Laporan Keuangan Bank Umum (skripsi dan tesis)

Dalam rangka peningkatan transparasi kondisi keuangan, berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/22/PBI/2001, bank wajib menyusun
dan menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan yang salah
satunya adalah laporan keuangan publikasi bulanan. Laporah keuangan
publikasi bulanan ad adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan
laporan bulanan bank umum yang disampaikan bank kepada Bank
Indonesia dan dipublikasikan setiap bulan. Laporan bulanan bank umum
merupakan laporan keuangan bank secara individu yang merupakan
gabungan antar kantor pusat bank dengan seluruh kantor bank.
Pengumuman dilaksanakan oleh bank melalui Bank Indonesia
berdasarkan dara Laporan Bulanan Bank Umum (LBBU) yang
disampaikan kepada Bank Indonesia yang telah direklasifikasi oleh Bank
Indonesia berdasarkan standar laporan sebagaimana diatur dalam
Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan dan Peruaturan Bank Indonesia
yang berlakuLaporan Keuagan publikasi bulanan bank umum sekurangkurangnya
meliputi:
1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi

Pengertian dan Fungsi Bank Umum (skripsi dan tesis)

Pengertian bank menurut UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 adalah:
a. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kreditdan atau bentuk-bentuk lainnyadalam rangka meningkatlan
taraf hidup rakyat banyak
b. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lau lintas pembayaran.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum menurut UU No.7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998
tentang Perbankan adalah sebagai berikut:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit
c. Menerbitkan surat pengakuan utang
d. Membeli, menjual atau menjamin atas risko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya
e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabahnya
14
f. Menempatkan dana pada, menjamin dana dari, atau meminjamkan dana
kepada bank lain, baik dengan menggunakna surat, saran telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya
g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antara pihak ketiga
h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
i. Melakukan kegiatan penitipan utnuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu kontrak
j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek
k. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali
amanat
l. Menyediakam pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia
m. Melakukan kegiatan lain, misalnya: kegiatan dalam valuta asing;
melakukan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang
keuangan seperti: sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, dan
asuransi; dan melaukan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan kredit.
n. Kegiatan lain yang lazin dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang.

Konsep Input dan Output Dalam Pengukuran Efisiensi Perbankan (skripsi dan tesis)

Hadad et.al (2003) dalam P. Prapanca (2012) menyebutkan bahwa
konsep-konsep yang digunakan dalam mendefinisikan hubuungan input
dan output dalam tingkah laku institusi keuangan pada metode
parametrik dan non-parametrik adalah (i) pendekatan produksi (the
production approach), (ii) pendekatan intermediasi (the intermediation
approach) dan (iii) pendekatan aset (the assets approach).
Pendekatan produksi (the production approach) melihat institusi
keuangan sebagai produser dari akun deposit dan kredit pinjaman,
mendefinisikan output sebagai jumlah dari akun-akun tersebut atau dari
transaksi-transaksi yang terkait. Pendekatan intermediasi (the
intermediation approach) memandang sebuah institusi keuangan sebagai
intermediator, yaitu merubah dan mentransfer aset-aset finansial dari
unit-unit surplus ke unit-unit defisit. Pendekatan aset (the assets
approach) memperlihatkan fungsi primer sebuah institusi keuangan
sebagai pencipta kredit pinjaman (loans) dimana output benar-benar
mendefinisikan dalam bentuk aset-aset. Pendekatan aset mengukur
kemampuan perbankan dalam menanamkan dana dalam bentuk kredit,
surat-surat berharga dan alternatif aset lainnya sebagai output. Sedangkan
input diukur dari harga tenaga kerja, harga dana dan harga fisik modal.
Menurut Berger & Humphrey (1997) dalam F. Maharani (2012)
terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menghitung efisiensi oleh
sebuah institusi keuangan, yaitu: (i) production approach (ii)
intermediation approach. Production approach merupakan suatu
pendekatan dengan aktivitas utama suatu institusi keuangan adalah
menghasilkan dan memproduksi jasa-jasa bagi para nasabahnya.Kinerka
institusi keuangan tersebut bagi pada nasabahnya adalah melakukan
transaksi dan memproses dokumen-dokumen seperti aplikasi kredit,
laporan kredit, cek atau instrumen pembayaran lainnya. Inilah yang
diukur sebagai input. Sedangkan output dalam pendekatan ini diukur dari
jumlah dan tipe transksi serta dokumen yang di proses pada periode
tertentu. Intermediation approach diartikan sebagai aktivitas utama suatu
intitusi keuangan, yaitu sebagai intermediator antara investor dengan
savers.
Menurut Wahab, Hosen dan Muhari (2014) konsep pengukuran
efisiensi dapat dilihat baik dengan fokus pada sisi input (input oriented)
maupun fokus pada sisi output (output oriented). Kedua pendekatan ini
analog dengan konsep primal dan dual dalam teknik operations research,
sehingga keduapendekatan ini secara konsisten akan menghasilkan
kesimpulan yang samatentang efisiensi relatif sebuah perusahaan
terhadap sekawannya. Berikut iniadalah ikhtisar tentang kedua
pendekatan ukuran efisiensi tersebut (Abidin dan Endri, 2009):
1. Pendekatan Input
Pendekatan sisi input menunjukkan berapa banyak kuantitas input bias
dikurangi secara proporsional untuk memproduksi kuantitas output yang
sama. Untuk pendekatan sisi input diasumsikan sebuah perusahaan
menggunakan dua jenis input, yaitu x1 dan x2, untuk memproduksi satu
jenis output (y) dengan asumsi constant returns to scale (CRS). Asumsi
constant returns to scale (CRS) maksudnya adalah jika kedua jenis input,
x1 dan x2, ditambah dengan jumlah persentase tertentu maka output juga
akan meningkat dengan persentase yang sama

2. Pendekatan Output
Pendekatan sisi output berlawanan dengan pendekatan sisi input,
pendekatan sisi output menunjukkan berapa banyak kuantitas output
dapat ditingkatkan secara proporsional dengan kuantitas input yang sama.
Asumsikan sebuah perusahaan dengan 2 jenis output (y1 dan y2) dan 1
jenis input (x) dengan asumsi constant returns to scale (CRS).

Model DEA (skripsi dan tesis)

a. Model CCR (Charnes, Cooper, and Rhodes)
Menurut Casu & Molyneux (2003) dalam P. Prapanca (2012) model
ini digunakan jika berasumsi bahwan perbandingan terhadap input
maupun output suatu perusahaan tidak mempengaruhi produktivitas
yang mungkin dicapai, yaitu Constant Return to Scala (CRS). Model
ini terdiri dari fungsi tujuan yang berupa maksimisasi jumlah output
dari unit yang akan diukur produktivitas relatifnya dan selisih dari
jumlah output dan input dari semua unit yang akan diukur
produktivitas relatifnya. Sedangkan Purwanto & Ferdian (2006)
dalam F. Maharani (2012) menyatakan bahwa model ini relatif lebih
tepat digunakan dalam menganalisis kinerja pada perusahaan
manufaktur

b. Model BCC (Banker, Charnes, and Cooper)

Model ini digunakan jika kita berasumsi bahwa perbandingan terhadap input maupun output suatu perusahaan akan mempengaruhi produktivitas yang mungkin dicapai, yaitu VRS (Variable Returns to Scale). Pendekatan ini relatif lebih tepatdigunakan dalam menganalisis efisiensi kinerja pada perusahaan jasa termasuk bank

Definisi DEA (skripsi dan tesis)

Menurut Kanungo (2004) pada Haqiqi (2015) DEA merupakan
metode berdasarkan program linier yang digunakan untuk
membandingkan efisiensi dari beberapa unit. Adapun menurut Avkiran
(1999), dalam F. Maharani (2012) dengan mendefinisikan DEA sebagai
teknik untuk mengukur efisiensi yang mampu untuk mengungkap
hubungan yang tepat antara input dan output yang beragam, yang
sebelumnya tidak dapat diakomodasi melalui analisis rasio secara
tradisional.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa metode
DEA merupakan metode program linear yang digunakan untuk
mengukur efisiensi yang mampu mengungkap hubungan secara tepat
antara input dan output yang beragam.
Metode DEA adalah sebuah metode frontier non parametric yang
menggunakan model program linier untuk menghitung perbandingan
rasio outputdan input untuk semua unit yang dibandingkan dalam sebuah
populasi. Tujuan dari metode DEA adalah untuk mengukur tingkat
efisiensi dari decision-making unit (DMU) atau banyak disebut juga
sebagai unit kegiatan ekonomi (UKE) relatif terhadap bank yang sejenis
ketika semua unit-unit ini berada pada atau dibawah “kurva” efisien
frontier-nya. Jadi metode ini digunakan untuk mengevaluasi efisiensi
relatif dari beberapa objek (benchmarking kinerja).Pendekatan DEA
lebih menekankan kepada melakukan evaluasi terhadap kinerja
DMU.Analisis yang dilakukan berdasarkan kepada evaluasi terhadap
efisiensi relatif dari DMU yang sebanding. Selanjutnya DMU-DMU yang
efisien tersebut akan membentuk garis frontier. Jika DMU berada pada
garis frontier,maka DMU tersebut dapat dikatakan relatif efisien
dibandingkan dengan DMU yang lain dalam peer groupnya. Selain
menghasilkan nilai efisiensi masing-masing DMU, DEA juga
menunjukkan unit-unit yang menjadi referensi bagi unit-unit yang tidak
efisien
Terdapat tiga manfaat yang diperoleh dari pengukuran efisiensi
dengan DEA (Insukindro et al., 2000 dalam B. Zahroh, 2015):
1. Sebagai tolak ukur untuk memperoleh efisiensi relatif yang berguna
untuk mempermudah perbandingan antar unit ekonomi yang sama.
2. Mengukur berbagai variasi efisiensi antar unit ekonomi untuk
mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya.
3. Menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan
tingkat efisiensinya.
Keuntungan lainnya adalah bahwa DEA dapat melihat sumber
ketidakefisienan dengan ukuranpeningkatan potensial (potential
improvement) dari masing-masing input (Hadad et al. 2003 dalam A.
Noor Pratiwi 2013). DEA menghitung efisiensi teknis untuk seluruh
unit. Skor efisiensi untuk setiap unit adalah relatif, tergantung pada
tingkat efisiensi dari unit-unit lainnya di dalam sampel.Setiap unit
dalam sampel dianggap memiliki tingkat efisiensi yang tidak negatif
dan nilainya antara 0 hingga 1, dimana satu menunjukkan efisiensi
yang sempurna (Hadad et al., 2003).

Konsep Efisiensi (skripsi dan tesis)

Menurut (Hadad et.al 2003) dalam Ruddy Trisantoso (2010) Efisiensi
merupakan salah satu parameter kinerja yang secara teoriti merupakan salah
satu ukuran kinerja yang mendasari seluruh kinerja organisasi. Kemampuan
menghasilkan output yang maksimal dengan input yang ada, adalah
merupakan ukuran kinerja yang diharapkan. Efisiensi dalam dunia
perbankan merupakan salah satu parameter kinerja yang cukup populer
sehingga lazin digunakan karena dapat memberikan jawaban atas berbagai
kesulitan dalam menghitung berbagai ukuran kinerja sebagaimana
disebutkan diatas.
Adapun konsep dalam mendefinisikan hubungan input-output pada A.
Noor Pratiwi (2014) dan juga seperti pada Hadad et al. (2003), menjelaskan
bahwa perilaku lembaga keuangan dapat melalui beberapa pendekatan,
antara lain:
a. Pendekatan produksi (Production Approach), yaitu dengan melihat
bahwa institusi keuangan sebagai produsen simpanan (deposit
account) dan juga pinjaman kredit (loans). Pendekatan ini
mendefinisikan output adalah penjumlahan dari keduanya dari
berbagai transaksi-transaksi terkait, sedangkan input-inputnya adalah
biaya tenaga kerja, pengeluaran modal untuk aset-aset tetap (fixed
assets), serta pengeluaran-pengeluaran lainnya yang bersifat material.
b. Pendekatan intermediasi (Intermediation Approach), yaitu
memperlakukan institusi keuangan sebagai lembaga yang
menjalankan fungsi intermediasi, dengan mengubah dan mentransfer
berbagai aset finansial dari unit-unit surplus menjadi unit-unit defisit.
Dalam pendekatan ini, biaya tenaga kerja, pengeluaran modal, dan
pembayaran bunga simpanan dikategorikan sebagai input-input,
sedangkan pinjaman kredit dan investasi pada instrumen keuangan
(financial investment) sebagai output-outputnya.
c. Pendekatan aset (Asset Approach), pendekatan ini hampir sama
dengan pendekatan intermediasi, namun dengan lebih memperlakukan
institusi keuangan adalah lembaga yang menjalankan fungsi utama
sebagai pencipta pinjaman kredit (loans).
Menurut Hadad et al (2003) dalam Prapanca (2012) menyatakan
bahwa pengukuran efisiensi bank dapat dilakukan dengan menggunakan dua
pendekatan. Pertama, menggunakan pendekatan parametrik seperti
Stochastic Frontier Approach (SFA) dan Distribution Free Approach
(DFA) Pendekatan kedua, menggunakan pendekatan non-parametrik yaitu
Data Envelopment Analysis (DEA).
Efisiensi menjadi salah satu ukuran yang sangat penting dalam
menilai kinerja suatu perusahaan. Menurut Berger dan Mester (1997) pada
F. Maharani (2012) efisiensi industri perbankan dapat ditinjau dari sudut
pandang mikro maupun makro.Dari perspektif mikro, dalam suasana
3
persaingan yang semakin ketat sebuah bank agar bisa bertahan dan
berkembang harus efisien dalam kegiatan operasinya. Bank-bank yangtidak
efisien, besar kemungkinan akan exit dari pasar karena tidak mampu
bersaing dengan kompetitornya, baik dari segi harga (pricing) maupun
dalam hal kualitas produk dan pelayanan. Bank yang tidak efisien akan
kesulitan dalam mempertahankan kesetiaan nasabahnya dan juga tidak
diminati oleh calon nasabah dalam rangka untuk memperbesar customerbasenya.
Sementara dari perspektif makro, industri perbankan yang efisien
dapat mempengaruhi biaya intermediasi keuangan dan secara keseluruhan
stabilitas sistem keuangan.Hal ini disebabkan peran yang sangat strategis
dari industri perbankan sebagai intermediator dan produsen jasa-jasa
keuangan.
Dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi, kinerja perbankan akan
semakin lebih baik dalam mengalokasikan sumber daya keuangan dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kegiatan investasi dan pertumbuhan ekonomi

Pendekatan Loyalitas Merek (skripsi dan tesis)

Menurut Setiadi (2003) terdapat dua pendekatan yang dapat dipakai untuk mempelajari loyalitas merek, yaitu: (1) pendekatan instrumental atau pendekatan behavioral yang memandang bahwa pembelian yang konsisten sepanjang waktu adalah menunjukkan loyalitas merek. Jadi, pengukuran bahwa seorang konsumen itu loyal atau tidak dilihat dari frekuensi dan konsistensi perilaku pembelian terhadap satu merek. Pengukuran loyalitas konsumen dengan pendekatan ini menekankan pada perilaku masa lalu. (2)  pendekatan yang didasarkan pada teori kognitif yang mana loyalitas dinyatakan sebagai komitmen seorang konsumen terhadap merek yang mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian yang terus menerus. Konsumen mungkin sering membeli merek tertentu karena harganya murah, dan ketika harganya naik, konsumen beralih ke merek lain.

Brand Loyalty (Loyalitas Merek) (Skripsi dan tesis)

 

 Definisi Loyalitas merek memiliki pengertian sikap yang menyenangi terhadap suatu merek yang direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap merek tersebut sepanjang waktu (Setiadi, 2003). Sedangkan Sumarwan (2003) mendefinisikan brand loyalty sebagai sikap positif konsumen terhadap suatu merek, konsumen memiliki keinginan kuat untuk membeli ulang merek yang sama pada saat sekarang maupun masa mendatang.

Definisi Brand Trust (Kepercayaan Terhadap Merek) (skripsi dan tesis)

Kepercayaan memiliki peran penting dalam pemasaran industri. Dinamika lingkungan bisnis yang cepat berubah memaksa perusahaan untuk mencari cara memasarkan produknya dengan lebih kreatif dan fleksibel untuk beradaptasi, salah satunya adalah menciptakan sebuah kepercayaan merek karena kepercayaan merupakan salah satu aset penting dalam menciptakan loyalitas. Ballestar yang dikutip dari Prawitowati (2008) mendefinisikan brand trust sebagai perasaan aman yang diperoleh konsumen dalam interaksinya dengan merek yang didasarkan pada persepsi bahwa merek tersebut dapat diandalkan dan memenuhi kepentingan serta keselamatan konsumen. Trust didefinisikan sebagai persepsi konsumen mengenai reliabilitas yang didasarkan pada pengalaman atau serangkaian interaksi yang dikarakteristikan oleh konfirmasi dari harapan atas kinerja produk dan kepuasan. Lau dan Lee mendefinisikan brand trust sebagai keinginan pelanggan untuk bersandar pada sebuah merek dengan resiko-resiko yang dihadapi karena ekspektasi terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang positif (dalam Tjahyadi, 2006)

Sepuluh Perintah Emotional Branding (skripsi dan tesis)

 Sepuluh perintah emotional branding berikut ini mengilustrasikan perbedaan antara konsep kepedulian merek yang tradisional dengan dimensi emosional yang diperlukan oleh merek untuk mengekspresikan dirinya sehingga menjadi disukai (Gobe, 2005).
1. Dari konsumen menuju manusia Konsumen membeli, manusia hidup. Dalam lingkaran komunikasi konsumen sering dianggap musuh secara tak langsung. Hal yang baik digunakan dalam menumbuhkan kesan positif di benak konsumen adalah dengan melakukan pendekatan yang didasari pada hubungan saling menghormati karena konsumen merupakan sumber informasi terbaik bagi perusahaan.
2. Dari produk menuju ke pengalaman Produk memenuhi kebutuhan, pengalaman memenuhi hasrat. Pembelian memenuhi kebutuhan melalui harga dan kenyamanan. Bagi produk yang sudah mapan, untuk menarik dan mempertahankan minat konsumen dibutuhkan penjualan yang inovatif, iklan, dan peluncuran produk baru yang dapat menangkap imajinasi konsumen. Sebuah produk dapat menjadi baru dan lama pada saat yang bersamaan jika produk tersebut terus mempunyai relevansi emosional terhadap konsumen.
3. Dari kejujuran menuju kepercayaan Kejujuran diharapkan. Kepercayaan bersifat melekat. Oleh karena itu, untuk memperoleh kejujuran dan kepercayaan dibutuhkan perjuangan yang keras. Keperayaan merupakan salah satu nilai pokok dari suatu  merek yang memerlukan usaha keras dari sebuah perusahaan. Salah satu gerakan terkuat dalam membangun kepercayaan adalah pelaksanaan “tidak adanya pertanyaan yang ditanyakan” kembali (konsumen dengan mudahnya membeli kembali tanpa adanya pertanyaan mengenai kondisi produk). Strategi ini memberikan kenyamanan sepenuhnya bagi para konsumen yang mana mereka bisa mendapatkan manfaat dari pilihan mereka sendiri.
4. Dari kualitas menuju preferensi Saat ini kualitas dengan harga yang tepat sudah menjadi hal biasa. Preferensi menciptakan penjualan. Kualitas merupakan hal yang penting bagi perusahaan untuk bertahan dalam dunia bisnis yang sebaiknya diwujudkan, sedangkan preferensi terhadap merek merupakan hubungan yang nyata dengan kesuksesan. Levi’s adalah suatu merek yang berkualitas, nmun kini ia telah kehilangan status preferensinya.
5. Dari kemasyuran menuju aspirasi Menjadi terkenal bukan berarti dicintai. Kemasyuran merupakan apa yang menjadikan sesuatu terkenal. Untuk menjadi sesuatu yang didambakan maka sesuatu tersebut harus diekspresikan sesuai aspirasi konsumen.
6. Dari identitas menuju kepribadian Identitas adalah pengakuan. Kepribadian adalah mengenai karakter dan kharisma. Identitas adalah penggambaran dari karakter dan kharisma. Identitas merek adalah sesuatu yang unik, dan mengekspresikan suatu pembedaan. Kepribadian merek adalah hal yang sangat spesial yang  merepresentasikan karakter kharismatik dan mendorong terjadinya tanggapan emosional.
7. Dari fungsi menuju ke perasaan Fungsionalitas hanya mengacu pada kegunaan dan kualitas dari produk saja, sedangkan desain penginderaan adalah mengenai pengalaman. Fungsionalitas akan menjadi usang apabila penampilan dan kegunaannya tidak didesain berdasarkan pertimbangan perasaan konsumen. Banyak perusahaan yang mendesain produk mereka hanya pada pemaksimalan fungsi produk saja, bukan pada pembentukan pengalaman bagi para konsumennya. Desain adalah tentang solusi manusia, atas dasar inovasi yang menghadirkan suatu rangkaian pengalaman panca indera yang baru
. 8. Dari ubikuitas menuju keberadaan Ubikuitas (keberadaan yang sangat umum) dapat dilihat, sedangkan kehadiran emosional dapat dirasakan. Merek dapat membentuk hubungan yang permanen dan kuat dengan manusia jika merek tersebut disiasatkan menjadi sebuah gaya hidup. 9. Dari komunikasi menjadi sebuah percakapan Komunikasi adalah pemberitahuan, sedangkan percakapan adalah berbagi. Banyak perusahaan yang melakukan komunikasi satu arah, yakni seperti melakukan pengiklanan dengan mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit demi menarik perhatian konsumen. Padahal dengan sebuah dialog/percakapan dapat merepresentasikan hubungan dua arah antara konsumen dengan perusahaa
 10. Dari pelayanan menuju suatu hubungan Pelayanan adalah menjual, sedangkan hubungan adalah penghargaan. Pelayanan adalah apa yang menghasilkan, sedangkan hubungan adalah orang-orang yang berusaha untuk memahami dan menghormati konsumen. Menurut Morrison dan Crane dalam Mutyalestari (2009) pada umunya apabila berbicara tentang emotional branding, maka sebagian besar akan membahas ke arah product brand (tangibles) dan service brand (intangibles). Namun dalam pelayanan marketing, permainan emosi merupakan kunci dalam keputusan dan perilaku konsumsi konsumen.
Berdasarkan teori perilaku emosi Ajzen, dan O’Shaughnessy dalam Mutyalestari (2009) membuat kerangka untuk memahami bagaimana konsumen melihat produk dan jasa saat proses keputusan pembelian terdapat enam kriteria, yaitu:
1. Technical Criteria Berbicara mengenai elemen fungsional dari sebuah produk. Jika tambahan fungsi dan fitur produk dapat membuat pengoperasian menjadi mudah dilaksanakan, maka produk tersebut akan diterima secara luas atas barang pengganti lainnya. Technical criteria, meliputi desain produk, atmosfir toko, dan perlengkapan toko.
2. Economic/Sacrifice Criteria Manfaat yang diterima dibandingkan pengeluaran (biaya) dan pemakaian uang.
 3. Legalistic Criteria Meliputi pemenuhan produk atau jasa terhadap keinginan dan permintaan konsumen.
4. Integrative Criteria Menciptakan mimpi pada pikiran konsumen bahwa orang-orang suka melihat keindahan suatu objek. Apabila mereka melihat sesuatu yang menarik hati, mereka akan mengasosiasikannya terhadap produk tersebut dan mereka akan semakin menyukainya sehingga memberikan mereka rasa penerimaan di masyarakat dengan keyakinan yang lebih besar misalnya kepercayaan sosial, status, visi, fashion produk atau jasa dalam satu lingkungan.
5. Adaptive Criteria Sesuatu yang meminimalisir resiko, seperti kekhawatiran, ketidakpastian, dan penyesalan saat membeli produk atau jasa.
6. Intrinsic Criteria Menyoroti fakta bahwa produk harus menarik rasa pelanggan. Pelanggan didorong oleh perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman. Mereka ingin mengasosiasikannya melalui kesenangan, keindahan, kebanggaaan, dan kepercayaan diri. Hal itu berupa bentuk produk, perasaan, wangi/bau, dan musik.

