Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Masyarakat Mengikuti Kerjasama Hutan Rakyat (skripsi dan tesis)

Berdasarkan perspektif ekologi kebudayaan yang disebutkan oleh Awang (2004), kehutanan sosial merupakan suatu pola interaksi antara petani, teknologi,dan lahan/hutan. Melalui pandangan tersebut dapat dipahami bahwa keputusan petani dalam pengelolaan lahannya sangat tergantung pada keadaan lahan dan input teknologi yang kemudian mempengaruhi keputusan petani berdasarkan status sosialnya. Dalam penelitian ini, pemikiran teoritis tersebut diterjemahkan dalam kerangka empirik yang sesuai dengan keadaan di lapangan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengikuti program kerjasama hutan rakyat.

Pada umumnya faktor-faktor yang berpengaruh tersebut menurut Suharjito (2012) adalah:

  1. Kejelasan hak penguasaan atas lahan. Petani bersedia membudidayakan pohon apabila ada kepastian atas hak penguasaan lahan. Kepastian penguasaan lahan diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya, jaminan memperoleh manfaat dari pohon-pohon tersebut. Biasanya petani melaksanakan budidaya pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakannya pada lahan komunal atau lahan negara karena lahan milik memberikan jaminan lebih pasti untuk memperoleh manfaat dari pada lahan komunal atau lahan negara;
  2. Luas lahan yang dikuasai. Rumahtangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan, tanaman jangka pendek, atau tanaman subsisten dari pada tanaman pohon-pohon. Rumahtangga yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif;
  3. Ketersediaan tenaga kerja. Rumahtangga yang kekurangan tenaga kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan pohon-pohon karena budidaya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi;
  4. Ketersediaan dan akses pada pasar produk kayu mendorong budidaya pohon-pohon;
  5. Tingkat kekayaan. Jumlah rumahtangga miskin yang menanam pohon-pohon lebih sedikit dari pada rumahtangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit dari pada jumlah pohon rumahtangga kaya.

Sedangkan menurut Dewi et al. (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam bermitra dapat dimodelkan sebagai berikut:

keterangan :

Y = Dummy keputusan petani 1, jika petani memilih kemitraan 0, jika petani memilih tidak bermitra atau non mitra

X1 = Usia petani (Tahun)

X2 = Luas lahan (Ha)

D1-D3 = Dummy tingkat pendidikan petani

D1 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah PT 0, jika lainnya

D2 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah SMA 0, jika lainnya

D3 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah SMP 0, jika lainnya

X3 = Pengalaman berusahatani (Tahun)

D4 = Dummy persepsi petani tentang kemitraan 1, jika persepsi petani adalah baik 0, jika lainnya

D5 = Dummy pengaruh petani lain 1, jika dipengaruhi oleh petani lain 0, jika tidak dipengaruhi oleh petani lain

X4 = Jumlah anggota keluarga (Orang)

β– β= Koefisien regresi

e = Kesalahan

Hutan Rakyat (skripsi dan tesis)

UU No. 41 (1999) tentang Kehutanan serta Menteri LHK (2015) mendefinisikan hutan hak atau lazim disebut sebagai hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan rakyat dapat dimiliki oleh setiap orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum. Sejatinya masyarakat telah lama mengenal pola pemanfaatan lahan yang menyerupai hutan rakyat.

Bagi  masyarakat  Jawa  Tengah  dan  sekitarnya  lahan  tersebut  lebih  dikenal  dengan  sebutan “pekarangan” dimana pada lahan tersebut masyarakat menanam berbagai tanaman keras seperti jati, kelapa, randu, dan lain sebagainya (Suprapto, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa walaupun sebagian besar hutan rakyat di Jawa berada pada tanah dengan status tanah milik rakyat, pengembangan hutan rakyat sangat erat kaitannya dengan program pemerintah khususnya program penghijauan. Menurut laporan studi,  pengembangan hutan rakyat di Jawa dimulai pada tahun 1930 oleh pemerintah kolonial. Kemudian Pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an mengembangkan hutan rakyat melalui program “Karang Kitri” dan program penghijauan pada awal tahun 60-an. (Wartaputra (1990 dalam Suprapto, 2010)).

Waluyo  (2003 dalam Megalina (2009))  menyatakan alasan-alasan yang dapat mendukung kegiatan pengembangan hutan rakyat antara lain:

  1. Hutan rakyat ternyata mampu mendukung pasokan bahan baku kayu bagi industri perkayuan.
  2. Pembangunan hutan rakyat memberikan manfaat yang sangat banyak, baik manfaat sosial ekonomi maupun perlindungan lingkungan (konservasi tanah dan air).
  3. Masyarakat  Indonesia  pada  umumnya  sudah  mengenal  bentuk-bentuk hutan rakyat, tetapi petani hutan rakyat pada umumnya masih mempunyai hambatan-hambatan, baik dari segi produksi pengelolaan maupun pengolahan dan pemasaran hasil-hasilnya, sehingga pemanfaatannya belum optimal.
  4. Hak kepemilikan atas lahan hutan rakyat yang jelas akan mendorong petani untuk memanfaatkan, mengelola dan menjaganya dengan lebih baik (terutama di Jawa).
  5. Banyak lahan-lahan pertanian yang sebenarnya tidak cocok untuk usaha pertanian intensif. Di Jawa, lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris hanya kurang dari seperempat hektar (Talkurputra dan Amien, 1998). Pemerintah menganjurkan agar lahan-lahan  yang tidak layak untuk pertanian agar dikembangkan menjadi untuk hutan rakyat.

Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi (Dirjen RRL) (1995 dalam Megalina, 2009) menuliskan manfaat pembangunan hutan rakyat adalah sebagai berikut :

  1. Memperbaiki penutupan tanah sehingga akan mencegah erosi percikan.
  2. Memperbaiki peresapan air ke dalam tanah.
  3. Menciptakan  iklim  mikro,  perbaikan  lingkungan  dan  perlindungan sumber air.
  4. Meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil dari tanaman hutan rakyat berupa kayu-kayuan.
  5. Meningkatkan pendapatan masyarakat
  6. Memenuhi   kebutuhan   bahan   baku   industri   pengolahan   kayu   dan kebutuhan kayu rakyat.

Bentuk hutan rakyat yang dikenal dan dibangun di Indonesia menurut Balai Informasi Pertanian (1982), yaitu :

  1. Hutan rakyat murni, yaitu merupakan hutan murni dengan jenis kayu tertentu karena hanya ditanami satu jenis tanaman kayu-kayuan, contohnya ditanami pinus saja atau sengon saja.
  2. Hutan rakyat campuran, yaitu merupakan hutan campuran yang ditanami lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan.
  3. Hutan rakyat sistem agroforestry, yang merupakan hutan dengan tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan, tanaman keras, hijauan pakan dan pemeliharaan ternak.

Sistem yang paling cocok untuk hutan rakyat adalah sistem agroforestry dengan tumpang sari. Pada sistem tumpang sari, lahan ini ditanami bersama-sama tanaman keras dan tanaman pertanian.

Ada beberapa pola pengembangan hutan rakyat seperti dikemukan oleh Usman (2001) sebagai Menteri Kehutanan saat itu bahwa, Pemerintah  menyadari  sepenuhnya keterbatasan  yang  ada  serta  potensi  yang  sangat mungkin untuk pengembangan hutan rakyat yang dilaksanakan dengan  beberapa  pola,  yaitu  pola  swadaya,  pola  subsidi,  dan  pola  kemitraan sebagai berikut:

  1. Pola swadaya  adalah  hutan  rakyat  yang  dibangun  oleh  kelompok atau   perorangan  dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Untuk pola ini posisi pemerintah membantu   sepenuhnya   aspek   teknis,   manajemen,   dan pemasaran, sehingga hutan rakyat dapat berkembang dengan baik.
  2. Pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Bantuan diberikan oleh pemerintah melalui program penghijauan, padat karya, dan bantuan lainnya, atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.
  3. Pola kemitraan adalah hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta/koperasi dengan insentif permodalan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah semua pihak yang terkait saling membutuhkan.

Bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia (skripsi dan tesis)

Dalam berbagai literatur terdapat beberapa istilah yang digunakan secara saling bergantian bahkan diantaranya ada yang saling tertukar sebagai padanan kata dari kehutanan masyarakat. Beberapa istilah asing untuk menyatakan kehutanan masyarakat adalah community forestry, social forestry, participatory forestry dan lain sebagainya. Istilah social forestry sering mengacu kepada bentuk kehutanan industrial yang dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keuntungan kepada masyarakat lokal sekitar hutan.

Kartasubrata (1992) yang dikutip oleh Suharjito dan Darusman (1998) memandang bahwa istilah perhutanan sosial dan kehutanan sosial sebagai padanan istilah social forestry. Lokasi pengembangan social forestry sebagian berada pada tanah milik serta tanah negara seperti hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Bentuk-bentuk social forestry yang pernah dilaksanakan di Indonesia diantaranya adalah: (1) hutan Rakyat; (2) hutan Serbaguna atau Kemasyarakatan; (3) perhutanan Sosial yang kemudian menjadi program kerjasama Hutan Rakyat. Bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia dirangkum pada Tabel 2.

