Indikator Pengelolaan Keuangan Daerah (skripsi dan tesis)

Soleh dan h Heru (2010), prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi:

1)   Akuntabilitas

Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai dengan mandat atau amanah yang diterimanya. Untuk itu, baik dalam proses perumusan kebijakan, cara untuk mencapai keberhasilan atas kebijakan yang telah dirumuskan berikut hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal kepada masyarakat. Kerugian Daerah Berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga dan barang,yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

2)   Value for Money

Indikasi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadilan tersebut hanya akan tercapai apabila penyelenggaraan pemerintahan daerah dikelola dengan memperhatikan konsep value for money, yang mencakup:

  1. Ketidakhematan

Temuan mengenai ketidakhematan mengungkap adanya penggunaan input dengan harga atau kuantitas/kualitas yang lebih tinggi dari standar, kuantitas/kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pengadaan serupa pada waktu yang sama.

  1. Ketidakefektifan

Temuan mengenai ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome) yaitu temuan yang mengungkapkan adanya kegiatan yang tidakmemberikan manfaat atau hasil yang direncanakan serta fungsi instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai.

  1. Kejujuran dalam Mengelola Keuangan Publik (Probity)

Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan, yang mencakup:

  1.           Potensi kerugian daerah

Potensi kerugian daerah adalah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.

  1.           Transparansi

Transparansi adalah keterbukaan pemerintah daerah dalam membuat kebijkan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintah daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat, yang mencakup:

  1. a)Administrasi

Temuan administrasi mengungkap adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan aset, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian daerah atau potensi kerugian daerah, tidak mengurangi hak daerah (kekurangan penerimaan). Tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana.

  1. b)Pengendalian

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus sering dievaluasi yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap pendapatan dan belanja daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians untuk kemudian dilakukan tindakan antisipasi ke depan.

Keuangan Daerah (skripsi dan tesis)

Abdul Halim (2012) mengemukakan bahwa, pengelolaan keuangandaerah terdiri atas pengurusan umum dan pengurusan khusus. Pengurusan umum berkaitan dengan APBD, sedangkan pengurusan khusus berkaitan dengan barang inventaris daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah akan terlaksana secara optimal jika penyelenggaraan urusan pemerintah diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu pada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menyatakan tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 39 Ayat 2 disebutkan bahwa penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 menyebutkan bahwa untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan (1) penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.

Pelaksanaan Pemerintah Daerah (skripsi dan tesis)

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahn daerah seperti yang dijelaskan pada penjelasan UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah bahwa pembangunan daerah sebagi bagian integral dari pembangunan nasional dilaksankan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatakan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ketrbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Hakekat suatu negara dalam menyelenggarakn pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan yaitu mengemban 3 fungsi yaitu (1) fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat, (2) fungsi distribusi meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan dan (3) fungsi stabilisasi yang meliputi pertahanan keamanan, akonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat (Adisubrata, 2013).

Sesuai dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 bahwa ada urusan pemerintahan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, urusan tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, yustisi dan agama, urusan tertentu pemerintah yang berskala nasional yang tidak diserahkan kepada daerah. Keserasian hubungan yang disebut juga pengelolaan bagian urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintah yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperlihatkan cakupan kemanfaatannya. Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada 2 urusan yaitu: a) Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasrana lingkungan dasar, b) Urusan pilihan adalah urusan pemerintah daerah yang bersifat berkaitan dengan potensi daerah dan kekhasan daerah.

Dalam pelaksanaannya tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada daerah. Pemerintah pusat berat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar asas dekonsentrasi mengingat terbatasnya kemampuan aparatur pemerintah pusat. Maka dari itu urusan pemerintah daerah dapat dilakukan menurut asas tugas pembantuan yang pada dasrnya merupakn keikutsertaan daerah atas penugasan dari pemerintah pusat atau daerah dalam melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada yang diserahkan kepada provinsi, dan ada yang diserahkan kepada kabupaten kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten kota maka, disusunlah tiga kriteria dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahn antar tingkat pemerintahn yang meliputi (Sobandi et. Al, 2016):

  1. Kriteria Eksternalitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemrintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten kota. Apabila dampaknya regional, maka menjadi kewenangan provinsi dan apabila dampaknya nasional, maka menjadi kewenangan pemerintah.
  2. Kriteria Akuntabilitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung dekat dengan dampak akibat urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
  3. Kriteria Efisiensi ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, daya, peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan.

Untuk itu pembagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang dihadapi.

Tujuan Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)

Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tamboto et all 2014).

Menurut Mardiasmo (2012), tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan hidup demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Halim (2009) dalam Sijabat et all (2013) pelaksanaan otonomi daerah, salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur rumah tangganya adalah self supporting di dalam bidang keuangan. Artinya, daerah harus mampu untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri serta mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan daerahnya.

 Tujuan otonomi daerah menurut Smith (1985) dalam Analisa CSIS yang dikemukakan oleh Syarif Hidayat dalam Abdul Halim, (2014) dibedakan dari dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari sisi Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah pendidikan politik, pelatihan kepemimipinan, menciptakan stabilitas politik dan mewujudkan demokrasi sistem Pemerintah di daerah. Sementara, bila dilihat dari sisi Pemerintha Daerah ada tiga tujuan yaitu:

  1. Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality, artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat local atau daerah.
  2. Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan otonomi akan meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat.
  3. Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkam akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan dan ekonomi daerah.

Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usahausaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:

  1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
  2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.
  3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan. (Mardiasmo, 2012).

Prinsip Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)

Landasan Hukum Otonomi DaerahOtonomi daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintahyang berdasarkan asas desentralisasi yang diwujudkan agar otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab dilaksanakan dalam NKRI yang telah diatur dalam kerangka landasannya di dalam UUD 1945 antara lain: (i) Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. (ii) Pasal 18 yang menyatakan: “Pemerintahan daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dasar pemusyawaratan dalam sisitem pemerintah negara dan hak-hak, asal-usul dalm daerah yang bersifat istimewa.” (Bachrul Elmi, 2012).

Penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serat memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal- hal yang mendasar dalam UU ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarasa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (  Adisubrata, 2013).

Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Berdasar pada UU No.23/2014, prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :

1)   Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi,keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2)   Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945

3)   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

4)   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom.

5)   Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan nasional.

6)   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

7)   Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.

8)   Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan

Pengertian Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)

Otonomi daerah adalah perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi yakni penyerahan urusan pemerintah kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya. Menurut Ahmad Yani (2012) salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah adalah mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada Pemerintah Daerah dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena PAD ini sangat diharapkan dapat membiayai pengeluaran rutin daerah

Secara etimologis, kata otonomi berasal dari bahasa latin: auto berarti sendiri dan nomein berarti peraturan, atau undang-undang. Maka autonom berarti mengatur sendiri, atau memerintah sendiri, atau dalam arti luas adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri . Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2014, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan  mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dijelaskan pula bahwa Republik Indonesia menganut asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah dengan member kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi dearah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Otonomi dearah merupakan realisasi dari ide desentralisasi. Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi itu sendiri.

 Menurut Sidik (Badrudin, 2012:19), konsep desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi administrasi. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dan menetapkan prioritas pembangunanya. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah dalam mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing.

Menurut Mardiasmo (2002) otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Dengan adanya desentralisasi fiskal daerah dituntut untuk meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya sehingga mampu bersaing dengan daerah lain melalui penghimpunan modal pemerintah daerah untuk kebutuhan investasi dan atau kemampuan berinteraksi dengan daerah lain

. Agar tujuan desentralisasi fiskal dapat tercapai, maka terdapat empat elemen utama yang harus diperhatikan (Mardiasmo, 2015), yaitu

1) sistem dana perimbangan (transfer),

2) sistem pajak dan perimbangan daerah,

3) sistem administrasi dang anggaran pemerintah pusat dan daerah, serta

4) penyediaan layanan publik.

Menurut Halim (Andriyanto et all 2007) agar implementasi otonomi daerah dapat berhasil dengan baik paling tidak ada lima strategi yang harus diperhatikan yaitu:

(i)        Self Regular Power, dalam arti kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah demi kepentingan masyarkat didaerahnya;

(ii)      Self Modifying Power, berupa kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan komdisi daerah ternmasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam menyikapi potensi daerah;

(iii)    Creating Local Political Support, dalam arti penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik pada posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif;

(iv)     Managing Financial Resources, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan keuangan guna membiayai aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat; serta

(v)      Developing Brain Power, dalam arti membangun 13 sumber daya manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas menyelesaikan masalah.

Menurut Said (Badrudin, 2012:17), terdapat empat perspektif yang mendasari segi positif dan empat perspektif yang mendasari segi negative otonomi daerah. empat perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah, yaitu sarana untuk

1) demokratisasi,

2) membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintah,

3) mendorong stabilitas dan kesatuan nasional, dan

 4) memajukan pembangunan daerah.

Sedangkan empat perspektif negative yang mendasari otonomi daerah, yaitu

  1. menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan yang tidak diharapkan,
  2. melemahkan kualitas pemerintahan,
  3. menciptakan kesenjangan antardaerah yang lebih besar, dan
  4. memungkinkan terjadinya penyimpangan arah demokrasi yang lebih besar.

Menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Keuangan Daerah tujuan otonomi daerah adalah sebagai berikut: Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahn yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat dipercepat perwujudannya melalui peningkatan pelayanan di daerah dan pemberdayaan masyarakat atau adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan didaerah. Sementara upaya  peningkatan daya saing diharapkan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan keistimewaan atau kekhususan serta potensi daerah dan keanekaragaman yang dimilki oleh darah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jenis Pengawasan (skripsi dan tesis)

1)        Pengawasan dipandang dari kelembagaan yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol dapat dibedakan menjadi pengawasan intern (internal control) dan pengawasan ekstern (ekstern control) (Fachrudin, 2014).

  1. a) Pengawasan intern (internal control) adalah pengawasan yang masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah, misalnya: pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hirarkhis. Bentukkontrol yang seperti itu dapat digolongkan sebagai jenis kontrol teknis administratif.
  2. b) Pengawasan ekstern (ekstern control) adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau organ secara struktur organisasi berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif, misalnya: pengawasan yang dilakukan secara langsung, seperti pengawasan keuangan yang dilakukan oleh BPK, pengawasan sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk media masa, pengawasan politis yang dilakukan lembaga-lembaga perwakilan rakyat terhadap pemerintah (eksekutif). Pengawasan reaktif yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicial control) antara lain peradilan umum dan peradilan administrasi dalam hal timbul persengketaan dengan pihak pemerintah.

2)        Menurut Fachruddin (2014), pengawasan dipandang dari segi waktu pelaksanaan, pengawasan dibedakan menjadi 2 yaitu :

  1. Pengawasan apriori

Pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan atau  dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau peraturan lainya yang menjadi wewenang pemerintah.  Pengawasan ini mengandung unsur pengawasan preventif yaitu mencegah dan menghindarkan terjadinya kekeliruan.

  1.   Pengawasan a-posteriori

Pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkan suatu keputusan suatu ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah. Pengawasan ini mengandung unsur represif yaitu bertujuan mengkoreksi tindakan yang keliru.

3)        Dipandang dari aspek yang diawasi bahwa pengawasan dibedakan yaitu

  1. Pengawasan segi hukum

Pengawasan yang dimaksudkan untuk menilai segi-segi hukumnya saja.

  1. Pengawasan segi kemanfaatan

Pengawasan yang dimaksudkan untuk menilai segi kemanfaatannya.

4)        Dipandang dari cara pengawasan, pengawasan dibedakan kepada:

  1. Pengawasan unilateral

Pengawasan yang penyelesaiannya sepihak dari pengawas.

  1. Pengawasan refleksif

Pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negosiasi antara pengawas dengan yang diawasi.

Peran dan Fungsi Pengawasan Oleh DPRD (skripsi dan tesis)

Menurut Stoner dan Freeman (2009) pengawasan merupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai dengan rencana kegiatan. Pendapat lain, di kemukakan oleh Koontz dalam buku yang sama (2009) menurut beliau Pengawasan adalah untuk melakukan pengukuran dan tindakan atas kinerja yang berguna untuk meyakinkan organisasi secara objektif dan merencanakan suatu cara dalam mencapai tujuan organisasi. Pendapat lain dikemukakan oleh Terry (2011), bahwa pengawasan dititik beratkan pada tindakan evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai. Dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana. Dengan demikian tindakan pengawasan ini tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan, akan tetapi justru pada akhir suatu kegiatan, setelah kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu.

