Modal Intelektual (skripsi dan tesis)

Terdapat pengertian yang beragam atas modal intelektual yang dikemukakan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Umumnya, istilah modal intelektual digunakan untuk merujuk pada aset tidak berwujud atau faktor bisnis tidak berwujud dari perusahaan, yang memiliki dampak signifikan terhadap kinerja dan kesuksesan bisnis secara keseluruhan, walaupun tidak terdaftar secara eksplisit di neraca (Mondal dan Ghosh, 2012). Salah satu definisi modal intelektual yang juga banyak digunakan adalah yang ditawarkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang menjelaskan modal intelektual sebagai nilai ekonomi dari dua kategori aset tak berwujud: (1) organizational (structural) capital; dan (2) human capital. 12 Menurut I Gede Cahyadi (2012), modal intelektual mencakup semua pengetahuan karyawan, organisasi dan kemampuan mereka untuk menciptakan nilai tambah dan menyebabkan keunggulan kompetitif. Modal intelektual telah diidentifikasi sebagai aset tak berwujud (sumber daya, kemampuan dan kompetensi) yang akan meningkatkan kinerja perusahaan dan nilai pasar perusahaan. Dalam PSAK Nomor 19 (Revisi 2000) tahun 2009 tentang aset tidak berwujud, telah disebutkan bahwa komponen modal intelektual merupakan bagian dari kategori aset tak berwujud.

Oleh karena itu, pengungkapan informasi mengenai modal intelektual bersifat sukarela, mengingat PSAK Nomor 19 belum mengatur tentang modal intelektual baik dari cara pengidentifikasiannya maupun dari segi pengukurannya. Sedangkan kriteria untuk memenuhi definisi asset tak berwujud antara lain adanya keteridentifikasinya, pengendalian sumber daya, dan manfaat ekonomis masa depan. Meskipun definisi modal intelektual sedikit berbeda, semuanya menekankan pertumbuhan pentingnya modal berbasis pengetahuan dan potensi hubungannya dengan penciptaan nilai. Para peneliti secara konsisten menggambarkan modal intelektual sebagai konstruksi multidimensi yang menekankan gagasan bahwa pengetahuan ada pada tingkat yang berbeda dalam organisasi (Scafarto dan Ricci, 2016)

Knowledge-Based Theory (skripsi dan tesis)

Knowledge-Based Theory atau Resource-based theory menjelaskan adanya dua pandangan mengenai perangkat penyusunan strategi perusahaan. Yang pertama yaitu pandangan yang berorientasi pada pasar (market-based) dan yang kedua adalah pandangan yang berorientasi pada sumber daya (resource-based). Pengembangan dari kedua perangkat tersebut menghasilkan suatu pandangan baru, yaitu pandangan yang berorientasi pada pengetahuan. Knowledge-based theory menganggap pengetahuan sebagai sumber daya yang sangat penting bagi perusahaan, karena pengetahuan merupakan aset yang apabila dikelola dengan baik akan meningkatkan kinerja perusahaan. Apabila kinerja perusahan meningkat otomatis nilai perusahan akan ikut meningkat. Perubahan 11 ekonomi yang berkarakteristik ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dengan penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management) maka kemakmuran suatu perusahaan akan bergantung pada suatu penciptaan transformasi dan kapitalisasi dari pengetahuan itu sendiri (Ulum dkk, 2008). Semakin baik perusahaan dapat mengelola dan memanfaatkan modal intelektual yang dimiliki, diharapkan akan menciptakan kompetensi yang khas bagi perusahaan yang diharapkan mampu mendukung kemampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan

Stakeholder Theory (skripsi dan tesis)

Teori ini menyatakan bahwa manajemen perusahaan melakukan aktivitas-aktivitas yang diharapkan para pemangku kepentingan dan melaporkannya kepada mereka. Kelompok pemangku kepentingan inilah yang menjadi pertimbangan bagi perusahan untuk mengungkapkan dan/atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan keuangan (Ulum dkk, 2008). Tujuan utama dari teori pemangku kepentingan adalah untuk membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan penciptaan nilai sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan dan meminimalkan kerugian yang mungkin muncul bagi pemangku kepentingan mereka. Sebenarnya, teori ini menjelaskan hubungan antara manajemen perusahaan dengan para pemangku kepentingannya. Para pemangku kepentingan memiliki hak untuk diperlakukan secara adil oleh organisasi, dan manajemen harus mengelola organisasi untuk keuntungan seluruh pemangku kepentingan (Ulum, 2009).

Selain itu, teori ini menganggap bahwa akuntabilitas organisasional seharusnya tidak hanya melaporkan informasi mengenai keuangan saja tetapi juga informasi mengenai non-keuangan. Jenis informasi yang disediakan oleh perusahaan dalam laporan tahunan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu informasi yang bersifat wajib (mandatory) dan informasi yang bersifat sukarela (voluntary). Salah satu informasi yang bersifat sukarela adalah informasi mengenai modal intelektual. Informasi tersebut mengungkapkan adanya suatu value added yang dimiliki oleh perusahaan akibat adanya pengelolaan dari modal intelektual itu sendiri. Sehingga dengan adanya pengungkapan mengenai informasi modal intelektual tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan dan dapat mengurangi tingkat risiko dan ketidakpastian yang dihadapi oleh investor

Modal Intelektual (skripsi dan tesis)

Istilah modal intelektual pertama kali dikemukakan oleh ekonom John Kenneth Galbraith yang menulis surat yang ditujukan kepada teman sejawatnya, Michal Kalecki, pada tahun 1969. Modal intelektual perlu ditumbuhkan dalam perusahaan dalam rangka mendorong kemauan pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan menggali pengetahuan dan tidak hanya bergantung pada sistem yang sudah ada. Modal intelektual merupakan aset bagi perusahaan yang berupa pengetahuan yang dapat meningkatakan posisi persaingan serta menambah niali bagi pihakpihak yang berkepentingan (Marr & Schiuma, 2001) Menurut William (2001) Modal intelektual tidak hanya berupa pengetahuan tapi juga informasi yang dapat diterapkan dalam pekerjaan. Modal intelektual yang tinggi dibandingkan perusahaan lain akan membuat investor memberikan penilaian yang lebih tinggi pula. Hal tersebut akan terlihat dari harga saham perusahaan. Tiga konstruk utama dari sumber intelektual yang diidentifikasi oleh para peneliti yaitu human capital, structural capital, dan customer capital, (Bontis et al. 2000).

Menurut Bontis et al. (2000), human capital menggambarkan pengentahuan saham dari suatu organisasi yang diperlihatkan melalui karyawannya, sedangkan human capital merupakan kombinasi dari warisan genetik, pendidikan, pengalaman, dan sikap mengenai kehidupan dan bisnis. Metode yang digunakan untuk mengukur modal intelektual adalah adalah metode VAIC. Modal intelektual memberikan kemampuan bagi perusahaan untuk menciptakan nilai tambah. Nilai tambah merupakan indikator untuk menilai kemampuan dan keberhasilan perusahaan dalam menciptakan nilai tambah (value creation) yang paling objektif. Penghitungan nilai tambah yaitu selisih antara ouput dan input (Pulic, 1998). Modal intelektual memberikan kontribusi terhadap kinerja perusahaan, karena modal intelektual merupakan sumber daya yang terukur untuk menciptakan keunggulan kompetitif. Modal intelektual mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan kinerja perusahaan.

Kinerja Keuangan (skripsi dan tesis)


Kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dari dengan mengunakan rasio-rasio yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan yang dikeluarkan secara periodik. Rasio yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah earnings per share (EPS), yang menunjukkan tingkat pengembalian modal untuk setiap satu lembar saham. Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan untuk setiap lembar saham terutama bagi pemiliknya maka saham tersebut merupakan saham yang menguntungkan dan akan menarik para investor untuk berinvestasi pada perusahaan (Ritonga & Andriyanie, 2011). Kinerja keuangan pada sebagian besar penelitian diukur dengan cara menghitung: Return on assets (ROA), Return on Equity (ROE), revenue growth, dan produktivitas pegawai (Chen et al, 2005). Return on assets (ROA) digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Pengukuran ini digunakan karena adanya kepentingan penelitian untuk mengetahui pengaruh modal intelektual sebagai aset yang dimiliki oleh perusahaan dalam menghasilkan return bagi perusahaan (Ciptaningsih, 2013). Tobin’s Q digunakan sebagai ukuran kinerja perusahaan. Tobin’s Q merupakan deskripsi nilai perusahaan dari pandangan investor (Sirapanji & Hatane, 2015).

Hubungan Pengungkapan Modal Intelektual dan Nilai Perusahaan (skripsi dan tesis)

 

Dalam beberapa penelitian terdahulu terdapat bukti empiris yang menyatakan pengaruh pengungkapan sukarela dan pengungkapan modal intelektual terhadap nilai perusahaan atau kapitalisasi pasar, walaupun bukan dalam konteks IPO. Hasil penelitian Healy dan Palepu (1993), Welker (1995), dan Botosan (1997) mengindikasikan bahwa pengungkapan modal intelektual yang makin tinggi akan memberikan informasi yang kredibel atau dapat dipercaya, dan akan mengurangi kesalahan investor dalam mengevaluasi harga saham perusahaan, sekaligus meningkatkan kapitalisasi pasar. Abdolmohammadi (2005) membuktikan bahwa jumlah pengungkapan komponen modal intelektual dalam laporan tahunan berpengaruh signifikan terhadap nilai kapitalisasi pasar perusahaan. Artinya, perusahaan yang mengungkapkan lebih banyak komponen modal intelektual dalam laporan tahunannya cenderung memiliki nilai kapitalisasi pasar yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Sihotang dan Winata (2008) dengan mengambil sampel perusahaan publik di Indonesia yang berbasis teknologi, menemukan bukti bahwa ada kecenderungan peningkatan dalam pengungkapan modal intelektual selama periode pengamatan. Penelitian tersebut juga menemukan bukti bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pengungkapan modal intelektual dengan kapitalisasi pasar. Hasil penelitian tersebut mendukung penelitian Abdolmohammadi (2005).

Hubungan Modal Intelektual dan Nilai Perusahaan (skripsi dan tesis)

 

Modal intelektual adalah seluruh aset pengetahuan yang dibedakan kedalam stakeholder resources (hubungan stakeholder dan sumberdaya manusia) dan structural resources (infrastruktur fisik dan infrastruktur virtual) yang berkontribusi signifikan dalam meningkatkan posisi persaingan dengan menambahkan nilai bagi pihak-pihak yang berkepentingan (Marr dan Schiuma 2001). Modal intelektual oleh Williams (2001) didefinisikan sebagai informasi dan pengetahuan yang diaplikasikan dalam pekerjaan untuk menciptakan nilai. Chen et al. (2005) menyatakan bahwa investor akan memberikan nilai yang lebih tinggi pada perusahaan yang memiliki sumber daya intelektual yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki sumber daya intelektual yang rendah. Nilai yang diberikan oleh investor kepada perusahaan tersebut akan tercermin dalam harga saham perusahaan. Firer dan Williams (2003), Chen et al. (2005) dan Tan et al. (2007) telah membuktikan secara empiris bahwa modal intelektual berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Ulum et al. (2008) melakukan studi tentang modal intelektual dengan menggunakan sampel perusahaan perbankan di Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa modal intelektual yang diukur dengan Value Added Intellectual Coeficient (VAICTM) terbukti secara statistik berpengaruh terhadap kinerja perusahaan dan kinerja perusahaan di masa depan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Isnawati dan Anshori (2007), dan Sianipar (2009) juga menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara value added intellectual capital dengan kinerja perusahaan.

Signalling Theory (skripsi dan tesis)

Khlifi dan Bouri (2010) menyebutkan bahwa signaling theory dikemukakan oleh Spence (1973) dan Ross (1977) dan kemudian diadopsi oleh Leland dan Pyle (1977) ke dalam penelitian pasar perdana. Pada penawaran umum saham perdana terdapat asimetri informasi antara pemilik lama dengan investor potensial mengenai prospek perusahaan di masa depan (Hartono 2006). Signaling theory mengindikasikan bahwa perusahaan akan berusaha untuk menunjukkan sinyal berupa informasi positif kepada investor potensial melalui pengungkapan dalam laporan keuangan (Miller dan Whiting 2005). Leland dan Pyle (1977) menyatakan bahwa sinyal adalah tindakan yang dilakukan oleh pemilik lama dalam mengkomunikasikan informasi yang dimilikinya kepada investor. Pemilik lama memiliki motivasi untuk mengungkapkan informasi privat secara sukarela karena mereka berharap informasi tersebut dapat diinterpretasikan sebagai sinyal positif mengenai kinerja perusahaan dan mampu mengurangi asimetri informasi.

Williams (2001) dan Miller dan Whiting (2005) menyatakan bahwa pengungkapan sukarela mengenai modal intelektual memungkinkan investor dan stakeholder lainnya untuk lebih baik dalam menilai kemampuan perusahaan di masa depan, melakukan penilaian yang tepat terhadap perusahaan, dan mengurangi persepsi risiko mereka. Perusahaan mengungkapkan intellectual capital pada laporan keuangan mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi investor, serta meningkatkan nilai perusahaan (Miller dan Whiting 2005). Sinyal positif dari organisasi diharapkan akan mendapatkan respon positif dari pasar, hal tersebut dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan serta memberikan nilai yang lebih tinggi bagi perusahaan

Stakeholder Theory (skripsi dan tesis)

Teori stakeholder menyatakan bahwa semua stakeholder mempunyai hak untuk memperoleh informasi mengenai aktifitas perusahaan yang mempengaruhi mereka. Teori stakeholder menekankan akuntabilitas organisasi jauh melebihi kinerja keuangan atau ekonomi sederhana (Deegan 2004). Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posisi para stakeholder yang dianggap powerfull. Kelompok stakeholder inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan dalam mengungkapkan atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan keuangan (Ulum et al. 2008). Dalam konteks ini, para stakeholder memiliki kewenangan untuk mempengaruhi manajemen dalam proses pemanfaatan seluruh potensi yang dimiliki oleh organisasi. Karena hanya dengan pengelolaan yang baik dan maksimal atas seluruh potensi inilah organisasi akan dapat menciptakan value added untuk kemudian mendorong kinerja keuangan dan nilai perusahaan yang merupakan orientasi para stakeholder dalam mengintervensi manajemen

Resource Based Theory (skripsi dan tesis)

Wernerfelt (1984) menjelaskan bahwa menurut pandangan Resource-Based Theory perusahaan akan unggul dalam persaingan usaha dan mendapatkan kinerja keuangan yang baik dengan cara memiliki, menguasai dan memanfaatkan aset-aset strategis yang penting (aset berwujud dan tak berwujud). Belkaoui (2003) menyatakan strategi yang potensial untuk meningkatkan kinerja perusahaan adalah dengan menyatukan aset berwujud dan aset tak berwujud. Resource-Based Theory adalah suatu pemikiran yang berkembang dalam teori manajemen strategik dan keunggulan kompetitif perusahaan yang meyakini bahwa perusahaan akan mencapai keunggulan apabila memiliki sumber daya yang unggul (Solikhah et al. 2010). Pulic (1998) berpendapat bahwa tujuan utama perekonomian yang berbasis pengetahuan adalah menciptakan nilai tambah. Untuk dapat menciptakan nilai tambah tersebut, maka dibutuhkan ukuran yang tepat mengenai modal fisik yang berupa dana-dana keuangan dan potensi intelektual yang direpresentasikan oleh karyawan dengan segala potensi dan kemapuan yang melekat pada mereka. Berdasarkan pendekatan Resource-Based Theory dapat disimpulkan bahwa sumber daya yang dimiliki perusahaan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan.

Pengaruh ROGIC dengan Kinerja Perusahaan Masa Depan (skripsi dan tesis)

Jika perusahaan yang memiliki modal intelektual (VAIC™) lebih tinggi akan memiliki kinerja yang lebih baik, maka logikanya rate of growth of intellectual capital (ROGIC) juga akan memiliki hubungan positif dengan kinerja keuangan masa depan (Tan et al., 2007). Perusahaan yang mampu mengelola dan mengembangkan sumber daya strategisnya maka perusahaan itu akan mampu menciptakan suatu nilai tambah dan keunggulan kompetitif sehingga akan bermuara pada peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Sumberdaya strategis itu dapat berupa aset berwujud dan aset tidak berwujud, Aset tidak berwujud disini dapat berupa aset intelektual perusahaan yaitu inovasi, sistem informasi, budaya organisasi, sumber daya manusia. Hal tersebut sesuai dengan knowledge-based theory.

Peningkatan kinerja keuangan akan  berdampak positif pada return yang didapat oleh stakeholder. Oleh karena itu, para stakeholder akan berperan sebagai pengendali dalam pengelolaan sumber daya perusahaan termasuk sumber daya intelektual. Hal ini sesuai sesuai dengan Stakeholder theory. Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan antara lain: Tan et al. (2007) melakukan pengujian terhadap pengaruh pertumbuhan modal intelektualyang digambarkan denganmendapatkan hasil positif ROGIC mempengaruhi kinerja keuangan masa depan perusahaan. Dewi et al (2008) melakukan penelitian dan mendapatkan hasil bahwa ROGIC berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan Bank Pembangunan Daerah. Prasetyo dan Yaputra (2012) melakukan penelitian terhadap semua perisahaan di bidang infrastructure, utilities dan transportation yang terdaftar di BEI, terdapat hasil yang signifikan bahwa ROGIC berpengaruh terdapat kinerja perusahaan.

Hubungan Modal Intelektual dengan Kinerja Perusahaan Masa Depan (skripsi dan tesis)

Kinerja keuangan suatu perusahaan dapat diartikan sebagai prospek atau masa depan, pertumbuhan dan potensi perkembangan yang baik bagi perusahaan. Dengan menciptakan efisiensi modal maka akan menunjang kinerja keuangan perusahaan masa sekarang. Efisiensi yang dihasilkan pada waktu lalu secara otomatis akan menunjang kinerja keuangan di masa depan. Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan antara lain: Tan et al. (2007) melakukan pengujian terhadap pengaruh modal intelektualterhadap financial return dalam 150 perusahaan yang terdaftar di bursa efek Singapore dengan metode Partial Least Square (PLS). Hasilnya konsisten dengan penelitian Chen et al (2005) bahwa modal intelektualberpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, baik masa kini maupun masa mendatang; rata-rata pertumbuhan modal intelektualberhubungan positif dengan kinerja perusahaan di masa mendatang. Ulum (2008) melakukan penelitian terhadap 130 perusahaan perbankan di Indonesia dengan metode Partial Least Square (PLS). Hasilnya menunjukkan bahwa modal intelektualberpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan masa kini maupun kinerja keuangan perusahaan di masa datang, namun rata-rata pertumbuhan modal intelektual (ROGIG) tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa datang

Hubungan Modal Intelektual dengan Kinerja Perusahaan (skripsi dan tesis)

Appuhami (2007) menyatakan bahwa semakin besar nilai modal intelektual (VAIC™) semakin efisien penggunaan modal perusahaan, sehingga menciptakan value added bagi perusahaan. Physical capital sebagai bagian dari modal intelektual menjadi sumber daya yang menentukan kinerja perusahaan. Selain itu, jika modal intelektual merupakan sumber daya yang terukur untuk peningkatan competitive advantages, maka modal intelektual akan memberikan kontribusi terhadap kinerja perusahaan (Abdolmohammadi, 2005). Modal intelektual diyakini dapat berperan penting dalam peningkatan nilai perusahaan maupun kinerja keuangan. Perusahaan yang mampu memanfaatkan modal intelektualnya secara efisien, maka nilai pasarnya akan meningkat. Jadi, dengan pemanfaatan dan pengelolaan modal intelektual yang baik, maka kinerja perusahaan juga semakin meningkat.

Beberapa peneliti baik di dalam negeri maupun di luar negeri telah melakukan penelitian mengenai pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan. Firer dan Williams (2003) meneliti hubungan antara modal intelektualdengan kinerja keuangan 75 perusahaan publik di Afrika Selatan dan hasilnya menunjukkan bahwa physical capital merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan di Afrika Selatan. Mavridis (2004) melakukan penelitian pada perusahaan perbankan di Jepang dimana hasilnya membuktikan  bahwa kinerja yang paling baik adalah bank yang mengelola IC-nya dengan lebih baik dan lebih sedikit penggunaan modal fisiknya. Chen et al (2005) menghubungkan modal intelektualdengan nilai pasar dan kinerja perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa modal intelektualmemiliki hubungan positif dengan nilai pasar, dan R&D berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

Pengukuran Modal intelektual (skripsi dan tesis)

Dalam penelitian ini, modal intelektualakan diukur dengan VAIC™ yang telah dikembangkan oleh Pulic (1998;2005). Dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA), yang juga merupakan selisih antara input dan output. Sedangkan VA itu sendiri dipengaruhi oleh efisiensi human capital (HC) dan structural capital (SC). Selanjutnya hubungan antara VA dengan capital employed (CE) atau dana yang tersedia, yang diformulasikan dengan VACA. Hubungan selanjutnya adalah VA dan human capital (HC) yang diformulasikan dengan VAHU. VAHU menunjukkan berapa banyak VA dpat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Yang terakhir adalah hubungan antara rasio VA terhadap structural capital (SC) yang diformulasikan dengan STVA. STVA mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. Selanjutnya adalah menghitung kemampuan intelektual perusahaan dengan menjumlahkan koefisienkoefisien yang telah dihitung sebelumnya. Hasil penjumlahan tersebut diformulasikan dalam VAIC™ (Ulum, 2008).

Resource-Based Theory (skripsi dan tesis)

Menurut Sangkala dalam Ramadhan (2009) resource-based theory menjelaskan adanya dua pandangan mengenai perangkat penyusunan strategi perusahaan. Yang pertama yaitu pandangan yang berorientasi pada pasar (market-based) dan yang kedua adalah pandangan yang berorientasi pada sumber daya (resource-based). Pengembangan dari kedua perangkat tersebut menghasilkan suatu pandangan baru, yaitu pandangan yang berorientasi pada pengetahuan (knowledge-based). Knowledge-based theory menganggap pengetahuan sebagai sumber daya yang sangat penting bagi perusahaan, karena pengetahuan merupakan aset yang apabila dikelola dengan baik akan meningkatkan kinerja perusahaan.

Apabila kinerja perusahan meningkat otomatis nilai perusahan akan ikut meningkat (Ramadhan, 2009). Ulum (2008) menjelaskan bahwa dengan perubahan ekonomi yang berkarakteristik ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dengan penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management) maka kemakmuran suatu perusahaan akan bergantung pada suatu penciptaan transformasi dan kapitalisasi dari pengetahuan itu sendiri. Semakin baik perusahaan dapat mengelola dan memanfaatkan modal intelektual yang dimiliki, diharapkan akan menciptakan kompetensi yang khas bagi perusahaan yang diharapkan mampu mendukung kemampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan

Stakeholder Theory (skripsi dan tesis)

Menurut Gutrie dalam Purnomosidhi (2006) Stakeholder Theory mengharapkan manajemen perusahaan melaporkan aktivitas-aktivitas perusahaan kepada para stakeholder, yang berisi dampak aktivitas-aktivitas tersebut pada perusahaan mereka, meskipun nantinya mereka memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut. Teori ini menganggap akuntabilitas organisasional tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau keuangan saja, sehingga perusahaan perlu melakukan pengungkapan tentang modal intelektual lebih dari yang diharuskan oleh badan yang berwenang. Kelompok stakeholder inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan dalam mengungkapkan dan atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan keuangan, sehingga perusahaan akan berusaha untuk mencapai kinerja optimal seperti yang diharapkan oleh stakeholder (Ulum, 2008).

Salah satu faktor yang mempengaruhi pengungkapan modal intelektual dalam laporan keuangan adalah kinerja modal intelektual, semakin baik kinerja modal intelektual dalam suatu perusahaan maka akan semakin tinggi tingkat pengungkapannya dalam laporan keuangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan para stakeholder terhadap perusahaan. Ketika manajer mampu mengelola organisasi secara maksimal maka value creation yang dihasilkan akan semakin baik. Penciptaan nilai (value creation) yang dimaksud adalah pemanfaatan seluruh potensi yang dimiliki perusahaan, baik karyawan (human capital), aset fisik (physical capital), maupun structural capital. Pengelolaan yang baik atas seluruh potensi ini akan menciptakan value added bagi perusahaan yang kemudian dapat mendorong kinerja keuangan perusahaan untuk kepentingan stakeholder (Ulum, 2009).

Modal Intelektual (skripsi dan tesis)

Definisi dari modal intelektual masih berbeda-beda, tidak terdapat definisi khusus, cenderung bersifat luas, dan masih membutuhkan dukungan dari berbagai pihak (Kusdiat, 2012).Di antara banyak definisi tentang modal intelektual, definisi yang dikemukakan oleh CIMA dan Marr dan Schiuma dinilai merupakan definisi yang paling komprehesif. CIMA (2001) dan Marr dan Schiuma (2001) dalam prasetyo (2012) mengemukakan definisi modal
intelektual sebagai:
…the possesion of knowlede and experience, profesional knowledge and skill, good relationships, and technological capacities, which when applied will give organisations competitive advantage. (CIMA,2001)
…the group of knowledge assets that are attributed to an organisation and most significantly contribute to an improved competitive position of this organisation by adding value to defined key stakeholder.(Marr and Schiuma, 2001)

Dari beberapa definisi modal intelektual ini, terdapat kesamaan pokok pikiran yaitu modal intelektual merupakan berbagai sumber daya pengetahuan, pengalaman dan keahlian karyawan, hubungan baik dengan signifikan berkontribusi dalam proses penciptaan nilai sehingga dapat
memberikan keunggulan kompetitif (competitive advantage) bagi perusahaan.

Pengertian Koping Religius (skripsi dan tesis)

Untuk mengetahui tentang koping religius, sebaiknya dikupas tentang pengertian dari koping itu sendiri. Coping adalah proses mengatasi tuntutan baik yang bersifat internal ataupun eksternal yang dianggap sebagai beban karena berada di luar jangkauan kemampuan individu. Bisa dikatakan juga bahwa koping merupakan bentuk pertahanan diri dalam  yang dilakukan individu untuk menghindar dari stress ataupun depresi. Sedangkan menurut Pargament yang dikutip oleh Angganantyo, religious adalah suatu pendekatan akan makna dengan tuntutan agama yang berhubungan dengan yang suci. Dari sinilah makna koping religius adalah strategi coping dengan memasukan pemahaman akan suatu kekuatan yang amat besar dalam hidup, dimana kekuatan tersebut dikaitkan dengan unsur ke-Tuhanan.