Empat Pilar Emotional Branding (skripsi dan tesis)

Marc gobe (2005) menerangkan konsep dasar dari proses emotional branding didasarkan pada empat pilar penting, yakni:
(1) Hubungan (relationship)
Adalah menumbuhkan ikatan yang mendalam dan menunjukkan rasa hormat pada jati diri konsumen yang sebenarnya serta memberikan mereka pengalaman emosional. Gagasan inti untuk berhubungan dengan konsumen dan melayani konsumen sebagai makhluk yang nyata, hidup, bernapas, dan kompleks akan selalu mengalahkan laju program pemasaran jangka pendek dan akan selalu mejadi kunci dalam menciptakan suatu merek yang mempunyai keberadaan emosional jangka panjang dalam kehidupan masyarakat. Dengan berdasarkan pada konsep hubungan ini, maka suatu perusahaan akan dapat mengetahui posisi merek (positioning) dari produk yang dikeluarkannya karena hal tersebut sangatlah penting untuk mengidentifikasi bagaimana perasaan pelanggan mengenai suatu merek dalam konteks pengertian merek tersebut bagi perusahaan dan bagaimana cara mewujudkan hubungan antara kedua hal tersebut serta di manakah hubungan tersbut dapat terputus.
(2) Pengalaman Panca Indera (Sensorial Experience)
Merupakan suatu area yang sangat besar yang belum diekplorasi sepenuhnya dan juga merupakan tambang emas yang potensial untuk merek. Menyediakan konsumen suatu pengalaman panca indera dari suatu merek adalah suatu kunci untuk mencapai jenis hubungan emosional dengan merek yang menimbulkan kenangan manis serta akan menciptakan preferensi merek dan menciptakan loyalitas. Sejalan dengan meningkatnya penawaran atas produk-produk yang semakin serupa satu sama lain, elemen panca indera dapat menjadi faktor kunci yang dapat membedakan satu pengalaman merek dengan merek lainnya. Senada dengan yang diungkapkan oleh Holbrook dan Hirschman  bahwa banyak produk yang menampilkan stimulus-stimulus nonverbal yang penting yang harus dilihat, didengar, dicicipi, dirasakan atau dibaui untuk dapat diapresiasikan dengan tepat yang pada akhirnya dampak dari konsumsi tercermin dalam kesenangan yang diperoleh seseorang dari suatu produk atau kegembiraan yang ditawarkan dan kepuasan yang ditimbulkan oleh produk
 (3) Imajinasi (Imagination)
Merupakan salah satu pilar penting dalam emotional branding dengan menetapkan desain merek dalam upaya membuat proses emotional branding menjadi nyata. Pendekatan imajinatif dalam desain produk, kemasan, iklan, dan situs web memungkinkan merek menembus batas atas harapan dan meraih hati konsumen dengan cara yang baru dan segar.
(4) Visi
Adalah faktor utama kesuksesan merek dalam jangka panjang. Merek berkembang melalui suatu daur hidup yang alami dalam pasar dan untuk menciptakan serta memelihara keberadaannya dalam pasar saat ini, merek harus berada dalam kondisi seimbang sehingga dapat memperbaharui dirinya kembali secara terus menerus. Emotional branding ini merupakan faktor emosional yang dirasakan konsumen, seperti kepribadian merek, kesukaan terhadap merek, dan pengalaman terhadap merek sangat dipengaruhi oleh kepuasan saat menggunakan suatu merek yang akan menimbulkan kepercayaan terhadap merek dan mengakibatkan repeat buying dan recommended buying. Faktor emosional dan merek memiliki hubungan erat seperti yang dikatakan oleh Gobe (2005) bahwa emosional memiliki maksud bagaimana suatu merek menggugah perasaan dan emosi konsumen, bagaimana suatu merek menjadi hidup bagi masyarakat dan membentuk hubungan yang dalam dan tahan lama

Definisi Emotional Branding (skripsi dan tesis)

Emotional berasal dari kata emosi yang menurut William James adalah kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungannya (Asi, 2010). Emosi merupakan perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama kesejahteraan dirinya (Campos, dkk dalam Asi, 2010). Sedangkan branding adalah brand atau merek. Jadi secara harfiah, emotional branding adalah pembentukan merek dengan nuansa emosional. Secara luas dapat juga didefinisikan sebagai menciptakan hubungan emosional antara konsumen dengan perusahaan melalui produknya. Kata “emosional” di sini adalah bagaimana suatu merek menggugah perasaan dan emosi konsumen, bagaimana suatu merek menjadi hidup bagi masyarakat, dan membentuk hubungan yang mendalam dan tahan lama. Emotional branding adalah saluran di mana orang secara tidak sadar berhubungan dengan perusahaan dengan produk dari perusahaan tersebut  dalam suatu metode yang mengagumkan secara emosional. Emotional branding ini merupakan strategi yang efektif digunakan karena kita pada umumnya merespon pengalaman hidup kita secara emosional dan secara alami memproyeksikan nilai-nilai emosional kita ke dalam objek-objek di sekitar kita. Pada dasarnya emotional branding didasarkan pada rasa percaya yang unik yang terjalin erat dengan konsumen. Pendekatan ini meningkatkan pembelian yang hanya sekedar dipicu oleh kebutuhan menjadi pembelian yang muncul dari alam hasrat. Misalnya, komitmen pada sebuah produk atau institusi, kebanggaan yang kita rasakan saat menerima hadiah cantik dari merek yang kita senangi, atau pengalaman berbelanja yang positif dalam sebuah lingkungan yang menakjubkan (Gobe, 2005)

Indikator Dari Experiential Marketing (skripsi dan tesis)

 1) Mengindera (Sense)
 Sense merupakan tipe experience yang muncul untuk menciptakan pengalaman panca indera melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan bau (Schmitt dalam Indrakusuma, 2011). Namun, indikator sense yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah pendengaran dan penglihatan. Tujuan sense secara keseluruhan adalah menyediakan kesenangan estetika melalui rangsangan terhadap kelima indera manusia (Nurrohman, 2011). Sense yang diciptakan oleh suatu organisasi ini dapat memberikan dampak positif ataupun negatif terhadap kepuasan konsumen akan suatu produk atau jasa, yang kemudian munculah rasa kepercayaan konsumen terhadap suatu merek/produk tertentu, dan berakhir pada loyalitas. Dengan adanya loyalitas mungkin konsumen tidak akan berpikir lagi mengenai harga yang ditawarkan karena berapa pun harganya, konsumen pasti akan bayar.
 2) Perasaan (Feel)
 Feel bertujuan memberikan pengalaman yang dimulai dari suasana hati yang lembut sampai pada emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggan (Schmitt dalam Indrakusuma, 2011). Pemasaran feel ini merupakan strategi pendekatan perasaan (afeksi) dan implementasi  terhadap perusahaan dan merek melalui perangkat penyedia pengalaman (experiences providers) dengan tujuan untuk mempengaruhi mood (suasana hati), perasaan dan emosi yang ditimbulkan oleh events (peristiwa), orang yang melakukan peristiwa, dan objek (suatu hal yang telah dilihat). Perangkat penyedia pengalaman yang dimaksud berupa:
 ♦ Komunikasi : Seperti iklan, humas, laporan tahunan,brosur, dan laporan berkala.
♦ Identitas Visual/Verbal : Berupa nama, logo, tanda, dan transportasi.
♦ Kehadiran Produk : Rancangan produk, kemasan.
♦ Merek Bersama : Pemasaran secara khusus (event) dan pensponsoran, aliansi dan kemitraan,perlisensian,serta penempatan produk dalam TV.
♦ Lingkungan : Ruang eceran dan publik, kamar dagang, bangunan perusahaan, pabrik, dan interior lain.
♦ Situs Web dan Media Elektronik : Situs korporat, situs produk dan jasa,email, iklan.
 ♦ Orang : CEO, tenaga penjual.
 3) Berpikir (Think)
Think bertujuan untuk menciptakan suatu pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berpikir kreatif (Schmitt dalam Indrakusuma, 2011). Think ini mempengaruhi pelanggan agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif dan dapat menciptakan kesadaran melalui proses berfikir yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap perusahaan, produk, dan jasa. Sebagai contoh motor Yamaha misalnya dengan menggunakan iklan yang dapat memberikan gambaran bagi konsumen, citra yang positif yang dapat membangkitkan kemampuan untuk membeli motor Yamaha. Slogan “Semakin di depan” motor Yamaha dapat membangkitkan pikiran konsumen untuk selalu memilih motor Yamaha. Motor Yamaha lebih baik dari pada yang dijanjikan. Menurut Schmitt dalam Nurrohman (2011) kampanye think dapat diciptakan melalui: (1) Kejutan (Surprise) Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif. Kejutan dihasilkan ketika pemasar memulai dari sebuah harapan. Kejutan harus bersifat positif, yang berarti pelanggan mendapatkan lebih dari yang mereka minta, lebih menyenangkan dari yang mereka harapkan, atau sesuatu yang sama sekali lain dari yang mereka harapkan yang pada akhirnya dapat membuat pelanggan merasa senang. Misalnya apa yang diberikan oleh smartphone dari Nokia mampu memberikan lebih dari yang dijanjikan. Dalam experiential marketing, unsur surprise menempati hal yang sangat penting karena 16 dengan pengalaman-pengalaman yang mengejutkan dapat memberikan kesan emosional yang mendalam dan diharapkan dapat terus membekas di benak konsumen dalam waktu yang lama. (1) Memikat (Intrigue) Apabila surprise berawal dari sebuah harapan, maka intrigue mencoba berangkat dari membangkitkan rasa ingin tahu konsumen yakni apa saja yang memikat konsumen. Namun, daya pikat ini tergantung dari acuan yang dimiliki oleh setiap konsumen. Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan, dan pengalaman konsumen tersebut. (2) Provokasi (Provocation) Provokasi dapat menimbulkan sebuah diskusi, atau menciptakan sebuah perdebatan. Provokasi dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif. Perusahaan harus cepat tanggap terhadap kebutuhan dan keluhan konsumen. Terutama dalam persaingan bisnis yang ketat sekarang ini, perusahaan dituntut untuk dapat berfikir kreatif. Salah satunya dengan mengadakan program yang melibatkan konsumen.
4) Tindakan (Act)
Act merupakan tipe experience yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen (Schmitt dalam Indrakusuma, 2011). Act Marketing adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan (Kertajaya dalam Indrakusuma, 2011). Act marketing didesain untuk menciptakan pengalaman konsumen dalam hubungannya dengan Physical body, lifestyle, dan interaksi dengan orang lain. Act ini berhubungan dengan bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan mengekspresikan gaya hidupnya. Riset pasar menunjukkan banyak orang membeli Volkswagen Beetle sebagai mobil kedua setelah BMW atau Lexus. Mereka mempunyai gaya hidup tertentu, mereka ingin mengendarai mobil yang lebih enak untuk dikendarai daripada mobil pertama mereka yang profesional. Jadi act di sini meliputi perilaku yang nyata atau gaya hidup yang lebih luas.
 5) Hubungan (Relate)
Relate marketing merupakan tipe experience yang digunakan untuk mempengaruhi pelanggan dan menggabungkan seluruh aspek sense, feel, think, dan act serta menitikberatkan pada penciptaan persepsi positif dimata pelanggan (Schmitt dalam Indrakusuma, 2011). Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang dapat menciptakan identitas seseorang. Seorang pemasar harus mampu menciptakan identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi pelanggannya dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat menggunakan simbol budaya dalam kampanye iklan dan desain web yang mampu mengidentifikasi kelompok pelanggan tertentu. Relate merupakan perluasan dari sensasi individual, feeling, cognition, dan  action dengan berhubungan dengan konteks sosial dan budaya yang merefleksikan suatu merek. Harley Davidson adalah salah satu contoh kampanye relate yang mampu menarik beribu-ribu pengendara motor besar di Amerika dalam rally di penjuru negara itu. Pelanggannya kebanyakan mempunyai tattoo berupa logo Harley Davidson di lengan atau bahkan di seluruh tubuhnya. Mereka menunjukkan kelompok referensi tertentu dengan apa yang dimilikinya.

Pengaruh Variabel Pengalaman Merek Terhadap Niat Beli (skripsi dan tesis)

Dalam penelitian Yasin dan Amjad (2013) pengalaman merek mempunyai pengaruh signifikansi positif terhadap niat beli. Pengalaman tidak begitu kuat berpengaruh terhadap niat beli bila dibandingkan dua variabel lainnya. Penelitian ini juga mengklaim bahwa seseorang orang tidak tertarik hanya membeli produk atau jasa. Sebaliknya mereka membeli pengalaman yang luar biasa dan ekspresif tentang apa yang sedang dijual kepada mereka. Pengalaman merek dapat menarik daya tarik dalam praktek pemasaran untuk mengembangkan strategi pemasaran yang lengkap untuk barang dan jasa. Pengalaman produk terjadi ketika konsumen saling berhubungan dengan produk, misalnya ketika konsumen mencari produk dan kemudian mengamati dan mengevaluasi produk tersebut. Pengalaman merek akan tetap dalam memori konsumen dan juga berdampak pada kepuasaan konsumen serta loyalitas. Kepuasaan konsumen juga tergantung pada fitur atau desain. Desain produk akan meningkatkan nilai untuk konsumen dan memiliki 33 efek positif di benak konsumen dan juga membantu mengingkatkan kinerja organisasi.

Pengaruh Variabel Kesadaran Merek Terhadap Niat Beli (skripsi dan tesis)

Hsing Kuang Chi et al. (2009), kesadaran merek dapat mempengaruhi niat beli secara signifikan baik melalui kualitas yang dirasa maupun loyalitas merek. Penelitian Mariam Tahira et al. (2011) menunjukkan adanya hubungan 32 signifikansi antara kesadaran merek terhadap niat konsumen untuk membeli suatu produk. Grewal, Monroe & Krishnan (1998) dalam Amir Gulzar et al. (2011) berpendapat “high brand awareness can influence the retailer or reseller purchase decision” yang artinya kesadaran merek yang tinggi akan memengaruhi pengecer atau penjual ulang memutuskan untuk membeli. Peneliitian tersebut menguji keterkaitan hubungan antara kesadaran merek, persepsi kualitas dan loyalitas terhadap niat pembelian. Hasil penelitian menunjukkan dampak yang tidak signifikan antara kesadaran merek dengan loyalitas, sedangkan dampak yang signifikan yaitu persepsi kualitas terhadap profitabilitas

Pengaruh Variabel Kepercayaan Merek Terhadap Niat Beli (skripsi dan tesis)

Penelitian Yasin dan Amjad (2013) kepercayaan merek mempunyai pengaruh signifikansi positif terhadap niat beli. Yasin dan Amjad (2013) mengemukakan bahwa merek memiliki peranan yang penting dalam proses pemilihan konsumen. Merek adalah penghubung penting antara produsen dan konsumen menawarkan sejumlah fitur untuk pelanggan yang memenuhi kebutuhan pelanggan, merek adalah hal utama dipertimbangkan oleh konsumen dalam melakukan pembelian produk atau jasa. Pelanggan yang mempunyai tingkat pengetahuan produk tertentu akan membantu dalam membantu hubungan merek dengan loyalitas merek

Kesadaran Merek (skripsi dan tesis)

Pengenalan dan pengingat merek kepada masyarakat merupakan hal yang sengat penting bagi perusahaan, karena dengan hal ini akan menentukan langkah perusahaan selanjutnya dalam menetapkan strategi pasar. Durianto (2004) menjelaskan bahwa kesadaran menggambarkan keberadaan merek didalam pikiran konsumen yang dapat menjadi penentu dalam beberapa kategori dan biasanya mempunyai peranan kunci dalam brand equity. Meningkatkan kesadaran adalah suatu mekanisme untuk memperluas pasar merek. Kesadaran juga mempengaruhi persepsi dan tingkah laku. Jadi jika kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga rendah. Peran brand awareness dalam keseluruhan brand equity tergantung dari sejauh mana tingkatan kesadaran yang dicapai oleh suatu merek. Tingkatan kesadaran merek secara berurutan dari tingkat rendah sampai tingkat tertinggi sebagai berikut: a) Tidak menyadari merek (unware of brand) Merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida kesadaran merek, 29 dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek. b) Pengenalan merek (brand recognition) Tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting pada saat pembeli memilah suatu merek pada saat melakukan pembelian. c) Pengingatan kembali terhadap merek (brand recall) Pengingatan kembali terhadap merek berdasarkan pada permintaan seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini di istilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan merek tersebut. d) Puncak pikiran (top of brand) Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan pengingatan dan ia dapat menyebutkan satu nama merek yang paling banyak disebutkan pertama kali merupakan puncak pikiran. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada didalam benak konsumen. Kesadaran merek menggambarkan kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu brand sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. Pada umumnya konsumen cenderung membeli produk dengan brand yang sudah dikenalnya atas dasar pertimbangan kenyamanan, keamanan dan lain-lain. Bagaimanapun juga, merek yang sudah dikenal menghindarkan konsumen dari risiko pemakaian dengan asumsi bahwa merek yang sudah dikenal dapat diandalkan Durianto (2004 : 29) Kesadaran merek (brand awareness) 30 adalah kemampuan konsumen untuk mengindentifikasi merek dalam berbagai kondisi, seperti yang dicerminkan oleh pengenalan merek atau ingatan atas kinerja merek Kotler dan Keller (2009 : 403). Peran kesadaran merek dalam ekuitas merek tergantung pada tingkat akan pencapaian kesadaran yang ada dibenak konsumen. Fandy Tjiptono (2011 : 111) ukuran pada kesadaran merek yang banyak dipakai adalah recall dan recognition, baik menggunakan alat bantu (aided) maupun tanpa menggunakan alat bantu (aided). Hal ini bukanlah sekedar menjadi merek pertama yang disebut atau yang di ingat konsumen (name awareness), namun terciptanya asosiasi khusus antara nama merek dengan produk tertentu. Hanya saja, kelemahan utama kesadaran merek terletak pada dampak ukuran merek dan skala aktivitas promosi yang sangat dominan, sementara brand strength dalam konteks preferensi atau sikap positif konsumen terhadap merek yang bersangkutan tidak banyak terungkap. Menurut Erna Ferrinadewi (2008 : 174) merek yang sering dibeli oleh keluarga biasanya akan membuat seluruh anggota keluarga memiliki kesadaran yang tinggi akan keberadaan merek. Walaupun merek tersebut adalah merek yang tidak terpikirkan oleh konsumen, namun nama merek akan menetap dalam ingatan konsumen karena tingginya frekuensi anggota keluarga melihat merek yang sama. Semakin sering merek tersebut dilihat dan digunakan oleh seluruh anggota keluarga maka ingatan pada konsumen semakin kuat. Aaker (2013:205) juga menjelaskan bahwa di dalam kesadaran merek terdapat tiga dimensi yang menyediakan sejumlah besar keunggulan kompetitif, diantaranya : 31 1. Kesadaran menyediakan merek dengan rasa keakraban atau dikenal, dan orang menyukai hal yang dikenal atau akrab. Untuk produk dengan keterlibatan yang rendah keakraban dapat mendorong keputusan pembelian. 2. Kesadaran nama dapat menjadi sinyal kehadiran, komitmen, dan substansi, atribut yang dapat menjadi sangat penting bahkan bagi pembeli industri untuk barang dengan tiket besar dan pembeli konsumen untuk barang tahan lama. 3. Keunggulan merek akan menentukan apabila diingat pada waktu penting dalam proses pembelian.

Pengalaman Merek (skripsi dan tesis)

Pengalaman merek telah menarik perhatian dalam praktek pemasaran sekarang ini. Praktisi-praktisi pemasaran harus menyadari bahwa dengan memahami apa sebenarnya pesan pengalaman merek, akan sangat membantu para pemasar untuk mengembangkan strategi pemasaran. Menurut Brakus, Schmitt dan Zarantonello (2009) Pengalaman merek didefinisikan sebagai sensasi, perasaan kognisi dan tanggapan konsumen yang ditimbulkan oleh merek, terkait rangsangan yang di timbulkan oleh desain merek, identitas merek, komunikasi pemasaran orang dan lingkungan merek tersebut dipasarkan. Untuk dapat mendefinisikan lebih jauh mengenai pengalaman merek Brakus, Schmitt dan Zarantello (2009), memulai penelitian dengan melihat sudut pandang konsumen dengan menguji pengalaman- pengalaman konsumen itu sendiri dan bagaiman pengalaman itu menghasilkan pendapat sikap, dan aspek lainnya dari perilaku konsumen, pengalaman dimulai pada saat konsumen mencari produk, membeli, menerima, pelayanan dan mengkonsumsi produk. Pengalaman merek dapat dirasakan langsung saat konsumen mengkonsumsi dan membeli produk. Pengalaman merek dapat 27 dirasakan secara tidak langsung saat konsumen melihat iklan atau juga saat pemasar mengkonsumsi produk melalui website. Pengalaman pada suatu merek menjadi salah satu sumber bagi konsumen untuk Menciptakan rasa kepercayaan pada suatu merek maupun untuk mencoba merek yang lainnya, hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Gobe Marc (2003 :99) pengalaman merek adalah mengenai interaksi mental langsung dengan merek, merek dapat meningkatkan dan mengekspresikan karakter kuat emosional dengan cara yang positif. Dengan menawarkan produk yang luar biasa yang bisa menjadi pengalaman merek yang tak terlupakan. Konsumen akan melakukan penilaian pada suatu merek tertentu setelah merasakan pengalaman terhadap merek tersebut. Pengalaman konsumsi merupakan sumber terpenting terciptanya kepercayaan merek karena melalui pengalaman terjadi proses pembelajaran yang memungkinkan terbangunnya asosiasi, pemikiran dan pengambilan kesimpulan yang lebih relevan dengan pribadi konsumen atau individu Erna (2008:150)

Dari dua teori diatas bisa disimpulkan bahwa pengalaman merek berpengaruh pada kepercayaan konsumen terhadap suatu merek sehingga dapat menjadi faktor penentu saat melakukan pembelian ulang maupun pembelian awal bagi calon konsumen. Selain pengalaman dapat berdampak pada dunia marketing, pengalaman sendiri juga sering sekali menjadi acuan masayarakat luas dalam membentuk kepribadian mereka dari waktu ke waktu. Baik mengembangkan kepribadian mereka maupun menciptakan kepribadian baru yang terus beradaptasi dengan lingkungan sekitar mereka. Pengalaman dianggap penting oleh banyak  perusahaan yang memiliki merek premium, karena dari pengalaman mereka dapat menuju dunia global dalam mengenalkan produk mereka. Permasalahan belum begitu disadari oleh banyak perusahaan,saat ini perusahaan masih berlomba – lomba menciptakan citra mereka saja tanpa melihat bagaimana konsumen pasar luas terhadap produk mereka. Perusahaan memerlukan studi yang mendalam dan mengaplikasikannya dalam dunia lapangan marketing untuk membangkitkan pengalaman yang dirasa baik bagi konsumen.

Kepercayaan Merek (Skripsi dan tesis)

Kepercayaan merupakan suatu bentuk sikap yang menunjukan perasaan suka dan tetap bertahan untuk menggunakan suatu produk. Pada dasarnya kepercayaan akan timbul apabila produk yang dibeli oleh seorang konsumen mampu memberikan manfaat atau nilai yang diinginkan konsumen pada suatu produk. Menurut Lau dan Lee dalam Tjahyadi (2006 : 71) kepercayaan pelanggan pada merek (brand trust) di definisikan sebagai keinginan pelanggan untuk bersandar 24 pada sebuah merek dengan resiko yang dihadapi karena ekspetasi terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang positif. Dalam hubungan kepercayaan dan merek, entisitas yang dipercaya adalah bukan orang tapi sebuah symbol. Karena itu, loyalitas pada merek melibatkan kepercayaan pada merek. Untuk menciptakan loyalitas dalam pasar saat ini pemasar harus memfokuskan pada pembentukan dan pemliharaan kepercayaan dalam Consumer Brand Relationship. Lau dan Lee dalam jurnal Tjahyadi (2006 : 71). Lau dan Lee juga menjelaskan bahwa kepercayaan merek akan menimbulkan loyalitas pada merek. Sementara itu, Kepercayaan merek terbangun karena adanya harapan bahwa pihak lain akan bertindak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Ketika seseorang telah mempercayai pihak lain maka mereka yakin bahwa harapan akan terpenuhi dan tak akan ada lagi kekecawaan. Sedangkan Tjahyadi (2006) menyatakan bahwa kepercayaan terhadap merek adalah kemauan konsumen mempercayai merek dengan segala resikonya karena adanya harapan yang dijanjikan oleh merek dalam memberikan hasil yang positif bagi konsumen. Kepercayaan merek adalah harapan akan kehandalan dan intense baik merek Delgado (2004) dalam Ferrinadewi (2008 : 150). Sedangkan menurut Luarn dan Lin, (2003) dalam Ferrinadewi (2008 : 147), kepercayaan adalah sejumlah keyakinan spesifik terhadap integritas ( kejujuran pihak yang dipercaya dan kemampuan menepati janji), benevolence (perhatian dan motivasi yang dipercaya untuk bertindak sesuai dengan kepentingan yang mempercayai mereka), competency ( kemampuan yang dipercaya untuk melaksanakan kebutuhan yang mempercayai ) dan predictability ( konsistensi perilaku pihak yang dipercaya)

 Kepercayaan merek (brand trust) memiliki peran penting bagi merek. Apabila efek dari kepercayaan merek ini tidak diperhatikan dapat mengakibatkan pertimbangan dalam mengembangkan loyalitas konsumen terhadap produk Dimensi dari kepercayaan merek menurut Nuruni dan Kustini, (2011) adalah: 1. Kebenaran (Validity) yaitu, persepsi bahwa merek mampu memenuhi kebutuhan konsumen. 2. Perbedaan (Disparity) yaitu, rasa percaya bahwa konsumen aman menggunakan produk. Kepercayaan merek merupakan salah satu factor utama yang mempengaruhi loyalitas merek Gecti & Zengin (2013,112). Kepercayaan merek berfluktuasi dengan waktu dan akumulasi dari pengalaman pelanggan dalam proses pembentukan loyalitas merek Haijun (2014, 1801). Masih dari Haijun (2014,1801) meningkatnya waktu dan pengalaman akan membuat sikap dan penilaian pelanggan lebih stabil terhadap suatu merek. Pelanggan cenderung akan lebih tegas dalam memilih kembali merek yang sama dengan waktu dan pengalaman yang meningkat dan lebih loyal kepada merek tersebut. Ketika perusahaan berhasil membuat konsumen percaya akan mereknya, selain dapat mendorong terjadinya loyalitas kepercayaan merek juga dapat memperkuat hubungan dengan pelanggan. Kepercayaan merupakan komponen penting dalam membangun hubungan yang efektif dengan pelanggan Yannopoulou et al, (2011,532). Hurley (2012,14). Kepercayaan adalah tingkat keyakinan terhadap pihak lain yang dapat diandalkan untuk memenuhi komitmen Hurley (2012,1). Maka dari itu 26 kepercayaan merek dapat didefinisikan sebagai kesediaan dari rata-rata konsumen agar mengandalkan kemampuan merek untuk melakukan fungsinya Chaudhuri & Holbrook (2001,82). Maka dari itu, kepercayaan merupakan factor yang lebih kuat dibandingkan kepuasaan dalam membina hubungan antara perusahaan dan pelanggan Baran, Galka, & Strunk (2008, 332). Dengan demikian perusahaan harus membangun kepercayaan merek agar dapat menjalin hubungan dengan pelanggan.

Niat Beli (skripsi dan tesis)

 Niat beli adalah perintah seorang pembeli kepada dirinya sendiri untuk membeli suatu produk atau mengambil tindakan lain yang berhubungan dengan pembelian. Menurut Khan, et al (2012) dalam penelitiannya, niat beli didefinisikan sebagai niat individu untuk membeli sebuah merek spesifik yang mana individu tersebut ingin membeli sebuah merek yang sudah terpilih untuk diri mereka sendiri setelah evaluasi. Fandos & Flavianus (2006) Niat beli adalah janji tersirat dari seseorang untuk membeli produk lagi setiap kali seseorang membuat perjalanan berikutnya ke pasar. Ini memiliki kepentingan substansi karena perusahaan ingin meningkatkan penjualan produk tertentu untuk tujuan untuk memaksimalkan 16 keuntungan. Niat beli yang berkaitan empat perilaku konsumen termasuk rencana diragukan untuk membeli produk, berpikir tegas untuk membeli produk , ketika seseorang merenungkan untuk membeli produk dimasa depan, dan untuk membeli produk tertentu.
Fandos & Flavianus (2006) menjelaskan fenomena niat beli sebagai perilaku diproyeksikan konsumen secara singkat tentang pembelian produk tertentu ketika seseorang memutuskan untuk membeli produk setiap kali dia akan datang lagi ke pasar. Ada beberapa variabel yang bisa mempengaruhi niat beli untuk contoh dugaan merek yang diperuntukkan untuk pembelian dan dugaan pembelian merek dimasa depan (Khan, et al. 2012). Menurut Blackwell, Miniard, dan Engel (2006) dalam Hsin kuang Chi et al., niat beli adalah apa yang kita pikir akan kita beli. Howard dan Sheth dalam Khan et al., menjabarkan bahwa salah satu penentu niat beli adalah keyakinan, yang tidak lain adalah kebalikan dari menyadari risiko. Merek yang dikenal oleh konsumen juga berpengaruh secara positif terhadap niat beli. Niat beli juga memiliki pengaruh yang positif terhadap pencarian informasi. Seseorang yang ingin membeli suatu produk, terutama untuk produk yang tergolong memiliki keterlibatan tinggi, disadari ataupun tidak disadari akan terlibat dalam usaha mencari informasi berkaitan produk tersebut. Niat beli diperoleh dari suatu proses belajar dan proses pemikiran yang membentuk suatu persepsi. Niat beli ini menciptakan suatu motivasi yang terus terekam dalam benaknya dan menjadi suatu keinginan yang sangat kuat yang pada akhirnya ketika seorang konsumen harus memenuhi kebutuhannya akan mengaktualisasikan apa yang ada didalam benaknya, Elisabeth 2011:29). Setiap konsumen akan dihadapkan pada keputusan pembelian atau pertimbangan untuk suatu produk atas produk pesaing lainnya. Beberapa faktor yang membentuk niat beli dan keputusan pembelian konsumen Kotler dan Keller (2009:189) yaitu: Sikap orang lain, sejauh mana sikap orang lain mengurangi alternatif yangdisukai seseorang akan bergantung pada dua hal yaitu, sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Faktor situasi yang tidak terantisipasi, faktor ini nantinya akan dapat mengubah pendirian konsumen. Hal tersebut tergantung dari pemikiran konsumen sendiri, apakah dia percaya diri dalam memutuskan akan membeli suatu barang atau tidak

Karakteristik Perusahaan (Company Characteristics) (skripsi dan tesis)

Karakteristik perusahaan yang berpengaruh terhadap kepercayaan pelanggan pada sebuah merek adalah kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan, reputasi perusahaan, motif-motif dari perusahaan yang dipersepsikan, dan integritas perusahaan yang dipersepsikan. Karakteristik perusahaan juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan pelanggan pada sebuah merek. Pengetahuan konsumen terhadap perusahaan kemungkinan akan mempengaruhi penilaiannya terhadap merek perusahaan.
a. Trust in the Company Dalam kasus perusahaan dan mereknya, perusahaan merupakan entitas terbesar dan merek merupakan entitas terkecil dari entitas terbesar tersebut. Sehingga, pelanggan yang percaya terhadap perusahaan kemungkinan percaya terhadap mereknya.
b. Company Reputation Ketika pelanggan mempersepsikan opini orang lain bahwa perusahaan dikenal adil dan jujur, maka pelanggan akan merasa lebih aman dalam memperoleh dan menggunakan merek perusahaan. Dalam konteks saluran pemasaran, ketika perusahaan dinilai memiliki reputasi yang baik, maka pelanggan kemungkinan besar akan percaya pada pengecer dan vendor).
c. Company Perceived Motives Intentionality merupakan cara dimana kepercayaan dibangun dalam hubungan antara penjual dan pembeli. Benevolence of motives merupakan faktor penting dalam suatu hubungan. Dalam konteks merek, ketika pelanggan mempersepsikan a suatu perusahaan layak dipercaya dan bertindak sesuai dengan kepentingan mereka, maka pelanggan akan mempercayai merek perusahaan. d. Company Integrity Integritas perusahaan merupakan persepsi pelanggan yang melekat pada sekumpulan dari prinsip-prinsip yang dapat diterima. Perusahaan yang memiliki integritas tinggi tergantung pada konsistensi dari tindakannya di masa lalu, komunikasi yang akurat tentang perusahaan dari kelompok lain, keyakinan bahwa perusahaan memiliki sense of justice yang kuat, serta tindakannya sesuai dengan janji-janjinya. Jika perusahaan dipersepsikan memiliki integritas tersebut, maka kemungkinan merek perusahaan akan dipercaya oleh pelanggan (Lau dan Lee, 1999:348)

Karakteristik Merek (Brand Characteristics) Terhadap Loyalitas Merek (skripsi dan tesis)

Karakteristik merek memainkan peran yang vital dalam menentukan apakah pelanggan memutuskan untuk percaya pada suatu merek. Karakteristik merek umumnya didefinisikan segala hal yang terkait dengan merek yang ada di benak konsumen. Dalam konteks hubungan pelanggan-merek, kepercayaan pelanggan dibangun berdasarkan pada reputasi merek, prediktabilitas merek, dan kompetensi merek. Penjelasan dari tiga karakteristik merek dapat ditunjukkan sebagai berikut: a.Brand Reputation Brand reputation berkenaan dengan opini dari orang lain bahwa merek itu baik dan dapat diandalkan (reliable). Reputasi merek dapat dikembangkan bukan saja melalui advertising dan public relation, tapi juga dipengaruhi oleh kualitas dan kinerja produk. Pelanggan akan mempersepsikan bahwa sebuah merek memiliki reputasi baik, jika sebuah merek dapat memenuhi harapan mereka, maka reputasi merek yang baik tersebut akan memperkuat kepercayaan pelanggan. b. Brand Predictability Brand predictability berkenaan dengan kemampuan suatu kelompok untuk memprediksi perilaku dari kelompok lain. Predictable brand adalah merek yang memungkinkan pelanggan untuk mengharapkan bagaimana sebuah merek akan memiliki performance pada setiap pemakaian. Predictability mungkin karena tingkat konsistensi dari kualitas produk. Brand predictability dapat meningkatkan keyakinan konsumen karena konsumen mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi ketika menggunakan merek tersebut. Karena itu, brand predictability akan meningkatkan kepercayaan terhadap merek karena predictability menciptakan ekspektasi positif. c. Brand Competence Brand competence adalah merek yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan, dan dapat memenuhi kebutuhannya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian dan karakteristik yang memungkinkan suatu kelompok memiliki pengaruh dalam suatu wilayah tertentu. Ketika diyakini bahwa sebuah merek itu mampu untuk menyelesaikan permasalahan dalam diri pelanggan, maka pelanggan tersebut mungkin berkeinginan untuk meyakini merek tersebut.