Menurut Hans Kelsen (2009) dalam bukunya yang berjudul teori umum tentang hukum dan negara, ia mengungkapkan bahwa pengawasan muncul ketika trias politika memisahkan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan adanya pemisahan tersebut, muncul fungsi pengawasan di setiap masing masing bidang pemerintahan. Dengan adanya fungsi tersebut terdapat suatu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat.

Lembaga administrasi Negara Republik Indonesia (2017) dalam mengemukakan pengertian pengawasan sebagai salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana kebijakan, intruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku.

Lembaga Administrasi Negara Indonesia (2017) memberikan pernyataan bahwa hasil pengawasan harus dijadikan masukan oleh pimpinan dalam pengambilan keputusan yaitu, untuk :

  1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidaktertiban.
  2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak tertiban tersebut.
  3. Mencari cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai tujuan dan melaksanakan tugas-tugas organisasi.

Jadi fungsi pengawasan tersebut adalah untuk mencegah sekecil dan sedini mungkin terjadinya suatu penyimpangan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas. Persoalannya tanpa pengawasan, proses pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas bisa saja menyimpang atau bertentangan dari prosedur dan ketentuan yang berlaku. Hal ini banyak terjadi, terutama dalam hal keuangan.

Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat di lakukan sejak tahap perencanaan, (2) Tahap perencanaan penting karena DPRD memiliki kewenangan untuk menilai dan membuat rancangan peraturan daerah dan memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah. Dalam pengawasan ini DPRD memiliki wewenang dalam melakukan pengawasan mulai dari serap aspirasi masyarakat hingga perencanaan APBD itu selesai di buat. Dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui kiarifikasi, uji validitas, uji relevansi, dan uji effectiveness dan kompromi penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, rekomendasi untuk perbaikan dan pengujian ulang. Dalam pengawasan ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai hak untuk menolak Rancangan Aggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) yang diajukan oleh pemerintah daerah dengan alasan-alasan dan hasil uji atau analisa yang dilakukan bahwa Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diajukan tidak realistis untuk besarnya biaya yang dianggarkan maupun manfaat yang diperoleh tidak menyentuh kepentingan masyarakat, karena usulan kegiatan tidak sesuai dengan arah dan kebijakan umum, sehingga Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah perlu disempurnakan (Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, 2009).

(2) Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tahap Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Dalam pengawasan pada tahap pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan dengan cara mengadakan rapat kerja dengan unsur Pemerintah Daerah, yang kemudian dirumuskan menjadi kebijakan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga mengadakan kunjungan kerja ke daerah-daerah, lokasi dimana program yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dilaksanakan, dengan tujuan untuk melihat apakah program tersebut sudah sesuai dengan rencana semula dan mencapai sasaran yang diinginkan/diharapkan atau tidak (Atmosudirjo 2013)

Berdasarkan pengertian tersebut diketahui bahwa pengawasan dilakukan oleh seorang pimpinan dan pengawasan adalah tanggung jawab dari pimpinan tersebut. Hakikatnya bahwa pengawasan bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan

Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD (skripsi dan tesis)

Esensi Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 beserta penjelasan pasal tersebut, diamanatkan bahwa daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan Badan Perwakilan Rakyat Daerah, karena didaerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Arti penting dari badan perwakilan adalah menjadi atribut demokratisasi penyelenggaraaan pemerintahan daerah. Atas dasar prinsip normatif demikian dalam praktik kehidupan demokrasi sebagai DPRD memiliki posisi sentral yang biasanya tercermin dalam doktrin kedaulatan rakyat. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa DPRD yang dapat mewakili rakyat dan memiliki kompetensi untuk memenuhi kehendak rakyat.

Perwujudan dari fungsi DPRD, seperti hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan, hak prakarsa, hak penyelidikan menjadi modal besar dalam menghadapi kekuasaan pemerintah daerah. Dalam tatanan tersebut kekuasaaan DPRD menjadi lemah dibandingkan kekuasaan pemerintah daerah. Kekuasaan DPRD dan kekuasaan pemerintah daerah terjadi ketidak seimbangan antar kekuasaan. Oleh karena itu dibutuhkan mekanisme cheks and balances antara kedua kekuasaan tersebut dan hanya bisa dihindari apabila terdapat pengawasan dan kontrol, dalam rangka terwujudnya pelaksanaan pemerintahan daerah yang bersih.

Tugas dan wewenang DPRD berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah adalah :

  1. Membentuk Peraturan Daerah (Perda) yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
  2. Membahas dan menyetujui rancangan Peraturan Daerah tentang APBD bersama kepala daerah;
  3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah; d) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/Kota;
  4. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
  5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
  6. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah;
  7. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
  8. Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
  9.   Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

Adapun fungsi dari DPRD sama dengan fungsi DPR-RI yang mencakup tiga hal, yaitu:”fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.” Sementara itu tugas dan wewenang DPRD, yaitu:

  1. membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;
  2. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur;
  3. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;
  4. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
  5. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur;
  6. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
  7. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi;
  8. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
  9. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
  10. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  11. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

Urgensi Lembaga Perwakilan Rakyat (Badan Legislatif) Badan legislatif adalah lembaga yang legislate atau membuat undang-undang, yang anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat, maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan pewakilan Rakyat (DPR) (Budiardjo, 2015) dan fungsi badan legislatif diantaranya ialah: fungsi di bidang perundang-undangan, fungsi dibidang pengawasan, dan fungsi di bidang anggaran. Fungsi di bidang perundang-undangan yang biasanya dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Dalam rangka ini badan legislatif memiliki hak inisiatif (mengusulkan RUU) dan hak amandemen (mengubah RUU). Fungsi dibidang pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi tindakan atau kebijakan pemerintah. Dalam hal ini badan legislatif memiliki hak interpelasi (meminta keterangan) dan hak angket (melakukan penyelidikan). Sedangkan fungsi anggaran yaitu fungsi untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara. Hak untuk itu biasa disebut hak budget (Sunarto, 2014)

Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (skripsi dan tesis)

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Masyarakat Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sampah yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah”. Tanggung jawab pengelolaan sampah ada pada masyarakat sebagai produsen timbulan sampah sejalan dengan hal tersebut, masyarakat sebagai produsen timbulan sampah diharapkan terlibat 28 secara total dalam lima sub sistim pengelolaan sampah, yang meliputi sub sistem kelembagaan, sub sistem teknis operasional, sub sistem finansial, sub sistem hukum dan peraturan serta sub sistem peran serta masyarakat.

 Menurut (Syafrudin, 2004), salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah melaksanakan program pengelolaan sampah berbasis masyarakat, seperti minimasi limbah dan melaksanakan 5 R (Reuse, Recycling, Recovery, Replacing dan Refilling). Kedua program tersebut bisa dimulai dari sumber timbulan sampah hingga ke Lokasi TPA. Seluruh sub sistem didalam sistem harus dipandang sebagai suatu sistem yang memerlukan keterpaduan didalam pelaksanaannya. (Tchobanoglous, 1993 dalam Syafrudin, 2004). “Sistem pengelolaan sampah terpadu (Integrated Solid Waste management) didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan program teknologi dan manajemen untuk mencapai sistem yang tinggi.” Dengan mempelajari berbagai teori dan pemahaman terkait dengan konsep pengelolaan sampah dalam hubungannya dengan proses perencanaan sampai dengan pembangunan yang berkelanjutan, serta teori peran serta, maka dapat diajukan kerangka konsep pola/bentuk peran serta masyarakat dan kelembagaan dalam pengelolaan sampah dengan pendekatan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat.

Munculnya pendekatan dengan pelibatan masyarakat ini didasari dari pemikiran terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup di perkotaaan akibat perilaku manusia. Sedangkan program-program yang dijalankan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran agar dapat merubah perilaku kurang memberikan hasil  sesuai yang diharapkan. Untuk itu diperlukan adanya pengelolaan lingkungan sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup. Prinsip pengelolaan lingkungan sosial harus mengutamakan pelibatan warga masyarakat atau komunitas secara penuh, dengan kata lain pengembangan dan perencanaan pengelolaan lingkungan sosial menggunakan pendekatan partisipatif, dan masyarakat sebagai inti dalam pendekatan tersebut. Pendekatan ini dalam pelaksanaannya ditekankan pada inisiatif lokal dengan memperkuat kapasitas masyarakat karena merupakan bottom-up approach yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh, melalui aspek ekonomi, sosial, budaya secara terintregrasi dan berkesinambungan. Pada akhirnya dapat memperkuat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan yang bermuara terhadap perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup secara berkelanjutan (Kipp and Callaway, 2004).

Dalam upaya pelibatan masyarakat tersebut, terjadi interaksi sosial yang intensif dalam bentuk kerjasama sesuai dengan kedudukan dan perannya masingmasing dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kerjasama itu dilakukan oleh seluruh anggota dalam kelompoknya dalam upaya pemenuhan kebutuhan prasarana. Pada dasarnya tanggungjawab penyediaan prasarana dilakukan oleh pemerintah, melalui berbagai program pembangunan. Dari pengalaman masa lalu dapat dilihat akibat pendekatan pembangunan yang kurang mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat dengan tidak berfungsi dan terpeliharanya hasil pembangunan, khususnya prasarana pemukiman. 30 Pembangunan berkelanjutan, menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan sehingga mampu mengidentifikasi, menganalisa serta merumuskan kebutuhannya sendiri dalam upaya perbaikan kualitas hidup.

Pembangunan dalam pelaksanaan pengelolaan sampah perlu adanya pelibatan masyarakat secara nyata dalam aktivitas-aktivitas riil yang merupakan perwujudan program yang telah disepakati dalam kegiatan fisik. Bentuk, tingkatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam berperan serta harus mampu diidentifikasi dan dianalisa sehingga dapat dipergunakan sebagai pendekatan atau model pembangunan partisipatif yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Dalam beberapa hal karena kondisi masih rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat sehingga diperlukan adanya keterlibatan peran organisasi non pemerintah/LSM yang bermitra baik dengan pemerintah sebagai salah satu pihak yang berperan dalam pembangunan melalui pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas kesukarelaan. Adapun pemerintah dalam hal ini berperan dalam memfasilitasi kegiatan yang akan dilakukan, melalui perbaikan manajemen pengelolaan, perbaikan metode, penyediaan tenaga ahli, pelatihan ketrampilan, penyediaan informasi dan komunikasi yang berorientasi kepada proses pemberdayaan masyarakat. Keterlibatan penuh masyarakat dalam setiap tahapan mekanisme pembangunan dapat dilihat dari berbagai faktor, seperti kesediaan dan keaktifan untuk menghadiri pertemuan dan kegiatan kerjabakti, pemberian sumbangan dana, tenaga dan material dalam pelaksanaan serta pemeliharaan yang nantinya dapat dirasakan manfaatnya.

Dalam operasi dan pemeliharaaan, khususnya prasarana yang dipakai bersama, masyarakat menginginkan suatu bentuk pengelolaan yang terorganisir dalam kepengurusan. Dalam organisasi ini membentuk suatu aturan, norma, kaidah yang disepakati bersama sehingga mampu mengikat anggotanya untuk patuh dalam melaksanakan tugas operasi dan pemeliharaan prasarana. Kemampuan prasarana dalam pemenuhan kebutuhan sangat berpengaruh terhadap tingkatan peran serta masyarakat. Apabila seluruh warga merasakan manfaatnya maka dengan sendirinya akan timbul kesadaran yang sifatnya sukarela. Kesadaran keberlanjutan terhadap prasarana akan dipahami lebih mudah oleh masyarakat bila kinerja prasarana yang dimiliki oleh masyarakat berjalan dengan baik dan kontinu.

 Dalam meningkatkan peran serta masyarakat diperlukan perubahan perilaku dengan pemahaman terhadap kondisi masyarakat setempat dengan mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat karena hal ini dapat membangun kepercayaan sehingga mempermudah implementasi program. Pemahaman tersebut berkaitan dengan kondisi internal masyarakat meliputi lamanya tinggal dan status hunian. Dengan memahami kondisi masyarakat akan dapat diketahui kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dalam melaksanakan perilaku yang berkelanjutan diperlukan komitmen untuk menunjang keberhasilan program yang dilaksanakan dengan kemitraan yang terjalin antara pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Jenis-jenis Sampah (skripsi dan tesis)

Jenis sampah yang ada di sekitar kita cukup beraneka ragam, ada yang berupa sampah rumah tangga, sampah industri, sampah pasar, sampah rumah sakit, sampah pertanian, sampah perkebunan, sampah peternakan, sampah institusi/kantor/sekolah, dan sebagainya.

Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut :

1). Sampah Organik

Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan hayati yang dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa – sisa makanan, pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung , sayuran, kulit buah, daun dan ranting.

2). Sampah Anorganik

Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan non-hayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang. Sampah anorganik dibedakan menjadi : sampah logam dan produk-produk olahannya, sampah plastik, sampah kertas, sampah kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian besar anorganik tidak dapat diurai oleh alam/mikroorganisme secara keseluruhan (unbiodegradable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik, dan kaleng, (Gelbert, 2006).

Sumber- Sumber Sampah (skripsi dan tesis)

Menurut (Gilbert, 1996:23-24), sumber-sumber timbulan sampah sebagai berikut:

1). Sampah dari pemukiman penduduk

 Pada suatu pemukiman biasanya sampah dihasilkan oleh suatu keluarga yang tinggal disuatu bangunan atau asrama. Jenis sampah yang dihasilkan biasanya cendrung organik, seperti sisa makanan atau sampah yang bersifat basah, kering, abu plastik dan lainnya.

2). Sampah dari tempat – tempat umum dan perdagangan

Tempat- tempat umum adalah tempat yang dimungkinkan banyaknya orang berkumpul dan melakukan kegiatan. Tempat – tempat tersebut mempunyai potensi yang cukup besar dalam memproduksi sampah termasuk tempat perdagangan seperti pertokoan dan pasar. Jenis sampah yang dihasilkan umumnya berupa sisa – sisa makanan, sampah kering, abu, plastik, kertas, dan kaleng- kaleng serta sampah lainnya.

3). Sampah dari sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah

Yang dimaksud di sini misalnya tempat hiburan umum, pantai, masjid, rumahsakit, bioskop, perkantoran, dan sarana pemerintah lainnya yang menghasilkan sampah kering dan sampah basah.

4). Sampah dari industri

Dalam pengertian ini termasuk pabrik – pabrik sumber alam perusahaan kayu dan lain – lain, kegiatan industri, baik yang termasuk distribusi ataupun proses suatu bahan mentah. Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah, sampah kering abu, sisa – sisa makanan, sisa bahan bangunan

 5). Sampah Pertanian

Sampah dihasilkan dari tanaman atau binatang daerah pertanian, misalnya sampah dari kebun, kandang, ladang atau sawah yang dihasilkan berupa bahan makanan pupuk maupun bahan pembasmi serangga tanaman. Berbagai macam sampah yang telah disebutkan diatas hanyalah sebagian kecil saja dari sumber- sumber sampah yang dapat ditemukan dalam kehidupan 16 sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari sampah

Pengertian Sampah (skripsi dan tesis)

Pengertian sampah adalah suatu yang tidak dikehendaki lagi oleh yang punya dan bersifat padat. Sementara didalam UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang kelingkungan, (Slamet, 2002).

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat dipahami sampah adalah :

1). Sampah yang dapat membusuk (garbage), menghendaki pengelolaan yang cepat. Gas-gas yang dihasilkan dari pembusukan sampah berupa gas metan dan H2S yang bersifat racun bagi tubuh.

 2). Sampah yang tidak dapat membusuk (refuse), terdiri dari sampah plastik, logam, gelas karet dan lain-lain.

3). Sampah berupa debu/abu sisa hasil pembakaran bahan bakar atau sampah.

 4). Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan, yakni sampah B3 adalah sampah karena sifatnya, jumlahnya, konsentrasinya atau karena sifat kimia, fisika dan mikrobiologinya dapat meningkatkan mortalitas dan mobilitas secara bermakna atau menyebabkan penyakit reversible atau berpotensi irreversible atau sakit berat yang pulih.

 5). menimbulkan bahaya sekarang maupun yang akan datang terhadap kesehatan atau lingkungan apabila tidak diolah dengan baik.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi (skripsi dan tesis)

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi peran serta masyarakat, antara lain faktor dari dalam, yaitu kemauan dan kemampuan masyarakat untuk ikut berperan serta, dari luar masyarakat yaitu peran aparat, lembaga formal dan non formal yang ada.

  1. Faktor internal

Faktor internal berasal dari dalam masyarakat sendiri, ciri-ciri individu tersebut terdiri dari usia, jenis pekerjaan, lamanya terlibat dalam kegiatan, tingkat pendapatan, lamanya tinggal serta status hunian (Slamet, 2004) yang mempengaruhi aktivitas kelompok, mobilitas individu dan kemampuan finansial. faktor jenis pekerjaan berpengaruh pada peran serta karena mempengaruhi keaktifan dalam berorganisasi. Hal ini disebabkan pekerjaan berhubungan dengan waktu luang seseorang untuk terlibat dalam organisasi, misalnya dalam hal menghadiri pertemuan, kerja bakti dan sebagainya. Besarnya tingkat pendapatan akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berperan serta. Tingkat pendapatan ini akan mempengaruhi kemampuan finansial masyarakat untuk berinvestasi dengan mengerahkan semua kemampuannya apabila hasil yang dicapai akan sesuai dengan keinginan dan prioritas kebutuhan mereka (Turner dalam Panudju, 2009). Salah satu ciri sosial ekonomi penduduk berkaitan erat dengan lamanya tinggal seseorang dalam lingkungan permukiman dan lamanya tinggal ini akan mempengaruhi orang untuk bekerjasama serta terlibat dalam kegiatan bersama. Dalam lingkungan perumahan seperti disebutkan Turner (dalam Panudju, 2009), tanpa kejelasan tentang status kepemilikan hunian dan lahannya seseorang atau sebuah keluarga akan selalu tidak merasa aman sehingga mengurangi minat mereka untuk memelihara lingkungan tempat tinggalnya. Dalam hal ini status hunian seseorang akan berpengaruh pada tingkat peran sertanya dalam kegiatan bersama untuk memperbaiki lingkungan. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah akan terbentuk jika masyarakat mempunyai pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan sampah, yang selanjutnya akan berpengaruh dalam pembentukan perilaku masyarakat terhadap sampah. Untuk itu perlu diupayakan adanya pengembangan perilaku masyarakat yang berwawasan lingkungan mendorong seseorang untuk bertindak dan berinteraksi berdasarkan kesamaan sikap dan pandangan mengenai tanggungjawab pengelolaan.

  1. Faktor Eksternal

Menurut Schubeler, tingkat peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan prasarana lokal tergantung pada sikap warga dan efektifitas organisasi masyarakat. (Schubeler, 2006). Seseorang akan terlibat secara langsung/tidak langsung dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga yang ada seperti LKMD, RW dan RT yang mengarah dalam mencapai kesejahteraan bersama. Adapun organisasi masyarakat 37 tersebut, diakui dan dibina oleh pemerintah untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai moral berdasarkan kegotong-royongan dan kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan. Dengan demikian peran serta harus mengandung unsur-unsur adanya keterlibatan aktif dari stakeholder dalam suatu organisasi kerja yaitu aparat pemerintah dan masyarakatnya. Didasarkan pada asumsi bahwa organisasi pemerintahan akan bekerja lebih baik jika anggota-anggota dalam struktur diberi kesempatan untuk terlibat secara intim dengan setiap organisasi. Hal ini menyangkut dua aspek yaitu: a. Keterlibatan aparat melalui terciptanya nilai dan komitmen di antara para aparat agar termotivasi dengan kuat pada program yang di implementasikan. b. Keterlibatan publik dalam desain dan implementasi program (B.Guy Peter dalam (Krina, 2003). Krina (2003) menyebutkan asumsi dasar dari peran serta adalah “semakin dalam keterlibatan individu dalam tantangan berproduksi, semakin produktif individu tersebut” dengan cara mendorong peran serta secara formal melalui forum untuk menampung peran serta masyarakat yang representatif, jelas arahnya dan dapat dikontrol, bersifat terbuka dan harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat untuk mengekspresikan keinginannya. Dalam hal pemerintahan yang partisipatif, perencanaan pembangunan memerlukan penanaman pemahaman tentang konsep pengelolaan yang partisipatif yang didasari oleh adanya proses interaksi antar stakeholder yang dilakukan sejak tahap identifikasi permasalahan, perumusan permasalahan, perumusan kebutuhan dan kesepakatan untuk melaksanakan (Wiranto, 2001).

Adapun pemerintahan  yang partisipatif menurut Hill dan Peter Hupe dalam Krina, (2002) bercirikan fokusnya pada memberikan arah dan mengundang orang lain untuk berperan serta. Dengan demikian nampaklah bahwa dalam setiap proses pembangunan, peran serta masyarakat harus selalu menjadi prioritas, karena keterlibatan masyarakat sangat menentukan dalam pelaksanaan dan keberhasilan program. Selain itu, melalui bentuk peran serta, hasil pembangunan diharapkan dapat dimanfaatkan secara merata dan adil oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini berarti bahwa prinsip memperlakukan masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan seharusnya tidak berhenti sebagai slogan, melainkan perlu diaktualisasikan ke dalam kenyataan dengan bobot yang semakin besar pada kedudukan masyarakat sebagai subjek (Soetomo, 2008).

Faktor lain dari pemerintah yang berpengaruh terhadap peran serta masyarakat adalah peran pemerintah daerah dalam membina swadaya dan peran serta masyarakat melalui pemberian penyuluhan, penyebaran informasi dan pemberian perintisan, selain itu juga dalam pemberian stimulan yang berupa material dan dana (Yudohusodo dkk, 2001). Dalam kegiatan peran serta dimungkinkan adanya keterlibatan pihak ketiga sebagai pendamping. Pengertian pihak ketiga sebagai pendamping disini adalah kelompok yang terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan, baik dilakukan oleh LSM, Yayasan Sosial, Perguruan Tinggi, melalui upaya-upaya pengembangan masyarakat, membantu mensintesakan pendekatan pembangunan dari atas dan dari bawah, membantu mengorganisir dan melaksanakan kegiatan bersama serta berbagai kegiatan selaku mediator atau katalisator pembangunan (Schubeler, 2006)

Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat (skripsi dan tesis)

Menurut Effendi dalam Hernawati (2012), partisipasi dibagi atas dua bentuk, yaitu partisipasi vertikal dan partisipasi horizontal

  1. Partisipasi vertikal adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam masyarakat yang terlibat didalamnya atau megambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan masyarakat berada sebagai posisi bawahan.
  2. Partisipasi horizontal adalah dimana masyarakat tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa dimana setiap anggota atau kelompok masyarakat berpartisipasi secara horizontal antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama, maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain.

Menurut Effendi sendiri tentu saja partisipasi seperti ini merupakan tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri.

Menurut Sulaiman (2005) membagi bentuk-bentuk partisipasi sosial ke dalam lima (5) macam, yaitu :

  1. Partisipasi langsung dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka;
  2. Partisipasi dalam bentuk iuran uang atau barang dalam kegiatan partisipatori, dana dan sarana sebaiknya datang dari dalam masyarakat sendiri. Kalaupun terpaksa diperlukan dari luar, hanya bersifat sementara dan sebagai umpan;
  3. Partisipasi dalam bentuk dukungan;
  4. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan;
  5. Partisipasi representatif dengan memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil-wakil yang duduk dalam organisasi atau panitia.

Jenis Dalam Partisipasi Masyarakat (skripsi dan tesis)

Pasaribu dan Simanjuntak (2006), menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan jenis partisipasi ialah macamnya sumbangan yang diberikan orang atau kelompok yang berpartisipasi. Adapun jenis-jenis partisipasi masyarakat sebagai berikut :

  1. Partisipasi buah pikiran, yang diberikan partisipan dalam anjang sono, pendapat, pertemuan atau rapat;
  2. Partisipasi tenaga, yang diberikan partisipan dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain, dan sebagainya;
  3. Partisipasi harta benda, yang diberikan orang dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan atau pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain, dan sebagainya;
  4. Partisipasi keterampilan dan kemahiran, yang diberikan orang untuk mendorong aneka ragam bentuk usaha dan industri;
  5. Partisipasi sosial, yang diberikan orang sebagai tanda keguyuban, misalnya turut arisan, koperasi, melayat (dalam peristiwa kematian), kondangan (dalam peristiwa pernikahan), nyambungan dan mulang-sambung;

Sebagaimana yang dikutip Sastropoetro (2008) mengemukakan jenis partisipasi sebagai berikut:

  1. Pikiran (psychological participation), merupakan jenis keikutsertaan secara aktif dengan mengerahkan pikiran dalam suatu rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.
  2. Tenaga (physical participation), adalah partisipasi dari individu atau kelompok dengan tenaga yang dimilikinya, melibatkan diri dalam suatu aktifitas dengan maksud tertentu.
  3. Pikiran dan tenaga (psychological and physical participation), Partisipasi ini sifatnya lebih luas lagi disamping mengikutsertakan aktifitas secara fisik dan non fisik secara bersamaan.
  4. Keahlian (participation with skill), merupakan bentuk partisipasi dari orang atau kelompok yang mempunyai keahlian khusus, yang biasanya juga berlatar belakang pendidikan baik formal maupun non formal yang menunjang keahliannya.
  5. Barang (material participation), partisipasi dari orang atau kelompok dengan memberikan barang yang dimilikinya untuk membantu pelaksanaan kegiatan tersebut.
  6. Uang (money participation), partisipasi ini hanya memberikan sumbangan uang kepada kegiatan. Kemungkinan partisipasi ini terjadi karena orang atau kelompok tidak bisa terjun langsung dari kegiatan tersebut.

Kegiatan Dalam Partisipasi (skripsi dan tesis)

Kegiatan dalam partisipasi masyarakat menurut Ndraha (2007), sebagai berikut :

  1. Partisipasi dalam melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai satu di antara titik awal perubahan sosial;
  2. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (menaati,menerima dengan syarat, maupun dalamarti menolaknya;
  3. Partisipasi dalam perencaaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana);
  4. partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan;
  5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan (participation in benefit);
  6. Partisipasi dalam menilai hasil pembangunan.

Pengertian Partisipasi (skripsi dan tesis)

Definisi mengenai partisipasi masyarakat bermacam-macam seperti yang diungkapkan oleh beberapa ahli. Definisi mengenai partisipasi masyarakat menurut Mubyarto (1997), pengertian dasar partisipasi adalah “tindakan mengambil bagian dalam kegiatan, sedangkan pengertian partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan dimana masyarakat ikut terlibat mulai dari tahap penyusunan program, perencanaan dan pembangunan, perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan”. Partisipasi masyarakat didefinisikan sebagai “bentuk keterlibatan dan keikutsetaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan (Moeliono, 2004)”. Menurut Sulaiman (2005) partisipasi sosial sebagai “keterlibatan aktif warga masyarakat secara perorangan, kelompok atau dalam kesatuan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelakasaan program serta usaha pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial di dalam dan atau di luar lingkungan masyarakat atas dasar rasa kesadaran tanggung jawab sosialnya”.

Demikian pula menurut Poetro (2008) partisipasi adalah keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan menurut Alastraire White dalam Poetro (2008) partisipasi diartikan sebagai keterlibatan komuniti setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan pelaksanaanya terhadap proyek-proyek pembangunan.

Pengertian Peran (skripsi dan tesis)

Menurut Soekanto dan Sulistyowati (2013) bahwa peranan (role) merupakan aspek dinamis dari suatu kedudukan (status). Peranan ini selanjutnya berwujud kegiatan yang merupakan suatu fungsi kepemimpinan yang berusaha melaksanakan, menyaksikan sesuatu yang menjadi kepentingan bersama. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dapa diketakan bahwa dia menjalankan suatu peranan. Pembedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Sebagaimana halnya dengan kedudukan, peranan juga mempunyai dua arti yaitu setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya.

Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari hal di atas lebih lanjut kita lihat pendapat lain tentang peran yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif. Sebagai peran normatif dalam hubungannya dengan tugas dan kewajiban dinas perhubungan dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum secara penuh (Sukanto dan Sulistyowati, 2013).

Teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminology aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Seorang mengobati dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka ia harus mengobati pasien yang datang kepadanya dan perilaku ditentukan oleh peran sosialnya (Sarwono, 2002).

Fungsi peran itu sendiri adalah sekedar kumpulan tugas dan tanggung jawab yang dilimpahkan pada seseorang atau apa yang diharapkan organisasi agar dikerjakan oleh pemegang jabatan tersebut. Oleh karena itu, suatu organisasi sebagai suatu sistem terbuka menyandarkan diri pada lingkungannya untuk mewujudkan suatu aktifitas, maka setiap unit dalam organisasipun merupakan subsistem terbuka yang menyandarkan diri pada interaksi dengan unit-unit lain demi kelangsungan hidupnya (Bernest,2009).

Konsep Efektifitas (skripsi dan tesis)

Pada dasarnya pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada taraf tercapainya hasil, sering atau senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Efektifitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada bagaimana cara mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan outputnya.

Istilah efektif (effective) dan efisien (efficient) merupakan dua istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Tentang arti dari efektif maupun efisien terdapat beberapa pendapat.

Menurut Chester I. Barnard (Prawirosentono, 1999), menjelaskan bahwa arti efektif dan efisien adalah sebagai berikut :

“When a specific desired end is attained we shall say that the action is effective. When the unsought consequences of the action are more important than the attainment of the desired end and are dissatisfactory, effective action, we shall say, it is inefficient. When the unsought consequences are unimportant or trivial, the action is efficient. Accordingly, we shall say that an action is effective if it specific objective aim. It is efficient if it satisfies the motives of the aim, whatever it is effective or not”.

Bila suatu tujuan tertentu akhirnya dapat dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif. Tetapi bila akibat-akibat yang tidak dicari dari kegiatan mempunyai nilai yang lebih penting dibandingkan dengan hasil yang dicapai, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan walaupun efektif, hal ini disebut tidak efisien. Sebaliknya bila akibat yang tidak dicari-cari, tidak penting atau remeh, maka kegiatan tersebut efisien. Sehubungan dengan itu, kita dapat mengatakan sesuatu efektif bila mencapai tujuan tertentu. Dikatakan efisien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau tidak.

Disamping itu, menurut Chester Barnard, (Prawirosentono, 1999), pengertian efektif dan efisien dikaitkan dengan system kerjasama seperti dalam organisasi perusahaan atau lembaga pemerintahan, sebagai berikut :

“Effectiveness of cooperative effort relates to accomplishment of an objective of the system and it is determined with a view to the system’s requirement. The efficiency of a cooperative system is the resultant of the efficiency of the individuals furnishing the constituent effort, that is, as viewed by them”.

Efektifitas dari usaha kerjasama (antar individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan dalam suatu system, dan hal itu ditentukan dengan suatu pandangan dapat memenuhi kebutuhan system itu sendiri. Sedangkan efisiensi dari suatu kerjasama dalam suatu system (antar individu) adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang dipilih masing-masing individu).

Dalam bahasa dan kalimat yang mudah hal tersebut dapat dijelaskan bahwa : efektifitas dari kelompok (organisasi perusahaan) adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sedangkan efisien berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan. Bila pengorbanannya dianggap terlalu besar, maka dapat dikatakan tidak efisien.

Menurut Peter Drucker (Kisdarto, 2002) menyatakan :

“doing the right things is more important than doing the things right. Effectiveness is to do the right things  while efficiency is to do the things right”

Efektifitas adalah melakukan hal yag benar : sedangkan efisiensi adalah melakukan hal secara benar). Atau juga “effectiveness means how far we achieve the goal and efficiency means how do we mix various resources properly” (efektifitas berarti sejauhmana kita mencapai sasaran dan efisiensi berarti bagaimana kita mencampur sumber daya secara cermat).

Efisien tetapi tidak efektif berarti baik dalam memanfaatkan sumberdaya (input), tetapi tidak mencapai sasaran. Sebaliknya, efektif tetapi tidak efisien berarti dalam mencapai sasaran menggunakan sumber daya berlebihan atau lajim dikatakan ekonomi biaya tinggi. Tetapi yang paling parah adalah tidak efisien dan juga tidak efektif, artinya ada pemborosan sumber daya tanpa mencapai sasaran atau penghambur-hamburan sumber daya.

Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur (mearsurable), sedangkan efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektif lebih mengarah ke pencapaian sasaran. Efisien dalam menggunakan masukan (input) akan menghasilkan produktifitas yang tinggi, yang merupakan tujuan dari setiap organisasi apapun bidang kegiatannya.

Hal yang paling rawan adalah apabila efisiensi selalu diartikan sebagai penghematan, karena bisa mengganggu operasi, sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya akan juga tidak setinggi yang diharapkan.

Penghematan sebenarnya hanya sebagian dari efisiensi. Persepsi yang tidak tepat mengenai efisiensi dengan menganggap semata-mata sebagai penghematan sama halnya dengan penghayatan yang tidak tepat mengenai Cost Reduction Program (Program Pengurangan Biaya), yang sebaliknya dipandang sebagai Cost Improvement Program (Program Perbaikan Biaya) yang berarti mengefektifkan biaya.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa efektifitas kerja berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Artinya apakah pelaksanaan sesuatu tugas dinilai baik atau tidak sangat tergantung pada bilamana tugas itu diselesaikan dan tidak, terutama menjawab pertanyaan bagaimana cara melaksanakannya dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Masyarakat Mengikuti Kerjasama Hutan Rakyat (skripsi dan tesis)

Berdasarkan perspektif ekologi kebudayaan yang disebutkan oleh Awang (2004), kehutanan sosial merupakan suatu pola interaksi antara petani, teknologi,dan lahan/hutan. Melalui pandangan tersebut dapat dipahami bahwa keputusan petani dalam pengelolaan lahannya sangat tergantung pada keadaan lahan dan input teknologi yang kemudian mempengaruhi keputusan petani berdasarkan status sosialnya. Dalam penelitian ini, pemikiran teoritis tersebut diterjemahkan dalam kerangka empirik yang sesuai dengan keadaan di lapangan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengikuti program kerjasama hutan rakyat.

Pada umumnya faktor-faktor yang berpengaruh tersebut menurut Suharjito (2012) adalah:

  1. Kejelasan hak penguasaan atas lahan. Petani bersedia membudidayakan pohon apabila ada kepastian atas hak penguasaan lahan. Kepastian penguasaan lahan diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya, jaminan memperoleh manfaat dari pohon-pohon tersebut. Biasanya petani melaksanakan budidaya pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakannya pada lahan komunal atau lahan negara karena lahan milik memberikan jaminan lebih pasti untuk memperoleh manfaat dari pada lahan komunal atau lahan negara;
  2. Luas lahan yang dikuasai. Rumahtangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan, tanaman jangka pendek, atau tanaman subsisten dari pada tanaman pohon-pohon. Rumahtangga yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif;
  3. Ketersediaan tenaga kerja. Rumahtangga yang kekurangan tenaga kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan pohon-pohon karena budidaya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi;
  4. Ketersediaan dan akses pada pasar produk kayu mendorong budidaya pohon-pohon;
  5. Tingkat kekayaan. Jumlah rumahtangga miskin yang menanam pohon-pohon lebih sedikit dari pada rumahtangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit dari pada jumlah pohon rumahtangga kaya.

Sedangkan menurut Dewi et al. (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam bermitra dapat dimodelkan sebagai berikut:

keterangan :

Y = Dummy keputusan petani 1, jika petani memilih kemitraan 0, jika petani memilih tidak bermitra atau non mitra

X1 = Usia petani (Tahun)

X2 = Luas lahan (Ha)

D1-D3 = Dummy tingkat pendidikan petani

D1 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah PT 0, jika lainnya

D2 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah SMA 0, jika lainnya

D3 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah SMP 0, jika lainnya

X3 = Pengalaman berusahatani (Tahun)

D4 = Dummy persepsi petani tentang kemitraan 1, jika persepsi petani adalah baik 0, jika lainnya

D5 = Dummy pengaruh petani lain 1, jika dipengaruhi oleh petani lain 0, jika tidak dipengaruhi oleh petani lain

X4 = Jumlah anggota keluarga (Orang)

β– β= Koefisien regresi

e = Kesalahan

Budidaya Akasia di Lahan Gambut (skripsi dan tesis)

Lahan gambut adalah hasil dekomposisi sisa atau bagian tanaman baik tumbuhan air (paku, lumut dan ganggang) atau rumput maupun tanaman keras (tumbuhan tingkat tinggi) (Sitorus, 2003). Lahan gambut terbentuk dimana tanamantanaman yang tergenang oleh air terurai secara lambat. Gambut yang terbentuk terdiri dari berbagai bahan organik tanaman yang membusuk dan terdekomposisi pada berbagai tingkatan. Ciri khas dari suatu lahan gambut adalah kandungan bahan organiknya yang tinggi (lebih dari 65%). Gambut yang terbentuk dapat mencapai kedalaman lebih dari 15 meter (PFFSEA, 2003).