Remaja (skripsi dan tesis)

Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi, baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial (Tanner, 2004). Perubahan ini terjadi dengan sangat cepat dan kadang tanpa disadari. Perubahan fisik yang menonjol adalah perkembangan tanda-tanda seks sekunder, terjadinya pacu tumbuh, serta perubahan perilaku dan hubungan sosial dengan lingkungannya (Styne, 2003). Perubahan fisik dan psikologis pada remaja saling berkaitan. Otak remaja yang semakin berkembang menyebabkan meningkatnya kemampuan berpikir abstrak. Remaja masuk dalam pikirannya, menganalisis pikiran, perasaan, reaksi mereka, dan reaksi orang lain (Brooks, 2011). Introspeksi, idealisme, dan berbagai penilaian yang dibentuk remaja dengan situasi saat ini juga mempengaruhi hubungan remaja dengan lingkungan sosialnya. Perubahan psikososial pada remaja dibagi dalam tiga tahap yaitu remaja awal (early adolescent), yaitu pada usia 12 sampai 14 tahun, pertengahan (middle adolescent) yaitu usia 15 sampai 17 tahun, dan akhir (late adolescent) yaitu usia 18 sampai 20 tahun. Periode late adolescent ditandai oleh tercapainya maturitas fisik secara sempurna. Perubahan psikososial yang menonjol pada periode ini antara lain (Brooks, 2011): 34 1) Identitas diri menjadi lebih kuat
2) Mampu memikirkan ide
 3) Mampu mengekspresikan perasaan dengan kata-kata
 4) Lebih menghargai orang lain
 5) Lebih konsisten terhadap minatnya
6) Bangga dengan hasil yang dicapai
 7) Selera humor lebih berkembang
8) Emosi lebih stabil.
Pada fase ini remaja lebih memperhatikan masa depan, termasuk peran yang diinginkan nantinya. Mulai serius dalam berhubungan dengan lawan jenis, dan mulai dapat menerima tradisi dan kebiasaan lingkungan. Meskipun berada dalam fase akhir, egosentrisme masih menjadi ciri khas remaja. Periode penyerapan diri yang ekstrem menjadi penyebab sikap egosentrisme terus muncul. Pola egosentrisme remaja menyebabkan munculnya keyakinan bahwa apa yang mereka alami adalah sesuatu yang unik (Elkind, 1967). Remaja yang mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan (misalnya perceraian orangtua) cenderung sampai pada pemikiran bahwa penderitaan yang mereka alami tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Egosentrisme inilah yang menyebabkan remaja tingkat akhir yang mengalami masalah emosional sering mengkritik diri, merasa terisolasi, dan mengidentifikasi emosi secara berlebihan. Remaja tingkat akhir juga cenderung mengembangkan teori pribadi mengenai lingkungan sosialnya, dan teori ini sangat mempengaruhi pembelajaran 35 dan pemikiran mereka (Brooks, 2011). Pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi sepanjang kehidupan remaja menjadi dasar pembentukan teori mereka mengenai penghayatan diri dan hubungan sosial yang dibentuk. Penghayatan diri pada remaja tingkat akhir juga disebabkan karena mereka memiliki kecenderungan untuk membanding-bandingkan keadaan dengan teman sebaya (Brooks, 2011). Hal ini dikarenakan pertemanan dengan orang-orang berusia sebaya masih menjadi hal penting bagi mereka. Penghayatan diri yang negatif, kemampuan untuk mengembangkan teori pribadi mengenai kehidupan sosial, dan kecenderungan untuk membandingkan keadaan dengan teman sebaya menyebabkan timbulnya distorsi kognitif, sehingga mempengaruhi mental dan sikap remaja. Penelitian oleh Cole (2005) menunjukkan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai merasa ditolak, tidak berharga, dan tidak dicintai oleh orangtua, bahkan lingkungan sosialnya. Lebih jauh, penelitian oleh Shehan (2003) menjelaskan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai merasa khawatir untuk menjalin komitmen karena bercermin dari pengalaman orangtua mereka.

Faktor-faktor kuratif dalam terapi kelompok (skripsi dan tesis)

Menurut Yalom & Leszcz (2005), faktor-faktor terapiutik dalam terapi kelompok secara luas antara lain:
1) Membangkitkan harapan
Faktor penting dalam suatu psikoterapi adalah membangkitkan dan memelihara harapan. Harapan tidak hanya dibutuhkan agar klien tetap mengikuti terapi sehingga faktor-faktor terapiutik lainnya efektif, tetapi keyakinan terhadap manfaat dari terapi merupakan faktor terapiutik yang efektif. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tingginya harapan terhadap bantuan sebelum terapi dilakukan berkorelasi signifikan dengan hasil positif dari terapi.
 2) Universalitas
 Perasaan bahwa pengalaman kehidupan seseorang terasa unik seringkali meningkat karena adanya rasa terisolasi. Individu seringkali tidak mendapatkan kesempatan atau kesulitan untuk memiliki hubungan yang akrab dan tulus dalam kehidupan sosialnya. Pada terapi kelompok, terutama pada tahap awal, perasaan unik yang tidak diacuhkan merupakan sumber yang sangat baik untuk menciptakan perasaan bebas dari rasa tertekan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa individu merasa lebih terhubung dengan kelompok bahkan dunianya saat mendengar anggota lainnya menyampaikan permasalahan dengan tema yang sama. Individu akan sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada pikiran maupun perbuatan seseorang yang jauh menyimpang dari yang terjadi pada orang lain. Hal ini membuktikan adanya kesamaan pengalaman pada banyak individu.
 3) Pemberian informasi
Pemberian informasi penting untuk dilakukan di awal dan selama terapi pertemuan berlangsung. Penyampaian informasi yang didaktis dapat dilakukan oleh tenaga profesional sebagai terapis maupun anggota kelompok. Terapis dapat menyampaikan informasi meliputi cara belajar, cara menumbuhkan kepercayaan diri, topik kesehatan mental, penyakit mental, dan psikodinamika umum. Terapis seringkali harus menerangkan suatu gejala yang muncul di dalam kelompok ataupun gejala yang dialami anggota. Sementara itu, anggota lain juga bisa menambahkan melalui pemberian nasihat, saran-saran atau bahkan bimbingan langsung. Berbagai instruksi juga dapat dilakukan seperti menyusun kelompok atau membentuk norma kelompok.
4) Altruisme
 Individu belajar untuk memberi dan menerima selama berada dalam kelompok. Kegiatan saling menolong akan tercipta melalui interaksi di dalam kelompok. Para anggota kelompok akan saling memberikan saran, dukungan, pengertian, dan merasa senasib. Tidak jarang seorang anggota kelompok akan lebih mendengarkan dan menyerap hasil pengamatan dari anggota lainnya dibandingkan dengan terapis.
 5) Rekapitulasi korektif pada kelompok keluarga primer
 Sebagian besar anggota mengikuti terapi kelompok karena memiliki masalah dengan kelompok primer mereka, yaitu keluarga. Terapi kelompok menyerupai sistem keluarga dalam banyak aspek, seperti: terdapat figur otoritas, figur sebaya, hubungan yang mendalam, melibatkan emosi-emosi yang kuat, memiliki keintiman yang dalam, dan perasaan negatif mungkin dapat timbul (misalnya permusuhan dan rasa kompetitif). Anggota akan berinteraksi layaknya yang mereka lakukan dalam keluarga. Hal terpenting dalam faktor terapiutik ini adalah terdapat fungsi korektif dalam interaksi keluarga yang dihadirkan dalam terapi kelompok.
 6) Perkembangan teknik bersosialisasi
 Kemampuan sosial yang berkembang merupakan faktor terapiutik yang terjadi pada semua terapi kelompok. Anggota dapat belajar untuk menyelesaikan konflik, sehingga mereka dapat mengerti dan memahami masalah orang lain. Kelompok memiliki aturan-aturan dan mendorong adanya keterbukaan, memperoleh informasi yang cukup mengenai perilaku maladaptif di lingkungan sosial.
7) Mengimitasi perilaku
Proses mengimitasi atau meniru perilaku akan lebih menyebar di dalam terapi kelompok. Hal ini dikarenakan tiap-tiap anggota kelompok terpapar secara khusus oleh perilaku dari anggota lain atau bahkan 31 terapis. Keetrbukaan diri atau pemberian dukungan merupakan contoh perilaku yang banyak ditiru dalam suatu terapi kelompok. Anggota kelompok juga mungkin meniru cara anggota lainnya menyelesaikan masalah. Meniru perilaku ini merupakan proses yang baik karena anggota memnemukan dan memilah sumber daya yang tidak dimiliki ataupun dimiliki untuk kemudian diperbaiki bila perlu. 8) Pembelajaran interpersonal Kelompok merupakan mikrokosmik dari kehidupan sosial. Cara memperlakukan anggota lain dalam kelompok merupakan cerminan dari cara memperlakukan orang lain pada kehidupan sosial. Ketika anggota dapat memperbaiki pola interaksinya dalam kelompok, diharapkan dapat juga memperbaikinya di kehidupan sosial. Tanggapan anggota lain terhadap reaksi emosi yang ditunjukkan oleh individu juga akan memperbaiki distorsi kognitif yang dimiliki. Akhirnya individu menjadi lebih spontan dan jujur pada diri sendiri dan orang lain.
 9) Kohesivitas kelompok
Keberhasilan terapi sangat bergantung pada hubungan antara terapis dan klien. Anggota-anggota kelompok yang kohesif cenderung saling menerima, mendukung, dan menjalin hubungan yang bermakna dalam kelompok. Kohesivitas didefinisikan sebagai akibat dari semua kekuatan yang mempengaruhi anggota untuk tetap berada dalam kelompok atau secara lebih sederhana merupakan daya tarik kelompok  bagi anggotanya. Kohesivitas dapat menyebabkan terjadinya keterbukaan diri, pengambilan risiko dan pengekspresian yang konstruktif di dalam kelompok. Pada kelompok yang dapat menerima dan mengerti anggotanya, individu cenderung mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya, menyadari dan mengintegrasikan aspek-aspek self yang sebelumnya tidak dapat diterima, dan kemudian menjalin hubungan yang lebih mendalam dengan orang lain.
10) Katarsis
Katarsis selalu diasumsikan memiliki peranan penting dalam proses terapi. Katarsis dalam pendekatan kelompok lebih mungkin terjadi karena adanya anggota lain. Anggota akan memperoleh banyak dukungan ketika mengemukakan permasalahannya. Mereka merasa lebih diterima oleh anggota lainnya. Empati dan simpati yang didapatkan dari anggota lain akan banyak memberikan kelegaan bagi tiap-tiap anggota.
 11) Faktor eksistensial
Isu-isu eksistensial mengenai konfrontasi kehidupan manusia akan banyak dibahas dalam suatu terapi kelompok. Terapi kelompok akan mengantarkan anggotanya pada kesadaran mengenai kehidupan dan tanggung jawab untuk menjalaninya, ketidakmampuan menghindari rasa sakit dan kematian, hubungan dengan orang lain atau bahkan menjalan sendiri kehidupan walaupun mendapatkan banyak petunjuk dan dukungan

Tahap-tahap pelaksanaan terapi kelompok suportif (skripsi dan tesis)

Brabender, Fallon dan Smolar (2004) menjelaskan program dalam terapi kelompok suportif bergerak secara dinamis sepanjang kontinum tiap sesinya. Terapi kelompok suportif mengombinasikan formulasi yang berbeda-beda dengan mengikuti rangkaian tertentu. Rangkaian ini mungkin digunakan  secara tidak berurutan disesuaikan dengan kebutuhan peserta. Rangkaian terapi kelompok suportif adalah sebagai berikut:
 a. Pendekatan deduktif Pendekatan ini biasanya digunakan pada tahap awal pertemuan. Terapis berperan sebagai edukator dan peserta aktif memberikan pertanyaan pada terapis.
 b. Pendekatan interaktif Pendekatan ini biasanya digunakan pada pertengahan pertemuan. Terapis mengenalkan tema diskusi. Kemudian, peserta kelompok akan mendiskusikan tema tersebut secara lebih mendalam sesuai dengan pengalaman mereka. Peserta kelompok akan merasa semakin nyaman pada bagian ini.
 c. Pendekatan induktif Pendekatan ini biasanya digunakan pada tahap akhir pertemuan. Pada tahap ini peserta merasa semakin lekat dengan kelompok. Hal ini menyebabkan peserta merasa semakin leluasa untuk lebih mendalami tema yang telah dibahas pada tahap sebelumnya.

Pengertian terapi kelompok suportif (skripsi dan tesis)

Terapi kelompok merupakan sebuah tritmen yang dilakukan dengan cara menyertakan beberapa orang dalam sebuah kelompok kecil yang didampingi oleh satu terapis atau lebih yang terlatih dalam proses terapi kelompok (Brabender, Fallon & Smolar, 2004). Disain terapi ini dapat meningkatkan kemampuan secara psikologis dan memperbaiki masalah– masalah psikologis dengan cara pendekatan kognitif dan afektif yang dieksplorasi dari interaksi antar peserta kelompok dan terapis (Brabender, Fallon & Smolar, 2004). Burlingame dan Davies (dalam Wheelan, 2005) mengatakan bahwa kelompok ini tanpa pemimpin formal atau dipimpin oleh profesional dan merupakan gabungan atau improvisasi dari keduanya bisa menjadi lebih baik. Terapis memfasilitasi pelaksanaan terapi secara keseluruhan dan kesatuan, aktif memberikan dorongan semangat antar peserta. Terapis tidak hanya memberikan semangaat dan memberikan nasihat, tetapi juga mengonfrontasikan antar peserta satu sama lain dalam bentuk pertanyaan 24 mengenai cara coping yang maladaptif saat menghadapi permasalahan mereka. Yalom & Leszcz (2005) berpendapat bahwa kekuatan terapi kelompok berasal pada umpan balik yang diberikan semua peserta satu sama lain. Umpan balik ini terdiri dari mengekspresikan perasaan terhadap yang dikatakan dan dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Proses ini terjadi dalam suatu kondisi yang aman yaitu anggota kelompok berusaha mempertahankan rasa saling percaya yang memungkinkan mereka bicara secara jujur dan pribadi. Peserta yang yang bergabung dalam kelompok ini memiliki keinginan untuk mengurangi perasaan terisolasi dan untuk mempelajari keterampilan coping. Peserta terapi kelompok dalam berbagai pendekatan adalah minimal 3 sampai 10 orang. Salah satu jenis terapi kelompok adalah terapi kelompok suportif. Terapi kelompok suportif adalah terapi yang diorganisasikan untuk membantu anggotanya bertukar pengalaman mengenai masalah tertentu agar dapat meningkatkan coping (Videback, 2008). Kelompok suportif harus memberikan suasana aman bagi anggota kelompok untuk mengekspresikan perasaan frustrasi dan tertekan, serta mendiskusikan masalah yang dihadapi dan kemungkinan solusinya. Aturan dalam terapi kelompok suportif juga berbeda dengan psikoterapi lainnya, yaitu peserta dianjurkan untuk kontak dengan peserta lainnya dan saling bersosialisasi. Kepercayaan menjadi aturan kelompok dan diputuskan oleh peserta kelompok (Townsend, 2009).
Brabender, Fallon dan Smolar (2004) menjelaskan terapi kelompok suportif adalah pertemuan rutin oleh beberapa orang dengan permasalahan yang sama dengan dipimpin oleh seorang profesional. Masalah yang dimiliki peserta biasanya adalah mengenai duka lara atau perasaan terstigma buruk oleh masyarakat. Suportif pada terapi kelompok ini memiliki makna yang mendalam dan mempengaruhi model intervensi secara keseluruhan. Orientasi teoritis terapis adalah mendukung perkembangan anggota, atmosfer kelompok saling mendukung, dan pendekatan yang digunakan bukan analitis dekonstruktif seperti terapi lainnya. Hal ini tentu saja masih bersifat relatif karena masih dimungkinkan intervensi yang mendalam sesuai kebutuhan peserta. Terapi kelompok suportif sangat sesuai diterapkan pada klien usia remaja. Kebanyakan remaja menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kelompok, terutama pada teman-teman sebaya mereka. Remaja cenderung lebih merasa nyaman dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang dewasa (Aronson & Kahn, 2004). Terapi kelompok suportif sangat berguna untuk remaja dengan masalah emosional yang dipendam.

Faktor-faktor yang mempengaruhi self-compassion (skrispi dan tesis)

Pada artikel ilimiah yang ditulis oleh Kristin Neff (2003a) berjudul SelfCompassion: An Alternative Conceptualization of Healthy Attitude toward Oneself terdapat penjelasan mengenai hal-hal yang mungkin mempengaruhi perkembangan self-compassion.
a. Lingkungan
Pola asuh menjadi bagian yang penting mengenai kemampuan anak untuk mengembangkan sikap self-compassion. Kemampuan individu untuk mengalami empati intra-psikis ditentukan oleh proses internalisasi respon empatik lingkungan yang dialami individu saat masih di usia kanak-kanak. Kemampuan untuk menyadari dan menghadirkan kondisi perasaan internal berhubungan dengan empati yang diterima oleh anak-anak dari pengasuh mereka. Hal ini menandakan bahwa individu yang mengalami hubungan yang hangat dan penuh dukungan dengan orangtua mereka di masa kanak-kanak cenderung lebih memilki selfcompassion saat mereka dewasa
. b. Usia
Usia remaja bisa jadi adalah periode kehidupan saat selfcompassion berada pada titik terendah. Hal ini disebabkan remaja sedang mengembangkan sikap egosentrisme untuk membangun identitas dan mendapatkan tempat di lingkungannya. Egosentrisme ini berkontribusi pada sikap mengkritisi diri, perasaan terisolasi, dan identifikasi secara berlebihan pada emosi. Hal ini mengindikasikan bahwa self-compassion menjadi hal yang sangat kurang sekaligus sangat dibutuhkan pada periode kehidupan ini.
c. Jenis kelamin
Perempuan dianggap lebih memiliki rasa interdependensi mengenai diri dan lebih empatik daripada laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan diharapkan lebih memiliki self-compassion daripada lakilaki. Akan tetapi, pada penelitian yang lain diketahui bahwa perempuan cenderung lebih suka mengkritik diri sendiri dan memiliki coping yang lebih berupa perenungan jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan mungkin memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada laki-laki.
 d. Budaya
Kebudayaan kolektif memiliki rasa interdependensi mengenai diri sendiri. Kebudayaan kolektif, seperti contohnya pada orang-orang Asia, juga sudah terpapar oleh ajaran agama Budha mengenai selfcompassion. Dua alasan ini menyebabkan individu dari Asia (yang memiliki kebudayaan kolektif) memiliki self-compassion yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang barat. Namun, terdapat   penelitian yang menjelaskan bahwa orang-orang Asia lebih suka mengkritik dirinya daripada orang barat, sehingga terdapat kemungkinan malah memiliki self-compassion yang lebih rendah.

Aspek self-compassion (skripsi dan tesis)

Neff (2003a) menyatakan bahwa konsep self-compassion berasal dari 3 fitur dasar, yaitu:

a. Self-kindness Aspek utama dari self-compassion melibatkan perlakuan yang baik pada diri sendiri saat mengalami peristiwa tidak menyenangkan. Individu yang melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan cenderung untuk mengkritisi atau bahkan marah pada diri sendiri. Pengabaian terhadap emosi negatif yang dialami juga menjadi respon otomatis kebanyakan orang. Individu dengan self-kindness akan bersikap sebaliknya. Individu tersebut akan memperlakukan dirinya dengan baik, perhatian, dan penuh belas kasih.  Individu dengan self-kindness akan menyadari dan menerima bahwa dirinya tidak sempurna. Penerimaan ini akan memberikan ketenangan emosional saat peristiwa yang tidak menyenangkan terjadi.

b. Common Humanity Fitur ini melibatkan kesadaran bahwa sesulit dan sepahit apapun peristiwa yang dialami adalah bagian dari kehidupan. Pengalamanpengalaman negatif tersebut juga dialami oleh orang lain. Individu cenderung merasa bahwa kegagalan, kehilangan, penolakan, atau penghinaan yang dialaminya adalah sesuatu yang sangat personal dan unik. Padahal kenyataannya, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan pengalaman setiap orang. Kesadaran bahwa seseorang tidak sendiri dalam menghadapi situasi yang berat akan mengurangi perasaan terisolasi dan meningkatkan coping yang adaptif.

c. Mindfulness Fitur ketiga dari self-compassion ini melibatkan proses penyeimbangan perspektif terhadap suatu situasi, sehingga individu tidak terbawa suasana emosi yang negatif. Saat menghadapi suatu tekanan atau kesengsaraan, individu cenderung tenggelam dalam emosi negatif seperti marah dan sedih. Individu yang memiliki mindfulness mampu untuk tidak membesar-besarkan emosinya, karena memiliki perspektif yang luas mengenai suatu masalah. Perspektif yang luas ini didapatkan dari  kesadaran yang objektif dan seimbang, sehingga tidak memikirkan hal negatif secara berlarut-larut. Mindfulness juga dapat diartikan sebagai keadaan mental ketika individu sadar secara penuh dan mencoba untuk menyeimbangkan emosi negatifnya, sehingga mampu terbuka dan ramah terhadap diri sendiri saat pengalaman tidak menyenangkan dialami.

Pengertian self-compassion (skripsi dan tesis)

 Konstruk self-compassion berasal dari 2 kata yaitu self dan compassion. Compassion adalah sebuah konsep yang banyak dipelajari dalam kebudayaan dan kepercayaan dari timur. Armstrong (2013) menjelaskan bahwa compassion berkaitan dengan kaidah emas, yaitu suatu kemampuan yang meminta untuk masuk ke dalam hati sendiri, menemukan hal yang membuat tersakiti, dan kemudian menolak, dalam setiap keadaan, untuk menimbulkan rasa sakit itu pada orang lain. Sikap berbelas kasih ini (compassion) adalah hal paling dasar yang diajarkan pada setiap agama. Compassion juga bersifat menyembuhkan dari sakit fisik, mental, sekaligus spiritual (Prama, 2013). Sikap compassion diarahkan pada luar diri individu, baik kepada sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya, bahkan kepada alam semesta. Sementara itu, self mengandung arti diri sendiri atau pribadi, sehingga self-compassion secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap berbelas kasih pada diri sendiri. Neff (2003a) menjelaskan bahwa self-compassion adalah kemampuan untuk menjadi terbuka dan berpindah dari penderitaan, mengalami perasaan peduli dan kebaikan pada diri sendiri, memahami dan tidak menghakimi adanya inadekuasi dan kegagalan yang dialami, serta menyadari bahwa segala pengalaman pahit sebagai bagian dari kehidupan manusia. Neff berpendapat bahwa self-compassion bukanlah cara untuk menghindari tujuan atau menjadi pemurah dan tidak berdaya. Self-compassion adalah motivasi besar karena melibatkan hasrat untuk mengurangi penderitaan, menyembuhkan, berkembang, dan menjadi bahagia.
Gilbert dkk. (2004) menjelaskan bahwa self-compassion melibatkan sikap menenangkan diri alih-alih mengkritisi diri saat kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Perlakuan berbelas kasih pada diri sendiri bisa dilakukan dalam aksi nyata seperti berhenti sejenak dari aktivitas untuk memberikan waktu istirahat secara emosional. Aksi mental juga dapat dilakukan dengan memberikan kata-kata positif, memicu semangat, dan pemaafan pada diri sendiri. Self-compassion dapat menjadi sumber internal yang berharga untuk menghadapi peristiwa hidup yang negatif (Allen & Leary, 2010). Individu yang memiliki tingkat self-compassion yang tinggi tidak terlalu memandang situasi negatif sebagai suatu bencana, memiliki kecemasan yang ringan jika mengalami tekanan, dan tidak menghindari tugas yang menantang dikarenakan takut akan kegagalan. Sementara itu, Reyes (2011) berpendapat bahwa kemampuan untuk mencintai dan bermurah hati pada diri sendiri mengalami kejadian yang tidak menyenangkan merupakan definisi self-compassion berdasarkan perspektif 17 barat. Perspektif penganut agama Budha dari timur memandang selfcompassion sebagai respon kebijaksanaan, kasih sayang dan kesabaran terhadap penderitaan yang dialami

Ryff Scale of Psychological Well Being (1989) (skripsi dan tesis)

Ryff Scale of Psychological Well-Being (1989) versi medium form terdiri dari 54 item yang mencerminkan keenam dimensi dari psychological well-being. Pada tahun 2013, Izza Imania mengadaptasi alat ukur tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Validitas alat ukur pada penelitian Izza Imania (2013) dilakukan dengan menggunakan metode expert judgment. Alat ukur tersebut memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0.936.

Alat Ukur Self-Compassion Scale (2003) (skripsi dan tesis)

Versi asli dari Self-Compassion Scale menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya dan terdiri dari 26 item. Self-Compassion Scale telah terbukti valid berdasarkan perhitungan confirmatory factor analysis (NNFI = 0.88; CFI = 0.90), dan terbukti reliabel dengan perhitungan internal consistency yang menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,92 (Neff, 2003). Penelitian ini menggunakan Self-Compassion Scale yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterjemahkan ulang ke dalam Bahasa Inggris oleh Missiliana Riasnugrahani, Paulus Hidajat, dan Eveline Saritohe pada tahun 2012. Alat ukur yang sudah diadaptasi tersebut memiliki nilai validitas yang berkisar dari 0.552 hingga 0.772, dan memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,832 yang menunjukkan bahwa alat ukur tersebut valid dan reliabel (Riasnugrahani, 2014)

Dimensi Self-compassion (skripsi dan tesis)

Self-compassion dapat dipahami melalui beberapa komponen yang dikembangkan olehNeff (2003b), yaitu:
1)Self kindness
(kebaikan diri) merupakan komponen yang menerangkan seberapa jauh
seseorang dapat memahami dan memaknai kegagalannya. Self kindness
berisi afirmasi bahwa diri pantas mendapatkan cinta, kebahagiaan,dan kasih sayang walaupun dalam kondisi terburuk sehingga tercipta kenyamanan bagi diri sendiri (Neff, 2011).
Self kindness bertolak belakang dengan self judgment, yang berisi sikap permusuhan,rendah diri dan kritikterhadap diri sendiri.
2) Common humanity
(sifat manusiawi) merupakan komponen tentang seberapa banyak
seseorang mampu menghargai pemikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain yang beragam. Melalui common humanity seseorang akan mampu melihat sebuah kegagalan atau masalah dari sudut pandang yang lebih luas sehingga mampu memahami bahwa peristiwa yang sedang dialaminya tersebut terjadi bukan sematamata karena kesalahanya sendiri melainkan memang hal yang sudah sewajarnya terjadi. Common humanity berkebalik
an dengan isolasi diri. Ketika seseorang mengalami kegagalan, biasanya dia akan merasa hanya dirinya saja di dunia ini yang mengalami kondisi tersebut dan merasa harus bertanggung jawab sendirian. Akibatnya muncul perasaan malu dan berusaha mengisolasi diri (Hidayati & Maharani, 2013).
3)Mindfulness
(kesadaran penuh atas situasi saat ini) merupakan kemampuan menyeimbangkan pikiran ketika dalam situasi yang menekan atau menimbulkan penderitaan (Neff, 2003b). Konsep dasar
mindfullness adalah melihat segala sesuatu seperti apa adanya dalam artian tidak dilebih-lebihkan atau dikurangi sehingga mampu menghasilkan respon yang benar-benar obyektif dan efektif (Neff, 2011). Mindfulness
bertolak belakang dengan over identification, berupa hilangnya kontrol atas emosi

Self Compassion (skripsi dan tesis)

Self compassion  merupakan konsep baru yang dipelajari oleh dunia barat, yang diambil dari filosofi ajaran Budha tentang cara mengasihi diri sendiri layaknya rasa kasihan kita ketika melihat orang lain mengalami kesulitan (Neff, 2003b; Hidayati & Maharani, 2013). Lebih lanjut Hidayati dan Maharani (2013) menjelaskan bahwa konsep tentang self compassion muncul karena adanya kritik terhadap konsep-konsep yang telah berkembang sebelumnya, seperti
self esteem, self efficacy, atau self regulation , yang
cenderung mengedepankan tentang prestasi diri atas perbandingan dengan orang lain. Konsep -konsep tersebut berbeda dengan self compassion
yang mengembangkan rasa cinta kasih terhadap diri sendiri dan orang lain (Neff, 2003b). Self compassion berbeda dengan konsep self esteem
(Neff , Kirkpatrick, & Rude , 2007a). Secara umum, self-compassion
berhubungan dengan keterbukaan dan pemahaman terhadap orang lain. Individu yang mempunyai self compassion tinggi mempunyai ciri :
(1) mampu menerima diri sendiri baik itu kelebihan maupun kelemahannya; (2) mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai sebuah hal umum yang
juga dialami oleh orang lain; dan (3) mempunyai kesadaran tentang ketertubungan antara segala sesuatu (Hidayati & Maharani, 2013).
Menurut Neff (2003b) self-compassion merupakan kebaikan hati dan pemahaman yang timbul dari diri individu dengan melibatkan
perilaku yang sama terhadap diri sendiri ketika sedang dalam kesulitan, kegagalan, atau mengingat suatu hal yang tidak kita sukai
tentang diri kita sendiri. Sedangkan menurut Hidayati dan Maharani (2013)
compassion merupakan kombinasi antara motivasi, afek
si, kognisi dan perilaku yang menunjukkan
kasih sayang dalam rangka memunculkan keinginan untuk menghilangkan kesulitan dan penderitaan, dimana kasih sayang tersebut ditujukan kepada dirinya sendiri. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
self compassion berbeda dengan self pityatau mengasihani diri sendiri,
karena mengasihani diri sendiri sebenarnya adalah sebuah kondisi dimana individu yang bersangkutan menolak penderitaan dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang dilakukannya

Self compassion (skripsi dan tesis)

Self compassion merupakan karakter kasih sayang untuk diri sendiri. Karakter self compassion memberikan kasih sayang dan cinta yang dibutuhkan diri sendiri dengan meningkatkan harapan untuk bahagia dan bebas dari penderitaan. Self compassion dapat mencegah seseorang terjatuh dalam kondisi yang lebih buruk di saat mengalami situasi yang tidak diharapkan. Pada umumnya akan dipertanyakan kemungkinan dampak negatif self compassion, yaitu berkurangnya motivasi, menjadi pasif, dan menjadi terlalu memanjakan diri. Ada kecemasan ketika menerapkan self compassion, mereka menjadi lemah. Namun penelitian membuktikan keadaan sebaliknya.. Penelitian membuktikan bahwa orang dengan self compassion yang tinggi memiliki target yang tinggi terhadap diri, tetapi tidak menyiksa diri saat kurang berhasil mencapai target tersebut. Dengan memiliki self compassion justru seseorang akan mencapai kesehatan dan kesejahteraan individu. Self compassion tidak hanya dibutuhkan ketika seseorang mengalami suatu masalah yang berat, tetapi juga dalam situasi dan kondisi apapun.

