliputi areal seluas 24,8 juta ha, dan sekitar 9 juta ha diantaranya prospektif dikembangkan untuk pertanian (Litbang Pertanian, 1995). Meskipun disadari bahwa lahan pasang surut ini mempunyai berbagai kendala, baik agro-fisik, biologis, maupun sosial ekonomi sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan konservasi dan pemahaman akan faktor-faktor sosial ekonomi seperti ketersediaan tenaga kerja, pemasaran, dan keterpencilan lokasi.

Menurut Widjaja Adhi et al (1992), lahan pasang surut merupakan lahan marginal dan rapuh yang pemanfaatannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat. Kekeliruan di dalam membuka lahan ini akan membutuhkan investasi besar dan sulit untuk mengembalikannya seperti keadaan semula. Karena itu, pengembangan lahan pasang surut memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat.

Menurut Widjaja Adhi et.al (1992), faktor penting yang perlu dipertimbangkan di dalam pengembangan dan pengelolaan lahan pasang surut diantaranya adalah :

  1. Lama dan kedalaman air banjir atau air pasang serta kualitas airnya;
  2. Ketebalan, kandungan hara, dan kematangan gambut;
  3. Kedalaman lapisan pirit dan kemasaman total potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya;
  4. Pengaruh luapan atau intrusi air asin/payau; dan
  5. Tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan, apakah endapan sungai, laut, atau pasir kuarsa.

Menurut Litbang Pertanian (1993) macam dan tingkat kendala yang diperkirakan dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor di atas digunakan dalam menyusun tipologi lahan pasang surut yang dikelompokkan kedalam 4 tipologi utama, yaitu:

  1. Lahan potensial; yaitu lahan nnnnnyang memiliki kendala teknis agronomis yang paling ringan, jika dibandingkan dengan lahan lainnya. Karakteristik lahan potensial adalah tekstur liat, lapisan pirit berada pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah, kandungan N dan P tersedia rendah, derajat keasaman (pH) 3,5 – 5,5 ; serta kandungan pasir kurang dari 5% dan debu 20%.
  2. Lahan sulfat masam; dicirikan oleh kandungan senyawa sulfida tinggi dan lapisan pirit terletak pada kedalaman kurang dari 50 cm. Di lapang terdapat dua macam lahan sulfat masam, yaitu :
  1. Lahan sulfat masam potensial; dicirikan oleh belum teroksidasinya lapisan pirit dan pH di atas 3,5;
  2. Lahan sulfat masam aktual; dicirikan oleh telah teroksidasinya lapisan pirit, dan pH kurang dari 3,5. Kemasan tanah yang tinggi menyebabkan ketidakseimbangan hara, sehingga tanaman dapat mengalami kekahatan dan keracunan hara.
  1. Lahan gambut; adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dengan berbagai ketebalan dan terbagi kedalam beberapa golongan yaitu :
    • bergambut; ketebalannya kurang dari 50 cm,
    • gambut dangkal; ketebalannya 50 – 100 cm,
    • gambut sedang ; ketebalannya 100 – 200 cm,
    • gambut dalam ; ketebalannya 200 – 300 cm, dan
    • gambut sangat dalam, ketebalannya di atas 300 cm.
  2. Lahan salin; merupakan lahan yang dipengaruhi oleh intrusi air bergaram sehingga mempunyai daya hantar listrik lebih dari 4 MS / cm, tetapi mengandung unsur Na dapat dipertukarkan kurang dari 15%. Pendekatan yang ditempuh untuk mengatasi salinitas ini adalah dengan mengurangi terjadinya intrusi air bergaram dan mengusahakan komoditas serta varietas yang toleran terhadap salinitas.

Berdasarkan tipologi lahan pasang surut komoditas padi sawah dapat tumbuh dengan baik pada tipologi lahan potensial yaitu pada tipe luapan A,B dan C dengan syarat lahan ditata dengan baik.(Widjaja-Adhi et al dalam Nunthe 1998 )

Availability Ratio (skripsi dan tesis)

Availability Rasio mengukur keseluruhan waktu dimana system tidak beroperasi karena terjadi kerusakan alat, persiapan produksi dan penyetelan. Dengan kata lain Availability diukur dari total waktu dimana peralatan dioperasikan setelah dikurangi waktu kerusakan alat dan waktu persiapan dan penyesuaian mesin yang juga mengindikasikan rasio actual antara Operating time terhadap waktu operasi yang tersedia ( planned time Available atau loading time). Waktu pembebanan mesin dipisahkan dari waktu produksi secara teoritis serta waktu kerusakan dan waktu perbaikan yang direncanakan. Tujuan batasan ini adalah memotivasi untuk mengurangi Planned Downtime melalui peningkatan efisiensi penyesuaian alat serta waktu untuk aktifitas perawatan yang sudah direncanakan.

                  Avaibility =   …….(2.2)

Loading time adalah waktu yang tersedia (availability) per hari atau per bulan dikurang dengan waktu downtime mesin direncanakan (planned downtime).

Loading time = Total availability – Planned downtime………(2.3)

 

Planned downtime adalah jumlah waktu downtime mesin untuk pemeliharaan (scheduled maintenance) atau kegiatan manajemen lainnya.

Operation time merupakan hasil pengurangan loading time dengan waktu downtime mesin (non-operation time), dengan kata lain operation time adalah waktu operasi tesedia (availability time) setelah waktu downtime mesin keluarkan dari total availability  time yang direncanakan. Downtime mesin adalah waktu proses yang seharusnya digunakan  mesin akan tetapi karena adanya gangguan pada mesin/peralatan (aquipment failures) mengakibatkan tidak ada output yang dihasilkan. Downtime meliputi mesin berhenti beroperasi akibat kerusakan mesin/peralatan, penggantian cetakan (dies), pelaksanaan prosedur setup dan adjesment dan lain-lainnya.

OverallEquipment Effectiveness (OEE) (skripsi dan tesis)

Efekttivitas Peralatan Keseluruhan (Overall Equipment Effectiveness OEE)adalah indikator pengukuran yang dikembangkan oleh Seiichi Nakajima padatahun 1960 yang mengevaluasi dan menunjukkan seberapa efektif peralatanoperasi manufaktur yang digunakan. Hasil dinyatakan dalam bentuk generik yangmemungkinkan perbandingan antara unit-unit manufaktur di industri yangberbeda (Gasperz, 2012).

OEE bukan hal yang baru dalam dunia industri dan manufaktur, teknik pengukurannya sudah dipelajari dalam beberapa tahun dengan tujuan penyempurnaan perhitungan. Tingkat keakuratan OEE dalam pengukuran efektifitas memberikan kesempatan kepada semua usaha bidang manufaktur untuk mengaplikasikan sehingga dapat melakukan usaha perbaikan terhadap proses itu sendiri. OEE juga merupakan produk dari six big losses pada mesin/peralatan. Keenam faktor dalam  six big losses dapat  dikelompokkan menjadi tiga komponen utama dalam OEE untuk dapat digunakan dalam mengukur kinerja mesin/peralatan yakni, downtime losses, speed losses, dan defect losses

  1. Downtime
    1. Equipment Failure (breakdown losses)

Equipment failure merupakan yang terbesar dari six big loss. Terdapat dua jenis equipment failure, yaitu sporadic dan chronic. Sporadic failure terjadi secara tiba – tiba dimana sesuatu terjadi pada saat mesin rusak. Biasanya kerusakan jenis ini dapat diidentifikasi dengan mudah dan dapat diperbaiki. Sebaliknya chronic failure merupakan jenis kerusakan minor yang terjadi pada peralatan, namun pada saat terjadi kita tidak dapat dengan jelas mengidentifikasi penyebabnya. Disamping itu, dampak yang ditimbulkannya tidak signifikan, sehingga kerusakan ini secara umum dapat diterima.

  1. Set-up and adjustment losses

Set-up dan adjusment losses dapat diukur setelah terjadi breakdown. Kerugian ini mengacu pada kerugian waktu produksi antara jenis produk dan termasuk pemanasan setelah pergantian model. Waktu pergantian harus masuk ke dalam kategori ini dan tidak termasuk dalam bagian planned downtime.

  1. Speed Losses
    1. Reduced speed

Reduced speed mengacu pada perbedaan antara kecepatan ideal dengan kecepatan aktual operasi. Peralatan mungkin bekerja dibawah kecepatan idealnya dengan beberapa alasan : tidak standard atau kesulitan raw material, masalah mekanik, masalah yang lalu, atau kelebihan beban kerja terhadap peralatan tersebut.

  1. Idling and Minor Stoppages

Idling losses ini terjadi ketika peralatan / mesin tetap beroperasi (menyala) walaupun tanpa menghasilkan. Minor stoppages losses terjadi ketika peralatan berhenti dalam waktu singkat akibat masalah sementara. Contohnya, minor stoppage terjadi ketika sebuah bagian ekerjaan terlewatkan atau ketika sensor aktif dan menghentikan mesin. Secepat mungkin operator akan memindahkan bagian pekerjaan tersebut atau mematikan sensor sehingga dapat beroperasi normal kembali. Karena kerugian ini mengganggu kerja, maka dapat dikategorikan sebagai breakdown. Namun demikian, keduanya berbeda, dimana minor stoppage dapat diselesaikan dengan cepat ketika diketahui (operator dapat membetulkan minor stoppage dan dalam waktu kurang dari 10 menit).

  1. Quality Losses
    1. Start – up losses (reduced yield)

Kerugian ini terjadi di awal produksi, dari mesin dinyalakan sampai mesin stabil untuk berproduksi dengan kualitas yang sesuai standard. Volume dari kerugian ini tergantung dari derajat kestabilan proses. Ini bisa dikurangi dengan level pemeliharaan terhadap peralatan / mesin, kemampuan teknik operator, dll.

  1. Quality defect (process defect)

Prosses defect menunjukkan bahwa ketika suatu produk yang dihasilkan rusak dan harus diperbaiki, maka lama waktu peralatan memproduksinya adalah kerugian. Kerugian ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang lain. Namun dalam lingkungan  “Total Quality” sekarang ini, diharapkan tidak ada reject, terutama yang disebabkan oleh peralatan. Oleh karenanya kerugian ini harus ditekan seminimal mungkin.

OEE merupakan ukuran menyeluruh yang mengidentifikasikan tingkat produktifitas mesin/peraltan dan kinerjanya secara teori. Pengukuran ini sangat penting untuk mengetahui area mana yang perlu untuk ditingkatkan produktivitas ataupun efektivitas mesin/peralatan dan juga dapat menunjukkan area bottleneck yang terdapat pada lintasan produksi. OEE juga merupakan alat ukur uantuk mengevaluasi dan memperbaiki cara yang tepat untuk jaminan peningkatan produktivitas penggunaan mesin/peralatan.

Formula matematis dari OEE (overall Equipment Effectiveness) dirumuskan sebagai berikut (Nakajima, 1988):

OEE = Availability  x  Performance  x  Quality x  100%       ……………….. (2.1)

Kondisi operasi mesin/peralatan produksi tidak akan akurat ditunjukkan jika hanya didasari oleh perhitungan satu faktor saja, misalnya performance efficiency saja. Dari enam pada six big losses harus diikutkan dalam perhitungan OEE, kemudian kondisi actual dari mesin/peralatan dapat dilihat secara akurat.

Alat dan Mesin untuk Proses Produksi Tahu (skripsi dan tesis)

Menurut Sarwani (2013), alat-alat produksi yang digunakan dalam melakukan proses pembuatan tahu saat ini pada umumnya adalah sebagai berikut:

  1. Mesin Giling

Setelah kacang kedelai mengalami proses pembersihan maka pada tahap selanjutnya dilakukan proses penggilingan dengan mesin giling sambil ditambahkan air sedikit demi sedikit. Pengilingan kacang kedelai harus sampai halus agar produksi tahu yang di dapat maksimal dan agar memudahkan proses pemisahan sari kacang kedelai dan ampas kacang kedelai. Berikut adalah gambar proses penggilingan kacang kedelai

  1. Tungku dan Mesin Uap

Bubur kacang kedelai yang didapat dari hasil penggilingan maka harus direbus di dalam Drum Plastik Besar dengan bantuan alat uap tradisional yang dialirkan menggunakan pipa besi kedalam Drum Plastik Besar. Dalam proses perebusan ini tiap 10 menit sekali harus ditambahkan air dingin sedangkan volume penambahan air tergantung banyaknya bubur kacang kedelai.