Kepercayaan Terhadap Merek (Trust in Brand) (skripsi dan tesis)

Menurut Turnbull dkk (dalam Bennet dan Gabriel, 2001) sifat dari sebuah hubungan yang dekat adalah adanya kondisi yang lebih stabil, lebih mudah saling memprediksi perilaku partner dan usia dari sebuah hubungan sehingga konsumen menjadi enggan untuk berganti penyedia produk. Determinan hubungan yang dekat adalah kepercayaan. Bagi pemasar, merek mewakili hubungan pemasaran yang tercipta dengan konsumen. (Ferinadewi, 2008: 146) Kepercayaan memiliki peran yang penting dalam pemasaran industri. Dinamika lingkungan bisnis yang cepat memaksa pemasaran perusahaan untuk mencari cara yang lebih kreatif dan fleksibel untuk beradaptasi. Untuk tetap bertahan dalam situasi tersebut, perusahaan akan mencari cara yang kreatif melalui pembentukan hubungan yang kolaboratif dengan pelanggan. Kepercayaan dianggap sebagai cara yang paling penting dalam membangun dan memelihara hubungan dengan pelanggan dalam jangka panjang. Kepercayaan adalah sejumlah keyakinan spesifik terhadap integritas (kejujuran pihak yang dipercaya dan kemampuan menepati janji, benevolence (perhatian dan motivasi yang dipercaya untuk bertindak sesuai dengan kepentingan yang mempercayai mereka), competency (kemampuan pihak yang dipercaya untuk  melaksanakan kebutuhan yang mempercayai) dan predictability (konsistensi perilaku pihak yang dipercaya). Hal ini menjelaskan bahwa penciptaan awal hubungan dengan partner didasarkan pada trust (kepercayaan). (Lau dan Lee, 1999:344) Dalam pasar konsumen, ada begitu banyak konsumen yang tidak teridentifikasi, sehingga sulit bagi perusahaan untuk membangun hubungan personal dengan setiap pelanggan. Cara lain yang ditempuh oleh pemasar untuk membangun hubungan personal dengan pelanggan adalah melalui sebuah simbol, yaitu merek (brand). Dalam situasi tersebut, merek berperan sebagai substitute hubungan person-to-person antara perusahaan dengan pelanggannya, selanjutnya kepercayaan dapat dibangun melalui merek. Kepercayaan terhadap merek merupakan kesediaan atau kemauan konsumen dalam menghadapi resiko yang berhubungan dengan merek yang dibeli akan memberikan hasil yang positif atau menguntungkan. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Ketiga faktor ini berhubungan dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan antara merek dan konsumen. Adapun ketiga faktor tersebut adalah merek itu sendiri, perusahaan pembuat merek, dan konsumen. Kepercayaan terhadap merek akan menimbulkan loyalitas merek. (Lau dan Lee, 1999:344).

Kesetiaan Merek (Brand Loyalty) (skripsi dan tesis)

Loyalitas merupakan hasil dari pembelajaran konsumen pada suatu entitas tertentu (merek, produk, jasa, atau toko) yang dapat memuaskan kebutuhannya. (Ruly, 2006:68). Kesetiaan merek (brand loyalty) merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam strategi pemasaran karena memberikan banyak manfaat bagi perusahaan termasuk pembelian berulang dan dapat mengurangi biaya pemasaran. (Ruly, 2006:68). Loyalitas dapat diartikan sebagai suatu komitmen yang mendalam untuk melakukan pembelian ulang produk atau jasa yang menjadi preferensinya secara konsisten pada masa yang akan datang dengan cara membeli ulang merek yang sama meskipun ada pengaruh situasional dan usaha pemasaran yang dapat menimbulkan peralihan perilaku. Loyalitas merek menunjukkan adanya suatu ikatan antara pelanggan dengan merek tertentu dan ini sering kali ditandai dengan adanya pembelian ulang dari pelanggan. Minor dan Mowen (2002:109) mengemukakan bahwa loyalitas dapat didasarkan pada perilaku pembelian aktual produk yang dikaitkan dengan proporsi pembelian. Berdasarkan dari pandangan tersebut maka loyalitas merek didefinisikan sebagai: keinginan konsumen untuk melakukan pembelian ulang. Perusahaan yang mempunyai basis pelanggan yang mempunyai loyalitas merek yang tinggi dapat mengurangi biaya pemasaran perusahaan karena biaya untuk mempertahankan pelanggan jauh lebih murah dibandingkan dengan Universitas Sumatera Utara mendapatkan pelanggan baru. Loyalitas merek yang tinggi dapat meningkatkan perdagangan. Dan dapat menarik minat pelanggan baru karena mereka memiliki keyakinan bahwa membeli produk bermerek minimal dapat mengurangi risiko. Keuntungan lain yang didapat dari loyalitas merek adalah perusahaan dapat lebih cepat untuk merespons gerakan pesaing

Merek (Brand) (skripsi dan tesis)

Branding adalah keseluruhan proses bisnis dalam memilih janji, nilai, dan komponen apa yang akan dimiliki oleh suatu entitas. (Patricia, 2007:5). Keahlian yang sangat unik dari pemasar profesional adalah kemampuannya untuk menciptakan, memelihara, melindungi, dan meningkatkan merek. Merek adalah sejumlah citra dan pengalaman dalam benak konsumen yang mengkomunikasikan manfaat yang dijanjikan produk yang diproduksi oleh perusahaan tertentu. Menurut Kotler & Keller (2007:332), bahwa merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, desain atau kombinasi keseluruhannya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan sekaligus untuk mendiferensiasikannya dari barang atau jasa pesaing. Selain membedakan satu produk dengan produk yang lain, merek juga memberi manfaat bagi konsumen diantaranya membantu mengidentikasi manfaat yang ditawarkan dan kualitas produk. Konsumen lebih mempercayai produk dengan merek tertentu daripada produk tanpa merek meskipun manfaat yang ditawarkan sama (Ferinadewi, 2008:135). Merek dapat memiliki enam level pengertian yaitu sebagai berikut:

 1. Atribut: merek mengingatkan pada atribut tertentu. Mercedes memberi kesan sebagai mobil yang mahal, dibuat dengan baik, dirancang dengan baik, tahan lama, dan bergengsi tinggi. 2. Manfaat: bagi konsumen, kadang sebuah merek tidak sekadar menyatakan atribut, tetapi manfaat. Mereka membeli produk tidak membeli atribut, tetapi membeli manfaat. Atribut yang dimiliki oleh suatu produk dapat diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan atau emosional. Sebagai contoh : atribut “tahan lama” diterjemahkan menjadi manfaat fungsional “tidak perlu cepat beli lagi, atribut “mahal“ diterjemahkan menjadi manfaat emosional “bergengsi”, dan lain lain. 3. Nilai: merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Jadi, Mercedes berarti kinerja tinggi, keamanan, gengsi, dan lain-lain. 4. Budaya: merek juga mewakili budaya tertentu. Mercedes mewakili budaya Jerman, terorganisasi, efisien, bermutu tinggi. 5. Kepribadian: merek mencerminkan kepribadian tertentu. Mercedes mencerminkan pimpinan yang masuk akal (orang), singa yang memerintah (binatang), atau istana yang agung (objek). 6. Pemakai: merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Mercedes menunjukkan pemakainya seorang diplomat atau eksekutif. Pada intinya merek adalah penggunaan nama, logo, trade mark, serta slogan untuk membedakan perusahaan perusahaan dan individu-individu satu sama lain dalam hal apa yang mereka tawarkan. Penggunaan konsisten suatu merek, simbol,  atau logo membuat merek tersebut segera dapat dikenali oleh konsumen sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengannya tetap diingat.
Dengan demikian, suatu merek dapat mengandung tiga hal, yaitu sebagai berikut: 1) Menjelaskan apa yang dijual perusahaan. 2) Menjelaskan apa yang dijalankan oleh perusahaan. 3) Menjelaskan profil perusahaan itu sendiri. Suatu merek memberikan serangkaian janji yang didalamnya menyangkut kepercayaan, konsistensi, dan harapan. Dengan demikian, merek sangat penting, baik bagi konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, merek bermanfaat untuk mempermudah proses keputusan pembelian dan merupakan jaminan akan kualitas. Sebaliknya, bagi produsen, merek dapat membantu upaya-upaya untuk membangun loyalitas dan hubungan berkelanjutan dengan konsumen. Persoalan merek menjadi salah satu persoalan yang harus dipantau secara terus menerus oleh setiap perusahaan. Merek bisa memiliki nilai tinggi karena ada brand building activity yang bukan sekadar berdasarkan komunikasi, tetapi merupakan segala macam usaha lain untuk memperkuat merek tersebut. Adanya komunikasi, merek bisa menjanjikan sesuatu, bahkan lebih dari janji, merek juga mensinyalkan sesuatu (brand signaling). Merek akan mempunyai reputasi jika ia memiliki kualitas dan karisma. Agar memiliki karisma, merek harus mempunyai aura, harus konsisten, kualitasnya harus dijaga dari waktu ke waktu, selain tentunya juga harus mempunyai kredibilitas. Merek terbaik, tentu suatu merek harus terlihat baik di pasar hingga mampu membuat konsumen tertarik membelinya. Agar terlihat baik, merek tersebut harus Universitas Sumatera Utara memiliki costumer value jauh di atas merek-merek yang lain. Selain itu, harus mampu meningkatkan keterlibatan emosi pelanggan sehingga pelanggan mempunyai ikatan dan keyakinan terhadap merek tersebut

Faktor Pembentuk Kepuasan Pelanggan (skripsi dan tesis)

 Konsep trust (kepercayaan) menjadi suatu isu yang populer dalam bidang pemasaran dengan munculnya orientasi relasional dalam aktivitas pemasaran. Trust dipandang sebagai dasar dalam hubungan dengan konsumen dan trust merupakan atribut terpenting yang dimiliki oleh merek. Para peneliti pemasaran menyatakan bahwa trust merupakan faktor fundamental yang dapat mengembangkan loyalitas konsumen. Adanya kepuasan pada konsumen akan menimbulkan kepercayaan, karena adanya konsistensi merek dalam memenuhi harapan konsumen, Di samping itu, merek yang dipilih dapat melindungi, menjaga keselamatan, keamanan, dan kepentingan konsumen. Dengan demikian, keyakinan mengenai keandalan dan kenyamanan merupakan hal yang penting dari trust (kepercayaan). Menurut (Irawan : 2003) kepuasan pelanggan merupakan salah satu alat ukur untuk melihat daya saing suatu perusahaan. Berdasarkan beberapa artikel ilmiah tentang kepuasan pelanggan, terdapat lima faktor utama yang menentukan tingkat kepuasan pelanggan: Pertama adalah kualitas produk, Konsumen atau pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.
Beberapa dimensi yang berpengaruh dalam membentuk kualitas produk adalah performance, features, reliability, conformance to spesification, durability, serviceability, estetika, dan perceived quality. Kedua adalah kualitas pelayanan. Pelanggan akan merasa puas apabila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan. Dimensi kualitas pelayanan sudah banyak dikenal yang meliputi reliability, responsiveness, assurance, emphaty, dan tangible. Ketiga adalah faktor emosional. Konsumen merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia apabila menggunakan produk dengan merek tertentu. Kepuasan ini bukan semata-mata karena kualitas produk tersebut, tetapi social value yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek produk tertentu. Keempat adalah harga. Produk yang mempunyai kualitas yang sama, tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggan. Di sini jelas bahwa faktor harga juga merupakan faktor yang penting bagi pelanggan untuk mengevaluasi tingkat kepuasannya. Kelima adalah biaya dan kemudahan untuk mendapatkan produk atau jasa. Pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan suatu biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa akan cenderung puas terhadap produk atau jasa tersebut.

Kepercayaan terhadap Merek (Trust In a Brand) (skripsi dan tesis)

 Pemahaman yang lengkap tentang loyalitas merek tidak dapat diperoleh tanpa penjelasan mengenai kepercayaan terhadap merek (trust in a brand) dan bagaimana hubungannya dengan loyalitas merek. Dalam pemasaran industri, para peneliti telah menemukan bahwa kepercayaan terhadap sales dan supplier merupakan sumber dari loyalitas. Kepercayaan terhadap merek merupakan kesediaan atau kemauan konsumen dalam menghadapi resiko yang berhubungan dengan merek yang dibeli akan memberikan hasil yang positif atau menguntungkan (Lau & Lee) dalam (Wijaya : 2009). Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Ketiga faktor ini berhubungan dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan antara merek dan konsumen. Adapun ketiga faktor tersebut adalah merek itu sendiri, perusahaan pembuat merek, dan konsumen. Selanjutnya (Lau & Lee : 1999) memproposisikan bahwa kepercayaan terhadap merek akan menimbulkan loyalitas merek. Hubungan ketiga faktor tersebut dengan kepercayaan merek dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Brand Characteristic,
Karakteristik merek mempunyai peran yang penting dalam menentukan pengambilan keputusan konsumen untuk mempercayai suatu merek, hal ini disebabkan konsumen melakukan penilaian sebelum membelinya. Karakteristik merek yang berkaitan dengan kepercayaan merek meliputi: Brand reputation (reputasi merek), brand predictability (merek yang dapat diramalkan), dan brand competence (kompentensi merek). Brand reputation, Mengacu pada pendapat orang lain tentang bagus tidaknya dan dapat dipercaya tidaknya suatu merek. Brand reputation dapat dikembangkan melalui iklan dan hubungan dengan masyarakat (public relation), tetapi kemungkinan juga dapat dipengaruhi oleh kualitas dan kinerja produk. Reputasi yang baik akan menguatkan kepercayaan konsumen.
 Greed dan Miles (Lau & Lee : 1999) menemukan bahwa reputasi suatu partai dapat membawa pada pengharapan positif, yang dihasilkan dalam pengembangan timbale balik antar partai. Jika konsumen merasakan bahwa orang lain berpendapat bahwa merek tersebut itu memiliki reputasi yang bagus, maka konsumen tersebut dapat mempercayai merek itu untuk kemudian membelinya. Setelah berpengalaman memakai, jika ternyata merek tersebut dapat memenuhi harapan konsumen, maka dapat dinyatakan bahwa reputasi yang bagus sudah memberikan umpan balik dalam membangun kepercayaan konsumen. Jika merek tidak memiliki reputasi yang bagus, konsumen akan menjadi semakin sangsi. Jadi persepsi konsumen bahwa suatu merek memiliki reputasi yang bagus sangatlah berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.
2.  Brand predictability, Berkaitan erat dengan kemampuan kelompok untuk meramalkan perilaku kelompok yang lain. Merek yang dapat diprediksi adalah merek yang memungkinkan konsumen untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dengan percaya diri yang beralasan. Prediktabilitas ini dapat terkait dengan tingkat kekonsistenan kualitas produk. (Lau & Lee) dalam (Wijaya : 2009) menggambarkan tiga kepercayaan yang dapat ditemui dalam hubungan bisnis; kepercayaan yang berdasar pada penolakan, kepercayaan yang berdasar pada pengetahuan, dan kepercayaan yang berdasar identifikasi. Kepercayaan yang berdasar pada pengetahuan tercipta jika suatu kelompok memiliki informasi yang cukup tentang kelompok lainnya untuk memahami dan memprediksi tingkah lakunya. (Lau & Lee) dalam (Wijaya : 2009) berpendapat bahwa prediktabilitas meningkatkan kepercayaan, seolah kelompok yang lain tidak dapat dipercaya, karena cara yang mengesampingkan kepercayaan dapat diprediksi. Prediktabilitas merek meningkatkan kepercayaan diri merek itu sendiri. Prediksi atau persepsi konsumen adalah bahwa suatu merek dapat diprediksikan erat kaitannya dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Brand competence, Merupakan merek yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh konsumen dan memenuhi segala keperluannya. Kemampuan mengacu pada keahlian dan karakteristik yang memungkinkan suatu kelompok mempunyai pengaruh yang dominan.
Sitkin dan Roth (Lau & Lee : 1999) menganggap bahwa kemampuan merupakan elemen penting yang mempengaruhi kepercayaan. Konsumen mungkin mengetahui Brand competence melalui penggunaan secara langsung atau komunikasi dari mulut ke mulut. Diyakini bahwa suatu merek mampu memecahkan permasalahannya, maka konsumen akan percaya terus pada merek tersebut. Dalam pasar industri, Swan dkk (Lau & Lee : 1999) mengungkapkan bahwa sales people industry yang konsumennya merasa puas dan merasakan kompetensi merek yang ditawarkannya, akan mendapat kepercayaan lebih.
3. Company Characteristic, Karakteristik perusahaan yang ada di balik suatu merek juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Pengetahuan konsumen tentang perusahaan yang ada di balik suatu merek kemungkinan dapat mempengaruhi penilaiannya terhadap merek tersebut. Karakteristik perusahaan yang diperkirakan dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen terhadap perusahaan (trust in the company) adalah reputasi perusahaan (company reputations), motivasi yang dirasakan oleh perusahaan (perceived motives of the company), dan integritas perusahaan yang dirasakan (company integrity). Trust in the company, (Kepercayaan terhadap Perusahaan). Trust in a company adalah rasa percaya bahwa perusahaan itu bagus, bonafit, dan mempunyai kemampuan untuk menciptakan produk yang berkualitas. Ketika kesatuan suatu komponen dipercaya, maka kesatuankesatuan yang lebih kecil juga cenderung dipercaya, karena kesatuankesatuan kecil tersebut bernaung pada kesatuan yang lebih besar. Dilihat dari segi perusahaan dan produk yang dikeluarkannya, perusahaan yang lebih besar merupakan kesatuan yang lebih besar, sementara itu merek merupakan kesatuan yang lebih kecil. Jadi konsumen yang menempatkan atau menaruh kepercayaan pada sebuah perusahaan, kemungkinan akan mempercayai merek yang dikeluarkannya.
4. Company Reputation, Bila seorang konsumen merasa bahwa orang lain berpendapat bahwa perusahaan yang berada di balik merek yang dipilihnya terkenal adil dan bijak, konsumen tersebut akan merasa lebih aman dalam menerima dan menggunakan produk perusahaan tersebut. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan yang lebih besar terhadap merek tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, persepsi konsumen bahwa perusahaan memiliki reputasi kesetaraan sangat berkaitan erat dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.
5. Perceived Motives of the Company, (motif perusahan yang dirasakan pelanggan). (Remple dkk) dalam (Wijaya : 2009) menemukan bahwa motif – motif yang dirasakan dari partner jual beli mempengaruhi kepercayaan terhadap partner tersebut. Intensionalitas merupakan suatu cara untuk mengembangkan kepercayaan dalam hubungan jual-beli industri. Intensionalitas erat kaitannya dengan interpretasi dan penilaian kelompok terhadap motif-motif kelompok lain. Ketika suatu kelompok dirasa membawa keuntungan, kelompok tersebut akan dipercaya. Sama halnya dengan (Jones dkk : 1975) mengungkapkan bahwa ruang lingkup perilaku pimpinan yang relevan bagi kepentingan bawahannya mempengaruhi kepercayaan diri dan kepercayaan terhadap pimpinan. Oleh karena itu, motif yang baik merupakan faktor yang penting dalam suatu hubungan. Dalam konteks suatu merek, ketika konsumen merasa bahwa perusahaan yang ada di balik merek banyak mendatangkan keuntungan dan bertindak sesuai dengan minat mereka, maka konsumen akan mempercayai merek tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan, persepsi konsumen bahwa perusahaan memiliki motif yang menguntungkan sangat berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek yang diluncurkan perusahaan tersebut. Company Integrity, Integritas perusahaan merupakan persepsi konsumen yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang logis, misalnya menepati janji, bertindak etis, dan berlaku jujur.
Definisi ini sesuai dengan ungkapan (Mayer dan Colleman) dalam (Wijaya : 2009) mengenai integritas yang diharapkan. Tingkat sejauh mana perusahaan dinilai memiliki integritas tergantung pada konsistensi tindakan perusahaan tersebut pada masamasa sebelumnya, komunikasi yang kredibel dengan kelompok-kelompok lain, kepercayaan yang dimiliki, rasa keadilan yang kuat, dan intensitas dari tindakan-tindakan perusahaan yang sesuai dengan pernyataannya. Jika perusahaan dirasakan mempunyai integritas, maka merek produknya akan dipercaya konsumen. Dengan demikian dapat disimpulkan, persepsi konsumen bahwa perusahaan memiliki integritas sangatlah terkait dengan kepercayaan konsumen terhadap merek yang diluncurkan oleh perusahaan tersebut.
 6. Consumer-Brand Characteristic, Totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan dirinya sebagai objek sehingga sering kali dalam konteks pemasaran dianalogkan merek sama dengan orang. Konsumen sering kali berinteraksi dengan merek seolah olah merek tersebut adalah manusia sehingga kesamaan antara konsep diri konsumen dengan merek dapat membangun kepercayaan terhadap merek. Karakteristik ini meliputi kemiripan antara konsep emosional konsumen dengan kepribadian merek (Similarity between Consumer Self-Concept and Brand Personality), kesukaan terhadap merek (brand liking) dan pengalaman terhadap merek (Brand Experience).
7. Similarity between Consumer’s Self-Concept and Brand Personality, (Kemiripan antara konsep diri konsumen dengan kepribadian merek). Konsep diri merupakan totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan dirinya sebagai suatu obyek. Sebuah analogi populer yang digunakan dalam konteks pemasaran adalah, merek sama seperti orang. Jadi suatu merek dapat memiliki kesan atau kepribadian. Kepribadian merek adalah asosiasi yang terkait dengan merek yang diingat oleh konsumen dalam menerimanya. Kepribadian merek ini mirip dengan kepribadian manusia, bersifat abadi dan bersifat unik. Konsumen seringkali berinteraksi dengan merek seolaholah merek tersebut adalah manusia, khususnya bila merek tersebut merupakan produk yang bermutu tinggi seperti pakaian dan mobil. Jika ciri-ciri fisik suatu merek dinilai sesuai dengan kesan dari konsumen terhadap suatu produk, kemungkinan besar konsumen akan percaya pada merek tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kesamaan antara konsep diri konsumen dengan kepribadian merek sangat berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.
8. Brand Liking
 Brand liking menunjukkan kesukaan yang dimiliki oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain karena kesamaan visi dan daya tariknya. (Bennet) dalam (Wijaya : 2009) berpendapat bahwa, untuk mengawali hubungan suatu kelompok harus disukai atau mendapat simpati dari kelompok yang lain. Bagi konsumen, untuk membuka hubungannya dengan suatu merek, maka konsumen tersebut harus menyukai dulu merek tersebut. Di pasar konsumen, jika seorang konsumen menyukai suatu jenis merek (yaitu suatu merek yang menurutnya sesuai dan menarik), kemungkinan konsumen akan lebih mempercayai merek tersebut. Secara formal dapat dinyatakan, simpati konsumen terhadap suatu merek sangat berhubungan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.
9. Brand Experience,
Yang dimaksud dengan pengalaman merek (brand experience) adalah pengalaman masa lalu konsumen dengan merek tersebut, khususnya dalam lingkup pemakaian. (Zucker) dalam (Wijaya : 2009) mengungkapkan bahwa dalam pengembangan kepercayaan yang bersandar pada proses, timbal balik (saling bertukar) merupakan kuncinya. Pengalaman akan memberikan pada dua kelompok yang melakukan hubungan saling memahami satu dengan yang lainnya. Jadi, pengalaman kemungkinan besar dapat membangun kepercayaan partner. Juga ketika seorang konsumen mendapat banyak pengalaman dengan suatu merek, maka konsumen tersebut dapat memahami merek secara lebih baik dan kepercayaannya akan semakin meningkat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengalaman konsumen dengan suatu merek sangat berkaitan dengan kepercayaannya terhadap merek tersebut.
10. Brand Satisfaction, Kepuasan terhadap suatu merek dapat didefinisikan sebagai hasil evaluasi subyektif terhadap apa yang telah dicapai oleh merek terpilih dalam rangka memenuhi apa yang diharapkan konsumen. Fenomena ini sesuai dengan paradigm diskonfirmasi kepuasan konsumen, di mana perbandingan antara harapan konsumen dengan hasil yang dirasakan sangat mencirikan definisi “kepuasan”.
11.Peer Support, (Bearden, et.al : 1989) berpendapat bahwa, salah satu determinan perilaku individu adalah pengaruh yang dibawa oleh individu lain. Untuk menyatakan secara tidak langsung bahwa pengaruh sosial merupakan determinan penting dalam pembentukan perilaku individu. Implikasi dalam dunia pemasaran menurut (Doney & Canon : 1997) jika seorang konsumen membeli suatu merek dan temannya mengatakan bagus maka ia percaya pada merek tersebut. Pada dasarnya, kalau orang lain banyak yang menyatakan bahwa suatu produk bagus, berarti produk tersebut memang bagus dengan catatan tidak ada dramatisasi dalam hal ini. Kesimpulan yang dapat diungkapkan dari pendapat di atas adalah, peer support suatu merek sangat berhubungan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.