Tabel 2. Bentuk-bentuk Kehutanan Masyarakat di Indonesia

No. Nama Status Lahan Masa Keterangan
Pengembangan
1. Hutan Rakyat Lahan milik masyarakat Dimulai sejak tahun 1930-an Merupakan kegiatan lanjutan yang dimulai Pemerintah Belanda
2. Hutan Serbaguna/ Kemasyarakatan Hutan       produksi negara  yang tidak dikonsensikan Sejak  Repelita ketiga  (antara 1979-1984) Dikaitkan dengan kegiatan penghijauan
3. Perhutanan Sosial Hutan       produksi; Perum Perhutani Sejak 1986-2001 Pelaksanaan berupa   usahatani tumpangsari
4. kerjasama hutan   rakyat Hutan       produksi; Perum Perhutan 2001-sekarang Lanjutan        dari

Perhutanan Sosial

Sumber: Suharjito dan Darusman (1998)

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) (2016), melalui Peraturan Nomor: P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, memberikan pengertian perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk: 1) hutan desa, 2) hutan kemasyarakatan, 3) hutan tanaman rakyat, 4) hutan rakyat, 5) hutan adat dan 6) kemitraan kehutanan. Masing-masing bentuk pengelolaan hutan tersebut diberikan pengertian sebagai berikut:

  1. Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
  2. Hutan Kemasyarakatan (Hkm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
  3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
  4. Hutan Rakyat atau Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
  5. Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.
  6. Kemitraan Kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.

. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia (skripsi dan tesis)

Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, pemerintah mulai memperhatikan aspek kemasyarakatan sejak diterbitkannya SK Menhut No. 691 tahun 1991 tentang Bina Desa Hutan. Melalui peraturan ini pemerintah berusaha membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik yang berada di dalam maupun disekitar hutan. Keputusan tersebut kemudian direvisi melalui SK Menhut No. 69 Jo SK Menhut No. 523 tahun 1997 yang di dalamnya istilah Bina Desa Hutan diganti dengan istilah Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (Darmawan et al., 2004).

Darmawan et al. (2004) juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat memasuki babak baru dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang didasarkan pada pemikiran bahwa keberpihakan kepada rakyat adalah kunci utama keberhasilan pengelolaan hutan. Dengan demikian, praktek-praktek pengeloaan hutan yang berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan rakyat perlu dirubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan masyarakat. Berbagai peraturan kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Berbagai Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia

No Jenis Peraturan Nomor dan Tahun Perihal
1.

 

Tap MPR

 

No. IX/MPR/2001

 

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumberdaya Alam

2. Undang-undang No. 19 Tahun 2004 Kehutanan (Penetapan PerPPU  No. 1 Tahun 2001 tentang perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU)

 

 

3. Undang-undang No. 18 Tahun 2013 Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
4. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan
5. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Perlindungan Hutan
6. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
7. Peraturan Pemerintah  No. 3 Tahun 2008 Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
8. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 Penggunaan Kawasan Hutan
9. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012 Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan
10. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
11. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2015 Perubahan kedua atas PP No. 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan
12. Peraturan Menhut No. P.55 Tahun 2011 *) Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat  Dalam Hutan Tanaman
13. Peraturan Menhut No. P.31 Tahun 2013 *) Perubahan atas Permenhut No. P.55 Tahun 2011 Tentang Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat  Dalam Hutan Tanaman
14. Peraturan Menhut No. P.39 Tahun 2013 *) Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan
15. Peraturan Menhut No. P.20 Tahun 2014 Pedoman Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi
16. Peraturan Menhut No. P.88 Tahun 2014 *) Hutan Kemasyarakatan

 

17. Peraturan Menhut No. P.89 Tahun 2014 *) Hutan Desa
18. Peraturan Men LHK No. P.21 Tahun 2015

 

Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak
19. Peraturan Men LHK No. P.32 Tahun 2015 Hutan Hak
20. Peraturan Men LHK No. P.83 Tahun 2016 Perhutanan Sosial (mengganti dan mencabut Permenhut No. *)

Sumber : Rangkuman Penulis

Relevan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di era otonomi daerah, pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi, sedangkan pengelolaan hutan yang bersifat nasional diatur oleh pemerintah pusat. Salah satu pendekatan pengelolaan hutan yang diterapkan di Indonesia adalah pola hutan kerakyatan ataupun hutan kemasyarakatan.

Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan (skripsi dan tesis)

Dalam era otonomi daerah konflik pengelolaan kawasan hutan mengalami pergeseran paradigma yang berpotensi mempercepat proses menipisnya sumber daya hutan dan degradasi lahan hutan yang berakibat pada penurunan fungsi dan daya dukung kawasan hutan.  Konflik ini terjadi secara akumulatif terhadap sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan dengan baik di era Orde Baru (ORBA) di masa lalu.  Selain itu, faktor pemahaman dan penanganan sosial, ekonomi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal sekitar kawasan hutan serta belum diakunya hak Adat/Hak Ulayat di beberapa lapisan masyarakat walaupun secara turun-temurun masih diakui keberadaannya dalam tatanan sosial di masyarakat. Penunjukan kawasan hutan ketika itu, masih bersifat sepihak dan Top down tanpa memperhatikan hak-hak keberadaan masyarakat lokal terutama ganti rugi atau kompensasi kepemilikan atas tanah hutan.

Konflik diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan, nilai, status, penguasaan sepihak dan kelangkaan sumberdaya. Menipisnya persediaan sumber daya hutan akan berakibat pada penurunan produktivitas berupa hasil hutan yang berwujud berupa kayu dan non kayu serta nilai jasa hutan lainnya. Konflik dapat timbul antar individu, antar kelompok atau antar lembaga. Konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang sering terjadi yakni konflik antara masyarakat di dalam atau pinggir hutan dengan berbagai pihak di luar hutan yang dianggap memiliki otoritas dalam mengelola sumberdaya hutan.

. Bentuk Interaksi dalam Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan serta Ekosistemnya Secara Lestari dan Berkelanjutan (skripsi dan tesis)

Dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan ekosistemnya terdapat beberapa aspek penting adalah kekayaan jenis flora maupun fauna yang lebih dikenal dengan biodiversitas atau keaneka ragaman hayati.  Kekayaan spesies baik flora maupun fauna terdapat luar biasa jumlahnya, jika dibandingkan dengan jumlah spesies pada iklim sedang.  Indonesia dengan luas sekitar 1.3 % dari permukaan daratan bumi memiliki kekayaan jenis yang sangat besar antara lain mengandung 10% jenis tumbuhan berbunga di dunia (±25.000 jenis), 12% satwa menyusui (± 500 jenis),  16% jumlah jenis reptil dan ampibi ((± 3.000 jenis), 17% jenis burung ((±1.600 jenis), dan lebih dari 25% jenis ikan (±8.500 jenis),  disamping itu tercatat pula sekitar 663 jenis fauna indemik, 199 jenis mamalia, (Saparjudi:1994 dan Whitmore:1975, dalam Marsono, 2000).  Di bidang kehutanan Whitmore, (1975), melaporkan terdapat 500 jenis Dipterocarpaceae dan 3.000-4.000 jenis Ochidaeceae. Namun dalam kenyataannya, dari jumlah yang banyak tersebut pemanfaatan jenis masih sangat terbatas. Diantara jenis-jenis tumbuhan yang ada tersebut hanya sekitar 150 jenis tanaman pangan yang penting dalam perdagangan dunia.  95% sebagai bahan pengganti tidak lebih dari 30 jenis tumbuhan dan 75% kalori pangan hanya berasal dari 8 jenis tumbuhan sekitar 80% kalori pangan berasal dari 3 jenis tumbuhan yaitu padi, jangung dan gandum (Soemarwoto, 1987, dalam Marsono, 2000).

Berbagai kawasan hutan di Indonesia diperkirakan masih banyak lagi yang mengandung keanekaragaman jenis tumbuhan obat-obatan (herbal) namun saat ini masih terbatas penggunaan pada jenis tumbuhan tertentu.   Sedikitnya pemanfaatan tumbuhan herbal ini, karena minimnya informasi dan penelitian mengenai khasiat tumbuhan-tumbuhan herbal Indonesia yang sejak dahulu sudah dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan dan saat ini tersebar di berbagai fungsi hutan diantaranya hutan alam produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi.

Pemanfaatan tumbuhan obat-obatan sebenarnya telah berlangsung lama secara tradisional oleh berbagai masyarakat di Indonesia.  Hal ini terungkap dalam beberapa penelitian, Tuharea, dkk. (2000), bahwa masyarakat sekitar kawasan hutan telah memanfaatkan tumbuhan obat-obata secara tradisional mereka.  Dalam beberapa kasus menurut penelitian tersebut penggunaan obat telah ditemukan seperti di Anggi sekitar 27 jenis tumbuhan dapat menyembuhkan sebanyak 25 jenis penyakit tertentu, di Kokas sedikitnya masyarakat menemukan sedikitnya 26 jenis tumbuhan dan memberikan khasiat sebanyak 36 jenis penyakit masyarakat serta di Serui terdapat sedikitnya 38 jenis tumbuhan memberikan khasiat untuk 28 jenis penyakit.  Jenis tumbuhan obat-obatan ini pemanfaatannya masih terbatas pada masyarakat sekitar kawasan hutan saja dan belum mengemuka pada tingkat dunia kedokteran modern atau diproduksi untuk kebutuhan manusia secara masal.

Dari sisi yang lain, industri pengolahan hasil tumbuhan herbal misalnya, pemerintah belum mengupayakan diversifikasi  industri lebih spesifik dan bahkan tidak ada walaupun home industry sifatnya, sebagai bagian pemberdayaan.  Marsono (2000), mengatakan bahwa sedikitnya jenis yang dimanfaatkan mewarnai berbagai kebutuhan manusia seperti obat-obatan, kosmetik, bahan pakaian dan lain sebagainya.  Oleh karenanya tidak mustahil bahwa beberapa penyakit yang belum ditemukan obatnya saat ini sebenarnya ada di sumber daya alam yang tersebar di Indonesia.

