Pengaruh dari Hubungan Politik Perusahaan terhadap Penerapan Tata Kelola Perusahaan (skripsi dan tesis)

Vermonte (2012) menyatakan bahwa pendanaan dari partai politik di Indonesia tidak cukup hanya dari iuran anggota partainya, partai juga memerlukan sumber pendanaan lain dari sumbangan perusahaan atau individu yang tak jarang turut melibatkan perjanjian transaksional. Bentuk timbal balik terhadap pemberi dana dapat berupa lobi politik, tender proyek, atau kebijakan yang menguntungkan bagi perusahaan atau individu terkait. Dasar pemikiran ini juga yang membuat perusahaan berusaha melakukan lobi politik untuk mempertahankan status quo di dalam kebijakan terkait tata kelola perusahaan agar tetap mendapatkan kontrol atas pemegang saham minoritas. Micco, Panizza, dan Yanet (2007) menyatakan bahwa perusahaan dengan hubungan politik memiliki kemungkinan untuk melakukan penyesuaian di dalam pelaporan keuangan untuk kepentingan pemegang saham pengendali sehingga mengorbankan pemegang saham minoritas.

Penelitian dari Bebchuk dan Neeman (2005) menunjukkan bahwa transaksi insider di dalam perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi di keluarga menggunakan aset dari perusahaan untuk kepentingan pribadi, salah satu penggunaan aset perusahaan ialah untuk mempengaruhi politisi dan birokrat untuk tetap menjaga perlindungan investor yang rendah. Dengan perlindungan investor yang tetap rendah maka pemegang saham pengendali akan dapat terus memanfaatkan pemegang saham minoritas melalui ekspropriasi. Selain melalui perlindungan investor yang lemah, penerapan tata kelola juga dipengaruhi oleh transparansi dari perusahaan yang terkoneksi politik. Leuz dan Gee (2006) memiliki argumen bahwa koneksi politik dapat menjadi substitusi bagi pinjaman dari luar negeri. Perusahaan terkoneksi politik dapat memperoleh akses pembiayaan hutang (Amelia 2013).
Menurut Leuz dan Gee (2006) efek substitusi ini membuat tingkat transparansi dari perusahaan akan lebih buruk akibat dari tidak perlunya mengikuti keperluan pelaporan dan transparansi sesuai dengan standar pembiayaan dari luar negeri. Perusahaan terkoneksi politik akan membiarkan transparansi seadanya dan mendapatkan pembiayaan hutang akibat koneksi politik yang dimilikinya. Perusahaan yang terkoneksi politik akan memanfaatkan kontrol yang dimilikinya untuk melakukan lobi politik agar standar, aturan, dan penegakan atas tata kelola perusahaan tetap di posisi status quonya, posisi tidak maksimal (Haque, Arun, dan Kirkpatrick 2011). Selain itu perusahaan yang memiliki koneksi politik, tingkat transparansinya akan menjadi lebih rendah karena transparansi tidak dinilai menjadi sebuah nilai tambah akibat telah mendapat akses pembiayaan dari koneksi politiknya (Leuz dan Gee 2006).

Pengaruh Kepemilikan Keluarga dan Komposisi Dewan Komisaris dan Direksi terhadap Implementasi Tata Kelola Perusahaan (skripsi dan tesis)

Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011) menunjukkan adanya pengaruh negatif dari struktur kepemilikan dan proses politik penentuan dewan komisaris dan direksi terhadap penerapan tata kelola perusahaan di Bangladesh. Semakin banyak direksi dan komisaris yang terafiliasi dengan keluarga maka keputusan yang diambilpun akan semakin menguntungkan pemegang saham pengendali dan merugikan pemegang saham. Siagian (2011) membuktikan bahwa di Indonesia secara empiris tingkat kepemilikan keluarga memiliki pengaruh negatif terhadap penerapan tata kelola perusahaan karena menghindari tata kelola yang cenderung mengurangi kontrol dari pemegang saham pengendali

Pengaruh dari Kepemilikan Keluarga terhadap Komposisi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris yang Terafiliasi dengan Keluarga (skripsi dan tesis)

Menurut Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011), jika pemegang saham pengendali adalah keluarga, maka keluarga cenderung memiliki insentif dan kekuatan untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dalam bentuk kompensasi yang berlebih, transaksi hubungan istimewa, atau dividen di dalam bentuk pengeluaran perusahaan untuk kepentingan pribadi. Hasil penelitiannya memperkuat hasil penelitian Fama dan Jensen (1983), Shleifer dan Vishny (1997), dan Faccio, Lang, dan Young (2001). Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang didominasi oleh kepemilikan keluarga secara langsung akan memberikan pengaruhnya di dalam manajemen perusahaan tersebut. Claessens et al. (2002) menyatakan bahwa sebanyak 84,6% manajer perusahaan di Indonesia ditetapkan oleh pengendali akhir. Dengan cara itu juga perusahaan lebih berpeluang untuk memanfaatkan kontrolnya dalam mengekspropriasi pemegang saham minoritas melalui manajemen yang mereka pilih. Anderson dan Reeb (2005) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan perusahaan keluarga akan menghindari adanya dewan komisaris yag berasal dari kalangan independen untuk menjaga kepentingan keluarga sebagai pemegang kendali. Kepemilikan terkonsentrasi pada keluarga diduga memiliki pengaruh terhadap pengendalian dalam proses politik untuk penentuan dewan komisaris dan dewan direksi. Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan dari keluarga pemegang saham pengendali

Hubungan Politik Perusahaan (skripsi dan tesis)

Perusahaan dapat dikatakan memiliki hubungan politik apabila paling tidak salah satu dari pimpinan perusahaan, pemegang saham mayoritas atau kerabat mereka pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat tinggi negara, anggota parlemen, atau pengurus partai yang berkuasa (Faccio 2006). Penelitian awal mengenai hubungan politik ialah mengenai hubungan kedekatan antara perusahaan dengan penguasa, salah satunya ialah oleh Fisman (2001) yang meneliti tentang nilai dari koneksi politik. Dalam penelitian tersebut subjek penelitiannya ialah perusahaan terbuka di Indonesia pada masa Suharto yang memiliki kedekatan politik dengan Suharto kala itu. Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh terhadap volatilitas harga saham perusahaan yang memiliki kedekatan politik ketika ada isu yang menggoyang Presiden Suharto.
 Carney dan Child (2013) menyatakan bahwa hubungan politik perusahaan dengan kroni Suharto telah menurun semenjak reformasi, hubungan politik perusahaan di Indonesia pada tahun 2008 pun turun sampai 51% (dari tahun 1996). Contoh lain mengenai pengaruh hubungan politik antara perusahaan dengan partai penguasa juga tercermin di Amerika, perusahaan dengan hubungan politik memiliki nilai perusahaan yang lebih tinggi (Goldman, Rocholl, dan So 2009) Pengaruh lain dari hubungan politik perusahaan ialah dapat meningkatkan nilai perusahaan jika melalui koneksi politik dapat menghapus rente ekonomi yang tidak adil. Hal ini perlu juga didukung dengan tata kelola yang baik agar nilai perusahaan tidak hanya diperuntukkan kepentingan pemilik dan politisi yang memiliki hubungan saja. Jika indikator hubungan politik juga menjadi penentu investasi maka dengan adanya hubungan politik nilai perusahaan juga akan meningkat (Faccio 2006).
 Hubungan politik perusahaan juga dapat menjadi substitusi atas pembiayaan dari luar negeri, dan dapat dimanfaatkan untuk mempermudah perusahaan dalam memperoleh pinjaman dalam negeri sehingga tidak perlu mencari pembiayaan dari investor luar negeri. Bagi perusahaan yang memiliki hubungan politik keuntungan lainnya ialah perusahaan dengan hubungan politik memiliki akses yang lebih terhadap pembiayaan hutang, pajak yang lebih rendah, dan kekuatan pasar yang kuat (Leuz dan Gee 2006). Di Indonesia penelitian mengenai hubungan politik perusahaan dimulai pada era Suharto oleh Fisman (2001) yang menghasilkan bahwa ada pengaruh dari kedekatan politik perusahaan dengan penguasa terhadap harga saham perusahaan. Penelitian lain di Indonesia terkait dengan hubungan politik perusahaan ialah oleh Wulandari (2012) yang membahas mengenai pengaruh koneksi politik dan struktur kepemilikan terhadap kinerja perusahaan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki hubungan politik memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki hubungan politik. Purwoto (2011) juga melakukan penelitian atas hubungan politik dan keburaman laporan keuangan dengan kesinkronan dan risiko crash harga saham. Proksi untuk hubungan politik menggunakan tiga pendekatan yaitu anggota dewan komisaris dan direksi yang pernah atau sedang menjabat di pemerintahan, CAR (cumulative abnormal return) ketika ada peristiwa politik, dan juga pinjaman dari bank pemerintah. Hasilnya ialah hubungan politik akan memiliki dampak terhadap ketersediaan informasi spesifik terhadap perusahaan tersebut, perusahaan cenderung mengaburkan informasi spesifik melalui pelaporan yang kurang berkualitas.
Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011), dalam penelitiannya di Bangladesh sebagai salah satu negara berkembang menemukan bahwa pengusaha atau pemegang saham pengendali atau keluarga memiliki kepentingan ekonominya dan memanfaatkan proses politik untuk kepentingan ekonominya tersebut. Pemegang saham pengendali memanfaatkan celah pada sistem politik di negara berkembang yang banyak mengaitkan hubungan kroni dan tingkat korupsi yang masih tinggi untuk kepentingan ekonomi dirinya dan perusahaanya. Selain itu dengan hak pengendaliannya terhadap perusahaannya yang sangat kuat dari pemegang saham pengendali dan tidak adanya penegakan aturan ketat atas praktek tata kelola yang baik sehingga berdampak pada implementasi tata kelola perusahaan yang buruk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011), menjelaskan adanya pengaruh negatif dari kepemilikan yang terkonsentrasi, susunan direksi yang terkoneksi dengan keluarga, serta hubungan politik dari perusahaan terhadap kualitas dari tata kelola perusahaanya

Teori Keagenan dan Kepemilikan Keluarga (skripsi dan tesis)

Permasalahan keagenan tidak hanya terjadi antara pemegang saham dengan manajemen, melainkan di perusahaan yang kepemilikannya dapat juga terjadi antara pemilik saham mayoritas dan manajemen dengan pemegang saham minoritas (Villalonga dan Amit 2006). Salah satu kelemahan praktik tata kelola di Indonesia terkait dengan minimnya pengungkapan mengenai kepemilikan tidak langsung di dalam perusahaan, selain itu juga masih banyak yang belum mengungkapkan anggota dewan direksi atau komisaris yang menjabat di tempat lain, dan minimnya pengungkapan mengenai proses nominasi di jajaran dewan komisaris atau direksi. Kelemahankelemahan tersebut dapat disebabkan dengan struktur kepemilikan yang secara langsung akan mempengaruhi siapa pengendali dari perusahaan tersebut.

Secara umum struktur kepemilikan dari perusahaan-perusahaan di Asia masih banyak didominasi oleh unsur kekeluargaan (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Classen, Djankov, dan Lang (2000) melakukan penelitian di negara-negara Asia Selatan yang menunjukkan bahwa sulit untuk membedakan batasan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan sebagai manajemen, banyak diantaranya dijalankan oleh anggota keluarga pemilik. Di Indonesia sendiri masih didominasi oleh perusahaan keluarga, perusahaan yang struktur kepemilikannya sudah tersebar hanya sebesar 0,6% (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Carney dan Child (2013) melakukan penelitian kembali mengenai perkembangan struktur kepemilikan di Asia Selatan. Indonesia mengalami sedikit peningkatan di dalam perusahaan yang kepemilikannnya tersebar menjadi 3,8% dan penurunan kepemilikan keluarga di perusahaan terbuka sebesar 11,3% dari survey Classen, Djankov, dan Lang (2003) yaitu dari 68,6% menjadi 57,3% (Carney dan Child 2013).
Perusahaan dengan dominasi kepemilikan keluarga dapat memiliki kinerja yang lebih efisien dikarenakan biaya untuk melakukan pengawasan yang lebih kecil (Fama dan Jensen, 1983). Biaya pengawasan lebih kecil disebabkan karena kepemilikannya yang terkonsentrasi sehingga konflik yang terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan dengan kepemilikan tersebar. Di samping itu perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang dominan dikelola oleh anggota keluarganya sendiri sehingga dapat lebih dipercaya, sehingga konflik keagenan menjadi berkurang (Fama dan Jensen 1983). Di sisi lain permasalahan keagenan yang timbul bukan lagi antara pemilik dan manajemen, melainkan pemegang saham minoritas dengan pemilik keluarga, termasuk manajemen yang berasal dari keluarga. Pemegang saham mayoritas, dalam hal ini keluarga, memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dominasinya di dalam perusahaan, melalui manajemennya dan juga pembatasan praktik GCG (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Pembatasan praktik GCG pada akhirnya membatasi perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, bertentangan dengan prinsip tata kelola perusahaan untuk perlakuan yang setara terhadap pemegang saham. Sehingga akhirnya konflik kepentingan ini berujung pada ekspropriasi oleh pemegang saham keluarga terhadap pemegang saham minoritas, dengan praktik tata kelola perusahaan yang tidak cukup baik (Faccio, Lang, dan Young 2001).

Audit tenure dan Manajemen Laba Riil (skripsi dan tesis)

Nihlati dan Meiranto (2014) menjelaskan bahwa terdapat asimetri informasi antara agen dan prinsipal. Asimetri informasi ini dimanfaatkan oleh manajemen perusahaan yang bertindak sebagai agen untuk melakukan manajemen laba. Agen melakukan manajemen laba dengan tujuan untuk memaksimalkan kesejahteraannya, selain itu dengan melakukan manajemen laba kinerja agen akan terlihat baik di mata stakesholders perusahaan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibutuhkan auditor dalam perusahaan. Setiap auditor memiliki masa penugasan atau masa perikatan yang berbeda-beda di setiap perusahaan, yang sering disebut dengan istilah audit tenure. Audit tenure merupakan jumlah tahun seorang auditor dapat ditugaskan oleh sebuah perusahaan (Myers et al., 2003 dalam Inaam et al., 2012).

Menurut Giri (2010) semakin lama masa perikatan seorang auditor, maka semakin tinggi pengetahuan auditor tentang perusahaan tersebut. Program audit yang telah dirancang oleh auditor akan berjalan dengan maksimal, sehingga dapat meningkatkan nilai dari laporan keuangan yang telah dibuat oleh perusahaan. Oleh karena itu, dengan keberadaan auditor dalam sebuah perusahaan dan telah ada di perusahaan sejak periode sebelumnya (dalam kurun waktu yang lama), maka akan memudahkan auditor untuk mengetahui manajemen laba yang terjadi dalam perusahaan. Sehingga perusahaan akan memilih manajemen laba melalui aktivitas riil, karena manajemen laba riil ini cenderung lepas dari pengawasan auditor perusahaan (Chi et al. 2010).

Chi et al. (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara audit tenure dengan manajemen laba riil. Penelitian Cohen dan  Zarowin (2010) dalam Inaam et al. (2012) juga mengatakan bahwa semakin lama audit tenure dalam perusahaan, maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan untuk melakukan manajemen laba riil. Hal ini dikarenakan semakin lama masa penugasan membuat auditor akan lebih kompeten dalam menjalankan program audit yang telah direncanakan karena auditor telah memahami entitas dan lingkungan perusahaan dengan baik, sehingga perusahaan akan melakukan manajemen laba riil untuk menutupi manajemen laba yang terjadi di perusahaan dari auditor perusahaan

Ukuran KAP dan Manajemen Laba Riil (skripsi dan tesis)

Teori agensi menjelaskan adanya asimetri informasi yang terjadi antara manajer (agen) dan pemegang saham (prinsipal). Dalam hal ini manajer yang lebih banyak mengetahui informasi terkait kondisi perusahaan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban dari manajer, maka dibuat laporan keuangan yang menunjukkan kinerja dari manajer. Namun pemegang saham tidak dapat percaya sepenuhnya kepada manajer, karena sering kali manajer menginginkan kinerjanya selalu terlihat baik dimata para pemegang saham sehingga manajer melakukan manajemen laba (Luhgiatno, 2010 dalam Christiani dan Nugrahanti, 2014). Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibutuhkan auditor untuk menjembatani kepentingan pemegang saham dan manajer yang mengelola keuangan perusahaan. Christiani dan Nugrahanti (2014) menjelaskan bahwa dalam asimetri informasi membutuhkan pihak ketiga yang mampu menghubungkan kepentingan pemegang saham (prinsipal) dan manajer (agen) dalam pengelolaan perusahaan. Auditor KAP yang digunakan oleh perusahaan merupakan pihak ketiga dalam perusahaan untuk menyelesaikan masalah terkait asimetri informasi dalam perusahaan. Auditor tersebut dapat berasal dari KAP Big-4 atau KAP Non Big-4. Pada saat auditor perusahaan merupakan auditor dari KAP Big-4, maka dianggap lebih ahli daripada KAP Non Big-4 baik dilihat dari segi pendidikan, pelatihan dan pengalaman di bidang akuntansi dan auditing (Amijaya dan Prastiwi, 2013).
 Selain itu dengan reputasi baik yang dimiliki KAP Big-4 maka proses audit dalam perusahaan akan dilakukan dengan hati-hati (Christiani dan Nugrahanti, 2014). Dengan kompetensi lebih yang dimiliki oleh auditor KAP Big-4 dalam perusahaan, yang telah ada di perusahaan tersebut dari periode sebelumnya, maka akan lebih memudahkan auditor untuk mengetahui manajemen laba yang telah dilakukan oleh manajemen perusahaan. Sehingga perusahaan akan memilih manajemen laba melalui aktivitas riil agar tidak mudah teridentifikasi oleh auditor KAP Big-4. Chi et al. (2010) mengatakan bahwa perusahaan justru akan berpindah untuk melakukan manajemen laba riil dari manajemen laba akrual pada saat auditor perusahaan berasal dari KAP Big N (bereputasi baik). Hal ini ditunjukkan dengan adanya nilai abnormal CFO yang rendah pada perusahaan. Penelitian Inaam et al. (2012) menunjukkan bahwa ukuran KAP auditor perusahaan berpengaruh positif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan abnormal CFO, yang berarti semakin efektif pengawasan yang dilakukan oleh auditor KAP tersebut, maka akan memotivasi manajemen untuk melakukan teknik manajemen laba yang tidak mudah diidentifikasi. Dari uraian diatas, semakin besar ukuran KAP auditor perusahaan yang digunakan, maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan akan melakukan manajemen laba riil. Hal ini dikarenakan perusahaan ingin menyembunyikan manajemen laba yang sedang dilakukan oleh perusahaan dari auditor

Hubungan Politik dan Manajemen Laba Riil (skripsi dan tesis)

Kinerja perusahaan tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Pada saat kinerja perusahaan baik manajer (agen) akan mendapatkan insentif, namun jika kinerja perusahaan buruk maka manajer justru akan mendapatkan punishment. Oleh karena itu, manajer akan selalu berusaha untuk memenuhi target laba perusahaan salah satunya dengan melakukan manajemen laba. Hubungan politik dalam perusahaan seharusnya dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang ada di perusahaan, dikarenakan perusahaan mendapatkan pengawasan ketat dari publik, media, maupun rekan partai politik (Chaney et al., 2010 dan Braam et al., 2015). Namun antara manajer (agen) dan pemegang saham (prinsipal) sering kali terdapat perbedaan kepentingan atau conflict of interest (Jensen dan Meckling, 1976), manajer selalu ingin memenuhi target laba untuk mendapatkan insentif atau dapat dikatakan ingin memaksimalkan kesejahteraannya. Sedangkan para pemegang saham berharap manajer dapat mencapai target laba yang sebenarnya untuk memaksimalkan nilai perusahaan, sehingga deviden atau keuntungan yang didapatkan oleh pemegang saham semakin banyak. Dengan kondisi yang demikian, kemungkinan manajer akan melakukan manajemen laba dan memilih metode yang tidak mudah terdeteksi oleh publki maupun rekan politik, salah satunya dengan manajemen laba melalui aktivitas riil.
Braam et al. (2015) menyatakan bahwa pada saat perusahaan mempunyai hubungan politik akan memilih melakukan manajemen laba riil dibandingkan dengan manajemen laba akrual. Hal ini dikarenakan perusahaan tidak ingin kehilangan reputasi dan menjaga hak-hak istimewa atas hubungan politik yang telah terjalin, seperti mendapatkan kemudahan terkait alokasi modal dari pemerintah, pengadaan kontrak dengan pemerintah dan peluang bisnis lainnya. Fisman (2001) dalam Braam et al. (2015) mengatakan jika perusahaan yang memiliki hubungan politik maka akan mempengaruhi alokasi modal dan menambah peluang bisnis yang lebih baik. Goldman et al. (2010) menunjukkan bahwa perusahaan di Amerika Serikat yang memiliki hubungan politik dengan partai yang sedang berkuasa akan mendapatkan alokasi pengadaan kontrak. Walaupun sistem hukum pemerintah Amerika Serikat cukup kuat, ternyata hubungan politik masih mempunyai dampak terhadap alokasi sumber daya pemerintah.
 Begitu pula dengan Faccio et al. (2006) dalam Braam et al. (2015) yang menunjukkan jika perusahaan yang memiliki hubungan politik lebih mudah mendapatkan dana talangan (bailouts) dari pemerintah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki hubungan politik. Selain itu, baik atau tidaknya reputasi suatu perusahaan dapat dilihat dari kinerja perusahaan dan biasanya diukur dari laba yang dihasilkan oleh perusahaan (Christiani dan Nugrahanti, 2014). Braam et al. (2015) menunjukkan jika perusahaan tidak mampu mempertahankan reputasi perusahaan dengan baik, maka perusahaan akan kehilangan hak istimewa dari hubungan politik yang telah terjalin. Rekan politik akan mempertimbangkan laba yang mencerminkan reputasi perusahaan sebelum memberikan hak istimewa kepada perusahaan. Hal ini yang mengakibatkan perusahaan akan melakukan berbagai macam tindakan untuk mempertahankan reputasinya. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki hubungan politik cenderung akan melakukan manajemen laba riil dibandingkan manajemen laba akrual untuk memenuhi laba yang telah ditargetkan, karena manajemen laba riil tidak mudah terdeteksi oleh oleh publik maupun rekan politik dibandingkan dengan manajemenlaba akrual (Braam et al., 2015).

Audit Tenure (skripsi dan tesis)

Tenure merupakan jangka waktu penugasan audit oleh KAP tertentu di perusahaan klien yang sesuai dengan peraturan pemerintah (Chi et al., 2010 serta Nihlati dan Meiranto, 2014). Menurut Keputusan Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) No: KEP310/BL/2008 tentang Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa di Pasar Modal, masa perikatan atau penugasan audit terkait jasa audit umum atas laporan keuangan klien dapat dilakukan oleh KAP paling lama 6 tahun buku berturut-turut dan oleh Akuntan Publik paling lama 3 tahun buku berturut-turut. KAP dan Akuntan Publik dapat menerima penugasan audit kembali atas permintaan klien setelah 1 tahun buku tidak mengaudit klien tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku bagi laporan keuangan interim yang diaudit untuk kepentingan Penawaran Umum

Ukuran KAP (skripsi dan tesis)

Laporan keuangan setiap perusahaan perlu diaudit terlebih dahulu sebelum diterbitkan dan digunakan oleh user laporan keuangan tersebut. Audit atas laporan keuangan perusahaan dapat dilakukan oleh Akuntan Publik maupun Kantor Akuntan Publik (KAP). Kantor Akuntan Publik di Indonesia dapat diklasifikasikan menurut ukurannya. Di Indonesia, besar atau kecilnya ukuran KAP dilihat dari dua kelompok, yaitu kelompok KAP Big-4 dan kelompok KAP Non Big-4, dimana pengelompokan ukuran KAP dilihat dari KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan KAP Big-4 dan KAP Non Big-4. KAP Big-4 di Indonesia merupakan KAP yang bekerjasama dengan jaringan KAP Internasional yang meliputi Tanudiredja, Wibisana dan Rekan merupakan jaringan internasional dari Pricewaterhouse Coopers (PWC); Osman, Bing, Satrio merupakan jaringan internasional dari Deloitte Tohce Tomatsu Limited (Deloitte); Purwantono, Suherman dan Surja merupakan jaringan internasional dari Ernst & Young (EY), dan Siddharta dan Widjaja merupakan jaringan internasional dari KPMG.