Loyalitas Merek (Brand Loyalty) (skripsi dan tesis)

Merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam strategi pemasaran. Keberadaan konsumen yang loyal pada merek sangat diperlukan agar perusahaan dapat bertahan hidup. Loyalitas dapat diartikan sebagai suatu komitmen yang mendalam untuk melakukan pembelian ulang produk atau jasa yang menjadi preferensinya secara konsisten pada masa yang akan datang dengan cara membeli ulang merek yang sama meskipun ada pengaruh situasional dan usaha pemasaran yang dapat menimbulkan perilaku peralihan. Mendefinisikan brand loyalty sebagai “A measure of the attachment that a costumer has a brand“ (Aaker) dalam (Riana : 2008). Loyalitas merek menunjukkan adanya suatu ikatan antara pelanggan dengan merek tertentu dan ini sering kali ditandai dengan adanya pembelian ulang dari pelanggan. Menurut (Minor & Mowen : 2002) loyalitas dapat didasarkan pada perilaku pembelian aktual produk yang dikaitkan dengan proporsi pembelian. Perusahaan yang mempunyai basis pelanggan yang mempunyai loyalitas merek yang tinggi dapat mengurangi biaya pemasaran perusahaan karena biaya untuk mempertahankan pelanggan jauh lebih murah dibandingkan dengan mendapatkan pelanggan baru. Loyalitas merek yang tinggi dapat meningkatkan perdagangan. Dan dapat menarik minat pelanggan baru karena mereka memiliki keyakinan bahwa membeli produk bermerek minimal dapat mengurangi risiko. Keuntungan lain yang didapat dari loyalitas merek adalah perusahaan dapat lebih cepat untuk merespons gerakan pesaing.

Pengertian Merek (Brand) (skripsi dan tesis)

Keahlian yang sangat unik dari pemasar profesional adalah kemampuannya untuk menciptakan, memelihara, melindungi, dan meningkatkan merek. Para pemasar mengatakan bahwa pemberian merek adalah seni dan bagian paling penting dalam pemasaran.
Menurut American Marketing Association (Kotler : 2000) merek adalah nama,
istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing.
Menurut (Aaker) dalam (Riana : 2008) merek adalah “ A distinguishing name and / or symbol (such as logo, trade mark, or package design ) intended to identify to goods or services of either one seller of a group of seller, and to differentiate those goods or services from those of competitors “.
Suatu merek pada gilirannya memberi tanda pada konsumen mengenai sumber produk tersebut. Di samping itu, merek melindungi, baik konsumen maupun produsen dari para kompetitor yang berusaha memberikan produk-produk yang tampak identik.
Merek sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan keistimewaan, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek-merek terbaik memberikan jaminan mutu. Akan tetapi, merek lebih dari sekadar simbol.
Merek dapat memiliki enam level pengertian (Kotler : 2000) yaitu sebagai berikut:

1. Atribut: merek mengingatkan pada atribut tertentu. Mercedes memberi kesan sebagai mobil yang mahal, dibuat dengan baik, dirancang dengan baik, tahan lama, dan bergengsi tinggi.
2. Manfaat: bagi konsumen, kadang sebuah merek tidak sekadar menyatakan atribut, tetapi manfaat. Mereka membeli produk tidak membeli atribut, tetapi membeli manfaat. Atribut yang dimiliki oleh suatu produk dapat diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan atau emosional. Sebagai contoh : atribut “tahan lama“ diterjemahkan menjadi manfaat fungsional “tidak perlu cepat beli lagi, atribut “mahal“ diterjemahkan menjadi manfaat emosional “bergengsi”, dan lain-lain.
3. Nilai: merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Jadi, Mercedes berarti kinerja tinggi, keamanan, gengsi, dan lain-lain.
4. Budaya: merek juga mewakili budaya tertentu. Mercedes mewakili budaya Jerman, terorganisasi, efisien, bermutu tinggi.
5. Kepribadian: merek mencerminkan kepribadian tertentu. Mercedes mencerminkan pimpinan yang masuk akal (orang), singa yang memerintah (binatang), atau istana yang agung (objek).
6. Pemakai: merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut.
Mercedes menunjukkan pemakainya seorang diplomat atau eksecutif. Pada
intinya merek adala penggunaan nama, logo, trade mark, serta slogan untuk
membedakan perusahaan perusahaan dan individu-individu satu sama lain dalam hal apa yang mereka tawarkan. Penggunaan konsisten suatu merek, simbol, atau logo membuat merek tersebut segera dapat dikenali oleh konsumen sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengannya tetap diingat. Dengan demikian, suatu merek dapat mengandung
tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1. Menjelaskan apa yang dijual perusahaan.
2. Menjelaskan apa yang dijalankan oleh perusahaan.
3. Menjelaskan profil perusahaan itu sendiri.
Suatu merek memberikan serangkaian janji yang di dalamnya menyangkut
kepercayaan, konsistensi, dan harapan. Dengan demikian, merek sangat penting, baik bagi konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, merek bermanfaat untuk mempermudah proses keputusan pembelian dan merupakan jaminan akan kualitas. Sebaliknya, bagi produsen, merek dapat membantu upaya-upaya untuk membangun loyalitas dan hubungan berkelanjutan dengan konsumen

Perencanaan Brand experience (skripsi dan tesis)

Untuk menciptakan dan menyampaikan brand-based experience kepada
konsumen, pemasar atau perusahaan perlu mengetahui apa itu perencanaan dari pengalaman itu sendiri, seperti bagaimana berinteraksi dengan pelanggan, dan perlu adanya tindakan nyata untuk melakukan interaksi kepada pelanggan, untuk menciptakan pengalaman. Proses dari brandslation, atau pengartian sebuah merek, membantu perusahaan untuk menciptakan brand proposition dengan cara yang membantu menciptakan pengalaman merek. Pada akhirnya perencanaan ini akan menciptakan interaksi dari organisasi untuk menciptakan pengalaman merek itu sendiri.
Di bawah ini adalah struktur yang disarankan Filho (2014) dalam menyusun
cara-cara melakukan strategi brand experience dan bagaimana hasil dari
brandslation seharusnya.
1. Hubungan merupakan metaphor brand experience proposition, merupakan
inti dari brand experience itu sendiri. Hal tersebut menggambarkan
bagaimana karakter merek dan bagaimana konsumen berinteraksi satu sama
lain. Contoh bagaimana berinteraksi dengan mereka, dan bagaimana sikap
mereka, dapat membantu menjelaskan tentang bagaimana persepsi dari
merek yang diinginkan perusahaan, diposisikan di benak konsumen.
Pengalaman dari pelayanan dapat di jadikan cara untuk menetapkan tujuan,
dalam menjalin hubungan jangka pendek dengan konsumen.
2. Sumber daya manusia merupakan sesuatu yang penting dalam melakukan
pelayanan dan dalam membantu proses brandslation untuk menciptakan
karakter dari merek itu sendiri. Dalam menciptakan pengalaman,
diperlukan sumber daya manusia yang dapat menciptakan interaksi dan
menjalin hubungan antara merek atau perusahaan dengan konsumen.
Manusia sebagai inti dalam menciptakan hubungan dengan pelanggan,
membantu perusahaan dala mewujudkan karakter dari merek yang ingin
dibangun didalam benak konsumen perusahaan.
3. Mengatur nilai dan sikap dari personil atau karyawan dalam
mengkomunikasian strategi dari brand experience, malalui titik – titik
interaksi yang ada, seperti di dalam customer service, hal ini bertujuan
untuk memudahkan dalam mengkomunikasikan brand experience yang
ingin dibangun oleh perusahaan.
4. Menciptakan dasar atau asas yang dapat menjelaskan konsistensi dari sikap
dan nilai dalam mengkomunikasian brand experience melalui titik –titik
interaksi yang ada. hal ini berdasarkan analisis dari bagaimana merek itu di
dipersepsikan dan siapa yang ingin menjadi target sasaran, dan dapat
menciptakan hubungan antara brand image dengan brand identity.
5. service moments merupakan contoh bagaimana konsumen merasakan
pengalaman dari brand experience melalui beberapa titik pelayanan yang
telah ditentukan sebelumnya

Dalam menciptakan pengalaman merek, dibutuhkan perubahan semantik,
merubah Sesuatu makna menjadi sebuah elemen dari desain sebuah produk
Proses tersebut merupakan tahapan awal dari proses New Service Development (NSD) ketika konsep dari suatu pelayanan di definisikan, dan ketika perencanaan dari sistem pelayanan dan proses dari pelayanan di desain. Proses perubahan semiotika ini memberikan pemahaman bahwa merek dapat diartikan dan dianalogikan dalam karakteristik dari desain produk atau jasa, yang nantinya akan berinteraksi dengan pelanggan yang akan menghasilkan brand image. Dalam pengertian lain, perencanaan merek harus diartikan kedalam sesuatu yang dapat dirasakan oleh konsumen melalui sebuah interaksi pelayanan, jadi ketika konsumen berinteraksi dengan orang yang melakukan pelayanan, mereka dapat merasakan kehadiran dari sebuah merek (Filho : 2014).

Pengertian Brand Exprience (skripsi dan tesis)

Brand experience adalah pengalaman masa lalu konsumen dengan merek tersebut, khususnya dalam lingkup pemakaian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengalaman konsumen terhadap suatu merek sangatlah berkaitan dengan kepercayaan terhadap merek tersebut. Menurut Brakus et al (2009) Brand experience didefinisikan sebagai sensasi, perasaan, kognisi, dan tanggapan konsumen yang ditimbulkan oleh merek, terkait rangsangan yang ditimbulkan oleh desain merek, identitas merek, komunikasi pemasaran, orang dan lingkungan merek tersebut dipasarkan. Menurut Neumeier (2013) brand experience adalah seluruh interaksi dari seseorang terhadap produk, servis, organisasi, yang kesemuanya merupakan bahan baku dari sebuah merek. Sedangkan teori yang dikemukakan oleh Filho (2014) dalam penelitiannya brand experience adalah transisi antara strategi merek dengan pengalaman konsumen. Teori tentang brand experience lainnya dikemukakan oleh Ambler dalam Filho, 2014, bahwa brand experience tercipta ketika konsumen mengkonsumsi produk atau jasa dari merek tersebut, menceritakannya kepada orang lain tentang merek tersebut dan mencari tahu informasi terkait dengan promosi, event, dan lain – lain. Brand experience dapat diasumsikan sebagai persepsi konsumen terhadap touch point yang ada, baik itu promosi, atau kontak langsung dengan orang yang melakukan kegiatan servis. Menurut Tulianti dan Tung (2013) dalam skripsi Hilmi, B (2015), menyebutkan brand experience merupakan respon internal dari pelanggan dan respon perilaku yang ditimbulkan oleh rangsangan merek yang terkait yang merupakan bagian dan desain merek identitas, kemasan, komunikasi, dan lingkungan. Brand experience merupakan aspek pengalaman yang terdiri dari seluruh pemahaman dan persepsi merek oleh pelanggan. Maka dari itu, pemasar harus memahami pengalaman pelanggan tentang merek mereka untuk dapat mengembangkan strategi pemasaran. Dalam strategi merek, pengalaman mengenai merek menjadi hal yang penting. Tidak ada yang lebih kuat daripada pengalaman pelanggan terhadap merek.

Karakteristik merek (skripsi dan tesis)

a. Brand reputation Reputasi dari merek bias dikatakan sebagai suatu opini dari pihak lain bahwa merek tersebut baik dan dapat diandalkan. (Lau dan lee, 1999). Reputasi merek dikembangkan melalui advertising dan public relation, selain itu dapat juga dipengaruhi word of mouth. Creed dan Miles dalam Laud dan Lee (1999) mengemukakan bahwa jika seorang konsumen mempunyai persepsi bahwa orang lain memiliki opini suatu merek itu baik, maka konsumen tersebut akan percaya untuk membeli. Dan sebaliknya.
b. Brand predictability Predictable brand adalah merek yang bias diantisipasi oleh pengguna merek, diperkirakan atau diramalkan berkaitan dengan apa saja tentang merek tersebut, dengan keyakinan yang masuk akal (Lau dan Lee, 1999). Kemampuan untuk memprediksi dapat mengaci pada konsistensi dari kualitas suatu produk atau jasa. Dimana suatu prediksi dapat muncul dari interaksi berulan, seperti halnya ketika perusahaan memberi janji dan mengenal karakteristik konsumennya dan konsumen dapat mengenal dan mempelajari produk tersebut.
c. Brand competence Merek yang kompeten adalah merek yang memiliki kemampuan untuk memcahkan permasalah konsumen dan memenuhi kebutuhan konsumen (Butler dan Cantrell, 1984; Butler 1991 dalam Lau dan Lee, 1999). Seorang konsumen dapat mengetahui kemampuan dari sebuah merek dengan menggunakannya secara langsung atau melalui word of mouth communication (Lau dan Lee : 1999).

Tingkat Pengertian Merek (skripsi dan tesis)

Merek memiliki enam tingkat pengertian (Rangkuti, 2008 : 3), yaitu:
a. Atribut Setiap merek memiliki atribut. Atribut ini dikelola dan diciptakan agar pelanggan dapat mengetahui dengan pasti atribut-atribut apa saja yang terkandung dalam suatu merek. Misalnya, iPhone 6s merupakan sebuah smartphone terbaru Apple yang mengandalkan kemampuan kamera, layar serta keeksklusifan yang dimiliki oleh smartphone tersebut.
 b. Manfaat  Merek tidak hanya memberikan kaitan terhadap atribut – atribut produk atau bentuk lainnya, namun juga memberikan sebuah arti manfaat dari produk tersebut. Produsen harus mampu menerjemahkan manfaat atribut menjadi manfaat emosional atau fungsional.
 c. Nilai Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai bagi konsumen. Merek yang memiliki nilai tinggi akan dihargai oleh konsumen sebagai merek yang berkelas sehingga dapat mencerminkan siapa pengguna merek tersebut.
 d. Budaya Merek juga dapat mewakili budaya tertentu, misalnya, Mercedes benz memiliki budaya jerman yang memiliki budaya organisasi yang baik, mewakili kinerja para karyawan yang efisien dan efektif, serta kecanggihan teknologi yang mewakili budaya inovatif.
e. Kepribadian Sebuah merek juga memberikan identitas kepribadian tertentu. Pada sebuah produk atau jasa, kepribadian dapat membangun hubungan tertentu dengan memberikan ikatan emosional terhadap produk atau jasa. Merek juga mewakili kepribadian yaitu kepribadian penggunanya. Jadi diharapkan denggan menggunakan merek, kepribadian si pengguna akan tercermin ketika menggunakan merek tersebut.
 f. Pemakai Merek dapat memberikan sinyal siapa, bagaimana karakteristik konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut, serta menunjukkan jenis atau kelas konsumen pemakai merek tersebut

Definisi Merek atau Brand (skripsi dan tesis)

Pada zaman modern seperti saat ini, suatu perusahaan perlu melakukan pengembangan strategi pemasaran untuk mendapatkan hasil yang maksimal, tidak hanya dalam hal laba maupun penjualan, melainkan bagaimana agar terus bertahan dalam persaingan bisnis. Oleh karena itu untuk membedakan antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain, diperlukan sebuah merek (branding). Diperlukan keahlian untuk menciptakan, memeliharan, melindungi dan meningkatkan merek. Menurut Kotler (2008 : 275), merek adalah sebagai nama, istilah, tanda, lambing, atau kombinasi dari hal – hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Merek dibagi dalam beberapa pengertian (Rangkuti, 2008 : 2): a. Brand name (nama merek)  Merupakan bagian dari produk atau jasa yang dapat diucapkan. Contohnya seperti The Botol, Honda, Asus dan lain-lain.
b. Brand mark (tanda merek) Merupakan bagian dari merek yang dapat dikenali namun tidak dapat diucapkan, seperti lambing, atau desain huruf atau warna khusus. Contoh : lambing garpu tala milik Yamaha
c. Trade Mark (merek dagang) Merupakan merek atau sebagian merek yang dilindungi hokum karena kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu yang istimewa. d. Copyright (hak cipta) Merupakan hak istimewa yang dilindungi oleh hokum utnuk memproduksi, menerbitkan dan menjual karya seperti tulisan, music, video, dan lain-lain

Tahapan Umum Menggunakan SEM (skripsi dan tesis)

Tahapan dalam menggunakan SEM secara garis besar, adalah sebagai berikut (Jogiyanto, 2011): 1. Spesifikasi model, yaitu membangun model yang sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian dengan landasan teori yang kuat. 2. Estimasi parameter bebas, yaitu komparasi matrik kovarian yang merepresentasi hubungan antar variabel dengan mengestimasinya ke dalam model yang paling sesuai. Parameter untuk mengukur kesesuaian model adalah maximum likelihood, weighted least squares atau asymptotically distribution-free methods. 3. Assessment of fit, yaitu eksekusi estimasi kesesuaian model dengan menggunakan parameter anatara lain : Chi-Square (ukuran dasar kesesuaian model yang secara konseptual merupakan fungsi dari ukuran sampel dan perbedaan antara matrik kovarian yang diobservasi dengan matrik kovarian model), Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA), Standarized Root Mean Residual (SRMR), and Comparative Fit Index (CFI). 4. Modifikasi model, yaitu mengembangkan model yang diuji di awal untuk meningkatkan goodness-of-fit (GOF) model. Peluang untuk mengembangkan model tergantung besarnya degree of freedom dari model. Namun, pengembangan model harus mempertimbangkan dasar teori, tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan alasan/argument statistis. 5. Interpretasi dan komunikasi, yaitu interpretasi hasil pengujian statistika dan pengakuan bahwa konstruk yang dibangun berdasarkan model yang paling sesuai. Namun, hasil tersebut dapat dicapai ketika desain riset dibangun secara cermat sehingga dapat membedakan hipotesis rival. 6. Replikasi dan validasi ulang, yaitu kemampuan model yang dimodifikasi untuk dapat direplikasi dan divalidasi ulang sebelum hasil penelitian diinterpretasi dan dikomunikasikan

Pemodelan SEM-PLS (skripsi dan tesis)

Diagram lintasan (path diagram) dalam SEM digunakan untuk menggambarkan model SEM agar lebih jelas dan mudah dimengerti. Notasi dan simbol dalam SEM serta variabel-variabel yang berkaitan perlu diketahui untuk dapat menggambarkan diagram jalur sebuah persamaan, kemudian hubungan diantara model-model tersebut dimasukkan ke dalam model persamaan struktural dan model pengukuran.

\Evaluasi model PLS dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan mengevaluasi outer model dan inner model. Outer model merupakan model pengukuran untuk menilai validitas dan reliabilitas model. Inner model merupakan model struktural untuk memprediksi hubungan antar variabel laten

Metode SEM-PLS (skripsi dan tesis)

SEM (Structural Equation Modeling) adalah suatu teknik statistika untuk menguji dan mengestimasi hubungan kausal dengan mengintegrasikan analisis faktor dan analisis jalur (Wright dalam Jogiyanto, 2011). SEM dapat berbasis varian dan kovarian. SEM berbasis varian adalah SEM yang menggunakan varian dalam proses iterasi atau blok varian antar indikator atau parameter yang diestimasi dalam satu variabel laten tanpa mengkorelasikannya dengan indikator-indikatornya yang ada divariabel laten lain dalam satu model penelitian (Jogiyanto, 2011). Salah satu SEM berbasis varian yang mulai banyak digunakan adalah PLS. Analisis Partial Least Square (PLS) adalah teknik statistika multivariat yang melakukan pembandingan antara variabel dependen berganda dan variabel independen berganda (Jogiyanto, 2011). PLS adalah salah satu metoda statistika SEM berbasis varian yang didesain untuk menyelesaikan regresi berganda ketika terjadi permasalahan spesifik pada data, seperti ukuran sampel penelitian kecil, adanya data yang hilang (missing values), dan multikolinearitas (Field dalam Jogiyanto, 2011). SEM-PLS mampu menganalisis variabel yang tidak dapat diukur langsung. Variabel yang tidak dapat diukur secara langsung dalam SEM-PLS disebut variabel laten atau konstruk yang harus diukur dengan indikator. SEM-PLS bertujuan untuk menguji hubungan prediktif antar konstruk dengan melihat, apakah ada hubungan atau pengaruh antar konstruk tersebut (Dwipradnyana dkk, 2017). SEM–PLS dapat digunakan untuk ukuran sampel lebih besar dari 250 sampel dan tidak mensyaratkan asumsi data berdistribusi normal (Sholihin dan Ratmono, 2013).

Partial Least Square (PLS) (skripsi dan tesis)

Pendekatan PLS dikembangkan pertama kali oleh seorang ahli ekonomi dan statistika bernama Herman Ole Andreas Wold. Pada tahun 1974, Wold memperkenalkan PLS secara umum dengan menggunakan algorithm NIPALS (nonlinear iterative partial least squares) yang berfokus untuk maximize variabel eksogen (X) untuk menjelaskan variance variabel endogen (Y) dan menjadi metoda alternatif untuk OLS regresi. Menurut Wold dibandingkan dengan 16 pendekatan lain dan khususnya metoda estimasi Maximum Likelihood, NIPALS lebih umum oleh karena bekerja dengan sejumlah kecil asumsi zero intercorrelation antara residual dan variabel. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Fornell dan Bookstein (1982) bahwa PLS menghindarkan dua masalah serius yang ditimbulkan oleh SEM berbasis covariance yaitu improper solutions dan factor indeterminacy. Partial Least Squares merupakan metoda analisis yang powerfull dan sering disebut juga sebagai soft modeling karena meniadakan asumsi-asumsi OLS (Ordinary Least Squares) regresi, seperti data harus berdistribusi normal secara multivariate dan tidak adanya problem multikolonieritas antar variabel eksogen (Wold, 1985). Pada dasarnya Wold mengembangkan PLS untuk menguji teori yang lemah dan data yang lemah seperti jumlah sampel yang kecil atau adanya masalah normalitas data (Wold, 1985). Walaupun PLS digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya hubungan antar variabel laten (prediction), PLS dapat juga digunakan untuk mengkonfirmasi teori (Chin, 1998). Sebagai teknik prediksi, PLS mengasumsikan bahwa semua ukuran varian adalah varian yang berguna untuk dijelaskan sehingga pendekatan estimasi variabel laten dianggap sebagai kombinasi linear dari indikator dan menghindarkan masalah factor indeterminacy. PLS menggunakan iterasi algorithm yang terdiri dari seri OLS (Ordinary Least Squares) maka persoalan identifikasi model tidak menjadi masalah untuk model recursive (model yang mempunyai satu arah kausalitas) dan menghindarkan masalah untuk model yang bersifat non-recursive (model yang bersifat timbal-balik atau reciprocal antar variabel) yang dapat diselesaikan oleh SEM berbasis covariance. Sebagai alternatif analisis covariance based SEM, pendekatan variance based dengan PLS mengubah orientasi analisis dari menguji model kausalitas (model yang dikembangkan berdasarkan teori) ke model prediksi komponen (Chin, 1998). CB-SEM lebih berfokus pada building models yang dimaksudkan untuk menjelaskan covariances dari semua indikator konstruk, sedangkan tujuan dari PLS adalah prediksi. Oleh karena PLS lebih menitikberatkan pada data dan dengan prosedur estimasi yang terbatas, persoalan misspecification model tidak terlalu berpengaruh terhadap estimasi parameter. Algoritma dalam PLS adalah untuk mendapatkan the best weight 17 estimate untuk setiap blok indikator dari setiap variabel laten. Setiap variabel laten menghasilkan komponen skor yang didasarkan pada estimated indicator weight yang memaksimumkan variance explained untuk variabel dependen (laten, observed atau keduanya) (Yamin dan Kurniawan, 2011). Kelebihan dalam PLS antara lain (1) algoritma PLS tidak terbatas hanya untuk hubungan antara indikator dengan variabel latennya yang bersifat refleksif namun juga bisa dipakai untuk hubungan formatif, (2) PLS dapat digunakan untuk ukuran sampel yang relatif kecil, (3) dapat digunakan untuk model yang sangat kompleks, (4) dapat digunakan ketika distribusi skew (Yamin dan Kurniawan, 2011). PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif, hal ini tidak mungkin dijalankan dalam CB-SEM karena akan terjadi unidentified model. Oleh karena algorithm dalam PLS menggunakan analisis series ordinary least square, maka identifikasi model bukan masalah dalam model rekursif dan juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu dari pengukuran variabel. Lebih jauh algorithm dalam PLS mampu mengestimasi model yang besar dan komplek dengan ratusan variabel laten dan ribuan indikator. Namun, metode PLS juga memiliki kekurangan yakni distribusi data tidak diketahui sehingga tidak bisa menilai signifikansi statistik. Kelemahan pada metode partial least square ini bisa diatasi dengan menggunakan metode resampling atau bootstrap (Ghozali, 2011).

Analisis Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis/CFA) (skripsi dan tesis)

Analisis faktor konfirmatori atau CFA adalah salah satu diantara metode statistik multivariat yang digunakan untuk menguji dimensionalitas suatu konstruk atau mengkonfirmasi apakah model yang dibangun sesuai dengan yang dihipotesiskan oleh peneliti. Model yang dihipotesiskan terdiri dari satu atau lebih variabel laten yang diukur oleh indikator-indikatornya. Dalam CFA, variabel laten dianggap sebagai variabel penyebab (variabel bebas) yang mendasari variabelvariabel indikator (Ghozali, 2011). Variabel-variabel dalam CFA terdiri dari variabel yang dapat diamati atau diukur langsung disebut variabel manifes (manifest variable) dan variabel-variabel yang tidak dapat diukur secara langsung disebut dengan variabel laten (latent variable), yang dapat dibentuk dan dibangun dengan variabel-variabel yang dapat diukur (variabel indikator). Dalam CFA biasanya tidak mengasumsikan arah hubungan, tapi menyatakan hubungan korelatif atau hubungan kausal antar variabel. Sehingga dapat dikatakan bahwa CFA digunakan untuk mengevaluasi pola-pola hubungan antar variabel, apakah suatu indikator mampu mencerminkan variabel laten, melalui ukuran-ukuran statistik.