 Penelitian Neff & Vonk (2009) menemukan hasil bahwa self compassion berperan secara unik dalam emosi-emosi positif seperti sense of coherence dan feeling of worthy and acceptable. Selignman & Csikzentmihalyi (dalam Neff et al., 2011) menyatakan bahwa individu dengan self compassion menunjukkan kekuatan psikologis yang terkait dengan perkembangan psikologi positif seperti kebahagiaan, optimisme, kebijaksanaan, keingintahuan, motivasi bereksplorasi, inisiatif pribadi, dan emosi positif. Lebih lanjut Neff (2011) menjelaskan bahwa self compassion tidak menggantikan emosi negatif menjadi positif secara langsung, melainkan emosi positif tersebut dihasilkan dengan cara merangkul emosi negatif yang ada. Emosi positif dari kasih sayang dan perasaan terhubung satu sama lain dirasakan bersamaan dengan perasaan kesedihan. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan self compassion cenderung memiliki kecerdasan emosi lebih tinggi. Data penelitian psikologi lainnya mendukung temuan tersebut dengan menyatakan bahwa orang-orang dengan self compassion memiliki kemampuan koping emosi lebih baik (Neff, 2011). Neff (2011) juga melakukan kajian tentang self compassion yang dihubungkan dengan kesejahteraan hidup. Self compassion yang tinggi membuat seseorang merasa aman dan nyaman sehingga meningkatkan kondisi kesehatan dan kesejahteraan hidup (well being), baik secara subjektif maupun psikologis. Selain itu self compassion juga berkorelasi positif secara signifikan dengan kepuasan hidup, penerimaan diri, penginterpretasian pengalaman hidup secara positif, dan kebahagiaan yang merupakan aspek-aspek dari variabel kesejahteraan hidup (Barnard & Curry, 2011). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Leary et al., (2009) yang menemukan bukti terhadap 102 mahasiswa sebagai responden diminta untuk melihat video tentang diri mereka dalam adegan yang memalukan.
Mahasiswa yang memiliki self compassion yang tinggi, menunjukkan lebih sedikit emosi negatif dibandingkan dengan mahasiswa dengan level self compassion lebih rendah. Penelitian yang sama juga dilakukan pada 69 subjek pendeta nasrani, didapatkan hasil yang menyatakan bahwa self compassion berkorelasi negatif dengan kelelahan emosional dan evaluasi diri negatif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan self compassion sangat efektif dalam mengendalikan emosi-emosi negatif yang muncul dalam diri individu. Self compassion juga terasosiasi dengan besarnya inisiatif personal yang diperlukan untuk mengubah diri sendiri menjadi lebih baik. Di samping itu penelitian membuktikan bahwa individu dengan self compassion termotivasi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi, tetapi bukan disebabkan oleh keinginan untuk meninggikan citra diri, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan untuk memaksimalkan potensi diri dan kesejahteraan. Self compassion membuka kesadaran pada individu saat mengalami keadaan yang tidak diinginkan, sehingga individu mampu menerima dan tidak menghindar dari keadaan yang harus dihadapi. Self compassion juga meliputi pemahaman diri tanpa penilaian atas kegagalan atau ketidakmampuan diri sendiri. Pengalaman penderitaan dilihat sebagai bagian dari pengalaman manusia pada umumnya (Neff, 2003). Selanjutnya Neff (2011) menjelaskan beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya self compassion dalam diri individu. Self compassion menjadi media paling kuat untuk menghadapi situasi dan emosi yang menyulitkan sehingga individu terhindar dari emosi yang destruktif (Neff, 2011). Secara alamiah, informasi negatif menghasilkan sinyal bahaya pada otak sehingga secara otomatis akan menghasilkan respon fight-or-flight (bertahan atau melarikan diri). Di samping itu, Neff (2011) melakukan penelitian terhadap sejumlah subjek yang diberi pelatihan self compassion dengan mengukur perbedaan level kortisol (hormon stres) dan variabilitas detak jantung sebagai indikator kemampuan beradaptasi secara efektif terhadap stres. Subjek yang mendapatkan pelatihan self compassion, maka mengalami penurunan hormon kortisol mereka, dan meningkat variabilitas detak jantungnya.

Pengertian Komitmen Pegawai (skripsi dan tesis)

Menurut Rachmawati (2008:45) mendefinisikan komitmen karyawan sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari karyawan dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya ke dalam organisasi. Menurut Pratiwi (2012:21), ketiga bentuk dari komitmen ini disebut affective commitment, continueance commitment dan normative commitment.

1. Komitmen Afektif (Affective commitment), Komitmen afektif didefinisikan sebagai sampai derajat manakah seorang individu terikut secara psikologis pada organisasi yang memperkejakannya melalui perasaan seperti loyalitas, affection, karena sepakat terhadap tujuan organisasi. Menurut definisi tersebut, maka komitmen afektif seorang individu berhubungan dengan ikatan emosional atau identifikasi tersebut dengan organisasi.

2. Komitmen Kontinuen (Continueance commitment), Komitmen kontinuen adalah komitmen yang didasarkan pada kerugian bila meninggalkan organisasi, yang sering kali diartikan sebagai calculative commitment. Dengan kata lain, seorang karyawan memiliki komitmen kontinuan yang kuat disebabkan mereka merasa membutuhkannya (need to) dan adanya pertimbangan kerugian biaya bila meninggalkan organisasi (seperti: pensiun, status, senioritas) atau kesulitan mendapatkan alternatif pekerjaan di tempat lain.

3. Komitmen Normatif (Normative commitment), Komitmen normatif adalah keyakinan dari karyawan bahwa dia merasa harus tinggal atau bertahan dalam organisasi karena suatu loyalitas personal, sehingga karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi akan bertahan dalam organisasi.

Sopiah (2008:157) mengemukakan bahwa ada tiga komponen organisasional, yaitu:

1) Affective commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional.

2) Continuance commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungankeuntungan lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain.

3) Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan. Komitmen pegawai, baik yang tinggi maupun yang rendah, akan berdampak pada:

1) Pegawai itu sendiri, misalnya terhadap perkembangan karier pegawai itu di organisasi atau perusahaan.

2) Organisasi. Pegawai yang berkomitmen tinggi pada organisasi akan menimbulkan kinerja organisasi yang tinggi, tingkat absensi berkurang, loyalitas pegawai, dll.

Indikator Hubungan Interpersonal (skripsi dan tesis)

Menurut Rakmat (Vemmylia, 2009: 31) menyebutkan bahwa indikator hubungan interpersonal ialah: 1) Saling menghargai

Serupa dengan toleransi, menghormati sesama merupakan hal yang utama dari sebuah hubungan interpersonal. Individu menghormati individu, kelompok, maupun khalayak lainnya akan membuat hubungan interpersonal tercipta dengan baik melalui terbangunnya sebuah citra baik. 2) Loyalitas dan toleransi

Toleransi akan membuat orang lain merasa nyaman kepada kita sehingga tercipta sebuah komunikasi yang baik dan mampu menjalin hubungan yang lebih baik.

3) Keterbukaan

Hubungan interpersonal yang baik dimulai dari sebuah keterbukaan antara suatu individu terhadap individu lainnya.

4) Keakraban

Keakraban mengacu pada pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang. Hubungan interpersonal akan terpelihara apabila kedua belah pihak dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang seperti yang dimaksud.

Tahapan Hubungan Interpersonal (skripsi dan tesis)

Hubungan interpersonal terjalin melalui beberapa tahapan ,menurut Devito (Wisnuwardhani dan Mashoedi, 2012: 120) tahapan yang harus dilalui ialah:

1) Tahap kontak Semua hubungan diawali dengan kontak dengan orang lain. Fase pertama ini akan menimbulkan persepsi dimana seseorang dapat melihat, mendengar atau membaui orang lain.

2) Tahap keterlibatan

Merupakan tahap lebih lanjut ketika seseorang sudah memutuskan untuk lebih mengenalorang lain. Bisa salah satu pihak membuka diri maupun pihak lainnya yang membuka diri. 3) Tahap keakraban Pada tahapan ini maka orang akan lebih mengikat diri satu sama lainnya. Masing-masing berusaha mempertahankan hubungannya agar tidak putus, sehingga terbentuklah pertalian satu sama lainnya.

4) Tahap pemudaran

Tahap ini ditandai dengan semakin melemahnya hubungan antara kedua belah pihak. Waktu yang mereka lalui semakin sedikit, dan tidak ada lagi pengungkapan hal pribadi satu sama lain.

5) Tahap pemulihan

Pada tahapan ini maka masing-masing pihak akan melakukan usaha pemulihan hubungan seperti semula. Hal ini disebut dengan tahap perbaikan, tahap ini bisa diupayakan oleh satu pihak maupun oleh kedua belah pihak.

6) Tahap pemutusan

Pemutusan hubungan diawali dengan perpisahan diantara kedua orang yang memiliki hubungan

Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Interpersonal (skripsi dan tesis)

Menurut Baron dan Byrne (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan interpersonal adalah: 1) Faktor Internal Faktor ini berasal dari diri individumasing-masing meliputi:

a) kebutuhan untuk berinteraksi Kebutuhan berinteraksi adalah suatu keadaan di mana seseorang berusaha untuk mempertahankan suatu hubungan, bergabung dalam kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan, menikmati aktivitas bersama keluarga atau teman, menunjukan perilaku saling bekerja sama, saling mendukung, dan konformitasi. Kita cenderung ingin berinteraksi dengan orang lain, namun dilain waktu, terkadang kita tidak ingin berinteraksi atau ingin sendirian.

b) pengaruh perasaan Jika kita membuat orang lain senang saat kita bertemu dengannya, maka interkasi akan lebih mudah terjalin. Sebaliknya, ketika kita bertemu orang tersebut dan kita membuat perasaannya negatif (kesal, marah), orang tersebut akan lebih sulit untuk berinteraksi dengan kita. Dalam berbagai situasi dosial, humor dapat digunakan secara umum untuk mencairkan suasana dan memfasilitasi interaksi pertemanan. Humor yang menghasilkan tawa dapat membuat kita lebih mudah berinteraksi, sekalipun dengan orang yang belum dikenal.

2) Faktor Eksternal, terdiri dari :

a) Kedekatan Kedekatan secar fisik antara dua orang yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama seperti di kantor dan di kelas, menunjukan bahwa semakin dekat jarak geografis di antar mereka, semakin besar kemungkinan kedua orang tersebut untuk sering bertemu. Selanjutnya, pertemuan tersebut akan menghasilkan penilaian positif satu sama lain, sehingga timbul ketertarikan diantara mereka

b) Daya tarik fisik Daya tarik fisik menunjukan bahwa sebagian besar orang percaya bahwa laki-laki dan perempuan yang menarik menampilkan ketenangan, mudah bergaul, mandiri, dominan, gembira, seksi, mudah beradaptasi, sukses, lebih maskulin (untuk laki-laki), lebih feminin (untuk perempuan) dari pada orang yang tidak menarik.

3) Faktor Interaksi

a) Persamaan-perbedaan

Semakin banyak kesamaan semakin juga saling menyukai. Tidak hanya persamaan perbedaan juga terasa menyenangkan dari pada persamaan karena kita dapat mengetahui apa yang belum kita ketahui dan dapat berbagi pengalaman, dari pengalaman-pengalaman masing-masing kita dapat melakukan bersama-sama perbedaan diantara kita. Keuntungan yang di dapatkan dari perbedaan adalah kita dapat lebih belajar hal yang baru dan bernilai darinya.

b) Reciprocal Liking

Faktor lain yang juga mempengaruhi ketertarikan kita kepada orang lain adalah bagaimana orang tersebut menyukai kita. Secara umu, kita menyukai orang yang juga menyukai kita dan tidak menyukai orang yang tidak juga menyukai kita. Dengan kata lain, kita memberikan kembali perasaan yang diberikan orang lain kepada kita.

Ciri-Ciri Hubungan Interpersonal (skripsi dan tesis)

Menurut Suranto (2011: 28) ciri-ciri hubungan interpersonal ialah:

1) Mengenal secara dekat Artinya bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan interpersonal saling mengenal secara dekat. Dikatakan dekat karena biasanya mereka mempunyai beberapa informasi mengenai individu tersebut seperti nama, alamat, pekerjaan atau identitas lainnya. Pada dasarnya semakin dekat mereka maka akan semakin banyak informasi pribadi yang diketahui oleh individu tersebut.

2) Saling memerlukan Hubungan interpersonal diwarnai dengan pola hubungan secara dua arah dan saling memerlukan. Sekurang-kurangnya kedua belah pihak merasa saling memerlukan kehadiran seorang teman untuk berinteraksi, bekerjasama, saling member dan menerima. Dengan demikian adanya saling memerlukan dan saling mendapatkan manfaat ini akan menjadi tali pengikat kelangsungan hubungan interpersonal.

3) Pola hubungan antarpribadi Pola ini ditunjukkan oleh adanya sikap keterbukaan diantara keduanya. Hubungan interpersonal ditandai dengan pemahaman sifat pribadi diantara kedua belah pihak. Masing-masing saling terbuka sehingga dapat menerima perbedaan sifat pribadi tersebut. Adanya perbedaan pribadi antara dua orang bukan menjadi penghalang untuk mereka saling mengisi kelebihan ataupun kekurangan.

4) Kerjasama Kerjasama akan timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang sama mempunyai kesamaan pengetahuan dan pengendalian diri untuk memenuhi kepentingan tersebut. Bentuk kerjasama antara lain:

a) Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong. Masing-masing pihak menyadari bahwa hubungan interpersonal itu tujuannya adalah meneguhkan pertemanan.

b) Bargaining, pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barangbarang dan jasa antara dua orang atau lebih

c) Kooptasi yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam suatu hubungan interpersonal, sebagai suatu cara mereka untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilisasi hubungan interpersonal yang bersangkutan

. d) Koalisi yaitu kombinasi antaradua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama.

e) Joint-venture yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.

Pengertian Hubungan Interpersonal (skripsi dan tesis)

Pada dasarnya manusia hidup sebagai mahluk individu sekaligus sosial. Sebagai mahluk individu maka manusia memiliki keunikan dengan mahluk lainnya. Selain itu maka manusia juga merupakan mahluk social tidak dapat hidup sendirian, melainkan memerlukan pertolongan dengan mahluk lainnya. Manusia berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan individu-individu lainnya dan saling memerlukan satu sama lainnya, hubungan ini sering disebut sebagai hubungan interpersonal. Dicks dan Heider (Moningka dan Widyarini, 2005: 148) mendefinisikan hubungan interpersonal sebagai hubungan erat yang terjadi diantara dua individu atau lebih. Hubungan interpersonal adalah dimana kita berkomunikasi, kita tidak hanya sekedar menyampaikan informasi, tetapi secara tidak sadar kita juga menentukan kadar hubungan emosional dengan lawan bicara kita (Hakim, 2014: 542). Semakin baik hubungan interpersonal maka akan semakin baik hubungan antara seseorang. Ketika kita berkomunikasi, kita tidak hanya menyampaikan pesan namun juga menentukan kadar hubungan interpersonal.

Ranupandojo dan Husnan (1997) mengungkapkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan persahabatan dan saling menghargai sehingga mereka tidak akan bahagia bila ditinggalkan sendirian, untuk itu maka mereka akan melakukan hubungan yang baik dengan temantemannya ( Vemmylia, 2009: 28). Efendy mendefinisikan hubungan interpersonal kedalam arti luas dan arti sempit (Vemmylia, 2009: 27). Hubungan interpersonal dalam arti luas ialah interaksi yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dalam segala situasi dan dalam semua bidang kehidupan, sehingga menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan hati pada kedua belah pihak. Hubungan interpersonal dalam arti sempit dilakukan adalah interaksi yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dalam situasi kerja dengan  tujuan untuk menimbulkan kegairahan bekerja dan kegiatan kerja menjadi semangat yang produktif.

Menurut Pearson (Wisnuwardhani dan Mashoedi, 2012: 117) maka hubungan interpersonal diartikan sebagai hubungan yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling tergantung satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang konsisten. Menurut Johnson ( Moningka dan Widyarini, 2005:148) untuk menciptakan, mengembangkan, dan mempertahankan hubungan interpersonal terdapat empat area kemampuan yang harus dimiliki individu, yaitu adanya rasa percaya dan mau mengenal satu sama lain, komunikasi yang baik, kemampuan untuk menerima dan memberi dukungan dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan baik termasuk mengendalikan emosi

Indikator Efikasi Diri (skripsi dan tesis)

Menurut Bandura indikator efikasi diri ialah (Rohmawati ,2014: 89-90):

1) Generality

Seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan memiliki perilaku yang positif, memiliki keinginan untuk berhasil, dan berorientasi pada tujuan. Seseorang akan menetapkan tujuan pribadinya berdasarkan dari kemampuan yang dia miliki. Semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki maka semakin tinggi pula tujuan yang ingin dicapainya.

2) Magnitude

Letak kendali individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi pada mereka. Segala sesuatu yang terjadi pada diri seseorang akan menjadi tanggung jawab pribadinya sendiri.

3) Strengh

Seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan dirinya dalam melakukan sesuatu akan terus menerus tekun menjalaninya hingga mencapai keberhasilan. Ketekunan yang kuat biasanya akan menghasilkan outcome yang diharapkan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri (skripsi dan tesis)

Efikasi erat kaitannya dengan berbagai faktor yang mempengaruhi bisa berupa faktor internal maupun eksternal. Ghufron & Risnawati (2014: 74-75) efikasi diri dapat dipengaruhi melalui sumber berikut:

1) Pengalaman Keberhasilan (mastery experience)

Sumber informasi ini memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadi individu secara nyata yang berupa keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman keberhasilan akan menaikkan efikasi diri individu, sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkannya. Setelah efikasi diri yang kuat berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak negatif dari kegagalan-kegagalan yang umum akan terkurangi.

2) Pengalaman orang lain (vicarious experince )

Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang sebanding dengan kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas yang sama. Begitu pula sebaliknya, pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan penilaian  individu mengenai kemampuannya dan individu akan mengurangi usaha yang dilakukan.

3) Persuasi verbal (Verbal Persuasion)

Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai suatu keberhasilan. Pengaruh persuasi verbal tidaklah terlalu besar karena tidak memberikan suatu pengalaman yang dapat langsung dialami atau diamati individu.

4) Kondisi Fisiologis

Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat melemahkan performansi kerja individu.

Dimensi Efikasi Diri (skripsi dan tesis)

Menurut Bandura (1997) efikasi diri memiliki tiga dimensi yaitu:

1) Dimensi Tingkat Kemampuan individu dalam mengatasi tingkat kesulitan yang berbeda. Individu yang tingkat efikasi dirinya tinggi akan mempunyai  keyakinan yang tinggi akan kemampuannya dalam mengerjakan tugas yaitu keyakinan bahwa apa yang ia geluti akan sukses. Sebaliknya individu yang mempunyai efikasi rendah ia akan mempunyai keyakinan yang rendah pula tentang usaha yang dilakukannya.efikasi diri dapat ditunjukkan dengan tingkat beban individu, terhadap tantangan dengan tingkat yang berbeda dalam rangka menuju keberhasilan. Individu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu melakukannya dan menghindari tingkah laku yang dirasa diluar kemampuannya. Kemampuan dapat dilihat dalam bentuk kecerdasan, usaha, ketepatan, produktivitas dan cara menyelesaikan tantangan.

2) Dimensi Kekuatan Berkaitan dengan keyakinan kekuatan pada individu atas kemampuannya. Individu mempunyai keyakinan yang kuat dan ketekunan dalam usaha terhadap apa yang ingin dicapai meski terdapat kesulitan dan rintangan. Dengan adanya efikasi diri kekuatan usaha yang lebih besar akan mampu didapat. Semakin kuat efikasi diri dan semakin kuat ketekunan semakin tinggi pula kemungkinan kegiatan yang dipilih akan berhasil.

3) Dimensi Keleluasaan Berkaitan dengan cakupan luas tingkah laku dimana individu merasa yakin dengan kemampuannya. Individu mampu menilai keyakinan dirinya dalam menyelesaikan tugas. Mampu tidaknya individu mengerjakan bidang-bidang dan konteks tertentu terungkap gambaran umum tentang efikasi diri yang berkaitan. Generalisasi bervasiasi dalam beberapa bentuk dimensi yang berbeda, termasuk kesamaan aktivitas dan modalitas dimana kemampuan diekspresikan dalam bentuk tingkah laku, kognitif, dan afeksi.

Pengertian Efikasi Diri (skripsi dan tesis)

 

Efikasi diri diperkenalkan oleh Bandura (1992) ia mendefinisikan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Keyakinan seseorang mengenai peluangnya untuk berhasil mencapai tugas tertentu. Efikasi diri muncul secara lambat laun melalui pengalaman kemampuan-kemampuan kognitif, sosial, bahasa, dan atau fisik yang rumit. Efikasi diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau self knowwledge yang paling berpengaruh dalam kehudupan maanusia sehari-hari. Hal ini disebabkan efikasi diri yang dimiliki ikut memengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan termasuk di dalamnya perkiraan berbagai kejadian yang akan dihadapi.

Menurut teori kognitif Bandura, keyakinan efikasi diri mempengaruhi pilihan orang dalam membuat dan menjalankan  tindakan yang mereka kerja. Efikasi diri juga membantu menentukan sejauh mana usaha yang akan dikerahkan orang dalam suatu aktivitas, seberapa ulet mereka akan menghadapi situasi yang tidak cocok (Baraba et al, 2014: 63). Menurut Baron & Byrne (1991) mengemukakan bahwa efikasi diri adalah evaluasi seseorang mengenai kemampuan dirinya untuk melakukan suatu tugas mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Sedangkan Gibson et all (2012: 159) mengemukakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan bahwa seseorang dapat mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu dengan cukup dalam. Efikasi diri secara umum berhubungan dengan harga diri atau self-esteem karena keduanya merupakan aspek dari penilaian diri yang berkaitan dengan kesuksesan atau kegagalan seseorang sebagai seorang manusia. Seseorang dengan efikasi diri yang tinggi percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian disekitarnya, orang ini akan berusaha keras untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Schermerhorn et all (Wibowo, 2011: 97) efikasi diri didefinisikan sebagai keyakinan bahwa ia mempunyai kemampuan melakukan suatu tugas dan merupakan bagian penting dari kontrol diri. Efikasi diri sangat berkaitan dengan confidence, competence,dan ability. Pembelajaran membuat seseorang mampu meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku positif. Dengan pembelajaran maka efikasi diri seseorang akan meningkat. 18 Dalam pekerjaan, orang yang memiliki keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk memecahkan masalah, muncul sebagai pemimpin, sementara yang tidak percaya terhadap kemampuan diri mereka menemukan diri mereka “hilang dalam orang banyak”. Mereka secara tidak sengaja memperlihatkan keraguan mereka, dan teman mereka mendengar, dan belajar untuk mencari nasehat dari yang lainnya (Reivich & Shatte, 2002: 42).

Efikasi diri tidak boleh dikacaukan dengan penilaian tentang konsekuensi yang akan dihasilkan dari sebuah perilaku, tetapi akan membantu menentukan hasil yang diharapkan. Kepercayaan diri pada individu akan membantu mencapai keberhasilan (Hidayat, 2011: 156). Efikasi diri secara umum berhubungan dengan dengan harga diri atau selfesteem karena keduanya merupakan aspek dari penilaian dari yang berkaitan dengan kesuksesan atau kegagalan seseorang sebagai seorang manusia. Meskipun demikian, keduanya juga memiliki perbedaan, yaitu efikasi diri tidak mempunyai komponen penghargaan diri seperti selfesteem.

Dampak Ketidakpuasan (skripsi dan tesis)

Karyawan Menurut Robbins (1996: 184) menyebutkan bahwa ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dalam sejumlah cara, misalnya berhenti, karyawan mengeluh, tidak patuh, mencuri milikorganisasi atau melecehkan sebagian dari tanggungjawab mereka. Terdapat 4 respons yang berbeda satu sama lain yaitu :

1) Keluar : ketidakpuasan yang diungkapkan lewat perilaku yang diarahkan ke meninggalkan organisasi.

2) Suara : ketidakpuasan yang diungkapkan lewat usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi.

3) Kesetiaan : ketidakpuasan yang diungkapkan dengan secara pasif menunggu membaiknya kondisi. 4) Pengabaian : ketidakpuasan yang dinyatakan dengan membiarkan kondisi memburuk

Teori Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Berikut adalah beberapa teori kepuasan kerja seperti dikutip oleh Mangkunegara (2009: 120-121):

1) Teori Keadilan (Equity Theory) Teori ini dikemukakan oleh Adam. Adapun komponen teori ini adalah input, outcome, comparison person, dan equity in equity.  Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas bergantung pada ada tidaknya keadilan dalam suatu situasi, khususnya situasi pekerjaan ().

