Dimensi dan Mobilitas Kebutuhan Hunian (skripsi dan tesis)

2.1.1   Dimensi dan Mobilitas Kebutuhan Hunian

Turner (1968) mengemukakan 4 macam dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal yakni :

  1. Dimensi lokasi, mengacu pada tempat – tempat tertentu yang oleh seseorang dianggap cocok untuk tempat tinggal dalam kondisi dirinya. Kondisi ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupannya. Sebagai contoh, seseorang pada struktur ekonomi menengah ke bawah akan lebih memilih lokasi tempat tinggal yang dekat dengan lingkungan kerjanya agar menimimalisir biaya transportasi.
  2. Dimensi perumahan, berkaitan dengan penguasaan (tenure) yang erat kaitannya dengan pemilihan karakteristik tempat tinggalnya. Semakin tinggi tingkat penguasaan maka akan semakin flexible pula pilihan atribut tempat tinggalnya. Aspek penguasaan pada umumnya bergerak paralel pada tingkat penghasilan dan siklus kehidupannya. Seseorang yang berpenghasilan rendah misalnya, akan memilih menyewa atau mengontrak rumah saja daripada memilikinya dikarenakan adanya kebutuhan primer yang lebih dianggap mendesak untuk dipenuhi.
  3. Dimensi siklus kehidupan, membahas tahap – tahap seseorang menapaki kehidupannya. Dimensi ini serupa dengan teori yang diungkapkan oleh Maslow (1970), dimana terdapat lima hirarki kebutuhan yakni,

 

Seseorang harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan primernya dalam hal ini kebutuhan fisiologis manusia sebelum beranjak kepada tingkatan – tingkatan kebutuhan tertinggi. Berdasarkan gambar 2.1, dijelaskan tentang tahapan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya yang menurut Turner berbanding lurus dengan penghasilannya. Secara umum, semakin tinggi tingkat penghasilan seseorang maka semakin tinggi pula tingkatan kebutuhan yang akan dipenuhinya. Lebih lanjut Turner (1968) menyimpulkan tiga kebutuhan dasar manusia yakni opportunity (kesempatan), identity (identitas), dan security (keamanan).   

  1. Dimensi penghasilan, menekankan pembahasannya pada besar kecilnya penghasilan yang diperoleh persatuan waktu. Seiring dengan meningkatnya jumlah penghasilan seseorang, maka semakin tinggi pula prioritas dari kebutuhan perumahan dan siklus kehidupan yang diperolehnya. Oleh karena itu, Turner (1972) mengkaitkan hubungan antara penghasilan dengan prioritas kebutuhannya sebagai berikut :

 

Dlam dimensi siklus kehidupan, dimensi lokasi, dan dimensi perumahan terdapat korelasi yang sangat erat. Seseorang dengan penghasilan yang rendah cenderung memprioritaskan kebutuhan dasar (opportunity) tanpa melihat keamanan dan status sosialnya sehingga prioritas dalam bertempat tinggalpun cenderung memilih untuk menyewa tempat tinggal yang kualitas fisiknya terbilang kurang memadai. Dari segi lokasipun, seseorang dengan tingkat penghasilan yang rendah lebih memilih tempat tinggal yang berdekatan dengan sesamanya. Lain halnya dengan seseorang yang penghasilannya tinggi dimana prioritas kebutuhan utamanya yakni meningkatkan strata sosial di masyarakat. Seseorang pada tahap ini cenderung ingin memiliki tempat tinggal yang secara kualitas fisiknya modern.

Untuk menilik pada klasifikasi objek yang berkaitan dengan dimensi kebutuhan tempat tinggal, maka dilakukan pembagian golongan penduduk berdasarkan strata sosial yang berkenaan dengan lama bertempat tinggal di suatu wilayah. Dengan asumsi bahwa semakin lama seseorang menetap di sesuatu wilayah, maka semakin mantap posisi pekerjaannya sehingga semakin tinggi pula tingkat penghasilannya. Turner (1968) mengemukakan tiga golongan yakni :

  1. Bridgeheaders, golongan yang baru bertempat tinggal di suatu daerah yang dengan segala keterbatasannya belum mampu mengangkat dirinya ke jenjang sosial ekonomi yang lebih tinggi.
  2. Consolidators, golongan yang agak lama tinggal di suatu daerah yang telah mapan terhadap posisi pekerjaannya.
  3. Status seekers, golongan yang telah lama tinggal di suatu daerah yang telah mapan dalam hal kemampuan ekonominya. Kemampuan ekonomi tersebut mengubah perilaku seseorang dimana ia menginginkan pengakuan dalam status sosial oleh lingkungan sosialnya.