  1. Jamprong (saringan bambu dan kain)

Setelah rebusan bubur kacang kedelai agak dingin baru dilakukan penyaringan dengan Jamprong (Saringan kain dan bambu). Proses penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan sari kacang kedelai dengan ampas kacang kedelai. Dalam proses penyaringan ini ampas bubur kacang kedelai akan tetap tertahan didalam Jamprong, sedangkan sari bubur kacang kedelai akan terjatuh ke dalam Tahang (Sarana yang berbentuk kayu besar) yang telah di siapkan di samping panci besar

Namun saat ini telah banyak dilakukan modernisasi pada alat dan mesin pembuatan tahu agar lebih higienis. Laboratorium Energi dan Mesin Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Gadjah Mada mengembangkan peralatan proses pembuatan tahu yang didesain secara khusus untuk mengembangkan unit usaha tahu sesuai dengan profil UKM yang ada. (http://tep.tp.ugm.ac.id/ )

  1. Pemasakan Tahu dengan Ketel Uap

Bedasarkan kenyataan kapasitas produksi yang bervariasi tersebut maka dalam kegiatan inkubasi ini dirancang 3 model ketel uap, yaitu ketel uap skala besar, sedang, dan kecil. Ketiga model memiliki target pengguna yang berbeda. Berdasarkan pertimbangan kemampuan finansial calon pengguna maka hanya ketel uap skala besar saja yang dilengkapi dengan kontrol pengendali masukan air secara otomatis. Hasil survey juga menunjukan bahwa mayoritas industri tahu menggunakan bahan bakar limbah, seperti sekam padi dan limbah gergaji kayu, oleh karenanya ketel ini dirancang dengan bahan bakar limbah tersebut. Penggunaan bahan bakar minyak mulai dihindari seiring dengan langkanya sumber bahan bakar tersebut di pasaran.

Ketel uap industri tahu skala besar terdiri atas 4 bagian utama yaitu tabung ketel, kontrol air, sistem pengaman, dan cerobong asap. Tabung ketel dirancang dengan diameter 80 cm dan tinggi 120 cm. Bagian tengah tabung diberi pipa api vertikal yang diletakan menyebar berjumlah 9 buah. Pipa api dibuat dari besi pipa berdiameter 4 inchi sesuai dengan bahan bakar limbah biomassa tersebut.

Ketel uap untuk industri tahu skala sedang dirancang sedikit berbeda dari ketel uap skala besar. Ketel ini tidak dilengkapi dengan kontrol air. Ketel ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: tabung ketel, sistem pengaman, dan cerobong asap. Tabung ketel dirancang dengan diameter 80 cm dan tinggi 120 cm. Bagian tengah tabung diberi pipa api vertikal yang diletakan menyebar berjumlah 5 buah yang dibuat dengan ukuran yang sama dengan ketel uap industri tahu skala besar. Ketel ini juga dilengkapi dengan sistem pengaman dan cerobong asap yang dimensinya sama dengan ketel uap skala besar.

Berbeda dengan ketel sebelumnya, ketel uap untuk industri tahu skala kecil dirancang dengan ukuran yang lebih kecil. Ketel ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: tabung ketel, cerobong asap, dan pengaman. Tabung ketel dirancang dengan diameter 50 cm tinggi 120 cm yang dibagian tengahnya dipasang sebuah pipa api vertikal berdiameter 4 inchi. Pipa api ini dihubungkan langsung ke cerobong asap yang dirancang dari pipa yang sama setinggi 3 m. Ketel uap kecil ini juga dilengkapi dengan pengaman yang terdiri atas kaca penunjuk level air, tossen klep dan pengatur tekanan otomatis.

Pembuatan ketel ini dilakukan dengan serangkaian kegiatan perbengkelan seperti pemotongan, pengerolan, pengelasan, pembubutan, pengeboran, dan sebagainya. Pembuatan ketel dimulai dengan pembuatan tabung ketel disusul pembuatan bagian yang lain, kemudian disatukan menjadi ketel yang siap digunakan. Ada bagian akhir kegiatan dilakukan kegiatan finishing berupa pengesetan komponen kontrol dan pengecatan

Ketel uap digunakan untuk memasak bubur kedelai yang akan diproses menjadi tahu. Ketel uap juga dapat digunakan untuk perebusan tahu yang telah dicetak dan digunakan untuk pasteurisasi tahu untuk menghasilkan produk tahu yang berkualitas. Model layout penerapan ketel untuk pemasakan bubur kedelai telah banyak direalisasikan, antara lain di pabrik tahu CV. Kitagama Prambanan, pabrik tahu di desa Adiwerna, Kabupaten Tegal Jawa Tengah, dan sebagainya

  1. Pengembangan Mesin Sentrifuse

Mesin sentrifuse dikembangkan untuk menggantikan prosespenyaringan secara manual.

  1. Pengembangan Bak Masak & Pasteurisasi

Peralatan lainnya untuk mendukung proses pembuatan ahu yang juga diterapkan melalui kegiatan ini adalah bak masak, bak jendal, dan bak pasteurisasi. Peralatan tesebut dibuat dari bahan stainless steel sehingga tahan karat dan memenuhi standar keamanan pealatan pengolahan pangan. Bak masak digunakan untuk menggantikan wajan masak yang selama ini digunakan oleh pengrajin tahu desa Adiwerna. Bak masak digunakan untuk memanaskan bubur kedelai dengan uap panas yang disuplai dari ketel uap. Uap panas dari ketel dimasukan ke dalam bak masak melalui pipa yang dipasang pada bagian bawah bak masak tersebut. Bak masak dibuat berbentuk tabung tanpa tutup dengan ukuran diameter 60 cm, tinggi 80 cm yang dipasang pada kerangka terbuat dari besi siku berukuran panjang 70 cm, lebar 70 cm, tinggi 130 cm. Bagian dasar bak masak diberi corong keluaran yang dilengkapi dengan katup penahan untuk memandu mengeluarkan bubur kedelai yang telah matang ke mesin penyaring.

Bak jendal merupakan peralatan yang digunakan untuk menggumpalan susu kedelai hasil penyaringan. Gumpalan ini kemudian diambil dan dicetak menjadi tahu. Bak jendal juga dibuat dari bahan stainless berbentuk tabung dengan diameter 60 cm, tinggi 60 cm. Bak jendal tidak diberi kerangka sehingga lebih mudah dan fleksibel.

Bak pasteurisasi berfungsi untuk memasak tahu ebih lanjut agar lebih enak, higienis dan tahan lama. Bak pasteurisasi dibuat seperti bak masak, yaitu dari bahan stainless steel berbentuk tabung tanpa tutup berdiameter 60 cm, tinggi 60 cm.

Proses Pembuatan Tahu (skripsi dan tesis)

Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia (Jenie dkk, 2013). Pada umumnya pengrajin ataupun industri rumah tangga menggunakan peralatan serta teknologi yang sederhana dalam proses pembuatannya. Adapun proses pembuatan tahu secara umum sama dan kalaupun ada perbedaan hanya urutan kerja saja yakni dimulai dengan sortasi dan pembersihan kacang kedelai untuk mendapatkan kacang kedelai yang unggu, baik serta bebas dari kotoran sehingga nantinya akan dihasilkan tahu dengan kualitas yang baik, perendaman, pengupasan kulit, penggilingan, pemasakan bubur kedelai, penyaringan, penggumpalan, pencetakan, pengeperesan, perebusan dan pemotongan.

Beberapa bahan tambahan yang digunakan dalam proses pembuatan tahu antara lain: batu tahu (CaSO4), yaitu batu gips yang sudah dibakar dan ditumbuk halus menjadi tepung, asam cuka 90%, biang atau kecutan, yaitu sisa cairan setelah proses pengendapan protein atau sisa cairan dari pemisahan gumpalan tahu yang telah dibiarkan selama satu malam, kunyit yang digunakan untuk memberikan warna kuning pada tahu serta garam untuk memberikan sedikit rasa asin pada tahu.

  1. Proses pembuatan tahu tradisional

Proses pembuatan tahu tradisional umumnya diawali dengan proses perendaman, pencucian dan penggilingan kedelai untuk mendapatkan bubur kedelai. Tahap selanjutnya adalah pemasakan bubur untuk mendapatkan ekstrak kedelai, penyaringan untuk memisahkan sari kedelai dengan padatan, dan penggumpalan sari kedelai dengan penambahan kecutan. Tahap akhir adalah pencetakan dan pemotongan tahu. Pembuatan tahu dapat dilakukan dengan dua macam cara ekstraksi, yaitu ekstraksi panas dan ekstraksi dingin. Proses ekstraksi merupakan proses melarutkan komponen-komponen sari kedelai, terutama protein.

  1. Proses Pembuatan Tahu Modern

Modernisasi pada pembuatan tahu adalah pada proses pembuatan tahu sutera, menghasilkan produk yang disebut tahu tahan lama (long life tofu). Tahu tahah lama merupakan pengawetan tahu sutera dengan modifikasi teknologi, uang prosesnya banyak dilakukan di Jepang. Di Jepang dikenal dua jenis tahu (tofu), yaitu tahu biasa disebut momen atau regular tofu dan tahu sutera atau kinogushi tafu. Tahu biasa dibuat dengan dicetak dan ditekan untuk menghilangkan sebagian air, sehingga tahu menjadi keras. Pada pembuatan tahu sutera, air tahu tidak dibuang. (Purwaningsih, 2007)

Dalam pembuatannya, mula-mula sari atau susu kedelai dipanaskan pada suhu 130o C selama beberapa detik (proses ini dikenal dengan sterilisasi UHT = Ultra High Temperature), kemudian didinginkan sampai suhu 10 – 15o C dan dilakukan penambahan glukonodelta-lakton. Glukono delta-lakton (GDL) ialah aditif makanan yang terjadi secara alami dengan E number E575 digunakan sebagai sekuestran, pengatur keasaman atau pengawet, atau bahan ragi.  Selanjutnya secara aseptik dimasukkan ke dalam wadah plastik dan ditutup rapat. Kemudian wadah plastik tersebut dimasukkan ke dalam air panas (95 o C) selama 30 menit agar terjadi koagulasi atau penggumpalan. Setelah itu didinginkan dengan air mengalir. (Purwaningsih, 2007)

Definisi Tahu (skripsi dan tesis)

Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dan diambil sarinya. Berbeda dengan tempe yang asli dari Indonesia, tahu berasal dari Cina, seperti halnya kecap, tauco, bakpau, dan bakso. Tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) (Hanzi: 豆腐, hanyu pinyin: doufu) yang secara harfiah berarti ―kedelai yang difermentasi (Setiawan dan Rusdjijati, 2014). Dan dari data jumlah industri tahu di Indonesia mencapai 84.000 unit usaha dengan kapasitas 2,56 juta ton/tahun (dimana 80% dari jumlah tersebut berada di pulau Jawa). Industri tahu masih tergolong industri skala kecil atau rumah tangga dengan peralatan dan teknologi sederhana serta masih mengandalkan tenaga manusia hampir disemua tahapan proses pembuatannya (Setiawan dan Rusdjijati, 2014).

Menurut Suprapti (2005), tahu dibuat dari kacang kedelai dan dilakukan proses penggumpalan (pengendapan). Kualitas tahu sangat bervariasi karena perbedaan bahan penggumpalan dan perbedaan proses pembuatan. Tahu diproduksi dengan memanfaatkan sifat protein, yaitu akan menggumpal bila bereaksi dengan asam. Penggumpalan protein oleh asam cuka akan berlangsung secara cepat dan serentak diseluruh bagian cairan sari kedelai, sehingga sebagian besar air yang semula tercampur dalam sari kedelai akan terperangkap didalamnya. Pengeluaran air yang terperangkap tersebut dapat dilakukan dengan memberikan tekanan, semakin banyak air yang dapat dikeluarkan dari gumpalan protein, gumpalan protein itulah yang disebut sebagai “tahu”.

Tahu yang baik memiliki kualitas sensoris dan mikrobiologis sesuai standar mutu yang telah ditetapkan. Syarat mutu tahu menurut SNI 01-3142-1998

Sawi (Brassica chinensis L.) (skripsi dan tesis)

Sawi merupakan tanaman sayuran daun yang termasuk dalam keluarga Cruciferae. Sawi diduga berasal dari Tiongkok (Cina) dan Adia Timur. Konon di daerah Cina, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 2.500 tahun yang lalu, kemudian menyebar luas ke Filipina dan Taiwan. Di Taiwan perhatian terhadap pengembangan sawi dirintis sejak tahun 1949. Pada tahun tersebut, luas panene sawi mencapai 5.000-6.000 hektar. Pada tahun 1965, luas panen sawi di Filipina mencapai 2.810 hektar. Berawal dari kedua Negara tersebut, sawi semakin meluas dibudidayakan di dunia yang daerah pertaniannya cukup dikenal (Rukmana, 1994: 11).

      Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman sawi diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom         : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisio             : Spermatophyta (tumbuhan biji)

Subdivisi         : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas               : Dicotyledone (biji berkeping dua)

Ordo                : Papavorales

Famili              : Cruciferae atau Brassicaceae

Genus              : Brassica

Spesies            : Brassica chinensis L

Tanaman sawi menghendaki kondisi yang sesuai agar tanaman tersebut dapat tumbuh secara optimum dan berproduksi dengan optimal. Syarat-syarat yang penting untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah tanah yang subur, banyak mengandung humus, dan drainasenya baik. Selain itu derajat konsistensi tanah antara 6-7 dan ketinggian yang sesuai untuk tumbuhnya tanaman sawi adalah 500-1200 meter di atas permukaan laut (Kristiyanto, 1994).