Analisis Jalur (Path Analysis) (skripsi dan tesis)

Analisis jalur (path analysis) merupakan suatu teknik statistika yang bertujuan untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang terjadi pada model regresi berganda jika variabel prediktornya mempengaruhi variabel respon tidak secara langsung tetapi juga secara tidak langsung. Analisis jalur digunakan untuk mengetahui apakah data yang digunakan telah mendukung teori, yang sebelumnya atau  telah dihipotesiskan oleh peneliti mencakup kaitan struktural hubungan kausal antar variabel terukur. Subyek utama dalam analisis jalur adalah variabel-variabel yang saling berkorelasi. Dengan analisis jalur, semua pengaruh baik langsung (direct effect) maupun tak langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total couse effect) pada suatu faktor dapat diketahui. Dalam perkembangannya, analisis jalur ini dilakukan dalam kerangka pemodelan SEM

Istilah dan Notasi dalam SEM (skripsi dan tesis)

 

Terdapat beberapa istilah dan notasi yang sering digunakan pada SEM, berikut ini merupakan penjelasan singkat mengenai istilah-istilah dalam SEM (Ghozali, 2011):
a. Variabel laten atau construct atau unobserved variables merupakan variabel yang tidak dapat diukur melalui observasi secara langsung namun memerlukan beberapa indikator untuk dapat mengukurnya.

b. Variabel indikator atau manifest variables atau observed variable adalah variabel yang dapat diukur dan diamati secara langsung, variabel indikator/manifes digunakan untuk mengukur sebuah variabel laten.

c. Variabel eksogen adalah variabel yang tidak dipengaruhi variabel lain, ditunjukkan dengan tidak ada tanda panah yang mengarah pada variabel tersebut. Variabel eksogen dinotasikan dengan simbol  (ksi) yang merupakan penduga atau penyebab untuk variabel lainnya dalam suatu model persamaan struktural. Jika terdapat dua variabel eksogen yang saling berkorelasi, ditunjukkan dengan gambar tanda panah dua arah (nonrecursive) yang menghubungkan kedua variabel tersebut.
d. Variabel endogen, dinotasikan dengan simbol  (eta) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lainnya (independent variable) dalam suatu model penelitian. Variabel endogen ditunjukkan dengan adanya tanda panah yang mengarah pada variabel tersebut.
e. Variabel antara yang ditunjukkan dengan adanya tanda panah yang mengarah dan meninggalkan suatu variabel, sedangkan variabel terikat hanya memiliki tanda panah yang mengarah ke variabel tersebut. f. Model struktural atau disebut juga dengan inner model adalah model yang menggambarkan hubungan-hubungan antara variabel laten. Sebuah hubungan diantara variabel laten serupa dengan sebuah persamaan regresi linier diantara variabel laten tersebut.
g. Model pengukuran (measurement model) atau outer model adalah model yang menghubungkan variabel indikator dengan variabel laten.
 h. Loading factor dinotasikan dengan simbol  (lambda) adalah nilai yang menyatakan hubungan-hubungan antara variabel laten dengan indikatornya. Faktor loading memiliki nilai diantara -1 sampai dengan 1 seperti korelasi. i. Indikator reflektif adalah indikator yang menjelaskan bahwa variabel laten merupakan pencerminan dari indikator-indikatornya. Pada indikator reflektif, kesalahan pengukuran (error) adalah pada tingkat indikator dan disimbolkan dengan  (epsilon) atau  (delta). j. Indikator formatif adalah indikator yang menjelaskan bahwa variabel laten dibentuk atau disusun oleh indikatornya. Sehingga seolah-olah variabel laten dipengaruhi oleh indikator-indikatornya. Pada indikator formatif kesalahan pengukuran berada pada tingkat variabel laten dan dinotasikan oleh  (zeta)

Jenis kesalahan dalam SEM (skripsi dan tesis)

Jenis kesalahan dalam SEM ada dua, yaitu: a. Kesalahan struktural (structural error) yaitu kesalahan pada model struktural dan disebut dengan error atau noise. b. Kesalahan pengukuran (measurement error) yaitu kesalahan pada model pengukuran.

Jenis model dalam SEM (skripsi dan tesis)

Jenis model dalam SEM ada dua, yaitu: a. Model struktural (structural model/inner model) yaitu model yang menggambarkan hubungan-hubungan diantara varibel laten yang membentuk persamaan simultan. b. Model pengukuran (measurement model/outer model) yaitu model yang menjelaskan hubungan sebuah variabel laten dengan variabel manifes dalam bentuk analisis faktor

Jenis variabel dalam SEM (skripsi dan tesis)

. Jenis variabel dalam SEM ada dua, yaitu: a. Variabel laten (unobserved variabel atau latent variable) yaitu variabel yang tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat direpresentasikan oleh satu atau lebih variabel manifes/indikator. Menurut Kuntoro (2006), variabel laten ada dua macam, yaitu variabel laten endogen atau variabel terikat dan variabel laten eksogen atau variabel bebas, digambarkan dalam bentuk lingkaran/elips, dinotasikan dengan  (small ksi) untuk variabel laten eksogen dan  (small eta) untuk variabel laten endogen. b. Variabel teramati (observed variable atau measurement variable) yang sering juga disebut dengan indikator/variabel manifes (manifest variabel) yaitu variabel yang dapat diamati secara empiris melalui kegiatan survei atau sensus (Hair dkk, 1995). Variabel manifest juga terbagi menjadi dua, yakni variabel manifes eksogen/independen dan variabel manifes endogen/dependen, digambarkan dalam bentuk kotak/persegi empat, dinotasikan dengan Yi untuk indikator yang berhubungan dengan variabel laten endogen dan Xi untuk indikator yang berhubungan dengan variabel laten eksogen (Kuntoro, 2006).

Structural Equation Modeling (SEM) (skripsi dan tesis)

Structural Equation Modeling (SEM) merupakan metode statistika yang menggabungkan beberapa aspek yang terdapat pada analisis jalur dan analisis faktor konfirmatori untuk mengestimasi beberapa persamaan secara simultan (Ferdinand, 2002). Definisi tentang SEM lainnya dikemukakan oleh Wijayanto (2008) yang menyatakan bahwa SEM adalah metode pengembangan dari analisis multivariat yang berpangkal pada analisis faktor, analisis komponen utama, analisis kovarian, dan analisis korelasi. SEM memiliki kemampuan lebih dalam menyelesaikan permasalahan yang melibatkan banyak persamaan linier dengan menghasilkan model pengukuran dan sekaligus model struktural. Berbeda dengan regresi berganda, dimana pada umumnya model regresi merupakan hubungan sebab-akibat antar variabel-variabel yang teramati, sedangkan pada SEM hubungan sebab-akibat yang dispesifikasikan terjadi antar variabel-variabel laten. Model regresi lebih condong kepada eksplanatori, sedangkan pada SEM walaupun ada unsur eksplanatori namun secara empiris lebih sering dimanfaatkan sebagai model konfirmatori (Wardono, 2009). Proses estimasi parameter dalam model struktural SEM, salah satunya dapat menggunakan struktur kovarians yang lebih sering dikenal dengan istilah Model Struktur Kovarians (MSK) atau Covariance Based SEM (CB-SEM) dan lebih populer dikenal dengan model LISREL (Linier Structural Relationships). SEM  berbasis kovarians mengasumsikan bahwa variabel-variabel pengamatan adalah kontinyu yang berdistribusi normal multivariat serta mensyaratkan jumlah sampel yang besar (Afifah, 2014).

Analisis Faktor Dalam SEM (skripsi dan tesis)

 Analisis faktor merupakan teknik interdependen yang memiliki tujuan utama untuk mendefinisikan struktur dasar diantara variabel-variabel pengamatan dalam suatu analisis. Dengan kata lain, analisis faktor bertujuan untuk meringkas atau mereduksi variabel-variabel pengamatan menjadi bentuk dimensi baru yang merepresentasikan variabel utama (faktor). Berdasarkan tujuannya, analisis faktor dibedakan menjadi dua yaitu exploratory/penyelidikan atau confirmatory/ penegasan (Hair, Black, Babin dan Anderson, 2010).

1. Exploratory Factor Analysis (EFA), pendekatan yang bertujuan untuk menyelidiki faktor-faktor yang terkandung dalam variabel-variabel pengamatan tanpa penentuan teori pengukuran yang mengaturnya. Metode statistika yang termasuk dalam kategori EFA adalah Analisis Cluster dan Analisis Faktor.
2. Confirmatory Factor Analysis (CFA), pendekatan yang sudah memiliki teori pengukuran yang mengatur hubungan antara variabel-variabel pengamatan Problem Penelitian Apakah analisis eksploratory/confirmatory? Confirmatory Structural Equation Modeling Exploratory Tipe Analisis Faktor Pengelompokan variabel/observasi? Observasi Variabel Analisis Cluster Analisis Faktor  dan faktor-faktor yang diberikan dalam suatu penelitian dengan tujuan untuk melakukan penegasan suatu teori pengukuran yang diberikan dalam rangka membandingkan teoritis dengan hasil empiris/pengamatan.
Metode statistika yang termasuk dalam kategori CFA adalah Structural Equation Model (SEM) (Hair, dkk., 2010). Baik pada EFA maupun CFA, suatu variabel laten merupakan suatu faktor sebagai refleksi dari indikator-indikator. Dikatakan demikian karena indikatorindikator tersebut dipandang sebagai variabel-variabel yang dipengaruhi oleh konsep yang mendasarinya disebut sebagai faktor. Tingkat reflektifitas yang menghubungkan antara faktor dengan setiap indikator disebut dengan faktor loading.

PLS Prediction Oriented Segmentation (PLS-POS) (skripsi dan tesis

Menurut Becker dkk (2013) bahwa banyak kasus yang memiliki heterogenitas yang tidak teramati dapat menyamarkan beberapa hubungan yang berbeda antara konsep laten dalam suatu model kausal. Penelitian baru-baru ini telah menerapkan teknik kelas laten untuk mengevaluasi model jalur PLS. Oleh karena itu, perlu diterapkan beberapa jenis segmentasi berbasis respon laten yang memungkinkan adanya identifikasi heterogenitas yang tidak teramati.
Di antara teknik terbaru yang ada, metode hill-climbing  (misalnya Becker dkk, 2013) adalah salah satu contoh sangat baik karena pengukurannya menggunakan pendekatan distribusi bebas untuk SEM-PLS. Metode POS tidak menggunakan indeks apapun seperti BIC, AIC atau CAIC untuk memilih jumlah segmen terbaik. PLS-POS merupakan salah satu metode segmentasi yang berorientasi pada prediksi hubungan antar konstruk dan secara khusus dikembangkan untuk melengkapi pemodelan jalur pada PLS. Metode ini mengikuti pendekatan clustering yang menempatkan observasi secara deterministik dalam kelompok dan menggunakan ukuran jarak untuk menempatkan ulang observasi ke dalam kelompok yang lebih tepat untuk meningkatkan kekuatan prediksi model R2 dari variabel laten endogen. Kelebihan dari PLS-POS antara lain yaitu merupakan pendekatan berbasis nonparametrik yang bebas dari asumsi distribusi, serta mampu mengungkap heterogenitas pada model struktural dan model pengukuran. Selain itu juga dapat diaplikasikan pada semua model jalur tanpa memperhatikan jenis model pengukuran, distribusi data, ukuran sampel, ukuran segmen relatif, multikolinearitas, maupun kompleksitas model struktural (Becker dkk, 2013). Metode PLS-POS juga dapat mendeteksi heterogenitas pada model reflektif jika terdapat heterogenitas pada model struktural, yaitu jika heterogenitas pada model pengukuran reflektif merupakan sumber dari heterogenitas yang ada pada model struktural. Berikut ini merupakan algoritma dalam PLS-POS. 1. Membentuk segmentasi awal untuk memulai algoritma 2. Menghitung estimasi PLS kelompok tertentu untuk model jalur 3. Menentukan hasil dari kriteria objektif 4. Membentuk daftar calon observasi untuk dilakukan penempatan ulang 5. Meningkatkan hasil segmentasi 23 6. Jika maksimum jumlah iterasi atau kedalaman pencarian maksimum telah tercapai, proses berhenti. Jika tidak,kembali ke langkah ke 2. Ulangi sampai tahap berhenti. 7. Menghitung estimasi model jalur PLS kelompok tertentu dan memberikan hasil akhir segmentasi. Kriteria objektif yang dimaksud dalam PLS-POS adalah memaksimalkan jumlah nilai R2 variabel laten endogen. Sesuai dengan tujuan algoritma PLS, fokus dari PLS-POS adalah memaksimalkan prediksi dari setiap kelompok dengan cara meminimumkan jumlah residual kuadrat variabel laten endogen pada model jalur PLS. Oleh karena itu, kriteria objektif diwakili oleh penjumlahan dari nilai R2 setiap kelompok yang didefinisikan dan dihitung secara eksplisit di dalam algoritma PLS-POS. Setiap penempatan observasi pada PLS-POS meyakinkan peningkatan kriteria objektif karena berdasar pada pendekatan hill climbing. Kriteria objektif ini cocok untuk diaplikasikan pada semua model jalur PLS, terlepas dalam model tersebut melibatkan pengukuran reflektif maupun pengukuran formatif. Ukuran jarak total yang digunakan dalam PLS-POS, yaitu (Becker, 2013)

Pengelompokan dan Heterogenitas Dalam PLS SEM (skripsi dan tesis)

Salah satu perhatian penting dalam penerapan SEM-PLS aadalah segementasi atau pengelompokan.Tujuan pengelompokan  adalah membentuk observasi ke dalam kelompok dengan karakteristik yang sama atau serupa sehingga mampu meningkatkan kekuatan prediksi model. Prosedur segmentasi melibatkan pemeriksaan homogenitas atau heterogenitas pada pengamtan. Namun studi terdahulu dalam SEM sering mengasumsikan bahwa data yang dikumpulkan dari observasi telah homogeny atau dengan kata lain suatu model dengan nilai parameter yang sam cukup mempresentasikan seluruh observasi (Trujilo, 2009). Bagaimanapun, asumsi homogenitas ini sering tidak realistis dan diragukan karena data dikumpulkan dari observasi dengan latar belakang dan karakteristik beragam, seperti gender, kelompok umur, tingkat pendidikan, kultur budaya, status perkawinan, dan sebagainya Mengasumsikan homogenitas pada data dapt mendorong analisis membuat keputusan yang tidak akurat, keliru dan menghasilkan kesimpulan yang lemah. Oleh karena itu perlu mengasumsikan adanya heterogenitas pada populasi terkait perbedaan karakteristik setiap observasi (Trujilo, 2009). Dengan asumsi heterogenitas, berimplikasi bahwa terdapat lebih dari satu set estimasi parameter untuk dapat memberikan gambaran yang tepat terhadapa fenomena penelitian. Becker dkk (2013) menyatakan bahwa mengabaikan adanya heterogenitas tidak teramati dapat menimbulkan kerugian yang besar terhadap hasil estimasi PLS. Selain estimasi parameter bersifat bias, beberapa akibat lain seperti: a. Koefisien jalur yang tidak signifikan pada level kelompok (local group) menjadi signifikan pada level keseluruhan sampel yang mengkombinasikan kelompok b. Perbedaan tanda pada estimasi parameter antar kelompok termanifestasi pada hasil yang non signifikan pada level keseluruhan sampel c. Variansi yang dapat dijelaskan model (R2 dari variabel endogen) menurun. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengurangi bias pada estimasi parameter dan menghindarkan 21 kesalahan yang ditimnulkan karena mengabaikan heterogenitas tidak teramati pada model jalur PLS antara lain FIMIX-PLS, REBUS –PLS, dan PLS-POS (Becker dkk, 2013)

Evaluasi Model Struktural atau Inner Model (skripsi dan tesis)

Ada beberapa tahap untuk mengevaluasi model struktural.
a. Melihat signifikansi hubungan antara konstrak/variabel laten. Hal ini dapat dilihat dari koefisien jalur (path coefficient) yang menggambarkan kekuatan hubungan antara konstrak/variabel laten. Untuk melihat signifikansi path coefficient dapat dilihat dari nilai t-test (critical ratio) yang diperoleh dari proses bootstrapping (resampling method).
b. Nilai R2 yang menunjukkan besarnya variabilitas variabel endogen yang mampu dijelaskan oleh variabel eksogen. Chin (1998) menjelaskan kriteria batasan nilai R2 ini dalam tiga klasifikasi, yaitu nilai R2 0.67, 0.33, dan 0.19 sebagai subtansial, moderat, dan lemah. Nilai R2 merupakan kuadrat dari korelasi antara variabel laten eksogen dengan variabel laten endogen.
c. Q-Square Predictive Relevance (Q2 ) digunakan untuk validasi kemampuan prediksi model d
 Apabila nilai Q2 > 0 dan semakin mendekati nilai 1, maka dapat dikatakan bahwa model struktural fit dengan data atau memiliki prediksi yang relevansi (Ghozali, 2011).

Evaluasi Model SEM-Partial Least Square (PLS) (skripsi dan tesis)

Evaluasi model dalam PLS meliputi dua tahap, yaitu evaluasi outer model dan evaluasi inner model. a) Evaluasi Model Pengukuran atau Outer Model Model pengukuran atau outer model bertujuan untuk menilai validitas dan reliabilitas model. 1. Validitas Konvergen (Convergent Validity) Convergent validity digunakan untuk mengukur besarnya korelasi antara variabel laten dengan variabel indikator pada model pengukuran refleksif. Dalam evaluasi convergent validity dapat dinilai berdasarkan korelasi antara item score dengan construct score. Suatu kolerasi dapat dikatakan memenuhi convergent validity apabila memiliki nilai loading factor sebesar lebih besar dari 0,5 – 0,6 Ghozali (2011) serta nilai Thitung > pada α tertentu, pada penelitian ini menggunakan α =5%. 2. Discriminant Validity Discriminant Validity dari model pengukuran dengan tipe indikator refleksif dihitung berdasarkan nilai cross loading dari variabel indikator terhadap masing-masing variabel laten. Jika kolerasi antara variabel laten dengan setiap variabel indikator lebih besar daripada korelasi dengan variabel laten lainnya, maka variabel laten tersebut dapat dikatakan memprediksi indikatornya lebih baik dari pada variabel laten lainnya. 3. Pengujian Reliabilitas Composite Reliability atau reliabilitas komposit merupakan blok indikator yang mengukur suatu konstruk dapat dievaluasi dengan ukuran internal consistency. Composite reliability dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Bootstrap pada SEM-Partial Least Square (PLS) (skripsi dan tesis)

SEM-PLS tidak berasumsi bahwa data distribusi normal. Sehingga pada SEM-PLS berlaku metode bootstrap yaitu metode statistika nonparametrik untuk mengestimasi parameter suatu distribusi, varians sampel, dan menaksir tingkat kesalahan (Davison dan Hinkley 1997). Pada proses bootsrap, dilakukan pengambilan sampel secara resampling with replacement untuk mendapatkan kesalahan standar untuk pengujian hipotesis. Metode bootstrap telah dikembangkan oleh Efron (1979) sebagai alat untuk membantu mengurangi ketidakandalan yang berhubungan dengan kesalahan penggunaan distribusi normal dan penggunaannya. Boostrap membuat pseudo data (data bayangan) dengan menggunakan informasi dari data asli dengan memperhatikan sifat-sifat data asli, sehingga data bayangan memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan data asli. Metode resampling pada partial least square dengan sampel kecil   menggunakan bootstrap standard error untuk menilai level signifikansi dan memperoleh kestabilan estimasi model pengukuran dan model struktural dengan cara mencari estimasi dari standard error (Chin, 1998).

Structural Equation Model (skripsi dan tesis)

Partial Least Square (SEMPLS) Partial Least Squares merupakan satu metode penyelesaian SEM, yang sering disebut sebagai soft modeling karena meniadakan asumsi-asumsi OLS (Ordinary Least Squares) regresi, seperti data harus berdistribusi normal secara multivariate dan tidak adanya problem multikolonieritas antar variabel eksogen. Walaupun PLS digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya hubungan antar variabel laten (prediction), PLS dapat juga digunakan untuk mengkonfirmasi teori (Wold dalam Ghozali, 2011). PLS memiliki kelebihan antara lain (1) algoritma PLS tidak terbatas hanya untuk hubungan antara indikator dengan variabel latennya yang bersifat refleksif namun juga bisa dipakai untuk hubungan formatif, (2) PLS dapat digunakan untuk ukuran sampel yang relatif kecil, (3) dapat digunakan untuk model yang   sangat kompleks, (4) dapat digunakan ketika distribusi skew atau tidak normal (Yamin dan Kurniawan, 2011). PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif, hal ini tidak mungkin dijalankan dalam CB-SEM karena akan terjadi unidentified model. Oleh karena algorithm dalam PLS menggunakan analisis series ordinary least square, maka identifikasi model bukan masalah dalam model rekursif dan juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu dari pengukuran variabel. Lebih jauh algorithm dalam PLS mampu mengestimasi model yang besar dan komplek dengan ratusan variabel laten dan ribuan indikator. Namun, metode PLS juga memiliki kekurangan yakni distribusi data tidak diketahui sehingga tidak bisa menilai signifikansi statistik. Kelemahan pada metode partial least square ini bisa diatasi dengan menggunakan metode resampling atau bootstrap

Analisis Jalur (Path Analysis) (skripsi dan tesis)

Analisis jalur (path analysis) merupakan suatu teknik statistika yang bertujuan untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang terjadi pada model regresi berganda jika variabel prediktornya mempengaruhi variabel respon tidak secara langsung tetapi juga secara tidak langsung (Rutherford dalam Sarwono, 2007). Model analisis jalur digunakan untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh seperangkat variabel eksogen terhadap variabel endogen. Analisis jalur digunakan untuk mengetahui apakah data yang digunakan telah mendukung teori, yang sebelumnya telah dihipotesiskan oleh peneliti mencakup kaitan struktural hubungan kausal antar variabel terukur. Subyek utama dalam analisis jalur adalah variabel-variabel yang saling berkorelasi. Dengan analisis jalur, semua pengaruh baik langsung (direct effect) maupun tak langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total couse effect) pada suatu faktor dapat diketahui. Dalam perkembangannya, analisis jalur ini dilakukan dalam kerangka pemodelan SEM.

Komponen-komponen dalam SEM (skripsi dan tesis)

Komponen-komponen dalam SEM secara umum adalah sebagai berikut:

 1. Jenis variabel dalam SEM ada dua, yaitu:
a. Variabel laten (unobserved variable atau latent variable) yaitu variabel yang tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat direpresentasikan oleh satu atau lebih variabel manifes/indikator. Variabel laten ada dua macam, yaitu variabel laten endogen atau variabel terikat (  ) dan variabel laten eksogen (  ) atau variabel bebas.
b. Variabel teramati (observed variable atau measurement variable) yang sering juga disebut dengan indikator/variabel manifes (manifest variabel) yaitu variabel yang dapat diamati secara empiris melalui kegiatan survei atau sensus (Hair, dkk, 2007). Variabel manifes juga terbagi menjadi dua, yaitu variabel manifes eksogen yang bersifat independen dinotasikan dengan X dan variabel manifes endogen yang bersifat dependen dinotasikan dengan Y.
Model Pengukuran Model Struktural
 2. Jenis model dalam SEM ada dua, yaitu:
a. Model struktural (structural model/inner model) yaitu model yang menggambarkan hubungan-hubungan diantara varibel laten yang membentuk persamaan simultan. b. Model pengukuran (measurement model/outer model) yaitu model yang menjelaskan hubungan variabel laten dengan indikator-indikator dalam bentuk analisis faktor

. 3. Jenis kesalahan dalam SEM ada dua, yaitu: a. Kesalahan struktural (structural error) yaitu kesalahan pada model struktural dan disebut dengan error atau noise, dilambangkan dengan  (zeta) dimana variabel laten eksogen yang tidak dapat memprediksi sempurna variabel laten endogen b. Kesalahan pengukuran (measurement error) yaitu kesalahan pada model pengukuran. Kesalahan pengukuran merupakan nilai/ ukuran kesalahan akibat variabel indikator tidak dapat mengukur variabel laten secara sempurna dan dibedakan berdasarkan variabel indikator eksogen yang dilambangkan dengan (delta) dan variabel indikator endogen yang dilambangkan dengan (epsilon). (Wijayanto, 2008)

Analisis Structural Equation Modeling (SEM) (skripsi dan tesis)

SEM adalah metode statistika multivariat yang banyak digunakan untuk mengatasi masalah dasar dalam pengambilan keputusan dalam ilmu-ilmu sosial dan perilaku dan berkembang 8 dalam disiplin ilmu lainnya, yaitu melalui pengukuranpengukuran yang melibatkan variabel-variabel yang tidak dapat diukur secara langsung, sehingga memerlukan variabel indikator sebagai variabel yang dapat diukur (Wijayanto, 2008). SEM mampu menguji model persamaan structural yang merupakan hubungan antara variabel laten endogen dan variabel laten eksogen. Selain itu dapat digunakan untuk menguji model pengukuran yaitu hubungan antara variabel indikator dengan variabel laten yang menunjukkan besarnya korelasi antara indikator dengan variabel laten yang dijelaskannya (Hidayat, 2010). Pemodelan dengan melibatkan banyak variabel yang tidak dapat diukur secara langsung serta menjelaskan hubungan kausal yang bersifat kompleks tidaklah mudah dan diperlukan metode statistika yang dapat menyelesaikan sistem persamaan secara komprehensif

Statistika Deskriptif (skripsi dan tesis)

Statistika deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Statistika deskriptif berkenaan dengan bagaimana data dapat digambarkan, dideskripsikan atau disimpulkan baik secara numerik (misal menghitung rata-rata dan deviasi standar) atau secara grafis (dalam bentuk tabel atau grafik) untuk mendapatkan gambaran sekilas mengenai data tersebut sehingga lebih mudah dibaca dan bermakna (Walpole,1992). Dalam statistika deskriptif terdapat dua ukuran, yaitu ukuran pemusatan data dan ukuran penyebaran data. Ukuran pemusatan data dapat berupa rata-rata, median, modus, kuartil bawah, dan kuartil atas. Hasil ukuran pemusatan data dapat dijadikan pedoman untuk mengamati karakter dari sebuah data. Sedangkan ukuran penyebaran data digunakan untuk menentukan seberapa besar nilai-nilai data berbeda atau bervariasi dengan nilai pusatnya, atau seberapa besar data tersebut menyimpang dari nilai pusatnya. Ukuran penyebaran data terdiri dari jangkauan (range), variasi, dan standar deviasi (Walpole,1992).

Structural Equation Modeling (SEM) (skripsi dan tesis)

Structural Equation Modeling (SEM) merupakan metode analisis multivariat yang dapat digunakan untuk menggambarkan keterkaitan hubungan linier secara simultan antara variabel pengamatan (indikator) dan variabel yang tidak dapat diukur secara langsung (variabel laten). Variabel laten merupakan variabel tak teramati (unobserved) atau tak dapat diukur (unmeasured) secara langsung, melainkan harus diukur melalui beberapa indikator. Terdapat dua tipe variabel laten dalam SEM yaitu endogen () dan eksogen (ξ).

Asumsi Dalam Analisis Jalur (skripsi dan tesis)

Asumsi yang digunakan dalam analisis jalur yaitu:

1. Hubungan antar variabel linier

2. Sifat aditif

3. Skala pengukuran minimal interval

4. Hubungan sebab akibat (landasan teoritis)

5. Syarat lainnya sama dengan persyaratan untuk multiple regresi

Analisis jalur (skripsi dan tesis)

Analisis jalur pertama kali diperkenalkan oleh Sewall Wright (1921), seorang ahli genetika, namun kemudian dipopulerkan oleh Otis Dudley Duncan (1966), seorang ahli sosiologi. Analisis jalur bisa dikatakan sebagai pengembangan dari konsep korelasi dan regresi, dimana korelasi dan regresi tidak mempermasalahkan mengapa hubungan antar variabel terjadi serta apakah hubungan antar variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri atau mungkin dipengaruhi oleh variabel lain.

Berbeda dengan korelasi dan regresi, analisis jalur mempelajari apakah hubungan yang terjadi disebabkan oleh pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel independen terhadap variabel dependen, mempelajari ketergantungan sejumlah variabel dalam suatu model (model kausal), dan menganalisis hubungan antar variabel dari model kausal yang telah dirumuskan oleh peneliti atas dasar pertimbangan teoritis. Melalui analisis jalur kita akan menguji seperangkat hipotesis kausal dan menginterpretasikan hubungan tersebut (langsung atau tidak langsung).

PARTIAL LEAST SQUARE REGRESSION (skripsi dan tesis)

Partial least square (PLS) adalah suatu tekhnik statistik multivariat yang bisa menangani banyak variabel respon dan variabel eksplanatori sekaligus. PLS merupakan alternatif yang baik untuk metode analisis regresi berganda dan regresi komponen utama karena metode PLS bersifat lebih robust, artinya parameter model tidak banyak berubah ketika sampel baru diambil dari total populasi (Geladi dan Kowalski, 1986).

PLS pertama kali dikembangkan pada tahun 1960-an oleh Herman O. A. Wold dalam bidang ekonometrik. PLS merupakan suatu tekhnik prediktif yang bisa menangani banyak variabel independen, bahkan sekalipun terjadi multikolinieritas diantara variabel-variabel tersebut (Ramzan dan Khan, 2010).

Analisis regresi berganda sebenarnya bisa digunakan ketika terdapat variabel prediktor yang banyak. Namun, jika jumlah variabel tersebut terlalu besar (misal lebih banyak dari jumlah observasi) akan diperoleh model yang fit dengan data sampel, tapi akan gagal memprediksi untuk data baru. Fenomena ini disebut overfitting. Dalam kasus seperti itu, meskipun terdapat banyak faktor manifes, mungkin saja hanya terdapat sedikit faktor laten yang paling bisa menjelaskan variasi dalam respon. Ide umum dari PLS adalah untuk mengekstrak faktor-faktor laten tersebut, yang menjelaskan sebanyak mungkin variasi faktor manifes saat memodelkan variabel respon.