 

Seseorang dalam golongan bridgeheaders pada umumnya termasuk pada golongan kategori penghasilan rendah sehingga kemampuan ekonominya belum mampu untuk membangun rumah sendiri. Oleh karena lokasi pekerjaan pada umumnya terletak di pusat kota, maka golongan ini cenderung lebih senang tinggal di lokasi yang dekat dengan tempat kerjanya dengan maksud supaya pengeluaran untuk transportasi dapat dihemat.

Seiring dengan berjalannya waktu, golongan bridgeheaders yang telah mapan dari segi kemampuan ekonominya kemudian memasuki pada jenjang consolidators. Dalam jenjang ini, pemilihan lokasi tempat tinggal yang dekat dengan lokasi kerjanya akan turun skala prioritasnya karena dirasa tempat tinggal di pusat kota sudah tidak memberikan kenyamanan. Golongan ini mulai mengalihkan perhatiannya pada daerah pinggiran kota yang menurutnya menjanjikan kenyamanan bertempat tinggal. Hal ini wajar, karena penghasilannya sudah cukup tinggi sehingga mampu mengusahakan untuk membeli alat transportasi pribadi.

Dengan meningkatnya kemapanan ekonomi seseorang, kebutuhan hunian pun sudah tidak lagi berdasar pada sisi perlindungan. Pandangan tempat tinggal bagi golongan lanjut yakni status seekers, mulai menapaki fungsi hunian sebagai alat investasi. Pada tahap ini, seseorang akan lebih cenderung untuk membeli rumah yang mewah dari segi kualitas fisiknya dengan jumlah yang banyak. Hal ini merupakan upayanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih dan pengakuan dari segi status sosial di lingkungan masyarakatnya.

Kebutuhan Hunian (skripsi dan tesis)

Hunian atau tempat tinggal secara umum disebut permukiman dan secara khusus disebut sebagai bangunan rumah. Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal baik di daerah bersuhu dingin maupun daerah bersuhu udara panas sebagai tempat perlindungannya. Dalam Undang – Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dijelaskan bahwa rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Sementara itu Sa’idah (1999) berpendapat bahwa rumah (hunian) selain menjadi tempat berlindung, juga mempunyai peranan lain yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses penghidupan manusia. Kebutuhan hidup ini sesuai dengan peradaban manusia yang semakin tinggi tidak saja terbatas pada kebutuhan untuk mempertahankan diri tetapi juga meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi nilainya, misalnya kebutuhan untuk bergaul dengan manusia lain, kebutuhan akan harga diri, kebutuhan meningkatkan sumber pendapatan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Berdasarkan hal tersebut, maka disimpulkan bahwa hunian sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan yakni :

  1. Secara fisik, sebagai shelter atau tempat berlindung dari cuaca dan ancaman nyawa manusia yang tidak dihendaki.
  2. Secara ekonomi, sebagai investasi atau modal bagi pemiliknya. Rumah sebagai produk yang memiliki nilai ekonomis dan untuk kegiatan berekonomi.
  3. Secara sosial, sebagai tempat bersosialisasi serta pemenuhan kepuasan dalam pencerminan taraf hidup di lingkungan sosialnya.
  4. Secara psikologis, sebagai sarana edukasi dan pemenuhan cita rasa estetika.

PERGESERAN GUNA LAHAN (skripsi dan tesis)

Menurut Lestari (2009) mendefinisikan perubahan atau pergeseran guna lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh:

  1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi.
  2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.
  3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering.
  4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.

Menurut Wahyunto (2001), perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan kebutuhan hidup yang lebih baik. Menurut Irawan (2005), ada dua hal yang mempengaruhi alih fungsi lahan. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.

Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

  1. Faktor Eksternal.

  Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. Pertumbuhan perkotaan didorong oleh pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang ada baik dari kelahiran maupun urbanisasi, hal ini menyebabkan kebutuhan ruang untuk tempat tinggal juga akan meningkat sementara lahan perkotaan sangatlah terbatas. Selain itu, pertumbuhan perekonomian kota seperti kebutuhan penyediaan fasilitas umum, maupun infrastrutur untuk bisnis dan perdagangan juga samakin membutuhkan ketersediaan lahan yang besar.

  1. Faktor Internal.

Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Kebutuhan sosial ekonomi masyarakat petani semakin tinggi sehingga seringkali kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi dari usaha pertanian saja dan pada akhirnya hanya dapat dipenuhi dengan cara menjual lahan pertanian yang mereka miliki dan beralih profesi ke non pertanian.

  1. Faktor Kebijakan

  Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi. Pemrintah harus membuat kebihakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan lahan dan kebutuhan pangan masyarakat.

Perubahan penggunaan lahan tersebut juga bukannya tanpa ada sebab, terdapat empat faktor utama yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Bourne, 1982), yaitu:

  1. Perluasan batas kota;
  2. Peremajaan pusat kota;
  3. Perluasan jaringan infrastruktur khususnya jaringan transportasi;
  4. Tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu.

Dalam perencanaan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, factor-faktor tersebut antara lain manusia, aktivitas, serta lokasi kegiatan (Catanese, 1986:317).

Sebagai contoh dari keterkaitan tersebut yakni keunikan sifat lahan akan mendorong pergeseran aktifitas penduduk perkotaan ke lahan yang terletak di pinggiran kota yang mulai berkembang, tidak hanya sebagai barang produksi tetapi juga sebagai investasi terutama pada lahan-lahan yang mempunyai prospek akan menghasilkan keuntungan yang tinggi.

Hubungan antara ketiga faktor tersebut sangat berkaitan sehingga dapat disebut sebagai siklus perubahan penggunaan lahan. Dari hubungan dinamik ini akan timbul bentuk aktivitas yang akan menimbulkan beberapa perubahan (Bintarto, 1989: 73-74). Beberapa perubahan yang akan terbentuk adalah sebagai berikut:

  1. Perubahan Lokasi (Locational Change)
  2. Perubahan Perkembangan (Developmental Change)
  3. Perubahan Tata Laku (Behavioral Change)

DAMPAK SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN (skripsi dan tesis)

1.

Sosial ekonomi yaitu lingkungan yang terdiri dari manusia baik secara individu maupun kelompok yang saling berhubungan, sehingga terbentuklah komunitas- komunitas sosial dan kegiatan-kegiatan perekonomian. Komunitas sosial dan kehidupan ekonomi akan sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan kehidupan dimana manusia tersebut berada. Kualitas lingkungan sosial ekonomi yang baik yaitu jika kehidupan manusia yang ada di lingkungan tersebut secara ekonomi terpenuhi, tidak kekurangan pangan dan sandang, memiliki rumah, berpendidikan, merasa aman dan nyaman, terpenuhinya sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan lain sebagainya. Semua kebutuhan tersebut akan dapat terpenuhi dengan cara mereka harus memiliki pekerjaan dan pendapatan yang tepat dan memadai (Sunarko, 2007).

Sementara itu, menurut Soekanto (2002), sosial ekonomi adalah posisi seseorang dalam masyarakat yang berkaitan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulan, prestasinya, dan hak-hak serta kewajibannya dalam hubungannya dengan sumberdaya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat akan selalu mengalami perubahan, melalui proses sosial dan interaksi sosial yaitu suatu proses hubungan dan saling mempengaruhi, yang terjadi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok

Pembangunan dan penataan lingkungan buatan akan berdampak pada aspek Sumber Daya Alam (SDA) baik air, udara dan tanah. Semua itu akan memberikan dampak pada aspek sosial, baik perubahan ke arah negatif maupun ke arah positif. Namun sebagian besar perubahan yang ditimbulkan dari berubahnya lingkungan alam dan buatan telah memberikan perubahan sosial ke arah negatif (Reksohadiprodjo, 1997).