Produksi utama dari tanaman sawi adalah daunnya. Selain sebagi sayuran, sawi juga biasa dibuat menjadi asinan. Selain memiliki cita rasa yang enak sayuran sawi juga menjadi sumber vitamin dan mineral yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia. Sayuran sawi kaya akan sumber vitamin A, sehingga sayuran tersebut berdaya guna dalam upaya mengatasi masalah kekurangan vitamin A atau penyakit rabun ayam, yang sampai kini menjadi masalah di kalangan anak balita. Kandungan nutrisi yang lain pada sayuran sawi adalah untuk menjaga kesehatan tubuh manusia dan berfungsi untuk memperbaiki daya kerja buah pinggang atau ginjal. Berikut ini adalah kandungan gizi sayuran sawi tiap 100 gram nya.

Seperti kita ketahui bahwa tanaman sawi sudah banyak dibudidayakan dan diusahakan di Indonesia baik oleh petani kecil maupun pertanian yang besar. Di Indonesia sendiri dikenal tiga jenis sawi, antara lain:

  1. Sawi Putih atau Sawi Jabung ( Juncea L. var rugosa Roxb. &Prain)

Jenis sawi ini memiliki cirri-ciri fisik seperti batangnya yang pendek, tegap dan daun-daunnya berwarna hijau tua, tangkai daun panjang dan bersayap melengkung ke bawah.

  1. Sawi Hijau

Sedangkan pada sayuran sawi hijau memiliki cirri-ciri fisik seperti batangnya yang pendek, dan daun-daunnya berwarna hijau keputih-putihan, serta citarasanya agak pahit.

  1. Sawi Huma

Sawi huma merupakan sawi dengan tipe batang yang kecil-panjang dan langsing, daun-daunnya panjang-sempit berwarna hijau keputih-putihan, serta tangkai daunnya panjang dan bersayap.

Sebenarnya sayuran sawi identik dengan Mustard yang banyak ditanam di luar negeri. Terdapat spesies mustard yang sudah umum dibudidayakan, antara lain Spimach mustard (B. campestris var. perividis), Mustard putih atau kuning (B. hirta moench atau B. alba rabena), dan mustard Indian (B. Juncea L. Czerm and Coss). Mustard Indian inilah yang diduga sawi di Indonesia (Rukmana, 2004: 18).

Pengertian Gapoktan (skripsi dan tesis)

Gabungan Kelompok Tani adalah kumpulan beberapa Kelompok tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi  dan  efisiensi  usaha  (Permentan  No.  82 tahun  2013 tentang    Pedoman    Pembinaan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani). Sedangkan    menurut Pujiharto (2010: 70-71) Gapoktan adalah gabungan dari  beberapa Kelompok  Tani yang melakukan usaha agribisnis di atas   prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan  produksi  dan  pendapatan usaha tani bagi anggotanya.

Gapoktan dapat sebagai sarana untuk bekerjasama antar Kelompok Tani yaitu kumpulan dari beberapa Kelompok Tani yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Di samping itu menurut Hermanto dan Dewa Swastika (2011: 375) pembentukan dan penumbuhan Kelompok Tani dapat ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian masyarakat menuju pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural Development). Gabungan Kelompok Tani ini terbentuk atas beberapa dasar yaitu kepentingan bersama antar anggota, berada pada wilayah usaha tani yang sama yang menjadi tanggung jawab bersama antar anggota, mempunyai kader pengelolaan yang berkompeten untuk menggerakkan petani, memiliki kader yang diterima oleh petani lainnya, adanya dorongan dari tokoh masyarakat, dan mempunyai kegiatan yang bermanfaat bagi sebagian besar anggotanya. Oleh karena itu salah satu usaha yang dilakukan pemerintah bersama dengan petani dalam rangka membangun upaya kemandiriannya maka telah di bentuk kelompok-Kelompok Tani di pedesaan (Sukino, 2014: 66).

Salah satu ciri yang ada pada suatu kelompok adalah kesatuan sosial yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama. Tujuan bersama dapat tercapai ketika terdapat pola interaksi yang baik antara masing-masing individu dan individu-individu tersebut memiliki peran serta mampu menjalankan perannya. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Adapun tujuan lain dari pembentukan Gapoktan diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Gapoktan dapat meningkatkan kesejahteraan anggota secara keseluruhan yang terlibat dalam kepengurusan maupun hanya sebagai anggota baik secara materiil maupun non material sesuai dengan kontribusi yang telah diberikan kepada pengembangan organisasi Gapoktan.

2)   Gapoktan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia semua anggota melalui pendidikan pelatihan dan study banding sesuai kemampuan keuangan Gapoktan.

3) Gapoktan dapat mengembangkan dan menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang pertanian dan jasa yang berbasis pada bidang pertanian.

Gapoktan juga dapat menjadi lembaga yang menjadi penghubung petani dari satu desa dengan lembaga-lembaga lainnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Menurut Permentan Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani Gapoktan memiliki fungsi-fungsi yaitu sebagai berikut :

1) Merupakan satu kesatuan unit produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan harga);

2) Penyediaan saprotan (pupuk bersubsidi, benih bersertifikat, pestisida, dan lainnya) serta menyalurkan kepada para petani melalui kelompoknya;

3) Penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/ pinjaman kepada para petani yang memerlukan;

4) Melakukan proses pengolahan produk para anggotanya (penggilingan, grading, pengepakan dan lainnya) yang dapat meningkatkan nilai tambah;

 5) Menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/ menjual produk petani kepada pedagang/ industri hilir.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi fungsi dari Gapoktan adalah unit produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar; penyediaan saprotan serta menyalurkannya kepada para petani melalui kelompoknya; penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/ pinjaman kepada para petani yang memerlukan; melakukan proses pengolahan produk para anggotanya yang dapat meningkatkan nilai tambah; dan menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/ menjual produk petani kepada pedagang/ industri hilir.

Gabungan Kelompok Tani memiliki peran tunggal maupun ganda menurut Hermanto dan Dewa Swastika (2011: 373) seperti penyediaan input usaha tani (misalnya pupuk), penyediaan modal (misalnya simpan pinjam), penyediaan air irigasi (kerjasama dengan P3A), penyedia informasi (penyuluhan melalui Kelompok Tani), serta pemasaran hasil secara kolektif. Selain itu menurut Pujiharto (2010: 72-73) terdapat tiga peran pokok yang diharapkan dapat dijalankan oleh Gapoktan yaitu sebagai berikut :

1)      Gapoktan berperan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun dan strategis. Gapoktan berperan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun dapat dicontohkan terlibat dalam penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan nama anggota. Gapoktan merupakan lembaga strategis yang merangkum seluruh aktivitas kelembagaan petani di wilayah tersebut.Gapoktan dapat pula dijadikan sebagai basis usaha petani di setiap pedesaan.

2)      Gapoktan berperan dalam meningkatan ketahanan pangan. Dalam rangka mengatasi kerawanan dan kemiskinan di pedesaan, Badan Ketahanan Pangan telah melaksanakan “Program Desa Mandiri Pangan” dimulai pada tahun 2006. Pengentasan kemiskinan dan kerawanan pangan dilakukan melalui pendekatan masyarakat secara partisipatif. Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Taniakan dibimbing agar mampu menemukan dan menggali permasalahan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki, serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk meningkatkan pendapatannya melalui usaha tani dan usaha agribisnis berbasis pedesaan. Beberapa Kelompok Tani dalam satu desa yang telah dibina akan difasilitasi untuk membentuk Gapoktan. Melalui cara ini, petani miskin dan rawan pangan akan meningkat kemampuannya dalam mengatasi masalah pangan dan kemiskinan di dalam suatu ikatan Kelompok Tani untuk memperjuangkan nasib para anggotanya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bersama dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal.

3)      Gapoktan dapat dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP). Gapoktan sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan dapat menerima Dana Penguatan Modal (DPM), yaitu dana peminjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani pada saat panen raya. Kegiatan DPM-LUEP telah dimulai sejak tahun 2003 tetapi baru mulai pada tahun 2007 Gapoktan dapat sebagai penerima dana tersebut. Gapoktan dapat bertindak sebagai pedagang gabah, dimana akan membeli gabah dari petani lalu menjualkannya berikut berbagai fungsi pemasaran lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Gapoktan memiliki banyak peran antara lain penyediaan input usaha tani (misalnya pupuk), penyediaan modal (misalnya simpan pinjam), penyediaan air irigasi (kerjasama dengan P3A), penyedia informasi (penyuluhan melalui Kelompok Tani), pemasaran hasil secara kolektif, Gapoktan sebagai lembaga sentral yang terbangun dan strategis yang diharapkan mampu menangani seluruh basis aktivitas kelembagaan petani, Gapoktan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang partisipatif, dan Gapoktan sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP).

Organisasi menurut Mills dan Mills dalam Kusdi (2009: 4), yaitu kolektivitas khusus manusia yang aktivitas-aktivitasnya terkoordinasi dan terkontrol dalam dan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu pandangan lainnya menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu strategi besar yang diciptakan individu-individu dalam rangka mencapai berbagai tujuan yang membutuhkan usaha dari banyak orang (C. Argyris dalam Kusdi, 2009: 4). Dari dua pandangan tersebut terdapat unsur karakteristik utama dari sebuah organisasi yaitu Pusposes, People, dan Plan (Gerloff dalam Kusdi, 2009: 4).  Sesuatu tidak dapat disebut organisasi jika tidak memiliki tujuan (purposes), anggota (people), dan rencana (plan). Dalam aspek rencana (plan) ini terkandung semua ciri-ciri seperti sistem, struktur, desain, strategi, dan proses, yang seluruhnya dirancang untuk menggerakkan unsur manusia (people) dalam mencapai berbagai tujuan (purpose) yang telah ditetapkan.

Pembentukan organisasi petani seperti Kelompok Tani dan gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) merupakan alat utama untuk mendistribusikan bantuan dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi secara vertikal antara pemerintah dengan petani dan secara horizontal antar sesama petani. Organisasi petani diharapkan sebagai komponen pokok dalam pertanian yaitu berperan dalam mengatasi kemiskinan, memperbaiki degradasi sumber daya alam, meningkatkan ketelibatan perempuan, kesehatan dan pendidikan, dan sosial politik (Rita N. Suhaeti, 2014: 159-160).

Kelompok Tani dan Gapoktan menurut Mariani (2010) dapat sebagai wadah yaitu wadah belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para anggotanya, wadah produksi untuk meningkatkan efisiensi dalam usaha tani para anggotanya, dan wadah kegiatan sosial bagi para anggotanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kelompok Tani dan Gapoktan sebagai wadah bagi anggota petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, untuk meningkatkan efisiensi dalam usaha taninya, dan untuk bersosialisasi antar anggota petani.

Faktor Pemberdayaan Petani (skripsi dan tesis)

Adapun      faktor-faktor      yang      dapat      mempengaruhi pemberdayaan petani yaitu sebagai berikut :

1) Partisipasi masyarakat

Pengertian pastisipasi menurut I Nyoman Sumaryadi (2010: 46)  adalah  peran  serta  seseorang  atau  kelompok  masyarakat dalam   proses   pembangunan   baik   dalam   bentuk   pernyataan maupun   dalam   bentuk   kegiatan   dengan   memberi   masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian,  modal, dan materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Dalam pembangunan, partisipasi menekankan keikutsertaan masyarakat secara  sukarela  yang  didasari  oleh  kesadaran  masyarakat  itu sendiri dalam melaksanakan pembangunan.

Keterlibatan dalam pembangunan itu meliputi keterlibatan mental, emosi, dan fisik yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan atau cita-cita kelompok dan turut bertanggung jawab terhadapnya. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan perwujudan dari kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat, sehingga rasa tanggungjawab menjadi milik bersama bukan hanya milik pemerintah.

2) Motivasi

Pengertian   motivasi   menurut   Syaiful   Bahri   Djamarah (2008:  149)  motivasi  adalah  suatu  perubahan  energi di  dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, baik yang menyangkut kejiwaan, perasaan, dan emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Motivasi dari pengurus dan anggota Gapoktanmerupakan tenaga pendorong bagi seseorang agar memiliki energi atau kekuatan melakukan sesuatu dengan penuh semangat.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk melaksanakan suatu aktivitas yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapainya.

3) Teknologi

Teknologi  adalah  peralatan  yang  digunakan  untuk membantu kerja manusia yang dimana alat tersebut membuat masukan menjadi keluaran. Kebermanfaatan teknologi merupakan hal yang dibutuhkan dalam keseharian manusia terutama seorang petani.teknologi pertanian adalah teknologi yang diaplikasikan dalam kegiatan pertanian yaitu untuk membajak sawah, memanen padi secara efisien dengan menggunakan mesin. Petani membutuhkan teknologi pertanian atau mesin atau perlengkapan untuk menunjang kinerja petani.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak   terhadap   berbagai   sektor,   tidak   terkecuali   sektor pertanian. Teknologi dalam pertanian bisa diartikan sebagai teknologi pertanian, karena teknologi merupakan suatu alat atau benda yang dapat merubah masukan menjadi keluaran yang bermanfaat dan membantu manusia.

4) Modal

Penyediaan modal merupakan salah satu faktor produksi dalam usaha tani yang berfungsi untuk membantu meningkatkan produktivitas, baik lahan maupun tenaga kerja untuk menciptakan kekayaan dan pendapatan usaha tani. Menurut Maulana Akbar (2014: 50), modal dalam suatu usaha tani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usaha tani  berlangsung.  Sumber  modal  dapat  diperoleh  dari  milik sendiri, pinjaman atau kredit, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa.