Pengembangan potensi keanekaragaman sumber daya hutan saat ini belum optimal, dan masih terbuka peluang pada berbagai kawasan hutan tertentu untuk diusahakan dengan pengembangan kelembagaan masyarakat seperti pada kawasan penyangga areal konservasi, areal pemanfaatan pada kawasan lindung dan areal hutan produksi sekalipun yang saat ini hanya berorientasi pada hasil hutan kayunya saja (eksploitatif).  Akibat dari pemanfaatan yang bersifat ekploitatif, hanya dapat mengancam kelestarian kegunaan sumber daya hutan dan ekosistemnya.  Konservasi penggunaan sumber daya hutan dimaksudkan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang lama dengan cara mengurangi atau membatasi tingkat pemakaian sumber daya hutan, penggunaan teknologi terbarukan terhadap tumbuhan yang diketemukan kemanfaatannya saat ini, mengurangi pemborosan baik secara ekonomis maupun sosial (Suparmoko, 2006).  Dalam konteks masa pertumbuhan atau riap, konservasi dimaksudkan sebagai penggunaan yang menghasilkan penerimaan bersih maksimum dan sekaligus dapat memperbaiki kapasitas produksi atau pertumbuhan itu sendiri.

Pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung merupakan segala bentuk upaya yang mencakup beberapa unit perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan dan pengendalian dalam rangka mengoptimalkan fungsi dan pengembangan manfaat hutan lindung secara optimal dengan tetap menjaga kelestariannya oleh instansi yang berwenang (cq. Dinas Kehutanan).  Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang juga merupakan unit pengelolaan hutan lindung adalah satu kesatuan luas wilayah pengelolaan yang meliputi satu atau lebih kelompok hutan lindung yang penetapannya didasarkan atas kriteria tertentu, dengan tercapainya pendayagunaan fungsi dan peranan hutan lindung secara optimal untuk : a) Mewujudkan sistem penyangga kehidupan yang berkualitas ; b) Mewujudkan terkendalinya tata air secara optimal; c) Menterpadukan semua unsur yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung; d) Mengakomodasikan kepentingan dan peran serta masyarakat.

Rencana pengelolaan kawasan hutan lindung dan segala sumber daya hutannya meliputi rencana-rencana yang terdiri atas : a) Rencana Induk Pengelolaan Hutan Lindung(RIPHL); b) Rencana Pengelolaan Hutan Lindung Propinsi (RPHLP); dan c) Rencana Unit Pengelolaan Hutan Lindung(RUPHL).  Rencana induk pengelolaan hutan lindung merupakan rencana jangka panjang pengelolaan hutan lindung dalam ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam jangka waktu dua puluh lima tahunan berisi : 1) Identifikasi keadaan dan masalah yang meliputi biogeofisik, sosial budaya, sosial ekonomi, kelembagaan masyarakat dan lingkungan; 2) Kajian faktor masalah secara ilmiah; 3) Arahan dan rekomendasi pengelolaan hutan lindung; 4) Tahapan pengelolaan; 5) Rencana Induk Pengelolaan Hutan Lindung di susun dan dinilai oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, disahkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Pelestarian Alam (PHPA).

Potensi Kawasan Hutan Lindung (skripsi dan tesis)

Kekayaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri atas sumber daya alam hewani, sumber daya alam nabati beserta ekosistemnya ataupun gejala keunikan alam dan/atau keindahan alam lainnya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tersebut perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar besar kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga tercapai keseimbangan antara perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari.

Salah satu upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditempuh melalui penetapan sebagian kawasan hutan dan/atau kawasan perairan menjadi antara lain Hutan Lindung yang salah satu fungsinya adalah karena keadaan sifat alamnya diperuntukan guna mengatur tata air (hydro-orologi), pencegahan bencana banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah, perlindungan dan penyangga sistem kehidupan, obyek dan daya tarik wisata alam untuk dijadikan pusat pariwisata dan kunjungan wisata alam daerah. Pembangunan nasional di berbagai sektor telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, disamping telah meningkatkan kegiatan masyarakat diberbagai bidang, sehingga menimbulkan perubahan pola kehidupan masyarakat yang menuntut kebutuhan hidup yang semakin beragam. Kedua aspek tersebut ditambah dengan meningkatnya minat kembali ke alam terutama bagi masyarakat perkotaan, menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan wisata alam.  Sejalan dengan itu, menurut Perrings (2002) dalam Fandeli (2003), bahwa semakin banyak sumberdaya alam yang dimanfaatkan dalam pembangunan, maka keterkaitan pembangunan itu dengan ekonomi ekologi akan semakin besar.  Pernyataan Perrings (2002); dan Fandeli (2003) tersebut tidak terkecuali pada kawasan hutan lindung dan Taman Hutan Raya (TAHURA) yang juga kewenangan pengelolaannya diserahkan pada Daerah sebagai tugas perbantuan, karena mengingat perkembangan usaha kepariwisataan alam sangat ditentukan oleh potensi, estetika dan bentang alamnya yang unik dan berbeda pada tempat lainnya.

Menurut PP. No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.  Penetapan kawasan tertentu sebagai sebagai Kawasan Taman Hutan Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah; b) Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam; c) Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli dan atau bukan asli.

Menurut Fandeli (2002), daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perilaku manusia dan makhluk hidup yang lain secara wajar.  Namun dalam perkembangannya istilah daya dukung kemudian dirubah menjadi daya tampung bagi lingkungan binaan.  Daya tampung diartikan sebagai kemampuan suatu lingkungan binaan untuk menampung jumlah individu maksimum.

Kawasan taman hutan raya memiliki daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan tersebut dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan.  Penetapan daerah penyangga pada hakekatnya berdasarkan pertimbangan kriteria sebagai berikut : a) Secara geografis berbatasan dengan Kawasan Taman Hutan Raya; b) Secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar Kawasan Taman Hutan Raya; c) Mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari luar Kawasan Taman Hutan Raya.

Penetapan tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani dengan suatu hak (alas titel) sebagai daerah penyangga, ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Penetapan daerah penyangga dilakukan dengan tetap menghormati hak hak yang dimiliki oleh pemegang hak. Pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan hutan tetap berada pada pemegang hak dengan tetap memperhatikan ketentuan dan pertimbangan kriteria yang telah disepakati. Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan: a) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; b) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat; c) Rehabilitasi lahan; d)  Peningkatan produktivitas lahan; e) Kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sesuai dengan fungsinya, taman hutan raya dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a)   Pariwisata alam dan rekreasi; b) Penelitian dan pengembangan; c) Pendidikan; d) Kegiatan penunjang budidaya.  Kunjungan wisata alam terbatas pada kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam dan perilaku satwa di dalam kawasan pelestarian alam, sedangkan kegiatan pendidikan dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut.

Undang-undang Nomor : 41/1999 menekankan bahwa peruntukannya fungsi hutan ditetapkan menjadi 3 (tiga) yaitu : 1) Hutan Konservasi untuk fungsi konservasi, 2) Hutan Lindung untuk fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, dan Hutan Produksi untuk fungsi produksi.  Namun dari ketiga fungsi tersebut pada hakikatnya hutan dikelola dengan tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan cara, (Marsono, 2000), antara lain ;  1) Memberikan jaminan keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; 2) Mengoptimalkan aneka fungsi (konservasi, Lindung dan produksi) dan mencapai manfaat lingkungan, sosial-ekonomi, yang seimbang, serasi dan lestari; 3) Meningkatkan daya dukung lingkungan dan Daerah Aliran Sungai; 4) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial-ekonomi dan pangan-sandang dan papan, lapangan kerja; dan 5) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan keberlanjutan.

Perkembangan kebutuhan kepariwisataan alam, maka taman hutan raya, yang memiliki gejala keunikan alam, keindahan alam, dan lain lain, sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik wisata alam disamping sebagai wahana penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Agar obyek dan daya tarik wisata alam tersebut dapat dimanfaatkan secara nyata diperlukan modal dan teknologi serta paradigma pengelolaan berbasis masyarakat. Untuk itu, modal masyarakat dan teknologi yang sesuai, perlu diikut sertakan dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam. Pengusahaan taman hutan raya sebagai obyek dan daya tarik wisata alami memberikan dampak positif dalam menciptakan perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan negara dan pemasukan devisa.

Pengelolaan kawasan hutan lindung, kawasan taman hutan raya di Indonesia harus harus dilaksanakan secara profesional, dilakukan oleh tenaga atau sumber daya manusia yang memenuhi syarat profesionalisme tersebut, berdedikasi tinggi untuk mewujudkan kelestarian ekosistem maupun pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management).  Pengelolaan kawasan hutan lindung dan kawasan taman hutan raya dalam bentuk Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) menurut fungsinya sesuai dengan amanat PP No. 6 Tahun 2007, agar lebih menjamin ; kepangkuan kelola, keragaman usaha, keberpihakan kepada masyarakat (pemberdayaan) dan kelestarian berkelanjutan.

UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa, pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah, yang dalam zona pemanfaatan dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat.  Dilihat dari kedua definisi di atas, maka beberapa kegiatan pengelolaan dimungkinkan untuk dilakukan pada kawasan hutan lindung, taman hutan raya dan taman wisata alam dengan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya memberikan pengaruh positif dari sisi ekonomis maupun ekologis dalam berbagai aspek. Kegiatan pengelolaan harus benar-benar mempertimbangkan peranan ekologis dan potensi taman hutan raya dengan kata lain harus dijaga kesesuaian antara tujuan estetika, pelatihan dan penelitian dan perlindungan ketimbang dengan pilihan pemanfaatannya.

Oleh karenanya di dalam sebuah kawasan hutan dan lingkungan di sekitarnya sebagai suatu ekosistem dalam lingkungan hdiup merupakan suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesehjateraan manusia serta makluk hidup lainnya. Lingkungan hidup di Indonesia meliputi aspek social budaya ekonomi dan fisik.

