Peran Selebriti


Beberapa peran selebriti sebagai model iklan yang biasa digunakan perusahaan
dalam sebuah iklan (Schiffman dan Kanuk dalam Mahestu Noviandra, 2006:65-74).
a. Testimonial, jika secara personal selebriti menggunakan produk tersebut maka
pihak dia bisa memberikan kesaksian akan kualitas produk atau merek yang
diiklankan tersebut.
b. Endorsement, adakalanya selebriti diminta untuk membintangi iklan produk
dimana dia secara pribadi tidak ahli dalam bidang tersebut.
c. Actor, selebriti diminta untuk mempromosikan suatu produk atau merek
tertentu terkait dengan peran yang sedang ia bintangi dalam suatu program
tayangan tertentu.
d. Spokeperson, selebriti yang mempromosikan produk dalam kurun waktu
tertentu masuk dalam kelompok peran spokeperson.
Penampilan mereka akan diasosiasikan dengan merek atau produk yang
mereka wakili. Penggunaan selebriti sebagai bintang iklan diyakini memiliki daya
tarik tersendiri.Selain memiliki keuntungan publisitas dan kekuatan memperoleh
perhatian dari konsumen, selebriti juga mempunyai kekuatan untuk dijadikan
sebagai alat untuk membujuk, merayu dan mempengaruhi konsumen sasaran,
yaitu dengan ketenaran yang dimilikinya.Dengan memanfaatkan ketenaran
tersebut diharapkan dapat menarik minat konsumen untuk melakukan pembelian
terhadap produk yang diiklankan.

Hubungan Kepercayaan Pasien dengan Kesetiaan Pasien (skripsi dan tesis)

Penelitian yang dilakukan oleh Chaudhuri dalam Aulia (2010) menemukan bahwa kepercayaan merupakan penggerak yang mempengaruhi loyalitas pada benak pelanggan. Hal serupa pun dikemukakan oleh Chumpitaz et al (2005) pada studi penelitian pada bisnis on-line pun menemukan bahwa kepercayaan pelanggan berpengaruh pada loyalitas pelanggan. Morgan dan Hunt (1994) menambahkan pula, bahwa tingginya kepercayaan akan dapat berpengaruh terhadap menurunnya kemungkinan untuk melakukan perpindahan terhadap penyedia jasa lain. Berdasarkan penjabaran diatas, penelitian ini akan menganalisa hubungan kepercayaan terhadap loyalitas pasien

Hubungan Kepuasan Pasien dengan Kesetiaan (skripsi dan tesis)

Kaitan kepuasan dan loyalitas pelanggan dikemukakan oleh Nielsen (1998) dalam Affandi (2011). Meningkatnya kepuasan akan berpengaruh terhadap peningkatan loyalitas pelanggan. Hal tersebut dapat dipahami mengingat tingginya kepuasan akan membuat pelanggan menjaga hubungan baik yang telah terjalin dengan penyedia jasa. Seperti halnya pasien, jika mereka lebih setia atau memiliki loyalitas yang tinggi maka pasien akan lebih sering memanfaatkan rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, rela membayar lebih banyak dan tetap mau datang berobat kembali meskipun rumah sakit tersebut mengalami kesulitan. Kepuasan belum tentu menyebabkan loyalitas, tetapi loyalitas biasanya diawali dengan kepuasan terlebih dahulu

Hubungan Mutu Pelayanan KEsehatan dengan Kesetiaan (skripsi dan tesis)

Kaitan antara loyalitas pelanggan dan kualitas layanan juga dikemukakan oleh Zeithaml et al (1996) dalam Affandi (2011). Dalam penelitiannya, dikemukakan bahwa kualitas layanan berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumen untuk loyal terhadap suatu layanan/produk. Dalam penelitiannya, Zeithaml menunjukkan bahwa kualitas layanan yang baik akan berdampak pada terbentuknya perilaku konsumen yang positif, seperti pembelian ulang, menurunnya sensitifitas terhadap harga, dan peningkatan nilai layanan di mata konsumen. Dari paparan tersebut dapat diajukan hipotesis bahwa semakin tinggi mutu pelayanan maka semakin tinggi kesetiaan pasien

Hubungan Mutu Pelayanan KEsehatan dengan Kepercayaan (skripsi dan tesis)

Penelitian yang dilakukan Sharma dan Patterson (1999) dalam Hermanto (2006) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kepercayaan yang merupakan salah satu komponen relationship marketing hendaknya didorong oleh kualitas teknis dan fungsional yang memadai. Sehingga menghasilkan hipotesis bahwa semakin tinggi mutu pelayanan maka semakin tinggi kepercayaan.

Hubungan Mutu Pelayanan Kesehatan dengan Kepuasan (skripsi dan tesis)

Trisno (2008) dan Nuraini (2009) mengemukakan bahwa ada hubungan antara mutu pelayanan dengan kepuasan. Pelayanan yang baik adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang telah ditetapkan. Kemampuan tersebut ditunjukkan oleh sumber daya manusia dan sarana serta prasarana yang dimiliki. Untuk mencapai kecepatan dan ketepatan pelayanan yang akan diberikan, pelayanan yang baik juga perlu didukung oleh ketersediaan dan kelengkapan produk yang dibutuhkan pelanggan. Hal tersebut menghasilkan hipotesis bahwa semakin tinggi mutu pelayanan maka semakin tinggi kepuasan.

Mutu Pelayanan Kesehatan (skripsi dan tesis)

Definisi mutu berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Wyckof yang dikutip oleh Tjiptono (2002), mutu adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Baik tidaknya mutu tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. Parasuraman dkk dalam Tjiptono (2005) mengukur mutu pelayanan dalam lima dimensi dan mengembangkan model yang komprehensif dari mutu pelayanan kesehatan yang berfokus pada aspek fungsi dari pelayanan, yaitu : 1. Reliability (kehandalan) Kemampuan untuk memberikan jenis pelayanan yang tepat, terpercaya, akurat dan konsisten sesuai dengan yang telah dijanjikan kepada konsumen, misalnya penerimaan pasien yang cepat, tepat dan tidak berbelit, pelayanan pemeriksaan, pengobatan, perawatan serta perawat menjelaskan apa yang harus dipatuhi atau tidak bisa dilanggar oleh pasien.

2. Responsiveness (daya tanggap) Kesadaran atau keinginan karyawan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan dengan cepat dan bermakna serta kesediaan mendengar dan mengatasi keluhan yang diajukan konsumen misalnya penyediaan sarana yang sesuai untuk menjamin terjadinya proses yang tepat (Kotler, 2004).

3. Assurance (jaminan) Pengetahuan atau wawasan, kesopansantunan, percaya diri dari pemberi pelayanan, serta respek terhadap konsumen. Kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan terhadap pasien misalnya kepercayaan pasien terhadap jaminan kesembuhan dan keamanan.

4. Empathy (empati) Kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pelanggan. Kesediaan karyawan untuk peduli memberikan perhatian kepada pasien, misalnya karyawan mencoba mendekatkan diri pada pasien, jika pasien mengeluh maka harus dicari solusi untuk mengatasi keluhan tersebut dengan menunjukkan rasa peduli yang tulus dan penuh kesabaran (Kotler, 2004).

. Tangibles (faktor fisik), yaitu fasilitas fisik, perlengkapan, serta penampilan personil. Yang termasuk aspek tangible adalah gedung, tarif rumah sakit, kebersihan serta penataan ruangan serta perlengkapan yang menunjang pelayanan.

Kepercayaan Pasien (skripsi dan tesis)

Menurut Moven dan Minor (2002) kepercayaan konsumen merupakan suatu perasaan percaya yang bersifat psikologis terhadap suatu produk, baik produk secara fisik maupun manfaat yang diberikan oleh produk tersebut termasuk pada janji-janji suatu merek. Kepercayaan pasien terhadap sumah sakit menggambarkan adanya perasaan yakin dan percaya bahwa rumah sakit akan mampu memenuhi harapannnya sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh rumah sakit tersebut. Adanya kepercayaan ini, akan menciptakan jalinan relasi antara rumah sakit dan pasien sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terciptanya kesetiaan/loyalitas pasien yang nantinya akan tercipta kesediaan untuk mempertimbangkan produk baru yang ditawarkan rumah sakit lain dikemudian hari. Setiap orang mempunyai standar pribadinya masing-masing, suatu standar yang tidak resmi dan tidak tertulis. Pasien akan mengukur kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya dengan menggunakan standar pribadinya, yaitu standar tidak resmi tersebut. Namun, sedikit banyak kesenjangan antara harapan pasien dengan kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya dapat dikurangi yaitu dengan adanya komunikasi yang baik antara penyelenggara layanan kesehatan dengan pasien. Menurut Moven dan Minor (2002) kepercayaan objek adalah kepercayaan konsumen terhadap produk, orang atau perusahaan. Hal tersebut digambarkan dalam :

1. Kredibilitas Kredibilitas menggambarkan tingkat keyakinan yang dimiliki oleh satu pihak lain, yang mengandung nilai-nilai kebenaran. Pada umumnya, pengukuran kredibilitas dilakukan melalui kata-kata. Semakin tinggi keyakinan pasien terhadap kata-kata yang tercermin dalam janji rumah sakit, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan tersebut. Keyakinan ini menggambarkan pula keyakinan dalam artian psikologis (believability) dan realistis (truthfilness) dimana kata-kata tersebut mengandung nilai-nilai kebenaran.

2. Reabilitas Reabilitas hampir sama dengan kredibilitas, yaitu menggambarkan tingkat keyakinan pelanggan terhadap tindakan dari perusahaan. Semakin tinggi tingkat reabilitas maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan pasien terhadap rumah sakit. Hal ini mencakup penilaian terhadap nilai-nilai rumah sakit berdasarkan harapan pelanggan dimasa yang akan datang (predictability) dan nilai-nilai yang telah disosialisasikan kepada para pasien melalui berbagai macam media massa.

3. Keamanan Keamanan menggambarkan tersedianya keamanan atau keselamatan yang telah dan akan dirasakan oleh pelanggan. Keamanan dan keselamatan ini mencakup keamanan mengenai kerahasiaan identitas pasien, keamanan financial dan keamanan dalam proses transaksi dan keamanan bahwa harapannya akan terwujud karena pasien yakin akan kemampuan rumah sakit. Semakin tinggi tingkat keamanan, maka semakin tinggi pula kepercayaan pasien rumah sakit.