5) Sumber Daya Manusia (Petani)

Pembangunan pertanian merupakan suatu proses yang berkesinambungan  dan  membutuhkan  peran  serta  masyarakat yaitu   petani.   Sumber   daya   manusia   (petani)   menyangkut bagaimana kemampuan petani dalam mengolah dan melakukan kegiatan pertanian yang diusahakannya. Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (petani) seperti tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan petani yang rendah sangat berpengaruh terhadap kemampuan menerima informasi yang ada. Misalnya penerimaan teknologi yang diberikan, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin cepat dalam proses pemahamannya terhadap teknologi tersebut. Dengan pendidikan yang masih rendah tersebut, maka petani haris diberikan pendidikan dan pelatihan secara terus menerus melalui penyuluhan pertanian.

Pemberdayaan Petani (skripsi dan tesis)

Pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat selalu berhubungan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan sosial. Hal-hal tersebut merupakan prasyarat yang memungkinkan setiap orang dapat memiliki kekuatan yang menjadi modal dasar bagi pelaksanaan proses aktualisasinya. Setiap orang perlu diberi kesempatan dan peluang untuk mengaktualisasikan dirinya, yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa diingkari. Oleh karena itu, orientasi pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah upaya untuk mewujudkan masyarakat menjadi semakin maju dan berkembang baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Dalam melakukan pemberdayaan diperlukan strategi atau cara dalam pelaksanaan pemberdayaan yang meliputi elaborasi dari model-model pendekatan dan bidang-bidang dalam pemberdayaan. Sejalan dengan lemahnya kondisi petani seperti modal, penguasaan lahan, inovasi atau teknologi, informasi, pemasaran, dan persaingan, maka strategi pemberdayaan petani dalam agribisnis merupakan upaya untuk menguatkan kelemahan yang dialami oleh sebagian petani.

Menurut UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani :

“Pemberdayaan petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan  pendampingan,  pengembangan  sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani.”

Dalam pemberdayaan petani, perlu dilakukan kegiatan- kegiatan seperti mengembangkan Kelompok Tani sebagai organisasi petani yang tangguh terutama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; melalui Kelompok Tani, memfasilitasi proses pembelajaran petani dan keluarganya  beserta  masyarakat  pelaku  agribisnis;  membantu menciptakan iklim usaha yang menguntungkan; memberikan rekomendasi dan mengusahakan akses petani ke sumber-sumber informasi dan sumber daya yang mampu membantu memecahkan masalah yang dihadapi petani; dan menjadikan lembaga penyuluhan pertanian sebagai lembaga mediasi dan intermediasi, terutama menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya, serta masyarakat pelaku agribisnis (Sutoro Eko, 2005: 260).

Gabungan Kelompok Tani (skripsi dan tesis)

Gabungan Kelompok Tani adalah kumpulan beberapa Kelompok tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi  dan  efisiensi  usaha  (Permentan  No.  82 tahun  2013 tentang    Pedoman    Pembinaan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani). Sedangkan    menurut Pujiharto (2010: 70-71) Gapoktan adalah gabungan dari  beberapa Kelompok  Tani yang melakukan usaha agribisnis di atas   prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan  produksi  dan  pendapatan usaha tani bagi anggotanya.

Gapoktan dapat sebagai sarana untuk bekerjasama antar Kelompok Tani yaitu kumpulan dari beberapa Kelompok Tani yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Di samping itu menurut Hermanto dan Dewa Swastika (2011: 375) pembentukan dan penumbuhan Kelompok Tani dapat ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian masyarakat menuju pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural Development). Gabungan Kelompok Tani ini terbentuk atas beberapa dasar yaitu kepentingan bersama antar anggota, berada pada wilayah usaha tani yang sama yang menjadi tanggung jawab bersama antar anggota, mempunyai kader pengelolaan yang berkompeten untuk menggerakkan petani, memiliki kader yang diterima oleh petani lainnya, adanya dorongan dari tokoh masyarakat, dan mempunyai kegiatan yang bermanfaat bagi sebagian besar anggotanya. Oleh karena itu salah satu usaha yang dilakukan pemerintah bersama dengan petani dalam rangka membangun upaya kemandiriannya maka telah di bentuk kelompok-Kelompok Tani di pedesaan (Sukino, 2014: 66).

Salah satu ciri yang ada pada suatu kelompok adalah kesatuan sosial yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama. Tujuan bersama dapat tercapai ketika terdapat pola interaksi yang baik antara masing-masing individu dan individu-individu tersebut memiliki peran serta mampu menjalankan perannya. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Adapun tujuan lain dari pembentukan Gapoktan diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Gapoktan dapat meningkatkan kesejahteraan anggota secara keseluruhan yang terlibat dalam kepengurusan maupun hanya sebagai anggota baik secara materiil maupun non material sesuai dengan kontribusi yang telah diberikan kepada pengembangan organisasi Gapoktan.

2)   Gapoktan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia semua anggota melalui pendidikan pelatihan dan study banding sesuai kemampuan keuangan Gapoktan.

3) Gapoktan dapat mengembangkan dan menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang pertanian dan jasa yang berbasis pada bidang pertanian.

Gapoktan juga dapat menjadi lembaga yang menjadi penghubung petani dari satu desa dengan lembaga-lembaga lainnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Menurut Permentan Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani Gapoktan memiliki fungsi-fungsi yaitu sebagai berikut :

1) Merupakan satu kesatuan unit produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan harga);

2) Penyediaan saprotan (pupuk bersubsidi, benih bersertifikat, pestisida, dan lainnya) serta menyalurkan kepada para petani melalui kelompoknya;

3) Penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/ pinjaman kepada para petani yang memerlukan;

4) Melakukan proses pengolahan produk para anggotanya (penggilingan, grading, pengepakan dan lainnya) yang dapat meningkatkan nilai tambah;

 5) Menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/ menjual produk petani kepada pedagang/ industri hilir.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi fungsi dari Gapoktan adalah unit produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar; penyediaan saprotan serta menyalurkannya kepada para petani melalui kelompoknya; penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/ pinjaman kepada para petani yang memerlukan; melakukan proses pengolahan produk para anggotanya yang dapat meningkatkan nilai tambah; dan menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/ menjual produk petani kepada pedagang/ industri hilir.

Gabungan Kelompok Tani memiliki peran tunggal maupun ganda menurut Hermanto dan Dewa Swastika (2011: 373) seperti penyediaan input usaha tani (misalnya pupuk), penyediaan modal (misalnya simpan pinjam), penyediaan air irigasi (kerjasama dengan P3A), penyedia informasi (penyuluhan melalui Kelompok Tani), serta pemasaran hasil secara kolektif. Selain itu menurut Pujiharto (2010: 72-73) terdapat tiga peran pokok yang diharapkan dapat dijalankan oleh Gapoktan yaitu sebagai berikut :

1)      Gapoktan berperan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun dan strategis. Gapoktan berperan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun dapat dicontohkan terlibat dalam penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan nama anggota. Gapoktan merupakan lembaga strategis yang merangkum seluruh aktivitas kelembagaan petani di wilayah tersebut.Gapoktan dapat pula dijadikan sebagai basis usaha petani di setiap pedesaan.

2)      Gapoktan berperan dalam meningkatan ketahanan pangan. Dalam rangka mengatasi kerawanan dan kemiskinan di pedesaan, Badan Ketahanan Pangan telah melaksanakan “Program Desa Mandiri Pangan” dimulai pada tahun 2006. Pengentasan kemiskinan dan kerawanan pangan dilakukan melalui pendekatan masyarakat secara partisipatif. Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Taniakan dibimbing agar mampu menemukan dan menggali permasalahan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki, serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk meningkatkan pendapatannya melalui usaha tani dan usaha agribisnis berbasis pedesaan. Beberapa Kelompok Tani dalam satu desa yang telah dibina akan difasilitasi untuk membentuk Gapoktan. Melalui cara ini, petani miskin dan rawan pangan akan meningkat kemampuannya dalam mengatasi masalah pangan dan kemiskinan di dalam suatu ikatan Kelompok Tani untuk memperjuangkan nasib para anggotanya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bersama dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal.

3)      Gapoktan dapat dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP). Gapoktan sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan dapat menerima Dana Penguatan Modal (DPM), yaitu dana peminjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani pada saat panen raya. Kegiatan DPM-LUEP telah dimulai sejak tahun 2003 tetapi baru mulai pada tahun 2007 Gapoktan dapat sebagai penerima dana tersebut. Gapoktan dapat bertindak sebagai pedagang gabah, dimana akan membeli gabah dari petani lalu menjualkannya berikut berbagai fungsi pemasaran lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Gapoktan memiliki banyak peran antara lain penyediaan input usaha tani (misalnya pupuk), penyediaan modal (misalnya simpan pinjam), penyediaan air irigasi (kerjasama dengan P3A), penyedia informasi (penyuluhan melalui Kelompok Tani), pemasaran hasil secara kolektif, Gapoktan sebagai lembaga sentral yang terbangun dan strategis yang diharapkan mampu menangani seluruh basis aktivitas kelembagaan petani, Gapoktan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang partisipatif, dan Gapoktan sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP).

Organisasi menurut Mills dan Mills dalam Kusdi (2009: 4), yaitu kolektivitas khusus manusia yang aktivitas-aktivitasnya terkoordinasi dan terkontrol dalam dan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu pandangan lainnya menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu strategi besar yang diciptakan individu-individu dalam rangka mencapai berbagai tujuan yang membutuhkan usaha dari banyak orang (C. Argyris dalam Kusdi, 2009: 4). Dari dua pandangan tersebut terdapat unsur karakteristik utama dari sebuah organisasi yaitu Pusposes, People, dan Plan (Gerloff dalam Kusdi, 2009: 4).  Sesuatu tidak dapat disebut organisasi jika tidak memiliki tujuan (purposes), anggota (people), dan rencana (plan). Dalam aspek rencana (plan) ini terkandung semua ciri-ciri seperti sistem, struktur, desain, strategi, dan proses, yang seluruhnya dirancang untuk menggerakkan unsur manusia (people) dalam mencapai berbagai tujuan (purpose) yang telah ditetapkan.

Pembentukan organisasi petani seperti Kelompok Tani dan gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) merupakan alat utama untuk mendistribusikan bantuan dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi secara vertikal antara pemerintah dengan petani dan secara horizontal antar sesama petani. Organisasi petani diharapkan sebagai komponen pokok dalam pertanian yaitu berperan dalam mengatasi kemiskinan, memperbaiki degradasi sumber daya alam, meningkatkan ketelibatan perempuan, kesehatan dan pendidikan, dan sosial politik (Rita N. Suhaeti, 2014: 159-160).

Kelompok Tani dan Gapoktan menurut Mariani (2010) dapat sebagai wadah yaitu wadah belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para anggotanya, wadah produksi untuk meningkatkan efisiensi dalam usaha tani para anggotanya, dan wadah kegiatan sosial bagi para anggotanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kelompok Tani dan Gapoktan sebagai wadah bagi anggota petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, untuk meningkatkan efisiensi dalam usaha taninya, dan untuk bersosialisasi antar anggota petani.

Limbah Kopi (skripsi dan tesis)

II.4     

Limbah kopi dibedakan menjadi dua macam, yaitu limbah padat pengolahan kopi merah (masak) dan limbah pengolahan kopi hijau (mentah). Pengolahan kopi merah diawali dengan pencucian, perendaman, dan pengupasan kulit luar.  proses ini akan menghasilkan 65 persen biji kopi dan 35 persen limbah kulit kopi. Biji kopi lalu dikeringkan dengan oven. Hasilnya adalah biji kopi kering oven (31 %), yang akan digiling untuk menghasilkan kopi bubuk (21 %). Sedangkan 10 persen lagi berupa limbah kulit dalam.

Proses pengolahan kopi hijau diawali dari penjemuran sampai bobotnya mencapai 38 persen dari bobot basah. kopi kering digiling dan menghasilkan kopi bubuk (16,5 %). Sisanya, 21,5 persen, berupa campuran limbah kulit luar dan kulit dalam.

Limbah cair hasil proses pengolahan kopi mengadung tingkat polusi yang tinggi. Komponen utama limbah cair adalah bahan-bahan organik, yang berasal dari depulping dan proses pengelupasan kulit kopi yang berlendir. Mayoritas dari material organik di dalam limbah cair tersebut mengandung nilai COD yang sangat tinggi sebesar 50000 mg/l, sedangkan BOD mencapai 20000 mg/l.

Metode Pengolahan Basah (skripsi dan tesis)Metode Pengolahan Basah (skripsi dan tesis)

Proses metode pengolahan basah meliputi: penerimaan, pulping, klasifikasi, fermentasi, pencucian, pengeringan, pengawetan dan penyimpanan. Proses Metode pengolahan basah meliputi ; penerimaan, pulping, Klasifikasi, fermentasi, pencucian, pengeringan, Pengawetan dan penyimpanan

  1. Penerimaan

Hasil panen harus secepat mungkin dipindahkan ke tempat pemerosesan untuk menghindari pemanasan langsung yang dapat menyebabkan kerusakan (seperti : perubahan warna buah, buah kopi menjadi busuk).
Hasil panen dimasukkan kedalam tangki penerima yang dilengkapi dengan air untuk memindahkan buah kopi yang mengambang (buah kopi kering di pohon dan terkena penyakit (Antestatia, stephanoderes) dan biasanya diproses dengan pengolahan kering.Sedangkan buah kopi yang tidak mengambang (non floating) dipindahkan menuju bagian peniecah (pulper).