Perilaku Orang Utan (skrispi dan tesis)

   Orangutan bersifat arboreal, artinya hewan itu menghabiskan besar waktunya di pohon untuk bergerak, makan dan beristirahat. Akan tetapi, ada beberapa kejadian, terutama di Borneo, yang menunjukkan Orangutan jantan dewasa berpipi (cheekpad/flanged male) beraktiitas di tanah. Saat beristirahat (terutama tidur di malam hari) Orangutan biasanya membuat sarang di pohon yang dibuat dari ranting pahon dan daun.

     Orangutan dapat bergerak cepat dari pohon ke pohon dengan cara berayun pada cabang-cabang pohon, atau yang biasa di panggil brachiating. Mereka juga dapat berjalan dengankedua kakinya, namun jarang sekali ditemukan. Orangutan tidak dapat berenang.

Beberapa fakta menarik mengenai Orangutan:

  1. Orangutan dapat memegang benda dengan tangan atau kakinya.
  2. Orangutan jantan terbesar memiliki rentangan tangan (panjang dari satu ujung tangan yang lain jika kedua tangan direntangkan) mencapai 2,3 m.
  3. Orangutan jantan dapat membuat panggilan jarak jauh yang dapat didengar dalam radius 1 km. Digunakan untuk menandai/mengawasi arealnya, memanggil sang betina., mencegah Orangutan jantan lainnya yang mengganggu. Mereka mempunyai kantung tenggorokan yang besar yang membuat mereka mampu melakukannya.
  4. Setiap petang, mereka membuat sarang di atas pohon.

Orangutan hidup semi soliter (cenderung sendiri). Aktivitas harian dimulai dengan bangun pagi saat matahari terbit (sekitar pukul 05:00-06:00), untuk kemudian mencari makan, berjalan, beristirahat dan diakhiri dengan membuat sarang setelah matahari terbenam (sekitar pukul 17:00-18:00). Dalam satu hari, Orangutan mampu menjelajah sejauh 1 sampai 2 km, tergantung pada ketersediaan sumber pakan. Selain itu, daerah jelajah jantan sangat ditentukan oleh sebaran betina dewasa.

Aktivitas harian yang dilakukan Orangutan dimulai dari meninggalkan sarang tidur pada pagi hari dan diakhiri dengan membuat sarang kembali dan tidur pada sore hari (Galdikas, 1984). Keberadaan pohon sarang juga menjadi kebutuhan yang penting bagi Orangutan, di beberapa tempat penelitian diketahui terdapat prefernsi pohon sarang pada Orangutan (Prasetyo dkk, 2007). Tumbuhan yang ada di Taman Nasional Sebangau tercatat sekitar 10 taksa yang dimanfaatkan Orangutan untuk bersarang. Taksa tersebut diantarana seperti Camnosperma, Shorea, Lithocarpus, Eugenia, Palaquium, Elaeocarpus, Chrysobalanaceae, Nephelium, Diospyros, dan Garcinia (Ancrenas, 2007).

Sepanjang setelah keluar dari sarang tidur, biasanya Orangutan melakukan seruan panjang (long call). agar diketahui keberadannya di lokasi tersebut oleh Orangutan lainnya yang berada disekitarnya. Selain itu, Orangutan juga melakukan buang air kecil (kencing) dan air besar. Aktivitas selanjutnya adalah bergerak pindah untuk mencari makanan pada pohon pakan. Variasi musim dan ketersediaan buah mempengaruhi aktivitas Orangutan (Mackinnon, 1974).

Penjelajahan adalah pergerakan (bergerak pindah) satwa dalam kutun waktu tertentu dan jarak tertentu. Jelajah harian adalah jarak yang ditempuh Orangutan, sejak meninggalkan sarang tidur (pagi) sampai kembali membuat sarang tidur (sore). Daerah jelajah adalah suatu daerah dimana Orangutan tertentu pernah dilihat dan bergerak pindah dalam kurun waktu tertentu. Di hutan dataran rendah Ketambe, TN Gn. Leuser, Aceh Tenggara, Sumatera, diketahui jantan dewasa bergerak lebih jauh per harinya (antara 600-1.000 m) daripada etina dewasa (600-700 m). Perbedaan jarak jelajah juga terlihat antara jantan berpipi dan jantan tidak berpipi, serta pada saat Orangutan berpasangan atau sendirian (soliter).

     Bila sendirian, jantan berpipi jarak jelajahnya lebih dekat (pendek), rata-rata 628,53 m/hari dibanding jantan tidak berpipi yang memiliki jarak jelajah lebih jauh mencapai 1033,9 m/hari. Sebaliknya, bila sedang berpasangan dengan betina dewasa, yang berpipi lebih jauh jarak jelajahnya (rata-rata 976,8 m/hari) dibandingkan dengan yang tidak berpipi hanya rata-rata 635,43 m/hari. Kondisi ini menunjukkan jarak jelajah harian Orangutan dewasa dipengaruhi oleh adanya Orangutan betina dan jantan berpipi lebih jauh penjelajahannya untuk mempertahankan betina tetap berada bersamanya.

     Daerah jelajah antar individu Orangutan saling tumpang tindih dan dapat melewati beberapa habitat, yaitu dari habitat (hutan) dataran rendah sampai perbukitan (Lelono, 1998). Orangutan memilih daerah jelajahanya berdasar kepentingan terkait produktivitas makan yang baik dan juga kepentingan reproduksi. Luas daerah jelajah Orangutan mencapai 900-1000 ha. Sedangkan hasil penelitian di hutan rawa Suaq Balimbing, TN Gn. Leuser, Aceh Selatan, daerah jelajah jantan minimum sekitar 2500 ha (Singletan dan van Schaik, 2001). Daerah jeajah ini dapat mendukung kehidupan sampai beberapa tahun, bahkan menggabungkn daerah jelajah dari dua atau lebih betina siap kawin, sehingga sering terjadi tumpang tindih daerah jelajah jantan betina (Sugardjito, 1986; Rodman, 1973; Rijksen, 1978, dan Rodman dan Mitani, 1987).

     Dari hasil penelitian jangka panjang tentang pola jelajahnya, secara umum ada 3 tipe Orangutan , yaitu:

  1. Penetap, individu yang sebagian besar waktunya dalam setiap tahun dihabiskan di kawasan tertentu (Rijksen, 1978). Biasanya mereka meguasai daerah jelajah sekitar 2-10 kilometer persegi dengan kualitas habitat yang tinggi dan umumnya mereka adalah individu dengan status sosial yang tinggi dan umumnya mereka adalah individu dengan status sosial yang tinggi (betina dewasa dan anaknya; jantan dewasa);
  2. Penglaju, individu yang secara teratur selama beberapa minggu atau beberapa bulan menetap di satu kawasan untuk kemudian pindah ke kawasan lain atau nomadis (umumnya jantan dewasa dan muda) (Rijksen dan Meijaard, 1999).

Menurut Galdikas (1982) dan Suhandi (1988) Orangutan berperan penting dalam keseimbangan ekosistem dengan memencarkan biji-biji dari dari tumbuhan yang penyebarannya tergantung oleh primata itu. Meskipun bukan mamalia terbang, Orangutan merupakan hewan arboreal yang berukuran besar, memiliki daerah jelajah yang luas, dan masa hidup pajang sehingga berperan penting dalam pemencaran biji.

     Sebagai makhluk hidup yang sangat tergantung pada keberadaan hutan, Orangutan dapat dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi. Oleh karenanya, Orangutan dapat dijadikan sebagai spesies payung (umbrella species) untuk konservasi hutan hujan tropis. Hutan yang dihuni Orangutan dengan kepadatan 1-5 ekor/km2 dapat menyediakan habitat bagi paling sedikit 5 jenis burung rangkong (hornbills), 50 jenis pohon buah-buahan, 15 jenis liana, dan berbagai jenis hewan lainnya.

Makanan Orangutan (skripsi dan tesis)

Pada kondisi alami, orangutan lebih banyak mengonsumsi buah dibandingkan jenis pakan lainnya. Saat ketersediaan buah menurun, orangutan juga mengonsumsi berbagai pakan lainyang dapat ditemui. Pakan lain yang dikonsumsi orangutan adalah daun, pucuk, bunga, epifit, liana, kulit kayu (Galdikas 1984; Sinaga 1992), dan tanah (Meijaard et al. 2001). Pada beberapa kasus, orangutan juga mengonsumsi kukang (Nycticebuscoucang) (Utami & van Hooff 1997). Di tempat yang liar, Orang utan sehari harinya mendiami hutan dan makanan pokoknya adalah buah- buahan, biji – bijian, dan daun–daunan hijau (Walker, 1954; villee et al., 1968; Sajuthi, 1983).

Distribusi Geografis dan Variasi Kepadatan Orang Utan (skripsi dan tesis)

 

Orang utan adalah satu – satunya genus kera besar di Asia yang masih hidup sampai sekarang. Genus ini terdiri dari dua spesies yaitu pongo pygmaeus  (orangutan Kalimantan) dan Pongo abelii (orangutan Sumatra). Bukti fosil menunjukan bahwa  Orang utan tersebar relatif besar, meliputi Jawa, beberapa daerah di wilayah Cina dan juga daerah sebarannya sekarang yaitu di pulau – pulau Kalimantan dan sumatera (Hooijer, 1960 dalam Galdikas, 1984). Selain itu, spesies fosil, P. hooijeri, ditemukan di daerah Vietnam, dan beberapa fosil subspesies ditemukan dibeberapa bagian Asia tenggara. Tidak dijelaskan lebih lanjut apakah ini milik P. pygmaeus atau Abeli P. atau, pada kenyataannya, merupakan spesies yang sama sekali berbeda.

Di Sumatera, Orang utan dijumpai di bagian ujung utara pulau tersebut. Di Kalimantan Orang utan lebih luas tersebar (Galdikas, 1984). Orangutan ditemukan di wilayah hutan hujan tropis di Asia Tenggara, yaitu di pulau Kalimatan dan Sumatra, kawasan Indonesia dan Malaysia. Mereka biasa tinggal di pepohonan lebat dan membuat sarangnya dari dedaunan. Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan hujan tropis, perbukitan dan dataran rendah, sekitar daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo, orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatra dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl.