Hubungan Politik (skripsi dan tesis)

Faccio (2006) dalam Braam et al. (2015) menjelaskan bahwa sebuah perusahaan dapat dikatakan mempunyai hubungan politik jika setidaknya dalam perusahaan terdapat pemegang saham terbesar (mempunyai hak suara setidaknya 10 persen) atau salah satu top officers dalam perusahaan menjabat sebagai anggota parlemen, menteri, atau berhubungan erat dengan politisi ternama ataupun partai politik. Menurut Chaney et al. (2010) terdapat beberapa manfaat yang didapatkan oleh perusahaan yang memiliki hubungan politik, yang pertama perusahaan mendapatkan manfaat dari relasi hubungan politik yang ada di perusahaan. Kedua, para politisi memberikan perlindungan kepada perusahaan sebagai tempat mereka dalam menanamkan investasi. Dengan adanya hal tersebut maka manajer juga tidak menaruh perhatian lebih terhadap kualitas pelaporan keuangan. Ketiga, pada saat perusahaan memiliki kualitas laba yang rendah maka perusahaan tersebut akan mencoba membangun koneksi politik untuk mendapatkan perlindungan.

Manajemen Laba (skripsi dan tesis)

Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban dari manajemen kepada stakesholders perusahaan. Menurut Christiani dan Nugrahanti (2014) komponen laporan yang menjadi pusat perhatian dan dijadikan acuan penilaian kinerja perusahaan adalah laba. Melihat pentingnya informasi laba, maka laba menjadi sasaran manipulasi oleh pihak manajemen agar kinerja manajemen perusahaan terlihat baik. Sesuai dengan perspektif oportunis bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunis manajer untuk mengelabuhi investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena manajer mendapatkan informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pihak lain terutama investor (Sulistyanto, 2008). Terdapat dua teknik dalam melakukan manipulasi laba, yaitu melalui aktivitas akrual dan aktivitas riil. Manajemen laba melalui aktivitas akrual adalah manipulasi laba yang dilakukan melalui pencatatan-pencatatan akuntansi dengan basis akrual, dimana pengakuan hak dan kewajiban perusahaan tidak melihat kapan kas perusahaan akan masuk atau keluar (Sulistyanto, 2008). Misalnya pada saat perusahaan akan memperkecil laba, perusahaan akan menunda pengakuan pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode berikutnya. Sedangkan manajemen laba melalui aktivitas riil adalah tindakan yang dilakukan oleh manajer perusahaan yang menyimpang dari praktik bisnis normal dengan melakukan manipulasi di kegiatan operasional perusahaan (Roychowdhury, 2006).
Menurut Roychowdhury (2006), terdapat beberapa teknik dalam melakukan manajemen laba riil, yaitu:
1. Manipulasi Penjualan. Manipulasi penjualan dapat dilakukan dengan cara memberikan potongan harga dan persyaratan kredit yang lebih lunak agar dapat meningkatkan target laba. Hal ini akan menimbulkan adanya peningkatan penjualan yang berakibat pada peningkatan laba di perusahaan, namun arus kas perusahaan justru akan mengalami penurunan karena arus kas masuk perusahaan kecil yang disebabkan oleh pemberian potongan harga dan syarat kredit yang lunak yang telah diberikan oleh perusahaan. Sehingga manipulasi penjualan akan mengakibatkan arus kas kegiatan operasi atau cash flow operation (CFO) menurun dan lebih rendah jika dibandingkan dengan level penjualan secara normal.
2. Overproduction (Produksi Secara Berlebihan). Pada saat perusahaan melakukan produksi terlalu banyak (overproduction), maka akan menyebabkan biaya overhead tetap per unit menjadi lebih kecil karena jumlah barang yang diproduksi lebih banyak. Dengan melakukan overproduction maka akan menurunkan cost of goods sold (harga pokok penjualan).
 3. Pengurangan Biaya Diskresioner Pengurangan biaya diskresioner dapat dilakukan dengan mengurangi biaya penelitian dan pengembangan, biaya iklan, dan biaya penjualan, biaya umum dan administrasi seperti pelatihan karyawan dan perjalanan dinas. Dengan berkurangnya beban-beban tersebut maka laba perusahaan akan meningkat, sehingga arus kas periode berjalan akan meningkat namun pada periode yang akan datang arus kas kegiatan operasi perusahaan akan menurun atau lebih rendah dari periode sebelumnya

Teori Agensi (skripsi dan tesis)

Jensen dan Meckling (1976) mengatakan bahwa teori agensi merupakan kontrak antara prinsipal (pemegang saham) dan agen (manajemen perusahaan), dimana agen bertugas untuk mengelola penggunaan dan pengendalian sumber daya perusahaan untuk kemakmuran prinsipal. Terdapat dua masalah keagenan yaitu conflict of interest dan asimetri informasi. Conflict of interest merupakan perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal. Manajer sebagai agen seolah-olah bekerja untuk kesejahteraan prinsipal namun pada kenyataan manajer hanya bekerja untuk kepentingan diri sendiri, karena manajer tidak ingin berkorban sepenuhnya untuk memaksimalkan nilai perusahaan (Godfrey et al., 2009). Sedangkan asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana salah satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pihak lain. Pihak manajer selaku pengelola perusahaan sering kali memiliki informasi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pemegang saham di perusahaan. Kedua kondisi tersebut akan mudah dimanfaatkan oleh manajer dalam melakukan manajemen laba baik dengan aktivitas akrual atau aktivitas riil. Hal ini dikarenakan manajer perusahaan mempunyai otoritas dalam pengambilan keputusan (Godfrey et al., 2009).

Tata Cara Pemungutan Pajak (skripsi dan tesis)

 Tata cara Pemunugutan Pajak Menurut Mardiasmo (2016:8):
1. Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel:
a. Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
 b. Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

Pengertian Pajak (skripsi dan tesis)

Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. dalam Mardiasno (2016:1) mendefinisikan bahwa pajak merupakan “… iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Waluyo (2011:2) menjelaskan bahwa pajak adalah “… prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum) tanpa adanya kontraprestasi da semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaranpengeluaran.” M.J.H Smeets dalam Sukrino Agoes (2014:6) mengemukakan bahwa pajak adalah “… prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang ditunjukan secara individual; maksudnya untuk membiayai pengeluaran pemerintah.” Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (UU KUP) mendefinisikan pajak sebagai “… kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, denga tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarya kemakmuran rakyat.” Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran atau kontribusi wajib masyarakat kepada negara yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang yang tidak mendapat imbalan langsung dan digunakan untuk membiayai negara dan pembangunan nasional demi kemakmuran rakyat.

Pengertian Hubungan Politik (skripsi dan tesis)

Purwoto (2011:7) mengemukakan bahwa “… perusahaan berkoneksi politik ialah perusahaan yang dengan cara-cara tertentu mempunyai ikatan secara politik atau mengusahakan adanya kedekatan dengan politisi atau pemerintah.” Faccio (2006:369) dalam Andriana dan Yeterina (2016) Menjelaskan bahwa “…Perusahaan dapat dikatakan memiliki hubungan politik apabila paling tidak salah satu dari pimpinan perusahaan, pemegang saham utama (orang yang memiliki setidaknya 10 persen hak suara berdasarkan jumlah saham yang dimiliki), atau kerabat mereka pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat tinggi negara, anggota parlemen, atau pengurus partai yang menjadi perwakilan di parlemen.” Adhikari (2006:538) juga menjelaskan bahwa “… hubungan politik suatu perusahaan dapat dilihat dari ada atau tidaknya kepemilikan langsung oleh pemerintah pada perusahaan.” Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan politik adalah hubungan yang dapat membantu perusahaan dalam aktivitas pemerintahan, sehingga perusahaan mendapat kemudahan dalam melaksanakan kegiatan dan urusan yang berkaitan dengan kenegaraan

Pengkuran Kepemilikan Keluarga (skripsi dan tesis)

Kepemilikan keluarga didefinisikam sebagai “…presentase kepemilikan saham perusahaan oleh anggota keluarga, dimana kepentingan keluarga teradap perusahaan akan semakin besar seiring dengan peningkatan jumlah presentase saham tersebut.” Dalam penelitian Adiarti (2015), kepemilikan keluarga diukur dengan cara menghitung presentase pengendali akhir dan mengaitkan hubungan kekerabatan pada pengendali akhir. Dalam penelitian Stanley (2016), perusahaan dianggap memiliki kepemilikan keluarga apabila “…keseluruhan individu dan perusahaan yang kepemilikannya tercatat (kepemilikan 5% ke atas yang wajib dicatat), kecuali perusahaan asing, perusahaan publik, negara, institusi keuangan (seperti asuransi, dana pensiun, lembaga investasi, reksa dana) dan masyarakat yang kepemilikan individu kurang dari 5% (tidak wajib dicatat).” Chaney et al. (2011) dalam Adirati (2015) mendefinisikan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga sebagai suatu perusahaan yang “…kepemlikan terbesarnya adalah keluarga atau terdapat kepemilikan dari seorang individu sebesar 20%.” Harijono (2013) dalam Sri Rezeki (2015) menjelaskan kepemilikan keluarga dapat diukur dengan diukur dengan “…besarnya jumlah saham individu ditambah jumlah saham perusahaan selain perusahaan publik, pemerintah, manajemen, institusi lembaga keuangan dan kepemilikan asing

Pengertian Kepemilikan Keluarga (skripsi dan tesis)

Salah satu struktur kepemilikan yang sering dimiliki perusahaan adalah kepemilikan individu yang biasanya dijabat oleh keluarga dalam istilah lain disebut kepemilikan keluarga. Berikut definisi kepemilikan saham berdasarkan para ahli: Chaney et al. (2011) dalam Adiarti (2015:36) mendefinisikan “…perusahaan yang dimiliki oleh keluarga sebagai suatu perusahaan yang kepemlikan terbesarnya adalah keluarga atau terdapat kepemilikan dari seorang individu sebesar 20%.” Chi et al (2014) dalam Adiarti (2015:36) mendefinisikan “… suatu perusahaan di miliki keluarga apabila suatu keluarga memiliki kepemilikan akhir sebesar 10% atau lebih dan keluarga memiliki jabatan pada jajaran direksi atau dewan komisaris.” Kepemilikan keluarga menurut Arifin (2003) dalam Siregar Utama (2008:42) adalah “…meliputi perusahaan-perusahaan yang memiliki kepemilikan yang terdaftar di bursa (kepemilikan > 5%) tidak termasuk pemerintah, lembaga keuangan, atau publik.” Sedangkan menurut Claessens, et al, (2000) dalam Warsini dan Rossietta (2013) kepemilikan keluarga dapat diukur dengan “…besarnya presentase kepemilikan individu ditambah presentease kepemilikan perusahaan selain perusahaan publik, pemerintah, manajemen, institusi lembaga keuangan dan kepemilikan asing.” Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan kepemilikan keluarga adalah perusahaan yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh seorang individu setidaknya lebih dari 5% dari total saham perusahaan

Jenis-jenis Saham (skripsi dan tesis)

 Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2016:6), ada beberapa jenis saham yaitu:
 1. Ditinjau dari segi kemampuan dalam hak tagih atau klaim, maka saham terbagi atas:
a. Saham biasa (common stock), yaitu merupakan saham yang menempatkan pemiliknya paling junior terhadap pembagian dividen dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi.
b. Saham preferen (preferred stock), merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obligasi), tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil seperti ini dikehendaki oleh investor.
 2. Dilihat dari cara pemeliharaannya, saham dibedakan menjadi:
a. Saham atas unjuk (bearer stock) artinya pada saham tersebut tidak tertulis nama pemiliknya, agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke investor lain.
b. Saham atas nama (registered stock), merupakan saham yang ditulis dengan jelas siapa pemiliknya, dan dimana cara peralihannya harus melalui prosedur tertentu.
3. Ditinjau dari kinerja perdagangangannya, maka saham dapat dikategorikan menjadi:
 a. Saham unggulan (blue-chip stock), yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi tinggi, sebagai leader di industri sejenis, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen.
 b. Saham pendapatan (income stock), yaitu saham biasa dari suatu emiten yang memiliki kemampuan membayar dividen lebih tinggi dari rata-rata dividen yang dibayarkan pada tahun sebelumnya.
c. Saham pertumbuhan (growth stock-well known), yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis yang mempunyai reputasi tinggi. Selain itu terdapat juga growth stock lesser known, yaitu saham dari emiten yang tidak sebagai leader dalam industri namun memiliki ciri growth stock.
 d. Saham spekulatif (spekulative stock), yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secra konsisten memperoleh penghasilan yang tinggi di masa mendatang, meskipun belum pasti.

Pengertian saham (skripsi dan tesis)

Saham merupakan salah satu instrumen pasar modal yang paling diminati investor karena memberikan tingkat keuntungan yang menarik. Menurut Sapto (2006:31) saham adalah “…surat berharga yang merupakan instrument bukti kepemilikan atau penyertaan dari individu atau institusi dalam suatu perusahaan.” Menurut Husnan Suad (2008:29) saham merupakan “…secarik kertas yang menunjukan hak pemodal yaitu pihak yang memiliki kertas tersebut untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan organisasi yang menerbitkan sekuritas tersebut, dan berbagai kondisi yang memungkinkan pemodal tersebut menjalankan haknya.” Selanjutnya, menurut Fahmi (2012:81) saham merupakan “…kertas yang tercantum dengan jelas nilai nominal, nama perusahaan, dan diikuti dengan hak dan kewajiban yang telah dijelaskan kepada setiap pemegangnya.” Berdasarkan pengertian para ahli di atas maka dapat disimpulkan saham merupakan surat bukti tanda kepemilikan suatu perusahaan yang didalamnya tercantum nilai nominal, nama perusahaan, dan diikuti dengan hak dan kewajiban yang dijelaskan kepada setiap pemegangnya

Struktur Kepemilikan (skripsi dan tesis)

Struktur kepemilikan oleh beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu memaksimalisasi nilai perusahaan. Berikut penulis mengemukakan beberapa definisi kepemilikan saham yang dinyatakan oleh para ahli diantaranya: Menurut Sugiarto (2009:59) struktur kepemilikan adalah “ …perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam (insider) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor.” Menurut I Made Sudana (2011) struktur kepemilikan adalah “ …pemisahan antara pemilik perusahaan dan manajer perusahaan, dimana pemilik atau pemegang saham adalah pihak yang menyertakan modal kedalam perusahaan sedangkan manajer adalah pihak yang ditunjuk pemilik dan diberi kewenangan mengambil keputusan dalam mengelola perusahaan.”
Menurut Kharis Raharjo (2016) dalam Rezky (2017) struktur kepemilikan adalah “…proporsi kepemilikan manajemen, institusional, dan kepemilikan publik, dan strukur kepemilkan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dengan pemegang saham.” Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa struktur kepemilikan adalah informasi tentang pemisahan antara kepemilikan sahamm perusahaan yang terdiri dari pemegang saham selaku pihak yang menyertakan modal serta manajer selaku pihak yang ditunjuk oleh pemilik saham unutk mengambil keputusan dalam mengelola perusahaan untuk mempertanggungjawabkan kinerja perusahaan kepada pemilik saham. Berdasarkan penelitian Siregar dan Utama, struktur kepemilikan saham dibedakan menjadi dua, yaitu struktur kepemilikan manajerial dan struktur kepemilikan institusional.
 Menurut Yana dan Wati dalam Bernandhi (2013) Struktur kepemilikan manajerial adalah “…tingkat kepemilikan saham oleh pihak manajemen yang secara aktif terlibat di dalam pengambilan keputusan. Pengukurannya dilihat dari besarnya proporsi saham yang dimiliki manajemen pada akhir tahun yang disajikan dalam bentuk presentase.” Born dalam Efendi (2013), menyatakan bahwa kepemilikan manajerial adalah “…presentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh direksi, manajer dan dewan komisaris.” Menurut Imanta dan Satwiko (2011:68) definisi kepemilikan manajerial adalah “…kepemilikan saham oleh pihak manajer atau dengan kata lain manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham.” Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemilikan majaerial adalah proprsi saham yang dimiliki oleh manajer yang dinyatakan dalam presentase sehingga manajer sekaligus sebagai pemegang saham. Menurut Efendi (2013) adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan akan mengalami peningkatan sebagai akibat dari kepemilikan manajemen yang meningkat dalam perusahaan tersebut. Hal ini sangat potensial dalam mengurangi alokasi sumber daya yang tidak menguntungkan, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai perusahaan. Cho dan Mark dalam Efendi (2013) menyatakan hubungan struktur kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan merupakan hubungan non-monotonik. Hubungan nonmonotonik antara kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan disebabkan adanya insentif yang dimiliki oleh manajer dan mereka cenderung berusaha untuk melakukan pensejajaran kepentingan dengan outside owners dengan cara meningkatkan kepemilikan saham mereka jika nilai perusahaan yang berasal dari investasi mengalami peningkatan. Menurut Nabela (2012:2) kepemilikan institusional adalah “…proporsi saham yang dimiliki oleh institusi pada akhir tahun yang diukur dengan presentase.” Nuraina (2012:6) menjelaskan bahwa kepemilikan institusional adalah “…presentase saham perusahaan yang dimiliki institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, dana pensiunan, atau perusahaan lain).” Braley dan Marcus dalam Fandini (2013) mendefinisikan bahwa kepemilikan institusional adalah “…beberapa saham yang dipegang langsung oleh para investor individu tetapi proporsi yang besar dimiliki oleh lembaga keuangan seperti reksa dana, dana pension, dan perusahaan asuransi.” Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemilikan institusional merupaka proporsi saham yang dimiliki pihak institusi seperti perusahaan asuransi, dana pension, atau perusahaan lain yang diukur dengan presentase pada akhir tahun. Braley dan Marcus dalam Fandini (2013) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara mnajet dan pemegang saham.
Beberapa kelebihan dari struktur kepemilikan saham institusional disebutkan oleh Permanasari (2010) sebagai berikut :
1. Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi.
2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
Nuraina (2012:12) menjelaskan bahwa kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan institusional maka akan mendorong peningkatan pengawasan terhadap operasional perusahaan yang lebih optimal. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan keputusan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manajemen laba. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal

Asimetri Informasi (skripsi dan tesis)

Menurut Jogiyanto (2010:387) asimetri informasi adalah “…kondisi yang menunujkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang lainnya tidak memiliki.” Sejalan dengan pengertian di atas, Suwarjono (2014:584) menyatakan bahwa asimetri adalah “…kondisi dimana manajemen sebagai pihak yang lebih menguasai informasi dibandingkan investor/kreditur.” Selanjutnya Mamduh M. Hanafi (2014:217) mengemukakan bahwa asimetri adalah dimana “…pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko perusahaan, sedangkan pihak tertentu mempunyai informasi lebih baik dibandingkan dengan pihak luar.” Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibandingkan pihak lain (pemilik atau pemegang saham). Dengan asumsi bahwa individu- individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal sebagai pemilik.
Sehingga dengan adanya asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka meningkatkan utilitasnya. Fleksibilitas manajemen untuk memanajemenkan laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba. Menurut Dai et al.,(2013) dalam Andrie dan Nur Cahyonowati (2015) terjadinya asimetri informasi di suatu perusahaan dapat mempengaruhi tingkat praktik manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Kecenderungan manajemen mengotak-ngatik besarnya laba perusahaan demi tujuan untuk memaksimalkan nilai agar terlihat kondisi perusahaan tersebut baik. Manajemen laba merupakan praktik yag digunakan perusahaan untuk mencapai laba sesuai keinginan dari perusahaan agar terlihat baik. Kualitas laba yang baik merupakan cerminan dari kondisi suatu perusahaan.

Agency Theory (skripsi dan tesis)

Bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) terlebih untuk perusahaan yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), seringkali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan dengan pemilik perusahaan. Disamping itu, untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, tanggung jawab pemilik hanya terbatas pada modal yang disetorkan. Artinya, apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka modal sendiri (ekuitas) yang telah disetorkan oleh para pemilik perusahaan mungkin sekali akan hilang, tetapi kekayaan pribadi pemilik tidak akan diikutsertakan untuk menutup kerugian tersebut (Husnan dan Pudjiastuti; 2006). Jensen dan Meckling (1976) dalam Efendi (2013) menjelaskan hubungan keagenan didalam teori agensi (Agency Theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agent) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Agency Theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pemegang saham sebagai pihak principal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Manajer sebagai agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi (Sugiarto; 2009).
 Sedangkan menurut Halim (2005) masalah keagenan muncul karena adanya perilaku oportunistik dari agent, yaitu perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraanya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal. Warsono (2009) menjelaskan bahwa terdapat cara-cara langsung yang digunakan pemegang saham untuk memonitor manajemen perusahaan sehingga membantu memecahkan konflik keagenan. Pertama, pemegang saham mempunyai hak untuk mempengaruhi cara perusahan dijalankan melalui voting dalam rapat umum pemegang saham. Hak voting pemegang saham merupakan bagian penting dari aset keuangan mereka. Kedua, pemegang saham melakukan resolusi dimana suatu kelompok pemegang saham secara kolektif melakukan negosiasi terhadap manajer (mewakili perusahaan) berkenaan dengan isu-isu yang tidak memuaskan mereka. Pemegang saham juga mempunyai opsi divestasi (menjual saham mereka), divestasi mereprestasikan suatu kegagalan dari perusahaan untuk mempertahankan investor, dimana divestasi diakibatkan oleh ketidakpuasan pemegang saham atas aktivitas manajer. Manajemen laba didasari oleh adanya Agency Theory yang menyatakan bahwa setiap individu cenderung untuk memaksimalkan utilitasnya. Konsep Agency Theory adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Principal memperkerjakan agen untuk melakukan tugas dalam rangka memenuhi kepentingan principal. Eisenhardt (1989) dalam Darmawati (2005) berpendapat bahwa teori keagenan mampu mengatasi dua permasalahan dalam hubungan keagenan. Pertama, adalah masalah keagenan yang timbul ketika (a) adanya keinginan dan tujuan yang bertolak belakang antara principal dan agen, dan (b) kesulitan principal dalam memverifikasi apa yang sesungguhnya sedang dikerjakan manajemen. Kedua, permasalahan pembagian resiko akibat perbedaan sikap principal dan agent

Pengaruh Koneksi Politik Terhadap Tax Avoidance (skripsi dan tesis)

Koneksi politik yang dimiliki membuat perusahaan memperoleh perlakuan khusus, seperti kemudahan dalam memperoleh pinjaman modal, resiko pemeriksaan pajak rendah yang membuat perusahaan makin agresif dalam menerapkan tax planning yang berakibat pada menurunnya transparansi laporan keuangan. Kehilangan investor akibat penurunan transparansi laporan keuangan dapat digantikan dengan peran pemerintah sebagai penyandang dana utama. Selain itu, perusahaan yang memiliki koneksi politik dengan pemerintah yang sedang berkuasa terbukti memiliki tingkat tax avoidance yang signifikan tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis yang tidak memiliki koneksi politik (Francis et al.,2012; Kim dan Zhang, 2013; Leuz dan Gee, 2013; Christensen et al., 2014). Penelitian yang dilakukan Adhikari (2006), Christensen et al. (2013) dan Hardianti (2014) menyimpulkan koneksi politik berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Sedangkan penelitian yang dilakukan Nugroho (2011) dan Fatharani (2012) menyimpulkan koneksi politik tidak berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance.

Koneksi Politik (skripsi dan tesis)

Faccio (2006) menyatakan sebuah perusahaan dikatakan memiliki koneksi politik jika paling kurang satu pemegang saham utama (orang yang memiliki setidaknya 10 persen hak suara berdasarkan jumlah saham yang dimiliki) atau satu dari pimpinan (CEO, presiden direktur, wakil presiden direktur, kepala bagian atau sekretaris) merupakan anggota parlemen, menteri, atau memiliki hubungan dekat dengan tokoh atau partai politik.
Gomez dan Jomo (1997); Johnson dan Mitton (2003) dalam Faccio (2006) menjelaskan hubungan dekat yang dimaksud meliputi :
1. Perusahaan yang top eksekutif atau pemegang saham utama memiliki hubungan pertemanan dengan kepala negara, menteri atau anggota parlemen.
2. Koneksi dengan pejabat yang pernah menjabat sebagai kepala negara atau perdana menteri pada periode sebelumnya.
3. Perusahaan yang top eksekutif atau pemegang saham utama terlibat secara langsung dalam dunia politik. Koneksi politik akan semakin nampak di negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi. Walaupun pada kenyataannya korupsi memiliki efek negatif terhadap perekonomian dan tingkat pertumbuhan suatu negara, hal yang sama tidak berlaku bagi koneksi politik yang dianggap bermanfaat oleh banyak perusahaan (Faccio, 2009).
 Indonesia berada di peringkat 107 dari 175 negara pada tahun 2014 berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dinilai oleh Lembaga Transparasi Internasional. Perusahaan dengan koneksi politik mampu melakukan tax planning yang lebih agresif karena adanya perlindungan dari pemerintah yang berdampak pada menurunnya transparansi laporan keuangan. Kualitas laba dalam laporan keuangan oleh perusahaan dengan koneksi politik secara signifikan lebih buruk dibandingkan perusahaan sejenis yang tidak memiliki koneksi politik. Keburaman laporan keuangan membawa dampak negatif bagi perusahaan seperti kebutuhan modal yang tinggi karena kurangnya investor atau resiko terjadinya pemeriksaan. Namun perusahaan dengan koneksi politik tampak tidak peduli dengan konsekuensi yang terjadi, salah satunya karena hubungan politik yang dimiliki mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan konsekuensi negatif yang ada. (Chaney et al. 2007 ; Kim dan Zhang, 2013).
Sulitnya mendapat investor sebagai penyandang dana tidak menjadi masalah besar bagi perusahaan. Koneksi politik membuat perusahaan mudah mendapatkan pinjaman dengan batas kredit yang bisa diperpanjang. Hal ini terjadi karena pemberi pinjaman juga memperoleh dukungan ekonomi langsung dari pemerintah dimana perusahaan terhubung serta adanya jaminan dari pemerintah bahwa peminjam maupun pemberi pinjaman yang terhubung secara politik akan diberikan dana bailout saat keduanya mengalami krisis keuangan (Faccio et al. 2006).