  1. Pulping

Pulping bertujuan untuk memisahkan kopi dari kulit terluar dan mesocarp (bagian daging), hasilnya pulp. Prinsip kerjanya adalah melepaskan exocarp dan mesocarp buah kopi dimana prosesnya dilakukan dilakukan didalam air mengalir. proses ini menghasilkan kopi hijau kering dengan jenis yang berbeda-beda. Macam-macam alat pulper yang sering digunakan : Disc Pulper (cakram pemecah), Drum pulper, Raung Pulper, Roller pulper dan Vis pulper. Untuk di Indonesia yang sering digunakan adalah Vis Pulper dan Raung Pulper. Perbedaan pokok kedua alat ini adalah kalai Vis pulper hanya berfungsi sebagai pengupas kulit saja, sehingga hasilnya harus difermentasi dan dicuci lagi. Sedangkan raung pulper berfungsi sebagai pencuci sehingga kopi yang keluar dari mesin ini tidak perlu difermentasi dan dicuci lagi tetapi masuk ke tahap pengeringan

  1. Fermentas

proses fermentasi bertujuan untuk melepaskan daging buah berlendir (mucilage) yang masih melekat pada kulit tanduk dan pada proses pencucian akan mudah terlepas (terpisah) sehingga mempermudah proses pengeringan. Hidrolisis pektin disebabkan, oleh pektihase yang terdapat didalam buah atau reaksinya bias dipercepat dengan bantuan jasad renik. proses fermentasi ini dapat terjadi, dengan bantuan jasad renik (Saccharomyces) yang disebut dengan proses peragian dan pemeraman. Biji kopi yang keluar dari mesin pulper dialirkan lewat saluran sebelum masuk bak fementasi.

Selama dalam pengaliran lewat saluran ini dapat dinamakan proses pencucian pendahuluan. Di dalam pencucian pendahuluan ini biji kopi yang berat (bernas) dapat dipisahkan dari sisa-sisa daging buah yang terbawa, lapisan lendir, biji-biji yang hampa karena bagian ini terapung di atas aliran air sehingga mudah dipisahkan.

  1. Pencucian

Pencucian secara manual dilakukan pada biji kopi dari bak fementasi dialirkan dengan air melalui saluran dalam bak pencucian yang segera diaduk dengan tangan atau di injak-injak dengan kaki. Selama proses ini, air di dalam bak dibiarkan terus mengalir keluar dengan membawa bagian-bagian yang terapung beupa sisa-sisa lapisan lendir yang terlepas.

Pencucian biji dengan mesin pencucidilakukan dengan memasukkan biji kopi tersebut kedalam suatu mesin pengaduk yang berputar pada sumbu horizontal dan mendorong biji kopi dengan air mengalir. Pengaduk mekanik ini akan memisahkan lapisan lendir yang masih melekat pada biji dan lapisan lendir yang masih melekat pada biji dan lapisan lendir yang telah terpisah ini akan terbuang lewat aliran air yang seterusnya dibuang

  1. Pengeringan

Pengeringan pendahuluan kopi parchment basah, kadar air berkurang dari 60 menjadi 53%. Sebagai alternatif kopi dapat dikeringkan dengan sinar matahari 2 atau 3 hari dan sering diaduk, Kadar air dapat mencapai 45 %. Pengeringan kopi Parchment dilanjutkan, dilakukan pada sinar matahari hingga kadar air mencapai 11 % yang pada akhirnya dapat menjaga stabilitas penyimpanan. Pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan baki dengan penutupnya yang dapat digunakan sepanjang hari. Rata-rata pengeringan antara 10-15 hari. Pengeringan buatan (suhu tidak lebih dari 55°C) juga banyak digunakansejak pengeringan kopi alami menjadi lebih sulit dilakukan pada perkebunan yang lebih luas.

  1. Curing

Proses selanjutnya baik kopi yang diproses secara kering maupun basah ialah curing yang bertujuan untuk menjaga penampilan sehingga baik untuk diekspor maupun diolah kembali.

  1. Penyimpanan

Buah kopi dapat disimpan dalam bentuk buah kopi kering atau buah kopi parchment kering yang membutuhkan kondisi penyimpanan yang sama. Biji kopi KA air 11 % dan RH udara tidak lebih dari 74 %. Pada kondisi tersebut pertumbuhan jamur (Aspergilus niger, A. oucharaceous dan Rhizopus sp) akan minimal. Di Indonesia kopi yang sudah di klasifikasi mutunya disimpan didalam karung goni dan dijahit zigzag mulutnya dengan tali goni selanjutnya disimpan didalam gudang penyimpanan.

Metode Pengolahan Kopi Secara Kering (skripsi dan tesis)

II.2 

Metode ini sangat sederhana dan sering digunakan untuk kopi robusta dan juga 90 % kopi arabika di Brazil, buah kopi yang telah dipanen segera dikeringkan terutama buah yang telah matang. Pengeringan buah kopi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  1.  Pengeringan Alami

Pengeringan alami yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari, caranya sangat sederhana tidak memerlukan peralatan dan biaya yang besar tetapi memerlukan tempat pengeringan yang luas dan waktu pengeringan yang lama karena buah kopi mengandung gula dan pektin. Pengeringan biasanya dilakukan di daerah yang bersih, kering dan permukaan lantai yang rata, dapat berupa lantai plester semen atau tanah telanjang yang telah diratakan dan dibersihkan. Ketebalan pengeringan 30-40 mm, terutama pada awal kegiatan pengeringan untuk menghindari terjadinya proses fermentasi, Panas yang timbul pada proses ini akan mengakibatkan perubahan warna dan buah menjadi masak.

Pada awal pengeringan buah kopi yang masih basah harus sering dibalik dengan Blat penggaruk. Jenis mikroorganisme yang dapat berkembang biak pada kulit buah (exocarp) terutama jamur (fusarium sp, colletotrichum coffeanum) pada permukaan buah kopi yang terlalu kering (Aspergilus niger, penicillium sp, Rhizopus, sp) beberapa jenis ragi dan bakteri juga dapat berkembang. Lamanya proses pengeringan tergantung pada cuaca, ukuran buah kopi, tingkat kematangan dan kadar air dala,m buah kopi, biasanya proses pengeringan memakan waktu sekitar 3 sampai 4 minggu. Setelah proses pengeringan Kadar air akan menjadi sekitar 12 %.

  1. Pengeringan Buatan (ArtificialDrying)

Keuntungan pengeringan buatan,dapat menghemat biaya dan juga tenaga kerja hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan suhunya. Menurut Roelofsen, pengeringan sebaiknya pada suhu rendah yaitu 55°C akan menghasilkan buah kopi yang bewarna merah dan tidak terlalu keras. Untuk buah kopi kering dengan KA rendah dikeringkan dengansuhu tidak terlalu tinggi sehingga tidak akan terjadi perubahan rasa. Peralatan pengeringan yang biasa digunakan : mesin pengering statik dengan alat penggaruk mekanik, mesin pengering dari drum yang berputar, serta mesin pengering vertika

Proses pengolahan kopi (skripsi dan tesis)

II

Biji kopi yang sudah siap diperdagangkan adalah berupa biji kopi kering yang sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk dan kulit arinya, butiran biji kopi yang demikian ini disebut kopi beras (coffea beans) atau market koffie. Kopi beras berasal dari buah kopi basah yang telah mengalami beberapa tingkat proses pengolahan. Secara garis besar dan berdasarkan cara kerjanya, maka terdapat dua cara pengolahan buah kopi basah menjiadi kopi beras, yaitu yang disebut pengolahan buah kopi cara basah dan cara kering. pengolahan buah kopi secara basah biasa disebut W.I..B. (West lndische Bereiding), sedangkan pengolahan cara kering biasa disebut O.I.B (Ost Indische Bereiding). Perbedaan pokok dari kedua cara tersebut diatas adalah pada cara kering pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan cara basah  pengupasan daging buah di lakukan ketika masih basah.

Faktor – faktor Produksi Pertanian (skripsi dan tesis)

Menurut Daniel (2004), kegiatan pertanian dapat berhasil dengan baik apabila memenuhi persyaratan yang dibutuhkan oleh tanaman yang dibudidayakan. Persyaratan ini dikenal dengan faktor produksi pertanian. Faktor produksi pertanian terdiri dari empat komponen, yaitu: 1) tanah, 2) Modal, 3) Tenaga Kerja dan 4) Skill atau manajemen. Sejalan dengan pendapat Daniel, Suratiyah (2006), menjelaskan faktorfaktor yang bekerja dalam usahatani adalah:

  1. Faktor Alam

Faktor alam dibedakan menjadi dua, yakni faktor tanah dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kcsuburan. Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan  ketersediaan air, suhu, dan lain sebagainya.

Tanah sebagai faktor alam sangat menentukan baik dilihat dari sifat fisik (jenis, struktur dan tekstur tanah) serta sifat istimewa tanah yang bukan sebagai barang produksi, tidak dapat diperbanyak, dan  tidak dapat dipindahpindah. Oleh karena itu, tanah dalam usahatani mempunyai nilai terbesar.

Disamping itu, tanah mempunyai hubungan yang erat dengan manusia dimana terdapat tiga tingkat dari yang terkuat sampai yang terlemah yaitu hak milik, hak sewa dan hak bagi hasil (sakap).  Perbedaan hubungan tersebut akan berpengaruh pada kesediaan petani dalam meningkatkan  produksi, memperbaiki kesuburan tanah, dan intensifikasi.

  1. Tenaga kerja

Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usaha tani yang sangat tergantung musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas, dan kualitas produk.

Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usaha tani keluarga, khususnya tenaga kerja petani beserta anggota keluarganya. Rumah tangga tani yang umumnya sangat terbatas kemampuannya dari segi modal, peranan tenaga kerja keluarga sangat menentukan. Jika masih dapat diselesaikan oleh tenaga kerja keluarga sendiri maka tidak perlu mengupah tenaga luar, yang berarti menghemat biaya.

  1. Modal.

Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya suatu usaha, demikian pula dengan usahatani. Menurut Vink dalam Suratiyah (2006), benda-benda (termasuk tanah) yang dapat mendatangkan pendapatan dianggap sebagai modal. Namun, tidak demikian halnya dengan pendapat Koens dalam Suratiyah (2006) yang menganggap bahwa hanya uang tunai saja yang dianggap sebagai modal usahatani.

Penggolongan modal akan semakin rancu dalam usahatani keluarga karena dalam usaha tani keluarga cenderung memisahkan faktor tanah dari alat-alat produksi yang lain. Hal ini dikarenakan belum ada pemisahan yang jelas antara modal usaha dan modal pribadi.

Di dalam usaha tani modal dapat dibagi menjadi dua, yaitu land saving capital dan labour saving capital. Modal dikatakan land saving capital jika dengan modal tersebut dapat menghemat penggunaan lahan, tetapi produksi dapat dilipatgandakan tanpa harus memperluas areal. Contohnya pemakaian pupuk, bibit unggul, pestisida, dan intensifikasi. Modal dikatakan labour saving capital

jika dengan modal tersebut dapat menghemat penggunaan tenaga kerja. Contohnya pemakaian traktor untuk membajak, mesin penggiling padi untuk memproses padi menjadi beras, pemakaian thresher untuk penggabahan, dan sebagainya. Menurut Tohir dalam Suratiyah (2006), ditegaskan bahwa tanah bukan termasuk faktor produksi modal, tetapi masuk dalam faktor alam yang memiliki nilai modal.

Selanjutnya, Suratiyah (2006) secara ringkas menguraikan faktor-faktor internal petani yang mempengaruhi keberhasilan usaha tani, yaitu: 1) Umur petani 2) pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan, 3) jumlah tenaga kerja keluarga, 4) luas lahan yang dimiliki dan 5) modal. Sedangkan menurut Hernanto (1991), secara ringkas menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha tani, yaitu:

  1. Faktor internal petani, meliputi:
  2. Petani pengelola
  3. Tanah garapan
  4. Tenaga kerja
  5. Modal
  6. Kemampuan penguasaan teknologi
  7. Kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga
  8. Jumlah anggota keluarga
  9. Faktor eksternal petani, meliputi:
  10. Tersedianya sarana transportasi dan komunikasi
  11. Aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usaha tani (harga jual, harga sarana produksi/saprodi dan lain-lain)
  12. Fasilitas kredit
  13. Sarana penyuluhan bagi petani

Pengembangan usaha tani tidak terlepas dari berbagai faktor-faktor pembatas yang berkaitan dengan kegiatan usaha tani baik secara langsung maupun tidak langsung. Morril (1974) menguraikan faktor-faktor pembatas pengembangan usaha tani meliputi:

  1. Lokasi relatif terhadap pasar dan biaya transportasi sebagai pengaruh perbedaan jenis tanaman.
  2. Lingkungan, khususnya bentang lahan, tanah, suhu, kelembaban dan musim pertumbuhan tanaman.
  3. Setiap jenis tanaman memerlukan lokasi yang sesuai.
  4. Permintaan konsumen
  5. Karakteristik tanaman yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman sebagai respon terhadap input-input sarana pertanian seperti pupuk dan mekanisasi pertanian.
  6. Perbedaan wilayah kaitannya dengan kemampuan dan upah tenaga kerja, kepemilikan lahan, tekanan penduduk dan peluang alternatif usaha.
  7. Kebijakan pemerintah.