Orangutan Sumatra (Pongo abelii) merupakan salah satu hewan endemis yang hanya ada di Sumatra. Orangutan di Sumatra hanya menempati bagian utara pulau itu, Keberadaan hewan mamalia ini dilindungi Undang-Undang 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan digolongkan sebagai Critically Endangered oleh IUCN. Dari catatan pemerintah Indonesia dalam Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia, Populasi orangutan liar di Sumatra diperkirakan sejumlah 6.667. Padahal pada era 1990 an, diperkirakan 200.000 ekor (Nellemann, C et.al, 2007). Populasi mereka terdapat di 13 daerah terpisah secara geografis. Kondisi ini menyebabkan kelangsungan hidup mereka semakin terancam punah. (Groves Colin. et al, 2005 ).

Sementar itu, Orangutan di Borneo dikategorikan sebagai endangered spesies oleh IUCN terbagi dalam tiga subspesies: Pongo pygmaeus pygmaeus yang berada di bagian utara Utara Kapuas sampai ke timur laut Sarawak; Pongo pygmaeus wurmbii yang ditemukan mulai dari selatan Sungai Kapuas hingga bagian barat Sungai Barito; dan Pongo pygmaeus morio yang ditemukan di daerah Sabah dan bagian Kalimantan timur. Data pemerintah Indonesia dalam Rencana Aksi Konservasi Orangutan tahun 2007 menyebutkan jumlah populasi orangutan Pongo pygmaeus  sebanyak kurang lebih 54.000 saja dengan jumlah terbanyak sub spesies P.p. wumbii di Kalimantan Tengah, dengan kelompok kawasan terbanyak di Taman Nasional Sebangau. Sebanyak 32.000 Orangutan dijumpai di hutan gambut di sebelah Utara Sungai Kapuas tetapi populasi tersebut tidak berada di dalam sebuah habitat yang berkesinambungan, melainkan tersebar ke dalam berberapa kantong habitat dengan ukuran populasi yang berbeda-beda. Populasi orangutan ini sangat terkait dengan perubahan hutan di Kalimantan. Kerusakan hutan yang cukup tinggi di Kalimantan menyebabkan banyak habitat orangutan yang hilang.

Tabel 2.1 Tabel Perkiraan Jumlah dan Wilayah Sebaran Sub Spesies Orang Utan Di Indonesia

Sumber:  Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017)

Distribusi orangutan lebih ditentukan oleh faktor ketersediaan pakan yang disukai daripada faktor iklim. Orangutan termasuk satwa frugivora (pemakan buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga, dan terkadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.000 spesies tumbuhan, jamur dan hewan kecil yang menjadi pakan orangutan.

Kepadatan orangutan di Sumatera dan Kalimantan bervariasi sesuai dengan ketersediaan pakan. Densitas paling tinggi terdapat di daerah dataran banjir (flood-plain) dan hutan rawa gambut. Di Borneo terdapat 4 lokasi yang memiliki densitas rata-rata 2,9 ± 0,5 individu per Km2 . Sementara itu, di Sumatera terdapat 3 lokasi dengan densitas rata-rata 6,2 ± 1,4 individu per Km2. Daerah alluvial merupakan daerah dengan densitas tertinggi kedua, dengan 6 lokasi di Borneo yang memiliki rata-rata densitas 2,3 ± 0,8 individu per Km2 , dan 3 lokasi di Sumatera dengan rata-rata densitas           3,9 ± 1,4 individu per Km2. Di hutan perbukitan, orangutan ditemukan dalam densitas yang jauh lebih rendah dibandingkan kedua tipe hutan yang telah disebutkan sebelumnya (di Borneo rata-rata densitas 0,6 ± 0,4 individu per Km2   dan di Sumatera rata-rata 1,6 ± 0,5 individu per Km2).

Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo Orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pgunungan pada 1.000 m dpl.

Kepadatan Orangutan, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, menurun drastis dengan bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut. Meskipun ada laporan yang menyatakan individu Orangutan jantan soliter Sumatera dapat ditemukan sampai ketinggian 1.500 m dpl, sebagian besar populasi Orangutan dijumpai jauh di bawah ketinggian itu, yaitu di hutan rawa dataran rendah. Sayangnya, tipe-tipe hutan itulah yang menjadi target utama pembangunan industri kehutanan dan pertanian, sehingga tidak mengherankan jika konflik antara manusia dan Orangutan juga sering terjadi di sana.

Distribusi Orangutan lebih ditentukan oleh faktor ketersediaan pakan yang diskai daripada faktor iklim. Orangutan termasuk satwa frugivora (pemakan buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga, dan terkadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.000 spesies tumbuhan, jamur dan hewan kecil yang menjadi pakan Oarngutan.

Kepadatan Orangutan di Sumatera dan Kalimantan bervariasi sesuai dengan ketersediaan paka. Densitas paling tinggi terdapat di daerah dataran banjir (flood-plain) dan hutan rawa gambut. Di Borneo terdapat 4 lokasi yang memiliki densitas rata-rata 2,9 ± 0,5 individu per km2. Sementara itu, di Sumatera terdapat 3 lokasi dengan densitas rata-rata 6,2 ± 1,4 individu per km2. Daerah aluvial merupakan daerah dengan densitas tertinggi kedua, dengan 6 lokasi di Borneo yang memiliki rata-rata densitas 2,3 ± 0,8 individu per km2, dan 3 lokasi di Sumatera dengan rata-rata densitas 3,9 ± 1,4 individu per km2. Di hutan perbukitan, Orangutan ditentukan dalam densitas yang jauh lebih rendah dibandingkan kedua tipe hutan yang telah disebutkan sebelumnya (di Borneo rata-rata densitas 0,6 ± 0,4 individu per km2 dan di Sumatera rata-rata 1,6 ± 0,5 individu per km2).

Populasi dan Habitat Orangutan (skripsi dan tesis)

Orangutan sangat tergantung pada hutan hujan tropis yang menjadi habitatnya, mulai dari hutan dataran rendah, rawa, kerangas hingga hutan pegunungan dengan ketinggian lebih kurang 1.800 m dpl (Rijksen, 1978). Menurut Payne (1988) dan van Schaik dkk. (1995) Orangutan hidup di dataran rendah dan kepadatan tertinggi terdapat pada ketinggian sekitar 200-400 m dpl.

     Orangutan ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara, yaitu di Pulau Borneo dan Sumatera di wilayah bagian negara Indonesia dan Malaysia. Mereka biasa tinggal di pepohonan lebat dan membuat sarangnya dari dedaunan. Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan.

     Di Borneo Orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat menapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl. Di Kalimantan, batas ketinggian komunitas Orangutan berada pada sekitar 500-800 m dpl. Akan tetapi, Orangutan di Sumatera terutama jantan dewasa, terkadang dapat ditemukan di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1.500 m dpl. Menurut Corner (1978) batas ketinggian ini mungkin lebih mencerminkan ketersediaan pakan yang disukai daripada faktor iklim.

     Orangutan Sumatera (Pongo abelii lesson) merupakan salah satu hewan endemis yang hanya ada di Sumatera. Orangutan di Sumatera hanya menempati bagian utara pulau itu, mulai dari Timah Gajah, Aceh Tengah sampai Sitinjak di Tapanuli Selatan. Keberadaan hewa mamalia ini dilindungu Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan digolongkan sebagai ‘Critically Endangered’ oleh IUCN. Di Sumatera, salah satu populasi Orangutan terdapat di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru, Sumatera Utara. Populasi Oragutan liar di Sumatera diperkirakan sejumlah 7.300. Di DAS Batang Toru 380 ekor dengan kepadatan populasi sekitar 0,47 sampai 0,82 ekor per kilometer persegi. Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii lesson) kini diperkirakan 7.500 ekor. Padahal pada era 1990-an, diperkirakan 200.000 ekor. Populasi mereka terdapat di 13daerah terpisah secara geografis. Kondisi ini menyebabkan kelangsungan hidup mereka semakin terancam punah. Saat ini hampir semua Orangutan Sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu Sarula Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Populasi Orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu). Populasi lain yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang (viable) terdapat di Batang Toru, Sumatera Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu.

No Unit Habitat Perkiraan Jumlah Orangutan Blok Habitat Hutan Primer (km2) Habitat Orangutan (km2)
1 Seulawah 43 Seulawah 103 85
2 Aceh Tengah Barat 103 Beuntung (Aceh Barat) Inge 1297

352

261

10

3 Aceh Tengah Timur 337 Bandar-Serajadi 2117 555
4 Leuser Barat 2508 Dataran Tinggi Kluet (Aceh Barat Daya)

G.Leuser Barat

Rawa Kluet

G.Leuser/Demiri Mamas-Bengkung

 

1209

 

1261

125

358

1727

 

934

 

594

125

273

621

5 Sidiangkat 134 Puncak Sidiangkat/Bukit Ardan 303 186
6 Leuser Timur 1052 Tamiang

Kapi dan Hulu Lesten

Lawe Sigala-gala

Sikundur-Langkat

1056

592

680

1352

375

220

198

674

7 Rawa Tripa 280 Rawa Tripa (Babahrot) 140 140
8 Trumon-Singkil 1500 Rawa Trumon-Singkil 725 725
9 Rawa Singkil Timur 160 Rawa Singkil Timur 80 80
10 Batang Toru Barat 400 Batang Toru Barat 600 600
11 Sarulla Timur 150 Sarulla Timur 375 375
Total 6667   14452 7031

Tabel 1. Perkiraan Luas Habitat dan Jumlah Orangutan di Sumatera

(Sumber : PHVA, 2004 dan revisi PHVA, 2004; Wich dkk, 2008)

 

Di Borneo, Orangutang tersebar hampir di seluruh pulau, kecuali di daerah yang bergunung tinggi dan dataran rendah yang banyak dihuni manusia. Orangutan terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Di Kalimantan Selatan, Orangutan tidak jumpai. Hal ini diduga karena gangguan habitat dan perburuan oleh manusia yang telah berlangsung lama atau penyebaran Orangutan tidak pernah mencapai pegunungan Mertatus (Rijksen dan Meijaard, 1999). Di Sebangau sendiri, sebaran Orangutan cenderung berada di radius sekitar 5 km dari pinggir sungai (Husson dan Morrogh-Bernard, 2003; Ancrenaz, 2007).