2) Teori ketidaksesuaian (Discrepancy Theory) Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan merasa lebih puas lagi, sehingga terdapat disperancy yang positif.

3) Teori dua faktor (Two Factor Theory) Menurut teori ini kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang berkelanjutan. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfied dan dissatisfied.

Indikator Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Job Description Index Theory (Nugroho, 2014 :56) indikator untuk mengukur kepuasan kerja ialah:

1) Kepuasan terhadap gaji Seberapa besar keadilan dan kelayakan dalam sistem penggajian pada karyawan.

2) Kepuasan terhadap promosi Karyawan memperoleh kesempatan karir yang sama.

3) Kepuasan terhadap rekan kerja Seberapa baik komunikasi antar individu satu sama lainnya.

4) Kepuasan terhadap atasan Seberapa puas karyawan terhadap kepemimpinan atasan.

5) Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri Kepuasan terhadap waktu dan kelengkapan penunjang lainnya dalam bekerja

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Menurut Mangkunegara (2009:120) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja ialah:

1) Faktor individu : kecerdasan IQ, kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, emosi, cara berfikir, persepsi, sikap kerja.

2) Faktor pekerjaan : jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat, golongan, kedudukan , mutu pengawasan , jaminan finansial kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja. Sedangkan menurut Robbins (Roziqin, 2010: 73-74) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah:

1) Kerja yang secara mental menantang Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang menantang, menggunakan kemampuan dalam beragam tugas dan umpan balik mengenai betapa baiknya mereka mengerjakan tugasnya.

2) Ganjaran yang pantas Semakin karyawan menganggap ganjaran yang mereka terima adil dan sesuai dengan apa yang mereka kerjakan maka mereka akan semakin merasa puas.

3) Kondisi kerja yang mendukung Pekerja lebih menyukai apabila kondisi fisik lingkungan kerja mereka aman dan tidak merepotkan.

4) Rekan kerja yang mendukung Memiliki rekan kerja yang mendukung akan mendukung terhadap semakin meningkatnya kepuasan kerja karyawan.

5) Kesesuaian kepribadian dan pekerjaan Bila seseorang bekerja untuk pekerjaan yang sebangun dengan pekerjaan yang dipilih maka akan semakin meningkatkan kepuasan kerja mereka.

Pengertian Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Hasibuan (2007: 202) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kemudian menurut Robbins dan Judge (2011:114) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi dari karakteristiknya. Perasaaan yang berhubungan dengan pegawai ialah melibatkan aspek-aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya, penempatan kerja, dan struktur organisasi.

Menurut Handoko ( 2007: 202) kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Seorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap positif terhadap kerja dan sebaliknya seorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaannya. 11 Sedangkan Locke ( Roziqin, 2010:68) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu pernyataan emosional atau pernyataan terhadap kesenangan yang dinilai dari pekerjaan seseorang atau pengalaman dalam bekerja. Kepuasan kerja berarti suatu keadaan dimana pegawai dapat memenuhi kebutuhan yang penting dengan bekerja dalam organisasi. Davis (Mangkunegara, 2005: 117) mengemukakan kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja Menurut Hariandja (2002: 291) kepuasan kerja adalah kondisi ketika pekerja tidak hanya sekedar melakukan pekerjaan tetapi juga dengan aspek lain seperti interaksi dengan rekan sekerja, atasan mengikuti aturan-aturan, dan lingkungan kerja tertentu yang sering kali tidak memadai atau kurang disukai. Hal ini merupakan suatu kondisi yang subyektif dari keadaan diri seseorang sehubungan dengan senang atau tidak senang sebagai akibat dari dorongan atau kebutuhan yang ada pada dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan. Mangkunegara (2009: 117) mendefinisikan kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dari karyawan yang berhubungan dengan kondisi dirinya. Kepuasan kerja adalah erat kaitannya dengan apa yang diharapkan karyawan dari pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan 12 karyawan lainnya, penempatan kerja jenis pekerjaan, struktur organisasi instansi, mutu pengawasan, sedangkan perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan, pendidikan. Sedangkan menurut Rivai (2006: 249) kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja mengenai seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Kepuasan kerja mencerminkan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan individual diluar kerja. Kepuasan kerja memiliki beberapa segi yaitu sebagai berikut :

1) Segi sosial ekonomi (gaji, dan jaminan sosial).

2) Segi sosial psikologi yang berupa kesempatan untuk maju, kesempatan mendapatkan penghargaan, masalah pengawasan, dan hubungan dengan karyawan serta atasan

Hubungan antara Self-efficacy, Kepuasan Kerja dengan Kinerja Karyawan (skripsi dan tesis)

Karyawan yang memiliki self-efficacy tinggi akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi, dan kepuasan kerja karyawan tinggi akan meningkatkan kinerja karyawan, hal ini didukung oleh hasil penelitian Purnama & Manuatu (2014) yang menyatakan bahwa self-efficacy yang tinggi akan menimbulkan kepuasan kerja yang tinggi pula, dan Hasibuan (2007) yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik

Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Kinerja Karyawan (skripsi dan tesis)

Seorang karyawan yang memiliki tingkat kepuasan kerja tinggi maka kinerja karyawan akan tinggi pula. Apabila rasa kepuasan kerja dalam diri karyawan tinggi maka akan membuat kinerja karyawan lebih baik. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Handoko (2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat mencerminkan kinerja baik seseorang terhadap pekerjaannya. Penelitian yang dilakukan oleh Pratama (2010) & Koesmono (2005) bahwa kepuasan kerja dan kinerja memiliki hubungan yang positif signifikan. Hasibuan (2007) juga memberikan pernyataan yang serupa, karyawan yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik

Hubungan antara Self-efficacy dengan Kinerja Karyawan (skripsi dan tesis)

Apabila seseorang karyawan memiliki self-efficacy yang tinggi maka akan membuat kinerja karyawan tersebut tinggi pula. Hal ini terjadi karena karyawan tersebut yakin dirinya sendiri mampu menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya sehingga karyawan akan bekerja lebih baik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardy, Astuti & Sulistyo (2017) serta Noviawati (2016) menyatakan bahwa self-efficacy memiliki hubungan yang positif signifikan dengan kinerja, hasil penelitian ini didukung pernyataan Rimper & Kawet (2014) Karyawan akan bekerja lebih baik dan lebih maksimal jika memiliki rasa percaya diri yang tinggi

Hubungan antara Self-efficacy dengan Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

 

Self-efficacy berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Apabila self-efficacy karyawan tinggi maka akan membuat rasa kepuasan kerja dalam diri karyawan tinggi pula. Hal ini dibuktikan dalam hasil penelitian Purnama & Manuatu (2014) yang menyatakan bahwa self-efficacy yang tinggi akan menimbulkan kepuasan kerja yang tinggi pula, dan didukung dengan hasil penelitian Lai (2012), yang menyatakan bahwa karyawan dengan self-efficacy yang tinggi memiliki kemampuan kerja yang unggul dan dapat meningkatnya kepuasan kerja yang diperoleh dari pekerjaannya.

Kinerja karyawan (skripsi dan tesis)

Menurut Mangkunegara (2011), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mathis & Jackson (2006, p.378), faktor-faktor kinerja karyawan dapat diukur dengan:

1. Kuantitas Diukur dari persepsi karyawan terhadap jumlah tugas yang diberikan dan hasil dari tugas itu sendiri.

2. Kualitas Diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan. Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau memenuhi tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut. 139

3. Ketepatan Waktu Dapat diukur dari persepsi karyawan terhadap suatu aktivitas yang diselesaikan dari awal waktu sampai menjadi output dan dapat menyelesaikan pada waktu yang telah ditetapkan serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas yang lain.

4. Efektivitas Dapat memanfaatkan secara maksimal sumber daya dan waktu yang ada untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi kerugian.

5. Kehadiran Tingkat kehadiran karyawan menentukan kinerja karyawan

Kepuasan kerja (skripsi dan tesis)

Menurut Kreitner & Kinicki (2005) kepuasan kerja adalah suatu efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai  dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan. Faktor-faktor kepuasan kerja Menurut Efendi (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah sebagai berikut:

1. Upah Upah diartikan sebagai imbalan keuangan yang diterima karyawan seperti honor, premi, bonus, atau tunjangan keuangan lainnya. Jika upah yang diberikan sesuai dengan yang diinginkan karyawan, maka upah dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi karyawan tersebut. Karyawan mengharapkan imbalan keuangan yang diterima sesuai dengan tanggung jawab, pengalaman, kecakapan ataupun senioritas. Apabila kebutuhan akan upah terpenuhi, maka karyawan akan memperoleh kepuasan dari apa yang karyawan harapkan.

2. Perlakuan Atasan Setiap karyawan tentunya ingin diperlakukan secara adil. Untuk dapat menciptakan persepsi yang sama antara atasan dengan bawahan mengenai makna adil yang sesungguhnya, perlu diadakan komunikasi yang terbuka antar keduanya. Apabila atasan menghargai karyawan dengan baik, maka karyawan dapat merasa pekerjaannya dihargai selama bekerja di perusahaan tersebut. Pada umumnya, karyawan lebih suka mempunyai supervisi yang adil, terbuka dan mau bekerja sama dengan bawahan.

3. Kondisi Lingkungan Kerja Setiap karyawan akan mudah dan nyaman dalam menyelesaikan pekerjaan bila merasa bahwa lingkungan kerjanya tenang, bersih, dan menyenangkan. Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas.

4. Promosi Para karyawan menginginkan agar hasil karyanya dihargai. Dalam era manajemen modern, promosi telah dianggap sebagai imbalan yang cukup efektif untuk meningkatkan moral pekerja dan mempertinggi loyalitas terhadap organisasi. Selain itu, promosi berfungsi sebagai perangsang bagi karyawan yang memiliki ambisi dan prestasi kerja tinggi. Dengan demikian, usaha-usaha menciptakan kepuasan atau komponen promosi dapat mendorong karyawan untuk berprestasi lebih baik di masa-masa yang akan datang. Hal ini bertujuan agar karyawan merasa termotivasi dalam bekerja dan akan selalu bekerja dengan giat. Sebaliknya, apabila tidak ada kesempatan untuk dipromosikan maka karyawan dapat merasa jenuh dan keluar dari perusahaan.

5. Rekan Kerja Kebanyakan karyawan juga membutuhkan interaksi sosial dalam bekerja. Oleh karena itu, kepuasan kerja juga dapat tercapai bila mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung. Karyawan yang merasa tidak nyaman dengan rekan kerjanya akan berpengaruh terhadap pekerjaan yang dilakukan dan bisa menghambat gairah kerja. Hal ini dapat diatasi melalui komunikasi dua arah secara timbal balik

Dimensi self-efficacy (skripsi dan tesis0

Menurut Bandura & Adams (1997, p. 42-46), self-efficacy pada individu dapat dianalisa berdasarkan dimensinya, meliputi:

1. Level (Tingkat Kesulitan) Dimensi ini terkait dengan tingkat kesulitan tugas. Pada tugas yang mudah dan sederhana, selfefficacy seseorang akan tinggi, sedangkan pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi, self-efficacy akan rendah. Seseorang dengan self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesulitannya sesuai dengan kemampuannya.

2. Generality (Luas Bidang Perilaku) Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan seseorang terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Seseorang dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada aktivitas tertentu saja. Seseorang dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas, sedangkan seseorang dengan self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

3. Strength (Kekuatan) Dimensi ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan akan memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan seseorang. Self-efficacy menjadi dasar untuk melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun

Dimensi self-efficacy (skripsi dan tesis)

1. Pengalaman Keberhasilan (Mastery Experiences) Keberhasilan yang sering didapatkan akan meningkatkan self-efficacy yang dimiliki seseorang, sedangkan kegagalan akan menurunkan self-efficacy. Apabila keberhasilan yang didapat seseorang seseorang lebih banyak karena faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan self-efficacy. Akan tetapi, jika keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan self-efficacy.

2. Pengalaman Orang Lain (Vicarious Experiences) Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan self-efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Self-efficacy tersebut didapat melalui social model yang biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya sehingga mendorong seseorang untuk melakukan modeling. Namun self-efficacy yang didapat tidak akan terlalu berpengaruh bila model yang diamati tidak memiliki kemiripan atau bahkan berbeda dengan model.

3. Informasi Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh Seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas.

4. Keadaan Fisiologis dan Emosional (Physiological and Emotional States) Kecemasan dan stres yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya, seseorang cenderung mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan lainnya. Self-efficacy yang tinggi ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Sebaliknya, self-efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi

Self-efficacy (skripsi dan tesis)

Menurut Kreitner & Kinicki (2005), self efficacy adalah keyakinan diri seseorang terhadap kemampuan diri sendiri untuk memberikan kinerja atas aktivitas atau perilaku dengan sukses. Dengan kata lain, self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap peluangnya untuk berhasil mencapai tugas tertentu. Namun Cherian & Jolly (2013) berpendapat bahwa self-efficacy berhubungan erat dengan kontrol diri dan ketahanan dalam diri seseorang dalam menghadapi kegagalan, kinerja dan upaya dalam pemecahan suatu masalah yang dihadapi seseorang. Sedangkan Avey et al. (2009), berpendapat apabila diaplikasikan ke dalam dunia kerja, self-efficacy dapat didefinisikan sebagai keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk mengarahkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan pekerjaannya. Pendapat lain dikemukakan oleh Kilapong (2013), yang menyatakan bahwa self-efficacy adalah kepercayaan seseorang pada kapasitas dirinya untuk mencapai kesuksesan pada tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Self-efficacy diukur sesuai dengan ekspektasi seseorang atas dirinya jika ia dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan (Jones, 1986)

In-role Performance (skripsi dan tesis)

In role performance (IRP) merupakan “perilaku yang didefinisikan dan ditentukan sebagai bagian dari pekerjaan karyawan serta diakui oleh sistem kompensasi resmi perusahaan” (Katz dan Kahn, 1978: dalam Qureshi et al., 2015:100). William & Anderson (1991) mendefinisikan perilaku in role sebagai semua perilaku yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan yang bertanggung jawab. Dalam penelitian ini menggunakan pengukuran in role performance oleh William & Anderson (1991)

Motivasi Kerja (skripsi dan tesis)

Hasibuan (2008) menyatakan bahwa motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan. Menurut Mc Cornick dalam Mangkunegara (2002:94) mengatakan bahwa motivasi kerja adalah kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Mitchell dalam Kinicky dan Robert (2006:149) menyatakan bahwa motivasi mempengaruhi perilaku dan kinerja. Pengukuran variabel motivasi kerja dalam penelitian ini menggunakan 6 (enam) dimensi pengukuran Self Determination Theory (SDT) oleh Ryan and Deci (2000).

Enam dimensi yang dimaksud yaitu:

1. Intrinsic Motivation : merupakan dorongan dari dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas demi kepentingan dan kepuasan sendiri, apabila seseorang berhasil melakukan tugas yang sulit, serta memiliki kesempatan untuk mempelajari hal – hal yang baru dan melakukan hal – hal yang menantang maka akan memberikan kepuasan pada dirinya.

2. Integrated Regulation : merupakan motivasi ekstrinsik yang mampu disesuaikan dengan keyakinan diri sendiri sehingga dapat memenuhi kebutuhan pribadi. Dimana pekerjaan yang dilakukan mencerminkan jati diri dan menjadi bagian dari hidup seseorang.

3. Identified Regulation : merupakan bentuk motivasi ekstrinsik yang didorong secara otonom. Dimana seseorang melakukan aktivitas karena telah mengidentifikasi tujuan dan nilai tindakan tersebut kemudian akan diterima sebagai hal yang penting secara pribadi, misalnya untuk mencapai gaya hidup dan tujuan karir yang diinginkan.

4. Introjected Regulation : merupakan jenis perilaku dimana seseorang merasa termotivasi menunjukan kemampuan untuk mempertahankan harga diri atau ego. Apabila seseorang tersebut gagal atau tidak sukses dalam melakukan pekerjaannya maka ia akan merasa malu atau kecewa, sehingga seseorang tersebut akan termotivasi untuk berhasil dan sukses dalam melakukan pekerjaannya.

5. External Regulation : merupakan motivasi seseorang untuk melakukan aktivitas karena permintaan eksternal atau untuk mendapatkan  imbalan, misalnya melakukan suatu pekerjaan untuk mendapatkan gaji atau untuk menjamin kehidupannya dalam jangka waktu yang panjang.

6. Amotivation : merupakan keadaan dimana individu tidak memiliki niat untuk bertindak atau bersikap pasif. Dimana seseorang merasa tidak yakin dan tidak bisa mengerjakan tugas yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Self Efficacy (skripsi dan tesis)

Luthan (2014 :338) menyatakan bahwa self efficacy mengacu pada keyakinan diri mengenai kemampuannya untuk memotivasi sumber daya kognitif dan tindakan yang diperlukan agar berhasil dalam melaksanakan tugas tertentu. Myers (1996) menyatakan bahwa self efficacy adalah bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal. Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu. Penelitian ini menggunakan pengukuran General Self Efficacy (GSE) oleh Ralf Schwarzer (2002). GSE merupakan pengukuran self efficacy yang hanya memiliki 1 dimensi (undimension) dan memiliki 10 item pengukuran

Karakteristik Pekerjaan (skripsi dan tesis)

Setiap organisasi pada umumnya memiliki karakteristik yang berbedabeda meskipun tingkat perbedaannya relatif tipis. Perbedaan tersebut galibnya tergantung pada jenis organisasi terkait dengan bidang usaha, karakteristik individu, dan kebijakan-kebijakan yang ada dalam organisasi. Hal ini sesuai dengan definisi dari Turner dan Lawrence(1965: 124) yang menyatakan bahwa karakteristik pekerjaan merupakan atribut-atribut tugas yang ada di dalam pekerjaan. Sementara itu, dengan bahasa yang berbeda namun esensinya sama, Abush dan Burkhead (1984: 75) mengungkapkan bahwa karakteristik pekerjaan adalah dimensi inti pekerjaan yang berisi sifat-sifat tugas yang ada dalam suatu pekerjaan. Kedua pakar ini sama-sama ”tugas yang ada dalam pekerjaan.”

Sejalan dengan pandangan kedua pakar tersebut, Hackman dan Oldham (dalam Luthan, 2008: 239), merinsi karakteristik pekerjaan menjadi lima dimensi inti, yakni: (1) variasi keterampilan, (2) identitas tugas, (3) signifikansi tugas, (4) otomoni, dan (5) umpan balik. Hackman dan Oldham telah mengidentifikasi dimensi inti (core dimension) untuk memperkaya pekerjaan (job enrichment). Apabila salah satu dimensi tidak ada, secara psikologis karyawan merasa ada yang hilang dan motivasi cenderung menurun. Seluruh dimensi inti itu cenderung mempertinggi motivasi, Analisis pengaruh  kepuasan, dan kualitas kerja dan mengurangi pergantian pegawai dan kemangkiran. Kelima dimensi inti yang disebutkan Hackman dan Oldham tersebut secara rinci dijelaskan Newstom dan Davis (1990: 240-241) sebagai berikut: Pertama, variasi keterampilan (skill variety). Variasi memungkinkan karyawan untuk melaksanakan bidang tugas yang berbeda yang mengharuskan adanya keterampilan yang berbeda-beda. Pekerjaan yang sangat beragam dipandang para karyawan lebih menantang karena mencakup beberapa jenis keterampilan. Pekerjaan seperti ini juga meniadakan kemonotonan yang timbul dari setiap aktivitas yang berulang. Apabila pekerjaan itu bersifat fisik, digunakan otot yang berbeda, sehingga satu bidang otot tidak digunakan berlebihan dan letih pada sore hari. Keragaman menimbulkan perasaan kompeten yang lebih besar bagi pegawai, karena mereka dapat melakukan jenis pekerjaan yang berlainan dengan cara yang berbeda. Kedua, identitas tugas (task identity). Identitas tugas memungkinkan karyawan untuk melaksanakan sebuah pekerjaan seutuhnya. Banyak upaya pemerkayaan pekerjaan telah dilakukan pada dimensi ini, karena di masa lampau gerakan manajemen ilmiah menimbulkan pekerjaan yang terlalu dispesialisasikan dan rutin. Para karyawan secara individu mengerjakan bagian kecil pekerjaan sehingga mereka tidak dapat mengidentifikasikan salah satu produk dengan upaya mereka. Mereka tidak dapat memiliki rasa menyelesaikan atau bertanggung jawab bagi produk secara keseluruhan. Apabila tugas diperluas untuk menghasilkan sebuah produk secara keseluruhan atau bagiannya yang dapat diidentifikasi, maka telah terbentuk identitas tugas. Sebuah tugas menjadi bagian kerja yang dijelaskan secara sempit dan dirancang bagi seseorang (Daft, 2007: 30). Namun, dalam klasifikasi tugas Steiner, ada kemungkinan untuk mewujudkan kinerja kelompok yang mengerjakan berbagai tugas. Di sini fokus bukan ditujukan pada sifat atau peran anggota kelompok yang lebih disukai atau sebenarnya pada proses kelompok khusus, tetapi pada tipe tugas yang akan diselesaikan oleh kelompok itu.

Karya Steiner mungkin tidak mendapatkan perhatian yang selayaknya. Steiner menunjukkan banyak hipotesa teruji tentang kapan berusaha bekerja dalam kelompok dan kapan tidak (Furnham, 2006: 499). Ketiga, signifikansi tugas (task significance). Dimensi ini megacu pada kadar dampak pekerjaan terhadap orang lain, seperti yang dipersepsikan karyawan. Dampak itu bisa terjadi pada atas orang lain dalam organisasi bersangkutan, seperti pada saat karyawan melakukan langkah pokok dalam proses kerja, tetapi bisa juga terjadi pada pihak lain di luar organisasi. Hal yang penting adalah bahwa karyawan percaya mereka melakukan sesuatu yang penting dalam organisasi dan/atau masyarakat. Keempat, otonomi (autonomy). Ini adalah karakteristik pekerjaan yang memberikan kebijaksanaan dan kendali tertentu bagi karyawan suatu keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan. Dimensi ini merupakan hal yang mendasar untuk menimbulkan rasa tanggung jawab dalam diri karyawan. Walaupun karyawan mau bekerja dalam berbagai kendala organisai, karyawan juga bersikeras untuk memiliki keluasaan tertentu. Terkait dengan hal ini, para pakar memberikan pandangan yang hampir serupa. Schunk, Pintrich dan Meece (2006: 171) mendefinisikan otonomi sebagai mendapatkan kebebasan, menolak tekanan dan pembatasan, bebas dan merdeka untuk bertindak, menghindari atau aktivitas melepaskan diri yang diatur oleh pejabat yang berkuasa. Kemudian menurut Snell dan Bohlander (2007: 151), otonomi adalah tingkat sejauh mana pekerjaan memberikan kebebasan besar, kemerdekaan dan keleluasaaan kepada individu dalam menjadwalkan pekerjaan dan dalam menentukan prosedur untuk digunakan dalam melaksanakannya. Lalu bagi Furnham (2006: 314), otonomi adalah tingkat kebebasan, kemerdekaan dan keleluasaan yang dimiliki pelaksana kerja dalam pekerjaannya; menjadi tanggung jawab pribadi bagi proses dan hasil kerja. Sementara itu menurut Gomez-Mejia, Balkin, & Cardy (2007: 54), otonomi adalah jumlah kebebasan, kemerdekaan dan keleluasaan yang dimiliki pegawai di bidang seperti penjadwalan kerja, pembuatan keputusan dan menentukan bagaimana melaksanakan pekerjaan.

Selain itu, Mondy dan Noe (2005: 341) memandang otonomi sebagai tingkat kebebasan dan keleluasaan individu yang dimiliki pegawai dalam mengerjakan pekerjaannya. Menurut Mondy dan Noe, pekerjaan yang memberikan otonomi sering mendorong pegawai untuk merasa bertanggung jawab bagi hasil kerjanya. Kebanyakan pekerja tidak ingin seseorang menanggung sendiri di pundaknya sepanjang hari sambil menunggunya melakukan kesalahan. Individu mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dengan alasan menghendaki kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Otonomi menjadi inti dari tim kerja yang mengatur sendiri. Beberapa kelompok ini memiliki otonomi untuk membuat keputusan siapa yang akan disewa dan dipromosikan, jadwal kerja dan metode yang harus diikuti. Kebebasan bertindak ini menciptakan rasa bertanggung jawab yang mungkin tidak bisa dicapai dengan cara lain. Otonomi juga merujuk pada kontrol atas (aspek) pelaksanaan tugas dan khususnya dianggap sebagai sesuatu yang positif, menyehatkan dan memuaskan bagi pegawai yang terlepas darinya, dan proses kerja efisien, keuntungan dan klien yang puas bagi majikan yang memberikannya (van Mierlo, et al., 2005: 4). Otonomi dalam pekerjaan pada masyarakat merupakan “otonomi yang diberikan” – sejauh berusaha memadukan pekerja dengan proses kerja, seperti memadukan unsur-unsur yang tidak bisa diduga misalnya kepandaian, koordinasi dan mobilisasi subyektif. Kepentingannya adalah menyelidiki dan menganalisis otonomi di tempat kerja yang berkaitan dengan informasi dan teknologi komunikasi. Dalam kajian di bidang manufaktur, perubahan menunjukkan tuntutan yang dibebankan kepada pekerja bagi mobilisasi subyektif untuk mencapai tugasnya. Ini mulai membentuk kondisi “otonomi yang diberikan” – otonomi diberikan dalam arti “diserahkan” kepada pekerja, tetapi sekaligus merupakan kewajiban yang harus diikuti (Rosenfeld, 2004: 1). Kelima, umpan balik (feedback). Umpan balik mengacu pada informasi yang memberi tahu karyawan tentang seberapa baik prestasinya. Umpan balik timbul dari pekerjaan itu sendiri, pimpinan, dan karyawan lainnya. Gagasan Analisis pengaruh …, Laksmy Hanidinarti, FISIP-UI, 2009 20 umpan balik cukup sederhana, tetapi sangat penting bagi orang-orang di tempat kerja. Karena karyawan menginvestasikan bagian yang substansial dari kehidupannya dalam pekerjaan, karyawan ingin mengetahui seberapa baik prestasinya. Lebih lanjut, karyawan perlu mengetahui agak sering karena mengakui bahwa prestasi itu memang berbeda-beda, dan satu-satunya cara untuk mengadakan penyesuaian adalah dengan mengetahui bagaimana prestasinya sekarang. Menurut Kreitner dan Kinicki (2004: 326), umpan balik merupakan informasi obyektif tentang kinerja kolektif individu. Umpan balik memiliki dua fungsi bagi yang menerimanya. Pertama, fungsi instruksi. Kedua, fungsi motivasi. Umpan balik menuntut ketika menjelaskan peran atau mengajarkan perilaku baru. Di sisi lain, umpan balik memotivasi ketika berfungsi sebagai imbalan atau menjanjikan suatu imbalan (Kreitner dan Kinicki (2004: 326). Ketika dipertimbangkan secara luas, umpan balik kinerja merupakan sarana bagi hal-hal berikut ini: (1) bimbingan: perbaikan yang harus dilakukan oleh pekerja dalam kinerjanya, dan langkah-langkah yang bisa dia ambil untuk perbaikan. Ini berada di antara tanggungjawab manager paling dasar; (2) evaluasi: bagaimana organisasi memandang kinerja pegawai sehubungan dengan harapan dan bagi orang lain. Apakah pegawai bekerja dengan baik, buruk atau rata-rata? (3) pengakuan: mengungkapkan penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan; (4) imbalan: pengakuan yang dituangkan dalam sesuatu yang bisa dijangkau (biasanya uang); dan (5) arah: menyampaikan atau memperkuat apa yang diperlukan organisasi, nilai-nilai dan harapan dari pegawai (Sirota, Mischkind & Meltzer, 2005: 208). Lima aspek dan hasil umpan balik ini diperlukan bagi karyawan dan organisasi. Meskipun kebanyakan orang memiliki tingkat tanggung jawab dan ingin menyelesaikan tugasnya, motivasi menurun tajam jika tidak seorangpun memperhatikan. Di sisi lain, jika tidak seorangpun yang memperhatikan kecuali ketika sesuatu berubah buruk, motivasi segera akan berubah menjadi kebencian (Sirota, Mischkind & Meltzer, 2005: 209). Umpan balik penting dalam mempertahankan motivasi. Agar efektif secara maksimal, umpan balik harus disajikan secepat mungkin setelah perilaku yang tidak memadai terjadi

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasi (skripsi dan tesis)

Penelitian Lincoln & Kalleberg (1990), Mowday, Porter, & Steers (1982), Mueller, Boyer, Price, & Iverson (1994), dan Williams & Hazer (1986) membuktikan bahwa kepuasan kerja adalah anteseden dari komitmen organisasi (Slattery & Selvarajan, 2005: 4). Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh positif terhadap komitmen organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Tsai dan Huang (2008: 565) yang di Taiwan dengan meneliti para perawat hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan kerja berhubungan positif dengan komitmen organisasi. Studi lain yang dilakukan oleh Huang dan Hsiao (2007: 1265) di Taiwan dengan mengambil sampel sebanyak 9000 karyawan dari 5 jenis industri yaitu: (1) manufaktur, (2) listrik, gas dan air, (3) konstruksi, (4) komersial, (5) komunikasi, gudang dan transportasi, dan (6) keuangan, asuransi dan real estate. Hasilnya antara lain memperlihatkan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan signifikan dengan komitmen organisasi. Selain itu, penelitian Markovits, Davis and Dick (2007: 88) di Yunani dengan mengambil sampel 1119 karyawan non supervisor di 35 perusahaan swasta hasilnya juga membuktikan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan dengan komitmen organisasi.

