Pengertian Pelayanan Kesehatan (skripsi dan tesis)

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat (Depkes RI, 2009

Standar Peralatan Farmasi (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, maka fasilitas peralatan harus memenuhi syarat terutama untuk perlengkapan peracikan dan penyiapan baik untuk sediaan steril, non steril, maupun cair untuk obat luar atau dalam. Fasilitas peralatan harus dijamin sensitif pada pengukuran dan memenuhi persyaratan, peneraan dan kalibrasi untuk peralatan tertentu setiap tahun. Peralatan yang paling sedikit harus tersedia: 1. Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan Obat baik steril dan nonsteril maupun aseptik/steril. 2. Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip. 3. Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan pelayanan informasi obat. 4. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika. 5. Lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk obat yang termolabil. 6. Penerangan, sarana air, ventilasi dan sistem pembuangan limbah yang baik. 7. Alarm.

Standar Bangunan Farmasi (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, maka fasilitas bangunan, ruangan dan peralatan harus memenuhi ketentuan dan perundang-undangan kefarmasian yang berlaku: 1. Lokasi harus menyatu dengan sistem pelayanan rumah sakit. 2. Terpenuhinya luas yang cukup untuk penyelenggaraan asuhan kefarmasian di rumah sakit. 3. Dipisahkan antara fasilitas untuk penyelenggaraan manjemen, pelayanan langsung pada pasien, dispensing serta ada penanganan limbah. 4. Dipisahkan juga antara jalur steril,bersih dan daerah abu-abu, bebas kontaminasi.   5. Persyaratan ruang tentang suhu, pencahayaan, kelembaban, tekanan dan keamanan baik dari pencuri maupun binatang pengerat. Fasilitas peralatan memenuhi persyaratan yang ditetapkan terutama untuk perlengkapan dispensing baik untuk sediaan steril, non steril maupun cair untuk obat luar atau dalam.

Pengelolaan Perbekalan Farmasi (skripsi dan tesis)

 Menurut Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (2010), pengelolaan perbekalan farmasi atau sistem manajemen perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan sampai evaluasi yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Kegiatannya mencakup perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan, penghapusan, monitoring dan evaluasi (Dirjen Binfar dan Alkes RI, 2010) 1. Perencanaan Perencanaan adalah salah satu fungsi yang menentukan dalam proses pengadaan farmasi di rumah sakit. Tujuan perencanaan adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah kebutuhan farmasi sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. 2. Pengadaan Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui, melalui: a. Pembelian b. Produksi/pembuatan sediaan farmasi c. Sumbangan. Tujuan dari pengadaan adalah mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak memerlukan tenaga serta waktu berlebihan. 3. Penerimaan Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender atau sumbangan. Penerimaan perbekalan farmasi harus dilakukan oleh petugas yang bertanggung jawab. Petugas yang dilibatkan dalam penerimaan harus terlatih baik dalam tanggung jawab dan tugas mereka, serta harus mengerti sifat penting dari perbekalan farmasi.
Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah maupun waktu kedatangan. 4. Penyimpanan Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memlihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat, tujuan penyimpanan adalah: a. Memelihara mutu sediaan farmasi b. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung-jawab c. Menjaga ketersediaan d. Memudahkan pencarian dan pengawasan.   5. Pendistribusian Distribusi adalah kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi dirumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Tujuan pendistribusian adalah tersedianya perbekalan farmasi di unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis dan jumlah. 6. Pengendalian Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan atau kekosongan obat di unit pelayanan. 7. Penghapusan Penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap perbekalan farasi yang tidak terpakai karena kadaluarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan perbekalan farmasi kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur. Tujuan penghapusan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang sudak tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar yang berlaku. Adanya penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan maupun mengurangi resiko terjadi penggunaan obat yang substandar. 8. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor transaksi perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di lingkungan IFRS.  Sedangkan, pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada pihak yang berkepentingan. Tujuannya adalah sebagai bahan evaluasi, memudahkan penelusuran surat dan laporan, serta tersedianya data yang lengkap untuk membuat perencanaan. 9. Monitoring dan Evaluasi Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan farmasu dirumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas para pengelola perbekalan farmasi dirumah sakit agar dapat ditingkatkan secara optimum

Tugas dan Fungsi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Kemenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, tugas pokok farmasi Rumah Sakit adalah sebagai berikut: 1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal. 2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesionalberdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi. 3. Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). 4. Memberi pelayanan bermutu melalui analisis, dan evaluasi untukmeningkatkan mutu pelayanan farmasi. 5. Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. 6. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi. 7. Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi. 8. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium rumah sakit. Fungsi farmasi rumah sakit menurut Rusly (2016) tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit adalah sebagai berikut:  1. Pengelolaan Perbekalan Farmasi a. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit b. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal c. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku d. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit e. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku f. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian g. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit. 2. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan a. Mengkaji instruksi pengobatan/ resep pasien b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan c. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan d. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan e. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga f. Memberi pelayanan informasi obat kepada pasien/keluarga  g. Melaporkan setiap kegiatan.

Tujuan Pelayanan Farmasi (skripsi dan tesis)

Menurut Siregar dan Amalia (2009), Tujuan pelayanan farmasi, yaitu: 1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia. 2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan kode etik profesi.  3. Meberikan pelayanan informasi dan konseling mengenai obat. 4. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. 5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisis, telaah dan evaluasi pelayanan. 6. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode

Pengertian Pelayanan Farmasi (skripsi dan tesis)

Suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, dan pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Kemenkes, 2004). Instalasi farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit (Permenkes, 2016). Instalasi farmasi rumah sakit merupakan instalasi yang bertugas untuk menyediakan, mengelola dan melaksanakan penelitian tentang obat-obatan (Aslam dan Tan, 2003).

Aspek –Aspek Kepuasan Pelanggan Apotik (skripsi dan tesis)

Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi atau penilaian setelah memakai suatu pelayanan, bahwa pelayanan yang dipilih setidak-tidaknya memenuhi atau melebihi harapan(Endang,2010).Terdapat lima atribut yang membangun kualitas pelayanan, kelimanya adalah sebagai berikut (Pasurama dalam Satibi dkk, 2015): 1. Tangible Aspek ini mencakup segala hal yang tampak dan dapat dilihat, seperti fasilitas fisikyang dapat digunakan oleh pelanggan, tampilan layout, peampilan karyawan, dan lain-lain. 2. Reliability Aspek kehandalan merupakan ukuran kemampuan suatu produk atau jasa memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan. 3. Responsiveness Aspek daya tanggap merupakan ukuran yang dirasakan pelanggan mengenai keinginan penyedia produk/ jasa untuk membantu pelanggannya. 4. Assurance Aspek jaminan mencakup kemampuan penyedia produk/ jasa dalam memberikan rasa percaya terhadap produk/jasanya kepada pelanggan. 5. Empathy Aspek perhatian merupakan ukuran yang dirasakan pelanggan mengenai kemudahan, komunikasi, dan perhatian penyedia produk/ jasa terhadap kebutuhanya. Selain kualitas pelayanan, terdapat beberapa faktor yang dapat diukur untuk mengetahui kepuasan pasien antara lain (Satibi dkk, 2015) : 1. Kemudahan Kemudahan pasien untuk mengakses apotek menjadi tujuan yang memengaruhi kepuasan pasien atau konsumen.Hal ini dapat dilakuka dengan mencari lokasi yang strategis dari segi transportasi (mudah menuju ke lokasi apotek), dekat 15 dengan penyedia pelayanan kesehatan misalnya rumah sakit, klinik, praktik dokter dan puskesmas, dekat dengan pemukiman penduduk yang memiliki kondisi sosisal, ekonomi dan budaya. 2. Kelengkapan obat Kosumen ketika mencari obat meginginkan seperti yang pasien cari, sehingga mereka tidak suka kalau ditolak resepnnya atau alasan obatnya belum tersedia di apotek.Hal ini harus disikapi oleh apotek untuk berupaya melengkapi obat dan sediaan lainya. 3. Delivery time (lama pelayanan) Lama pelayanan merupakan faktor paling kritis menurut pasien, delivery time adalah lama pelayanan obat dari pasien menyerahkan resep sampai pasien menerima obat dan informasi obat. Pelayanan obat di apotek merupakan titik jenuh terakhir sebelum obat diberikan ke pasien, yang sebelumnya pasien harus ke dokter, cek kesehatan di laboratorium, kemudian mendapat resep dan akhirnya membeli obat di apotek. 4. Keramahan karyawan Keramahan karyawan, terlebih tenaga kefarmasian dapat menjadi poin penting yang menyebabkan pasien loyal terhadap apotek. Pasien akan mencari apotek yang karyawanya mampu melayani dengan baik selalu tersenyum, aktif berkomunikasi, dan santun. Apabila pasien tidak sensitif dengan harga, keramahan karyawan menjadi faktor yang menentukan. 5. Harga Harga menjadi salah satu faktor konsumen memilih apotek, terutama pasien yang sensitif terhadap harga obatselalu berupaya menawar harga yang lebih murah. 6. Faktor Pribadi Menurut (Rangkuti, 2006) faktor yang berasal dari dalam individu dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yang meliputi : a. Jenis kelamin 16 Tingginya angka kesakitan pada perempuan dari pada laki-laki menyebabkan perempuan membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih banyak. b. Usia Kebutuhan seseorang terhadap suatu barang atau jasa akan semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Faktanya kebutuhan terhadap pengobatan sendiri semakin meningkat saat usia mulai meningkat dibandingkan dengan kebutuhan terhadap pelayanan preventif.Menurut depkes RI tahun 2009 ketegori usia sebagai berikut: a) Masa remaja awal = 12-16 tahun Fase ini ditandai dengan kebutuhan menjalin hubungan dengan teman sejenis,kebutuhan akan sahabat yang dapat dipercaya, bekerja sama dalam melaksanakan tugas, dan memecahkan masalah kehidupan, dan kebutuhan dalam membangun hubungan dengan teman sebaya yang memiliki persamaan, kerja sama, tindakan timbal balik sehingga tidak kesepian berlanjut sampai individu menemukan suatu pola perbuatan stabil yang memuaskan dorongan-dorongan genitalnya. b) Masa remaja akhir = 17-25 tahun Pada fase ini termasuk fase perkembangan pribadi manusia yang matang dan setelahitu memasuki usia lanjut. c) Masa dewasa = 26-45 tahun Pada fase ini tugas perkembangannya adalah belajar untuk saling ketergantungan dan tanggung jawab terhadap orang lain. d) Masa lansia = 46tahun sampai ke atas. Pada fase ini tugas perkembangannya adalah menyadari sebagai individu lansia dan menerima arti kehidupan dan kematian. c. Pendidikan Pendidikan yang lebih tinggi cenderung meningkatkan kesadaran akan status kesehatan dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Perbedaan tingkat pendidikan akan memeiliki kecenderungan yang berbeda dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.   d. Pekerjaan Secara langsung pekerjaan akan mempengaruhi status ekonomi seseorang. Seseorang yang berpenghasilan di atas rata-rata mempunyai minat yang lebih tinggi dalam memilih pelayanan kesehatan. Menurut Umar (2003) terdapat beberapa konsep umum yang biasa digunakan dalam mengukur kepuasan pelanggan (Merisya, 2007) : 1. Kepuasan pasien menyeluruh Dengan menilai dan juga membandingkan tingkat kepuasan pasien yang bersangkutan dengan yang mereka terima dari tempat lain. 2. Dimensi kepuasan pasien Dibagi menjadi empat langkah, pertama mengidentifiksi, kedua pasien menilai berdasarkan poin-poin kuesioner, ketiga membandingakn nilai dengan pesaing yang lain, keempat menentukan dimensi yang paling penting. Kuesioner dapat dibuat tanpa nama (anonim), dengan jawaban yang jujur dan spontan. Beberapa keuntungan dipilihnya kuisonair, yaitu (Portney & Watkins, 2000) : a. Lebih efisien daripada wawancara langsung dengan sampel/responden. b. Data dari sampel yang jumlahnya besar dan terdistribusi luas secara geografis, dapat dikumpulkan dalam waktu relative singkat. c. Responden menerima pertanyaan yang sama dan terstandar sehingga dapat mengurangi bias yang mungkin timbul karena interaksi antara responden dengan peneliti. d. Responden mempunyai waktu untuk berpikir tentang jawaban/informasi spesifik. 3. Konfirmasi harapan Menyimpulkan kesesuaian atau ketidaksesuaian antara harapan dengan kinerja yang diinginkan. 4. Minat pembelian ulang Kepuasan pasien diukur terhadap minat pembelian ulang terhadap barang yang dibeli. 5. Kesediaan untuk merekomendasi 18 Kepuasan pasien terhadap barang atau jasa yang diukur dengan cara merekomendasikan barang ataupun jasa. 6. Ketidakpuasan pasien Biasa digunakan dalam komplain, biaya garansi, dan lain-lain

Evaluasi Mutu Pelayanan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilakukan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan metode-metode sebagai berikut (Satibi dkk, 2015) : 1) Audit penyerahan obat kepada pasien Audit penyerahan obat kepada pasien dapat dilakukan dengan standar yang telah dibuat sebelumnya seperti obat harus diserahkan oleh apoteker, penyerahan obat disertai dengan informasi yang diperlukan. 2) Audit waktu pelayanan Menurut Menkes No. 35 tahun 2014 standar waktu pelayanan resep adalah 15 sampai 30 menit. Audit dapat dilakukan dengan mengacu pada standar tersebut. 3) Review Medication Error Di dalam pelayanan kefarmasian idealnya tidak boleh terdapat medication error, apabila terdapat medication error, maka dilakukan review yang dimulai dengan mendata kejadian medication error yang muncul, melakukan kategorisasi, kemudian dilakukan tindakan untuk pencegahanya. 4) Survei Kepuasan Pelanggan Survei kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan bantuan kuesioner. Apabila metode yang digunakan adalah audit, standar yang menjadi acuan 14 adalah proporsi customer yang merasa puas dan peningkatan jumlah customer dalam kurun waktu tertentu

Konseling Dalam Farmasi (skripsi dan tesis)

Menurut Menkes No. 73 tahun 2016 tentang standar kefarmasian di Apotek konseling merupakan proses interaktif antara petugas kefarmasian dengan pasien untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Tahap konseling (Menkes, 2016) : 1. Tahap pembuka komunikasi antara Apoteker dan pasien 2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime Questions yaitu : a. Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda. b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat anda. c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah menerima terapi obat tersebut. 3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat. 4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan penggunaan obat. 5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling (Menkes, 2016):   1 Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui). 2 Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi). 3 Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off). 4 Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin). 5 Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. 6 Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahapan dalam melakukan konseling antara lain (Rantucci dalam Satibi dkk, 2015): 1. Diskusi pembuka Yang digunakan untuk menciptakan kenyamanan pasien dan mendorong pasien untuk aktif pada sesi konseling. Diskusi pembuka berisi perkenalan diri dari petugas kefarmasian, cek nama pasien, percakapan sederhana untuk menciptakan kenyamanan, tujuan konseling serta waktu yang dibutuhkan untuk sesi konseling. 2. Pengumpulan informasi dan identifikasi kebutuhan Dimulai dengan menanyai informasi pasien seperti nama, alamat, berat badan, no telpon, usia dan jenis kelamin. Riwayat pasien juga perlu dipertanyakan apakah ada alergi atau obat yang digunakan sebelum datang kedokter. 3. Diskusi penyusunan rencana asuhan dan identifikasi kebutuhan. Pada sesi ini bagaiman masalah yang dialami pasien dapat dilakukan dengan subjective, objective, assesment dan planning. Pada sesi ini yang perlu digali masalah aktual ataupun potensial. Masalah yang muncul harus didiskusikan dengan pasien sehingga pasien sepakat dengan bagaimana penanganya. 4. Diskusi pemberian informasi dan edukasi 13 Diskusi pemberian informasi dan edukasi berupa nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu penggunaan obat, saran ketaatan, dan bagaimana pemantauan sendiri dari pasien, efek samping dan bagaimana penanganan efek samping jika muncul, petunjuk penyimpanan dan informasi pengulangan resep (jika ada Iter). 5. Diskusi penutup Diskusi terakhir berupa kesempatan pasien untuk bertanya, pasien diminta untuk mengulangi informasi penggunaan obat, menekankan hal yang penting, tindak lanjut konseling dan sumber informasi tambahan

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Menkes RI no. 73 tahun 2016, tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan obat pada sarana kefarmasian meliputi (Satibi dkk, 2015) : 1. Pelayanan resep Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tahapan pelayanan resep : a. Skrining resep Harus memenuhi persyaratan administratif, kesesuaian administratif dan melalui pertimbangan klinis. b. Penyiapan obat 9 Tahapan penyiapan obat yaitu peracikan, pemberian label etiket, memeriksa kemasan obat yang akan diserahkan, pemberian informasi obat, konseling, dan monitoring penggunaan obat. 2. Pelayanan OWA Menurut Menkes nomor 347 tahun 1990 Obat Wajib Apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. OWA dapat diharapkan meningkatkan masyarakat dalam mendorong dirinya untuk pengobatan sendiri agar meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Hal- hal yang menjadi alasan ditetapkanya peraturan OWA (Satibi dkk, 2015): a. Untuk meningkatakan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiriguna mengatasi masalah kesehatan, maka perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri. b. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan. c. Peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE perlu ditingkatkan dalam rangka pengobatan sendiri. Selain masyarakat dapat menggunakan obat tanpa resep (obat bebas dan obat bebas terbatas), dirasa perlu untuk mengadakan kriteria obat keras yang diberikan tanpa resep. Kriteria obat-obat yang dapat diberikan tanpa resep sesui Menkes nomor 919 tahun 1993, yaitu (Satibi dkk, 2015): a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun, dan orang tua di atas 65 tahun. b. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit. c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan. d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevelansinya tinggi di Indonesia e. Obat yang dimaksud memiliki rasio, khasiat, dan keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri. 10 3. Pelayanan obat bebas dan bebas terbatas Upaya untuk pengobatan sendiri untuk mngobati penyakit ringan, kronis setelah berkonsultasi dengan dokter hingga untuk melakukan peningkatan kesehatan disebut swamedikasi (Kertajaya, 2011). Swamedikasi yang benar dapat meningkatkan efek pengobatan yang optimal, namun bila pengobatan sendiri bersifat tidak rasional maka akan menyebabkan terjadinya kondisi yang tidak diinginkan (Kristina et al,. 2012). Pengobatan tanpa resep dalam masyarakat sudah dilakukan cukup luas, swamedikasi sendiri berlangsung dari interaksi manusia dengan lingkungan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua yakni faktor-faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar (Yusrizal, 2015).
 Faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosialekonomi, kebudayan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). 4. Pelayanan farmasi klinik Pelayanan farmasi klinik meliputi kegiatan pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat, konseling, home pharmacy care, pemantauan terapi obat dan monitoring efek samping obat (Satibi dkk, 2015). Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Menkes RI no. 73 tahun 2016, bertujuan untuk (Menkes RI, 2016) : 1) Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian; 2) Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; 3) Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Mutu pelayanan kefarmasian di apotek sangat diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah sadar bahwa apotek merupakan pintu akhir bertemunya obat dengan pasien. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 yang mengatur standar pelayanan kefarmasian di Apotek. Ada tiga aspek yang diatur untuk meningkatkan mutu pelayanan. Ketiga aspek tersebut adalah :   1. Aspek Manajerial Aspek manajerial yaitu aspek yang berkaitan dengan kegiatan perencanaan, pengadaan, peneriamaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. 2. Aspek Farmasi Klinik Aspek farmasi klinik yaitu aspek yang berkaitan dengan pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat, konseling, home car, pemantauan terapi obat, dan monitoring efek samping obat 3. Aspek pendukung Aspek pendukung merupakan komponen yang mendukung terselenggaranya kegiatan manajerial dan farmasi klinik, yaitu sumber daya manusia dan saranaprasarana.