Konsep ini juga serupa dengan konsep pusat pelayanan perdesaan (rural centres) yang diuraikan dalam Guidelines for Rural Centre Planning (United Nation, 1979) yang mengartikan kawasan sebagai penyedia langsung kebutuhan dasar bagi peningkatan produksi baik dalam bentuk pelayanan sosial maupun ekonomi seperti sebagai berikut:

  1. Memasarkan / mengumpulkan hasil – hasil surplus pertanian
  2. Menyediakan / mendistribusikan input – input pertanian yang penting seperti pupuk, peralatan, kredit, fasilitas perbengkelan.
  3. Menyediakan fasilitas pengolahan yang hasilnya untuk dikonsumsi sendiri dan untuk dipasarkan kembali.
  4. Menyediakan pelayanan – pelayanan sosial.

Perbedaannya dengan urban centres walaupun memiliki fungsi yany relatif sama, tetapi lebih berorientasi pada pelayanan sektor tersier, sedangkan rural centres lebih berorientasi pada pelayanan untuk meningkatkan produksi sektor primer (pertanian) (United Nations, 1979). Konsep ini pada dasarnya sama yaitu asas pemenuhan kebutuhan di kawasaan dengan faktor – faktor yang dipengaruhi pengembangan dapat dipenuhi sehingga akan tercapai tujuan yang dikehendaki.

Dalam hubungannya dengan produktivitas pertanian, Partadireja (1990) menyatakan bahwa pengertian produktivitas lahan dalam sesuatu perhektar luasan lahan ditentukan oleh:

  1. Keadaan dan kesuburan lahan
  2. Modal yang mencakup varietas tanaman, penggunaan pupuk organik dan an organik, pestisida, tersedianya air dalam jumlah cukup dalam arti kualitas dan kuantitas serta alat – alat pertanian.
  3. Teknik bercocok tanam.
  4. Teknologi dalam artian organisasi, manajemen dan gagasan yang bersifat inisiatif dan inovatif.
  5. Tenaga kerja dalam arti kualitas dan kuantitas.

Diharapkan dengan adanya program agropolitan akan meningkatkan produksi pertanian, juga mendorong petani untuk menerapkan cara – cara dan manajemen bertani yang baik. Faktor – faktor ini berpengaruh dalam meningkatkan produktivitas rata – rata lahan sawah.

Dalam produksi pertanian, produksi dihasilkan oleh bekerjanya beberapa faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, irigasi, iklim, keterampilan bertani dan sarana produksi. Penggunaan input dalam produksi pertanian dibatasi oleh hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (Mubaryanto, 1983). Hal tersebut menunjukkan bahwa luas lahan garapan dan pupuk merupakan faktor produksi yang menetukan dalam usaha meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Faktor produksi lainnya seperti bibit, tenaga kerja  dan obat anti hama penggunaannya sudah mencapai titik optimal sehingga jika dilakukan penambahan faktor tersebut akan menurunkan produksi.

Pada dasarnya pengembangan kawasan agropolitan merupakan suatu pola pemanfaatan ruang wilayah perdesaan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berbasis pengembangan sektor pertanian. Karena itu pengembangan kawasan agropolitan harus didasarkan pada kesesuaian agroekologi di wilayah yang bersangkutan. Aspek kesesuian lahan menjadi penting dalam upaya mewujudkan hasil produksi yang optimal. Hasil produksi yang optimal ini akan tercapai apabila komoditas unggulan yang ditanam didukung oleh kapasitas lahan yang sesuai dengan syarat tumbuhnya.

Usaha Tani Tanaman Pangan (skripsi dan tesis)

Menurut Hernanto (1991), Usaha tani adalah kesatuan organisasi antara kerja, modal dan pengelolaan yang ditujukan untuk memperoleh produksi di lapangan pertanian. Sedangkan menurut Suratiyah (2006), usaha tani adalah suatu usaha untuk mengkoordinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan dan lingkungannya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaikbaiknya.

Suratiyah (2006), secara garis besar membagi usaha tani ke dalam dua bentuk, yaitu usaha tani keluarga (family farming) dan perusahaan pertanian (plantation, estate, enterprise). Di Indonesia pada khususnya batasan kegiatan usaha tani identik dengan kegiatan usaha tani keluarga yang mempunyai ciri-ciri antara lain:

  1. Tujuan akhir adalah pendapatan keluarga
  2. Tidak berbadan hukum
  3. Luas lahan sempit
  4. Jumlah modal kecil
  5. Bersifat subsistence atau transisi dari subsistence ke komersial
  6. Produksi yang dihasilkan berupa bahan mentah atau bahan baku untuk industri turunannya.

Menurut Mosher dalam Suratiyah (2006), dalam usaha tani keluarga, petani berperan sebagai manajer, juru tani dan manusia biasa yang hidup dalam masyarakat. Petani sebagai manajer akan berhadapan dengan berbagai alternatif yang harus diputuskan mana yang harus dipilih untuk diusahakan. Petani harus menentukan jenis tanaman atau ternak yang akan diusahakan, menentukan caracara berproduksi, menentukan cara-cara pembelian sarana produksi, menghadapi pcrsoalan tentang biaya, mengusahakan permodalan, dan sebagainya. Untuk itu, diperlukan keterampilan,  pendidikan, dan pengalaman yang akan berpengaruh dalam proses pengambilan kcputusan.

Jayadinata dan Pramandika (2006) menguraikan upaya-upaya untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi petani adalah:

  1. Mengusahakan perubahan jenis mata pencaharian jika pendapatan dari pertanian tidak dapat ditingkatkan.
  2. Memperluas dan memperbaiki usaha tani
  3. Mengikutsertakan keluarga petani dalam kegiatan masyarakat dan kegiatan kelembagaan.

Selanjutnya, Kartasasmita dalam Jayadinata dan Pramandika (2006) menjelaskan salah satu upaya pembangunan pedesaan adalah melalui pemberdayaan ekonomi  masyarakat melalui stimulan permodalan, bimbingan teknologi dan pemasaran untuk kemandirian masyarakat desa.

Batasan Teknis Pengembangan Agropolitan (skripsi dan tesis)

Agropolitan adalah strategi pengembangan kawasan dengan tujuan untuk membangun sebuah agropolis (kota pertanian) yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Departemen Pertanian (2002). Agropolis ini disebut kawasan agropolitan. Karena konsep yang mendasarinya adalah konsep spasial, kawasan agropolitan tidak harus identik dengan dengan sebuah kota dalam batasan administrasi pemerintahan yang kini ada. Adalah dimungkinkan bahwa sebuah kawasan agropolitan meliputi irisan wilayah dari beberapa kota/kabupaten yang berdekatan.

Secara ilustratif kawasan agropolitan digambarkan oleh batasan teknik berikut:

  1. Adalah kawasan pertanian yang meliputi distrik-distrik agropolitan;
  2. Dengan kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa per km2;
  3. Berbatas radius maksimal 10 km, sehingga ;
  4. Merupakan kawasan yang berpenduduk antara 50.000 – 150.000 jiwa;
  5. Selain memfokuskan kegiatan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (untuk menjamin tercapainya keamanan pangan, sandang, kesehatan dan pendidikan), pengembangan kawasan agropolitan juga mengarah pada terbentuknya kemampuan agribisnis untuk memenuhi permintaan pasar internasional. Sehingga produk yang dikembangkan harus mempunyai kemampuan daya saing yang kuat.

Keberadaan agropolitan dengan demikian dicirikan oleh berfungsinya sistem agribisnis yaitu sub-sistem pengadaan sarana pertanian (input produksi), sub.sistem produksi, sub-sistem pengolahan, sub-sistem pemasaran dan subsistem pendukung, di kawasan agropolitan. Dengan menekankan aspek keberfungsian ini, kawasan agropolitan dapat berupa kota menengah, kota kecil, kota kecamatan, kota pedesaan atau nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Keberadaan pusat pertumbuhan ekonomi ini menjadi faktor pendorong (push factor) untuk berkembangnya wilayah-wilayah di sekitarnya, tidak hanya ditinjau dari sudut produksi pertanian namun juga sektor industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan dan lain-lain.

Konsep Pendekatan Program Agropolitan (skripsi dan tesis)

Sebagai sebuah konsepsi pembangunan kawasan perdesaan, agropolitan dikembangkan oleh Friedman dan Douglas (1975). Agropolitan adalah pendekatan pembangunan kawasan perdesaan (rural development) yang menekankan pembangunan perkotaan (urban development) pada tingkat lokal perdesaan. Tiga isu utama mendapat perhatian penting dalam konsep ini:

  1. Akses terhadap lahan pertanian dan air,
  2. Devolusi politik dan wewenang administratif dari tingkat pusat ke tingkat lokal, dan
  3. Perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian.

Memperhatikan kota desa sebagai site utama untuk fungsi-fungsi politik dan administrasi, pengembangan agropolitan lebih cocok dilakukan pada skala kabupaten (district scale). Alasannya, skala kabupaten akan memungkinkan akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat pedesaan untuk menjangkau kota, sementara cukup luas untuk meningkatkan atau mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan-keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi. Selain itu, dengan begitu pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah digabungkan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen pedesaan. Pendekatan agropolitan sangat sesuai dengan semangat desentralisasi (transformasi wewenang dari pusat ke daerah) dan demokratisasi sebagai bagian dari perubahan politik di Indonesia kini.

Agropolitan memberikan ruang yang layak terhadap perencanaan pembangunan pedesaan yang mengakomodir dan mengembangkan kapasitas lokal (local capacity building) dan partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat timbal balik bagi masyarakat pedesaan dan perkotaan (Douglas, 1998 dalam Hutagalung, 2004).

Disamping itu, Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya

 Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan agropolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan.

Disamping itu, pentingnya pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia diindikasikan oleh ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja yang murah, telah terbentuknya kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) di sebagian besar petani, jaringan (network) terhadap sektor hulu dan hilir yang sudah terjadi, dan kesiapan pranata (institusi). Kondisi ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) Indonesia dibandingkan dengan negara lain karena kondisi ini sangat sulit untuk ditiru (coping) (Porter, 1998). Lebih jauh lagi, mengingat pengembangan kawasan agropolitan ini menggunakan potensi lokal, maka konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial local (local social culture).

Secara lebih luas, pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal, dan manusia. Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud (lihat gambar 2.2).

Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu disusun Master Plan Pengembangan Kawasan Agropolitan yang akan menjadi acuan penyusunan program pengembangan.  Adapun muatan yang terkandung didalamnya adalah  :

  1. Penetapan pusat agropolitan yang berfungsi sebagai (Douglas, 1986) :
  1. Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport center).
  2. Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services).
  3. Pasar konsumen produk non-pertanian (non agricultural consumers market).
  4. Pusat industri pertanian (agro-based industry).
  5. Penyedia pekerjaan non pertanian (non-agricultural employment).
  6. Pusat agropolitan dan hinterlannya terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/ Kabupaten).
  1. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai (Douglas, 1986) :
  1. Pusat produksi pertanian (agricultural production).
  2. Intensifikasi pertanian (agricultural intensification).
  3. Pusat pendapatan perdesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand for non-agricultural goods and services).
  4. Produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversification).
  1. Penetapan sektor unggulan:
  1. Merupakan sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.
  2. Kegiatan agribisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan lokal).
  3. Mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.
  1. Dukungan sistem infrastruktur

Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan agropolitan diantaranya : jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi).

  1. Dukungan sistem kelembagaan.
  1. Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah dengan fasilitasi Pemerintah Pusat.
  2. Pengembangan sistem kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan kawasan agropolitan.

Melalui keterkaitan tersebut, pusat agropolitan dan kawasan produksi pertanian berinteraksi satu sama lain secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah (value added) produksi kawasan agropolitan sehingga pembangunan perdesaan dapat dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan (Djakapermana, 2003).

Tujuan Dan Sasaran Program Agropolitan (skripsi dan tesis)

Tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterikatan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkeadilan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat) di kawasan agropolitan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya. Sehingga akan mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar wilayah, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta meningkatkan pendapatan asli daerah. (Rivai, 2003)

Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan melalui:

  1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk – produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan.
  2. Penguatan kelembagaan ditingkat petani.
  3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia saprodi, penanganan pasca panen dan pengolahan hasil, pemasaran dan penyediaan jasa penunjang).
  4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu
  5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
  6. Peningkatan sarana dan prasarana perekonomian (jaringan jalan, jaring irigasi ifrastruktur pemasaran) dan prasarana pendukung lainnya.

