Brand Satisfaction

Secara umum menurut (Kotler and Keller, 2012 dalam Nyohardi, 2016)
mendefinisikan brand satisfaction adalah perasaan senang atau kecewa
seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang dihasilkan suatu
produk terhadap harapan atau ekspektasi mereka. Puas atau tidak puas bukan
merupakan emosi melainkan suatu hasil evaluasi dari emosi. Jika kinerja sesuai
dengan harapan maka konsumen akan merasa puas dan begitu pula sebaliknya.
Brand satisfaction atau kepuasan pelanggan merupakan hal yang sangat
penting untuk dicapai oleh produsen, karena konsumen yang tidak puas
terhadap barang atau jasa yang dikonsumsi akan mencari perusahaan lain yang
mampu memenuhi kebutuhannya. Bagi perusahaan yang berpusat pada
pelanggan, brand satisfaction merupakan tujuan dan sarana pemasaran, artinya
jika perusahaan meraih peringkat yang tinggi maka pelanggan mengetahui
brand mereka (Kotler and Keller, 2012).
(Zeithaml et al., 2009) mengemukakan beberapa faktor yang dapat
menentukan puas atau tidaknya konsumen diantaranya:
a. Product and service features
Kepuasan konsumen secara signifikan dipengaruhi oleh evaluasi atas fitur
produk atau jasa tersebut, contohnya harga dengan kualitas pelayanan dan
keramahan pemberi jasa.
b. Consumer Emotions
Suasana hati konsumen ketika mengkonsumsi produk atau jasa akan
mempengaruhi perasaannya, dan kemudian mempengaruhi persepsi kepuasan
atas produk dan jasa.
c. Attributes For Service Success Or Failure
Ketika pelanggan dikejutkan oleh hasil yang mereka dapat, mereka akan
mencari alasan dibalik hal itu, penilaian mereka dapat mempengaruhi kepuasan
mereka.
d. Perceptions of equity or fairness
Pelanggan akan membandingkan apakah mereka diperlakukan secara adil
dibandingkan pelanggan lain. Pikiran tentang keadilan adalah pusat persepsi
konsumen atas kepuasan terhadap produk dan jasa.
e. Other consumers, family members, and coworkers
Selain dipengaruhi oleh perasaan dan persepsi sendiri, kepuasan pelanggan
kadang juga dipengaruhi oleh orang lain, seperti anggota keluarga dan
pelanggan lain.
Menurut (Kotler and Keller, 2012 dalam Caecilia, 2013) kepuasan konsumen
diciptakan melalui kualitas, pelayanan, dan nilai. Berikut adalah uraiannya:
f. Kualitas
Kualitas mempunyai hubungan erat dengan kepuasan konsumen. Kualitas
akan mendorong konsumen untuk menjalin hubungan yang erat dengan
perusahaan. Dalam jangka panjang, ikatan ini memungkinkan perusahaan untuk
memahami harapan dan kebutuhan konsumen. Kepuasan konsumen pada
akhirnya akan menciptakan loyalitas konsumen kepada perusahaan yang
memberikan kualitas yang memuaskan mereka.
g. Pelayanan konsumen
Pelayanan konsumen tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan dan
keluhan konsumen mengenai suatu produk atau jasa yang tidak memuaskan
mereka, namun lebih dari pemecahan yang timbul setelah pembelian.
h. Nilai
Nilai yang dirasakan konsumen adalah selisih antara jumlah nilai konsumen
dengan jumlah biaya konsumen. Jumlah nilai konsumen adalah sekelompok
manfaat yang diharapkan dari produk dan jasa. Jumlah biaya konsumen
adalah sekelompok biaya yang digunakan dalam menilai, mendapatkan,
menggunakan, dan membuang produk atau jasa

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keterlibatan Pelanggan

Faktor terpenting yang memengaruhi tingkat keterlibatan konsumen
adalah sebagai berikut
a) jenis produk yang menjadi pertimbangan
b) karakteristrik komunikasi yang diterima konsumen
c) karakteristrik situasi dimana konsumen beroperasi kepribadian
konsumen
Pada umumnya keterlibatan konsumen meningkat apabila produk
atau jasa yang menurut konsumen dapat dipertimbangkan, produk yang
dapat diterima secara sosial, dan memiliki risiko pembelian.

Customer Brand Engagement

Dalam beberapa tahun terakhir, “beberapa sarjana dalam ranah pemasaran
telah menunjukkan minat mereka dalam keterlibatan dan mereka telah
mengedepankan konsep keterlibatan pelanggan” (Zhang et al., 2017). Ada
berbagai konseptualisasi keterlibatan dan berbagai definisi keterlibatan
pelanggan yang telah diusulkan oleh para sarjana pemasaran (Thakur, 2016).
Menurut (Peter & Olson 2013: 84) Keterlibatan adalah motivasi yang memberi
energi dan mengarahkan proses kognitif, afektif konsumen dan perilakunya saat
mengambil keputusan. (McKechine, 2012), keterlibatan adalah tingkat
kepentingan pribadi yang dirasakan dan minat yang dibangkitkan oleh stimulus
di dalam situasi yang spesifik hingga jangkauan kehadirannya, konsumen
bertindak dengan sengaja untuk meminimalkan resiko dan memaksimalkan
manfaat yang diperoleh dari pembelian dan pemakaian. (King dan Spark, 2014)
mendefinisikan customer engagement sebagai kegiatan pemasaran yang
berorientasi pada perilaku dan psikologis konsumen. Keterlibatan konsumen
adalah tindakan yang dilakukan konsumen terhadap respon yang diberikan
pemasar/produsen yang ditunjuk untuk meminimalkan resiko dan
memaksimalkan keuntungan atau manfaat atas pembelian produk. Pemasaran
keterlibatan pelanggan dipandang sebagai “upaya sengaja yang di lakukan oleh
perusahaan untuk memotivasi, memberdayakan, dan mengukur kontribusi
sukarela pelanggan untuk fungsi pemasarannya, di luar transaksi inti, ekonomi
(yaitu keterlibatan pelanggan)” (Harmeling et al., 2017, hal. 312 dalam John
paul et al., 2018 ).Customer Brand Engagement adalah paradigma yang
beragam tetapi terkait dengan berbagai gagasan pemasaran yang mencakup
partisipasi, afinitas, interaktivitas, dan aliran yang dipandang sebagai anteseden,
sementara pengalaman merek, kepuasan merek, loyalitas merek, komitmen,
kepercayaan, dan nilai pelanggan diamati sebagai kemungkinan hukuman dari
Customer Brand Engagement (Hollebeek, 2011a).
Hubungan engagement secara intens antara pelanggan dan perusahaan dapat
mempengaruhi kepuasan pelanggan, berdasarkan pada tingkat interaksi
hubungan dan emosional yang dirasakan pelanggan (Sashi, 2012 dalam Evi,
2015)

Metode ADDIE

Penelitian ini menggunakan metode ADDIE untuk membuat
sebuah perancangan desain game berbasis Android. Berikut merupakan
diagram metode ADDIE [15] :
Metode ADDIE merupakan proses berulang dimana setiap langkah
dapat menyarankan perbaikan ke langkah sebelumnya. Atribut ini
mendorong perancang untuk melacak kemajuan instruksional dan
mengevaluasi apakah hasilnya memenuhi tujuan pembelajaran[16]. Model
penelitian Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation
(ADDIE) tersebut menjelaskan 4 poin, yaitu :
1. Analysis, pada fase ini pembuat menetapkan tujuan pembelajaran.
Hasil tama pada fase ini adalah tujuan pembelajaran yang spesifik
mulai dari pengetahuan, keterampilan serta kemampuan apa yang
harus diperoleh oleh pengguna. Pada tahap ini juga memerlukan
sumberdaya yang tersedia sebagai penunjang pembelajaran seperti
kompetensi dasar, karakteristik siswa, serta metode pembelajaran apa
yang digunakan sebelumnya.
2. Design, langkah ini digunakan untuk mengukur apakah tujuan
pembelajaran sudah sesuai serta metode pembelajarn yang digunakan
mencapai tujuan pembelajaran.
3. Development, fase ini menghasilkan kerangka pembelajaran yang
paling tepat, serta bahan apa yang digunakan, dan materi yang akan
memenuhi tujuan pembelajaran.
4. Implementation, pada tahap ini desain diberikan kepada siswa untuk
diuji coba. Kegunaan utama tahap ini adalah dalam melaksanakan
proses pembelajaran.
5. Evaluation, pada fase terakhir, pencipta menilai pencapaian tujuan
pembelajaran, efisiensi metode yang digunakan, permasalahan dalam
perancangan, serta adakah pembaharuan pada rancangan yang telah
dibuat sebelumnya

Seni Budaya dan Keterampilan

Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) merupakan sebuah pelajaran
estetika yang bertujuan untuk membentuk karakter siswa sehingga
memiliki rasa seni dan pemahaman mengenai budaya Indonesia.
Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) terdapat pada
kurikulum 2006. Tahun 2013 berganti nama menjadi Seni Budaya dan
Prakarya (SBdP). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
memberikan pembelajaran seni pada tingkat pendidikan SD/MI dan
mencakup beberapa sub bidang seperti seni rupa, seni musik, seni tari, dan
keterampilan seni. Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK)
disusun secara sistematis dengan harapan dapat meningkatkan kecerdasan
moral siswa.[14

Pendidikan

UU No. 20 RI 2001, pendidikan adalah lingkungan serta proses
belajar yang memungkinkan siswa dengan aktif mengambangkan potensi
dirinya sehingga dapat meningkatkan harga diri, disiplin diri, kepribadian,
kecerdasan, dan keluhuran budi. Usaha yang disengaja untuk menciptakan
kepribadian dan kemampuan yang diperlukan bagi masyarakat bangsa, dan
Negara. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang memiliki
sikap dinamis dan prospektif serta berpatokan dengan budaya Indonesia
sehinga merupakan perpaduan yang tepat bagi bangsa Indonesia yang
secara keseluruhan mengandung wawasan kebudayaan, kebangsaan, dan
kemajuan[13].
Berdasarkan pandangan Ki Hajar Dewantara bahwa sebuah proses
pendidikan dapat berjalan dengan baik maka proses pembelajaran serat
bimbingan guru terhadap anak murid menjadi hal yang sangat penting,
sehingga pendidikan yang dijalankan akan berjalan dengan lancar untuk
menciptakan siswa menjadi manusia yang berpengalaman ketika terjun
secara langsung menjadi anggota masyaraka

Android

Android merupakan sebuah Operating System (OS) paling popular
didunia di terbitkan pada tahun 2003. Android diperuntukkan untuk
ponsel, tablet serta gadget yang mendukung.android berfungsi sebagai alat
untuk berinteraksi antara user dengan gadget[12].

Game Edukasi

Education games yaitu game yang dirancang guna memberikan
sebuah pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan daya pikir dan
konsentrasi pengguna. Pemanfaatan game sebagai media pembelajaran
menawarkan bentuk pembelajaran secara langsung dengan cara learning
by doing, yaitu model pembelajaran yang dilakukan oleh pengguna untuk
menyelesaikan tantangan yang ada dalam sebuah permainan tersebut[11]

Gamification

Gamifikasi merupakan penerapan elemen game dan prinsip game
dalam konteks non-game sehingga membuatnya lebih menarik serta
menyenangkan bagi pengguna. Umpan balik pada aktivitas dapat
memotivasi pengguna[9]. Gamifikasi menggunakan elemen game untuk
memotivasi pemain untuk meningkatkan sesuatu, seperti [10]:
1. Poin
Poin berfungsi untuk meningkatkan level pemain dan untuk
memperoleh hadiah. Jumlah poin yang didapat dapat menentukan
tingkat keberhasilan suatu level untuk melangkah ke level selanjutnya.
2. Lencana
Lencana merupakan sebuah emblem atau plangkat yang akan
diperoleh oleh pemain yang berhasil menyelesaikan sebuah misi atau
tantangan tertentu. Lencana berupa pita, tropi, atau lambing lainnya.
Pemain mendapatkan sebuah lencana ketika telah mencapai
keterampilan tertentu pada permainan.
3. Papan Peringkat
Papan peringkat digunakan untuk menampung nama-nama pemain
berdasarkan urutan peringkat mereka. Peringkat teratas didapat
berdasarkan tingkat kesuksesan mereka dalam bermain game. Papan
peringkat bersifal sementara yang artinya dapat berubah berdasarkan
kurun waktu tertentu.
4. Level
Level merupakan tingkat kesulitan dari sebuah permainan. Semakin
tinggi level yang dijalani berarti makin tinggi juga tingkat kesulitan
sebuah tantangan yang harus diselesaikan.
5. Hadiah/Reward
Hadiah merupakan sebuah pemberian ketika menyelesaikan atau
mencapai sesuatu yang dituju, biasanya hadiah digunakan untuk
meningkatkan motivasi pemain untuk terus lanjut bermain.
6. Storyline
Stroryline merupakan jalan cerita dari sebuah permainan. Jalan cerita
yang menarik dapat meningkatkan daya tarik pemain dari awal sampai
akhir permainan

Pengaruh Positif Customer Brand Engagement terhadap Customer Experience

Keterlibatan konsumen dengan merek memainkan peran penting dalam
pengalaman konsumen (Risitano et al., 2017) karena di lingkungan bisnis yang
kompetitif saat ini, menciptakan pengalaman yang berkesan dan emosional hubungan
dengan konsumen untuk mencapai loyalitas konsumen dan merek jangka panjang
sangat penting (Ilapakurti et al., 2017). Junaid et al., (2019) menyatakan bahwa
pelanggan yang memiliki sikap positif pengalaman dan tertarik pada merek lebih
mungkin untuk terlibat dengan merek. Bilro et al., (2019) menunjukkan bahwa
konsumen yang terlibat cenderung berinteraksi dan mempengaruhi merek.
Konsumen pengalaman dan perasaan memengaruhi cara mereka berbagi pandangan.
Pengalaman pelanggan dan keterlibatan pelanggan adalah dua proses yang
diperlukan dari keterlibatan merek pelanggan itu mendorong konsumen untuk
membeli kembali. Penelitian lain juga telah dilakukan pada keterlibatan dan
pengalaman. Khan et al., (2016) dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa customer
engagement dengan merek memberikan pengalaman merek online kepada pelanggan
dan pada akhirnya mengarah ke merek kepuasan dan loyalitas merek. Penelitian lain
telah mengkonfirmasi merek pelanggan itu engagement merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi Brand Experience (Risitano et al., 2017). Hepola et al. (2017)
menegaskan bahwa Brand Experience berhubungan langsung dengan Gamification
yang dimediasi oleh Customer Brand Engagement

Pengaruh Positif Gamification terhadap Customer Brand Engagement

Peneliti mencari yang efisien mekanisme yang dapat digunakan perusahaan
untuk menimbulkan dan mengelola keterlibatan konsumen. Saat ini, Gamification
tampaknya menjadi pendekatan baru yang ampuh untuk meningkatkan Customer
Brand Engagement (Xia dan Hamari, 2020). Gamification adalah hal baru dan
menarik cara untuk memperkuat hubungan konsumen untuk perusahaan dan merek
(Vitkauskait dan Gatautis, 2018). Eisingerich et al., (2019) sebagai jawaban atas
pertanyaan bagaimana gamifikasi mengintensifkan keterlibatan pelanggan,
menyatakan bahwa beberapa prinsip gamifikasi (sosial interaksi, rasa kontrol, tujuan,
mengejar kemajuan, penghargaan dan motivasi) mengarah pada peningkatan
keterlibatan pelanggan. Harwood dan Garry (2015) dalam penelitiannya,
mengkonfirmasi dampak positif gamifikasi pada keterlibatan pelanggan dengan suatu
merek. Lounis et al. (2013) menunjukkan bahwa elemen gamifikasi meningkatkan
keterlibatan konsumen dengan memberikan manfaat potensial dengan proses
pembelian konsumen. Secara umum, gamifikasi adalah cara inovatif untuk
meningkatkan keterlibatan merek pelanggan.

 Terdapat Pengaruh Positif Gamification terhadap Customer Experience

Villegas et al., (2019) dalam penelitiannya, menemukan bahwa Customer
Experience sebagai dasar untuk mengevaluasi pengguna perilaku, menekankan
pengaruh emosi, dan juga, Gamification merupakan faktor penting dalam
meningkatkan/memperbaiki pengalaman. Selain itu, Lee and Jin (2019) dalam
penelitiannya menunjukkan hal tersebut faktor efektif Gamification berhubungan
positif dan signifikan dengan Customer Experience. Liu dan Idris (2018) dalam penelitiannya, mengeksplorasi cara membangun model untuk mencapai pengalaman
pelanggan yang diinginkan melalui gamifikasi. Meskipun banyak penelitian empiris
telah dilakukan pada penerapan gamifikasi di e-commerce, masih terdapat
kesenjangan memahami bagaimana gamifikasi memengaruhi perilaku konsumen dan
pengalaman mereka (Hsu dan Chen, 2018).

Customer Experience

Brand adalah salah satu kompenen penting dalam melakukan bisnis.
Dengan adanya merek, konsumen akan dapat lebih mudah mengidentifikasi suatu
produk dari saingan lainnya. Konsumen juga menjadi lebih percaya dan yakin
terhadap produk yang memiliki merek. Menurut Kotler (2012) merek adalah nama,
istilah, tanda, simbol atau desain atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan
untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari satu penjual atau kelompok penjual
dan mendiferensiasikan produk atau jasa dari para pesaing.
Brand experience merupakan sensasi, perasaan, pemahaman, serta respon
sikap yang muncul akibat rangsangan yang termasuk dalam merek dan merupakan
bagian dari desain serta identitas merek, pengemasan, komunikasi, serta lingkungan
(Sahin et al., 2011). Menurut Smith & Hanover, (2016) Brand experience merupakan
anggapan atau perilaku kognitif serta respon emosional konsumen yang berhubungan
dengan merek termasuk produk, desain merek, kemasan, penjualan, pembelian serta
pengalaman lingkungan yang dibuat oleh perusahaan.
Brand experience merupakan pengalaman atau wawasan konsumen yang
terbentuk ketika berinteraksi dengan (Bilal, 2018). Brand Experience dibagi menjadi
empat dimensi tanggapan konsumen: sensorik, afektif, dan intelektual (Brakus et al
2009). Dimensi sensorik mendefinisikan aspek visual dan merek yang dirasakan oleh
sensorik konsumen (Hwang & Hyun, 2011). Karena dapat membangkitkan indera
peraba, penglihatan, pendengaran, dan penciuman konsumen, bagian estetis dari
sebuah merek menambah pengalaman indrawi (Brakus et al 2009). Selanjutnya,
dimensi afektif mendefinisikan segala macam pandangan tentang pengalaman

Customer Brand Engagement

Vivek et al., (2012) mendefinisikan engagement sebagai partisipasi individu
yang berhubungan dengan proses penawaran dan aktivitas perusahaan yang di ikuti
oleh konsumen. Menurut Brodie et al., (2013) Engagement adalah sarana bagi
konsumen untuk memberikan peluang dalam berkreasi secara bersamaan, konsumen
dapat berkontribusi pada kinerja perusahaan. Dengan demikian, konsumen dapat
menemukan hubungan dengan perusahaan yang akan memberikan keuntungan
kepada kedua belah pihak.
Menurut Van Doorn et al., (2010) mengatakan bahwa Engagement adalah
perilaku yang dilakukan perusahaan bertujuan untuk menghasilkan transaksi dengan
konsumen. Dan juga secara khusus dapat diartikan sebagai perwujudan dari perilaku
konsumen yang memiliki atau menaruh perhatian lebih terhadap produk atau layanan
perusahaan, perilaku tersebut dihasilkan dari motivasi dan persepsi konsumen satu
dengan lainnya (So et al., 2016).
Engagement merupakan proses psikologis yang dapat mengendalikan
loyalitas konsumen yang biasanya terfokuskan pada pengujian, pembentukan dan
pengembangan hubungan dengan konsumen (Fernandes dan Esteves, 2016). Bentuk
engagement atau hubungan konsumen yang lebih dalam pada perusahaan dan dapat digunakan oleh perusahaan untuk pembentukan dan perbaikan hubungan perusahaan
terhadap konsumen (Juric et al., 2013). Dengan demikian, Engagement merupakan
kecenderungan konsumen untuk ikut dilibatkan dalam perusahaan yang dapat
menghasilkan pembentukan perilaku konsumen yang loyal terhadap produk atau
layanan perusahaan.
Engagement dapat diartikan sebagai bentuk dukungan atau keterlibatan
konsumen dalam kegiatan perusahaan yang dapat ditawarkan melaui adanya kegiatan
kegiatan pada perusahaan yang dapat memberikan manfaat pada perusahaan (Auger
et al., 2010). Dengan melibatkan konsumen pada kegiatan perusahaan dapat
menghasilkan pembentukan perilaku konsumen untuk terus menggunakan produk
atau layanan perusahaan. Melalui perilaku tersebut yang dihasilkan dari terlibatnya
konsumen terhadap perusahaan dapat memberikan keuntungan terhadap perusahaan
(Jarvis et al., 2017).
Engagement merupakan aspek penting bagi perusahaan karena perannya yang
berfungsi sebagai alat untuk pembentukan, penjalinan dan perbaikan perusahaan
dengan konsumen dalam waktu jangka panjang ( Fernandes dan Esteves, 2016).
Terdapat beberapa aspek pada engagement, yaitu : kognitif, emosional, dan perilaku
yang dapat mempengaruhi pilihan konsumen dalam membeli produk atau jasa pada
perusahaan (Brodie et al., 2011). Engagement dapat mempengaruhi hubungan
pemasaran dan pengalaman konsumen dengan layanan yang diberikan atau produk
yang di tawarkan (Brodie et al., 2011).

Gamification

Munculnya generasi digital dan meningkatnya penggunaan smartphone telah
terjadi dianggap sebagai dasar gamifikasi (Lee dan Jin, 2019). Konsep gamifikasi
dan mekanismenya di lingkungan non-game telah menjadi praktik yang berkembang
pesat di bisnis (Yang et al., 2017), dengan sekitar 70% perusahaan global memiliki
setidaknya satu rencana permainan eksponensial (Harwood dan Garry, 2015). Pada
tahun 2017 pasar dunia nilai gamifikasi diperkirakan mencapai US$2,17 miliar dan
diperkirakan akan mencapai US$19,37 miliar pada tahun 2023 (Xi dan Hamari,
2020). Gamifikasi telah didefinisikan sebagai “penggunaan game elemen dan proses
berpikir serta mekanisme permainan untuk melibatkan pengguna dan
menyelesaikannya masalah” (Lee dan Jin, 2019). Dalam definisi lain, gamifikasi
diidentikkan dengan sistem menggunakan elemen desain game untuk konteks nongame untuk mengubah perilaku orang (Leclercq et al., 2020).
Sistem gamifikasi memiliki tujuan pendidikan dan motivasi dan digunakan
untuk berbagai aplikasi seperti pendidikan, kesehatan, perilaku organisasi dan
pemasaran (Nobre dan Ferreira, 2017). Perusahaan global, termasuk Amazon, Baidu,
Expedia dan Tencent, Samsung, Nissan, Microsoft (Hamid dan Kuppusamy, 2017),
Coca-Cola, Nike dan Magnum (Nobre dan Ferreira, 2017) memasukkan semua
elemen gamifikasi ke dalamnya strategi pemasaran (Hamid dan Kuppusamy, 2017).
Gamifikasi telah dianggap sebagai keuntungan bagi perusahaan bisnis seperti

Indikator Motivasi Belajar

Pengukuran motivasi belajar peserta didik didasarkan pada beberapa
indikator tertentu. Beberapa indikator tersebut menurut Uno (2014: 23) antara lain
adanya:
1. Penghargaan dalam belajar
2. Aktivitas yang menarik dalam belajar
3. Keinginan dan hasrat untuk berhasil
4. Harapan dan cita-cita yang hendak dicapai
5. Situasi belajar yang kondusif yang memungkinkan peserta didik belajar dengan
baik
6. Kebutuhan dan dorongan dalam belajar
Selain itu, Sadirman (2018:83) mengungkapkan bahwa indikator motivasi
belajar antara lain:
1. Ulet menghadapi kesulitan, yaitu ketika peserta didik tidak cepat putus asa
dalam mengatasi kesulitan yang tengah dihadapi serta ia bertanggung jawab
dalam melaksanakan kegiatan belajar dan keberhasilannya dalam belajar.
2. Tekun menghadapi tugas, yaitu ketika peserta didik mampu menyelesaikan apa
yang sudah ia mulai dan tidak meninggalkannya sebelum tugas tersebut selesai.
3. Cepat merasa bosan ketika dihadapkan dengan hal yang bersifat mekanis atau
tugas-tugas rutin yang membatasi kreativitasnya.
4. Dapat mempertahankan pendapatnya ketika sudah yakin akan sesuatu
5. Lebih senang bekerja mandiri, yaitu ketika siswa mengerjakan tugasnya tanpa
harus diperintah oleh siapapun.
6. Teguh pendirian, yaitu ketika peserta didik percaya dengan apa yang
dikerjakannya dan tidak mudah melepaskan apa yang sudah ia yakini.
7. Menunjukkan minat terhadap berbagai persoalan (seperti masalah ekonomi,
pemberantasan korupsi, dll), berani menghadapinya dan mencari jalan
keluarnya.
8. Senang mencari dan menyelesaikan soal-soal.
Sedangkan Menurut Tampubolon (2021), indikator motivasi belajar yaitu:
1. Kemauan siswa dalam belajar
2. Dorongan dan kebutuhan dalam belajar
3. Kegiatan pembelajaran yang menarik
4. Penghargaan dan lingkungan dalam belajar
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa indikator motivasi
belajar antara lain:
1. Adanya hasrat dan keinginan berhasil
2. Senang bekerja mandiri
3. Adanya penghargaan dalam belajar
4. Tekun dalam menghadapi tugas
5. Adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Motivasi belajar memiliki peran yang penting bagi peserta didik karena
dapat membuat peserta didik bersemangat untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pembelajaran dikelas. Rahmawati (2016) menyebutkan adapun faktor yang dapat
mempengaruhi motivasi belajar direduksi menjadi dua faktor antara lain:
3 Faktor internal yaitu faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik
seperti kondisi jasmani dan rohani, citacita atau aspirasi, kemampuan peserta
didik, perhatian dan lain-lain.
4 Faktor eksternal yaitu faktor yang bersumber dari luar diri peserta didik seperti
upaya guru membelajarkan peserta didik, fasilitas belajar dan kondisi
lingkungan di sekitar peserta didik.
Menurut Kompri (2016:232), motivasi belajar merupakan aspek psikologis
yang mengalami perkembangan, artinya dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dan
kematangan psikologis siswa. Beberapa faktor yang memperngaruhi motivasi
belajar yaitu:
1. Cita-cita dan keinginan peserta didik. Cita-cita memperkuat motivasi
peserta didik untuk belajar, baik secara internal maupun eksternal.
2. Keterampilan peserta didik keinginan seorang anak harus diimbangi
dengan kemampuan dan keterampilan untuk mewujudkannya.
3. Kondisi peserta, yang meliputi kondisi fisik dan psikis. Seorang siswa
yang sakit mengganggu belajar.
4. Kondisi lingkungan peserta didik. Lingkungan peserta didik dapat berupa
lingkungan alam, lingkungan hidup, pergaulan, dan kehidupan sosial.
Menurut Yudharsyah (2021), faktor yang mempengaruhi motivasi belajar
yaitu:
1. Intrinsik, adanya hastrat dan keinginan berhasil, adanya harapan dan cita-cita
masa depan.
2. Ekstrinsik, adanya lingkungan dorongan dan kebutuhan dalam belajar, adanya
penghargaan dalam belajar, adanya lingkungan belajar yang kondusif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi belajar adalah keterampilan yang berasal dari dalam dan
luar diri, serta keinginan belajar dan motivasi usaha masa depan

Fungsi Motivasi Belajar

Adanya motivasi belajar dapat mendorong peserta didik untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti motivasi belajar dapat mempengaruhi
keberhasilan belajar bagi peserta didik. Hamzah (2013) mengungkapkan bahwa
motivasi belajar sendiri memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1. Menentukan penguatan belajar. Motivasi dapat berperan dalam
meningkatkan belajar ketika seorang anak belajar menghadapi masalah
yang membutuhkan solusi yang hanya bisa diselesaikan melalui masalah.
2. Menentukan tujuan pembelajaran. Peranan motivasi dalam memperjelas
tujuan pembelajaran sangat erat kaitannya dengan tujuan pembelajaran.
Anak-anak tertarik belajar ketika mereka setidaknya tahu apa yang mereka
pelajari atau menikmatinya.
3. Penentuan ketekunan belajar. Seorang anak yang telah termotivasi untuk
mempelajari sesuatu berusaha untuk belajar dengan baik dan giat dengan
harapan mendapatkan hasil yang lebih baik.
Menurut Sulfemi (2018), menyebutkan bahwa fungsi motivasi belajar
antara lain:
1. Mendorong peserta didik untuk berbuat
2. Menentukan arah kegiatan pembelajaran yakni kea rah tujuan belajar yang
hendak dicapai
3. Menyeleksi kegiatan pembelajaran
Selain itu, Menurut Sanjaya (2020), fungsi motivasi belajar yakni:
1. Motivasi sebagai pendorong, pengarah, dan sekaligus sebagai penggerak
perilaku seseorang untuk mencapai suatu tujuan
2. Motivasi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi, karena secara
konseptual motivasi berkaitan dengan prestasi dan hasil belajar
3. Motivasi dapat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajar
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa fungsi
motivasi belajar adalah sebagai pendorong penggerak yang mengarah pada
perbuatan dan pencapaian prestasi sehingga peserta didik berusaha dan belajar
dengan tekun untuk memperoleh hasil yang baik

Pengertian Motivasi Belajar

Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan
daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar dan
memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh
subjek belajar dapat tercapai (Masni, 2015). Motivasi adalah perasaan internal
yang timbul dari kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas. Ketika beberapa
kebutuhan terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan lainnya, sehingga motivasi
merupakan sebuah proses yang terus berlangsung. Secara umum, motivasi
menggambarkan sikap positif individu dalam menghadapi lingkungan di
sekitarnya (Tampubolon & Sumarni, 2021).
Motivasi memiliki fungsi memberi energi dan mengarahkan. Istilah lain
untuk menunjukkan aspek atau kondisi motivasi tertentu yakni kebutuhan,
keinginan atau minat (Seven, 2020). Motivasi merupakan salah satu konstruk
yang umum dipelajari dalam berbagai riset mengenai gamifikasi (Hakim et al.,
2022). Motivasi berkaitan dengan menggunakan sejumlah keterlibatan peserta
didik dalam kegiatan di kelas seperti dorongan untuk melakukan sesuatu
berdasarkan tujuan tertentu, kebiasaan-kebiasaan, kebutuhan-kebutuhan dan
harapan tertentu (Nurul, 2020). Menurut Deci & Ryan (2012) motivasi merupakan
sesuatu yang dipelajari, namun dapat berkembang atau terhambat sebagai efek
dari lingkungan sosial manusia.
Motivasi belajar merupakan unsur yang sangat penting dalam proses
pembelajaran, karena tanpa disadari bahwa motivasi belajar dapat berpengaruh
dengan aktif dan pasifnya peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di
dalam kelas (Shelawati et al., 2022). Hamzah (2016:23) menuturkan bahwa
motivasi belajar ialah suatu dorongan yang muncul dari dalam maupun luar
peserta didik yang sedang belajar dengan tujuan untuk melakukan perubahan
tingkah laku dengan dukungan beberapa unsur atau indikator. (Hamzah B. Uno,
2016:23).
Selain itu, Suhana (2014:24) mendefinisikan motivasi belajar sebagai
driving force(daya pendorong), power motivation (kekuatan) atau generator
kemauan dan kesediaan yang kuat dalam diri peserta didik untuk belajar secara
aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan agar mengalami perubahan tingkah
laku baik secara afektif, kognitif mauun psikomotorik. Sedangkan menurut
Winkel (2012:59) motivasi belajar merupakan keseluruhan daya penggerakan
psikis di dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin
kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu
demi mencapai suatu tujuan. Sementara itu, menurut Astrid (2019), bahwa untuk
membentuk motivasi belajar akan dipengaruhi dari faktor keinginan yang ada
dalam dirinya sendiri seperti keinginan untuk berhasil maupun adanya rasa
kebutuhan dan faktor dari luar dirinya seperti dari lingkungan dan suasana belajar
yang membentuk sebuah keinginan untuk mendapatkan ilmu.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa motivasi belajar
adalah keseluruhan daya penggerak didalam diri peserta didik yang sedang belajar
untuk mengadakan perubahan tingkah laku dengan menimbulkan kegiatan belajar
demi mencapai suatu tujuan

Elemen Permainan

Model pembelajaran gamification ini memiliki beberapa elemen
permainan.
Menurut Jackson (2016) beberapa elemen permainan yang dapat digunakan dalam
model pembelajaran gamification antara lain:
1. Progression or Achievements
Progression atau Achievements adalah item yang memberikan kepuasan
lebih kepada pengguna setelah menyelesaikan tujuan tertentu. Ada
beberapa bagian dalam kemajuan seperti: hasil, lencana, level, papan
peringkat, bilah kemajuan, dan sertifikat.
2. Rewards
Rewards adalah hadiah yang diterima pengguna ketika mereka mencapai
tujuan yang ditetapkan dalam program. Penghargaan memberikan
motivasi tambahan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Contoh
reward adalah bonus, tambahan dan reward lain yang bisa dikumpulkan.
3. Story
Story adalah elemen di mana kemajuan pengguna diubah menjadi sebuah
cerita. Menambahkan cerita ke aplikasi dapat menumbuhkan pengguna
dan juga meningkatkan motivasi.
4. Menggunakan elemen waktu dapat mengurutkan aktivitas sedemikian
rupa sehingga mendorong pengguna untuk menyelesaikan tugas sebelum
waktu habis
5. Personalization
Personalization adalah elemen yang memungkinkan pengguna mengubah
profil pengguna, misalnya mengubah nama pengguna, mengubah pesan
status, dan lain-lain.
6. Microinteractions
Elemen microinteractions merupakan elemen yang memperhatikan detaildetail terkecil dalam aplikasi, seperti sound effect, toggles, animated
rollovers, dan easter eggs. Penambahan easter eggs dapat membuat
pengguna termotivasi dalam menemukan hidden information di dalam
aplikasi