Orangutan di Borneo yang dikategorikan sebagai ‘endangered’ oleh IUCN terbagi dalam tiga subspecies: Orangutan di Borneo dikelompokkan ke dalam tiga anak jenis, yaitu Pongo pymaeus pygmaeus yang berada di bagian utara Sungai Kapuas sampai ke timur laut Sarawak; Pongo pygmaeus wurmbii yang ditemukan mulai dari selatan Sungai Kapuas hingga Barat Sungai Barito; Pongo pymaeus morio, diperkirakan scara total populasi liarnya di alam hanya 45.000 gingga 69.000. Di Borneo, Orangutan dapat ditemukan di Sabah, Sarawak, dan hampir seluruh hutan dataan rendah Kalimantan, kecuali Kalimaantan Selatan dan Brunei Darussalam.

No. Sub Spesies dan Nama Lokasi Area (km)2 Perkiraan Populasi Orangutan
A Pongo pygmaeus pygmaeus    
1 Batang Ai (Sarawak) 240 119-580
2 Lanjak Entimau (Sarawak) 1688 1024-1181
3 Betung Kerihun 4500 1330-2000
4 Danau Sentarum 1090 500
5 Rawa Kapuas Hulu (Selat Sungai Kapuas, utara Melawi) T? ?
  Total < 7500 3000-4500
B Pongo pygmaeus wumbii    
1 Gunung Palung 900 2500
2 Bukit Baka 350 175
3 Bukit Rongga & Parai 4200 1000
4 Tanjung Putting 4150 6000
5 Lamandau 760 1200
6 Mawas 5010 3500
7 Sebangau 5780 6900
8 Ketingan 2800 3000
9 Rungan Kahayan 2000 1000
10 Arut Belantikan 5100 6000
11 Seruyan 3000 1000
12 Bukit Raya 500 500
13 Sei. Kahayan & Sei Sambah 1500 1000
14 Sei. Sambah & Sei Katingan 1000 500
15 Sebangau Kahayan 700 700
16 Kahayan Kapuas 4000 300
17 Tanjung Keluang 2000 200
18 Cagar Alam Pararaum 500 >500
19 Cagar Alam B. Spt >2000 >500
  Total >46250 >34975
C Pongo pygmaeus morio    
1 Taman Nasional Kutai    
2 DAS Lesan (termasuk Hutan Lindung Sungai Lesan) 750 600
3 DAS Kelai (incl. Gunung Gajh, Wehea, dan beberapa areal HPH) 500 400
4 Sanggata-Bengalon & Muara Wahau sangat terfragmentasi Highly Fragmented

3500

175

100

5 DAS Segah 300+ 200
6 Samarinda, Muara Badak, Marang Kayu 1500 750
7 Pegunungan Kapur Sangkulirang/Mangkalihat 500 100
8 Rawa Sebuku/Sembakung    
  Total 10750 7825

Tabel 2. Perkiraan Luas Habitat dan Jumlah Orangutan di Kalimantan

(Sumber: PHVA, 2004 dan revisi PHVA, 2004; Wich dkk, 2008).

Morfologi Orangutan (skripsi dan tesis)

     Istilah Orangutan diambil dari bahasa Indonesia dan/atau bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pedek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor. Orangutan berukuran 1-1,4m untuk jantan, yaiu 2/3 kali ukuran seekor Gorila. Tubuh Orangutan diselimuti rambut merah kecoklatan. Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi. Orangutan jantan memiliki pelipis yang gemuk. Mereka mempunyai indera yang sama dengan manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba. Telapak tangan mereka mempunyai 4 jari panjang ditambah 1 ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia (Wikipedia, 2006).

     Menurut WWF Indonesia (2003), uraian fisik Orangutan Borneo adalah sebagai berikut:

  1. Rambut di wajah Orangutan Borneo lebih sedikit ketimbang Orangutan sanak mereka di Sumatera.
  2. Memiliki tangan yang sangat panjang yang dapat mencapai 2 m panjangnya.
  3. Kakinya relatif pendek dan lemah, tetapi lengan dan tangannya sanga kuat.
  4. Merupakan mamalia pemanjat pohon terbesar, yang bergerak dari satu pohon ke pohon lain, dimana mereka tidak mau menuruni pohon untuk ssampai di tanah.
  5. Jantan dewasa dibedakan karena ukurannya yang besar, kantong tenggorokan dan bantalan pipi di setiap sisi wajahnya.
  6. Bergerak dengan tangan yang mengepal di tanah.
  7. Panjang tubuh lebih kurang 1,25 sampai dengan 1,5 m.
  8. Berat dewasa 30 sampai 50 kg untuk betina dan 50 sampai dengan 90 kg untuk jantan.
  9. Bulunya berwarna coklat keerahan (tengguli).

Identifikasi di lapangan, pola warna pada umumnya tengguli, bervariasi dari jingga sampai tengguli tua pada individu jantan. Sering terdeteksi melalui suara jeritan yang berbunyi seperti suara sendawa panjang yang dikeluarkan oleh jantan dewasa. Bersifta diurnal dan biasanya arboreal juga termasuk hewan yang soliter (Payne J. dkk., 2000).

Secara morfologi, Orang utan Sumatera (Pongo abelii) dan Orang utan Sumatera (Pongo pygmeus) sangat serupa, sekalipun kedua spesies tersebut kerapkali dapat dibedakan berdasarkan warna bulunya (Napier dan Napier, 1967 dalam Galdikas, 1984). Orang utan Kalimantan khususnya bila telah dewasa mengarah kepada warna coklat kemerah – merahan. Sedangkan Orang utan Sumatera berwarna lebih pucat. Perbedaan warna bulu ini dapat digunakan sebagai penuntun kasar. Orang utan Sumatera kadang – kadang mempunyai bulu putih pada bagian muka. Selain itu bulu Orang utan Sumatera lebih lembut dan lemas, sedangkan bulu Orang utan Kalimantan jarang–jarang dan terasa kasar (Galdikas, 1984).    Orangutan (atau Orang utan, nama lainnya adalah mawas) adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kmerahan, kadang scokelat, yang hidup di Indonesia dan Malaysia. Primata ini memiliki 3 kerabat lain yang termasuk dalam suku Pongidae atau Kera Besar (Great ape), yaitu Gorila, Simpanse, dan Bonobo, dan ketiganya hanya terdapat di Benua Afrika. Orangutan di Indonesia dibagi ke dalam 2 spesies yang berbeda, yaitu Pongo abelii yang trdapat di pulau Kalimantan dan Malaysia atau sering disebut Pulau Borneo. Di Pulau Borneo sendiri, spesies Pongo pygmaeus sendiri terbagi lagi ke dalam tiga subspesies, yaitu Pongo pygmaeus wurmbii, Pongo pygmaeus morio dan Pongo pygmaeus pygmaeus.

Ukuran tubuh Orang utan yaitu tinggi tubuh 4,5 kaki dan rentangan kedua lengannya sepanjang 92 inchi. Orang utan betina umumnya bertubuh lebih pendek daripada Orang utan jantan (Walker, 1954). Tangannya lebih panjang daripada kakinya dan memiliki genggaman yang kuat. Telapak tangannya yang memanjang dengan ibu jari yang pendek digunakan sebagai pengait saat mereka bergelantungan di pepohonan (villee et al., 1968).

Berat badan antara kedua sub spesies Orang utan tersebut tidak ada perbedaan yang nyata. Berat badan Orang utan Sumatera maupun Orang utan Kalimantan betina rata–rata adalah 37 kg, sedangkan berat badan Orang utan Sumatera yang jantan rata–rata 66 kg dan Orang utan Kalimantan 73 kg (Galdikas, 1984).

Orangutan memiliki rentang lengan yang sangat besar. Orangutan jantan    dewasa meregangkan tangannya hingga sekitar 7 kaki (2 meter) dari ujung jari ke ujung jari, jangkauan ini lebih panjang dibandingkan dengan tinggi orangutan berdiri, yaitu sekitar 5 kaki (1,5 meter). Ketika orangutan dalam posisi berdiri, tangan mereka hampir menyentuh tanah. Lengan orangutan sangat cocok untuk pola hidup mereka, karena orangutan menghabiskan banyak waktu mereka  di atas pohon (arboreal).  Orangutan lebih soliter daripada kera lainnya. Laki-laki penyendiri. Ketika mereka bergerak melalui hutan mereka membuat banyak gemuruh, melolong panggilan untuk memastikan bahwa mereka tetap keluar dari jalan masing-masing. The “long call” dapat didengar 1,2 mil (2 kilometer) jauhnya.

Berdasarkan analisis DNA Orangutan memiliki 97% kesamaan genetic dengan manusia. Kesamaan genetiknya dengan manusia menyebabkan mudah terjadi penularan penyakit dari Orangutan ke manusia maupun sebaliknya (zoonosis), di antaranya hepatitis (A,B,C), tuberkulosis, herpes, malaria, dan tifus. Di Indonesia telah ditemukan beberapa Orangutan sdengan SIV (Simian Immunodeficiency Virus) yang sangat mirip dengan HIV. Penularan penyakit zoonosis ini bisa terjadi apaila kita memakan daging Orangutan, kontak langsung melalui air liur, cairan tubuh lain, kotoran dan udara, terutama sapabila kita memelihara Orangutan. Hampir lebih dari 70% Orangutan liar yang dieselamatkan dari hutan di sekitar perkebunan kelapa sawit diketahui terinfeksi parasit cacing “strongloides” (cacing pari-paru) yang larvanya dapat membunuh satwa dan mmenginfeksi manusia melalui pori-pori kulit.