4. Kepedulian Kepedulian mencakup perhatian perusahaan terhadap pelanggan. Semakin tinggi kepedulian komitmennya maka semakin tinggi pula konsumernya. Semakin tinggi tingkat kepedulian suatu rumah sakit maka semakin tinggi pula jumlah pasien rumah sakit tersebut

Kepuasan Pasien (skripsi dan tesis)

Menurut Pohan (2007), kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkan dengan apa yang diharapkannya. Kepuasan pasien merupakan aspek yang paling menonjol dalam operasional pelayanan rumah sakit yang berdampak besar terhadap keberhasilan suatu rumah sakit dalam meningkatkan jumlah kunjungan pasien. Pasien yang puas terhadap kunjungan rumah sakit cenderung akan kembali lagi ke rumah sakit tersebut. Berbagai pengalaman pengukuran kepuasan pasien menunjukkan bahwa upaya untuk mengukur tingkat kepuasan pasien tidak mudah, karena upaya untuk memperoleh informasi yang diperlukan akan berhadapan dengan suatu kendala kultural, yaitu terdapatnya suatu kecenderungan masyarakat yang enggan atau tidak mau mengemukakan kritik, apalagi terhadap fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah. Seperti kita ketahui pada saat ini, sebagian besar fasilitas layanan kesehatan yang digunakan oleh masyarakat dari golongan strata bawah adalah fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian terhadap jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas mereka akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman buruknya. Untuk menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan atau rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pasien yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pasiennya. Indikator kepuasan konsumen yaitu :

1. Karakteristik produk, produk ini merupakan kepemilikan rumah sakit yang bersifat fisik antara lain gedung dan dekorasi. Karakteristik produk rumah sakit meliputi penampilan bangunan rumah sakit, kebersihan dan tipe kelas kamar yang disediakan beserta kelengkapannya.

2. Harga, yang termasuk didalamnya adalah harga produk atau jasa. Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.

3. Pelayanan, yaitu pelayanan keramahan petugas rumah sakit dan kecepatan dalam pelayanan. Rumah sakit dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah sakit. Kepuasan muncul dari kesan pertama masuk pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan.

4. Lokasi, meliputi letak rumah sakit, letak kamar dan lingkungannya. Merupakan salah satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam memilih rumah sakit. Akses menuju lokasi yang mudah dijangkau mempengaruhi kepuasan pasien dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan di rumah sakit maupun pusat jasa kesehatan lainnya. Umumnya semakin dekat rumah sakit dengan pusat perkotaan atau yang mudah dijangkau, mudahnya transportasi dan lingkungan yang baik akan semakin menjadi pilihan bagi pasien yang membutuhkan rumah sakit tersebut.

5. Fasilitas, kelengkapan fasilitas rumah sakit turut menentukan penilaian kepuasan pasien, misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana, tempat parkir, ruang tunggu yang nyaman dan ruang kamar rawat inap. Walaupun hal ini tidak vital menentukan penilaian kepuasan klien, namun rumah sakit perlu memberikan perhatian pada fasilitas rumah sakit dalam penyusunan strategi untuk menarik konsumen.

6. Citra (image), yaitu reputasi dan kepedulian rumah sakit terhadap lingkungan. Image juga memegang peranan penting terhadap kepuasan pasien dimana pasien memandang rumah sakit mana yang akan dibutuhkan untuk proses penyembuhan. Pasien dalam menginterpretasikan rumah sakit berawal dari cara pandang melalui panca indera dari informasi-informasi yang didapatkan dan pengalaman baik dari orang lain maupun diri sendiri sehingga menghasilkan anggapan yang positif terhadap rumah sakit tersebut.

7. Desain visual, meliputi dekorasi ruangan, bangunan dan desain jalan yang tidak rumit. Tata ruang dan dekorasi rumah sakit ikut menentukan kenyamanan suatu rumah sakit, oleh karena itu desain dan visual harus diikutsertakan dalam penyusunan strategi terhadap kepuasan pasien atau konsumen. Aspek ini dijabarkan dalam pertanyaan tentang lokasi rumah sakit, kebersihan, kenyamanan ruangan, makanan dan minuman, peralatan ruangan, tata letak, penerangan, kebersihan WC, pembuangan sampah, kesegaran ruangan dan lainlain.

8. Suasana, meliputi keamanan, keakraban dan tata lampu. Suasana rumah sakit yang tenang, nyaman, sejuk dan indah akan sangat mempengaruhi kepuasan pasien dalam proses penyembuhannya. Selain itu tidak hanya bagi pasien saja yang menikmati itu akan tetapi orang lain yang berkunjung ke rumah sakit akan sangat senang dan memberikan pendapat yang positif sehingga akan terkesan bagi pengunjung rumah sakit tersebut. Aspek ini tidak hanya penting untuk memberikan kepuasan semata, tetapi juga memberi perlindungan kepada pasien dari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan pasien seperti jatuh, kebakaran, dan lain-lain.

9. Komunikasi, yaitu tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan keluhan-keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan cepat diterima oleh penyedia jasa terutama perawat dalam memberikan bantuan terhadap keluhan pasien. Komunikasi dalam hal ini juga termasuk perilaku, tutur kata, keacuhan, keramahan petugas, serta kemudahan mendapatkan informasi dan komunikasi menduduki peringkat yang tinggi dalam persepsi kepuasan pasien rumah sakit. Manfaat utama dari program pengukuran adalah tersedianya umpan balik yang segera, berarti dan objektif. Dengan hasil pengukuran orang bisa melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaannya, membandingkan dengan standar kerja, dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan berdasarkan pengukuran tersebut

Kesetiaan Pasien (skripsi dan tesis)

Oliver (1999) menyatakan bahwa kesetiaan (loyalitas) adalah pilihan yang dilakukan konsumen untuk membeli merek tertentu dibandingkan merek yang lain dalam satu kategori produk. Konsumen akan memberikan loyalitas dan kepercayaannya pada merek selama merek tersebut sesuai dengan harapan yang dimiliki oleh konsumen, bertindak dalam cara-cara tertentu dan menawarkan nilai- nilai tertentu. Konsumen yang loyal terhadap suatu merek tertentu memilki sikap yang positif dan setia terhadap merek tersebut. Menurut Griffin (2002) menyatakan ada beberapa hal yang mempengaruhi kesetiaan/loyalitas, yaitu : 1. Pengaruh dari konsumen Karakteristik individu mempunyai kaitan dengan keputusan memakai/membeli merek tertentu. Karakteristik individu itu terdiri dari faktor demografis dan faktor psikografis. Yang termasuk faktor demografis, yaitu usia dan penghasilan. a. Usia Hubungan usia dengan loyalitas merek sangat positif. Semakin bertambah usia seseorang maka loyalitas juga semakin bertambah. Wright dan Sparks dalam Wood (2004) menyatakan bahwa loyalitas merek yang tinggi terdapat pada individu yang berusia 35 sampai 44 tahun. Hal tersebut didukung oleh Murder (2000) yang mengungkapkan bahwa individu antara 18-34 tahun memilki loyalitas rendah. Individu pada usia tersebut merupakan segmen yang mudah dibujuk oleh iklan, lebih fleksibel dalam memilih merek dan lebih suka bereksperimen dengan berbagai merek. b. Penghasilan Menurut Farley dalam Harton R (1984) menyatakan bahwa pendapatan berhubungan dengan loyalitas. Individu dengan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih sedikit mencari informasi mengenai harga-harga dari merek lain sehingga individu tersebut lebih setia terhadap merek yang digunakannya. 2. Pengaruh dari merek Dalam mengambil keputusan terhadap pembelian sebuah merek, konsumen akan mencari nilai dan harga dari merek. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karakteristik produk dapat mempengaruhi loyalitas merek. 3. Pengaruh sosial Kelompok sosial dapat mempengaruhi loyalitas merek. Yang termasuk dalam pengaruh sosial adalah : a. Social group influences (pengaruh kelompok sosial) Kelompok sosial berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap sikap dan tingkah laku seseorang. Suatu kelompok akan menjadi referensi utama seseorang dalam membeli suatu produk, ketika individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tersebut. Besar tidaknya pengaruh dari kelompok referensi tergantung dari mudah tidaknya individu untuk dipengaruhi. Dalam keluarga, orang tua yang konsisten dalam memilih merek tertentu akan menyebabkan munculnya persepsi positif terhadap merek pada diri anak. Hal ini menyebabkan anak juga akan memilih merek tersebut dan menjadi loyal. b. Peers recommendation (rekomendasi teman sebaya) Selain kelompok referensi, rekomendasi atau anjuran teman sebaya juga dapat mempengaruhi loyalitas. Pengaruh normatif teman sebaya dan identifikasi terhadap kelompok teman sebaya merupakan petunjuk bagi individu untuk mencari produk, merek atau toko. Sehingga dapat dikatakan bahwa norma kelompok berpengaruh secara langsung terhadap evaluasi, memilih dan loyal terhadap merek.

Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Altruisme (skripsi dan tesis)