Pengaruh Karakteristik Pekerjaan terhadap Komitmen Organisasi (skripsi dan tesis)

Secara teoretik karakteristik pekerjaan berpengaruh terhadap komitmen organisasi. Menurut Hackman dan Oldham (dalam Munandar, 2001: 358), lima dimensi inti dalam karakteristik pekerjaan (keragaman, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, umpan balik) merupakan model karakteristik kerja dari motivasi kerja. Asumsinya adalah bahwa ciri-ciri pekerjaan di atas menimbulkan tiga kritikal psychological states, yaitu: (1) Experioenced meaningfulness of the work; (2) Experienced responsibility for outcomes of the work; dan (3) knowledge of the actual results of the work activities. Ketiga kondisi psikologik yang kritikal ini menghasilkan empat macam personal and work outcomes (keluaran pribadi dan kerja), yaitu: (1) Motivasi kerja internal yang tinggi; (2) Unjuk kerja yang bermutu tinggi; (3) Kepuasan kerja yang tinggi dengan pekerjaan; (4) Angka kemangkiran dan keluar pegawai yang rendah. Selain itu, Aldag, Barr and Brief (1981: 103) dalam penelitiannya membuktikan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh terhadap motivasi kerja, kepuasan kerja, kinerja, absensi, harapan terhadap pekerjaan, keterlibatan kerja, dan stres. Dari dua penelitian tersebut tampak bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh terhadap angka kemangkiran (absensi) dan keterlibatan kerja yang kesemuanya itu merefleksikan komitmen organisasi.

Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Kepuasan kerja pada dasarnya mencerminkan sejauh mana individu menyukai pekerjaannya. Didefinisikan secara formal bahwa kepuasan kerja adalah respon afektif atau emosional terhadap berbagai aspek dari suatu pekerjaan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa kepuasan kerja bukan merupakan konsep uniter, melainkan konsep yang relatif. Individu dapat mengalami kepuasan pada suatu aspek dan dapat tidak puas terhadap pekerjaan dari aspek yang lainnya (Kreitner & Kinicki, 2013 : 168). Terdapat aspek dari pekerjaan yang dapat menciptakan kepuasan kerja (Smith, Kendall, & Hulins dalam Collquit et al., 2013: 98-100) yaitu kepuasan gaji, kepuasan promosi, kepuasan atasan, kepuasan rekan kerja, kepuasan atas pekerjaan.

Keterikatan Kerja (skripsi dan tesis)

Keterikatan seorang karyawan mengacu pada perilaku dimana seseeorang secara penuh menuangkan dirinya dalam melakukan suatu pekerjaan. Dengan kata lain engagement diartikan sebagai kebermanfaatan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam bekerja, ketika karyawan merasa terikat, karyawan akan memberikan dan mengekspresikan fisik, kognitif, emosi, dan mental dalam bekerja. Keterikatan kerja berseberangan dengan sikap burnout, dengan hal tersebut dikatakan bahwa keterikatan kerja adalah sikap positif yang timbul dari karyawan terhadap suatu pekerjaan yang terdiri dari vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli et al., 2002: 75).

Efikasi Diri (skripsi dan tesis)

Efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kesempatan individu tersebut untuk berhasil menyelesaikan tugas tertentu. Kalkulasi efikasi diri melibatkan penilaian kognitif dari interaksi antara kemampuan yang dimiliki dengan peluang situasional dan hambatan yang ada (Kreitner & Kinicki, 2013 : 126). Singkatnya, efikasi diri yang dirasakan tidak terfokus pada jumlah kemampuan yang individu miliki, namun keyakinan yang dimiliki individu dalam melakukan aktivitas dalam berbagai keadaan (Bandura, 1997: 36). Terdapat tiga komponen utama skala pengukuran efikasi diri yaitu Level, Generality, dan Strenght (Bandura, 1977 dalam Bandura, 1997: 42-43).

Persepsi Dukungan Organisasi (skripsi dan tesis)

Persepsi dukungan organisasi merupakan kepercayaan umum yang dirasakan oleh karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002: 698). Dukungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan memiliki arti bahwa apa yang diinvestasikan karyawan terhadap organisasi baik usaha yang maksimal maupun keterikatan afektif karyawan kepada organisasi nantinya akan dibalas dan dihargai sesuai dengan harapan mereka. Berikut adalah versi pendek mengenai persepsi dukungan organisasi (Eisenberger et al., 1997: 815) : organisasi peduli terhadap kesejahteraan karyawan, kesesuaian tujuan dan nilai organisasi dengan karyawan, organisasi memberikan perhatian terhadap karyawan, organisasi peduli terhadap pendapat karyawan, organisasi bersedia membantu karyawan, organisasi bersedia memberikan pengampunan, organisasi bersedia memberikan peluang.

Karakteristik Pekerjaan (skirpsi dan tesis)

Model karakteristik pekerjaan adalah teori desain pekerjaan yang mengandung tiga kondisi psikologis (kebermaknaan pengalaman kerja, tanggungjawab atas hasil kinerja, dan pengetahuan atas hasil kinerja) yang dirasakan oleh individu dengan maksud untuk meningkatkan kinerja, motivasi internal, merendahkan tingkat absensi dan turnover (Hackman & Oldham dalam Bohlander & Snell, 2013: 159). Berikut adalah komponen inti dari karakteristik pekerjaan yaitu variasi keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, dan umpan balik.

Manajemen Sumber Daya Manusia (skripsi dan tesis)

Manajemen sumber daya manusia adalah proses dalam mengelola talenta manusia dalam mencapai tujuan organisasi (Bohlander & Snell, 2013: 4). Esensi dari manajemen sumber daya manusia adalah bagaimana sebuah organisasi mampu mempersatukan perbedaan-perbedaan yang melekat pada diri manusia atau karyawan dalam mencapai satu tujuan organisasi. Manajemen sumber daya manusia menciptakan luasnya variasi aktifitas, seperti menganalisis lingkungan kompetitif bagi sebuah organisasi dan mendesain pekerjaan yang diselaraskan dengan strategi organisasi, inilah cara sebuah organisasi dalam rangka memenangkan persaingan yang sangat kompetitif (Bohlander & Snell, 2013: 4). Perencanaan bisnis yang tepat dan menciptakan produk yang mutakhir dengan mudah dapat ditiru oleh pesaing, namun anggota organisasi yang produktif, berkinerja tinggi, dan memiliki sikap yang positif terhadap perusahaan ataupun terhadap pekerjaannya akan sangat sulit untuk ditiru oleh pesaing (Bohlander & Snell, 2013 : 4). Pengetahuan dan kemampuan seorang individu dalam organisasi merupakan salah satu yang paling mampu menjadi pembeda dari apa yang dimiliki oleh organisasi pesaing, manusia juga merupakan sumber daya yang dapat diperbarui sehingga keberadaannya penting untuk dikelola agar perusahaan tetap mampu bersaing dalam industri yang sangat kompetitif. Terdapat 10 aktivitas utama yang dilakukan dalam manajemen sumber daya manusia, yaitu melakukan perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen, staffing, desain pekerjaan, 8 pelatihan/pengembangan, penilaian, komunikasi, kompensasi, benefits, dan hubungan industrial (Bohlander & Snell, 2013: 6).

Pengaruh secara langsung atau tidak langsung Karakteristik Pekerjaan, Persepsi Dukungan Organisasi, dan Efikasi diri terhadap Kepuasan Kerja atau melalui Keterikatan Kerja (skripsi dan tesis)

 

Saks, (2006) membuktikan bahwa keterikatan kerja karyawan dapat memediasi hubungan antara karakteristik pekerjaan dan persepsi dukungan organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pengaruh karakteristik pekerjaan dan persepsi dukungan organisasi terhadap kepuasan kerja dari 42 persen menjadi 15 persen setelah dipengaruhi oleh variabel keterikatan kerja, dengan kata lain lebih besar pengaruh langsung variabel karakteristik pekerjaan dan persepsi dukungan organisasi terhadap kepuasan kerja dibandingkan dengan pengaruh tidak langsung melalui keterikatan kerja. Penelitian oleh Yakin & Erdil, (2012) menemukan bahwa efikasi diri tidak hanya berpengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan, efikasi diri juga memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja, dalam penelitian ini dibuktikan bahwa keterikatan kerja memediasi hubungan antara efikasi diri terhadap kepuasan kerja karyawan

Pengaruh Keterikatan Kerja terhadap Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Saks, (2006) membuktikan bahwa ketika keterikatan kerja dan keterikatan organisasi oleh karyawan muncul maka konsekuensi yang timbul adalah kepuasan kerja. Keduanya (job engagement dan organizational engagement) mempengaruhi atau sebagai prediktor terhadap kepuasan kerja. Penelitian oleh Ramos & Almeida, (2017), hasil dari penelitian ini terindikasi bahwa keterikatan kerja memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Penelitian oleh Mache et al. (2014), hasil regresi pada penelitian ini membuktikan bahwa keterikatan kerja memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap munculnya kepuasan kerja dan kualitas kehidupan pegawai klinik spesialis operasi di Jerman.

Pengaruh Karakteristik Pekerjaan, Persepsi Dukungan Organisasi, Efikasi Diri terhadap Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Hasil penelitian terdahulu menemukan bahwa faktor yang penting untuk menggerakkan kepuasan kerja terdiri dari pekerjaan yang menarik, hubungan yang baik antar karyawan dengan manajer dan koleganya dalam dunia kerja (Hauff et al., 2015: 717-719). Hasil penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa karakteristik pekerjaan yang terdiri dari variety, otonomi, identitas, umpan balik, kerjasama, dan friendship memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja (Hung & Huang, 2014: 618-619). Karakteristik pekerjaan memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap atitut positif karyawan terhadap pekerjaanya salah satunya adalah kepuasan kerja (Milette & Gagne, 2008: 18). Persepsi dukungan organisasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja (Hasan et al., 2014: 656, Biswas & Bhatnagar, 2013: 33). Penelitian lain juga membuktikan bahwa terdapat hubungan signifikan antara persepsi dukungan organisasi terhadap kepuasan kerja (Shacklock et al., 2013: 162). Hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa efikasi diri memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Individu yang percaya diri terhadap kompetensinya dan percaya bahwa dirinya dapat mengontrol pekerjaannya akan merasa lebih puas terhadap pekerjaannya (Borgogni et al., 2013: 134). Hasil penelitian terdahulu juga menyatakan bahwa efikasi diri memiliki hubungan positif terhadap kepuasan kerja, individu dengan efikasi diri yang tinggi akan memiliki pengalaman dan kemampuan yang superior dimana faktor tersebut dapat meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja karyawan (Lai & Chen, 2012: 388). Berseberangan dengan hasil penelitian diatas terdapat penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi yang penting antara kepuasan kerja dengan efikasi diri (Kuru & Katsaras, 2016: 12). Hasil penelitian penelitian terdahulu juga menyatakan bahwa efikasi diri tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja (Duggleby et al., 2009: 2379)

Pengaruh Karakteristik Pekerjaan, Persepsi Dukungan Organisasi, Efikasi Diri terhadap Keterikatan Kerja (skripsi dan tesis)

Seseorang akan merasa terikat terhadap pekerjaannya ketika ia mendapatkan kondisi psikologis yang terdiri dari meaningfulness, safety, dan availability saat bekerja. Seseorang akan mendapatkan meaningfulness ketika tugas yang diberikan kepada seseorang karyawan penuh tantangan, bervariasi, menunjang kreatifitas, memiliki otonomi, dan diberikan penjelasan yang jelas mengenai tujuan dan prosedur dalam suatu pekerjaan. Selain itu meaningfulness dapat dicapai ketika terdapat role characteristics dan interaksi ketika bekerja. Sedangkan kondisi psikologis safety dapat dicapai ketika terdapat sistem sosial, hubungan interpersonal, dinamika kelompok, gaya manajerial, dan norma organisasi. Untuk kondisi psikologis availability dapat dicapai ketika terdapat celah untuk memberikan kontribusi di dalam suatu pekerjaan, terdapat energi emosional yang dapat dituangkan saat bekerja, terdapat tingkat kepercayaan diri terhadap status serta kemampuannya, dan diberikannya pekerjaan yang dapat berpengaruh bagi orang lain (Kahn, 1990: 692-724). Persepsi dukungan organisasi dan karakteristik pekerjaan memberikan pengaruh signifikan atau sebagai prediktor munculnya keterikatan kerja. Secara simultan menyatakan bahwa kedua variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap keterikatan kerja dan keterikatan organisasi (Saks, 2006: 613). Ketika karyawan dilibatkan dalam setiap aktivitas pekerjaan, diberikan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kompetensi yang unik, diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan keputusan akan menimbulkan rasa terikat karyawan terhadap pekerjaan, keterikatan kerja karyawan organisasi non-profit secara signifikan disebabkan oleh pekerjaan mereka yang bermakna bagi kepentingan umum dan kesesuaian nilai karyawan dengan nilai yang diusung oleh organisasi (Akingbola & van den Berg, 2017: 21). Penelitian lain juga menyatakan bahwa karakteristik pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan terhadap keterikatan kerja (Kittredge, 2010: 36). Ketika organisasi memberikan pekerjaan yang dapat memotivasi dan memiliki dampak sosial maka karyawan akan merasa lebih terikat terhadap pekerjaannya (Krishnan et al., 2015: 64). Hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa persepsi dukungan organisasi memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap munculnya keterikatan kerja, karyawan akan merasa lebih terikat terhadap pekerjaannya apabila persepsi yang dirasakan oleh individu tinggi (Rich, 2010: 625). Persepsi dukungan organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap keterikatan kerja, persepsi dukungan organisasi menjadi variabel independen dan prediktor dari timbulnya keterikatan kerja karyawan (Burns, 2016: 32). Penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa secara spesifik ditemukan bahwa terdapat hubungan positif antara persepsi dukungan organisasi dengan keterikatan kerja (Jin & McDonald, 2016: 13). Berseberangan dengan penelitian diatas, terdapat penelitian di Indonesia yang membuktikan bahwa persepsi dukungan organisasi berpengaruh positif namun tidak signifikan 6 terhadap keterikatan kerja, ada pengaruh positif variabel persepsi dukungan organisasi terhadap keterikatan kerja karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Semarang hanya saja dengan tingkat signifikansi yang melebihi 0,05 (Nusantria, 2011: 21-22). Hasil penelitian terdahulu menemukan bahwa efikasi diri berpengaruh signifikan terhadap keterikatan kerja, kepercayaan diri memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap keseluruhan dimensi keterikatan kerja (Yakin & Erdil, 2012: 374). Penelitian terdahulu juga menyatakan bahwa efikasi diri memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dari munculnya keterikatan kerja, efikasi diri merupakan prediktor sangat cocok untuk memunculkan keterikatan kerja (Schaufeli & Salanova, 2007: 190-191). Personal resources yang terdiri dari efikasi diri memiliki pengaruh langsung terhadap keterikatan kerja (Sukmawati et al., 2015: 18). Seseorang akan terikat terhadap pekerjaannya apabila terdapat kondisi psikologis kebermaknaan, kondisi psikologis keamanaan, kondisi psikologis ketersediaan (Kahn, 1990: 692- 724)

Pengaruh Motivasi kerja terhadap kepuasan kerja (skripsi dan tesis)

Wright dan Pandey (2005), menyatakan bahwa dalam suatu pekerjaan yang dilakukan, ikatan emosional dan loyalitas merupakan salah satu faktor penting yang menentukan motivasi karyawan, yang selanjutnya dapat menentukan loyalitas mereka terhadap organisasi. Locke dan Latham (2004:388) telah mengevaluasi efektivitas motivasi kerja sebagai akibat dari baik faktor internal maupun eksternal yang memaksa karyawan untuk bekerja lebih bersemangat, sehingga kepuasan kerja mereka dapat tercapai. Hasil penelitian Kartika dan Kaihatu (2010), Suprayetno (2008), dan Djamaludin (2009) secara berturut-turut terhadap karyawan Pakuwon Food Festival, karyawan di PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia di Surabaya dan Jombang, serta Pegawai Negeri Sipil di Kota Maba menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif pada kepuasan kerja karyawan.

Pengaruh self-efficacy dan motivasi kerja pada kepuasan kerja. (skripsi dan tesis)

Bandura (dalam Betz , 2004) menyatakan bahwa self-efficacy adalah suatu keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk bereaksi terhadap situasi tertentu. Karyawan yang memiliki self-efficacy tinggi dan percaya bahwa mereka dapat memenuhi tujuan akan lebih besar kemungkinannya untuk bekerja lebih keras guna mencapai tujuan yang ditetapkan serta menunjukkan prestasi kerja yang lebih tinggi. Sementara itu, karyawan dengan self-efficacy yang rendah akan lebih mudah putus asa dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki selfefficacy tinggi akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Lau (2012), dalam penelitiannya terhadap 224 mahasiswa di sebuah Universitas di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa self-efficacy berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Maka, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi self-efficacy seseorang, semakin tinggi kepuasan kerjanya. Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy seseorang, maka tingkat kepuasan kerjanya juga semakin rendah. Penelitian lain juga menyatakan bahwa self-efficacy berpengaruh positif pada kepuasan kerja, seperti yang dilakukan oleh Samuel (2013). Dijelaskan bahwa pada dasarnya, self efficacy melekat pada setiap individu, namun pengembangannya sedikit banyak ikut ditentukan oleh dukungan pihak manajemen. Lodjo (2013), dalam penelitiannya terhadap 127 karyawan PT. PLN Suluttenggo menyatakan bahwa kepuasan kerja karyawan sangatlah penting, karena kepuasan kerja berdampak pada tingkat produktivitas kerja. Semakin mampu dan yakin seseorang dalam mengerjakan tugasnya (semakin tinggi self- efficacy), semakin tinggi pula kepuasan kerjanya

Teori Motivasi Kerja (skripsi dan tesis)

Motivasi merupakan suatu rangsangan yang dibuat oleh perusahaan guna meningkatkan gairah bekerja pada karyawan. Menurut pendapat Purwanto (2013), motivasi merupakan kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhannya. Hasibuan (2010:92) menyatakan bahwa motivasi merupakan cara mendorong gairah bawahan agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilan untuk mewujudkan kebutuhan perusahaan. Motivasi merupakan kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan keorganisasian yang dikondisikan oleh upaya, untuk memenuhi kebutuan individual tertentu (Robbins, 1999:50). Motivasi mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang membantu mereka untuk mencapai efektivitas tugas dengan cara yang dapat menginspirasi orang lain, sehingga dapat meningkatkan komitmen dan keyakinan diri mereka terhadap pekerjaan tertentu. Horwitz et al. (2003), berpendapat bahwa motivasi karyawan berhubungan dengan lingkungan kerja yang menantang dan dukungan dari manajemen puncak. Jika karyawan bersifat kompetitif dan ingin melakukan pekerjaan dengan efisien, maka pekerjaan yang menantang adalah motivator terbaik.

Menurut Suwanto dan Priansa (2011:171), motivasi berarti pemberian motif. Motif di sini diartikan sebagai tujuan yang dapat berupa rangsangan. Tanpa adanya rangsangan para karyawan akan kurang menampakkan dan cenderung menyimpan kemampuan dirinya. Locke dan Latham (2004:388), mengevaluasi efektivitas motivasi kerja sebagai akibat dari kedua faktor internal dan eksternal yang memaksa karyawan untuk bekerja dengan lebih bersemangat yang bermuara pada kepuasan kerja yang tinggi. Terkait dengan gagasan tersebut, Dedonno dan Demaree (2008), mengemukakan bahwa persepsi individu terhadap motivasi berkaitan dengan kinerja para karyawan yang pada gilirannya berpengaruh pada kepuasan kerja mereka. Penurunan motivasi kerja dapat terjadi karena rendahnya kedisiplinan yang disebabkan oleh turunnya tingkat kepuasan karyawan (Arifin dkk, 2014). Menurut Radig dkk. (dalam Brahmasari, 2008), pemberian dorongan sebagai salah satu bentuk motivasi, penting dilakukan untuk meningkatkan gairah kerja karyawan, sehingga hasil yang diharapkan oleh pihak manajemen, dapat tercapai.

George dan Jones (2005), mendefini motivasi kerja sebagai suatu dorongan secara psikologis kepada seseorang yang menentukan arah dari perilakunya (direction of behavior) dalam suatu organisasi yang direfleksikan melalui tingkat usaha (level of effort), dan tingkat kegigihan atau ketahanannya (level of persistence) dalam menghadapi suatu hambatan atau masalah. Mengacu pada pendapat Ardana dkk. (2011:193), terdapat tiga jenis motivasi yaitu material incentive (pendorong yang dapat dinilai dengan uang), semi material incentive (segala sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang), dan non material incentive (seluruh jenis perangsang lain, seperti promosi yang objektif, pekerjaan yang terjamin dan penempatan yang tepat. Masalah motivasi kerja akan muncul dalam suatu organisasi atau perusahaan apabila terdapat kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan akibat kurangnya upaya yang dilakukan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa masalah dalam pekerjaan akan timbul apabila perilaku kerja seseorang berada di bawah harapan, dimana masalah tersebut bukan disebabkan oleh rendahnya motivasi melainkan oleh masalah komunikasi, kemampuan atau keterampilan, pelatihan, dan kesempatan untuk maju.

Menurut Ardana dkk. (2011:199), beberapa prinsip dasar untuk menganalisis masalah motivasi adalah sebagai berikut.

1) Memberi ganjaran atas perilaku yang diinginkan adalah motivasi yang lebih efektif dari pada menghukum perilaku yang tidak dikehendaki.

2) Faktor motivasi yang dipergunakan harus diyakini oleh yang bersangkutan.

3) Perilaku berganjaran, cenderung akan diulangi.

4) Perilaku tertentu lebih “reinforced” apabila ganjaran atau hukuman bersifat segera, dibandingkan tertunda.

5) Nilai motivasional dari ganjaran atau hukuman akan lebih besar dampaknya pada individu secara pribadi dibandingkan dengan organisasional.

6) Nilai motivasional dan ganjaran atau hukuman yang diantisipasi akan lebih tinggi apabila sudah pasti akan terjadi, dibandingkan dengan yang masih bersifat kemungkinan.

Salah satu teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli dinamakan teori ERG yang dikembangkan Alderfer (dalam George & Jones, 2005). Unsur-unsur yang terdapat dalam teori ini adalah existence, relatedness, dan growth, sebagai tiga kebutuhan manusia yang perlu dipuaskan sebagai sumber motivasi kerja yaitu :

1) Kebutuhan akan keberadaan (existence needs) yang berhubungan dengan kebutuhan dasar yang meliputi physiological needs dan safety needs.

2) Kebutuhan akan hubungan (relatedness needs) yang menekankan pada pentingnya hubungan antar individu.

3) Kebutuhan akan pertumbuhan (growth needs), yaitu keinginan intrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau meningkatkan kemampuan dirinya.

Sementara itu, George dan Jones (2005) menyatakan bahwa unsur-unsur motivasi kerja adalah sebagai berikut.

1) Arah perilaku (direction of behavior) yang mengacu pada perilaku yang dipilih seseorang dalam bekerja dari banyak pilihan perilaku yang dapat mereka tunjukkan baik tepat maupun tidak tepat.

2) Tingkat usaha (level of effort) yang berkaitan dengan tingkat upaya seseorang untuk bekerja sesuai dengan perilaku yang dipilih.

3) Tingkat kegigihan (level of persistence) yang berhubungan dengan dorongan karyawan ketika dihadapkan pada suatu masalah, rintangan, atau halangan dalam bekerja. Dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja serta kepuasan kerja karyawan, perusahaan atau organisasi hendaknya memberikan motivasi atau dorongan kepada setiap karyawan agar menunjukkan kinerja lebih baik yang selanjutnya berdampak pada kepuasan kerja yang tinggi pula. Motivasi berhubungan erat dengan sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang. Sikap yang ada pada setiap individu berinteraksi dengan nilai-nilai, emosi, peran, struktur sosial, dan peristiwa-peristiwa baru, yang bersamaan dengan emosi dapat dipengaruhi dan diubah oleh perilaku (Riyadi, 2011). Menurut Djamaludin (2009), motivasi kerja sangat dibutuhkan oleh individu untuk mendorong pencapaian hasil dari aktivitas yang dilakukan secara memuaskan. Berarti, pencapaian hasil maksimal dalam bekerja, sangat dominan dipengaruhi oleh motivasi kerja individu. Oleh karenanya, motivasi kerja yang tinggi dapat mendorong terciptanya kepuasan kerja yang lebih baik.

Teori Self-Efficacy (skripsi dan tesis)

Self-efficacy merupakan tingkat keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kekuatan diri (percaya diri) dalam mengerjakan dan menjalankan tugas atau pekerjaan tertentu. Karakteristik ini menunjukkan keyakinan seseorang mengenai peluangnya untuk berhasil dalam melaksanakan tugas (Kreitner dan Kinicki, 2005:79). Beberapa penelitian akademis telah membuktikan bahwa self efficacy berhubungan dengan kontrol diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, dan upaya pemecahan masalah (Cherian dan Jolly, 2013). Menurut Avey et al. (2009), apabila diaplikasikan dalam dunia kerja, self-efficacy dapat didefinisi sebagai keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk mengarahkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan pekerjaannya. Bandura dan Adams (1997) lebih lanjut menyatakan bahwa selfefficacy adalah suatu keyakinan individu terhadap kemampuannya mengatur dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengarahkan situasi yang akan datang dan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi atau kondisi tertentu. Selfefficacy memiliki dampak pada pola reaksi emosional individu.

Bandura (dalam Cherian & Jolly, 2013), mengajukan pendapat bahwa self-efficacy juga dapat digambarkan sebagai fungsi dari kepercayaan diri dengan mana individu dapat menyelesaikan tugas. Dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah persepsi tentang kemampuan dan keyakinan individu terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Bandura (dalam Cherian & Jolly, 2013) mengemukakan bahwa teori self-efficacy merupakan cabang dari Social Cognitive Theory. Social Cognitive Theory menyoroti pertemuan yang kebetulan dan kejadian yang tak terduga meskipun kejadian tersebut tidak serta merta mengubah jalan hidup manusia. Beberapa asumsi awal dan mendasar dari Social Cognitive Theory yang dikembangkan oleh Bandura adalah Learning Theory (teori pembelajaran) yang berasumsi bahwa manusia cukup fleksibel dan mampu mempelajari beragam kecakapan bersikap maupun berprilaku dan bahwa titik pembelajaran terbaik dari itu semua adalah pengalaman-pengalaman tak terduga. Kayu dan Bandura (dalam Staples dkk, 1999) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu untuk membentuk peran sentral dalam proses pengawasan melalui motivasi dan pencapaian kinerja. Self-efficacy juga menentukan upaya beberapa orang untuk melakukan tugas dan berapa lama mereka akan bertahan dengan pekerjaan atau tugasnya. Menurut Bandura (1997), teori kognitif sosial mengidentifikasi beberapa kondisi dimana individu dapat bekerja dalam pekerjaan yang bervariasi bahkan dalam domain yang berbeda. Menurut Judge dan Bono (2001), self-efficacy tinggi akan menghasilkan suatu pencapain prestasi kerja dan kepuasan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan dengan self-efficacy rendah.

Bandura (dalam Day & Allen, 2004), menyatakan bahwa self-efficacy didefinisi sebagai salah satu kondisi seberapa baik seseorang dapat mengeksekusi suatu tindakan yang diperlukan dalam situasi tertentu. Philip dan Gully (dalam Engko, 2008) menyatakan bahwa Self-efficacy dapat dikatakan sebagai faktor personal yang membedakan setiap individu dan perubahan Self-efficacy dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku, terutama dalam meyelesaikan tugas dan tujuan. Menurut Schwazer dan Schmitz (dalam Aftab et al. 2005), terdapat dua tingkat efikasi diri yaitu rendah dan tinggi. Di satu pihak, seseorang dengan tingkat efikasi diri tinggi, lebih memilih untuk melaksanakan tugas- tugas ekstra, yang bersifat menuntut, dan bersifat inovatif. Di pihak lain, seseorang dengan tingkat efikasi diri yang tergolong rendah akan banyak menimbulkan masalah dalam diri mereka sendiri seperti, kegelisahan, depresi, bahkan cenderung rentan terhadap situasi atau kondisi buruk. Menurut Bandura (dalam Aprian, 2012), efikasi diri pada individu dapat dianalisis berdasarkan tiga dimensinya, meliputi magnitude, generality, dan strength. Magnitude berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas, generality terkait dengan keyakinan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu secara baik dan tuntas, dan strength (kekuatan) mengacu pada derajat dan kemantapan terhadap keyakinannya. Betz dan Smith (2002), menggambarkan keberhasilan diri sosial sebagai perhitungan antisipasi efikasi diri mengenai berbagai perilaku dalam konteks sosial. Jones (1986) (dalam Chasanah, 2008), mengungkapkan sumber atau indikator dari selfefficacy yang tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu berupa perasaan mampu melakukan pekerjaan, memiliki kemampuan yang lebih baik, suka dengan pekerjaan yang menantang, dan puas terhadap pekerjaan. Penelitian lain mengenai hubungan antara self efficacy dan kepuasan kerja dilakukan oleh Klasser dan Ming Chiu (2010), yang meneliti 1.430 orang guru, dengan tujuan untuk menguji hubungan antara pengalaman kerja, karakteristik guru (gender dan tingkat pendidikan), Self efficacy, dan stress kerja, dengan kepuasan kerja. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa guru yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi cenderung memiliki tingkat kepuasan kerja lebih tinggi dibandingkan guru dengan tingkat self efficacy rendah

Teori Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Kepuasan kerja karyawan merupakan suatu hal vital bagi manajer yang percaya bahwa suatu organisasi memiliki tanggung jawab untuk memberikan karyawannya suatu pekerjaan yang menantang dan menguntungkan (Nadiri dan Tanova, 2010). Terdapat beberapa konsep tentang kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja sebagai reaksi emosional yang kompleks. Reaksi emosional ini merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntutan, dan harapan karyawan terhadap pekerjaan dihubungkan dengan realitas yang dirasakan, sehingga menimbulkan suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, puas, ataupun tidak puas. Kedua, kepuasan kerja adalah suatu sikap individu terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi kerja, kerja sama antar karyawan, imbalan yang diterima dalam pekerjaan, dan hal-hal yang menyangkut faktor fisik dan psikologis (Sutrisno, 2009:74). Hingga saat ini, kepuasan kerja tetap menjadi diskusi yang penting dalam wilayah manajemen, psikologi, dan terutama perilaku organisasional dan manajemen sumber daya manusia. Vitell (dalam Swaminathan, 2013), menyebutkan sejumlah dimensi kepuasan kerja yakni kompensasi, kepuasan terhadap manajemen, dan kepuasan terhadap rekan kerja memberikan kontribusi terhadap kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan. Menurut Handoko (2008:193), kepuasan kerja adalah keadaan emosional karyawan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan memandang pekerjaan mereka. Aswathappa (dalam Ahmed dkk, 2003), membahas tentang faktor-faktor penentu kepuasan kerja yang terdiri dari pembayaran upah dan hadiah uang.

Organisasi yang berbeda menggunakan sistem upah dan tunjangan yang berbeda. Mokaya et al. (2013) menyatakan bahwa organisasi harus terus mengadakan perubahan ke arah yang positif, karena tugasnya tidak hanya menarik staf yang tepat, akan tetapi juga harus menciptakan dan mempertahankan motivasi kerja, sehingga tercipta kepuasan kerja seperti yang diharapkan. Kepuasan kerja karyawan dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi turnover staf dan meningkatkan kreatifitas dan komitmen. Locke (dalam Krishnan et al., 2010) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan puas terhadap pekerjaan yang dilakukan, dimana termasuk didalamnya adalah gaji, promosi, dan lingkungan kerja. Darmawati (2013) menyimpulkan bahwa indikator kepuasan kerja karyawan diantaranya adalah pekerjaan itu sendiri, gaji, promosi, supervisi, rekan kerja, serta seluruh pekerjaan yang dilakukan. Kepuasan kerja tercipta apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan karyawan. Hal ini merupakan sikap umum yang dimiliki oleh karyawan yang erat kaitannya dengan imbalan yang mereka yakini akan diterima setelah melakukan sebuah pengorbanan (Robbins, 2003:91).

Menurut Strauss dan Sayler (dalam Jumari dkk, 2013), terdapat 5 dimensi kepuasan kerja seperti dijelaskan berikut ini.

1) Gaji, menyangkut jumlah serta kelayakan gaji atau upah yang diterima.

2) Pekerjaan, berkaitan dengan menariknya pekerjaan yang dilakukan serta peluang yang diperoleh untuk belajar dan menerima tanggung jawab yang lebih besar.

3) Promosi, yaitu tersedianya peluang-peluang untuk mencapai kemajuan dalam jabatan.

4) Supervisi, terkait dengan kemampuan atasan untuk menunjukkan perhatian terhadap karyawan.

5) Rekan kerja, yaitu tingkat kompetensi dan sikap bersahabat yang ditunjukkan oleh para rekan sekerja.

Two Factor Theory yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Furnham et al. (2009) menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan dalam pekerjaan bukanlah dua hal yang saling berlawanan, melainkan dua entitas yang terpisah yang disebabkan aspek pekerjaan yang berbeda. Teori ini menyebutkan terdapat dua faktor kepuasan kerja yaitu faktor “Higienis” dan “Motivator”. Faktor Higienis merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan ataupun Pmencegah ketidakpuasan. Faktor-faktor tersebut terdiri dari kondisi kerja, gaji, hubungan antar pribadi, kebijakan perusahaan, teknik pengawasan, dan perasaaan aman dalam bekerja. Sementara itu, Faktor Motivasi adalah faktor-faktor yang mengarah pada pengembangan sikap positif dan merupakan pendorong pribadi individu yang bersangkutan. Faktor-faktor tersebut termasuk keberhasilan menyelesaikan tugas, penghargaan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, prestasi, kemungkinan untuk mengembangkan diri, dan kesempatan untuk maju

Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Kartika dan Kaihatu (2010) dalam penelitiannya terhadap  karyawan Pakuwon Food Festival menyatakan bahwa motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Selain penelitian yang dilakukan oleh Brahmasari dan Suprayetno (2008) dalam penelitiannya terhadap 1.737 orang pegawai di PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia di Surabaya dan Jombang menyatakan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif pada kepuasan kerja karyawan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Djamaludin (2009) terhadap 200 orang PNS yang ada di Kota Maba menyatakan bahwa motivasi kerja  berpengaruh positif pada kepuasan kerja

Pengaruh Self- Efficacy terhadap Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

Pada penelitian Lau (2012) yang dilakukan pada Universitas di Amerika Serikat dengan menggunakan 224 mahasiswa menunjukkan bahwa self-efficacy berhubungan positif pada kepuasan kerja. Semakin tinggi self-efficacy seseorang semakin tinggi pula kepuasan kerja seseorang. Hal ini membuktikan bahwa selefficacy yang dimiliki oleh seorang pegawai memberikan dorongan terhadap kepuasan kerja. Karena mereka menganggap bahwa pada dasarnya setiap orang pasti memiliki self efficacy, tetapi self efficacy tersebut terbentuk karena dukungan dari perusahaan. Lodjo (2013), dalam penelitiannya terhadap 127 karyawan PT. PLN Suluttenggo mengatakan bahwa keyakinan diri sangatlah penting. Semakin mampu dan yakin seseorang dalam mengerjakan tugasnya akan semakin tinggi kepuasan kerja karyawan tersebut.

Bentuk – Bentuk Pelayanan (skripsi dan tesis)

 Penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan bentuk dan sifatnya, menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik terdapat empat pola pelayanan, yaitu:
1. Pola Pelayanan Fungsional, yaitu pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.
 2. Pola Pelayanan Terpusat, yaitu pola pelayanan yang diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.
 3. Pola Pelayanan Terpadu yang dibagi ke dalam dua bagian pola pelayanan, yaitu:
 a) Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai  keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat tidak perlu disatu atapkan.
b) Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu diselenggarakan pada satu tempat yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.
 4. Pola Pelayanan Gugus Tugas, yaitu petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberi pelayanan tertentu. (KEPMENPAN Nomor 63 Tahun 2003:5).
Pelayanan umum yang dilakukan oleh siapapun tidak terlepas dari tiga macam bentuk pelayanan menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yaitu:
1. Pelayanan dengan lisan Pelayanan dengan lisan yang dilakukan oleh petugas-petugas di bidang hubungan masyarakat (Humas), bidang informasi dan bidang-bidang lain yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Agar pelayanan dapat berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
a) Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya.
b) Mampu memberikan penjelasan apa yang diperlukan dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga memuaskan bagi mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu.
 c) Bertingkah laku sopan dan ramah.
2. Pelayanan melalui tulisan Pelayanan melalui tulisan merupakan bentuk pelayanan yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugas. Tidak hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari segi perannya. Apalagi kalau dilihat bahwa sistem layanan jarak jauh karena faktor biaya agar layanan dalam bentuk tulisan dapat memuaskan pihak yang dilayani, suatu hal yang harus diperhatikan adalah faktor kecepatan, baik dalam pengolahan masalah maupun dalam proses penyelesaian (pengetikan, penandatanganan, dan pengiriman kepada yang bersangkutan).
3. Pelayanan berbentuk perbuatan Pada umumnya pelayanan berbentuk perbuatan 70% sampai dengan 80% dilakukan oleh petugas-petugas tingkat menengah dan bawah, karena hal 6 ini adalah faktor keahlian dan keterampilan petugas tersebut yang sangat menentukan hasil perbuatan atau pekerjaan yang dilakukannya. (KEPMENPAN Nomor 63 Tahun 2003)
Jenis layanan ini dalam kenyataan sehari-hari memang tidak terhindar dari layanan lisan. Hubungan lisan paling banyak dilakukan dalam hubungan pelayanan umum (kecuali yang khusus dilakukan melalui hubungan tulisan, karena faktor jarak). Hanya titik berat terletak pada perbuatan itu sendiri yang ditunggu oleh yang berkepentingan. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak terlepas dari hasil hubungan ketergantungan pendapat tentang pengertian pelayanan itu sendiri.

Pengertian Pelayanan (skripsi dan tesis)

Pelayanan publik tidak terlepas dari masalah kepentingan umum, yang menjadi asal-usul timbulnya istilah pelayanan publik. Perkembangan globalisasi mengenai teknologi informasi membawa seluruh Instansi, Lembaga, Badan, Dinas serta Kantor Pemerintahan menuju perubahan-perubahan terhadap sikap mengenai cara memberikan pelayanan publik yang efektif dan efisien. Kemajuan teknologi yang sangat pesat ini menyebabkan pengaruh sangat besar pada semua bidang, yaitu dalam pelayanan teknologi informasi pada suatu instansi pemerintahan. Pelayanan sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, dapat juga dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Pelayanan merupakan suatu pemecahan permasalahan antara manusia sebagai konsumen dan perusahaan sebagai pemberi atau penyelenggara pelayanan. Maka Gronroos mendefinisikan pelayanan yaitu: “Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberian pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/ pelanggan”. (Gronroos, 1990:27)
Berdasarkan pendapat di atas jelas disebutkan bahwa ciri pokok pelayanan adalah tidak kasat mata (tidak dapat diraba) dan melibatkan upaya manusia (karyawan) atau peralatan lain yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara 2 pelayanan. Jadi, pelayanan merupakan serangkaian aktivitas yang tidak dapat diraba dan terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara pemberi pelayanan dan yang diberi pelayanan. Selain definisi pelayanan di atas Kotler pun ikut mendefinisikan pelayanan sebagai “pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik” (Kotler dalam Lukman, 2000:8). Definisi pelayanan menurut Kotler jelas bahwa pelayanan adalah suatu kumpulan atau kesatuan yang melakukan kegiatan menguntungkan dan menawarkan suatu kepuasan meskipun hasilnya secara fisik tidak terikat kepada produk. Sampara Lukman dalam bukunya Manajemen Kualitas Pelayanan berpendapat, pelayanan adalah “suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antarseseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan”. (Lukman, 2000:8). Berdasarkan pendapat tersebut, interaksi langsung antar seseorang dengan orang lian merupakan suatu kegiatan yang memungkinkan terjadinya proses pelayanan yang menyediakan kepuasan pelanggan. Pelayanan berasal dari kata layanan yang artinya kegiatan yang memberikan manfaat kepada orang lain, Simamora dalam bukunya berjudul Memenangkan Pasar Dengan Pemasaran Efektif dan Profesional mendefinisikan layanan sebagai berikut: “Layanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun”. (Simamora, 2001:172)
 Pendapat di atas mengemukakan bahwa layanan merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat yang tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun yang hasilnya akan bermanfaat bagi masyarakat dan bagi aparatur itu sendiri. Menurut Ratih Hurriyati yang dikutip dari Zeithaml dan Bitner dari bukunya yaitu Service Marketing mengemukakan bahwa: “Pelayanan adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud (intangible) bagi pembeli pertamanya” (Hurriyati, 2005:28). Berdasarkan dari definisi diatas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya pelayanan adalah sesuatu yang tidak berwujud tetapi dapat memenuhi kebutuhan pelanggan atau masyarakat. Pelayanan tidak dapat mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan dan terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Paimin Napitupulu dalam bukunya yang berjudul Pelayanan Publik dan Customer Satisfaction mengartikan pelayanan sebagai berikut: “Serangkaian kegiatan atau proses pemenuhan kebutuhan orang lain secara lebih memuaskan berupa produk jasa dengan sejumlah ciri seperti tidak berwujud, cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada memiliki, dan pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut” (Napitupulu, 2007:164). Pelayanan adalah suatu urutan kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pelayanan tidak memiliki wujud melainkan pelayanan cepat hilang, dan dapat dirasakan.
Pelayanan umum dalam kehidupan pemerintah banyak sekali jenisnya, Fitzsimmons menjabarkan pelayanan dapat dibedakan, antara lain: “Elemen struktural dan elemen manajerial. Dalam konsep elemen struktural meliputi aplikasi rancangan fasilitasnya, lokasi pelayanannya, dan kapasitas perencanaannya. Elemen manajerial meliputi penemuan model pelayanan yang tepat, kualitas, kapasitas pengelolaannya, mengerti tuntutan dan tantangannya, serta kelengkapan informasinya”. (Ibrahim, 2008:4). Perbedaan jenis pelayanan umum dapat dilihat dari kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, keamanan, transportasi, pendidikan, dan sebagainya. Dilihat dari kegiatan pemerintah yang harus memberikan pelayanan dapat dibedakan berdasarkan kekhususan yang mengaitkan perbedaan jenis pelayanan yang diberikan

Pengertian Layanan (skripsi dan tesis)

 Menurut pandangan kita layanan adalah suatu tindakan sukarela dari satu pihak ke pihak lain dengan tujuan hanya sekedar membantu.atau adanya permintaan kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya secara sukarela Pelayanan adalah aspek yang tidak bisa disepelehkan dalam persaingan bisnis manapun. Karena dengan pelayanan konsumen akan menilai kemudian menimbang apakah selanjutnya dia akan loyal kepada pemberi layanan tersebut. Hingga tak jarang para pebisnis memaksimalkan layanannya untuk menarik konsumen sebesarbesarnya. Maka dari itu, bila ingin menarik konsumen dengan sebanyakbanyaknya harus mengetahui arti dari layanan itu sendiri. Pengertian layanan atau pelayanan secara umum, menurut Purwadarminta adalah meneyediakan segala apa yang dibutuhkan orang lain
 Sedangkan  menurut Tjiptono definisi layanan adalah kegiatan yang dilakukan perusahaan kepada pelanggan yang telah membeli produknya. Sedangkan menurut Barata bahwa suatu pelayanan akan terbentuk karena adanya proses pemberian layanan tertentu dari pihak penyedia layanan kepada pihak yang dilayani.
Ada beberapa ciri pelayanan yang baik yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan :
 a. Memiliki karyawan yang profesional khususnya yang berhadapan langsung dengan pelanggan
b. Tersedianya sarana dan prasaranayang baik yang dapat menunjang kelancaran produk ke pelenggan secara cepat dan tepat
c. Tersedianya ragam produk yang diinginkan. Dalam artian konsumen sekali berhenti dapat membeli beragam produk dengan kualitas produk dan pelayanan yang mereka inginkan
 d. Bertanggung jawab kepada setiap pelanggan dari awal hingga selesai
e. Mampu melayani secara cepat dan tepat, tentunya jika dibandingkan dengan pihak pesaing.
 f. Mampu berkomunikasi dengan jelas, menyenangkan dan mampu menangkap keinginan dan kebutuhan pelanggan.
g. Memberikan jaminan kerahasiaan setiap transaksi, terutama dalam hal keuangan.
 h. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik tentang produk yang dijual dan pengetahuan umum lainnya
i. Mampu memberikan kepercayaan kepada pelanggan, sehingga pelanggan merasa yakin dengan apa yang telah dilakukan perusahaan.

Konsep Akta Kelahiran (skripsi dan tesis)

 

Akta kelahiran adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya kelahiran. Dalam rangka memperoleh atau mendapat kepastian terhadap kedudukan hukum seseorang, maka perlu adanya bukti-bukti yang otentik yang mana sifat bukti itu dapat dipedomani untuk membuktikan tentang kedudukan hukumseseorang itu. Adapun bukti-bukti otentik tersebut dapat digunakan untuk mendukungkepastian, tentang kedudukan seorang itu ialah adanya akta yang dikeluarkan oleh suatu lembaga, dimana lembaga inilah yang berwenang untuk mengeluarkan akta-akta mengenai kedudukan hukum seseorang. Sesuai bunyi Pasal 261 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “keturunan anak sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibukukan dalam register catatan sipil’’. Berdasarkan keturunan karena surat atau akta lahir memang membuktikan bahwa seorang anak yang disebutkan disana adalah anak yang disebutkan dalam akta kelahiran yang bersangkutan, paling tidak dari perempuan yang melahirkan anak itu yang anaknya disebutkan disana. Dari isi akta kelahiran tersebut, maka akta kelahiran anak sah membuktikan tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Data lahir
 2. Kewarganegaraan (WNI atau WNA)
 3. Tempat Kelahiran
4. Hari, tanggal, bulan dan tahun kelahiran
 5. Nama lengkap anak.
 6. jenis kelamin anak
7. Nama ayah
 8. Nama ibu
 9. Hubungan antara ayah dan ibu
10. Tanggal, bulan dan tahun terbit akta
11. Tanda tangan pejabat yang berwenang.
 Sedangkan lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan akta yang dimaksud diatas, menurut keputusan Presiden Republik Indonesia No 12 Tahun1983 pasal 3 ayat 2 adalah Lembaga Catatan Sipil. Dimana dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 12 Tahun 1983 Pasal 5 ayat 2 dikatakan Sebagai berikut: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal 1 ini Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi menyelenggarakan :
 1. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran
2. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan
3. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian.
 4. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan atau pengesahan anak
 5. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian

Konsep Akta Catatan Sipil (skripsi dan tesis)

Istilah “akta” dalam bahasa Belanda disebut“Acte”/”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “ Act”/ “deed” yang secara umum mempunyai dua arti, yaitu:
 1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling)
2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagaiperbuatan hukum tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu. Menurut R subekti dan Tjitrosoedibio, kata “akta” merupakan bentuk jamaan dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan. Menurut Prof. Mr. A. Pitlo Akta adalah suatu surat yang ditanda tangani,diperbuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk siapa surat itu dibuat. Sedangkan menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. berpendapat bahwa yang disebut akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu. (Pasal 165 Staatslad Tahun 1941 Nomor 84).
 Catatan sipil adalah Catatan Kependudukan / kewarganegaraan oleh pemerintah untuk memberikan kedudukan hukum terhadapperistiwanya yang membawa akibat hukum keperdataan dari diri seseorang dimulai sejak kelahiran sampai peristiwa kematian. Pengertian Akta Catatan Sipil adalah Akta yang memuat catatan peristiwa-peristiwa penting kehidupan seseorang yaitu: Kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan/pengesahan anak dan kematian. Kegunaan Akta Catatan Sipil:
1. Akta Catatan Sipil merupakan bukti paling kuat dalam menentukan kedudukan hukum seseorang. 2. Merupakan Akta Otentik yang mempunyai kekuatan hukum pembuktian sempurna di depan hakim.
3. Memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya tentang kejadiankejadian mengenai kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan/pengesahan anak dan kematian. 4. Dari segi praktisnya akta-akta kelahiran dari catatan sipil dapat dipergunakan untuk tanda bukti otentik dalam hal pengurusan pasport Kewarganegaraan, KTP, Keperluan sekolah, Masuk ABRI dan utama menentukan status ahli waris dan sebagainya.

Dimensi Evaluasi Kualitas Jasa (skripsi dan tesis)

Untuk menangani kelima gap yang terjadi ini, selanjutnya Parasuraman, Berry, dan Zeithaml (Harbani Pasolong, 2007:135), menyatakan ada lima karakteristik yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas jasa, yaitu :

 1. Tangibles (Bukti langsung), kualitas pelayanan berupa fasilitas fisik perkantoran, perlengkapan, kebersihan, dan sarana komunikasi, ruang tunggu, tempat informasi.
 2. Reability (kehandalan), yakni kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya (pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan).
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu keinginan para staff untuk membantu para masyarakat dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen.
4. Assurance (jaminan), mencakup kemampuan, keramahan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staff, bebas dari bahaya, resiko, atau keraguan.
5. Empathy (empati), sikap tegas tapi penuh perhatian terhadap konsumen, sehingga memudahkan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan

kesenjangan (Gap) dalam proses pelayanan (skripsi dan tesis)

Menurut Parasuraman, Zeithalm dan Berry dalam Tjiptono (2007:262-270) menyatakan ada lima kesenjangan (Gap) dalam proses pelayanan, yaitu :

1. Gap antara harapan konsumen dan pendapat manajemen
Gap ini muncul sebagai akibat dari ketidaktahuan manajemen tentang kualitas jasa macam apa yang sebenarnya diharapkan konsumen pengguna jasa dan bagaimana penilaian konsumen terhadap pelayanan yang diberikan. Akibatnya desain dan standar jasa yang disampaikan menjadi tidak baik. Sehingga perusahaan tidak dapat memperlihatkan kinerja pelayanan yang dijjanjikan. Kesenjangan ini pada umumnya  disebabkan kurangnya orientasi penelitian pemasaran, pemanfaatan yang tidak memadai atas temuan-temuan penelitian, kurangnya interaksi antara pihak manajemen dan pelanggan, komunikasi atas-bawah yang kurang memadai, serta terlalu banyaknya lapis manajemen. Contohnya, pimpinan rumah sakit mengira pasien menghendaki makanan yang lezat, padahal sebetulnya pasien lebih menganggap penting perawat yang tanggap dan cekatan
2. Gap antara pendapat manajemen tentang harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa
Gap ini muncul karena para manajer menetapkan spesifikasi kualitas jasa yang tidak tidak jelas dan realistis. Akibatnya pegawai yang memberikan pelayanan kepada konsumen secara langsung tidak tahu pelayanan seperti apa yang harus diberikan. Kesenjangan ini dapat terjadi, antara lain, karena tidak memadainya komitmen manajemen terhadap kualitas jasa, tidak memadainya standardisasi, dan tidak adanya tujuan yang jelas. Contohnya, pimpinan rumah sakit memberikan instruksi kepada perawat agar memberikan pelayanan dengan cepat tetapi tidak menentukan standar waktu yang spesifik dan konkrit mengenai cepatnya pelayanan yang diharapkan (1 jam atau 2 jam, dan seterusnya).
3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa Gap ini biasanya muncul pada jasa yang sistim penyampaiannya sangat tergantung pada karyawan. Pendapat yang akurat tentang harapan konsumen memang penting, tetapi belum cukup untuk menjamin bahwa spesifikasi kualitas jasa akan terpenuhi apabila jasa memerlukan kinerja pelayanan dan penyajian yang sesegera mungkin bila para konsumen 34 pengguna jasa hadir ditempat jasa diproses. Kesenjangan ini terjadi, diantaranya, karena karyawan kurang terlatih, beban kerja yang melampaui batasan (overload), ambiguitas peran, atau konflik peran. Gap ini mengindikasikan perlunya ditetapkan disain dan standar jasa yang berorientasi kepada konsumen pengguna jasa.
 4. Gap antara penyampaian jas aktual dan komunikasi eksternal kepada konsumen pengguna jasa. Janji yang disampaikan mungkin secara potensial bukan hanya meningkatkan harapan yang akan dijadikan sebagai standar kualitas jasa yang akan diterima konsumen pengguna jasa, akan tetapi juga akan meningkatkan pendapat tentang jasa yang akan disampaikan kepada debitur. Kegagalan dalam memenuhi jasa yang dijanjikan dengan faktanya akan memperbesar gap ini. Contoh: di dalam brosur dinyatakan tersedia kamar hotel yang mewah, bersih, dan rapi, tetapi kenyataannya kamar tidak bersih dan rapi. Kesenjangan ini terjadi, antara lain, karena tidak memadainya komunikasi antara penyedia dengan pembeli jasa serta adanya kecenderungan untuk memberikan janji yang berlebihan. 5. Gap antara jasa yang diharapkan dan jasa aktual yang diterima
Gap ini timbul akibat adanya perbedaan antara kinerja pelayanan yang diterima pada konsumen pengguna jasa dan kinerja pelayanan yang diharapkan atau kepentingan konsumen pengguna jasa. Bila dihubungkan dengan tingkat kesesuaian konsumen pengguna jasa, ini menccerminkan bahwa para konsumen pengguna jasa tersebut berada pada keadaan sesuai. Kesenjangan ini terjadi apabila pelanggan mempunyai persepsi sendiri dalam mengukur kinerja/prestasi perusahaan. Sebagai contoh, dokter merasa perlu sering-sering mengunjungi pasiennya karena perlu memperhatikan pasien dengan baik, tetapi pasien wanita (muda dan cantik) mungkin mempunyai persepsi bahwa dokter sedang menaksirnya.

Faktor-faktor pendukung pelayanan publik (skripsi dan tesis)

 

menurut Moenir dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia”, faktor tersebut dapat mempengaruhi pelayanan, adapun faktor-faktor tersebut adalah :

 1. Faktor kesadaran

Adanya kesadaran dapat membawa seseorang kepada keikhlasan dan kesungguhan dalam menjalankan atau melaksanakan suatu kehendak. Kehendak dalam lingkungan organisasi kerja tertuang dalam bentuk tugas, baik tertulis maupun tidak tertulis, mengikat semua orang dalam organisasi kerja. Karena itu dengan adanya kesadaran pada pegawai atau petugas, diharapkan dapat melaksanakan tugas dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin. Kelebihan dan tingkah laku orang lain jika disadari lalu dikembangkan dapat menjadi faktor pendorong bagi kemajuan dan keberhasilan.

 2. Faktor aturan

Aturan adalah perangkat penting dalam segala tindakan dan perbuatan orang. Makin maju dan majemuk suatu masyarakat makin besar peranan aturan dan dapat dikatakan orang tidak dapat hidup layak dan tenang tanpa aturan. Oleh karena itu aturan demikian besar dalam hidup masyarakat maka dengan sendirinya aturan harus dibuat, dipatuhi, dan diawasi sehingga dapat mencapai sasaran sesuai dengan maksudnya. Dalam organisasi kerja dibuat oleh manajemen sebagai pihak yang berwenang mengatur segala sesuatu yang ada di organisasi kerja tersebut. Oleh karena setiap orang pada akhirnya menyangkut langsung atau tidak langsung kepada orang, maka masalah manusia serta sifat kemanusiaannya harus menjadi pertimbangan utama. Pertimbangan  harus diarahkan kepada sebagai subyek aturan, yaitu mereka yang akan dikenai aturan itu.

3. Faktor organisasi

Organisasi pada dasarnya tidak berbeda dengan organisasi pada umunya, namun ada perbedaan sedikit dalam penerapannya, karena sasaran pelayanan ditujukan secara khusus, kepada manusia yang mempunyai dan kehendak multikompleks, kepada manusia yang mempunyai dan kehendak multikompleks. Oleh karena itu organisasi yang dimaksud disini tidak semata-mata dalam perwujudan susunan organisasi, melainkan lebih banyak pada pengaturan dan mekanisme kerjanya yang harus mampu menghasilkan pelayanan yang memadai.

4. Faktor pendapatan

Pendapatan adalah seluruh penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga, dana, serta pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain atau badan/organisasi, baik dalam bentuk uang, maupun fasilitas, dalam jangka waktu tertentu. Pada dasarnya pendapatan harus dapat memenuhi kebutuhan hidup baik untuk dirinya maupun keluarganya.

 5. Faktor kemampuan dan keterampilan

Kemampuan yang dimaksud disini adalah keadaan yang ditujukan pada sifat atau keadaan seseorang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan atas ketentuan-ketentuan yang ada. Istilah yang “kecakapan” selanjutnya keterampilan adalah kemampuan melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan pengetahuan kerja yang tersedia. Dengan pengertian ini dapat dijelaskan bahwa keterampilan lebih banyak menggunakan unsur anggota badan dari pada unsur lain.

6. Faktor sarana pelayanan Sarana pelayanan yang dimaksud disini adalah segala jenis pelayanan, perlengkapan kerja dan fasilitas lain yang berfungsi sebagai alat utama atau pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga berfungsi social dalam rangka kepentingan orang-orang yang sedang berhubungan dengan organisasi kerja itu. Fungsi sarana pelayanan itu antara lain:

a. Mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan, sehingga dapat menghemat waktu.

b. Meningkatkan produktivitas, baik barang maupun jasa.

 c. Kualitas produk yang lebih baik.

d. Kecepatan susunan dan stabilitas terjamin.

e. Menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang berkepentingan.

f. Menimbulkan perasaan puas orang-orang yang berkepentingan sehingga dapat mengurangi sifat emosional mereka.

Indikator Kualitas Pelayanan Publik (skripsi dan tesis)

Pelayanan birokrasi yang berkualitas, oleh Sinambela (2010:43) didefinisikan melalui ciri-ciri berikut:

1. Pelayanan yang bersifat anti birokratis

2. Distribusi pelayanan

3. Desentralisasi dan berorientasi kepada klien

Adapun pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat menurut Moenir (2006:41-44) adalah sebagai berikut:

1. Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadangkala dibuat-buat

2. Memperoleh pelayanan secara wajar tanpa gerutu, sindiran atau hal-hal yang bersifat tidak wajar. 3. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama, tertib, dan tidak pandang bulu.

4. Pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknhya diberitahukan, sehingga orang tidak menunggu-nunggu sesuatu yang tidak jelas.

Karena dalam pelayanan publik, kepuasan masyarakat merupakan faktor penentu kualitas, maka setiap organisasi penyedia layanan publik diharapkan mampu memberikan kepuasan kepada pelanggannya. Dan untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari (Sinambela, 2010:42-43) :

1. Transparansi, yakni pelayanan bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;

2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

 3. Kondisional, yakni pelayanan yang dapat sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas;

4. Partisipatif, yakni pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat;

5. Kesamaan hak, yakni pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain

; 6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.

 Menurut Gasper (1997:2), karakteristik atau atribut yang harus diperhitungkan dalam perbaikan kualitas jasa pelayanan ada 10 (dimensi), antara lain sebagai berikut :

 1. Kepastian waktu pelayanan Ketetapan waktu yang di harapkan berkaitan dengan waktu proses atau penyelesaian, pengiriman, penyerahan, jaminan atau garansi , dan menanggapi keluhan.

2. Akurasi pelayanan Akulturasi pelayanan berkaitan dengan reabilitas pelayanan, bebas dari kesalahan-kesalahan

. 3. Kesopanan dan keramahan Dalam memberikan pelayanan personil yang berada di garis depan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan harus dapat memberikan sentuhan pribadi yang menyenangkan. Sentuhan pribadi yang menyenangkan tercermin melalui penampilan, bahasa tubuh dan tutur bahasa yang sopan, ramah, lincah dan gesit.

4. Tanggung jawab Bertanggung jawab dalam penerimaan pesan atau permintaan dan penanganan keluhan pelanggan eksternal.

5. Kelengkapan Kelengkapan pelayanan menyangkut lingkup (cakupan) pelayanan ketersediaan sarana pendukung.

6. Kemudahan mendapatkan pelayanan Kemudahan mendapatkan pelayanan berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas yang mendukung.

 7. Pelayanan pribadi Pelayanan pribadi berkaitan dengan ruang/tempat pelayanan kemudahan, ketersediaan, data/Informasi dan petunjuk – petunjuk.

8. Variasi model pelayanan Variasi model pelayanan berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola baru pelayanan.

9. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan Kenyamanan pelayanan berkaitan dengan ruang tunggu/tempat pelayanan, kemudahan, ketersediaan data dan Informasi dan petunjuk- petunjuk.

10. Atribut pendukung pelayanan Yang dimaksud atribut pendukung pelayanan dalam hal ini adalah sarana dan prasarana yang di berikan dalam proses pelayanan.

 Sedangkan menurut Gonroos (Tjiptono, 2007:261) menyatakan bahwa ada enam kriteria pokok dalam menilai kualitas jasa, yaitu :

1. Profesionalism and skill, kriteria ini dimaksudkan agar pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan, sistim operational, dan sumbangan fisik memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional.

2. Attitude and behavioral, pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati.

3. Accessibility and flecsibility, pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, sistim operasionalnya dirancang sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukannya dengan mudah, selain itu dirancang agar dapat fleksibel agar dapat menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.

4. Reliability and trustworhtiness, pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa, karyawan dan sistimnya.

 5. Recovery, pelanggan memahami bahwa jika ada kesalahan atau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat.

6. Reputation and credibility, pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya.

Dalam IWA 4 (International workshop Agreement 4), yang mengadopsi sistim manajemen mutu ISO-9001:2005 (Syukri AF, 2009:23), terdapat delapan prinsip Manajemen Mutu, yaitu :

1. Fokus kepada pelanggan (costumer focus)

2. Kepemimpinan (Leadership)

3. Partisipasi setiap orang (Involvement of people)

 4. Pendekatan proses (Process approach)

5. Pendekatan sistim pada manajemen (System approach to management) 6. Perbaikan berkelanjutan (Continual improvement)

7. Pendekatan faktual untuk pengambilan keputusan (Factual approach to decision making)

 8. Hubungan saling menguntungkan dengan pemasok (Supplier mutually beneficial relationship) Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik, standar kualitas pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:

 1. Prosedur Pelayanan Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.

2. Waktu Penyelesaian Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian termasuk pengaduan.

3. Biaya Pelayanan Biaya/ tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian layanan.

 4. Produk Pelayanan Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

 5. Sarana dan Prasarana Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggaraan pelayanan publik.

 6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan Publik Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat sesuai berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan prilaku yang dibutuhkan.

Konsep Kualitas Pelayanan (skrispi dan tesis)

Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi, mulai dari definisi yang konvensional hingga yang strategis. Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk, seperti : performance (kinerja), reability (keandalan), ease of use (mudah dalam penggunaan), esthetics (estetika), dsb. Sedangkan dalam definisi startegis dinyatakan bahwa kualitas adalah sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the need of costumers).(Sinambela, 2010:6) 20 Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Vincent dan Gasperz (2006:1), bahwa kualitas diartikan sebagai segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan dan upaya perubahan kearah perbaikan terus-menerus sehingga dikenal istilah Q = MATCH (Meets Agreed Terms and Changes).
Menurut the American Society of Quality Control (Purnama N, 2006: 9), kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk aau layanan menyangkut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah dittentukan atau yang bersifat laten. Gasperz dalam Sampara Lukman (2000 hal 9-11) mengemukakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok :
1. Kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan memberikan kepuasan atas penggunaan produk.
 2. Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Kualitas menurut Fandy Tjiptono (Harbani Pasolong, 2007:132) adalah
1) kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan,
2) kecocokan pemakaian,
 3) perbaikan atau penyempurnaan keberlanjutan,
4) bebas dari kerusakan,
 5) pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat,
6) melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal,
 7) sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan.
Triguno (1997:76) mengartikan kualitas sebagai standar yang harus seseorang/kelompok/lembaga/organisasi mengenai kualitas sumber daya kerja, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan  kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat. Kualitas (quality) menurut Montgomery dalam Harbani (2007 hal 132), “the extent to which products meet the requirement of people who use them”. Yang artinya bahwa suatu produk dikatakan berkualitas bagi seseorang kalau produk tersebut dapat memenui kebutuhannya. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Kasmir (Harbani, 2007:133) bahwa pelayanan yang baik adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang ditentukan. Menurut Feigenbaum kualitas adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full costumer satisfaction).
Suatu produk dikatakan berkualitas jika dapat memberikan kepuasan sepenuhnya kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen terhadap suatu produk. Waykof (Purnama N, 2006:19), menyebutkan kualitas layanan sebagai tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen. Sedangkan menurut Parasuraman et al. (Purnama N, 2006:19), kualitas layanan merupakan perbandingan antara layanan yang dirasakan (persepsi) konsumen dengan kualitas layanan yang diharapkan konsumen. Jika kualitas layanan yang dirasakan sama atau melebihi kualitas layanan yang diharapkan maka layanan dikatakan berkualitas dan memuaskan. Begitu pula yang dikemukakan Tjiptono (2002), bahwa pelayanan yang berhasil guna dalam suatu organisasi adalah bahwa pelayanan yang diberikan oleh anggota organisasi tersebut dapat memberikan kepuasan 22 kepada konsumen atau pelanggannya. Sebagai tolak ukur adalah tidak adanya atau kurangnnya keluhan dari masyarakat /konsumen. Sedangkan pelayanan umum yang berhasil guna ditandai dengan tidak adanya calo-calo . Sejalan dengan pendapat Dwiyanto (Ahmad Ainur Rohman, 2010), yang mengatakan bahwa penilaian kinerja publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi harus pula dilihat dari indikator yang melekat pada pengguna jasa seperti kepuasan pengguna jasa. Konsep kualitas pelayanan dapat pula dipahami melalui “consumer behaviour” (perilaku konsumen) yaitu perilaku yang dimainkan oleh konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan dan mengevaluasi suatu produk pelayanan yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhannya. Keputusankeputusan konsumen untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi suatu barang/jasa dipengaruhi berbagai faktor, antara lain persepsinya terhadap kualitas pelayanan. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara kepuasan konsumen dengan kualitas pelayanan. (Harbani Pasolong, 2007:135) Pelayanan yang berkualitas atau pelayanan prima yang berorientasi pada pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman (2000:8) menyebut salah satu ukuran keberhasilan menyajikan pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada tingkat kepuasan pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju kepada pelayanan eksternal, dari perspektif pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas. 23 Kasmir (Harbani Pasolong, 2007:133), mengatakan bahwa pelayanan yang baik adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang ditentukan. Sementara itu Gerson(Harbani Pasolong, 2007:134)) menyatakan pengukuran kualitas internal memang penting, tetapi semua itu tidak ada artinya jika pelanggan tidak puas dengan yang diberikan. Untuk membuat pengukuran kualitas lebih berarti dan sesuai, “tanyakan” kepada pelanggan apa yang mereka inginkan, yang bisa memuaskan mereka.
 Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa kedua sudut pandang tentang pelayanan itu penting, karena bagaimanapun pelayanan internal adalah langkah awal dilakukannya suatu pelayanan. Akan tetapi pelayanan tersebut harus sesuai dengan keinginan pelanggan yang dilayani. Artinya bagaimanapun upaya untuk memperbaiki kinerja internal harus mengarah/merujuk pada apa yang diinginkan pelanggan (eksternal). Kalau tidak demikian, bagaimanapun performa suatu organisasi tetapi kalau tidak sesuai dengan keinginan pelanggan atau tidak memuaskan, citra kinerja organisasi tersebut akan dinilai tetap tidak bagus (Harbani, 2007:133). Kualitas harus dimulai dari konsumen dan berakhir pada konsumen. Artinya spesifikasi kualitas layanan harus dimulai dengan mengidentifkasi kebutuhan dan keinginan konsumen yang dituangkan ke dalam harapan konsumen dan penilaian akhir diberikan oleh konsumen melalui informasi umpan balik yang diterima perusahaan. Sehingga peningkatan kualitas layanan harus dilakukan dengan komunikasi yang efektif dengan konsumen (Purnama N, 2006: 39). 24 Sedangkan Zeithalm (Rakhmat, 2009), mengatakan ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu Expectative Service (pelayanan yang diharapkan) dan Perceived Service (pelayanan yang diterima). Karena kualitas pelayanan berpusat pada pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan, maka Zeithaml mendefinisikan bahwa pelayanan yang seharusnya adalah penyampaian pelayanan secara excelent atau superior dibandingkan dengan pemenuhan harapan konsumen. Artinya pelayanan yang diberikan seharusnya melebihi harapan konsumen agar tercipta kepuasan konsumen terhadap pelayanan yang diberikan.

Jenis Pelayanan Publik (skripsi dan tesis)

Secara garis besar jenis-jenis layanan publik menurut Kepmenpan No. 63 tahun 2003 dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

 1. Kelompok pelayanan administratif
 Jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasa\an terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Izin Membangun Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah, dsb.
2. Kelompok pelayanan barang
Jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dsb.
3. Kelompok pelayanan jasa
 Jenis pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dsb

Konsep Pelayanan Publik (skripsi dan tesis)

Istilah publik berasal dari bahasa inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata public sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, 2001:781-782) berarti umum, orang banyak, ramai. Yang kemudian pengertian pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sendiri dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefenisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, didaerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ratminto, 2005:5) Menurut Batinggi (1998:12), pelayanan publik dapat diartikan sebagai perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurus halhal yang diperlukan masyarakat atau khalayak umum. Dengan demikian, kewajiban pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang menjadi hak setiap warga negara. Sedangkan menurut Agung Kurniawan (Harbani, 2007:135) pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Agung kurniawan (Harbani Pasolong, 2007:128), mengatakan bahwa pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang 18 lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan. Sedangkan menurut Sadu Wasistiono dalam Handayaningrat (1994), pelayanan umum adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 telah dijelaskan bahwa pengertian pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan kebutuhan peraturan perundangundangan. Sedangkan penyelenggara pelayanan publik dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 diuraikan bahwa Instansi Pemerintah sebagai sebutan kolektif yang meliputi Satuan Kerja/ satuan organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya, baik pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Menjadi penyelenggara palayanan publik. Sedangkan pengguna jasa pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum yang menerima layanan dari instansi pemerintah

Jenis Layanan Publik (skripsi dan tesis)

Menurut Ahmad Batinggi (1998:21) terdapat tiga jenis layanan yang bisa dilakukan oleh siapapun, yaitu :

1. Layanan dengan lisan
Layanan dengan lisan dilakukan oleh petugas – petugas di bidang Hubungan Masyarakat ( HUMAS ), bidang layanan Informasi, dan bidangbidang lain yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Agar supaya layanan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, ada syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku layanan yaitu:
a. Memahami masalah – masalah yang termasuk ke dalam bidang tugasnya.
 b. Mampu memberikan penjelasan apa yang diperlukan, dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga memuaskan bagi mereka yang memperoleh kejelasan mengenai sesuatu.
 c. Bertingkah laku sopan dan ramah
 2. Layanan dengan tulisan Layanan melalui tulisan merupakan bentuk layanan yang paling menonjol dalam melaksanakan tugas. Sistem layanan pada abad Informasi ini menggunakan sistem layanan jarak jauh dalam bentuk tulisan. Layanan tulisan ini terdiri dari 2 (dua) golongan yaitu, berupa petunjuk Informasi dan yang sejenis ditujukan kepada orang – orang yang berkepentingan, agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi atau lembaga pemerintah. Kedua, layanan berupa reaksi tertulis atau permohonan laporan, pemberian/ penyerahan, pemberitahuan dan sebagainya. Adapun kegunaannya yaitu :
a. Memudahkan bagi semua pihak yang berkepentingan. b. Menghindari orang yang banyak bertanya kepada petugas
 c. Mamperlancar urusan dan menghemat waktu bagi kedua pihak, baik petugas maupun pihak yang memerlukan pelayanan.
d. Menuntun orang ke arah yang tepat
 3. Layanan dengan perbuatan
 Pada umumnya layanan dalam bentuk perbuatan dilakukan oleh petugaspetugas yang memiliki faktor keahlian dan ketrampilan. Dalam kenyataan sehari – sehari layanan ini memang tidak terhindar dari layanan lisan jadi antara layanan perbuatan dan lisan sering digabung. Hal ini disebabkan karena hubungan pelayanan secara umum banyak dilakukan secara lisan kecuali khusus melalui hubungan tulis yang disebabkan oleh faktor jarak

Konsep Pelayanan (skripsi dan tesis)

Istilah pelayanan berasal dari kata “layan” yang artinya menolong menyediakan segala apa yang diperlukan oleh orang lain untuk perbuatan melayani. Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia (Sinambela, 2010:3). Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung (Moenir, 2006:16-17). Membicarakan pelayanan berarti membicarakan suatu proses kegiatan yang konotasinya lebih kepada hal yang abstrak (Intangible). Pelayanan adalah merupakan suatu proses, proses tersebut menghasilkan suatu produk yang berupa pelayanan, yang kemudian diberikan kepada pelanggan. Beberapa pakar yang memberikan pengertian mengenai pelayanan diantaranya adalah Moenir (Harbani Pasolong, 2007:128).
Harbani Pasolong (2007:4), pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktivitas seseorang, sekelompok dan/atau organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan Hasibuan mendefinisikan pelayanan sebagai kegiatan pemberian jasa dari satu pihak ke pihak lain, dimana pelayanan yang baik adalah pelayanan yang dilakukan secara ramah tamah dan dengan etika yang baik sehingga memenuhi kebutuhan dan kepuasan bagi yang menerima.
Menurut Kotler dalam Sampara Lukman (2000:8) mengemukakan, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara Lukman (2000:5) pelayanan merupakan suatu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasaan pelanggan. Sedangkan definisi yang lebih rinci diberikan oleh Gronroos dalam Ratminto (2005:2) yaitu pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata yang terjadi akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hak lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.

Brand Campaign (skripsi dan tesis)

 Branding adalah istilah lain dari kegiatan manajemen kampanye produk dan layanan. Kesuksesan yang diraih oleh kampanye ini didasarkan pada kemampuan tim pemasaran dalam menentukan strategi promosi dan distribusi produk secara simultan. Artinya proses branding merupakan hasil kerjasama yang kompak antara semua bagian terkait, misalnya dalam industri telekomunikasi ini antara tim marketing dengan dealer management atau dengan departemen support. Dengan prakteknya kampanya branding yang terjadi di Indonesia terjadi dengan begitu frontalnya dan menghabiskan dana dan upaya-upaya exstra.
 Setidaknya ada dua sektor yang menjadi lahan basah dalam persaingan branding di Indonesia ini yaitu Industri rokok dan industri telekomunikasi. Dan ini juga terjadi di 60 banyak negara lain seperti Malaysia dan Thailand. Karena besarnya dana yang digelontorkan perusahaan-perusahaan itu maka tak jarang perusahaan membutuhkan capital expenditure yang menempati porsi yang sangat besar dalam anggaran belanja perusahaan, meskipun besarnya biaya untuk mempertahankan brand tersebut tidak dapat diukur manfaatnya secara langsung pada masa biaya itu dikeluarkan, manfaatnya bisa dirasakan tahun depan atau beberapa tahun yang akan datang. Praktek nyata dapat kita lihat di tingkat operasional, rekan-rekan sales dan pemasar atau bagian brand harus kerja ekstra hanya untuk mempertahankan spanduk/ layar took/ umbul-umbul atau media promosi lainnya tetap terpasang ditempatnya keesokan harinya. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa persaingan yang terjadi sudah seperti hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang, hari ini terpasang, belum tentu besok masih ada, atau bahkan sejam kemudianpun belum tentu ada, karena pesaing sudah mengendusnya secara diam-diam. Itulah maksudnya brand management tidak bisa berjalan dengan baik tanpa strategi yang tepat seperti yang dikatakan Keller KL (2003) dalam bukunya Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity

Strategi Merek/ Brand strategies (skripsi dan tesis)

Produsen, distributor atau pedagang pengecer dapat melakukan strategi merek sebagai berikut dibawah ini :
 1. Individu Branding/ merek individu Individu branding adalah memberikan merek berbeda pada produk baru seperti deterjen Surf dan Rinso dari Unilever untuk membidik segmen pasar yang berbeda seperti halnya pada Wings yang memproduksi deterjen merek So Klin dan Daian untuk segmen pasar yang beda.
 2. Family Branding/ Merek Keluarga Family branding adalah memberi merek yang sama pada beberapa produk dengan alasan mendompleng merek yang sudah ada dan dikenal masyarakat. Contoh family branding yakni seperti merk Gery yang merupakan merek dari Garudafood yang mengeluarkan banya produk berbeda dengan merek utama Gery seperti Gery Saluut, Gery Soes, Gery Toya-toya dan lain sebagainya. Contoh lain misalnya yaitu seperti motor Suzuki yang mengeluarkan varian motor Suzuki Smash, Suzuki Sky Wave, Suzuki Spin, Suzuki Thunder, Suzuki Arashi, Suzuki Shogun dan lain-lain.
 Merek (brand) telah menjadi elemen krusial yang berkontribusi terhadap kesuksesan sebuah organisasi pemasaran, baik perusahaan bisnis maupun nirlaba, pemanufakturan maupun penyedia jasa dan organisasi lokal maupun global. Riset brand selama ini masih didominasi sector consumer market, terutama dalam kaitannya dengan produk fisik seperti barang. Namun demikian literature merek mulai berkembang pula untuk sektor pemasaran jasa, pemasaran bisnis dan pemasaran online. Bidang kajiannya pun sangat beragam, mulai dari sejarah manajemen merek, brand origin, brand pioneership dan brand name strategy hingga brand equity, brang extension, brand loyalty dan global branding

Jenis-Jenis dan Macam-Macam Merek (skripsi dan tesis)

1. Manufacture Brand atau merek perusahaan adalah merek dimiliki oleh suatu perusahaan yang memproduksi produk atau jasa. Contohnya seperti Soffel, Capilanos, Ultraflu, So Klin, Philips, Tessa, Benq, Faster, Nintendo Wii, Vit, Vitacharm, Vitacimin dan lain-lain.
2. Private brand atau merek pribadi adalah merek yang dimiliki oleh distributor atau pedagang dari produk atau jasa seperti Zyrex ubud yang menjual laptop Cloud Everx, Hypermarket giant yang menjual kapas merek giant, Carrefour yang menjual produk elektronik dengan merek bluesky, supermarket Hero yang menjual gula dengan merek Hero dan lain sebagainya
3. Ada juga produk generic yang merupakan produk barang atau jasa yang dipasarkan tanpa menggunakan merek atau identitas yang membedakan dengan  produk lain baik dari produsen maupun pedagang, contoh seperti sayur-mayur, minyak goreng curah, abu gosok, buah-buahan, gula pasir curah, bunga, tanaman, dan lain sebagainya

Merek/ Brand (skripsi dan tesis)

Merek adalah suatu nama, simbol, tanda, desain, atau gabungan diantaranya untuk dipakai sebagai identitas suatu perorangan, organisasi atau perusahaan pada barang dan jasa yang dimiliki untuk membedakan dengan produk jasa lainnya. Merek yang kuat ditandai dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat, asosiasi merek yang tinggi pada suatu produk, persepsi positif dari pasar dan kesetiaan konsumen terhadap merek yang tinggi. Dengan adanya merek yang membuat produk yang satu beda dengan yang lain diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan terhadap suatu merek (brand loyalty). Kesetiaan konsumen terhadap suatu merek atau brand yaitu dari pengenalan, pilihan dan kepatuhan pada suatu merek. Merek dapat dipahami lebih dalam pada tiga hal berikut ini : 1. Contoh brand name (nama) : Asus, Nintendo, Aqua, KFC, Acer, Toyota, Gucci, Guess, Sony, Fossil dan lain sebagainya.
 2. Contoh Mark (simbol) : Gambar buah apel pada merek gadger Apple, simbol sayap pada motor Honda, Gambar jendela pada Windows, Simbol Jaguar pada mobil Jaguar, dan masih banyak lagi contoh lainnya yang bisa kita temukan di sekitar kita.
3. Contoh trade character (karakter dagang) : Ronald McDonald, si Domar pada Indomaret, burung dan kucing pada produk makanan Gerry dan lain sebagainya. Salah satu upaya perusahaan untuk melakukan penetrasi pasar dan memperkuat produk dan layanan adalah melakukan branding. Istilah ini cukup popular dikalangan pemasaran karena memberikan efek besar terhadap peningkatan penjualan. Bahkaan demi mempertahankan pangsa pasarnya. Beberapa perusahaan bahkan rela menggelontorkan dana yang tidak sedikit hanya demi menanamkan brand yang kuat dimata masyarakat. Karena memiliki kaitan yang sangat erat dengan aspek finansial maka kemudian istilah merek ini disebut dengan brand equity yaitu Net Present Value (NPV) dari aliran kas masa datang yang dihasilkan oleh suatu merek.
Dengan kata lain, brand equity dihitung berdasarkan nilai inkremental diatas nilai yang diperoleh produk layanan tanpa merek (unbranded product). Brand didefinisikan sebagai emosi atau perasaan yang timbul terhadap sebuah produk, jasa, atau perusahaan. Intinya, brand bisa dirasakan efeknya di benak masyarakat konsumen. Nike, merek dagang sepatu sport terbesar abad ini, dengan mengusung slogan “Just Do It” mempu memberikan gelora spirit untuk mereka yang 5berjiwa muda. Untuk perusahaan besar sekelas Nike, konsep branding bukan lagi dalam tataran hard sell tapi lebih pada corporate image building. Redefinisi branding oleh Marty di babak pendahuluan adalah pemanasan yang memang perlu meski bahasan utama ada di lima bab berikutnya. Untuk menjembatani jarak antara strategi bisnis yang begitu kompleks dengan desain visual yang mewakili image produk maupun perusahaan diperlukan lima strategi khusus. Marty menyederhanakan tipsnya secara sistematis mulai Diferensiasi, Kolaborasi, Inovasi, Validasi, dan Mengolahnya.

Corporate Identity (skripsi dan tesis)

Corporate identity atau Identitas perusahaan merupakan suatu bentuk visual dan ekspresi grafis dari image suatu perusahaan yang diciptakan melalui suatu rancangan desain khusus yang berkenaan dengan perusahaan yang bersangkutan secara fisik. Desain ini memiliki desain sedemikian rupa sehingga dapat mengingatkan khalayak akan perusahaan tertentu (Anggoro, 2001:280). Identitas perusahaan juga merupakan suatu cara atau suatu hal yang memungkinkan perusahaan dikenal dan dibedakan dari perusahahan lainnya, memiliki elemen utama yang meliputi warna atau bentuk bangunan, atribut, slogan, sampai dengan seragam yang semuanya merupakan pengaplikasian dari logo perusahaannya. Sebagai bentuk visual, Identitas perusahaan menampilkan simbol yang mencerminkan citra atau image yang hendak disampaikan suatu perusahaan, yang dapat diciptakan dan dibentuk untuk mempengaruhi citra perusahaan tersebut.
Dari definisi diatas mengenai corporate identity diatas, terdapat empat elemen penting yang dapat digunakan sebagai ukuran dalam upaya untuk memperkenalkan diri yaitu behavior, communication, symbolism, dan personality, yang sering juga disebut sebagai corporate identity mix.
1. Behavior (tingkah laku)
Merupakan hal yang sangat penting atau memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menciptakan corporate identity. Publik akan menilai perusahaan melalui tingkah laku yang ditunjukan oleh perusahaan tersebut. Tingkah laku ini akan dinilai secara terus menerus. Kepribadian perusahaan dapat ditunjukan dalam bentuk perilaku karyawan dan dituangkan dalam pelayanan yang diberikan. Hal ini menuntut karyawan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggannya. Pelayanan yang baik akan menanamkan kesan baik dibenak publik. Sikap-sikap nyata dari perusahaan tersebut akan memberikan nilai lebih bagi perusahaan dimata publiknya. Sikap sopan, ramah, terbuka dan terus terang tetapi tetap tegas terhadap publik merupakan perilaku sederhana yang memiliki makna yang sangat besar bagi publik dan dapat memberikan kontribusi pada identitas perusahaan yang kuat dimata publik.
 2. Communication (komunikasi)
Komunikasi adalah cara yang paling fleksibel yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Komunikasi yang terjadi mengarah pada komunikasi dua arah antara perusahaan dengan publiknya dan memiliki pengaruh dalam pembentukan corporate identity dalam perusahaan itu sendiri. Komunikasi yang terjadi dalam perusahaan dapat terjadi secara internal maupun eksternal, dalam hal ini yang menjadi fokus adalah publik eksternal yaitu konsumen. Komunikasi pada publik eksternal berlangsung dua arah antara perusahaan dengan pihak luar, misal komunikasi dengan pihak kreditur, rekan bisnis, pelanggan, komunitas sekitar, supplier, media, pemerintah, kompetitor dan lain sebagainya. Keberhasilan komunikasi eksternal ini juga sekaligus merupakan keberhasilan dari pihak Public Relations dalam upaya memperoleh dukungan, pengertian, kepercayaan, partisipasi, dan kerjasama dengan publiknya (Rosady Ruslan, 2001:87). Identitas perusahaan yang kuat ditunjukan melalui komunikasi dua arah antara perusahaan dengan publiknya yang berkelanjutan.
3. Symbolism (logo atau simbol)
 Symbolism melambangkan sifat-sifat implisit dari hal-hal yang diwakili oleh perusahaan. Symbolism memiliki unsur-unsur yang meliputi warna, bentuk bangunan, logo, atribut, sampai dengan pakaian seragam perusahaan. Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan suatu kesan positif bagi publik, yaitu :
a. Nama perusahaan, biasanya ditulis sesuai dengan falsafah dari perusahaan tersebut, serta memiliki suatu arti tertentu yang biasanya berkaitan dengan kemajuan, kemakmuran dan kebaikan yang semuanya bertujuan supaya perusahaan terus berkembang. Nama terkait dengan logo dari perusahaan tersebut dan berhubungan pula dengan pemilihan warna yang menarik, bentuk logo, serta makna yang terkandung dibalik pemilihan logo tersebut.
b. Gaya bangunan atau tata ruang, akan berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hal ini dapat membuat para karyawan merasa betah tinggal diperusahaan sehingga tercipta iklim perusahaan yang kondusif. Gaya bangunan berkaitan dengan tata ruang kantor, tata ruang pabrik, sampai dengan pengaturan fasilitas yang ada pada perusahaan tersebut.
 c. Slogan perusahaan, mencerminkan kinerja perusahaan secara luas. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan.
 d. Atribut, kesamaan yang dimiliki dalam penggunaan warna logo sampai pada beberapa hal yang telah disebutkan diatas tadi.
 Mengingat simbol adalah sesuatu yang penting dalam suatu perusahaan, lambang atau simbol harus memiliki syarat tertentu Cutlip, Centre & Broom yaitu :
a. Memorability, simbol atau lambang hendaknya mudah diingat, sehingga dapat menimbulkan kesan dan tidak mudah untuk dilupakan.
b. Recognition, mudah dikenal sehingga setiap kali menjumpai logo tersebut diharapkan langsung mengingatkan pada suatu institusi atau perusahaan tertentu.
c. Appropriateness, adanya kesusaian antara bentuk, komposisi warna dan hal-hal lain yang mendukung keberadaan lambang sehingga lambang tersebut enak dipandang sekaligus menghindari kesan yang berlebihan.
d. Unique, memiliki suatu ciri khas tersendiri dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya, sehingga publik mudah untuk mengetahuinya, karena ada kesan yang lebih menonjol dibandingkan dengan simbol-simbol lainnya. (1998:209)
 4. Personality (kepribadian)
Kepribadian merupakan manifestasi dari persepsi diri perusahaan. Rekom dalam Van Riel menambahkan kepribadian perusahaan termasuk intensi perusahaan dan caranya dalam memberi reaksi lingkungan sekitar. Bavelos dan Bernstein dalam Van Riel menggambarkan kepribadian sebagai keunikan perusahaan, apa yang membuat perusahaan yang satu berbeda dengan perusahaan yang lainnya. Manajemen mempunyai sudut pandang yang khusus mengenai hal ini. Karakter-karakter unik yang ditangkap perusahaan melalui produk serta bangunan mereka, ada dalam pola dasar dan skala komunikasi serta perilaku perusahaan tersebut. Fungsi dari identitas perusahaan adalah untuk membuat perusahaan terlihat sebaik mungkin, sesuai dengan realitas yang ada. Perusahaan yang tidak dapat memunculkan realitas tersebut identitasnya, sepotensial apapun perusahaan tersebut akan sulit untuk mendapatkan tempat dihati khalayaknya. Lebih jauh identitas perusahaan menggambarkan seperangkat nilai dan prinsip yang dipegang oleh karyawan dan manajer yang menghubungkan mereka dengan perusahaan.
Olin dalam Van Riel mengelompokan identitas korporat dalam tiga kategori, yaitu :
a) Monolithic identity organisasi hanya menggunakan satu nama dan sistem visual (contoh IBM).
b) Endorser identity sebuah organisasi yang telah berkembang menjadi beberapa perusahaan dan merek yang berbeda, berusaha mempertahankan sebagai atau seluruh nama tetapi harus sesuai dengan sistem tunggal visual (contoh : United Technologies)
 c) Branded identity perusahaan secara sengaja memisahkan antara identitasnya sebagai perusahaan dengan merek yang dijualnya (contoh : Unilever) Dari uraian-uraian diatas telah dapat dilihat begitu pentingnya kehadiran identitas bagi perusahaan. Identitas dapat memperlihatkan kepribadian perusahaan pada publik. Oleh sebab itu, identitas perusahaan haruslah mendapatkan penanganan yang serius dari perusahaan sejak awal.
 Identitas perusahaan berasal dari pengalaman perusahaan sejak didirikan serta rangkuman dari catatan kesuksesan maupun kegagalan (Fombrun, 1996:36). Identitas perusahaan haruslah memiliki keunikan tersendiri karena akan menjadi pembeda dengan produk, tingkah laku dan tindakan yang dilakukan. Selain sebagai identitas suatu perusahaan, corporate identity mempunyai beberapa fungsi lainnya :
1. Sebagai patokan dari program menyeluruh strategi dari suatu perusahaan. Suatu corporate identity yang baik haruslah selalu sejalan dengan rencana perusahan. Karena merupakan image yang ingin dibentuk perusahaan di benak konsumen sehingga seharusnya mewarnai setiap strategi branding, marketing ataupun public relations yang dibuat dimasa kini dan dimasa yang akan datang.
2. Sebagai landasan dari sistem operasional suatu perusahaan. Hal ini disebabkan corporate identity adalah suatu image yang ingin dibentuk di benak konsumen sehingga seluruh personil harus mampu menghayati terutama ketika menjalankan operasional perusahaan sehari-hari.
3. Sebagai tiang dari jaringan (network) yang baik bagi perusahaan. Image yang baik dan positif dari suatu perusahaan akan memudahkan perusahaan mendapatkan investor, pinjaman atau partner dari berbagai tempat sehingga memudahkan hubungan dengan pemerintah seperti mengurus perizinan.
 4. Alat jual dan promosi. Corporate identity merupakan alat jual bagi perusahaan untuk produk-produk yang sekarang ada tau produk yang dikembangkan. Karena image yang positif dari suatu perusahaan akan membuat konsumen percaya dan nyaman akan perusahaan itu dan percaya pula dengan produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut merupakan produk berkualitas terbaik

Definisi Logo (skripsi dan tesis)

 

Logo merupakan sebuah simbol yang dirancang untuk mewakili karakter dan menjadi identitas dari sebuah perusahaan. Logo merupakan bentuk ekspresi dan bentuk visual dari konsepsi perusahaan, produk, organisasi, maupun institusi serta merupakan simbol visual yang memiliki bentuk yang berasal dari nilai strategis perusahaan yang bersangkutan. Pengertian logo menurut Jefkins ialah : Logo adalah presentasi, sosok atau penampilan visual yang senantiasa dikaitkan dengan organisasi tertentu sebagai bentuk identitas dan bagian identitas perusahaan”. Sebagai bagian identitas perusahaan, logo ibarat bagian tubuh yang mampu mengutarakan isi hati produk atau perusahaan (Jefkins, 1995:367)
Ada beberapa jenis identitas perusahaan, salah satunya yang sering digunakan adalah logo perusahaan. Logo bagi sebagian perusahaan merupakan kristalisasi dari penampakan jiwa perusahaan, logo bisa sebagai lambang perusahaan dan bisa juga menjadi refleksi bagi perusahaan itu sendiri. Logo adalah wajah perusahaan masa kini sekaligus juga cerminann lembaga yang dimaksud dimasa depan.
 Dari sisi pemasaran, logo mempunyai fungsi pembeda produk dengan produk lainnya. Menurut pakar corporate identity David E. Carter dalam buku Pengantar Desain Komunikasi Visual setidaknya logo perusahaan harus memiliki karakter tertentu, menyangkut ; Original dan Destinctive, Legible,Simple, Memorable, Easly associated with the company, dan Easly adaptable for all grhapic media yang mudah di aplikasikan ke berbagai media, untuk menghindari kesulitan dalam penerapan. (Kusrianto, 2007). Identitas perusahaan biasanya menjadi penting untuk diperhatikan terutama ketika beberapa perusahaan digabungkan atau ketika aktivitas perusahaan mengalami perubahan atau ketika identitas yang lama dianggap telah menimbulkan citra yang telah mati serta sudah tidak sesuai dengan harapan pengelola perusahaan. Menurut Lip dalam bukunya yang berjudul Desain dan Fengshui Logo yang diterjemahkan oleh Sidhi Diah Savira : Logo perusahaan atau organisasi merupakan suatu desain yang spesifik, baik berupa symbol dan pola gambar atau huruf tertulis yang menggambarkan citra perusahaan. (1996:31)

Respresentasi (skripsi dan tesis)

Menurut Hall dalam artikel Juliastuti tentang Respresentasi memaparkan bahwa : Respresentasi adalah salah satu praktik penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita “merepresentasikannya” (2000)
Eriyanto dalam bukunya Analisis Wacana : Pengatur Analisa Teks Media menjelaskan mengenai representasi merupakan : Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberikan apa adanya ataukan diburukan. Pengalaman yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Disini hanya citra yang buruk saja yang ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari pemberitaan. Kedua bagaimana respresentasi tersebut ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak (2008:113)
 Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu objek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang objek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall memetakan sistem representasi kedalam dua bagian utama, yakni mental representations bersifat subjektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengoranisasikan dan mengklasifikasikan konsep konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadapa bahasa bersama. Istilah umum 36 yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tandan (sign).

Citra (skripsi dan tesis)

Ruslan dalam buku Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi : Konsepsi dan Aplikasi memaparkan mengenai citra : Citra adalah tujuan utama dan sekaligus merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai bagi dunia hubungan masyarakat atau Public Relations. Pengertian citra abstrak dan tidak dapat diukur secara matematis, tetapi wujudnya bisda dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya. (1998:62)
Ruslan dalam buku Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi : Konsepsi dan Aplikasi selanjutnya juga menambahkan bahwa penilaian atau tanggapan masyarakat tersebut dapat berkaitan dengan timbulnya rasa hormat. Kesan-kesan yang baik dan menguntungkan terhadap suatu citra lembaga/ organisasi atau produk barang dan jasa pelayanannya yang diwakili oleh pihak Public Relations. Biasanya landasan citra berakar dari nilai-nilai kepercayaan yang konkretnya diberikan secara individual dan merupakan pandangan atau persepsi serta terjadinya proses akumulasi dari amanah amanah kepercayaan yang telah diberikan oleh individu individu tersebut akan mengalami suatu proses cepat atau lambat untuk membentuk suatu opini publik yang luas dan abstrak, yaitu sering dinamakan citra (Image). (1998:62-63) Jeffkins dalam bukunya yang berjudul Public Relations untuk bisnis mengatakan bahwa Suatu citra perusahaan berbasis pada pengetahuan dan pengalaman seseorang. Pengalaman ini mungkin saja baik, buruk, atau tidak membawa pengaruh apa pun. (1996:13)
 Henslove dalam bukunya yang berjudul Public Relations The Basic of Public Relations A Practical Guide mengatakan bahwa yang dimaksud dengan citra adalah : Kesan yang diperoleh menurut level pengetahuan dan pengertian mengenai fakta (mengenai orang, produk, atau situasi). Informasi yang kurang lengkap dan salah akan memberikan citra yang buruk. Citra perusahaan adalah citra sebuah organisasi, dimana terdiri dari banya faktor, seperti sejarahnya, reputasinya, stabilitasnya dan kesuksesan finansialnya. (2002:2)
Fill dalam bukunya Marketing Communication Context, Content, Strategies mengatakan bahwa ada indikator-indikator yang dapat mengukur citra, tetapi beliau menambahkan bahwa terdapat enam dimensi utama yang digunakan oleh orang-orang dalam mengartikulasikan citra mereka terhadap organisasi. Adapun keenam dimensi tersebut antara lain :
1. Dynamic (dinamis) Dinamisme organisasi berkaitan dengan antusiasmenya, dalam mengembangkan dan meluas jaringan serta bisnisnya (Alder, 1991:441) Dynamic mencakup beberapa hal yaitu : Pioneering (mempelopori) : organisasi tersebut mendahului pihak pihak yang lainnya dan menjadi yang berjalan lebih depan dalam segala hal.
Attention-getting (menarik perhatian) : organisasi menimbulkan minat publik untuk memperhatikannya.
Active (aktif) : organisasi berusaha aktif dalam berusaha.
Goal-orientated (berorientasi pada tujuan) : organisasi berusaha untuk selalu mencapai tujuannya.
 2. Cooperative (bekerjasama) Cooperative diasumsikan melibatkan komunikasi dan kedua belah pihak akan berusaha untuk saling membantu untuk saling mengerti satu sama lain pula (Devito, 2005:85). Cooperative meliputi beberapa hal seperti dibawah ini :
Friendly (bersahabat) : organisasi bersifat bersahabat dengan publik.
Well-linked (disukai) : organisasi digemari dan mendapat simpati publik.
Eager to please (berkeinginan untuk menyenangkan) : organisasi selalu melakukan/ mengupayakan hal-hal yang memuaskan tidak menimpulkan kekecewaan publik.
 3. Bussiness (bisnis) Bussiness berkaitan dengan pemecahan masalah (problem solving) (Devito, 2005:200). Bussiness meliputi hal-hal dibawah ini :
Wise (bijaksana) : organisasi menggunakan pengalaman dan pengetahuannya dalam membuat dan memutuskan sesuatu. Shrewd (cerdik) : organisasi mengerti dan pandai mencari akal yang tepat bahkan dalam hal menghadapi masalah.
Persuasive (mampu mempengaruhi) : Organisasi memiliki kemampuan untuk mempengaruhi publik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya.
 Well organized (terorganisir dengan baik) : organisasi memiliki keteraturan dalam berbagai bagian-bagian di dalamnya (merupakan kesatuan yang teratur)
 4. Character (karakter) Character meliputi persepsi audiens yang paling tidak mencakup kejujuran dan kesatuan (Alder, 1991:440). Organisasi harus menemukan jalan untuk berbicara mengenai dirinya sendiri (tanpa melebih-lebihkan) meliputi integritasnya. Character berkaitan dengan kualitas moral (Devito, 2005:335).
 Character meliputi beberapa hal dibawah ini :
Ethical (layak/ beradab) : organisasi melakukan hal-hal yang baik sepatutnya dan sopan serta berbudi bahasa yang baik dalam menjalankan usahanya.
Reputable (mempunyai nama baik) : organisasi termasyur atau memiliki nama yang baik di mata publik.
 Respectable (terhormat) : organisasi memiliki penghargaan (dihargai) dengan baik dimata publik.
 5. Successful (keberhasilan), meliputi :
 Financial performance (laporan keuangan) : bagaimana laporan keuangan sebuah organisasi, apakah organisasi memliki laporan keuangan yang bail (surplus ataukah sebaliknya (minus)
Self-confidence (percaya diri) : organisasi mengakui dan yakin akan kebenaran yang dimilikinya.
 6. Withdrawn (penarikan) Withdrawn melihat pencegahan terhadap situasi konflik dan merupakan kecenderungan untuk menutup diri dari konflik daripada mengungkapkannya secara luas (Devito, 2005:153) withdrawn meliputi beberapa hal dibawah ini
Aloof (menyendiri) organisasi : tidak berkumpul dengan organisasi-organisasi yang lain dan memencilkan diri dari publik.
Secretive (menyimpan rahasia) : organisasi menyimpan halhal yang tersembunyi yang hanya diketahui oleh internal organisasi ataupun sengaja menyembunyikan hal-hal tertentu supaya tidak diketahui publik.
Cautious (berhati-hati) organisasi mengingat-ingat kejadian dan memiliki pertimbangan dalam segala hal.

Tujuan Public Relations (skripsi dan tesis)

Tujuan utama dari public relations adalah mempengaruhi perilaku orang secara individu maupun kelompok saat saling berhubungan, melalui dialog dengan semua golongan, dimana persepsi, sikap dan opininya penting terhadap suatu kesuksesan sebuag perusahaan. Dan tujuan yang paling penting adalah membentuk citra suatu organisasi atau perusahaan di masyarakat dengan melakukan strategistrategi PR yang dibuat.  Menurut Anggoro dalam bukunya Teori dan Profesi Kehumasan, mengemukakan empat belas tujuan Public Relations secara umum, yaitu :
 1. Untuk mengubah citra umum di mata khalayak sehubungan dengan adanya kegiatan-kegiatan baru yang dilakukan oleh perusahaan.
 2. Untuk meningkatkan bobot/kualitas para calon pegawai (perusahaan) atau anggota (organisasi) yang hendak direkrut.
3. Untuk menyebarluaskan suatu cerita sukses yang telah dicapai oleh perusahaan kepada masyarakat dalam rangka mendapatkan pengakuan.
 4. Untuk memperkenalkan perusahaan kepada masyarakat luas serta serta membuka pasar-pasar baru.
5. Untuk mempersiapkan dan mengkondisikan masyarakat bursa saham atas rencana perusahaan untuk menerbitkan bursa baru atau saham tambahan.
 6. Untuk memperbaiki hubungan antara perusahaan itu dengan khalayaknya, sehubungan dengan telah terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan suatu kecaman, kesangsian, atau salah paham dikalangan khalayak terhadap niat baik perusahaan.
7. Untuk mendidik para pengguna atau konsumen agar mereka lebih efektif dan mengerti dalam memanfaatkan produk-produk perusahaan.
8. Untuk meyakinkan khalayak bahwasanya perusahaan mampu bertahan atau bangkit kembali setelah terjadi suatu krisis
. 9. Untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan perusahaan dalam rangka menghadapi resiko pengambilalihan (take over) oleh pihak-pihak lain dibursa saham.
10. Untuk menciptakan identitas perusahaan atau citra lembaga yang baru, yang tentunya lebih baik daripada sebelumnya, atau yang lebih sesuai dengan kenyataan yang ada.
11. Untuk menyebarluaskan aneka informasi mengenai aktivitas dan partisipasi para pimpinan perusahaan/organisasi dalam kehidupan sosial sehari-hari.
12. Untuk mendukung keterlibatan suatu perusahaan sebagai sponsor dari suatu acara.
13. Unttuk memastikan bahwasanya para politisi atau pihak pemerintah benar-benar memahami kegiatan-kegiatan atau produk perusahaan yang positif, agar perusahaan yang bersangkutan terhindar dari aneka peraturan, undangundang, dan kebijakan pemerintah yang bisa merugikannya.
14. Untuk menyebarluaskan kegiatan-kegiatan riset yang telah dilakukan oleh perusahaan, agar masyarakat luas mengetahui betapa perusahaan itu mengutamakan kualitas dalam berbagai hal. (2000:71-72)
Dari uraian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa tujuan public relations adalah untuk mengabdi kepada perusahaan, menjalin komunikasi yang baik antara perusahaan degan public, dan menjaga moral serta tingkah laku yang baik untuk menghasilkan persepsi yang baik terhadap perusahaan. Tujuan public relations menurut Marshal yang dikutip oleh Yulianita dalam bukunya Dasar-dasar Public Relations :
1. Secara positif : berusaha untuk mendapatkan dan menambahkan penilaian dan Good Will suatu organisasi atau badan.
2. Secara definisif : berusaha untuk membela diri terhadap masyarakat yang bernada negative, bilamana diserang itu kurang ajar, padahal organisasi tidak salah (hari ini bisa terjadi kesalahpahaman dengan demikian tindakan ini adalah salah satu aspek penjagaan atau pertahanan. (2007:42) Adanya saling pengertian terhadap organiasasi maupun perusahaanterhadap public seperti yang dikatakan Abdurrachman dalam “Dasar-dasar Public Relations” tujuan public relations adalah : “Mengembangkan goodwill dan memperoleh opini public yang favourable atau menciptakan kerja sama berdasarkan 30 hubungan yang harmonis denan beberapa public, kegiatan public relations harus dikerahkan kedalam dan keluar.” (1990:34) Maksud dan tujuan yang terpenting dari Public Relations adalah mencapai saling pengertian sebagai obyektif utama. Pujian citra yang baik dan opini yang mendukung bukan kita yang menentukan tetapi feedback yang kita harapkan.
Tujuan berdasarkan kegiatan internal Public Relations mencakup beberapa hal, yaitu :
1. Mengadakan suatu penilaian terhadap sikap, tingkah laku, dan opini publik terhadap perusahaan terutama sekali ditujukan kepada kebijaksanaan perusahaan yang dijalankan.
2. Mengadakan analisa dan perbaikan terhadap kebijakan guna mencapai yang ditetapkan perusahaan dengan tidak melupakan kepentingan publik.
 3. Memberikan penerangan kepada publik karyawan mengenai suatu kebijaksanaan perusahaan yang bersifat objektif serta menyangkut kepada berbagai kegitan perusahaan tersebut, dimana pada tahap selanjutnya diharapkan public karyawan akan tetap well inform.
 4. Merencanakan penyusunan suatu staf yang efektif bagi penugasan kegiatan yang bersifat internal bagi penugasan kegiatan yang bersifat internal dalam perusahaan.
Tujuan berdasarkan kegiatan ekternal public relations adalah untuk mengeratkan orang-orang di luar perusahaan hingga membentuk opini publik yang favourable terhadap perusahaan.