Pengertian Konsep Agropolitan (skripsi dan tesis)

Agropolitan didefinisikan sebagai sebuah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agrobisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya (hinterland). Sistem agrobisnis merupakan pembangunan pertanian yang dilakukan secara terpadu, tidak hanya usaha budidaya (on farm) tetapi juga meliputi pembangunan agrobisnis hulu (penyediaan sarana pertanian), agrobisnis hilir (prosesing dan pemasaran hasil pertanian), dan jasa jasa pendukungnya.

Konsep dasar pengembangan agropolitan adalah sebagai upaya menciptakan pembangunan inter-regional berimbang, khususnya dengan meningkatkan keterkaitan pembangunan kota-desa (rural-urban linkage) melalui pengembangan kawasan perdesaan yang terintegrasi di dalam sistem perkotaan secara fungsional dan spasial. Pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan diupayakan melalui optimalisasi sumberdaya lokal dengan pengembangan ekonomi dan investasi dibidang prasarana dan sumberdaya alam. Pengembangan ekonomi agropolitan harus lebih bertumpu pada pembangunan sistem dan usaha agribisnis, dimana seluruh sub-sistem agribisnis (budidaya, sarana-prasarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan jasa) dibangun secara simultan dan harmonis.

Batasan kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan keterkaitan ekonomi secara fungsional. Penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang ada di setiap daerah. Bentuk dan kawasan agropolitan dapat meliputi satu wilayah desa/kelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupaten/ kota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah kabupaten/ kota lain yang berbatasan.

Pertanian Rawa (skripsi dan tesis)

Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang selalu tergenang atau pada waktu tertentu tergenan karena jeleknya ataupun tidak adanya sistem drainase alami. Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datar disertai dengan adanya genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunayi ciri fisik: bentuk permukaan lahan cekung, kadang – kadang bergambut, ciri kimawi: derajat keasaman airnya terendah dan ciri biologis: terdapat ikan – ikan rawa, tumbuhan rawa, dan hutan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, dimuara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.

Lebih jauh rawa juga mempunyai fungsi lingkungan antara lain sebagai pengendali banjir, pengendali kekeringan, pengendali pencemaran lingkungan, dan penghasil bahan bakar (kayu arang, gambut). Nilai dan peranan lahan rawa sekarang semakin diyakini potensi dan perannya dalam mendukung pembangunan. Keseluruhan lahan rawa yang telah dibuka ditaksir sekitar 6 juta hektar, diantaranya dibuka oleh masyarakat secara swadaya sekitar 4 juta hektar dan pemerintah sekitar 2 juta, termasuk kawasan PLG Kalimantan Tengah. Dari keseluruhan lahan rawa yang dibuka, tidak termasuk lahan sejuta hektar, baru sekitar 1,53 juta hektar yang ditanami, sebagian besar untuk tanaman pangan diantaranya 0,80 juta hektar berupa sawah pasang surut dan 0,73 hektar berupa sawah lebak.

Dari keseluruhan lahan yang telah dibuka oleh pemerintah tercatat baru dimanfaatkan sekitar 1 ,5 juta hektar, di antaranya 0,80 juta hektar berupa lahan pasang surut dan 0,73 hektar berupa lahan lebak dan secara fungsional yang digunakan untuk pertanian sekitar 1 ,2 juta hektar, masing-masing 0,689 juta sebagai sawah, 0,231 juta hektar sebagai tegalan, dan 0,261 juta hektar untuk pemanfaatan lainnya.

Sejarah pemanfaatan rawa dilatarbelakangi oleh kondisi kekurangan pangan yang dialami Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan.lmpor beras Indonesia pada  masa itu mencapai hampir 20% dari pangsa yang diperdagangkan di pasar dunia sehingga secara murad (significant) mengurangi peruntukan dana pembangunan.

Komitmen pemerintah terhadap pengembangan rawa dimulai sejak tahun 1968 yang merencanakan membuka sekitar 5 juta hektar lahan rawa di Kalimantan dan Sumatera selama 15 tahun. Rencana pengembangan terhadap lahan yang dibuka ini kebanyakan tidak dilanjuti secara optimal dan semakin terancam menjadi lahan telantar atau bongkor (sleeping land). Luas lahan rawa yang menjadi lahan bongkor ini diperkirakan mencapai antara 60-70% atau 600 ribu hektar (Maas, 2003). Tingkat kesejahteraan kehidupan petani di lahan rawa juga terlihat masih memprihatinkan karena produktivitas kerja dan hasil produksi pertanian yang dapat dicapai masih rendah.

Produktivitas tanaman yang dapat dicapai di lahan rawa tergantung pada tingkat kendala dan ketepatan pengelolaan. Namun seperti pada umumnya petani, penanganan pasca panen, termasuk pengelolaan hasil masih lemah, terkait juga dengan pemasaran hasil yang terbatas sehingga diperlukan dukungan kelembagaan yang baik dan profesional serta komitmen pemerintah propinsi/kabupaten dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani rawa.

Pengembangan lahan rawa mempunyai banyak keterkaitan dengan gatra lingkungan yang sangat rumit karena hakekat rawa selain mempunyai fungsi produksi juga fungsi lingkungan. Apabila fungsi lingkungan ini menurun maka fungsi produksi akan terganggu. Oleh karena itu perencanaan pengembangan rawa harus dirancang sedemikian rupa untuk memadukan antara fungsi lahan sebagai produksi dan penyangga lingkungan agar saling menguntungkan atau konpensatif. Rancangan semacam inilah yang memungkinkan untuk tercapainya pertanian berkelanjutan di lahan rawa.

Analisis Varians Satu Arah Anava atau Anova (skripsi dan tesis)

Analisis Varians Satu Arah Anava atau Anova adalah sinonim dari analisis varians terjemahan dari analysis of variance, sehingga banyak orang menyebutnya dengan anova.Anova merupakan bagian dari metoda analisis statistika yang tergolong analisis komparatif lebih dari dua rata-rata. Analisis statistika yang biasa diterapkan pada percobaan uji daya hasil adalah analisis varians (Anova) dan analisis komponen utama. Anova bukan membandingkan populasi melainkan membandingkan rata-rata populasi. Disebut analisis varians, karena dalam prosesnya Anova memilah-milah keberagaman menurut sumber-sumber yang mungkin. Sumber keberagaman yang akan digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui sumber mana yang menyebabkan terjadinya keberagaman tersebut. Asumsi dalam analisis varians: 1. Sampel diambil dari distribusi normal, sehingga sampel juga berdistribusi normal. Kenormalan ini dapat diatas dengan memperbesar jumlah sampel. 2. Masing-masing kelompok mempunyai variabel yang sama. 3. Sampel diambil secara acak. Universitas Sumatera Utara Model analisis varian satu arah (One-way analysis of variance) digunakan untuk pengujian perbedaan antara k rata-rata sampel apabila subyek-subyek observasi atau penelitian ditentukan secara random pada setiap grup atau perlakuan yang ditentukan. Tujuan dari uji analisis varians satu jalur adalah untuk membandingkan lebih dari dua rata-rata. Sedangkan gunanya untuk menguji kemampuan generalisasi. Jika terbukti berbeda berarti kedua sampel tersebut dapat digeneralisasikan (data sampel dianggap dapat mewakili populasi). Sampel acak ukuran n diambil masing-masing dari k populasi. Ke k populasi yang berbeda ini diklasifikasikan menurut perlakuan atau grup yang berbeda. Ke k populasi itu akan dianggap saling bebas dan berdistribusi normal dengan rataan dan variansi σ2 yang sama.

:

Klasifikasi Rancangan Percobaan (skripsi dan tesis)

Rancangan-rancangan percobaan disusun berdasarkan :

(1) Intensitas/tingkat heterogenitas dan jumlah faktor yang menyebabkan keragaman kondisi/lingkungan tempat percobaan dilaksanakan (galat). Rancangan-rancangan hasilnya disebut rancangan lingkungan (Ecogical Designs), dan

(2) Jumlah faktor dan metode pelaksanaan/ penerapan perlakuan-perlakuan pada unit-unit percobaan. Rancangan-rancangan hasilnya disebut rancangan perlakuan (Treatmental Designs). Atas dasar jumlah faktor yang diteliti, rancangan percobaan dapat dipilahkan menjadi :

(1) Rancangan non faktorial, jika yang diteliti hanya 1 faktor penelitian. Rancangan ini meliputi rancangan acak lengkap (RAL), rancangan acak kelompok (RAK) dan rancangan acak kuadrat latin (RAKL).

(2) Rancangan faktorial, jika yang diteliti terdiri dari beberapa faktor penelitian. Rancangan ini meliputi rancangan faktor tunggal yang difaktorialkan dan dimodifikasikan dari rancangan acak kelompok (RAK), rancangan petak  teralur (RPA) yang dimodifikasikan dari rancangan acak kuadrat latin (RAKL) dan rancangan kelompok terbagi (RKB) yang dimodifikasikan dari kombinasi rancangan acak kelompok (RAK) dan rancangan acak kuadrat latin (RAKL).

Berdasarkan jumlah galat yang digunakan yang juga menunjukkan derajat kepentingan faktor-faktor utama dan interaksi yang diteliti, rancangan percobaan yang umum digunakan tersebut dipilah menjadi :

(1) Rancangan bergalat tunggal, yang meliputi rancangan acak lengkap (RAL), rancangan acak kelompok (RAK) dan rancangan acak kuadrat latin (RAKL) nonfaktorial dan faktorial. Rancangan-rancangan faktorial ini menunjukkan bahwa penelitian bertujuan untuk meneliti pengaruh-pengaruh faktor utama dan interaksi dengan derajat ketelitian yang sama.

(2) Rancangan bergalat ganda, merupakan rancangan digunakan untuk percobaan yang mempunyai percobaan yang mempunyai salah satu faktor dan interaksinya lebih penting dari faktor utama lainnya. Rancangan ini disebut rancangan petak terbagi (RPB).

(3) Rancangan bergalat tripel, meliputi rancangan yang mirip dengan RPB, hanya saja jumlah faktor yang diteliti ada tiga, sedangkan RPB hanya dua. Rancangan ini disebut rancangan petak bagian ganda, rancangan petak teralur

Rancangan Percobaan faktorial 𝟑 𝒌 (skripsi dan tesis)

Percobaan faktorial 𝟑 𝒌 Percobaan dengan k = 2 atau k = 3 dapat ditingkatkan untuk k yang lebih tinggi, misalnya k = 4 atau k = 5 dan seterusnya. Percobaan faktorial 3 5 adalah percobaan yang menggunakan 5 faktor katakanlah faktor A,B,C,D dan E yang masing-masing bertaraf 3 maka akan ada 243 kombinasi perlakuan. Dengan demikian semakin banyak banyak faktor yang digunakan dalam suatu rancangan percobaan faktorial maka semakin banyak pula unit percobaan yang ada, dan akan semakin banyak lagi jika dalam percobaan itu dilakukan pengulangan dalam tiap unit percobaan. Rancangan percobaan faktorial 3 level adalah suatu rancangan yang terdiri dari 𝑘 faktor dengan setiap faktornya diberikan 3 kategori level, yaitu level tinggi, level sedang dan level rendah. Level-level tersebut 4 biasanya dinotasikan dengan angka. Misalnya, untuk level tinggi yaitu 2, untuk level menengah yaitu 1, dan untuk level rendah yaitu 0. Percobaan yang dilakukan dengan menggunakan 3 faktor misalnya A,B dan C yang masing-masing bertaraf 3 maka dalam percobaan tersebut dengan tanpa pengulangan terdapat 3 3 = 27 kombinasi perlakuan. Kombinasi perlakuan tersebut, ketiga taraf faktornya dikodekan dengan 0, 1, dan 2. Untuk 0 merupakan taraf rendah, 1 untuk taraf sedang dan 2 untuk taraf tertinggi.

Jenis Rancangan Percobaan Faktorial (skripsi dan tesis)

Percobaan faktorial adalah suatu percobaan mengenai sekumpulan perlakuan yang terdiri atas semua kombinasi yang mungkin dari taraf beberapa faktor. Sekumpulan kombinasi perlakuan tersebut yang dinyatakan dengan kata faktorial (Gasperz, 1991:181). Secara umum, dapat dikatakan percobaan faktorial adalah suatu percobaan untuk meneliti suatu hal yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Montgomery (2001), keuntungan percobaan faktorial yaitu percobaan ini lebih efisien dibandingkan percobaan faktor tunggal. Keuntungan lainya yaitu dapat mendeteksi respon dari taraf masing-masing pengaruh utama serta interaksi antar 2 faktor atau lebih. Ada tidaknya interaksi 2 faktor dapat diketahui dari perilaku respon suatu faktor pada berbagai kondisi faktor yang lain. Jika hasil respon suatu faktor berubah pola dari kondisi tertentu ke kondisi 3 lainya untuk faktor yang lain, maka kedua faktor dikatakan berinteraksi. Jika pola respon dari suatu faktor tidak berubah pada berbagai kondisi faktor lain, maka dapat dikatakan kedua faktor tersebut tidak berinteraksi. Berdasarkan adanya banyak taraf dalam setiap faktor, percobaan ini sering dilakukan dengan menambah perkalian antara banyak taraf faktor yang satu dengan yang lainya. Misal, ada 𝑎 level dari faktor A dan 𝑏 level dari faktor B, maka terdapat 𝑎𝑏 kombinasi perlakuan. Sebagai contoh, dalam suatu percobaan dengan 4 faktor yaitu A,B,C dan D yang masing-masing terdiri atas 3 taraf, 𝑎 level dari faktor A, 𝑏 level dari faktor B, 𝑐 level dari faktorl C dan 𝑑 level dari faktor D, maka diperoleh percobaan faktorial 𝑎 x 𝑏 x 𝑐 x 𝑑 = 3 x 3 x 3 x 3 = 81 kombinasi perlakuan.