 Setiap agama mengajarkan bahwa manusia harus selalu menjaga keharmonisan antara makhluk hidup maupun dengan lingkungan sekitarnya agar manusia dapat melanjutkan kehidupan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain di dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana setiap agama mengajarkan untuk tolong-menolong terhadap sesama manusia sebagai salah satu aktivitas religiusitas. Religiusitas adalah keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural (Ancok Dkk, 2001) Individu dengan religiusitas yang tinggi tidak hanya meyakini mengenai perbuatan baik dan melakukan amal baik hanya dengan membaca dari kitab, mendengarkan ceramah oleh pemuka agama, atau sekedar menyampaikan dengan ucapan bahwa ia akan berperilaku altruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh: menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau balas budi yang akan diterimanya, mementingkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dan lain-lain. Menurut Malhotra (2010), religiusitas merupakan pengaruh utama melakukan perilaku altruisme, karena orang yang religius berkarakteristik lebih stabil sehingga spontanitas untuk beramal lebih tinggi. Munculnya spontanitas untuk berperilaku altruisme merupakan pertanda bahwa individu mampu menerapkan apa yang telah ia yakini sebagai religiusitas didalam kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain individu tersebut mampu mewujudkan perilaku altruisme karena motivasi dari religiusitas. Hal tersebut juga dapat dilihat dari kelima aspek menurut Glock (dalam Ancok dan Suroso, 1994) yang pertama aspek ideologis dimana individu mempercayai Tuhan serta adanya surga dan neraka, Tuhan adalah sang pencipta kehidupan yang memiliki perintah mengenai hal yang tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh untuk dilakukan, apa yang baik dan yang buruk. Individu dengan religiusitas tinggi akan melakukan perilaku altruisme dengan menolong sesamanya yang sedang kesusahan dengan ikhlas dan percaya bahwa akan mendapat pahala guna tabungan untuk menuju ke surga, karena merupakan perbuatan baik yang telah dilakukan.
Diperkuat oleh Sappington (dalam Sarwono 1999) yang berpengaruh pada perilaku altruisme bukanlah seberapa kuatnya kepercayaan beragama itu sendiri melainkan bagaimana implikasi seseorang tentang pentingnya perilaku menolong telah diajarkan oleh agama (religiusitas). Ke dua aspek intelektual sejauh mana individu mengetahui tentang ajaran‐ajaran agamanya seperti berbuat baik kepada orang lain maka akan mendapatkan balasan yang baik pula, maka invidu dalam kehidupannya berusaha berperilaku altruisme dengan berbuat baik kepada orang lain seperti memberi bantuan kepada korban bencana alam baik berupa materi maupun jasa menjadi seorang relawan. Seperti yang diungkapkan oleh Rogers (1977) bahwa penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan agama, maka perilaku tersebut akan berlangsung lama. Dimana dengan pengetahuan agama yang baik akan membentuk religiusitas yang tinggi dalam diri individu untuk melakukan perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai norma dan melakukan tindakan postif untuk dapat berperilaku altruisme. Ke tiga aspek ritualitas dimana individu melaksanakan kewajiban sebagai orang beragama mencakup ritual pemujaan, ketaatan, beramal yang dapat dicerminkan salah satunya dengan berperilaku altruisme yakni beramal baik seperti berbagi rezeki kepada anak yatim piatu sebagai cara untuk bersedekah. Ritualitas merupakan salah satu cara bagaimana individu dapat mewujudkan apa yang ia percaya sesuai dengan tindakan nyata dalam kehidupannya. Internalisasi ritualitas dalam setiap individu merupakan wujud nyata dari kualitas keyakinan seseorang. Ke empat aspek pengalaman yaitu seberapa jauh individu merasakan perasaan dan pengalaman religius seperti: ketika ia mengalami kesusahan tanpa disangka-sangka ia mendapat bantuan dari orang yang dulu telah ia bantu. Seperti yang diungkapkan oleh (Ahyadi, 1995) individu akan mencoba menghayati, menginternalisasi dan menerapkan religiusitas dalam dirinya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada salah satunya perilaku altruisme. Ke lima aspek konsekuensi individu merasa bersemangat dalam melakukan setiap perilaku baik dihidupnya karena mengetahui jika perilaku yang dilakukannya didunia akan mendapat balasan tidak hanya didunia namun juga di akhirat, jika berbuat baik mendapat balasan yang baik pula begitupun sebaliknya, maka individu secara sadar berperilaku altruisme seperti: menolong tanpa mengharapkan balas budi atau imbalan dari orang yang telah ditolong. Individu yang mempunyai religiusitas tinggi mempunyai dasar keyakinan yang akan membuatnya lebih mudah menentukan perilakunya mengenai yang harus dilakukan yaitu perilaku altruisme dan yang harus dihindari, karena pada dasarnya religiusitas telah mencakup aturan tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak. Religiusitas tidak dapat dipisahkan dari perilaku individu didalam kehidupan bermasyarakat dan dalam prakteknya religiusitas memiliki beberapa fungsi antara lain fungsi edukatif, fungsi kontrol sosial, fungsi pemupuk rasa solidaritas. Religiusitas menjadi faktor integratif bagi individu dalam berperilaku altruisme dapat dilihat dari faktor kontrol sosial yaitu adanya keterkaitan batin antara tuntutan ajaran religius dengan perwujudan keberagamaan individu untuk melakukan perilaku altruisme dengan sesamanya. Dapat disimpulkan bahwa perwujudan keberagamaan atau dengan kata lain religiusitas adalah faktor dan pedoman individu dalam berperilaku altruisme dikehidupannya, individu meyakini bahwa perilaku altruisme adalah suatu perbuatan baik sesuai dengan nilai-nilai moral yang akan ia lakukan sebagai salah satu cara penerapan atas apa yang telah ia percaya dan yakini sebagai kepercayaan religius dan mengaplikasikan keberagamaannya (religiusitas) yang dapat menjadi motivasi untuk terus melakukan perilaku altruisme.
Seperti yang diungkapkan oleh Coles (2000) bahwa perilaku yang sesuai dengan nilai moral diungkapkan dalam tingkat orang harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain. Perilaku tersebut muncul karena adanya pertimbangan kesejahteraan orang lain diatas kepentingan atau keuntungan pribadi (perilaku altruisme) yang berusaha diamalkan atau diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan nilai religi yang dianut (religiusitas). Dari keterkaitan diatas semakin memperjelas bahwa religiusitas mempengaruhi individu dalam berperilaku altruisme seperti yang diungkapkan Sarwono (1999) bahwa religiusitas mempengaruhi seseorang untuk menolong, karena ada nilai-nilai religi yang dianut sehingga seseorang mau menolong orang lain. Peneliti juga menyertakan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu mengenai religiusitas dan perilaku altruisme guna memperkuat penjelasan. Penelitian tentang altruisme pernah dilakukan oleh Shah dan Ali (2012) dengan judul Altruism and Belief in just world in young adults: relationship with Religiosity yang bertujuan mengeskplorasikan antara altruisme dan kepercayaan dunia dengan religiusitas pada orang dewasa dan dihasilkan bahwa religiusitas yang tinggi berhubungan positif dengan altruisme yang tinggi pula. Dengan demikian individu yang mempunyai religiusitas tinggi tidak hanya melakukan ritual-ritual keagamaan saja seperti sembahyang dan puasa tetapi hal lain yang juga harus dilakukan adalah menjalin hubungan dan berbuat baik kepada orang lain atau dapat juga dikatakan sebagai beramal baik. Amal baik salah satunya adalah melakukan perilaku altruisme seperti menolong, bekerja sama, berbagi, dan menyumbang (Ancok dan Suroso, 1994). Berdasarkan penjelasan yang sudah disampaikan dapat ditarik kesimpulan adanya hubungan yang positif antara religiusitas dengan perilaku altruisme sehingga semakin tingggi religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin tinggi, dan juga sebaliknya semakin rendah religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin rendah

Aspek – aspek Religiusitas (skripsi dan tesis)

 Menurut Glock (dalam Ancok dan Suroso, 1994) religiusitas memilki lima aspek : a. Aspek ideologis Berisi tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal‐hal yang dogmatik dalam agamanya. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganutnya diharapkan taat. Misalnya: kepercayaan terhadap Tuhan, surga, dan neraka. b. Aspek intelektual Tentang sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran‐ajaran agamanya,tradisi, terutama yang ada di dalam kitab suci. c. Aspek ritualitas Mengacu pada tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban‐ kewajiban ritual dalam agamanya dan hal-hal yang dilakukan untuk mewujudkan komitmen terhadap agama yang dianut. Misalnya sembahyang, beramal, berpuasa. d. Aspek pengalaman Mengenai perasaan‐perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan oleh individu. Misalnya perasan dekat dengan Tuhan, merasa dilindungi Tuhan, merasa diberkati dan merasa doanya dikabulkan, serta balasan dari perbuatan yang dilakukannya. e. Aspek konsekuensi Mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial. Misalnya apakah dia menjenguk temannya yang sakit, membantu orang lain yang sedang mengalami kesusahan, serta menolong tanpa mengharapkan imbalan, dan mengutamakan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi.
 Lebih lanjut, Ancok dan Nashori (2008) mengungkapkan religiusitas memiliki lima aspek, yaitu : a. Pertama akidah, yaitu tingkat keyakinan seorang Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama Islam. b. Kedua syariah, yaitu tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatankegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan dalam agama Islam. c. Ketiga akhlak, yaitu tingkat perilaku seorang Muslim berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam, bagaimana berealisasi dengan dunia beserta isinya. d. Keempat pengetahuan agama, yaitu tingkat pemahaman Muslim terhadap ajaranajaran agama Islam, sebagaimana termuat dalam al-Qur’an. e. Kelima penghayatan, yaitu mengalami perasaan-perasaan dalam menjalankan aktivitas beragama dalam agama Islam. Konsep dimensi-dimensi religisuitas yang diungkapkan Ancok dan Nashori (2008), menggambarkan konsep religisuitas menurut agama Islam

Pengertian Religiusitas (skripsi dan tesis)

Menurut Ancok dan Suroso (1994) religiusitas adalah keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sedangkan Nashori dan Mucharam (2002) mendefinisikan religiusitas sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut. Sedangkan Pargament (1999) mendefinisikan religiusitas “is an organizational, ritualistic, and ideological system“ adalah organisasi, ritualistik, dan sistem ideologis, senada dengan Piedmont et al. (2009) menyebutkan religiusitas “is concerned with how one’s experience of a transcendent being is shaped by, and expressed through, community or social organization.” berhubungan dengan pengalaman manusia sebagai makhluk transenden yang diekspresikan melalui komunitas/organisasi sosial.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Altruisme (skripsi dann tesis)

 Menurut Myers (2012) faktor-faktor altruisme adalah sebagai berikut : a. Faktor yang mempertimbangkan pengaruh-pengaruh internal terhadap keputusan menolong, hal ini juga termasuk menggambarkan situasi suasana hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang. b. Faktor eksternal seperti jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, daya tarik antar penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan lain, tekanan waktu, kondisi lingkungan dan antribusi. c. Faktor personal, yaitu mempertimbangkan sifat dari penolong, hal ini mencakup sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas subyek (kepercayaan religius).
 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku altruisme menurut Sarwono (1999) adalah: a. Pengaruh situasi, merupakan pengaruh eksternal yang diperlukan sebagai motivasi yang mungkin timbul dalam diri individu pada situasi itu pengaruh ini terdiri atas : (1.) Kehadiran orang lain; (2.) Menolong jika orang lain menolong; (3.) Desakan waktu; (4.) Kemampuan yang dimiliki b. Pengaruh dari dalam diri individu, sangat berperan pada perilaku individu dalam menolong yang dapat dibagi dalam : (1.) Perasaan dari dalam diri individu dapat mempengaruhi perilaku menolong artinya baik perasaan kasihan maupun perasaan antipasti dapat berpengaruh terhadap motivasi individu dalam menolong; (2.) faktor sifat-sifat individu memiliki ciri-ciri dan kualitas yang khas, setiap individu memiliki sifat yang unik dan berbeda dengan sifat individu yang lain; (3.) Agama, ternyata juga dapat mempengaruhi perilaku menolong
. Menurut penelitian Sappington dan Baker (dalam Sarwono, 1999), yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah seberapa kuatnya ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana kepercayaan atau keyakinan orang bersangkutan tentang pentingnya menolong yang lemah seperti yang diajarkan oleh agama. c. Karakter orang yang ditolong, individu kadang-kadang dipengaruhi oleh karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan apakah orang itu menarik secara fisik atau ada hal-hal lain yang membuat individu merasa tertarik untuk memberikan pertolongan. Berdasarkan uraian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku altruisme yaitu diantaranya: situasi suasana hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang, jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, dan daya tarik antar penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan lain, tekanan waktu, kondisi lingkungan dan antribusi, sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas. Peneliti memilih faktor religiusitas, karena religiusitas merupakan keberagamaan yang dilakukan oleh individu lewat suatu tindakan salah satunya adalah dengan berbuat baik kepada sesama dengan cara memberikan bantuan tanpa mengharapkan imbalan atau disebut juga dengan perilaku altruisme.