Karakter Eksekutif (skripsi dan tesis)

Setiap perusahaan memiliki seorang pemimpin yang menduduki posisi teratas baik sebagai top eksekutif maupun top manajer, dimana setiap pimpinan memiliki karakter-karakter tertentu untuk memberikan arahan dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan (Pranata, 2014). Setiap individu pimpinan perusahaan sebagai eksekutif memiliki dua karakteristik yaitu risk taker dan risk averse. Eksekutif yang bersifat risk taker akan lebih berani mengambil resiko dalam berbisnis karena adanya paham bahwa semakin tinggi resiko yang diambil akan semakin tinggi keuntungan yang diperoleh.
 Banyaknya keuntungan yang ditawarkan seperti kekayaan melimpah, penghasilan tinggi, kenaikan jabatan dan pemberian wewenang atau kekuasaan menjadi motivasi tersendiri bagi para eksekutif menjadi semakin bersifat risk taker (Low, 2009; MacCrimmon dan Wehrung, 1990). Berkebalikan dengan risk taker, eksekutif yang bersifat risk averse akan lebih memilih untuk menghindari segala bentuk kesempatan yang berpotensi menimbulkan resiko dan lebih suka menahan sebagian besar aset yang dimiliki dalam investasi yang relatif aman untuk menghindari pendanaan dari utang, ketidakpastian jumlah return dan sebagainya. Saat manajer dengan karakter risk averse diberikan kesempatan untuk memilih investasi, karakter ini akan cenderung memilih investasi jauh dibawah resiko yang dapat ditolerir perusahaan (Low, 2009; MacCrimmon dan Wehrung, 1990). Untuk mengetahui jenis karakter dan menilai seberapa berani eksekutif perusahaan mengambil resiko dapat dilakukan dengan melihat risiko perusahaan (corporate risk). Paligorova (2010) mengukur corporate risk menggunakan persamaan standar deviasi dari EBITDA (earning before income tax, depreciation and amortization) dibagi dengan total aset perusahaan. Tingginya rendahnya corporate risk akan menunjukkan kecondongan karakter eksekutif, risk taking atau risk averse

Tax avoidance (skripsi dan tesis)

Tax avoidance adalah alat untuk melakukan tax saving dengan mengalihkan sumber daya yang seharusnya diperuntukkan untuk negara kepada para pemegang saham yang mampu menaikkan nilai after-tax perusahaan. Wang (2010) mengatakan agar jumlah pendapatan yang sebenarnya tidak diketahui oleh otoritas pajak manajer seringkali mencoba untuk menutupi atau mengaburkan informasi dalam laporan keuangan yang mengarah pada tax avoidance. Menurut Zain (2007) tax avoidance merupakan contoh dari tax planning yang dapat dilakukan melalui proses pengelolaan laba untuk mengurangi pengenaan pajak yang tidak diinginkan perusahaan sehingga perusahaan dapat melakukan tax saving. Untuk menjaga tax avoidance agar tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku, perusahaan memerlukan ahli keuangan yang paham mengenai aturan perpajakan secara menyeluruh sehingga mampu mencari celah agar terhindar dari pengenaan pajak yang lebih tinggi atau ekstremnya sama sekali tidak dikenakan pajak.

Menurut Mortenson dalam Zain (2008) tax avoidance berhubungan dengan proses pengelolaan dalam perusahaan untuk meminimalkan atau menghilangkan beban pajak dengan tetap melihat akibat pajak yang ditimbulkan bagi perusahaan. Secara keseluruhan tax avoidance adalah cara atau usaha wajib pajak mengurangi, menghindari, meminimalkan atau meringankan beban pajak dengan tetap patuh pada undangundang pajak. Tax avoidance bukan tindakan melanggar hukum, melainkan tindakan mengambil keuntungan dari aturan yang ada untuk mengecilkan kewajiban pajak. Pokok utama dari tax avoidance adalah mengurangi kewajiban pajak dengan menghilangkan konsekuensi ekonomi yang ditujukan kepada setiap individu yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Sifat tax avoidance yang sah menurut hukum membuat perusahaan tidak dapat dijatuhi sanksi langsung, sanksi dapat diberikan apabila undang- undang telah secara jelas mengatur batasan-batasan dalam tax avoidance (Prebble dan Lincoln, 2012).
Pengukuran tax avoidance dalam penelitian ini mengikuti Dyreng et al. (2008) dan Budiman (2012) menggunakan CETR (Cash Effective Tax Rate) dengan membagi cash tax paid dengan pretax income. Dyreng (2008) menyatakan tidak seperti ETR (Effective Tax Rate), CETR tidak terpengaruh oleh perubahan estimasi seperti valuation allowance dan tax cushion. Nilai cash tax paid dapat dilihat pada laporan arus kas dari aktivitas operasi. Semakin besar nilai CETR mengindikasikan perusahaan tidak melakukan tax avoidance

Pengaruh Koneksi Politik Terhadap Tax Aggressiveness (skripsi dan tesis)

Perusahaan berkoneksi politik akan memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintah. Koneksi politik yang dimiliki membuat perusahaan memperoleh perlakukan istimewa, seperti kemudahaan dalam memperolehh pinjaman modal, resiko pemerikasaan pajak yang rendah tang membuat perusahaan makin agresif dalam menetapkan tax planning yang berakibat pada menurunya transparasi laporan keuangan. Senada dengan Kim dan Zhang (2014) menyatakan dampak positif dari perusahaan memiliki koneksi politik yaitu mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah dalam hal perpajakan seperti menghindari audit pajak. Perusahaan tidak takut untuk melakukan perencanaan pajak di karenakan pemeriksaan pajak yang rendah. Hubungan politik yang dimiliki perusahaan mampu megurangi atau bahkan menghilangkan konsekuensi negative yang ada.
Dalam penelitian ini untuk mengetahui ada atau tudaknya koneksi politik yang ada pada perusahaan, perusahaan tersebut harus memiliki minimal 1 dari 3 kategori, kategorinya adalah sebagai berikut :
1. Perusahaan merupakan BUMN atau BUMD yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
2. Direktur, komisaris, dewan direksi dan komite audit di perusahaan merupakan politisi yang berafiliasi dengan partai politik
 3. Direktur, komisaris, dewan direksi dan komite audit di perusahaan merupakan penjabat pemerintah dalam periode saat ini maupun periode sebelumnya.
Beberapa penelitian sebelumnya mencoba mengkaitkan koneksi politik dengan tax aggressiveness. Penelitian yang di lakukan Kim dan Zhang (2014) menghubungkan pengaruh koneksi politik terhadap tindakan pajak agresif menemukan bahwa perusahaan yang mempunyai koneksi politik lebih memiliki agresivitas pajak dibanding perusahaan yang tidak mempunyai koneksi politik. Menurut Butje dan Tjondo (2014), koneksi politik berpengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak. Sementara Marfu’ah (2015) menyimpulkan koneksi politk tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak

Koneksi politik (skripsi dan tesis)

Koneksi politik merupakan suatu kondisi di mana terjalin suatu hubungan anatara pihak tertentu dengan pihak yang memiliki kepentingan dalam politik yang digunakan untuk mencapai suatu hal tertentu yang dapat menguntungkan kedua belah pihak (Purwanti dan Sugiyarti 2017). Perusahaan berkoneksi politik adalah perusahaan dengan cara tertentu mempunyai ikatan secara politik atau mengusahakan adanya kedekatan dengan politisi atau pemerintah. Koneksi politik di percaya sebagai sumber yang sangat berharga bagi banyak perusahaan (Leuz and Gee 2006). Perusahaan yang melakukan koneksi politik adalah perusahaan yang mempunyai hubungan istemewa dengan pihak pemerintah (Pronoto dan Widagdo 2016).
 Hubungan istimewa terhadap pihak pemerintah bisa diartikan sebagai perusahaan milik pemerintah, bisa dalam bentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hubungan istimewa antara pemilik perusahaan dengan pihak pemerintah tentu pemilik perusahaan merupakan adalah tokoh politik terkemuka yang dimana merupakan anggota dewan baik itu pemerintah pusat maupun daerah atau sebagai bagian dari anggota partai politik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2011) menyebutkan bahwa perusahaan yang mempunyai koneksi politik atau mengusahakan adanya kedekatan dengan politisi atau pemerintah. Faccio (2006) mennyatakan sebuah perusahaan di anggap memiliki koneksi politik jika setidaknya salah satu pemegang saham yang besar (seseorang yang mengendalikan setidaknya 10% dari total saham dengan hak suara) atau salah satu pimpinan perusahaan (CEO, presiden, wakil presiden, ketua atau sekretaris) adalah anggota parlemen, menteri, atau yang berkaitan erat dengan politikusnatas atau partai politik. Sedangkan menurut Gomez dan Jomo (2009), perusahaan yang mempunyai koneksi politik merupakan perusahaan atau konglomerat yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Perusahaan yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah dapat diartikan sebagai perusahaan milik pemerintah, yaitu perusahaan yang berbentuk BUMN dan BUMD. Koneksi politik juga dapat di lihat dari ada atau tidaknya kepemilikan lansung oleh pemerintah pada perusahaan (Adhikari et al., 2006).
Sedangkan Fuccio (2006) juga menjelaskan hubungan dekat yang dimiliki perusahaan berkoneksi politik yang dimaksud meliputi:
 1. Perusahaan yang top eksekutif atau pemegang saham utama memiliki hubungan pertemanan dengan kepala negara, menteri atau anggota parlemen.
2. Koneksi dengan penjabat yang pernah menjabat sebagai kepala negara atau perdana menteri pada periode sebelumnya.
3. Perusahaan yang top eksekutif atau pemegang saham utama terlibat secara lansung kedalam dunia politik..

Pengertian Tax aggressiveness (skripsi dan tesis)

Tax aggressiveness adalah suatu tindakan yang ditunjukan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak (tax planning) (Frank, Lynch, dan Rego 2009). Tax aggressiveness ini dilakukan untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang tidak melanggar ketentuan perpajakan (lawfull). Menurut Mardiasmo (2016), penghindaran pajak adalah suatu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang yang ada. Penghindaran Pajak adalah upaya mengefesiensikan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkanya pada transaksi yang bukan objek pajak (Pohan, 2016:11). Rinaldi dan Cheisviyanny (2015) menyimpulkan bahwa penghindaran pajak adalah segala kegiatan yang menghambat dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara. Senada dengan Suyanti dan Dahlan (2015;12) penghindaran pajak adalah perlawanan dilakukan melalui berbagai cara yang masih dapat dibenarkan secara hukum, memanfaatkan celah dan kelemahan perundangan. Penggunaan kata tax aggressiveness dapat juga dikatakan sebagai istilah penghindaran pajak ( tax avoidance) Chen (2010)

Pengertian pajak (skripsi dan tesis)

Pangertian pajak sesuai UndangUndang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan ke empat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat 1 (2013:2) berbunyi “pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara lansung dan di gunakan untuk keperluan Negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pengertian pajak menurut Prof. Dr MJH. Smeets dalam bukunya De Over Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan) dalam Waluyo (2010:2) menyatakan Pajak adalah prestasi kepada pihak pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan dapat dipaksakanya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual: maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah

Teori Agensi (skripsi dan tesis)

 Pandangan agency theory melihat penyebab munculnya potensi konflik yang mempengaruhi kualitas informasi laporan keuangan karena adanya pemisahan antara pihak principal dan agent. Jansen and Mackling (1976) menjelaskan hubungan keagenan merupakan “suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (principal) yang memerintah orang lain (agent) untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prisipal”. Sehingga teori agensi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami isu pengaruh koneksi politik terhadap tax aggresiveness. Teori ini mengakibatkan adanya asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang saham. Prinsip utama teori agansi ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (agensi) yaitu manajer entitas bisnis. Hubungan keagenan adalah suatu kontrak dimana seseorang atau lebih (prisipal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan mendelegasikan sebagai kewenangan pengambilan keputusan agen (Victory 2016).
Hubungan antara teori keagenan dengan penelitian ini menjelaskan bahwa adanya perbedaan kepentingan yang timbul antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan termasuk perusahaanperusahaan pemerintah yang telah listing di BEI. Konflik kepentingan yang timbul dari  teori keagenan ini akan mempengaruhi tax aggressiveness. Di satu sisi, manajemen mempunyai pandangan bahwa manajemen harus mendapatkan laba yang tinggi dengan menghasilkan beban pajak yang serendahrendahnya, disisi lain pihak pemerintak (fiskus) yang merangkap sebagai pembuat regulasi perpajakan berharap akan adanya pemasukan sebesar-besarnya dari sektor pajak. Perbedaan sudut pandang tersebut tentunya akan menyebabkan konflik diantara pemerintah sebagai pemilik perusahaan dengan pihak manajemen perusahaan

Minat Beli (Intention to Buy) (skripsi dan tesis)

Minat beli merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian (Assael, 2001:75). Menurut Peter dan Olson (2005:149) intention adalah sebuah rencana untuk terlibat dalam suatu perilaku khusus guna mencapai tujuan. Assael (2001:53) mendefinisikan minat beli (intention to buy) merupakan perilaku yang muncul sebagai respon terhadap obyek, atau juga merupakan minat pembelian yang menunjukan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian. Minat beli menurut Assael (2001:53) juga merupakan perilaku yang muncul sebagai respon terhadap obyek, atau juga merupakan minat pembelian ulang yang menunjukan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang. Berdasarkan berbagai definisi mengenai minat beli yang telah dijelaskan berdasarkan teori yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa minat beli adalah kecendrungan sikap respontif konsumen terhadap suatu produk atau obyek yang menunjukan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian.

Citra Merek (skripsi dan tesis)

Kotler dan Armstrong (2004:164) mendefinisikan Brand Image adalah himpunan keyakinan konsumen mengenai berbagai merek. Brand images yaitu deskripsi mengenai asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap suatu merek tertentu. Sebuah produk dapat lahir dari sebuah merek jika produk itu menurut persepsi konsumen mempunyai keunggulan fungsi yang kemudian menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen dan membangkitkan pengalaman tertentu saat konsumen berinteraksi dengannya. Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan maka penulis dapat simpulkan bahwa citra merek merupakan gambaran hasil keyakinan konsumen berupa keunggulan maupun kekurangan dari sebuah merek yang pernah digunakan dan kemudian menjadikan citra merek timbul yang dideskripsikan oleh konsumen tersebut baik maupun buruknya.

Perluasan Merek (skripsi dan tesis)

Perluasan merek adalah pemakaian merek yang sudah ada dalam suatu kelas produk untuk memasuki kelas produk yang lain (Aaker, 1991:7). Sedangkan menurut Kotler (2000:443) perluasan merek (brand extension) didefiniskan sebagai usaha apapun yang dilakukan untuk menggunakan sebuah nama merek yang sudah berhasil untuk meluncurkan produk baru atau produk yang dimodifikasi dalam kategori baru. Sehingga perusahaan tidak perlu membuat merek baru lagi untuk produk tersebut. Mengetahui beberapa definisi diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa perlausan merek adalah suatu strategi mengembangkan produk dengan kelas baru dengan menggunakan merek yang sudah mapan.

Konsep sistem pertanggungjawaban pidana menurut RUU KUHP (skripsi dan tesis)

 Konsep rancangan KUHP Baru disusun dengan bertolak pada tiga materi/substansi/masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu:
1. masalah tindak pidana;
2. masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; dan
3. masalah pidana dan pemidanaan.
Pokok pemikiran tentang “Pertanggungjawaban Pidana” yaitu:
1. bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan mondualistik, konsep memandang bahwa asas kesalahan (asas culpabilitas) merupakan pasangan dari asas legalitas yang harus dirumuskan secara eksplisit dalam undang-undang. Oleh karena itu ditegaskan dalam konsep (Pasal 35), bahwa “asas tiada pidana tanpa kesahan merupakan asas yang sangat fundamental dalam mempertanggungjawabkan pembuat yang telah melakukan tindak pidana”.
 2. walaupun prinsipnya bertolak dari ”pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan” (Liability based on fault), namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya “pertanggungjawaban yang ketat” (Strict liability) dalam Pasal 37, dan “pertanggungjawaban pengganti” (Vicarious liability) dalam Pasal 36 (Konsep 1993). Perumusan dalam pasal 35 Konsep 2004 “ tidak seorang pun dapat dipidana tanpa kesalahan”, dan dalam Pasal-Pasal 37 Konsep 2005 dan 2006/2007 perumusannya menjadi “tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan” (Barda Nawawi Arief, 2009: 83).
 Untuk lebih jelas dikutipkan pasal – pasal yang bersangkutan sebagai berikut: Pasal 37 Sebagai perkecualian dari Pasal 35, undang-undang dapat menentukan bahwa untuk tindak pidana tertentu pembuat dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana, tanpa memperhatikan lebih hauh kesalahan pembuat dalam melakukan tindak pidana tersebut. Pasal 36 Dalam hal-hal tertentu, orang juga bertanggungjawab atau perbuatan orang lain jika ditentukan demikian oleh peraturan perundang-undangan. (kedua pasal diatas dalam Konsep 2004-2005 digabung dalam perumusan asas culpabalitas).
3. pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan terutama dibatasi pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus). Dapat dipidananya delik culpa hanya bersifat perkecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara tegas oleh undang-undang. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu atau apabila sekurang- kurangnya ada kealpaan. Jadi konsep tidak menganut doktrin “Erfolgshaftung” (doktrin “menanggung akibat”) secara murni, tetapi tetap dioreintasikan pada asas kesalahan. Untuk jelasnya lihat kutipan Pasal 40 (1993).
4. dalam hal ada “kesesatan” (error), baik “error facti” maupun “error iuris”, Konsep berpendirian bahwa pada prinsipnya si pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu tidak dipidana. Namun, demikian apabila kesesatannya itu (keyakinannya yang keliru itu) patut dicelakan/dipersalahkan kepadanya, maka sipembuat tetap dapat dipidana. Pendirian Konsep yang demikian dirumuskan pada Pasal 41 (1993) dan hal ini berbeda dengan Doktrin tradisional yang menyatakan, bahwa “error facti non nocet” dan “error iuris nocet”.
5. walaupun pada prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana apabila telah terbukti melakukan tindak pidana dan kesalahannya, namun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu konsep memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf atau pengampunan kepada si pembuat tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan apapun. Pedoman mengenai “Recheterlijk- pardon” ini dituangkan dalam Pasal ayat (2) sebagai bagian dari “pedoman pemidanaan” sebagai berikut: pasal 52 ayat (2) Jika hakim memandang perlu, sehubungan dengan ringannya perbuatan, keadaan pribadi dari pembuat atau keadaan pada waktu dilakukannya perbuatan atau yang terjadi kemudian, hakim dapat memberi maaf kepada si pembuat dengan tidak menjatuhkan pidana atau tindakan apapun, dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
6. walaupun pada prinsipnya seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak dipidana karena adanya alasan pengahapusan pidana, namun Konsep memberi kewenangan/kemungkinan kepada hakim untuk tidak memberlakukan alasan penghapusan pidana tertentu berdasarkan asas “culpa in causa”, yaitu apabila terdakwa sendiri patut dicela/dipersalahkan menyebabkan terjadinya keadaan atau situasi darurat yang sebenarnya dapat menjadi dasar adanya alasan penghapusan pidana tersebut.
Pedoman mengenai hal ini dituangkan dalam pasal 53 konsep RKUHP yang perumusannya sebagai berikut: seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pidana berdasar alasan penghapus pidana, apabila dia sendiri patut dicela atau dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Yang menjadi konsep 2004; dan pasal 42 dalam konsep 2005 s/d 2007. pasal 52 ayat (2) konsep 2005 dan 2006/2007. dalam pasal 35 konsep 2004 dan pasal 39 konsep 2005 dan 2006/2007. Kemudian dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum pidana (RKUHP) Tahun 2008 mengenai perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana telah disusun pula mengenai pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dimana korporasi dalam pasal (47) konsep RKUHP adalah merupakan subjek tindak pidana. Dalam hal ini untuk melengkapi hal-hal mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi dijelaskan pada beberapa pasal yaitu: pasal 48 RKUHP Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai mkedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan yang lain, dalam lingkup korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. pasal 49 RKUHP Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. pasal 50 RKUHP Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut masuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
pasal 51 RKUHP Pertanggungjawaban pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi. pasal 52 ayat (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap terhadap suatu korporasi.
pasal 52 ayat 2 Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.
pasal 53 Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasab tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. Mengenai penjelasan terhadap pertanggungjawaban pidana dalam RKUHP untuk subjek hukum pidana yaitu korprasi menurut para ahli hukum belum ada menuju ke literatur karena sistem perkembangan itu hanya merupakan penambahan bahwa korporasi dalam RKUHP sebagai subjek hukum pidana. Pertanggungjawaban dalam ayat (3) Pasal 35 Konsep 2004 dikenal dengan “Vicarious Liability” atau “pertanggungjawaban pengganti“ yaitu pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain (Dwidja Prayitno, 2004: 100) maksudnya seseorang dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana, walaupun Ia tidak melakukan tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pengganti ini lah kiranya yang dapat dipergunakan untuk menuntut industri atau korporasi yang melakukan tindak pidana untuk dipertanggungjawabkan di Pengadilan.