Pengertian Apotek (skripsi dan tesis)

 Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Hartini dan Sulasmono, 2006).Disamping itu apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh apoteker yaitu sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Pelayanan kefarmasian yang dimaksud yaitu suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien, meliputi pembuatan termasuk pengendalian kualitas sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Menkes RI, 2013). Menurut PP No.51 tahun 2009, tugas dan fungsi apotek adalah (Menkes RI, 2009) : 1) Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. 2) Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. 3) Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi, antara lain obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika. 4) Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
 Selain itu, berdasarkan Permenkes RI nomor 9 tahun 2017 tentang apotek mengatur persyaratan pendirian apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi (Menkes RI, 2017): 1) Lokasi Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengatur persebaran apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian. 2) Bangunan Bangunan apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang lanjut usia. Bangunan apotek harus bersifat permanen, yaitu dapat merupakan bagian dan/atau terpisah dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis. 3) Sarana, prasarana, dan peralatan Suatu apotek harus memiliki sarana dan prasarana yang mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana apotek bertujuan untuk menunjang dan menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian sarana yang dimaksud yaitu sebagai berikut: a. Ruang penerimaan resep Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien. b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan  resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner). c. Ruang penyerahan obat Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep. d. Ruang konseling Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien. e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan Bahan medis habis pakai ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari obat, pallet, pendingin ruangan (ac), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu. f. Ruang arsip Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu. Prasarana apotek yang dimaksud yaitu paling sedikit terdiri atas: a. Instalasi air bersih; b. Instalasi listrik; c. Sistem tata udara; d. Sistem proteksi kebakaran.
Peralatan apotek meliputi semua peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, yaitu sebagai berikut : a. Peralatan, sebagaimana dimaksud antara lain meliputi rak obat, alat peracikan, bahan pengemas obat, lemari pendingin, meja, kursi, komputer. b. Formulir catatan pengobatan pasien sebagaimana dimaksud merupakan catatan mengenai riwayat penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan atas permintaan tenaga medis dan catatan pelayanan apoteker yang diberikan kepada pasien. 4) Ketenagaan Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan apotek dapat dibantu oleh apoteker lain, tenaga teknis kefarmasian dan/atau tenaga administrasi. Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud wajib memiliki surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rawat Jalan (skripsi dan tesis)

Rawat jalan adalah pelayanan kedokteran yang di sediakan untuk pasien, bukan dalam bentuk rawat inap (hospitalis). Pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menginap (opname)(15) . Lima tahapan alur pelayanan standar puskesmas rawat jalan adalah sebagai berikut(16) : 1. Mendaftarkan identitas pasien di ruang loket/kartu Pengunjung harus mendaftarkan diri di loket/kartu agar tercatat dalam kartu kunjungan pasien, dengan menunjukkan kartu identitas (KTP, ASKES, Jamkesmas,Jamkesda) yang masih berlaku. 2. Menunggu giliran panggilan di ruang tunggu Silahkan menuju ruang tunggu puskesmas, menanti giliran panggilan pelayanan yang di perlukan. 3. Menuju ruang periksa pelayanan rawat jalan Setelah mendapatkan giliran di panggil oleh petugas, pasien di arahkan langsung menuju tempat pemeriksaan dokter (sesuai keluhan yang di alaminya).  Mengambil resep obat di ruang apotek Pengunjung yang mendapatkan resep obat, setelah di periksa dokter, di mohon menunggu dengan sabar pelayanan obat yang bisa di tebus langsung di ruangan apotek puskesmas. 5. Meninggalkan ruangan puskesmas : Para pengunjung mengecek kembali perlengkapan yang di bawah dan di wajibkan selalu berpartisipasi aktif menjaga kebersihan dan keasrian ruangan pelayanan dan halamam puskesmas.

Pelayanan Puskesmas (skripsi dan tesis)

Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas adalah pelayanan kesehatan menyeluruh yang meliputi: a. Kuratif (pengobatan). b. Preventif (upaya pencegahan). c. Promotif (peningkatan kesehatan). d. Rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelaksanaan upaya kesehatan di puskesmas harus selalu memperhatikan mutu dan akses pelayanan kesehatan. Seperti yang telah diamanatkan dalam Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 pasal 7 disebutkan bahwa “Dalam menyelenggarakan fungsinya, puskesmas berwenang untuk melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses pelayanan kesehatan

Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas (skripsi dan tesis)

Puskesmas sebagai salah satu fasilitas kesehatan memiliki prinsip dalam penyelenggaraannya. Prinsip tersebut antara lain: a. Paradigma sehat Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi risiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. b. Pertanggungjawaban wilayah Puskesmas menggerakkan dan bertanggungjawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. c. Kemandirian masyarakat Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. d. Pemerataan Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat secara adil dan merata tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya, dan kepercayaan. e. Teknologi tepat guna Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk pada lingkungan. f. Keterpaduan dan kesinambungan Puskesmas mengintegrasikan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan dan masyarakat lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan sistem rujukan yang didukung dengan manajemen puskesmas

Fungsi Puskesmas (skripsi dan tesis)

Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Puskesmas memiliki fungsi sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat dan perseorangan di wilayah kerjanya. Dalam menyelenggarakan fungsinya sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat, puskesmas memiliki beberapa wewenang, antara lain  : a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan. b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan. c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan. d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain yang terkait. e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat. f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas. g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan. h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan cakupan pelayanan kesehatan. i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit.

Peran Puskesmas (skripsi dan tesis)

Puskesmas memiliki peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana teknis. Puskesmas dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk keikutsertaan puskesmas dalam menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Pada masa mendatang, puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu

Definisi Pusat Kesehatan Masyarakat (skripsi dan tesis)

Pusat Kesehatan Masyarakat yang disebut puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat   di wilayah kerjanya(13) . Pelayanan kesehatan di Puskesmas harus bersifat menyeluruh atau yang disebut dengan Comprehensive Health Care Service yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Prioritas yang harus dikembangkan oleh Puskesmas harus diarahkan ke bentuk pelayanan kesehatan dasar (basic health care services) yang lebih mengedepankan upaya promosi dan pencegahan (public health service)

Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

Pengendalian mutu pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah terkait obat atau mencegah terjadinya kesalahan pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication error), yang bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety). Kegiatan pengendalian mutu pelayanan kefarmasian meliputi(3) : a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar. b. Pelaksanaan, yaitu: 1) Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja (membandingkan antara capaian dengan rencana kerja) 2) Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian. c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu: 1) Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar. 2) Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.

Pelayanan Farmasi Klinik (skripsi dan tesis)

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat
dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik di
puskesmas rawat jalan meliputi(3):
a. Pengkajian Resep, Penyerahan Obat dan Pemberian Informasi Obat
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk
pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi
meliputi:
1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
2) Nama, dan paraf dokter
3) Tanggal resep
4) Ruangan/unit asal resep
Persyaratan farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan
2) Dosis dan jumlah obat
3) Stabilitas dan ketersediaan
4) Aturan dan cara penggunaan
5) Inkompatibilitas (ketidakcampuran obat)
Persyaratan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat
2) Duplikasi pengobatan
3) Alergi, interaksi dan efek samping obat
4) Kontra indikasi
5) Efek adiktif.
Kegiatan penyerahan (Dispensing) dan pemberian informasi
obat merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap
menyiapkan/meracik obat, memberikan label/ etiket, menyerahan
sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai
pendokumentasian.
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Kegiatan ini meliputi:
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara
pro aktif dan pasif.
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui
telepon, surat atau tatap muka.
3) Membuat buletin, leaflet, label obat, poster, majalah dinding dan
lain-lain.
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap, serta masyarakat.
5) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian
dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan bahan medis
habis pakai.
6) Mengoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan pelayanan
kefarmasian.
c. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat
pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan
dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar
mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan
pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek
samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan
obat.
d. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan
terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
e. Pemantauan Terapi Obat
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan
efikasi dan meminimalkan efek samping.
f. Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat
secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang
digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional)
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian,
pengorganisasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien, dan
standar prosedur operasional sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Sumber daya kefarmasian yang dimaksud meliputi sumber daya manusia dan sarana dan prasarana.
Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal
harus dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai
penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian
sesuai kebutuhan. Jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung
berdasarkan rasio kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan
serta memperhatikan pengembangan Puskesmas. Rasio untuk
menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas adalah 1 (satu) Apoteker
untuk 50 (lima puluh) pasien perhari. Semua tenaga kefarmasian harus
memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik untuk melaksanakan
pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk
puskesmas, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Semua tenaga kefarmasian di puskesmas melaksanakan pelayanan
kefarmasian berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang
dibuat secara tertulis, disusun oleh kepala ruang farmasi dan ditetapkan
oleh kepala puskesmas(3)
Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi sebagai ruang
penerimaan resep, ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi
sediaan secara terbatas), ruang penyerahan obat, ruang konseling, ruang
penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai, ruang arsip

Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai (skripsi dan tesis)

Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan salah
satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan,
permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,
pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuan
pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai adalah untuk menjamin
kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat dan bahan medis
habis pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan
kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem
informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
Kegiatan pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai meliputi(3):
a. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai.
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis
habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka
pemenuhan kebutuhan puskesmas.
b. Permintaan obat dan bahan medis habis pakai.
Tujuan permintaan obat dan bahan medis habis pakai adalah
memenuhi kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di puskesmas,
sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan
diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan dan kebijakan pemerintah
daerah setempat.
c. Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai.
Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan
dalam menerima obat dan bahan medis habis pakai dari instalasi
farmasi Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah
diajukan.
d. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai.
Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai merupakan suatu
kegiatan pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak
hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya
tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bentuk dan jenis sediaan
2) Stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban)
3) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar
4) Narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus.
e. Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai.
Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan
pengeluaran dan penyerahan obat dan bahan medis habis pakai secara
merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi
puskesmas dan jaringannya.
f. Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai.
Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan
untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan
strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/ kekosongan obat di unit pelayanan
kesehatan dasar. Pengendalian obat terdiri dari:
1) Pengendalian persediaan
2) Pengendalian penggunaan
3) Penanganan obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
g. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan.
Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan
dalam rangka penatalaksanaan obat dan bahan medis habis pakai
secara tertib, baik obat dan bahan medis habis pakai yang diterima,
disimpan, didistribusikan dan digunakan di puskesmas atau unit
pelayanan lainnya.
h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis
pakai.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis
pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
1) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai sehingga dapat
menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan
2) Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan obat dan bahan
medis habis pakai
3) Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan

Standar Pelayanan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

Standar pelayanan kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(3) . Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan

Administrasi Apotik (skripsi dan tesis)

Administrasi merupakan proses pencatatan seluruh kegiatan teknis yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Menurut Anief (1995), administrasi yang biasa dilakukan apotek meliputi: a. Administrasi pembukuan yaitu pencatatan uang masuk dan uang yang keluar. b. Administrasi penjualan yaitu pencatatan pelayanan resep, penjualan bebas dan penjualan secara tunai dan kredit. c. Administrasi pergudangan yaitu pencatatan penerimaan dan pengeluaran barang.   d. Administrasi pembelian yaitu pencatatan pembelian harian secara tunai atau kredit. e. Administrasi piutang yaitu pencatatan penjualan kredit, pelunasan piutang dan penghasilan sisa piutang. f. Administrasi kepegawaian yaitu pencatatan absensi karyawan dan gaji

Manajemen Apotek (skripsi dan tesis)

Manajemen dapat diartikan sebagai salah satu usaha atau kegiatan yang dilaksanakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prinsip-prinsip dasar manajemen dapat dipelajari tetapi hasil yang diperoleh dalam penerapannya masih banyak tergantung pada bakat-bakat perorangan. Manajemen yang baik akan memberikan hasil yang memuaskan sesuai harapan (Anief, 1995). Menurut Umar (2005), dalam mengelola sebuah apotek berlaku cara mengelola fungsi-fungsi manajemen meliputi: a. Fungsi perencanaan (planning) yaitu menyusun program kerja untuk mencapai suatu tujuan (sasaran). b. Fungsi pengorganisasian (organization) yaitu membagi-bagi pekerjaan yang ada di apotek dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab pada setiap fungsi. c. Fungsi Kepemimpinan (actuating) yaitu melaksanakan program kerja sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab pekerjaannya serta sasaran yang akan dicapainya. d. Fungsi pengawasan (controlling) yaitu melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan sistem operasional dan sasaran yang dicapai melalui indikator tingkat keberhasilan pada setiap fungsi. Apotek dalam mendistribusikan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan dari pemasok kepada konsumen memiliki 5 fungsi kegiatan (Umar, 2005) yaitu: a. Pembelian (phurcashing) b. Gudang (ware house) c. Pelayanan dan penjualan (servicing and selling) d. Keuangan (finanching) e. Pembukuan (accounting) Seorang APA selain menguasai ilmu kefarmasian, juga harus dibekali dengan ilmu lainnya seperti ilmu pemasaran (marketing) dan ilmu akuntansi (accounting). Sehingga seorang APA dalam menjalankan profesi apotekernya di apotek tidak hanya sebagai penanggung jawab teknik kefarmasian saja, melainkan juga dapat mengelola apotek sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan tanpa harus menghilangkan fungsi sosialnya di masyarakat (Umar, 2005).

Asisten Apoteker (skripsi dan tesis)

Asisten apoteker memiliki tugas dan fungsi dalam pengelolaan apotek, yaitu (Umar, 2005): 1. Fungsi pembelian meliputi: mendata kebutuhan barang, membuat kebutuhan pareto barang, mendata pemasok, merencanakan dan melakukan pembelian sesuai dengan yang dibutuhkan, kecuali ketentuan lain dari APA dan memeriksa harga. 2. Fungsi gudang meliputi: menerima dan mengeluarkan berdasarkan fisik barang, menata, merawat dan menjaga keamanan barang.   3. Fungsi pelayanan meliputi: melakukan penjualan dengan harga yang telah ditetapkan, menjaga kenyamanan ruang tunggu, melayani konsumen dengan ramah dan membina hubungan baik dengan pelanggan.

Apoteker (skripsi dan tesis)

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (PP 51, 2009). Apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pemimpim dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola sumber daya (manusia, fisik dan anggaran) secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes RI, 2004)

Apotek (skripsi dan tesis)

Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh apotek untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah (Menkes RI, 2004): 1. Papan nama apotek yang dapat terlihat dengan jelas, memuat nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor izin apotek dan alamat apotek. 2. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien yaitu bersih, ventilasi yang memadai, cahaya yang cukup, tersedia tempat duduk dan ada tempat sampah. 3. Tersedianya tempat untuk mendisplai obat bebas dan obat bebas terbatas serta informasi bagi pasien berupa brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan. 4. Ruang untuk memberikan konseling bagi pasien. 5. Ruang peracikan. Universitas Sumatera Utara 6. Ruang/tempat penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. 7. Ruang/tempat penyerahan obat. 8. Tempat pencucian alat. 9. Peralatan penunjang kebersihan apotek

Pekerjaan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan (PP 51, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 yang dimaksud dengan: a) Nilai Ilmiah adalah Pekerjaan Kefarmasian harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi. b) Keadilan adalah penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau serta pelayanan yang bermutu. c) Kemanusiaan adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial dan ras. d) Keseimbangan adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat. e) Perlindungan dan keselamatan adalah Pekerjaan Kefarmasian tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan pasien.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian adalah untuk: 1. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. 2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan dan 3. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian. Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian berupa: a. Apotek b. Instalasi farmasi rumah sakit c. Puskesmas d. Klinik  e. Toko obat atau f. Praktek bersama Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Pelayanan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI, 2004). Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan perlindungan terhadap pasien berfungsi sebagai (Bahfen, 2006): 1. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat dan menentukan metode penggunaan obat. 2. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat. 3. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan. 4. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien. 5. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi pasien penyakit kronis.  6. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat darurat. 7. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat. 8. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan. 9. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan

Puskesmas (skripsi dan tesis)

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar-Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah, yaitu desa/kelurahan atau dusun/rukun warga (RW) (Depkes, RI., 2006). Tolak ukur penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama adalah Puskesmas yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurangkurangnya satu di setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya.Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni: a. pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, b. pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan c. pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Prasarana dan sarana yang harus dimiliki Puskesmas untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut: a. papan nama “apotek” yang dapat terlihat jelas oleh pasien b. ruang tunggu yang nyaman bagi pasien  c. peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan miligram, mortir-stamper, gelasukur, corong, rak alat-alat, dan lainlain d. tersedia tempat dan alat untuk mendisplaiin formasi obat bebas dalam upaya penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat brosur, dan majalah kesehatan e. tersedia sumber informasi dan literature obat yang memadai untuk pelayanan informasi obat, antara lain: Farmakope Indonesia edisiterakhir, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI) f. tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai, g. tempat penyimpanan obat khusus, seperti lemari es untuk supositoria, serum dan vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku h. tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau computer agar pemasukan dan pengeluaran obat termasuk tanggal kadaluarsa obat dapat dipantau dengan baik i. tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk melakukan pelayanan informasi obat (Depkes, RI., 2006).