Aspek-aspek Perilaku Altruisme (skripsi dan tesis)

 Menurut Cohen (dalam Sampson, 1976) altruisme terdiri atas aspek – aspek sebagai berikut: a. Sifat suka memberi Perilaku untuk mememnuhi keinginan orang lain, perilaku ini menguntungkan orang lain yang mendapatkan perlakuan. Contoh: berbagi rezeki dengan orang yang lebih membutuhkan. b. Empati Suatu kemampuan untuk merasakan keadaan orang lain, kepekaan perasaan yang dicerminkan dalam perhatian terhadap penderitaan orang lain dan merupakan dasar untuk melakukan tindakan pertolongan bagi orang lain. Contoh : ikut merasa sedih ketika teman mengalami musibah dan memberi pertolongan. c. Sukarela Tindakan yang dilakukan tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan apapun dengan perasaan ikhlas untuk kepentingan orang lain. Contoh : menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan dari orang yang ditolong.
 Menurut teori Myers (2012) membagi perilaku altruisme dalam tiga aspek yaitu: a. Memberi perhatian terhadap orang lain Individu membantu orang lain karena adanya kasih sayang. Pengabdian, kesetiaan yang diberikan tanpa ada keinginan untuk memperoleh imbalan untuk dirinya sendiri. b. Membantu orang lain Individu dalam membantu orang lain disadari oleh keinginan yang tulus dan hati nurani dari orang tersebut, tanpa adanya penagruh dari orang lain. c. Mengutamakan kepentingan orang lain Dalam membantu orang lain, kepentingan yang bersifat pribadi dikesampingkan dan lebih mementingkan kepentingan orang lain. Berdasarkan uraian aspek-aspek perilaku altruisme dari kedua tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa peneliti memilih aspek-aspek sesuai dengan teori Cohen (dalam Sampson, 1976), yaitu: sifat suka memberi, empati, sukarela. Peneliti memilih ketiga aspek tersebut karena aspek tersebut lebih rinci untuk menjelaskan altruisme secara menyeluruh melalui ketiga aspek yang telah dipaparkan diatas

Pengertian Perilaku (skripsi dan tesis)

 

Altruisme Istilah altruisme (altruism) digunakan pertama kali pada abad ke-19 oleh filsuf Auguste Comte. Altruisme berasal dari kata Yunani “alteri” yang berarti orang lain. Penggunaan istilah “alteri” oleh Comte pada dasarnya untuk menjelaskan bahwa setiap orang yang hidup di muka bumi ini memiliki sebuah tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya, sehingga setiap orang harus memiliki sikap dan perilaku yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Altruisme adalah sebuah bentuk yang spesifik dari perilaku yang menguntungkan orang lain tapi tidak ada ekspektasi akan memperoleh keuntungan pribadi (Crisp dan Turner, 2007). Contoh dari altruisme adalah menyelamatkan seseorang dari tertabrak kereta api secara spontan. Usaha menolong ini memng menguntungkan bagi orang lain, namun tidak dapat dipungkiri menyisakan kemungkinan adanya resiko bagi penolong. Batson (1943) menyatakan bahwa altruisme adalah keadaan termotivasi yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan orang lain. Perilaku atau tindakan altruisme merupakan bentuk perilaku sosial yang ditujukan untuk kebaikan orang lain.
Pernyataan ini seperti diungkap oleh Walstern dan Piliavin (Huffman dkk, 1997) perilaku altruisme adalah perilaku menolong (perilaku altruisme) yang timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan norma–norma tertentu, tindakan tersebut juga dapat merugikan penolong, karena meminta pengorbanan waktu, usaha, uang dan tidak ada imbalan atau pun reward dari semua tindakan tersebut. Menurut Cohen (Sampson, 1976) perilaku altruisme diawali adanya suatu keinginan untuk memberikan memberikan pertolongan tanpa mengharapkan imbalan. Lebih lanjut Bartal, dkk (dalam Desmita, 2010) mendefinisikan altruisme sebagai tahap dimana individu melakukan tindakan menolong secara sukarela. Perilaku altruisme yang motifnya untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan sedih atau tekanan personal, maka akan menimbulkan perilaku altruisme yang bersifat egoistik. Berdasarkan beberapa pengertian yang sudah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku altruisme adalah perilaku menolong yang sengaja ditujukan untuk menguntungkan orang lain yang dilakukan secara suka rela tanpa adanya imbalan yang dapat menyebabkan kerugian waktu, usaha, uang pada si penolong dari semua tindakan tersebut.

Hubungan Antara Religiusitas dengan Altruisme (skripsi dan tesis)

Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam menjalankan kehidupannya, mulai dari lahir sampai meninggal dunia. Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka sudah semestinya kita juga secara sukarela memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Perilaku tolong menolong dalam psikologi dikenal dengan altruisme (Wulandari, 2017). Myers (2012) mendefinisikan altruisme adalah motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri. Altruisme adalah kebalikan dari egoisme. Orang yang altrustis peduli dan mau membantu orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau tidak mengharapkan imbalan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi altruisme adalah religiusitas (Myers, 2012). Di samping adanya teori di atas, ada banyak penelitian yang menjelaskan tentang keterkaitan antara altruisme dengan religiusitas. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Zhao, 2012) yang mengatakan bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi altruisme. Senada dengan penelitian tersebut Zhao (2012) menyatakan bahwa orang-orang yang religius mempunyai perilaku yang lebih   altruistik daripada orang yang non religius. Selain itu, Malhotra (2010) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa religiusitas merupakan faktor utama yang mempengaruhi altruisme, orang yang religius berkarakteristik lebih stabil, sehingga spontanitas untuk memberikan bantuan lebih besar. Religiusitas adalah sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi (Ancok & Suroso, 2011).
Menurut Ancok dan Suroso (2011) dengan mengacu pada dimensi religiusitas dari Glock dan Stark, religiusitas Islam meliputi lima dimensi, yaitu: (1) dimensi keyakinan atau akidah, (2) dimensi peribadatan atau syari’ah, (3) dimensi pengalaman atau ihsan, (4) dimensi pengetahuan atau ilmu, dan (5) dimensi pengamalan atau akhlak. Dimensi Keyakinan atau akidah menunjukkan seberapa jauh tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik (Ancok & Suroso, 2011). Kemudian Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Zhao, 2012) mengatakan bahwa semakin kuat keyakinan agama seseorang maka semakin tinggi altruisme yang dimilikinya. Dalam agama Islam menghendaki pemeluknya untuk meyakini ajaran agamanya secara komprehensif dan optimal, salah satu perintah yang sangat  dianjurkan di dalam Islam adalah saling tolong menolong (Gatot, 2015). Perilaku tolong menolong dalam psikologi dikenal dengan altruisme (Wulandari, 2017). Dimensi peribadatan atau syari’ah menunjukkan seberapa jauh seorang muslim dalam menjalankan kewajibannya untuk mengerjakan kegiatan ritual atau beribadah yang dianjurkan oleh agamanya (Ancok & Suroso, 2011). Dalam agama islam menghendaki pemeluknya untuk mengerjakan apa yang diperintahkan, salah satu ibadah yang dianjurkan di dalam Islam yaitu tolong menolong atau meringankan beban orang lain (Gatot, 2015). Sebagaimana yang telah diperintahkan dalam sebuah hadist Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (H.R Muslim) Kemudian Allah SWT menegaskan kembali mengenai kewajiban tolongmenolong dalam hal kebaikan dalam firman-Nya, sebagai berikut : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulanbulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah : 2)
Ayat ini memberikan perintah untuk saling tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa merupaka perintah bagi seluruh manusia. Yakni, hendaknya menolong sebagian yang lain dan berusaha untuk mengerjakan apa yang Allah perintahkan dan mengaplikasikannya. Sebab setiap kebajikan adalah ketaqwaan dan setiap taqwa adalah kebajikan (Gatot, 2015). Berkaitan dengan tolong menolong salah satu contoh dari tingkah laku menolong yang paling jelas adalah altruisme (Hermaningrum, 2017), sehingga seharusnya seorang penganut agama yang taat memiliki perilaku altruisme (Midlarsky, 2012). Dimensi pengamalan atau akhlak menunjukkan seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain (Ancok & Suroso, 2011). Bila individu tetap berpegang teguh pada ajaran Islam, maka Islam akan mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan norma agama yang dianutnya, keberagamaan akan mengerakkan individu untuk melaksanakan ajaran agama. Salah satu aspek terpenting dalam ajaran agama adalah perbuatan baik terhadap sesama misalnya yaitu saling tolong menolong (Gatot, 2015). Di dalam dimensi pengamalan meliputi bekerjasama, berlaku jujur, memaafkan, mematuhi norma-norma agama, berderma, suka menolong, dan sebagainya (Ancok & Suroso, 2011). Tolong menolong dalam psikologi disebut dengan altruisme (Wulandari, 2017). Dimensi pengalaman atau ihsan menunjukkan seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalamanpengalaman religius (Ancok & Suroso, 2011). Dalam agama Islam menghendaki  pemeluknya menghayati ajaran agama secara kaffah (komprehensif) dan optimal, termasuk di dalamnya sifat yang sangat di anjurkan di dalam Islam yaitu tolong menolong sesama manusia (Gatot, 2015). Seorang muslim yang ber-taqwa menjalani segala perintah dan semua ibadah akan merasakan ketenangan di dalam hatinya, maka ketika seseorang berbuat baik kepada sesama dengan memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan akan merasakan ketenangan di dalam hatinya (Taslim, 2010). Membantu orang lain merupakan cakupan dari aspek Altruisme (Myers, 2012). Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjukkan seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, yang termuat di dalam kitab sucinya (Ancok & Suroso, 2011). Salah satu perbuatan yang diperintahkan dalam agama Islam adalah membantu orang lain dan mengedepankan kepentingan orang lain (Gatot, 2015). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’la, sebagai berikut: “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr : 9) Ayat ini menunjukkan selamatnya hati mereka (orang-orang Anshar) dan tidak ada rasa dengki dan iri dihatinya kepada kaum muhajirin. Ayat ini juga menunjukkan sifat orang-orang Anshar yang mengutamakan orang lain daripada diri sendiri meskipun mereka membutuhkannya. Ayat tersebut turun saat peristiwa hijrah Nabi saw dimana kaum Anshar mendahulukan kaum muhajirin (Terjemahan 41 dan Tafsir Al-qur’an, 2013). Seorang muslim yang memiliki pengetahuan tentang ayat tersebut maka akan mencontoh perilaku kaum Anshar yang mendahulukan kepentingan kaum muhajirin (Gatot, 2015). Mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi merupakan cakupan dari aspek altruisme (Myers, 2012). Pada diri individu yang pemahaman agamanya baik tidak hanya sebatas kebenaran yang diyakini, tetapi secara konsisten tercermin dalam perilakunya dan salah satu bentuk dari perilaku tersebut adalah altruisme (Rain dalam Gatot, 2015).