Karakteristik Model Pembelajaran Gamification

Model pembelajaran gamification ini memiliki beberapa karakteristik.
Menurut Erin dkk., (2013), karakteristik model pembelajaran Gamification antara
lain:
1. Points, beberapa game membutuhkan poin pengalaman sebagai hadiah
atas tindakan baik atau buruk. Points dapat digunakan untuk menandai
peningkatan dan membuka kunci konten yang terkunci, dan bahkan dapat
bertindak sebagai mata uang yang dapat digunakan untuk membeli item
virtual yang diinginkan.
2. Badges atau lencana digital yang kita terima setelah berhasil
menyelesaikan tugas atau tantangan tertentu. Lencana dapat berupa pita,
penghargaan, atau simbol lainnya. Pemain biasanya diberikan lencana
yang mengukur kesuksesan dalam keterampilan khusus yang disebutkan
dalam game.
3. Leaderboards atau papan peringkat adalah daftar orang dengan skor
tertinggi atau poin terbanyak atau yang telah mencapai level yang lebih
tinggi. Dengan kata lain, papan peringkat adalah daftar pemain terbaik
berdasarkan performa mereka dalam permainan. Ini menunjukkan
perolehan poin sementara. Konsep yang sama biasanya digunakan dalam
situasi olahraga, tetapi lebih sering dalam permainan multipemain,
terutama yang dibatasi oleh waktu atau tugas tertentu. Peringkat
ditampilkan secara real time, jadi dapat mengetahui posisi. Dengan cara
ini tahu persis berapa banyak poin yang dimiliki, penempatan dan
pemimpin (peringkat pertama) dan poin yang diperoleh. Ada portal game
khusus bernama Game Center khusus untuk game yang dimainkan di
platform iOS. Fitur ini merupakan portal yang berisi history atau informasi
tentang game yang pernah dan sedang dimainkan. Karena mendukung
layanan online, dapat memesannya atau memeriksa peringkat di tingkat
global (dunia) atau kecil (nasional), yang informasinya dikirimkan melalui
GPS perangkat. Selain itu, bisa melakukan sinkronisasi dengan temanteman dalam satu game yang sama melalui aplikasi Facebook. Hasil dan
peringkat dapat dipasang di dinding Facebook sehingga dapat bangga
dengan hasil tersebut. Selain itu, bisa menerima komentar melalui
facebook yang tentunya sebagai bentuk pujian.
4. Levels adalah tingkatan atau tingkatan kesulitan. Semakin tinggi level
berarti semakin sulit dan kompleks tugas atau tugas yang harus dilakukan.
Level 1 harus diselesaikan jika kita ingin memainkan Level 2 (walaupun
ada beberapa game yang membatasinya menjadi beberapa level sekaligus).
Pada dasarnya ada fitur atau level tertentu yang unlocked dan tidak bisa
dimainkan jika kita belum menyelesaikan quest, misi atau level
sebelumnya.
5. Skenario (cerita dan tema) adalah cerita yang menghidupkan game. Ini
untuk membuat game lebih menarik dan senyata mungkin sehingga game
tertentu memiliki konteks tematik tertentu

Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Gamification

Model pembelajaran gamification ini memiliki beberapa kelebihan dan
kelemahan dalam menerapkannya. Menurut Jusuf (2016), kelebihan model
gamification dibandingan dengan model pembelajaran lain yakni:
1. Belajar jadi lebih menyenangkan
2. Mendorong peserta didik untuk menyelesaikan aktivitas pembelajarannya
3. Membantu peserta didik lebih fokus dan memahami materi yang sedang
dipelajari
4. Memberi kesempatan peserta didik untuk berkompetisi, bereksplorasi dan
berprestasi dalam kelas.
Sementara itu, Menurut Alfionita (2018), beberapa kelemahan dalam
menerapkan model pembelajaran gamification antara lain:
1. Pelaksanaan gamifikasi memerlukan waktu yang cukup lama karena dalam
proses pembelajaran, guru harus memberikan reward, menjelaskan tantangan,
serta mini games. Hal ini akan memakan banyak waktu di kelas.
2. Persiapan sebelum menerapkan gamifikasi juga memerlukan waktu dan proses
yang cukup panjang. Guru harus memikirkan langkah dan proses pelaksanaan
gamifikasi secara matang, menyiapkan reward, dan menguji coba model
pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, guru harus memiliki persiapan yang
matang saat akan menerapkan model pembelajaran gamifikasi di kelas. Jika
tidak, proses pembelajaran akan kurang maksimal dan dapat merusak peserta
didik secara psikologis.
3. Ketidakjelasan penjelasan pada peserta didik mengenai pemberian badge atau
reward dapat menyebabkan mereka hanya memandang proses pembelajaran
sebagai batu loncatan untuk mendapatkan reward, bukan sebagai upaya
memperoleh hasil pembelajaran yang bermakna. Oleh karena itu, penting bagi
tujuan pembelajaran untuk dapat dijelaskan dengan baik agar peserta didik
dapat memahaminya dengan baik.
Model pembelajaran gamifikasi memiliki kelebihan-kelebihan yang dapat
memberikan dorongan kepada peserta didik untuk lebih giat dan senang belajar
sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar. Namun, model ini perlu mengatasi
kelemahan-kelemahan yang ada agar dapat berjalan dengan baik

Manfaat Model Pembelajaran Gamification

Pembelajaran yang mendadaptasikan model pembelajaran gamification
dapat memberikan manfaat dalam pembelajaran itu sendiri. Menurut Suarini
(2019), gamification memberikan manfaat kepada peserta didik antara lain:
1. Penggunaan gamifikasi mendukung proses pembelajaran siswa di dalam
kelas. Hal ini disebabkan karena sistem memberikan poin, penilaian, dan
level kesulitan pada tugas yang dapat memberikan jaminan dan pemahaman
kepada siswa mengenai tujuan pembelajaran. Tingkat kesulitan pada tugas
dan mini-game yang diberikan juga menyediakan pendekatan bertahap
dalam menyelesaikan tugas oleh siswa. Sistem ini juga menyediakan tutorial
untuk membantu siswa dalam menyelesaikan tugas. Selain itu, penerapan
gamifikasi juga dapat meningkatkan motivasi, partisipasi, dan keterlibatan
siswa selama proses pembelajaran.
2. Memberikan tantangan dan kuis pada model pembelajaran gamifikasi juga
dapat meningkatkan minat siswa dengan tugas yang diberikan dan
mengurangi rasa bosan selama pelajaran.
3. Memberikan tantangan, kuis, dan hadiah dapat meningkatkan fokus,
ketekunan, dan kontribusi siswa dalam diskusi di kelas. Jika siswa fokus dan
aktif dalam setiap aktivitas di kelas, maka dapat meningkatkan nilai mereka.
4. Memberikan manfaat yang baik bagi kesehatan dan kebugaran siswa.
Memberikan mini-game dan diskusi kelas dapat membuat siswa menjadi
aktif selama proses pembelajaran di kelas.
Manfaat diatas apabila diterapkan dengan baik dengan memperhatikan
tujuan gamifikasi pembelajaran, maka pembelajaran lebih menyenangkan dan
tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Langkah-Langkah Penerapan Model Pembelajaran Gamification

Setiap model pembelajaran memiliki sintaks atau langkah-langkah sebagai
panduan dalam menerapkan model pembelajaran tersebut dengan baik dan benar.
Langkah-langkah tersebut dilaksanakan sebaik mungkin agar tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai. Ada beberapa langkah dalam model pembelajaran
gamification yang perlu diperhatikan. Model pembelajaran gamification memiliki
langkah-langkah yang perlu diperhatikan. Jusuf (2016) menyebutkan bahwa
langkah-langkah model pembelajaran gamification adalah sebagai berikut:
1. Tentukan tujuan pembelajaran
2. Tentukan ide besarnya
3. Susun skenario permainan
4. Buat desain aktivitas pembelajaran
5. Bentuk kelompok-kelompok
6. Terapkan dinamika permainan
Menurut Jusuf (2016), jika dijabarkan secara rinci, maka berikut ini
adalah langkah-langkah untuk melakukan model pembelajaran gamification
antara lain:
1. Bagi materi pelajaran menjadi beberapa bagian khusus dan berikan kuis di
akhir setiap bagian. Berikan lencana virtual sebagai hadiah kepada peserta
yang lulus kuis.
2. Pisahkan materi ke dalam level-level yang berbeda dan berjenjang, dan buka
level/jenjang yang lebih tinggi seiring dengan kemajuan siswa. Berikan
lencana kepada siswa setiap kali mereka naik ke level/jenjang yang lebih
tinggi.
3. Catat skor di setiap bagian untuk membantu siswa fokus pada peningkatan
skor secara keseluruhan.
4. Berikan reward seperti lencana, sertifikat, atau achievement yang dapat
dipampang di media sosial atau website internal sebagai balasan kepada
peserta yang menyelesaikan tugas dengan baik.
5. Buat jenjang/level yang sensitif terhadap tanggal atau waktu, sehingga siswa
harus mengecek setiap hari/minggu/bulan untuk mendapatkan tantangan
baru.
6. Bentuk kelompok tugas agar siswa dapat berkolaborasi dalam
menyelesaikan proyek.
7. Kenalkan konsep quest atau pemaknaan epik dan biarkan siswa
menyerahkan karya mereka yang dapat memperkuat norma belajar atau
kultural.
8. Beri insentif pada siswa untuk men-share dan memberikan komentar pada
pekerjaan temannya untuk mendorong budaya knowledge sharing.
9. Buat kejutan dengan memberikan hadiah bonus ekstra saat siswa berhasil
menyelesaikan tantangan baru.
10. Gunakan countdown pada kuis untuk menimbulkan tekanan buatan dan
membuat siswa menghadapi tantangan dengan batasan waktu.
11. Ambil lencana atau reward-nya jika siswa tidak lulus pada tantangan
tertentu.
12. Buat role-playing atau skenario pencabangan dalam e-learning yang tak
terbatas dan ulangi jika siswa tidak dapat menyelesaikannya.
13. Kenalkan karakter yang membantu dan menghalangi siswa dalam perjalanan
belajar.
14. Berikan fasilitas pada siswa agar mereka bisa menciptakan atau memilih
sebuah karakter untuk bermain selama belajar.
15. Tampilkan leaderboard untuk menunjukkan performa siswa lintas
departemen, geografi, dan spesialisasi untuk mendorong semangat
kompetisi dan kolaborasi.
Langkah-langkah tersebut adalah langkah-langkah utama dalam penerapan
model pembelajaran gamification dalam pembelajaran. Dalam penerapannya, guru
dapat melakukan modifikasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masingmasing.
Peneliti menggunakan model pembelajaran gamification menggunakan
aplikasi barcode scanner. Menurut Subadi (2020) pengguna Handphone dapat
dengan mudah mengakses informasi dengan dua langkah:
1. Scan QR Code atau Barcode
2. Lakukan aksi-aksi, bisa berupa membuka browser, menyimpan informasi
kontak. Atau mendial nomor yang ada di barcode tersebut.
Jika dijabarkan secara rinci, maka berikut ini adalah langkah-langkah untuk
melakukan model pembelajaran gamification menggunakan media barcode
scanner antara lain:
1. Memberi arahan kepada peserta didik untuk menghidupkan
Handphone/android yang dipunyai kemudian mengunduh aplikasi QR
Generator (QR Gen) atau QR Code Reader melalui playstore. Setelah semua
peserta didik men-download aplikasi QR Code Reader atau barcode scanner,
peneliti memberikan contoh cara mempergunakan aplikasi tersebut. Dengan
QR Gen atau QR Reader dapat mengubah tulisan, angka atau gambar serta
dokumen menjadi barcode code.
2. Selanjutnya untuk membaca barcode dengan menggunakan barcode scanner.
Dengan men-download QR Code Scanner and Generator maka aplikasi ini
sudah dapat dipergunakan untuk membuat barcode code dengan sekaligus
fasilitas untuk memindai atau membaca dan menyimpan hasil memindai
selanjutnya bisa dikirimkan ke media sosial seperti WA atau telegram atau
disimpan dalam penyimpanan bentuk lain.
3. Membuat soal kuis yang berkaitan dengan materi nantinya kebeberapa google
form dan dijadikan satu bagian di google drive. Kemudian pada setiap google
form disalin link soal tersebut dan membuat barcode
4. Membuat kartu kendali untuk memudahkan peserta didik sampai sejauh mana
telah mengerjakan misi sekaligus sebagai catatan mereka terkait berapa hasil
skor nilai yang mereka dapatkan pada masing-masing misi
Pada saat menerapkan model pembelajaran gamification menggunakan
beberapa alat bantu yang digunakan untuk mempermudah saat melaksanakan
kuis. Bahwa dalam menerapkan model ini diperlukan alat bantu diantaranya:
1. Seluruh peserta didik wajib membawa Handphone pada saat kegiatan
pembelajaran berlangsung
2. Semua soal dan kunci jawaban sudah diubah dalam barcode dan disimpan
dalam bentuk kertas
3. Kartu kendali kuis yang telah disiapkan dalam bentuk kertas
Bentuk permainan adalah sebagai berikut:
1. Barcode yang telah diprint kemudian diletakkan ditempat strategis yang ada
disekitar kelas
2. Kemudian peserta didik membawa buku untuk mencari jawaban kuis
3. Peserta didik menscanner barcode dengan menggunakan Handphone
4. Peserta didik menuliskan skor kuis kedalam kartu kendali kuis
Langkah-langkah tersebut adalah langkah-langkah dalam penerapan model
pembelajaran gamification dalam pembelajaran dengan menggunakan aplikasi
barcode scanner.

Pengertian Model Pembelajaran Gamification

Mendengar kata gamifikasi atau gamification, sudah bisa dipastikan yang
pertama terlintas merupakan kata dasar gamifikasi yaitu game. Menurut Dhais
Firmansyah (2020), Gamifikasi adalah implementasi komponen game ke dalam
domain pengetahuan lain (non-game), seperti Points, Badges, Scoreboard¸
dll. Menurut Rahmatullah (2021) Gamifikasi adalah proses penggunaan elemen
permainan yang dapat dikontrol dalam bidang tertentu, khususnya di bidang
pendidikan dengan tujuan agar lebih menarik, mudah dipahami dan kreatif,
dimana elemen permainan terkait dengan motivasi, partisipasi dan prestasi.
Sedangkan menurut Jusuf (2016), Gamification merupakan suatu konsep
yang digunakan dalam sebuah pemainan untuk memberikan motivasi kepada
peserta didik agar dapat berpikir secara kritis sehingga dapat menyelesaikan
masalah pada pembelajaran. Sementara itu menurut Sandusky (2018) gamifikasi
berarti elemen desain game (misalnya skor dan lencana) digunakan dalam konteks
non-game untuk mendorong interaksi pengguna. Kapp (2012) mendefinisikan
Gamification sebagai suatu konsep yang mekanismenya berbasis permainan,
tindakan yang memotivasi, estetika dan permainan berpikir untuk menarik
pembelajar, mempromosikan pembelajaran dan menyelesaikan masalah.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa gamification
adalah perancangan permainan yang digunakan untuk meningkatkan motivasi
peserta didik agar dapat berpikir secara kritis sehingga dapat menyelesaikan
masalah pada pembelajaran.

Basis Data

Basis Data terdiri dari dua kata, yaitu Basis dan Data. Basis dapat diartikan
sebagai markas atau gudang, tempat bersarang/berkumpul. Sedangkan Data adalah
representasi fakta dunia nyata yang mewakili seuatu objek seperti manusia
(pegawai, siswa, pembeli pelanggan), barang, hewan, peristiwa, konsep, keadaan,
dan sebagainya, yang diwujudkan dalam bentuk angka, huruf, simbol, teks, gambar,
bunyi, atau kombinasinya [19].
Sebagai satu kesatuan istilah, basis data dapat diartikan didefinisikan
sebagai kumpulan data yang terintegrasi dan diatur sedemikian rupa sehingga data
tersebut dapat dimanipulasi, diambil, dan dicari secara cepat [20].

Gamifikasi Pada Lingkungan Kerja

Pada lingkungan kerja, motivasi kerja merupakan hal yang harus dimiliki
oleh setiap perkerja/pegawai agar mereka dapat memberikan kontribusi positif bagi
keberlangsungan perusahaan. Banyak perusahaan yang mengeluarkan banyak uang
untuk mengadakan seminar motivasi agar pekerja tidak kehilangan motivasi dalam
bekerja [14]. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pegawai kehilangan
motivasi kerja, salah satunya adalah kurangnya pemberian motivasi berupa
penghargaan kepada pegawai [14].
Di era komputerisasi ini, banyak software yang dibuat untuk membantu
proses-proses yang terdapat pada perusahaan sebagai contoh, seperti software untuk
pengolahan kata/dokumen, penggajian, absensi, hingga software yang bermanfaat
untuk membantu pengarsipan dan koordinasi kerja antar pegawai atau tim yaitu
software project management. Salah satu solusi dalam bentuk aplikasi yang
membantu/mengurangi effort yang harus dikeluarkan pada proses pemberian
motivasi kepada team member, adalah dengan menggunakan aplikasi project
management yang telah di gamifikasi. Saat ini, sudah ada software Project
management yang mengimplementasikan gamifikasi, yaitu RedCritterTracker.
Game mechanics yang diterapkan pada aplikas tersebut diantaranya reward point,
lifetime point, badges, rewards, dan leaderboard. Game mechanics tersebut di
impelementasikan melalui Fitur-fitur seperti mendapatkan reward point dan
lifetime point saat selesai menyelesaikan suatu tugas, pembelian reward
menggunakan reward point, mendapatkan badge saat memenuhi kondisi tertentu,

dan melihat leaderboard untuk mengetahui urutan berdasarkan lifetime point suatu
user terhadap user lain

Manfaat Gamifikasi

Berikut merupakan manfaat utama yang dapat ditimbulkan oleh gamifikasi
[16]:
1) Meningkatkan keterlibatan atau partisipasi pengguna.
2) Meningkatkan tingkat motivasi pengguna.
3) Meningkatkan interaksi dengan pengguna (klien atau karyawan).
4) Meningkatkan loyalitas pengguna.

Gamifikasi

Gabe Zichermann pada buku Gamification By Design, mengatakan bahwa
gamifikasi merupakan proses dari cara berpikir seperti game dan memasukan
komponen komponen yang ada pada game untuk melibatkan pengguna dan
menyelesaikan masalah tertentu. Gamifikasi terbagi menjadi 2, yaitu gamifikasi by
content dan gamifikasi struktural. Gamifikasi by content merupakan gamifikasi
dengan ciri memasukan sebuah story atau cerita didalamnya, cocoknya gamifikasi
ini dipakai untuk media pembelajaran. Sedangkan gamifikasi struktural hanya
mengambil komponen komponen di dalam game, seperti poin, leaderboard,
reward, level, badge dan lain lain. Gamifikasi struktural biasa digunakan untuk
aplikasi yang menyangkut alur sebuah pekerjaan [14]. Komponen-komponen yang
ada pada game disebut juga game mechanics.

Manajemen

Definisi Manajemen adalah suatu seni mengarahkan orang lain untuk
mencapai tujuan utama dalam suatu organisasi melalui proses perencanaan
(Planning), pengorganisasian (Organizing), dan mengelola (Controlling) sumber
daya manusia dengan cara efektif dan efisien [13].
Pengertian dan Definisi Manajemen menurut Para Ahli sebagai berikut :
1) Manajemen adalah adalah suatu proses yang berbeda terdiri dari planning,
organizing, actuating, dan controlling yang dilakukan untuk mencapai tujuan
yang ditentukan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya
(George R. Terry, 1997).
2) Manajemen adalah suatu seni yang produktif yang didasarkan pada suatu
pemahaman ilmu, ilmu dan seni tidaklah bertentangan, namun masing masing
saling melengkapi (Koontz).
3) Ilmu Manajemen merupakan proses dalam membuat suatu perencanaan,
pengorganisisasian, pengendalian serta memimpin berbagai usaha dari anggota
entitas atau organisasi dan juga mempergunakan semua sumber daya yang
dimiliki untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Stoner).
4) Manajemen sebagai sebuah rangkaian tindakan tindakan yang dilakukan oleh
para anggota organisasi dalam upaya mencapai sasaran organisasi. proses
merupakan suatu rangkaian aktivitas yang dijalankan dengan sistematis
(Wilson).
5) Manajemen adalah sebuah seni dalam mencapai tujuan yang diinginkan yang
dilaksanakan dengan usaha orang yang lain (Lawrance A Appley)
6) Manajemen sebagai suatu seni, tiap tiap pekerjaan bisa diselesaikan dengan
orang lain (Mary Parker F).

User experience questioner

UEQ (User Experience Questionnaire) merupakan alat atau kuesioner yang
mudah dan efisien untuk mengukur User Experience (UX)(Schrepp and Hinderks
2014). UEQ dibentuk untuk mengukur UX pada sebuah desain aplikasi. Terdiri dari
26 item UEQ berisi 6 skala penilaian, yaitu:
1. Daya tarik (attractiveness): apakah pengguna menyukai atau tidak menyukai
produk?
2. Kejelasan (perspicuity): apakah mudah untuk mengenal produk? Apakah
mudah untuk belajar bagaimana gunakan produknya?
3. Efisiensi (efficiency): bisakah pengguna menyelesaikan tugas mereka tanpa
usaha yang sederhana?
4. Ketepatan (dependability): apakah pengguna merasa terkendali terhadap
interaksi?
5. Stimulasi (stimulation): apakah menarik dan memotivasi untuk menggunakan
produk
6. Kebaruan (novelty): apakah produk itu inovatif dan kreatif? Apakah produk
menangkap minat pengguna?

Sosial gamifikasi

Sosial gamifikasi merupakan proses menggunakan fitur dan perilaku media
sosial untuk memperkuat efek gamifikasi dan pengalaman media sosial (Simões,
Redondo, and Vilas 2013). Dalam pendekatan sosial gamification pendidikan,
game dengan sendirinya, tidak digunakan. Sebaliknya, hanya elemen game yang
dimasukan. kerangka Kerja untuk Gamifikasi Sosial melibatkan definisi perilaku
yang diperlukan untuk siswa. Setelah fase ini, elemen desain game didefinisikan
dan diimplementasikan melalui alat gamification, langsung diterapkan pada
lingkungan belajar sosial dan ke konten instruksional.

Kerangka Kerja untuk Gamifikasi Sosial melibatkan
definisi perilaku yang diperlukan untuk siswa. Setelah fase ini, elemen-elemen
desain game didefinisikan dan diimplementasikan melalui alat gamification,
langsung diterapkan pada lingkungan pembelajaran sosial dan ke konten
pembelajaran. Melalui gamification, perilaku yang diharapkan meningkatkan hasil
belajar.
fitur gamification sosial terdiri dari: menerima umpan balik dan penghargaan
langsung ketika melakukan kegiatan pembelajaran, memberi penghargaan kepada
teman sebaya dan menilai pencapaian mereka (misalnya menggunakan tombol
“suka”), menerbitkan pencapaian dalam profil pribadi jejaring sosial, berbagi dan
memberi hadiah menunjuk ke pengguna lain (dan menerbitkan tindakan ini di
jejaring sosial pribadi), memberi tahu pencapaian pengguna lain, mengomentari
pencapaian tersebut (Maican, Lixandroiu, and Constantin 2016)

Sosial media

Sistem sosial media merupakan sistem menyediakan interaksi sosial seperti
komunikasi, berbagi berbagai konten, membangun profil pribadi atau perusahaan,
membuat grup, menulis komentar, mengirim pesan, menyukai dan memberikan
umpan balik pada materi yang dibagikan (Aydin 2015). Sistem media sosial ini
mendukung dan dapat memantau aktivitas di jejaring sosial utama seperti
Facebook, Twitter, Flickr, Instagram, Linkedin, YouTube, dan blog WordPress.
Selain Media sosial dapat diterapkan di kesehatan masyarakat yang memungkinkan
pengguna untuk berbagi informasi dan berkomunikasi secara interpersonal selama
bencana alam, bencana lingkungan, dan masalah lingkungan lainnya. Peranan
media sosial juga digunakan selama masalah lingkungan ini, menentukan apa
implikasinya bagi pejabat kesehatan masyarakat, untuk mendapatkan wawasan
tentang opini dan persepsi public (Finch et al. 2016). Unsur media sosial dalam
pengaturan pendidikan perawatan kesehatan menemukan bahwa menggunakan
Twitter untuk komunikasi informal dan relevan dengan pendidikan meningkatkan
kontak antara instruktur dan siswa, mempromosikan pembelajaran aktif,
memberikan jalan untuk umpan balik yang cepat, dan memaksimalkan waktu pada
tugas. Namun, media sosial juga dapat menimbulkan tantangan praktis dalam
lingkungan pembelajaran tradisional dalam tinjauan sistematisnya (Price et al.
2018).

Gamifikasi

Gamifikasi merupakan penerapan fungsi permainan ke dalam proses
pemebelajaran dengan tujuan pendidikan, yang fungsi utamanya adalah
mempermudah proses belajar. Dalam sebuah litertur jelaskan, istilah gamifikasi
muncul pada tahun 2008 (Huotari and Hamari 2017). Gamifikasi selama ini popular
diterapkan di area pendidikan namun sejalan perkembangan teknologi gamifikasi
bisa diterapkan di segala bidang seperti marketing (Conaway and Garay 2014),
bisnis (Friedrich et al. 2019), agriculture (Steinke and van Etten 2017), dan masih
banyak lagi. Dibeberapa penelitian gamifikasi juga bisa diterapkan di domain health
(Dithmer et al. 2016)(Miller, Cafazzo, and Seto 2014). Pada area health penggunaan

metode gamifikasi lebih kepada dukungan dalam proses penyembuhan dan
memberikan motivasi pada penyembuhan dan perawatan pasien. Beberapa prinsip
elemen gamifikasi terdapat pada framework gamifikasi yaitu mechanic, dynamic
dan aesthetic (Nour, Rouf, and Allman-Farinelli 2018).
Terdapat elemen principal dalam menggunkan metode gamifikasi. Elemen
principal di bagi menajadi dua jenis yaitu games mekanik dan games dinamik.
Sebuah studi (Garett and Young 2018) yang menganalisi 14 elemen prinsipal games
pada layanan kesehatan menjelaskan beberapa elemen populer yang secara khusus
games mekanik.

Leaderboards Elemen Gamifikasi

Leaderboards (papan klasemen) merupakan elemen terakhir dalam PBL
triad dan seringkali dianggap sebagai elemen yang sedikit mempunyai masalah
dalam penggunaannya. Pada satu sisi, pemain sering ingin tahu dimana posisi
mereka dibandingkan pemain-pemain lainnya. Papan klasemen mampu
memberikan informasi tersebut. Dalam situasi yang tepat, papan klasemen mampu
meningkatkan motiviasi pemain. Namun di sisi yang lain, papan klasemen justru
dapat menurunkan motivasi pemain. Hal ini dapat terjadi jika seorang pemain
melihat jaraknya yang begitu jauh dengan pemain yang berada di puncak
klasemen.
Terdapat beberapa cara agar membuat papan klasemen bekerja dalam sistem
gamifikasi. Sebuah papan klasemen sebaiknya dibuat dinamis dan tidak hanya
menilai satu kriteria saja. Papan klasemen dapat dibuat untuk beberapa kriteria
atau dikelompokkan berdasarkan kelompok pemain.

Badges Elemen GAmifikasi

Badges (lencana) merupakan representasi visual dari achievement (prestasi)
pemain dalam sistem gamifikasi. Istilah “badges” dan “achievements” sering
digunakan untuk menunjukkan makna yang sama dalam gamifikasi. Beberapa
lencana secara sederhana menggambarkan level-level tertentu dari poin. Seperti
contoh penggunaan lencana pada sistem gamifikasi fitbit yang memungkinkan
orang untuk menggunakan wireless pedometer untuk melacak jarak tempuh
dengan berlari atau berjalan. Sistem akan menampilkan lencana ketika pengguna
mampu menempuh jarak tertentu seperti 3 kilometer dalam seminggu atau 10.000
langkah per hari.
Judd Antin dan Elizabeth Churchill menyatakan bahwa penggunaan lencana
yang didesain dengan baik mempunyai lima karakteristik motivasi:
1. Lencana dapat memberikan tujuan atau goal bagi pemain agar berusaha
memperolehnya. Hal ini telah terbukti memiliki efek positif pada motivasi.
2. Lencana memberikan petunjuk mengenai hal-hal apa yang mungkin dalam
sistem dan menghasilkan semacam umpan balik apa yang harus sistem
lakukan. Hal ini merupakan fitur penting untuk melibatkan pemain dengan
sistem.
3. Lencana merupakan sinyal yang menunjukkan bahwa pemain peduli dengan
apa yang telah dilakukan. Lencana menjadi semacam penanda visual reputasi,
dan pemain akan berusaha memperoleh lencana untuk menunjukkan kepada
pemain lain bahwa dia mampu.
4. Lencana bisa menjadi simbol status virtual dan simbol perjalanan pemain
dalam sistem gamifikasi.
5. Lencana dapat berfungsi sebagai penanda kesamaan. Seorang pemain yang
memiliki beberapa lencana yang sama seperti pemain lain akan merasakan
kesamaan identitas.
Salah satu sifat penting lencana yaitu flexibility. Berbagai jenis lencana
dapat diberikan sebagai hadiah untuk berbagai jenis aktivitas. Penggunaan lencana
hanya akan dibatasi oleh imajinasi perancang gamifikasi dan kebutuhan bisnis.

Points Elemen Gamifikasi

Points (poin) pada umumnya digunakan untuk memotivasi orang agar
melakukan suatu hal sehingga dapat mengumpulkannya sebanyak mungkin.
Asumsinya yaitu orang akan cenderung membeli lebih banyak barang atau bekerja
lebih keras untuk mendapatkan poin lebih banyak. Namun, lebih dari itu, poin
dapat digunakan dalam banyak cara lain. Terdapat setidaknya enam cara
penggunaan poin dalam gamifikasi:
1. Poin menjaga nilai skore secara efektif. Ini merupaka cara penggunaan poin
yang umum dalam gamifikasi. Poin memberitahukan kepada pemain tentang
tingkat kesuksesannya. Pemain yang menghasilkan poin 32.768 telah bermain
lebih lama atau lebih sukses dari seseorang yang menghasilkan poin 23.475.
2. Poin dapat menentukan siapa pemenang dalam sistem gamifikasi. Jika suatu
sistem gamifikasi dibuat dengan pemberian sebuah hadiah bagi pemenang,
maka penggunaan poin akan sangat relevan untuk menentukan pemenang.
3. Poin membuat hubungan kemajuan dalam game dan hadiah nyata. Banyak
sistem gamifikasi yang menawarkan hadiah dengan sistem penukaran poin
untuk menunjukkan progress atau tingkat kemajuan pemain dalam
keikutsertaannya dalam game. Contoh penggunaan poin dalam cara ini seperti
pemain yang mempunyai 250 poin dapat menukarkan poinnya dengan tiket
nonton bioskop. Cara ini sebenarnya sudah umum digunakan dalam
pemasaran dan promo penjualan barang-barang.
4. Poin menyediakan umpan balik. Umpan balik yang jelas dan berkali-kali
merupakan elemen utama dalam desain game yang baik. Poin dapat digunakan
untuk menjadi umpan balik yang cepat dan mudah.
5. Poin dapat menujukkan kemajuan pemain. Game dengan banyak pengguna
dalam sebuah komunitas ataupun di tempat kerja dapat menggunakan poin
sebagai sebuah status sosial. Masing-masing pemain dapat melihat nilai poin
pemain lainnya.
6. Poin menyediakan data untuk perancang game. Poin yang dihasilkan pemain
dapat ditelusuri dan disimpan. Hal tersebut bermanfaat bagi perancang game
untuk menganalisis penggunaan game.

Prinsip-prinsip game

Pada dasarnya, prinsip-prinsip gamifikasi berdasar pada kemampuan untuk
membantu menciptakan dan mempertahankan hubungan jangka panjang (longterm relationship). Hal tersebut dicapai dengan mengintegrasikan secara visual
dan melibatkan game layer (untuk aplikasi) yang didesain untuk menarik orang,
bahkan termasuk orang-orang tanpa pengalaman dalam bermain game.
Proses desain yang tidak formal dan kurang jelas dapat menyebabkan
kegagalan gamifikasi dalam memenuhi tujuan bisnis [13]. Oleh karena itu, dalam
rangka untuk memahami potensi kegagalan, esensi dari game sebagai bentuk awal
gamifikasi sangat penting untuk dipahami. Game yang baik memiliki beberapa
prinsip antara lain [10] :
1. Game memiliki tujuan yang S.M.A.R.T. (specific, measurable, achievable,
realistic and time bound) yang berarti spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis
dan terikat oleh waktu. Penetapan tujuan yang baik (jangka panjang dan
pendek) untuk proyek gamifikasi harus melibatkan skenario yang ada, sasaran
hasil bisnis, dan penetapan kemajuan yang dicapai pada tujuan tersebut.
2. Game menggali pilihan yang bermakna dengan menawarkan otonomi. Jika
seorang pengguna bermain game, pengguna tersebut dapat melihat dengan
mudah apa tindakan dan pilihan yang tersedia. Selain itu, ada hubungan yang
jelas antara tindakan atau pilihan yang tersedia dengan tujuan yang ingin
dicapai.
3. Kombinasi dari tujuan game yang S.M.A.R.T., tindakan dan pilihan yang
jelas, serta hubungan nyata antara ketiga elemen tersebut membuat game
menjadi menarik dan mengikat antusiasme penggunanya.
4. Game memberikan umpan balik yang signifikan. Dalam sebuah game,
pengguna menerima banyak umpan balik tentang apa saja yang dilakukan,
ketika berhasil ataupun ketika gagal. Pada titik tertentu, pengguna dapat
mengetahui dimana mereka berada dalam game.
5. Game melibatkan tantangan yang semakin meningkat untuk mengembangkan
keterampilan. Kebanyakan game memiliki level-level untuk penggunanya,
dimana game menjadi semakin menantang ketika pengguna semakin lebih
baik dan lebih terampil dalam permianan.
6. Pada umumnya game melibatkan tingkat perbandingan sosial. Bahkan di game
yang dimainkan sebagai individu, sering ada aspek perbandingan sosial seperti
leaderboard (papan klasemen).

Gamifikasi

Deterding dkk. (2011) menyatakan bahwa gamifikasi secara umum dapat
diartikan sebagai penggunaan elemen desain game dalam konteks bukan game
[7]. Gamifikasi mengacu pada penerapan mekanika dan dinamika permainan yang
digunakan untuk meningkatkan motivasi, antusiasme dan keterlibatan pengguna
[8]. Konsep gamifikasi menerapkan dari pelajaran tentang penggunaan domain
game untuk mengubah perilaku pengguna dalam situasi non-game [9]. Pengguna
yang dimaksud merupakan sekumpulan konsumen suatu produk, pegawai suatu
organisasi, peserta didik dalam lingkungan pembelajaran dan pengguna
gamifikasi lainnya, tergantung kepada domain penggunaan gamifikasi.
Terdapat beberapa konsep yang serupa dengan gamifikasi, seperti konsep
“serious game”, yang menitikberatkan penggabungan unsur-unsur non-hiburan ke
dalam lingkungan game [10]. Suatu tugas tertentu diintegrasikan ke dalam game
sehingga tugas tersebut dapat diselesaikan [11]. Selanjutnya, “play” adalah
kegiatan bebas tanpa kendala sedangkan “game” terbatas dalam bentuk tindakan
yang mempunyai aturan dan konteks [12]. Pada Gambar 2.3 menunjukkan
perbedaan antara gamifikasi, serious game, dan interaksi permainan. Definisi
gamifikasi dapat dibedakan dari serious game dan interaksi permainan pada dua
dimensi yaitu play/game dan seluruh/sebagian. Sumbu seluruh/sebagian
membedakan antara serious game dan interaksi permainan dengan gamifikasi,
sedangkan sumbu play/game membedakan antara sesuatu yang benar-benar
permainan atau interaksi permainan dan sesuatu yang seperti game.
Konsep penerapan gamifikasi secara sederhana sebenarnya sudah ada dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya program akumulasi pembelian minimal 10 tiket
travel jatinangor-bandung dapat hadiah gratis tiket 1, belanja minyak goreng di
supermarket dengan jumlah tertentu berhadiah piring, serta aturan pembelian
baju, gratis 1 baju dengan harga mengikuti harga baju yang murah dengan syarat
merknya harus sama. Aturan-aturan yang dibuat seperti itu dapat memotivasi dan
meningkatkan loyalitas pelanggan

Ciri-ciri Motivasi Belajar

Kondisi kelas dengan peserta didik yang memiliki motivasi dalam belajar
dapat diketahui melalui beberapaa ciri-ciri tertentu. Sardiman (2011:83)
menyebutkan beberapa ciri-ciri adanya motivasi pada diri peserta didik sebagai
berikut:
1) Tekun dalam mengerjakan tugas
2) Ulet dalam menghadapi kesulitan
3) Menunjukan minat terhadap berbagai masalah
4) Dapat bekerja secara mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain
5) Tidak mudah bosan dengan tugas-tugas yang bersifat rutin
6) Mampu mempertahankan pendapatnya
7) Teguh dengan prinsip yang diyakini
8) Gemar mencari dan memecahkan permasalahan

Cara Membangkitkan Motivasi

Soesilo (2015:109-111) mengemukakan bahwa terdapat beberapa strategi
yang dapat digunakan oleh pendidik untuk membangkitkan motivasi belajar peserta
didik, yaitu:
1) Menjelaskan tujuan dan manfaat belajar kepada peserta didik
2) Pemberian enforcement
3) Menciptakan persaingan (kompetisi)
4) Pemberian punishment
5) Mendorong peserta didik untuk belajar
6) Memberi pesan-pesan moral dalam pembelajaran
7) Membimbing kesulitan belajar peserta didik
8) Menggunakan metode dan media yang bervariasi
Suhana (2014:25) berpendapat bahwa cara untuk membangkitkan motivasi
belajar adalah sebagai berikut:
1) Memastikan peserta didik mendapatkan pemahaman (comprehension) yang
jelas tentang proses pembelajaran
2) Memastikan peserta didik mendapatkan kesadaran diri (self-consciousness)
terhadap pembelajaran
3) Menyesuaikan antara tujuan pembelajaran dengan kebutuhan peserta didik
(link and match)
4) Menyampaikan dengan lembut (soft touch)
5) Memberikan penghargaan (reward)
6) Memberikan pujian dan pengakuan
7) Memberitahukan tentang perkembangan prestasi belajar kepada peserta didik
8) Menciptakan suasana belajar yang kompetitif namun tetap sehat
9) Menggunakan multimedia
10) Menggunakan multimetode
11) Pendidik yang kompeten serta humoris
12) Suasana lingkungan sekolah yang sehat
Sedangkan Winkel (1983:30) dikutip dari Kusworo dan Soenarto (2016:164)
menyatakan bahwa meningkatnya motivasi suatu subjek dimulai dengan adanya
apresiasi terhadap nilai suatu objek, kemudian dilanjutkan dengan adanya
kecenderungan untuk menerima atau menolak objek tersebut, terakhir, subjek
memiliki kecenderungan untuk tertarik secara permanen dan merasa bersemangat
untuk terlibat di dalamnya.

Fungsi Motivasi Belajar

Menurut Suhana (2014:24) motivasi belajar mempunyai beberapa fungsi
yaitu:
1) Sebagai alat untuk mendorong terjadinya perilaku belajar peserta didik
2) Sebagai alat untuk memengaruhi prestasi belajar peserta didik
3) Sebagai alat yang memberikan arahan terhadap pencapaian tujuan
pembelajaran
4) Sebagai alat untuk mengembangkan sistem pembelajaran yang lebih baik

Pengertian Motivasi Belajar

Menurut Sardiman (2011:75), motivasi dalam kegiatan belajar merupakan
keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan
kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar yang
memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh
subjek belajar itu dapat tercapai. Dikatakan “keseluruhan”, karena pada umumnya
ada beberapa motif yang bersama-sama menggerakan peserta didik untuk belajar.
Motivasi belajar adalah merupakan factor psikis yang bersifat non-intelektual.
Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan
semangat untuk belajar. Peserta didik yang memiliki motivasi kuat, akan
mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.
Soesilo (2015:109) menganalogikan motivasi belajar seperti layaknya bahan
bakar untuk menggerakan sebuah mesin. Peserta didik akan terdorong untuk
berperilaku aktif dalam proses belajar apabila dipasok dengan motivasi yang
memadai. Namun disampaikan pula bahwa motivasi yang terlalu kuat justru dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap keefektifan belajar peserta didik. Maka
dari itu kehadiran pendidik berperan penting dalam mengelola motivasi belajar
peserta didik.
Uno (2013:23) menambahkan bahwa motivasi dan belajar saling
memengaruhi satu sama lain. Menurutnya, motivasi belajar dapat tumbuh melalui
faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah tingkah laku peserta didik,
dengan diikuti beberapa indikator. Faktor internal dapat berupa hasrat dan dorongan
yang muncul dari dalam diri peserta didik untuk belajar dan mencapai cita-cita.
Sedangkan faktor eksternal dapat hadir melalui lingkungan luar seperti adanya
penghargaan, kondisi belajar yang kondusif, dan media pembelajaran yang
menarik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar
merupakan mesin penggerak yang dapat mendorong peserta didik aktif dalam
melakukan kegiatan belajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan
baik. Motivasi belajar dapat timbul dari dalam diri peserta didik sendiri maupun
dari pengaruh lingkungan sekitar. Jadi, hadirnya motivasi belajar sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan peserta didik dalam menyerap materi
pembelajaran

 Ciri-ciri Keaktifan Belajar

Kondisi kelas yang peserta didiknya memiliki keaktifan dalam belajar dapat
terlihat dibandingkan dengan kelas yang pasif. Sudjana (2006:37) mengemukakan
beberapa ciri-ciri suatu pembelajaran dapat dikatakan aktif sebagai berikut:
1) Situasi kelas bebas namun tetap terkendali.
2) Pendidik tidak mendominasi pembicaraan di kelas, namun lebih banyak
memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk berpikir dan memecahkan
masalah.
3) Pendidik menyediakan dan mengusahakan sumber belajar untuk peserta didik.
4) Bentuk kegiatan belajar bervariasi,
5) Hubungan antara pendidik dan peserta didik terjalin secara manusiawi.
6) Situasi dan kondisi kelas tidak berlangsung kaku dan terikat dengan suatu
susunan yang mati, namun bersifat fleksibel menyesuaikan kebutuhan peserta
didik.
7) Belajar dapat dilihat dan diukur melalui proses pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
8) Peserta didik berani mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat atau
gagasannya.
9) Pendidik selalu mendorong peserta didik untuk mengajukan pendapatnya
secara bebas

Jenis-jenis Aktivitas Belajar

Ragam bentuk aktivitas dapat dilakukan oleh peserta didik untuk
mengoptimalkan proses penyerapan ilmu. Paul B. Diedrich (dalam Sardiman,
2011:101) telah menyusun sebuah daftar yang berisikan 177 macam kegiatan
peserta didik yang kemudian diklasifikasikan ke dalam delapan jenis aktivitas
belajar. Adapun kedelapan jenis aktivitas belajar tersebut adalah sebagai berikut:
1) Visual activities, misalnya membaca, memerhatikan gambar, video, dan
demonstrasi.
2) Oral activities, misalnya mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan,
memberikan saran, melakukan diskusi, wawancara, dan interupsi.
3) Listening activities, misalnya mendengarkan penjelasan materi, mendengarkan
diskusi kelompok, mendengarkan percakapan, dan mendengarkan musik.
4) Writing activities, misalnya menulis laporan, merangkum, menyalin, dan
mengerjakan tes tertulis.
5) Drawing activities, misalnya menggambar, membuat diagram, membuat
grafik, dan menggambar peta.
6) Motor activities, misalnya melakukan percobaan, melaksanakan praktikum,
membuat model, melakukan permainan, dan menari.
7) Mental activities, misalnya mengingat, menanggapi, memecahkan masalah,
membuat keputusan, menjawab pertanyaan, dan menganalisis.
8) Emotional activities, misalnya merasa bosan, bersemangat, gembira, gugup,
berani, tenang, dan lain-lain

Pengertian Keaktifan Belajar

Keaktifan merupakan istilah dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari kata
dasar “aktif”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata keaktifan merujuk pada
sebuah kegiatan atau kesibukan. Dalam penelitian ini keaktifan yang dimaksud
adalah keaktifan belajar peserta didik. Sedangkan kata belajar menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti usaha untuk memperoleh suatu ilmu. Jadi
dapat diartikan bahwa keaktifan belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh untuk dapat mencapai suatu tujuan, yaitu memperoleh
ilmu.
Keaktifan belajar peserta didik adalah situasi dimana peserta didik aktif dalam
kegiatan pembelajaran (Basori, Isnaini, Setyowati, Phommavongsa, 2018:116).
Peserta didik yang aktif dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya sekedar
memerhatikan penjelasan materi dari pendidik saja, namun juga perlu ditunjang
dengan aktivitas pendukung lain seperti bertanya, mencatat, berdiskusi, dan lainlain. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Uno (2013:106) yang menyatakan bahwa
dalam pembelajaran aktif seorang pendidik harus mampu membimbing dan
mengarahkan peserta didik supaya aktif bertanya, mempertanyakan, dan
menyampaikan ide atau pendapatnya.
Adanya aktivitas merupakan ciri utama dari keaktifan belajar peserta didik.
Sardiman (2011:100) mengemukakan bahwa aktivitas belajar dapat berupa
kegiatan fisik/ jasmani maupun mental/ rohani. Kegiatan belajar akan berjalan
optimal apabila terdapat keserasian antara aktivitas fisik dan juga mental. Sebagai
contoh, peserta didik yang secara fisik memerhatikan pendidik belum tentu pikiran
dan sikap mentalnya tertuju pada materi yang dijelaskan oleh pendidik. Kemudian
serangkaian penjelasan teori yang ada dalam kurikulum pendidikan kejuruan, tidak
akan optimal apabila tidak disertai dengan praktik/ aktivitas fisik oleh peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keaktifan belajar
merupakan usaha yang dilakukan peserta didik untuk mencapai tujuan
pembelajaran, dimana kegiatan yang dilakukan tidak hanya sebatas mendengarkan
penjelasan dari pendidik semata, namun juga diperlukan upan balik serta
sinkronisasi antara fisik dan rohani dari peserta didik. Makna aktif yang dimaksud
dalam konteks pembelajaran adalah aktivitas yang mendukung kegiatan
pembelajaran, bukan aktif yang mengarah pada suasana kelas yang tidak kondusif.
Merupakan tugas seorang pendidik untuk mengarahkan dan membimbing peserta
didiknya agar dapat aktif dalam kegiatan pembelajaran.

 Pengertian Kahoot!

Kahoot! merupakan aplikasi kuis online berbasis permainan yang sengaja
dirancang untuk aktivitas pembelajaran. Aplikasi ini dapat digunakan untuk
mengelola kuis, diskusi, sampai dengan survei. Dalam penggunaannya, Kahoot!
memerlukan koneksi internet untuk dapat mengakses kontennya dan perangkat
seperti komputer atau smartphone sebagai media pengoperasiannya. Untuk sasaran
usia pengguna (user), aplikasi Kahoot! dapat digunakan untuk anak mulai dari usia
empat tahun keatas.
Awal dikembangkannya aplikasi ini bermula dari munculnya kesamaan
pikiran dari beberapa pengusaha berbakat untuk menciptakan pembelajaran yang
luar biasa. Mereka adalah Johan Brand, Jamie Brooker dan Morten Versvik. Dalam
sebuah proyek gabungan dengan Universitas Teknologi dan Sains Norwegia,
mereka bekerja sama dengan Profesor Alf Inge Wang, dan kemudian bergabung
dengan pengusaha Norwegia Åsmund Furuseth. Pada akhirnya Kahoot!
diluncurkan dalam versi beta pribadi pada bulan Maret 2013 di SXSWedu. Pada
bulan September 2013, versi beta tersebut kemudian dibuka untuk umum dan
semenjak itu nama Kahoot! mulai polpuler.
Kahoot! mamanfaatkan aspek kesenangan, rasa ingin tahu, dan sifat inklusif
yang ada pada manusia. Bermain merupakan bahasa pertama yang pelajari manusia.
Ketika proses pembelajaran diubah menjadi menyenangkan, maka pembelajaran
tersebut akan menarik untuk semua orang. Rasa ingin tahu adalah bagian dari sifat
manusia, hal tersebutlah yang mendorong terciptanya sebuah upaya yang besar.
Dengan adanya rasa ingin tahu, manusia akan senantiasa terdorong untuk terus
belajar. Sedangkan inklusif berati terbuka untuk semua orang karena Kahoot! dapat
dimainkan oleh beragam kalangan mulai dari pelajar sampai dengan karyawan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kahoot! adalah aplikasi
web yang mempunyai misi untuk membangun sebuah pembelajaran yang lebih
menarik dan menyenangkan melalui permainan. Melalui apspek-aspek yang
terdapat dalam Kahoot! diharapkan dapat meningkatkan keaktifan dan motivasi
belajar peserta didik, sehingga dapat membuka potensi yang dimiliki oleh masingmasing peserta didik. Selain itu dengan pengaplikasian Kahoot! dalam kelas dapat
mengarahkan penggunaan gadget seperti smartphone dan laptop menjadi lebih
bijak dan bermanfaat

Aplikasi Web

Web merupakan sebuah kata dalam Bahasa Inggris yang apabila
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia merujuk pada kata jaringan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata web mempunyai arti sebagai sebuah sistem
yang berguna untuk mengakses, mengunduh, dan memanipulasi, dokumen
hipertaut yang terdapat dalam komputer yang terhubung dengan internet atau
jejaring. Sehingga kata web apabila diberi imbuhan kata aplikasi dapat didefinisikan
sebagai program yang dirancang untuk melakukan aktivitas seperti mengakses,
mengunduh, dan memanipulasi data yang ada jaringan internet maupun intranet.
Menurut Simarmata (2010:56), Aplikasi Web merupakan sebuah sistem
informasi yang mendukung interaksi pengguna melalui antarmuka berbasis web.
Untuk menjalankan aplikasi web, pengguna memerlukan sebuah platform browser
seperti Google Chrome, Mozilla Firefox, Opera, Internet Explorer, Safari, dan
sebagainya untuk dapat menampilkan data. Data yang ditampilkan pada aplikasi
web tersimpan dalam web server yang dapat diakses melalui jaringan internet.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa aplikasi web
merupakan sebuah aplikasi yang dijalankan melalui antarmuka berbasis web untuk
mengakses, mengunduh, dan memanipulasi data yang tersimpan dalam web server
melalui jaringan internet. Saat ini penggunaan aplikasi web telah banyak
berkembang dan meluas ke berbagai bidang. Salah satunya di bidang pendidikan
yang dapat dimanfaatkan sebagai media informasi dan pembelajaran bagi peserta
didik

Pengertian Aplikasi

Aplikasi berasal dari istilah bahasa inggris yaitu “application” yang memiliki
arti penggunaan, penerapan, atau lamaran. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata aplikasi dalam bidang komputer merujuk pada sebuah program atau
perangkat lunak yang sengaja dirancang untuk mengerjakan tugas tertentu.
Pengertian yang hampir sama diungkapkan oleh Supriyanto (2005:2) bahwa
aplikasi merupakan program yang dapat memproses perintah untuk melaksanakan
permintaan dari pengguna (user) dengan tujuan tertentu. Dalam pengolahan tugas,
aplikasi menggunakan sebuah aturan dan bahasa pemrograman tertentu.
Menurut Jogiyanto (2005:103), aplikasi merupakan sebuah sistem yang telah
disusun sedemikian rupa sehingga komputer nantinya dapat memproses data
masukan (input) menjadi data keluaran (output). Input adalah semua data maupun
perintah yang dimasukan ke dalam komputer. Sedangkan output adalah hasil data
dan informasi yang telah diproses menjadi bentuk yang dapat dipahami oleh
manusia. Pada dasarnya komputer tidak dapat mengenali bahasa yang digunakan
oleh manusia, oleh karena itu aplikasi berfungsi sebagai jembatan atau antar muka
antara manusia dan komputer.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi
adalah sebuah program yang sengaja dirancang untuk membantu manusia
mengerjakan suatu tugas tertentu. Aplikasi dapat membantu aktivitas manusia
diberbagai bidang mulai dari perniagaan, perkantoran, hiburan, sampai dengan
pendidikan. Dalam dunia pendidikan aplikasi dapat dijadikan sebagai salah satu
media penunjang pembelajaran, yang dapat memudahkan peserta didik dalam
mengerjakan tugas maupun memahami materi pembelajaran.

Elemen-elemen Gamifikasi

Dalam pendekatan gamifikasi terkandung beberapa elemen yang dapat
menjadikan pembelajaran berbeda dengan pembelajaran tradisional pada
umumnya. Kapp (2013) mengemukakan beberapa elemen yang terdapat dalam
gamifikasi, antara lain:
1) Story
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata peserta didik lebih mudah
mengingat fakta, istilah, dan jargon ketika mereka mempelajari informasi tersebut
dalam bentuk story (cerita) daripada dalam bentuk daftar berpoin. Cerita dapat
membangkitkan emosi, menyediakan konteks untuk menempatkan informasi, dan
merupakan cara manusia memberikan informasi dari generasi ke generasi.
Penggunaan elemen cerita mirip dengan penggunaan studi kasus atau
skenario, hanya saja penggunaan cerita harus memiliki makna dan mampu menarik
emosional peserta didik. Dengan melibatkan peserta didik dalam sebuah cerita,
dapat membantu dan menguatkan dalam mengingat sebuah pembelajaran. Cerita
yang baik berfokus pada upaya membantu peserta didik untuk melakukan
pemecahan masalah, dapat mengedukasi peserta didik, dan mudah diingat ketika
kondisi sebenarnya terjadi.
2) Challenge
Dalam konten gamifikasi, challenge atau tantangan memiliki peran yang
besar dalam merangsang keaktifan peserta didik. Penelitian menunjukkan bahwa
tantangan merupakan salah satu motivator yang kuat dalam belajar.
3) Curiousity
Mau tak mau, saat bermain video game, pemain akan menjadi penasaran.
Mereka menjelajahi ruang permainan untuk melihat apa yang terjadi. “Bagaimana
jika aku tidak membunuh naga itu dan melarikan diri?” “Bagaimana jika aku
mengenakan pajak pada pendudukku sebesar 50 persen?” “Bagaimana jika aku
berlari lurus ke gedung itu?”.
Manusia secara alami didorong oleh rasa ingin tahu, sehingga pengembang
game memanfaatkannya dengan menciptakan berbagai level dan tempat untuk
dijelajahi bentuk game. Pengembang game memungkinkan pemain untuk
melakukan tugas atau mengambil tindakan lebih dari sekali sehingga mereka dapat
menjelajahi berbagai alternatif. Keingintahuan digunakan untuk memotivasi
pemain untuk tetap berada dalam permainan dan untuk melibatkan mereka dengan
lingkungan permainan.
4) Character
Penelitian yang melibatkan karakter (avatar) menunjukan beberapa hasil
menarik. Pada tes yang melibatkan masalah kata yang berbeda, kelompok yang
memiliki karakter menjelaskan masalah menghasilkan jawaban yang benar 30
persen lebih banyak daripada kelompok yang hanya dengan teks di layar.
Tampaknya dengan memiliki avatar yang muncul di layar dapat memotivasi
peserta didik karena mereka menjadi merasa lebih bertanggung jawab kepada sosok
“manusia” daripada ke komputer. Dan karakter yang terdapat dalam komputer
bahkan tidak harus realistis. Penelitian tambahan menunjukkan bahwa karakter
“realistis” tidak memfasilitasi pembelajaran yang lebih baik daripada karakter
“seperti kartun”. Indikasinya jelas bahwa hanya dengan menggunakan karakter
seperti yang ada pada teknik permainan video dapat membuat konten menjadi lebih
menarik dan membantu peserta didik belajar lebih banyak.
5) Interactivity
Salah satu ciri khas dari konten gamifikasi adalah interactivity atau interaktivitas.
Dengan mendorong peserta didik untuk terlibat langsung dengan konten
pembelajaran dapat mengarahkan mereka pada tingkat pembelajaran yang lebih
dalam. Ada banyak keuntungan yang didapat apabila peserta didik mampu
berinteraksi dengan materi pelajaran yang mereka pelajari. Berdasarkan hasil studi,
serta akal sehat, menunjukkan bahwa interaktivitas dapat membantu peserta didik
menyimpan informasi serta meningkatkan kesediaan peserta didik untuk
menghabiskan waktu dengan materi.
6) Feedback
Penelitian menunjukkan bahwa feedback atau umpan balik merupakan
elemen penting dalam pembelajaran. Semakin sering dan tepat sasaran umpan
balik, semakin efektif pembelajaran. Sayangnya, dalam banyak program
pembelajaran, umpan balik jarang diterapkan dan kurang spesifik. Pemberian
umpan balik kepada peserta didik bisa dalam bentuk latihan mandiri, isyarat visual,
kegiatan tanya jawab yang sering, bilah kemajuan, atau komentar yang ditempatkan
dengan cermat oleh karakter non-pemain. Bahkan sesuatu yang sederhana seperti
meringkas materi yang baru saja dibahas sebagai ulasan efektif dapat memberikan
umpan balik tentang tingkat pemahamannya.
7) Freedom to Fail
Dalam konten gamifikasi, jadikanlah kegagalan sebagai salah satu opsi.
Dalam banyak kejadian, peserta didik diberikan skor secara objektif hanya untuk
dua kondisi, yaitu jawaban yang benar atau jawaban salah. Hanya sedikit orang
yang dapat menghargai kegagalan dalam lingkungan belajar tradisional, dan
sebagian besar akan melakukan apa saja untuk menghindari kegagalan. Hal tersebut
menunjukan bahwa sebagian besar lingkungan belajar tidak mendorong eksplorasi
atau belajar coba-coba. Peserta didik memiliki sedikit wawasan tentang
konsekuensi dari jawaban yang salah atau keputusan yang salah selain. Menjawab
pertanyaan yang salah untuk “melihat apa yang terjadi” bisasanya kurang disukai
dalam sebagian besar pembelajaran

Pengertian Gamifikasi

Kata gamifikasi berasal dari istilah bahasa inggris yaitu gamification.
Menurut kamus Oxford gamification adalah suatu penerapan dari unsur-unsur yang
ada dalam sebuah permainan (game) seperti penilaian poin, persaingan, dan
peraturan main ke dalam kegiatan atau aktivitas lainnya. Pendekatan ini sebenarnya
telah banyak digunakan khususnya dalam bidang bisnis online sebagai salah satu
14
strategi untuk menawarkan suatu produk atau jasa. Sebagai contoh, banyak aplikasi
online saat ini yang menggunakan sistem poin dengan beragam syarat dan
ketentuan dan diikuti dengan tawaran promo serta keuntungan. Pengguna atau
pelanggan yang tertarik secara otomatis akan terpacu dan lebih aktif dalam
menggunakan aplikasi tersebut untuk mencapai target poin yang telah ditentukan.
Teknik tersebut serupa dengan unsur yang ada dalam permainan (games), yaitu
mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya untuk dapat melanjutkan ke level
selanjutnya.
Menurut Kapp (2012), gamifikasi dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep
yang menggabungkan antara permainan, estetika dan kemampuan berpikir untuk
menarik perhatian, memotivasi, mempromosikan sebuah pembelajaran, serta
menyelesaikan masalah. Selanjutnya Kapp membagi gamifikasi menjadi dua
macam, yaitu gamifikasi struktural (structural gamification) dan gamifikasi konten
(content gamification). Gamifikasi struktural merupakan penerapan dari elemen
permainan untuk mendorong peserta didik tanpa ada perubahan pada konten.
Konten sama sekali tidak diubah menjadi permainan, melainkan hanya strukturnya
saja. Fokus utama dari gamifikasi jenis ini adalah untuk memotivasi pengguna
melalui konten dan melibatkan mereka ke dalam proses belajar menggunakan
system reward (hadiah). Sedangkan gamifikasi konten adalah penerapan elemen
dan algoritma permainan yang ikut mengubah isi konten menjadiseperti permainan.
Penambahan elemen-elemen ini membuat konten terlihat seperti permainan tetapi
sebenarnya tidak mengubah konten menjadi permainan sesungguhnya.
Gartner (Burke, 2014:13) mendefinisikan gamifikasi sebagai pemanfaatan
dari unsur mekanis dan user experience design sebuah game, guna menarik dan
memotivasi seseorang secara digital untuk mencapai tujuan mereka. Yang
dimaksud dengan unsur mekanis adalah elemen kunci seperti poin, papan peringkat
(leaderboard), dan lencana (badges) yang menunjang berjalannya suatu game.
Sedangkan user experience design digambarkan sebagai tingkat kepuasan yang
dirasakan oleh pemain atau pengguna selama melakukan interaksi dengan elemenelemen yang ada pada game tersebut. Kemudian disebutkan bahwa gamifikasi
digunakan untuk menarik dan memotivasi seseorang secara digital, hal ini
dikarenakan media yang digunakan untuk mengoperasikan game merupakan
perangkat digital seperti, komputer, smartphone, tablet, dan lain-lain. Penerapan
gamifikasi sebagai alat motivasi bertujuan untuk mengubah kebiasaan, membangun
suatu keterampilan, atau untuk meningkatkan kreativitas seseorang. Sedangkan
menurut Herger (2014) gamifikasi meminjam elemen dan teknik dari beberapa
bidang, seperti games, ilmu perilaku (behavior), motivasi yang masuk akal untuk
mempelajari suatu konsep dasar dan melanjutkannya hingga konsep definisi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gamifikasi adalah salah
satu pendekatan yang memanfaatkan unsur mekanik dari sebuah game untuk
kegiatan lain di luar game (non-game). Tujuan utama dari gamifikasi sendiri adalah
untuk meningkatkan motivasi seseorang dengan cara yang menarik, sehingga dapat
membantu dan memudahkan mereka untuk mencapai tujuan tertentu. Gamifikasi
memecah dan membagi sebuah “jalan besar” untuk mencapai suatu tujuan ke dalam
bentuk yang lebih sederhana dan menarik. Apabila diterapkan dengan baik,
pendekatan ini dapat memberikan manfaat yang besar di berbagai bidang, salah
satunya di bidang pendidikan.

Pendekatan Pembelajaran

Kata pendekatan berasal dari kata dasar “dekat” yang mempunyai arti pendek
atau tidak jauh. Sedangkan pengertian pendekatan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia merujuk pada proses, cara, dan usaha untuk mendekati sesuatu. Dalam
konteks pembelajaran istilah pendekatan dapat diartikan sebagai suatu cara atau
usaha yang dilakukan dalam proses pembelajaran untuk membantu mencapai tujuan
pembelajaran.
Hamdayana (2016:128) menganalogikan pendekatan pembelajaran sebagai
sebuah jalan yang akan dilalui oleh peserta didik dan pendidik dalam mencapai
tujuan pembelajaran dengan cara menyajikan materi dengan bentuk yang berbeda.
Sedangkan menurut Wahjoedi (1999:121), pendekatan pembelajaran merupakan
cara untuk mengelola kegiatan belajar serta perilaku peserta didik. Hal tersebut
dilakukan dalam rangka membuat peserta didik aktif dalam kegiatan pembelajaran
sehingga dapat memperoleh hasil belajar yang optimal.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan
pembelajaran merupakan sebuah usaha untuk membantu mencapai tujuan
pembelajaran melalui penyajian materi ke dalam bentuk yang berbeda. Dengan
hadirnya beragam pendekatan pembelajaran yang berbeda, diharapkan seorang
pendidik mampu memilih pendekatan yang tepat sesuai dengan karakteristik
kompetensi dasar

Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran merupakan bentuk penerapan dari RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran). Seorang pendidik yang berada dalam satuan
pendidikan diwajibkan untuk menyusun RPP. RPP merupakan sebuah rancangan
dari kegiatan pembelajaran untuk diterapkan dalam satu kali pertemuan atau lebih.
Dengan kata lain RPP merupakan acuan dan pedoman pendidik dalam
melaksanakan pembelajaran di dalam kelas.
Untuk menyusun sebuah RPP pendidik perlu mengacu pada Silabus yang
mencangkup Kompetensi Dasar (KD), Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK),
Materi Pembelajaran, kegiatan pembelajaran, Penilaian, Alokasi Waktu, Dan
Sumber Belajar. Silabus sendiri dikembangkan dan disesuaikan oleh masingmasing satuan pendidikan. Adapun langkah-langkah pembelajaran yang terdapat
RPP meliputi:
1) Kegiatan Pendahuluan
Rusman (2018:14) memaparkan beberapa kegiatan yang wajib dilakukan oleh
seorang pendidik dalam kegiatan pendahuluan, yaitu:
a) Mempersiapkan peserta didik dari segi psikis dan fisik supaya siap memulai
proses pembelajaran.
b) Memberikan motivasi belajar kepada peserta didik dengan menyesuaikan pada
topik materi ajar pada kehidupan sehari-hari.
c) Mengajukan pertanyaan yang dapat memancing ingatan peserta didik terhadap
materi sebelumnya yang kemudian dihubungkan dengan materi yang akan
dipelajari.
d) Memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran dan kompetensi dasar
yang akan dicapai.
e) Menyampaikan materi dan menjelaskan uraian kegiatan yang akan dilakukan
sesuai dengan silabus.
2) Kegiatan Inti
Kegiatan inti berisi serangkaian kegiatan pembelajaran yang akan dilalui oleh
peserta didik sesuai dengan KD. Dalam penyusunan kegiatan inti, pemilihan model,
metode, media, dan sumber pembelajaran perlu memerhartikan karakteristik dari
peserta didik dan mata pelajaran. Selanjutnya kegiatan pembelajaran disesuaikan
dengan pemilihan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan oleh peserta
didik.
3) Kegiatan Penutup
Rusman (2018:14) memaparkan bahwa kegiatan penutup digunakan untuk
melakukan refleksi guna mengevaluasi:
a) Seluruh rangkaian aktivitas dan hasil dari kegiatan pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
b) Memberikan umpan balik (feedback) terhadap proses dan hasil pembelajaran.
c) Memberikan tugas sebagai bentuk tindak lanjut dari kegiatan pembelajaran
yang telah dilaksanakan.
d) Menyampaikan rencana terkait dengan kegiatan pembelajaran pada pertemuan
berikutnya

Komponen Pembelajaran

Pembelajaran merupakan sebuah sistem yang memiliki sejumlah komponen
yang saling terhubung dan memengaruhi satu sama lainnya. Ruhimat et al.
(2011:148-175) mengungkapkan beberapa komponen pembelajaran sebagai
berikut:
1) Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran adalah target yang ingin dicapai setelah kegiatan
pembelajaran dilaksanakan. Tujuan ini merupakan bagian dari upaya pencapaian
tujuan yang lebih tinggi, yaitu tujuan pendidikan dan tujuan pembangunan nasional.
2) Bahan Pembelajaran
Bahan pembelajaran atau juga sering disebut dengan materi pembelajaran
adalah penjabaran dari isi kurikulum yang kemudian dikemas dalam bentuk mata
pelajaran ataupun bidang studi beserta dengan topik dan rinciannya. Secara umum
isi dari kurikulum dapat dikelompokan kedalam tiga unsur utama, yaitu: logika
(pengetahuan tentang benar-salah), etika (pengetahuan tentang baik-buruk), dan
estetika (pengetahuan tentang keindahan).
3) Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran adalah serangkaian langkah-langkah yang digunakan
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dalam penerapannya
strategi pembelajaran sangat bergantung dan tidak dapat dipisahkan dengan
komponen lain yang terdapat dalam sistem. Dengan kata lain strategi pembelajaran
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti: tujuan, materi, peserta didik, fasilitas,
waktu, dan pendidik.
4) Media pembelajaran
Media pembelajaran adalah alat dan bahan yang dapat membantu dalam
menyampaikan bahan pembelajaran. Selain itu menurut Wirawan et.al (2018:256)
media pembelajaran juga dapat digunakan sebagai upaya meningkatkan kegiatan
belajar peserta didik. Jenis media pembelajaran dapat meliputi: media visual, media
audio, media audio visual, media penyaji, dan media interaktif.
5) Evaluasi pembelajaran
Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan untuk
memperoleh informasi tentang nilai suatu objek yang bersifat menyeluruh. Dalam
prosesnya evaluasi pembelajaran tidak hanya didasarkan pada hasil pengukuran
saja, namun dapat pula didasarkan dari hasil pengamatan yang kemudian
menghasilkan keputusan nilai tentang suatu objek yang bersifat final.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan
kondisi pembelajaran yang baik, keberadaan dari komponen-komponen tersebut
tidak boleh dihilangkan meskipun hanya satu komponen. Disebutkan bahwa salah
satu komponen yang harus tersedia dalam pembelajaran adalah media. Sesuai
dengan poin tersebut, dalam penelitian ini penggunaan aplikasi Kahoot! merupakan
salah satu bentuk dari penerapan media yang dilakukan sebagai upaya untuk
meningkatkan keaktifan dan motivasi belajar peserta didik

Pengertian Pembelajaran

Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 Ayat 20, pengertian dari pembelajaran adalah suatu proses yang
melibatkan interaksi antara peserta didik, pendidik, dan sumber belajar yang
berlangsung pada suatu lingkungan belajar. Peserta didik merupakan objek dari
pendidikan yang mendapatkan pengajaran ilmu melalui proses pembelajaran guna
mengembangkan kemampuan diri. Ilmu yang diterima oleh peserta didik diajarkan
oleh seorang pendidik, yaitu tenaga profesional yang bertugas untuk melakukan
perencanaan dan mengoperasikan proses pembelajaran, melakukan penilaian hasil
pembelajaran, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan kepada peserta didik.
Sedangkan segala bentuk alat dan bahan yang dapat digunakan untuk memberikan
ilmu kepada peserta didik maupun pendidik disebut dengan sumber belajar.
Ruhimat et al. (2011:188) secara garis besar meyebutkan bahwa pembelajaran
pada hakikatnya merupakan interaksi antara peserta didik dengan lingkungan
pembelajarannya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang
dimaksud adalah perubahan perilaku peserta didik yang dapat berupa pengetahuan,
sikap, sampai dengan keterampilan.
Rusman (2018:95) menggambarkan pembelajaran sebagai suatu sistem yang
terbentuk dari beberapa komponen yang saling berhubungan satu sama lain.
Adapun komponen tersebut terdiri dari tujuan, materi, metode, dan evaluasi.
Pendidik sebagai fasilitator mempunyai peran penting dalam mengelola komponenkomponen tersebut. Sebagai contoh, pendidik harus terampil dalam menentukan
dan menyiapkan media, metode, strategi, dan pendekatan yang akan digunakan
dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
merupakan bentuk interaksi antar komponen yang terjadi dalam lingkungan belajar.
Secara garis besar komponen pembelajaran dapat berupa peserta didik, pendidik,
tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Pembelajaran akan terjadi apabila peserta
didik dapat secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar yang diatur oleh
pendidik. Oleh karena itu pendidik mempunyai peran penting dalam mengelola dan
merancang sebuah pembelajaran. Apabila dapat dilaksanakan dengan baik, maka
tujuan dari pembelajaran akan tercapai. Salah satunya yaitu untuk merubah perilaku
peserta didik kearah yang lebih baik serta mengembangkan ilmu, keterampilan, dan
potensi dari peserta didik.

Sasaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Sekolah penerima Dana Bantuan Operasional Sekolah terdiri
dari : SD, SDLB, SMP, SMPLB, SMA, SMALB, SLBdanSMKberikut menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 Tentang PetunjukTeknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler
pasal 3. Pendistribusian dana Bantuan Operasional Sekolah(BOS) ke setiap sekolah dalam periode triwulan oleh pemerintah. Namun, tidak pada wilayah terpencil, akses wilayah yangsulit
dan membutuhkan tambahan biaya yang lebih mahal, maka dari
itu pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuksekolah di wilayah – wilayah tersebut dilaksanakan setiapsatusemester atau enam bulan.Kepala sekolah memegang kendali dalampengelolaandanaBantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalampendistribusiandana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih mengalami
kendala, seperti tidak tepat waktunya pendistribusian danaBantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disebabkanolehbeberapa faktor. Sekolah harus mampu mengelola dana BantuanOperasional Sekolah (BOS) untuk mendukung kegiatan belajar
mengajar yang berkualitas. (Wirakusuma et al., 2017)

Tujuan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 Tentang PetunjukTeknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler
19pasal 15 bahwa penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah(BOS) Reguler untuk pengadaan barang dan/jasa dilaksanakanmelalui mekanisme pengadaan barang dan/jasa di sekolah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang – undangan mengenai
pengadaan barang/jasa oleh satuan pendidikan. Sekolahmenggunakan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untukmembiayai operasional penyelenggara pendidikan di sekolahmeliputi banyak komponen

Pengertian Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanNomor 6 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis PengelolaanDana Bantuan Operasional Sekolah Reguler Pasal 1 bahwa danaBantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah dana yangdigunakan terutama untuk menandai belanja nonpersonalia bagi
satuan pendidikan dasar dan menengah sebagai pelaksanaprogram wajib belajar dan dapat dimungkinkan untuk menandai
beberapa kegiatan lain sesuai dengan ketentuan peraturanperundang – undangan. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikanpemerintah, digunakan untuk penyediaan pendanaan biayaoperasional bagi satuan pendidikan. Selain itu, pemerintahberharap semua lapisan masyarakat dapat mengikuti pendidikantanpa perlu memikirkan biaya pendidikan dan dapat memenuhi
kebutuhan para siswa tanpa adanya pungutan untuk orangtua. (Julantika et al., 2017).

Prinsip – Prinsip Good Corporate Governance

Perlunya menerapkan prinsip – prinsip Good CorporateGovernance terdapat banyak alasan, salah satu alasan utamayang dikemukakan oleh para pakar ialah bahwa prinsip – prinsipGood Corporate Governance diperlukan untuk mengatasi
masalah yang ada dalam pengelolaan perusahaan. Banyakhal
yang harus diperbaiki dalam Corporate Governance, seperti
pembentukan komite audit, peningkatan transparansi informasi, keberadaan komisaris independen, dan meningkatkan hubungandengan investor. Menurut Gudono (2017:143) teori keagenan (Agency Theory) beban yang muncul karena tindakanmanajemen tersebut menjadi agency costs. Agency costs adalahmerupakan biaya yang terjadi manakala solusi organisasi adalahyang dipilih, dengan kata lain aspek kemungkinan bahwamanajemen bisa sengaja mengeksploitasi keunggulan informasi
yang dimilikinya untuk keuntungan mereka sendiri. Tidak hanya perusahaan atau usaha – usaha korporasi, padabidang pendidikan juga membutuhkan penerapan prinsip- prinsip Good Corporate Governance. Untuk instansi pendidikankhususnya sekolah, implementasi yang dibutuhkan yakni GoodSchool Governance. Good School Governance adalah sebuahperangkat pendukung untuk membentuk sebuah sekolah dengantata kelola yang baik. Salah satu hal yang memerlukan penerapanprinsip Good School Governance yakni dalampengelolaankeuangan sekolah. (Susanti, 2019)
Komponen yang menjadi landasan tata kelola suatuperusahaan atau instansi lain dapat disebut baik yakni prinsip- prinsip Good School Governance atau Good CorporateGovernance. Prinsip – prinsip utama Good School Governanceatau Good Corporate Governance yang harus dijalankan dalammanajemen berbasis sekolah (Dasor, 2018), antara lain :
1. Partsipasi Dalam bidang pendidikan partisipasi berhubunganerat
dengan keterlibatan elemen – elemen penunjang pendidikan. Obyek sasaran dari suatu kebijakan yang diputuskan, nilai
partisipasi tidak hanya memperlakukan stakeholders tetapi
menjadi salah satu pelaku atau subjek utama. Keterlibatan pihaksekolah, masyarakat dan pemerintah dibutuhkan dalampengambilan kebijakan publik tidak hanya menghasilkankebijakan yang tepat sasaran pada kebutuhan masyarakat, namunjuga membuat masyarakat ikut bertanggung jawab terhadappelaksanaan kebijakan itu. Sebagai penunjang pendidikan, setiapelemen memiliki tugas dan tanggungjawab masing – masingyang bertujuan mewujudkan pendidikan yang bermutu. 2. Keterbukaan (Transparancy)
Adanya keterbukaan dan kemudahan akses bagi seluruhstakeholders dalam proses pengambilan kebijakan publikpendidikan, khususnya dalam penggunaan sumber daya yangberkaitan dengan publik pendidikan merupakan syarat
pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang baik. Keterbukaan merupakan salah satu aspek dalamterwujudnyapelaksanaan manajemen berbasis sekolah. Tujuan dari
keterbukaan ini membangun rasa saling percaya antarastakeholders pendidikan.Dengan adanya keterbukaan memberikan jaminan kepadamasyarakat memdapatkan informasi kebijakan sehinggamemudahkan masyarakat dan stakeholders melaksanakankontrol. Dalam manajemen berbasis sekolah, keterbukaanatautransparancy dilihat pada tiga aspek, yaitu : 1) adanya kebijakanterbuka terhadap pengawasan, 2) adanya akses informasi
sehingga masyarakat dapat menjangkau setiap segi kebijakandalam pendidikan, 3) berlakunya prinsip check and balance antar
stakeholders pendidikan. 3. Daya Tanggap (Responsivitas)
Kemampuan pimpinan lembaga pendidik bertujuan untukmengenali kebutuhan, menyusun agenda dan prioritas, danmengembangkan program – program yang sesuai dengan aspirasi
dan kebutuhan siswa atau anak didik merupakan penjelasandari
daya tanggap atau responsivitas. Daya tanggap menunjukpadakeselarasan atau kesesuaian antara program dan kegiatan dengankebutuhan peserta didik. 4. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan kemampuan untukmempertanggungjawabkan semua tindakan dan kebijaksanaanyang telah ditempuh. Pengadaan laporan pertanggungjawabanyang jelas, efektif dan terukur merupakan salah satu bentukperwujudan implementasi Good Governance yang bertujuanagar
tata kelola pemerintahan atau instansi berhasil dan dapat
dipertanggungjawabkan. (Iflaha, 2019)
Akuntabilitas adalah tanggung jawab pembuat keputusanyaitu lembaga stakeholders dan pihak penyelenggara pendidikanpublik (masyarakat). Pelaksanaan tugas atau kinerja selamadalam proses penyelenggaraan pendidikan berkaitan erat dengantanggung jawab. Pertanggungjawaban tersebut sebagai bentuk check andbalance yang siap digugat oleh masyarakat. Untuk menciptakansistem mengontrol dan memonitor kinerja agar tercipta efisiensi
dan efektivitas serta kualitas kinerja yang diharapkanakuntabilitas dapat diterapkan dalam manajemen berbasissekolah. Prinsip akuntabilitas sebagai salah satu ciri goodgovernance dapat tercipta dalam lingkungan lembaga pendidikandengan membangun sistem mengontrol dan monitoring. 5. Keadilan (Equity)
Kekuatan kepemimpinan tim sangat dibutuhkan dalampelaksanaan manajemen berbasis sekolah. Setiap pihak dalampenyelenggaraan pendidikan memiliki kesempatan yang samauntuk mendapatkan pendidikan merupakan keadilan dalampelaksanaan manajemen berbasis sekolah. Kualitas pelayananpendidikan juga didapatkan, keadilan tidak hanya mengharuskanpemerintah menjamin masyarakat untuk memperoleh akses samapada pelayanan pendidikan.

Pengertian Good Corporate Governance

Istilah Good Corporate Governance secara umummerupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaanyangdapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihakyang mengurus perusahaan, maupun ditinjau dari “nilai – nilai”yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri. Corporate Governance yakni rangkaian proses yang terstruktur
untuk mengelola serta mengarahkan suatu bisnis atau usaha- usaha korporasi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai – nilai
perusahaan serta kontinuitas usaha.

Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Pada awalnya istilah “strategi” dikenal dalam dunia militer terutama terkait
dengan perang, namun demikian makna itu telah meluas tidak hanya dalam
kondisi perang tetapi juga damai dan dalam berbagai bidang antara lain ekonomi,
sosial, pendidikan, dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1998:203) ada beberapa pengertian dari strategi yakni: (1) ilmu dan seni
menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan
tertentu dalam perang dan damai, (2) rencana yang cermat mengenai kegiatan
untuk mencapai sasaran khusus, sedangkan metode adalah cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud.
Soedjadi (1999:101) menyebutkan strategi pembelajaran adalah suatu siasat
melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah suatu keadaan
pembelajaran kini menjadi keadaan pembelajaran yang diharapkan. Untuk
mengubah keadaan itu dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran.
Lebih lanjut Soedjadi menyebutkan bahwa dalam satu pendekatan dapat dilakukan
lebih dari satu metode dan dalam satu metode dapat digunakan lebih dari satu
teknik. Secara sederhana dapat dirunut sebagai rangkaian: teknik, metode,
pendekatan, strategi.
61
Strategi pembelajaran adalah suatu rencana kegiatan pembelajaran yang dirancang
secara seksama sesuai dengan tuntutan kurikulum sekolah untuk mencapai hasil
belajar siswa yang optimal, dengan memilih pendekatan, metode, media dan
keterampilan-keterampilan tertentu misalnya membelajarkan, bertanya, dan
berkomunikasi. Secara ringkas strategi pembelajaran merupakan cara pandang dan
pola pikir guru agar siswa mampu belajar. Faktor-faktor yang harus menjadi
pertimbangan dalam menyusun strategi pembelajaran adalah: (1) mengaktifkan
siswa, dalam bentuk tugas kelompok, melakukan curah pendapat dalam proses
pembelajaran dan melakukan tanya jawab terbuka; (2) membangun peta konsep
(sistematika materi bahan ajar); (3) menggali informasi dari berbagai media; dan
(4) membandingkan dan mensintesiskan informasi.
Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang optimal, salah satu tugas guru yang
sangat penting adalah membuat persiapan pembelajaran, yang menuntut sejumlah
kemampuan seperti: (1) menguasai materi pelajaran (bahan ajar) dan
karakteristiknya; (2) merumuskan tujuan pembelajaran; (3) memilih materi
pelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajaran dan alat evaluasinya; (4)
merancang pengalaman belajar siswa; (5) menguasai berbagai pendekatan dan
teori belajar; (6) menguasai berbagai metode dan media pembelajaran; (7)
memilih dan mengkombinasikan materi pelajaran, metode, media dengan
pengalaman belajar yang sesuai dengan tujuan dan evaluasi; dan (8) penunjang
keberhasilan proses pembelajaran lainnya.
Agar proses pembelajaran berjalan secara optimal guru perlu membuat strategi,
yaitu “Strategi Belajar Mengajar” (SBM). SBM atau strategi pembelajaran
62
(teaching strategy) menurut Arthur L. Costa (1985:319) merupakan pola kegiatan
pembelajaran yang berurutan, yang diterapkan dari waktu ke waktu dan diarahkan
untuk mencapai suatu hasil belajar siswa yang diinginkan. Pada kegiatan
merancang persiapan mengajar, guru perlu menyusun strategi pembelajaran yang
berupa pemilihan dan penetapan bentuk pengalaman belajar siswa. Dalam hal ini
guru harus menetapkan pendekatan, metode, media, situasi kelas, dan segala
sesuatunya.
Teori belajar konstruktivis juga dikembangkan oleh Piaget. Menurut Piaget
(1971:365) pengetahuan itu akan bermakna manakala dicari dan ditemukan
sendiri oleh siswa. Sejak kecil setiap individu berusaha dan mampu
mengembangkan pengetahuannya sendiri melalui skema yang ada dalam struktur
kognitifnya. Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Piaget dan juga Bruner
(1960:278) yang menganggap bahwa belajar adalah proses penemuan sesuai
dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya
memberikan hasil yang paling baik, berusaha sendiri untuk mencari pemecahan
masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan pengetahuan yang
benar-benar bermakna dan menerapkan strategi pembelajaran inkuiri. Strategi
pembelajaran inkuiri menurut Sanjaya (2009:196) adalah rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis
untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah.
Berdasarkan kajian dan analisis pendidikan terpadu diperoleh hasil:
1. Perlu pembekalan assessment bagi guru tentang kemampuan awal siswa.
2. Kemauan untuk berinteraksi antar pribadi guru.
3. Mengubah kebiasaan guru memberikan penilaian yang sama terhadap siswa
regular dan siswa ABK, sehingga penilaian disesuaikan dengan karakteristik
ABK.
4. Melakukan analisis hasil penilaian dan tindak lanjut kegiatan sesuai dengan
kemampuan ABK.
5. Prinsip pembelajaran secara umum perlu ditambah, yaitu dengan: prinsip
kasih sayang, prinsip kebermaknaan bagi hidup anak (meaningfull), prinsip
perbaikan berkelanjutan, prinsip menghargai perbedaan.
6. Perlu pemahaman bagi guru tentang: pengelolaan kelas dengan ABK di kelas
reguler, aturan penilaian untuk ABK dan kegiatan tindak lanjut atau
ketuntasan belajar ABK.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sagala (2005:88) bahwa pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta konsep atau kaidah yang siap untuk diambil
kemudian diingat lebih dari itu siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Hal ini sesuai dengan paham
konstruktivisme yaitu suatu paham dalam pembelajaran yang mengharuskan siswa
belajar dengan cara membangun pengetahuannya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sagala (2005:88) bahwa pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil
kemudian diingat. Lebih dari itu, siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Hal ini sesuai dengan paham
konstruksivisme yaitu suatu paham dalam pembelajaran yang mengharuskan
siswa belajar dengan cara membangun pengetahuannya.
Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai belajar. Robert M
Gagne (Sagala, 2005:17) menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan yang
terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses
pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila situasi stimulus bersama dengan isi
ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah
dari waktu sebelum ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi. Teori James L.
Mursell (Sagala, 2005:13) mengemukakan belajar adalah upaya yang dilakukan
dengan mengalami sendiri, menjelajahi, menelusuri dan memperoleh sendiri.
Sedangkan menurut Gage (Sagala, 2005:13) belajar adalah sebagai suatu proses
dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan suatu proses psikologis yang terjadi pada diri seseorang yang
menyebabkan terjadinya perubahan yang relatif tetap. Perubahan itu tidak hanya
berupa penambahan ilmu pengetahuan tetapi juga keterampilan dan tingkah laku.
Hasil belajar adalah kemampuan–kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2001:22).
Model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan
berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam
melaksanakan aktivitas pembelajaran (Sagala, 2005:176). Model pembelajaran
menurut teori Soekamto (Trianto, 2007:5) adalah suatu kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.

Manajemen Sumber Daya Masyarakat

Peran masyarakat dalam dunia pendidikan sangat diperlukan untuk
membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Semakin
tinggi partisipasi masyarakat terhadap pendidikan maka akan semakin
maju pendidikan di suatu tempat. Partisipasi masyarakat telah diatur oleh
pemerintah agar dapat dikelola dan dikoordinasikan dengan baik dan lebih
bermakna bagi sekolah, wadah partisipasi masyarakat itu dibuat dalam
bentuk komite sekolah.
Komite sekolah diatur oleh pemerintah dalam Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2012 tanggal 2 April 2012 dinyatakan
bahwa komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan
prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar
sekolah.
Peran komite sekolah inklusi sama seperti komite sekolah reguler seperti
yang tercantum dalam lampiran II Keputusan Mendiknas tahun 2002 yaitu
sebagai:
1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
2. Pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial,
pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan
disatuan pendidikan.
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan disatuan
pendidikan.
4. Mediator antara pemerintah (eksklusif) dengan masyarakat di satuan
pendidikan.
Fungsi komite sekolah dalam pendidikan inklusi juga sama dengan
sekolah reguler, fungsi komite sekolah adalah:
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2. Melakukan upaya kerja sama dengan masyarakat
(perorangan/organisasi/ dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah
berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan. pendidikan yang di ajukan oeh masyarakat.
4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan
pendidikan mengenai:
a. Kebijakan dan program pendidikan.
b. Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
c. Kriteria kinerja satuan pendidikan.
d. Kriteria tenaga pendidikan.
e. Kriteria fasilitas pendidikan.
f. Hal-hal lain yang berkaitan dengan pendidikan.
5. Mendorong orang tua dan masyarakat berpatisipasi dalam pendidikan
guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
6. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaaan
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijkan, program,
penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Peran orang tua anak berkebutuhan khusus, orang tua anak normal dan
siswa normal sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusi. Hal ini berkaitan dengan sikap penerimaan dan penolakan terhadap
konsep pendidikan tersebut. Apabila orang tua anak berkebutuhan khusus,
orang tua anak normal dan siswa normal menerima konsep pendidikan
inklusi, maka hal tersebut sangat baik. Namun, orang tua anak
berkebutuhan khusus, orang tua anak normal dan siswa normal menolak
konsep pendidikan inklusi, maka hal tersebut akan menghambat proses
pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya
pemberian wacana kepada Orang tua anak berkebutuhan khusus, orang tua
anak normal dan siswa normal tentang pendidikan inklusi, bahwa dengan
pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus mampu bersosialisasi lebih
baik di lingkungannya.

Secara umum hubungan sekolah dan masyarakat memiliki tujuan yang
hendak dicapai yakni berupa peningkatan mutu pendidikan, sehingga pada
gilirannya masyarakat akan merasakan dampak langsung dari kemajuan
tersebut. Menurut Aedi dan Rosalin dalam Tim Dosen Administrasi
Pendidikan UPI (2009: 280) tujuan yang lebih konkrit hubungan antara
sekolah dan masyarakat antara lain: 1) guna meningkatkan kualitas
pembelajaran dan pertumbuhan peserta didik, 2) berperan dalam
memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sekaligus menjadi
desakan yang dirasakan saat ini, 3) berguna dalam mengembangkan
program-program sekolah kearah yang lebih maju dan lebih membumi
agar dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai pengguna jasa
pendidikan

Manajemen Pembiayaan

Ketersediaan sejumlah dana yang dimiliki sekolah merupakan salah satu
faktor pendukung terselenggaranya program pendidikan. Ketersediaan
dana yang dimiliki sekolah berkaitan dengan sumber dana sekolah
mencakup pemerintah, orangtua peserta didik, bantuan pihak asing yang
tidak mengikat, dan masyarakat.
UU Nomor 20 Tahun 2003 mengatur pendanaan pendidikan secara khusus
dalam Bab XIII yang secara substansi menyatakan bahwa 1) pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, 2) sumber pendanaan pendidikan
ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberanjuran, 3)
pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas publik, dan 4) pengalokasian dana
pendidikan.
Peraturan lebih lanjut mengenai pendanaan pendidikan terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008. Dalam pasal 2 ayat 1
dijelaskan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sedangkan Pasal 3
menjelaskan:
(1) Biaya pendidikan meliputi:
a. biaya satuan pendidikan;
b. biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan
c. biaya pribadi peserta didik.
(2) Biaya satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. biaya investasi, yang terdiri atas:
1. biaya investasi lahan pendidikan; dan
2. biaya investasi selain lahan pendidikan.
b. biaya operasi, yang terdiri atas:
1. biaya personalia; dan
2. biaya nonpersonalia.
c. bantuan biaya pendidikan; dan
d. beasiswa.
(3) Biaya penyelenggaraan dan/ atau pengelolaan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. biaya investasi, yang terdiri atas:
1. biaya investasi lahan pendidikan; dan
2. biaya investasi selain lahan pendidikan.
b. biaya operasi, yang terdiri atas:
1. biaya personalia; dan
2. biaya nonpersonalia.
Biaya investasi adalah biaya penyelenggaraan pendidikan yang sifatnya
lebih permanen dan dapat dimanfaatkan jangka waktu relatif lama. Biaya
investasi terdiri dari biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan.
Biaya investasi selain lahan dapat digunakan untuk pengadaan sarana dan
prasarana sekolah seperti gedung dan alat penunjang pendidikan seperti
media pembelajaran. Biaya investasi menghasilkan aset dalam bentuk fisik
dan non fisik, berupa kapasitas atau kompetensi sumber daya manusia.
Dengan demikian, kegiatan pengembangan profesi guru seperti pendidikan
pelatihan tentang penanganan siswa berkebutuhan khusus termasuk ke
dalam investasi yang perlu mendapat dukungan dana yang memadai.
Biaya operasi adalah biaya yang diperlukan sekolah untuk menunjang
proses pendidikan. Biaya operasi terdiri dari biaya personalia dan
biaya nonpersonalia. Biaya personalia mencakup: gaji dan tunjangan yang
melekat pada gaji, tunjangan struktural, tunjangan fungsional, tunjangan
profesi, dan tunjangan-tunjangan lain yang melekat dalam jabatannya.
Biaya non personalia, antara lain biaya untuk: Alat Tulis Sekolah, bahan
dan alat habis pakai, pemeliharaan dan perbaikan ringan, pembinaan
siswa/ekstrakurikuler.
Pembiayaan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi misalnya
digunakan untuk media pembelajaran, sarana-prasarana penunjang
(aksesibilitas) bagi ABK, dan pelatihan bagi guru pendamping khusus agar
dapat mengembangkan keilmuan dalam meningkatkan kemampuan dalam
mendidik ABK di sekolah tersebut.

Manajemen Sarana dan Prasarana

Menurut Sutikno (2012: 86) manajemen sarana prasarana dapat diartikan
kegiatan menata, mulai dari merencanakan kebutuhan, pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran, pendayagunaan, pemeliharaan,
penginventarisan dan penghapusan serta penataan lahan, bangunan,
perlengkapan, dan perabot sekolah secara tepat guna dan tepat sasaran.
Manajemen sarana dan prasarana hendaknya disesuaikan dengan tuntutan
kurikulum yang telah dikembangkan dan dibutuhkan adanya sarana yang
memungkinkan anak untuk mengembangkan kreatifitasnya. Dalam
Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB (2004:4)
menjelaskan bahwa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh
anak berkebutuhan khusus, maka sarana-prasarana yang diperlukan
sekolah inklusi selain sarana-prasarana umum juga sarana prasarana
khusus yang sesuai dengan anak berkebutuhan khusus.
Sarana-prasarana tersebut antara lain seperti Sarana-prasarana Umum
meliputi: ruang kelas beserta perlengkapannya (perabotnya); ruang
praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya; ruang perpustakaan,
beserta perangkatnya; ruang serbaguna, beserta perlengkapannya;. ruang
BP/BK, beserta perlengkapannya; ruang UKS; ruang Kepala Sekolah,
Guru, dan Tata Usaha, lapangan olahraga; Toilet; ruang ibadah; ruang
kantin.
Sarana Khusus yang meliputi: (1) Tunarungu/Gangguan Komunikasi: Alat
Asesmen, bervariasinya tingkat kehilangan pendengaran pada anak
tunarungu/gangguan komunikasi, menuntut adanya pengelolaan yang
cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang
dimilikinya. Hal ini penting dalam upaya menentukan apa yang
dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan
kemampuan dan keadaannya. Asesmen kelainan pendengaran dilakukan
untuk mengukur kemampuan pendengaran, atau untuk menentukan tingkat
kekuatan suara/sumber bunyi. Alat yang digunakan untuk asesmen
pendengaran anak tunarungu seperti: Scan Test, Bunyi-bunyian, Garpu
Tala, Audiometer & Blanko Audiogram, Mobile Sound Proof, Sound level
meter; Alat Bantu Dengar, Anak tunarungu mengalami gangguan
pendengaran baik dari ringan sampai berat/total. Untuk membantu
pendengarannya, dapat dilakukan mengunakan alat bantu dengar (hearing
aid).
Latihan Bina Persepsi Bunyi dan Irama, Pada umumnya anak tunarungu
mengalami gangguan pendengaran baik ringan maupun secara
keseluruhan/total, sehingga mengakibatkan gangguan atau hambatan
komunikasi dan bahasa. Untuk pengembangan komunikasi dan bahasa
dapat dilakukan mengunakan alat-alat seperti; Speech and Sound
Simulation, Spatel, Cermin, Alat latihan meniup (seruling, kapas,
terompet, peluit), Alat Musik Perkusi (gong, gendang, tamborin, triangle,
drum, kentongan), Meja latihan wicara, Sikat getar, Lampu aksen (kontrol
suara), dan TV/VCD; Alat Bantu Belajar/Akademik, untuk membantu
penguasaan kemampuan di bidang akademik, maka dibutuhkan layanan
dan peralatan khusus. Alat-alat yang dapat membantu mengembangkan
kemampuan akademik pada anak tunarungu dapat berupa: Anatomi
Telinga, Miniatur Benda, Finger Alphabet, Model Telinga, Torso
Setengah Badan, Puzzle Buah-buahan, Puzzle Binatang, Puzzle
Konstruksi, Silinder, Model Geometri, Kartu Kata, Kartu Kalimat,
Menara Segi tiga, Menara Gelang, Menara Segi empat, Atlas, Globe, Peta
Dinding, dan Miniatur Rumah Adat; (2) Tunagrahita/Anak Lamban
Belajar: Alat asesmen, Asesmen pada anak tunagrahita dilakukan untuk
mengukur tingkat intelegensi dan kognitif, baik secara individual maupun
kelompok. Alat untuk asesmen anak tunagrahita dapat digunakan seperti
berikut ini: Tes Intelegensi WISC-R, Tes Inteligensi Stanford Binet,
Cognitive Ability test; Latihan Sensori Visual, untuk membantu sensori
visual anak tunagrahita dapat digunakan alat sebagai berikut: Gradasi
Kubus, Gradasi Balok, Silinder, Menara Gelang, Kotak Silinder, Multi
Indera, Puzle, Boks Sortor Warna, Geometri Tiga Dimensi, Papan
Geometri (Roden Set)], Kotak Geometri (Box Shape), Konsentrasi
Mekanis.
Latihan Bina Diri. Alat yang digunakan latihan bina diri dapat berupa:
Berpakaian, Dressing Frame Set, Sikat Gigi, Pasta Gigi dan lain
sebagainya; Konsep dan Simbul Bilangan, Alat yang digunakan melatih
konsep dan simbul bilangan dapat berupa: Keping Pecahan, Balok
Bilangan, Geometri Tiga Dimensi, Abacus, Papan Bilangan (Cukes),
Tiang Bilangan (Seguin Bretter), Kotak Bilangan, Alphabet Loweincase,
Pias Huruf, Alphabet Fibre Box, Pias Kalimat; latihan Perseptual Motor,
alat yang digunakan melatih perseptual motor dapat berupa: Bak Pasir,
Papan Keseimbangan, Gradasi Papan Titian, Keping Keseimbangan,
Power Raider, Formensortierspiel, Balancier Zehner, Balamcierbrett,
Handbalancier Spidel, Balanceierwippe, Balancier Steg. (3). Tunadaksa,
alat Asesmen seperti berikut ini: Finger Goniometer, Flexometer, Plastic
Goniometer, Reflex Hammer, Posture Evaluation Set, TPD
Arsthesiometer, Gound Rhytem Tibre Instrumen, Cabinet Geometric
Insert, Color Sorting Box, Tactile Board Set, alat latihan fisik, alat-alat
yang dapat digunakan dapat berupa: Safety Walking Strap, Straight
(tangga), Sand-Bag, Floor Sitter, Kursi CP, Individual Stand-in Table,
Walking Parallel, Walker Khusus CP, Balance Beam Set, Dynamic Body
and Balance, Kolam Bola-bola, Bola karet, Balok berganda, Balok titian,
Dressing Frame Set, Lacing Shoes.
Alat bantu belajar/akademik, alat-alat yang dapat membantu
mengembangkan kemampuan akademik pada anak tunadaksa dapat
berupa: Kartu Abjad, Kartu Kata, Kartu Kalimat, Torso Seluruh Badan,
Geometri Shape, Menara Gelang, Menara Segitiga, Menara Segiempat,
Gelas Rasa, Botol Aroma, Abacus dan Washer, Papan Pasak, Kotak
Bilangan. (4). anak yang mengalami kesulitan belajar, alat asesmen,
Asesmen pada anak yang mengalami kesulitan belajar dilakukan untuk
mengetahui bentuk kesulitan belajar dan untuk memperoleh informasi
yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan
program pembelajarannya. Alat yang digunakan untuk asesmen anak yang
mengalami kesulitan belajar seperti berikut ini: Instrumen ungkap riwayat
kelainan, dan Tes Inteligensi WISC; alat bantu ajar/akademik; Kartu
Abjad, Kartu Kata, Kartu Kalimat, Balok Bilangan, Pias angka, Kotak
Bilangan, Papan bilangan.
Sarana khusus yang perlu disediakan di sekolah inklusi, apabila peserta
didiknya ada yang tunarungu meliputi: ruang asesmen, ruang konsultasi,
ruang latihan bina wicara, ruang bina persepsi bunyi dan irama, ruang
remedial, ruang latihan fisik, lapangan olahraga, ruang penyimpanan alat,
ruang latihan bina diri, dan ruang keterampilan.

Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Menurut Endang Herawan dan Hartini dalam Tim Dosen Administrasi
Pendidikan UPI (2009: 229) manajemen pendidik dan tenaga kependidikan
adalah aktivitas yang harus dilakukan mulai dari tenaga pendidik dan
kependidikan itu masuk ke dalam organisasi pandidikan sampai akhirnya
berhenti melalui proses perencanaan SDM, perekrutan, seleksi,
penempatan, pemberian kompensasi, penghargaan, pendidikan dan latihan/
pengembangan dan pemberhentian.
Pada saat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di sekolah, yang
siswanya terdiri atas anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan
khusus, disamping diperlukan guru kelas dan guru mata pelajaran,
diperlukan pula Guru Pendidikan Khusus (GPK) yang merupakan partner
guru kelas dan guru mata pelajaran dalam upaya melayani anak
berkebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki berkembang optimal.
GPK sebaiknya diusulkan oleh kepala sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi kepada pemerintah daerah setempat untuk menunjang pelaksanaan
pendidikan inklusi.
Terdapat peraturan yang berkaitan dengan hal ini, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 41 ayat (1) pada PP tersebut menyatakan bahwa “setiap satuan
pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga
kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus”. Pasal ini jelas
menunjukkan adanya keharusan satuan pendidikan inklusi untuk
menyediakan guru yang memiliki kompetensi mengelola peserta didik
berkebutuhan khusus. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
yang antara lain menyebutkan pemerintah wajib membiayai
penyelenggaraan pendidikan dasar bagi semua warga negara. Dalam dua
peraturan yang terkait ini, jelas pemerintah daerah sebagai pihak yang
memiliki wewenang dalam penyelenggaraan pendidikan memiliki
kewajiban untuk menyiapkan GPK di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi.
Pada buku Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB
(2004: 9-10) tugas GPK antara lain sebagai berikut: (1) menyusun
intrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru
mata pelajaran, (2) membangun sistem koordinasi antara guru, pihak
sekolah dan orang tua peserta didik, (3) melaksanakan pendampingan anak
berkebutuhan khusus pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan
guru kelas atau guru mata pelajaran, (4) memberikan bantuan layanan
khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan
dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remedial
ataupun pengayaan, (5) memberikan bimbingan secara berkesinambungan
dan membuat catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus
selama mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi
pergantian guru, (6) memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru
kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberi pelayanan
pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Tenaga kependidikan yang mengajar hendaknya memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan atau
dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa. Adapun tenaga
kependidikan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.; guru reguler, guru
khusus, psikolog, dokter, psikiatri anak, okupasi terapi, dan sebagainya.
Pada Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB
(2004:21-22) dijelaskan bahwa Kompetensi Guru Pendidikan Khusus
dilandasi oleh tiga kemampuan (ablity) utama, yaitu: (1) kemampuan
umum (general ability), (2) kemampuan dasar (basic ability), dan (3)
kemampuan khusus (specific ability).
Kemampuan umum adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik
peserta didik pada umumnya (anak normal), sedangkan kemampuan dasar
adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik luar
biasa (anak berkelainan), kemudian kemampuan khusus adalah
kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik luar biasa jenis
tertentu (spesialis).

Manajemen Proses Penilaian

Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam penilaian, yaitu evaluasi
(evaluation), pengukuran (measurement), dan penilaian (asessment).
Menurut Direktorat PSLB (2005: 4) evaluasi adalah kegiatan identifikasi
untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah
tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat
tingkat efisiensi pelaksanaannya. Pengukuran adalah proses pemberian
angka atau usaha memperoleh diskripsi numerik dari suatu tingkatan
dimana seorang siswa telah mencapai karakteristik tertentu. Sedangkan
penilaian adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat
penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar
siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
menjelaskan penilaian pada pendidikan inklusi pada pasal (1) sampai
dengan pasal (6) yaitu: (1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik
pendidikan inklusi mengacu pada jenis kurikulum tingkat satuan
pendidikan yang bersangkutan, (2) Peserta didik yang mengikuti
pembelajaran berasarkan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan
standar nasional pendidikan atau di atas standar nasional pendidikan wajib
mengikuti ujian nasional, (3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan
mengikuti pembelajaran berdasarkan kurikulum yang dikembangkan di
bawah standar pendidikan mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan.
(4) Peserta didik yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh
Pemerintah, (5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan
pendidikan berasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan di bawah standar nasional pendidikan mendapatkan surat tanda
tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang
bersangkutan, (6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar
dapat melanjutkan pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi
pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau
satuan pendidikan khusus.
Penilaian terhadap hasil belajar merupakan penilaian kemampuan yang
dimiliki siswa dengan kebutuhan khusus setelah menerima pengalaman
belajarnya. Selain itu pada pendidikan inklusi, perkembangan individu dan
keterampilan sosialisasi anak kebutuhan khusus menjadi kriteria
keberhasilan karena merupakan tujuan pendidikan inklusi, yaitu agar anak
dengan kebutuhan khusus dapat hidup normal dilingkungan masyarakat
umum.

Manajemen Proses Pembelajaran

Kegiatan pembelajaran begitu amat penting peranannya dalam upaya
mengembangkan kompetensi siswa secara optimal, maka seyogyanya
proses pembelajaran menjadi fokus utama untuk terus menerus
ditingkatkan kualitasnya. Bjorndal dan Lieberg dalam Jhonsen (2003: 308)
menjelaskan mengenai perangkat kriteria umum untuk kegiatan
pembelajaran yang berkualitas sebagai berikut: 1) Konsisten dengan
seluruh program pembelajaran; 2) Cukup sesuai dengan tujuan; 3)
Bervariasi dan serba beragam; 4) Adaptif terhadap individu dan kelompok
siswa; 5) Seimbang dan kumulatif; 6) Relevan dan bermakna; 7) Terbuka
terhadap integrasi optimal dengan kegiatan belajar lain; 8) Terbuka
terhadap pilihan siswa.
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara
efektif dan efisien, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip
pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusi secara umum
sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada
umumnya.
Namun demikian, karena di dalam kelas inklusi terdapat anak berkelainan
yang mengalami kelainan/penyimpangan baik fisik, emosi, intelektual,
sosial, dan/atau sensoris dibanding dengan anak pada umumnya, maka
guru yang mengajar di kelas inklusi disamping prinsip umum
pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus
sesuai dengan kelainan anak.
Menurut Tarmansyah (2007:192-193) bahwa prinsip-prinsip khusus
pembelajaran sesuai dengan kelainan anak, sebagai berikut: (1) Tunanetra,
belajar bagi anak dengan gangguan penglihatan, terutama melalui
pendengaran dan perabaan, menggunakan benda konkrit, belajar sambil
melakukan atau anak mengalami apa yang dijelaskan oleh guru, dan
pengalaman yang menyatu. (2) Tunarungu, Dalam proses pembelajaran
dengan anak tunarungu atau anak dengan gangguan pendengaran,
prinsipnya adalah keterarahan wajah, keterarahan suara, dan keperagaan,
(3) Tunagrahita dan lambat pelajar, pembelajaran bagi anak tunagrahita
dan anak lambat belajar (slow learner) adalah prinsip kasih sayang,
keperagaan, dan rehabilitasi, (4) Tunadaksa, pembelajaran bagi anak tuna
daksa atau anak gangguan fisik yang perlu diperhatikan adalah layanan
medik, pendidikan, dan sosial, (5) Tunalaras, bagi anak tunalaras prinsip
pembelajaran yang perlu perhatikan adalah kebutuhan dan keaktifan,
kebebasan yang terarah, penggunaan waktu luang, kekeluargaan dan
kepatuhan, disiplin, dan kasih sayang.
Pada Pedoman Penyelenggaran Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB
(2004:9) proses belajar mengajar lebih banyak memberikan kesempatan
belajar kepada siswa melalui pengalaman nyata. Proses belajar mengajar
meliputi: (1) Perencanaan pembelajaran; Perencanaan pembelajaran
merupakan hasil dari asesmen yang telah dilakukan terhadap anak, dengan
menyesuaikan kurikulum pembelajaran menurut kebutuhan anak dan
bersifat fleksibel. Dalam program pendidikan inklusi, perencanaan
kegiatan pembelajaran terdiri dari: merencanakan pengelolaan kelas,
pengorganisasian bahan, pengelolaan kegiatan pembelajaran, penggunaan
sumber belajar, dan merencanakan penilaian. (2) Pelaksanaan kegiatan
pembelajaran; Pada saat kegiatan pembelajaran anak berkebutuhan khusus
bergabung dengan anak-anak normal, tetapi pada saat-saat tertentu ketika
anak berkebutuhan khusus tidak dapat mengikuti pembelajaran anak
tersebut dapat dimasukkan ke dalan kelas khusus bersama dengan guru
khusus. Pelaksanaan proses pembelajaran terdiri dari; berkomunikasi
dengan siswa, mengimplementasikan metode, sumber belajar, dan bahan
latihan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, mendorong siswa untuk
terlibat secara aktif, mendemonstrasikan penguasaan materi dan
relevansinya dalam kehidupan, dan mengelola waktu, ruang, bahan, dan
perlengkapan pengajaran. (3) Evaluasi kegiatan belajar mengajar; Evaluasi
merupakan langkah yang perlu direncanakan sebelumnya. Tujuannya
adalah untuk melihat tercapai tidaknya keberhasilan dan juga untuk
melihat perlu tidaknya modifikasi.
Selain itu, menurut Sapon–Shevin seperti yang dikutip oleh Sunardi
(1996:92-94) ada lima profil pembelajaran di sekolah inklusi. (1)
Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang
hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru
mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung
semua anak secara penuh dengan menekankan pada kemampuan, kondisi
fisik, sosial-ekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi
berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. (2)
Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan
kurikulum secara mendasar. Pembelajaran di kelas inklusi akan bergeser
dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi
tertentu, menuju pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan
kerjasama antarsiswa dan bahan belajar tematik.
(3) Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk
mengajar secara interaktif; Perubahan di dalam kurikulum berkaitan erat
dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana
seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan
semua anak di kelas. Hal ini harus digeser dengan model antarsiswa saling
bekerjasama, saling mengajar dan belajar, dan secara aktif saling
berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap pendidikannya sendiri serta
pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk
berkompetisi melainkan untuk belajar dan mengajar dengan yang lain. (4)
Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya
secara terus menerus serta penghapusan hambatan yang berkaitan dengan
isolasi profesi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi adalah pengajaran
dengan tim, kolaborasai dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur
keterampilan, pengetahuan, serta bantuan individu yang bertugas mendidik
sekelompok anak. Kerjasama anatara guru dengan profesi lain dalam suatu
tim sangat diperlukan, seperti dengan profesional, ahli bina bicara, petugas
bimbingan guru pembimbing khusus, dan sebagainya. (5) Pendidikan
inklusi berati melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses
perencanaan; Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada
partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya
keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran individual dan
bantuan dalam belajar di rumah

Manajemen Kurikulum

Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum
disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Menurut Rusman (2009:3)
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Sedangkan manajemen kurikulum masih menurut Rusman (2009:3)
sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif,
komprehensif, sistemik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan
ketercapaian tujuan kurikulum. Pada pelaksanaannya, manajemen
kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusi
dapat mengalami modifikasi sesuai dengan karakteristik masing-masing
peserta didik. Pada Pedoman Penyelenggaran Pendidikan Inklusi
Direktorat PSLB (2004:7) setiap peserta didik memiliki karakteristik
tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, perbedaan
karakteristik tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan kebutuhan
layanan pendidikan bagi setiap peserta didik. Kurikulum yang
dikembangkan hendaknya mengacu kepada kemampuan awal dan
karakteristik siswa, sehingga siswa memiliki program pengajaran secara
individual. Kurikulum yang digunakan di kelas inklusi adalah kurikulum
anak normal (reguler) yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan
kemampuan awal dan karakteristik siswa.

Manajemen Kesiswaan

Menurut Nasihin dan Sururi dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan
UPI (2009: 205) peserta didik adalah orang/individu yang mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
agar tumbuh dan berkembang dengan baik serta mempunyai kepuasan
dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh pendidiknya.
Sedangkan manajemen peserta didik menurut Nasihin dan Sururi dalam
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI (2009: 205) adalah sebagai usaha
pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik terebut masuk
sekolah sampai dengan mereka lulus. Adanya manajemen peserta didik
merupakan upaya untuk memberikan layanan yang sebaik mungkin kepada
peserta didik semenjak dari proses penerimaan sampai pada saat peserta
didik lulus dari lembaga pendidikan (sekolah) tersebut.
Pada sekolah inklusi, penerimaan peserta didik/siswa baru hendaknya
memberi kesempatan dan peluang kepada anak luar biasa untuk dapat
diterima dan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Untuk tahap awal,
agar memudahkan pengelolaan kelas, seyogianya setiap kelas inklusi
dibatasi tidak lebih dari 2 (dua) jenis kelainan anak luar biasa, dan jumlah
keduanya tidak lebih dari 5 (lima) anak. Kemampuan awal dan
karakteristik siswa berkebutuhan khusus menjadi acuan utama dalam
mengembangkan kurikulum dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses
belajar mengajar.
Oleh sebab itu, guru harus mengetahui latar belakang dan kebutuhan
masing-masing peserta didik agar dapat memberikan pelayanan dan
bantuannya dengan tepat. Setiap peserta didik memiliki kebutuhan yang
berbeda baik karena faktor yang bersifat permanen seperti hambatan
penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan fisik, ataupun yang tidak
permanen seperti masalah sosial, bencana alam, dan lain-lain. Oleh karena
itu penting bagi guru memiliki kemampuan mengidentifikasi dan asesmen
peserta didik atau calon peserta didik untuk mengetahui ada tidaknya anak
berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhannya dan mengetahui keunggulan dan hambatan
masing-masing peserta didik untuk merancang program pembelajarannya.
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi
apakah anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual,
sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) atau tidak. Hasil dari
identifikasi akan dilanjutkan dengan asesmen, yang hasilnya akan
dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan
kemampuan dan ketidak mampuannya. Menurut Jhonsen (2003:319)
asesmen bertujuan untuk mengumpulkan, menafsirkan, dan merenungkan
berbagai informasi untuk menyesuaikan tindakan ke arah tujuan masa
depan. Pada pendidikan kebutuhan khusus asesmen bertujuan untuk
menarik perhatian pada hambatan-hambatan belajar yang spesifik,
berbagai kemungkinan lingkungan belajar/ mengajar beserta pengadaptasiannya, proses dan hasilnya, serta hubungan kontekstualnya.

Manajemen Pendidikan Inklusi

Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses pengaturan dan pengelolaan
sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Pengaturan dan
pengelolaan tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses yang terkait erat dengan tujuan
dan efektivitas serta efisiensi penyelenggaraan suatu sistem penyelenggaraan
pendidikan bagi seluruh anak tanpa terkecuali. Pada tatanan mikro manajemen
pendidikan inklusi diartikan sebagai upaya untuk mengelola sumber daya
pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang
kondusif agar peserta didik dapat menunjukkan potensinya secara optimal.
Menurut Dedy Kustawan (2012:52) bahwa manajemen pendidikan inklusi dimulai
dari penerimaan siswa baru atau anak berkebutuhan khusus, modifikasi
kurikulum, proses pembelajaran, proses penilaian, pemberdayaan pendidik dan
tenaga pendidikan, pengelolaan sarana dan prasarana, pembiayaan dan dukungan
masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi.

Tujuan Pendidikan Inklusi

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 2
menjelaskan pendidikan inklusi bertujuan untuk (1) memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya, (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Selain itu menurut Mulyono Abdurrahman dalam Arum (2005:77) alasan
perlunya penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah lebih menjamin terbentuknya
masyarakat madani yang demokratis, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan,
menghindarkan anak dari rasa rendah diri, memberikan kemudahan untuk
melakukan penyesuaian sosial, anak dapat saling belajar tentang pengetahuan dan
keterampilan, guru reguler dan guru pendidikan khusus dapat saling belajar
tentang anak, anak dengan kebutuhan khusus dapat memperoleh prestasi
akademik maupun sosial yang lebih baik. Penggunaan sumber belajar dapat
dilakukan secara lebih efisien. dapat mengurangi rasa takut dan dapat membangun
persahabatan, menghargai orang lain, dan saling pengertian, lebih efektif bagi
anak untuk mengembangkan rasa persahabatan dan menyiapkan diri menghadapi
kehidupan orang dewasa dalam lingkungan kerja yang beraneka ragam setelah
selesai sekolah, memudahkan anak dengan kebutuhan khusus untuk mengenal
lingkungan sosial dan toleransi yang dapat mengurangi rasa sakit akibat
penolakan, sesuai dengan filosofi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, dan sesuai
dengan tuntutan perundang-undangan nasional maupun internasional.
Buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB
(2004:3-4) diuraikan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi di
Indonesia adalah: 1) Untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
semua anak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya,
termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. 2) untuk membantu mempercepat
program wajib belajar pendidikan dasar. 3) untuk membantu meningkatkan mutu
pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus
sekolah. 4) untuk menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. 5) untuk
memenuhi amanat konstitusi.
Tujuan pendidikan inklusi diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
inklusi adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan
pemdidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus,
dan membantu meningkatkan mutu pendidikan.

Kebijakan Nasional Pendidikan Inklusi

Kebijakan pendidikan inklusi telah dibahas di berbagai konvensi-konvensi
internasional dan peraturan perundang-undangan nasional. Konvensi internasional
mensyaratkan kepada setiap negara untuk membuat peraturan perundangundangan untuk menjamin pelaksanaan pendidikan inklusi disetiap negara.
Kebijakan-kebijakan internasional mengenai penyelenggaraan pendidikan inklusi
ditemukan antara lain: Declaration of Human Right 1948, Convention on the
Rights of the Child 1989, Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) dan Konferensi
Dakar tahun 2000.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak atas pendidikan. Oleh karena itu dalam pasal 2 ditegaskan bahwa
Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak setiap anak yang berada dalam
wilayah hukumnya tanpa diskriminasi apapun, tanpa memandang ras anak atau
orang tuanya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau
pendapatnya lainnya, suku atau asal muasal sosial, hak milik, kecacatan, kelahiran
ataupun status lainnya. Sedangkan dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989
menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib bagi setiap anak dan
Negara membebaskan biayanya.
Deklarasi Salamanca dikeluarkan dalam sebuah konferensi internasional yang
diselenggarakan di Salamanca Spanyol pada tahun 1994, konferensi ini dihadiri
oleh Menteri-Menteri Pendidikan sedunia, termasuk Indonesia. Deklarasi
Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya
belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada mereka. Dalam pasal 2 deklarasi ini dinyatakan bahwa sekolah
regular dengan orientasi inklusi merupakan tempat yang paling efektif untuk
memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun
sebuah masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua.
Sedangkan kebijakan-kebijakan nasional mengenai penyelenggaraan pendidikan
inklusi ditemukan antara lain: Undang Undang Dasar 1945, Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998
tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.Undang Undang Dasar 1945 alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 menyatakan
bahwa “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan bangsa….”. Selanjutnya, UUD 1945 mewajibkan setiap warga
negara mengikuti pendidikan dasar dan untuk hal tersebut negara dibebankan
kewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana penunjang untuk
memperlancar kegiatan belajar mengajar hingga tujuan mencerdaskan bangsa
dapat tercapai. Sedangkan dalam 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa “setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pasal 31 tersebut menegaskan bahwa
setiap warga negara, tanpa kecuali termasuk anak- anak berkebutuhan khusus
berhak mendapatkan pendidikan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal
51 menegaskan bahwa anak yang penyandang cacat fisik dan/atau mental
diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
biasa dan pendidikan luar biasa, serta Undang-undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 2, yang menyatakan warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus atau kecerdasan
luar biasa diselenggarakan secara inklusi atau berupa sekolah khusus.
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus kemudian diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 131 antara lain ayat 1
sampai 4 berbunyi: 1) Pemerintah provinsi menyelenggarakan paling sedikit 1
(satu) satuan pendidikan khusus untuk setiap jenis kelainan dan jenjang
pendidikan sebagai model sesuai dengan kebutuhan peserta didik, 2) Pemerintah
kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan
pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan
peserta didik, 3) Penjaminan terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu)
satuan pendidikan umum dan 1 (satu) satuan pendidikan kejuruan yang
memberikan pendidikan khusus 4) Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah kabupaten/kota
menyediakan sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta
didik berkelainan.
Sedangkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 1
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Dalam
pasal 4 disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1
(satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap
kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
Menurut Arum (2005: 107-113) ada empat landasan yang dapat menjadi acuan
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, keempat landasan tersebut adalah:
a. Landasan Filosofis
Sebagai bangsa yang memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, maka
penyelenggaraan pendidikan inklusi harus diletakkan atas dasar pandangan
hidup atau filosofi bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia memiliki
filosofi Pancasila yang merupakan lima pilar keyakinan sekaligus cita-cita
yang didirikan atas landasan yang lebih mendasar yang disebut Bhineka
Tunggal Ika adalah suatu wujud pengakuan kebhinekaan antar manusia yang
mengemban misi tunggal sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Filosofi
Bhineka Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi
kemanusiaan yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan
benar dapat berkembang hingga hampir takterbatas. Berdasarkan Filosofi
Bhineka Tunggal Ika, kekurangan atau keunggulan adalah suatu bentuk
kebhinekaan seperti halnya dengan suku, agama, ras, budaya, dan sebagainya.
Dengan demikian kekurangan dan kelebihan tidak dapat dijadikan sebagai
alasan untuk memisahkan peserta didik dari pergaulannya dengan peserta
didik lainnya karena dengan bergaul memungkinkan terjadinya saling belajar
tentang perilaku dan pengalaman.
b. Landasan Religius
Manusia berfilsafat karena ingin menemukan kebenaran hakiki melalui
kemampuan nalarnya. Karena kebenaran hakiki berasal dari sumber yang
tunggal, Tuhan Yang Esa, kebenaran filosofis seharusnya dapat bertemu
dengan kebenaran agama. Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan
pendidikan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan agama. Adanya siswa
yang membutuhkan layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah
menifestasi dari hakikat manusia yang individual differences.
c. Landasan Keilmuan
Beberapa penelitian tentang penyelenggaraan pendidikan telah dilakukan
sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan kependidikan. Menurut
Andrew, dkk (1993:186) pendidikan yang segregatif-eksklusif telah gagal
meningkatkan pencapaian kompetensi akademik maupun kompetensi sosial;
dan peserta didik secara keseluruhan, baik anak berkebutuhan khusus maupun
normal, tidak mampu mengembangkan kepekaan sosial yang penting artinya
bagi kehidupan bersama. Karena adanya realita semacam itu, maka jawaban
atas permasalahan kompetensi sosial adalah dengan menyelenggarakan
pendidikan yang inklusi.
d. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hierarkhi dari undang-undang dasar, undangundang, peraturan pemerintah, kebijakan menteri, kebijakan direktur jenderal,
peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Landasan
yuridis juga melibatkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang
berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO di Salamanca,
Spanyol, pada tahun 1994, telah ditetapkan agar pendidikan diseluruh dunia
dilaksanakan inklusi. Pendidikan inklusi di Indonesia dijamin oleh UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang
menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus atau kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusi atau berupa
sekolah khusus. Kemudian penjelasan lebih lebih lanjut tentang pendidikan
inklusi diatur oleh Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009.

Pengertian Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi lahir dari sebuah filosofi bahwa pendidikan adalah hak setiap
manusia dengan menghargai setiap perbedaan. Pendidikan inklusi memberikan
layanan kepada setiap peserta didik sesuai dengan kebutuhan masing-masing
peserta didik. Pengertian pendidikan inklusi dikemukakan oleh Stainback dalam
Sunardi (1996:90) mengartikan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang
menampung semua murid di kelas yang sama, sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap murid. Pengertian pendidikan inklusi menurut Sapon-Shevin
seperti dalam Sunardi (1996:91) adalah sebagai sistem layanan pendidikan luar
biasa yang mempersyaratkan agar semua anak yang berkebutuhan khusus dilayani
di sekolah-sekolah terdekat di kelas bersama teman-teman sebayanya.
Kemudian juga pernyataan Salamanca (Salamanca Statement), pada tahun 1994
seperti yang dikutip oleh Budiyanto (2005:12), tentang prinsip, kebijakan dan
praktek-praktek dalam pendidikan khusus di dalam sistem adalah:
a. Menegaskan kembali komitmen terhadap pendidikan untuk semua, dan
mendesakkan pendidikan bagi anak, remaja, dan orang dewasa berkebutuhan
khusus di dalam sistem pendidikan reguler.
b. Meyakini dan menyatakan bahwa setiap anak mempunyai hak mendasar
untuk memperoleh pendidikan dan harus diberi kesempatan untuk mencapai
serta mempertahankan tingkat pengetahuan yang wajar. Setiap anak
mempunyai kartakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang
berbeda-beda. Sistem pendidikan hendaknya dirancang dan program
pendidikan dilaksanakan dengan mempertimbangkan keanekaragaman
tersebut. Mereka yang berkebutuhan khusus harus memperoleh akses ke
sekolah-sekolah reguler, yang juga harus mengakomodasi mereka dalam
rangka pendidikan yang berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
c. Mendorong partisipasi orang tua, masyarakat, dan organisasi penyandang
cacat dalam perencanaan, proses pengambilan keputusan yang menyangkut
masalah program pendidikan khusus.
Pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan
sebuah sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat belajar
bersama dengan teman-teman sebayanya di sekolah umum yang ada di
lingkungan mereka dan sekolah tersebut dilengkapi dengan layanan pendukung
serta pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak

Pendidikan Inklusi

Pernyataan Salamanca dan kerangka aksi tentang Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (1994) hingga saat ini merupakan dokumen internasional utama tentang
prinsip-prinsip dan praktek pendidikan inklusi, seperti tercantum dalam
Declaration of Human Right (1948) Education for all yang dideklarasi di
Bangkok (1991). Semua pedoman ini juga dipertegas oleh UUD 1945 pasal 31
yang menyatakan setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Hal ini juga
termasuk bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Serta Undang-undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 2, yang
menyatakan warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental
intelektual dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pendidikan inklusi harus dipahami sebagai pendidikan bukan hanya untuk anak
yang berkelainan, melainkan bagi semua anak tanpa membedakan status, gender,
termasuk anak-anak yang ”terkucilkan”, ketidak beruntungan dalam segala faktor,
baik secara internal maupun eksternal. Perlu ada kesepahaman tentang pendidikan
inklusi ini bagi semua kalangan.

Pendidikan Inklusif

Secara sederhana pendidikan inklusif merupakan proses dalam pelaksanaan tugas
pendidikan inklusi dengan mendayagunakan segala sumber secara efisien untuk
mencapai tujuan secara efektif. Pendidikan menurut Pidarta (1988:4) manajemen
itu dapat diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar
terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan
sebelumnya. Manajemen pendidikan menurut Usman (2010:12) dapat
didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Engkoswara (2001:2) memberikan pengertian manajemen pendidikan ialah suatu
ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang
baik bagi manusia yang turut serta di dalam mencapai tujuan yang disepakati
bersama. Sedangkan menurut Mulyati dan Komariah (2008:88), manajemen
pendidikan adalah adalah suatu penataan bidang garapan pendidikan yang
dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf,
pembinaan, pengkoordinasi-an, pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran,
pengendalian, pengawasan, penilaian dan pelaporan secara sistematis untuk
mencapai tujuan pendidikan secara berkualitas.
Pengertian di atas tampak bahwa pendidikan inklusif pada prinsipnya merupakan
suatu bentuk penerapan manajemen dalam mengelola, mengatur dan
mengalokasikan sumber daya yang terdapat dalam dunia pendidikan inklusi,
fungsi manajemen pendidikan merupakan alat untuk mengintegrasikan peranan
seluruh sumberdaya guna tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu konteks
sosial tertentu, ini berarti bahwa bidang-bidang yang dikelola mempunyai
kekhususan yang berbeda dari manajemen dalam bidang lain. Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan
adalah keseluruhan proses kerjasama dalam mengelola sumberdaya pendidikan
secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan dengan melakukan
fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.
Pada operasionalnya di sekolah, manajemen pendidikan dapat dilihat sebagai
gugusan-gugusan tertentu. Gugusan-gugusan ini selanjutnya boleh disebut bidang
garapan manajemen pendidikan. Bidang garapan manajemen pendidikan di
sekolah dalam Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (2004:10-20)
adalah: 1) bidang garapan peserta didik, 2) bidang garapan tenaga pendidikan, 3)
bidang garapan kurikulum, 4) bidang garapan sarana prasarana, 5) bidang garapan
keuangan, 6) bidang garapan kemitraan dengan masyarakat, 7) bidang garapan
bimbingan dan pelayanan khusus. Manajemen sekolah pada sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi tidak terlepas pada manajemen sekolah pada
umumnya. Perbedaan hanya terdapat pada hal-hal yang berhubungan dengan anak
berkebutuhan khusus.

Actuating (Pengarahan)

Menurut G.R. Terry dalam Hasibuan (2009:41), pengarahan adalah
membuat semua anggota kelompok agar mau bekerja sama dan bekerja
secara ikhlas serta bergairah untuk mencapai tujuan sesuai dengan
perencanaan dan usaha-usaha pengorganisasian. Pengarahan merupakan
fungsi manajemen yang menstimulir tindakan-tindakan agar betul-betul
dilaksanakan. Oleh karena tindakan-tindakan itu dilakukan oleh orang,
maka pengarahan meliputi pemberian perintah-perintah dan motivasi pada
personalia yang melaksanakan perintah-perintah tersebut

Organizing (Pengorganisasian)

Menurut Hasibuan (2009:40), pengorganisasian adalah suatu proses
penentuan, pengelompokan dan pengaturan bermacam-macam aktivitas
yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada
aktivitas ini, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menetapkan
wewenang yang secara relatif didelegasikan kepada setiap individu yang
akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.
Sedangkan menurut Terry dalam Hasibuan (2009:40) pengorganisasian
adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif
antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien,
dan dengan demikian memperoleh kepuasan pribadi dalam hal
melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam kondisi lingkungan tertentu guna
mencapai tujuan atau sasaran tertentu.
Menurut Mulyati dan Komariah (2009:94), mengorganisasikan berarti: 1)
menentukan sumber daya kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan organisasi, 2) merancang dan mengembangkan kelompok kerja
yang berisi orang yang mampu membawa organisasi pada tujuan, 3)
menugaskan seorang atau kelompok orang dalam suatu tanggung jawab
tugas dan fungsi tertentu, 4) mendelegasikan wewenang kepada individu
yang berhubungan dengan keleluwasaan melaksanakan tugas.
Fungsi Pengorganisasian dapat didefinisikan sebagai proses menciptakan
hubungan-hubungan antara fungsi-fungsi, personalia dan faktor fisik agar
kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan disatukan dan diarahkan pada
pencapaian tujuan bersama.

Planning (Perencanaan)

Menurut Koontz dan O’Donnel dalam Hasibuan (2009:40) perencanaan
adalah fungsi seorang manajer yang berhubungan dengan memilih tujuantujuan, kebijaksanaan-kebijaksanaan, prosedur-prosedur, dan programprogram dari alternatif-alternatif yang ada. Menurut Mulyati dan
Komariah (2009:93), merencanakan pada dasarnya membuat mengenai
arah yang akan dituju, tindakan yang akan diambil, sumber daya yang
akan diolah dan teknik/metode yang akan dipilih untuk digunakan.
Rencana mengarahkan tujuan organisasi dan menetapkan prosedur terbaik
untuk mencapainya. Prosedur itu dapat berupa pengaturan sumber daya
dan penetapan teknik/metode.
Keberadaan suatu rencana sangat penting bagi organisasi karena rencana
berfungsi untuk: 1) menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai, 2)
memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-keggiatan yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, 3) organisasi memperoleh
sumber daya terbaik dan mendayagunakannya sesuai tugas pokok fungsi
yang telah ditetapkan, 4) menjadi rujukan anggota organisasi dalam
melaksanakan aktivitas yang konsisten prosedur dan tujuan, 5)
memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh
pelaksana, 6) memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara
intensif sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara
dini, 7) memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan
internal dengan situasi eksternal, 8) menghindari pemborosan.
Pada hakekatnya perencanaan merupakan proses pengambilan keputusan
yang merupakan dasar bagi kegiatan-kegiatan/tindakan-tindakan ekonomis
dan efektif pada waktu yang akan datang. Proses ini memerlukan
pemikiran tentang apa yang perlu dikerjakan, bagaimana dan dimana suatu
kegiatan perlu dilakukan serta siapa yang bertanggungjawab terhadap
pelaksanaannya.

Fungsi Manajemen

Manajemen dalam organisasi adalah untuk melaksanakan kegiatan agar suatu
tujuan tercapai dengan efektif dan efisien. Secara tegas tidak ada rumusan yang
sama dan berlaku umum untuk fungsi manajemen, namun demikian fungsi
manajemen dapat ditelaah dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh seorang
manajer.
Fungsi manajemen menurut Deming dalam Mulyati dan Komariah (2008:92)
adalah Planning, Do, Check, Act (PDCA), dan menurut Oey Liang Lee dalam
Hasibuan (2009:38) fungsi manajemen adalah perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengkoordinasian, dan pengontrolan. Pendapat lain mengenai fungsi
18
manajemen dikemukakan oleh Siagian dalam Hasibuan (2009:38) adalah
Perencanaan, Pengorganisasian, Pemotivasian, Pengawasan, dan Pengevaluasian.
Sedangkan fungsi manajemen menurut Terry dalam Hasibuan (2009:38), fungsifungsi manajemen dikenal dengan akronim POAC yaitu Planning (Perencanaan),
Organizing (Pengorganisasian), Actuating (Pengarahan), dan Controlling
(Pengawasan).
Berdasarkan pendapat para ahli mengenai fungsi manajemen di atas, maka dapat
diuraikan mengenai fungsi manajemen dari aktivitas-aktivitas yang harus
dilakukan pada setiap fungsi manajemen. Dalam usaha atau aktivitas-aktivitas
untuk mencapai tujuan harus melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Setiap manajer
dalam pelaksanaan tugas dan aktivitasnya untuk mencapai tujuan harus
melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Dari
masing-masing fungsi tersebut maka dapat dijelaskan masing-masing fungsi
berikut:

Pengertian Manajemen

Manusia dalam menjalani aktivitas kehidupannya memiliki kualitas yang tidak
sama antara hari kemarin, sekarang dan hari yang akan datang. Sebagai makhluk
yang berakal dan berbudaya, tentu menginginkan adanya perubahan positif dalam
mencapai tujuan hidup. Perbedaan dari kualitas yang didapat oleh setiap manusia
dapat dipengaruhi oleh bagaimana setiap individu mengatur, merencanakan,
mengelola setiap aktivitas yang dilakukan. Seberapa besar keberhasilan setiap
tujuan yang ingin dicapai sangat ditentukan oleh masing-masing individu atau
lembaga dalam merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan mengontrol
setiap aktivitas atau kegiatan. Kegiatan merencanakan, mengorganisasi,
melaksanakan dan mengawasi disebut dengan manajemen. Karena itu aktivitas
manusia tidak terlepas dari kegiatan yang namanya manajemen, agar aktivitas
yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan keinginan.
Untuk lebih jelasnya ada beberapa definisi atau pengertian dari Manajemen, yaitu
sebagai berikut: Millett dalam Siswanto (2005:1) membatasi menjadi:
management is the process of directing and facilitating the work of people
organized in formal groups to achieve a desired goal (adalah suatu proses
pengarahan dan pemberian fasilitas kerja kepada orang yang diorganisasikan
dalam kelompok formal untuk mencapai tujuan).
Definisi lainnya dari manajemen adalah seperti yang diuraikan oleh Terry dalam
Hasibuan (2009:2-3) management is distinct process consisting of planning,
organizing, actuating and controlling performed to determine and accomplish
stated objectives by the use of human being and other resources (manajemen
adalah suatu proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian yang dilakukan untuk
menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia dan lainnya).
Koontz dan O’Donnel dalam Hasibuan (2009:3) mengartikan manajemen sebagai
berikut: Management is getting things done through people. In bringing about this
coordinating of group activity, the manager, as a manager plans, organizes,
staffs, direct, and control the activities other people (manajemen adalah usaha
mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Dengan demikian
manajer mengadakan koordinasi atas jumlah aktivitas orang lain yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, penempatan, pengarahan, dan pengendalian). Ahli
lain, Hersey dan Blanchard dalam Siswanto (2005:2) memberikan batasan
manajemen sebagai berikut: Management as working with and through
individuals and groups to accomplish organizational goals (manajemen sebagai
suatu usaha yang dilakukan dengan bersama individu atau kelompok untuk
mencapai tujuan organisasi).
Pada hal ini lebih menekankan pada definisi tersebut tidaklah dimaksudkan hanya
untuk satu jenis organisasi saja, tetapi dapat diterapkan pada berbagai jenis
organisasi tempat individu dan kelompok tersebut menggabungkan diri untuk
mewujudkan tujuan bersama. Selain beberapa definisi di atas, ada beberapa
definisi lain tentang manajemen dari para ahli. Menurut Hasibuan (2009:2)
definisi manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber
daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
Berdasarkan pernyataan dan berbagai definisi di atas, dapat dipahami bahwa
manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan dengan memanfaatkan sumber
daya manusia dan sumber-sumber lainnya yang dilakukan bersama oleh individu
atau kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.