Kesalahan Dalam Pidana (skripsi dan tesis)

 Kesalahan sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan adanya akibat hukum. Tidak semata-mata karena kesengajaan, tetapi kesalahan dapat pula terjadi akibat adanya kelalaian. Sehingga akan menyebabkan seseorang harus mempertanggungjawabkan secara hukum, sebagaimana peraturan atau perundang-undangan yang mengaturnya.
a. Kesengajaan arti sengaja tidak ada didefenisikan di dalam KUHP.
Petunjuk untuk dapat mengatakan arti kesengajaan dapat diambil dari M.v.T (Memorie Van Toelicthing) yang mengartikan kesengajaan sebagai menghendaki apa yang dilakukan orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan juga mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukannya (Sudarto, 1990: 102). Terhadap pengertian perbuatan pidana, kesengajaan dapat dibedakan dengan tiga corak sikap batin yang menunjukkan atau bentuk dari kesengajaan itu, yang antara lain sebagai berikut :
 1. Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai tujuan (dolus directus). Pada corak ini kesengajaan merupakan bentuk yang biasa dan sederhana. Sengaja sebagimana yang dimaksud bahwa apabila si pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Perbuatan si pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang bentuk kesengajaan inilah yang paling mudah untuk dibuktikan.
 2. Kesengajaan dengan sadar kepastian, yang di dalam hal ini perbuatan mempunyai dua akibat yang memang dituju si pembuat, dan akibat yang memang diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya akibat perbuatannya itupun dapat dipastikan terjadi.
 3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). Dalam hal ini, ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi. Sengaja dengan kemungkinan terjadi, Hezewinkel Suringa yaitu Jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada suatu kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkan (Andi Hamzah, 1994: 119).
b. Kelalaian
Menurut M.v.T, kealfaan adalah keadaan sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikan besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga undang-undang juga bertindak terhadap kekurang hati-hatian, sikap sembrono atau teledor (Sudarto, 1990: 124). Beberapa ahli menyebutkan syarat untuk adanya kelalaian, sebagai berikut :
 1. Van Hamel menyebutkan bahwa kelalaian mempunyai dua syarat yaitu : a. tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan dalam hukum; b. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. Simons mengatakan pada umumnya kelalaian (culpa) mempunyai dua unsur :
 a. tidak ada penghati-hati;
b. dapat diduga akibatnya. (Sudarto, 1990: 125)
Umumnya setiap orang berpikir dan berbuat secara sadar, sedangkan pada delik culpa kesadaran si pembuat tidak berlangsung secara tepat.
Berdasarkan kesadaran si pembuat tersebut undang-undang membagi kelalaian menjadi:
1. Kelalaian yang disadari (bewuste schuld), yaitu pembuat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan berharap bahwa akibatnya tidak terjadi;
2. Kelalaian yang tidak disadari (onbewuste schuld), yaitu pembuat melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya (Andi Hamzah, 1994: 121).
Kealfaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan. Kealfaan seseorang ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik, sehingga tidak mungkin diketahui seseorang dengan sungguh-sungguh jika tidak ada faktor penyebab utama seseorang melakukan kesalahan. Supaya dapat menentukan adanya kealfaan, maka harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Oleh karena itu, yang menentukan apakah seseorang itu telah melakukan kealfaan atau tidak adalah seorang Hakim. Selanjutnya untuk menentukan kekurang hati-hatian seseorang, digunakan ukuran apakah ia ada kewajiban untuk berbuat lain. Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan undang-undang atau dari luar undang-undang, dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang harus dilakukan. Apabila seseorang tidak melakukan apa yang harus dilakukannya maka orang tersebut dapat dikatakan alpa

Kemampuan Bertanggungjawab Dalam Pidana (skripsi dan tesis)

Seseorang dapat dikenakan tindak pidana bilamana orang tersebut dinyatakan mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. Berkaitan dengan hal ini (Moeljatno, 1983: 164) menyatakan bahwa, untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus mempunyai :
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, yang sesuai dengan hukum, dan perbuatan melawan hukum. Kemampuan yang dimaksud lebih menitikberatkan pada faktor akal (intellectual factor), yaitu dapat membedakan antara yang diperbolehkan dan yang tidak;
 2. Kemampuan yang menentukan kehendak menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Kemampuan ini lebih merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional factor), yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakuknya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Sudarto (1990: 94) secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggungjawab sebagi berikut
: 1. Dalam hal tidak ada kebebesan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang diperintahkan atau yang dilarang undang-undang.
2. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikan rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
Sebagai dasar patutlah dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggungjawab, ia mampu untuk memilih dengan pikiran atau perasaannya. Didalam perbuatan pidana hanya dapat menuju atau dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan demikian juga dapat langusng dijatuhi hukuman atu pidana sebagimanan yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini ia mempunyai kesahan sebab asas dalam pertanggungjawaban pidana adalah bahwa tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan (Moeljatno, 1983: 153).

Pengertian Pertanggungjawaban pidana (skripsi dan tesis)

Pada saat membahas mengenai strafbaar feit telah dijelaskan bahwa perbuatan atau suatu tindak pidana dipisahkan antara actus reus dengan mens rea, dalam pengertian adanya tindak pidana masih dilihat dari segi feitlijk yang dilarang oleh undang-undang dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku. Sekalipun suatu tindak pidana telah terjadi, untuk dapat menjatuhkan pidana kapada si pelaku, masih harus diperhatikan apakah terhadap si pelaku dapat dipertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya. Masalah pertanggungjawaban pidana sangat berhubungan dengan kesalahan. Dalam pengertian apakah pada waktu melakukan tindak pidana itu si pelaku mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan (Roeslan Saleh, 1983: 75), mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tidak pidana. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan. Hal tersebut berarti harus diperhatikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. Sebaliknya apakah pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, ini merupakan persoalan kedua, yang tentunya pada kebijaksanaan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah itu merasa perlu atau tidak perlu menurut pertanggungjawaban tersebut.
Van Hammel (R.O Siahaan: 2009) merumuskan pengertian kemampuan untuk bertanggungjawab (secara hukum) adalah sebagai keadaan kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup tiga kemampuan lainnya, yaitu:
1. memahami arah tujuan faktual dari tindakan sendiri;
 2. kesadaran bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang;
 3. adanya kehendak bebas berkenaan dengan tindakan tersebut.
 Menurut Van Hattum, dengan memperhatikan pasal 44 ayat (1) KUHP, adanya keadaan-keadaan biologis dari seseorang yaitu pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit yang dapat menjadi penyebab dari pertumbuhan orang tersebut secara tidak normal atau yang dapat menghambat orang tersebut dapat menentukan kehendaknya secara bebas, hingga orang tersebut harus dianggap sebagai “niet toerekeningsvatbaar” termasuk dalam pengertian “pertumbuhan yang sempurna” adalah pertumbuhan yang tidak sempurna dari orang-orang buta atau bisu tulis sejak lahir (Lamintang: 1997).
KHUP Indonesia Pasal 44 ayat (1) dan Sr KUHP belanda pada pasal 37 ayat (1) dalam masalah pertanggungjawaban (pidana) yang dilakukan seseorang sesungguhnya hanyalah menyangkut pengertian: antara tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan–tindakannya dengan sepenuhnya (volledige ontoerekeningsvatbaarheid) dan hal tentang, tidak dapat pertanggungjawabkannya sesuatu tindakan dengan sepenuhnya kepada pelaku (volledige ontoerekeningsvatbaarheid) yang diakibatkan ketidakmampuan akal sehat ( verstandelijke vermogens) yang tidak normal.
KUHP Belanda (W.v.S), dikenal apa yang disebut dengan verminderde ontoerekeningsvatbaarheid, yaitu kurang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau tindak-tindakannya. pasal 37a W.v.S berbunyi: pada waktu dilakukan penuntutan pidana terhadap seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana terdapat pertumbuhan yang tidak sempurna atau terdapat gangguan penyakit pada kemampuan jiwannya, maka tanpa memeberlakukan pasal 37 ayat (1), Hakim akan menjatuhkan hukuman dengan memperrhatikan ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam bab terdahulu. Ayat (2) dalam pada itu, dalam memberlakukan ayat tersebut diatas, hakim dapat menjatuhkan hukuman sesuai dengan ketentuan pasal 37 ayat (3). Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP Indonesia. Menurut R.O Siahaan pencatuman pasal ini hanyalah merupakan landasan yuridis bagi hakim untuk menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap seseorang yang terganggu akal (verstand) atau mempunyai penyakit jiwa (geest) tetapi hakim ragu atas kebenaran penyakit terdakwa tersebut. Dalam hal hakim merasa ragu-ragu atas kepribadian terdakwa maka selayaknyalah hukum menjatuhkan pidana atasnya (R.O Siahaan, 2009: 246).
Demikian Tentang ketidakmampuan bertanggungjawab dari sisi penyimpangan atau penyakit jiwa dapat kita ketahui dari pasal 44 KUHP (pasal 39 Sr = KUHP Belanda), yang berbunyi : Ayat (1): barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tindak pidana. Ayat (2): jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwa cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. Pasal 45 KUHP disebutkan dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtuannya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepad pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggar berdasarkan Pasal-Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Masalah pertanggungjawaban ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa pembuat suatu tindak pidana, tidaklah mudah karena untuk menentukan siapa yang bersalah dalam suatu perkara harus sesuai dengan proses yang ada dalam sistem peradilan pidana yang ditetapkan. Dengan demikian, pertanggungjawaban itu selalu ada meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan, jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan atau persyaratan yang diinginkan. Demikian pula halnya dengan masalah terjadinya perbuatan pidana atau delik, suatu tindakan melanggar hukum yang elah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan tindakannya oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan yang dapat di hukum. Berdasarkan batasan diatas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban adalah keadaan yang dibebankan kepada seseorang untuk menerima atau menanggung akibat- akibat atau efek yang timbul dari tindakan atau perbuatan yang dilakukannya. Suatu perbuatan yang melawan atau melanggar hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping itu perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pembuat tindak pidana harus ada unsur kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu memilih unsur yang sebelumnya harus dipenuhi : 1. suatu perbuatan yang melawan hukum (unsur melawan hukum).
2. seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggungjawab atas perbuatannya (unsur kesalahan).
Asas legalitas hukum pidana Indonesia menyatakan, bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun demikan, orang tersebut belum dapat dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Dengan demikian, seseorang dijatuhi pidana harus terlebih dahulu memenuhi unsur- unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana. Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah merupakan suatu kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan akibat melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melihat pengertian diatas, maka dapat di simpulkan yang dimaksud pertanggungjawaban pidana adalah suatu penderitaan atau siksaan yang harus diterima dan dipukul oleh seseorang akibat dari tindak kejahatan, kesalahan dan pelanggaran yang dilakukannya, sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan, perundang-undangan dan hukum pidana yang mengaturnya. Selain itu, yang dimaksud dengan pertanggungjawab pidana adalah keadaan yang dibebankan kepada seseorang untuk menerima atau menanggung akibat-akibat atau efek yang dari tindakan atau perbuatan pidana yang dilakukannya.

Strafbaarfeit dan unsur – unsurnya (skripsi dan tesis)

 Menurut D. Simons, strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawaban atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Jadi D. Simons menyimpulkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan pidana (criminal act) maka disana haruslah ada kesalahan (schuld) dalam arti luas yang meliputi kesengajaan (dolus) dan culpa late (alpa dan kelalaian) serta orang yang melakukan perbuatan pidana itu dapat dimintai pertanggungjawaban (criminal liability). Dengan demikian unsur-unsur strafbaarfiet
2. dapat dipertanggungjawabkan si pelaku atas perbuatannya;
 3. tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja, dan;
4. pelaku tersebut dapat dihukum.
Sedangkan syarat-syarat penyertaan seperti dimaksud diatas itu merupakan syarat-syarat yang harus terpenuhi setelah tindakan seseorang itu memenuhi semua unsur yang terdapat didalam rumusan delik.
 Van Hamel (R.O Siahaan: 2009: 188) berbeda pendapat tentang hal ini dengan mengatakan bahwa perbuatan pidana itu haruslah suatu perbuatan yang bernilai atau patut dipidana karena adanya kesalahan patut dicela (en aan schuld te wijten), sehingga strafbaar feit seharusnya menjadi strafwaardig feit (perbuatan yang bernilai atau patut dipidana). Sehingga unsur-unsur strafbaar feit menurut Van Hamel mencakup:
1. adanya perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang (pidana);
2. melawan hukum;
 3. bernilai atau patut di hukum;
4. adanya kesengajaan, kealpaan atau kelalaian;
5. adanya kemampuan bertanggungjawab;
Menurut R.O Siahaan (2009: 199) merumuskan pengertian strafbaar feit itu sebagai berikut:
1. adanya orang atau badan hukum yang melakukan suatu perbuatan atau dengan sengaja tidak berbuat atau bertindak (pembiaran);
 2. adanya perbuatan yang jenis atau kualifikasi dan cara melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan (pembiaran, nalaten) dimaksud telah dirumuskan sebelumnya sebagai hal yang dilarang Undang-Undang (actus reus – delictum), dirumuskan dalam Undang- Undang (delicts omschrijving) disebut sebagai syarat obyektif;
3. orang yang melakukan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana (mens rea, disebut juga sebagai syarat subjektif);
 4. adanya niat atau kehendak yang salah (schuld) untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang, yang dilakukan dengan terencana, sengaja, lalai atau sebagai turut serta (deelneming)

Pengertian Hukum Pidana (skripsi dan tesis)

Menurut W.P.J Pompe, hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian. Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar- dasar aturan untuk:
 1. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (Criminal act).
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yg telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yg telah diancamkan (Criminal Liability/ Criminal Responsibility).
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Criminal Procedure/ Hukum Acara Pidana). Menurut Jan Remmelink, mengatakan hukum pidana mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ-organ yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana, norma-norma yang harus ditaati oleh siapapun juga.
2. ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat di daya gunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu, hukum penitensier atau lebih luas, hukum tentang sanski. 3. aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma (Jan Remmelink, 2003: 1). Rumusan hukum pidana menurut para ahli dapat dipisahkan menjadi 2 (dua) Golongan, yaitu :
1. Pendapat yang menyatakan hukum pidana sebagai hukum sanksi dengan alasan bahwa hukum pidana sesungguhnya tidak membuat norma baru untuk mengatur sesuatu hal sebagaimana perngaturan yang diadakan dalam undang-undang tertentu, melainkan sebagai hukum yang memberi sanksi untuk menegaskan dan menguat agar aturan yang terdapat dalam perundang-undangan lain ditaati.
 2. Hukum pidana sebagai ketentuan yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan penyebutan besarnya sanksi yang akan diberikan terhadap pelaku perbuatan yang dapat di Hukum (Bambang Poernomo, 2002: 19). Mengingat hukum pidana dibagi atas Hukum pidana material dan Hukum pidana formal (hukum pidana subyektif, ius puniendi), maka definisi yang kemukakan ini adalah mengenai Hukum pidana material (obyektif, ius poenale). Dengan pengertian, kata setiap orang, didalamnya termasuk juga badan hukum. Sedang kata pidana, kadangkala diartikan sebagai hukuman seperti yang terdapat pada Pasal 10 KUHP tetapi juga meliputi hukuman atau pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya diantaranya uang pengganti, hukuman penjara pengganti uang pengganti. Kata pidana umumnya dipakai dengan padanan hukuman. Namun, kata hukuman lebih luas maknanya karena dapat menjadi pengertian bidang hukum lainnya seperti dalam bidang hukum perdata, tata usaha negara, hukum internasional, dan lain-lain.
Oleh karena itu, kata pidana akan lebih spsesifik apabila digunakan dalam hukum pidana (R.O Siahaan, 2009: 10). Kata pidana mempunyai unsur-unsur :
1. pada hakekatnya merupakan suatu pengertian penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3. dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. (R.O Siahaan:2009:11).
Dengan demikian untuk menggambarkan hubungan antara Hukum material dan Hukum formal yang dikutip pendapat Van Kan yang mengatakan pentingnya hukum formil atau hukum acara bergantung pada adanya serta pentingnya hukum materiil.
Tugas hukum formil hanya menjamin hukum meteriil ditaati orang. Kata lain melindungi wewenang yang oleh hukum diberi kepada yang berhak atau memaksa pelanggar mengganti kerugian atau mengembalikan benda yang diambilnya dengan tiada persetujuan pihak lain. Hukum materiil terdiri atas kaidah-kaidah yang menentukan isi hidup manusia. Apabila hukum material tersebut dimaksudkan adalah hukum pidana material dan hukum formal adalah hukum acara pidana, maka tampak semakin jelas bagaimana hubungannya antara hukum pidana material dengan hukum acara pidana. Hukum acara pidana berfungsi mengatur cara-cara bagaimana yang harus dilakukan agar hukum pidana material yang merupakan kaidah-kaidah yang menetukan isi hidup manusia dapat diselenggarakan atau diaplikasikan apabila rumusan yang terdapat di dalamnya telah terpenuhi (R.O Siahaan: 2009)

Pengertian Tindak Pidana (skripsi dan tesis)

Tindak pidana atau dalam bahasa belanda “strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undangundang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing yaitu “delict”.  Secara Literlijk, kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh, dan “feit” adalah perbuatan.  Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.

Baik di Belanda maupun di Indonesia, tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP dengan rumusan; “geen feil is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepalingen” atau “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.15 J.E. Jonkers juga telah memberikan definisi strafbaarfeit menjadi dua pengertian :
a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian “feit” yang dapat diancam dipidana oleh undnag-undang;

 b. Definisi panjang atau lebih mendalam memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah sutau kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa ole orang yang dapat dipertanggungjawabkan.16 Simons seperti di kutip oleh Drs. Adami Chazawi, S.H. di dalam bukunya, merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum”.

Pompe seperti yang ada di dalam buku Drs. Adami Chazawi yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu runusan undang-undang telah diinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum”.
Jadi apabila rumusan strafbaarfeit dari simons diperbandingkan dengan pompe, ditinjau dari segi biliografi dapat dikatakan bahwa simons mempunyai pandangan klassik yang tradisional, sedang pompe menganut pandangan baru yang telah berkembang. Namun dapat pula dikatakan deng simons masih mempunyai arti dalam doktrin ilmu pengetahuan hukum pidana.19 Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana yaitu “perbuatan yang dilarang oleh suatu  aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” Secara singkat perbuatan pidana dapat juga didefinisikan, yaitu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.20 Pada buku Muhammad Ainul Syamsu, pandangan serupa juga disampaikan oleh Clark, Marshall, dan lazell yang menekankan pada dilarangnya perbuatan dan diancam dengan pidana. Dikatakan bahwa tindak pidana (crime) adalah ”any act or omission prohibited by public for the protection of the public, and made punishable by state in a judicial proceeding in its own name”. Dengan kata lain, tindakan pidana meliputi seluruh perbuatan aktif ataupun pasif yang dilarang untuk melindungi masyarakat dan diancam dengan pidana oleh negara melalui proses hukum

Pengertian Hukum Pidana (skripsi dan tesis)

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku.8 Istilah hukum pidana bermakna jamak. Menurut Hazewinkel-suringa Dalam Buku Prof. Dr. Mr. H.A. Zainal Abidin Farid S.H bahwa arti obyektif, yang juga sering disebut jus poenale meliputi :
1) Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaianya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang;
 2) Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan itu; d.k.l.hukum penetiair atau hukum sanksi;
 3) Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturanperaturan itu pada waktu dan di wilayah negara tertentu.
 Di samping itu, hukum pidana dipakai juga dalam arti subyektif yang lazim pula disebut jus puniendi, yaitu peraturan hukum yang menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, penjatuhan, dan pelaksanaan pidana.9 Hukum pidana menurut Prof. Mr. L.J. Van Apeldoorn dalam Buku Bambang Poernomo S.H juga dibagi menjadi 2 (dua) dan di berikan arti, yakni : 1. Hukum pidana materiel yang menunjukkan pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana (strafbare feiten) itu mempunyai dua bagian, yaitu : a. Bagian obyektif merupakan suatu perbuatan atau sikap (nalaten) yang bertentangan dengan hukum positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaran b. Bagian subyektif merupak suatu kesalahan, yang menunjuk kepada si pembuat (dader) untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum. 2. Hukum pidana formel yang mengatur cara hukum pidana materiel dapat dilaksanakan.10 Kajian skripsi ini mencakup hukum pidana materiil yang nantinya meneliti tentang tindak pidana apa yang terjadi dan hukuman yang diberikan kepada pelaku. Obyek kajian hukum pidana disini berupa :
a) Pembunuhan, pada Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berbunyi : “barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Menurut runusan Undang-Undang di atas, yang merupakan unsur obyektif berupa akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman adalah “matinya orang lain”.
 b) Perusakan barang, Pasal 406 KUHP telah menjelaskan bahwa siapapun akan mendapatkan ancaman pidana bila dengan sengaja dan melawan hukum merusakkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. Obyek dalam Pasal ini adalah “suatu benda” dan “merusak barang milik orang lain”.
 c) Narkotika, di dalam Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana adalah “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman

Pengertian Puskesmas (skripsi dan tesis)

Puskesmas sebagai unit pelaksana tekhnis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.Puskesmas berperan menyelenggarakan upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat yang optimal.[1]Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat menyebutkan bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya [2]

Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas merupakan pelayanan yang menyeluruh yang meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk dengan tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak dari pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia . Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu organisasi kesehatan perananonal yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok[3]

Pengertian Ketahanan Pangan (skripsi dan tesis)

Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari. Undang-undang No.18 tahun 2012 menyebutkan prinsip atau asas penyelenggaraan pangan di Indonesia harus berdasarkan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan, dan keadilan.

Rendahnya ketersediaan dan konsumsi pangan ditingkat rumah tangga dapat terjadi karena adanya maslah dalam distribusi dan akses ekonomi rumah tangga terhadap pangan. Setiap wilayah mempunyai kemampuan yang berbeda dalam produksi dan penyediaan pangan, termasuk dalam hal mendatangkan pangan dari luar daerah. Didaerah terisolir, kelangkaan ketersediaan pangan seringkali menjadi penyebab utama rendahnya akses rumah tangga terhadap pangan.

Menurut Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau . Konsumsi pangan yang mencukupi merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok . Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa pengertian ketahanan pangan adalah menekankan adanya jaminan pada kesejahteraan keluarga, salah satunya adalah pangan sebagai alat mencapai kesejahteraan. Stabilitas pangan berarti menjaga agar tingkat konsumsi pangan rata-rata rumahtangga tidak menurun di bawah kebutuhan yang seharusnya. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan yang merupakan salah satu faktor atau penyebab tidak langsung yang berpengaruh pada status gizi anak.[1]

Konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatiakan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Pemerintah harus bisa mengontrol agar harga pangan masih terjangkau untuk setiap individu dalam mengaksesnya, karena kecukupan ketersediaan pangan akan dirasa percuma jika masyarakat tidak punya daya beli yang cukup untuk mengakses pangan.

Pada penelitian ini difokuskan untuk melihat pengaruh konsumsi energi dan pangsa pengeluaran pangan terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga, dimana pola konsumsi merupakan salah satu alat ukur untuk melihat ketahanan pangan rumah tangga.Kriteria ketahanan pangan rumah tangga dapat diklasifikasikan sebagai berikut[2]:

Tabel 1. Kecukupan Energi Dan Pangsa Pengeluaran Pangan

Konsumsi energi per unit ekuivalen dewasa Pangsa pengeluaran pangan
Rendah (≤60% pengeluaran total) Tinggi (>60% pengeluaran total)
Cukup (>80% syarat kecukupan energi) 1.      Tahan pangan 2.      Rentan pangan
Kurang (≤80% syarat kecukupan energi) 3.    Kurang pangan 4.      Rawan pangan

 

Persyaratan Tenaga Kerja Indonesia (skripsi dan tesis)

Adanya TKI yang bekerja di luar negeri membutuhkan suatu proses perencanaan. Perencanaan tenaga kerja ialah suatu proses pengumpulan informasi secara reguler dan analisis situasi untuk masa kini dan masa depan dari permintaan dan penawaran tenaga kerja termasuk penyajian pilihan pengambilan keputusan, kebijakan dan program aksi sebagai bagian dari proses perencanan pembangunan untuk mencapai suatu tujuan.[1]

Dilihat dari prosesnya perencanaan tenaga kerja adalah usaha menemukan masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi pada waktu sekarang dan mendatang serta usaha untuk merumuskan kebijaksanaa dan program yang relevan dan konsisten untuk mengatasinya.[2]

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bahwa setiap calon TKI yang akan mendaftarkan diri untuk bekerja di luar negeri harus memenuhi prosedur yang telah ditentukan. Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:

1)        berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 ( dua puluh satu) tahun;

2)        sehat jasmani dan rohani;

3)        tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan

4)        berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

Selain persyaratan tersebut di atas, menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, calon TKI juga wajib memiliki dokumen-dokumen, yaitu :

1)        Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir;

2)        surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;

3)        surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;

4)        sertifikat kompetensi kerja;

5)        surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;

6)        paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;

7)        visa kerja;

8)        perjanjian penempatan kerja;

9)        perjanjian kerja, dan

10)    KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Nigeri) adalah kartu identitas bagi

TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri. Setelah calon TKI memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka para calon TKI wajib mengikuti serangkaian prosedur sebelum nantinya ditempatkan di luar negeri. Pada masa pra penempatan kegitan calon TKI meliputi:

1)        Pengurusan SIP;

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib memilki SIP dari Menteri. Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus memiliki:

  1. a)Perjanjian kerjasama penempatan;
  2. b)Surat permintaan TKI dari pengguna;
  3. c)Rancangan perjanjian penempatan; dan
  4. d)Rancangan perjanjian kerja.

Dalam proses untuk mendapatkan SIP tersebut, surat permintaan TKI dari Pengguna perjanjian kerjasama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja harus memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Selain itu Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahkan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI.

2)        Perekrutan dan seleksi;

Proses perekrutan didahului dengan memberikan informasi kepada calon TKI sekurang-kurangnya tentang:

  1. a)tata cara perekrutan;
  2. b)dokumen yang diperlukan;
  3. c)hak dan kewajiban calon TKI/TKI;
  4. d)situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan; dan
  5. e)tata cara perlindungan bagi TKI.

Informasi disampaikan secara lengkap dan benar. Informasi wajib mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

3)        Pendidikan dan pelatihan kerja;

Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan jabatan. Dalam hal TKI belum memiliki kompetensi kerja pelaksana penempatan TKI swasta wajib melakukan penddikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI dimaksudkan untuk:

  1. a)membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja calon TKI;
  2. b)memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya agama, dan risiko bekerja di luar negeri;
  3. c)membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahas negara tujuan; dan
  4. d)memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon TKI/TKI.

Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja swasta atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi persyaratan. Pendidikan dan pelatihan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan kerja.

4)        Pemeriksaan kesehatan dan psikologi;

Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui dengan kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan. Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah.

5)        Pengurusan dokumen;

Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI barus memiliki dokumen yang meliputi:

  1. a)Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir;
  2. b)surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;
  3. c)surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;
  4. d)sertifikat kompetensi kerja;
  5. e)surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
  6. f)paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
  7. g)visa kerja;
  8. h)perjanjian penempatan kerja;
  9. i)perjanjian kerja, dan
  10. j)KTKLN

6)        Uji kompetensi;

7)        Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP);

Pembekalan Akhir Pemberangkatan yang disebut PAP adalah kegiatan pemberian pembekalan atau informasi kepada calon TKI yang akan berangkat bekerja ke luar negeri agar calon TKI mempunyai kesiapan mental dan pengetahuan untuk bekerja ke luar negeri, memahami hak dan kewajibannya serta dapat mengatasi masalah yang akan dihadapi. Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam pembekalan akhir pemberangkatan.

Tugas PAP adalah memberikan materi tentang aturan negara setempat. Perjanjian kerja (hak dan kewajiban TKI), serta pembinaan mental dan kepribadian. Adanya PAP ini diharapkan TKI sudah siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul kemudian.

Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dimaksudkan untuk memberikan pemahaman pendalaman terhadap:

  1. a)peraturan perundang-undangan di negara tujuan; dan
  2. b)materi perjanjian kerja.

Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) menjadi tanggung jawab Pemerintah.

8)        Pemberangkatan.

Adanya persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi oleh calon TKI tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dengan perencanaan tenaga kerja akan memudahkan pemerintah maupun calon TKI dalam memecahkan persoalan mengenai ketenagakerjaan termasuk perlindungan kepada calon TKI, baik waktu sekarang maupun yang akan datang. Sehingga hal itu akan memudahkan pemerintah melalui Instansi yang tekait dalam hal ini Dinsosnakertrans maupun masyarakat dalam mengambil suatu kebijaksanaan guna mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai termasuk perlindungan calon TKI yang bekerja di luar negeri.

 

Hak dan Kewajiban calon TKI/TKI (skripsi dan tesis)

Setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:

1)        Bekerja di luar negeri;

2)        Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI di luar negeri;

3)        Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri;

4)        Memperoleh kebebasan menganut aama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.

5)        Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan.

6)        Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;

7)        Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penampatan di luar negeri;

8)        Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal;

9)        Memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli.

Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk:

1)        Menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan;

2)        Menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja;

3)        Membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

4)        Memberitahukan atau melaporkan kedatangan keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

Pengertian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) (skripsi dan tesis)

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Tenaga Kerja Indonesia. Menurut  pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

Sementara, dalam Pasal 1 Kep. Menakertrans RI No Kep 104A/Men/2002 tentang penempatan TKI keluar negeri disebutkan bahwa TKI adalah baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI. Prosedur penempatan TKI ini harus benar-benar diperhatikan oleh calon TKI yang ingin bekerja ke luar negeri tetapi tidak melalui prosedur yang benar dan sah maka TKI tersebut nantinya akan menghadapi masalah di negara tempat ia bekerja karena CTKI tersebut dikatakan TKI ilegal karena datang ke negara tujuan tidak melalui prosedur penempatan TKI yang benar.

Berdasarkan beberapa pengertian TKI tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI dengan menerima upah.

Tinjauan Tentang Lembaga BNP2TKI (skripsi dan tesis)

BNP2TKI adalah Lembaga Pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Visi dari BNP2TKI yaitu [1]:

  1. “Terwujudnya TKI yang berkualitas, bermartabat dan kompetitif” serta menciptakan kesempatan kerja di luar negeri seluas-luasnya.
  2. Meningkatkan keterampilan / kualitas dan pelayanan penempatan TKI.
  3. Meningkatkan pengamanan, perlindungan dan pemberdayaan TKI.
  4. Meningkatkan kapasitas Lembaga Penempatan dan Perlindungan TKI.
  5. Meningkatkan kapasitas Lembaga Pendukung Sarana Prasarana Lembaga Pendidikan dan Kesehatan.

BNP2TKI ini beranggotakan wakil-wakil instansi Pemerintah terkait mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Wakil-wakil instansi pemerintah terkait sebagaimana dimaksud di atas mempunyai kewenangan dari dan selalu berkoordinasi dengan instansi induk masing-masing dalam pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.[2]

Tugas BNP2TKI dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas adalah :

  1. Melakukan memiliki misi yaitu melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara pengguna Tenaga Kerja Indonesia atau Pengguna berbadan hukum di Negara tujuan penempatan.
  2. Memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai :
  3. Dokumen;
  4. Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP);
  5. Penyelesaian masalah;
  6. Sumber-sumber pembiayaan;
  7. Pemberangkatan sampai pemulangan;
  8. Informasi;
  9. Kualitas pelaksanaan penempatanTenaga Kerja Indonesia; dan peningkatan kesejahteraan Tenaga Kerja Indonesia dan keluarganya;

Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya tersebut di atas, BNP2TKI dikoordinasikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia (skripsi dan tesis)

Perlindungan buruh migran/TKI menyangkut pemenuhan hak-hak dasar buruh (jaminan untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak, kebebasan berorganisasi, hak menentukan upah, hak atas jaminan kesehatan, hak untuk memperoleh penyelesaian perselisihan yang adil dan demokratis, hak perlindungan atas fungsi reproduksi) belum dilaksanakan dengan baik. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Taty Krisnawati yang menyatakan bahwa hak-hak buruh migran/TKI harus dimasukkan dalam sebuah UU yang mengatur dijaminnya hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya, dipenuhinya hak untuk memperoleh informasi, jaminan keselamatn kerja nulai pada saat perekrutan, penempatan dan pemulangan.17 Sehingga harus dibedakan antara perlindungan buruh yang bekerja di dalam negeri dan di luar negeri.

Di dalam RUU Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah wajib melindungi buruh migrant Indonesia dan anggota keluarganya dengan cara :

  1. menempatkan atase perburuhan Republik Indonesia.
  2. mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi buruh migrant Indonesia dan anggota keluarganya.
  3. membuat dan menandatangani perjanjian bilateral atau multilateral dengan negara-negara dimana buruh migran Indonesia bekerja.
  4. meratifikasi Konvensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya serta konvensi-konvensi internasional lainnya yang relevan.

Tujuan dari perlindungan buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya adalah :

  1. menjamin hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta hak-hak reproduksi buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya
  2. mewujudkan kesejahteraan buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya.

Di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-104 A/MEN/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri Pasal 1 ayat (8) dinyatakan “Lembaga Perlindungan TKI di luar negeri yang selanjutnya disebut Perlindungan TKI adalah lembaga perlindungan dan pembelaan terhadap hak serta kepentingan TKI yang wajib dipenuhi oleh PJTKI melalui kerjasama dengan Konsultan Hukum dan atau Lembaga Asuransi di luar negeri”. Dalam Kepmenakertrans ini melihat perlindungan sebagai tanggung jawab secara kelembagaan tetapi beban tanggung jawab tersebut hanya wajib dilaksanakan oleh PJTKI saja.

Definisi perlindungan yang lain terdapat dalam Keputusan Dirjen Penempatan Tenaga Kerja Ke Luar Negeri Nomor KEP-312A/D.P2TKLN/2002 tentang Petunjuk Teknis Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Pasal 1 ayat (1) menyebutkan “ Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi hak dan kepentingan TKI sebelum, selama dan sesudah bekerja di luar negeri”. Dalam RUU Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya Pasal 1 ayat (13) menyatakan bahwa “Perlindungan adalah keseluruhan upaya untuk mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-hak buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya”[1].

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perlindungan buruh migran/TKI melekat pada buruh migran/TKI baik pada saat sebelum berangkat sampai sesudah buruh migran/TKI bekerja di luar negeri. Lalu Husni menyatakan bahwa usaha perlindungan buruh migran/TKI terbagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu[2] :

  1. Perlindungan buruh migran/TKI pra penempatan, meliputi antara lain :

1)        Calon TKI betul-betul memahami informasi lowongan pekerjaan dan jabatan.

2)        Calon TKI dijamin kepastian untuk bekerja di luar negeri ditinjau dari segi keterampilan dan kesiapan mental.

3)        Calon TKI harus mengerti dan memahami isi perjanjian kerja yang telah ditandatangani pengguna jasa.

4)        Calon TKI menandatangani perjanjian kerja.

5)        TKI wajib dipertanggungkan oleh PJTKI ke dalam Program Jamsostek.

  1. Perlindungan buruh migran/TKI selama masa penempatan, meliputi antara lain :

1) Penanganan masalah perselisihan antara TKI dengan pengguna jasa.

2) Penanganan masalah TKI akibat kecelakaan, sakit atau meninggal dunia.

3) Perpanjangan perjanjian kerja.

4) Penanganan proses TKI cuti.

  1. c. Perlindungan buruh migran/TKI purna penempatan, meliputi antara lain :

1) Kepulangan TKI setelah melaksanakan perjanjian kerja.

2) Kepulangan TKI karena suatu kasus.

3) Kepulangan TKI karena alasan khusus.

Di dalam Keputusan Dirjen Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Nomor KEP-312A/D.P2TKLN/2002 tentang Petunjuk Teknis Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Pasal 2 disebutkan bahwa perlindungan TKI dilaksanakan melalui pembuatan perjanjian kerjasama penempatan, pembuatan perjanjian penempatan, pembuatan perjanjian kerja, pertanggungan asuransi TKI/Jaminan Sosial, pengaturan biaya penempatan dan pemberian bantuan hukum.

Upaya Penyelesaian Sengketa (skripsi dan tesis)

Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama antara pengusaha dan pekerja, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama pengusaha dan pekerja, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya. Sebab-sebab terjadinya sengketa diantaranya :

  1. Wanprestasi.
  2. Perbuatan melawan hukum.
  3. Kerugian salah satu pihak.
  4. Ada pihak yang tidak puas atas tanggapan yang menyebabkan kerugian.

Dilihat dari prosesnya, penyelesaian sengketa dapat berupa :

  1. Litigasi yaitu mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan.
  2. Non Litigasi yaitu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

Menurut Pasal 85 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yaitu :

  1. Dalam hal terjadi sengketa antara TKI dengan pelaksanaan penempatan TKI swasta mengenai pelaksanaan perjanjian penempatan, maka kedua belah pihak mengupayakan penyelesaian secara damai dengan musyawarah.
  2. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah.

Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi Dan Sosial (Disnakertransos) merupakan lembaga pemerintah yang bertugas sebagai penyalur informasi kesempatan kerja yang ada di dalam dan di luar negeri. Lembaga ini juga menyiapkan pelatihan-pelatihan bagi calon tenaga kerja yang akan disalurkan. Pelatihan-pelatihan semacam itu kini juga telah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga penyalur tenaga kerja swasta yang bernaung di bawah Disnakertrans dan atas pengawasan Disnakertrans.

Pada dasarnya lembaga-lembaga swasta ini membantu calon tenaga kerja memperoleh pekerjaan dengan mengambil sedikit keuntungan dari biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh calon tenaga kerja.Ironisnya, kebanyakan lembaga pelatihan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta cenderung memberikan pelatihan domestik, misalnya untuk keperluan mengurus rumah tangga saja. Oleh karena itu, angkatan kerja wanita Indonesia tidak mengalami perubahan status. Mereka tetap menjadi sub ordinat dalam sebuah sistem kekuasaan.[1]

Peran dan Upaya Pemerintah Dalam Melindungi TKI Dalam Sistem Hukum (skripsi dan tesis)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 8 menerangkan bahwa : “Setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk[1] :

  1. Bekerja di luar negeri.
  2. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI diluar negeri.
  3. Memperoleh pelayanan dan perlakukan yang sama dalam penempatan di luar negeri.
  4. Memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.
  5. Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di Negara tujuan.
  6. Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan.
  7. Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri.
  8. Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal.
  9. Memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli

Kewajiban-kewajiban para TKI di jelaskan dalam Pasal 9 yang menyebutkan bahwa [2]: “Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk :

  1. Mentaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan.
  2. Menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja.
  3. Membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

  1. Memberitahukan atau melaporkan kedatangan keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di Negara tujuan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri : Pasal 1 angka 17 menerangkan bahwa :

“ Pemerintah adalah perangkat negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri”.

Pasal 5 yang menerangkan bahwa :

  1. Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di Luar Negeri.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6 yang menerangkan bahwa : “Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri”. Pasal 7 yang menerangkan bahwa :

  1. Menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri.
  2. Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI
  3. Membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon  TKI di luar negeri.
  4. Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan.
  5. Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelumnya pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

Dalam proses penempatan TKI ke luar negeri, Pemerintah mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar, baik sebagai regulator maupun fasilitator. Peran sebagai regulator disini pemerintah mempunyai kewenangan dalam mengatur kegiatan proses penempatan TKI ke luar negeri, sejak dari perekrutan kemudian sampai penempatan dan purna penempatan. Peran sebagai fasilitator disini Pemerintah seiring dengan tuntutan peningkatan kualitas pelayanan dalam proses dan pengurusan dokumen keberangkatan calon TKI ke luar negeri maupun perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.[3]

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 1 angka 4 menerangkan bahwa : “Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja”. Perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri dimulai dan terintegrasi dalam setiap proses penempatan TKI, sejak proses rekrutmen, selama bekerja dan ketika pulang ke tanah air. Dengan penyediaan dokumen yang benar dan absah, diharapkan TKI terhindar dari resiko yang mungkin timbul selama mereka bekerja di luar negeri. Peningkatan keterampilan dan penguasaan bahasa setempat membantu TKI dalam komunikasi, menerima perintah, dan menyampaikan pendapat kepada pihak-pihak lain terutama kepada majikannya. Kesiapan mental dan pemahaman dasar mengenai adat kebiasaan dan budaya membantu TKI beradaptasi dengan lingkungan kerja dan kondisi masyarakat setempat, sehingga dapat menghindarkan TKI dari berbagai masalah sosial di luar negeri.

Sisi lain yang diperlukan dalam perlindungan TKI di luar negeri adalah kepastian pekerjaan sebagaimana dinyatakan dalam job order yang disampaikan pengguna untuk TKI secara langsung (calling visa) atau melalui PJTKI. Dalam hal ini dituntut keseriusan dan tanggung jawab PJTKI maupun mitra kerjanya di luar negeri dalam pengurusan dokumen kerja bagi tenaga kerja yang akan ditempatkan. Kerja sama bilateral antara negara pengirim dan negara penerima merupakan pegangan dalam pelaksanaan penempatan tenaga kerja Indonesia ke negara tertentu. Dalam perjanjian bilateral penempatan TKI ke negara penerima dapat dimasukkan substansi perlindungan yang meliputi bantuan konsuler bagi TKI bermasalah dengan hukum, pembelaan, dan penyelesaian tuntutan hak TKI. Oleh karena itu penempatan TKI dapat dilakukan ke semua negara dengan ketentuan [4]:

  1. Negara tujuan memiliki peraturan adanya perlindungan tenaga kerja asing.
  2. Negara tujuan membuka kemungkinan kerja sama bilateral dengan negara Indonesia di bidang penempatan TKI.
  3. Keadaan di negara tujuan tidak membahayakan keselamatan TKI.

Bentuk perlindungan kepada TKI juga harus diberikan oleh PJTKI sebagai penyalur TKI seperti mengikutsertakan calon TKI dalam program asuransi perlindungan TKI. Program asuransi perlindungan TKI dilakukan oleh Konsorsium asuransi perlindungan TKI. memberi jaminan perlindungan hukum dalam penempatan TKI di luar negeri, maka Pemerintah Republik Indonesia menyusun, mensahkan dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik. Pemberian pelayanan penempatan secara baik di dalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan prinsip tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga kerja illegal yang tentunya berdampak kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan.

Penempatan dan perlindungan calon TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia. Penempatan dan perlindungan calon TKI bertujuan untuk [5]:

  1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
  2. Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri di negeri tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia.
  3. Meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang ada, dapat dicatat, ditnjau dari aspek perlindungan, hukum ketenagakerjaan mengatur perlindungan sejak sebelum dalam hubungan kerja, selama dalam hubungan kerja dan setelah kerja berakhir[6]

  1. Sebelum Hubungan Kerja

Bidang hukum ketenagakerjaan sebelum hubungan kerja adalah bidang hukum yang berkenaan dengan kegiatan mempersiapkan calon tenaga kerja sehingga memiliki keterampilan yang cukup untuk memasuki dunia kerja, termasuk upaya untuk memperoleh lowongan pekerjaan baik di dalam maupun di luar negeri dan mekanisme yang harus dilalui tenaga kerja sebelum mendapatkan pekerjaan.[7]

Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law sedangkan bahas Belanda disebut dengan istilah overeenscomstreecht. Lawrence Friedman mengartikan hukum kontrak adalah Perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu atau hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan .[8]

Hukum kontrak diatur dalam buku KUH Perdata, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dalam KUH Perdata yang berkaitan aspek sebelum hubungan kerja yaitu Pasal 1233 samapai 1312 KUH perdata meliputi : sumber perikatan, prestasi, penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, dan jenis-jenis perikatan.

Perjanjian pekerja yaitu Perjanjian tertulis antara Tenaga Kerja Indonesia dengan pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak. Isi perjanjian kerja yaitu :

1)        Nama dan alamat pengguna

2)        Jenis dan Uraian pekerjaan/jabatan

3)        Kondisi dan syarat kerja yang meliputi :

  1. a)Jam kerja
  2. b)Upah
  3. c)Cara pembayaran
  4. d)Upah lembur
  5. e)Cuti dan waktu istirahat
  6. f)Jaminan soial Tenaga kerja (Lalu Husni, 2003: 25).

Ketentuan Pasal 1318 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebaskan kepada para pihak untuk :

1)        Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2)        Mengadakan perjajian dengan siapapun;

3)        Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan

4)        Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan[9]

Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memuhi persyaratan sebagai berikut:

1)        Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;

2)        Sehat jasmani dan rohani;

3)        Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan;

4)        Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

Calon TKI behak mendapatkan pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan, pendidikan dan pelatihan yang dimaksud yaitu :

1)        Membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja CTKI;

2)        Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan resiko bekerja di luar negeri;

3)        Membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan;

4)        Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewjiban CTKI/TKI

  1. Masa Penempatan

Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan kesempatan kerja kepada tenaga kerja Indonesia dan untuk menghasilkan Devisa, sebagai bagian dari pelaksanaan perencanaan ketenagakerjaan nasional, dengan tetap memperhatikan harkat dan martabat serta nama baik bangsa dan negara.

Pasal 58 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep- 104 A/MEN/2002 menyebutkan bahwa PJTKI wajib bertanggung jawab atas perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri. Dalam pelaksanaan perlindungan dan pembelaan TKI, PJTKI baik sendiri-sendiri atau bersama-sama wajib menunjuk atau bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan TKI yang terdiri dari Konsultan Hukum dan atau Lembaga Asuransi di negara penempatan TKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Ketentuan tentang masa penempatan TKI dari kedua peraturan perundangan di atas memperlihatkan, bahwa ketentuan sebagaiana diatur dalam UU PPTKI hanya bersifat administratif semata, sedangkan ketentuan yang ada dalam Kep- 104A/MEN/2002 memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri. Hal ini mengingat justru masa penempatan inilah, TKI banyak mengalami masalah, baik permasalahan antara TKI dengan majikan/pengguna, maupun dengan PPTKIS yang tidak memenuhi kewajibannya seperti yang tercantum dalam perjanjian penempatan.

  1. Purna Penempatan

Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri disebutkan bahwa Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Kepulangan TKI dapat terjadi :

1)        Berakhirnya perjanjian kerja;

2)        Pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir;

3)        Terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan;

4)        Mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisanya menjalankan pekerjaan lagi;

5)        Meninggal dunia di negara tujuan;

6)        Cuti;

7)        Dideportasi oleh pemerintah setempat.

Menurut Pasal 75 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI dalam hal :

1)        Pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI;

2)        Pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam;

3)        kepulangan;

4)        Pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan;

5)        adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak betanggung jawab;

6)        dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

Menurut Pasal 63 Ayat (1), (2), (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasnmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep- 104 A/MEN/2002, PJTKI bekerjasama dengan Mitra Usaha dan Perwalu wajib mengurus kepulangan TKI sampai di Bandara di Indonesia, dalam hal :

1)        Perjanjian kerja telah berakhir dan tidak memperpanjang perjanjian kerja;

2)        TKI bermasalah, sakit atau meninggal dunia selama masa perjanjian kerja sehingga tidak dapat menyelesaikan perjanjian kerja;

3)        PJTKI harus memberitahukan jadwal kepulangan TKI kepada Perwakilan RI di negara setempat dan Direktur Jenderal selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum tanggal kepulangan;

4)        Dalam mengurus kepulangan TKI, PJTKI bertanggung jawab membantu menyelesaikan permasalahan TKI dan mengurus serta menanggung kekurangan biaya perawatan TKI yang sakit atau meninggal dunia.

Salah satu masalah yang terjadi berkaitan dengan kepulangan TKI itu adalah persoalan keamanan dalam negeri sampai di Bandara Tanah Air. Karena itu ketentuan UU PPTKI mengatur pemberian upaya perlindungan bagi TKI terhadap kemungkinan adanya pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

Tinjauan Tentang Perjanjian Tenaga Kerja (skripsi dan tesis)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian sebagai berikut : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 1 angka 10 memberikan pengertian bahwa : “Perjanjian kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.”

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan  Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 55 ayat 5, menyebutkan bahwa : “Perjanjian Kerja sekurang-kurangnya harus memuat [1]:

  1. Nama dan alamat pengguna.
  2. Nama dan alamat TKI.
  3. Jabatan dan jenis pekerjaan TKI.
  4. Hak dan kewajiban para pihak.
  5. Kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja upah dan tata cara pembayaran, baik cuti dan waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial, dan
  6. Jangka waktu perpanjangan kerja.

Pasal 56 ayat 1 menyebutkan bahwa “Perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.”

Perjanjian kerja berakhir apabila :

  1. Pekerja meninggal dunia.
  2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian
  3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
  4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

 

Tinjauan Tentang Tenaga Kerja (skripsi dan tesis)

Tenaga kerja (man power) dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat”. Sedangkan pengertian tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di atas sejalan dengan pengertian tenaga kerja menurut konsep ketenagakerjaan pada umumnya sebagaimana ditulis oleh Payaman J. Simanjuntak bahwa pengertian tenaga kerja atau man power adalah mencangkup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga

Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha (skripsi dan tesis)

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk makasud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakain barang dan/ atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Untuk melindungi pihak konsumen dari ketidakadilan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan larangan-larangan kepada pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Larangan-larangan tersebut adalah: Referensi

  1. Larangan bagi pelaku usaha berhubungan dengan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkannya adalah sebagai berikut:
  2. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
  4. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
  5. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/ atau jasa tersebut;
  6. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  7. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/ atau jasa tersebut;
  8. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
  9. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
  10. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
  11. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  12. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
  13. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
  14. Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah :
  15. barang tersebut telah memenuhi dan/ atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
  16. barang tersebut dalam keadaan baik dan/ atau baru;
  17. barang dan/ atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/ atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
  18. barang dan/ atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
  19. barang dan/ atau jasa tersebut tersedia;
  20. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
  21. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
  22. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
  23. secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/ atau jasa lain;
  24. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
  25. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
  26. Larangan bagi pelaku uasaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa secara tidak benar dan menyesatkan mengenai:
  27. harga atau tarif suatu barang dan/ atau jasa;
  28. kegunaan suatu barang dan/ atau jasa;
  29. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
  30. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
  31. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
  32. Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan penjual melalui cara obral atau lelang yang mengelabuhi atau menyesatkan konsumen dengan:
  33. menyatakan barang dan/ atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
  34. menyatakan barang dan/ atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
  35. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
  36. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/ atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
  37. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
  38. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
  39. Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan mempromosikan, atau mengiklankan dengan jumlah tertentu.

Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tidak bermaksud untuk melaksanakannnya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawar, dipromosikan, atau diiklankan.

  1. Larangan bagi pelaku usaha untuk berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan dengan janji. Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan, mempromosikan , mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang diijanjikan.
  2. Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan secara paksa. Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan barang dan/ atau jasa dengan cara pemaksaan atau cara lain yang menimbulkan gangguan fisik maupun psikis terhadap konsumen.
  3. Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kegiatan menawarkan barang secara terpisah, larangan bagi pelaku usaha yang menawarkan barang dan/ jasa melalui pemesanan, karean tidak menepati pesanan dan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjiakan atau tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan atu prestasi.
  4. Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan usaha periklanan yang berupa:
  5. mengelabuhi konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/catau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
  6. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/ atau jasa;
  7. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
  8. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/ atau jasa;
  9. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
  10. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

Dengan adanya larangan-larangan yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka diharapkan produsen akan lebih hati-hati dalam melaksanakan kegiatan usahanya, sehingga akan dihasilkan produk barang dan atau jasa yang sesuai dengan yang diharapkan.