Akibat dari perubahan kualitas lingkungan alam, manusia sebagai makhluk yang berada di dalamnya akan memberikan reaksi penyesuaian diri. Reaksi tersebut diawali dengan stress yang mana aspek ini diakibatkan oleh suatu keadaan dimana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang. Ada dua macam tindakan manusia dalam menghadapi stress ini, pertama adalah tindakan langsung dan yang kedua adalah penyesuaian mental. Migrasi atau berpindah tempat adalah contoh tindakan langsung akibat perubahan lingkungan.

Menurut Roucek dan Warren aspek sosial ekonomi pada suatu masyarakat umumnya dipengaruhi oleh aspek lingkungan alam dimana masyarakat tersebut berdomisili. Aspek sosial ekonomi memberikan gambaran mengenai tingkat pendapatan masyarakat, jenis atau keragaman mata pencaharian yang ditekuni, aspek perumahan serta hubungan atau interaksi antara individu maupun kelompok masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Aspek sosial ekonomi seseorang dapat ditentukan lewat kegiatan ekonomi yang dilakukan, jumlah pendapatan yang diperoleh, jenis pekerjaan yang ditekuni, pendidikan formal, pemilikan barang dan pemilikan rumah.

Menurut Hagul (1985) pendekatan sosial ekonomi pembangunan terbatasi atas tiga berdasarkan manusianya, yaitu: Universitas Sumatera Utara

  1. The Trickle Down Theory, yaitu suatu pendekatan program percepatan pembangunan dan hasilnya dinikmati baik secara langsung atau tidak oleh masyarakat.
  2. Basic Needs Approach, yaitu pendekatan yang meliputi upaya secara langsung menanggulangi masalah kebutuhan pokok misalnya: Gizi, kesehatan, kebersihan, pendidikan, dll.
  3. Development From Within, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengembangkan potensi kepercayaan dan kemampuan masyarakat itu sendiri serta membangun sesuai tujuan yang mereka kehendaki.

Selanjutnya Reksohadiprodjo (1997) mengemukakan bahwa pembangunan kota akan mempunyai dampak social ekonomi yang bernilai positif maupun negatif. Berbagai masalah kota muncul seperti kemiskinan akibat terbatasnya mata pencaharian dan tingkat pendapatan, masalah kesehatan yang akan berakibat terhadap produktivitas, masalah pendidikan yang akan berakibat terhadap sumber daya manusia, masalah lingkungan hidup yang akan berakibat terhadap daya dukung kota.

Salah satu konsep tentang dampak suatu pembangunan infrastruktur jalan bertolak dari pemikiran bahwa masyarakat itu dipandang sebagai suatu bagian dari ekosistem. Perubahan dari salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem yang lain. Di dalam masyarakat terdapat tiga subsistem yang saling interaktif yakni (Sudharto P. Hadi, 2005):

  1. sistem social,

Secara sosial pembangunan infrastruktur transportasi menyediakan berbagai kemudahan, diantaranya (Prapti, 2015): a) Pelayanan untuk perorangan atau kelompok, b) Pertukaran atau penyampaian informasi, c) Perjalanan untuk bersantai, d) Memendekkan jarak, e) Memencarkan penduduk Di samping itu ada manfaat lain

  1. sistem ekonomi,

J’afar M. (2007) menyatakan bahwa, infrastruktur memiliki peranan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan jangka pendek menciptakan lapangan kerja sektor konstruksi dan jangka menengah dan panjang akan mendukung peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor-sektor terkait. Infra- struktur sepertinya menjadi jawaban dari kebutuhan negara- negara yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan membantu penanggulangan kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup, mendukung tumbuhnya pusat ekonomi dan meningkatkan mobilitas barang dan jasa serta merendahkan biaya aktifitas investor dalam dan luar negeri

  1. sistem fisik atau lingkungan fisik.

Meskipun membawa dampak positif, pembangunan infrastruktur jalan juga membawa dampak negatif diantaranya (Kementrian Pekerjaan Umum RI, 2010): 1. Berkurangnya lahan produktif pertanian. 2. Adanya pengurangan luasan lahan terbuka hijau. 3. Rusaknya lingkungan hidup di sekitar pembangunan infrastruktur jalan.