Prinsip Dasar Rancangan Percobaan (skripsi dan tesis)

Perancangan percobaan dikatakan sah atau valid jika memenuhi tiga prinsip dasar berikut.

a. Ulangan

Ulangan adalah pengalokasian suatu perlakuan tertentu terhadap beberapa unit percobaan pada kondisi yang seragam (Mattjik &amp; Sumertajaya, 2006: 61). Pengulangan dilakukan dengan maksud antara lain: 1) Menduga ragam dari galat percobaan. 2) Menduga galat baku (standard error) dari rata-rata perlakuan. 3) Meningkatkan ketepatan percobaan. 4) Memperluas presisi kesimpulan percobaan, yaitu melalui pemilihan dan penggunaan satuan-satuan percobaan yang lebih bervariasi. b. Pengacakan

Pengacakan diperlukan agar rancangan percobaan yang dilakukan terhindar dari pengaruh subjektivitas karena dalam penelitian ilmiah diperlukan logika dan objektivitas. Dengan melakukan pengacakan maka setiap unit percobaan memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan suatu perlakuan tertentu. Pengacakan perlakuan pada unit-unit percobaan dapat dilakukan dengan menggunakan tabel bilangan acak, sistem lotere, atau dengan bantuan software komputer (Harjosuwono dkk, 2011: 3).

 c. Pengendalian Lingkungan (Local Control)

Pengendalian lingkungan adalah usaha untuk mengendalikan keragaman yang muncul akibat keheterogenan kondisi lingkungan. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan lingkungan antara lain dengan melakukan pengelompokan (blocking) satu arah, dua arah, maupun multi arah. Pengelompokan dikatakan baik jika keragaman di dalam kelompok lebih kecil daripada keragaman antar kelompok. Untuk mencapai hal tersebut maka kelompok yang dibentuk harus tegak lurus dengan arah keragaman unit percobaan (Mattjik &amp; Sumertajaya, 2006: 63). Pembentukan kelompok biasanya lebih didasarkan pada kondisi atau karakteristik objek percobaan yang digunakan dengan syarat kelompok tidak berinteraksi dengan perlakuan. Tujuan dari pengelompokan ini adalah untuk mereduksi pengaruh dari peubahpeubah yang tidak terkendali

d. Tujuan

Menurut Mattjik & Sumertajaya (2006: 61), dalam melakukan suatu perancangan percobaan tentunya ada tujuan tertentu yang ingin didapatkan. Adapun tujuan secara umum dari suatu perancangan percobaan adalah:

a. Memilih peubah terkendali (X) yang paling berpengaruh terhadap respon (Y).

b. Memilih gugus peubah X yang paling mendekati nilai harapan Y.

c. Memilih gugus peubah X yang menyebabkan keragaman respon

d. Memilih gugus peubah X yang mengakibatkan pengaruh peubah tak terkendali paling kecil.

paling kecil.

4. Unsur

Suatu perancangan percobaan memiliki beberapa unsur yang sangat berpengaruh terhadap hasil percobaan (Mattjik & Sumertajaya, 2006: 64). Unsur-unsur tersebut antara lain:

a. Unit percobaan

Unit percobaan adalah unit terkecil dalam suatu percobaan yang diberikan suatu perlakuan. Unit terkecil ini dapat berupa petak lahan, individu, sekelompok ternak, dan sebagainya tergantung percobaan yang sedang dilakukan.

b. Perlakuan

Perlakuan merupakan suatu prosedur atau metode yang diterapkan pada unit percobaan. Umumnya perlakuan ini merupakan faktor yang ingin diselidiki dalam suatu percobaan.

c. Satuan amatan

Satuan amatan adalah anak gugus dari unit percobaan tempat di mana respon perlakuan diukur. Satuan amatan ini merupakan bagian yang nantinya akan diamati responnya terhadap perlakuan yang diberikan.

d. Galat

Galat atau kesalahan percobaan adalah keragaman yang diakibatkan oleh ketidakmampuan materi percobaan yang diperlakukan sama untuk menghasilkan perilaku yang sama pula (Harjosuwono dkk, 2011: 4). Galat percobaan berguna untuk menguji ada atau tidaknya pengaruh perlakuan atau menguji asal perlakuan dari populasi yang sama atau tidak. Selain itu galat juga berfungsi untuk menunjukkan efisiensi dari suatu rancangan percobaan serta mengukur keragaman suatu pengamatan terhadap unit-unit percobaan.

5. Klasifikasi

Rancangan percobaan merupakan suatu kesatuan dari rancangan perlakuan, rancangan lingkungan, dan rancangan pengukuran. Rancangan perlakuan merupakan rancangan yang berkaitan dengan bagaimana perlakuan-perlakuan dipilih sehingga nantinya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sementara rancangan lingkungan adalah rancangan yang berkaitan dengan bagaimana perlakuan-perlakuan dikenakan pada unit percobaan. Sedangkan rancangan pengukuran membicarakan tentang bagaimana respon percobaan diamati dari unit-unit percobaan yang diteliti. Ketiga bentuk rancangan ini dikombinasikan sehingga nantinya akan membentuk suatu perancangan percobaan yang lengkap (Mattjik & Sumertajaya, 2006: 66).

Dalam pernyataan lain menyebutkan bahwa beberapa istilah dalam rancangan percobaan yang perlu diketahui antara lain :

1. Perlakuan (Treatment)

Perlakuan ialah prosedur atau metode yang diharapkan pada unit percobaan, misalnya bahan pembuatan mesin yang berbeda dan lain sebagainya.

 2. Faktor

Faktor ialah variabel yang dapat berupa variabel kualitatif maupun variabel kuantitatif yang dicobakan dalam percobaan sebagai penyusun struktur

 3. Taraf atau Level

 Taraf ialah nilai-nilai dari faktor yang dicobakan daam percobaan, misalkan tingkatan temperatur yang berbeda, jenis bahan cetakan yang berbeda dan lain sebagainya.

4. Pengamatan berulang

Pengamatan berulang ialah pengamatan yang dilakukan berulang kali dalam waktu yang berbeda pada suatu objek atau satuan amatan yang sama untuk mengetahui keragaman yang muncul pada respon.

Pengertian Rancangan Percobaan (skripsi dan tesis)

Percobaan adalah suatu tindakan atau pengamatan khusus yang dilakukan untuk memperkuat atau melemahkan/meniadakan sesuatu yang meragukan, terutama kondisi yang ditentukan oleh peneliti. Selain itu percobaan juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan untuk menemukan beberapa prinsip atau pengaruh yang tidak/belum diketahui serta menguji atau menjelaskan pendapat atau kebenaran yang diketahui atau diduga (Harjosuwono dkk, 2011: 2). Untuk dapat mengetahui prinsip atau pengaruh sesuatu terhadap kondisi tertentu diperlukan suatu rangkaian percobaan terencana yang disebut dengan perancangan percobaan. Menurut Harjosuwono dkk (2011: 2), perancangan percobaan adalah suatu pola atau prosedur yang dipergunakan untuk mengumpulkan atau memperoleh data dalam penelitian. Dengan kata lain perancangan percobaan adalah prosedur untuk menempatkan perlakuan ke dalam unit-unit percobaan dengan tujuan mendapatkan data yang memenuhi persyaratan ilmiah.

 Rancangan percobaan dapat diartikan sebagai serangkaian uji dimana perubahan yang berarti dilakukan pada variabel dari suatu proses atau sistem sehingga dapat diamati dan diidentifikasi alasan-alasan perubahan yang terjadi pada respon output dari percobaan tersebut (Montgomery, 2001:1). Rancangan percobaan banyak dimanfaatkan dalam bidang industri atau penelitian yang berkaitan dengan rancangan produk, perbaikan produk dan lain sebagainya. Tidak hanya dalam bidang industri, rancangan percobaan juga banyak dimanfaatkan dalam bidang pertanian, bidang kesehatan dan lain sebagainya

RANCANGAN POSTTEST DENGAN KELOMPOK KONTROL (skripsi dan tesis)

 

 

Rancangan ini juga merupakan eskperimen sungguhan dan hampir sama dengan rancangan  Randomizes Salomon Four Grup, hanya bedanya tidak dilakukan pre test. Karena kasus-kasus telah dirandomisasi baik pada kelompok eksperimen maupin kelompok kontrol. Kelompok-kelompok tersebut dianggap sama sebelum dilakukan perlakuan. Bentuk rancangan ini sebagai berikut:

Perlakuan Post Test
R (kelompok Eksperimen) X 02
R (kelompok Kontrol) 02

 

Dengan rancangan ini, memungkinkan peneliti mengukur pengaruh perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen dengan cara membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok kontrol. Tetapi rancangan ini tidak memungkinkan peneliti untuk menentukan sejauh mana atau seberapa besar perubahan itu terjadi, sebab pretest tidak dilakukan untuk menentukan data awal

(Soekidjo, 2010)

Pertanian Rawa

Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang selalu tergenang atau pada waktu tertentu tergenan karena jeleknya ataupun tidak adanya sistem drainase alami. Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datar disertai dengan adanya genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunayi ciri fisik: bentuk permukaan lahan cekung, kadang – kadang bergambut, ciri kimawi: derajat keasaman airnya terendah dan ciri biologis: terdapat ikan – ikan rawa, tumbuhan rawa, dan hutan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, dimuara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.

Lebih jauh rawa juga mempunyai fungsi lingkungan antara lain sebagai pengendali banjir, pengendali kekeringan, pengendali pencemaran lingkungan, dan penghasil bahan bakar (kayu arang, gambut). Nilai dan peranan lahan rawa sekarang semakin diyakini potensi dan perannya dalam mendukung pembangunan. Keseluruhan lahan rawa yang telah dibuka ditaksir sekitar 6 juta hektar, diantaranya dibuka oleh masyarakat secara swadaya sekitar 4 juta hektar dan pemerintah sekitar 2 juta, termasuk kawasan PLG Kalimantan Tengah. Dari keseluruhan lahan rawa yang dibuka, tidak termasuk lahan sejuta hektar, baru sekitar 1,53 juta hektar yang ditanami, sebagian besar untuk tanaman pangan diantaranya 0,80 juta hektar berupa sawah pasang surut dan 0,73 hektar berupa sawah lebak.

Dari keseluruhan lahan yang telah dibuka oleh pemerintah tercatat baru dimanfaatkan sekitar 1 ,5 juta hektar, di antaranya 0,80 juta hektar berupa lahan pasang surut dan 0,73 hektar berupa lahan lebak dan secara fungsional yang digunakan untuk pertanian sekitar 1 ,2 juta hektar, masing-masing 0,689 juta sebagai sawah, 0,231 juta hektar sebagai tegalan, dan 0,261 juta hektar untuk pemanfaatan lainnya.

Sejarah pemanfaatan rawa dilatarbelakangi oleh kondisi kekurangan pangan yang dialami Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan.lmpor beras Indonesia pada  masa itu mencapai hampir 20% dari pangsa yang diperdagangkan di pasar dunia sehingga secara murad (significant) mengurangi peruntukan dana pembangunan.

Komitmen pemerintah terhadap pengembangan rawa dimulai sejak tahun 1968 yang merencanakan membuka sekitar 5 juta hektar lahan rawa di Kalimantan dan Sumatera selama 15 tahun. Rencana pengembangan terhadap lahan yang dibuka ini kebanyakan tidak dilanjuti secara optimal dan semakin terancam menjadi lahan telantar atau bongkor (sleeping land). Luas lahan rawa yang menjadi lahan bongkor ini diperkirakan mencapai antara 60-70% atau 600 ribu hektar (Maas, 2003). Tingkat kesejahteraan kehidupan petani di lahan rawa juga terlihat masih memprihatinkan karena produktivitas kerja dan hasil produksi pertanian yang dapat dicapai masih rendah.

Produktivitas tanaman yang dapat dicapai di lahan rawa tergantung pada tingkat kendala dan ketepatan pengelolaan. Namun seperti pada umumnya petani, penanganan pasca panen, termasuk pengelolaan hasil masih lemah, terkait juga dengan pemasaran hasil yang terbatas sehingga diperlukan dukungan kelembagaan yang baik dan profesional serta komitmen pemerintah propinsi/kabupaten dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani rawa.

Pengembangan lahan rawa mempunyai banyak keterkaitan dengan gatra lingkungan yang sangat rumit karena hakekat rawa selain mempunyai fungsi produksi juga fungsi lingkungan. Apabila fungsi lingkungan ini menurun maka fungsi produksi akan terganggu. Oleh karena itu perencanaan pengembangan rawa harus dirancang sedemikian rupa untuk memadukan antara fungsi lahan sebagai produksi dan penyangga lingkungan agar saling menguntungkan atau konpensatif. Rancangan semacam inilah yang memungkinkan untuk tercapainya pertanian berkelanjutan di lahan rawa.