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha (skripsi dan tesis)

Dalam kegiatan menjalankan usaha, undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban dan larangan pada produsen. Pengaturan tentang hak, kewajiban dan larangan itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumen, sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya.

Adapun hak pelaku usaha yang diatur  oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:

  1. Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam menyelesaikan hukum sengketa konsumen;
  4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
  5. Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.[1]

Hak pelaku usaha menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umunya atas barang dan/ atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasanya terjadi suatu barang dan/ atau jasa yang kualitasnya lebih rendah dari pada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah.

Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar. Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut di atas pada angka 2,3,dan 4 sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/ atau badan penyelesaian sengketa konsumen. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari.

Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada angka 2 dan 3 tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Tampak bahwa pokok-pokok hak dari produsen atau pelaku usaha adalah menerima pembayaran, mendapat perlindungan hukum, melakukan pembelaan diri, rehabilitasi nama baik, dan hak-hak lainnya menurut Undang-Undamg. Selain mengatur tentang hak pelaku usaha Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang kewajiban bagi pelaku usaha. Adapun kewajiban pelaku usaha:

 

  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha;
  2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara jujur dan benar serta tidak diskriminatif;
  4. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;
  5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau yang diperdagangkan.
  6. Memberi kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai yang diperjanjikan.[2]

Dengan demikian pokok-pokok kewajiban produsen atau pelaku usaha adalah iktikad baik dalam menjalankan usahanya, memberikan informasi, memperlakukan konsumen dengan cara yang sama, menjamin produknya, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji, dan memberi kompensasi jika konsumen dirugikan.

Jika dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tampak bahwa hak dan kewajiban produsen bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Artinya apa yang menjadi hak dan kewajiban dari konsumen merupakan kewajiban produsen untuk memenuhinya, dan sebaliknya apa yang menjadi hak produsen adalah kewajiban konsumen.

Kalau dibandingkan dengan hak dan kewajiban penjual dalam jual beli menurut KUH Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1478 dan seterusnya, tampak bahwa ketentuan KUH Perdata itu lebih sempit dari pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ini tidak lain karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang produsen atau pelaku usaha lebih dari sekedar penjual. Produsen juga mempunyai kewajiban dalam menciptakan iklim berusaha yang sehat yang pada akhirnya ikut bertanggung jawab dalam pembangunan ekonomi secara umum.[3]

Hak dan Kewajiban Konsumen (skripsi dan tesis)

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/ atau jasa yang dapat dikonsumsi. Ditambah globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi kiranya memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/ atau jasa.

Akibatnya barang dan/ atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/ atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/ atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Berkenaan dengan pertimbangan tersebut, maka perlu juga diketengahkan apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, sebagai berikut:

Untuk itu maka telah diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara terperinci hak dan kewajiban konsumen. Adapun hak dan kewajiban konsumen tersebut adalah[1]:

  1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa;
  2. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa;
  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut:

  1. Hak atas keamanan dan keselamatan;

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.

  1. Hak untuk memeperolah informasi;

Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadai informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi yaitu karena cacat informasi yang tidak memadai. Informasi yang merupakan hak konsumen di antarnya adalah mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas kegunaan produk, tanggal kadaluarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampingkan secara lisan, maupun secara tertulis baik yang dicantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya.[2]Dengan demikian pemenuhan hak ini akan menguntungkan bagi konsumen ataupun produsen.

  1. Hak untuk memilih;

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk. Demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.

 

Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang ataupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi.

  1. Hak untuk didengar;

Hak untuk didengar merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan secara perorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu.

  1. Hak untuk memeperoleh kebutuhan hidup;

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya (secara layak). Hak-hak ini terutama yang berupa hak atas pangan, sandang, papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

  1. Hak untuk memeperoleh ganti rugi;

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen menyangkut diri (sakit, cacat bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.

  1. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun ketrampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

  1. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

Hak  atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan ini diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

  1. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi dari pada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya.

Penegakan hak konsumen ini didukung pula ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Ketentuan di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan persaingan Usaha tidak Sehat, menetukan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”

Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan persaingan Usaha tidak Sehat, menentukan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.”

 

 

 

 

  1. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut;

Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.

Sepuluh hak konsumen, yang merupakan himpunan dari berbagai pendapat tersebut di atas hampir semuanya sama dengan hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikutip sebelumnya.

Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:[3]

  1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta benda kekayaan;
  2. Hak untuk memperoleh barang dan/ atau jasa dengan harga yang wajar; dan
  3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi;

Oleh karena ketiga hak atau prinsip dasar tersebut merupakan himpunan berberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan prinsip perlindungan hukum konsumen di Indonesia.

Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek. Selain hak yang dimiliki oleh konsumen, konsumen juga memiliki kewajiban, adapun kewajiban konsumen tersebut adalah:

  1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa;
  3. Membayar nilai tukar yang telah disepakati;
  4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.[4]

Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen (skripsi dan tesis)

Secara harafiah, konsumen mempunyai pengertian sebagai pemakai barang dan jasa yang dihasilkan produsen, sedangkan produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pihak lain atau orang lain.[1] Kata konsumen berasal dari bahasa Belanda, yaitu konsument, yang oleh para ahli hukum disepakati berarti sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa  (uitenindelijk gebruiker van gorden en diesten) yang diserahkan oleh mereka kepada pengusaha (ondernemer), jadi mereka yang mengkonsumsi untuk dijual kembali (pemakai perantara) tidak termasuk kelompok yang dikategorikan dalam pengertian konsumen.[2]

Perlindungan konsumen itu mendapatkan perhatian secara global mengingat  di dalam konsideran resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/ 248 yang menyebutkan: taking into account interest and consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often faces imbalances in economics terms, educational level, and bargaining power.[3]

Berdasarkan isi  pasal dalam Directive Masyarakat Ekonomi Eropa yang mengedepankan konsep Liability Without Fault tersebut dapat diketahui bahwa pengertian konsumen adalah ditujukan kepada seseorang pribadi yang menderita kerugian, baik jiwa, kesehatan maupun harta benda, akibat pemakaian produk cacat untuk keperluan pribadinya. Atas kerugian yang diderita tersebut, konsumen dapat menuntut untuk diberikan kompensasi. Jadi dalam hal ini pengertian konsumen secara khusus hanya ditujukan kepada pemakai produk cacat untuk keperluan pribadi.[4] Di Indonesia, perlindungan konsumen secara jelas dan tegas baru dilakukan pada tahun 1999 dengan diundangkannya Undang-undang No 8 Tahun 1999.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen / UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan ”segala upaya yang menjamin adanya adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai upaya benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.[5]

Meskipun Undang-undang ini disebut sebagai Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.[6]

Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen baik dalam Hukum Privat (Perdata) maupun hukum publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, memeperjelas kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi.

Setiap pekerjaan mempunyai tujuan, pada sisi lain bidang konsumen ini telah mengalami pertumbuhan seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dialami oleh konsumen, salah satu masalahnya adalah kerugian yang dialami konsumen akibat cacat dan berbahaya.  Jika masalah perlindungan dengan konsumen itu mendasar pada adanya  saling membutuhkan antara produsen dan konsumen dengan prinsip kesederajatan sama hak-hak konsumen menimbulkan kewajiban produsen maka sebenarnyalah produsen bertanggung jawab terhadap barang-barang yang dibeli dari produsen. Oleh karena itu selain peraturan perundang-undangan perlindungan hukum bagi konsumen mempunyai dua aspek yaitu [7]:

Cabang-cabang hukum publik yang berkaitan dan berpengaruh atas hukum konsumen umumnya adalah hukum administrasi, hukum pidana dan hukum internasional terutama konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan praktik bisnis, maupun Resolusi PBB tentang perlindungan konsumen sepanjang telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai salah satu anggota. Di antara cabang hukum ini, tampaknya yang paling berpengaruh pada hubungan dan masalah yang termasuk hukum konsumen atau perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi negara sebagaimana diketahui bahwa hukum publik pada pokoknya mengatur hubungan hukum antara instansi-instansi pemerintah dengan masyarakat, selagi instansi tersebut bertindak selaku penguasa.

Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku oleh aparat pemerintah yang diberikan wewenang untuk itu, sangat perlu bagi perlindungan konsumen. Berbagai instansi berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diberikan kewenangan untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili setiap perbuatan pidana yang memenuhi unsur-unsur dari norma-norma hukum yang berkaitan.

Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUHP atau di luar KUHP sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. KUHP No. 8 Tahun 1981 (LN 1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi wewenang khusus untuk melakukan tindak penyelidikan. Penerapan KUHP dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh karena itu keseluruhan proses perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUH Perdata sangat memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana. [8]

Dalam hukum perdata yang lebih banyak digunakan atau berkaitan dengan asas-asas hukum mengenai hubungan atau masalah konsumen adalah buku ketiga tentang perikatan dan buku keempat mengenai pembuktian dan daluarsa. Buku ketiga memuat berbagai hubungan hukum konsumen. Seperti perikatan, baik yang terjadi berdasarkan perjanjian saja maupun yang lahir berdasarkan Undang-undang. Hubungan hukum konsumen adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). [9]

Hubungan konsumen ini juga dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1313 sampai Pasal 1351 KUH Perdata. Pasal 1313 mengatur hubungan hukum secara sukarela di antara konsumen dan produsen, dengan mengadakan suatu perjanjian tertentu. Hubungan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.

Perikatan karena Undang-undang atau akibat sesuatu perbuatan menimbulkan hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak (ketentuan Pasal 1352 KUH Perdata). Selanjutnya di antara perikatan yang lahir karena Undang-undang yang terpenting adalah ikatan yang terjadi karena akibat sesuatu perbuatan yang disebut juga dengan perbuatan melawan hukum (ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata). Pertanggung jawaban perbuatan itu tidak saja merupakan perbuatan sendiri tetapi juga dari orang yang termasuk tanggung jawabnya seperti yang diatur pada Pasal 1367-1369 KUH Perdata.

Pembahasan dalam tulisan ini dibatasi pada aspek hukum privat/perdata dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen. Perbuatan melawan hukum (on rechtmatigedaad) diatur dalam buku ketiga titel 3 Pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata, dan merupakan perikatan yang timbul dari Undang-undang. Perikatan dimaksud dalam hal ini adalah terjadi hubungan hukum antara konsumen dan produsen dalam bentuk jual beli yang melahirkan hak dan tanggung jawab bagi masing-masing pihak dan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya akan menimbulkan permasalahan dalam hubungan hukumnya.

Hukum Ekonomi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keseluruhan kaidah hukum administrasi negara yang membatasi hak-hak individu yang dilindungi dan dikembangkan oleh hukum perdata. Peraturan-peraturan seperti ini merupakan peraturan Hukum Administrasi Negara di bidang Ekonomi yang akhirnya dicakup dalam satu kategori sebagai Droit Eqonomique.[10]

Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi dan cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia.[11]

Kemudian, pemerintah perlu mengontrol atau mengawasi penataan terhadap peraturan-peraturan tersebut. Sekedar membuat peraturan tanpa mengawasi pelaksanaannya di lapangan tidaklah bermanfaat banyak. Yang paling penting adalah bagaimana produsen menaati peraturan tersebut di dalam usahanya memproduksi dan mengedarkan produknya. Dengan demikian, jangan sampai beredar ke masyarakat produk yang tidak memenuhi syarat standar, yang kemudian dapat merugikan konsumen.

Berbicara tentang perlindungan konsumen sama halnya dengan membicarakan tanggung jawab produsen atau tanggung jawab produk, karena pada dasarnya tanggung jawab produsen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian, di bawah ini akan dikemukakan pula pengertian tanggung jawab produk.

Tanggung jawab produk adalah terjemahan dari istilah asing, yaitu : product (s) liability; produkt (en) aansprakelijkheid; sekalipun ada yang lebih tepat terjemahan sebagai ” tanggung jawab produsen ”, yakni istilah Jerman yang sering digunakan dalam kepustakaan, yakni produzenten-haftung.[12] Untuk pengertian tanggung jawab produk, di bawah ini akan dikemukakan pendapat Agnes M. Toar, sebagai berikut, ”tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan / menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.”[13]

Dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang isinya menyatakan bahwa perlindungan konsumen berasaskan asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Oleh karena itu perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu ;

  1. Asas manfaat;
  2. Asas keadilan;
  3. Asas keseimbangan;
  4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen;
  5. Asas kepastian hukum.[14]

Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing asas-asas dalam Perlindungan konsumen di atas:

  1. Asas manfaat

Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen dan konsumen apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

  1. Asas Keadilan

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan dapat memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya.

  1. Asas keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari peraturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada dalam salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingan yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.

 

 

  1. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memeberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan kepastian hukum bahwa konsumen akan memeperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi dan sebaliknya bahwa produk yang dikonsumsi tersebut tidak akan mengancam ketentraman jiwa dan harta bendanya.

  1. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-undang memiliki tujuan khusus.[15] Hal ini juga tampak pada pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas. Adapun tujuan dari perlindungan konsumen adalah sbagai berikut:[16]

  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa;
  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan memantau hak-haknya sebagai konsumen;
  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  6. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Semetara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.

Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat di lihat dalam rumusan pada huruf a samapai huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifuikasikan sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemuikakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.[17]

Pembinaan Narapidana Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan (skripsi dan tesis)

Istilah narkoba menurut Badan Narkotika Nasinonal (BNN) Republik Indonesia adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan zat (bahan adiktif) lainnya. Sedangkan Utomo dalam Surjadi dkk menyatakan bahwa narkoba adalah singkatan dari narkotik dan obat-obatan berbahaya. Adapun Nugroho dalam Surjadi dkk (2001)  mengistilahkan dengan sebutan NAPZA yaitu singkatan dari narkotika, psikotropika atau zat adiktif lainnya atau kata lain yaitu NAZA, singkatan dari Narkotika, Alkohol dan zat aditif lainnya, atau istilah awamnya adalah Narkoba yaitu singkatan dari narkotika dan obat berbahaya.

Hawari (2003) menyatakan bahwa dikalangan awam istilah Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika dan Obat Berbahaya dan Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.  Dengan penyebutan berbagai singkatan tersebut di atas, maka pada intinya sama, yaitu agar supaya lebih mudah dipahami maka digunakan istilah Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan bahan/zat adiktif lainnya

Denifisi narkotika, psikotropika dan bahan/zat aditif lainnya, serta minuman keras, adalah :

  1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
  2. Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,yang berkhasiat melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
  3. Bahan/Zat Adiktif lainnya adalah bahan lain bukan narkotika atau psikotropika yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan.
  4. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi,maupun yang diproses dengan cara mencampur kosentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman yang mengandung etanol

Denifisi narkoba menurut UU RI No.22 Th 1997 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedangkan psikotropika dalam UU RI No.5 th 1997 adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Zat Adiktif lain yaitu bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif, meliputi minuman beralkohol, inhalansia (gas yang dihirup) dan solven  (zat pelarut yang mudah menguap berupa senyawa organik (benzyl alcohol), tembakau dosis letal (dosis yang menyebabkan kematian jika mengkomsumsi 60 mg nikotin sekali pakai), kafein yang dapat menimbulkan ketergantungan jika dikomsumsi melebihi 100 mg/hari atau lebih dari dua cangkir kopi sehingga lebih banyak menimbulkan ketergantungan psikologis. Dengan demikian yang termasuk narkoba dalam hal ini adalah narkotika, psikotropika dan bahan/zat adiktif lainnya.

Tindakan pengedaran atau penyalahgunaan narkoba tersebut dapat dikatakan mengalami gangguan kepribadian yang berakibat pidana hukum maka Hawari (2003) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mengalami gangguan kepribadian adalah apabila kepribadian seseorang itu tidak lagi fleksibel dan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya sehingga mengakibatkan hendaya (impairment) dalam fungsi dan hubungan sosial, pekerjaan atau sekolahnya, dan biasanya disertai penderitaan subyektif bagi dirinya yang berupa kecemasan dan atau depresi.

Bonger dalam Hamzah dan Rahayu (2005) mengatakan bahwa pidana adalah mengenakan suatu penderitaan, karena orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat.39 Setelah dipidana maka  orang tersebut berstatus narapidana, sedangkan definisi narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas.

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat yang bukan hanya semata-mata untuk memidana orang, melainkan juga sebagai tempat untuk membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar mereka itu setelah selesai menjalankan pidana mereka, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.

Pembinaan narapidana merupakan pemberdayaan (empowerment) dalam konteks secara luas menurut Pranarka bahwa pemberdayaan adalah pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Peranan peserta didik dalam kehidupan masyarakat, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, merupakan keluaran (output) dari sistem dan fungsi pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan mutu kehidupan, dan martabat manusia baik individu maupun sosial. Dengan kata lain, pendidikan berfungsi sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat guna menghadapi masa depan (Wahab, 2002).

Soejoto (2004) menyatakan bahwa tujuan dari pembinaan adalah narapidana yang mendapat pembinaan untuk menjadi warga yang baik dan  Pembinaan narapidana secara khusus bertujuan agar selama masa pembinaan dan sesudah selesai menjalankan masa pidananya

  1. Memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal ketrampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.
  2. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap dan perilakunya yang tertib disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial.
  3. Memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara

Selanjutnya dinyatakan bahwa pembinaan secara umum melalui pendekatan memantapkan iman (ketahanan mental) narapidana, dan membina mereka agar mampu berintegrasi secara wajar di dalam kehidupan kelompok selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat) setelah menjalani pidana.

Dalam Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan bahwa pelaksanaan pembinaan narapidana dibagi menjadi 2 macam yaitu :

  1. Pembinaan kepribadian dan pembinaan ketrampilan. Pembinaan  kepribadian dengan tujuan untuk menumbuhkan kepercayaan dan kemampuan diri sendiri dalam berusaha mengatasi segala permasalahan yang dihadapi baik sewaktu berada di dalam Lapas maupun setelah bebas dan berada di tengah-tengah masyarakat.
  2. Pembinaan ketrampilan diterapkan dengan tujuan agar supaya terpidana mempunyai keahlian atau kecakapan teknis yang berguna bagi dirinya dan dapat menjadi bekal setelah keluar dari lembaga (Mahendra. 2003)

Dalam memberikan pekerjaan bekal ketrampilan khususnya bagi narapidana, maka ketrampilan tersebut harus merupakan kepentingan bagi narapidana dan pihak lain yang bersangkutan. Sehubungan dengan tujuan pemberian ketrampilan bagi narapidana maka ada 4 (empat) hal, yaitu:

  1. Bagi terhukum, pemberian pekerjaan berarti memberi pelajaran kerja keras dan halal, menjamin kehidupan terpidana sehingga tidak melakukan kejahatan lagi; menanamkan kegairahan kerja dan hasil dapat dinikmati; memberi keyakinan apabila kembali kemasyarakat bebas mempunyai kesenangan untuk bekerja dengan keahlian yang dipunyai; lebih menghargai penghasilan yang diperoleh atas usaha dan jerih payah sendiri; memberi rasa ketenangan bagi terpidana bahwa dengan jalan bekerja dapat memberi penghidupan bagi keluarga; hukuman yang dijalankan tidak mempengaruhi sifat sebagi manusia yang harus bekerja; rasa harga diri tidak hilang sebagai pencari nafkah di dalam keluarga; rasa dijauhkan dari keluarga berkurang; terpelihara rasa tanggung jawab terhadap keluarga; tidak menimbulkan keterasingan terhadap keluarga.
  2. Bagi keluarga terhukum berarti adanya jaminan hidup; hubungan tetap terpelihara dengan terhukum; terhukum tidak diabaikan; dorongan untuk lebih berhemat karena diketahui terhukum harus bekerja keras memberi penghidupan bagi kelaurga; penghargaan terhadap terhukum tetap ada karena ia tetap mencarai nafkah.
  3. Bagi negara berarti membantu menjamin keselamatan keluarga untuk mendapat nafkah sehari-hari; mengurangi peningkatan kejahatan khususnya kejahatan anak-anak dan wanita; mengurangi kemungkinan perceraian terhukum; membatasi penjatuhan hokum hilang kemerdekaan kepada yang berbuat kesalahan; penderitaan terbatas hanya kepada hilang kemerdekaan kepada yang berbuat kesalahan; penderitaan terbatas hanya kepada hilang kemerdekaan bergerak saja.
  4. Bagi masyarakat, berarti : Perbaikan dari masyarakat, baik materil maupun moril; memperbesar keamanan bagi masyarakat; tenaga produktif bertambah; memperingan beban masyarakat untuk memberi jaminan sosial kepada keluarga si terhukum; memperkecil biaya untuk pemeliharaan si terhukum (Torrow, 2004).

Latihan kerja berupa pendidikan atau ketrampilan yang dibagi menjadi dua macam, yaitu pekerjaan untuk pendidikan ketrampilan yang ditujukan untuk pendidikan dengan banyak melakukan percobaan dan hasil produksinya tidak diharapkan, sedangkan pekerjaan untuk produksi yaitu pekerjaan yang ditujukan untuk menghasilkan barang-barang produksi, dan hasil produksinya dapat dimanfaatkan sendiri atau dijual kepada umum. Dengan demikian maka pekerjaan yang berorientrasi pada menghasilkan barang produksi, menerapkan prisip-prinsip ekonomi dan pekerja diberi upah

Sistem Kemasyarakatan Dalam Lembaga Kemasyarakatan (skripsi dan tesis)

Istilah penjara menurut Poernomo dalam Nasution dinyatakan bahwa penjara sebagai tempat (lembaga) memidana seorang terpidana yang sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1873. Dinyatakan pula bahwa penjara dianggap kejam dan ganas karena sistem pemidanaan yang dilaksanakan mencakup pula pidana kerja paksa dan pidana fisik. Para terpidana dan narapidana tersebut sekaligus juga mengalami pengasingan dari lingkungan masyarakat, sehingga mengalami isolasi sosial secara total (Poerwadarminto. 1985).

Dalam hal pendekatan yang digunakan, pelaksanaan pidana penjara menggunakan pendekatan pains of imprisonment sebagai method of punishment, sehingga terpidana dijadikan obyek dari pembalasan masyarakat agar jera dan tidak melanggar hukum lagi.

Sistem kepenjaraan bukan hanya penyiksaan fisik saja, namun juga terdapat lima kehilangan, yang dikenal dengan lima macam kesakitan yang  tidak manusiawi yang mengakibatkan hal yang lebih buruk dibanding seseorang sebelum masuk penjara. Kelima kesakitan tersebut adalah kehilangan kemerdekaan sebagai manusia bebas (loss of liberty), kehilangan otonomi untuk menentukan ruang gerak (loss of outonomy), kehilangan memiliki rasa aman (loss of security), dan kehilangan hubungan bergaul dengan lawan jenis (loss of heterosexual and relationship), serta kehilangan pekerjaan dan pilihan pelayanan (loss of goods and sevices) (Bambang. 1986).

Sejak tahun 1964 terjadi perubahan sistem yang diterapkan di Penjara, dimana sebelumnya dikenal dengan nama penjara dengan menggunakan sistem kepenjaraan, dan sejak tahun tersebut berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan, dengan perubahan seluruh sistem pembinaan terhadap narapidana. Sistem baru tersebut dikenal dengan sistem pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan adalah merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar supaya WBP menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan WBP agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Dengan demikian terdapat perbedaan pelaksanaan antara system pemasyarakatan dengan sistem kepenjaraan. Sistem kepenjaraan menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan terhadap individu yang melakukakan pelanggaran hukum serta bukan hanya merampas hilang kemerdekaannya tetapi juga merampas semua hak-haknya sebagai individu manusia dan menggunakan sistem tertutup yaitu menjauhkan narapidana dari masyarakat luar dan memutuskan hubungan dengan masyarakat. Pemikiran-pemikiran baru yang mencegah pengulangan tindak kejahatan dan memperbaiki pelaku kejahatan, maka lahirilah suatu sistem pembinaan yang dikenal dengan  Sistem Pemasyarakatan (Has Sanusi. 1994 ).