Dampak muncul ketika terdapat aktivitas: proyek, program atau kebijaksanaan yang akan diterapkan pada suatu masyarakat. Bentuk intervensi ini (karena aktivitas biasanya selalu datang dari luar masyarakat) mempengaruhi keseimbangan pada suatu sistem (masyarakat). Pengaruh itu bisa positif, bisa pula negatif (Sudharto P. Hadi, 2005)

PERKEMBANGAN KOTA (skripsi dan tesis)

1.

Batas fisik kota selalu mengalami perubahan, sehingga batas fisik kota tidak selalu berada didalam batas administrasi kota. Northam dalam Yunus (1994) mengatakan terdapat tiga macam kemungkinan hubungan antara eksistensi batas fisik kota dengan batas administrasi kota, yaitu

  1. Batas fisik kota yang ditunjukkan areal terbangun berada jauh diluar batas administrasi kota (Under Bound City).
  2. Batas fisik kota berada didalam batas administrasi kota (Over Bounded City).
  3. Batas fisik kota berimpitan dengan batas administrasi kota (True Bounded City).

Menurut Branch (1995) beberapa unsur yang mempengaruhi perkembangan kota, antara lain: keadaan geografis, lokasi site, fungsi kota, sejarah, serta kebudayaan yang melatar belakanginya. Sedangkan pertumbuhan kota lebih cenderung dianalisis dari pertumbuhan penduduk perkotaan. Semua unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi, dan dalam tampilan fisik tercermin dari bentukan fisik perkotaan yang mengalami fungsi – fungsi tertentu. Keadaan topografi dan perkembangan sosial ekonomi akan mengakibatkan perkembangan pola kota yaitu:

  1. Pola menyebar, pada keadaan topografi yang seragam dan kegiatan ekonomi yang homogen di suatu wilayah akan menyebabkan perkembangan dengan pola menyebar.
  2. Pola sejajar, terjadi akibat adanya perkembangan kota mengikuti jalur jalan, lembah, sungai, atau pantai.
  3. Pola merumpun, berkembang karena adanya sumberdaya alam tertentu yang menonjol.

Sedangkan menurut Jayadinata (1999), pola – pola perkembangan kota yang terdapat di atas lahan yang bertopografi datar dapat menjadi bentuk – bentuk radial menerus, radial tidak menerus, gridion menerus, radial menerus atau linear menerus. Kota terbentuk dari berbagai aspek yaitu aspek fisik, ekonomi, sosial, serta kebudayaan. Perkembangan aspek – aspek tersebut secara otomatis akan mempengaruhi perkembangan kota satu dengan lainnya tidak sama, ada kota yang tumbuh pesat namun adapula yang sulit berkembang. Hal ini disebabkan setiap kota memiliki ciri atau kondisi aspek yang beragam satu sama lainnya. Dengan didasari perkembangan tersebut suatu kota memiliki pendorong maupun penarik perkembangan yang beragam pula.

Apabila dicermati, berkembangnya suatu kawasan tidak akan terlepas dari berkembangnya pusat kota. Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan proses perkembangan kawasan kota, yaitu:

  1. Proses Perkembangan Fisik Wilayah

Proses ini adalah proses perkembangan fisik wilayah ke arah “mengkota”. Perubahan bentuk fisik wilayah ini tentunya terjadi pada wilayah yang secara administrasi dekat dengan kota.

  1. Proses Aglomerasi Penduduk

Proses perkembangan penduduk di suatu kawasan pusat kota sangat dipengaruhi oleh aglomerasi penduduk yang memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupannya dan mendapat akses yang lebih mudah untuk menjangkau pusat kota.

  1. Proses Urbanisasi Penduduk

Aktivitas identik dengan manusia, sehingga semakin banyak aktivitas mengindikasikan banyaknya manusia yang ada di kawasan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan proses urbanisasi, karena disuatu kawasan terdapat sebuah pusat aktivitas baru yang menyebabkan orang-orang berdatangan kedalam kawasan tersebut.