Lahan gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat penting. Lahan gambut hanya menutupi 3% dari luas bumi namun mengandung sekitar 75% dari semua CO2 di atmosfir (Wetlands, 2007). Lahan gambut mempunyai sifat seperti spon yang berarti mampu menyimpan air tawar dalam jumlah besar, sehingga mencegah banjir pada musim hujan dan menyediakan air pada musim kemarau. Hal ini menjadi penting ketika perubahan iklim menghilangkan glasier, curah hujan berubah dan kekeringan yang tak terduga. Lahan-lahan gambut yang digenangi air tidak terbakar secara alami, kecuali pada tahun-tahun yang luar biasa keringnya.

Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horizontal yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase. Hal ini menyebabkan gambut miskin unsur hara. Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasankawasan gambut yang dimanfaatkan untuk perkebunan dan perindustrian. Di kawasan dimana lahan gambut ingin dimanfaatkan dibangun kanal-kanal yang bertujuan untuk mengeringkan gambut tersebut sehingga lahan dapat disiapkan untuk usaha-usaha pertanian. Cara ini sangat bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi atau pengairan di lahan-lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air tanah.

Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti spon sehingga gambut tidak dapat mengatur keluar masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah menjadi kering. Kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan kerusakaan dan kerugian yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat gangguan yang terjadi.` Drainase dan kebakaran digabungkan dengan perubahan iklim mengkonversi lebih banyak gambut menjadi sumber karbon dibandingkan sebagai penyimpan (Holden, 2005)

Akasia dapat tumbuh pada lahan gambut di Provinsi Riau meskipun bukan habitat aslinya. Hasil penelitian Ratna (2008) menunjukkan bahwa A. crassicarpa sebagai tanaman ungglan HTI di hutan rawa gambut memiliki potensi rosot karbon yang tinggi. A. crassicarpa yang berumur 4 tahun mampu menyimpan karbon sebesar 52.82 ton/ha, sedangkan yang berumur 2 tahun menyimpan karbon sebesar 21.93 ton/ha. Besarnya rosot karbon pada A. crassicarpa tersebut apabila dikonversi kepada tingkat penyerapan CO2 maka tanaman yang berumur 4 tahun mampu mengikat CO2 sebesar 158,33 ton/ha sedangkan tanaman 2 tahun sebesar 111,94 ton/ha Kondisi ini menunjukkan bahwa A. crassicarpa dapat menurunkan gas CO2 di atmosfer dalam proses fotosintesisnya yang mengakibatkan penurunan gas rumah kaca sehingga efek kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim dapat dikurangi. Pengelolaan HTI perlu diarahkan untuk mencapai profitabilitas yang tinggi dan pemenuhan fungsi rosot karbon dengan cara perdagangan karbon yang perlu ditangkap oleh pemerintah dan swasta dalam mengembangkan HTI.

Hutan Rakyat (skripsi dan tesis)

UU No. 41 (1999) tentang Kehutanan serta Menteri LHK (2015) mendefinisikan hutan hak atau lazim disebut sebagai hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan rakyat dapat dimiliki oleh setiap orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum. Sejatinya masyarakat telah lama mengenal pola pemanfaatan lahan yang menyerupai hutan rakyat.

Bagi  masyarakat  Jawa  Tengah  dan  sekitarnya  lahan  tersebut  lebih  dikenal  dengan  sebutan “pekarangan” dimana pada lahan tersebut masyarakat menanam berbagai tanaman keras seperti jati, kelapa, randu, dan lain sebagainya (Suprapto, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa walaupun sebagian besar hutan rakyat di Jawa berada pada tanah dengan status tanah milik rakyat, pengembangan hutan rakyat sangat erat kaitannya dengan program pemerintah khususnya program penghijauan. Menurut laporan studi,  pengembangan hutan rakyat di Jawa dimulai pada tahun 1930 oleh pemerintah kolonial. Kemudian Pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an mengembangkan hutan rakyat melalui program “Karang Kitri” dan program penghijauan pada awal tahun 60-an. (Wartaputra (1990 dalam Suprapto, 2010)).

Waluyo  (2003 dalam Megalina (2009))  menyatakan alasan-alasan yang dapat mendukung kegiatan pengembangan hutan rakyat antara lain:

  1. Hutan rakyat ternyata mampu mendukung pasokan bahan baku kayu bagi industri perkayuan.
  2. Pembangunan hutan rakyat memberikan manfaat yang sangat banyak, baik manfaat sosial ekonomi maupun perlindungan lingkungan (konservasi tanah dan air).
  3. Masyarakat  Indonesia  pada  umumnya  sudah  mengenal  bentuk-bentuk hutan rakyat, tetapi petani hutan rakyat pada umumnya masih mempunyai hambatan-hambatan, baik dari segi produksi pengelolaan maupun pengolahan dan pemasaran hasil-hasilnya, sehingga pemanfaatannya belum optimal.
  4. Hak kepemilikan atas lahan hutan rakyat yang jelas akan mendorong petani untuk memanfaatkan, mengelola dan menjaganya dengan lebih baik (terutama di Jawa).
  5. Banyak lahan-lahan pertanian yang sebenarnya tidak cocok untuk usaha pertanian intensif. Di Jawa, lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris hanya kurang dari seperempat hektar (Talkurputra dan Amien, 1998). Pemerintah menganjurkan agar lahan-lahan  yang tidak layak untuk pertanian agar dikembangkan menjadi untuk hutan rakyat.

Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi (Dirjen RRL) (1995 dalam Megalina, 2009) menuliskan manfaat pembangunan hutan rakyat adalah sebagai berikut :

  1. Memperbaiki penutupan tanah sehingga akan mencegah erosi percikan.
  2. Memperbaiki peresapan air ke dalam tanah.
  3. Menciptakan  iklim  mikro,  perbaikan  lingkungan  dan  perlindungan sumber air.
  4. Meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil dari tanaman hutan rakyat berupa kayu-kayuan.
  5. Meningkatkan pendapatan masyarakat
  6. Memenuhi   kebutuhan   bahan   baku   industri   pengolahan   kayu   dan kebutuhan kayu rakyat.

Bentuk hutan rakyat yang dikenal dan dibangun di Indonesia menurut Balai Informasi Pertanian (1982), yaitu :

  1. Hutan rakyat murni, yaitu merupakan hutan murni dengan jenis kayu tertentu karena hanya ditanami satu jenis tanaman kayu-kayuan, contohnya ditanami pinus saja atau sengon saja.
  2. Hutan rakyat campuran, yaitu merupakan hutan campuran yang ditanami lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan.
  3. Hutan rakyat sistem agroforestry, yang merupakan hutan dengan tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan, tanaman keras, hijauan pakan dan pemeliharaan ternak.

Sistem yang paling cocok untuk hutan rakyat adalah sistem agroforestry dengan tumpang sari. Pada sistem tumpang sari, lahan ini ditanami bersama-sama tanaman keras dan tanaman pertanian.

Ada beberapa pola pengembangan hutan rakyat seperti dikemukan oleh Usman (2001) sebagai Menteri Kehutanan saat itu bahwa, Pemerintah  menyadari  sepenuhnya keterbatasan  yang  ada  serta  potensi  yang  sangat mungkin untuk pengembangan hutan rakyat yang dilaksanakan dengan  beberapa  pola,  yaitu  pola  swadaya,  pola  subsidi,  dan  pola  kemitraan sebagai berikut:

  1. Pola swadaya  adalah  hutan  rakyat  yang  dibangun  oleh  kelompok atau   perorangan  dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Untuk pola ini posisi pemerintah membantu   sepenuhnya   aspek   teknis,   manajemen,   dan pemasaran, sehingga hutan rakyat dapat berkembang dengan baik.
  2. Pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Bantuan diberikan oleh pemerintah melalui program penghijauan, padat karya, dan bantuan lainnya, atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.
  3. Pola kemitraan adalah hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta/koperasi dengan insentif permodalan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah semua pihak yang terkait saling membutuhkan.

Bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia (skripsi dan tesis)

Dalam berbagai literatur terdapat beberapa istilah yang digunakan secara saling bergantian bahkan diantaranya ada yang saling tertukar sebagai padanan kata dari kehutanan masyarakat. Beberapa istilah asing untuk menyatakan kehutanan masyarakat adalah community forestry, social forestry, participatory forestry dan lain sebagainya. Istilah social forestry sering mengacu kepada bentuk kehutanan industrial yang dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keuntungan kepada masyarakat lokal sekitar hutan.

Kartasubrata (1992) yang dikutip oleh Suharjito dan Darusman (1998) memandang bahwa istilah perhutanan sosial dan kehutanan sosial sebagai padanan istilah social forestry. Lokasi pengembangan social forestry sebagian berada pada tanah milik serta tanah negara seperti hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Bentuk-bentuk social forestry yang pernah dilaksanakan di Indonesia diantaranya adalah: (1) hutan Rakyat; (2) hutan Serbaguna atau Kemasyarakatan; (3) perhutanan Sosial yang kemudian menjadi program kerjasama Hutan Rakyat. Bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia dirangkum pada Tabel 2.

Tabel 2. Bentuk-bentuk Kehutanan Masyarakat di Indonesia

No. Nama Status Lahan Masa Keterangan
Pengembangan
1. Hutan Rakyat Lahan milik masyarakat Dimulai sejak tahun 1930-an Merupakan kegiatan lanjutan yang dimulai Pemerintah Belanda
2. Hutan Serbaguna/ Kemasyarakatan Hutan       produksi negara  yang tidak dikonsensikan Sejak  Repelita ketiga  (antara 1979-1984) Dikaitkan dengan kegiatan penghijauan
3. Perhutanan Sosial Hutan       produksi; Perum Perhutani Sejak 1986-2001 Pelaksanaan berupa   usahatani tumpangsari
4. kerjasama hutan   rakyat Hutan       produksi; Perum Perhutan 2001-sekarang Lanjutan        dari

Perhutanan Sosial

Sumber: Suharjito dan Darusman (1998)

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) (2016), melalui Peraturan Nomor: P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, memberikan pengertian perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk: 1) hutan desa, 2) hutan kemasyarakatan, 3) hutan tanaman rakyat, 4) hutan rakyat, 5) hutan adat dan 6) kemitraan kehutanan. Masing-masing bentuk pengelolaan hutan tersebut diberikan pengertian sebagai berikut:

  1. Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
  2. Hutan Kemasyarakatan (Hkm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
  3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
  4. Hutan Rakyat atau Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
  5. Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.
  6. Kemitraan Kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.

. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia (skripsi dan tesis)

Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, pemerintah mulai memperhatikan aspek kemasyarakatan sejak diterbitkannya SK Menhut No. 691 tahun 1991 tentang Bina Desa Hutan. Melalui peraturan ini pemerintah berusaha membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik yang berada di dalam maupun disekitar hutan. Keputusan tersebut kemudian direvisi melalui SK Menhut No. 69 Jo SK Menhut No. 523 tahun 1997 yang di dalamnya istilah Bina Desa Hutan diganti dengan istilah Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (Darmawan et al., 2004).

Darmawan et al. (2004) juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat memasuki babak baru dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang didasarkan pada pemikiran bahwa keberpihakan kepada rakyat adalah kunci utama keberhasilan pengelolaan hutan. Dengan demikian, praktek-praktek pengeloaan hutan yang berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan rakyat perlu dirubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan masyarakat. Berbagai peraturan kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Berbagai Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia

No Jenis Peraturan Nomor dan Tahun Perihal
1.

 

Tap MPR

 

No. IX/MPR/2001

 

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumberdaya Alam

2. Undang-undang No. 19 Tahun 2004 Kehutanan (Penetapan PerPPU  No. 1 Tahun 2001 tentang perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU)

 

 

3. Undang-undang No. 18 Tahun 2013 Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
4. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan
5. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Perlindungan Hutan
6. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
7. Peraturan Pemerintah  No. 3 Tahun 2008 Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
8. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 Penggunaan Kawasan Hutan
9. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012 Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan
10. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
11. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2015 Perubahan kedua atas PP No. 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan
12. Peraturan Menhut No. P.55 Tahun 2011 *) Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat  Dalam Hutan Tanaman
13. Peraturan Menhut No. P.31 Tahun 2013 *) Perubahan atas Permenhut No. P.55 Tahun 2011 Tentang Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat  Dalam Hutan Tanaman
14. Peraturan Menhut No. P.39 Tahun 2013 *) Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan
15. Peraturan Menhut No. P.20 Tahun 2014 Pedoman Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi
16. Peraturan Menhut No. P.88 Tahun 2014 *) Hutan Kemasyarakatan

 

17. Peraturan Menhut No. P.89 Tahun 2014 *) Hutan Desa
18. Peraturan Men LHK No. P.21 Tahun 2015

 

Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak
19. Peraturan Men LHK No. P.32 Tahun 2015 Hutan Hak
20. Peraturan Men LHK No. P.83 Tahun 2016 Perhutanan Sosial (mengganti dan mencabut Permenhut No. *)

Sumber : Rangkuman Penulis

Relevan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di era otonomi daerah, pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi, sedangkan pengelolaan hutan yang bersifat nasional diatur oleh pemerintah pusat. Salah satu pendekatan pengelolaan hutan yang diterapkan di Indonesia adalah pola hutan kerakyatan ataupun hutan kemasyarakatan.

Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan (skripsi dan tesis)

Dalam era otonomi daerah konflik pengelolaan kawasan hutan mengalami pergeseran paradigma yang berpotensi mempercepat proses menipisnya sumber daya hutan dan degradasi lahan hutan yang berakibat pada penurunan fungsi dan daya dukung kawasan hutan.  Konflik ini terjadi secara akumulatif terhadap sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan dengan baik di era Orde Baru (ORBA) di masa lalu.  Selain itu, faktor pemahaman dan penanganan sosial, ekonomi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal sekitar kawasan hutan serta belum diakunya hak Adat/Hak Ulayat di beberapa lapisan masyarakat walaupun secara turun-temurun masih diakui keberadaannya dalam tatanan sosial di masyarakat. Penunjukan kawasan hutan ketika itu, masih bersifat sepihak dan Top down tanpa memperhatikan hak-hak keberadaan masyarakat lokal terutama ganti rugi atau kompensasi kepemilikan atas tanah hutan.

Konflik diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan, nilai, status, penguasaan sepihak dan kelangkaan sumberdaya. Menipisnya persediaan sumber daya hutan akan berakibat pada penurunan produktivitas berupa hasil hutan yang berwujud berupa kayu dan non kayu serta nilai jasa hutan lainnya. Konflik dapat timbul antar individu, antar kelompok atau antar lembaga. Konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang sering terjadi yakni konflik antara masyarakat di dalam atau pinggir hutan dengan berbagai pihak di luar hutan yang dianggap memiliki otoritas dalam mengelola sumberdaya hutan.

. Bentuk Interaksi dalam Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan serta Ekosistemnya Secara Lestari dan Berkelanjutan (skripsi dan tesis)

Dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan ekosistemnya terdapat beberapa aspek penting adalah kekayaan jenis flora maupun fauna yang lebih dikenal dengan biodiversitas atau keaneka ragaman hayati.  Kekayaan spesies baik flora maupun fauna terdapat luar biasa jumlahnya, jika dibandingkan dengan jumlah spesies pada iklim sedang.  Indonesia dengan luas sekitar 1.3 % dari permukaan daratan bumi memiliki kekayaan jenis yang sangat besar antara lain mengandung 10% jenis tumbuhan berbunga di dunia (±25.000 jenis), 12% satwa menyusui (± 500 jenis),  16% jumlah jenis reptil dan ampibi ((± 3.000 jenis), 17% jenis burung ((±1.600 jenis), dan lebih dari 25% jenis ikan (±8.500 jenis),  disamping itu tercatat pula sekitar 663 jenis fauna indemik, 199 jenis mamalia, (Saparjudi:1994 dan Whitmore:1975, dalam Marsono, 2000).  Di bidang kehutanan Whitmore, (1975), melaporkan terdapat 500 jenis Dipterocarpaceae dan 3.000-4.000 jenis Ochidaeceae. Namun dalam kenyataannya, dari jumlah yang banyak tersebut pemanfaatan jenis masih sangat terbatas. Diantara jenis-jenis tumbuhan yang ada tersebut hanya sekitar 150 jenis tanaman pangan yang penting dalam perdagangan dunia.  95% sebagai bahan pengganti tidak lebih dari 30 jenis tumbuhan dan 75% kalori pangan hanya berasal dari 8 jenis tumbuhan sekitar 80% kalori pangan berasal dari 3 jenis tumbuhan yaitu padi, jangung dan gandum (Soemarwoto, 1987, dalam Marsono, 2000).

Berbagai kawasan hutan di Indonesia diperkirakan masih banyak lagi yang mengandung keanekaragaman jenis tumbuhan obat-obatan (herbal) namun saat ini masih terbatas penggunaan pada jenis tumbuhan tertentu.   Sedikitnya pemanfaatan tumbuhan herbal ini, karena minimnya informasi dan penelitian mengenai khasiat tumbuhan-tumbuhan herbal Indonesia yang sejak dahulu sudah dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan dan saat ini tersebar di berbagai fungsi hutan diantaranya hutan alam produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi.

Pemanfaatan tumbuhan obat-obatan sebenarnya telah berlangsung lama secara tradisional oleh berbagai masyarakat di Indonesia.  Hal ini terungkap dalam beberapa penelitian, Tuharea, dkk. (2000), bahwa masyarakat sekitar kawasan hutan telah memanfaatkan tumbuhan obat-obata secara tradisional mereka.  Dalam beberapa kasus menurut penelitian tersebut penggunaan obat telah ditemukan seperti di Anggi sekitar 27 jenis tumbuhan dapat menyembuhkan sebanyak 25 jenis penyakit tertentu, di Kokas sedikitnya masyarakat menemukan sedikitnya 26 jenis tumbuhan dan memberikan khasiat sebanyak 36 jenis penyakit masyarakat serta di Serui terdapat sedikitnya 38 jenis tumbuhan memberikan khasiat untuk 28 jenis penyakit.  Jenis tumbuhan obat-obatan ini pemanfaatannya masih terbatas pada masyarakat sekitar kawasan hutan saja dan belum mengemuka pada tingkat dunia kedokteran modern atau diproduksi untuk kebutuhan manusia secara masal.

Dari sisi yang lain, industri pengolahan hasil tumbuhan herbal misalnya, pemerintah belum mengupayakan diversifikasi  industri lebih spesifik dan bahkan tidak ada walaupun home industry sifatnya, sebagai bagian pemberdayaan.  Marsono (2000), mengatakan bahwa sedikitnya jenis yang dimanfaatkan mewarnai berbagai kebutuhan manusia seperti obat-obatan, kosmetik, bahan pakaian dan lain sebagainya.  Oleh karenanya tidak mustahil bahwa beberapa penyakit yang belum ditemukan obatnya saat ini sebenarnya ada di sumber daya alam yang tersebar di Indonesia.

Pengembangan potensi keanekaragaman sumber daya hutan saat ini belum optimal, dan masih terbuka peluang pada berbagai kawasan hutan tertentu untuk diusahakan dengan pengembangan kelembagaan masyarakat seperti pada kawasan penyangga areal konservasi, areal pemanfaatan pada kawasan lindung dan areal hutan produksi sekalipun yang saat ini hanya berorientasi pada hasil hutan kayunya saja (eksploitatif).  Akibat dari pemanfaatan yang bersifat ekploitatif, hanya dapat mengancam kelestarian kegunaan sumber daya hutan dan ekosistemnya.  Konservasi penggunaan sumber daya hutan dimaksudkan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang lama dengan cara mengurangi atau membatasi tingkat pemakaian sumber daya hutan, penggunaan teknologi terbarukan terhadap tumbuhan yang diketemukan kemanfaatannya saat ini, mengurangi pemborosan baik secara ekonomis maupun sosial (Suparmoko, 2006).  Dalam konteks masa pertumbuhan atau riap, konservasi dimaksudkan sebagai penggunaan yang menghasilkan penerimaan bersih maksimum dan sekaligus dapat memperbaiki kapasitas produksi atau pertumbuhan itu sendiri.

Pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung merupakan segala bentuk upaya yang mencakup beberapa unit perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan dan pengendalian dalam rangka mengoptimalkan fungsi dan pengembangan manfaat hutan lindung secara optimal dengan tetap menjaga kelestariannya oleh instansi yang berwenang (cq. Dinas Kehutanan).  Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang juga merupakan unit pengelolaan hutan lindung adalah satu kesatuan luas wilayah pengelolaan yang meliputi satu atau lebih kelompok hutan lindung yang penetapannya didasarkan atas kriteria tertentu, dengan tercapainya pendayagunaan fungsi dan peranan hutan lindung secara optimal untuk : a) Mewujudkan sistem penyangga kehidupan yang berkualitas ; b) Mewujudkan terkendalinya tata air secara optimal; c) Menterpadukan semua unsur yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung; d) Mengakomodasikan kepentingan dan peran serta masyarakat.

Rencana pengelolaan kawasan hutan lindung dan segala sumber daya hutannya meliputi rencana-rencana yang terdiri atas : a) Rencana Induk Pengelolaan Hutan Lindung(RIPHL); b) Rencana Pengelolaan Hutan Lindung Propinsi (RPHLP); dan c) Rencana Unit Pengelolaan Hutan Lindung(RUPHL).  Rencana induk pengelolaan hutan lindung merupakan rencana jangka panjang pengelolaan hutan lindung dalam ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam jangka waktu dua puluh lima tahunan berisi : 1) Identifikasi keadaan dan masalah yang meliputi biogeofisik, sosial budaya, sosial ekonomi, kelembagaan masyarakat dan lingkungan; 2) Kajian faktor masalah secara ilmiah; 3) Arahan dan rekomendasi pengelolaan hutan lindung; 4) Tahapan pengelolaan; 5) Rencana Induk Pengelolaan Hutan Lindung di susun dan dinilai oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, disahkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Pelestarian Alam (PHPA).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Interkasi Masyarakat dengan Hutan Lindung (skripsi dan tesis)

Secara umum terdapat tiga faktor yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi factor sebuah interaksi masyarakat yaitu: faktor geografis, sosiografis, dan psikografis Lestari (2004),. Dalam penerjemahannya tentu saja ini sangat multi dimensi. Dimana di dalamnya dapat dikaitkan dengan bidang-bidang lain.  Oleh karenanya diperlukan suatu penjelasan yang lebih implicit atau lebih mendalam lagi. Menurut Rumaropen (2009) disebutkan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi interkasi masyarakat dengan hutan adalah sebagai berikut:

  1. Factor tingkat pendidikan
  2. Factor umur
  3. Factor manfaat hutan
  4. Lamanya pemukiman
  5. Tingkat pendapatan
  6. Tenaga kerja yang terlibat

Sedangkan Muljohardjo ( 1987  lebih menekankan bagaimana interkasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, umur, luas pekarangan, jenis mata pencaharian, pendapatan dan juga besar kecilnya keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat. Interaksi berkaitan erat kaitannya dengan keadaan sosial ekonomi dari individu – individu yang terlibat, semakin tinggi status sosial ekonomi individu dalam masyarakat maka akan semakin tinggi pula kesempatan yang dapat diperoleh dalam setiap kegiatan pembangunan, begitu pula sebaliknya.

Bentuk Interaksi Sosial (skripsi dan tesis)

Upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dilaksanakan melalui proses sosial yang disebut interaksi sosial, yaitu hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat. Dalam kenyataan sehari-hari terdapat tiga macam interaksi sosial (Rahman D dkk, 2000: 21-22).

  1. Interaksi antara individu dan individu

Pada interaksi ini individu yang satu memberi pengaruh, rangsangan, atau stimulus kepada individu yang lainnya. Sedangkan individu yang terkena pengaruh akan memberikan reaksi, tanggapan atau respon. Dalam interaksi antara individu dan individu dapat berwujud dalam bentuk berjabat tangan, saling menegur, bercakap-cakap atau mungkin bertengkar.

  1. Interaksi antara individu dan kelompok

Interaksi antara individu dan kelompok secara konkrit dapat dilihat pada. Anggota masyarakat dengan suatu kelompok masyarakat.. Bentuk interaksi ini menunjukkan bahwa kepentingan seorang individu berhadapan dengan kepentingan kelompok.