Taksonomi Orangutan (skripsi dan tesis)

     Orangutan termasuk hewan vertebrata, yang berarti bahwa mereka memiliki tulang belakang. Orangutan juga termasuk hewan mamalia dan primata. Orang utan termasuk dalam ordo Primata. Berdasarkan teori evolusi, nenek moyang Ordo Primata adalah binatang pemakan serangga atau insektavora. Hampir dari seluruh ordo Primata hidup didaerah tropis dan hanya beberapa spesies dari Carcopithecidae yang hidup didaerah subtropics. Ordo primata terdiri dari dua sub ordo yaitu Simiae dan Arthropoidae. Orang utan termasuk dalam ordo Simiae (Sajuthi, 1983). Menurut Grzimex (1972), Orang utan atau Pongo pygmeus termasuk : kelas  Mamalia, subkelas Eutheria, ordo Primata Sub ordo simiae, infra ordo catarrhina, super family pongidae, family homminoidae, genus pongo dan spesies Pongo pygmeus. Klasifikasi Orangutan menurut Ciszek dan Schommer (1999) adalah sebagai berikut:

            Kingdom         : Animalia

            Phylum            : Chordata

            Subphylum      : Vertebrata

            Class                : Mammalia

            Order               : Primates

            Suborder         : Haplorhini

            Family             : Homonidae

            Subfamily        : Pongidae

            Genus              : Pongo

            Species            : Pongo abelii lesson (Sumatera)

                                     Pongo pymaeus (Borneo)

            Subspecies       : Pongo pygmaeus pymaeus

                                     Pongo pygmaeus wurmbii

                                     Pongo pygmaeus morio

Para ahli zoology masih mempertanyakan apakah ada dua spesies yaitu Pongo pygmeus di Kalimantan dan Pongo abelii di Sumatera, atau hanya satu spesies Pygmeus dan yang berada di Sumtera diakui sebagai Sub Spesies Abelii (Walker, 1954). Menurut Sajuthi (1983), genus Pongo hanya terdiri dari satu spesies yaitu Pongo pygmeus. Menurut Napier dan Napier (1967) seperti yang dikutip oleh Galdikas (1984), spesies tersebut terdiri dari dua sub spesies yaitu Pongo pygmeus abelii (Orang utan Sumatera) dan Pongo pygmeus pygmeus (Orang utan Kalimantan). Dua spesies di dua pulau ini sebelumnya diklasifikasikan dalam subspesies, hingga saat ini keduanya menjadi spesies yang berbeda. Penelitian lanjut pada kelompok populasi orangutan di Kalimantan, menghasilkan Orangutan kalimantan (pongo pygmaeus) dikelompokkan dalam tiga sub spesies yang berbeda yaitu Pongo pygmeus wumbii, Pongo pygmeus pygmaeus dan Pongo pygmeus morio (Singleton et al. 2004).

The Asian Primate Classification yang diterbitkan oleh Brandon Jones et al. (2004) menyebutkan bahwa hanya ada dua subspesies orangutan, yakni Pongo pygmeus wumbii  dan Pongo pygmeus pygmaeus. Akan tetapi, pada PHVA orangutan terakhir (Singleton et al. 2004) ditambahkan satu lagi satu subspesies, yakni Pongo pygmeus morio. Warren et.al (2001) menggunakan analisa kontrol DNA pada mitokondria pada enam sample populasi orangutan yang berbeda, dan mengidentifikasi adanya empat sub populasi yang berbeda dengan keragaman wilayah geografis dan klaster teretentu. yaitu: (1) Kalimantan bagian barat daya dan tengah. (2) Kalimantan bagian barat laut dan Sarawak, (3) sabah dan (4) Kalimantan bagian timut. Berdasarkan penelitian subspesies oleh Waren diketahui jika dikorelasikan empat sub populasi ini dengan tiga sub spesies diatas, didapatkan sub populasi orangutan dikawasan Taman Nasional Sebangau Kalimantan tengah adalah orangutan sub spesies Pongo pygmeus wumbii.

Kerapatan dan Persebaran Tumbuhan Damar (skripsi dan tesis)

            Kerapatan suatu jenis didefinisikan sebagai jumlah unit tumbuhan per unit area. Obyek yang dihitung dapat berupa seluruh atau sebagian tumbuhan, tergantung jenis dan morfologi tumbuhan yang bersangkutan. Kerapatan suatu jenis ditentukan oleh kemampuan jenisyang bersangkutan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan tempat tumbuhnya. Atau dengan kata lain bahwa kerapatan suatu jenis ditentukan oleh faktor lingkungan, yang meliputi tapak (keadaan tempat tumbuh), tanah, kelembapan udara, suhu, api, angin, cahaya, api, topografi, serta adanya kompetisi dengan jenis lain dan hubungan dengan dengan organisme-organisme lain (binatang pemakan biji, naungan, maupun asosiasi dengan jenis lain) (Soerianeara dan Indrawan, 2005). Kerapatan selum sepenuhnya bisa menggambakan sebaran populasi dalam sebuah habitat dengan lengkap. Adakalanya dua populasi mempunyai kerapatan yang sama tapi sangat berbeda dalam sebarannya. Oleh karena itu, selain diketahui nilai kerapatan suatu jenis perlu juga diketahui sebaran jenis dalam haitat yang bersangkutan (Prihadi, 1988).

            Frekuensi merpakan perbandingan banyaknya petak yang terisi oleh suatu jenis tertentu terhadap jumlah petak-petak seluruhnya, yang biasa dinyatakan dalam persen, dan merupakan ukuran dari uniformitas atau regularitas terdapatnya jenis tertentu dalam tegakan (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Nilai Frekuensi Relatif dari suatu jenis menunjukkan persebaran jenis tersebut pada habitatnya. Jenis-jenis yang menyebar secara luas akan mempunyai jenis tersebut pada habitatnya. Jenis-jenis yang menyebar secara luas akan mempunyai nilai Frekuensi Relatif yang tinggi, dan sebaliknya jenis-jenis yang penyebarannya sempit akan mempunyai nilai Frekuensi Relatif yang rendah (Indriyanto, 2006).

            Persebaran (dispersal) merupakan proses pengangkatan secara aktif (dinamis). Persebaran biji mempunyai 2 tujuan pokok, yaitu untuk mempertahankan jenis dan untuk mengembangkan atau memperluas areal jenis, (Van der Pijl, 1990). Pengetahuan tentang persebaran tumbuhan perlu diketahui yang lebih besar dari pada rata-rata kerapatan jenis per unit area (Ludwig dan Reynolds, 1988).

            Persebaran suatu makhluk (dalam hal ini tumbuhan) menurut Radjiman (1990) dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya :

  • Kemampuan tumbuhan untuk menghasilkan individu, baik secara vegetatif maupun generatif, dan daya tumbuh.
  • Cara pemencaran dan tuntutan terhadap lingkungan.
  • Faktor yang menghambat dan mendukung.
  • Daya adaptasi tumbuhan terhadap lingkungan

Permudaan Tanaman Damar (skripsi dan tesis)

Tumbuhan akan melakukan regenerasi untk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam proses regenerasi ini, individu baru akan disebarkan secara alami maupun buatan. Permudaan merupaka satu proses peremajaan kembali dai pohon-pohon penyusun tegakan yang telah mati secara alami atu dipanen oleh manusia atau dapat pula diartika sebagai suatu metode penghutanan kembali (Baker, 1950).  Ada dua jenis permudaan, yaitu permudaan alam (natural regeneration) dan permdaan buatan (artificial regeneration).

Permudaan alam, sesuai dengan namanya merupakan suatu proses peremajaan kembali dari suatu tegakan hutan ang terjadi secara alami. Permudaan ini sangat mengandalkan alam untuk pertumbuhan hutan selanjutnya. Namun, bukan berarti tidak diperlukan campur tangan manusia di dalam pengelolaannya (Marsono dan Djuwadi, 1996).

Keuntungan yang didapat dari permudaan alam yaitu mudah, murah, dan sedikit tindakan silvikultur. Sedangkan kerugiannya yaitu kemngkinan kelebihan atau kekurangan biji dan persebaran biji yang tidak merata. Intervensi manusia yang dilakukan antara lain melakukan kontrol terhadap jumlah, persebaran, dan kualitas terhadap pohon induk, serta melakukan penyiapan lingkungan media tumbuh (Daniel dkk., 1992).

Permudaan dikatakan berhadsil apabila tumbuhan baru sudah dapat melewati tahapan kritis yang biasanya terjadi pada saat masih dalam bentuk embrio dalam biji atau pada saat tanaman masih dalam fase semai yang masih lemah. Tingkat keberhasilan suatu permudaan alam sangat ditentukan oleh tiga faktor, yaitu ketersediann biji yang mencukupi (seed supply), lingkungan mikro yang sesuai (seed bed), dan lingkungan makro yang kondusif (Baker, 1950). Ketiga faktor tersebut biasa disebut dengan Segitiga / Triangulasi Permudaan alam (Lihat Gambar 1.)

 Keberhasilan permudaan alam menurut Thojib (1995) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu proses pembuangan, proses pembuahan, fenoloi biji, persebaran biji, proses perkecambahan, dan adaptasi biji pada tempat tumbuhnya yang baru.