Faktor – faktor kepuasaan pasien (skripsi dan tesis)

Mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap apotek adalah lebih sulit. Kepuasan konsumen adalah merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat kepuasan konsumen yaitu kualitas pelayanan pada konsumen. Kepuasan konsumen adalah merupakan faktor penentu kesetiaan terhadap apotek (Sari, 2008). Menurut Tjiptono, dkk., (2001), kepuasan konsumen ditentukan oleh beberapa faktor: a. Sikap pendekatan petugas medis terhadap konsumen. b.Prosedur yang tidak membingungkan konsumen. c.Waktu tunggu yang tidak terlalu lama yang dirasakan oleh konsumen. d.Keramahan petugas kesehatan terhadap konsumen.  e.Proses penyembuhan yang dirasakan konsumen. Menurut Budiastuti (2002), kepuasan pasien terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor antara lain: a. Kualitas produk atau jasa Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi pasien terhadap kualitas produk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan. b. Kualitas pelayanan Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkannya. c. Faktor Emosional Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. d. Harga Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.  e. Biaya Mendapatkan produk atau jasa, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan. Sumber daya manusia untuk mengelola apotek adalah seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus: a. mampu menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, b.mampu mengambil keputusan yang tepat, c. mampu berkomunikasi antar profesi, d.mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, e. mampu mengelola SDM secara efektif,selalu belajar sepanjang karier. f. membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes, RI., 2004). Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa atau campuaran produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan konsumen (Harianto, 2005). Terdapat lima determinan penilaian jasa yaitu: a. Kehandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. b. Ketanggapan (responsiveness), kemauan untuk membantu pelanggan yang memberikan jasa dengan cepat. c. Keyakinan (confidence), pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau “assurance”. Universitas Sumatera Utara 22 d. Empati (emphaty), syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan. e. Berwujud (tangible), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi (Supranto, 2006)

Definisi kepuasan pasien (skripsi dan tesis)

Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang terjadi setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja dan harapan-harapannya (Kothler, 1999). Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Pengukuran kepuasan konsumen  merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif. Apabila konsumen merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan konsumen, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Sari, 2008). Kepuasan konsumen dapat mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang sama. Hal ini akan merupakan promosi dari mulut ke mulut bagi calon konsumen lainnya yang diharapkan sangat positif bagi usaha apotek (Supranto, 2006)

Indikator mutu pelayanan resep (skripsi dan tesis)

Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, digunakan tujuh imdikator untuk evaluasi mutu pelayanan yaitu: a. Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. b. Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca. c. Kemasan obat yang diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. d. Penyerahan obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien. . Informasi obat Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. f. Konseling Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. g. Monitoring penggunaan obat Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

Skrining Resep (skripsi dan tesis)

Skrining resep adalah hasil evaluasi dengan cara membandingkan literatur dan ketentuan yang telah ditetapkan terhadap resep dokter. Tahapan proses skrining resep meliputi: a. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu : nama dokter, nomor ijin praktek, Alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis kelamin dan berat badan pasien b. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu : bentuk sediaan, dosis, frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat   c. Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis,durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya), membuat kartu pengobatan pasien d. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan (Menkes, RI., 2004).

Standard penulisan resep (skripsi dan tesis)

Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe (ambillah). Dibelakang tanda ini (R/) biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Suatu resep yang lengkap harus memuat: a. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter atau dokter gigi b. Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat c. Memberi tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep d. Tanda tangan atau paraf dokter penulisan resep sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlalu e. Nama pasien, jenis kelamin, umur, serta alamat f. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya melebihi dosis maksimal.

Resep (skripsi dan tesis)

 

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Menkes, RI., 2014). Resep harus ditulis secara jelas dan lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap ,Apoteker harus menanyakan obat kepada dokter penulis resep

Pelayanan Farmasi klinis (skripsi dan tesis)

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(Menkes, RI., 2014). Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk: a. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. b. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas, keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai. c. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian. d. Melaksanakan kebijakan obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara rasional (Menkes, RI., 2014). Pelayanan farmasi klinik meliputi: a. Pengkajian Resep, Penyerahan obat, dan Pemberian Informasi obat Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi: i. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien. ii. Nama, dan paraf dokter. iii. Tanggal resep. iv. Ruangan/unit asal resep. Persyaratan farmasetik meliputi: i. Bentuk dan kekuatan sediaan. ii. Dosis dan jumlah obat. iii. Stabilitas dan ketersediaan. iv. Aturan dan cara penggunaan. v. Inkompatibilitas (ketidakcampuran obat). Persyaratan klinis meliputi: i. indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat. ii. Ketepatan Duplikasi pengobatan. iii. Alergi, interaksi dan efek samping obat.
 iv. Kontra indikasi. v. Efek adiktif. Kegiatan penyerahan (Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian. Tujuan: i. Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan. ii. Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan. b. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuan: i. Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat. ii. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat (contoh: kebijakan permintaan obat oleh jaringan dengan mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang memadai). iii. Menunjang penggunaan obat yang rasional (Menkes, RI., 2014).  c. Konseling Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat. Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat risiko masalah terkait obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat (Menkes, RI., 2014). d. Ronde/Visite Pasien Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain. Tujuan: i. Memeriksa obat pasien. ii. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan obat dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.  iii. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan obat. iv. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien. Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan obat. Untuk itu, perlu juga dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan obat sehingga tercapai keberhasilan terapi obat. e. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat (ESO) Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Tujuan: i. Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang. ii. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan (Menkes, RI., 2014). f. Pemantauan terapi obat (PTO) Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Tujuan: i. Mendeteksi masalah yang terkait dengan obat. ii. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan obat (Menkes, RI., 2014). g. Evaluasi penggunaan obat Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional). Tujuan: i. Mendapatkan gambaran pola penggunaan obat pada kasus tertentu. ii. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan obat tertentu (Menkes, RI., 2014).

Pengelolaan perbekalan kefarmasian (skripsi dan tesis)

Pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan (Menkes, RI., 2014). Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjamin terlaksananya pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang baik. Kegiatan pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai meliputi: a. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan: i. perkiraan jenis dan jumlah obat dan bahan medis habis pakai yang mendekati kebutuhan; ii. meningkatkan penggunaan obat secara rasional; dan iii. meningkatkan efisiensi penggunaan obat. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di Puskesmas. b. Permintaan obat dan bahan medis habis pakai Tujuan permintaan obat dan bahan medis habis pakai adalah memenuhi kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat. c. Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan dalam menerima obat dan bahan medis habis pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya adalah agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat dan bahan medis habis pakai berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Masa kedaluwarsa minimal dari obat yang diterima disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan. d. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai merupakan suatu kegiatan pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai dengan mempertimbangkan halhal sebagai berikut: i. bentuk dan jenis sediaan; ii. stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban); iii. mudah atau tidaknya meledak/terbakar; dan iv. narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus. . Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat dan bahan medis habis pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. f. Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian obat terdiri dari: i. Pengendalian persediaan; ii. Pengendalian penggunaan; dan iii. Penanganan Obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa. g. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatalaksanaan obat dan bahan medis habis pakai secara tertib, baik obat dan bahan medis habis pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya (Menkes, RI., 2014). Tujuan pencatatan, pelaporan dan pengarsipan adalah: i. Bukti bahwa pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai telah dilakukan; ii. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan iii. Sumber data untuk pembuatan laporan. h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk: i. mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan; ii. memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai; dan iii. memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan (Menkes, RI., 2014).

Pelayanan kefarmasian (skripsi dan tesis)

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Menkes, RI., 2004). Pada penelitian Purwastuti, digolongkan pelayanan farmasi sebagai salah satu pelayanan penunjang medik terapeutik bersama-sama dengan kegiatan lain seperti ruang operasi, instalasi gawat darurat, dan rehabilitasi medik. Pada saat ini, pasien menghadapi beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan farmasi. Mereka mempunyai posisi yang cukup kuat sehingga dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk pelayanan saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya (Purwastuti, 2005).

Organizing Drug Supply (skripsi dan tesis)

 Manajemen suplai obat yang baik membutuhkan adanya sistem yang mendukung pengelolaan suplai obat. Quick et. all (1997) menyebutkan the process of organizing the supply system involves interaction among multiple divisions within the hospital, and between other ministries. Organizing drug supply consists of organizational structure and administration, information system, personnel, facilities, and financial management. a. Organizational structure and administration Organisasi IFRS harus didesain dan dikembangkan sedemikian rupa agar faktor-faktor teknis, administratif, dan manusia yang mempengaruhi mutu produk dan pelayanan berada pada satu kendali. Pengendalian tersebut dapat dilaksanakan melalui suatu struktur organisasi IFRS yang terdiri atas penetapan pekerjaan yang dilakukan beserta tanggung jawab dan hubungan hierarki untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Quick et. all (1997) menyebutkan one of the fundamental of supply management mentioned above is the clear assignment of responsibilities and establishment of authority relationship. b. Information system Reliable, comprehensive and current information is a prerequisite for sound management and management and decision making at all levels. An information system forms which are used to communicate supply needs, consumption data, and other information to various offices 40 in the supply system, and reports which summarize the data from records and forms for planning and evaluation purposes (Quick et. all, 1997). A good information system provides decision makers with information needed to make the best possible choices. The amount and type of information needed, its form, and the degree of accuracy required are, therefore, determined by the particular needs of an individual supply system. Dalam pengelolaan manajemen obat, sistem informasi mempunyai peran penting terutama untuk mengetahui kebutuhan akan suplai obat, data konsumsi obat dan data lain yang berkaitan dengan pengadaan obat untuk evaluasi dan membuat perencanaan manajemen obat selanjutnya. c. Personnel Sumber daya manusia mempunyai peran yang penting dalam IFRS. Personel pendukung yang cukup (asisten, teknisi, dan secretariat) harus tersedia dalam menjalankan tugas IFRS. Personel harus memiliki pendidikan dan pelatihan yang diperlukan dalam bertugas. Kompetensi dan semua staf harus dipelihara melalui program dan kegiatan pendidikan berkelanjutan (Siregar, 2004). The performance of the staff which determined the effectiveness of the pharmaceutical supply system.
 Recruitment of qualified individuals, clear definition of job responsibilities, adequate training and preparation for specific job assignment and regular supervision a field too broad to cover in any detail. Several observations related to drug supply are worthy of mention (Quick et. all, 1997): 1) Job description 2) Qualification 3) Pharmaceutical expertise 4) Coordination of authority and responsibility 5) In service training 6) Staff motivation 7) Image of supply management 8) Guiding the supply related activities of health workers d. Facilities, equipment and supplies IFRS harus didukung dengan ruangan, alat, bahan, pasokan untuk fungsi, profesional dana administratif (Siregar, 2004). Fasilitas, peralatan dan suplai yang dikemukakan oleh (Quick et. all, 1997) adalah sebagai berikut: 1) Facilities Pharmaceutical management is one health system component where adequate office facilities for central administration and appropriate storage units for supply protection are essential. 2) Equipment Vehicles are the biggest bottleneck in many distribution system, with high maintenance costs, scheduling problems, and rapidly rising operational expense as fuel prices escalate.  3) Supplies The drug supply system really involves only two basic commodities: the medicines and the paper that controls drug in the shape of forms, ledger, stock cards, and procedure books. e. Financial management Financial management is a complex and specialized area which requires qualified and experienced managers, accountants, and other personnel. The detail of financial management vary from country to country however there are several specific observations which can be made about financial management (Quick et. all, 1997).

Standar Pelaksanaan Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

Fungsi instalansi farmasi rumah sakit dilakukan sesuai dengan praktik profesional dan etika yang dapat diterima dan sesuai dengan persyaratan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan tersebut dituangkan dalam standar minimal pelaksanaan instalansi farmasi rumah sakit yang telah ditetapkan dengan konsensus dan disetujui oleh badan yang berwenang berisi peraturan, pedoman atau karakteristik kegiatan, hasil kegiatan yang ditujukan untuk pencapaian derajad optimal pelayanan farmasi. Standar minimal pelaksanaan instalansi farmasi rumah sakit adalah sebagai beriktu (Siregar, 2004): 37 1) Standar manajerial Instalansi farmasi rumah sakit harus dipimpin oleh seorang apoteker yang secara profesional kompeten dan memenuhi persyaratan hukum. Jabatan pimpinan IFSR harus berada dalam tingkat yang sama dengan jabatan pimpinan staf medis fungsional dalam struktur rumah sakit. 2) Fasilitas Ruangan, peralatan dan perbekalan harus disediakan untuk fungsi profesional dan administratif IFRS sebagaimana dipersyaratkan. IFRS harus dilengkapai dengan ruangan, alat, bahan, pasokan untuk fungsi profesional dan administratif. 3) Distribusi dan pengendalian obat Kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang berkaitan dengan distribusi obat intra rumah sakit, harus dikembangkan oleh pimpinan IFRS bersama PFT, staf medis, perawat dan perwakilan disiplin lain. 4) Informasi obat IFRS bertugas dan bertanggung jawab menyediakan/memberikan informasi yang akurat dan komprehensif bagi staf medis, profesional kesehatan, dan pasien serta harus membuat IFRS sebagai sentra informasi obat.  5) Jaminan terapi obat yang rasional Salah satu aspek penting dalam pelayanan kefarmasian adalah memaksimalkan penggunaan obat rasional. Dalam hal ini apoteker bersama-sama dengan staf medis wajib mengembangkan berbagai kebijakan dan prosedur terdokumentasi guna memastikan mutu dari terapi obat yang diberikan. 6) Penelitian Praktik kefarmasian didasari oleh berbagai ilmu seperti fisikokimia, biologi, farmasetik, biomedik, dan sosioekonomi. Apoteker dalam rumah sakit harus dapat berfungsi baik dalam penelitian dengan bekerjasama dengan profesional pelayanan kesehatan lainnya. 7) Pemberian/konsumsi obat yang aman Kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang menguasai pemberian obat dan produk biologik yang aman harus dikemabangkan oleh PFT yang bekerjasaman dengan IFRS, perawat dan jika perlu perwakilan disiplin lain. Kebijakan dan prosedur tersebut harus selalu dikaji ulang paling sedikit setiap tahun. 8) Mutu dalam pelayanan IFRS merupakan suatu organisasi pelayanan yang merupakan suatu sistem terorganisasi dari keterampilan dan fasilitas khusus. Sebagai organisasi pelayanan, IFRS diharapkan dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan konsumen agar dapat memberikan kepuasan

Pelayanan Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

Instalansi farmasi merupakan suatu organisasi pelayanan di rumah sakit yang memberikan pelayanan produk bersifat nyata (tangible) dan pelayanan farmasi yang bersifat tidak nyata (intangible) (Siregar, 2004). Pada proses pelayanan tersebut, terdapat pertemuan antara petugas farmasi dengan konsumen. Pada pelayanan farmasi klinik mensyaratkan adanya kegiatan komunikasi antara apoteker dan pasien, perawat dan petugas kesehatan, konseling obat kepada penderita, dan konsultasi obat oleh apoteker untuk petugas kesehatan yang lain. 36 Pertemuan antara petugas farmasi dengan konsumen, dapat mengidentifikasi kebutuhan dan mengetahui umpan balik pelayanan yang telah diberikan. Penilaian yang dilakukan oleh konsumen dijadikan sebagai masukan untuk memperbaiki pelayanan. Apabila hasil pelayanan kurang memenuhi harapan pasien, akan dilakukan tindakan perbaikan. Pencapaian kepuasan konsumen dilakukan dengan memelihara respon yang seimbang terhadap kebutuhan dan harapan, menerjemahkan kebutuhan dan harapan menjadi persyaratan serta mengkomunikasikan persyaratan tersebut pada seluruh tingkat petugas farmasi dan mengembangkan seluruh proses untuk menciptakan nilai bagi pihak yang berkepentingan (Siregar, 2004)

Tugas dan Tanggung Jawab Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

Tugas utama IFSR adalah melakukan pengelolaan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada penderita sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan dalam 35 rumah sakit baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Instalasi farmasi bertanggung jawab menyediakan terapi obat yang optimal bagi semua pasien dan menjamin pelayanan yang bermutu tinggi. Instalansi farmasi rumah sakit adalah satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat. Intalansi farmasi juga bertanggung jawab mengembangkan suatu pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik dan tepat untuk memenuhi kebutuhan berbagai bagian/unit diagnosis dan terapi, unit pelayanan keperawatan, staf medis, dan rumah sakit secara keseluruhan untuk kepentingan pelayanan pasien yang lebih baik (Siregar, 2004).

Tujuan Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

 

Instalansi farmasi rumah sakit harus mempunyai sasaran jangka panjang yang menjadi arah dari kegiatan sehari-hari dengan tujuan sebagai berikut (Siregar, 2004): 1) Memberi manfaat kepada penderita, rumah sakit, sejawat profesi kesehatan dan kepada profesi farmasi oleh apoteker rumah sakit yang kompeten dalam memenuhi syarat.   2) Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai oleh apoteker rumah sakit yang memenuhi syarat. 3) Menjamin praktik profesional yang bermutu tinggi melalui penetapan dan pemerliharaan standar etika profesional, pendidikan dan pencapaian melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi. 4) Meningkatkan penelitian dalam praktik farmasi rumah sakit dan dalam ilmu farmasetik pada umumnya. 5) Menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan pertukaran informasi antara para apoteker rumah sakit, anggota profesi dan spesialis serumpun. 6) Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit. 7) Meningkatkan pengetahuan dan pengertian praktik farmasi rumah sakit kontemporer bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi dan profesional kesehatan lainnya. 8) Membantu menyediakan personel pendukung yang bermutu untuk IFSR. 9) Membantu dalam pengembangan dan kemajuan profesi kefarmasian

Pengertian Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

 . Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah salah satu instalasi di rumah sakit yang mempunyai tugas cukup berat mengingat bahwa perbekalan farmasi rumah sakit merupakan hal yang kompleks. Material yang dipergunakan cukup banyak, teknologi yang terus berkembang dan otoritas kewenangan medis yang berada dikelompok profesi. Daya beli pasien yang berbeda mempengaruhi jenis obat yang digunakan. Harus diingat bahwa pelayanan perbekalan farmasi berorientasi kepada pasien menuju penggunaan obat secara rasional (Santoso, 1996). Instalansi adalah fasilitas penyelenggara pelayanan medis, pelayanan penunjang medis, kegiatan penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan dan pemeliharaan sarana rumah sakit (Siregar, 2004). Farmasi rumah sakit adalah seluruh aspek kefarmasian yang dilakukan di suatu rumah sakit. Instalansi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah suatu bagian/unit/devisi atau fasilitas di rumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri. Instalansi farmasi rumah sakit didevinisikan sebagai suatu departemen atau unit di suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan dan kompeten secara profesional (Siregar, 2004). Pengelolaan obat di rumah sakit merupakan salah satu segi manajemen rumah sakit yang penting, oleh karena ketidak efisiensian akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medik maupun secara ekonomis. Ketidak lancaran pelayanan obat di rumah sakit akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit (Santoso, 1997).
Dengan demikian pengelolaan perbekalan farmasi rumah sakit harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, kepentingan ilmiah atau profesi dan faktor pasien. Untuk efisiensi diperlukan persediaan perbekalan farmasi yang tepat baik bahan baku maupun bahan jadi. Stok yang berlebihan merupakan pemborosan modal, sedangkan kekurangan stok dapat berarti penundaan atau kehilangan kesempatan (Papilaya,1992). Kebutuhan pasien harus mendapat perhatiaan utama, terutama pada persediaan farmasi rumah sakit yang sangat mempengaruhi kesembuhan apalagi keselamatan jiwa pasien. Dapat disimpulkan instalansi farmasi merupakan tempat penyelenggaraan farmasi yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian yang terdiri atas pelayanan paripurna mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan persediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu dan pengendalian distribusi di rumah sakit.

Pengukuran Kepuasan Pelanggan (skripsi dan tesis)

 

Menurut Kotler (2009), terdapat empat metode pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu: 1) Sistem keluhan dan saran Perusahaan harus memberi kesempatan kepada pelanggan untuk menyampaikan saran, pendapat, kritik, dan keluhan mereka melalui surat, kartu, maupun saluran bebas pulsa. Dengan metode ini maka perusahaan akan memperoleh informasi dan dapat menjadi masukan bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat mengambi langkah dengan cepat untuk bereaksi dan mengatasi permasalahan yang ada. 2) Ghost shopping Metode ini dilakukan dengan cara mengutus seseorang untuk menjadi pelanggan atau pembeli potensial produk perusahaan pesaing, kemudian mereka mengamati cara kerja perusahaan tersebut dalam hal pelayanan permintaan, penanganan keluhan, dan sebagainya, kemudian melaporkannya. 3) Lost customer analysis Metode ini dilakukan dengan cara menghubungi pelanggan yang telah berhenti membeli atau pindah ke perusahaan lain. Hal ini dilakukan untuk mengetahui alasan-alasan mereka sehingga perusahaan dapat mengambil langkah untuk menyempurnakan produk atau jasa yang diberikan dan memperbaiki kebijakankebijakannya. 4) Survei kepuasan pelanggan Untuk meneliti kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan survei, baik melalui telepon atau wawancara langsung. Dengan metode ini perusahaan akan memperoleh informasi, tanggapan, dan umpan balik secara langsung dari pelanggan.
Dimensi pengukuran kepuasan pelanggan menurut Parasuraman (1985) dalam mengevaluasi kepuasan jasa yang bersifat intangible konsumen umumnya menggunakan beberapa atribut atau faktor-faktor sebagai berikut: 1) Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. 2) Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan. 3) Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dan tanggap. 4) Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan. 31 5) Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan. Pengukuran kepuasan pelanggan menurut Supranto (2006) pada bidang mutu pendukung staf adalah sebagai berikut (1) Keberadaan dukungan (availability of support); (2) Ketanggapan dukungan (responsiveness of support): (3) Ketepatan waktu dukungan (timeliness of support); (4) Penyelesaian dukungan (completeness of support); (5) Profesionalisme dukungan (professionalism of support); (6) Kepuasan menyeluruh (overall satisfaction of support). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dimensi pengukuran kepuasan yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Parasuraman (1985) yang mencakup lima dimensi yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan empathy.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan (skripsi dan tesis)

 

Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan pelanggan yang dikemukakan oleh Nasution (2010) adalah sebagai berikut: 1) Kebutuhan dan keinginan: berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan pelanggan ketika sedang melakukan traksaksi dengan penyedia layanan jasa. Jika kebutuhan dan keinginan pelanggan besar, maka harapan pelanggan akan tinggi. 2) Pengalaman masa lalu: pengalaman yang dirasakan pelanggan ketika memanfaatkan layanan jasa di masa lalu. 3) Pengalaman dari teman: teman dan relasi sering kali menceritakan kualitas layanan jasa tertentu, yang akan mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap layanan jasa tersebut. 4) Komunikasi melalui iklan dan pemasaran: iklan dan pemasaran yang dilakukan oleh penyedia layanan jasa diharapkan tidak terlalu berlebihan sehingga tidak menumbuhkan ekspektasi yang berlebihan dari pelanggan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen yang dikemukakan oleh Tjiptono (2001) adalah: 1) Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari produk inti (core product) yang dibeli. 2) Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap. 27 3) Kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal digunakan. 4) Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya. 5) Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan. 6) Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah direparasi serta penanganan keluhan yang memuaskan. 7) Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera. 8) Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Lupiyoadi (2001) menyatakan bahwa terdapat lima faktor penting dalam menentukan tingkat kepuasan pelanggan yaitu kualitas produk, kualitas pelayanan, emosional, harga, dan biaya. 1) Kualitas produk Faktor kualitas produk sangat penting dalam sektor jasa. Konsumen akan merasa senang apabila hasil evaluasi yang mereka lakukan menunjukkan bahwa produk yang mereka konsumsi berkualitas. Produk yang ditawarkan perusahaan dapat berupa barang maupun jasa. 28 2) Kualitas pelayanan Terutama untuk industri jasa, pelanggan akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan. 3) Emosional Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan merasa kagum terhadapnya bila menggunakan produk dengan merek tertentu. Kepuasan yang muncul bukan akibat dari kualitas produk, tetapi dari nilai sosial atau self-esteem yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek tertentu. 4) Harga Produk dengan kualitas sama tetapi mempunyai harga yang relatif lebih murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada konsumen. Tingkat harga yang ditetapkan perusahaan akan sangat menentukan tingkat kepuasan pelanggan. 5) Biaya Pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas terhadap produk atau jasa itu. Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah kualitas produk atau kinerja jasa, kualitas pelayanan, emosional, harga, dan biaya

Pengertian Kepuasan (skripsi dan tesis)

 Kepuasan menurut Kotler (2009) adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil dari suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan konsumen (consumer satisfaction) merupakan tingkat perasaan konsumen setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang dia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Kepuasan pelanggan menurut Nasution (2010) adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja actual produk yang dirasakan setelah pemakaian. Kepuasan pelanggan dalam hal ini adalah kesesuaian antara kinerja produk atau jasa sesuai dengan harapan pelanggan (Sunarto, 2004).
 Tjiptono (2001), menyebutkan kepuasan sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman mengkonsumsi suatu produk atau jasa. Menurut Supranto (2006: 44) istilah kepuasan pelanggan merupakan label yang digunakan oleh pelanggan untuk meringkas suatu himpunan aksi atau tindakan yang terlihat, terkait dengan produk atau jasa. Menurut Kotler (2009) kepuasan pelanggan yaitu kesesuaian antara kinerja dengan pro duk/jasa yang diharapkan. Bila kinerja produk jauh lebih rendah dibandingkan harapan pelanggan, pembelinya tidak puas. Sebaliknya bila kinerja sesuai dengan harapan atau melebihi harapan, pembelinya merasa puas atau merasa amat gembira. Nasution (2010) menyebutkan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pelanggan mencakup harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Apabila hasil kinerja yang dirasakan dibawah harapan, maka klien akan kurang puas bahkan tidak puas, namun sebaliknya bila sesuai dengan harapan, klien akan puas dan bila kinerja melebihi harapan akan sangat puas.

Unsur Pelayanan Farmasi (skripsi dan tesis)

 Pelayanan farmasi di rumah sakit bertanggung jawab secara profesional untuk memberikan pelayanan farmasi di rumah sakit. Terdapat empat unsur utama pelayanan farmasi yang harus dilakukan oleh apoteker yaitu pelayanan farmasi yang baik, pelayanan profesi apoteker dalam proses penggunaan obat, praktik dispensing, dan pelayanan profesional apoteker yang proaktif (Siregar, 2004).
a. Pelayanan farmasi yang baik
Salah satu misi dari praktik farmasi adalah menyediakan obatobatan, produk pelayanan kesehatan lain, memberikan pelayanan serta membantu penderita dan masyarakat serta mengupayakan penggunaan yang terbaik dari sediaan produk tersebut. Pelayanan farmasi yang luas mencakup keterlibatan dalam berbagai kegiatan untuk memastikan kesehatan yang baik dan menghindari kesakitan dalam populasi (Siregar, 2004). Mutu dari setiap proses penggunaan obat harus dipastikan untuk mencapai manfaat terapi yang maksimal dan menghindarkan efek samping yang tak menguntungkan. Beberapa persyaratan pelayanan farmasi yang baik menurut WHO yang dikutip oleh (Siregar, 2004) adalah sebagai berikut: 1) Pelayanan farmasi yang baik mensyaratkan bahwa perhatian pertama dari seorang apoteker haruslah kesejahteraan/ keselamatan penderita di rumah sakit. 2) Pelayanan farmasi yang baik mensyaratkan bahwa inti dari kegiatan IFRS adalah penyediaan obat-obatan dan produk perawatan kesehatan lain dengan mutu terjamin, informasi dan nasehat yang tepat bagi pasien dan pemantauan efek dari penggunaannya. 3) Pelayanan farmasi yang baik mensyaratkan bahwa suatu bagian terpadu dari kontribusi apoteker adalah penyempurnaan penulisan order/resep yang rasional dan ekonomis serta ketepatan penggunaan obat. 4) Pelayanan farmasi yang baik mensyaratkan bahwa tujuan tiap unsur dari pelayanan farmasi adalah relevansi dengan individu, secara jelas ditetapkan dan secara efektif dikomunikasikan kepada semua yang terlibat.
 b. Pelayanan profesi apoteker dalam proses penggunaan obat
Proses penggunaan obat adalah suatu sistem yang sangat rumit terdiri atas berbagai tahap yang masing-masing tahap harus diselesaikan untuk mencapai terapi obat yang optimal. Kesalahan dan kegagalan dapat terjadi pada setiap proses yang dilakukan. Apoteker mempunyai peran untuk mendeteksi dan mencegah masalah yang berkaitan dengan obat. Tujuan utama pelayanan apoteker dalan proses penggunaan obat adalah (Siregar, 2004): 1) Melindungi pasien dari terjadinya kembali penyakit yang proses dengan obat. 2) Mendeteksi dan memperbaiki ketidaktepatan atau bahaya terapi yang diberikan bersamaan. 3) Meramalkan dan mencegah toksisitas obat. 4) Meningkatkan kepatuhan penderita melalui fungsi farmasi. Apoteker dapat menjalankan perannya dengan baik, diperlukan pengetahuan yang seksama tentang proses penggunaan obat. Tahap utama dalam proses penggunaan obat oleh apoteker adalah sebagai berikut (Siregar, 2004): 1) Identifikasi masalah pasien 2) Pengambilan sejarah penggunaan obat 3) Penulisan order/resep 4) Seleksi produk obat  5) Dispensing obat 6) Edukasi dan konseling pasien 7) Pemberian/konsumsi obat 8) Pemantauan terapi obat 9) Evaluasi penggunaan obat 10) Pendidikan in service untuk profesional kesehatan c. Praktik dispensing yang baik Dispensing obat adalah proses yang mencakup berbagai kegiatan yang dilakukan oleh apoteker mulai dari penerimaan resep sampai dengan menyerahkan obat yang tepat pada pasien (Siregar, 2004). Aktivitas yang ada dalam proses dispensing diantaranya adalah menerima dan memvalidasi resep, mengerti dan menginterpretasikan maksud dokter dalam resep, solusi masalah jika terdapat masalah dalam resep, mengisi P-3, meracik obat dengan teliti, memberi wadah dan etiket yang benar, merekam semua tindakan, mendistribusikan obat kepada pasien disertai dengan nasehat atau informasi yang diperlukan oleh pasien (Siregar, 2004). Pelaksanaan proses dispensing dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut (Siregar, 2004): 1) Lingkungan dispensing 2) Personel dispensing 3) Proses dispensing   d. Pelayanan profesional apoteker yang proaktif dalam berbagai kegiatan rumah sakit Pelayanan dan partisipasi apoteker dalam proses penggunaan obat adalah pelayanan yang langsung berinteraksi dengan penderita dan profesional pelaku perawatan kesehatan. Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam kegiatan lain yang merupakan program rumah sakit yang berorientasi pada kepentingan pasien dan berkaitan dengan obat (Siregar, 2004)

Pelayanan Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

Sebagai suatu sistem, pelayanan farmasi rumah sakit terdiri dari komponen-komponen yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi satu sama lain, dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (WHO, 1996).

 a. Masukan
Masukan dari sistem pelayanan farmasi rumah sakit terdiri dari atas data pola penyakit, standar diagnosis dan terapi, formularium, pengembangan rumah sakit, sumber dana dan sumber tenaga. Data dari pola penyakit dari pasien yang berkunjung, akan dipengaruhi oleh tingkat sosio ekonomi, pendidikan, kebudayaan, lingkungan dan perilaku masyarakat. Dengan mengetahui pola penyakit dari waktu kewaktu, dapat membantu perencanaan, pengadaan, stok dan penyaluran perbekalan farmasi rumah sakit. Dengan demikian maka jenis bahan farmasi atau obat dapat disesuaikan dengan pola penyakit yang ada, sehingga persediaan dapat dibagi menjadi persediaan rutin, persedian untuk keadaan darurat dan persediaan bahan farmasi atau obat yang jarang digunakan, jumlah  masing-masing bahan disesuaikan dengan kebutuhan yang diperkirakan sehingga dapat diharapkan akan terjadi suatu efisiensi. Standar diagnosis dan terapi dibuat oleh kelompok profesi (dokter) dan dapat digunakan oleh kelompok profesi tersebut sehingga sangat membantu dalam penyederhanaan persediaan farmasi rumah sakit. Bila obat yang diresepkan dokter tidak tersedia di farmasi maka menggatian obat yang sejenis dapat dilakukan dengan berpedoman pada standar yang telah disetujui. Formularium merupakan standar obat yang dipakai di rumah sakit dengan tujuan mencapai efisiensi melalui mencegah duplikasi obat, pemilihan obat berdasarkan kebutuhan rumah sakit dan memperhitungkan rasio, manfaat dan resiko. Penetapan standar diagnosa dan terapi beserta formularium rumah sakit merupakan tugas dari komite farmasi dan terapi. Pengembangan rumah sakit akan mempengaruhi penggunaan perbekalan farmasi atau obat. Perbekalan farmasi harus menunjukan kearah masa yang akan datang. Sebagai sumber dana, peran farmasi cukup besar dalam pemasukan sumber dana untuk rumah sakit, sehingga pengembangan farmasi perlu mendapat perhatian.
 b. Proses

 Proses dalam pengelolaan perbekalan farmasi terdiri atas perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, penyaluran, penghapusan, informasi obat dan pengawasan.  Proses perencanaan dibuat dengan memperhatikan stok minimum, BOR, LOS, Formularium, pola penyakit dan hal-hal lain seperti obat-obatan untuk kasus darurat medik, ledakan penyakit. Seleksi obat harus dari jalur yang resmi, sehingga kualitas obat bisa di pertanggung-jawabkan. Bila ada masalah reaksi obat hal tersebut dapat di telusuri dan dapat dimintakan pertanggung-jawaban dari distributor atau pabrik. Prosedur pengadaan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga mutu obat dapat terjamin, sedangkan secara ekonomis harga sesuai dengan standar yang berlaku. Riwayat penggunaan obat sangat di perlukan untuk menetapkan suatu pola kebijakan pengadaan. Pengadaan barang dapat dilakukan dengan prosedur pemesanan dan pembelian atau produksi. Pesanan yang diantar harus segera diperiksa dan disimpan di tempat yang aman. Kesesuaian pesanan dan barang yang di terima harus terbukti berdasarkan jumlah, jenis, spesifik dan mutu. Tim pemeriksaan secara organisasi harus berbeda dengan tim pengadaan. Fungsi penyimpanan mempertahankan mutu obat sehingga tidak terjadi kerusakan selama penyimpanan, mempermudah pencarian obat di gudang, sehingga tidak kehilangan letak obat, mempermudah stok opname dan pengawasan, mencegah bahaya akibat penyimpanan yang salah. Ada 2 macam gudang yaitu gudang terbuka, yang digunakan untuk menyimpan barang yang perputaranya cepat, mulai saat barang  tersebut diterima sampai disalurkan kembali kepada pemakai. Gudang ini sebagai perantara antara gudang induk dengan pemakai. Sedangkan yang kedua adalah gudang tertutup, yang tertutup bagai pegawai rumah sakit ataupun bagi lalulintas barang. Barang yang keluar masuk harus melalui prosedur tertentu. Petugas gudang bertanggung-jawab terhadap keamanan gudang dan stok obat di gudang. Penyaluran obat untuk pasien rawat jalan pada dasarnya sama dengan farmasi biasa, peranan farmasi masalah sebagai suatu mata rantai terakhir dari suatu sistem distribusi dari pabrik farmasi kepada konsumen melalui PBF (Pedagang Besar Farmasi) dan berfungsi sebagai pengecer melayani kebutuhan konsumen. Fungsi penghapusan terdiri dari penelitian barang dan pelaksanaan penghapusan, sehingga barang tersebut tidak tercatat lagi pada tata usaha barang. Pada umumnya barang yang dihapus dari daftar pembukuan harus memenuhi kriteria dinyatakan rusak (kadar luarsa), sudah tua ditinjau dari segi klinis dan ekonomis, hilang atau surut karena sebab lain. Informasi obat harus diberikan kepada semua pihak terkait seperti tenaga medis, paramedis, tenaga administrasi, pasien dan keluarga pasien atau masyarakat. Sedangkan pemberian informasi dapat dilakukan beberapa cara seperti, viatelepon, konsultasi, majalah, pendidikan dan latihan, penyuluhan, penyampaian hasil penelitian, data dan literatur obat baru. Pengawasan dalam pengelolaan perbekalan farmasi rumah sakit dilaksanakan dengan cara pengawasan melekat yaitu dilaksanakan oleh atasan langsung (Kepala Instalasi Farmasi) dengan cara inspektif, verifikatif, maupun dengan investigatif. Pemeriksaan dapat insidentil ataupun berkala sesuai dengan kebutuhan. Untuk pemeriksaan fisik obat-obatan dilakukan dengan metode acak oleh apoteker.
c. Luaran
 Luaran dari sistem pelayanan farmasi rumah sakit terdiri atas pemberian obat secara rasional, mutu pelayanan kesehatan, biaya pelayanan kesehatan dan perilaku rasional. Pemberian obat secara rasional harus memenuhi kriteria tepat indikasi, tepat penderitaan, tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap efek samping obat. Atas dasar ini diharapkan pemberian obat dengan biaya yang rendah dapat memberikan efektifitas tinggi dan dampak negatif obat yang rendah. Mutu pelayan kesehatan yang meningkat, dapat dilihat dari mutu pelayanan medis atau kepuasan pasien, mutu pelayanan administrasi yang menyangkut aturan dan prosedur pelayanan, mutu tentang menajemen yang menyangkut perencanaan, pengorganisasian, proses kegiatan dan pengawasan dan mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Perilaku pengguanaan obat yang rasional, dengan pengelolaan perbekalan farmasi yang baik melalui proses standarisasi diagnosa dan  terapi, formularium yang ditetapkan oleh KFT (Komite Farmasi dan Terapi) dan pemberian informasi yang menandai serta proses pengawasan, diharapkan perilaku rasional dalam penggunaan obat akan meningkat. Peningkatan perilaku rasional dalam penggunaan obat diharapkan dapat terjadi pada semua pihak yang terkait dengan penggunaan obat yaitu kelompok profesi medis, manajemen maupun masyarakat. Masyarakat pengguna jasa menyerahkan pilihan obat kepada kelompok profesi. Kelompok profesi dapat menerapkan proses pemberian obat secara rasional, sedangkan kelompok manajemen menyediakan obat yang dibutuhkan

.Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (skripsi dan tesis)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk : a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar : 1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai a. Perencanaan Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah sediaan farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan : 1) Perkiraan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang mendekati kebutuhan. 2) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional 3) Meningkatkan efisiensi penggunaan obat Perencanaan kebutuhan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai di Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di Puskesmas. b. Permintaan Tujuan permintaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai adalah memenuhi kebutuhan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan  kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat. c. Penerimaan Penerimaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakaiadalah suatu kegiatan dalam menerima sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan Puskesmas secara mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuan penerimaan adalah agar sediaan farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. d. Penyimpanan Penyimpanan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai merupakan suatu kegiatan pengaturan terhadap sediaan farmasi yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Tujuan penyimpanan adalah agar mutu sediaan farmasi yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
 Penyimpanan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1) Bentuk dan jenis sediaan 2) Kondisi yang dipersyarakan dalam penandaan di kemasan sediaan farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban 3) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar 4) Narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 5) Tempat penyimpanan sediaan farmasi tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi e. Pendistribusian Pendistribusian sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya.
Tujuan pendistribusian adalah untuk memenuhi kebutuhan sediaan farmasi sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. Sub-sub di puskesmas dan jaringannya antara lain : 1) Sub unit pelayanan kesehatan di lingkungan Puskesmas 2) Puskesmas pembantu 3) Puskesmas keliling 4) Posyandu 5) Polindes f. Pengendalian Pengendalian sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuan pengendalian adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian sediaan farmasi terdiri dari : 1) Penegendalian persediaan 2) Pengendalian penggunaan 3) Penanganan sediaan farmasi hilang, rusak, dan kadaluarsa g. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk : 1) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan 2) Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai 3) Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan. (Permenkes Nomor 74 Tahun 2016) 9 2. Pelayanan Farmasi Klinik a. Pengkajian resep, pelayanan resep, dan pemberian informasi obat. Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap dan rawat jalan. Kegiatan penyerahan obat (Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan etiket, menyerahkan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian.
 Tujuan : 1) Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan. 2) Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan. b. Pelayanan Informasi Obat Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat,jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Pelayanan Informasi Obat bertujuan : 1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat. 2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat. 3) Menunjang penggunaan obat yang rasional.
Kegiatan Pelayanan Informasi obat , meliputi : 1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan pasif. 2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga ksehatan melalui telepon, surat atau tatap muka. 3) Membuat buletin, leaflet, label obat, poster, majalah dinding dan lainlain. 10 4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta masyarakat. 5) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan bahan medis habis pakai. 6) Mengoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan : 1) Sumber informasi obat 2) Tempat 3) Tenaga 4) Perlengkapan c. Konseling Konseling merupakan proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan/rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan,jadwal pengobatan, cara dan lama pengobatan, efek samping,tandatanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat.
 Kegiatan : 1) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien 2) Menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang dikatakan oleh dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka. 3) Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan obat 4) Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi. d. Visite pasien Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain. 11 Tujuan : 1) Memeriksa obat pasien 2) Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilahan obat dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien. 3) Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan obat 4) Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien e. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau modifikasi fungsi fisiologis.
 Tujuan : 1) Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang. 2) Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan. Kegiatan : 1) Menganalisis laporan efek samping obat 2) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalamin efek samping obat. 3) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Faktor yang perlu diperhatikan : 1) Kerja sama dengan tim keehatan lain 2) Keterseediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) f. Pemantauan Terapi Obat (PTO) Pemantau terapi obat (TPO) merupakan suatu proses yang memastikan bahwa seseorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Tujuan : 1) Mendeteksi masalah yang terkait dengan obat   2) Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan obat Kegiatan : 1) Memilih pasien yang memenuhi kriteria 2) Membuat catatan awal 3) Memperkenalkan diri pada pasien 4) Memberikan penjelasan pada pasien 5) Mengambil data yang dibutuhkan 6) Melakukan evaluasi 7) Memberikan rekomendasi g. Evaluasi Penggunaan Obat Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional). Tujuan : 1) Mendapatkan gambaran pola pengunaan obat pada kasus tertentu 2) Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan obat tertentu. (Permenkes Nomor 74 Tahun 2016)

PEMANTAUAN KADAR OBAT DALAM DARAH (skripsi dan tesis)

  

Menurut Usman (2007), pemantauan kadar obat di dalam darah adalah suatu teknik yang digunakan klinisi untuk mengoptimalkan dosis obat dengan memberikan dosis yang ditetapkan berdasarkan konsentrasi target (C target) dengan cara mengukur kadar obat dalam darah dan bila perlu melakukan penyesuaian dosis. Pemantauan kadar obat dalam darah ini bertujuan untuk mem-bantu meningkatkan penggunaan obat yang lebih rasional baik keamanan dan efektifitas dosis pada individu penderita.

          Keberhasilan suatu terapi dengan obat terletak pada pendekatan sejauh mana optimalisasi keseimbangan antara efek terapeutik yang diinginkan dengan efek samping atau efek toksik yang tidak diinginkan dapat dicapai. Untuk men-capai hasil terapi yang optimal, pemilihan obat dan rancangan regimen dosis yang tepat perlu dilakukan. Rancangan regimen dosis yang diberikan dokter pada penderita adalah berdasarkan tujuan untuk pengo-batan individu, di mana dosis yang dibe-rikan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing penderita. Cara penentuan dosis ini di kenal dengan “individualisasi dosis”. Di dalam pemberian regimen dosis akan melibatkan tiga pertanyaan yang saling berkaitan, Berapa banyak obat yang diberikan ?. Berapa kali per hari obat diberikan ?. Berapa lama obat diberikan?.  Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini agar tujuan dan sasaran terapeutik dapat dicapai.

Adanya variabilitas individu baik intra maupun inter individu pada pen-derita, menyebabkan pengaturan dosis yang sesuai dengan penderita diperlukan, terutama untuk obat dengan indek terapi sempit. Pada dasarnya obat-obat yang perlu dilakukan TDM mempunyai kriteria atau kondisi klinik antara lain (Usman (2007).

  1. Obat yang mempunyai batas keamanan (margin of safety) yang sempit
  2. Efek toksis sukar diamati atau dipasti-kan secara klinis
  3. Efek terapinya sukar di pantau secara klinis
  4. Kadar obat dalam plasma bervariasi antar individu
  5. Penderita mempunyai gangguan pada salah satu organ ekskresi
  6. Penderita yang sudah diberi dosis tetapi memperlihatkan tanda toksik atau tidak memperlihatkan efek terapi yang diha-rapkan
  7. Terjadinya interaksi obat akibat polifar-masi
  8. Untuk menilai kepatuhan penderita makan obat secara teratur

Salah satu cara pemantauan kadar obat dalam darah adalah dengan menggunakan metode farmakokinetika. Farmakokinetika yaitu suatu cara untuk melakukan pengukuran kuan-titatif keberadaan obat dalam tubuh sebagai suatu sistem yang dinamik, di mana obat berubah setiap saat oleh proses ADME (Absorbsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekresi). Bila konsep farmakokinetika ini digunakan untuk tujuan keamanan dan efektifitas terapi pada penderita di klinik, di sebut Farmakokinetika Klinik. Dari perubahan kadar obat setiap saat dalam darah (dc/dt) dapat ditentukan parameter kinetik yaitu besarnya absorbsi (Ka), kadar puncak (Cmaks), kadar tunak (Css), klirens, volume distribusi (Vd), waktu paruh (t1/2) dan bioavailabiltas. Dari parameter kinetik diciptakan model farmakokinetik. Model adalah salah satu alat dasar dari ilmu pengetahuan yang sifatnya tiruan dan merupakan sistim riil yang sederhana. Model kompartemen dalam ilmu faal dan ilmu farmakokinetika sering digunakan untuk mengambarkan perilaku zat-zat endo-gen atau eksogen termasuk obat.

Model farmakokinetik ini bertujuan untuk mendapatkan metode yang sesuai dalam menggambarkan dan menginterprestasikan satu data atau beberapa set data yang di peroleh dari percobaan. Model ini me-ngarah kepada pembuatan konsep mate-matika yang disebut model kompartemen. Prinsip dari model kompartemen ini menganggap tubuh terdiri dari bagian-bagian atau kompartemen yang satu dengan yang lain saling berhubungan, di mana distribusi obat di dalam tubuh tidaklah sama, hal ini disebabkan perbe-daan anatomi, faal organ, media cairan tubuh serta proses difusi yang terjadi. Penggunaan model matematika ini dengan parameter farmakokinetik, dapat meng-gambarkan dan meramalkan hubungan antara waktu dan perubahan kadar obat dalam darah setiap saat sebagai fungsi dari dosis serta cara dan frekuensi pemberiaan obat.

atalaksana terapi pada pasien yang menjalani hemodialisis memerlukan perhatian pada manajemenstatus cairan/volume ekstra vaskuler dan penyesuaian terapianti (National Kidney Foundation, 2005). Penyesuaian terapi diperlukan karena adanya jenis obat yang terdialisis serta adanya abnormalitas respon tubuh terhadap hemodialisis. Kadar obat yang terdialisis mengakibat-kan penurunan efektifitas obat atau under dose (Bochler et al, 1999 ; Chen etal, 2006) yang berakibat tidak ter-kontrolnya tekanan darah sehingga meningkatkan risiko penyakit jantungdan pembuluh (Agarwal,1999). Oleh karenanya, kadangkala pasien mem-butuhkankan adanya supplemental dose dari obat yang digunakan setelah dialysis untuk mempertahankan konsentrasi obatdi dalam darah (Quan dan Aweeka,2005; Bochler et al, 1999 ; Keller et al,1999 ). Bahkan berkurangnya kadar obatdi dalam darah dapat berakibat fatal pada pasien dengan kondisi kritis (Keller et al,1999)

Frekuensi hemodialisis (skripsi dan tesis)

Perdede (dalam RS PGI Cikini, 2007) menyatakan bahwa jumlah jam hemodialisis per minggu untuk mencapai adekuasi yaitu 10-15 jam. Adapun jadwal hemodialisis sebagai berikut:

  1. 2 x 5 jam/ minggu
  2. 3 x 4 jam/ minggu
  3. 4 x 3 jam/ minggu
  4. 5 x 3 jam/ minggu
  5. Setiap hari selama 2 jam

Untuk pasien baru terapi hemodialisis dapat dilakukan dengan jadwal sebagai berikut :

  1. Minggu I : 2-3 jam per hemodialisis atau semampu pasien. Hemodialisis dilakukan setiap hari atau setiap 2-3 hari.
  2. Minggu II : 3-4 jam per hemodialisis → 3-4 jam per minggu.
  3. Minggu III : 3-4 jam per hemodialisis → 3-4 jam per minggu.
  4. Minggu IV : 3-5 jam per hemodialisis → 2-3 jam per minggu. Minggu berikutnya diprogramkan kembali sesuai dengan indikasi medik

komplikasi hemodialisis (skripsi dan tesis)

 Menurut Smeltzer (2002) komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai berikut :

  1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
  2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
  3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
  4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.
  5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini memungkinkan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
  6. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
  7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
  8. Komplikasi hemodialisis menurut Situmorang (dalam RS PGI Cikini, 2007) meliput:
  9. Jangka Pendek

1)     Komplikasi yang sering adalah hipotensi 20-30%, kram 5-20%, mual/ muntah 5-15%, sakit kepala 5%, nyeri dada 2-3%, nyeri punggung 2-5%

2)     Kurang sering tapi serius Sindrom disekuilibrium, reaksi hipersensitivitas, aritmia, cardiac tamponade, hemolysis, reaksi dialisis, perdarahan intracainial, emboli udara.

  1. Jangka Panjang

Terjadi resiko kardiovaskular meningkat,osteodistrofi renal, neuropati uremik, amyloidosis disease, kegagalan akses.

Kelemahan hemodialisis (skripsi dan tesis)

     Kelemahan hemodialisis menurut Nuryandari (1999) sebagai berikut:

  1. Tergantung mesin
  2. Sering terjadi hipotensi, kram otot, disequilibrium sindrom
  3. Terjadi activasi: complemen, sitokines, mungkin menimbulkan amyloidosis
  4. Vasculer access: infeksi, trombosis
  5. Sisa fungsi ginjal cepat menurun, dibandingkan peritoneal dialisis.

Keunggulan hemodialisis (skripsi dan tesis)

  1. Keunggulan hemodialisis menurut Nuryandari (1999) sebagai berikut :
  2. Produk sampah nitrogen molekul kecil cepat dapat dibersihkan
  3. Waktu dialisis cepat

Dialiser akan mengeluarkan melekul dengan berat sedang dengan laju yang lebih cepat dan melakukan ultrafiltrasi dengan kecepatan tinggi hal ini di perkirakan akan memperkecil kemungkinan komplikasi dari hemodialisis misalnya emboli udara dan ultrafiltrasi yang tidak kuat atau berlebihan (hipotensi, kram otot, muntah).

  1. Resiko kesalahan teknik kecil
  2. Adequasy dapat ditetapkan sesegera, underdialisis segera dapat dibenarkan

Adequasy hemodialisis atau kecukupan hemodialisis segera dapat ditetapkan dengan melihat tanda-tanda tercapainya berat badan kering/tidak ada oedema, pasien tampak baik, aktif, tensi terkendali dengan baik, hb >10 gr% demikian juga bila terjadi keluhan-keluhan tersebut berarti tidak terpenuhinya kecukupan dialisis sehinnga dapat di benarkan terjadi underdialisis.

Pengobatan Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu : dialisis dan transplantasi ginjal

  1. Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialis peritoneal dan hemofiltrasi

Cuci darah apabila fungsi ginjal untuk membuang zat-zat metabolik yang beracun dan kelebihan cairan dari tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak mampu lagi menjaga kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus dilakukan dialisis (cuci darah) sebagai terapi pengganti fungsi ginjal. Ada dua jenis dialisis yaitu:

1)      Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)

Cara yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser untuk dibersihkan melalui proses difusi dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus untuk dialisis), kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh.

Agar prosedur hemodialisis dapat berlangsung, perlu dibuatkan akses untuk keluar masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat bersifat sementara (temporer) Akses temporer berupa kateter yang dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah leher. Sedangkan akses permanen biasanya dibuat dengan akses fistula, yaitu menghubungkan salah satu pembuluh darah balik dengan pembuluh darah nadi (arteri) pada lengan bawah, yang dikenal dengan nama cimino. Untuk memastikan aliran darah pada cimino tetap lancar, secara berkala perlu adanya getaran yang  ditimbulkan oleh aliran darah pada cimino tersebut.

2)      Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut).

Adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. Dapat dilakukan pada di rumah pada malam hari sewaktu tidur dengan bantuan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu. Sedangkan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) tidak membutuhkan mesin khusus tersebut, sehingga dapat dikatakan sebagai cara dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri di rumah atau di kantor (Pernefri, 2003)

  1. Transplantasi ginjal yang dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah (cadaver).

Cangkok atau transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal terminal. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver). Akan lebih baik bila donor tersebut dari anggota keluarga yang hubungannya dekat, karena lebih besar kemungkinan cocok, sehingga diterima oleh tubuh pasien. Selain kemungkinan penolakan, pasien penerima donor ginjal harus minum obat seumur hidup. Juga pasien operasi ginjal lebih rentan terhadap penyakit dan infeksi, kemungkinan mengalami efek samping obat dan resiko lain yang berhubungan dengan operasi (Alam & Hadibroto, 2008).

Terapi hemodialisis adalah pengobatan dengan menggunakan hemodialisis yang berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memisahkan darah dari bagian yang lain. Jadi hemodialisis yaitu memisahkan sampah nitrogen dan sampah yang lain dari dalam darah melalui membran semipermiabel. Hemodialisis tidak mampu menggantikan seluruh fungsi ginjal, namun dengan hemodialisis kronis pada penderita gagal ginjal kronis dapat bertahan hidup bertahun-tahun. (Nuryandari, 1999).

Indikasi hemodialisis yaitu BUN (> 100 mg/dl), kreatinin (> 10 mg/dl), hiperkalemia, acidosis metabolik. Secara klinis meliputi (1) Anoreksi, nausea, muntah; (2) Ensepalopati ureikum; (3) Odema paru; (4) Pericarditis uremikum; (5) Pendarahan uremik (Nuryandari, 1999).

Komplikasi Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita penyakit gagal ginjal kronik menurut Alam & Hadibroto (2008) antara lain :

  1. Anemia

Terjadinya anemia karena gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan.

  1. Osteodistofi ginjal

Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.

  1. Gagal jantung

Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita gagal ginjal kronis dimulai dari anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left venticular hypertrophy/ LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal).

  1. Disfungsi ereksi

Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon testeron) untuk merangsang hasrat seksual (libido), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Namun, penyebab utama gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal.

Komplikasi Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita penyakit gagal ginjal kronik menurut Alam & Hadibroto (2008) antara lain :

  1. Anemia

Terjadinya anemia karena gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan.

  1. Osteodistofi ginjal

Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.

Gagal ginjal kronik (cronic renal failure) (skripsi dan tesis)

Gagal ginjal kronik (cronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan di tandai dengan uremia(urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau tansplantasi ginjal) (Nursalam, 2002).

Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefretis kronis, pielonefretis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstuksi traktus urinarius, lesi heriditer, lingkungan dan agen berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis seperti timah, kadmium, merkuri, dan kromium. Dialisis atau transplantasi ginjal kadang-kadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien (Smeltzer, 2002).

Pengertian Evaluasi (skripsi dan tesis)

 

Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan dampak serta biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang sistematis dari dampak program (Anonim, 2002).

Evaluasi bermanfaat untuk (Anonim, 2002) :

  1. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang berjalan.
  2. Meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan memperbaikinya.
  3. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif
  4. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi
  5. Kesesuaian tuntutan tanggung jawab.

     Proses evaluasi akan memberikan lima langkah umpan balik sebagaimana yang diungkapkan oleh Hunger and Wheelen (2000). Kelima langkah umpan balik tersebut adalah :

  1. Menentukan apa yang diukur
  2. Menetapkan standar kerja
  3. Mengukur kinerja aktual
  4. Membandingkan kinerja aktual standar yang telah ditetapkan
  5. Mengambil tindakan perbaikan

Tujuan diadakan evaluasi adalah untuk memperbaiki pelaksanaan dan perencanaan program sehubungan dengan perlu adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain: untuk mengecek relevansi dari program dalam hal perubahan -perubahan kecil yang terus-menerus mengukur kemajuan terhadap target yang direncanakan menentukan sebab dan faktor di dalam maupun di luar yang mempengaruhi pelaksanaan program (Subarsono,2005).

ndikator-indikator pengadaan obat Kabupaten/Kota (skripsi dan tesis)

Menurut Departemen Kesehatan RI (Anonim, 2002) melaui penelaahan konsep pada Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, maka diukur indikator-indikator pengadaan obat Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

  1. Alokasi dana pengadaan obat

Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan obat untuk populasi merupakan prasyarat terlaksananya penggunaan obat yang rasional yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dengan indikator ini dapat dilihat komitmen Kabupaten/Kota dalam penyediaan dana pengadan obat sesuai kebutuhannya. Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang disediakan/dialokasikan oleh pemerintah Kabupaten/Kota untuk memenuhi kebutuhan obat pelayanan kesehatan diwilayah tersebut. Yang dilihat pada indikator ini adalah jumlah dana anggaran pengadaan obat yang disediakan pemerintah daerah Kabupaten/Kota dibandingkan dengan jumlah kebutuhan dana untuk pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan populasi. Angka ideal dana pengadaan obat yang disediakan apabila sangat mendekati dengan kebutuhan sebenarnya.

  1. Persentase alokasi dana pengadaan obat

Obat merupakan pendukung utama untuk hampir semua program kesehatan di unit pelayanan kesehatan. Untuk itu ketersediaan dana pengadaan obat harus proposional dengan anggaran kesehatan secara keseluruhan. Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang disediakan/dialokasikan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung program kesehatan di daerahnya dibandingkan dengan jumlah alokasi dana untuk bidang kesehatan. Angka ideal dana pengadaan obat harus proposional dengan anggaran kesehatan secara keseluruhan.

  1. Biaya obat perpenduduk

Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai kebutuhan populasi bervariasi untuk masing-masing Kabupaten/Kota untuk itu perlu diketahui besarnya dana yang disediakan oleh Kabupaten/Kota apakah telah memasukkan parameter jumlah penduduk dalam pengalokasian dananya.

tujuan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan (skripsi dan tesis)

Menurut Departemen Kesehatan RI (Anonim, 2008) tujuan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan adalah :

  1. Tersedianya obat dan perbekalan kesehatan dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan.
  2. Mutu obat dan perbekalan kesehatan terjamin.
  3. Obat dan perbekalan kesehatan dapat diperoleh pada saat diperlukan.

metode pengadaan obat (skripsi dan tesis)

Terdapat beberapa metode pengadaan menurut WHO (2002) ,yaitu:

  1. Tender terbuka

Tender terbuka adalah metode penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan pengumuman secara luas mealui media massa dan  pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Untuk pelaksanaan sistem tender terbuka ini perlu dipersiapkan beberapa hal yang mencakup jadwal lelang, pengumuman lelang, persyaratan peserta, periode lelang, seleksi dan penetapan peserta lelang. Dalam tender terbuka akan banyak penawar yang mengajukan penawaran, untuk mengevaluasi penawar memerlukan waktu yang lama dan terkadang tidak dapat dilakukan sesuai dengan jadwal proses lelang yang berakibat pada terhambatnya proses pengadaan.

  1. Tender tertutup

Tender hanya dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan mempunyai riwayat yang baik. Tender terbuka biasanya didahului dengan prakualifikasi supplier, tetapi secara keseluruhan beban kerja tender tertutup lebih ringan daripada tender terbuka. Penetapan metode ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pengadaan obat dengan kualitas produk yang akan diperoleh tetap akan terjamin walaupun dengan supplier terbatas.

  1. Pemilihan langsung

Pemilihan langsung dilaksanakan apabila metode tender terbuka dan tertutup dinilai tidak efisien dari segi biaya tender. Pemilihan dilaksanakan dengan membandingkan sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun harga serta diumumkan melaui pengumuman resmi. Pengadaan langsung memungkinkan terjadinya penawaran secara rinci kepada pemasok, baik meliputi jumlah, jenis, dan harga. Negosiasi umumnya dilakukan kepada beberapa pemasok terpilih untuk mendapatkan harga yang layak. Keuntungan pemilihan langsung adalah obat dapat segera terpenuhi tanpa harus melaui proses tender yang berkepanjangan.

  1. Pengadaan langsung,

Pengadaan langsung dilakukan dalam jumlah kecil untuk jenis obat yang harus segera tersedia. Metode pengadaan langsung yang dikombinasikan dengan kontrak negosiasi, akan memberikan keuntungan yang lebih besar  karena harga dapat disepakati dengan harga yang lebih murah.

Pengelolaan obat (skripsi dan tesis)

Menurut Quick et al (1997) siklus pengelolaan obat meliputi seleksi, pengadaan, distribusi, serta penggunaan yang didukung oleh struktur organisasi, keuangan, dan sistem informasi manajemen yang layak serta staf yag termotivasi.

Tujuan pengelolaan obat adalah terjaminnya ketersediaan obat yang bermutu baik, secara tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu serta digunakan secara rasional dan supaya dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas) (Anonim,2002). Agar tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka pada Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dalam pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan sebaiknya ada pembagian tugas dan peran seperti di bawah ini :

  1. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim perencanaan obat terpadu berdasarkan system “bottom up”
  2. Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi.
  3. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana, agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak tumpang tindih.
  4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya.
  5. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Puskesmas
  6. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas.
  7. Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
  8. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pen-distribusian obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar.
  9. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan perbekalan kesehatan yang rusak dan kadaluwarsa.
  10. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat yang ada di Instalasi Farmasi dan Unit Pelayanan Kesehatan Dasar.

Instalasi Farmasi di Provinsi/ Kabupaten/ Kota mempunyai tugas pokok melaksanakan semua aspek pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian penggunaan, pencatatan pelaporan, monitoring, supervisi dan evaluasi. Termasuk didalamnya pelatihan pengelolaan obat serta melakukan koordinasi dalam perencanaan dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan.

Instalasi Farmasi di Provinsi/ Kabupaten/ Kota mempunyai fungsi antara lain :

  1. Melakukan seleksi obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar.
  2. Melakukan perhitungan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar.
  3. Pro-aktif membantu perencanaan dan pelaksanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/ Kota.
  4. Melakukan penerimaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari berbagai sumber anggaran.
  5. Melakukan penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan dari berbagai sumber anggaran.
  6. Melakukan pendistribusian obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari berbagai sumber anggaran sesuai dengan permintaan dari pemilik program atau permintaan unit pelayanan kesehatan.
  7. Melakukan pencatatan pelaporan obat publik dan perbekalan kesehatan serta obat program kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya.
  8. Melakukan monitoring, supervisi dan evaluasi pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan pada unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya.
  9. Melaksanakan kegiatan pelatihan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta penggunaan obat rasional bagi tenaga kesehatan di unit pelayanan kesehatan dasar
  10. Melaksanakan kegiatan bimbingan teknis pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta pengendalian penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan dasar
  11. Melaksanakan kegiatan administrasi unit pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan

  A.1 Perencanaan

Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Quick et al (1997), perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan pengelolaan obat yang memerlukan adanya dukungan sumber daya manusia dan kebijakan obat yang berkaitan erat dengan penyediaan obat sehingga untuk meningkatkan mutu pelayanan maka perencanaan obat harus dikelola secara efektif dan efisien. Dengan adanya efesiensi dalam perencanaan obat dapat menurunkan biaya belanja obat, sehingga dana tersebut dana tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada gilirannya dapat meningkatkan petumbuhan ekonomi negara (Chan,C.K, 2000).

Proses pemilihan obat sebaiknya mengikuti pedoman seleksi obat yang telah disusun oleh WHO (1993), yaitu: memilih obat yang telah terbukti efektif dan merupakan drug of choice, mencegah duplikasi obat, pemilihan obat yang seminimal untuk suatu jenis penyakit, melaksanakan evaluasi kontra indikasi dan efek samping secara cermat.

Salah satu cara untuk meningkatkan efesiensi penggunaan dana obat yang terbatas adalah dengan cara mengelompokkan obat berdasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan berdasarkan metode VEN. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok berikut:

  1. Kelompok V (Vital) adalah kelompok obat-obatan yang sangat esensial, yang termasuk dalam kelompok ini adalah obat-obatan penyelamat (life saving drugs), obat-obat untuk pelayanan kesehatan khusus (vaksin, dll), obat-obatan untuk mengatasi penyakit-penyakit penyebab kematian terbesar.
  2. Kelompok E (Esensial) adalah kelompok obat-obatan yang harus ada yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan, yang bekerja pada sumber penyakit.
  3. Kelompok N (Non Esensial) adalah merupakan obat-obat penunjang yaitu obat-obatan yang kerjanya ringan yang biasa digunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatas keluhan ringan contohnya vitamin (Quick et al, 1997)

Analisa perencanaan lain yang dapat digunakan adalah analisa ABC (Always Better Control) yaitu suatu metode pengelompokan obat berdasarkan kebutuhan dana, yaitu:

  1. Kelompok A adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70 % dari jumlah dana obat keseluruhan
  2. Kelompok B adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%
  3. Kelompok C adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana keseluruhan.

   Untuk lebih akuratnya perencanaan obat dan untuk menyesuaikan rencana pengadaan obat dengan jumlah dana yang tersedia, maka dapat dilakukan analisa ABC-VEN

Beberapa macam metode yang digunakan dalam melakukan perencanaan, antara lain:

  1. Metode Epidemiologi

Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan pola pengobatan penyakit yang terjadi dalam masyarakat sekitar. Juga dengan memperhatikan kemampuan dan sosio cultural masyarakat sekitar.

  1. Metode Konsusmsi

Perencanaa dengan metode ini dibuat berdasarkan data pengeluaran barang metode lalu.

  1. Metode kombinasi

Merupakan metode gabungan dari metode epidemiologi dan metode konsumsi

Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat adalah sebagai berikut (Anonim,2002a):

  1. Tahapan pemilihan obat, tahap ini dimulai dengan tahap seleksi atau pemilihan obat bertujuan untuk menentukan apakah obat benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah.
  2. Tahap kompilasi pemakaian obat, berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masing-masing jenis obat di Puskesmas selama satu tahun sebagai pembanding stok optimum.
  3. Tahap perhitungan kebutuhan obat dapat menggunakan metode konsumsi, metode epidemiologi atau gabungan dari kedua metode tersebut.
  4. Tahap proyeksi kebutuhan obat, adalah perhitungan kebutuhan obat secara komprehensif dengan mempertimbangkan data pemakaian obat dan jumlah sisa stok pada periode yang masih berjalan dari berbagai sumber anggaran.
  5. Tahap penyesuaian rencana pengadaan obat, dengan melaksanakan penyesuaian rencana pengadaan obat dengan jumlah dana yang tersedia maka informasi yang didapat adalah jumlah rencana pengadaan, skala prioritas masing-masing jenis obat dan jumlah kemasan, untuk rencana pengadaan obat tahun yang akan datang.

Proses perencanaan obat diawali dengan seleksi obat untuk menentukan obat-obat yang diperlukan berdasarkan obat generik yang tercantum dalam DOEN yang masih berlaku. World Health Organization (WHO) merekomendasikan kriteria seleksi obat-obat esensial berdasarkan bahwa obat-obat tersebut dapat memberikan kepuasan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat, tersedia setiap saat dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat. Pemilihan obat berdasarkan pola prevalensi penyakit di fasilitas pelayanan dengan personel yang berpengalaman dan terlatih. Obat yang dipilih mempunyai mutu yang terjamin, termasuk bioavailabilitas, stabil dalam penyimpanan dan dengan bahan aktif yang tunggal (Quick et al., 1997).

Tahap kompilasi pemakaian obat dilakukan dengan menentukan jumlah pemakaian obat setiap bulan dari masing-masing sub unit  menggunakan format Laporan Pemakain Dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang diajukan oleh Puskesmas dengan mengetahui kepala Puskesmas untuk ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota dan selanjutnya diproses oleh Instalasi Farmasi (IF) (Depkes, 2004). LPLPO merupakan sistem informasi obat yang digunakan Puskesmas untuk meminta dan melaporkan pemakaian obat ke IF. Kegunaan dari LPLPO adalah sebagai bukti penerimaan, pengeluaran dan penggunaan obat di Puskesmas. Informasi yang didapat di dalam LPLPO berupa sisa stok, jumlah pemakaian, jumlah obat yang diterima dan jumlah kunjungan resep tiap bulannya. Format ini juga digunakan sub-sub unit pelayanan untuk memperoleh obat ke Puskesmas (Depkes, 2005).

Menurut Departemen Kesehatan RI (Anonim, 2002) melaui penelaahan konsep pada Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, maka diukur indikator-indikator perencanaan obat Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

  1. Ketepatan perencanaan obat

Ketersediaan perencanaan obat adalah perencanaan kebutuhan nyata obat untuk Kabupaten/Kota dibagi dengan pemakaian obat pertahun. Ketepatan perencanaan kebutuhan obat Kabupaten/Kota merupakan awal dari fungsi pengelolaan obat yang strategis. Angka ideal dari perencanaan kebutuhn adalah 100% dari kebutuhan baik dalam jumlah dan jenis obat.

  1. Kesesuian item obat yang tersedia dengan DOEN

Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan. Kesesuaian jenis obat dengan DOEN merupakan upaya untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi pemanfaatan dana pengadaan obat. Angka ideal kesesuaian jenis obat adalah 100% dari daftar DOEN. Kesesuaian item obat dengan DOEN adalah total obat yang masuk dalam DOEN dibagi dengan total jenis obat yang tersedia di gudang/instalasi pengelolaan obat.

  1. Rata-rata waktu kekosongan obat

Rata-rata waktu kekosongan obat menggambarkan kapasits sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin kesinambungan suplai obat dan merupakan salah satu faktor koreksi dalam perencanaan obat khususnya dalam penetapan pemakaian rata-rata per bulan. Angka ideal kekosongan obat adalah 0 (nol). Rata-rata waktu kekosongan obat didefinisikan sebagai jumlah hari obat kosong dalam waktu satu tahun.

  1. Tingkat ketersediaan obat

Ketersediaan kebutuhan obat adalah kondisi terpenuhinya jumlah obat-obatan yang diperlukan daerah dalam rangka pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kategori status ketersediaan obat adalah:

  1. a)Berlebih jika persediaan lebih dari 18 bulan pemakaian rata-rata
  2. b)Aman jika persediaan antara 12-18 bulan pemakaian rata-rata
  3. c)Kurang jika persediaan dibawah 12 bulan pemakaian rata-rata
  4. d)Stok kosong apabila persediaan kurang dari 1 bulan pemakaian rata-rata

Obat yang disediakan untuk tingkat pelayanan kesehatan di Puskesmas harus sesuai dengan kebutuhan populasi berarti jumlah (kuantum) obat yang tersedia minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat. Kecukupan obat merupakan indikasi kesinambungan pelayanan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.

  1. Persentase obat kadaluwarsa

Terjadinya obat kadaluwarsa mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurang baik sistem distribusi, kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan perubahan pola penyakit. Angka ideal persentase obat kadaluwarsa adalah 0%. Persentase obat kadaluwarsa didefinisikan sebagai jumlah jenis obat yang kadaluwarsa dibagi dengan total jenis penyakit.

A.2 Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui pembelian, baik secara langsung atau tender dari distributor, produksi/pembuatan sediaan farmasi baik steril maupun non steril, maupun bersasal dari sumbangan/hibah (Anonim, 2004).

Proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam Keppres No. 80 tahun 2003 untuk proses pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan setelah tahun 2003 (sebelumnya proses pengadaan barang/jassa dilaksanakan sesuai Keppres No. 18 tahun 2000), bertujuan agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayi oleh APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.

Kebijakan Terkait Tentang Produk Suplemen Penstimulasi Stamina (skripsi dan tesis)

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM) memberi
batasan mengenai suplemen sebagai produk yang digunakan untuk melengkapi
makanan dan mengandung satu atau lebih bahan-bahan seperti, vitamin, mineral,
asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka kecukupan gizi
dalam bentuk konsentrat, metabolit, ekstrak atau kombinasi dari bahan-bahan
sebelumnya (BPOM, 1996).
Pemerintah melalui Departemen Perindustrian cq. Dewan Standarisasi
Nasional telah melakukan standarisasi terhadap produk suplemen untuk menjaga
mutu produksi. Standar mutu produk atau yang dikenal dengan nama Standar
Nasional Indonesia (SNI) dibentuk pemerintah dengan pertimbangan melindungi
produsen, menunjang ekspor non migas, mendukung perkembangan agroindustri
dan melindungi konsumen.
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1996 tentang pangan pasal
38 meyatakan bahwa, setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diedarkan harus bertanggungjawab atas keamanan, mutu, dan gizi
pangan (Syah et al. 2005). Keamanan pangan merupakan kondisi yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan demi kepentingan kesehatan manusia.
Mutu pangan dimaksud adalah jaminan yang wajib dilakukan oleh produsen,
sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. Sementara gizi pangan yang
dimaksud dalam ketentuan UU tersebut adalah setiap orang yang memproduksi
pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan tata cara
pengolahan pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan
kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan.
Dalam surat keputusan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Nomor HK.00.023060 tahun 1996 tentang suplemen ditegaskan bahwa,
penandaan (label) tidak boleh mencantumkan (a) klaim efek produk terhadap
kesehatan dan pencegahan atau penyembuhan penyakit; (b) informasi yang tidak
benar dan menyesatkan; (c) perbandingan dengan produk lain; (d) promosi produk
suplemen tertentu; (e) informasi tentang bahan dalam bentuk stiker atau bentuk
lain yang belum disetujui. Penandaan dapat mencantumkan klaim fungsi gizi
dengan ketentuan hanya menjelaskan peran gizi dalam mekanisme tubuh seperti;
kalsium membantu perkembangan tulang gigi yang kuat (BPOM, 1996).
Terkait dengan iklan produk suplemen, dijelaskan dalam UU No. 8 Tahun
1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen bahwa (a) iklan harus sesuai
dengan indikasi jenis produk; (b) iklan tidak boleh menyatakan/memberi kesan
bahwa vitamin dan mineral selalu dibutuhkan untuk melengkapi makanan yang
sudah sempurna nilai gizinya; (c) iklan tidak boleh menyatakan memberi kesan
bahwa penggunaan vitamin/mineral adalah syarat mutlak bagi semua orang;
(d) iklan tidak boleh menyatakan bahwa kesehatan, kegairahan dan kecantikan
akan dapat diperoleh hanya dari menggunakan vitamin dan mineral; (e) iklan tidak
boleh mengandung pernyataan tentang peningkatan kemampuan sex secara
langsung atau tidak langsung (Widjaya dan Yani, 2000).

Mineral Untuk Tubuh (skripsi dan tesis)

Secara alamiah, air telah mengandung bermacam-macam mineral,
seperti fluor, kalsium, magnesium, iodium, natrium, kalium dan lain- lain.
Kadar mineral dalam air minum sangat bervariasi dan terbatas jumlahnya,
yang ditentukan oleh sumber air dan proses pengolahannya, sehingga
beralasan bahwa, mineral sangat penting ditambahkan ke dalam berbagai jenis
produk suplemen. Winarno (1982) mengemukakan bahwa, mineral dapat
dibagi atas mineral makro dan mikro.
Mineral mikro merupakan istilah yang digunakan bagi sisa mineral yang
secara tetap terdapat dalam sistem biologis dalam jumlah sedikit (Winzerling
and Law, 1997). Sementara Fessenden and Fessenden (1997) mengemukakan
bahwa, metabolisme tubuh cenderung memanfaatkan kembali mineral yang
ada di dalam tubuh daripada membuangnya.
Menurut Linder (1992), natrium, klor, kalsium, fosfor, magnesium dan
belerang yang terdapat dalam tubuh cukup besar. Natrium dan klorida
biasanya berhubungan erat, baik sebagai bahan makanan maupun fungsinya
dalam tubuh. Griffith (1988) mengatakan bahwa, natrium dan klorida
membantu mempertahankan tekanan osmotik sehingga cairan tidak keluar dari
darah dan masuk ke dalam sel, disamping membantu menjaga keseimbangan
asam dan basa dengan mengimbangi zat-zat yang membentuk asam, transmisi
syaraf, kontraksi otot dan absorpsi glukosa. Kalsium dalam sel tubuh
berbentuk ion yang berperan pada pembentukan tulang, transmisi impuls
syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, proses penyerapan vitamin B12,
struktur dan pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim
(Winarno, 1982).
Iodium merupakan komponen esensial tiroksin dan kelenjar tiroid
(Griffith, 1988). Ohtaki et al. (1985) mengungkapkan bahwa, tiroksin
mempunyai peran dalam meningkatkan laju oksidasi dalam sel-sel tubuh,
sehingga meningkatkan basal metabolic rate (BMR), menghambat proses
fosforilasi oksidatif, sehingga terbentuknya adenosin tripospat (ATP)
berkurang dan lebih banyak dihasilkan panas.
Kalsium berperan dalam aktivitas enzim, menurunkan permeabilitas
membran sel dan pembuluh kapiler, membantu proses pembekuan atau
koagulasi darah, transmisi impuls syaraf, kontraksi dan kekenyalan otot,
membantu fungsi jantung (Winarno, 1982). Sedangkan kalium berperan
sebagai kation utama dalam cairan intrasel, bergerak dari sel ke cairan
ekstraseluler, berkaitan dengan fungsi sel dan metabolisme, terutama
metabolisme karbohidrat dan penyimpanan glikogen, membantu sintesa
protein, membantu potensi transmembran, berperan terhadap kerja otot,
termasuk otot jantung, dan aktivator enzim.

Pemanis buatan (skrispi dan tesis)

Pemanis buatan yang ditambahkan ke dalam produk suplemen
merupakan pengganti gula, karena mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan pemanis alami yaitu rasanya lebih manis, membantu mempertajam
penerimaan terhadap rasa manis, tidak mengandung kalori dan harga lebih
murah. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan
pangan di Indonesia adalah aspartam, sorbitol, sakarin dan siklamat yang
mempunyai tingkat kemanisan masing-masing 30-80 dan 300 kali gula alami
(Syah et al. 2005).
Menurut Permenkes 208/Menkes/Per/IV/85, pemanis buatan hanya
digunakan untuk penderita diabetes dan penderita yang memerlukan diet
rendah kalori, yaitu aspartam, sakarin dan sorbitol. Aspartam merupakan
molekul dipeptida dari asam amino L- fenilalanin sebagai metil ester dan Lasam
aspartat dengan tingkat kemanisan mencapai 160-220 kali sukrosa dan
stabil pada kisaran pH 3 hingga 5, serta titik isoelektriknya 5,2 (Brannen et al,
1990), sementara sakarin yang merupakan pemanis buatan tanpa energi (nonnutritive)
memiliki daya kemanisan 300 kali lipat lebih kuat dibanding gula
(Syah et al, 2005). Menurut Brannen et al, (1990), sorbitol merupakan gula
alkohol yang banyak digunakan sebagai pemanis buatan dalam produk diet
dan juga berguna sebagai humektan maupun penstabil, namun penggunaan
sorbitol dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan flatulensi dan diare,
(Syah et al, 2005) derajat kemanisannya berkisar 50-70% gula dan energi
yang dihasilkan 2,6 kalori per gr.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Surat
Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang
Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam
produk pangan. Surat keputusan ini merupakan panduan bagi produsen dalam
menambahkan pemanis buatan untuk produk yang dihasilkan, dan sebagai
rujukan konsumen untuk memilih dan menggunakan produk yang aman bagi
kesehatan.

Kafein (skripsi dan tesis)

Kafein merupakan derivate xantin berbentuk serbuk berwarna putih dan
sedikit rasa pahit yang dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat dan otot
sehingga mencegah rasa mengantuk, menaikkan daya tangkap pancaindra,
mempercepat daya pikir dan mempengaruhi rasa lelah (Konarek et al. 1994),
mempengaruhi sistem pernapasan, sistem pembuluh darah dan jantung,
mempercepat laju sperma, serta mempertahankan ereksi, sering dimanfaatkan
untuk menciptakan efek penstimulasi stamina (Ashurst, 1998) dan
menumbuhkan kewaspadaan tingkat tinggi (Martindale, 1997). Oleh karena
itu, setiap mengkonsumsi kopi 85–200 mg atau 1-3 cangkir/hari stamina terasa
meningkat, bersemangat dan tidak mudah lelah atau mengantuk (Yunita,
1997).
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan kandungan
kafein dalam produk suplemen tidak boleh melebihi 50 mg. Jika dikonsumsi
melebihi dosis, dalam jangka panjang konsumen akan terkena penyakit
jantung, darah tinggi, ginjal dan penyakit gula serta efek kecanduan yang
diindikasikan dengan rasa lesu jika tidak mengkonsumsi produk suplemen
(BPOM, 1996). Hal senada dikemukakan Linder (1992) bahwa, konsumsi
kafein berlebih dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung,
pembengkakan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, peningkatan aktivitas
usus, pengeluaran asam lambung, gagal ginjal, (Martindale, 1997) rasa
gelisah, susah tidur, sering buang air kecil, nafsu makan turun dan iritasi pada
lambung sehingga produksi getah lambung meningkat.

Vitamin (skripsi dan tesis)

Vitamin dibagi atas kelarutannya, yaitu vitamin larut dalam air dan
vitamin larut dalam minyak (Linder, 1992). Sementara Winarno (1982)
mengemukakan bahwa, vitamin yang larut air mudah diserap ke dalam darah,
tidak melalui saluran lymphe dan tidak dapat ditimbun di dalam tubuh.
Vitamin yang ditambahkan ke dalam produk suplemen umumnya berupa
vitamin yang larut dalam air (Hidayat, 2002).
Produk suplemen sebagian besar mengandung multivitamin B dan zat
non gizi, stimulant dan flavouring. Jenis vitamin yang banyak digunakan
adalah vitamin B komplek, yaitu vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), niasin
(asam nikotinat, niasinamida), vitamin B6 (pyridoxine) asam pantotenat,
inositol dan vitamin B12 (Sianokobalamin).
emua bahan pangan baik hewani maupun nabati mengandung vitamin
B1 (tiamin) (Hendler, 2001). Menurut Winarno (1982), tiamin berperan
sebagai koenzim dalam reaksi-reaksi yang menghasilkan energi dari
karbohidrat dan memindahkan energi membentuk senyawa kaya energi.
Kekurangan tiamin akan terjadi polyneuritis yang disebabkan terganggunya
transmisi syaraf atau jaringan syaraf menderita kekurangan energi. Hal yang
sama diungkapkan Tallaksen et al. (1997) bahwa, vitamin B1 dikenal esensial
bagi tubuh untuk fungsi pertumbuhan, menambah nafsu makan, memperbaiki
fungsi saluran pencernaan dan memelihara proses kehidupan sel-sel dalam
tubuh. Winarno (1982) mengatakan bahwa, vitamin B2 (riboflavin) larut
dalam air dan memberi warna fluoresens kuning-kehijauan merupakan
komponen suatu sistem enzim yang dikenal sebagai flavoprotein dan terlibat
dalam reaksi-reaksi metabolisme intermediet.
Niasin merupakan dua komponen koenzim, yaitu nicotinamide adenine
dinucleotide (NAD) dan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
(NADP) (Hendler and Rorvik, 2001) yang berfungsi sebagai katalis reaksireaksi
reduksi dan oksidasi guna menjaga sistem syaraf dan sistem
pencernaan, menurunkan kolesterol dan trigliserida dalam darah (Carpenter.
1981), serta menjaga agar suplai energi dalam jaringan tubuh berjalan normal
(Winarno, 1982).
Vitamin B6 (pyridoxine HCl) merupakan kelompok piridina dengan
keasaman tinggi (Winarno, 1982) yang terdiri dari piridoksin, piridoksal dan
piridoksamina (Hanna, 1997). Vitamin B6 berfungsi sebagai koenzim
piridoksal fosfat yang banyak berperan dalam reaksi enzim, terutama dalam
metabolisme asam amino, membantu fungsi otak, produksi energi (Tsuge,
1997), mencegah stress, memacu pembentukan sel darah merah, memelihara
keseimbangan cairan tubuh dan pengaturan eksresi air (Griffith, 1988).
Menurut Winarno (1982), vitamin B12 (sianokobalamin) merupakan senyawa
berbentuk kristal, berwarna merah yang berperan menjaga agar sel-sel
berfungsi normal, terutama sel-sel saluran pencernaan dan sistem syaraf .

Produk Suplemen (skripsi dan tesis)

Produk suplemen pada dasarnya merupakan pangan olahan, karena dalam
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1996 tentang pangan dikatakan
bahwa, pangan olahan adalah makanan dan minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan (Syah et al. 2005).
Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM, 1996), minuman suplemen adalah salah satu bentuk produk makanan
suplemen yang mengandung satu atau lebih vitamin, mineral, tumbuhan atau
bahan yang berasal dari tumbuhan, asam amino, bahan yang digunakan untuk
meningkatkan angka kecukupan gizi, atau konsentrat, metabolit, konstituen,
ekstrak, atau kombinasi beberapa bahan tersebut.
Bisnis minuman di Indonesia sedikitnya telah mengalami lima periode
perkembangan. Periode pertama sekitar tahun 60-an ditandai dengan mulai
dipasarkannya jenis minuman soft drink. Sekitar tahun 70-an mulai dikenal
minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, misalnya teh botol yang saat itu
sempat menguasai pasaran. Produk tersebut selanjutnya digantikan oleh air
mineral pada tahun 90-an. Periode 1990-1995 dikenal produk baru yang disebut
minuman sari buah (fruit juice) dan akhirnya pada tahun 1995, minuman
kesehatan (suplemen) mulai banyak diproduksi dan dipasarkan (Yunita, 1997).
Berbagai produk minuman baru yang oleh produsen sering disebut sebagai
minuman kesehatan (health drink), meliputi produk yang diklaim sebagai
minuman untuk meningkatkan kesehatan, minuman berenergi tinggi
(energy/stamina drink) atau minuman untuk olahragawan (sport drink), minuman
isotonik (isotonik drink) dan minuman kesehatan dari susu (milk base). Minuman
berenergi dibedakan menjadi dua, yaitu dengan dasar vitamin dan mineral
(vitamin base) dan minuman dengan dasar ginseng (ginseng base). Minuman
isotonik juga dibedakan menjadi dua, yaitu berflavor (flavour base) dan tidak
berflavour (non flavour base) (BPOM, 1996).
Trend produk suplemen telah merambah Indonesia yang ditandai beredarnya
produk Lipovitan produksi PT. Taisho Indonesia (TI). Produk Lipovitan dapat
dikatakan sebagai biangnya, karena sebelum merek-merek seperti Kratingdaeng,
Hemaviton dan Extra Joss, Lipovitan sudah menguasai pasar lebih dari 10 tahun.
Di tengah maraknya produk suplemen, merek Lipovitan yang menjadi pioner
dalam industri produk suplemen justru menurun, walaupun tetap melakukan
upaya pemasaran dan periklanan. Lipovitan tertinggal jauh dibanding produk
suplemen Kratingdaeng, Hemaviton dan Extra Joss. Lipovitan mulai goyah pada
awal 1990-an setelah hadirnya produk suplemen Kratingdaeng dengan
menawarkan cita rasa dan konsep pemasaran yang strategis pada tahun 1993
(Durianto et al, 2004a).
Sementara PT. Bintang Toejoe pada tahun 1994 meluncurkan langkah
spektakuler dengan produk suplemen Extra Joss dalam bentuk serbuk yang di
kemas sachet dengan harga jual murah (Hidayat, 2002). Tiga kekuatan produk
suplemen Extra Joss tersebut mendapat minat konsumen yang umumnya sering
mengkonsumsi produk suplemen dalam bentuk cair kemasan botol dan harga
relatif mahal. Permintaan dan prospek pasar menjanjikan ini, mendorong produsen
lain untuk mencari positioning baru yang berbeda dari produk terdahulu. Salah
satu kelebihan yang ditawarkan produsen adalah komposisi. Hemaviton Energy
Drink produksi PT. Tempo Scan Pacifik memposisikan diri sebagai produk
suplemen yang cenderung memiliki atribut seksualitas, seperti yang melekat pada
produk sebelumnya, Hemaviton kapsul. Tidak dapat dipungkiri (Yunita, 1997),
produk-produk suplemen sangat dekat dengan atribut seksual. Apalagi unsur
ginseng dan madu selain vitamin dijadikan kekuatan utama untuk menstimulasi
stamina. Oleh karena itu, konsumen semakin tertarik untuk mengkonsumsi produk
suplemen, sehingga pertumbuhan produk terus berkembang di Indonesia.
Perkembangan produk suplemen ternyata tidak selalu berjalan lancar. Pada
tahun 2001, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan menarik
empat jenis produk suplemen: Kratingdaeng, Kratingdaeng-S, Galian Bugar dan
M-150 dari peredaran, karena ketidakcocokan antara kandungan produk dengan
label yang tertera.

Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe II (skripsi dan tesis)

 

DM tipe II bisa menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun DM merajalela ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga berdenging atau tuli, sering berganti kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak pada usia dini, dan terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa berakhir dengan kebutaan), kebutaan akibat retinopathy, melumpuhnya saraf mata terjadi setelah 10-15 tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal neuphropathy, saraf-saraf lumpuh, atau muncul gangrene pada tungkai dan kaki, serta serangan stroke.

Pasien DM tipe II mempunyai risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, kematian akibat penyakit jantung 16,5% dan kejadian komplikasi ini terus meningkat. Kualitas pembuluh darah yang tidak baik ini pada penderita diabetes mellitus diakibatkan 20 faktor diantaranya stress, stress dapat merangsang hipotalamus dan hipofisis untuk peningkatan sekresi hormonhormon kontra insulin seperti ketokelamin, ACTH, GH, kortisol,dan lainlain. Akibatnya hal ini akan mempercepat terjadinya komplikasi yang buruk bagi penderita diabetes mellitus (Nadesul, 2002).

Faktor resiko Diabetes Mellitus Tipe II (skripsi dan tesis)

Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer & Bare, 2002)  antara lain  kelainan genetik, usia,  gaya hidup stress, dan pola makan yang salah. Secara genetis diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Berkaitan dengan usia umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.

Gaya hidup stress cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM tipe II. Hal ini bisa diperparah oleh pola makan yang salah, karena pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga  cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan.  Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk

Terapi Farmakologi diabetes (skripsi dan tesis)

Terapi farmakologi dilakukan apabila penatalaksanaan terapi non farmakologi belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus. Menurut PERKENI (2006), terapi farmakologi bagi penderita diabetes mellitus dapat diberikan dalam 2 macam, yaitu:

  1. Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:

1)      Pemicu sekresi insulin

  1. a)Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

  1. b)Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresikan secara cepat melalui hati.

2)      Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Golongan tiazolidindion mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Pada pasien yang menggunakan golongan obat ini perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

3)      Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia.

4)      Penghambat glukosidase alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

  1. Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis, yaitu:

1)      Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

2)      Insulin kerja pendek (short acting insulin)

3)      Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

4)      Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Terapi Non Farmakologi Untuk Diabets (skripsi dan tesis)

Dalam penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat/terapi non farmakologi yang berupa pengaturan diet dan olah raga.

  1. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat sebanyak 60-70%,  protein sebanyak 10-15%, dan lemak sebanyak 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

  1. Olah raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat baik pengaruhnya bagi kesehatan. Olah raga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurence Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan akktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Diagnosis Diabetss (skripsi dan tesis)

Kriteria diagnosis DM menurut Triplitt, et al. (2005):

  1. Gejala diabetes disertai kadar glukosa dalam plasma darah pada keadaan biasa≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Keadaan biasa ini maksudnya setiap waktu

sepanjang hari tanpa memperhatikan makan terakhir.

b.Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa artinya tidak ada masukan kalori selama minimal 8 jam.

c.Kadar glukosa dalam plasma selama 2 jam setelah pemberian glukosa ≥200 mg/dL ditetapkan dengan oral glucose tolerance test (OGTT). OGTT harus dilakukan dengan proses seperti yang diberikan WHO, yaitu menggunakan cairan glukosa yang setara dengan 75 g glukosa yang dilarutkan dalam air.

Tanda dan gejala (skripsi dan tesis)

Gejala yang khas pada DM yaitu polidipsi (banyak minum), poliphagia (banyak makan) dan poliuria (banyak kencing) disertai keluhan rasa lelah dan kelemahan otot akibat ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi (Corwin, 2007).

Terjadinya hiperosmolaritas yang parah dapat menyebabkan menurunnya tekanan intraokuler yang dapat menyebabkan bola mata dan lensa mata mengalami perubahan bentuk yang kemudian berakibat pada penurunan penglihatan menjadi buram (blurred vision) (Harris dan Greene, 2000).

Patofisiologi Diabetes (skripsi dan tesis)

Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan, makanan yang terdiri atas karbohidrat dipecah menjadi glukosa, protein dipecah menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya berfungsi sebagai bahan bakar zat makanan itu harus diolah, dimana glukosa dibakar melalui proses kimia yang menghasilkan energi yang disebut metabolisme (Misnadiarly,2006).

Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukossa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas, bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat (Misnadiarly,2006).

Pada Diabetes Melitus tipe 1, terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respons autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri (Misnadiarly,2006).

Pada Diabetes Melitus tipe 2, jumlah insulin normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat (Misnadiarly,2006).

Epidemiologi Diabetes (skripsi dan tesis)

 DM tipe 2 lebih umum terjadi dibandingkan DM tipe 1 dimana lebih dari 75% dari seluruh pasien DM dari suatu populasi menderita DM tipe 2. Kejadian DM tipe 2 meningkat seiring dengan usia dan meningkatnya obesitas dimana DM tipe 2 biasanya terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 45 tahun (Walker, 2003).

Prevalensi di Amerika Serikat 6% sampai 7% pada orang berusia 45 sampai 65 tahun dan 10% sampai 12% pada orang berusia lebih dari 65 tahun; sekitar 16 juta orang di Amerika serikat terdiagnosis diabetes, 90% di antara mereka menderita diabetes tipe II. Terdapat peningkatan epidemi diabetes melitus tipe II pada anak muda sesuai dengan peningkatan obesitas dan gaya hidup nyaman (kurang gerak) pada kelompok usia ini (Brashers, 2008).

Klasifikasi Diabetes (skripsi dan tesis)

 

 Beberapa klasifikasi diabetes mellitus, antara lain DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe lain. DM tipe 1 terjadi karena adanya destrtuksi sel beta pankreas yang mengakibatkan terjadinya defisiensi insulin. Diabetes tipe 1 ini dapat muncul disegala usia. DM tipe 2 terjadi karena adanya resistensi insulin atau kekurangan sekresi insulin. DM gestasional merupakan DM yang terjadi karena intoleransi glukosa selama masa kehamilan. DM tipe lain disebabkan oleh kerusakan genetik fungsi sel benta pankreas, endokrinopati, induksi obat atau senyawa kimia, infeksi, atau karena sindrom genetik lainnya (Triplitt, et al., 2005)

Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin.  Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (Corwin, 2007).

Pengertian Diabetes Mellitus (SKRIPSI DAN TESIS)

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok gejala penyimpangan metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein sebagai akibat dari kurangnya insulin, sentitivitas tubuh terhadap insulin atau keduanya yang ditandai naiknya kadar gula dalam darah (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).

Diabetes mellitus adalah sekelompok sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia; perubahan metabolism lipid, karbohidrat dan protein; dan peningkatan kompplikasi penyakit kardiovaskular. (Goodman & Gilman, 2003)

Klasifikasi obat generik (skripsi dan tesis)

Obat generik dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu  obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkasiat yang dikandungnya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010)  dan obat generik bermerek/bernama dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Obat generik adalah obat yang sama dengan zat berkhasiat yang dikandungnya, sesuai nama resmi International Non Propietary Names yang telah di tetapkan dalam Farmakope Indonesia. Pengertian lain dari Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Wakidi, 2009)

Obat generik merupakan obat yang ketersediaannya dalam  jumlah banyak dan jenis yang cukup terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan keamanannya. Obat generik tersebut perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

            Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 memuat tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, menimbang :

  1. bahwa ketersediaan obat generik dalam jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan keamanannya, perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.
  2. bahwa agar penggunaan obat generik dapat berjalan efektif perlu mengatur kembali ketentuan Kewajiban Menuliskan Resep dan/atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dengan Peraturan Menteri Kesehatan. (Anonim, 2010b)

Permenkes 2010 merupakan penegasan dari Permenkes 1989 yang memuat tentang Kewajiban Menuliskan Resep dan/atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Fakta yang ada, kewajiban ini sering diabaikan oleh tenaga kesehatan (dokter dan apoteker) dalam memberikan pelayanan pada pasien. Dokter dan apoteker tetap memberikan obat generik bermerek pada pasien, tanpa melihat daya beli pasien dan masyarakat pada umumnya (Anonim, 2010).

Harga Obat Generik (skripsi dan tesis)

Menurut Menkes, harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. (Depkes, 2004) Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) akan merasionalisasikan harga Obat Generik. Menurut Syamsul Arifin Sekretaris Jendral GP Farmasi, itu sudah merupakan kewenangan GP Farmasi untuk melakukan rasionalisasi agar masyarakat umum juga bisa menjangkaunya. (Anonim, 2006)

Produksi dan Distribusi Obat Generik (skripsi dan tesis)

Saat ini obat generik diproduksi oleh perusahaan milik negara, yaitu PT Kimia Farma, PT Indofarma, dan PT Phapros, serta beberapa perusahaan swasta sebanyak 20 perusahaan farmasi swasta yang telah ditunjuk pemerintah dan sudah mendapatkan sertifikat CPOB (Isnawati, 2008) Sebagai produsen obat generik utama, Indofarma dibangun pemerintah untuk melayani kebutuhan rakyat akan obat-obatan dengan harga semurah-murahnya, karena 90 % produknya adalah obat generik (Yanfar, 2006)

Kebijakan pemerintah mengenai obat generik (skripsi dan tesis)

Dalam pemasaran obat di Indonesia, masyarakat dapat memilih antaraobat paten atau obat generik. Namun untuk meningkatkan akses terapi bagi masyarakat yang kurang mampu, pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kebijakan Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah (Menkes,2010). Bila kebijakan penggunaan obat generik dapat diterapkan, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh, antara lain dapat menghemat biaya obat.

Mutu obat generik (skripsi dan tesis)

Masyarakat umumnya berpendapat bahwa obat generik adalah obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu karena harganya yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama kualitasnya dengan obat bermerk. Kualitas obat generik tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). (Arif,2004)

Para ahli farmasi menyatakan bahwa obat paten dan obat generik sama sekali tidak berbeda, kecuali pada nama dan harganya, harganya yang jauh lebih murah bukan berarti mutunya rendah, atau dibuat dari baku yang bermutu rendah, tetapi karena banyak factor-faktor biaya yang dapat dipangkas dalam produksi dan pemasaran misalnya pada biaya pengemasan dan juga biaya dalam periklanan, selain itu promosi obat ke dokter membuat obat paten mahal.

Pengertian tentang obat generik (skripsi dan tesis)

Ketika suatu industri farmasi mengembangkan obat baru, yang bersangkutan memiliki hak paten selama 15-20 tahun untuk memasarkan obat produknya tanpa diusik industri farmasi lain. Obat yang memiliki hak paten ini lazim disebut obat originator. Setelah masa paten terlewati, industri farmasi lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama. Ini yang disebut sebagai obat generik. Jika obat generik diberi logo, disebut obat generik berlogo (Dwiprahasto, 2010).

Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 085/Menkes/Per.1/ 1989 tanggal 28 Januari 1989, yang dimaksud dengan obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkasiat yang dikandungnya.

Pengertian Kesehatan (skripsi dan tesis)

Kesehatan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa ada gangguan yang menghalanginya. Setiap orang ingin selalu sehat itu merupakan hal yang wajar karena karena sempurna apapun keadaan seseorang, bila terkena sakit pasti tidak akan merasa senang dan tidak dapat memanfaatkan segala kemampuan yang dimilikinya tersebut.

Departemen kesehatan dengan bersumber pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa: Sehat adalah sejahtera jasmani, rohani dan sosial bukan hanya bebas dari penyakit, ataupun kelemahan.

Menurut batasan ilmiah dan teori kesehatan WHO, sehat atau kesehatan telah dirumuskan dalam Undang – Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 sebagai berikut : “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi”. Notoatmodjo (2005:2) menjelaskan kesehatan yaitu:  ‘kesehatan adalah keadaan seseorang dalam kondisi tidak sakit, tidak ada keluhan, dapat menjalankan kegiatan sehari – hari, dan sebagainya.’ ‘Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari fisik, mental dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi’ (Poltekes Depkes 2010:64)

Kesehatan merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Kesehatan (sesuai dengan definisi pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009) adalah keadaaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hartini dan Sulasmono, 2010).

KRITERIA MASALAH PENELITIAN YANG BAIK (skripsi dan tesis)

 

 

Mengenai bagaimana memilih masalah penelitian yang baik akan memenuhi beberapa kriteria antara lain:

  1. Relatif masih baru

Pengertian “baru” disini maksudnya ialah masalah penelitian tersebut belum pernah diungkap atau masih jarang dilakukan penelitian oleh orang lain. Dengan kata lain, masalah tersebut masih hangat-hangatnya di masyarakat. Hal in penting agar tidak terjadi usaha yang sia-sia karen asudah pernah dilakukan oleh orang lain. Di sinilah perunya banyak membaca literatur atau hasil-hasil penelitian lain. Tanpa banyak membaca, kita tidak tahu apakah masalah penelitian kita sudah dihawab oleh penelitian lain atau belum

  1. Aktual,

Masalah penelitian yang aktual disini diartikan masalah tersebut be artinya memang masalah yang akan diteliti ini menjadi masalah saat ini

  1. Memadai, artinya sesuai dengan kemampuan dan yang diharapkan dari peneliti

 

(Soekidjo, 2010)

 

 

 

PENGERTIAN PERUMUSAN MASALAH (skripsi dan tesis)

 

Sebelum diuraikan baaimana merumuskan masalah penelitian, terlebih dahulu akan dibahas apa yang dimaksud dengan masalah. Masalah adalah kesenjangan (gap) antara harapan dengan kenyataan, antara apa yang diinginkan atau yang dituju dengan apa yang terjadi atau faktanya. Merumuskan masalah penelitan ini dapat dilakukan dalam bentuk pernyataan (problem statement) dan juga dalam bentuk pertanyaan (research question)

(Soekidjo, 2010)

PENGERTIAN  TUJUAN PENELITIAN (skripsi dan tesis)

Tujuan penelitian adalah stau indikasi ke arah aman atau data (informasi) apa yang akan dicari melalui penelitian itu. Tujuan penelitian dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang konkret, dapat diamati (observable) dan measurable.

Biasanya tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan khusus pada hakikatnya adalah penjabaran dari tujuan umum.

(Soekidjo, 2010)

PENGERTIAN MANFAAT PENELITIAN (skripsi dan tesis)

 

Manfaat peneltian adalah kegunaan hasil penelitian nanti, baik bagi kepentingan pengembangan program maupun kepentingan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, dalam manfaat penelitian ini harus diuraikan secara terperinci manfaat atau apa gunanya hasil penelitian nanti. Dengan kata lain, data (informasi) yang akan diperoleh dari penelitian tersebut akan dimanfaatkan untuk apa, dalam rangka pengembangan program kesehatan.  Dari segi ilmu, data atau informasi yang diperoleh dari  penelitian tersebut akan mempunyai kontribusi apa bagi engembangan ilm pengetahuan. Secara spesifik, manfaat penelitian di bidang apapun seyogyanya mencakup dua aspek, yakni:

  1. Manfaat praktis atau aplikatif

Adalah manfaat penelitian dari aspek praktis atau aplikatif, yakni manfaat penelitian bagi program. Di bidang kesehatan dengan sendirinya manfaat penelitiannya adalah bagi pembangunan kesehatan atau bagi pengembangan program kesehatan

  1. Manfaat teoritis atau akademis

Adalah manfaat penelitian dari aspek teoritis yakni manfaat penelitian bagi pengembangan ilmu. Di bidang kesehatan atau kedokteran dengan sendirinya manfaat peenlitian tersebut harus dapat menambah khasanah ilmu kesehatan, khususnya terkait dengan kekhususan bidang kesehatan yang diteliti.

Bag beberapa penelitian akademis (amahasiswa), kadang-kadang manfaat pebelitian ini uga dilihat dari kepentingan pribadi peneliti yakni sebagai pengalaman proses belajar mengajar khususnya dalam bidang metodologi penelitian. Sebenarnya manfaat penelitian seperti ini tidak perlu dicantumkan karena memang enelitian apa saja bagi peneliti otomatis merupakan pengalaman pribadi dalam melakukan penelitian.

(Soekidjo, 2010)

 

 

 

PENGERTIAN TUJUAN PENELITIAN (skripsi dan tesis)

 

 Tujuan penelitian adalah suatu indikasi ke arah mana, atau data (informasi) apa yang akan dicari melalui penelitian itu. Tujuan penelitian dirumuskan dalam bentukpernyataan yang konkret, dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable).

Biasanya, tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan khusus pada hakikatnya adalah penjabaran dari tujuan umum. Apabila tujuan umum suatu penelitian tidak dapat atau tidak perlu dispesifikasikan lagi, maka tidak perlu adanya tujuan umum dan khusu, cukup dibuat “tujuan penelitian” saja.

 

(Soekidjo, 2010)

PENGERTIAN DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL (skripsi dan tesis)

 

Untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel diamati/dteliti, perlu sekali variabel-variabel tersebut diberi beri batasan atau definisi operasioanl. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen (alat ukur).

Pada waktu menyusun definisi operasional biasanya sekaligus mencakup:

  1. Cara pengukuran
  2. Hasil pengukuran (pengkategorian hasilpengukuran)
  3. Skala pengukuran

 

(Soekidjo, 2010)

PENGERTIAN  HIPOTESIS (skripsi dan tesis)

 

Hipotesis adalah satu jawaban sementara dari pertanyaan peneltian. Biasanya hipotesis dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variabel (variabel bebas dan variabel terikat). Hipotesis ebrfungsi untuk menentukan ke arah pembuktian, artinya hipotesis ini merupakan pernyataan yang harus dibuktikan. Kalau hipotesis tersebut terbukti maka akan menjadi thesis. Lebih dari itu, rumusan hipotesis itu sudah akan tercermin variabel-variabel yang akan diamati atau diukur dan bentuk hubungan antara varabel-variabel yang akan dihipotesiskan. Oleh sebab itu, hipotesis seyogyanya spesifik, konkret dan observable.

Kadang-kadang hipotesis tersebut dapat dijabarkan ke dalam hipotesis-hipotesis yang lebih spesifik lagi (sub hipotesis). Beberapa orang sering membedakan adanya hipotesi mayor dan hipotesis minor. Hipotesis mayor masih lebih bersifat umum sedangkan hipotesis minor merupakan penjabaran hipotesis mayor, oleh sebab itu lebih bersifat spesifik.

(Soekidjo, 2010)

PENGERTIAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN (skripsi dan tesis)

 

 

Yang dimaksud dengan kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap knsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti. Konsep sendiri adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan menggenarolisasikan suatu pengertian. Oleh sebab itu konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung. Agar dapat diamati dan dapat diukurm maka konsep tersebut harus dijabarkan ke dalam variabel-variabel. Dari variabel itulah, konsep dapat diamati dan diukur.

 

 

 

(Soekidjo, 2010)

FUNGSI DARI TINJAUAN KEPUSTAKAAN (skripsi dan tesis)

Untuk mendukung permasalahan yang akan diungkapkan dalam usulan penelitian, diperlukan tinjauan kepustakaan yang kuat. Tinjauan kepustakaan ini sangat penting dalam mendasari penelitian yang akan dilakukan. Fungsi tinjauan kepustakaan ini meliputi dua hal, yaitu:

  1. Tinjauan teori yang berkiatan dengan permasalahan yang akan diteliti. Hal ini dimaksudkan agar para peneliti dapat mempunyai wawasan yang luas sebagai dasar untuk mengembangkan atau mengidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti. Lebih dari itu, tinjauan teori ini dimaksudkan agar peneliti dapat meletakkan atau mengidentifikasi masalah yang ingin diteliti itu dalam konteks pengetahuan yang sedang dianalisis. Oleh sebab itu,s ering di dalam tinjauan kepustakaan ini diuraikan kerangka teori sebagai dasar untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian
  2. Tinjauan dari hasil-hasil penelitian lain yang berkaitan denan masalah yang akan diteliti. Hal in penting, di samping akan memperluas pandangan dan pengetahuan peneliti, juga peneliti dapat menghindari pengulangan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh oang lain (menjaga originalitas penelitian). Dalam tinjauan kepustakaan ini, peneliti mencoba meninjau atau mereview terhadap teori-teori dari hasil penelitian orang lain. Hal ini berarti bahwa pemikiran dan pendapat-pendapat pembuat pembuat proposal penelitian seyogyanya dimasukkan dalam tinjauan kepustakaan tersebut.

 

(Soekidjo, 2010)

 

KRITERIA DALAM PENELITIAN KLINIS (skripsi dan tesis)

 

Menurut undang-undang, maka penelitian klinis harus memenuhi tiga kriteria yakni:

  1. Kegiatan peneliitan klinis itu mencakup pemberian obat oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien
  2. Ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa obat tersebut mempunyai efek yang bermanfaat bagi pasien
  3. Pemberian obat tersebut bertujuan untuk menentukan berapa besar dan sampai berapa jauh suatu obat mempunyai efek-efek yang menguntungkan atau merugikan

(Soekidjo, 2010)

KRITERIA DALAM PENELITIAN KLINIS (skripsi dan tesis)

 

Menurut undang-undang, maka penelitian klinis harus memenuhi tiga kriteria yakni:

  1. Kegiatan peneliitan klinis itu mencakup pemberian obat oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien
  2. Ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa obat tersebut mempunyai efek yang bermanfaat bagi pasien
  3. Pemberian obat tersebut bertujuan untuk menentukan berapa besar dan sampai berapa jauh suatu obat mempunyai efek-efek yang menguntungkan atau merugikan

(Soekidjo, 2010)

JENIS DALAM PENELITIAN INTERVENSI (skripsi dan tesis)

 

Pada dasarnya ada dua tipe penelitian intervensi ini, yakni intervensi di bidang preventif dan penelitian intervensi di bidang kuratif.

  1. Penelitian intervensi preventif

Penelitian ini mencoba mempelajari hubungan faktor resko dengan kejadian suatu penyakit dengan memberikan perlakuan atau manipulasi terhadap faktor tersebut pada subjek. Walau efek perlakuan yang diberikan secara kolektif pada individu dalam masyarakat tersebut dapat diamati dengan pendekatan individual tetapi pengamatan tersebut lebih sering dilakukan dengan pendekatan kelompok.

  1. Penelitian intervensi kuratif

Penelitian eksperimental kuratif/intervensi mencoba memberikan perlakuan terhadap perkembangan suatu penyakit. Dengan kata lain, penelitian ini akan mengungkapkan apakah riwayat alamiah suatu penyakit dapat dimanipulasi atau di intervensi secara spesifik. Perlakuan dalam tipe penelitian ini adalah berupa pemberian penatalaksnaan tindakan kuratif kepada masyarakat untuk menanggulangi penyakit endemi masyarakat. Perlakuan bisa berupa penyuluhan kepada masyarakat dalam bentuk pengobaan massal

 

(Soekidjo, 2010)