Pemasyarakatan adalah suatu proses therapeutics yang sejak itu narapidana lalu mengalami pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan. Pemasyarakatan didefinisikan sebagai kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana

Adapun pemasyarakatan sebagai suatu sistem dinyatakan oleh Muladi yaitu bahwa istilah pemasyarakatan dapat dilihat sebagai sistem, dalam arti metode atau sistem yaitu kerjasama antara bagian-bagian sistem (sub sistem) dalam rangka pencapaian tujuan tertentu.  Dalam sistem pemasyarakatan terdapat unsur-unsur yang berperan di dalamnya, unsur-unsur tersebut dikemukakan oleh Atmasasmita dan Ahmad yaitu petugas lembaga, narapidana (klien pemasyarakatan) dan masyarakat.  Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga unsur tersebut merupakan suatu hubungan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sistem Pemayarakatan merupakan sekumpulan dari beberapa sub sistem dalam pembinaan individu pelanggar hukum dimana unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berpengaruh dan tidak dapat dipisahkan, unsur-unsur tersebut yaitu : 31

  1. Narapidana haruslah diupayakan untuk secara iklhlas dan terbuka untuk menerima pengaruh dari proses pembinaan yang dilakukan, bahwa pembinaan adalah untuk kebaikan dan kepentingan mereka sendiri, keluarga, dan masyarakat , serta demi masa depannya.
  2. Petugas pemasyarakatan dituntut mempunyai kesadaran yang tugas pembinaan tinggi atas tanggungjawab dan juga kesadaran moral terhadap narapidana.
  3. Masyarakat mempunyai peranan penting dalam mengadakan kerjasama pembinaan karena masyarakat bagian dari pada kehidupan individu berinteraksi setelah setelah hidup bebas, sehingga dapat menerima terpidana sebagai anggota warga masyarakat dengan baik (Muladi. 1994).

Dalam hal pelaksanaan pidana penjara dengan system pemasyarakatan, Purnomo menyatakan bahwa pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan adalah proses konversi yang merupakan salah satu bagian dalam kegiatan tata usaha negara dan terdiri atas komponen bahan masukan, hasil keluaran, instrumen proses, lingkungan proses dan umpan balik yang mengadakan interrelasi serta interaksi satu sama lain.

Jadi Sistem pemasyarakatan adalah proses konversi yang merupakan salah satu bagian dalam kegiatan tata usaha negara dan terdiri atas komponen bahan masukan, instrumen proses, hasil keluaran, lingkungan proses dan umpan balik yang mengadakan interrelasi serta interaksi satu sama lain.

Sistem pemasyarakatan melaksanakan pembinaan dengan system terbuka dengan melibatkan masyarakat dalam pembinaannya maka Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Sedangkan Saharjo dalam Hamzah dan Rahayu mengemukakan pemikiran pembinaan narapidana maupun anak didik berdasarkan system pemasyarakatan yang tertuang ke dalam Sepuluh butir Prinsip Pemasyarakatan  yaitu :

  1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
  2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan.
  3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
  4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
  5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
  6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu.
  7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila.
  8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarga dan lingkungannya, kemudian dibina dan dibimbing ke jalan yang benar.
  9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.
  10. Untuk pembinaan dan bimbingan para narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana yang diperlukan Hamzah, A. dan Siti Rahayu. 2003)

Zat Adiktif Lainnya (skripsi dan tesis)

Zat adiktif lainnya adalah zat  –  zat  selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya, diantaranya adalah :

  1. Rokok
  2. Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan.
  3. Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus cair dan aseton, cat, bensin yang bila   dihirup akan dapat memabukkan (Alifia, 2008)

Psikotropika ( skripsi dan tesis)

Psikotropika adalah zat atau obat,  baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan prilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997).

Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan :

  1. Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi (menthylendioxy menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu-sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).
  2. Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan Sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin.
  3. Golongan III : adalah psikotropika dengan daya  adiktif yang sedang berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumubal, fleenitrazepam.
  4. Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya  adiktif  ringan berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam (Martono, 2006).

Narkotika (skripsi dan tesis)

Istilah “narkoba” merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan berbahaya lainnya (Badan Narkotika Nasional, 2008). Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan, khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, untuk merujuk hal yang sama adalah NAPZA, yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Kedua istilah ini mengacu kepada sekelompok zat yang memiliki risiko untuk membuat penggunanya menjadi kecanduan (wikipedia, 2008).

 Kata “narkotika” sendiri berasal dari bahasa Yunani “narkoum” yang berarti membuat lumpuh atau membuat mati rasa (Muksin, 2008). Definisi narkotika menurut UU No. 22, Tahun 1997 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan

Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :

  1. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif  sangat tinggi menyebabkan ketergantunggan. Tidak dapat digunakan  untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.  Contoh : ganja,  morphine, putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk.
  2. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh :  petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol.
  3. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif  ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya (Martono, 2006)

Pengurusan dan Pengawasan BUMN (skripsi dan tesis)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara dimaksudkan untuk menciptakan sistem pengurusan danpengawasan berdasarkan pada prinsip efisien dan produktif guna  meningkatkan kinerja dan nilai (value) BUMN, serta menghindarkan BUMN dari tindakan-tindakan pengeksploitasian di luar asas tata kelola perusahaan yang baik ( good corporate governance). Walaupun dalam Undang-undang ini telah diatur mengenai prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran BUMN, namun diperlukan penjabaran lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[1]

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Adapun materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain mengatur mengenai hubungan antara Menteri, Menteri Keunagan, dan Menteri Teknis dalam hal pendirian, pengurusan, pengawasan, dan pemberesan BUMN. Pengurusan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direksi dalam upaya mencapai maksud dan tujuan perusahaan. Pengurusan Persero dilakukan berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentngan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tugas dan wewenang Direksi diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar BUMN.

Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Komisaris dan Dewan Pengawas untuk menilai BUMN dengan cara membandingkan antara keadaan yang sebenarnya dengan keadaan yang seharusnya dilakukan, baik dalam bidang keuangan dan/atau dalam bidang teknis operasional. Pengawasan Persero dilakukan berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas. Tugas Komisaris dan Dewan Pengawas antara lain, melaksanakan pengawasan terhadap pengurusan BUMN yang dilakukan oleh Direksi dan memberi nasehat kepada Direksi dalam melakukan kegiatan pengurusan BUMN. Tugas dan wewenang Komisaris dan Dewan Pengawas diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar BUMN.

Selain pengurusan dan pengawasan BUMN oleh organ-organ yang terkait, peranan Menteri juga sangat penting antara lain untuk member persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha. Menteri yang terkait dalam kegiatan BUMN adalah Menteri Keuangan. Kemudian untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi BUMN maka tugas dan kewenangan menteri keuangan pada BUMN telah dialihkan kepada Menteri BUMN, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Persero, perum, dan Perjan kepada Menteri BUMN.

 

 

.

Organ Perum (skripsi dan tesis)

Organ dalam Perum berbeda dari organ yang ada dalam Persero. Adapun organ dalam Perum antara lain, Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas. Menteri memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi. Menteri tidak bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan Negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila menteri baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan. [1]

Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum, atau langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum. Direksi Perum diangkat dan diberhentikan oleh menteri berdasarkan mekanisme peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi wajib mencurahkan tenaga, pikiran, dan perhatiannya secara penuh pada tugas, kewajiban, dan pencapaian tujuan

Direksi Perum wajib:

  1. Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan Perum yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
  2. Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang.
  3. Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan perusahaan kepada Menteri untuk memperoleh pengesahan.
  4. Direksi wajib menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri untuk memperoleh pengesahan.
  5. Direksi wajib memelihara risalah rapat dan menyelenggarakan pembukuan Perum.

Dalam Perum terdapat adanya Dewan Pengawas Ketentuan ini diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Dewan Pengawas ini diangkat dan diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan mekanisme dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan Pengawas ini bertugas untuk mengawasi Direksi dalam menjalankan kepengurusan Perum serta memberikan nasehat kepada Direksi.

Pendirian dan Tujuan Perum (skripsi dan tesis)

Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk memanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan[1].

Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, mengatakan bahwa: Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Perum dalam menjalankan kegiatannya mengacu pada maksud serta tujuan antara lain tertuang dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yaitu :

  1. Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengeloalaan perusahaan yang baik.
  2. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan tersebut, dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.

Organ Persero (skripsi dan tesis)

Organ BUMN Persero sama seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, oleh karena BUMN Persero pada hakekatnya adalah Perseroan Terbatas, yaitu meliputi RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam maupun di luar. [1]

Pada BUMN Persero pemerintah dapat bertindak selaku RUPS apabila seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, sementara apabila pemerintah terlibat dalam Penyertaan Modal Negara (PMN) sebagian, maka kedudukan pemerintah adalah sebagai salah satu pemegang saham. Seberapa besar pengaruh pemerintah dalam mengendalikan BUMN Persero tentunya dipengaruhi oleh seberapa besar peran pemerintah dalam PMN (dibuktikan dengan jumlah kepemilikan saham). Semakin besar peran pemerintah dalam PMN maka semakin berperan pula dalam mengendalikan perusahaan. Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan segala kegiatan perseroan mulai dari direksi dan/atau dewan komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan perseroan.

Prinsip-prinsip kepengurusan direksi berdasarkan ketentuan baik yang diatur dalam ketentuan UUPT maupun UU BUMN tidaklah berbeda, yaitu[2]:

  1. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas kepengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1) UUPT).
  2. Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab penuh atas kepengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 5 UU BUMN).
  3. Kewenangan kepengurusan direksi tidak dapat dibagi dengan organ lainnya (komisaris) sehingga setiap tindakan direksi yang dijalankan dengan itikad baik tidak perlu diikat dengan adanya persetujuan komisaris.
  4. Hal ini berarti direksi memiliki kekuasaan dan kemandirian dalam menjalankan tugas pengurusan BUMN. Oleh karena itu organ lain (RUPS dan komisaris) dan/atau instansi/lembaga pemerintah tidak boleh campur tangan (intervensi) dalam pengurusan BUMN.

Adapun tugas dan wewenang direksi menurut Pasal 92 ayat (1) UUPT, pengurusan perseroan terbatas dipercayakan kepada direksi.44 Lebih jelasnya Pasal 97 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1) UUPT menyatakan, bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Atas pengurusan direksi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa direksi ditugaskan dan berwenang untuk hal-hal sebagai berikut[3]:

  1. Mengatur atau mengelola kegiatan-kegiatan perseroan terbatas.
  2. Mengurus kekayaan perseroan.
  3. Mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan.

Tugas direksi dalam mengatur atau mengelola kegiatan-kegiatan usaha perseroan dan mengurus perseroan terbatas di atas tidak dapat dipisahkan dalam hal perseroan terbatas karena pengurusan kekayaan perseroan terbatas harus menunjang terlaksananya kegiatan usaha perseroan terbatas. Dengan ini direksi hanya mempunyai 2 (dua) tugas yaitu, pengelolaan dan perwakilan perseroan terbatas. Untuk pelaksanaan kedua tugas direksi itu perlu menjadi perhatian bahwa pengelolaan perseroan terbatas pada hakekatnya adalah tugas dari semua direksi tanpa kecuali (collegiate bestuur verant woordelijkheid).

Direksi yang juga disebut sebagai pengurus perseroan adalah alat perlengkapan perseroan yang melakukan semua kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dengan demikian bahwa ruang lingkup tugas direksi adalah mengurus perseroan. Menurut teori organism dari Otto Van Gierke, pengurus adalah organ atau alat perlengkapan dari badan hukum. Sama halnya seperti manusia yang mempunyai organ-organ tubuh misalnya, kaki, tangan dan lain sebagainya itu geraknya diperintah oleh otak manusia demikian pula gerak dari organ badan hukum diperintah oleh badan hukum itu sendiri, sehingga pengurus adalah personifikasi dari badan hukum itu

Pendirian dan Tujuan Perseroan (skripsi dan tesis)

Perusahaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modal atau sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah, yang tujuannya mengejar keuntungan. Maksud dan tujuan mendirikan persero ialah untuk menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan mengejar keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan.

Ciri-ciri Persero adalah sebagai berikut[1]:

1)      Pendirian persero diusulkan oleh menteri kepada presiden

2)      Pelaksanaan pendirian dilakukan oleh menteri dengan memperhatikan perundang-undangan

3)      Statusnya berupa perseroan terbatas yang diatur berdasarkan undang-undang

4)      Modalnya berbentuk saham

5)      Sebagian atau seluruh modalnya adalah milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan

6)      Organ persero adalah RUPS, direksi dan komisaris

7)      Menteri yang ditunjuk memiliki kuasa sebagai pemegang saham milik pemerintah

8)      Apabila seluruh saham dimiliki pemerintah, maka menteri berlaku sebagai RUPS, jika hanya sebagian, maka sebagai pemegang saham perseroan terbatas

9)      RUPS bertindak sebagai kekuasaan tertinggi perusahaan

10)  Dipimpin oleh direksi

11)  Laporan tahunan diserahkan ke RUPS untuk disahkan

12)  Tidak mendapat fasilitas negara

13)  Tujuan utama memperoleh keuntungan

14)  Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata

Pegawainya berstatus pegawai swasta

Sejarah Dan Perkembangan BUMN di Indonesia (skripsi dan tesis)

  1. Menurut pasal 1 UU No.19 tahun 2003, Badan Usaha Milik Negara yang biasanya disingkat menjadi BUMN memiliki pengertian, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dintiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dan kekayaan negara yang dipisahkan.

Adapun maksud dan tujuan didirilcannya BUMN, sebagai berikut:

  1. memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional pada umumnya dan penenimaan negara pada khususnya mengejar
  2. menyelenggarakan kemanfaatan umum benipa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
  3. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilalcsanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
  4. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi Iemah, koperasi dan masyarakat.

Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi yang memiliki tanggungjawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta rnewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan as nya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan :erundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban serta tejaran.

Sedangkan pengawasan BUMN dilakukan oleh Komisaris dan Dewan Pengawas yang bertanggungjawab pernth atas pengawasan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN. Sesuai dengan namanya-Badan Usaha Milik Negara, maka komisaris BUMN berasal dan pemerintah, yang dalam hal  ini diwakili oleh Menteri. Sama hakya dengan auggota Direksi, Konusanis dan Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya hams niematuhi anggaran dasar 3UMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandinian, akuntabilitas, pertanggungjawaban serta kewajaran. Untuk dapat mewakili BUMN, Komisaris an Dewan Pengawas harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan menurut UU No.19 tahun 2003.

Secara politik-ekonomi, berdirinya BUMN di Indonesia mempunyai 3 (tiga) alasan pokok. Pertama, sebagai wadah dan aset asing yang dinasionalisasi. Alasan- ini terijadi di tahun 1950-an, ketika Pemenintah menasionalisasi perusahaan asing. Nasionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan yang mendasar dalam struktur perekonomian Indonesia. Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan, 90% produksi perkebunan beralih tangan ke Pemerintah Indonesia. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luar negeri dan sektor jasa. Nasionalisasi mengakhiri dominasi ekonomi Belanda sekaligus menjadi titik awal pembentukan BUMN Indonesia. Kedua, membangun industri yang diperlukan masyarakat namun masyarakat sendiri (atau swasta) tidak mampu memasukinya, baik karena alasan investasi atau resiko usaha yang sangat besar. Ketiga, membangun industri yang sangat strategis, karena berkenaan dengan keamanan negara. Oleh karena BUMN merupakan pelaku ekonomi nasional yang ikut menentukan arah pembangunan ekonomi Indonesia di masa depan termasuk rnenjadi penggerak utama penrnlihan ekonomi nasiona), maka segala kebijakan berkenaan dengan BUMN harus benar-benar membawa nilai yang mendayagunakan BUMN untuk kepentingan nasional, bukan sekelompok orang

Arah pembangunan BUMN saat ini dinilai sudah tepat namun rnasih perlu ditingkatkan dan lebih fokus, terutama dalam konteks restrukturisasi maka benar-benar mampu meningkatkan corporate value dari BUMN. Restrukturisasi tidak dapat dinilai sebagai hal yang sudah selesai, karena BUMN nia di dalam lingkungan yang berubah, sehingga restrukturisasi merupakan anda melekat bagi setiap BUMN dalam rangka menjadikan dirinya adaptif.

Saat ini perekonomian bangsa Indonesia masih mengalami kemerosotan. Perekonomian yang didominasi oleh para pengusaha swasta yang dibanggakan oleh bangsa Indonesia, tidak ada artinya dalam menghadapi krisis maka yang memegang sebagian aset produktif perekonomian bangsa, sehingga begitu rnereka hancur, maka hancurlah seluruh fondasi perekonomian bangsa jcesia.

Melihat kenyataan yang ada, dapat dikatakan bahwa BUMN menjadi pelaku ekonomi yang efektif di Indonesia yang dapat memberikan harapan untuk membawa perekonomian bangsa ini keluar dan krisis yang telah kepanjangan. Apalagi, setelah Indonesia memasuki era reformasi, BUMN. segera meletakkan visi nya di atas visi reformasi bangsa Indonesia. Karena itu, dibangunlah fondasi reformasi BUMN yang diletakkan pada 3 (tiga) tahapan, yaitu[1]:

  1. Restrukturisasi atau peningkatan posisi kempetitif perusahaan melalui peijalanan fokus bisnis, perbaikan skala usaha dan penciptaan core competence.
  2. Profitisasi, yaitu peningkatan secara agresif efisiensi perusahaan sehingga meneapai profitabilitas dan nilai perusahaan yang optimum.
  3. Privatisasi, yaitu peningkatan penyebaran kepemilikan kepada masyarakat umum dan swasta asing maupun domestik untuk akses pendanaan, pasar, teknologi serta kapabilitas untuk bersaing ditingkat dunia.
  4. Upaya restrukturisasi yang dilakukan BUMN dapat dilihat dalam beberapa hal, yakni: pertama, seperti yang kita ketahui bahwa krisis moneter telah membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang hanya selalu meminjam dana, baik itu dari negara lain maupun Bank Dunia. Karena dana yang diperoleh dana pinjaman tersebut tidak dipergunakan seoptimal mungkin, sehingga bangsa Indonesia tidak mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Akibatnya, sedikit keuntungan yang diperoleh hanya digunakan untuk membayar bunga dan keuntungan yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat menjadi sangat kecil.

Gambaran perkembangan menggambarkan belum adanya BUMN sebagai pelaku ekonomi dan bangsa Indonesia yang mampu bersaing di perekonomian Internasional sehingga ancaman diambil alih oleh pesaing lain terasa jelas, contohnya saja, Petronas yang pemasarannya telah sampai pada 12 negara dan masuk dalani 500 perusahaan esar versi majalah Fortune, memililci aset sebesar 21 miliar dolar atau setara dengan 1/3 aset BUMN Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa BUMN Indonesia mengalami ketinggalan dalam melakukan kompetisi global dikarenakan belum opümalnya pengelolaan potensi yang sangat besar dari sebuah BUMN. Oleh karena itulah diperlukan restrukturisasi dan reformasi dalam tubuh BUMN hxlonesia.

Ada 8 (delapan) fondasi korporasi BUMN yang merupakan pijakan ogram reformasi BUMN, yaitu: Pertama, masterplan reformasi BUMN yang eIth diterima oleh Bank Dunia dan IMP. Kedua, pembangunan sistem manajemen yang bersifat universal, kompetitif, sensitif dan adaptif terhadap xrubahan lingkungan. Ketiga, sistem informasi manajemen. Keempat, kepemimpinan korporasi. Kelima, ketatalaksanaan dan etika korporasi. Keenam, erencanaan dan pengendalian. Ketujuh, sistem intensif dan remunerasi. Dan kedelapan, kesatuan dan kerukunan karyawan Program reformasi BUMN tersebut selain diharapkan dapat membantu

Selain beberapa program reformasi di atas, ada beberapa faktor penting yang hams diperhatikan dalam pengelolaan BUMN, yaitu perlunya diterapkan prinsip-prinsip good corporate governance dan menanamkan rasa kebersamaan dalam meningkatkan pemanfaatan sistem infonnasi yang semakin modem melalui website BUMN. Adapun pembuatan website tersebut sebagai perwujudan dan upaya bangsa Indonesia untuk menerapkan pninsip transparansi yang merupakan salah satu pninsip dalam good corporate governance. Karena melalui website BUMN, berbagai informasi yang up to date dapat diakses secara langsung, tidak hanya oleh para stakeholder tapi juga seluruh masyarakat Indonesia yang ingin mengetahui perkembangan BUMN Indonesia.

Saat ini, pninsip good corporate governance menjadi sebuah kebutuhan bag BUMN, karena dengan menerapkan prinsip tersebut, BUMN dan korporasi lain dapat tumbuh dan maju secara sehat serta mampu bersaing dalam pasar Internasional.

Pengertian Perlindungan Hukum (skripsi dan tesis)

Pengertian perlindungan dalam bahasa inggris adalah protection. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan adalah tempat berlindung. Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu:
1) Unsur tindakan melindungi;
 2) Unsur pihak-pihak yang melindungi;
 3) Unsur cara-cara melindungi.
Dengan demikian kata perlindungan mengandung makna yaitu, suatu tindakan perlindungan atau tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu. Kalau kita bicara tentang hukum pada umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama : keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
Perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan yang utama, karena berdasarkan pemikiran bahwa hukum sebagai sarana yang dapat mengakomodasi kepentingan dan hak seseorang secara komprehensif. Disamping itu, hukum memiliki kekuatan memaksa yang diakui secara resmi di dalam negara, sehingga dapat dilaksanakan secara permanen.
Berbeda dengan perlindungan melalui institusi lainnya seperti perlindungan ekonomi, atau politik misalnya, yang bersifat temporer atau sementara. Talcott Parsons seorang sosiolog percaya bahwa norma hukum dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan sosialisasi maupun sebagai mekanisme kontrol sosial. Termasuk mengendalikan benturan kepentingan yang terjadi atau mengintegrasikan kepentingan-kepentingan di masyarakat.3 Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Dalam memberikan perlindungan hukum dapat melalui cara-cara tertentu, antara lain yaitu dengan:

1) Membuat peraturan, bertujuan untuk
: (a) Memberikan hak dan kewajiban;
 (b) Menjamin hak-hak para subyek hukum.
 2) Menegakkan peraturan, melalui:
 (a) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventive) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perizinan dan pengawasan;
(b) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) pelanggaran UUPK, dengan mengenakan sanksi pidana dan hukuman;
(c) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative; recovery; remedy), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian

Pengertian Perumahan dan Pengembang (Developer) (skripsi dan tesis)

 

Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari pemukiman, baik perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan, rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta asset bagi pemiliknya. Dalam Pasal 5 No. 4 Tahun 1992 dengan tegas disebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk menempati dan memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa pemenuhan hak warga negara tersebut dapat dilakukan dengan cara membangun sendiri atau dengan cara sewa, membeli secara tunai atau angsuran, hibah dan cara lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut ketentuan Pasal 19 UU No. 1 Tahun 2011 pengadaan pembangunan atau penyelenggaraan rumah dan perumahan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, yang dilaksanakan oleh 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 20 Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati dan memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Penyelenggaraan perumahan meliputi:
 a) perencanaan perumahan,
b) pembangunan perumahan,
c) pemanfaatan perumahan, dan
d) pengendalian perumahan.
Perumahan tersebut mencakup rumah atau perumahan beserta prasarana, dan sarana umum.7 Menurut Pasal 5 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian developer, yaitu : Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya

Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (skripsi dan tesis)

Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam Pasal 19 UUPK 8/1999, yaitu:
 1). Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 3). Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4). Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
 Inti dari pasal di atas adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Seperti yang di sebutkan pada pasal 19 ayat (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Berdasarkan ayat 2 pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian 19 ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.

Akibat Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen (skripsi dan tesis)

Akibat hukum akan muncul apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya dengan baik dan konsumen akan melakukan keluhan (complain) apabila hasil yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian pada saat transaksi jual beli yang telah dilakukan. Dalam suatu kontrak atau perjanjian apabila pelaku usaha dapat menyelesaikan kewajibannya dengan baik maka pelaku usaha telah melakukan prestasi, tetapi jika pelaku usaha telah lalai dan tidak dapat menyelesaikan kewajibannya dengan baik maka akan timbul wanprestasi. Wanprestasi atau cidera janji adalah tidak terlaksananya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati didalam kontrak. Tindakan wanprestasi ini membawa konsekuensi timbulnya hak dari pihak yang dirugikan, menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi atau penggantian. Ada tiga macam bentuk wanprestasi yaitu: wanprestasi tidak memenuhi prestasi, wanprestasi terlambat memenuhi prestasi, dan wanprestasi tidak sempurna memenuhi prestasi.

Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen (skripsi dan tesis)

Hubungan antara produsen dengan konsumen dilaksanakan dalam rangka jual beli. Jual beli sesuai Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu perjanjian sebagaimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam pengertian ini, terdapat unsur-unsur: perjanjian, penjual dan pembeli, harga, dan barang. Dalam hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen terdapat hubungan kontraktual (perjanjian). Jika produk menimbulkan kerugian pada konsumen, maka konsumen dapat meminta ganti kerugian kepada produsen atas dasar tanggung jawab kontraktual (contractual liability). Seiring dengan revolusi industri, transaksi usaha berkembang ke arah hubungan yang tidak langsung melalui suatu distribusi dari pelaku usaha, disalurkan atau didistribusikan kepada agen, lalu ke pengecer baru sampai konsumen. Dalam hubungan ini tidak terdapat hubungan kontraktual (perjanjian) antara produsen dan konsumen

Hak dan Kewajiban Konsumen Dan Pelaku Usaha (skripsi dan tesis)

Hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu:
1. Hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
 2. Hak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
 3. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang yang sesuai dengan nilai tukar dan kondisi dan jaminan barang
 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang digunakan
 5. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
7. Hak untuk memperoleh ganti kerugian
 8. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat
 9. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu:
 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
 Hak pelaku uasaha dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
 2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
 2. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
 3. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
4. Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen (skripsi dan tesis)

Asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual
. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang dikonsumsi dan digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen dalam Pasal 3 UUPK 8/1999 bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa.
 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan tujuan dari usaha yang akan dicapai atau keadaan yang akan diwujudkan. Oleh karena itu, tujuan perlindungan konsumen perlu dirancang dan dibangun secara berencana dan dipersiapkan sejak dini. Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan penyelenggaraan sistem perlindungan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen disusun secara bertahap, mulai dari penyadaran hingga pemberdayaan. Pencapaian tujuan perlindungan konsumen tidak harus melalui tahapan berdasarkan susunan tersebut, tetapi dengan melihat urgensinya. Misal, tujuan meningkatkan kualiatas barang, pencapaiannya tidak harus menunggu tujuan pertama tercapai adalah meningkatkan kesadaran konsumen. Idealnya, pencapaian tujuan perlindungan konsumen dilakukan secara serempak.

Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha Hukum (skripsi dan tesis)

Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.1 Pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya disingkat UUPK 8/1999 adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
 Pengertian Konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 UUPK 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan’’. Sementara itu, pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 Angka 3 UUPK 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi

Standar Auditing (skripsi dan tesis)

Standar Auditing merupakan pedoman untuk membantu auditor dalam memenuhi tanggung jawab profesinya untuk melakukan audit atas laporan keuangan. Standar audit mencerminkan ukuran mutu pekerjaan audit laporan keuangan. Menurut standar audit referensi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), terdiri atas sepuluh standar, dan terbagi dalam tiga kelompok yaitu (Arens, 2010:42):

a. Standar Umum

b.Standar Pekerjaan Lapangan

c. Standar Pelaporan

Tujuan Laporan Keuangan (skripsi dan tesis)

Tujuan pelaporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi yang bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional. Pelaporan keuangan membantu memenuhi kewajiban pemerintah untuk menjadi akuntabel secara publik. Untuk tujuan tersebut, pelaporan keuangan harus mempertimbangkan kebutuhan para pengguna dan keputusan yang mereka buat. Oleh karena itu laporan keuangan PEMDA harus memenuhi kebutuhan pengguna yang menginginkan transparansi dan akuntabilitas atas pengelolaan keuangan publik untuk berbagai kepentingan pengguna salah satunya penggunaan informasi laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah baik pusat dan daerah berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), harus memiliki karakteristik dasar sebagai berikut:

a. Relevan

b. Andal

c. Dapat dibandingkan

d. Dapat dipahami

Pengertian Laporan Keuangan (skripsi dan tesis)

Laporan keuangan adalah catatan informasi suatu entitas pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja entitas tersebut. Laporan keuangan merupakan laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan. Tujuan laporan keuangan pemerintah adalah untuk menyajikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan serta untuk menunjukkan akuntabilitas 3 entitas pelaporan atas sumber daya yang dipercayakan kepada pemerintah. Pelaporan keuangan juga menyajikan informasi bagi pengguna mengenai:

1. Indikasi apakah sumber daya telah diperoleh dan digunakan sesuai dengan anggaran.

2. Indikasi apakah sumber daya diperoleh dan digunakan sesuai dengan ketentuan, termasuk batas anggaran yang ditetapkan oleh DPR/DPRD.

Teori keagenan (skripsi dan tesis)

Dalam teori keagenan yang dikemukakan oleh (Suwardjono, 2011, 485), dinyatakan bahwa hubungan keagenan adalah hubungan antara principal dan agen yang didalamnya agen bertindak atas nama dan untuk kepentingan principal dan atas tindakannya tersebut agen mendapatkan imbalan tertentu. Hubungan tersebut biasanya dinyatakan dalam kontrak. Dalam teori keagenan, agen biasanya dianggap sebagai pihak yang ingin memaksimumkan dirinya tetapi agen tetap selalu berusaha memenuhi kontrak. Eisenhardt (1989, 3) menjelaskan bahwa agency theory is concerned with resolving two problems that can occur in agency relationships. The first is the agency problem that arises when (a) the desires or goals of the principal and agent conflict and (b) it is difficult or expensive for the principal to verify what the agent is actually doing. The second is the problem of risk sharing that arises when the principal and agent have different attitudes toward risk. The problem here is that the principal and the agent may prefer different actions because of the different actions because of different risk preference. Eisendhart menjelaskan bahwa agency teori berfokus kepada penyelesaian masalah pada hubungan keagenan yaitu perbedaan tujuan antara principal dan agen serta biaya yang cukup tinggi untuk melakukan pengawasan kepada agen. Permasalahan lain yaitu masalah pembagian resiko dimana principal dan agen akan memiliki perbedaan aksi yang disebabkan tingkat perbedaan toleransi resiko.

Audit quality forum (2005,6) menjelaskan bahwa Perbedaan motivasi dan informasi yang asimetri menyebabkan kekhawatiran tentang keandalan informasi yang diberikan, yang berdampak pada tingkat kepercayaan principal kepada agen mereka. Ada berbagai mekanisme yang dapat digunakan untuk mencoba menyelaraskan kepentingan agen dengan principal sehingga memungkinkan principal untuk mengukur dan mengontrol perilaku agen mereka dan memperkuat kepercayaan agen. Paket remunerasi dan insentif bagi agen dapat memberikan suatu mekanisme yang efektif, seperti dalam mekanisme pasar atas kontrol perusahaan berupa perekrutan dan pemecatan dewan direksi. Mekanisme seperti itu, bagaimanapun, membuat potensi masalah baru yang berkaitan dengan pengukuran kinerja. Tugas agen dapat ditulis ke dalam kontrak dan membuat penegakan atas subjek dan denda atau alternatif adalah untuk mewujudkan tugas agen dalam perjanjian, seperti tugas ditempatkan kepada direksi di bawah hukum perusahaan. Mekanisme monitoring lain adalah audit. Audit memberikan pemeriksaan independen atas pekerjaan agen dan informasi disediakan oleh agen, yang membantu untuk menjaga kepercayaan dari principal.

Perlindungan Konsumen (skripsi dan tesis)

Hukum perlindungan konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut UUPK) yang 12 diundangkan tanggal 20 April 1999. Undang-undang ini mulai berlaku satu tahun sejak diundangkan yaitu sejak tanggal 20 April 2000. Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usaha untuk memenuhi kebutuhanya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju, hal ini mulai dibicarakan secara bersamaan dengan berkembangnya industri dan teknologi (Janus Sidabalok, 2006: 9). Hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban produsen, serta cara- cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu (Janus Sidabalok, 2006: 45). Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (1) UUPK, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Ada 3 (tiga) unsur utama yang termuat dalam pasal ini, (Wahyu Sasongko, 1999: 5) adalah:

a. Adanya jaminan;

b. Kepastian hukum;

c. Perlindungan konsumen. Adanya jaminan hukum dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang memberikan hak kepada konsumen untuk digunakan terhadap perbuatan yang  tidak/kurang baik dari pelaku usaha.

Dengan adanya peraturan perundang- undangan tersebut berarti hukum memberikan jaminan terhadap para subyek hukum atas kepentingan hak-haknya. Adanya kepastian hukum menunjukkan adanya perlindungan, tetapi perlindungan yang diberikan masih terbatas pada tingkat peraturan perundang-undangan, sedangkan kepastian juga menentukan adanya kejelasan, kekonsistenan, atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Perlindungan hukum akan terpenuhi jika syarat jaminan dan kepastian hukum terpenuhi.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlindungan konsumen dalam penelitian ini adalah usaha atau perbuatan untuk melindungi konsumen pengguna produk plastik sebagai kemasan makanan dan minuman yang berupa perlindungan hukum dalam bentuk ketentuan-ketentuan tertulis yang memuat hak-hak konsumen dan melalui lembaga-lembaga yang ditentukan oleh hukum untuk dapat menyelesaikan setiap perbuatan pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen pengguna produk plastik sebagai kemasan makanan dan minuman sehingga nantinya ada jaminan dan kepastian hukum yang diupayakan untuk melindungi konsumen.

Perlindungan Hukum (skripsi dan tesis)

Perlindungan hukum adalah perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Perlindungan hukum secara harfiah adalah suatu cara, proses, perbuatan melindungi berdasarkan hukum atau dapat pula suatu perlindungan yang diberikan melalui hukum tersebut (Muhammad Djumhana, 1999: 38). Perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) macam (Philipus M. Hadjon, 1987: 22) yaitu:

a. Perlindungan hukum yang preventif, bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa; b. Perlindungan hukum yang reprensif, bertujuan untuk menyelesaikan sengketa secara harfiah. Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu cara, proses, perbuatan melindungi berdasarkan hukum, atau dapat pula diartikan sebagai suatu perlindungan yang diberikan melalui hukum.

Di dalam perlindungan hukum terdapat 2 (dua) indikator utama, (phiipus M. Hadjon, 1987: 2) yaitu:

a. Mensyaratkan adanya norma yang memuat subtansi tentang apa yang dilindungi;

b. Mensyaratkan adanya penerapan pelaksanaan dan penegakan atas norma, sehingga jika terjadi tindakan-tindakan pelanggaran atas norma maka akan segera diambil suatu tindakan yang sesuai dengan norma tersebut.

Dengan demikian maka perlindungan hukum berkorelasi secara signifikan dengan kepastian hukum, artinya sesuatu dirasakan adanya perlindungan jika ada kepastian tentang norma hukumnya dan kepastian bahwa norma hukum tersebut dapat ditegakkan. Hal ini sesuai dengan asas perlindungan hukum yang menghendaki adanya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara para pihak yang berhubungan (Az. Nasution, 1995: 136). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah cara atau perbuatan untuk melindungi para pihak. Pihak yang menjadi fokus perlindungan hukum dalam penelitian ini adalah konsumen pengguna produk plastik sebagai kemasan makanan dan minuman. Untuk itu, yang dimaksud dengan perlindungan hukum dalam penelitian ini adalah cara atau perbuatan untuk melindungi konsumen pengguna produk plastik sebagai kemasan berdasarkan hukum atau undang-undang untuk mencegah pelanggaran yang dapat merugikannya

Pengertian Perlindungan Hukum (skripsi dan tesis)

Secara etimologi, perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, hal atau perbuatan, memperlindungi. Sedangkan secara terminologi, perlindungan diartikan sebagai perbuatan memberi jaminan atau keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung kepada yang dilindungi atas segala bahaya atau resiko yang mengancamnya. Hukum secara etimologi, adalah memutuskan sebuah perkara. Sedangkan secara terminologi yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia diartikan peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan disepakati baik secara tertulis maupun tidak tertulis, seperti peraturan, undang-undang yang mengikat setiap masyarakat tertentu.

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Jadi dapat disimpulkan pengertian perlindungan hukum pada hakikatnya hukum memberi perlindungan yaitu memberi kedamaian yang intinya adalah keadilan, dan keadilan yang diberikan oleh hukum tergantung hukum mana yang diatur oleh hukum tersebut.Jika yang diatur adalah hubungan antara negara dengan perseorangan maka keadilan yang diberikan adalah memberikan apa yang menjadi jatahnya, tetapi jika yang diatur hubungan antara perseorangan maka keadilan yang diberikan adalah memberikan pada semua orang sama banyak

Tujuan Perlindungan Konsumen (skripsi dan tesis)

Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 UUPK ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf

d. Pengelompokkan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat dilihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang harus dikualifikasi sebagai tujuan ganda.Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Dalam teori perlindungan hukum oleh Soedikno Mertokusumo yang menyebutkan kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh suatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Kemudian pendapat Philipus M. Hadjon, membedakan dua macam perlindungan hukum terutama bagi rakyat, yaitu Perlindungan hukum yang preventif dan perlidungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif

Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen (skripsi dan tesis)

Prinsip yang diterapkan dalam perlindungan terhadap konsumen antara lain :

a. Let the buyer beware (caveat emptor) Merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan. Prinsip ini mengadung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapatkan informasi yang memadai untuk menetukan pilihan terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.

b. The due care theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan Pasal 1865 BW yang secara tegas menyatakan bahwa barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

c. The pivity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1340 BW yang menyatakan tentang ruang

Asas Perlindungan Konsumen (skripsi dan tesis)

Asas-asas yang terkandung di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen, ada lima asas berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Asas Manfaat

Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannnya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa;

b. Asas Keadilan

Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini. Kedua belah pihak dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara seimbang. Karena itu, Undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha (produsen);

c. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang, sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak yang lain sebagai komponen bangsa dan Negara;

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa, konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi atau dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak mngancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya;

e. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. Artinya, undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, Negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya

Dasar Hukum Perlindungan Konsumen (skripsi dan tesis)

Dasar hukum perlindungan konsumen di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya dasar hukum tersebut, maka jelaslah sudah bahwa perlindungan hukum terhadap hak dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha mengenai pengaturannya. UndangUndang Perlindungan Konsumen ini memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan kepada konsumen yang berupa paying bagi perundang-undangan lainnya yang menyangkut konsumen, sekaligus mengintegrasikan perundangundangan itu, sehingga memperkuat penegakkan hukum dibidang perlindungan konsumen. Dilihat dari isinya, UUPK ini, memuat garis-garis besar perlindungan kepada konsumen yang memungkinkan lagi untuk di atur dalam perundangundangan tersendiri.

Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa, hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Penggolongan demikian karena masalah yang diaur dalam hukum konsumen adalah hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebuthan barang dan/atau jasa. Ada pula yang mengelompokan hukum konsumen kepada hukum bisnis atau hukum dagang, karena dalam rangkaian pemenuhan barang dan/atau jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis dan transaksi perdagangan, demikian pula digolongkan sebagai cabang dari hukum perdata disertai alasan bahwa hubungan antara konsumen dengan produsen atau pelaku usaha dalam aspek pemenuhan barang dan/atau jasa tersebut lebih merupakan hubungan-hubungan hukum perdata berkala.

Selain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum bagi perlindungan konsumen antara lain:

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001, Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional;

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001, Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen;

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001, Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya masyarakat;

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembekuan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makasar;

e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Peberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; N.T.H. Siahaan, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta

. f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/6/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat; g. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 480/MPP/KEP/6/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/6/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat;

h. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsmen pada Pemerintah Kota Makasar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta dan Kota Medan

Pengertian Perlindungan Konsumen

Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Namun kondisi dan fenomena tersebut, pada sisi lainnya dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada di posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui jalan promosi, cara penjualan, serta perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Timbul kesadaran konsumen, telah melahirkan salah satu cabang baru dalam ilmu hukum yaitu hukum Perlindungan Konsumen atau yang dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law). Hukum perlindungan konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di seluruh Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum,” diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen.

Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan Konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup

Kewajiban Pembeli (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Pasal 1491 KUHPerdata, ada dua hal yang wajib ditangggung atau dijamin oleh penjual terhadap barang yang dijualnya, yaitu:

a. Menjamin penguasaan barang yang dijual secara aman dan tenteram

b. Menjamin cacat tersembunyi atas barang tersebut, yang sedemikian rupa dapat menjadi alasan pembatalan

Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang telah diperjanjikan. Akan tetapi, apabila waktu dan tempat pembayaran tidak ditetapkan dalam perjanjian, pembayaran harus dilakukan di tempat dan pada waktu penyerahan barang dilakukan. Apabila pembeli tidak membayar harga barang tersebut, si penjual dapat menuntut pembatalan perjanjian sebagaimana halnya pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian jika penjual tidak menyerahkan barangnya.

Kewajiban Penjual (skripsi dan tesis)

Bagi penjual ada kewajiban utama, yaitu:

a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli.

b. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.

Konsekuensi dari jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Mengenai cacat tersembunyi maka penjual menanggung cacat-cacat yang tersembunyi itu pada barang yang dijualnya  meskipun penjual tidak mengetahui ada cacat yang tersembunyi dalam objek jual beli kecuali telah diperjanjikan sebelumnya bahwa penjual tidak diwajibkan menanggung suatu apapun. Tersembunyi berarti bahwa cacat itu tidak mudah dilihat oleh pembeli yang normal

Terjadinya Perjanjian Jual Beli (skripsi dan tesis)

 

Unsur-unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli.15 Seperti yang di atur di dalam Pasal 1465 KUHPerdata yang berbunyi, “harga beli harus ditetapkan oleh kedua belah pihak. Namun penaksirannya dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Jika pihak ketiga itu tidak suka atau tidak mampu membuat taksiran, maka tidaklah terjadi suatu pembelian”. Perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang, perjanjian jual beli akan ada saat terjadinya atau tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.

Asas-asas perjanjian diatur dalam KUHPerdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam membuat perjanjian yaitu :

1. Asas kebebasan berkontrak

2. Asas konsensualisme

3. Asas kepastian hukum

4. Asas itikad baik

5. Asas kepribadian

Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan“. Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri, dapat dilihat dalam Pasal 1324 dan Pasal 1325 KUHPerdata

Pengertian Jual Beli (skripsi dan tesis)

Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian jual beli adalah perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga

Overmacht (skripsi dan tesis)

Dalam perjanjian jual beli juga dikenal dengan overmacht. Overmacht yang diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Dua Pasal ini, terdapat dalam bagian yang mengatur tentang ganti rugi. Pasal 1244 KUHPerdata, menyatakan ; Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus menghukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu, yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terdugapun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun, jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. Pasal 1245 KUHPerdata, menyatakan ; Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat suatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama yang telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Overmacht ialah suatu keadaan yang “memaksa”. Overmacht menjadi landasan hukum yang “memaafkan“ kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht “mencegah” debitur menanggung akibat dan resiko perjanjian. Itulah sebabnya overmacht merupakan penyimpangan dari asas hukum. Menurut asas umum setiap kelalaian dan keingkaran mengakibatkan si pelaku wajib mengganti kerugian serta memikul segala resiko akibat kelalaian dan keingkaran. Akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang menimbulkan kerugian terjadi karena overmacht, debitur dibebaskan menanggung kerugian yang terjadi.Ini berarti apabila debitur tidak melaksanakan perjanjian yang menyebabkan timbulnya kerugian dari pihak kreditur. Kerugian terjadi semata-mata oleh keadaan atau peristiwa di luar kemampuan perhitungan debitur, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi dasar hukum yang melepaskan debitur dari kewajiban mengganti kerugian (schadevergoeding). Dengan kata lain, debitur bebas dan lepas dari kewajiban membayar ganti rugi, apabila dia berada dalam keadaan “overmacht”, dan overmacht itu menghalangi/ merintangi debitur melaksanakan pemenuhan prestasi. Dalam keadaan overmacht debitur dibebaskan dari kewajiban pemenuhan (nakoming) dan membayar ganti kerugian (schadevergoeding).

Untuk menjelaskan pembebasan debitur maka timbul beberapa teori, antara lain: Teori “ketidakmungkinan” (onmogeljkeheid). Ajaran “penghapusan atau peniadaan kesalahan” (afwezigheid van schuld) berarti dengan adanya overmacht meniadakan kesalahan, sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak boleh/tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur. Menurut ajaran “ketidakmungkinan”, overmacht adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam keadaan “tidak mungkin” melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Kadang-kadang overmacht itu hanya sedemikian rupa saja. Tidak sampai betulbetul merintangi/ menghalangi seseorang untuk melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan karena itu ketidakmungkinan itu harus dibedakan antara:

a. Ketidakmungkinan “absolut” atau ketidakmungkinan “objektif” (absolutonmogelijkheid).

b. Ketidakmungkinan “relative” atau ketidakmungkinan “subjektif” (relativeonmogelijkheid) Disamping adanya perbedaan antara ketidakmungkinan objektif/ absolut dan subjektif, perlu kiranya dipertanyakan, apakah dalam overmacht yang menimbulkan ketidakmungkinan melaksanakan pemenuhan perjanjian terhadap peranan “culpa (kealpaan)” pada diri debitur. Jika ada culpa pada debitur, rintangan yang terjadi buka semata-mata karena overmacht. Alasan ketidakmungkinan tidak memadai melepaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi.

Perbuatan Melawan Hukum (skripsi dan tesis)

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pengertian mengenai perbuatan melawan hukum tidak dicantumkan secara jelas dan pasti. KUHPerdata hanya mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila seseorang, yang menderita kerugian akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain, hendak mengajukan ganti rugi ke pengadilan. Adapun Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Tiap perbuata melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut

Akibat Hukum Perjanjian yang Sah (skripsi dan tesis)

Akibat hukum perjanjian yang sah berdasarkan pasal 1388 Kuhperdata adalah :

(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu.

(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian yang sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak pembuatnya, artinya pihak-pihak harus taat perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian yang ia buat, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.

Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai unsur subjektif, dan sebagai ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam hukum benda unsur subjektif berarti “kejujuran“ atau “kebersihan“ si pembuatnya. Namun dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu.

Jika dilihat dari arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. Dalam suatu masyarakat, dimana sudah ada peredaran uang berupa mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang paling lazim diadakan diantara para anggota masyarakat.Wujud dari perjanjian jual beli ialah rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling berjanji, yaitu si penjual dan si pembeli. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah; “suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUHPerdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang danpihak pembeli berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan.

Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual, akan berpindah tangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis sesua idengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan Perjanjian memiliki kaitan yang erat dengan jual beli, dimana jual beli adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang. Sedang pihak yang lain (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari persoalan milik tersebut. Kemudian dalam Pasal 1491 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: “

1. penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tentram;

2. tidak adanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian yang dikarenakan penjual tidak memenuhi prestasi yang telah di perjanjikan sebelemunya dalam pelaksanaan jual beli melalui perantara

Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian (skripsi dan tesis)

Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan 4 (empat) syarat:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Artinya sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan sehingga tercapai persetujuan antara kedua belah pihak.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin meskipun belum berumur 21 tahun dan tidak di bawah pengampuan.

c. Suatu pokok persoalan tertentu Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka.

d. Suatu sebab yang tidak terlarang (Causa yang Halal). Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, melainkan memperhatikan isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak, bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena mengenai suatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum

Asas-Asas Perjanjian (skripsi dan tesis)

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kata konsensualisme,

Asas konsesualisme berasal dari bahasa latin “consensus”, yang berarti sepakat. Asas konsensualisme, dapat disimpulkan pada Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata.

Yang berbunyi : “Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak”.

b. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)

Asas Pacta Sunt servanda berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan, dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang Undang, bagi mereka yang membuatnya”.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak, dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak, untuk :

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.

4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

d. Asas Kepatutan Asas ini, dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi bahwa , “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala suatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”, dimana berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian

e. Asas Kebiasaan Asas ini, dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat, untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti. Diatur dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUHPerdata.8 Pasal 1339 KUHPerdata, menyatakan ; “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat, untuk hal-hal yang dengan tegas, dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala suatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang “ Pasal 1347 KUHPerdata, menyatakan : “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,dianggap secara diamdiam dimasukan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.”

f. Asas iktikad baik (Goede Trouw) Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Itikad baik ada dua yaitu:

1) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

2) Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang g. Asas Kepribadian Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualian tentang janji untuk pihak ketiga terdapat dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ayat (1) berbunyi “Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu”, dan ayat (2) berbunyi “ Siapa pun yang telah  menentukan suatu syarat, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan akan mempergunakan syarat itu

Unsur-Unsur Perjanjian (skripsi dan tesis)

Apabila dirinci, perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Essensialia, unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian itu sah, merupakan syarat sahnya perjanjian. Unsur essentialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakankannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur essentialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari suatu perjanjian.

b. Naturalia, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. Unsur naturalia pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu yaitu berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacatcacat tersembunyi. Sehubungan dengan hal itu, maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala suatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”

c. Accidentalia, yaitu unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak, merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian, maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak