Akibat Hukum Perjanjian yang Sah (skripsi dan tesis)

Akibat hukum perjanjian yang sah berdasarkan pasal 1388 Kuhperdata adalah :

(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu.

(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian yang sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak pembuatnya, artinya pihak-pihak harus taat perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian yang ia buat, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.

Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai unsur subjektif, dan sebagai ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam hukum benda unsur subjektif berarti “kejujuran“ atau “kebersihan“ si pembuatnya. Namun dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu.

Jika dilihat dari arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. Dalam suatu masyarakat, dimana sudah ada peredaran uang berupa mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang paling lazim diadakan diantara para anggota masyarakat.Wujud dari perjanjian jual beli ialah rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling berjanji, yaitu si penjual dan si pembeli. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah; “suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUHPerdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang danpihak pembeli berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan.

Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual, akan berpindah tangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis sesua idengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan Perjanjian memiliki kaitan yang erat dengan jual beli, dimana jual beli adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang. Sedang pihak yang lain (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari persoalan milik tersebut. Kemudian dalam Pasal 1491 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: “

1. penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tentram;

2. tidak adanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian yang dikarenakan penjual tidak memenuhi prestasi yang telah di perjanjikan sebelemunya dalam pelaksanaan jual beli melalui perantara