Kurikulum Cambridge

Cambridge International Examination (CIE) adalah sebuah
penyedia kualifikasi internasional terbesar didunia untuk bidang
pendidikan pada usia 5-19 tahun. Kualifikasi Cambridge digunakan
oleh lebih dari 160 negara. CIE merupakan bagian dari Cambridge
Assesment Group, organisasi nirlaba dan merupakan departemen dari
Universitas Cambridge. Misi CIE adalah menyelenggarakan pendidikan
yang unggul dengan menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan di
hampir seluruh dunia dan menyediakan mekanisme assessment dan
sistem evaluasi yang memiliki kualifikasi internasional.
Misi utama CIE adalah memberikan pendidikan berkelas
internasional dengan menetapkan kurikulum, penilaian dan layanan.
Komitmen yang dibangun adalah untuk memperluas akses pendidikan
berkualitas tinggi di dunia. Program dan kualifikasi CIE ialah
membangun pembelajar yang sukses dan mendukung performa
ekonomi di negara dimana CIE bekerja.
Program dan kualifikasi pendidikan CIE meliputi dari tingkat
dasar hingga menegah dan pra universitas. CIE menyelenggarakan
kualifikasi yang sudah diakui secara global termasuk Cambrige IGCSE,
Cambrige O Level, Cambridge Internasional Advanced dan Advanced
Subsidiary Level (A and AS level) dan Cambridge Pre-U, yang mana
membuka pintu bagi pembelajar dari seluruh dunia. Sesuai dengan level
yang tersedia, kurikulum yang sesuai digunakan untuk Sekolah
Menengah Atas adalah kualifikasi pada silabus Cambridge
International Advanced dan Advanced Subsidiary Level (A and AS
level) dan Cambridge Pre-U. Level ini merupakan level yang
disediakan untuk peserta didik umur 16-19 tahun.
Level Advanced dan Advanced Subsidiary (A and AS level)
Cambridge International diakui oleh sekolah diseluruh dunia,
universitas dan pengusaha. Kualifikasinya diterima sebagai bukti atas
kemampuan akademis untuk masuk ke universitas-universitas seluruh
dunia, walaupun beberapa kasus menuntut mata pelajaran yang lebih
spesifik. level Advanced (A level) ditempuh selama 2 tahun dan
menawarkan kelas yang fleksibel yang memberikan siswa kebebasan
untuk memilih mata pelajaran yang mereka inginkan. Level Advanced
Subsidiary (AS level) seringkali mewakili setengah pertama dari kelas
level Advanced, tetapi juga dapat diambil sebagai kualifikasi terpisah.
Keduanya diterima diseluruh universitas di Inggris dan membawa
separuh beban dari level A. Mata ujian kelas universitas dan Advanced
Subsidiary banyak tersedia pada level A/AS Cambridge International
di negara-negara seperti Amerika dan Kanada. Kualifikasi Cambridge
mencetak pelajar yang sukses. Mereka tidak hanya membangun
pemahaman dan pengetahuan yang diperlukan untuk kemajuan, tetapi
juga keahlian pembelajaran dan pemikiran yang membantu siswa
menjadi pembelajar mandiri dan membekali mereka dalam kehidupan.
Cambridge Pre-U bertujuan untuk membekali calon dengan
keahlian yang diperlukan demi keberhasilan belajar mereka selanjutnya
di Universitas, melibatkan tidak hanya dasar yang kokoh pada tiap mata
pelajaran khusus pada level yang tepat, tetapi juga kemampuan
melakukan pembelajaran yang mandiri dan swadaya dan untuk berpikir
luas, kritis dan kreatif. kurikulum cambridge Pre-U adalah disokong
oleh seperangkat inti prinsip pendidikan:
a. Program belajar yang mendukung pembangunan individu yang
berwawasan, berpikiran terbuka dan mandiri yang mampu
menerapkan keahliannya untuk memenuhi kebutuhan dunia yang
akan dan sudah mereka temui.
b. Kurikulum yang memelihara integritas spesialisme mata pelajaran
dan yang dapat ditaksir, dinilai dan dilaporkan secara efisien,
efektif dan terpercaya untuk memenuhi kebutuhan universitas.
c. Kurikulum yang dirancang untuk mengenali cakupan luas
mengenai bakat, minat dan kemampuan individu, dan memberikan
kedalaman dan keuletan yang diperlukan demi pelajaran tingkat
universitas.
d. Kurikulum yang mendorong kemahiran atas keahlian dan
kemampuan spesifik terutama keahlian menyelesaikan masalah,
kreativitas, berfikir kritis, kerjasama dan komunikasi yang efektif.
e. Mendorong pemahaman yang lebih mendalam dalam belajar,
dimana pemahaman yang mendalam ini cenderung memerlukan
aktivitas kognitif yang lebih tinggi.
f. Pembentukan sudut padang yang membekali kaum muda untuk
mengerti budaya dan pemikiran yang berbeda-beda , dan untuk
merespon kesempatan atas mobilitas internasional.
Seluruh silabus Cambridge Pre-U bersifat linear. calon yang
mengambil mata pelajaran pokok harus mengambil seluruh
komponennya secara bersama pada akhir periode pendidikan dalam
sebuah sesi ujian (www.cie.org.uk, diakses tanggal 24 Juli 2011).

Konsep Sekolah Bertaraf Internasional

Model-model penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah
di Indonesia menurut UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun
2005 Pasal 111 dan 16 disebutkan terdapat beberapa jenis sekolah di
Indonesia.
Sekolah jenis pertama, sekolah potensial dimana sekolah yang
masih relative banyak kekurangan untuk memenuhi kriteria sekolah
yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Kedelapan SNP
tersebut adalah standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses,
standar sarana dan prasarana, standar tenaga pendidikan dan
kependidikan, standar manajemen, standar pembiayaan dan standar
penilaian. Ditegaskan dalam PP No. 19 Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 dan
3 bahwa kategori sekolah potensial adalah sekolah yang belum
memenuhi dari SNP. Kreteria umum bagi kelompok sekolah potensial
sebagai calon SSN ditetapkan sebagai berikut:
a) Sekolah Negeri atau Swasta
b) Memiliki rata-rata UN yang lebih rendah daripada UN untuk
kriteria SSN pada tahun yang sama.
c) Termasuk sekolah yang tergolong kategori cukup atau kurang di
kabupaten/kota yang bersangkutan, yaitu memiliki karakteristik
cukup atau kurang terhadap delapan standar SNP.
d) Sekolah swasta yang bukan didukung oleh yayasan yang memiliki
pendanaan yang kuat, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kedua Sekolah Standar Nasional adalah sekolah yang sudah
atau hampir memenuhi kedelapan standar nasional pendidikan. Pada
dasarnya aspek-aspek pendidikan yang dikembangkan pada semua
kategori sekolah (sekolah potensial, SNN dan SBI) sama, yaitu minimal
delapan aspek Standar Nasional Pendidikan. Perbedaannya adalah pada
luasan program, cakupan program, variasi program dan kecepatan
dalam pencapaian hasil.
Kategori ketiga adalah sekolah Standar Nasional dan
memiliki kearifan lokal. Keunggulan lokal ini merupakan bagian dari
pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
kewarganegaraan dan kepribadian, IPTEK, estetika atau kelompok mata
pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan. Kategori
keempat adalah sekolah bertaraf Internasional (SBI). SBI merupakan
sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan
Standar Nasional Pendidikan Indonesia dan tarafnya internasional
sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional
(Zainal Aqib, 2010: 4-27).
Beberapa penjelasan mengenai Sekolah Bertaraf Internasional
diantaranya:
a. Pengertian Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah Bertaraf Internasional adalah satuan pendidikan yang
diselenggarakan dengan menggunakan Standar Nasional
Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan standar salah satu Negara
anggota Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya. (Depdiknas,
2009: 9)
SNP adalah standar minimal yang harus dipenuhi oleh satuan
pendidikan meliputi standar: kompetensi lulusan, isi, proses,
penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan dan pembiayaan. Sedangkan pengayaan dengan
standar negara maju dapat berupa penyesuaian, penguatan,
pengayaan, pengembangan, perluasan dan pendalaman pada
peningkatan mutu pendidikan yang mengacu pada standar mutu
pendidikan bertaraf internasional atau pada negara maju.
Pencapaian kualitas pendidikan nasional selaras dengan
kategori sekolah formal yang ada, yaitu: Sekolah Kategori Standar,
Sekolah Kategori Mandiri dan Sekolah Bertaraf Internasional.
Sekolah yang berkategori Mandiri didorong menuju sekolah
bertaraf Internasional. Sekolah kategori mandiri adalah sekolah
yang hampir atau telah memenuhi delapan komponen SNP. Untuk
pengembangan program rintisan SMA bertaraf Internasional,
pencapaian standar nasional pendidikan merupakan syarat utama
yang harus dipenuhi terlebih dahulu (Depdiknas, 2009: 9).
b. Pengertian Sekolah Menengah Atas Bertaraf Internasional
SMA Bertaraf Internasional perlu menjalin kerjasama
(networking) dengan sekolah lain, baik di dalam maupun di luar
negeri, yang telah memiliki reputasi internasional sebagai bentuk
kegiatan perujukan (benchmarking). Bentuk kerjasama lain dapat
berupa kolaborasi dengan lembaga pendidikan tinggi sebagai
pengguna lulusan. SMA bertaraf Internasional juga harus
mengembangkan program sertifikasi, meningkatkan daya saing
dalam lomba tingkat internasional (Depdiknas, 2009: 9-10).
c. Tujuan Pengembangan Program Rintisan Sekolah Menengah
Atas Bertaraf Internasional
1) Tujuan Umum
Pengembangan program rintisan SMA bertaraf
internasional bertujuan meningkatkan kinerja sekolah dalam
mewujudkan situasi belajar dan proses pembelajaran untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara optimal dalam
mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab dan memiliki daya saing
pada taraf internasional (Depdiknas, 2009: 6).
2) Tujuan Khusus
Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dalam
menyiapkan lulusan SMA yang memiliki kompetensi seperti
yang tercantum didalam Standar Kompetensi Lulusan yang
memenuhi Standar Kompetensi Lulusan berdaya saing pada
taraf internasional yang memiliki karakter sebagai berikut:
a) Meningkatnya keimanan dan ketaqwaan serta berakhlak
mulia.
b) Meningkatnya kesehatan jasmani dan rohani.
c) Meningkatnya mutu lulusan dengan standar yang lebih
tinggi daripada standar kompetensi lulusan nasional.
d) Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
e) Siswa termotivasi untuk belajar mandiri, berpikir kritis,
kreatif dan inovatif.
f) Mampu memecahkan masalah secara efektif.
g) Meningkatnya kecintaan pada persatuan dan kesatuan
bangsa.
h) Menguasai penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan
benar.
i) Membangun kejujuran, objektivitas dan tanggung jawab.
j) Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Inggris dan atau
bahasa asing lainnya secara efektif.
k) Siswa memiliki daya saing melanjutkan pendidikan
bertaraf internasional.
l) Mengikuti sertifikasi internasional.
m) Meraih medali tingkat internasional.
n) Dapat bekerja pada lembaga internasional (Depdiknas,
2009: 6-7)
d. Kriteria rintisan Sekolah Menengah Atas Bertaraf
Internasional
Sekolah Menengah Atas yang dapat mengikuti program
rintisan SMA bertaraf internasional harus memiliki kriteria
minimal sebagai berikut:
1) Sekolah Menengah Atas negeri atau swasta yang telah
memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan terakreditasi A.
2) Kepala Sekolah memenuhi standar nasional pendidikan,
berkompeten dalam pengelolaan manajemen mutu pendidikan,
serta mampu mengoperasikan komputer dan dapat
berkomunikasi dalam Bahasa Inggris.
3) Memiliki tenaga pengajar fisika, kimia, biologi, matematika
dan mata pelajaran lainnya yang berkompeten menggunakan
ICT dengan pengantar Bahasa Inggris.
4) Tersedia sarana prasarana yang memenuhi standar untuk
menunjang proses pembelajaran bertaraf internasional, antara
lain:
a) Memiliki tiga laboraturium IPA (Fisika, Kimia, Biologi)
b) Memiliki perpustakaan yang memadai
c) Memiliki laboratorium komputer
d) Tersedia akses internet
e) Memiliki web sekolah
f) Memiliki kultur sekolah yang kondusif (bersih, bebas asap
rokok, bebas kekerasan, indah dan rindang)
5) Memiliki dana yang cukup untuk membiayai pengembangan
program rintisan SMA bertaraf internasional.
6) Penyelenggaraan sekolah dalam satu shift (tidak double shift).
7) Jumlah rombongan belajar pada satu satuaan pendidikan
minimal 9 (Sembilan) atau setara dengan 288 siswa.
8) Memiliki lahan minimal 10.000 m2
9) Memiliki akses jalan masuk yang mudah dilalui oleh
kendaraan roda empat. (Depdiknas, 2009: 8)
e. Komponen Sekolah Menengah Atas Bertaraf Internasional
Komponen pelaksanaan Program R-SBI meliputi sepuluh
komponen sebagai berikut:
1) Akreditasi
“Mutu setiap sekolah bertaraf internasional dijamin
dengan keberhasilan memperoleh akreditasi yang sangat baik.
Akreditasi menentukan kelayakan program pendidikan dengan
sertifikat predikat A dari BAN S/M” (Depdiknas, 2009: 18).
2) Pengembangan Kurikulum (KTSP)
Perangkat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) disusun berdasarkan standar isi dan standar
kompetensi lulusan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dan
Bahsa Inggris. Disamping itu kurikulum yang digunakan
diperkaya dengan cara mengadopsi dan/atau mengadaptasi
kurikulum sekolah pada negara maju yang memiliki
keunggulan dalam bidang pendidikan. Pengayaan muatan
kurikulum dalam bentuk sumber belajar, buku teks siswa, buku
pegangan guru, LKS (student worksheet) dan bahan ajar
elektronik dalam bentuk e-learning video cassette, compact
disc, audio cassette, dan digital video disc. Menerapkan
sistem administrasi akademik berbasis Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) serta mengembangkan kesiapan
sekolah dalam menerapkan Sistem Kredit Semester (SKS)
(Depdiknas, 2009: 19).
3) Proses Pembelajaran
Proses Pembelajaran harus interaktif, inspiratif,
menyenangkan dan menantang sehingga dapat memotivasi
siswa untuk berpartisipasi aktif. Proses pembelajaran
memberikan ruang yang cukup untuk peserta didik agar
memiliki akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul,
kepemimpinan, jiwa entrepreneurship, jiwa patriot, jiwa
innovator, prakarsa, kreativitas, kemandirian berdasarkan
bakat, minat dan perkembangan fisik maupun psikologinya
secara optimal yang terintegrasi pada keseluruhan kegiatan
pembelajaran.
Pendidikan harus dapat mengembangkan proses
pembelajaran yang membangun pengalaman belajar siswa
melalui kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi yang
efektif dan efisien. Mutu proses pembelajaran ditingkatkan
dengan menerapkan model-model pembelajaran yang secara
nyata telah berhasil diterapkan dengan baik pada sekolah
unggul dari negara maju (seperti: penerapan standar belajar,
standar mengajar: persiapan pembelajaran, penentuan indikator
hasil belajar, pemilihan bahan ajar, strategi pembelajaran,
pengelolaan kelas, pemilihan alat peraga pembelajaran dan
pemilihan sumber belajar).
Mutu pembelajaran ditingkatkan dengan dukungan
penerapan TIK pada semua mata pelajaran serta menggunakan
Bahasa Inggris untuk kelompok sains dan matematika di
jurusan IPA. Pengembangan berikutnya untuk mata pelajaran
ekonomi pada jurusan IPS. Tiap satuan pendidikan dapat
menentukan mata pelajaran lain yang termasuk dalam
pelayanan bertaraf internasional apabila sekolah memiliki
sumber daya yang memenuhi criteria mutu yang ditetapkan
(Depdiknas, 2009: 24-25).
4) Peningkatan Mutu Penilaian
Sekolah perlu mengembangkan instrumen penilaian
yang diperoleh dari proses pembelajaran yang mengukur tiga
ranah penilaian, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor,
termasuk penilaian portofolio. Hasil belajar siswa dapat diukur
melalui ujian sekolah, ujian nasional dan ujian internasional,
yang diperkaya dengan model penilaian sekolah unggul dari
negara maju yang mempunyai keunggulan tertentu dalam
bidang pendidikan. Ujian sekolah dan ujian nasional bersifat
wajib. Ujian internasional bersifat pilihan, karena memerlukan
dukungan dana dari orang tua atau stakeholders, namun
sekolah harus berupaya memfasilitasi siswa yang ingin
mengikuti ujian internasional tersebut untuk mendapatkan
sertifikat internasional (Depdiknas, 2009: 33)
5) Peningkatan Mutu Kompetensi Lulusan
Proses pendidikan harus menghasilkan manusia yang
berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berkepribadian unggul,
memiliki jiwa kepemimpinan, jiwa entrepreneur, jiwa patriot,
jiwa inovator, berprakarsa, kreatif dan mandiri. Penetapan
kompetensi lulusan rintisan SMA bertaraf internasional
menerapkan standar kelulusan yang lebih tinggi daripada
standar nasional pendidikan, meraih prestasi tingkat
internasional pada bidang sains, matematika, teknologi, seni
dan olah raga. Lulusan memperoleh pengakuan internasional
yang dibuktikan dengan sertifikat. Mampu mengembangkan
logika dan imajinasi secara tertulis, menguasai penggunaan
Bahasa Inggris, menguasai teknologi informasi dan
komunikasi sebagai modal dasar dalam berinteraksi,
berkolaborasi dalam menghadapi kompetisi global (Depdiknas,
2009: 34-35).
6) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya
manusia (SDM) sekolah harus mengembangkan program
peningkatan kompetensi guru melalui peningkatan kualifikasi
pendidikan guru minimal 30% guru berpendidikan S2 atau S3
dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
dengan program studi sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah.
Selain itu, kompetensi guru dalam pengelolaan sistem
pembelajaran ditingkatkan untuk menuju pada proses
pembelajaran yang setara dengan proses pembelajaran pada
sekolah unggul dari negara maju. Untuk itu sekolah perlu
mengembangkan pula kompetensi Bahasa Inggris guru dan
kompetensi pada bidang TIK terutama untuk guru kelompok
sains dan matematika.
Peningkatan mutu SDM melalui kegiatan pelatihan
dalam bentuk pemagangan, studi banding, workshop (on the
job training atau off the job training) dan seminar yang
dilakukan oleh masing-masing sekolah atau bekerjasama
dengan lembaga pendidkan di luar sekolah yang memiliki
kewenangan dan kompetensi yang relevan.
Kepala sekolah harus mempunyai visi internasional,
mampu membangun jejaring internasional, serta jiwa
kepemimpinan dan entrepreneurship yang kuat dalam
memfasilitasi seluruh anggota komunitas sekolah untuk
mengembangkan keunggulan kompetitif dan komparatif
bertaraf internasional. Untuk mendukung kelancaran tugas
tersebut Kepala Sekolah harus berpendidikan minimal S2 dan
mampu berbahasa inggris secara aktif (Depdiknas, 2009: 36-
37).
7) Sarana dan Prasarana Pendidikan
Untuk menuju Sekolah Bertaraf Internasional, sekolah
secara bertahap harus memenuhi standar sarana dan prasarana
yang mendukung efektivitas proses pembelajaran yang setara
dengan proses pembelajaran sekolah unggul disalah satu
Negara maju. Standar sarana dan prasana tersebut yaitu:
a) Pengembangan Perpustakaan
Perpustakaan memegang peranan penting, oleh
karena itu perlu dilengkapi dengan buku-buku pelajaran
berbahasa inggris, buku referensi, jurnal nasional dan
internasional, buletin, koran, majalah serta perangkat
audio visul. Perpustakaan diharapkan dapat membantu
siswa mengasah otak, memperluas dan memperdalam
pengetahuan, melahirkan kreativitas, serta membantu
kegiatan kurikuler dan ekstrakulikuler. Kecanggihan
teknologi dewasa ini mengharuskan perpustakaan
dilengkapi dengan fasilitas computer dan internet yang
memungkinkan warga sekolah mendapatkan berbagai
informasi yang disediakan di alam maya. Perpustakaan
juga harus menerapkan sistem komputerisasi/digital dalam
mencari katalog buku. Ruang perpustakaan harus nyaman,
sebaiknya dilengkapi dengan alat pendingin (AC) yang
memadai (Depdiknas, 2009: 40).
b) Pengembangan Laboratorium Fisika, Biologi, Kimia
“Setiap sekolah harus memiliki minimal satu
laboratorium Fisika, satu laboratorium Kimia dan satu
laboratorium Biologi yang dilengkapi dengan peralatan
dan bahan praktikum yang memadai untuk menunjang
proses pembelajaran. Laboratorium tersebut perlu
didayagunakan secara maksimal dengan dukungan
teknologi informasi dan komunikasi serta memenuhi
standar” (Depdiknas, 2009: 41).
c) Pengembangan Laboratorium Bahasa
“Dalam pembelajaran bahasa terdapat empat
ketrampilan dasar, yaitu mendengar, berbicara, membaca
dan menulis. Dalam mengembangkan kemampuan
mendengar dan berbicara sekolah dapat memanfaatkan
jasa native speaker atau dalam bentuk rekaman suara,
video atau media rekam lainnya” (Depdiknas, 2009: 42).
d) Pengembangan Laboratorium Multimedia
Laboratorium multimedia adalah fungsional
laboratorium (tempat praktikum yang mampu
memfasilitasi beberapa aktivitas praktikum sekolah
dengan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi. Aktivitas praktikum dapat dilayani oleh
laboratorium konvensional (Fisika, Kimia, Biologi,
Bahasa dan Komputer) tetapi dapat juga dilayani oleh
laboratorium multimedia dengan menggunakan teknologi
multimedia dan simulasi komputer.
Laboratorium multimedia berisi seperangkat
komputer berikut perangkat audio visualnya yang saling
terintegrasi, dilengkapi dengan program aplikasi yang
sesuai untuk memberikan layanan tambahan terhadap
laboratorium konvensional. Laboratorium multimedia
dapat melayani seluruh rumpun mata pelajaran.
Fungsi pokok laboratorium multimedia adalah untuk
melayani kegiatan: interaksi antara guru-siswa,
penayangan video pembelajaran, latihan mata pelajaran
interaktif (online), simulasi kasus berbasis multimedia,
operasionalitas e-Book dan menyediakan Ensiklopedi
(Depdiknas, 2009: 43).
e) Pengembangan Laboratorium Komputer
“Sekolah Bertaraf Internasional harus memiliki
laboratorium komputer sesuai dengan kebutuhan siswa.
Laboratorium komputer digunakan untuk pembelajaran
Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) atau Information
& Comunication Technology (ICT)” (Depdiknas, 2009 :
45).
f) Pengembangan Laboratorium Ilmu Pengetahuan
Sosial
“Menurut SNP, sekolah harus memiliki laboratorium
IPS. Pengembangan laboratorium IPS dilakukan terutama
untuk laboratorium geografi, workshop keperluan praktek
ekonomi” (Depdikans, 2009: 46). Sejauh ini
pengembangan laboratorium IPS memang masih tertinggal
daripada laboratorium IPA. Kendala yang sering dihadapi
dalam pengembangan laboratorium IPS adalah kesulitan
menentukan kelengkapan laboratorium karena praktik
mata pelajaran IPS lebih terbatas daripada mata pelajaran
IPA.
g) Pengembangan TRRC (Teacher Resource & Reference
Centre)
TRRC merupakan pusat kegiatan untuk
pengembangan diri guru secara individual dan kelompok
melalui diskusi atau latihan dan workshop dalam bentuk
forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Oleh
karena itu, TRRC juga perlu dilengkapi dengan fasilitas
buku referensi guru, ICT, Learning Resource Centre
(LRC) dan perangkat pengembangan produk inovasi
pembelajaran. Kegiatan guru ini diarahkan untuk
membahas masalah-masalah yang dihadapi guru dalam
pembelajaran, berlatih menggunakan alat dan persiapan
untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom
Action Research) (Depdiknas, 2009: 47).
h) Pengembangan Sarana Lainnya
Sekolah Bertaraf Internasional harus dilengkapi
dengan sarana lainnya seperti ruang kelas, ruang kepala
sekolah, ruang guru, ruang TU, ruang BK, ruang OSIS dan
ruang serbaguna yang dilengkapi dengan sarana
pembelajaran berbasis TIK.
Selain itu juga dilengkapi dengan ruang UKS,
kantin, ruang ibadah, WC, koperasi, ruang kesenian,
gudang, lapangan upacara dan lapangan olah raga dalam
jumlah memadai, berfungsi dan terawat dengan baik. Alat
olah raga dan kesenian juga memenuhi standar tingkat
kecukupan kebutuhan meningkatkan prestasi siswa
bertaraf internasional (Depdiknas, 2009: 49).
8) Pengelolaan
Pengelolaan SMA bertaraf internasional menerapkan
manajemen berbasis sekolah yang ditunjukan dengan
kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan
akuntabilitas. Dalam melaksanakan standar pengelolaan,
sekolah harus menentukan arah program dengan jelas,
termasuk dengan tahapan-tahapan pelaksanaannya, sehingga
semua warga sekolah paham dan terpandu oleh pentahapan itu.
Penerapan arah dan pentahapan tersebut harus dilakukan pada
rapat dewan pendidik bersama komite sekolah. Dengan
demikian semua yang diputuskan dan dirumuskan dapat
menjadi keputusan bersama yang pada gilirannya dapat
mendukung implementasinya. Dalam meningkatkan mutu
prosedur pengelolaan secara bertahap sekolah perlu
mengusahakan untuk memperoleh sertifikat ISO 9001 versi
2008 dan ISO 14000 (Depdiknas, 2009: 50-51).
9) Pembiayaan
Sumber pembiayaan Program Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional berdasarkan peraturan Pemerintah No.48
tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, biaya
penyelenggaraan SBI berasal dari Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, orang tua siswa
(Komite Sekolah), pihak asing yang tidak mengikat, dunia
usaha dan dunia industri (DU/DI). Sekolah dalam Program
Rintisan SMA Bertaraf Internasional harus mampu
menggalang dana dari sumber-sumber tersebut dalam jumlah
yang cukup memadai untuk membiayai program peningkatan
mutu rintisan SMA Bertaraf Internasional. Dana Komite
Sekolah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi
lebih difokuskan untuk kegiatan pengembangan sarana dan
prasarana pendidikan dan peningkatan mutu pembelajaran.
Sedangkan dana dari Pemerintah Pusat lebih difokuskan untuk
pemenuhan penjaminan mutu pendidikan. Sumber dana lain
yang berasal dari masyarakat, dunia usaha dan dunia industri
(DU/DI) yang tidak mengikat perlu digalang untuk mendukung
penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf
Internasional.
Mengalokasikan dana secara tepat guna melalui
kesepakatan pada rapat dewan pendidikan dan komite sekolah,
menggunakan dana secara transparan, berhasil guna, tidak
double counting, dan akuntabel dengan menerapkan Sistem
Informasi Manajemen Keuangan (berbasis TIK) untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaaan
(Depdiknas, 2009: 54-55).
10) Kesiswaan
a) Penerimaan Peserta Didik Baru
Proses penerimaan peserta didik baru harus
transparan dan dilakukan seleksi secara ketat dengan
menerapkan tahapan sebagai berikut:
(1) Seleksi Administrasi, meliputi:\
(a) Nilai rapor SMP atau MTs kelas VII s.d. kelas IX
untuk mata pelajaran Matematika, IPA, IPS,
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris rata-rata
minimal 7,5.
(b) Penghargaan prestasi akademik.
(c) Sertifikat lembaga kursus Bahasa Inggris.
(2) Achievement test, meliputi: Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA dan IPS dengan skor minimal 7
dalam rentang 0-10.
(3) Tes kemampuan Bahasa Inggris, meliputi: reading,
Listening, writing dan speaking dengan skor minimal
7 dalam rentang nilai 0-10.
(4) Lulus Tes Psikologi (Psikotest), meliputi: IQ, CQ, TC
dan Kepribadian.
(5) Wawancara dengan siswa dan orang tua siswa.
Wawancara dengan siswa dimaksudkan untuk
mengetahui minat siswa untuk masuk program
Rintisan SMA Bertaraf Internasional. Wawancara
dengan orang tua dimaksudkan untuk mengetahui
minat dan dukungan orang tua. Dalam penerimaan
siswa baru harus memberikan kesempatan kepada
masyarakat golongan ekonomi lemah atau tidak
mampu namun berprestasi, minimal 10% dari jumlah
siswa.
(6) Penerimaan peserta didik baru dapat dilakukan lebih
awal sebelum penerimaan siswa baru dalam
memenuhi target program by school.
b) Pembinaan Siswa
Pembinaan siswa dimaksudkan untuk
mengembangkan seluruh potensi siswa secara maksimal,
baik potensi akademik maupun non-akademik. Pola
pembinaannya dilakukan melalui kegiatan tatap muka,
penugasan terstruktur, tugas mandiri tidak terstruktur dan
pengembangan diri melalui layanan konseling dan
ekstrakulikuler (Depdiknas, 2009: 56-57).

Manajemen Kurikulum

Manajemen kurikulum merupakan suatu sistem pengelolaan
kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistemik dan sistematik
dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. Dalam
pelaksanaannya, manajemen kurikulum harus dikembangkan sesuai
dengan konteks Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Oleh karena itu, otonomi
pendidikan dalam sekolah untuk mengelola kurikulum secara mandiri
dengan memprioritaskan kebutuhan dan ketercapaian sasaran dalam visi
dan misi sekolah tidak mengabaikan kebijaksanaan nasional yang telah
ditetapkan.
Dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan manajemen
kurikulum agar perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum
berjalan efektif, efisien dan optimal dalam memberdayakan berbagai
sumber belajar, pengalaman belajar maupun komponen kurikulum.
Pada tingkat satuan pendidikan kegiatan kurikulum lebih
mengutamakan untuk merealisasikan dan merelevansi antara kurikulum
nasional (standar kompetensi/kompetensi dasar) dengan kebutuhan
daerah dan kondisi sekolah yang bersangkutan, sehingga kurikulum
tersebut merupakan kurikulum integritas dengan peserta didik maupun
dengan lingkungan dimana sekolah itu berada. Atau dengan perkataan
lain, jika sekolah tersebut menyelenggarakan sekolah bertaraf
internasional maka sekolah menambahkan sifat keinternasionalan
kurikulum dari negara maju / Negara OECD.
Ada beberapa fungsi Manajemen Kurikulum diantaranya
sebagai berikut.
a. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya kurikulum,
pemberdayaan sumber maupun komponen kurikulum dapat
ditingkatkan melalui pengelolaan yang terencana dan efektif.
b. Meningkatkan keadilan dan kesempatan pada siswa untuk
mencapai hasil yang maksimal, kemampuan yang maksimal dapat
dicapai peserta didik tidak hanya melalui kegiatan intrakulikuler,
tetapi juga melalui kegiatan ekstrakulikuler yang dikelola secara
integritas dalam mencapai tujuan kurikulum.
c. Meningkatkan relevansi dan efektivitas pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar peserta
didik, kurikulum yang dikelola secara efektif dapat memberikan
kesempatan dan hasil yang relevan dengan kebutuhan peserta didik
maupun lingkungan sekitar.
d. Meningkatkan efektivitas kinerja guru maupun aktivitas siswa
dalam mencapai tujuan pembelajaran, pengelolaan kurikulum yang
professional, efektif dan terpadu dapat memberikan motivasi pada
kinerja guru maupun aktivitas siswa dalam belajar.
e. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar,
proses pembelajaran selalu dipantau dalam rangka melihat
konsistensi antara desain yang telah direncanakan dengan
pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian, ketidaksesuaian
antara desain dengan implementasi dapat dihindarkan. Disamping
itu, guru dan siswa selalu termotivasi untuk melakukan
pembelajaran yang efektif dan efisien karena adanya dukungan
positif yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan kurikulum.
f. Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk membantu
mengembangkan kurikulum, kurikulum yang dikelola secara
profesional akan melibatkan masyarakat, khususnya dalam mengisi
bahan ajar atau sumber belajar perlu disesuaikan dengan cirri khas
dan kebutuhan pembangunan daerah setempat (Rusman, 2009: 4).
Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah
Daerah mengamanatkan pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan
demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menjadi
desentralistik. Desentralisasi pendidikan ini terwujud dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu substansi
yang disentralisasi dalam dunia pendidikan adalah desentralisasi
kurikulum.
Paradigma baru pendidikan tersebut berpengaruh terhadap
tatanan manajemen kurikulum, khususnya pada kegiatan implementasi
kurikulum. Secara garis besar beberapa kegiatan berkenaan dengan
fungsi-fungsi manajemen kurikulum dapat dikemukakan sebagai
berikut.
a. Perencanaan Kurikulum
Perencanaan kurikulum adalah perencanaan kesempatankesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membina siswa
kearah perubahan tingkah laku yang diinginkan dan menilai sampai
mana perubahan-perubahn telah terjadi pada diri siswa. Didalam
perencanaan kurikulum minimal terdapat lima hal yang
mempengaruhi perencanaan dan pembuatan keputusan, yaitu
filosofis, konten/materi, manajemen pembelajaran, pelatihan guru
dan sistem pembelajaran.
Perencanaan kurikulum mencakup pengumpulan,
pembentukan, sintesis, menyeleksi informasi yang relevan dari
berbagai sumber. Kemudian informasi yang didapat digunakan
untuk mendesain pengalaman belajar sehingga siswa dapat
memperoleh tujuan kurikulum yang diharapkan. Tujuan
perencanaan kurikulum dikembangkan dalam bentuk kerangka
teori dan penelitian terhadap kekuatan sosial, pengembangan
masyarakat, kebutuhan dan gaya belajar siswa. Beberapa keputusan
harus dibuat ketika merencanakan kurikulum dan keputusan
tersebut harus mengarah pada spesifikasi berdasarkan kriteria.
Perencanaan kurikulum ini berfungsi sebagai pedoman atau
alat manajemen yang berisi petunjuk tentang jenis dan sumber
individu yang diperlukan, media pembelajaran yang digunakan,
tindakan-tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga dan
sarana yang diperlukan, sistem monitoring dan evaluasi, peran
unsur-unsur ketenagaan untuk mencapai tujuan manajemen
lembaga pendidikan. Disamping itu, perencanaan kurikulum
berfungsi sebagai pendorong untuk melaksanakan sistem
pendidikan sehingga mencapai hasil yang optimal. (Rusman, 2009:
10)
1) Perumusan Tujuan Pendidikan
Kurikulum aims merupakan rumusan yang
menggambarkan outcomes yang diharapkan berdasarkan
beberapa skema nilai diambil dari kaidah filosofis. Aims ini
tidak berhubungan langsung terhadap tujuan sekolah dan
tujuan pembelajaran. Goals merupakan outcomes sekolah yang
dapat dirumuskan secara institusional oleh sekolah atau
jenjang pendidikan tertentu sebagai suatu sistem. Objectives
merupakan outcomes yang diharapakan dapat tercapai dalam
jangka waktu pendek, segera setelah proses pembelajaran
dikelas berakhir, dapat dinilai setidaknya secara teoritis dalam
jangka waktu tertentu. Terdapat tiga sumber yang mendasari
perumusan tujuan kurikulum (aims, goals, and objectives),
yaitu sumber empiris yang berkaitan dengan tuntutan
kehidupan masa kini dan karakteristik siswa sebagai individu
yang sedang berkembang, sumber filosofis yang berkaitan
dengan analisis, pengambilan keputusan dan merumuskan hasil
yang diharapkan dari proses pembelajaran, dan sumber bahan
belajar merupakan sumber yang digunakan dalam
merumuskan aims, goals dan objectives dalam kurikulum
sekolah. (Rusman, 2009: 11)
2) Landasan Perencanaan Kurikulum
Menurut Rusman (2009: 18) Perencanaan kurikulum
pendidikan harus mengasimilasi dan mengorganisasi informasi
dan data secara intensif yang berhubungan dengan
pengembangan program sekolah. Informasi dan data yang
menjadi area utama adalah sebagai berikut.
a) Kekuatan sosial
Perubahan sistem pendidikan di Indonesia sangatlah
dinamis. Pendidikan kita menggunakan sistem terbuka
sehingga harus selalu menyesuaikan dengan perubahan
dan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik itu
sistem politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
b) Perlakuan pengetahuan
Pertimbangan lainnya untuk perencanaan kurikulum
yang berhubungan dengan perlakuan pengetahuan adalah
dimana individu belajar aktif untuk mengumpulkan dan
mengolah informasi, mencari fakta dan data, berusaha
belajar tentang sikap, emosi, perasaan terhadap
pembelajaran, proses informasi, memanipulasi,
menyimpan dan mengambil kembali informasi tersebut
untuk dikembangkan dan digunakan dalam merancang
kurikulum yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
c) Pertumbuhan dan perkembangan manusia
Informasi yang berhubungan dengan perkembangan
manusia digunakan untuk merencanakan kurikulum atau
program pembelajaran yang berkenaan dengan kebutuhan
dan perkembangan siswa. Interprestasi tentang
pengetahuan perkembangan dasar manusia untuk
membedakan dalam teori pembelajaran yang dikemukakan
oleh para perencana kurikulum.
3) Perumusan Isi Kurikulum
Menurut Saylor dan Alexander dalam Rusman (2009:
27) isi kurikulum adalah “fakta, obsevasi, persepsi, ketajaman,
sensibilitas, desain dan solusi yang tergambarkan dari apa yang
dipikirkan oleh seseorang yang secara keseluruhan diperoleh
dari pengalaman dan semua itu merupakan komponen yang
menyusun pikiran yang mereorganisasi dan menyusun kembali
hasil pengalaman tersebut kedalam adat dan pengetahuan, ide,
konsep, generalisasi, prinsip, rencana dan solusi”. Sedangkan
menurut Hayman dalam buku Rusman (2009: 27), isi
kurikulum adalah “pengetahuan (fakta, penjelasan, prinsip,
definisi), ketrampilan dan proses (membaca menulis,
menghitung, dansa, membuat keputusan berlandaskan cara
berpikir kritis, mengkomunikasikan) dan nilai (yaitu percaya
terhadap hal-hal yang baik dan buruk, benar dan salah, indah
dan jelek)”.
a) Organisasi Isi Kurikulum
Organisasi kurikulum ini harus mempertimbangkan
dua hal, yaitu berguna bagi siswa sebagai individu yang
dididik dan isi kurikulum tersebut siap untuk dipelajari
oleh siswa. Isi dapat berbentuk data, konsep, generalisasi
dan materi pelajaran sekolah dan logis diorganisasikan ke
dalam struktur ilmu pengetahuan atau disiplin sebagai
sumber yang diyakini kebenarannya. Organisasi isi
kurikulum ditandai oleh landasan logis (prinsip, proporsi
dan konsep yang diorganisasikan secara rasional sehingga
membentuk urutan yang saling menyokong antara satu
dengan yang lainnya) dan landasan psikologis (perhatian
terhadap kebutuhan, minat dan aktivitas siswa untuk
menentukan dari mana belajar akan dimulai dan kemudian
bergerak secara deduktif menuju sesuatu yang bersifat
lebih abstrak) (Rusman, 2009: 31).
b) Ruang Lingkup Isi Kurikulum
Ruang lingkup isi kurikulum meliputi beberapa hal,
yaitu:
(1) Isi yang bersifat umum, berlaku untuk semua siswa
yang berguna dalam proses interaksi dan
pengembangan tingkat berpikir, mengasah perasaan,
dan berbagai pendekatan untuk saling memahami
satu sama lain, yang menegaskan posisi setiap siswa
sebagai anggota dan hidup dalam lingkungan
masyarakat.
(2) Isi yang bersifat khusus, berlaku untuk program
tertentu, siswa yang mempunyai kebutuhan berbeda
atau mempunyai kemampuan “istimewa” dibanding
siswa yang lainnya, yang membutuhkan perlakuan
yang berbeda untuk dapat mengaktualisasikan
seluruh potensi yang dimilikinya (Rusman, 2009:
35).
c) Urutan Isi Kurikulum
Dilihat dari urutan mana yang harus ditampilkan
dalam kurikulum, Zais dalam buku Rusman (2008: 36)
mengemukakan bahwa urutan dapat disajikan tergantung
dari sudut pandang seseorang terhadap struktur materi
pelajaran yang akan disajikan atau teori psikologis yang
melandasi orang tersebut. Smith, Stanley dan Shores
dalam Rusman (2009: 36) mengidentifikasi empat prinsip
yang mendasari cara penyajian urutan materi dalam
kurikulum, yaitu dari yang sederhana menuju hal yang
lebih kompleks, pelajaran persyaratan, secara keseluruhan
dan kronologis atau kejadian.
d) Kriteria Pemilihan Isi Kurikulum
Kriteria mendasar yang digunakan untuk menyeleksi
isi kurikulum adalah rumusan aims, goals dan objectives
kurikulum. Namun, hal lain yang perlu diperhatikan oleh
pengembang kurikulum adalah bagaimana kurikulum aims
tersebut dapat dibawakan secara efektif dan efisien. Untuk
itu, perlu adanya pertimbangan prioritas terhadap isi
kurikulum yang didasari oleh empat hal, yaitu signifikasi,
kegunaan, ketertarikan dan pengembangan manusia
(Rusman, 2009: 39).
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan
menetapkan isi kurikulum adalah tingkat kematangan
siswa, tingkat pengalaman anak dan taraf kesulitan materi.
b. Organisasi Kurikulum
Salah satu aspek yang perlu dipahami dalam pengembangan
kurikulum adalah aspek yang berkaitan dengan organisasi
kurikulum. Organisasi kurikulum merupakan pola atau desain
bahan kurikulum yang tujuannya untuk mempermudah siswa dalam
mempelajari bahan pelajaran serta mempermudah siswa melakukan
kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara
efektif. Organisasi kurikulum sangat terkait dengan pengaturan
bahan pelajaran yang ada dalam kurikulum, sedangkan yang
menjadi sumber bahan pelajaran dalam kurikulum adalah nilai
budaya, nilai sosial, aspek siswa dan masyarakat serta ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam
organisasi kurikulum, diantaranya:
1) Ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran.
2) Kontinuitas kurikulum dalam organisasi kurikulum berkaitan
dengan substansi bahan yang dipelajari siswa. Pendekatan
spiral merupakan upaya yang digunakan untuk menerapkan
faktor kontinuitas, karena materi yang dipelajari siswa semakin
lama semakin mendalam yang dikembangkan berdasarkan
keluasan secara vertical maupun horizontal.
3) Keseimbangan bahan pelajaran perlu dipertimbangkan dalam
organisasi kurikulum. Ada dua aspek yaitu keseimbangan
terhadap substansi bahan atau isi kurikulum dan keseimbangan
yang berkaitan dengan cara atau proses belajar.
4) Alokasi waktu yang dibutuhkan dalam kurikulum harus
menjadi bahan pertimbangan dalam organisasi kurikulum
(Rusman, 2009: 59).
c. Implementasi Kurikulum
Pembelajaran di dalam kelas merupakan tempat untuk
melaksanakan dan menguji kurikulum. Dalam kegiatan
pembelajaran semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode,
alat dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan
mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata. Perwujudan konsep
prinsip dan aspek-aspek kurikulum tersebut seluruhnya terletak
pada kemampuan guru sebagai implementator kurikulum.
Menurut Hasan (1984: 12) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi implementasi kurikulum, yaitu “karakteristik
kurikulum, strategi implementasi, karakteristik penilaian,
pengetahuan guru tentang kurikulum, sikap tehadap kurikulum dan
ketrampilan mengarahkan. Sedangkan menurut Mars dalam
Rusman (2002: 22):
“Terdapat lima elemen yang mempengaruhi implementasi
kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah, dukungan rekan
sejawat guru, dukungan dari siswa, dukungan dari orang tua
dan dukungan dari dalam diri guru unsur yang utama”.
Menurut Nana Syaodih (2001), untuk mengimplementasikan
kurikulum sesuai dengan rancangan, dibutuhkan beberapa
kesiapan, terutama kesiapan pelaksana. Sebagus apapun desain atau
rancangan kurikulum yang dimiliki, tetapi keberhasilannya sangat
tergantung pada guru. Kurikulum yang sederhana pun apabila
gurunya memiliki kemampuan, semangat dan dedikasi yang tinggi
hasilnya akan lebih baik daripada desain kurikulum yang hebat
tetapi kemampuan gurunya rendah.
1) Kemampuan Guru dalam Implementasi Kurikulum
Kemampuan-kemampuan yang harus dikuasai guru
dalam mengimplementasikan kurikulum diantaranya yaitu:
a) Pemahaman esensi dari tujuan yang ingin dicapai dalam
kurikulum.
b) Kemampuan untuk menjabarkan tujuan kurikulum yang
masih bersifat umum menjadi tujuan yang lebih spesifik.
c) Kemampuan untuk menterjemahkan tujuan khusus kepada
kegiatan pembelajaran. Konsep atau aplikasi konsep perlu
diterjemahkan ke dalam aktivitas belajar, metode
pembelajaran atau mengembangkan kemampuan
menerapkan konsep (Rusman, 2009: 75)
2) Model Implementasi Kurikulum
Berkenaan dengan model implementasi kurikulum,
Miller dan Seller didalam buku Rusman (2009: 76)
menggolongkan model dalam implementasi kurikulum, yaitu:
a) The Concern-Based Adaption Model (CBAM)
Ini adalah sebuah model deskriptif yang
dikembangkan melalui pengidentifikasian tingkat
kepedulian guru terhadap inovasi kurikulum. Perubahan
dalam inovasi ini ada dua dimensi, yakni tingkatantingkatan kepedulian terhadap inovasi serta tingkatan
penggunaan inovasi.
b) Model Leithwood
Model ini memfokuskan pada guru. Asumsi yang
mendasari model ini adalah setiap guru mempunyai
kesiapan berbeda, implementasi merupakan proses timbal
balik serta pertumbuhan dan perkembangan dimungkinkan
adanya tahap-tahap individu untuk diidentifikasi. Inti dari
model ini adalah membolehkan guru dan pengembang
kurikulum mengembangkan profil yang merupakan
hambatan untuk perubahan dan bagaimana guru dapat
mengatasi hambatan tersebut. Model ini juga menawarkan
cara dan strategi kepada guru dalam
mengimplementasikan hambatan yang dihadapinya
tersebut.
c) Model TORI
Model TORI dimaksudkan untuk menggugah
masyarakat dalam mengadakan perubahan. Esensi dari
model ini adalah menumbuhkan kepercayaan diri,
menumbuhkan dan membuka keinginan, mewujudkan
yang diartikan setiap orang bebas berbuat dan
mewujudkan keinginannya untuk perbaikan dan saling
ketergantungan dengan lingkungan. Inti dari Model TORI
adalah memfokuskan pada perubahan personal dan
perubahan sosial (Rusman, 2009: 77)

Komponen Kurikulum

Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme
manusia atau binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu.
Unsur dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi
materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi.
Keempat komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi.
Kesesuaian ini meliputi:
1) Kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan,
kondisi dan perkembangan masyarakat.
2) Kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum, yaitu isi
sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan,
demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan
kurikulum.
Untuk lebih jelasnya uraian di bawah ini menjabarkan
tentang komponen-komponen kurikulum, yaitu:
1) Tujuan
Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan pada dua
hal, yaitu perkembangan tuntutan (kebutuhan atau kondisi
masyarakat) dan didasari oleh pemikiran dan terarah pada
pencapaian nilai filosofi, terutama falsafah negara.P
Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
dikenal kategori tujuan sebagai berikut. Tujuan pendidikan
nasional merupakan tujuan jangka panjang, tujuan ideal
pendidikan bangsa Indonesia. Tujuan institusional, merupakan
sasaran pendidikan suatu lembaga pendidikan. Tujuan
kurikuler adalah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu program
studi. Tujuan instruksional yang merupakan target yang harus
dicapai oleh suatu mata pelajaran. Tujuan instruksional ini
masih dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum dan
khusus atau disebut juga objektif, yang merupakan tujuan
pokok bahasan. Tujuan pendidikan nasional yang berjangka
panjang merupakan suatu tujuan pendidikan umum, sedang
tujuan instruksional merupakan tujuan yang berjangka waktu
cukup pendek merupakan tujuan yang bersifat khusus. Tujuan
khusus dijabarkan dari sasaran pendidikan yang bersifat umum
yang biasanya abstrak dan luas, menjadi sasaran khusus yang
lebih kongkret, sempit dan terbatas (Nana Syaodih, 2005: 103).
2) Bahan Ajar
Untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah
ditentukan diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas
topik dan sub-topik tertentu. Tiap topik dan sub-topik
mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Topik atau sub-topik tersebut tersusun dalam
sekuens tertentu yang membentuk suatu sekuens bahan ajar,
yaitu:
a) Sekuens kronologis, untuk menyusun bahan ajar
mengandung urutan waktu.
b) Sekuens kausal, berhubungan dengan peristiwa sebab
akibat dari sebuah kejadian.
c) Sekuens struktural, bagian bahan ajar suatu bidang studi
telah mempunyai struktur tertentu.
d) Sekuens logis dan psikologis, bahan ajar disusun
berdasarkan urutan logis.
e) Sekuens spiral, bahan ajar dipusatkan pada topik tertentu
baru kemudian diperdalam.
f) Rangkaian kebelakang, sekuen ini mengajar dimulai
dengan langkah terakhir dan mundur kebelakang.
g) Sekuens berdasarkan hirarki belajar, dimana tujuan khusus
utama pembelajaran dianalisis kemudian dicari suatu
hirarki urutan bahan ajar untuk mencapai tujuan tersebut
(Nana Syaodih, 2005: 105).
3) Strategi Pembelajaran
Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat
dengan strategi atau metode mengajar. Pada waktu guru
menyusun sekuens suatu bahan ajar, ia juga harus memikirkan
strategi mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan
ajar dengan urutan seperti itu.
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam
mengajar. Menurut Rowntree dalam Nana Syaodih (2008: 107)
membagi strategi mengajar itu atas Exposition-Discovery
Learning dan Groups- individual Learning. Kemudian
Ausubel dan Robinson membaginya atas strategi Reception
Learning-Discovery Learning dan rote Learning-Meaningful
Learning.
Reception dan exposition sesungguhnya memiliki
makna yang sama, perbedaannya terletak pada pelakunya.
Reception Learning dilihat dari siswa sedangkan Exposition
Learning dilihat dari guru. Kedua strategi keseluruhan bahan
ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir, baik secara
lisan maupun tulisan. Siswa tidak dituntut untuk mengolah,
atau melakukan aktivitas lain kecuali menguasainya.
Sedangkan dalam Rote Learning bahan ajar
disampaikan kepada siswa tanpa memperhatikan arti atau
maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar dengan
menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian
bahan mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausabel
dan Robinson dalam Nana Syaodih (2008: 108) sesuatu bahan
ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang
ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas Fakta, data,
konsep, proporsi, dalil, hukum dan teori yang telah dikuasai
sebelumnya, yang tersusun membentuk struktur dalam pikiran
anak.
Terakhir yaitu Group Learning dan Individual
Learning, merupakan bentuk kegiatan pembelajaran secara
kelompok maupun individual. Walaupun masing-masing
mempunyai kekurangan, untuk kelompok akan semakin
membuat jarak antara siswa yang aktif dengan yang kurang
aktif. Anak yang aktif membuat dirinya semakin memahami
bahan ajar, sedang yang kurang aktif cenderung akan
menunggu dan menonton kegiatan (Nana Syaodih: 2008: 107-
108).
4) Media Pembelajaran
Media belajar merupakan segala macam bentuk
perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong
siswa belajar. Perumusan di atas menggambarkan pengertian
media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk perangsang
belajar yang sering disebut audio visual aid, serta berbagai
bentuk alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat
elektronika seperti LCD, video, gambar dan laptop. Kurikulum
dan teknologi pendidikan saling melengkapi. Teknologi
pendidikan berfungsi memperkuat pengembangan kurikulum.
Bagaimana kurikulum dikembangkan, maka itu menjadi fungsi
teknologi pendidikan. Terminologi teknologi tidak hanya
berkaitan dengan mesin atau alat, namun juga berkaitan
dengan kegiatan menerapkan ilmu atau pengetahuan untuk
memecahkan masalah (Munir, 2008: 74).
Rowntree dalam Nana Syaodih (2005: 108-109)
mengelompokan media mengajar menjadi lima macam, yaitu:
a) Interaksi Insani, yaitu merupakan komunikasi langsung
antara dua orang atau lebih.
b) Realita, yaitu bentuk perangsang nyata seperti peristiwa
yang bisa diamati oleh siswa.
c) Pictorial, adalah bentuk penyajian berbagai bentuk variasi
gambar dan diagram.
d) Simbol Tertulis, merupakan media penyajian informasi
yang paling umum, tetapi tetap efektif, seperti buku teks
dan buku paket.
e) Rekaman suara, adalah berbagai bentuk informasi yang
dapat disampaikan kepada siswa dalam bentuk rekaman
suara.
5) Evaluasi Pengajaran
Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuantujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan
mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan
umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan
belajar dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan balik
tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha
penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan tujuan
mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi dan media
mengajar (Nana Syaodih, 2005: 110).
6) Penyempurnaan Pengajaran
Hasil evaluasi, baik evaluasi hasil belajar maupun
evaluasi pelaksanaan mengajar secara keseluruhan merupakan
umpan balik bagi penyempurnaan lebih lanjut. Komponen apa
yang disempurnakan dan bagaimana penyempurnaannya
dilaksanakan. Penyempurnaan juga mungkin dilakukan secara
langsung begitu didapat suatu informasi umpan balik, atau
ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu bergantung pada
urgensinya dan kemungkinannya mengadakan
penyempurnaan. Penyempurnaan mungkin dilakukan sendiri
oleh guru, tetapi dalam hal tertentu dibutuhkan bantuan atau
saran orang lain baik sesama personalia sekolah atau ahli
pendidikan dari luar sekolah. Penyempurnaan juga mungkin
bersifat menyeluruh atau hanya menyangkut bagian tertentu.
Semua hal tersebut bergantung pada kesimpulan hasil evaluasi
(Nana Syaodih, 2005: 112).

Fungsi Kurikulum

Fungsi berarti jabatan, kedudukan, atau kegiatan. Fungsi dari
kurikulum adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kalau salah satu komponen dalam kurikulum tidak berfungsi akan
mengakibatkan komponen lain terganggu.
1) Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk
melaksanakan kegiatan proses pembelajaran.
2) Bagi kepala sekolah, kurikulum berfungsi sebagai pedoman
untuk melaksanakan supervisi kurikulum terhadap para guru
pemegang mata pelajaran.
3) Bagi masyarakat, kurikulum berfungsi untuk mendorong
sekolah agar dapat menghasilkan berbagai tenaga yang
dibutuhkan oleh masyarakat (Dakir, 2004: 21).

Kurikulum

Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) memuat beberapa
sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Salah satunya menjelaskan
arti kurikulum. Kurikulum yang dimaksudkan adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kemudian
menurut Hilda taba, kurikulum merupakan sebuah rencana belajar
dengan mengungkapkan, bahwa a curriculum is a plan for learning
(Munir, 2008: 28). Dari definisi ini menjelaskan bahwa pendidikan
merupakan suatu kegiatan yang menpunyai tujuan tertentu, merupakan
program yang direncanakan, disusun dan diatur untuk kemudian
dilaksanakan oleh sekolah melalui cara-cara yang telah ditentukan pula.
Kurikulum ini sendiri dapat berupa: (1) rancangan kurikulum, yaitu
buku kurikulum suatu lembaga pendidikan; (2) Pelaksanaan kurikulum,
yaitu proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan; dan (3)
evaluasi kurikulum, yaitu penilaian atau penelitian hasil-hasil
pendidikan. Dalam lingkup pendidikan, kegiatan merancang,
melaksanakan dan menilai kurikulum yaitu untuk mencapai tujuan
pendidikan dilaksanakan sebagai program pengajaran.
a. Fungsi Kurikulum
Fungsi berarti jabatan, kedudukan, atau kegiatan. Fungsi dari
kurikulum adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kalau salah satu komponen dalam kurikulum tidak berfungsi akan
mengakibatkan komponen lain terganggu.
1) Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk
melaksanakan kegiatan proses pembelajaran.
2) Bagi kepala sekolah, kurikulum berfungsi sebagai pedoman
untuk melaksanakan supervisi kurikulum terhadap para guru
pemegang mata pelajaran.
3) Bagi masyarakat, kurikulum berfungsi untuk mendorong
sekolah agar dapat menghasilkan berbagai tenaga yang
dibutuhkan oleh masyarakat (Dakir, 2004: 21).
b. Komponen Kurikulum
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme
manusia atau binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu.
Unsur dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi
materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi.
Keempat komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi.
Kesesuaian ini meliputi:
1) Kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan,
kondisi dan perkembangan masyarakat.
2) Kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum, yaitu isi
sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan,
demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan
kurikulum.
Untuk lebih jelasnya uraian di bawah ini menjabarkan
tentang komponen-komponen kurikulum, yaitu:
1) Tujuan
Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan pada dua
hal, yaitu perkembangan tuntutan (kebutuhan atau kondisi
masyarakat) dan didasari oleh pemikiran dan terarah pada
pencapaian nilai filosofi, terutama falsafah negara.
Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
dikenal kategori tujuan sebagai berikut. Tujuan pendidikan
nasional merupakan tujuan jangka panjang, tujuan ideal
pendidikan bangsa Indonesia. Tujuan institusional, merupakan
sasaran pendidikan suatu lembaga pendidikan. Tujuan
kurikuler adalah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu program
studi. Tujuan instruksional yang merupakan target yang harus
dicapai oleh suatu mata pelajaran. Tujuan instruksional ini
masih dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum dan
khusus atau disebut juga objektif, yang merupakan tujuan
pokok bahasan. Tujuan pendidikan nasional yang berjangka
panjang merupakan suatu tujuan pendidikan umum, sedang
tujuan instruksional merupakan tujuan yang berjangka waktu
cukup pendek merupakan tujuan yang bersifat khusus. Tujuan
khusus dijabarkan dari sasaran pendidikan yang bersifat umum
yang biasanya abstrak dan luas, menjadi sasaran khusus yang
lebih kongkret, sempit dan terbatas (Nana Syaodih, 2005: 103).
2) Bahan Ajar
Untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah
ditentukan diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas
topik dan sub-topik tertentu. Tiap topik dan sub-topik
mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Topik atau sub-topik tersebut tersusun dalam
sekuens tertentu yang membentuk suatu sekuens bahan ajar,
yaitu:
a) Sekuens kronologis, untuk menyusun bahan ajar
mengandung urutan waktu.
b) Sekuens kausal, berhubungan dengan peristiwa sebab
akibat dari sebuah kejadian.
c) Sekuens struktural, bagian bahan ajar suatu bidang studi
telah mempunyai struktur tertentu.
d) Sekuens logis dan psikologis, bahan ajar disusun
berdasarkan urutan logis.
e) Sekuens spiral, bahan ajar dipusatkan pada topik tertentu
baru kemudian diperdalam.
f) Rangkaian kebelakang, sekuen ini mengajar dimulai
dengan langkah terakhir dan mundur kebelakang.
g) Sekuens berdasarkan hirarki belajar, dimana tujuan khusus
utama pembelajaran dianalisis kemudian dicari suatu
hirarki urutan bahan ajar untuk mencapai tujuan tersebut
(Nana Syaodih, 2005: 105).
3) Strategi Pembelajaran
Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat
dengan strategi atau metode mengajar. Pada waktu guru
menyusun sekuens suatu bahan ajar, ia juga harus memikirkan
strategi mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan
ajar dengan urutan seperti itu.
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam
mengajar. Menurut Rowntree dalam Nana Syaodih (2008: 107)
membagi strategi mengajar itu atas Exposition-Discovery
Learning dan Groups- individual Learning. Kemudian
Ausubel dan Robinson membaginya atas strategi Reception
Learning-Discovery Learning dan rote Learning-Meaningful
Learning.
Reception dan exposition sesungguhnya memiliki
makna yang sama, perbedaannya terletak pada pelakunya.
Reception Learning dilihat dari siswa sedangkan Exposition
Learning dilihat dari guru. Kedua strategi keseluruhan bahan
ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir, baik secara
lisan maupun tulisan. Siswa tidak dituntut untuk mengolah,
atau melakukan aktivitas lain kecuali menguasainya.
Sedangkan dalam Rote Learning bahan ajar
disampaikan kepada siswa tanpa memperhatikan arti atau
maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar dengan
menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian
bahan mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausabel
dan Robinson dalam Nana Syaodih (2008: 108) sesuatu bahan
ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang
ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas Fakta, data,
konsep, proporsi, dalil, hukum dan teori yang telah dikuasai
sebelumnya, yang tersusun membentuk struktur dalam pikiran
anak.
Terakhir yaitu Group Learning dan Individual
Learning, merupakan bentuk kegiatan pembelajaran secara
kelompok maupun individual. Walaupun masing-masing
mempunyai kekurangan, untuk kelompok akan semakin
membuat jarak antara siswa yang aktif dengan yang kurang
aktif. Anak yang aktif membuat dirinya semakin memahami
bahan ajar, sedang yang kurang aktif cenderung akan
menunggu dan menonton kegiatan (Nana Syaodih: 2008: 107-
108).
4) Media Pembelajaran
Media belajar merupakan segala macam bentuk
perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong
siswa belajar. Perumusan di atas menggambarkan pengertian
media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk perangsang
belajar yang sering disebut audio visual aid, serta berbagai
bentuk alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat
elektronika seperti LCD, video, gambar dan laptop. Kurikulum
dan teknologi pendidikan saling melengkapi. Teknologi
pendidikan berfungsi memperkuat pengembangan kurikulum.
Bagaimana kurikulum dikembangkan, maka itu menjadi fungsi
teknologi pendidikan. Terminologi teknologi tidak hanya
berkaitan dengan mesin atau alat, namun juga berkaitan
dengan kegiatan menerapkan ilmu atau pengetahuan untuk
memecahkan masalah (Munir, 2008: 74).
Rowntree dalam Nana Syaodih (2005: 108-109)
mengelompokan media mengajar menjadi lima macam, yaitu:
a) Interaksi Insani, yaitu merupakan komunikasi langsung
antara dua orang atau lebih.
b) Realita, yaitu bentuk perangsang nyata seperti peristiwa
yang bisa diamati oleh siswa.
c) Pictorial, adalah bentuk penyajian berbagai bentuk variasi
gambar dan diagram.
d) Simbol Tertulis, merupakan media penyajian informasi
yang paling umum, tetapi tetap efektif, seperti buku teks
dan buku paket.
e) Rekaman suara, adalah berbagai bentuk informasi yang
dapat disampaikan kepada siswa dalam bentuk rekaman
suara.
5) Evaluasi Pengajaran
Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuantujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan
mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan
umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan
belajar dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan balik
tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha
penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan tujuan
mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi dan media
mengajar (Nana Syaodih, 2005: 110).
6) Penyempurnaan Pengajaran
Hasil evaluasi, baik evaluasi hasil belajar maupun
evaluasi pelaksanaan mengajar secara keseluruhan merupakan
umpan balik bagi penyempurnaan lebih lanjut. Komponen apa
yang disempurnakan dan bagaimana penyempurnaannya
dilaksanakan. Penyempurnaan juga mungkin dilakukan secara
langsung begitu didapat suatu informasi umpan balik, atau
ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu bergantung pada
urgensinya dan kemungkinannya mengadakan
penyempurnaan. Penyempurnaan mungkin dilakukan sendiri
oleh guru, tetapi dalam hal tertentu dibutuhkan bantuan atau
saran orang lain baik sesama personalia sekolah atau ahli
pendidikan dari luar sekolah. Penyempurnaan juga mungkin
bersifat menyeluruh atau hanya menyangkut bagian tertentu.
Semua hal tersebut bergantung pada kesimpulan hasil evaluasi
(Nana Syaodih, 2005: 112).

Fungsi Manajemen Pendidikan

Manajemen pendidikan mempunyai fungsi yang terpadu
dengan proses pendidikan khususnya dengan pengelolaan proses
pembelajaran. Dalam hubungan ini, terdapat beberapa fungsi
manajemen pendidikan, yaitu:
1) Fungsi Perencanaan, mencakup berbagai kegiatan
menentukan kebutuhan, penentuan strategi pencapaian tujuan,
menentukan isi program pendidikan dan lain-lain. Dalam
rangka pengelolaan perlu dilakukan kegiatan penyusunan
rencana, yang menjangkau kedepan untuk memperbaiki
keadaan dan memenuhi kebutuhan di kemudian hari,
menentukan tujuan yang hendak ditempuh, menyusun program
yang meliputi pendekatan, jenis dan urutan kegiatan,
menetapkan rencana biaya yang diperlukan, serta menentukan
jadwal dan proses kerja.
2) Fungsi Organisasi, meliputi pengelolaan ketenagaan, sarana
dan prasarana, distribusi tugas dan tanggung jawab, dalam
pengelolaan secara integral. Untuk itu perlu dilakukan
kegiatan, seperti: mengidentifikasi jenis dan tugas
tanggungjawab dan wewenang, merumuskan aturan hubungan
kerja.
3) Fungsi Koordinasi, yang berupaya menstabilisasi antara
berbagai tugas, tanggung jawab dan kewenangan untuk
menjamin pelaksanaan dan berhasil program pendidikan.
4) Fungi Motivasi, yang dimaksudkan untuk meningkatkan
efisiensi proses dan keberhasilan program pelatihan. Hal ini
diperlukan sehubungan dengan adanya pembagian tugas dan
tanggung jawab serta kewenangan, sehingga terjadi
peningkatan kegiatan personal, yang pada gilirannya
diharapkan meningkatkan keberhasilan program.
5) Fungsi Kontrol, yang berupaya melakukan pengawasan,
penilaian, monitoring, perbaikan terhadap kelemahan dalam
sistem manajemen pendidikan tersebut (Oemar Hamalik, 2007:
81)

Tujuan Manajemen Pendidikan

Secara umum tujuan Manajemen pendidikan dalam proses
pembelajaran adalah untuk menyusun suatu sistem pengelolaan
yang meliputi:
1) Administrasi dan organisasi kurikulum.
2) Pengelolaan dan ketenagaan.
3) Pengelolaan sarana dan prasarana.
4) Pengelolaan pembiayaan.
5) Pengelolaan media pendidikan.
6) Pengelolaan hubungan dengan masyarakat, yang manajemen
keterlaksanaan proses pembelajaran yang relevan, efektif dan
efisien yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Kemudian jika dilihat secara lebih khusus tujuan dari
pelaksanaan manajemen pendidikan adalah terciptanya sistem
pengelolaan yang relevan, efektif dan efisien yang dapat
dilaksanakan dengan mencapai sasaran dengan suatu pola struktur
organisasi pembagian tugas dan tanggungjawab yang jelas antara
pemimpin program, tenaga pelatih fasilitator, tenaga perpustakaan,
tenaga teknis lain, tenaga tata usaha dan tenaga pembina. Selain itu
manajemen pendidikan bertujuan untuk memperlancar pengelolaan
program pendidikan dan keterlaksanaan proses pembelajaran
berdasarkan pendekatan cara belajar siswa aktif (Oemar Hamalik,
2007: 80).

Manajemen Pendidikan

Manajemen pendidikan adalah suatu proses atau sistem
pengelolaan. Manajemen pendidikan sebagai suatu proses atau sistem
organisasi dan peningkatan kemanusiaan dalam kaitannya dengan suatu
sistem pendidikan. Kegiatan pengelolaan pada suatu sistem pendidikan
bertujuan untuk keterlaksanaan proses belajar mengajar yang baik, yang
mencakup:
a. Program kurikulum yang meliputi administrasi kurikulum, metode
penyampaian, sistem evaluasi, sistem bimbingan.
b. Program ketenagaan
c. Program pengadaan dan pemeliharaan fasilitas dan alat-alat
pendidikan.
d. Program pembiayaan.
e. Program hubungan dengan masyarakat.
Pendekatan sistem dalam manajemen pendidikan sebagai akibat
dari dianutnya pendekatan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan
adalah suatu kesatuan dari berbagai unsur yang satu dengan yang
lainnya saling berhubungan dan bergantung didalam mengemban tugas
untuk mencapai tujuan sistem tersebut. Unsur-unsur dari luar yang
memasuki sistem dan kemudian mengalami proses disebut keluaran
atau output (Oemar Hamalik, 2007: 78).

Jenis Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) secara struktural
organisatorik berada di bawah naungan pengawasan dan pembinaan Direktorat
Pendidikan Menengah Kejuruan dan bernaung di bawah Direktorat Pendidikan
Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Keputusan menteri
pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 080/U/I 993, menetapkan
program pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan terdiri dan sejumlah rumpun
dan bermacam-macam program studi atau jurusan yang dikelompokkan menjadi
enam, yaitu: (1) kelompok pertanian dan kehutanan, (2) kelompok teknologi dan
industri, (3) kelompok bisnis dan manajemen, (4) kelompok kesejahteraan
masyarakat, (5) kelompok pariwisata, dan (6) kelompok seni dan kerajinan.
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Kalasan merupakan sekolah yang
menggabungkan kelompok pariwisata dan kelompok seni dan kerajinan menjadi
satu sekolah.

Komponen Sekolah Menengah Kejuruan

Menurut Nanang Fattah (2006:7), komponen pokok sistem pendidikan
meliputi:
a. Masukan mentah
Masukan sumber
b. Masukan instrumental
Proses pendidikan tujuan clan prioritas. Siswa peserta didik, manajemen,
struktur, dan jadwal, isi. guru pendidik. alat bantu belajar, fasilitas,
teknologi, pengawasan mutu. biaya, lingkungan.
c. Keluaran
Hasil pendidikan
Komponen lembaga pendidikan SMK tersebut terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu: masukan mentab (input), masukan instrumental, dan keluaran (output).
Siswa atau peserta didik merupakan masukan mentah yang penting, yang harus
diperhatikan dengan sebenar-benarnya agar di dalam proses pendidikan (masukan
instrumental) dapat optimal di dalam mendidiknya. Masukan instrumental itu
sendiri merupakan tempat dimana peserta didik diberikan ilmu pengetahuan,
keterampilan dan wawasan, yang didukung dengan apa yang disebutkan di atas
guna mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan begitu keluaran
(hasil pendidikan) dapat tercapai.
Lebih lanjut, Tatang M. Amirin (2003:51), komponen pokok sistem
pendidikan meliputi: (1) masukan mentah berupa murid; (2) masukan
instrumental berupa tenaga pengajar, tenaga administrasi, kurikulum, prasarana,
sarana, lingkungan; (3) keluaran berupa lulusan. Kesemua komponen pokok
tersebut diaplikasikan ke dalam lembaga pendidikan yang digunakan sebagai
penentu keberhasilan proses pendidikan. Menurut Ibrahim Bafadal (2004:6),
komponen sekolah yang lain merupakan masukan (input) yang secara garis besar
diklasifikasikan menjadi tiga jenis masukan. yaitu: (a) masukan sumber daya
manusia meliputi: kepala sekolah, guru, dan pesuruh, peserta didik; (b) masukan
material, yaitu: komponen instrumental yang meliputi kurikulum, dana, dan
segala komponen sekolah lain selain manusia, yang biasa disebut dengan sarana
prasarana; (c) Masukan lingkungan yaitu hasil pendidikan. Berdasarkan beberapa
sumber tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen
lembaga pendidikan antara lain:
1. Input, merupakan subyek yang akan dikelola yaitu peserta didik.
2. Proses, terbagi menjadi instrumental input (tenaga pendidik dan kependidikan,
kurikulum, fasilitas) dan environmental input (lingkungan baik benda maupun
manusia).
3. Output, keluaran (lulusan) yang diharapkan.

Fungsi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional disebutkan pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman clan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap.
50
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta
bertanggungjawab.
Selain itu, fungsi sekolah menengah kejuruan, yaitu: upaya menciptakan
sekolah sebagai lingkungan yang dapat menghasilkan lulusan yang memiliki
ragam dan tingkat pengetahuan, kemampuan, keterampilan, serta nilai dan sikap,
yang memungkinkan untuk menjadi warga masyarakat dan warga negara yang
berbudi pekerti luhur beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
serta mempunyai bekal untuk melanjutkan pendidikan atau terjun langsung dalam
dunia kerja serta untuk hidup dalam masyarakat.
(http://id.wikipedi.org/wiki/Sekolali—Menengah_Kejuruan). Jadi, fungsi sekolah
menengah kejuruan adalah menampung semua siswa yang lulus sekolah
menengah pertama atau sederajat apa pun latar belakangnya untuk dibekali
pengetahuan, kemampuan, keterampilan dalam bidang yang diminati dan
mengarahkan pendidikan yang sesuai dengan minat peserta didik agar dapat
meneruskan pendidikan yang lebih tinggi atau langsung terjun dalam dunia kerja.

Tujuan Sekolah Menengah Kejuruan

Ditinjau dari tujuannya, Thorogood (1982:328), pendidikan kejuruan
bertujuan untuk (a) memberikan bekal keterampilan individu dan keterampilan
yang laku di masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomi dapat menopang
kehidupannya; (b) membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan
pekerjaan dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan
pekerjaan yang diinginkannya; (c) mendorong produktivitas ekonomi secara
regional maupun nasional; (d) mendorong terjaminnya tenaga terlatih untuk
menopang perkembangan ekonomi dan industri; (e) mendorong dan
meningkatkan kualitas masyarakat. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU SISDIKNAS) tahun 2003 No. 20, tujuan pendidikan merupakan
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan Negara.
Selain itu menurut Mulyani A. Nurhadi (1983:28), tujuan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) adalah sebagai berikut.
a. Menjadi warga Negara yang baik, yaitu: manusia pembangunan yang
bermoral Pancasila yang utuh, sehat, kuat lahir dan batin, serta memiliki
kemampuan untuk memenuhi keperluan tenaga kerja.
b. Menjadi tenaga kerja tingkat menengah yang memiliki pengetahuan,
keterampilan, clan sikap sebagai pengatur dalam bidang tata laksana dan
usaha.
Dengan demikian tujuan sekolah menengah kejuruan adalah agar peserta
didik dapat mengembangkan potensi yang dimiliki, menjadi warga Negara yang
baik, dan menguasai pendidikan yang telah didapat di sekolah kejuruan serta
mempersiapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam bidangnya untuk
dapat melanjutkan ke perguruan tinggi atau terjun dalam dunia kerja dan
masyarakat.

Pengertian Sekolah Menengah Kejuruan

Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh ahli tentang pendidikan
kejuruan, definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi dan harapan
masyarakat tentang peran yang hams dimainkannya (Muclas Samani dkk,
1992:36). Evans & Edwin (1978:25) mengemukakan, pendidikan kejuruan
merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada
pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Menurut Oemar Harnalik (1999:56),
pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar
dan keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja
yang dipandang sebagai latihan keterampilan. Berdasarkan definisi tersebut
terdapat satu pengertian yang bersifat universal. Berdasarkan berbagai definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan (SMK) adalah jenis
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang
tertentu, mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak
melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing serta normanorma yang berlaku.

Ruang Lingkup Manajemen Fasilitas Pendidikan

Menurut Hartati Sukirman (2002:29-31), manajemen fasilitas pendidikan
mencakup kegiatan: pengadaan, penyimpanan dan penyaluran, pemeliharaan,
penghapusan, dan pelaporan. Sedangkan menurut Ibrahim Bafadal (2004:7)
proses manajemen perlengkapan sekolah terdiri dan pengadaan, pendistribusian,
penggunaan dan pemeliharaan, inventarisasi dan penghapusan.

a. Pengadaan Fasilitas Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan pasal 41:1. Setiap satuan pendidikan wajib
memiliki sarana yang meliputi perabot. peralatan pendidikan, media pendidikan.
buku dan sumber belajar lainya, bahan habis pakai. serta perlengkapan lain yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan”.
Lebih lanjut setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi
lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata
usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit
produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, temp at olahraga, tempat ibadah,
tempat bermain, tempat berkreasi, clan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran yang teratur clan berkelanjutan (SNP, 41:1).
Untuk mengadakan sarana dan prasarana pendidikan maka langkah pertama yang
dilakukan adalah perencanaan.
Pada tahap pengadaan mi pendidikan mencakup langkah perencanaan
fasilitas pendidikan (Hartati Sukirman, 2002:29). Tujuan yang ingin dicapai
dengan perencanaan pengadaan perlengkapan atau fasilitas tersebut adalah untuk
memenuhi kebutuhan perlengkapan. Oleh karena itu, keefektifan suatu
perencanaan pengadaan perlengkapan sekolah tersebut dapat dinilai atau dilihat
dari seberapa jauh pengadaanya itu dapat memenuhi kebutuhan perlengkapan di
sekolah dalam periode tertentu (Ibrahim Bafadal. 2004:27). Cara yang ditempuh
untuk merencanakan pengadaan fasilitas pendidikan menurut Stoop dan Johnson
(1969), prosedur perencanaan pengadaan fasilitas sekolah meliputi (1)

pembentukan panitia pengadaan barang dan perlengkapan; (2) penetapan
kebutuhan perlengkapan; (3) penetapan spesifikasi: (4) penetapan harga satuan
perlengkapan; (5) pengujian segala kemungkinan; (6) rekomendasi; dan (7)
penilaian kembali. Perencanaan pengadaan fasilitas pendidikan dapat dengan
membeli, meminjam, menukar, membuat sendiri dan menerima hibab.
b. Penyimpanan dan Pendayagunaan Fasilitas Pendidikan
Tindakan yang perlu dilakukan setelah adanya barang/fasilitas adalah
pengaturan (Hartati Sukirman dkk, 2002:29). Langkah awal pengaturan yaitu
penyimpanan, atau tindakan meletakkan atau menaruh ditempat yang aman. Perlu
diingat bahwa kemudahan pengaturan alat pelajaran dipengaruhi oleh jumlah
macam/jenis, kelas, jumlah peserta didik serta ruang yang ada di sekolah. Tempat
penyimpanan barang dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: ruangan, lemari tertutup
dan lemari terbuka, serta rak atau sekat. Untuk memudahkan pengaturan
sebaiknya setiap jenis tempat penyimpanan tersebut diberikan kode/nama sesuai
dengan barang/alat pelajaran yang disimpannya, missal: berdasarkan alat
pelajaran. Jika ternyata ada lebih dari satu almari yang menyimpan alat pelajaran
Tata Boga (TB), maka dapat diberi kode TB I, TB II dan seterusnya. Setelah alat
penyimpan berupa lemari/rak, kita juga bisa memanfaatkan ruangan atau biasa
kita sebut sebagai gudang. Gudang dapat digolongkan menjadi gudang terbuka,
gudang setengah terbuka dan gudang tertutup. Menurut fungsinya, terdapat
beberapa jenis gudang antara lain:

1. Gudang pusat/induk, yaitu: untuk menyimpan barang yang diterima secara
besar-besaran dan kemudian disalurkan ke gudang persediaan unit kerja.
2. Gudang persediaan, yaitu: untuk menyimpan barang dan gudang pusat atau
diperuntukkan untuk satuan kerja.
3. Gudang pemakaian, yaitu: untuk menyimpan barang atau alat pelengkapan
yang siap untuk digunakan dalam pekerjaan sehari-hari.
4. Gudang penyalur, yaitu: tempat menyimpan sementara barang yang diterima
dari gudang pusat, clan.
5. Gudang khusus, yaitu: tempat penyimpanan barang yang dianggap khusus
atau peka terhadap lingkungan (udara dan lain sebagainya) dapat
membahayakan sekitarnya (mudah terbakar, mengandung gas beracun dan
lain-lain) (Hartati Sukirman, 2002:30).
Penyimpanan barang dengan menyimpanya di gudang memerlukan
perhatian khusus terhadap sifat barang yang bersangkutan, misalnya barang berat
tidak sarana perlakuannya dengan barang bahan makanan. Selain menunjang
administratratif gudang, diperlukan pula sarana berupa surat pengantar, formulir,
berita acara. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mendirikan maupun
mengelola gudang adalah dari segi kontruksi serta lokasinya. Keadaan atap,
pondasi, ventilasi dalam hendaknya menunjang keamanan barang. Di samping itu
pemilihan lokasi seharusnya ketercapaian alat transportrasi, bebas banjir,
kemudahan mendapatkan air, jauh dari perumahan padat dan lalu lintas. Tindakan

pengaturan tidak dilakukan hanya pada awal ketika barang atau fasilitas tersebut
baru ada, melainkan juga sesudah barang tersebut digunakan.
c. Pemeliharaan Fasilitas Pendidikan
Pemeliharaan berfungsi agar barang-barang tetap dalam keadaan baik dan
utuh, dapat digunakan sampai batas umurnya, untuk membedakan perangkat atau
barang yang masih bisa dipakai dan barang yang sudah rusak (Hartati Sukirman
dkk, 2002:30). Tujuan pengaturan fasilitas pendidikan sebenarnya sedikit banyak
telah termasuk pada tindakan pemeliharaan. Menurut Ibrahim Bafadal (2004:49),
ada beberapa macam pemeliharaan perlengkapan pendidikan di sekolah. Ditinjau
dari sifatnya, ada empat macam pemeliharaan perlengkapan pendidikan. Keempat
pemeliharaan tersebut cocok dilakukan pada perlengkapan pendidikan berupa
mesin. Pertama, pemeliharaan yang bersifat pengecekan. Pengecekan ini
dilakukan oleh seseorang yang mengetahui tentang baik buruknya keadaan mesin.
Kedua, pemeliharaan yang bersifat pencegahan. Pencegahan dengan cara
demikian perlu dilakukan agar kondisi mesin selalu dalam keadaan baik. Ketiga,
pemeliharaan yang bersifat perbaikan ringan. Keempat, perbaikan berat.
Ditinjau dari waktu perbaikannya, ada dua macam pemeliharaan
perlengkapan sekolah, yaitu pemeliharaan sehari-hari dan pemeliharaan berkala.
Pemeliharaan sehari-hari, misalnya, berupa menyapu, mengepel lantai, dan
membersihkan pintu, sedangkan pemeliharaan berkala, misalnya berupa
pengontrolan genting dan pengapuran tembok (Ibrahim Bafadal, 2004:49).

Tindakan pemeliharaan fasilitas pendidikan meliputi penempatan penyimpanan,
serta pembersihan. Pola pemeliharaan hams didasarkan pada bentuk, sifat, dan
jenis barang. Dari segi waktu pemeliharaan seharusnya dilakukan secara berkala
dan rutin sehingga ketika barang hendak digunakan selalu berada dan dalam
keadaan siap pakai. Hal itu sesuai dengan SNP pasal 47 ayat 2, “Pemeliharaan
yang dimaksud ayat (1) dilakukan secara berkala clan berkesinambungan dengan
memperhatikan masa pakai.
Melihat kebutuhan dan pemeliharaan fasilitas pendidikan agar ada yang
bertanggung jawab atas hal tersebut. Menurut Standar Nasional Pendidikan No.
19 Tahun 2005 pasal 47 ayat I, ‘Pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 menjadi tanggung
jawab satuan pendidikan yang bersangkutan”. Jadi, penanggung jawab utama
dalam pemeliharaan sarana dan prasarana, yaitu pihak lembaga itu sendiri,
d. Penghapusan Fasilitas Pendidikan
Secara definitif, penghapusan perlengkapan adalah kegiatan meniadakan
barang-barang milik lembaga (bisa juga sebagai milik Negara) dari daftar
inventaris dengan cara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Ibrahirn Bafadal, 2004:62). Menurut Hartati Sukirman (2002:31), penghapusan
fasilitas pendidikan dapat dilakukan dengan cara untuk mencegah atau sekurangkurangnya membatasi kerugian yang lebih besar, meringankan beban kerja dan

tanggungjawab pelaksana inventaris dan membebaskan tanggungjawab lembaga
yang mengurusnya. Jadi, untuk penghapusan fasilitas pendidikan ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi, antara lain meliputi (1) dalam keadaan rusak berat
sehingga tidak dimanfaatkan lagi; (2) tidak sesuai dengan kebutuhan; (3) kuno,
yang penggunaanya udak sesuai lagi; (4) terkena larangan; (5) mengalami
penyusutan di luar kekuasaan pengurus barang; (6) yang biaya pemeliharaannya
tidak seimbang dengan kegunaannya; (7) berlebihan, yang tidak digunakan lagi;
(8) dicuri; (9) diselewengkan; clan (10) terbakar atau musnah akibat bencana alam
(Ibrahim Bafadal, 2004:62)
Di tingkat pemerintah penghapusan barang untuk negara atau kekayaan
negara dari daftar inventaris harus berdasarkan peraturan yang berlaku.
Pelaksanaan penghapusan dilakukan pada tiap permulaan tahun anggaran yang
dilakukan oleh panitia penelitian dan penghapusan barang inventaris dengan
keputusan unit utama masing-masing sekurang-kurangnya tiga orang yang
masing-masing mewakili unsur keuangan, perlengkapan dan bagian teknis. Panitia
tersebut bertugas untuk meneliti, menilai barang-barang yang ada dan yang perlu
dihapuskan, membuat berita acara, melaksanakan penghapusan sampai melelang
atau memusnahkan. Penghapusan dapat dilakukan dengan mengadakan lelang,
menghibahkan kepada orang lain atau membakarnya. e. Pelaporan Fasilitas Pendidikan
Menurut Ibrahim Bafadal (2004:61). semua per1enkapan pendidikan di
sekolah harus dilaporkan, termasuk perlengkapan baru kepada pemerintah.
Pelaporan fasilitas pendidikan berisi mengenai keadaan barang baik dan segi
kuantitas maupun kualitas (Hartati Sukirman dkk. 2002:30). Pelaporan fasilitas
biasanya diuraikan dalam bentuk tertulis. dalam hal ini catatan-catatan. Untuk
memudahkan pelaporan di kemudian hari sedari awal hendaknya dibuat buku
inventaris buku catatan tentang masuk/keluarnya barang, serta buku catatan
istimewa. Pelaporan diperlukan bilamana terdapat rencana pengadaan, atau
sekedar ingin mengetahui sejauh mana keberadaan dan keadaan fasilitas dilihat
dari segi kuantitas dan kualitas

Pengertian Manajemen Fasilitas Pendidikan

Manajemen fasilitas pendidikan merupakan segenap proses penataan yang
bersangkut paut dengan pengadaan, pendayagunaan, dan pengolahan fasilitas
pendidikan agar tercapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien
(Hartati Sukirman, 2002:8). Manajemen sarana prasarana pendidikan bertugas
mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan
kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Secara
garis besar fasilitas pendidikan terdiri atas dua klasifikasi, yaitu sarana dan
prasarana pendidikan. Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang
secara langsung dipergunakan clan menunjang proses pendidikan, khususnya
proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja dan kursi, serta alatalat dan media pembelajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana
pendidikan adalah fasilitas secara tidak langsung menunjang jalannya proses
pendidikan dan pengajaran, seperti halaman, kebun, taman, sekolah, jalan menuju
sekolah, dan sebagainya (Mulyasa, 2005:49). Prasarana pendidikan tersebut bila
dimanfaatkan secara maksimal dan langsung untuk proses belajar mengajar,
seperti taman sekolah untuk pengajaran tata boga dan apotik hidup, halaman
sekolah sebagai lapangan untuk pelajaran jasmani dan kesehatan rohani
komponen tersebut menjadi sarana pendidikan.
Fasilitas pendidikan juga dapat dibedakan menjadi alat pelajaran, alat
peraga, dan media pembelajaran (Hartati Sukirman dkk, 2002:29). Alat pelajaran
adalah alat atau benda yang dipergunakan secara langsung oleh guru maupun
murid dalam proses belajar mengajar, misalnya alat peraga. alat praktek, alat tulis
menulis dan sebagainya. Alat pelajaran ditinjau dan penggunaannya dibedakan
menjadi alat pelajaran klasikal (digunakan bersama), dan alat pelajaran individual
(digunakan perorangan). Selain itu klasifikasi alat pelajaran juga dapat dibedakan
menurut mata pelajaran. misalnya alat pelajaran untuk mata pelajaran
Kewirausahaan, Bahasa Inggris.
Alat peraga yang juga merupakan bagian dan alat pelajaran adalah segala
sesuatu yang digunakan pengajar untuk memperagakan dan atau memperjelas
pelajaran. Alat peraga ditilik dari penggunaanya dibedakan menjadi alat peraga
langsung dan alat peraga tidak langsung. Alat peraga langsung jika alat peraga
merupakan benda sesungguhnya, alat pelajaran tidak langsung bukan benda
sesungguhnya, misalnya film, foto, miniatur, dan sebagainya. Media pendidikan
adalah sarana yang digunakan sebagai perantara dalam proses belajar mengajar
dengan tujuan memperkuat efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan
pendidikan. Ada tiga jenis, yaitu media audio, visual dan audio visual. Media
audio merupakan media untuk pendengaran (media pendengar), misalnya tape
recorder clan radio. Media visual adalah media untuk penglihatan (media tampak
oleh mata), misalnya: pantomim (gerak) dan film gerak. Dan serta media audio
visual ialah media untuk pendengaran dan penglihatan, contohnya televisi

Penilaian Hasil Seleksi Calon Pegawai

Penilaian mencakup pada keterpenuhan semua syarat yang telah
ditentukan sebelumnya, baik syarat akademik maupun non akademik. Dalam
konteks Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka syarat-syarat umum harus dipenuhi
antara lain berkewarganegaraan Indonesia, sehat jasmani dan rohani, usia minimal
18 tahun, tidak pernah terlibat dalam organisasi terlarang clan lain sebagainya.
Setelah syarat-syarat umum tersebut dipenuhi, penilaian selanjutnya mengarah
pada hasil nilai syarat-syarat khusus/jauh lebih subtansif.
b. Pengangkatan dan Penugasan
Dalam SISDIKNAS pasal 41 ayat 2, “Pengangkatan, penempatan, dan
penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang
mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal”.Pengangkatan
seorang personil dalam satu jajaran dilaksanakan dalam suatu jabatan berdasarkan
prinsip profesionalisme dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu
serta syarat obyektif hanya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, dan
ras/golongan. Menurut Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana (2008:223), pegawai
negeri terdiri dari pegawai negeri sipil dan militer yang mana pegawai negeri
militer berlaku peraturan khusus. Untuk pegawai negeri sipil dapat
diklasifikasikan atas beberapa jenis, yaitu: pegawai harian, bulanan, sementara
dan tetap. Dalam sistem tersebut seorang personil diberi pangkat sesuai ijasah
tertinggi yang diakui sesuai dengan tugas yang diampu. Pangkat ini juga
menunjukkan golongan dan manajemen gaji. Pangkat yaitu kedudukan yang
menunjukkan tingkat seorang personil dalam rangkaian susunan kepegawaian dan
digunakan sebagai dasar penggajian.
c. Pembinaan dan Pengembangan Personil
Dalam SISDIKNAS pasal 44:1, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah”. Pengembangan
pegawai merupakan usaha yang dilakukan untuk memajukan dan meningkatkan
mutu serta efisiensi kerja seluruh pegawai yang berada dalam lingkungan sekolah
(Hartati Sukirman dkk, 2002:23). Adapun kegiatan pembinaan dan pengembangan
pegawai yakni usaha lembaga untuk mempertahankan pegawainya agar tetap
bekerja di lembaga bersangkutan. Pemeliharaan dilakukan dengan memberikan
hak serta kewajiban pegawai. Sebagai contoh seorang guru yang berstatus
Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki hak untuk mendapat gaji (kompensasi),
cuti, bantuan kesehatan, pensiun dan tunjangan-tunjangan lain. Dan segi hukum ia
juga mendapat perlindungan selaku warga Negara yang sah. Adapun kewajiban
yang harus ditaati secara umum, misalnya; setia dan taat kepada pancasila,
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, clan
menyimpan rahasia jabatan. Menurut Gerry Dessler (2002:279), pengembangan
adalah upaya untuk meningkatkan prestasi pada saat sekarang atau dimasa depan
dengan memberikan pengetahuan, merubah sikap, meningkatkan keterampilan
kemampuan kerja. Untuk mengembangkan pegawai ada beberapa langkah yang
dapat ditempuh, antara lain dengan lokakarya, seminar, usaha sendiri, studi
banding, serta promosi. Promosi diartikan sebagai kenaikan pangkat, yang bisa
didasarkan atas sistem karier dan sistem prestasi kerja. Ada beberapa jenis
kenaikan pangkat, seperti kenaikan pangkat regular, pilihan, istimewa,
pengabdian, anumerta, tugas belajar, dan sebagainya.
d. Pemberhentian Pegawai
Pemberhentian pegawai adalah pemutusan hubungan kerja, baik sementara
maupun selamanya atas permintaan pegawai maupun karena kehendak pihak
lembaga (Hartati Sukirman dkk, 2002:25). Bentuk-bentuk pemberhentian pegawai
terdiri alas empat, yaitu:
1. Pensiun
Pemberhentian dengan hormat oleh pihak lembaga karena usia pegawai
yang telah lanjut sehingga dianggap tidak produktif lagi. Bagi tenaga PNS 56
tahun, sedangkan tenaga pengajar/guru pada usia 65 tahun. Dalam menghadapi
pegawai yang akan pensiun. 6 bulan sebelumnya pihak lembaga memberitahukan
secara tertulis kepada pegawai bersangkutan. Pada tahap berikutnya, lembaga
memberikan surat keputusan pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian
dengan hormat, dan memberikan pesangon luang jasa sesuai dengan ketentuan
yang berlaku (Hartati Sukirman, 2002:25).
2. Pemberhentian atas permintaan pegawai sendiri
Pemberhentian mi dilakukan dengan hormat setelah mempertimbangkan
dan menyetujui permohonan pengunduran diri pegawai baik itu alasan pribadi
atau alasan tertentu lainya (Hartati Sukirman, 2002:25).
3. Perhentian langsung oleh pihak lembaga
Pemberhentian mi dilakukan jika harus terjadi rasionalisasi dalam
organisasi, dan ketidakmampuan pegawai untuk menunjukkan kemampuan atau
prestasinya dengan balk di mata lembaga (Hartati Sukirman, 2002:25).
4. Pemberhentian sementara
Pemberhentian mi dilakukan apabila lembaga sedang mengalami kurang
menguntungkan atau menurunnya aktivitas lembaga. Pemberhentian ini sifatnya
hanya dalam waktu tertentu, sampai pada kondisi diperkirakan membaik. Jika
tidak, maka kemungkinan pemberhentian permanen bisa saja terjadi. Alasan lain
pemberhentian sementara adalah jika pegawai melakukan tindak indisipliner atau
penyelewengan lainnya sehingga lembaga merasa perlu memberikan hukuman
berupa skorsing (Hartati Sukirman. 2002:25).
Menurut Suryosubroto (1984:52:53), masalah pemberhentian pegawai
negeri dari jabatannya (tugas dari pegawai negeri) ada 2 (dua) kemungkinan yakni
diperhentikan dengan hormat dan diberhentikan tidak dengan hormat (dipecat).
Pemberhentian dengan hormat dari tugas Pegawai Negeri apabila: mencapai batas
pensiun, penyelewengan tugas, akibat suatu kecelakaan sehingga cacat,
meninggalkan pekerjaan lebih 5 bulan kurang dari 6 bulan, dan meninggal dunia.
Pemberhentian tidak dengan hormat (dipecat) apabila melanggar sumpah Pegawai
Negeri, dihukum penjara, pelanggaran jabatan sehingga dipidana, menentang
pemerintah, meninggalkan pekerjaan 6 bulan atau lebih tanpa ijin atasan, dan
ketahuan telah memberikan keterangan palsu pada saat melamar pekerjaan.
Berdasarkan uraian di atas maka pemberhentian pegawai dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat sesuai dengan
kriteria yang ditentukan.

Seleksi Calon Pegawai

Tiga cara pelaksanaan seleksi yang umum dilakukan oleh organisasi
swasta maupun pemerintah adalah penelitian administrasi, tes atau ujian, dan
wawancara (Slamet Saksono, 1988:69). Untuk menyeleksi pegawai terdapat
beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain melalui tes pengetahuan
akademik, tes psikologis, wawancara dan praktek. Menurut Suharsimi Arikunto
dan Lia Yuliana (2008:223), pegawai negeri terdiri dan pegawai negeri sipil dan
militer yang mana pegawai negeri militer berlaku peraturan khusus. Dengan
demikian dalam Standar Nasional Pendidikan pasal 28 ayat 1 menyatakan
“Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Kualifikasi akademik yang dimaksud
adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik
yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam SNP pasal 29:6,
Pendidik pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat memiliki (1)
Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau
sarjana (SI); (2) Latar belakang pendidikan tinggi dengan program
pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan (3)
Sertifikat profesi guru untuk SMK/MAK.
Sesuai dengan SNP (35:1d), “SMKJ’MAK atau bentuk lain yang sederajat
sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi,
tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/
madrasah”. Lebih lanjut. dalam Standar Nasional Pendidikan No.19 Tahun 2005
membagi kompetensi pendidik menjadi empat bagian. yaitu: (a) kompetensi
pedagogik; (b) kompetensi kepribadian; (c) kompetensi profesional; dan (d)
kompetensi sosial. Selain yang disebut di atas keempat kompetensi tersebut dapat
menjadi alat untuk menyeleksi pegawai dalam proses perekrutan pegawai.

Sumber-sumber Penarikan Pegawai

Pimpinan perusahaan atau manajer kepegawaian dapat memilih tenaga
kerja dari dua macam sumber, yaitu: dari dalam dan dari luar perusahaan (Slamet
Saksono, 1995:58).
a. Sumber dari dalam lembaga. Upaya pengadaan pegawai dapat ditempuh
melalui proses penugasan yang didasarkan atas penilaian prestasi kerja dan
struktur kerja yang ada di lembaga pendidikan, baik pemindahan ke jabatan
yang lebih tinggi (promosi jabatan), sejenjang (transfer atau rotasi pekerjaan),
maupun lebih rendah (demosi) (Hartati Sukirman dkk, 2002:21). Dengan
menarik pegawai dari dalam lembaga maka tahapan pengumuman tidak
dilaksanakan.
b. Sumber dari luar lembaga. Upaya pengadaan pegawai mi ditempuh dengan
merekrut tenaga baru atau yang belum pernah bekerja di lembaga
bersangkutan. Pengadaan pegawai dapat melalui Man media massa, lembaga
pendidikan, departemen tenaga pendidikan, ataupun lamaran kerja yang sudah
masuk ke lembaga (Hartati Sukirman dkk, 2002:21).
Jadi, sumber penarikan pegawai dapat berasal dari internal lembaga dan
dari eksternal lembaga itu sendiri. Penarikan sumber pegawai mempengaruhi
prosedur rekrutmen. Dimana rekrutmen itu sendiri sesuai dengan otonomi
1embga.

Ruang Lingkup Manajemen Personil

Menurut Mulyasa (2002:23), ruang lingkup manajemen tenaga
kependidikan (guru dan personil) mencakup (1) perencanaan pegawai, (2)
pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) promosi dan
mutasi, (5) pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai.
Sumber lain menyatakan, ruang lingkup manajemen personil meliputi pengadaan
personil, penempatan dan penugasan, pembinaan clan pengembangan personil,
clan pemberhentian personil (Hartati Sukirman dkk, 2002:20). Kesimpulannya
ruang lingkup manajemen personil meliputi: pengadaan personil, penempatan dan
penugasan, pembinaan clan pengembangan personil, dan pemberhentian personil.
Semua itu perlu dilakukan dengan balk agar tujuan manajemen pendidikan dapat
tercapai, yaitu; tersedianya kualifikasi clan kemampuan yang sesuai serta dapat
melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas sesuai dengan yang
diharapkan lembaga.
a. Rekrutmen Personil
Rekrutmen pegawai merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
pegawai pada suatu lembaga, baik jumlah maupun kualitasnya (Mulyasa,
2002:43). Lebih lanjut, pengadaan personil merupakan tindakan yang dilakukan
lembaga untuk mendapatkan tambahan pegawai yang melalui tahapan mulai dan
pengumuman kebutuhan, menyeleksi sampai pengangkatannya (Hartati Sukirman
dkk, 2002:21). Dalam pengadaan personil harus memperhatikan formasi. Formasi
adalah jumlah dan susunan pangkat yang diperlukan untuk mampu melaksanakan
tugas pokok yang ditetapkan oleh lembaga tersebut. Formasi ini ditetapkan
berdasarkan perkiraan beban kerja dalam jangka waktu tertentu dengan
memperhitungkan macam-macam pekerjaan, rutinitas pekerjaan, keahlian yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas dan hal lain yang mempengaruhi jumlah
dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlukan. Lebih lanjut, A.A.
Mangkunegara (2002:33), diperlukan identifikasi clan evaluasi sumber-sumber
penarikan pegawai dalam proses rekrutmen pegawai.