  1. Interaksi antara kelompok dan kelompok

Bentuk interaksi antara kelompok dan kelompok menunjukkan bahwa kepentingan individu dalam kelompok merupakan satu kesatuan, berhubungan dengan kepentingan individu dalam kelompok yang lain. Dalam interaksi ini setiap tindakan individu merupakan bagian dari kepentingan kelompok misalnya anggota organisasi bekerja sama dengan anggota dari organisasi lain.

Pengertian Interaksi Sosial (skripsi dan tesis)

Terdapat beberapa pengertian mengenai interaksi, diantaranya seperti pernyataan Gerungan (2000: 57) bahwa Interaksi sosial adalah tindakan individu yang satu dapat menyesuaikan diri secara autoplastis kepada individu yang lain, di mana dirinya dipengaruhi oleh diri yang lain Interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok (Rahman D dkk, 2000: 21).

Demikian pula dalam pernyataan Walgito(2003: 57) yang menyatakan bahwa Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan saling timbal balik. Hubungan manusia dengan manusia lainnya, atau hubungan manusia dengan kelompok atau hubungan kelompok dengan kelompok disebut sebagai interaksi sosial. Perkembangan seorang individu tidak akan pernah terlepas dari lingkungannya. Hubungan itu berkisar kepada usaha dalam menyesuaikan diri dan penyesuaian diri dapat dilakukan dengan cara autoplastis yaitu seseorang harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya, penyesuaian diri dapat juga dilakukan secara aloplastis yaitu seseorang dapat merubah lingkungan agar sesuai dengan keinginan dirinya.

Potensi Kawasan Hutan Lindung (skripsi dan tesis)

Kekayaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri atas sumber daya alam hewani, sumber daya alam nabati beserta ekosistemnya ataupun gejala keunikan alam dan/atau keindahan alam lainnya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tersebut perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar besar kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga tercapai keseimbangan antara perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari.

Salah satu upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditempuh melalui penetapan sebagian kawasan hutan dan/atau kawasan perairan menjadi antara lain Hutan Lindung yang salah satu fungsinya adalah karena keadaan sifat alamnya diperuntukan guna mengatur tata air (hydro-orologi), pencegahan bencana banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah, perlindungan dan penyangga sistem kehidupan, obyek dan daya tarik wisata alam untuk dijadikan pusat pariwisata dan kunjungan wisata alam daerah. Pembangunan nasional di berbagai sektor telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, disamping telah meningkatkan kegiatan masyarakat diberbagai bidang, sehingga menimbulkan perubahan pola kehidupan masyarakat yang menuntut kebutuhan hidup yang semakin beragam. Kedua aspek tersebut ditambah dengan meningkatnya minat kembali ke alam terutama bagi masyarakat perkotaan, menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan wisata alam.  Sejalan dengan itu, menurut Perrings (2002) dalam Fandeli (2003), bahwa semakin banyak sumberdaya alam yang dimanfaatkan dalam pembangunan, maka keterkaitan pembangunan itu dengan ekonomi ekologi akan semakin besar.  Pernyataan Perrings (2002); dan Fandeli (2003) tersebut tidak terkecuali pada kawasan hutan lindung dan Taman Hutan Raya (TAHURA) yang juga kewenangan pengelolaannya diserahkan pada Daerah sebagai tugas perbantuan, karena mengingat perkembangan usaha kepariwisataan alam sangat ditentukan oleh potensi, estetika dan bentang alamnya yang unik dan berbeda pada tempat lainnya.

Menurut PP. No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.  Penetapan kawasan tertentu sebagai sebagai Kawasan Taman Hutan Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah; b) Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam; c) Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli dan atau bukan asli.

Menurut Fandeli (2002), daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perilaku manusia dan makhluk hidup yang lain secara wajar.  Namun dalam perkembangannya istilah daya dukung kemudian dirubah menjadi daya tampung bagi lingkungan binaan.  Daya tampung diartikan sebagai kemampuan suatu lingkungan binaan untuk menampung jumlah individu maksimum.

Kawasan taman hutan raya memiliki daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan tersebut dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan.  Penetapan daerah penyangga pada hakekatnya berdasarkan pertimbangan kriteria sebagai berikut : a) Secara geografis berbatasan dengan Kawasan Taman Hutan Raya; b) Secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar Kawasan Taman Hutan Raya; c) Mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari luar Kawasan Taman Hutan Raya.

Penetapan tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani dengan suatu hak (alas titel) sebagai daerah penyangga, ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Penetapan daerah penyangga dilakukan dengan tetap menghormati hak hak yang dimiliki oleh pemegang hak. Pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan hutan tetap berada pada pemegang hak dengan tetap memperhatikan ketentuan dan pertimbangan kriteria yang telah disepakati. Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan: a) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; b) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat; c) Rehabilitasi lahan; d)  Peningkatan produktivitas lahan; e) Kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sesuai dengan fungsinya, taman hutan raya dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a)   Pariwisata alam dan rekreasi; b) Penelitian dan pengembangan; c) Pendidikan; d) Kegiatan penunjang budidaya.  Kunjungan wisata alam terbatas pada kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam dan perilaku satwa di dalam kawasan pelestarian alam, sedangkan kegiatan pendidikan dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut.

Undang-undang Nomor : 41/1999 menekankan bahwa peruntukannya fungsi hutan ditetapkan menjadi 3 (tiga) yaitu : 1) Hutan Konservasi untuk fungsi konservasi, 2) Hutan Lindung untuk fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, dan Hutan Produksi untuk fungsi produksi.  Namun dari ketiga fungsi tersebut pada hakikatnya hutan dikelola dengan tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan cara, (Marsono, 2000), antara lain ;  1) Memberikan jaminan keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; 2) Mengoptimalkan aneka fungsi (konservasi, Lindung dan produksi) dan mencapai manfaat lingkungan, sosial-ekonomi, yang seimbang, serasi dan lestari; 3) Meningkatkan daya dukung lingkungan dan Daerah Aliran Sungai; 4) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial-ekonomi dan pangan-sandang dan papan, lapangan kerja; dan 5) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan keberlanjutan.

Perkembangan kebutuhan kepariwisataan alam, maka taman hutan raya, yang memiliki gejala keunikan alam, keindahan alam, dan lain lain, sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik wisata alam disamping sebagai wahana penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Agar obyek dan daya tarik wisata alam tersebut dapat dimanfaatkan secara nyata diperlukan modal dan teknologi serta paradigma pengelolaan berbasis masyarakat. Untuk itu, modal masyarakat dan teknologi yang sesuai, perlu diikut sertakan dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam. Pengusahaan taman hutan raya sebagai obyek dan daya tarik wisata alami memberikan dampak positif dalam menciptakan perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan negara dan pemasukan devisa.

Pengelolaan kawasan hutan lindung, kawasan taman hutan raya di Indonesia harus harus dilaksanakan secara profesional, dilakukan oleh tenaga atau sumber daya manusia yang memenuhi syarat profesionalisme tersebut, berdedikasi tinggi untuk mewujudkan kelestarian ekosistem maupun pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management).  Pengelolaan kawasan hutan lindung dan kawasan taman hutan raya dalam bentuk Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) menurut fungsinya sesuai dengan amanat PP No. 6 Tahun 2007, agar lebih menjamin ; kepangkuan kelola, keragaman usaha, keberpihakan kepada masyarakat (pemberdayaan) dan kelestarian berkelanjutan.

UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa, pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah, yang dalam zona pemanfaatan dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat.  Dilihat dari kedua definisi di atas, maka beberapa kegiatan pengelolaan dimungkinkan untuk dilakukan pada kawasan hutan lindung, taman hutan raya dan taman wisata alam dengan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya memberikan pengaruh positif dari sisi ekonomis maupun ekologis dalam berbagai aspek. Kegiatan pengelolaan harus benar-benar mempertimbangkan peranan ekologis dan potensi taman hutan raya dengan kata lain harus dijaga kesesuaian antara tujuan estetika, pelatihan dan penelitian dan perlindungan ketimbang dengan pilihan pemanfaatannya.

Oleh karenanya di dalam sebuah kawasan hutan dan lingkungan di sekitarnya sebagai suatu ekosistem dalam lingkungan hdiup merupakan suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesehjateraan manusia serta makluk hidup lainnya. Lingkungan hidup di Indonesia meliputi aspek social budaya ekonomi dan fisik.

Pengertian dan Pengukuran Ketahanan Pangan (skripsi dan tesis)

Ketahanan pangan pada dasarnya bicara soal ketersediaan pangan (food avaibilitas), stabilitas harga pangan (food price stability), dan keterjangkauan pangan (food accessibility).Ketersediaan pangan yang cukup berarti rata-rata jumlah dan mutu gizi pangan yang tersedia di masyarakat dan pasar mencukupi kebutuhan untuk konsumsi semua rumah tangga (Soekirman 2000).

Menurut Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (PP No 68 2002). Konsumsi pangan yang mencukupi merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok .

Ketahanan pangan menekankan adanya jaminan pada kesejahteraan keluarga, salah satunya adalah pangan sebagai alat mencapai kesejahteraan.Stabilitas pangan berarti menjaga agar tingkat konsumsi pangan rata-rata rumah tangga tidak menurun di bawah kebutuhan yang seharusnya. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan yang merupakan salah satu faktor atau penyebab tidak langsung yang berpengaruh pada status gizi anak (Soekirman 2010)

Berdasarkan hasil dari International Scientific Symposyum on Measurement and Assessment of Food Devriation and Undernutrition, yangdiadakan pada bulan Juni 2002 di Roma dan Nutrition in the post 2015 Development agenda. Seri Lancet Gizi tahun 2008 menunjukkan adanya tindakan yang efektif untuk mengatasi kekurangan gizi. Meskipun kemajuan yang mantap dibuat dalam mengurangi kelaparan dan mencapai tujuan kemiskinan dan target, masih ada banyak yang harus dilakukan. Ada lima metode yang lazim digunakan untuk mengukur kerawanan pangan dan kelaparan. Salah satunya adalah pengukuran kerawanan pangan melalui servei pendapatan atau pengeluaran rumahtangga.Metode servei pendapatan atau pengeluaran rumah tangga dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah rata-rata konsumsi energi, dalam servei pengeluaran responden ditanya mengenai pengeluaran untuk pangan dalam waktu tertentu seperti seminggu yang lalu.Oleh karena itu, dapat dihitung proporsi rumah tangga yang konsumsi energinya di bawah level minimum (Tanziha 2005). Dengan demikian penghitungan ketahanan pangan melalui kecukupan energy dapat dirangkum dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kecukupan Energi Dan Pangsa Pengeluaran Pangan

Konsumsi energi per unit ekuivalen dewasa Pangsa pengeluaran pangan
Rendah (≤60% pengeluaran total) Tinggi (>60% pengeluaran total)
Cukup (>80% syarat kecukupan energi) 1.      Tahan pangan 2.      Rentan pangan
Kurang (≤80% syarat kecukupan energi) 3.   Kurang pangan 4.      Rawan pangan

Sumber: Jonsson and Toole (1991) dalam Amaliyah (2011).

Sedangkan penghitungan kecukupan energi pada balita digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.2 Kecukupan Gizi Rata-Rata Pada Anak Prasekolah

Golongan Umur Berat Badan Tinggi Badan Energi Protein
1-3 tahun 12 kg 89 cm 1220 Kkal 23 gram
4-6 tahun 18 kg 108 cm 1720 Kkal 32 gram

Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke-4

Pengelolaan Obyek Wisata (skripsi dan tesis)

Pengelolaan obyek wisata atau pariwisata haruslah mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan yang menekankan nilai-nilai kelestarian lingkungan alam. Menurut Ricardon dan Fluker (2004: 178), yang harus dicakup dalam manajemen pariwisata paling tidak terfokus dalam manajemen pariwisata yang paling tidak terfokus pada konsep values tourism yang diluncurkan pada tahun 1995 oleh The Pasific Asia Travel Asosiation (PATA), yaitu:

  1. Memenuhi kebutuhan konsumen (wisatawan),
  2. Meningkatkan kontribusi ekonomi bagi ekonimi nasional Negara bersangkutan,
  3. Meminimalisi dampak pariwisata terhadap lingkungan,
  4. Mengakomodasi kebituhan dan keinginan negara tuan rumamh yang menjadi tujuan wisata,
  5. Menyediakan pengembalian finansial yang cukup bagi orang-orang yang berusaha di pariwisata.

Values atau nilai-nilai yang harus dipertimbangkan menyangkut konsumen, budaya, dan warisan budaya, ekonomi, ekologi, finansial, sumberdaya manusia, peluang masa depan, dan sosial.

Menurut Pitan dan Diarta (2009: 86), tujuan dari pengelolaan atau manajemen pariwisata adalah untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan pendapatan ekonomi dengan pelayanan kepada wisatawan serta perlindungan terhadap lingkungan dan pelestarian keberagaman budaya. Indikator untuk monitoring dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1

Indikator untuk Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Pariwisata

No Indikator Ukuran Spesifik
1 Perlindungan lokasi Daya dukung, tekanan terhadap area dan

kemenarikan

2 Tekanan Jumlah wisatawan yang berkunjung

pertahun/bulan/masa puncak

3 Intensitas pemanfaatan Intensitas pemanfaatan pada waktu puncak

(wisatawan/ha)

4 Dampak sosial Rasio antara wisatawan dan penduduk lokal

(pada waktu puncak/rata-rata)

5 Pengawasan

pembangunan

Adanya prosedur secara formal terhadap

pembangunan di lokasi dan kepadatan pemanfaatan

6 Pengelolaan limbah Persentase limbah terhadap kemampuan

pengelolaan. Demikian pula terhadap rasio kebutuhan dan suplai air bersih

7 Proses perencanaan Mempertimbangkan perencanaan regional

termasuk perencanaan wisata (regional)

8 Ekosistem kritis Jumlah spesies yang masih jarang dan

dilindungi

9 Kepuasan pengunjung Tingkat kepuasan pengunjung berdasarkan

pada kuisioner

10 Kepuasan penduduk

lokal

Tingkat kepuasan penduduk lokal

berdasarkan kuisioner

11 Kontribusi pariwisata

terhadap ekonomi lokal

Proporsi antara pendapatan total dengan

pariwisata

Sumber: WTO (1996) dalam Fandeli (2005)

Dari uraian diatas, maka dalam pengelolaan pariwisata diperlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan di bidang pariwisata untuk  mengintegrasikan kerangka pengelolaan pariwisata. Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah staf dari industri pariwisata, Konsumen, Investor dan developer, pemerhati dan penggiat warisan dan pelestari budaya, pemerintah, dan pelaku ekonomi lokal dan nasional. Pemangku kepentingan diatas memiliki harapan dan nilai yang berbeda yang perlu dikelola sedemikian rupa agar diadopsi dan terwakili dalam perencanaan, pengembangan, dan operasionalisasinya.

Menurut Cox dalam Dowling dan Fannel (2003: 2), pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

  1. Pembangunan dan pengembangan pariwisata haruslah didasarkan pada kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan.
  2. Preservasi, proteksi dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi basis pengembangan kawasan pariwisata.
  3. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah budaya lokal.
  4. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan lingkungan lokal.
  5. Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi sebaliknya mengendalikan dan/atau menghentikan aktivitas menghentikan pariwisata tersebut jika melampaui ambang batas (carrying capacity) lingkungan alam atau akseptabilitas sosial walaupun di sisi lain mampu meningkatkan kepadatan masyarakat.

Untuk mencapai tujuan pariwisata yang berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial-budaya maupun lingkungan yang efektif, pengelola wajib melakukan manajemen sumber daya yang efektif. Manajemen sumber daya ditujukan untuk menjamin perlindungan terhadap ekosistem dan mencegah degradasi kualitas lingkungan.

Untuk mencapai tujuan pariwisata yang berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan, maka pengelola wajib melakukan manajemen sumber daya yang efektif. Menjadikan lingkungan sedemikian rupa sehingga tidak teganggu keseimbangannya. Menurut Pitana dan Diarta (2009: 90), pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

  1. Menggunakan sumber daya yang terbarukan (renewable resources).
  2. Pemanfaatan untuk berbagai kepentingan (multiple uses).
  3. Daerah zona (designated/zonasi).
  4. Konservasi dan preservasi sumber daya (conservation and preservation of resources).

Dengan mengacu prinsip-prinsip di atas maka manajemen sumber daya pariwisata harus memperlihatkan flora dan fauna, sumber daya air, sanitasi, limbah, kualitas udara, kawasan pesisir, pantai, zoning dan kepedulian lingkungan. Untuk mensinergikan pengelolaan pariwisata yang memenuhi prinsipprinsip pengelolaan, diperlukan suatu metode pengelolaan yang menjamin keterlibatan semua aspek dan komponen pariwisata.

Menurut WTO dalam Richardson dan Fluker (2004: 183), ada beberapa metode dalam pengelolaan pariwisata, yaitu:

  1. Pengonsultasian dengan semua pemangku kepentingan,
  2. Pengidentifikasi isu,
  3. Penyusunan kebijakan,
  4. Pembentukan dan pendanaan agen dengan tugas khusus,
  5. Penyediaan fasilitas dan operasi,
  6. Penyediaan kebijakan fiskal, regulasi, dan lingkungan sosial yang kondusif,
  7. Penyelesaian konflik kepentingan dalam masyarakat.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melalui pertemuan formal dengan dewan pariwisata. Dalam hal penyusunan kebijakan akan menjadi tuntutan bagi pelaku pariwisata dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan pariwisata. Dalam pembentukan agen, bertujuan menghasilkan rencana strategi sebagai panduan dalam pemasaran dan pengembangan fisik di daerah tujuan wisata. Dalam hal penyediaan fasilitas dan operasi, pemerintah berperan dalam memberi modal usaha, pemberian subsidi kepada fasilitas, dan pelayanan yang vital. Penyelesaian konflik merupakan peran yang sulit tetapi akan menjadi salah satu peran yang sangat penting dalam era dimana isu lingkungan dan konservasi sumber daya menjadi isu penting.

Prinsip Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) (skripsi dan tesis)

Prinsip-prinsip pengelolaan BUMDes penting untuk diuraikan agar difahami dan dipersepsikan dengan cara yang sama oleh pemerintah desa, anggota (penyerta modal), BPD, Pemkab, dan masyarakat. Terdapat 6 (enam) prinsip dalam mengelola BUMDes yaitu (Ridlwan, 2014):

a.       Kooperatif, Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus mampu melakukan kerjasama yang baik demi pengembangan dan kelangsungan hidup usahanya.

b.      Partisipatif. Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus bersedia secara sukarela atau diminta memberikan dukungan dan kontribusi yang dapat mendorong kemajuan usaha BUMDes.

c.       Emansipatif. Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus diperlakukan sama tanpa memandang golongan, suku, dan agama.

d.      Transparan. Aktivitas yang berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat umum harus dapat diketahui oleh segenap lapisan masyarakat dengan mudah dan terbuka.

e.       Akuntabel. Seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administratif.

f.       Sustainabel. Kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat dalam wadah BUMDes.

Terkait dengan implementasi Alokasi Dana Desa (ADD), maka proses penguatan ekonomi desa melalui BUMDes diharapkan akan lebih berdaya. Hal ini disebabkan adanya penopang yakni dana anggaran desa yang semakin besar. Sehingga memungkinkan ketersediaan permodalan yang cukup untuk pendirian BUMDes. Hal utama yang penting dalam upaya penguatan ekonomi desa adalah memperkuat kerjasama (cooperatif), membangun kebersamaan atau menjalin kerekatan disemua lapisan masyarakat desa, sehingga itu menjadi daya dorong (steam engine) dalam upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan membuk akses pasar. (Anonim, 2007:1-14)

Tujuan tersebut, akan dicapai diantaranya dengan cara memberikan pelayanan kebutuhan untuk usaha produktif terutama bagi kelompok miskin di pedesaan, mengurangi praktek ijon dan pelepasan uang, menciptakan pemerataan kesempatan berusaha, dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Hal penting lainnya adalah BUMDes harus mampu mendidik masyarakat membiasakan menabung, dengan cara demikian akan dapat mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa secara mandiri dan berkelanjutan. (Sumber: Anonim, 2007).

Prinsip-prinsip pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance (GCG) Indonesia Tahun 2006 ( KNKG,2006) sebagai berikut:

a.       Transparansi (Transparency)

Untuk menjaga ovbyektivitasnya dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. Prinsip transparansi dilaksanakan pengurus BUMDes Tirta Mandiri dengan menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh anggota dan masyarakat

b.      Akuntabilitas (accountability)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

Prinsip akuntabilitas dilaksanakan pengurus BUMDes Tirta Mandiri mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.

c.       Responsibilitas (Responsibility)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Prinsip responsibilitas dilaksanakan pengurus BUMDes Tirta Mandiri melaksanakan usaha sesuai dengan peraturan undang-undang serta melaksanakan usaha untuk memelihara kesinambungan usaha

d.      Independensi (Independency)

Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Prinsip independensi dilaksanakan pengurus BUMDes Tirta Mandiri mengelola usaha secara independen dan tidak ada dominasi usaha dan diintervensi oleh pihak lain.

e.       Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Prinsip kewajaran dan kesetaraan dilaksanakan pengurus BUMDes dengan operasionalisasi kegiatan yang berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

Tujuan Pendirian BUMDes (skripsi dan tesis)

Pendirian BUM Desa menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Permendes Nomor 4 Tahun 2015 dimaksudkan sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar-Desa. Pendirian BUM Desa bertujuan:

a.       meningkatkan perekonomian Desa;

b.      mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa;

c.       meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi Desa;

d.      mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga;

e.       menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga;

f.       membuka lapangan kerja;

g.      meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan

h.      meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa

 Pendirian dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah merupakan perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable. Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk menjadikan pengelolaan badan usaha tersebut dapat berjalan secara efektif, efisien, profesional dan mandiri

Untuk mencapai tujuan BUMDes dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan distribusi barang dan jasa yang dikelola masyarakat dan Pemdes. Pemenuhan kebutuhan ini diupayakan tidak memberatkan masyarakat, mengingat BUMDes akan menjadi usaha desa yang paling dominan dalam menggerakkan ekonomi desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (di luar desa) dengan menempatkan harga dan pelayanan yang berlaku standar pasar. Artinya terdapat mekanisme kelembagaan/tata aturan yang disepakati bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi di pedesaan disebabkan usaha yang dijalankan oleh BUMDes. Dinyatakan di dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa Pasal 4 bahwa Desa dapat mendirikan BUM Desa berdasarkan Peraturan Desa tentang Pendirian BUM Desa dengan mempertimbangkan:

a.       inisiatif Pemerintah Desa dan/atau masyarakat Desa;

b.      potensi usaha ekonomi Desa;

c.       sumberdaya alam di Desa;

d.      sumberdaya manusia yang mampu mengelola BUM Desa; dan

e.       penyertaan modal dari Pemerintah Desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan Desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha BUM Desa.

Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan (proteksi) atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam pembentukan BUMDes sebagai lembaga berbadan hukum yang berpijak pada tata aturan perundangan yang berlaku, serta sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Pengaturan lebih lanjut mengenai BUMDes diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) setelah memperhatikan peraturan di atasnya. Melalui mekanisme self help dan member-base, maka BUMDes juga merupakan perwujudan partisipasi masyarakat desa secara keseluruhan, sehingga tidak menciptakan model usaha yang dihegemoni oleh kelompok tertentu ditingkat desa. Artinya, tata aturan ini terwujud dalam mekanisme kelembagaan yang solid. Penguatan kapasitas kelembagaan akan terarah pada adanya tata aturan yang mengikat seluruh anggota.

 

Pengertian BUMDes (skripsi dan tesis)

Sumber pendapatan Desa salah satunya adalah pendapatan asli desa, yang meliputi: 1) hasil usaha desa; 2) hasil kekayaan desa; 3) hasil swadaya dan partisipasi; 4) hasil gotong royong; dan 5) lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Pemberdayaan potensi desa dalam meningkatkan pendapatan desa dilakukan, antara lain, dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa, kerja sama dengan pihak ketiga, dan kewenangan melakukan pinjaman (Tjandra, 2011).

Menurut Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa Pasal 1, BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

Menurut Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (2007), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi dipedesaan, BUMDes harus memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada umumnya. Ini dimaksudkan agar keberadaan dan kinerja BUMDes mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa. Disamping itu, supaya tidak berkembang sistem usaha kapitalistis di pedesaan yang dapat mengakibatkan terganggunya nilai-nilai kehidupan bermasyarakat.

BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal usaha BUMDes harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan BUMDes dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga. Ini sesuai dengan peraturan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa pasal 17 dan 18. Penjelasan ini sangat penting untuk mempersiapkan pendirian BUMDes, karena implikasinya akan bersentuhan dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa (Perdes).