Fungsi Partial Least Square (skripsi dan tesis)

Setelah para pembaca menelaah secara seksama penjelasan yang lumayan panjang diatas, tentunya bisa jadi malah tambah pusing. Maka bukan maksud untuk menyepelekan tulisan yang diatas, lupakanlah atau simpan saja hasil bacaan anda diatas. Secara mudahnya saya coba simpulkan dari kaca mata orang yang awam ilmu statistik. Yaitu sebagai berikut:

  1. Partial Least Square adalah analisis yang fungsi utamanya untuk perancangan model, tetapi juga dapat digunakan untuk konfirmasi teori.
  2. PLS tidak butuh banyak syarat atau asumsi seperti SEM. Apa itu SEM nanti akan saya jelaskan lebih lanjut pada artikel lainnya.
  3. Fungsi Partial Least Square kalau dikelompokkan secara awam ada 2, yaitu inner model dan outer model. Outer model itu lebih kearah uji validitas dan reliabilitas. Sedangkan inner model itu lebih kearah regresi yaitu untuk menilai pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya.
  4. Kecocokan model pada Partial Least Square tidak seperti SEM yang ada kecocokan global, seperti RMSEA, AGFI, PGFI, PNFI, CMIN/DF, dll. Dalam PLS hanya ada 2 kriteria untuk menilai kecocokan model, yaitu kecocokan model bagian luar yang disebut dengan outer model dan kecocokan bagian dalam yang disebut dengan inner model. Sehingga maksud poin 3 diatas adalah menjelaskan poin 4 ini. Untuk kecocokan model bagian luar ada 2 yaitu pengukuran reflektif dan pengukuran formatif, yang sudah dijelaskan diatas.
  5. Penilaian kecocokan model bagian luar atau outer model antara lain: Reliabilitas dan validitas variabel laten reflektif dan validitas variabel laten formatif.
  6. Penilaian kecocokan model bagian dalam antara lain: Penjelasan varian variabel laten endogenous, ukuran pengaruh yang dikontribusikan dan relevansi dalam prediksi.

Model Indikator Formatif (skripsi dan tesis)

Model Formatif tidak mengasumsikan bahwa indikator dipengaruhi oleh konstruk tetapi mengasumsikan semua indikator mempengaruhi single konstruk. Arah hubungan kausalitas mengalir dari indikator ke konstruk laten dan indikator sebagai grup secara bersama-sama menentukan konsep atau makna empiris dari konstruk laten.

Model hubungan formatif ialah hubungan sebab akibat berasal dari indikator menuju ke variabel laten. Hal ini dapat terjadi jika suatu variabel laten didefinisikan sebagai kombinasi dari indikator-indikatornya. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada indikator-indikator akan tercermin pada perubahan variabel latennya.

Oleh karena diasumsikan bahwa indikator mempengaruhi konstruk laten maka ada kemungkinan antar indikator saling berkorelasi. Tetapi model formatif tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator atau secara konsisten bahwa model formatif berasumsi tidak adanya hubungan korelasi antar indikator. Karenanya ukuran internal konsistensi reliabilitas (cronbach alpha) tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk formatif.

Kausalitas hubungan antar indikator tidak menjadi rendah nilai validitasnya hanya karena memiliki internal konsistensi yang rendah (cronbach alpha), untuk menilai validitas konstruk perlu dilihat variabel lain yang mempengaruhi konstruk laten.

Jadi untuk menguji validitas dari konstruk laten, peneliti harus menekankan pada nomological dan atau criterion-related validity. Implikasi lain dari Model Formatif adalah dengan menghilangkan satu indikator dapat menghilangkan bagian yang unik dari konstruk laten dan merubah makna dari konstruk.

Model Indikator Refleksif (skripsi dan tesis)

Model Indikator Refleksif sering disebut juga principal factor model dimana covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi dari konstruk laten

Model reflektif mencerminkan bahwa setiap indikator merupakan pengukuran kesalahan yang dikenakan terhadap variabel laten. Arah sebab akibat ialah dari variabel laten ke indikator dengan demikian indikator-indikator merupakan refleksi variasi dari variabel laten (Henseler, Ringle & Sinkovicks, 2009). Dengan demikian perubahan pada variabel laten diharapkan akan menyebabkan perubahan pada semua indikatornya.

Pada Model Refleksif konstruk unidimensional digambarkan dengan bentuk elips dengan beberapa anak panah dari konstruk ke indikator, model ini menghipotesiskan bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator.

Model Indikator Refleksif harus memiliki internal konsistensi oleh karena semua ukuran indikator diasumsikan semuanya valid indikator yang mengukur suatu konstruk, sehingga dua ukuran indikator yang sama reliabilitasnya dapat saling dipertukarkan.

Walaupun reliabilitas (cronbach alpha) suatu konstruk akan rendah jika hanya ada sedikit indikator, tetapi validitas konstruk tidak akan berubah jika satu indikator dihilangkan.

Tujuan Partial Least Square (skripsi dan tesis)

Walaupun Partial Least Square digunakan untuk menkonfirmasi teori, tetapi dapat juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara variabel laten. Partial Least Square dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif dan hal ini tidak mungkin dijalankan dalam Structural Equation Model (SEM) karena akan terjadi unidentified model.

PLS mempunyai dua model indikator dalam penggambarannya, yaitu: Model Indikator Refleksif dan Model Indikator Formatif.

Pengertian Partial least square (skripsi dan tesis)

Partial least square adalah suatu teknik statistik multivariat yang bisa untuk menangani banyak variabel respon serta variabel eksplanatori sekaligus. Analisis ini merupakan alternatif yang baik untuk metode analisis regresi berganda dan regresi komponen utama, karena metode ini bersifat lebih robust atau kebal. Robust artinya parameter model tidak banyak berubah ketika sampel baru diambil dari total populasi (Geladi dan Kowalski, 1986).

Partial Least Square suatu teknik prediktif yang bisa menangani banyak variabel independen, bahkan sekalipun terjadi multikolinieritas diantara variabel-variabel tersebut (Ramzan dan Khan, 2010).

Menurut Wold, PLS adalah metode analisis yang powerfull sebab tidak didasarkan pada banyak asumsi atau syarat, seperti uji normalitas dan multikolinearitas. Metode tersebut mempunyai keunggulan tersendiri antara lain: data tidaklah harus berdistribusi normal multivariate. Bahkan indikator dengan skala data kategori, ordinal, interval sampai rasio dapat digunakan. Keunggulan lainnya adalah ukuran sampel yang tidak harus besar.

PLS (Partial Least Square) (skripsi dan tesis)

PLS (Partial Least Square) menggunakan metoda principle component analiysis dalam model pengukuran, yaitu blok ekstraksi varian untuk melihat hubungan indikator dengan konstruk latennya dengan menghitung total varian yang terdiri atas varian umum (common variance), varian spesifik (specific variance) dan varian error (error variance). Sehingga total varian menjadi tinggi. Metoda ini merupakan salah satu dari metoda dalam Confirmatory Factor Analysis (CFA).

Menurut Hair et.al. (2006) metoda ini tepat digunakan untuk reduksi data, yaitu menentukan jumlah faktor minimum yang dibutuhkan untuk menghitung porsi maksimum total varian yang direpresentasi dalam seperangkat variabel asalnya. Metoda ini digunakan dengan asumsi peneliti mengetahui bahwa jumlah varian unik dan varian error dalam total varian adalah sedikit. Metoda ini lebih unggul karena dapat mengatasi masalah indeterminacy, yaitu skor faktor yang berbeda dihitung dari model faktor tunggal yang dihasilkan dan admissible data, yaitu ambiguitas data karena adanya varian unik dan varian error. Penelitian ini menggunakan variabel undimensional dengan model indikator reflektif. Variabel undimensional adalah variabel yang dibentuk dari indikatorindikator baik secara reflektif maupun secara formatif (Jogiyanto dan Abdilah, 2009). Sedangkan model indikator reflektif adalah model yang mengansumsikan bahwa kovarian diantara pengukuran dijelaskan oleh varian yang merupakan manifestasi dari konstruk latennya dimana indikatornya merupakannya indikator efek (effect indikator). Menurut Ghozali (2006) Model reflektif sering disebut juga principal factor model dimana covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten. Model refleksif menghipotesiskan bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator dan menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah makna atau arti konstruk (Bollen dan Lennox, 1991)

Analisis Statistik Inferensial (skripsi dan tesis)

Statistik inferensial, (statistic induktif atau statistic probabilitas), adalah teknik statistik yang digunakan untuk menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi (Sugiyono, 2009). Sesuai dengan hipotesis yang telah dirumuskan, maka dalam penelitian ini analisis data statistik inferensial diukur dengan menggunakan software SmartPLS (Partial Least Square) mulai dari pengukuran model (outer model), struktur model (inner model) dan pengujian hipotesis

Statistik Deskriptif (skripsi dan tesis)

Analisis deskriptif, yaitu analisis empiris secara deskripsi tentang informasi yang diperoleh untuk memberikan gambaran/menguraikan tentang suatu kejadian (siapa/apa, kapan, dimana, bagaimana, berapa banyak) yang dikumpulkan dalam penelitian (Supranto:2002). Data tersebut berasal dari jawaban yang diberikan oleh responden atas item-item yang terdapat dalam kuesioner. Selanjutnya peneliti akan mengolah data-data yang ada dengan cara dikelompokkan dan ditabulasikan kemudian diberi penjelasan

Pengertian PLS (Partial Least Square) (skripsi dan tesis)

PLS (Partial Least Square) merupakan analisis persamaan struktural (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural. Model pengukuran digunakan untuk uji validitas dan reabilitas, sedangkan model struktural digunakan untuk uji kausalitas (pengujian hipotesis dengan model prediksi). Lebih lanjut, Ghozali (2006) menjelaskan  bahwa PLS adalah metode analisis yang bersifat soft modeling karena tidak mengasumsikan data harus dengan pengukuran skala tertentu, yang berarti jumlah sampel dapat kecil (dibawah 100 sampel). Perbedaan mendasar PLS yang merupakan SEM berbasis varian dengan LISREL atau AMOS yang berbasis kovarian adalah tujuan penggunaannya. Dibandingkan dengan covariance based SEM (yang diwakili oleh software AMOS, LISREL dan EQS) component based PLS mampu menghindarkan dua masalah besar yang dihadapi oleh covariance based SEM yaitu inadmissible solution dan factor indeterminacy (Tenenhaus et al.,2005). Terdapat beberapa alasan yang menjadi penyebab digunakan PLS dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini alasan-alasan tersebut yaitu: pertama, PLS (Partial Least Square) merupakan metode analisis data yang didasarkan asumsi sampel tidak harus besar, yaitu jumlah sampel kurang dari 100 bisa dilakukan analisis, dan residual distribution. Kedua, PLS (Partial Least Square) dapat digunakan untuk menganalisis teori yang masih dikatakan lemah, karena PLS (Partial Least Square) dapat digunakan untuk prediksi. Ketiga, PLS (Partial Least Square) memungkinkan algoritma dengan menggunakan analisis series ordinary least square (OLS) sehingga diperoleh efisiensi perhitungan olgaritma (Ghozali, 2006). Keempat, pada pendekatan PLS, diasumsikan bahwa semua ukuran variance dapat digunakan untuk menjelaskan

Perbedaan VB-SEM (PLS-SEM ) dengan CB-SEM (AMOS dan LISREL)

Analisis SEM secara umum dapat dibedakan menjadi Variance Based SEM (VB SEM) dan Covariace Based SEM (CBSEM). Pendekatan PLS-SEM didasarkan pada pergeseran analisis dari pengukuran estimasi parameter model menjadi pengukuran prediksi model yang relevan. PLS-SEM menggunakan algoritma iteratif yang terdiri atas beberapa analisis dengan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Squares). Oleh karena itu, dalam PLS-SEM persoalan identifikasi tidak penting. PLS-SEM justru mampu menangani masalah yang biasanya muncul dalam analisis SEM berbasis kovarian. Pertama, solusi model yang tidak dapat diterima (inadmissible solution) seperti munculnya nilai standardized loading factor > 1 atau varian bernilai 0 atau negatif. Kedua, faktor indeterminacy yaitu faktor yang tidak dapat ditentukan seperti nilai amatan untuk variable laten tidak dapat diproses. Karena PLS memiliki karakteristik algoritma interatif yang khas, maka PLS dapat diterapkan dalam model pengukuran reflektif maupun formatif. Sedangkan analisis CB-SEM hanya menganalisis model pengukuran reflektif (Yamin dan Kurniawan, 2011:15).

Dengan demikian, PLS-SEM dapat dikatakan sebagai komplementari atau pelengkap CB SEM (AMOS dan LISREL) bukannya sebagai pesaing

Pengertian PLS (skripsi dan tesis)

Dalam sebuah penelitian sering kali peneliti dihadapkan pada kondisi di mana ukuran sampel cukup besar, tetapi memiliki landasan teori yang lemah dalam hubungan di antara variable yang dihipotesiskan. Namun tidak jarang pula ditemukan hubungan di antara variable yang sangat kompleks, tetapi ukuran sampel data kecil. Partial Least Square (PLS) adalah salah satu metode alternative Structural Equation Modeling (SEM) yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Terdapat dua pendekatan dalam Structural Equation Modeling (SEM), yaitu SEM berbasis covariance (Covariance Based-SEM, CB-SEM) dan SEM dengan pendekatan variance (VB-SEM) dengan teknik Partial Least Squares (PLS-SEM). PLS-PM kini telah menjadi alat analisis yang popular dengan banyaknya jurnal internasional atau penelitian ilmiah yang menggunakan metode ini. Partial Least Square disingkat PLS merupakan jenis analisis SEM yang berbasis komponen dengan sifat konstruk formatif. PLS pertama kali digunakan untuk mengolah data di bidang economertrics sebagai alternative teknik SEM dengan dasar teori yang lemah. PLS hanya berfungsi sebagai alat analisis prediktor, bukan uji model.

Semula PLS lebih banyak digunakan untuk studi bidang analyticalphysical dan clinical chemistry. Disain PLS dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan analisis regresi dengan teknik OLS (Ordinary Least Square) ketika karakteristik datanya mengalami masalah, seperti : (1). ukuran data kecil, (2). adanya missing value, (3). bentuk sebaran data tidak normal, dan (4). adanya gejala multikolinearitas. OLS regression biasanya menghasilkan data yang tidak stabil apabila jumlah data yang terkumpul (sampel) sedikit, atau adanya missing values maupun multikolinearitas antar prediktor karena kondisi seperti ini dapat meningkatkan standard error dari koefisien yang diukur (Field, 2000 dalam Mustafa dan Wijaya, 2012:11).

PLS yang pada awalnya diberi nama NIPALS (Non-linear Iterative Partial Least Squares) juga dapat disebut sebagai teknik prediction-oriented. Pendekatan PLS secara khusus berguna juga untuk memprediksi variable dependen dengan melibatkan sejumlah besar variable independen. PLS selain digunakan untuk keperluan confirmatory factor analysis (CFA), tetapi dapat juga digunakan untuk exploratory factor analysis (EFA) ketika dasar teori konstruk atau model masih lemah. Pendekatan PLS bersifat asymptotic distribution free (ADF), artinya data yang dianalisis tidak memiliki pola distribusi tertentu, dapat berupa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio.

Pendekatan PLS lebih cocok digunakan untuk analisis yang bersifat prediktif dengan dasar teori yang lemah dan data tidak memenuhi asumsi SEM yang berbasis kovarian. Dengan teknik PLS, diasumsikan bahwa semua ukuran variance berguna untuk dijelaskan. Karena pendekatan mengestimasi variable laten diangap kombinasi linear dari indikator, masalah indereminacy dapat dihindarkan dan memberikan definisi yang pasti dari komponen skor. Teknik PLS menggunakan iterasi algoritma yang terdiri dari serial PLS yang dianggap sebagai model alternative dari Covariance Based SEM (CB-SEM). Pada CB-SEM metode yang dipakai adalah Maximum Likelihood (ML) berorientasi pada teori dan menekankan transisi dari analisis exploratory ke confirmatory. PLS dimaksudkan untuk causal-predictive analysis dalam kondisi kompleksitas tinggi dan didukung teori yang lemah.

Seperti penjelasan di muka, metode PLS juga disebut teknik prediction-oriented. Pendekatan PLS secara khusus berguna untuk meprediksi variable dependen dengan melibatkan banyak variable independen. CB-SEM hanya mampu memprediksi model dengan kompleksitas rendah sampai menengah dengan sedikit indikator.

  Regresi Ordinal (Skripsi dan tesis)

Metode regresi ordinal digunakan untuk memodelkan hubungan antara variabel dependen yang berskala ordinal, misalnya perbedaan kepuasan mahasiswa yang berkaitan dengan pengalaman masa kuliah, dan penjelasan variabel yang menyangkut demografi dan suasana belajar.  Variabel dependen untuk kepuasan siswa diukur dengan golongan , kategori skala empat likert : sangat puas, tidak puasa, puas dan sangat puas.Variabel demografi misalnya gender dan ras. suasana belajar menyangku masalah keterlibatan fakultas, materi kurikulum, penunjang fasilitas dan aktivitas waktu belajar. Untuk membangun model regresi ordinal yang perlu diperhatikan adalah variabel mana yang harus dimasukkan kedalam model dan memilih fungsi hubungan (misal. logit link atau complemeary link) yang menunjukkan kesesuaian model. Selain itu, model statistik yang sesuai, keakuratan hasil klasifikasi dan valdasi model, misalnya parallel lines, umumnya digunakan untuk menyeleksi model yang terbaik.
Seperti penjelasan di atas, regresi ordinal adalah regresi dimana variabel dependen atau terikat yang menggunakan skala ordinal. Apa itu skala ordinal? Skala ordinal adalah skala pengukuran berupa data tingkatan atau rangking. Sedangkan variabel independen atau bebasnya bisa berupa  covariate (jika skala interval atau rasio) dan factor (jika skala nominal atau ordinal)
Terdapat lima pilihan regresi ordinal atau disebut option link. Pilihannya tergantung dari distribusi data yang dianalisis. Kelima option link tersebut adalah :
  1. Logit. program SPSS secara default menggunakan opsi ini. Digunakan pada kebanyakan distribusi data.
  2. Complementary log-log. Digunakan untuk data yang mempunyai kecenderungan bernilai tinggi.
  3. Negative Log-log. Digunakan untuk data yang mempunyai kecenderungan rendah.
  4. Probit. Digunakan jika variabel laten terdistribusi secara normal.
  5. Cauchit (Inverse Cauchy). Digunakan jika variabel laten mempunyai nilai yang ekstrim

ANALISIS HIERARCHICAL CLUSTER (skripsi dan tesis)

” Cluster analysis is technique for grouping individual or object into clusters so that object in same cluster are more like one another than they are like object in other cluster. Specifically the objective is to clasify a sample of entities (individual or object) into a small number mutually exclusive groups based on the similarites among the entities. Cluster analysis usually involves at least two step. The first is the measurement of some form of similarity or association between the entties to determine how many groups really exist in the sample. The second step is to profile the person or variable to determine their composition ” (Hair, Anderson, Black, 1995)
Analisis kluster adalah teknik untuk mengelompokkan individu atau objek menjadi beberapa kelompok tertentu dimana setiap objek yang berada dalam kluster yang sama mempunyai kemiripan satu dengan yang lain dibandingkan dengan anggota kluster yang lain. Secara khusus, tujuan analisis kluster adalah untuk menklasifikasikan entitas sampel (individu atau objek) menjadi sejulah kecil kelompok khusus yang didasarkan pada kemiripan antar entitas. Analisis kluster umumnya membutuhkan dua tahapan. Pertama, mengukur kemiripan atau asosiasi diantara entitas untuk menentukan berapa banyak kelompok yang akan dipakai pada sampel . Kedua, memprofilkan orang atau variabel untuk menentukan posisinya (Hair, Anderson, Tatham, Black, 1995)
Sumber : Yamin dan Kurniawan, 2009
Analisis kluster adalah teknik statistik yang berguna untuk megelompokkan objek atau variabel ke dalam beberapa kelompok tertentu dimana setiap objek memiliki sifat dan karakteristik yang berdekatan. Pada riset pemasaran, analisis kluster biasanya digunakan untuk melakukan proses segmentasi sejumlah responden dalam hal ini konsumen berdasarkan ciri-ciri sejumlah atribut yang ada. Analisis kluster dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : Hierarchical Cluster dan K-Mean ClusterHierarchical Cluster biasanya digunakan untuk jumlah sampel (data) yang relatif sedikit (< 100) sedangkan K-Mean Cluster digunakan untuk data yang relatif banyak (> 100). Hierarchical berupaya mengelompokkan responden berdasar kemiripan yang ada (persepsi) mereka. Hal ini disebabkan kluster secara hierarki akan melakukan proses dengan membandingkan setiap pasang kasus yang tentunya untuk jumlah kasus yang sedikit

Analisis Varians Dua Arah (Two-Way Anova) (skripsi dan tesis)

“Analysis of variance is statistical technique used to determining whether samples come from populations with equal means. Univariate analysis of variance employs on dependent measure, whereas multivariate analysis of variance compares samples based on two or more dependent variables,”( Hair, Anderson, Tatham, Black, 1995).
Analisis varians adalah teknik statistik yang digunakan untuk memutus apakah sampel yang berasal dari populasi mempunyai mean yang sama. Analisis univariat menggunakan satu sampel dependen, sedangkan analisis multivariat membandingkan satu atau lebih variabel dependen.
Ketika perbandingan rata-rata melibatkan paling sedikit tiga kelompok data, maka dapat digunakan analisis varians. Analisis dengan satu faktor disebut One-Way Anova, analisis varians dua faktor disebut Two-Way Anova dan analisis tiga faktor disebut Three Way-Anova.

PERANAN MEDIATOR DALAM PLS MODEL (Skripsi dan tesis)

Dalam model SEM, konsep dasar analisis yang melibatkan variabel mediator apabila variabel eksogen (independen) mampu mempengaruhi variabel endogen (dependen) melalui variabel lain yang disebut dengan variabel mediator (M). Artinya variabel independen (X) dapat mempengaruhi variabel mediator dan variabel mediator (M) mempengaruhi variabel dependen (Y). Secara visual dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Peranan Mediator dalam PLS
Menurut Baron dan Kenny (1986), peranan variabel sebagai mediator terjadi apabila :
  1. Variasi pada variabel independen mampu menjelaskan secara signifikan variasi dalam variabel mediator (path a)
  2. Variasi pada variabel mediator mampu menjelaskan secara signifikan variasi dalam variabel dependen (path b)
  3. Ketika variabel mediator dikontrol (path a dan path b), hubungan antara variabel independen dan variabel dependen tidak atau signifikan (path c)

Dalam arti variabel independen dapat memprediksi secara langsung variabel dependen, tetapi nilainya lebih kecil dibandingkan dengan nilai prediksi variabel mediator. seandainya nilainya lebih besar kenapa harus melibatkan/melalui variabel mediator? Begitulah sekiranya.
Ada dua model analisis yang melibatkan variabel mediator :
  1. Full Mediation, artinya variabel independen tidak mampu mempengaruhi secara signifikan variabel variabel dependen tanpa melalui variabel mediator.
  2. Part Mediation, artinya variabel independen mampu mempengaruhi secara langsung variabel dependen tanpa melalui/melibatkan variabel mediator.

software PLS (skripsi dan tesis)

Beberapa software PLS yang telah dikembangkan untuk analisis model Partial Least Square (PLS), antara lain :
  1. LVPLS versi 1.8 (Latent Variable Partial Least Square). Ini merupakan software yang pertama kali dikembangkan oleh Jan-Bernd Lohmoller (1984,1987,1989) under DOS, dapat didownload http://kiptron.psyc.virginia.edu/ . Kemudian dikembangkan lagi oleh Wynne Chin (1998,1999,2001) menjadi under Windows dengan tampilan grafis dan tambahan teknik validasi bootstrapping dan jacknifing. Software ini diberi nama PLS Graph versi 3.0. Untuk versi student dapat didownload di http://www.bauer.uh.edu.
  2. SmartPLS, software ini dikembangkan di University of Hamburg Jerman. Software ini dapat didownload di www.smartpls.de.
  3. Visual Partial Least Square (VPLS), dikembangkan oleh Jen Ruei Fu dari National Kaohsiung University Taiwan. Software ini dapat didownload di http://www2.kuas.edu.tw
  4. PLS-GUI, software ini dikembangkan oleh Yuan Li dari Management Science Department, The More School Business, Universitas of South Carolina. Software ini dapat didownload di http://dmsweb.badm.sc.edu
  5. WarpPLS, software ini dikembangkan oleh Ned Kock. Software ini merupakan alternatif path modeling linier dan nonlinier. Dapat didownload di http://www.scriptwarp.com

Pemodelan dalam PLS-Path Modeling (skripsi dan tesis)

Pemodelan dalam PLS-Path Modeling ada 2 model

  1. Model structural (Inner model) yaitu model struktural yang menghubungkan antar variabel laten.
  2. Model Measurement (Outer Model yaitu model pengukuran yang menghubungkan indikator dengan variabel latennya.
Dalam PLS Path Modeling terdapat 2 model yaitu outer model dan Inner model. Kriteria uji dilakukan pada kedua model tersebut.


Outer model (Model Measurement)

Model ini menspesifikasi hubungan antar variabel laten dengan indikator-indikatornya. atau dapat dikatakan bahwa outer model mendefinisikan bagaimana setiap indikator berhubungan dengan variabel latennya. Uji yang dilakukan pada outer model :
  • Convergent Validity. Nilai convergen validity adalah nilai loading faktor pada variabel laten dengan indikator-indikatornya. Nilai yang diharapkan >0.7.
  • Discriminant Validity. Nilai ini merupakan nilai cross loading faktor yang berguna untuk mengetahui apakah konstruk memiliki diskriminan yang memadai yaitu dengan cara membandingkan nilai loading pada konstruk yang dituju harus lebih besar dibandingkan dengan nilai loading dengan konstruk yang lain.
  • Composite Reliability. Data yang memiliki composite reliability >0.8 mempunyi reliabilitas yang tinggi.
  • Average Variance Extracted (AVE). Nilai AVE yang diharapkan >0.5.
  • Cronbach Alpha. Uji reliabilitas diperkuat dengan Cronbach Alpha.Nilai diharapkan >0.6 untuk semua konstruk.

Uji yang dilakukan diatas merupakan uji pada outer model untuk indikator reflektif. Untuk indikator formatif dilakukan pengujian yang berbeda. Uji untuk indikator formatif yaitu :

  • Significance of weights. Nilai weight indikator formatif dengan konstruknya harus signifikan.
  • Multicolliniearity. Uji multicolliniearity dilakukan untuk mengetahui hubungan antar indikator. Untuk mengetahui apakah indikator formatif mengalami multicolliniearity dengan mengetahui nilai VIF. Nilai VIF antara 5- 10 dapat dikatakan bahwa indikator tersebut terjadi multicolliniearity.

Masih ada dua uji untuk indikator formatif yaitu nomological validity dan external validity.

Inner Model (Model Structural).
Uji pada model struktural dilakukan untuk menguji hubungan antara konstruk laten. Ada beberapa uji untuk model struktural yaitu :
  • R Square pada konstruk endogen. Nilai R Square adalah koefisien determinasi pada konstruk endogen. Menurut Chin (1998), nilai R square sebesar 0.67 (kuat), 0.33 (moderat) dan 0.19 (lemah)
  • Estimate for Path Coefficients, merupakan nilai koefisen jalur atau besarnya hubungan/pengaruh konstruk laten. Dilakukan dengan prosedur Bootrapping.
  • Effect Size (f square). Dilakukan untuk megetahui kebaikan model.
  • Prediction relevance (Q square) atau dikenal dengan Stone-Geisser’s. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kapabilitas prediksi dengan prosedur blinfolding. Apabila nilai yang didapatkan 0.02 (kecil), 0.15 (sedang) dan 0.35 (besar). Hanya dapat dilakukan untuk konstruk endogen dengan indikator reflektif

Partial Least Square (skripsi dan tesis)

Partial Least Square (PLS) dikembangkan pertama kali oleh Herman Wold (1982). Ada beberapa metode yang dikembangkan berkaitan dengan PLS yaitu model PLS Regression (PLS-R) dan PLS Path Modeling (PLS-PM ). PLS Path Modeling dikembangkan sebagai alternatif pemodelan persamaan struktural ( SEM) yang dasar teorinya lemah. PLS-PM berbasis varian berbeda dengan metode SEM dengan software AMOS, Lisrel, EQS menggunakan basis kovarian.
Ada beberapa hal yang membedakan analisis PLS dengan model analisis SEM yang lain :

  1. Data tidak harus berdistribusi normal multivariate.
  2. Dapat digunakan sampel kecil. Minimal sampel >30 dapat digunakan.
  3. PLS selain dapat digunakan unutk mengkonfirmasikan teori, dapat juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antar variabel laten.
  4. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator reflektif dan formatif
  5. PLS mampu mengestimasi model yang besar dan kompleks dengan ratusan variabel laten dan ribuan indikator (Falk and Miller, 1992)

Model Indikator Formatif Dalam PLS (skripsi dan tesis)

Konstruk dengan indikator formatif mempunyai karakteristik berupa komposit, seperti yang digunakan dalam literatur ekonomi yaitu index of sustainable economics welfare, the human development index, dan the quality of life index. Asal usul model formatif dapat ditelusuri kembali pada “operational definition”, dan berdasarkan definisi operasional, maka dapat dinyatakan tepat menggunakan model formatif atau reflesif. Jika η menggambarkan suatu variabel laten dan x adalah indikator, maka: η= x Oleh karena itu, pada model formatif variabel komposit seolah-olah dipengaruhi (ditentukan) oleh indikatornya. Jadi arah hubungan kausalitas seolah-olah dari indikator ke variabel laten. Ciri-ciri model indikator formatif adalah: 1. Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari indikator ke konstruk 2. Antar indikator diasumsikan tidak berkorelasi (tidak diperlukan uji konsistensi internal atau Alpha Cronbach) 3. Menghilangkan satu indikator berakibat merubah makna dari konstruk 4. Kesalahan pengukuran diletakkan pada tingkat konstruk (zeta)

Model Indikator Refleksif (skripsi dan tesis)

Model indikator refleksif dikembangkan berdasarkan pada classical test theory yang mengasumsikan bahwa variasi skor pengukuran konstruk merupakan fungsi dari true score ditambah error. Ciri-ciri model indikator reflektif adalah: 1. Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari konstruk ke indikator 2. Antar indikator diarapkan saling berkorelasi (memiliki internal consitency reliability) 3. Menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah makna dan arti konstruk 4. Menghitung adanya kesalahan pengukuran (error) pada tingkat indikator

Gambar Umum PLS (skripsi dan tesis)

PLS merupakan metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua skala data, tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel tidak harus besar. PLS selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga dapat digunakan untuk membangun hubungan yang belum ada landasan terorinya atau untuk pengujian proposisi. PLS juga dapat digunakan untuk pemodelan structural dengan indiaktor bersifat reflektif ataupun formatif. PLS dibandingkan dengan LISREL mampu menangani dua masalah serius : (a) Solusi yang tidak dapat diterima (inadmissible solution); hal ini terjadi karena PLS berbasis varians dan bukan kovarians, sehingga masalah matriks singularity tidak akan pernah terjadi. Di samping itu, PLS bekerja pada model struktural yang bersifat rekursif, sehingga masalah un-identified, under-identified atau overidentified juga tidak akan terjadi. (b) Faktor yang tidak dapat ditentukan (factor indeterminacy), yaitu adanya lebih dari satu faktor yang terdapat dalam sekumpulan indikator sebuah variabel. Khusus indikator yang bersifat formatif tidak memerlukan adanya comon factor sehingga selalu akan diperoleh variabel laten yang bersifat komposit. Dalam hal ini variabel laten merupakan kombinasi linier dari indikator-indikatornya.

model formulasi kebijakan (skripsi dan tesis)

Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan publik. Perumusan kebijakan tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah produk peraturan perundang-undangan. Seringkali pembuat kebijakan memutuskan untuk tidak mengambil tindakan terhadap sebuah permasalahan dan membiarkannya selesai sendiri. Atau seringkali pembuat kebijakan tidak berhasil mencapai kata sepakat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap suatu masalah tertentu (Rusli, 2013:72). Model perumusan kebijakan publik merupakan pengambilan keputusan dari berbagai alternatif. Dalam pengambilan keputusan biasanya mempertimbangkan anatara untung rugi dan keefisiennya suatu kebijakan (model rasional kompreherensif). Dalam model perumusan kebijakan publik dalam proses ini factor aktor akan melakukan pendefinisian suatu masalah (input) kemudian di konvertasi untuk dibuat kebijakan yang pas dan hasil dari input dan konversi adalah output yang berupa kebijakan. Namun dalam prosis input koversi dan output faktor lingkungan sebagai penerima kebijakan berpengaruh cukup besar. Karena nantinya setelah kebijkan dibuat dan ditolak oleh lingkungan penerima  kebijakan maka akan diproses kembali untuk dibuat model kebijakan yang baru, yang sesuai dengan lingkungan penerima kebijakan.
Di lingkungan para pembelajar perumusan kebijakan publik terdapat sejumlah model. Dye (1992:20) merumuskan model-model secara lengkap dalam sembilan model formulasi kebijakan yaitu :
1. Model Kelembagaan (Institutional) Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi apapun yang dibuat pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik. Ini adalah model yang paling sempit dan sederhana di dalam formulasi kebijakan publik. Model ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat, di dalam formulasi kebijakan. Disebutkan Dye, ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi bersifat universal, dan memang pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama. Pendekatan kelembagaan (institutionalism) merupakan salah satu perhatian ilmu politik yang tertua. Kehidupan politik umumnya berkisar pada lembaga pemerintah seperti: legislatif, eksekutif, pengadilan dan partai politik; lebih jauh lagi kebijakan publik awalnya berdasarkan kewenangannya ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Tidak mengherankan kemudian bila ilmuan politik banyak mencurahkan perhatian pada pendekatan ini. Secara tradisional pendekatan kelembagaan menitikberatkan pada penjelasan lembaga pemerintah dengan aspek yang lebih formal dan legal yang meliputi organisasi formal, kekuasaan legal, aturan prosedural, dan fungsi atau aktivitasnya. Hubungan formal dengan lembaga lainnya juga menjadi titik berat dari pendekatan kelembagaan. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan di mana kebijakan itu diterapkan. Dalam model kelembagaan, kebijakan dianggap sebagai hasil dari lembaga-lembaga pemerintah (parlemen, kepresidenan, kehakiman, pemerintah daerah dan sebagainya) yang meliputi proses-proses perumusan, pelaksanaan dan pemaksaan secara otoritatif oleh lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Karakteristik kebijakan model kelembagaan ini meliputi: a. Pemerintah memebrikan lgitimasi terhadap kebijaksanaan yang akan ditempuhnya, sedangkan rakyat sebagai penerima kebijakan tersebut b. Pemerintah melaksanakan kebijakannya secara universal dan tidak ada seorangpun yang bisa menghindar c. Hanya pemerintah yang berhak memaksakan pelaksanaan kebijakan kepada masyarakat.
2. Model Proses (Process) Di dalam model ini, para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Model ini memberitahukan kepada kita bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, namun kurang memberikan tekanan kepada substansi seperti apa yang harus ada. Misalnya mulai dari : a. Proses identifikasi permasalahan b. Menata agenda formulasi kebijakan c. Perumusan proposal d. Legitimasi kebijakan e. Implementasi kebijakan f. Evaluasi kebijakan.
 3. Model Kelompok (Group) Model pengambilan kebijakan dalam teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Inti gagasannya adalah interaksi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah yang terbaik. Di sini individu di dalam kelompokkelompok kepentingan berinteraksi secara formal dan informal, secara langsung atau tidak langsung melalui media masa menyampaikan tuntutan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Di sini peran dari sistem politik adalah untuk mengelola konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan, melalui: a. Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan c. Memungkinkan terbentuknya konpromi di dalam kebijakan publik d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut. Model teori kelompok sesungguhnya merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif.
4. Model Elit (Elitte) Model teori elit berkembang dari teori politik elit, massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa di dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini menggambarkan diri kepada kenyataan bahwa sedemokratis apapun, selalu ada bias di dalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya 23 kebijakan-kebijakan yang di lahirkan merupakan referensi politik dari para elite – tidak lebih. Ada dua penilaian dalam pendekatan ini, yaitu penilaian negatif dan positif. Pada pandangan negatif dikemukakan bahwa pada akhirnya di dalam sistem politik, pemegang kekuasaan politik lah yang akan menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selerah dan keinginannya. Dan pandangan positif melihat bahwa seorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan membawa negara-negara ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Kebijakan publik dalam model elite dapat dikemukakan sebagai preferensi dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Teori model elite menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya dibuat apatis atau miskin informasi. Dalam model elite lebih banyak mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai elite dibandingkan dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Sehingga perubahan kebijakan publik hanyalah dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilainilai elite tersebut yang dilakukan oleh elite itu sendiri. Gambar di bawah ini merupakan model teori elit, di mana tampak bahwa elit secara top down membuat kebijakan publik untuk di implementasikan oleh administrator publik kepada rakyat banyak atau massa. Pendekatan ini dapat dikaitkan dengan paradigma pemisahan antara politik dengan administrasi publik yang diikonkan dalam konstanta where politics and,administrations begin

adi model elite merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan di mana kebijakan publik merupakan harapan elite politik. Prinsip dasarnya adalah karena setiap elite politik ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat konsevatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elite politik tidaklah berarti selalu mementingkan kepentingan masyarakat, ini adalah kelemahan-kelemahan dari model elite. 5. Model Rasional (Rational) Dalam teori ini gagasan yang dikedepankan adalah kebijakan publik sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberi manfaat optimum bagi masyarakat. Tidak dipungkiri, model ini adalah model yang paling banyak diikuti dalam praktek formulasi kebijakan publik di seluruh dunia. Elit Administratur Massa Arah Kebijakan Eksekusi Kebijakan 25 Model ini mengatakan bahwa proses formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Dengan kata lain, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan (Winarno, 2002:75): a. Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya b. Menemukan plihan-pilihan c. Menilai konsekuensi masing-masing pilihan d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien. Apabila dirunut, kebijakan ini merupakan model ideal dalam formulasi kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi-studi kebijakan biasanya memberikan fokus kepada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan. 6. Model Incremental Model Inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional. Dikatakannya, para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang disyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual maupun biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan, dan menghindari konflik (Winarno, 2002:77-78). Kebijakan seperti ini dapat dilihat pada kebijakan pemerintah hari ini untuk mengambil alih begitu saja kebijakan-kebijakan di masa lalu, seperti kebijakan desentralisasi, kepartaian, rekapitalisasi kebijakan PPN dan lain-lain. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya. karena beberapa alasan, yaitu: a. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan tujuan kebijakan b. Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak diinginkan sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya c. Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan demi kepentingan tertentu d. Menghindari konflik jika harus melakukan proses negoisasi yang melelahkan bagi kebijakan baru.
 7. Model Teori Permainan (Game Theory) Model seperti ini biasanya di cap sebagai model konspiratif. Gagasan pokok dari kebijakan dalam model permainan adalah, pertama formulasi kebijakan berada di dalam situasi kompetisi yang instensif, kedua, para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independent. Sama seperti permainan catur, setiap langkah akan bertemu dengan kombinasi langkah lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif bebas. Inti dari teori permainan yang terpenting adalah untuk mengakomodasi kenyataan paling riil, bahwa setiap negara, setiap pemerintah, setiap masyarakat tidak hidup dalam vakum. Ketika kita mengambil keputusan, maka lingkungan tidak pasif, melainkan membuat keputusan yang bisa menurunkan keefektifan keputusan kita. Di sini teori permainan memberikan konstribusi yang paling optimal.
 8. Model Pilihan Publik (Public Choice) Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang bekepentingan atas keputusan tersebut. Akar kebijakan ini sendiri berekar dari teori ekonomi pilihan publik (Economic of public choise) yang mengandaikan bahwa manusia adalah homo ecnomicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand. Pada initinya, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (benifisiaris atau customer dalam konsep bisnis). Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkonstribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Sebuah pemikiran yang dilandasi gagas Jhon Locke bahwa, pemerintah adalah sebuah lembaga yang muncul dari kontrak sosial diantara individu-individu warga masyarakat.
9. Model Sistem (System) Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen: input, proses, dan output. Kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakantindakan yang dilakukan pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah. Formulasi kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik).

E-Procurement (Skripsi dan tesis)

E-procurement adalah sebuah konsep pengadaan barang/ jasa pemerintah yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi secara elektronik demi memudahkan proses transaksi agar terciptanya pelayanan Publik yang lebih maksimal. Pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, e-tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem elektronik dengan cara menyampaikan satu kali penawaran sampai dengan waktu yang telah ditentukan. Kedua, e-Purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik.

Adapun yang meliputi pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik adalah sebagai berikut  : a) Pengadaan Barang meliputi, namun tidak terbatas pada: 1. Bahan baku; 2. Barang setengah jadi; 3. Barang jadi/peralatan; 4. Mahluk hidup. b) Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Pekerjaan Konstruksi adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Yang dimaksud dengan pelaksanaan konstruksi bangunan, meliPuti keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan.
Yang dimaksud dengan pembuatan wujud fisik lainnya, meliPuti keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan untuk mewujudkan selain bangunan antara lain, namun tidak terbatas pada: 1. Konstruksi bangunan kapal, pesawat atau kendaraan temPur; 2. Pekerjaan yang berhubungan dengan persiapan lahan, penggalian dan/atau penataan lahan (landscaping); 3. Perakitan atau instalasi komponen pabrikasi; 4. Penghancuran (demolition) dan pembersihan (removal); Reboisasi. c) Pengadaan Jasa Konsultasi Pengadaan Jasa Konsultansi meliPuti, namun tidak terbatas pada: 1. Jasa rekayasa (engineering); 2. jasa perencanaan (planning), perancangan (design) dan pengawasan (supervision) untuk pekerjaan konstruksi; 3. Jasa perencanaan (planning), perancangan (design) dan pengawasan (supervision) untuk pekerjaan selain pekerjaan konstruksi, seperti transportasi, pendidikan, kesehatan, kehutanan, perikanan, kelautan, lingkungan hidup, kedirgantaraan, pengembangan usaha, perdagangan, pengembangan sdm, pariwisata, pos dan telekomunikasi, pertanian, perindustrian,pertambangan, energi; 4. jasa keahlian profesi, seperti jasa penasehatan, jasa penilaian, jasa pendampingan, bantuan teknis, konsultan manajemen, konsultan 5. Hukum. d) Pengadaan Jasa lainnya Pengadaan Jasa Lainnya meliputi, namun tidak terbatas pada: 1. Jasa boga (catering service); 2. Jasa layanan kebersihan (cleaning service); 3. Jasa penyedia tenaga kerja; 4. Jasa asuransi, perbankan dan keuangan; 5. Jasa layanan kesehatan, pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, kependudukan; 6. Jasa penerangan, iklan/ reklame, film, pemotretan; 7. jasa percetakan dan penjilidan; 8. Jasa pemeliharaan/perbaikan; 9. Jasa pembersihan, pengendalian hama (pest control) dan fumigasi; 10. Jasa pengepakan, pengangkutan, pengurusan dan penyampaian barang; 11. Jasa penjahitan/konveksi; 12. Jasa impor/ekspor;  13. Jasa penulisan dan penerjemahan; 14. Jasa penyewaan; 15. Jasa penyelaman; 16. Jasa akomodasi; 17. Jasa angkutan penumpang; 18. Jasa pelaksanaan transaksi instrumen keuangan; 19. Jasa penyelenggaraan acara (event organizer); 20. jasa pengamanan; 21. Jasa layanan internet; 22. Jasa pos dan telekomunikasi; 23. Jasa pengelolaan aset. Dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah perlu diterapkannya prinsip – prinsip agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses Pengadaan Barang/Jasa karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan. AdaPun prinsip – prinsip dalam pengadaan barang/ jasa menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah adalah sebagai berikut : a) Efisien, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. b) Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesarbesarnya.Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. d) Terbuka, berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. e) Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan Barang/Jasa. f) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. g) Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan

E-Government (Skripsi dan tesis)

 E-Government adalah aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam dan dengan pihak luar yang diharapkan mamPu meningkatkan performance pemerintahan dan memenuhi ekspektasi masyarakat akan peningkatan kualitas pemerintah. E-Government merupakan sekumPulan konsep untuk semua tindakan dalam sektor Publik yang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengoptimalisasi proses pelayanan Publik yang efisien, transparan dan efektif.16 Pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan Publik secara efektif dan efisien.
Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalisasikan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan yaitu Pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis, Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan Publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Adapun sejarah munculnya e-Government terdiri dari tiga penyebab. Pertama, era globalisasi yang datang lebih cepat sehingga emajuan teknologi informasi (komPuter dan telekomunikasi) terjadi sedemikian pesatnya sehingga data, informasi dan pengetahuan dapat diciptakan dengan teramat sangat cepat dan dapat segera disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan di dunia dalam hitungan detik. Kedua, meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat di dunia tidak terlepas dari semakin membaiknya kinerja industri swasta dalam melakukan kegiatan ekonominya. Ketiga, kedekatan antara masyarakat (sebagai pelanggan) dengan pelaku ekonomi telah membuat terbentuknya sebuah standar pelayanan yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Ketiga aspek di atas menyebabkan terjadinya tekanan dari masyarakat yang menginginkan pemerintah memperbaiki kinerjanya secara signifikan dengan cara memanfaatkan berbagai teknologi informasi yang ada

Pelayanan Publik (skripsi dan tesis)

Pelayanan Publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan Universitas Sumatera Utara 16 16 haknya.12 Pelayanan Publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di daerah dan lingkungan BUMN/D dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat mauPun dalam rangka pelaksanaan perundang-undangan.13 Pelayanan Publik meliputi pelayanan barang Publik, pelayanan jasa Publik dan pelayanan administratif. Adapun asas-asas dalam pelayanan Publik, yaitu kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan serta keterjangkauan

Teori George C. Edward III (1980) (skripsi dan tesis)

 Menurut George Edward III, terdapat empat faktor atau variabel dalam implementasi kebijakan publik, yaitu :
1. Komunikasi Variabel utama dalam implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa pembuat keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusankeputusan harus diteruskan kepada implementor secara tepat, selain itu komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat.
 2. Sumber Daya
 Sumber daya adalah faktor yang paling penting dalam implementasi kebijakan agar berjalan secara efektif. Sumber daya itu dapat berupa sumber daya manusia, sumber daya finansial dan sumber daya fasilitas pendukung. Tanpa adanya sumber daya, maka kebijakan yang telah dibuat tidak dapat diimplementasikan. Adapun indikator dari sumber daya adalah sebagai berikut :
a) Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan implementor dari sebuah kebijakan, sehingga berhasil ataupun tidaknya implementasi kebijakan dipengaruhi oleh staff atau pegwainya. Apabila sumber daya manusianya cukup memadai dan kompeten dalam bidangnya, maka implementasi kebijakan publik dapat berjalan secara efektif.
b) Sumber Daya Finansial Sumber daya finansial adalah kecukupan modal yang dimiliki dalam menjalankan sebuah kebijakan publik, sumber daya finansial juga akan mendukung segala fasilitas yang dibutuhkan untuk terlaksananya kebijakan publik.
 c) Sumber Daya Fasilitas Pendukung Fasilitas pendukung merupakan fasilitas fisik yang sangat penting dalam implementasi teknis sebuah kebijakan publik. Apabila sumber daya manusia sudah memadai, namun tanpa adanya fasilitas pendukung yang memadai (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tidak akan berjalan secara maksimal.
3. Disposisi
 Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor dalam implementasi sebuah kebijakan. Apabila disposisi implementor baik, maka ia akan dapat mengimplementasikan kebijakan seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki difat dan pandangan yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga akan terhambat. 4. Struktur Birokrasi Struktur birokrasi yang dalam implementasi kebijakn publik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan publik. Ada dua karakteristik utama struktur birokrasi, yaitu SOP dan penyebaran tugas antar implementor

proses kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Adapun proses kebijakan Publik menurut James E. Anderson adalah sebagai berikut :

1. Identifikasi Masalah dan Agenda Setting Fokus pada tahap ini adalah bagaimana masalah – masalah bisa dijadikan sebagai kebijakan Publik yang dispesifikasikan dan diidentifikasikan. Mengapa hanya beberapa masalah dari semua yang ada, yang dapat menerima pertimbangan oleh pembuat kebijakan yang membutuhkan sebuah pemeriksaan dari agenda setting. Hal ini mengenai bagaimana badan – badan pemerintah memutuskan masalah apa yang layak. Apakah sebuah kebijakan Publik, mengapa hanya beberapa ? Keadaan atau persoalan apa yang bisa menjadi masalah Publik ? Bagaimana masalah bisa menjadi agenda pemerintahan ? Mengaapa beberapa masalah tidak berhasil menjadi agenda kebijakan ?

2. Formulasi Hal ini meliPuti berbagai macam tindakan berupa pembuatan dan pengidentifikasian, seringkali disebut pilihan untuk memecahkan atau memperbaiki masalah Publik. Siapa yang ikut serta dalam perumusan kebijakan ? Bagiamana pilihan untuk menghadapi sebuah masalah pembangunan? Adakah kesulitan dan penyimpangan dalam usulan perumusan kebijakan ?

 3. Adopsi Tahap ini tentang memutuskan pilihan yang dimaksud, termasuk tidak mengambil tindakan yang digunakan untuk mengatasi masalah. Di Badan Legislatif Amerika fungsi ini dilakukan oleh sebagian besar/ kaum mayoritas.yang harus dipenuhi ? Apa isi dari kebijakan yang ditetapkan ?

4. Implementasi/ Pelaksanaan Pada tahap ini, perhatiannya pada apa yang terselesaikan untuk melaksanakan atau menerapkan kebijakan yang telah ditetapkan. Seringkali pembangunan lebih lanjut atau pengembangan kebijakan akan menjadi bagian dari pelaksanaan mereka. Siapa yang dilibatkan ? Apakah sesuatu hal sudah terlaksana sesuai kebijakan yang diselenggarakan atau ditetapkan ? Bagiamana bentuk bantuan pelaksanaan atau menentukan isi dari kebijakan ?
5. Evaluasi Kegiatan ini memerlukan maksud untuk menentukan apakah sebuah kebijakan terpenuhi, apakah kebijakan tersebut memiliki akibat yang lain ? Siapakah yang dilibatkan ? Siapakah yang diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan ? Apakah akibat dari evaluasi kebijakan ? Apakah ada permintaan untuk perubahan atau pencabutan kebijakan ? Apakah terdapat permasalahan baru yang teridentifikasikan ? Apakah proses kebijakan diulangi kembali karena evaluasi

Konsep Kebijakan Publik (Skripsi dan tesis)

 Thomas R. Dye memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan Publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan Easton memberikan pengertian kebijakan Publik sebagai pengalokasian nilai – nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannnya mengikat, sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai – nilai kepada masyarakat.
 Menurut Woll, Kebijakan Publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memcahkan masalah di masyarakat baik secara langsung mauPun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sedangkan James E. Anderson memberikan definisi kebijakan Publik sebagai kebijakan – kebijakan yang dibangun oleh badan – badan dan pejabat – pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah : 1) kebijakan Publik selalu memPunyai tujuan tertentu atau memPunyai tindakan – tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan Publik berisi tindakan pemerintah; 3) kebijakan Publik merupakan apa yang benar – benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan Publik yang diambil bisa ersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan kePutusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak – tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
 Berdasarkan pengertian dari beberapa para ahli diatas, dapat disimPulkan bahwa pada dasarnya kebijakan Publik adalah segala sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah Publik demi kepentingan masyarakat yang bersifat mengikat dan memaksa.

Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

 Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, di mana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan (Agustino 2008). Ada tiga hal penting dari pengertian implementasi kebijakan, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan. Fokus analisis implementasi kebijakan berkisar pada masalah-masalah pencapaian tujuan formal yang telah ditentukan. Fokus tersebut membawa konsekuensi pada perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efesiensi dan efektivitas pelaksanaan kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan kebijakan. Pemahaman mengenai implementasi kebijakan publik, tidak hanya menyoroti perilaku lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang bertanggungjawab atas suatu program tetapi perlu memperhatikan secara cermat berbagai jaringan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat program dan yang pada akhirnya membawa dampak yang diharapkan maupun tidak diharapkan dari suatu program.
Baginski dan Soussan (2002) menunjukkan bahwa implementasi kebijakan merupakan bagian dari proses pembuatan kebijakan, bukan merupakan kegiatan yang terpisah. Hal ini dapat terwujud apabila hasil kebijakan dilakukan komunikasi dan desiminasi serta adanya interpretasi kebijakan yang sama dari berbagai pihak yang terlibat di tingkat pelaksana. Program-program atau kegiatan sebagai perwujudan implementasi suatu kebijakan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan kebijakan dan dampak yang diharapkan. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam implementasi kebijakan yaitu pendekatan top down dan pendekatan button up (Agustino 2008). Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan di tingkat pusat dilaksanakan oleh birokrat pada level bawahnya. Pendekatan button up adalah model implementasi kebijakan di mana formulasi kebijakan berada di tingkat warga, sehingga lebih memahami dan menganalisis kebijakan-kebijakan yang cocok dengan sumberdaya daerahnya, sistem sosio-kultur yang ada agar kebijakam tersebut tidak kontradiktif. Semua kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengawasi perilaku manusia untuk suatu tujuan tertentu. Apabila kebijakan tersebut tidak dapat merubah perilaku manusia atau tidak mematuhi kebijakan yang ditentukan, maka kebijakan tersebut dikatakan tidak efektif. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya suatu kebijakan, antara lain: a. Faktor penentu pemenuhan kebijakan 1. Respek anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah 2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan 3. Adanya sanksi hukum 4. Adanya kepentingan publik 5. Adanya kepentingan pribadi 6. Masalah waktu b. Faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan 1. Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada 2. Tidak adanya kepastian hukum 3. Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi 4. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.

Proses Pembuatan Kebijakan (skripsi dan tesis)

Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik. Proses ini dapat divisualisasikan sebagai proses pembuatan kebijakan, yang memiliki lima tahap penting yaitu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Dunn 2004)Perhatian yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan adalah proses perumusan masalah publik pada tahapan penyusunan agenda publik. Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen dasar dalam merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai. Perumusan masalah menurut Dunn (2004) akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis masalah publik, memetakan tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yangberseberangan/bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan baru. Lebih lanjut dikatakan, dalam perumusan masalah terdapat fase-fase yang harus dilakukan secara hati-hati yaitu pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem defenision), spesifikasi masalah (problem specification) dan pengenalan masalah (problem sensing). Hal terpenting lain dalam pembuatan kebijakan selain merumuskan masalah adalah menemukan masalah publik yang dibedakan dengan masalah privat. Masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatankesempatan yang tidak terealisir tetapi dapat dicapai melalui tindakan publik (Dunn 2004)
. Ciri-ciri yang menonjol dari masalah kebijakan sebagai berikut: a. Saling ketergantungan dari masalah kebijakan, yang mengharuskan perlunya pendekatan yang holistic. b. Subyektifitas. Masalah merupakan elemen dari banyak situasi masalah yang diabstraksikan oleh analis. Hal yang sangat penting dalam analisis kebijakan yaitu membedakan situasi masalah dengan masalah kebijakan. c. Sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan sebenarnya adalah apa yang ada dalam masyarakat itu sendiri. d. Dinamika masalah kebijakan, menjelaskan bahwa solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang. Proses pembuatan kebijakan berhubungan dengan didapatkannya persetujuan dari alternatif kebijakan yang dipilih. Proses ini dapat dipelajari sebagai suatu proses individual atau kolektif. Ada beberapa kriteria yang dapat mempengaruhi pilihan kebijakan yang bersifat individual manakala hendak diputuskan yaitu nilai (sosial, ekonomi, religius, politik, dan lain-lain), afiliasi pada partai politik, kepentingan para pemilih (konstituen), pendapat publik, dan perbedaan (Agustino 2008). Untuk memahami formulasi kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye (1995) dalam Agustino (2008) setidaknya ada sembilan model formulasi kebijakan yang banyak digunakan selama ini oleh negara/lembaga/institusi dalam menetapkan keputusannya, yaitu: model sistem, model elite, model institusional, model kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan 23 publik, dan model teori permainan. Penjelasan dari beberapa model formulasi kebijakan tersebut, yaitu: a. Model proses: kebijakan publik sebagai suatu aktivitas yang menyertakan rangkaian-rangkaian kegiatan (yang berproses) yang berujung evaluasi kebijakan. b. Model rasional. Prinsip dasar dari model rasional adalah bagaimana keputusan yang diambil oleh pemerintah harus sudah diperhitungkan rasionalitas cost and benefits-nya bagi warga masyarakat. Tahapan yang harus dilakukan yaitu: (1) mengetahui pilihan-pilhan dan kecenderungan yang diinginkan warga; (2) menemukan pilihan-pilihan kebijakan yang mungkin untuk diimplementasikan; (3) menilai konsekuensi masing-masing dari pilihan kebijakan; (4) menilai perbandingan perhitungan keuntungankeuntungan dan kerugian-kerugian apabila kebijakan diimplementasikan; (5) memilih alternatif kebijakan yang efesien dan ekonomis. Model ini dikenal juga sebagai Model Rasional Komprehensif. c. Model inkremental, merupakan model formulasi yang “melanjutkan” atau “memodifikasi” kebijakan yang tengah berlangsung ataupun kebijakan yang telah lalu. Model ini disebut juga sebagai Model Praktis. d. Model pilihan publik menyatakan kebijakan yang dibuat pemerintah haruslah kebijakan yang memang berbasis pada publik, yang sesuai dengan konteks negara demokratis yang mengedepankan one man one vote. Kebijakan publik yang mayoritas merupakan rancang bangun teori kontrak sosial yang sangat tergantung pada preferensi publik atas pilihan-pilihan yang ada. e. Model teori permainan (game theory). Kebijakan publik berada pada kompetisi yang sempurna, sehingga pengaturan strategi kebijakan yang ditawarkan pada pengambil keputusan lain dapat diterima, khususnya oleh para penentang. Tahapan dalam model teori permainan, pengaturan/pemilihan strategi menjadi hal yang paling utama. Grindle dan Thomas (1990) dalam Kartodihardjo (2008) dan Sutton (1999) menyatakan proses pembuatan kebijakan selama ini menggunakan pendekatan rasional atau linier yaitu: mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah, kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dan kondisi harapan 24 yang diinginkan, merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah atau gap, memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi, memilih tindakan, pelaksanaan kebijakan, serta evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Asumsi yang digunakan dalam model linier adalah pembuat kebijakan melakukan pendekatan terhadap masalah secara rasional, melalui setiap tahapan proses dengan logis, dan mempertimbangkan dengan cermat dan hati-hati berbagai informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang dimaksudkan, maka kesalahan seringkali tidak diarahkan pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau pengelolaan dalam implementasi kebijakan tersebut (Juma & Clark 1995 dalam Sutton 1999). Kegagalan dalam pelaksana kebijakan biasanya ditujukan pada lemahnya “political will”, keterbatasan sumberdaya (anggaran, sumberdaya manusia), dan manajemen. Model pembuatan kebijakan menurut Sutton (1999) berdasarkan adanya berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu: a. Model tahap demi tahap (incremental model). Suatu kebijakan menetapkan isu sebagai alternatif yang dianggap kritis dan tidak ada perubahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan dengan kebijakan sebelumnya. b. Kebijakan sebagai argumen. Suatu kebijakan yang baru merupakan argumen, yang dikembangkan melalui perdebatan antara pemerintah dengan pihak lain. Pihak-pihak yang terlibat melakukan klaim dan justifikasi terhadap sesuatu dan pihak lain menanggapi secara kritis. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi ide menampilkan posisi politik dan fakta sosial dari berbagai pandangan dan ideologi. c. Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaharuan kebijakan memperhatikan perubahan sosial yang berjalan sebagai suatu trial dan error, melalui pembuktian sejumlah hipotesis yang diuji berdasarkan realitas. Model ini menggunakan pendekatan eksperimen ilmu-ilmu alam. d. Kebijakan sebagai proses belajar secara interaktif (interactive learning). Kebijakan ini berakar dari kritik kebijakan pembangunan top down, dimana 25 kebijakan dibuat berdasarkan perpektif aktor secara terbatas oleh individuindividu, lembaga atau kelompok sosial yang mengendalikan dan menjalankan sistem pemerintahan. Pendekatan ini mempromosikan interaksi antara para pembuat kebijakan dan para pihak yang langsung terkena dampak kebijakan. Contohnya pendekatan partisipatoty rural appraisal (PRA). IDS (2006) menjelaskan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Proses pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik dan bukan semata-mata masalah teknis, 2) Proses pembuatan bersifat incremental (bertahap), iterative (berulang) dan experimental (uji coba), serta belajar dari kesalahan, 3) Selalu diwarnai kepentingan yang tumpang tindih dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga yang terabaikan, 4) Keputusan tidak tersendiri dan mempertimbangkan hal teknis, tetapi nilai dan fakta sangat berperan penting, 5) Implementasi melibatkan pertimbangan dan negoisasi oleh pelaksana di tingkat lapangan, 6) Para ahli teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan. Penelitian yang dilakukan oleh IDS (2006) di beberapa negara menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan dalam prakteknya tidak mengikuti pendekatan rasional (non_linier) tersebut. Penetapan masalah serta solusi atas suatu fenomena tertentu seringkali melibatkan berbagai kepentingan, kerangka pikir (discourse/narrative) maupun aktor dan jaringan, sehingga tidak lagi dapat menggunakan kerangka pendekatan rasional.
Studi kasus terhadap tiga perumusan kebijakan pemerintah di bidang kehutanan yang dilakukan Kartodihardjo (2008) menunjukkan hal yang sama bahwa para pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan menghadapi situasi ketidakpastian, berbagai skenario muncul dengan berbagai perspektif yang senantiasa bersaing satu sama lain. Proses pembuatan kebijakan tidak terlepas dari adanya narasi-narasi yang telah terbangun. Narasi dibangun sebagai upaya mengatasi adanya interaksi dan proses oleh orang banyak yang kompleks yang menjadi karakteristik situasi pembangunan. Kegiatan pembangunan mempunyai sifat ketidak-pastian. Birokrat dan para pembuat kebijakan mengartikulasikan ketidak-pastian tersebut dengan membuat narasi dan skenario melalui sejumlah penyederhanaan. Beberapa kasus  menunjukkan, narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi kebijakan (policy space) yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Diskursus berdasarkan pendekatan antropologi mempunyai peranan yang penting dalam proses pembuatan kebijakan. Diskursus sebagai cara berpikir dan menentukan argumentasi biasanya menyertakan politik dalam pemberian penamaan (misalnya perambah hutan, kapitalis, dll) dan pengklasifikasian yang secara tegas menolak cara berpikir yang lain. Berbeda dengan “narasi” sebagai cara pikir untuk ruang yang lebih spesifik, diskursus digunakan sebagai bentuk kerangka pikir yang lebih luas.

Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Pemahaman dan penjelasan tentang proses pembuatan keputusan dilihat dengan beberapa pendekatan teoritis dalam sistem politik. Pendekatan teoritis sangat berguna untuk mempermudah cara berpikir kita dan memberikan saran yang mungkin bagi kegiatan politik atau khususnya dalam menganalisis masalah kebijakan publik. Metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima macam pertanyaan: Apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang diharapkan? Jawaban terhadap pertanyaan di atas membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa-depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan (Dunn 2004). Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia: definisi, prediksi, preskripsi,  deskripsi, dan evaluasi (Dunn 2004). Prosedur-prosedur dalam analisis kebijakan memperoleh nama-nama khusus yaitu: a. Perumusan masalah (definisi): menghasilkan informasi mengenai kondisikondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. b. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. c. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. d. Pemantauam (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. e. Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah

Lingkungan Publik (skripsi dan tesis)

Lingkungan kebijakan publik yaitu konteks khusus di mana kejadian-kejadian di sekelilig isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik (Dunn 2004). Kebijakan publik akan dibentuk dan membentuk lingkungan sekitarnya (sosial, politik, ekonomi maupun budaya). Suatu keadaan akan terjadi di mana kebijakan menyalurkan masukannya pada lingkungan sekitarnya, namun pada saat yang sama atau yang lain, lingkungan sekitar membatasi dan memaksakan pada perilaku yang harus dikerjakan oleh para pengambil keputusan/kebijakan. Artinya, interaksi antara lingkungan  kebijakan dan kegiatan kebijakan publik memiliki hubungan yang saling berpengaruh. Pemahaman lingkungan kebijakan yang spesifik perlu ditingkatkan dengan pemaknaan yang plural, dalam tiga ketegori luas yaitu:
 a. Lingkungan umum di luar pemerintahan dalam arti pola-pola yang melibatkan faktor-faktor sosial ekonomi, politik dan nilai-nilai tertentu
b. Lingkungan di dalam pemerintahan dalam arti institusional, seperti karakteristik birokrasi, sumberdaya yang dimiliki, sumberdaya finansial yang tersedia, dan sebagainya.
 c. Lingkungan khusus yang mempengaruhi kebijakan. Beberapa bentuk lingkungan yang mempengaruhi dapat dilihat dari sisi formulasi, implementasi, hingga evaluasi bahkan perubahan kebijakan publik seperti karakteristik geografis (sumber-sumber alam, iklim, topografi), variabel demografi (populasi masyarakat, persebaran usia, lokasi), budaya politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi. Negara lain juga menjadi penting dalam struktur lingkungan kebijakan khususnya berkaitan dengan kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri. Khusus untuk ilmuwan/studi kebijakan publik dan ilmuwan politik, lebih menitikberatkan pada pembahasan variabel kondisi budaya politik dan variabel sosial ekonomi.
 Kedua variabel di atas menjadi hal penting untuk memahami pengaruhnya terhadap kebijakan yang terjadi.
 a. Kondisi dan Budaya Politik Setiap masyarakat mempunyai kebiasaan, tradisi, dan budaya yang membedakan nilai serta perilaku anggota masyarakat dari yang lain. Budaya masyarakat pada umumnya dapat membentuk budaya politik, yang secara luas memberikan nilai, kepercayaan, dan sikap mengenai apa yang yang harus dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana mereka harus menjalankan, serta hubungan antara warga negara dan pemerintah. Yang menjadi perhatian dalam budaya politik suatu negara adalah bagaimana suatu kebijakan publik diformulasi dan implementasikan dengan mengkaji kondisi dan budaya politik yang terjadi.
 b. Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi sangat sulit dipisahkan dalam proses formulasi kebijakan publik. Tingkat masyarakat dalam perkembangan ekonomi akan menentukan batasan yang dapat dikerjakan pemerintah dalam menyediakan barang-barang dan pelayanan publik kepada masyarakat. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap apa yang dikerjakan pemerintah dalam program kesejahteraan adalah sumber-sumber ekonomi yang dipakai.
Penelitian yang dilakukan Thomas R. Dye (1966) dengan mengikutsertakan analisis statistik mengenai output kebijakan di 50 negara, menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi (dengan variabel: pendapatan perkapita, persentasi populasi urban, tingkat rata-rata pendidikan dan pekerjaan industri) mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kebijakan negara dalam hal pendidikan, kesejahteraan, jalan raya dan peraturan publik). Sedangkan variabel politik (partisipasi pemberi suara, persaingan antar partai, kekuatan partai politik dan pembagian legislatif) hanya mempunyai hubungan yang lemah (Agustino 2008).

Aktor dan Pelaku Pembuat Kebijakan (Skripsi dan tesis)

Pelaku kebijakan adalah para individu atau kelompok yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Para pelaku kebijakan antara lain kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih, dan para analis kebijakan (Dunn 2004). Pejabat pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik, walau dalam kenyataannya beberapa orang yang mempunyai wewenang untuk bertindak dikendalikan oleh orang lain, seperti pimpinan partai politik atau kelompok penekan (Agustino 2008). Yang termasuk dalam pembuat kebijakan secara normatif adalah legislatif, eksekutif, administrator, dan para hakim (Agustino 2008). Masing-masing mempunyai tugas dalam pembuatan kebijakan yang relatif berbeda dengan lembaga lainnya. Selain lembaga-lembaga tersebut di atas yang secara formal membuat kebijakan publik, masih ada elemen lain yang berpartisipasi dalam proses kebijakan di antaranya kelompok kepentingan, partai politik, dan warganegara secara pribadi. Kelompok di atas dikenal sebagai partisipan nonpemerintah karena bagaimanapun elemen ini dianggap penting atau dominan dalam situasi yang berlainan, walau pada dasarnya kelompok ini tidak memiliki wewenang yang sah untuk membuat kebijakan.

Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

 Kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn 2004). Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan oleh „otoritas” dalam sistem politik yaitu para Pelaku Publik Lingkungan Publik Kebijakan Publik 15 senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965 dalam Agustino 2008). Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis (Wahab 2008). Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang satu dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah:
a. Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara tunggal.
 b. Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang merupakan mata rantai berkesinambungan.
 c. Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem politik akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah.
 d. Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat mengubah yang hampir mungkin menjadi mungkin.
 e. Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap dan akurat. Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan mengakibatkan salah pandang dan salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan. Pada prinsipnya ketika kebijakan diluncurkan, maka kebijakan tersebut harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap kondisi semula. Oleh karena itu perlu adanya ukuran efektifitas dari kebijakan itu.
Yang diperlukan dalam pengukuran efektifitas suatu kebijakan adalah:
a. Efesien, artinya kebijakan harus dapat meningkatkan efesiensi kondisi sekarang dibanding kondisi yang lalu.
b. Fair, artinya adil yaitu bahwa kebijakan harus dapat ditempatkan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
c. Insentif, artinya bahwa kebijakan yang diambil harus dapat memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk dapat melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan.
d. Enforceability, artinya mempunyai kekuatan untuk menegakkan hukum. Kebijakan tidak akan berjalan efektif apabila kondisi penegakan hukum yang lemah (poor law enforcement).
e. Public acceptability, artinya dapat diterima oleh masyarakat.
f. Moral, artinya bahwa kebijakan harus dilandasi dengan etika. Beberapa pokok pikiran yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan kebijakan kehutanan dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Mengembangkan iklim berusaha serta kehidupan bermasyarakat yang memperhatikan dan peduli terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
 Langkah ini sangat jelas berhubungan dengan insentif dan disentif ekonomi, peran serta masyarakat dan penegakan hukum dalam rangkaian kebijakan tataguna lahan serta pengelolaan sumberdaya alam, kehutanan, dan daerah aliran sungai. Alokasi lahan yang secara de facto mengakui tanah adat dan lahan masyarakat harus ditegakkan.
b. Kepedulian dan sense of possession dari masyarakat terhadap situasi negatif, akan tumbuh jika terdapat pengakuan masyarakat. Demikian pula, luas unit usaha dalam kebijakan tataguna lahan harus disesuaikan dengan resiko yang terjadi dan degradasi sumberdaya alam lainnya. Sistem insentif dan disentif bagi pengelola hutan harus ditegakkan, sehingga apabila terjadi kerusakan lahan, para pemilik konsesi dan masyarakat ikut merasakan dan bertanggungjawab.
c. Memperbaiki penegakan hukum dan kebijakan di tingkat pemerintah daerah dan pusat. Disamping itu, masyarakat adat dan masyarakat lainnya harus secara luas dapat melakukan kontrol (dan penuntutan hukum) atas kelalaian pemerintah dalam penanggulangan bencana sumberdaya alam dan kehutanan serta degradasi alam lainnya.
 d. Meningkatkan porsi dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam berbagai urusan yang berhubungan dengan perencanaan, implementasi, dan kontrol terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan kehutanan. Hal ini sebenarnya sangat relevan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang saat ini sedang digalakkan, walaupun kita tidak harus berharap banyak terhadap paket kebijakan desentralisasi, karena kemungkinan untuk 17 terjadinya kesalahan pengelolaan (mismanajemen), masih cukup besar sehingga tragedi lama mungkin terjadi (Arifin 2001).

Analisis Kebijakan (skripsi dan tesis)

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan keputusan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented), sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan (Suharto 2006). Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Dunn 2004). Lebih lanjut Dunn (2004) menyatakan analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan dan dalam proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan kebijakan tentang proses pembuatan kebijakan dilakukan dengan menganalisis tentang sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik. Hal ini dapat tercapai jika pengetahuan tentang kebijakan dikaitkan dengan pengetahuan dalam proses kebijakan, anggota-anggota badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bersama dengan warga negara yang memiliki peranan dalam keputusan publik, dapat menggunakan hasil-hasil analisis kebijakan untuk memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya. Efektifitas pembuatan kebijakan tergantung pada akses terhadap stok pengetahuan yang tersedia, komunikasi, dan penggunaan analisis kebijakan menjadi penting sekali dalam praktek dan teori pembuatan kebijakan publik. Analisis kebijakan lebih fokus kepada bagaimana pengambil keputusan mendapatkan sejumlah alternatif kebijakan yang terbaik, sekaligus alternatif yang terpilih sebagai rekomendasi dari analisis kebijakan atau tim analisis kebijakan. Peran analisis kebijakan adalah memastikan bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik, dan bukan asal menguntungkan pengambil kebijakan. Analisis kebijakan adalah salah satu di antara sejumlah banyak faktor dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola  institusional di mana kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara 3 unsur yaitu: kebijakan publik, pelaku publik dan lingkungan publik. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Berikut tiga unsur dalam sistem kebijakan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih pendekatan yang dikemukakan oleh Edward III, yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari obyek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi teori-teori lain tidak lagi relevan dengan perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih mengarahkan kepada peneliti agar lebih fokus terhadap variable-variabel yang dikaji melalui penelitian ini, sehingga membantu dalam menjawab tujuan dari penelitian ini. Edward III (dalam Nawawi, 2007) menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu:
a. Komunikasi (communication)
Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Komunikasi menyangkut proses penyampaian informasi atau transmisi, kejelasan informasi tersbut serta konsistensi informasi yang disampaikan. Komunikasi sangat penting, karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana, dimana komunikasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementer akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan di masayarakat. Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini, yaitu:
1) Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu hasil implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam proses transmisi ini yaitu adanya salah pengertian, hal ini terjadi karena komunikasi implementasi tersebut telah melalui beberap tingkatan birokrasi, sehingga hal yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan
. 2) Kejelasan informasi, yaitu petunjuk pelaksanaan dari sebuah kebijakan harus jelas agar pengimplementasiannya berjalan sebagaimana yang diinginkan.
3) Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas, perintah tersebut tidak bertentangan sehingga dapat memudahkan para pelaksana kebijakan untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila perintah yang diberikan seringkali berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. b. Sumber daya (resources) Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak akan efektif. Sumber daya yang penting meliputi: 1. Staf (staff) Staf yang memadai, dalam pengimplementasian kebijakan, staf merupakan salah satu faktor yang penting. Jumlah staf dan mutuatau keahlian-keahlian yang dimiliki staf harus memadai. 2. Informasi (information) Informasi dalam hal ini memilik dua bentuk yaitu informasi mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan dan data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan pemerintah. 3. Wewenang (authority) Wewenang ini akan berbeda-beda dari suatu program ke program yang lain serta mempunyai bayak bentuk yang berbeda, seperti misalnya menarik dana dari suatu program, membeli barang-barang dan jasa, dan lain sebaginya.
4. Fasilitas (facilities) Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.
c. Disposisi (attitudes) Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan, hal tersebut berarti bahwa adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku atau perspekif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka dapat menyebabkan proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Edwards III (dalam Nawawi, 2007) mengemukakan dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi dampak dari kekuatan-kekuatan seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat tinggi, yaitu:
 1. Penempatan Pegawai (staffing the bureaucracy), dimana sikap dari para aparart birokrasi kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap ataupun cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan.
 2. Insentif (Incentives), Mengubah personil dalam birokrasi pemeritah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentifinsentif. d. Struktur birokrasi Struktur organisasi adalah susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan. Selain itu, struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Adapun aspek-aspek dari struktur birokrasi, yaitu:
1) Adanya suatu SOP (Standard Operating Procedure) yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksana program. SOP juga memberikan keseragaman dalam tindakan para pegawai dalam organisasi yang komplek dan luas, dalam pelaksanaannya dapat menghasilkan fleksibilitas yang sangat baik, serta adanya keadilan dalam pelaksanaan aturan.
2) Fragmentasi (fragmentation) adalah adanya penyebaran tanggung jawab pada suatu area kebijakan di antara beberapa unit organisasi. Hal ini mengakibatkan koordinasi kebijakan menjadi sulit, dimana sumber daya dan kebutuhan atas kewenangan untuk menyelesaikan masalah yang timbul kadangkala tersebar di antara beberapa unit birokrasi. Oleh sebab itu perlu adanya kekuatan pemusatan koordinasi antara unit-unit yang terkait dan hal tersebut bukan hal yang mudah.

Teori-teori Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Nawawi (2007:138) megemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu:
a. Teori George C. Edward III
Dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implmentor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target groups), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
 2) Sumber daya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial.
 3) Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oeh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dll. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III menyatakan bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantispasinya, dapat mempertimbangkan/ memperhatikan aspek penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif. 4) Struktur birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pegawasan dan menimbulkan red-tape yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fregmentasi.
 b. Teori Merilee S. Grindle
Teori ini berpendapat bahwa kebeerhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan mencakup;
(1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan;
 (2) Jenis manfaat yang diterima oleh target groups;
(3) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan;
 (4) Apakah letak suatu program sudah tepat;
 (5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan
 (6) Apakah sebuah program kebijakan didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan Variabel lingkungan kebijakan, yaitu mencakup;
(1) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;
(2) Karakteristik institusi dari rezim atau pemerintahan yang sedang berkuasa dimana program tersebut dilaksanakan; dan
 (3) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
c. Teori G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli
Teori ini berpendapat bahwa terdapat empat kelompok variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni kondisi lingkungan; hubungan antar organisasi; sumber daya organisasi untuk implementasi program; karakteristik dan kemampuan agen pelakasana.
d. Teori David L. Weimer dan Aidan R.
Vining Weimer dan Vining mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yaitu:
 1) Logika kebijakan, dimana hal ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoritis.
2) Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, dimana yang dimaksud lingkungan dalam hal ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan fisik atau geografis. Suatu kebijakan yang berhasil pada suatu daerah, bisa saja gagal diimplementasikan pada daerah lain yang berbeda.
3) Kemampuan implementor kebijakan. Tingkat kompetensi impelementor mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan

Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Pembicaraan tentang konsep implementasi senantiasa dikaitkan dengan istilah kebijakan. Artinya setiap kali orang berbicara tentang implementasi, maka yang dimaksudkan adalah implementasi kebijakan. Masalah implementasi kebijakan publik sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat karena implementasi inilah yang menentukan “siapa memperoleh apa” dalam masyarakat. Proses serta perumusan kebijakan tidak berakhir, apabila suuatu kebijakan telah ditetapkan, karena baik tidaknya atau tepat tidaknya suatu kebijakan yang telah ditetapkan akan terbukti dari hasil-hasil yang diperoeh dalam pelaksanaannya. Wahab (2008:43) mengemukakan beberapa definisi dari beberapa sumber mengenai implementasi kebijakan:
1) Kamus Webster, menyatakan bahwa implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan, yang biasanya dalam bentuk UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Kempmen, dll.
2) Van Moter dan Van Horn, merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh invidu-individu (pejabat) atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.
3) Mazmanian dan Sabatier, menjelaskan makna implementasi yaitu behwa memahami apa yang senyatanya terjadi, sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau suatu peristiwa. Implemetasi adalah seperangkat kegiatan ynag dilakukan menyusul suatu keputusan, dimana suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk mencapai sasaran tertentu, guna merealisasikan gagasan itu, maka diperlukan serangkaian aktivitas.
Dunn (2000:23) mengemukakan bahwa dalam pembuatan kebijakan, agar daptat mencapai sasaran yang diharapkan, maka dibutuhkan suatu formulasi kebijakan berupa penyusunan serta tahapan yang jelas dan transparan. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu tahap atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terus terjadi sepanjang waktu, dimana setiap tahap berhubungan dengan berikutnya dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda). Abdullah (1987:11) menyatakan bahwa dalam proses implementasi, sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak, yaitu;
 a. Adanya program atau kebijakan yang akan dilaksanakan
b. Target groups, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan dapat menerima manfaat dari program tersebut
 c. Unsur pelaksana (implementor), baik organisasi ataupun perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses implementasi tersebut

Konsep Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Kebijakan memiliki banyak pengertian, Suharto (2005:7) mengemukakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengerahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana, dan konsistensi dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Wahab (2008:32) mengemukakan beberapa bentuk kebijakan publik yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga: a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum/mendasar. Sesuai dengan UU No.10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 7, hirarkinya yaitu; (1) UUD Negara RI Thn 1945; (2) UUD/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Pereaturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. b. Kebijakan publik yang bersifat meso (menengah) atau penjelas pelaksana, dimana kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati. Kebijakannya dapat pula berbentuk surat keputusan bersama antar Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. c. Kebijakan publik yang bersifat mikro, adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementai dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota. Abidin (2002:193) menyatakan bahwa secara umum, suatu kebijakan dianggap berkualitas dan mampu dilaksanakan bila mengandung beberapa elemen, yaitu: a. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan itu, dimana tujuan suatu kebijakan dianggap baik apabila tujuannya: 1) Rasional, yaitu tujuan dapat dipahami atau diterima oleh akal yang sehat. Hal ini terutama dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia, dimana suatu kebijakan yang tidak mempertimbangkan faktor pendukung tidak dapat dianggap kebijakan yang rasional. 2) Diinginkan (desirable), yaitu tujuan dari kebijakan menyangkut kepentingan orang banyak, sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak. b. Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis, asumsi tidak mengada-ada. Asumsi juga menentukan tingkat validitas suatu kebijakan. c. Informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar, dimana suatu kebijakan menjadi tidak tepat jika didasarkan pada informasi yang tidak benar atau sudah kadarluarsa.

Tahap-tahap kebijakan publik (skripsi dan tesis)

Tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut :

Tahap Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetensi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan publik. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah kerana alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama seperti: 1. Penyusunan Agenda 2. Formulasi Kebijakan 3. Adopsi Kebijakan 4. Implementasi Kebijakan 5. Evaluasi Kebijakan Tahap Formulasi Kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan.
 Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives / policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan bermain untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. Tahap adopsi kebijakan Dikumpul dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
 Tahap implementasi kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementers), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. Tahap evaluasi kebijakan Tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk merahi dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan. Istilah kebijakan dalam kehidupan sehari-hari Istilah kebijakan dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk menunjuk suatu kegiatan yang mempunyai maksud berbeda. Para ahli mengembangkan berbagai macam definisi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebijakan dan kebijakan publik. Masing-masing definisi memberikan penekanan yang berbeda-beda, namun definisi yang dianggap lebih tepat adalah suatu definisi 30 yang menekankan tidak hanya pada apa yang diusulkan pemerintah, tetapi juga mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, para ilmuan dalam mengkaji kebijakan publik dapat menempatkan ilmu politik sebagai ilmu yang bebas nilai atau sebaliknya, ia dapat terlibat aktif dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Sehingga tidak bebas nilai. Sisi lain, perhatian para ilmuwan politik semakin besar. Hal ini ditunjukan oleh banyaknya tulisan dan studi menyangkut kebijakan publik. Area yang dapat dikaji dalam kebijakan publik semakin luas meliputi keseluruhan tahap dalam pembuatan kebijakan, seperti dalam tahap agenda kebijakan, perumusan kebijakan, hingga evaluasi kebijakan (Budi Winarno, 2012: 35-36-37)