Dimensi-dimensi Religiusitas (skripsi dan tesis)

 Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2011) dimensi-dimensi religiusitas terdiri dari lima macam, yaitu:   a. Dimensi Keyakinan (Religious Belief/ The Ideological Dimensions) Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran ajaran-ajaran tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. b. Dimensi Ritualistik (Religious Practice/ The Ritualistic Dimensions) Dimensi ritualistik mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan halhal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting yaitu ritual dan ketaatan. c. Dimensi Pengalaman atau Eksperiensial (Religious e. Feeling/ The Experiential Dimensions) Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatas supernatural). Seperti yang telah dikemukakan bahwa dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsipersepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh  suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi walaupun kecil dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental. d. Dimensi Pengetahuan (Religious Knowledge/ The Intellectual Dimensions) Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, tata cara dalam upacara keagamaan, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan saling berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benarbenar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. e. Dimensi Pengamalan atau Konsekuensi (Religious Effect/ The Consequential Dimensions) Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya hanya sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.
 Menurut Ancok dan Suroso (2011) dengan mengacu pada dimensi religiusitas dari Glock dan Stark, religiusitas Islam meliputi lima dimensi, yaitu: a. Dimensi keyakinan atau akidah Islam Dimensi ini menunjukkan seberapa jauh tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam isi dimensi akidah menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi atau Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar. b. Dimensi peribadatan atau syari’ah (ibadah) Dimensi ini menunjukkan sejauh mana seorang muslim dalam menjalankan kewajibannya untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang dianjurkan oleh agamanya. Di dalam dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, membaca AlQur’an, berdoa, zikir, haji, ibadah kurban, iktikaf, dan sebagainya. c. Dimensi pengamalan (akhlak) Dimensi ini menunjuk seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Di dalam dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, tidak mencuri, mematuhi norma-norma agama dalam berperilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses dalam beragama, dan sebagainya.  d. Dimensi penghayatan atau pengalaman (ihsan) Dimensi ini menunjukkan seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalamanpengalaman religius. Di dalam keberislaman dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan cinta pada Allah, perasaan doa-doa yang sering terkabul, perasaan tenteram bahagia, perasaan tawakkal, perasaan khusuk ketika beribadah, dan sebagainya. e. Dimensi pengetahuan atau ilmu Dimensi ini menunjukkan seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Di dalam dimensi ini meliputi pengetahuan tentang isi AlQur’an, pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukum iman), hukum dalam Islam, sejarah tentang Islam, dan sebagainya.

Pengertian Religiusitas (Skripsi dan tesis)

Religiusitas berasal dari kata religi berasal dari bahasa Latin yaitu “religio” yang akar katanya adalah religure yang artinya adalah mengikat. Maka dari itu mengandung makna bahwa religi atau agama pada umumnya memiliki aturan dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Semua itu berfungsi untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan sekitarnya  (Gazalba dalam Ghufron & Risnawati, 2016). Adapun pengertian agama menurut Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2011) adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semua itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling bermakna (Glock & Stark dalam Ancok & Suroso, 2011). Berdasarkan istilah agama yang telah dijelaskan di atas, kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Walaupun berakar kata sama, namun dalam penggunaan istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Menurut Mangunjaya (dalam Jalaluddin, 2016) agama lebih menunjukkan kepada kelembagaan yang mengatur tata cara beribadah manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih melihat kepada aspek yang telah dihayati di dalam lubuk hati manusia.
 Ancok dan Suroso (2011) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Ghufron dan Risnawita (2016) menjelaskan bahwa religiusitas adalah tingkat penghayatan dan internalisasi ajaran agama sehingga berpengaruh dalam dalam segala tindakan dan pandangan hidup. Selain itu Jabrohim (dalam 27 Jalaluddin, 2016) menjelaskan bahwa dalam pendekatan psikologi, religiusitas merupakan konstruk psikologi dan agama yang tidak terpisahkan. Religiusitas adalah inti dari kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada dengan sesuatu yang abstrak. Religiusitas mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia dan diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia (Nashori, 2008).
Selain itu, Norris dan Inglehart (dalam Wulandari, 2017) mendefinisikan religiusitas yaitu sebagai nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan praktik-praktik agama yang ada dalam suatu masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas sebagai keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi

Aspek-Aspek Empati (skripsi dan tesis)

Davis (2014) mengemukakan bahwa secara global ada dua aspek dalam empati, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif terdiri dari pengambilan perspektif (perspective taking) dan Imajinasi (fantacy). Sedangkan aspek afektif terdiri dari perhatian empatik (empathic Concern) dan distress pribadi (personal distress). Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut: a. Aspek Kognitif
1) Pengambilan Perspektif (Perspective Taking) Perspective-taking didefinisikan oleh Davis sebagai kecenderungan mengadopsi pandangan-pandangan psikologis orang lain secara spontan. Mead (dalam Davis, 1983) menekankan pentingnya kemampuan dalam pengambilan perspektif untuk perilaku non egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain. Pengambilan perspektif dalam empati meliputi proses self identification dan self positioning. Self identification yaitu mengarahkan individu untuk menyentuh kesadaran dirinya sendiri melalui perspektif yang dimiliki oleh orang lain, sementara self positioning yaitu memandu individu untuk memposisikan diri pada situasi dan kondisi orang lain untuk kemudian membantu penyelesaian masalahnya.
 2) Imajinasi (Fantasy) Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal (membayangkan) dalam buku, film atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. b. Aspek Afektif 1) Perhatian Empatik (Empathic Concern) Perasaan yang berorientasi pada orang lain berupa simpati, kasihan, peduli dan perhatian terhadap orang lain yang mengalami kesulitan. Aspek ini berhubungan secara positif dengan reaksi emosional, perilaku menolong pada orang lain dan merupakan cerminan dari perasaan kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain. Perhatian yang muncul pada seseorang mencerminkan pula tingkat kematangan emosi dan empati dari orang tersebut. Seseorang yang telah matang tingkat emosinya memiliki kemungkinan yang lebih besar pula dalam mengendalikan empatinya dengan baik. Perhatian yang diberikan bisa dalam bentuk implisit maupun eksplisit, tergantung bentuk situasi dan kondisinya. 2) Distress Pribadi (Personal Distress) Distress pribadi atau personal distress yaitu orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri yang berupa perasaan cemas dan kegelisahan dalam menghadapi setting (situasi) interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisai seseorang menjadi rendah.
 Sears (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan personal distress sebagai pengendalian reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, dan tidak berdaya (lebih terfokus pada diri sendiri). Menurut Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa empati terdiri dari 2 aspek yaitu: 1) Kognitif Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa hal itu dapat terjadi pada orang tersebut. Kognisi yang relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain, terkadang disebut sebagai pengambilan perspektif (perspective taking), mampu untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain. Kemampuan untuk merasa empati pada karakter fiktif. Penonton yang merasa berempati akan mengalami kesedihan, ketakutan, atau kegembiraan, ketika emosi-emosi ini dialami oleh karakter dalam cerita. 2) Afektif Individu yang berempati merasakan apa yang dirasakan orang lain. Bahkan anak-anak yang berusia 2 bulan tampak jelas dapat merasakan stress sebagai respon dari stress yang dirasakan orang lain (Brothers, dalam Baron & Byrne, 2005). Aspek ini tidak hanya merasa simpati terhadap penderitaan orang lain, tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba untuk 25 melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya, individu yang memiliki empati yang tinggi akan lebih termotivasi untuk menolong orang lain daripada mereka yang memiliki empati yang rendah (Schlenker & Britt, dalam Baron & Byrne, 2005).

Pengertian Empati (skripsi dan tesis)

Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain (Davis, 2014). Selain itu, Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Cohen (dalam Howe, 2013) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain dalam rangka untuk merespons pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang tepat. Selain itu, Allport (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Taufik (2012) berpendapat bahwa empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan (observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sikap orang lain

Faktor-faktor Altruisme (skripsi dan tesis)

 Menurut Myers (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi altruisme yaitu faktor internal, faktor situasional, dan faktor personal. Faktor internal meliputi imbalan (reward) dan empati. Faktor situasional meliputi jumlah pengamat, membantu ketika orang lain juga membantu (ada model), tekanan waktu, dan adanya kesamaan. Faktor personal meliputi sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi altruisme akan dijelaskan secara rinci di bawah ini:
a. Faktor Internal
 1) Imbalan (reward) Imbalan (reward) yang memotivasi untuk menolong bisa jadi bersifat eksternal ataupun internal. Imbalan yang bersifat eksternal yaitu kita memberi untuk mendapatkan sesuatu. Biasanya seseorang lebih suka menolong orang yang menarik bagi dirinya (Krebs, dalam Myers, 2012). Misalnya ketika sebuah perusahaan menyumbangkan uang agar mendapatkan kesan yang baik. Kemudian contoh lainnya yaitu ketika seseorang menawarkan tumpangan berharap akan mendapatkan penghargaan atau agar bisa bersahabat dengan orang yang diberikan tumpangan tersebut. Lalu imbalan yang bersifat internal yaitu ketika memberikan pertolongan kepada orang lain akan merasa bahwa diri kita berharga, seseorang akan merasa baik setelah melakukan kebaikan. 2) Empati Empati adalah pengalaman yang mewakili perasaan orang lain, menempatkan diri sendiri pada orang lain. Ketika kita merasakan empati, kita tidak berfokus terlalu banyak kepada tekanan yang kita rasakan sendiri, melainkan berfokus kepada mereka yang mengalami penderitaan. Batson (dalam Howe, 2013) menemukan bahwa ketika tingkat perasaan empati sangat tinggi, orang-orang akan cenderung melakukan tindakan altruisme, bahkan dalam situasi-situasi yang relatif mudah untuk tidak terlibat atau tidak merespon sama sekali. Kepedulian empatik muncul ketika seseorang menyadari bahwa orang lain 16 membutuhkan bantuan, sehingga terdorong melakukan sesuatu untuk menolong tanpa memperhitungkan keuntungan. Sejalan dengan Batson, Temuan lain menunjukkan bahwa altruisme sejati memang ada, dengan tergugahnya empati mereka, orang akan membantu meskipun mereka percaya bahwa tidak akan ada satu orang pun yang tahu mengenai perilaku menolong yang mereka lakukan. Kepedulian mereka akan berlanjut hingga seseorang telah terbantu (Fultz dkk., dalam Myers, 2012). Maka dengan tergugahnya empati, banyak orang yang termotivasi untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan atau tertekan, bahkan ketika bantuan tersebut tanpa menyebutkan nama (Myers, 2012).
 b. Faktor Situasional
1) Jumlah Pengamat Latane dan Darley (Myers, 2012) menyimpulkan bahwa ketika jumlah pengamat mengalami peningkatan, masing-masing pengamat tersebut memiliki kemungkinan yang semakin kecil untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk menginterpretasikan apa yang sedang terjadi sebagai suatu masalah atau suatu kondisi darurat, dan memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk berasumsi bahwa mereka bertanggung jawab untuk mengambil suatu tindakan. 17 2) Membantu Ketika Orang Lain Juga Membantu (ada model) Salah satu kondisi yang mempengaruhi seseorang cenderung akan memberikan bantuan adalah ketika baru saja mengobservasi ada orang lain yang juga memberikan bantuan. Bryan dan Mary Ann Test (Myers, 2012) menemukan bahwa para pengemudi di Los Angeles lebih cenderung menawarkan bantuan kepada seorang pengemudi wanita yang mengalami kempes ban jika seperempat mil sebelumnya telah melihat seseorang membantu untuk mengganti ban. 3) Tekanan Waktu Kondisi yang dapat meningkatkan perilaku menolong adalah memiliki setidaknya cukup waktu luang, seseorang yang sedang terburuburu cenderung tidak memberikan pertolongan. Hal ini didukung oleh temuan Darley dan Batson (Myers, 2012) bahwa seseorang yang sedang tidak terburu-buru mungkin akan menawarkan bantuan kepada seseorang yang sedang mebutuhkan, sedangkan orang yang sedang terburu-buru cenderung tidak menawarkan bantuan kepada seseorang yang sedang membutuhkan. 4) Adanya Kesamaan Kesamaan erat kaitannya dengan menyukai, dan menyukai terkait erat dengan membantu, kita akan lebih empati dan cenderung membantu seseorang yang sama atau mirip dengan kita (Miller dkk., dalam Myers, 2012). Bias kesamaan ini terjadi pada tampilan luar ataupun  kepercayaan. Seseorang cenderung membantu orang lain yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan dirinya.
 c. Faktor Personal
1) Sifat-sifat Kepribadian Para peneliti kepribadian telah melakukan penelitian bagaimana sifat kepribadian dalam mempengaruhi altruisme. Pertama, ditemukannya perbedaan individual dalam perilaku menolong dan terlihat bahwa perbedaan-perbedaan tersebut bertahan sepanjang waktu dan dikenali oleh rekan-rekan dari orang tersebut (Hampson dkk., dalam Myers, 2012). Kedua, para peneliti menemukan bahwa seseorang yang memiliki emosi positif yang tinggi, empati, dan efikasi diri adalah orang yang yang paling besar kemungkinan memiliki perhatian dan bersedia memberikan bantuan (Einsberg dkk., dalam Myers, 2012). Ketiga, kepribadian mempengaruhi bagaimana orang tertentu bereaksi terhadap situasi-situasi tertentu Carlo dkk., dalam Myers 2012). Seseorang yang memiliki pemantauan diri yang tinggi akan bergantung pada harapan orang lain, sehingga akan cenderung lebih penolong karena berpikir bahwa perilaku menolong akan mendapatkan imbalan secara sosial (White & Gerstein, dalam Myers, 2012). 2) Jenis Kelamin (Gender) Alice Eagly dan Maureen Crowly (dalam Myers, 2012) menjelaskan bahwa ketika menghadapi situasi-situasi yang berpotensi menimbulkan bahaya ketika ada seseorang yang mebutuhkan bantuan 19 para pria lebih sering memberikan bantuan pada situasi seperti ini. Sedangkan pada situasi-situasi yang lebih aman, para wanita cenderung memberikan bantuan pada situasi-situasi tersebut. Oleh karena itu, perbedaan gender ini tergantung pada situasi yang ada. Jika dihadapkan pada masalah seorang teman, para wanita akan merespons dengan empati yang lebih besar dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menolong (George dkk., dalam Myers, 2012). 3) Religiusitas Batson (dalam Zhao, 2012) mengatakan bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi altruisme. Semua ajaran-ajaran agama besar secara eksplisit mendorong altruisme, oleh karena itu semakin kuat keyakinan agama seseorang maka semakin tinggi altruisme seseorang. Sejalan dengan Batson, Steefen & Masters (dalam Myers, 2012) mengatakan bahwa empat agama terbesar di dunia yaitu Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha semuanya mengajarkan tentang kasih sayang dan beramal. Dalam semua agama-agama ini, menjadikan altruisme sebagai salah satu tujuan yang penting bahkan menjadi yang utama. Harapannya adalah agama harus membantu setiap individu untuk mencapai altruisme (Midlarsky, 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Shah & Ali (2012) sebagian besar agama mendorong adanya altruisme. Agama dapat membawa seseorang untuk berperilaku tanpa pamrih, berbelas kasih, dan bermurah hati. Maka melalui agama dapat menumbuhka altruisme. 20 Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi altruisme menurut Myers yaitu faktor internal, faktor situasional, dan faktor personal. Faktor iternal meliputi imbalan (reward) dan empati. Faktor situasional meliputi jumlah pengamat, membantu ketika orang lain juga membantu (ada model), tekanan waktu, dan adanya kesamaan. Faktor personal meliputi sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas.

Aspek-aspek Altruisme (skripsi dan tesis)

Myers (2012) menjelaskan bahwa altruisme memiliki 3 aspek, antara lain:
 a. Memberikan perhatian terhadap orang lain Seseorang memberikan bantuan kepada orang lain karena adanya rasa kasih sayang, pengabdian serta kesetiaan yang diberikan, tanpa ada keinginan untuk memperoleh imbalan untuk dirinya sendiri. b. Membantu orang lain Seseorang yang memberikan bantuan kepada orang lain disadari oleh keinginan yang tulus dan dari hati nuraninya, tanpa ada yang meminta ataupun mempengaruhinya untuk menolong orang lain. c. Meletakkan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri sendiri Dalam memberikan bantuan kepada orang lain, kepentingan yang bersifat pribadi akan dikesampingkan dan lebih mementingkan kepentingan orang lain.
Sementara itu Leeds (Taufik, 2012) menjelaskan bahwa suatu tindakan pertolongan dapat dikatakan altruisme jika memenuhi kriteria, yaitu: a. Memberikan manfaat bagi orang yang ditolong atau berorientasi untuk kebaikan orang yang akan ditolong, karena bisa jadi seseorang berniat menolong, namun pertolongan yang diberikan tidak disukai atau dianggap kurang baik oleh orang yang ditolong. b. Pertolongan yang telah diberikan berproses dari empati atau simpati yang selanjutnya menimbulkan keinginan untuk menolong, sehingga tindakannya itu dilakukan bukan karena paksaan melainkan secara sukarela diinginkan oleh yang bersangkutan.  c. Hasil akhir dari tindakan itu bukan untuk kepentingan diri sendiri, atau tidak ada maksud-maksud lain yang bertujuan untuk kepentingan si penolong. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek altruisme menurut Myers meliputi memberikan perhatian kepada orang lain, membantu orang lain, dan meletakkan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri sendiri.
 Sementara itu menurut Leeds aspek-aspek altruisme meliputi memberikan manfaat bagi orang yang ditolong atau berorientasi untuk kebaikan orang yang akan ditolong, pertolongan yang diberikan berproses dari empati, dan hasil akhir dari tindakan itu bukan untuk kepentingan diri sendiri. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek altruisme dari Myers, karena aspek yang dibuat lebih detail sehingga memudahkan peneliti dalam pembuatan instrumen pengumpulan data. Selain itu, teori ini juga telah digunakan dalam beberapa penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Afivah (2016).

Pengertian Altruisme (skripsi dan tesis)

Myers (2012) mendefinisikan altruisme adalah motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri. Altruisme adalah kebalikan dari egoisme. Orang yang altruis peduli dan mau membantu orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau tidak mengharapkan imbalan. Pendapat lain dikemukakan oleh Baron & Byrne (2005) yang menyatakan bahwa altruisme yang sejati adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain. Selain itu, Santrock (2003) mendefinisikan altruisme adalah minat yang tidak mementingkan dirinya sendiri untuk menolong orang lain. Altruisme diartikan oleh Aronson, Wilson, & Alkert (Taufik, 2012) sebagai pertolongan yang diberikan secara murni, tulus, tanpa mengharap balasan apapun dari orang lain dan tidak memberikan manfaat apapun untuk dirinya. Selain itu, Schroeder, Penner, Dovidio, dan Pilavin (Taylor, dkk., 2009) menyatakan bahwa altruisme adalah tidakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih, atau sekedar ingin beramal baik. Comte (Taufik, 2012) menjelaskan bahwa altruisme berasal dari kata “alter” yang artinya “orang lain”.
Secara bahasa altruisme adalah perbuatan yang berorientasi pada kebaikan orang lain. Comte membedakan antara  perilaku menolong yang altruis dengan perilaku menolong yang egois. Menurutnya dalam memberikan pertolongan, manusia memiliki dua motif, yaitu altruis dan egois. Perilaku menolong yang egois tujuannya mencari manfaat untuk diri sendiri (penolong) atau mengambil manfaat dari orang yang ditolong, sedangkan perilaku menolong yang altruis yaitu perilaku menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong, selanjutnya Comte menyebut perilaku menolong ini dengan altruisme. Sementara Batson (Taufik, 2012) mengartikan altruisme yang tidak jauh berbeda dengan Comte yaitu dorongan menolong dengan tujuan utama semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain, sedangkan egoisme yaitu dorongan menolong dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan dirinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa altruisme merupakan motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri. Orang yang altruis peduli dan mau membantu orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau tidak mengharapkan imbalan

Penilaian Kualitas Hidup menurut Kidney Disease Quality of Life Short Form (skripsi dan tesis)