  1. Pemanfaatan Lahan dengan Kepadatan Tinggi

Adanya minat yang tinggi dari masyarakat untuk bermukim di lahan perkotaan menjadikan perluasan wilayah perkotaan secara fungsional di wilayah pinggiran menjadi solusinya. Akan tetapi perlu dicermati pula bahwa keseimbangan wilayah harus tetap terjaga antara wilayah perkotaan dan non-perkotaan agar kontinuitas wilayah dapat berjalan dalam waktu yang panjang. Berkaitan dengan hal tersebut maka wilayah perkotaan juga harus bisa dibatasi, salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan lahan secara vertikal. Perluasan bangunan tidak lagi dilakukan melebar, namun memanfaatkan ruang kosong yang ada diatas.

PENGERTIAN JALAN TOL (skripsi dan tesis)

1

Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya untuk mewujudkan sasaran pembangunan seperti pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mendefinisikan jalan sebagai prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, sedangkan jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri. Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan. Sementara itu, menurut statusnya jalan umum dikelompokkan ke dalam jalan nasiomal, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa.

Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, menyebutkan bahwa jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Sedangkan tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol. Tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan dan kelayakan investasi.

Adapun tujuan dari adanya tariff tol yaitu untuk pengembalian investasi, pemeliharaan dan pengembangan jalan tol itu sendiri. Penyelenggaraan jalan tol dimaksudkan untuk :

  1. memperlancar lalu lintas di daerah berkembang,
  2. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi,
  3. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan, dan
  4. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan

Teori Pusat Kegiatan Banyak (skripsi dan tesis)

            Menurut Harris and Ulmann pada tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pusat kegiatan tidak selalu berada pada posisi di tengah-tengah suatu wilayah (center). Lokasi-lokasi keruangan yang terbentuk tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh factor jarak dari CBD sehingga membentuk persebaran zona-zona yang teratur namun berasosiasi dengan sejumlah faktor yang akan menghasilkan pola-pola keruangan yang khas. Dimana wilayah yang tercakup adalah

  1. Central business district
  2. Wholesale light manufacturing
  3. Low class residential
  4. Medium class residential
  5. High class residential
  6. Heavy manufacturing
  7. Outlying business district
  8. Residential suburb
  9. Industrial suburb

Teori Poros (skripsi dan tesis)

Menurut babcock pada tahun 1932, Teori ini mendasarkan penggunaan lahan pada peranansektor transportasi. Keberadaan jalur transportasi akan menyebabkan distorsi padapola konsentris, sehingga daerah yang dilalui oleh jalur transportasi akan memilikiperkembangan fisik yang berbeda dengan daerah yang tidak dilalui oleh jalur transportasi. dimana wilayah yang tercakup adalah

  1. Pusat Kegiatan (CBD)
  2. Transistion Zone: Major Roads
  3. Low Income Housing: Railways
  4. Middle Income Housing

Teori Sektor (skripsi dan tesis)

Secara konsepsual, model teori sector yang di kembangakan oleh Hoyt, dalam beberapa hal masih menunjukan persebaran zona – zona konsentrisnya. Terlihat jelas bahwa yang menghubugkan pusat kota ke bagian –bagian yang lebih jauh di beri peran yang besar dalam pembentukan pola struktur internal kotanya.

             Keterangan :

  1. CBD ( Daerah Pusat Kegiatan )

Deskripsinya sama dengan zona pertama dalam teori konsentris.

  1. Woleshale Light Manufacturing

Apa bila dalam teori konsentris, zona 2 berada pada lingkaran konsentris, berbatasan langsung dengan zona 1 maka pada teori sector zona ke 2 pula seperti taji ( wedge ) dan menjari kea rah luar menembus lingkaran – lingkaran konsentris sehingga gambaran konsentris mengabur adanya.

  1. Pemukiman Kelas Rendah

Zona ini adalah suatu zona yang di huni oleh penduduk yang mempunyai kemampuan ekonomi lemah.

  1. Pemukiman Kelas Menengah

Zona ini menurut Hoyt memang agak menyimpang khususnya dalam pembentukan sektornya. Tidak seperti zona 2, 3 dan 5 dimana sifat radiating sector yang sangat mencolok.

  1. Pemukiman Kelas Tinggi

Zona 5 ini merupakan tahap terakhir dari pada residential mobilelity penduduk kota. Daerah ini menjanjikan kepuasan, kenyamanan bertempat tinggal.

Teori Ketinggian Bangunan (skripsi dan tesis)

Menurut bergel, (1995) mengusulkan untuk memperhatikan variable ketinggian bangunan. Variable ini memang menjadi perhatian yang cukup besar untuk negara – negara maju, karena menyangkut antara hak seorang untuk menikmati sinar matahari, hak seorang untuk menikmati keindahan alam dari tempat  tertentu batas kepadatan bangunan, kepadatan penghuni dan pemanfaatan lahan dengan aksesbilitas yang tinggi.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pada daerah pusat kegiatan harga lahan sangat mahal, aksesbilitas sangat tinggi dan ada kecendrungan membangun struktur perkotaan secara vertical. Oleh karena pada hakikatnya, ruang yang menikmati aksesbilitas paling tinggi yang sesungguhnya adalah pada ground floor maka ruang –ruangnya akan di tempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.

Pada ruang yang  terletak pada tingkat yang lebih tinggi, walaupun berada pada pusat kota ( aksesbilitas tertinggi secara horizontal, namun karena letaknya paling atas menjadi menurun nilai akesbilitasnya ) dan mungkin hanya akan laku bila di peruntukan untuk tempat tinggal sementara.

Teori Konsentris (skripsi dan tesis)

Menurut E.W. Burgess dalam analisisnya pada tahun 1925 di kota Chicago dengan analogi dari dunia hewan dimana suatu daerah akan di dominasi oleh suatu spesies tertentu. Seperti halnya dalam wilayah perkotaan akan terjadi pengelompokan tipe dalam penggunaan lahan tertentu. Pembagian wilayah dalam teori kosentris

  1. Daerah pusat kegitan/ Central

Dareah ini merupakan pusat dari segala kegiatan kota antara lain politik, social budaya, ekonomi dan teknologi.

  1. Daerah peralihan/ Transisi Zone

Zona ini merupakan daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan permukiman yang terus menerus dan makin lama makin hebat. Penyebabnya antara lain karena adanya pengaruh fungsi yang berasal dari zona pertama sehingga perbauran permukiman dengan bangunan bukan untuk permukiman seperti gudang, kantor dll sangat mempercepat terjadinya kemunduran dan penurunan mutu lingkungan permukiman.

  1. Zona perumahan para pekerja yang bebas

Zona ini paling banyak di tempati oleh perumahan pekerja – pekerja baik perkerja pabrik, industry dan sebagainya.

  1. Zona permukiman yang lebih baik

Zona ini di huni oleh penduduk yang berstatus ekonomi menengah ke atas, walaupun tidak berstatus ekonomi sangat baik namun mereka mengusahakan sendiri dengan bisnis kecil-kecilan, para professional, para pegawai dan lain sebagainya. Fasilitas permukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan pada tepat tinggal di rasakan pada zona ini.

  1. Zona penglaju

Zona ini di huni oleh para pekerja yang jarak tempat tinggalnya cukup jauh dari tempat bekerjanya.

Teori Konsentris Burgess memiliki beberapa kelemahan antara lain:

  1. Pada kenyataannya gradasi antar zona tidak terlihat dengan jelas.
  2. Bentuk daerah pusat kegiatan kebanyakan memiliki bentuk yang tidak teratur.
  3. Perkembangan kota cenderung mengikuti rute strategis.
  4. Homogenitas internal yang tidak sesuai dengan kenyataan.
  5. Area perumahan menengah kebawah tidak selalu berada di area pusat kota.

Pengertian Lahan (skripsi dan tesis)

Lahan adalah suatu daratan / permukaan tanah yang dapat di manfaatkan oleh manusia untuk keberlangsungan kehidupan. Tata guna lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu. Tata guna lahan merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan. Keseimbangan antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi merupakan kunci dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Tata guna lahan dan pengembangan lahan dapat meliputi :

a.Kota, merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.

b.Kawasan perkotaan (urban), merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

c.Wilayah, merupakan sebuah daerah yang memiliki batasan yang jelas sesuai dengan pengamatan administrative pemerintah.

d.Kawasan, merupakan daerah tertentu yang mempunyai ciri tertentu, seperti tempat tinggal, pertokoan, industri, dan sebagainya.

e.Perumahan, merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal.

f.Permukiman, merupakan lingkungan tempat tinggal berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kehidupan.