  1. Proses Pembuangan

     Proses ini diawali dengan cukupnya produksi hormon, enzim, vitamin, dan gen-gen lain yang berperan di dalam proses pembuangan oleh tanaman. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan lingkungan secara menyeluruh. Faktor lingkungan yang berpegaruh terhadap proses ini antara lain penyinaran (intensitas cahaya), kelembapan tanah, dan udara serta ketersediaan nutrisi.

  1. Proses Pembuahan

     Proses ini diawali dengan adaya proses penyerbukan pada bunga yang dapat berlangsung dengan sendiri atau dengan bantuan agen penyerbuk, yang dapat berupa faktor abiotik (angin dan air) maupun faktor biotik (hewan dan manusia).

  1. Fenologi

     Fenologi merupakan proses terbentuknya biji sebagai calon indivdu baru dari awal pembentukan bunga sampai dengan biji masak dan siap untuk berkecambah.

  1. Persebaran biji

                 Secara alami, biji-biji yang telah masak akan jatuh karena daya tarik bumi lebih besar dari pada daya untuk memperahankanna. Dengan demikian, secara teoritis biji-biji tersebut akan mengelompok di sekitar pohon induk.

Ekologi Tanaman Damar (skripsi dan tesis)

  1. Iklim

Tanaman damar memerlukan iklim basah sepanjang tahun dengan tahun dengan curah hujan 3.000 sampai 4.000 mm pertahun yang terbagi merata seluruh tahun. Curah hujan yang lebih kecil dari 60 mm perbulan selama tiga bulan terus menerus sudah dapat mengakibatkan kematian pohon damar terutama waktu muda. Dengan demikian musim kering yang dapat dialaminya adalah yang basah atau agak basah dimana masih ada 30 hari hujan selama 4 bulan yang paling kering. Ketinggian tempat pertumbuhan adalah antara 300 sampai 1200 meter dari permukaan laut (Direktoral Reboisasi dan Rehabilitasi, 1979).

  1. Tanah

Pohon damar tumbuh baik pada lereng-lereng gunung yang drainasenya baik dan iklim yang serasi. Tempat tumbuh yang baik untuk tanaman damar adalah tanah-tanah yang sebelumnya merupakan tempat tumbuh hutan hujan tropika pegunungan (Team Reboisasi, 1971). Pohon ini tidak dapat tumbuh pada tanah yan becek atau rawa. Damar menghendaki tanah yang subur dan tidak dangkal (Karjono dan Riyanto, 1979). Kebutuhan akan ksigen agak tinggi. Menurut penelitian, tanaman muda yang perakarannya di masukkan ke dalam air akan mati dalam waktu 16 hari. Di Batrraden yang merupakan daerah pusat tanaman damar, diketahui nilai pH tanahnya 5,9 sampai 6,9. Jenis ini tidak tahan terhadap alang-alang atau tanah yang kurang terbuka.

Botani dan Morfologi Tanaman Damar (skripsi dan tesis)

Botani Tanaman Damar

  1. Sistematika

Menurut Manuputty (1955) dan Soenarto (1989), tanaman damar mempunyai sistematika sebagai berikut:

Kingdom         : Plant

Divisio             : Spermatophyta

Class                : Gymnospermae

Sub class         : Dicotyledoneae

Ordo                : Araucarales

Family             : Araucariaceae

Genus              : Agathis

Spesies            : Agathis spp

  1. Morfologi

Morfologi tanaman damar adalah sebagai berikut:

1)      Akar

Menurut Team Reboisasi (1971), pada tumbuhan muda selaluterdapat suatu akar tunggang yang besar dan akar-akar mendatar yang kecil-kecil dan baru setelah pohon mulai dewasa dikembangkan akar-akar tenggelam (zinkers) dan akar-akar mendatar yang kuat. Sistem perakaran damar terdiri dari dua bagian yaitu akar mendatar yang dalamnya hanya beberapa decimeter tetapi memancar jauh kesegala arah dan akar tunggang berbentuk kerucut dikelilingi akar-akar tenggelam besar yang tumbuh lurus ke bawah, tepat di bawah batang. Pada pohon dewasa panjang akar tunggang sekitar 3 meter dan akar mendatar sampai lebih 10 meter, tetapi tidak banyak diketemukan akar-akar cabang yang halus.

2)      Batang

Damar termasuk pohon besar, tingginya mencapai 60 meter, dan diameter setinggi 150 cm samapai 200 cm (Direktur Jendral Kehutanan, 1976). Batang tanaman damar monopodial lurus, kadang sedikit berputar berputar, tidak berbanir, kulit kayu setebal 1 sampai 2 cm berwarna cokelat kelabu. Tajuk tidak lebar, berbentuk kerucut, dan sangat rapat pada pohin muda, menjadi aak jarang dan sedikit mendatar bila sudah tua. Pada pohon-pohon muda cabang-cabangnya jelas melingkari batang (Team Reboisasi, 1971).

3)      Daun

Tanaman damar berdaun tunggal, kedudukanya berpasangan, tetapi pada rantingranting muda daunnya berkumpul pada ujungnya. Bentuk daun pipih, bulat telur, atau bulat panjang, sampai lancet. Perbandingan lebar dan panjang 1:3 sampai 1:6. Tangkai daun jelas kelihatan Permukaan daun sebelah bawah. Panjang daun 7,5 sampai 12 cm, lebar 2 sampai 3,5 cm (Team Reboisasi, 1971 dan Kehutanan Indonesia, 1987).

4)      Bunga

Bunga damar berjenis dua. Bunga jantan terdapat di ujung (axillair) dari dahan-dahan pendek atau di ketiak daun. Bertangkai pendek berbentuk silinder. Panjang 3 sampai 5 cm, diameter 15 mm. Sisik-sisiknya seperti sendok makan, susunannya tidak seperti atap genteng. Bunga betina berbentuk bulat, panjang 6 sampai 8 cm, diameter 6 sampai 7 cm, sisiknya tersusun seperti atap genteng dengan ujung yang bersehi tiga (Kehutanan Idonesia, 1987).

5)      Buah

Tanaman damar berbunga sepanjang tahun dan berbuah terutama dalam bulan Februari-April dan Agustus sampai Oktober (Direktorat Jendral Kuhutanan, 1976). Menurut Team Reboisasi (1971), buah berbentuk conus yang khas, sisik berlapis seperti atap genteng (imbricubus) dan membentuk suatu apiral mengelilingi poros berbentuk gada yang berdaging tebal. Selanjutnya menurut Direktorat Jendral Kehutanan (1976), runjung-runjung (conus) yang cukup masak, waktu diiris benih berwarna coklat. Dari sekitar 190 conus besar atau 377 conus kecil diperoleh 1 kg benih atau 7.950 buah benih.

6)      Biji

Biji tanaman damar berbentuk telur terbalik dengan panjang 10 sampai 11 mm lebar 8 mm, dan bersayap. Biji yang segar daya kecambahnya 90 sampai 100 persen dan setelah disimpan satu minggu turun menjadi 80 sampai 90 persen. Biji yang kering angin cepat sekali turun daya kecambahnya turun menjadi 80 sampai 90 persen. Biji yang kering akan cepat sekali turun daya kecambahnya. Setelah 14 hari daya kecambanhya turun sampai 40 persen dan seteah 6 minggu tidak dapat berkecambah lagi (Team Reboisasi, 1971).

Daerah Asal dan Peyebaran Tanaman Damar (skripsi dan tesis)

Nama Agathis loranthifolia Saliab, diberikan oleh Salisburi berdasarkan materi yang dikumpulkan dari tanaman damar di Pulau Jawa yang dulu bibitnya berasal dari Maluku Selatan (Ambon) yang ditanam di Pulau Jawa pada pertengahan abad XIX, ang dikembangkan di daerah Bogor (Karjono dan Riyanto, 1979).

            Materi yang dikumpulkan dari Ambon kebanyakan namanya damar putih dan hanya satu nomor yang dikumpulkan dengan nama dammar merah. Pada permulaan nomor-nomor herbarium di Ambon dideterminasi sebagai A. alba Foxw. A. dammara Rich., kemudian ssemua diganti menjadi Aalba Foxw. dan akhirnyasau nomor yag mempunyai nama daerah damar merah diganti determinasinya menjadi Agathia loranthifolia. Damar merah yang determinasinya adalah Agathis loranthifolia di daerah asalnya dikumpulkan oleh Dr. P. Buwalda pada tempat yang tingginya sekitar 300 meter dari permukaan laut dan tumbuh pada tempat yang miring dalam hutan alam. Sejak kurang lebih satu abad yang lalu bibit pohon damar yang pertama didatangkan dari Ambon dan ditanam sebagai pohon peneduh tepi jalan di Sukabumi. Antara tahun 1892 dan 1895 dari benih yang dikumpulkan dari pohon tersebut telah dibuat suatu tanaman percobaan di perkebunan Teh Suka bumi (Team Reboisasi, 1971).

            Hingga pada tahun 1917 Jawatan kehutanan berhasil melakukan penanaman damar yang pertama kali di situgunung dengan ketinggian tempat 1100 meter dari permukaan laut (Perum Perhutani, 1974). Selanjutnya menurutTeam Reboisasi (1971), damar termasuk dalam jenis-jenis pohon yang penting di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Bertahan dengan ini maka tanaman damar akan diperluas sampai 141.000 hektar yang terdiri atas 80.000 hektar hutan produksi dan 60.000 hektar hutan lindung.

            Di Jawa Barat tanaman damar terutama terdapat di daerah Bgor, Sukabumi dan Banten. Tanaman damar di Jawa Tengah terutama di pusatkan pada Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Timur, Purworejo, dan Pekalongan. Di Jawa Timur tanaman damar diadakan pada daerah tempat tumbuhnya yang sesuai, yaitu di Kesatan Pemangkuan Hutan Probolinggo, Malang Selatan dan Jember.