 Kidney Dissease Quality of Life Short Form 36 terdiri dari 36 pertanyaan yang akan mengukur delapan dimensi yang terkait dengan kualitas hidup yanitu fungsi fisik yang terdiri dari 10 pertanyaan, masalah fisik terdiri dari 4 pertanyaan, rasa nyeri terdiri dari 5 pertanyaan, fungi sosial terdiri dari 2 pertanyaan, energi terdiri dari 4 pertanyaan, peranan emosi terdiri dari 3 pertanyaan dan kesehatan mental terdiri dari 5 pertanyaan (Ware et al, 1993 dalam Arde Yani, Fitri Ika, 2010). Delapan dimensi tersebut dapat dikumpulkan menjadi dua komponen besar yaitu komponen fisik dan komponen mental. Skor SF 36 berkisar antara 0-100 dimana semakin tinggi skor menunjukkan semakin baiknya kualitas hidup terkait kesehatan pasien (Ware et al, 1993 dalam Arde Yani, Fitri Ika, 2010). Dan 42 penghitungan hasil skor kualitas hidup berasarkan SF 36 menggunakan daftar nilai. Untuk skor akhir, dilakukan perhitungan rata-rata pada masing-masing pertanyaan yang menunjukkan dimensi yang diwakilinya sehingga akan menunjukkan skor masing-masing dimensi yaitu dimensi fungsi fisik, keterbatasan fisik, rasa nyeri, kesehatan umum, fungsi sosial, energi, keterbatasan emosi dan kesehatan mental (RAND, 2009 dalam Arde Yani, Fitri Ika, 2010). 1. Fungsi fisik (Physical Functioning) Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas seperti berjalan, menaiki tangga, mengbungkuk, mengangkat, dan gerak badan. Nilai rendah menunjukkan keterbataan akibat tersebut, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan melakukan semua aktivitas fisik termasuk latihan berat 2. Keterbatasan akibat masalah fisik (Role of Physical) Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar kesehatan fisik mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik menimbulkan masalah terhadap aktivitas sehari-hari, antara lain tidak dapat melakukannya dengan sempurna, terbatas dalam melakukan tertentu atau kesulitan didalam melakukan aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan kesehatan fisik tidak menimbulkan masalah terhadap pekerjaan atau aktivitas sehari-hari. 3. Perasaan sakit/nyeri (Bodily Pain) 43 Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas nyeri dan pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal baik didalam maupun luar rumah. Nilai yang rendah menunjukkan tidak ada keterbatasan yang disebabkan oleh rasa nyeri. 4. Persepsi kesehatan umum (General Health) Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan saat ini, ramalan tentang kesehatan dan daya tahan terhadap penyakit. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan terhadap keehatan diri sendiri yang memburuk. Nilai yang tinggi menunjukkan persepsi teradap kesehatan diri yang baik. 5. Energi/fatique (Vitality) Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan, capek dan lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, capek dan lesu sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh semangat dan berenergi. 6. Fungsi sosial (Social Functioning) Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik atau masalah emosional yang mengganggu aktivitas sosial normal. Nilai yang rendah menunjukkan gangguan yang sering, nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya gangguan. 7. Keterbatasan akibat masalah emosional (Role Emotional) Terdiri dari 3 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat emosional yang mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-harinya. Nilai yang rendah menunjukkan masalah emosional yang mengganggu aktivitas 44 termasuk menurunnya waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas, pekerjaan menjadi kurang sempurna, dan bahkan tidak dapat bekerja seperti biasanya. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya gangguan aktivitas akibat masalah emosional. 8. Kesehatan mental (Mental Health) Terdiri dari 5 pertanyaan yan mengevaluasi kesehatan mental secara umum termasuk depresi, kecemasan, dan kebiasaan mengontrol emosional. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan tegang dan depresi sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan tenang, bahagia, dan penuh kedamaian.

Pemberian skor kuesioner didasarkan pada jawaban responden dalam memilih 46 respon. Berikut merupakan penjelasan cara pemberian skor pada kuesioner SF-36: 1. Dimensi fisik terdapat 10 pertanyaan yaitu pada nomer 3,4,5,6,7,8,9, 10, 11, 12. Pada setiap item tersebut apabila responden menjawab respon 1 yaitu sangat membatasi diberikan skor 0, respon 2 yaitu sedikit membatasi diberikan skor 50, respon 3 yaitu tidak membatasi diberikan nilai 100. 2. Dimensi keterbatasan akibat masalah fisik terdapat 4 pertanyaan yaitu pada nomer 13, 14, 15, 16. Pada setiap item pertanyaan apabila responden menjawab respon 1 yaitu “ Ya” diberikan skor 0, sedangkan bila menjawab respon 2 yaitu “Tidak” diberi skor 100. 3. Dimensi perasaan sakit/nyeri terdapat 2 pertanyaan yaitu pada nomer 21 dan 22. Pada soal no 21 apabila responden menjawab pilihan respon 1 yaitu tidak ada nyeri diberikan skor 100, respon 2 yaitu nyeri sangat ringan diberikan skor 80, respon 3 yaitu nyeri ringan diberikan skor 60, respon 4 yaitu nyeri sedang diberikan skor 40, respon 5 yaitu nyeri sekali diberikan skor 20, respon 6 yaitu sangat nyeri sekali diberikan nilai 0. Pada soal no 22 apabila responden menjawab respon 1 diberikan skor 100, respon 2 diberikan skor 75, respon 3 diberikan skor 50, respon 4 diberikan skor 25 dan respon 5 diberikan skor 0. 47 4. Dimensi persepsi kesehatan secara umum terdapat 6 pertanyaan yaitu soal nomer 1, 2, 33, 34, 35, 36. Pada soal noer 1, 2, 34 dan 36 apabila responden menjawab pilihan respon 1 maka diberikan skor 100, respon 2 diberikan kor 75, respon 3 diberikan skor 50, respon 4 diberikan skor 25 dan respon 5 diberikan skor 0. Sedangkan untuk nomer 33 dan 35 pemberian skor respon adalah sebaliknya. 5. Dimensi energi terdapat 4 pertanyaan yaitu soal nomer 23, 27, 29, 31. Pada setiap item pertanyaan apabila responden menjawab respon 1 diberikan skor 100, respon 2 diberikan skor 80, respon 3 diberikan skor 60, respon 4 diberikan skor 40, respon 5 diberikan skor 20 dan respon 6 diberikan skor 0. 6. Dimensi fungsi fisik sosial terdapat 2 pertanyaan yaitu soal nomer 20 dan 32. Pada soal nomer 20 apabila responen memilih respon 1 diberikan skor 100, respon 2 diberikan skor 75, respon 3 diberikan skor 50, repon 4 diberikan 25 dan respon 5 diberikan kor 0. Sedangkan soal nomer 32 pemberian skor sebaliknya. 7. Dimensi keterbatasan akibat masalah emosional terdapat 3 pertanyaan yaitu soal nomer 17, 18, 19. Pada setiap item pertanyaan apabila responden mmemmilih respon 1 yaitu “Ya” diberikan skor 0 sedangkan bila respon 2 yaitu “Tidak” diberikan skor 100. 48 8. Dimensi kesehatan mental terdapat 5 pertanyaan yaitu soal nomer 24, 25, 26, 28, 30. Pada setiap item pertanyaan apabila responden memiliki respon 1 maka diberikan skor 100, respon 2 diberikan skor 80, respon 3 diberikan skor 60, respon 4 diberikan skor 40, respon 5diberikan skor 20 dan respon 6 diberikan skor 0. 2. Menentukan skor pada setiap dimensi Setelah respon responden dikonversikan kedalam bentuk skor, maka skor yang didapat pada masing-masing dimensi kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai yang secara keseluruhan. Kemudian, menentukan rata-rata nilai tiap responden. Setelah itu merata-ratakan jumlah rata-rata nilai masing-masing responden (RAND, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup (skripsi dan tesis)

Kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya oran tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas merupakan sesuatu yang bersifat subyektif Nurchayati, Sofia (2010). Menurut Yuliaw (2009) dalam Agustiawan dan Siregar (2013) kualitas hidup di pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
 1. Usia
Usia menentukan kerentanan individu terhadap penyakit. Pada umumnya kualitas hidup cenderung menurun dengan meningkatnya umur. Pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis yang berusia lebih muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pasien yan berusia tua karena kondisi fisik pasien yang lebih baik. Penderita yang dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh karena memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi sementara pasien yang lebih tua cenderung menyerahkan keputusan kepada keluara atau anak-anaknya, selain itu kebanyakan pasien yang berusia lanjut memiliki motivasi yang rendah dalam menjalani hemodialisis. Usia juga berkaitan dengan prognosa penyakit dan harapan hidup pasien yang berusia diatas 55 tahun memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi yang memperberat fungsi ginjal dibandingkan paien yan berusia dibawah 40 tahun 37 Indonesiannursing, (2008) dan Siregra, (2013).
Menurut Harlock, (1998), usia dibagi menjadi 3 yaitu:
 a. Masa dewasa awal yaitu 18-40 tahun
Masa dewasa awal secara biologis merupakan masa puncak pertumbuhan fisik yang prima dan usia tersebut dari populasi manusia secara keseluruhan. Pada masa dewasa awal ini perkembangan fisik mengalami degradasi sedikit demi seikit mengikuti umur seseorang menjadi lebih tua. Sedangkan secara segi emosional, dewasa awal adalah masa dimana motivasi untuk meraih sesuatu sangat besar yang didukung kekuatan fisik yang prima.
b. Masa dewasa madya, yaitu 40-60 tahun
Masa usia dewasa madya diartikan sebagai suatu masa menurunnya keterampilan fisik dan pikologis. Pada tahap dewasa madya aspek fisik seseorang mulai melemah, terasuk fungsi alat indra ( terutama indera pendengaran dan penglihatan) serta mengalami penyakit tertentu yang sebelumnya belum pernah dialami. Akibat perubahan fisik yang semakin melemah, akan berpengaruh terhadap peran dan fungsinya di masyarakat menyebabkan menurunnya interaksi. Secara kognitif usia dewasa madya mengalami penurunan kemampuan mengingat, berfikir, dan mekanisme yang memerlukan kecepatan dan keakuratan.
c. Masa dewasa lanjut yaitu 60 tahun ke atas 38
pada tahap ini ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan pikis seseorang (meliputi pendengaran, penglihatan, daya ingat, pola pikir serta interaksi sosial). Selain itu, pada tahap ini terjadi penurunan pertumbuhan dan reproduksi sel menyebabkan terjadi banyak kegagalan pergantian sel yang rusak sehingga menyebabkan proses penyembuhan terhadap suatu penyakit akan berjalan lebih lama. Secara kognitif, kecepatan memperoleh informasi mengalami penurunan serta ketidakmampuan mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatannya.
 2. Jenis kelamin
Satvik et al (2008) dalam Nurchayati, Sofia (2010) menyatakan bahwa secara nyata perempuan memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sedangkan Bakewell et al dalam Farida (2010) mengungkapkan perempuan mudah dipengaruhi oleh depresi karena berbagai alasan yang terjadi dalam kehidupannya, seperti mengalami sakit yang mengarah pada kekurangan kesempatan dalam semua aspek kehidupannya.
3. Pendidikan
Penderita yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Selain itu, pengetahuan atau kognitif merupakan  domain yang penting untuk terbentuknya tindakan, prilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak didasari pengetahuan (Notoadmojo, 2005). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka ia akan cenderung berprilaku poitif karena pendidikan yang diperoleh dapat meletakkan dasardasar pengertian dalam diri seseorang.
 4. Pekerjaan
Berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagian hidup digunakan untuk bekerja dengan berbagai urusan lingkungan yang berbeda (Budiarto dan Anggraini, 2002)..
5. Ekonomi
Sekarang yang mempunyai status sosial yang berkecukupan akan mampu menyediakan fasilitas yang ddiperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, individu yang status sosial ekonominya rendah akan mengalami kesulitan didalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunaryo, 2004).
 6. Lamanya menjalani terapi
 Pasien yang telah lama menjalani terapi hemodialisis maka akan semakin patuh dalam menjalani terapi karena pasien telah sapai paa taap enerima keadaanya. Selain itu mereka telah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang penyakit an pentingnya menjalani terapi hemodialisis.
 7. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada pasien hemodialisis meliputi terapi diet baik makanan maupun cairan serta medikasi. Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani terapi hemodialisis terkait efek uremia. Pembatasan asupan makanan dapat berupa pembatasan asupan nutrium, protein, kalium dan karbohidrat. Program retrikasi cairan bertujuan untuk meminimalkan risiko kelebihan cairan. Peberian medikasi pada pasien dengan hemodialisis harus dipertimbangkan dengan cermat dan dosis pemberian obat harus diturunkan aar karbohidrat ala arah dan jaringan tidak menjadi racun
. 8. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga dapat mempengaruhi kepuasan seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-hari termasuk kepuasan terhadap status kesehatannya. Memberikan perawatan kesehatan kepada keluarga merupakan hal yang paling dalam membantu mencapai suatu keadaan sehat hingga tingkat yang optimum. Moran, dkk (1997) dalam Nurchayati, Sofia (2010) menyatakan dukungan keluarga berpengaruh penting dalam pelaksanaan pengobatan berbagai penyakit kronis. Pada paien penyakit gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis, dukungan keluarga sangat berperan dalam meninkatkan kesehatan yang akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.
9. Kesehatan fisik
 Kesehatan fisik mempunyai beberapa dampak terhadap kualita hidup seseorang. Kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas tertentu dapat menjadi faktor mengikat atau menurunya kualitas hidup (Son at al, dalam Mailani, Fitri, 2015)
10. Kesehatan psikologis
 Depresi dan kecemasan merupakan gangguan psikologis yang paling sering dialami yang seseorang yang disebabkan karena gejala uremia, seperti kelelahan, gangguan tiur, menurunnya nafsu makan dan gangguan kognitif (Son, ae al, 2012 dalam Mailani, Fitri, 2015).

Model Konsep Kualitas Hidup (skripsi dan tesis)

 Kualitas hidup sangat berubungan dengan aspek/dominan yang dinilai meliputi fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Model konsep kualitas hidup dari WHOQol-Bref (The World Health Organization Quality of Life-Bref) mulai berkembang sejak tahun 1991. Instrumen ini terdiri dari 26 item pertanyaan yang terdiri dari 4 dimensi (Skevington et al, dalam Nurchayati, Sofia, 2010) yaitu: 1. Kesehatan fisik yang terdiri dari rasa nyeri, energi, istirahat tidur, mobilisasi, aktivitas, pengobatan dan pekerjaan. 2. Psikologis yang terdiri dari perasaan positif dan negatif, cara berfikir, harga diri, body image, spiritual. 3. Hubungan sosial terdiri dari hubungan individu, dukungan sosial, aktivitas seksual. 4. Lingkungan meliputi sumber keuangan, informasi dan keterampilan, rekreasi dan bersantai, lingkungan rumah, akses keperawatan kesehatan dan sosial, keamanan fisik, lingkungan fisik, transportasi.
Menurut lopes dan synder (dalam Edesia, 2008), kualitas hidup dibagi menjadi 4 dimensi, yaitu: a. Dimensi kesehatan fisik 1) Aktifitas sehari-hari 2) Ketergantungan obat dan bantuan medis  3) Energi dan kelemahan 4) Mobilisasi 5) Sakit dan ketidaknyamanan 6) Tidur dan istirahat 7) Kepastian kerja b. Dimensi kesejahteraan psikologis 1) Body image dan appearance, yaitu bagaiman cara individu memandang keadaan tubuh serta penampilannya. 2) Perasaan negatif 3) Perasaan positif 4) Sel-esteem yaitu bagaimana individu tersebut menilai atau menggambarkan dirinya sendiri. 5) Berfikir, belajar, memori, dan konsentrasi. c. Dimensi hubungan sosial 1) Relasi personal. 2) Dukungan sosial. 3) Aktifitas seksual. d. Dimensi hubungan dengan lingkungan 1) Sumber finansial. 2) Perawatan kesehatan dan sosial care. 3) Lingkungan rumah. 4) Kesempatan mendapatkan info baru dan keterampilan. 5) Kegiatan mengikuti rekreasi. 6) Lingkungan fisik. 7) Transportasi

Pengertian Kualitas Hidup (skripsi dan tesis)

Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai diman individu tersebut, dan berhubungan terhadap tujuan, harapan, standar dan keinginan (the world health organization Quality of life-bref). Nurcahyani, Sofia (2010) menyebutkan bahwa kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya orang tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas merupakan sesuatu yang bersifat subyektif. Terdapat dua komponen dasar dari kualitas hidup yaitu, subyektifitas dan multidimensi. Subyektifitas mengandung arti bahwa kualitas hidup lansia hanya dapat ditentukan dari sudut pandang klien itu sendiri dan ini hanya dapat diketahui dengan bertanya langsung kepada klien. Sedangkan multidimensi bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek biologis, psikologis, sosial dan lingkungan. Sedangkan Polinsky (2000) dalam Nurchayati, Sofia (2010) mengatakan bahwa untuk mengetahui bagaimana kualitas hidup seseorang maka apat diukur dengan mempertimbangkan status fisik, psikologis, sosial dan kondisi penyakit. Kualitas hidup menurut Wolrd Health Organktzation (WHO) adalah perspsi individu mengenai posisi individu dalam hidup dalam 34 konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang ditetapkan, dan perhatian seseorang (Silitonga, 2007).

Pemeriksaan penunjang Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Pada gagal ginjal kronik dapat dilakukan pemeriksaan salah satunya dengan ultrasonografi gagal ginjal. Ultrasonografi saat ini digunakan sebagai pemeriksaan rutin dan merupakan pilihan pertama pada penderita gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal tahap awal ukuran ginjal masih terbilang normal sedangkan pada gagal ginjal kronik ukuran ginjal pada umunya mengecil, dengan penipisan parenkim, peninggian ekogenitas parenkim dan batas kartikomedular yang sudah tidak jelas/mengecil. Ultrasonografi juga dapat digunakan   untuk menilai ukuran serta ada tidanya obstruksi ginjal (Andika 2003)

Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik (stage V) adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis. Penatalaksanaan tersebut meliputi penanganan konservatif, yaitu : 32 1. Menghambat perburukan fungsi ginjal/mengurangi hiperfiltrasi glomerulus dengan diet seperti pembatasan asupan protein dan fosfat. 2. Terapi farmakologis dan pencegahan serta pengobatan terhadap komplikasi, bertujuan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan memperkecil resiko terhadap penyakit kardiovascular seperti diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, asidosis, neuropati perifer, kelebihan cairan dan keseimbangan elektrolit (Price & Wilson 2005). Terapi pengganti ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialysis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal (Shahgholian et al. 2008).

Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Patofisiologi pada gagal ginjal kronik tergantung dari penyakit yang menyebabkannya. Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan dan penimbunan produksi sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun 30 kurang dari 25%, manifestasi gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron – nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang rusak meningkatkan laju filtrasi, reabsorbsi dan sekresinya serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring dengan semakin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron– nefron tersebut menglami kerusakan dan akhirnya mati. Siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan nefron – nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorbsi protein. Seiring dengan progesif penuyusutan dari nefron, akan terjadi pembentukan jaringan parut dan penurunan aliran darah ke ginjal (Corwin 2009). Uremia mengacu pada banyak efek yang dihasilkan dari ketidakmampuan untuk mengekskresikan produk dari metabolisme protein dan asam amino. Beberapa produk metabolisme tertentu menyebabkan disfungsi organ (Milner 2003). Efek multiorgan uremia juga disebabkan oleh gangguan dari berbagai metabolisme dan fungsi endokrin yang biasanya dilakukan oleh ginjal (Milner 2003). Dari urutan kejadian diatas akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis dan komplikasi pada seluruh sistem tubuh. Semakin banyak tertimbun sisa akhir metabolisme, maka gejala akan semakin berat. Klien akan merasa kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari–hari akibat timbulnya berbagai macam manifestasi klinis tersebut. Beberapa komplikasi yang ditimbulkan akan berpengaruh buruk terhadap kualitas hidup (Corwin 2009)

Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis)

Tanda dan gejala pada pasien gagal ginjal kronik dapat diklasifikasikan sesuai denga derajatnya. Berikut adalah tanda dan gejala gagal ginjal kronik (Black & Hawks dikutip dalam Nurchayati 2010). a. Derajat I Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitas hasil tes laboratorium dan tanpa manifestasi klinis . b. Derajat II Umumnya asimptomatik, berkembang menjadi hipertensi dan munculnya nilai laboratorium yang abnormal. c. Derajat III Asimptomatik, nilai laboratorium menandakan adanya abnormalitas pada beberapa sistem organ. d. Derajat IV Munculnya manifestasi klinis penyakit ginjal kronik berupa kelelahan dan penurunan rangsangan. e. Derajat V Peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan anemia.

Etiologi GAgal Ginjal Kronik (skripsi dan tesis0

Beberapa penyakit yang dapat merusak nefron dapat mengakibatkan gagal ginjal yang kronik. Penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik adalah diabetes melitus yaitu sebesar 30%, hipertensi 24%, glomerulonhepritis 17%, chronic pyelonephritis 5% dan yang terakhir tidak diketahui penyebabnya sebesar 20% (Milner 2003).

Pengertian Gagal ginjal kronik (Skripsi dan tesis)

Pengertian Gagal ginjal kronik (chronic kidney disease adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit penyerta, akan terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang progresif (Corwin 2009).  The National Kidney Foundation (2002) mendefinisikan gagal ginjal kronik sebagai adanya kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat fungsi ginjal untuk jangka waktu tiga bulan atau lebih. Gagal ginjal kronik ini dapat dibagi lagi menjadi 5 tahap, tergantung pada tingkat keparahan kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Tahap 5 Chronic Kidney Disease (CKD) disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal (end stage renal disease / end stage renal failure). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi ginjal. Ginjal bekerja kurang dar 15% dari normal (Corrigan 2011). Gagal ginjal kronik (GGK) yang mulai perlu dialisis adalah penyakit ginjal kronik yang mengalami penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <15 mL/menit. Pada keadaan ini fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksin dalam tubuh yang disebut dengan uremia. Pada keadaa uremia dibutuhkan terapi pengganti ginjal untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin tubuh sehingga tidak terjadi gejala yang lebih berat (Cahyaningsih 2008).

Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan (skripsi dan tesis)

Friedman (1998), membagi 5 tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga yaitu: 1. Mengenal adanya gangguan kesehatan setiap anggotanya, 2. Mengambil keputusan untuk mengambil tindakan yang tepat, 3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit, cacat, maupun yang tidak sakit dan memerlukan bantuan, 4. Mempertahankan keadaan lingkungan keluarga yang dapat menunjang peningkatan status para anggotannya, dan 5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan