Kepemilikan Asing


Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer
dan pemegang saham mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut
agency conflict. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini
menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang diterapkan yang berguna
untuk melindungi kepentingan pemegang saham (Jesen and Meckling
dalam jurnal Wiranata dan Nugrahanti, 2013). Kepemilikan asing
merupakan proporsi saham biasa perusahaan yang dimiliki oleh
perorangan, badan hukum, pemerintah serta bagian-bagiannya yang
berstatus luar negeri. Atau perorangan, badan hukum, pemerintah yang
bukan berasal Indonesia.
Dengan semakin banyaknya pihak asing yang menanamkan
sahamnya diperusahaan maka akan meningkatkan kinerja dari perusahaan
yang diinvestasikan sahamnya, hal ini terjadi karena pihak asing yang
menanamnkan modalnya memiliki system manajemen, teknologi dan
inovasi, keahlian dan pemasaran yang cukup baikyang bias membawa
pengaruh positif bagi perusahaan.
Sesuai dengan teori keagenan bahwa masalah yang terjadi yang
menyebabkan kinerja perusahaan menjadi turun adalah hubungan yang
tidak baik antara pemegang saham dengan manajer tetapi ketika hubungan
antara pemegang saham dengan manajer bias dikendalikan maka kinerja
perusahaan dapat menjadi lebih baik. Semakin tinggi kepemilikan asing,
maka pihak asing sebagai pemegang saham mayoritas akan menunjuk
orang asing untuk menjabat sebagai dewan komisaris atau dewan direksi,
dengan demikian keselarasan antara tujuan ingin memaksimalkan kinerja
perusahaan akan tercapai karena persamaan prinsip antara pemegang
saham asing dengan manajemen yang juga ditempati pihak asing sebagai
bagian dari manajemen perusahaan.
Kepemilikan asing merupakan presentase kepemilikan saham
perusahaan oleh investor asing (Sissandhy, 2014). Menurut Undang-
undang No. 25 Tahun 2007 pada pasal 1 angka 6 kepemilikan asing adalah
perseorangan warga Negara asing, badan usaha asing, dan pemerintah
asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia.
Perusahaan yang dimiliki oleh asing cenderung lebih ketat dalam
pengawasan operasional perusahaannya. Hal ini dikarenakan investor
asing menuntut kerja keras agar investasi yang mereka lakukan dapat
memberikan mengembalian yang besar pula. Pemilik asing mungkin
memiliki informasi yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan internal
perusahaannya. Hal ini dapat mendorong para manajer untuk dapat lebih
meningkatkan kepentingan para pemegang sahamnya.

Kepemilikan Institusional


Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham yang dimiliki
oleh pemerintah, perusahaan asuransi, investor luar negeri atau bank
kecuali kepemilikan individual investor (Dewi dan Jati, 2014).
Kepemilikan institusional merupakan jumlah saham perusahaan yang
dimiliki oleh institusi atau organisasi. Kepemilikan institusional termasuk
faktor yang mempengaruhi kinerja sebuah perusahaan karna berfungsi
dalam monitoring, fungsi monitoring yang dilakukan institusional
membuat perusahaan lebih efisien dalam melakukan pengawasan oleh
pemilik perusahaan dilakukan dari luar perusahaan sehingga dapat
menghindarkan perusahaan dari kesalahaan pemilihan strategi yang dapat
menyebabkan kerugian perusahaan.
Meningkatnya aktivitas institusional ownership dalam melakukan
monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham
yang signifikan oleh institusional ownership telah meningkatkan
kemampuan mereka untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu yang
sama, biaya untuk keluar dari investasi yang mereka lakukan menjadi
semakin mahal karena adanya resiko saham akan terjual pada harga
diskon. Kondisi ini akan memotivasi institusionalownership lebih serius
dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer dan
memperpanjang jangka waktu investasi (Deviacita, 2012). Jika
kepemilikan institusional dalam perusahaan itu besar, maka keadaan
tersebut akan mendorong pengawasan yang lebih efektif dan akan semakin
besar kepemilikan oleh institusi untuk mengawasi manajemen sehingga
kinerja perusahaan semakin baik dan meningkat.
Kepemilikan institusional merupakan proporsi kepemilikan
sahamoleh institusi seperti LSM, perusahaan swasta,perusahaan efek,
danapensiun, perusahaan asuransi, bankdan perusahaan-perusahaan
investasi.
Kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan rasio antara
jumlah lembar saham yang dimiliki oleh institusi terhadap jumlah lembar
saham perusahaan yang beredar secara keseluruhan

Kepemilikan Manajerial


Kepemilikan manajerial adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh
manajemen yang mengelola perusahaan. Kepemilikan saham yang dimiliki
manajer dalam perusahaan membuat manajer menjalankan perusahaan
sebagai pemilik perusahaan dan merangkap sebagai pengelola perusahaan.
Sehingga perusahaan yang biasanya hanya diawasi oleh pemilik
perusahaan ikut turun dalam mengelola perusahaan hingga membuat
laporan keuangan sendiri (Mutiara Sakti, 2018) Kepemilikan manajerial
adalah kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan diukur dengan
persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen.
Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan didalam
manajemen perusahaan baik sebagai kreditor maupun sebagai dewan
komisaris disebut sebagai kepemilikan manajerial. Adanya kepemilikan
saham oleh manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap
kebijakankebijakan yang diambil oleh manjaemen perusahaan.
Kepemilikan manajerial juga diartikan sebagai presentase saham yang
dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk
masing-masing periode pengamatan (Deviacita, 2012). Pemilik sebagai
pengelola menjalankan perusahaan tersebut dengan sebaik mungkin agar
dapat meningkatkan keefektifan perusahaan sekaligus mengurangi
kecurangan kerja dari manajemen perusahaan yang dapat menimbulkan
kerugian bagi perusahaan.
Kepemilikan manajerial adalah saham yang dimiliki oleh pihak
manajemen perusahaan secara pribadi atau saham yang dimiliki oleh anak
cabang perusahaan serta afiliasinya (Susiana dan Herawati, 2007 dalam
Harnanik Prastiti 2018). Pihak manajemen perusahaan dimungkinkan
mempunyai saham atau kepemilikan atas perusahaan yang dikelolanya

Struktur Kepemilikan


Struktur kepemilikan merupakan bentuk komitmen dari para pemegang
saham untuk mendelegasikan pengendalian dengan tingkat tertentu kepada
para manajer. Struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa
variable-variabel yang penting didalam struktur modal tidak hanya ditentukan
oleh jumlah utang dan equity tetapi juga boleh presentase kepemilikan oleh
manajer, institusional maupun asing. Struktur kepemilikan akan memiliki
motivasi yang berbeda dalam memonitor perusahaan serta manajemen dan
dewan direksinya. Struktur kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi jalannya perusahaan yang nantinya dapat
mempengaruhi kinerja perusahaan. Agency problem dapat dikurangi dengan
adanya struktur kepemilikan. Strukur kepemilikan merupakan suatu
mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dan pemegang
saham (Pujiningsih, 2011).
Tujuan perusahaan sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan,
struktur pemilik dan kreditur corporate governance dalam proses insentif
yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha membuat
berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan. Kesemua tahapan
tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dapat dikatakan bahwa peran
pemilik sangat penting dalam menentukan keberlangsungan perusahaan.

Teori Keagenan

Teori agensi merupakan hubungan kontrak antara principal dan agent,

dimana principal adalah pihak yang memperkerjakan agent agar melakukan

tugas untuk kepentingan principal, sedangkan agent adalah pihak yang

menjalankan kepentingan principal (Mutiara Sakti, 2018) . Principal dan

agent bekerja sama dalam pengelolaan perusahaan. Principal atau pemegang

saham perusahaan memberikan instruksi kepada agent untuk mengelola

perusahaan sesuai dengan yang diinginkan untuk keberhasilan perusahaan.

Sedangkan manajemen sebagai agent kadang melakukan tindakan sesuai

keinginannya sendiri tidak sesuai dengan yang diperintahkan oleh principal,

yang lebih dipentingkan agent adalah untuk pencapaian hasil yang lebih baik

dari pada mentaati perintah yang diberikan principal.

Teori keagenan, hubungan agent muncul ketika satu orang atau lebih

memperkerjakan orang lain untuk memberikan suatu jasa dan kemudian

mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.

Baik principal maupun agent merupakan pemaksimuman kesejahteraan diri

sendiri, sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi

kepentingan terbaik principal (Mutiara Sakti, 2018). Inti dari hubungan

keagenan adalah terdapat pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan

perusahaan. Pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk

memperkecil asimetris informasi dan untuk memastikan bahwa pengelolaan

dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan

yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai agency cost

yaitu biaya yang mencakup pengeluaran untuk pengawasaan oleh pemegang

saham dan biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan

laporan yang transparan Mutiara Sakti (2018).

Dalam sebuah perusahaan, adanya kelebihan arus kas cenderung

diinvestasikan dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama

perusahaan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan kepentingan

karena pemegang saham ingin investasi dengan return yang tinggi tentunya

dengan risiko yang harus dipikul juga tinggi sementara pihak manajerial

memilih investasi dengan return yang rendah. Daher (2010) menyatakan

bahwa manajer lebih memilih untuk mengumpulkan kas tanpa adanya

peluang investasi daripada membayarkannya kepada para pemegang saham.

Dapat disimpulkan bahwa teori keagenan muncul karena adanya

konflik kepentingan didalam perusahaan antara principal dan agent untuk

menguntungkan diri sendiri, konflik dapat terjadi karna asimetri informasi

yaitu hanya satu pihak saja yang lebih banyak mengetahui tentang informasi

yang ada dalam perusahaan. Untuk mengurangi terjadinya masalah keagenan

dapat diatasi dengan menerapkan good corporate governance sehingga tidak

terjadi masalah yang berkelanjutan

Tingkatan Stres


Tingkatan stress berdasarkan skala pengukuran Nursing Stres Scale
(NSSdikembangkan oleh Toft & Anderson (Darni, 2014)yaitu :

  1. Stres Normal
    Stres normal adalah gejala stres yang tidak pernah dialami atau jarang
    dialami.
  2. Stres Ringan
    Pada tingkat stres ringan adalah stres yan gejala stres yangdi alami
    tetapi hanya kadang-kadang.
  3. Stres sedang
    Stres sedang terjadi dalam waktu yang lama dan Dikatakan stress
    terkadang sering dialami.
  4. Stres berat
    Stres berat adalah stres kronis terkadang dialami hingga sangat sering
    dialami

Sumber Stres


Potter & Perry (2005) mengklasifikasikan sumber stres secara umum
yaitu stresor internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari dalam diri
seseorang (misalnya demam, kondisi kehamilan atau menopause, atau suatu
keadaan emosi seperti rasa bersalah) dan stresor eksternal yang berasal dari
luar diri seseorang (misalnya prubahan suhu lingkungan, pekerjaan, perubahan
dalam peran keluarga atau sosial, serta tekanan dari pasangan).
Suatu keadaan dapat menimbulkan stres pada seseorang tapi belum tentu
akan menimbulkan hal yang sama terhadap orang lain. Tarwaka (2010).
Perbedaan reaksi antara individu tersebut sering disebabkan karena faktor
psikologis dan sosial yang dapat merubah dampak stresor bagi individu, faktor
faktor tersebut antara lain:

  1. Kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, temperamental,genetik,
    intelegensia, pendidikan, kebudayaan, status pernikahan danlain-lain.
  2. Ciri kepribadian seperti introvert atau ekstrovert, tingkat emosional,
    kepasrahan, kepercayaan diri, kecemasan danlain-lain.
  3. Sosial-kognitif seperti dukungan sosial, hubungan sosial dengan
    lingkungansekitarnya.
  4. Strategi yang digunakan untuk menghadapi setiap stres yangmuncul.

Pengertian Stres


Stres adalah salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang
dalam kehidupannya. Para ahli menyatakan bahwa stres dapat timbul sebagai
akibat tekanan atau ketegangan yang bersumber dari ketidakselarasan antara
seseorang dengan lingkungan. Dengan kata lain, apabila sarana dan tuntutan
tugas tidak selaras dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang, ia akan
mengalami stres (Siagian, 2017).
Waluyo (2013), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat
merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan
beban yang dirasakannya. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif
atau negatif. Sesuatu didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang menekan
(stresful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu
terhadapnya.
Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan
oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial, yang berpotensi
merusak dan tidak terkontrol (Waluyo, 2013).
Menurut Cooper (1994) stres didefinisikan sebagai tanggapan atau proses
internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis
sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek. Stres juga dapat
diartikan sebagai ketidak mampuan mengatasi ancaman yangdihadapi oleh
mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang suatu saat dapat
mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut.
Sedangkan menurut Widyastuti (2004) stres merupakan persepsi manusia
terhadap situasi atau kondisi lingkungan. Dari beberapa pengertian stres
tersebut dapat disimpulkan bahwa stres adalah keadaan yang bersifat internal
atau eksternal dan persepsi terhadap situasi lingkungan berupa
ketidakmampuan mengatasi ancaman baik mental, fisik, emosional dan spiritual
yang dapat mempengaruhi kesehatanindividu

Manfaat Penilaian Kinerja


Menurut Mangkunegara (2015) penilaian prestasi kerja (kinerja) memiliki
kegunaan bagi tenaga kerja. Kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi,
    pemberhentian dan besarnya balas jasa
  1. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan
    pekerjaannya
  2. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam
    perusahaan
  3. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektivitas jadwal
    kerja, metode kerja, kondisi kerja, dan gaya pengawasan
  4. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan latihan bagi karyawan yang
    berada di dalam organisasi
  5. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan
  6. Sebagai alat untuk melihat kelebihan dan kekurangan karyawan perusahaan

Faktor Yang Memengaruhi Kinerja karyawan


Setiap karyawan memiliki kinerja yang berbeda. Pabundu Tika (2011) menjelaskan
bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

  1. Faktor intern: terdiri dari kecerdasan, keterampilan, kestabilan emosi, motivasi,
    persepsi peran, kondisi keluarga, kondisi fisik, dan karakteristik kelompok
    kerja.
  2. Faktor ekstern: terdiri dari peraturan ketenagakerjaan, keinginan, pelanggan,
    pesaing, nilai-nilai sosial, serikat buruh, kondisi ekonomi, perubahan lokasi
    kerja dan kondisi pasar (Tika, 2011)

Penilaian Kinerja


Menurut Bambang (2014) Penilaian prestasi kerja karyawan merupakan system
yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah karyawan telah memahami dan
melaksanakan pekerjaannya masing-masing secara keseluruhan (kemampuan kerja,
disiplin kerja, hubungan kerja, kepemimpinan), dan hal-hal khusus sesuai dengan
bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Menurut Desler (2011) penilaian kinerja
berarti mengevaluasi kinerja karyawan saat ini dan atau di masa lalu relatif terhadap
standar prestasinya. Penilaian kinerja dapat menjadi sumber informasi utama dan
umpan balik untuk karyawan yang merupakan kunci pengembangan bagi mereka di
masa yang datang.
Selain itu Molapo dalam Gabriela Rusu (2016) menekankan bahwa lingkungan
internal organisasi, seperti kurangnya peralatan, kurangnya bahan dan lingkungan
tempat kerja itu sendiri, dapat menentukan tingkat kinerja yang rendah, dan metode
yang diterapkan untuk penilaian kinerja karyawan harus mempertimbangkan seperti
keadaan.
Menurut penelitian Herreid dalam Gabriela usu (2016), karakteristik utama dari
penilaian kinerja yang efektif adalah sebagai berikut.

  1. Fleksibilitas dalam hubungan dengan perubahan yang terjadi pada konteks
    organisasi tertentu.
  2. Diselaraskan dengan visi dan tujuan utama perusahaan.
    Oleh karena itu, untuk mengembangkan penilaian kinerja karyawan yang
    efektif, manajer harus mengidentifikasi dan mempertimbangkan faktor kontekstual
    organisasi yang paling penting karena faktor-faktor in memiliki dampak yang luar biasa
    pada tingkat kinerja karyawan mereka.

Indikator Kinerja


Menurut Mangkunegara (2011:75) menyebutkan indikator dari kinerja
karyawan adalah sebagai berikut:

  1. Kualitas Kerja
    Seberapa baik seorang karyawan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.
  2. Kuantitas Kerja
    Seberapa lama seseorang pegawai bekerja dalam satu harinya. Kuantitas kerja
    ini dapat dilihat dari kecepatan kerja setiap pegawai itu masing-masing.
  3. Pelaksanaan Tugas
    Seberapa jauh karyawan mampu melakukan pekerjaannya dengan akurat atau
    tidak ada kesalahan.
  4. Tanggung Jawab
    Kesadaran akan kewajiban melakukan pekerjaan dengan akurat atau tidak ada
    kesalahan

Pengertian Kinerja


Dalam Mangkunegara (2016:67) istilah kinerja berasal dari kata job
performance atau actual permormanse (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang
dicapai seseorang). Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja menurut Hasibuan (2014) adalah suatu hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu. Berdasarkan
paparan diatas kinerja adalah suatu hasil yang dicapai seseorang dalam melaksanakan
tugas-tugas yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu
menurut standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Sinambela (2012) kinerja adalah seperangkat hasil yang dicapai dan
merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta.
Kinerja pegawai didefinisikan sebagai kemampuan pegawai dalam melakukan sesuatu
keahlian tertentu.
Menurut Sutrisno (2016:172) “Kinerja adalah hasil kerja karyawan dilihat dari
aspek kualitas, kuantitas, waktu kerja, dan kerja sama untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh organisasi.

Manfaat Lingkungan Kerja


Menurut (Rivai & Sagala, 2011) manfaat lingkungan kerja yang aman dan sehat
adalah:
a. Lingkungan kerja yang aman dan nyaman dapat meningkatkan produktivitas
kerja karyawan.
b. Meningkatnya efisiensi dan kualitas pekerja yang lebih berkomitmen.
c. Menurunnya biaya-biaya kesehatan dan asuransi.
d. Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran langsung yang lebih rendah
karena menurunnya pengajuan klaim.
e. Flesibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar sebagai akibat dari meningkatnya
partisipasi dan rasa kepemilikan.
f. Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena naiknya citra perusahaan.

Indikator Lingkungan Kerja


Menurut Nitisemito (2010:159) Terdapat beberapa indikator lingkungan kerja,
yaitu:

  1. Suasana kerja
    Indikator ini adalah kondisi yang ada disekitar karyawan yang sedang
    melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan itu
    sendiri. Suasana kerja ini akan meliputi tempat kerja, fasilitas dan alat bantu
    pekerjaan, keberhasilan, pencahayaan, ketenangan termasuk juga hubungan
    kerja antara orang-orang yang ada ditempat tersebut.
  2. Hubungan dengan rekan kerja
    Indikator hubungan dengan rekan kerja yaitu hubungan dengan rekan kerja
    harmonis dan tanpa ada saling intrik diantara sesama rekan sekerja. Salah satu
    faktor yang dapat mempengaruhi karyawan tetap tinggal dalam satu organisasi
    adalah adanya hubungan yang harmonis diantara rekan kerja. Hubungan yang
    harmonis dan kekeluargaan merupakan salah satu faktor yang dapat
    mempengaruhi kinerja tenaga kerja.
  3. Tersedianya fasilitas kerja
    Hal ini dimaksudkan bahwa peralatan yang digunakan untuk mendukung
    kelancaran kerja lengkap atau mutakhir. Tersedianya fasilitas kerja yang
    lengkap walaupun tidak baru merupakan salah satu penunjang proses dalam
    bekerja

Jenis-jenis Lingkungan Kerja

  1. Lingkungan Kerja Fisik
    Menurut Sedarmayanti (2011: 144), lingkungan kerja fisik adalah semua
    keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat
    mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak tidak langsung.
    Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :
    Lingkungan yang secara langsung berhubungan dengan karyawan (seperti:
    pusat kerja, kursi, meja, dan sebagainya).
    Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan
    kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban,
    sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan
    lain-lain.
  2. Lingkungan Kerja Non-fisik
    Menurut Sedarmayanti (2009 : 21) menyatakan bahwa lingkungan kerja non
    fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik
    dengan atasan maupun dengan sesama rekan kerja ataupun hubungan dengan bawahan.
    Lingkungan kerja non fisik ini merupakan lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan.
    Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama
    antara tingkat atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama di
    perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluaragaan,
    komunikasi yang baik dan pengendalian diri.

Pengertian Lingkungan Kerja


Menurut (Taiwo 2010, p.301) Lingkungan kerja adalah segala sesuatu,
kejadian, orang-orang dan lainnya yang mempengaruhi cara orang-orang bekerja.
Menurut Sunyoto (2013) lingkungan kerja adalah sesuatu yang ada disekitar
para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas
yang dibebankan misalnya kebersihan, suhu udara, keamanan bekerja, penerangan dan
lain-lain.
Menurut Sukanto dan Indriyo dalam Khoiriyah (2009) lingkungan kerja adalah
segala sesuatu yang ada disekitar pekerja yang dapat mempengaruhi dalam bekerja
meliputi pengaturan penerangan, pengontrolan suara gaduh, pengaturan kebersihan
tempat kerja dan pengaturan keamanan tempat kerja.
Menurut Sedarmayanti (2013:26) menyatakan bahwa secara garis besar,
lingkungan kerja terbagi menjadi 2 jenis yaitu:

  1. Lingkungan kerja fisik, dan
  2. Lingkungan kerja non fisik.
    Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat
    disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara langsung
    maupun tidak langsung. Sedangkan lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan
    yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan
    maupun hubungan sesama rekan kerja ataupun hubungan dengan bawahan

Cara Mengatasi Stres Kerja


Menurut Mangkunegara (2017:158) ada tiga pola dalam mengatasi stres kerja yaitu:

  1. Pola Sehat
    Yaitu pola menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan kemampuan mengelola
    perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan,
    akan tetapi menjadi lebih schat dan berkembang. Mereka yang tergolong
    kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan cara
    yang baik dan teratur sehingga ia tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan,
    meskipun sebenarnya tantangan dan tekanan cukup banyak.
  2. Pola Harmonis
    Adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola waktu dan
    kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dalam
    pola in, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan
    dengan cara mengatur waktu secara teratur. a pun selalu menghadapi tugas
    secara tepat, dan kalau perl ia mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada
    orang lain dengan memberikan kepercayaan penuh. Dengan demikian, akan
    terjadi keharmonisan dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan
    reaksi yang diberikan. Demikian juga terhadap keharmonisan antara dirinya
    dan lingkungan.
  3. Pola Patologis
    Yaitu pola menghadapi stres dengan berdampak pada berbagai gangguan fisik
    maupun sosial-psikologis. Dalam pol aini, individu akan menghadapi berbagai
    tantangan dengan cara-cara tidak memiliki kemampuan dan keteraturan
    mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat menimbulkan berbagai masalah-
    masalah yang buruk

Indikator Stres Kerja


Indikator stres kerja menurut Hasibuan (2014: 204) adalah sebagai berikut:

  1. Beban kerja, diukur dari persepsi responden mengenai beban kerja yang
    dirasakan berlebihan.
  2. Sikap pemimpin, diukur dari persepsi responden mengenai sikap perimpin yang
    kurang adil dalam menberikan tugas.
  3. Waktu kerja, diukur dari persepsi responden mengenai waktu kerja yang
    dirasakan berlebihan.
  4. Konflik, diukur dari persepsi responden mengenai konflik antara karyawan
    dengan pimpinan.
  5. Komunikasi, diukur dari persepsi responden mengenai komunikasi yang
    kurang baik antar karyawan.
  6. Otoritas kerja, diukur dari persepsi responden mengenai otoritas kerja yang
    berhubugan dengan tanggung jawab.
    Stres kerja dikatagorikan dalam beberapa aspek-aspek stress kerja oleh Beehr dan
    Newman (1978) dalam Mauladi dan Dihan (2015), terdiri dari:
    a. Aspek fisiologis
    Indikator fisiologis yaitu indikator stres kerja yang ditunjukan pada simptoms
    fisiologis. Penelitian dan fakta oleh ahli-ahli kesehatan dan kedokteran
    menunjukan bahwa stress kerja dapat mengubah metabolism tubuh, menaikan
    detak jantung, mengubah cara bernapas, meyebabkan sakit kepala dan serangan
    jantung. Beberapa yang teridentifikasi sebagai symptoms Fisiologis adalah:
  7. Meningkatnya tekanan darah, detak jantung, serta risiko potensial
    terkena gangguan kardiovaskuler
  8. Cepat merasakan lelah fisik
  9. Merasakan pusing kepala atau sakit kepala
  10. Merasakan otot yang tegang
  11. Mengalami gangguan pernapasan, termasuk sering marah
  12. Susah untuk tidur dan terjadi gangguan disaat akan tidur
  13. badan dan telapak tangan berkeringat dingin
    b. Aspek psikologis, yaitu stress kerja akibat gangguan psikologis yaitu hubungan
    yang erat dengan kondisi kerja. Simptoms yang terjadi pada aspek psikologis
    akibat dari stress adalah :
  14. Kecemasan, ketegangan
  15. Mudah marah, sensitive dan jengkel
  16. Kebingungan, gelisah
  17. Depresi, mengalami ketertekanan perasaan
  18. Kebosanan
  19. Tidak puas terhadap pekerjaan
  20. Menurunya fungsi intelektual
  21. Kehilangan kosentrasi
  22. Hilangnya kreativitas
  23. Tidak begairah untuk bekerja
    c. Aspek behavioral atau tingkah laku. Yaitu stres kerja yang dialami karyawan
    yang ditunjukkan dengan tingkah lakunya. Adapun ciri-ciri stres akibat tingkah
    laku adalah:
  24. Menghindari absensi
  25. Menurunnya produktivitas dan performasi
  26. Sering makan yang terlalu banyak atau sebaliknya
  27. Tindakan yang berlebihan
  28. Menurunnya hubungan karyawan dengan rekan kerjanya serta keluarga
  29. Kurang bergairah untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan orang
    lain.
    Selain itu stres kerja yang dirasakan karyawan dalam pekerjaan pada akhirnya
    memunculkan gejala-gejala, yaitu gejala dari stres kerja itu sendiri karena secara
    umum, stres kerja lebih banyak merugikan karyawan maupun perusahaan (Waluyo,

Penyebab Stres Kerja


Menurut Anatan et al., (2007) ada beberapa faktor penyebab stress yaitu
meliputi:

  1. Extra organizational stresor, merupakan penyebab stres yang berasal dari luar
    organisasi (eksternal) meliputi perubahan sosial dan teknologi yang
    mengakibatkan adanya perubahan gaya hidup masyarakat, perubahan ekonomi
    dan finansial yang mempengaruhi pola kerja seseorang, serta kondisi
    masyarakat relokasi dan kondisi keluarga.
  2. Organizational stresor, merupakan penyebab stres yang berasal dari dalam
    organisasi (internal) yang meliputi berbagai kondisi kebijakan dan strategi
    administrasi, struktur dan desain organisasi, proses organisasi, dan kondisi
    lingkungan kerja.
  3. Group stresor, merupakan penyebab stres kelompok yang berasal dari dalam
    organisasi yang timbul akibat kurangnya kesatuan dalam melaksanakan tugas
    dan kerja terutama pada level bawahan, kurangnya dukungan dari atasan serta
    munculnya konflik antar personal, dan antar kelompok.
  4. Individual stresor, merupakan penyebab stres yang berasal dari dalam diri
    individu yang muncul akibat konflik, beban kerja yang terlalu berat, dan
    kurangnya pengawasan dari pihak perusahan.
    Selain itu, Ada dua kategori penyebab stres, menurut Handoko (1987) yaitu on
    the job dan off the job. On the job merupakan penyebab stress kerja yang terjadi
    didalam pekerjaan atau perusahaan. Kondisi kerja yang menyebabkan stres antara lain:
    beban kerja, tekanan, kualitas manajemen yang jelek, iklim politis yang tidak aman,
    umpan balik tentang pelakasanaan kerja yang tidak memadai, wewenang yang tidak
    mencukupi untuk melaksanakan tanggungjawab dan berbagai bentuk perubahan.
    Sedangkan off the job merupakan penyebab stres yang terjadi diluar pekerjaan atau
    perusahaan yaitu antara lain, kekuatiran finansial, masalah-masalah yang bersangkutan
    dengan anak, masalah fisik, masalah perkawinan, perubahan-perubahan yang terjadi di
    tempat tinggal, dan masalah pribadi lainnya misalkan kematian

Stres Kerja


Stres kerja adalah kondisi ketegangan yang memengaruhi emosi, jalan pikiran,
dan kondisi fisik seseorang. (Robbins (dalam Safitri & Astutik, 2019 : 15).
Ivanko dalam Hamali (2018:241) “Stres kerja merupakan kondisi-kondisi
internal dan eksternal yang menciptakan situasi-situasi yang penuh tekanan, dan gejala-
gejalanya dialami oleh setiap orang yang tertekan.”
Mangkunegara (2017:157) “Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami
karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres ini tampak dari Simptom, antara lain
emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang
berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan
mengalami gangguan pencernaan”.
Menurut Kreitner Dan Kinicki (2005) Stres Kerja adalah suatu respon Adaptif
yang dihubungkan oleh karakteritik individu dan atau proses psikologis individu, yang
merupakan konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi, atau kejadian yang
menempatkan tuntutan psikoligis dan atau fisik pada seseorang.
Menurut Fahmi (2016:214) “Stres adalah suatu keadaan yang menekan diri dan
jiwa sesorang diluar batas kemampuannya, sehingga jika terus dibiarkan tanpa ada
solusi maka ini akan berdampak pada kesehatannya. Stres tidak timbul begitu saja
namun sebab-sebab stres timbul umumnya diikuti oleh faktor peristiwa yang
mempengaruhi kejiwaan seseorang, dan peristiwa itu terjadi diluar dari kemampuannya
sehingga kondisi tersebut telah menekan jiwanya”

Standar Beban Kerja Perawat


Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan
oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan
(Marquis dan Huston, 2010). Pendekatan Penghitungan Beban Kerja
Berdasarkan Formula Ilyas (2008):
a. Kegiatan langsung : semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh
seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien,
anamnesa pasien, mengukur tanda vital, menolong
merawat luka, mengganti balutan, mengangkat jahitan, kompres,
memberi suntikan/obat/imunisasi, penyuluhan kesehatan.
b. Kegiatan tidak langsung : setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat
yang berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung
dengan pasien, seperti : menulis rekam medik, mencari kartu rekam
medis pasien, meng up-date data rekam medis, dokumentasi asuhan
keperawatan.
c. Kegiatan tambahan : kegiatan pribadi yaitu semua kegiatan yang
berkaitan dengan kepentingan perawat yang diamati seperti makan,
minum, pergi ke toilet : maupun bagian atau organisasi rumah sakit
seperti menginput harga obat, ngamprah obat.http://repository.unimus.ac.id

Prosedur Penghitungan Beban Kerja


Asri (2006), menyebutkan bahwa secara terperinci prosedur
perhitungan beban kerja tenaga dokter dan perawat dapat dibagi seperti
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mempersiapkan peralatan yang dipakai dalam perhitungan beban
kerja. Alat utama yang dipakai adalah :
1) Stop watch yaitu alat mengukur waktu
2) Alat tulis yang digunakan untuk membuat catatan yang akan
berguna dalam pengukuran
b. Menetapkan metode kerja yang akan digunakan dalam perhitungan
beban kerja terutama menetapkan metode standar seperti menyiapkan
susunan tempat kerja yang akan diteliti, peralatan dan lain-lain.
c. Memilih pekerja yang tepat, berpengalaman dan terlatih dalam
bidangnya atau disebut sebagai pekerja normal.
d. Menyiapkan perlengkapan peralatan sehingga pengukuran tidak akan
berhenti di tengah jalan
e. Memperhatikan dan mencatat actual time (waktu nyata) setiap
pekerjaan.
f. Menghitung waktu normal.
g. Menetapkan waktu cadangan (allowance).
h. Menetapkan waktu standar

Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja


Untuk memperkirakan beban kerja keperawatan pada sebuah unit
pasien tertentu, manajer harus mengetahui beberapa faktor yang
mempengaruhi beban kerja diantaranya (Caplan & Sadock, 2006):
a. Berapa banyak pasien yang dimasukkan ke unit perhari, bulan atau
tahun.
b. Kondisi pasien di unit tersebut.
c. Rata-rata pasien menginap.
d. Tindakan perawatan langsung dan tidak langsung yang akan
dibutuhkan oleh masing-masing pasien.
e. Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus
dilakukan.
f. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan masing-masing
tindakan perawatan langsung dan tak langsung

Beban kerja


Moekijat (2009) mendefiniskan beban kerja adalah volume dari
hasil kerja atau catatan tentang hasil pekerjaan yang dapat
menunjukan volume yang dihasilkan oleh sejumlah pegawai dalam
suatu bagian tertentu. Jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh
sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu atau beban kerja
dapat dilihat pada sudut pandang obyektif dan subyektif. Secara
obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas
yang dilakukan. Sedangkan beban kerja secara subyektif adalah
ukuran yang dipakai seseorang terhadap pernyataan tentang perasaan
kelebihan beban kerja, ukuran dari tekanan pekerjaan dan kepuasan
kerja. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang
dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit
pelayanan keperawatan (Marquis dan Huston, 2010).
Caplan & Sadock (2006) menjelaskan beban kerja sebagai
sumber ketidakpuasan disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara
kualitatif dan kuantitatif. Kelebihan beban kerja secara kuantitatif
meliputi:
a. Harus melakukan observasi penderita secara ketat selama jam
kerja.
b. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan
keselamatan penderita.
c. Beragam jenis pekerjaan yang dilakukan demi kesehatan dan
keselamatan penderita.
d. Kontak langsung perawat klien secara terus menerus selama 24
jam.
e. Kurangnya tenaga perawat dibanding jumlah penderita.
Beban kerja secara kualitatif mencakup:
a. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu
mengimbangi sulitnya pekerjaan.
b. Tuntutan keluarga untuk kesehatan dan keselamatan penderita.
c. Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas.
d. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat.
e. Tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan
keperawatan klien di ruangan.
f. Menghadapi pasien yang karakteristik tidak berdaya, koma, kondisi
terminal.
g. Setiap saat melaksanakan tugas delegasi dari dokter

Faktor-faktor persepsi


Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
persepsi, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi yaitu
(Walgito< 2007):
1) Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera
atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang
mempersepsi tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang
bersangkutan yang langsung mengenai saraf yang penerima yang
bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari
luar individu.
2) Alat indera, syaraf, dan pusat susunan saraf
Reseptor atau alat indera merupakan alat untuk menerima
stimulus. Disamping itu juga harus ada saraf sensoris sebagai alat
untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan
saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran.
3) Perhatian
Usaha untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan
adanya perhatian yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu
persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan
pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang
ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.
Menurut Irwanto faktor persepsi meliputi (Irwanto, dkk, 2008):
1) Perhatian yang selektif
Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak
sekali rangsang, namun demikian tidak semua rangsang tersebut
akan ditanggapi. Oleh karena itu individu akan memusatkan
perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja.
2) Ciri-ciri rangsang
Rangsang yang bergerak diantara rangsang diam akan lebih
menarik perhatian, demikian juga rangsang yang lebih besar, yang
lebih kontras dan sebagainya.
3) Nilai-nilai dan kebutuhan individu
Seseorang memiliki keinginan dan cita rasa yang berbeda-beda
sesuai dengan latar belakangnya.
4) Pengalaman terdahulu
Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi
bagaimana seseorang mempersepsikan dunianya

Persepsi


Membahas istilah persepsi akan dijumpai banyak batasan atau
definisi tentang persepsi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain
oleh Rahmat (2011) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengalaman
tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi
setiap individu dapat sangat berbeda walaupun yang diamati benar-
benar sama.
Irwanto (2008) persepsi adalah penafsiran suatu obyek, peristiwa
atau informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang
melakukan penafsiran itu. Dengan demikian dapat dikatakan juga
bahwa persepsi adalah hasil pikiran seseorang dari situasi tertentu.
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses
penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat indera. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja
melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya
merupakan proses persepsi dan proses penginderaan merupakan proses
pendahulu dari proses persepsi (Walgito, 2007).
Stimulus yang diindera kemudian oleh individu diorganisasikan
dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari mengerti tentang apa
yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi. Persepsi merupakan
proses yang integrated dalam diri individu terhadap stimulus yang
diterimanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi
merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus
yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan
merupakan respons yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2007)
Walgito juga menyebutkan bahwa persepsi stimulus dapat datang
dari luar, tetapi juga dapat datang dari dalam individu sendiri. Namun
demikian sebagian besar stimulus datang dari luar individu yang
bersangkutan. Sekalipun persepsi dapat melalui bermacam-macam alat
indera tetapi sebagian besar persepsi melalui indera penglihatan.

Tingkat dan bentuk stres


Berdasarkan gejalanya stres dibagi menjadi tiga tingkat yaitu:
a. Stres ringan
Merupakan stres yang dihadapi seseorang secara teratur, seperti:
terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan,
biasanya kejadian ini berlangsung hanya beberapa menit atau jam.
Stressor yang ringan berguna karena dapat meningkatkan seseorang
untuk berfikir dan berusaha lebih tangguh menghadapi tantangan
hidup. Stressor ringan ini tidak dapat timbul gejala.
Ciri-cirinya yaitu semangat meningkat, penglihatan tajam,
cadangan energi menurun, kemampuan menyelesaikan pekerjaan
cepat, sering merasa letih tanpa sebab, dan timbul gangguan sistem
pencernaan, otot, perasaan tidak santai.
b. Stres sedang
Stres sedang ini dapat berlangsung lebih lama dari beberapa jam
atau hari. Biasanya disebabkan karena situasi perselisihan yang tidak
selesai, anak sakit, atau ketidak hadiran yang lama dari anggota
keluarga.
Ciri-cirinya sakit perut, mulas, otot-otot terasa tegang, perasaan
tegang, gangguan tidur, badan terasa ringan.
c. Stres berat
Stres berat dapat berlangsung selama beberapa minggu sampai
beberapan bulan. Biasanya disebabkan oleh perselisihan perkawinan
yang berlangsung lama, kesulitan finalcial yang berlangsung lama,
berpisah dengan anggota keluarga, penyakit kronis, perubahan fisik,
psikologis, sosial pada usia lanjut.
Ciri-cirinya yaitu: sulit beraktivitas, gangguan hubungan sosial,
sulit tidur, negativistik, penurunan konsentrasi, takut yang tidak jelas
penyebabnya, keletihan yang semakin meningkat, tidak mampu
melakukan pekerjaan yang sederhana, gangguan pada sistem
meningkat, perasaan takut yang semakin meningkat (Priyoto, 2014).http://repository.unimus.ac.id
14

  1. Indikator Stres Kerja
    Cooper dan Straw (dalam Handoko, 2008) mengasumsikan gejala
    stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
    a. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang
    air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal,
    punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang,
    keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau
    serangan jantung, kehilangan energi..
    b. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif,
    gelisah dan cemas, suasana hatimu dah berubah-ubah, sedih, mudah
    menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah
    bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental.
    c. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat
    menurun,sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran
    hanya dipenuhi satu pikiran saja.
    d. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan
    pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain,
    senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-
    kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang
    lain.

Faktor stres kerja (stressor)


Faktor stres kerja (stressor), yang digolongkan sebagai berikut:
a. Stres kerja lingkungan
Adanya ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain dari
struktur organisasi, ketidak pastian itu juga memempengaruhi tingkat
stres dikalangan para karyawan dalam organisasi tersebut. Dalam
bekerja, karyawan tidak bisa lepas dari kondisi lingkungan kerja. Salah
satu faktor munculnya burnout pada karyawan adalah kondisi
lingkungan kerja yang kurang baik. Ketidaksesuaian antar apa yang
diharapkan karyawan dengan apa yang diberikan perusahaan terhadap
karyawan, seperti kurangnya dukungan dari atasan dan adanya
persaingan yang kurang sehat antara sesama rekan kerja merupakan
suatu kondisi lingkungan kerja psikologis yang dapat mempengaruhi
munculnya burnout dalam diri karyawan.
Gibson & Ivancevich (2009) mengemukakan bahwa stres kerja
dikonseptualisasikan dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai
stimulus, stres sebagai respon dan stres kerja sebagai stimulus-respon.
Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan
pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu
kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan
terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai kosekuensi
dari interaksi antara stimulus dengan respon individu. Pendekatan
stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai kosekuensi dari interaksi
antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang
tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan
hasil interaksi unik antar kondisi stimulus lingkungan dan
kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan.
b. Stres kerja organisasi
Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan
tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang
berlebihan, seorang pemimpin yang menuntut dan tidak peka, serta
rekan kerja yang tidak menyenangkan. Penyebab stres kerja juga bisa
berasal dari kelompok. Keefektifan setiap organisasi dipengaruhi oleh
sifat hubungan diatara kelompok-keompok karakteristik kelompok
dapat menjadi stresor yang kuat bagi beberapa individu. para ahli
prilaku organisasi telah menganggap bahwa memperbaiki hubungan
yang baik diantara anggota sutau kelompok kerja merupakan faktor
utama dari membina kehidupan individu yang baik. Dalam bahasa lain
membina hubungan yang baik diantara kelompok kerja menyebabkan
terhindarnya stres akibat kelompok kerja.
Sebaliknya hubungan yang jelek antar anggota suatu kelompok
kerja menjadi penyebab stres kerja. Bisa dibayangkan dalam suatu
kantor atau lembaga dimana para pekerja berperilaku egoisme maka
kondisi demikian dapat menyebabkan stres kerja individu. Studi
dibidang ini telah mencapai kesimpulan yang sama, yaitu ketidak
percayaan dari mitra kerja secara positif berkaitan ambiguitas peran
yang tinggi, yang membawa pada kesenjangan komunikasi diantara
orang-orang dan kepuasan kerja yang rendah (Robbins, 2007).
c. Stres kerja individual
Mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi karyawan.
Terutama sekali faktor-faktor ini adalah isu keluarga, masalah ekonomi
pribadi, dan karakteristik kepribadian yang inheren. Selye (2009),
mengkonseptualisasikan tanggapan psikofisiologis terhadap stres. Ia
menganggap stres suatu tanggapan nonspesifik terhadap setiap tuntutan
yang dibuat pada satu organisme yang dinamakan reaksi pertahanan
tiga fase yang seseorang lakukan ketika stres sebagai “sindrom
penyesuaian umum (the general adaptation syndrome/GAS)”.
Selye (2009), menyebut bahwa reaksi pertahanan umum karena
penyebab stres berdampak pada sebagian badan, tanggapan menunjuk
pada suatu rangsangan dari pertahanan yang diciptakan untuk
membantu badan menyesuaikan pada untuk menghadapi penyebab
stres dan sindrom menunjukan bahwa bagain reaksi yang sifatnya
individual terjadi lebih atau kurang secara bersama. Tiga fase tersebut
antara lain sinyal (alarm), perlawanan (resistance), dan keletihan
(exhaustion).
Carry Cooper (dikutip dari Jacinta F, 2008) menyatakan bahwa sumber
stres kerja ada empat yaitu sebagai berikut:
a. Kondisi pekerjaan
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan
mudah jatuh sakit, jika ruangan tidak nyaman, panas, sirkulasi udara
kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang
bersih, berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja
karyawan.
1) Overload
Overload dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif.
Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan
yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya
karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam tegangan tinggi.http://repository.unimus.ac.id
12
Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks
dan sulit sehingga menyita kemampuan karyawan.
2) Deprivational
Kondisi pekerjaan tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik
bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan,
ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur
sosial (kurangnya komunikasi sosial).
3) Pekerjaan beresiko tinggi.
Pekerjaan yang beresiko tinggi atau berbahaya bagi keselamatan,
seperti pekerjaan dipertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan
sebagainya.
b. Konflik Peran
Stres karena ketidak jelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu yang
diharapkan oleh manajemen. Akibatnya sering muncul ketidakpuasan
kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga ahirnya timbul
keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Para wanita yang bekerja
mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya
wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir
sekaligus ibu rumah tangga.
c. Pengembangan Karir
Setiap orang pasti punya harapan ketika mulai bekerja disuatu
perusahaan atau organisasi. Namun cita-cita dan perkembangan karir
banyak sekali yang tidak terlaksana.
d. Struktur Organisasi
Gambaran perusahaan yang diwarnai dengan struktur organisasi yang
tidak jelas, kurangnya kejelasan mengenai jabatan, peran, wewenang
dan tanggungjawab, aturan main yang terlalu kaku atau tidak jelas,
iklim politik perusahaan yang tidak jelas serta minimnya keterlibatan
atasan membuat karyawan menjadi stres.http://repository.unimus.ac.id

PengertianStres kerja

adalah konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan
yang menimbulkan tuntutan psikologis dan fisik yang berlebihan pada
seseorang. Cartwright dan Cooper (dalam Mangkunegara, 2008)
mengemukakan stres kerja sebagai suatu ketegangan atau tekanan yang
dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada
diri kita.
Robbins (2007) dalam mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan
dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan
proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan. Sedangkan menurut
Effendi (2008) dalam mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketegangan
atau tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi
tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan dan adanya kesempatan
yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi
fisik seseorang. Adapun menurut Siagian (2008) menyatakan bahwa stres
merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan
pikiran, dan kondisi fisik seseorang.
Spielberger (dalam Handoko, 2008) menyebutkan bahwa stres adalah
tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-
obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau
gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
Perawat adalah seseorang (seorang profesional) yang mempunyai
kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan melaksanakan
pelayanan/asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan
keperawatan (Kusnanto, 2007).
Suwignyo (2007) mengartikan perawat adalah suatu profesi yang
mempunyai fungsi autonomi yang didefinisikan sebagai fungsi profesional
keperawatan. Fungsi profesional yaitu membantu mengenali dan
menemukan kebutuhan pasien yang bersifat segera. Itu merupakan
tanggung jawab perawat untuk mengetahui kebutuhan pasien dan
membantu memenuhinya. Dalam teorinya tentang disiplin proses
keperawatan mengandung elemen dasar, yaitu perilaku pasien, reaksi
perawat dan tindakan perawatan yang dirancang untuk kebaikan pasien.
Berdasarkan pengetian stress kerja dan perawat di atas maka stres
kerja perawat dapat disimpulkan sebagai kondisi yang dirasa tidak
menyenangkan dari interaksi perawat dengan pekerjaannya yang dapat
menyebabkan ketegangan dilingkungan kerja dengan meliputi aspek
fisiologis, psikologis, dan perilaku di tempat kerja

Kinerja Karyawan


Pada dasarnya, setiap organisasi memiliki visi dan misi yang ingin dicapai.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja karyawan, salah satunya
adalah tingkat beban kerja, keamanan kerja, dan shift kerja yang diberlakukan oleh
perusahaan untuk mengendalikan perilaku karyawan agar tetap berorientasi kepada
tujuan perusahaan. Kinerja memiliki makna yang luas tidak hanya merupakan hasil
dari kerja karyawan saja, tetapi juga proses kerja karyawan yang berlangsung di
tempat kerja. Setiap perusahaan ingin mendapatkan kinerja karyawan yang baik
dalam setiap bidang masing-masing. Kinerja karyawan yang diharapkan dapat
memberikan hasil pekerjaan yang baik serta jumlah pekerjaan yang sesuai dengan
standar yang ditentukan oleh perusahaan.
Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusia yang ada di dalamnya. Seiring dengan persaingan bisnis yang semakin
kompetitif sebagai akibat dari perubahan era globalisasi ini maka setiap organisasi
membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan kinerja yang
tinggi. Menurut Sumardjo & Priansa (2018) kinerja adalah perilaku yang nyata
yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai
sesuai dengan perannya dalam organisasi. Kinerja pegawai adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Sugianti,
2017). Menurut Mangkunegara (2016) kinerja karyawan merupakan hasil kerja
seseorang secara kualitas maupun secara kuantitas yang telah dicapai oleh
karyawan dalam menjalankan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan
perusahaan. Ketika kinerja karyawan di organisasi tinggi, maka semakin efektif
pula tujuan organisasi dapat tercapai.

Shift Kerja (Work Shift)


Adanya globalisasi, meningkatnya persaingan dan perkembangan teknologi
baru berdampak waktu kerja orang-orang di banyak organisasi telah mengalami
perubahan. Dalam suatu organisasi, memberlakukan shift kerja untuk para
karyawan merupakan hal yang wajar dilakukan agar sistem kerja menjadi tertata
dan tidak memberatkan karyawan.
Menurut Suma’mur (1994) dalam Juliawati (2020) shift kerja merupakan
pola waktu kerja yang diberikan kepada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu
oleh perusahaan dan biasanya dibagi atas kerja pagi, sore dan malam. Sistem shift
menurut Muchinsky (1997) dalam Juliawati (2020) merupakan suatu sistem
pengaturan kerja yang memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu
yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan.
Pemberlakuan shift kerja yang baik dan teratur akan mempermudah
operasional perusahaan, namun adanya shift kerja yang buruk dan tidak teratur
justru cukup merepotkan bagi karyawan untuk menyesuaikan waktu shift yang
berbeda secara berkala. Efek beradaptasi dengan pengaturan waktu shift dapat
berdampak buruk pada kesehatan dan menciptakan tekanan fisik maupun psikologis
karyawan. Oleh sebab itu, perusahaan menyadari perlunya memberikan dukungan
kepada pekerja shift dengan mengatur jadwal shift yang tepat.
Shift kerja melibatkan berbagai pola dan jadwal kerja yang perlu
mempertimbangkan beberapa faktor dalam pengaturannya, yaitu durasi shift,
jumlah pekerja tim, jam istirahat, dan juga kecepatan rotasi pekerjaan. Oleh karena
itu, penting bagi perusahaan dalam mengatur shift kerja yang teratur dan seimbang
bagi seluruh anggota karyawan sehingga tidak membebani karyawan dan
produktivitas menjadi optimal

Keamanan Kerja (Job Security)


Keamanan kerja merupakan faktor penting dalam proses perputaran keluar
masuknya karyawan dalam suatu perusahaan. Sebagian besar perusahaan gagal
dalam mengenali potensi besar yang dimiliki oleh tenaga kerja khususnya tenaga
kerja yang terampil. Perusahaan-perusahaan yang menghargai karyawan sebagai
aset penting akan mengukur kebutuhan karyawan yang akan datang melalui
pemberian pensiun, memotivasi untuk tumbuh dalam karier karyawan dan juga
mendorong lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan karier. Salah satu
tanggung jawab utama perusahaan adalah memotivasi karyawan dan
mempertahankan karyawan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu,
keamanan kerja perlu diperhatikan oleh perusahaan untuk menunjang tercapainya
tujuan perusahaan.
Keamanan kerja merupakan harapan seseorang tentang keberlanjutan
seorang karyawan dalam sebuah pekerjaan. Hal ini berhubungan dengan perasaan
karyawan atas kehilangan pekerjaan atau kehilangan fitur pekerjaan yang
diinginkan seperti kurangnya peluang promosi, kondisi kerja saat ini, serta tidak
adanya peluang karier jangka panjang (Dhuryana & Hussain, 2018). Menurut
Akpan (2013) keamanan kerja merupakan harapan keberlanjutan seorang karyawan
dalam bekerja. Hal ini diartikan karyawan menginginkan kontrak kerja yang cukup
lama, adanya peluang promosi dan adanya jenjang karier yang dapat memberikan
kesejahteraan jangka panjang. Seorang karyawan dikatakan aman atau tidak
ditentukan pada saat penandatanganan kontrak kerja yang mana masa kerja menjadi
faktor yang sangat menentukan seorang karyawan merasa aman atau tidak. 
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan keamanan kerja karyawan
merupakan harapan dari karyawan untuk dapat terus bertahan dan memiliki
kesempatan meningkatkan karier dari sebuah organisasi.
Melindungi karyawan adalah komitmen perusahaan yang harus
diberlakukan agar karyawan merasa lebih aman, tenang, dan tidak cemas ataupun
stres saat bekerja. Keamanan kerja yang terepenuhi di tempat kerja membuat
karyawan menjadi lebih produktif dalam mencapai tujuan perusahaan. Begitu
sebaliknya, apabila tidak ada keamanan di lingkungan kerja, maka produktivitas
karyawan menjadi terganggu dan kinerja akan menurun. Oleh karena itu,
perusahaan harus memfasilitasi keamanan kerja di lingkungan perusahaan agar
tidak ada rasa khawatir antar individu satu dengan yang lain dan efektivitas kerja
menjadi meningkat

Beban Kerja (Workload)


Beban kerja menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya stres kerja
bagi karyawan yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan dalam segi
produktivitas dan efisiensi karyawan ketika sedang bekerja di sebuah organisasi.
Stres kerja yang disebabkan oleh beban kerja yang tinggi menjadi salah satu hal
yang wajar bagi karyawan ketika sedang menjalankan tugas dan kewajibannya saat
bekerja. Beban kerja dapat berasal dari beberapa kendala tertentu seperti adanya
tekanan waktu, kurangnya bantuan yang memadai dan tepat waktu, sumber daya
yang tidak memadai untuk menyelesaikan tugas, rekan kerja yang tidak efisien
dalam bekerja, adanya konflik peran dalam lingkungan kerja, dll. Pengaruh tingkat
beban kerja yang besar akan menghasilkan tingkat kinerja karyawan yang lebih
rendah dan akhirnya akan menimbulkan semangat yang rendah bagi karyawan saat
bekerja.

Stres Kerja


Stres adalah suatu keadaan di saat individu menghadapi sebuah kendala,
peluang ataupun tuntutan terhadap sesuatu. Stres kerja memiliki dampak yang besar
pada kinerja karyawan karena akan mempengaruhi kesehatan karyawan. Masalah
stres kerja merupakan suatu hal yang wajar dialami oleh setiap orang yang bekerja
di suatu organisasi. Stres kerja adalah suatu keadaan ketika individu mendapat
tekanan atau ketegangan dalam pekerjaan serta lingkungan kerjanya sehingga
individu merespon secara negatif dan merasa terbebani dalam menyelesaikan
kewajibannya (Permatasari & Prasetio, 2018).
Menurut Mangkunegara (2017) stres kerja adalah suatu perasaan tertekan
yang dialami karyawan dalam suatu pekerjaan. Stres kerja ini dapat terlihat dari
emosi yang tidak stabil, perasaan tidak senang, suka menyendiri, susah tidur, tidak
bisa rileks, cemas dan lain-lain. Menurut Vanchapo (2020) stres kerja adalah
keadaan emosional yang timbul karena adanya ketidaksesuaian beban kerja dengan
kemampuan individu untuk menghadapi tekanan-tekanan yang dihadapinya. Dari
beberapa persepsi yang ada, stres kerja dapat diartikan sebagai kondisi yang muncul
dari diri seorang karyawan yang diakibatkan karena adanya tuntutan, perasaan
tertekan, serta ketidaksesuaian antara harapan dengan hasil yang diterima. Adanya
stres kerja yang dialami oleh karyawan akan dapat memengaruhi produktivitas
karyawan. Apabila karyawan mengalami stres kerja yang tinggi, maka kinerjanya
akan cenderung menurun. Warraich et al. (2014) menemukan beban kerja, konflik
peran, dan penghargaan pengawasan yang tidak memadai sebagai alasan utama
penyebab stres kerja pada karyawan yang mengarah pada penurunan efisiensi
karyawan. Menurut Mangkunegara (2016) beberapa penyebab stres kerja yaitu
beban yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas
pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, adanya konflik kerja,
dan adanya perbedaan nilai

Hubungan Stres Kerja Terhadap Kinerja


Hubungan antar variabel stres kerja terhadap variabel kinerja
dapat dikatakan apabila adanya suatu kondisi ketegangan yang
mempengaruhi keadaan psikologis dan cara berpikir seorang karyawan
ataupun adanya tekanan ,tuntutan dan beban kerja berlebihan sehingga
karyawan yang mengalami stres kerja cenderung sulit untuk fokus dan
secara tidak langsung hal tersebut dapat mempengaruhi kinerjanya.
Semakin tinggi tingkat stres kerja maka semakin rendah kinerja
Karyawan. Dimana hal ini bisa diartikan bahwa jika seorang karyawan
mengalami peningkatan stres kerja yang di akibatkan dari adanya beban
kerja berlebih, tekanan dalam perusahaan dan balas jasa yang tidak
setimpal dengan tugas yang di berikan akan menurunkan perfoma
kerjanya.
Hasil dari penelitian Nengsih dkk (2019) yang menganalisis
tentang “Pengaruh Stres Kerja Dan Komunikasi Terhadap Kinerja
Kayawan PT. POS Indonesia Cabang Malang” mengatakan bahwa stres
kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
Hasil dari penelitian Lukito & Alriani (2018) yang
menganalisis tentang Pengaruh Beban Kerja, Lingkungan Kerja, Stres
Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Sinarmas Distribusi
Nusantara Semarang mengatakan bahwa stres kerja berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap kinerja karyawan

Hubungan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan


Hubungan antar variabel kepuasan kerja terhadap variabel
kinerja dapat dikatakan apabila adanya kondisi dimana karyawan
melibatkan dirinya lebih dalam terhadap pekerjaan, tingkat kehadiran
yang tinggi dan adanya rasa dan sikap emosional yang menyenangkan
dan mencintai pekerjaanya secara tidak langsung akan menaikan
kinerjanya. Kepuasan kerja menceminkan perasaan seorang karyawan
terhadap pekerjaan yang dihadapainya . Seorang karyawan yang
mendapatkan kepuasan dalam pekerjaanya biasanya tingkat
kehadiranya tinggi dan mempunyai prestasi yang baik dalam bekerja.
Karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaanya cenderung lebih
terlibat dalam pekerjaan yang dapat meningkatkan kinerjanya.
Semakin tinggi tingkat kepuasan kerja seseorang maka akan
semakin maksimal kinerja yang diberikanya. Dengan adanya perasaan
positif dan rasa cinta terhadap pekerjaanya akan membuat setiap tugas
yang diberikan dianggap sebagai sebuah tantangan yang dapat
mengasah kemampuan dan keahlianya bukan dianggap sebagai sebuah
beban atau tuntutan yang memberatkanya.
Kepuasan kerja merupakan faktor utama yang dapat mendorong
tingginya tingkat kinerja karyawan, jika terjadi ketidakpuasan pada
karyawan maka akan menyebabkan kinerja dan prestasi kerja menurun.
Hasil dari penelitian Kurniawan & Prasilowati (2019) yang
menganalisis tentang Pengaruh Beban, Motivasi Dan Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai Pelayanan Pajak Pratama Cileungsi
mengatakan bahwa kepuasan kerrja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja karyawa.

Hubungan Stres Kerja Terhadap Kepuasan Kerja

Hubungan antar variabel stres kerja terhadap variabel kinerja
dapat dikatakan apabila adanya suatu keadaan dimana seorang
karyawan merasakan ketegangan dan kecemasan yang diakibatkan dari
adanya beban kerja berlebih dan tuntutan untuk menyelesaikan
pekerjaan dengan waktu yang telah di tetapkan secara tidak langsung
akan menurunkan kepuasan kerjanya. Karyawan yang mengalami stres
kerja yang tinggi cenderung akan menganggap pekerjaanya sebagai
sebuah hambatan. Perasaan senang ataupun positif terhadap
pekerjaanpun akan hilang. Kepuasan kerja seseorang merupakan hal
yang sifatnya tidak bisa di sama ratakan antar karyawan satu dengan
yang lainya. Namun jika stres kerja yang dialami karyawan mampu
mengubah stigma pandangan positif dan rasa senangnya terhadap
pekerjaan dan berubah menjadi hal yang buruk karena diakibatkan dari
adanya beban dan tuntutan pekerjaan yang berlebih maka dapat di
katakan tingginya tingkat stres kerja dapat menurunkan kepuasan kerja
seseorang.

Dampak kinerja


1) Penelitian (Fauzi & Siregar, 2019) yang berjudul “ Pengaruh
Kompetensi Dan Kinerja Karyawan Terhadap Pengembangan karir
Di Perusahaan konstruksi” mengatakan bahwa kinerja karyawan
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan
karir karyawan.
2) Penelitian (Nurmila, Nurdin, & Rusman, 2018) yang berjudul
“Pengaruh kinerja Karyawan, Physical Evidence dan Kepuasan
Pelanggan Terhadap Loyalitas Pelanggan” mengatakan bahwa
kinerja karyawan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan.
3) Penelitian (Sulistyowati & Sinaga, 2018) yang berjudul “Pengaruh
Kinerja Karyawan Terhadap kepuasan konsumen (Studi
Pengendalian Mutu D’Ayam Crispy di Yogyakarta)” mengatakan
bahwa kinerja karyawan berpengaruh terhadap kepuasan kosumen.

Faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja


Kinerja seorang karyawan akan mempengaruhi keberhasilan
perusahaan dalam mencapai target ataupun tujuan perusahaan. Untuk
mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan terdapat faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan ataupun sekelompok
orang.
Menurut Edison dkk (2016) terdapat 3 faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu :
1) Kompetensi
Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Karyawan dengan
kompetensi yang baik akan memberikan kinerja yang baik juga.
Hampir semua perusahaan mengadakan pelatihan dan
pembelajaran yang semata – mata dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan atau kompetensi karyawanya agar memiliki kinerja
yang baik.
2) Teknologi atau Mesin
Teknologi atau mesin merupakan fasilitas yang di berikan oleh
perusahaan untuk menunjang atau membantu proses bekerja
seorang karyawan. Namun teknologi tersebut harus diimbangi
dengan pemahaman dan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan.
Dengan adanya fasilitas teknologi dan mesin yang dapat membantu
karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan secara cepat membuat
karyawan tidak perlu mengeluarkan tenaga terlalu banyak dan bisa
menyelesaikan pekerjaanya dengan benar dan mencerminkan
kinerja yang baik.
3) Metode
Prosedur atau tata cara harus dibangun dengan matang dan
penuh pertimbangan agar keputusan yang dihasilkan bersifat
fleksibel dan mampu mendorong terbentuknya keselarasan
karyawan. Metode yang tepat akan menyelesaikan pekerjaan
secara cepat. Kinerja seseorang dapat dikatakan bagus jika metode
penyelesaian pekerjaan yang digunakanya sesuai dengan pekerjaan
yang dihadapinya.
Menurut Hamali (2016) Kinerja karyawan dapat di pengaruhi oleh
beberapa faktor internal maupun eksternal, yaitu :
1) Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam
diri seseorang yang menjadi sebuah karakteristik bawaan dari
semenjak seseorang dilahirkan atau hal yang didapat ketika
seseorang berada pada masa perkembangan. Contoh dari faktor
bawaan adalah sifat, kemampuan, serta keadaan fisik dan
psikologis seseorang. Faktor yang di peroleh pada masa
perkembangan adalah keterampilan, pengalaman, pengetahuan,
motivasi dan etos kerja seseorang. Faktor internal ini dapat
menentukan kinerja seorang karyawan, maka semakin
bekualitasnya faktor internal karyawan akan mendorong kualitas
kinerja yang baik juga.
2) Faktor internal lingkungan organisasi
Karyawan membutuhkan dukungan dari organisasi di
tempatnya bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi
kinerjanya, semakin tinggi dukungan organisasi yang diberikan
maka semakin tinggi juga kinerja seorang karyawan. Dukungan
tersebut dapat berupa ketersediaan fasilitas, hubungan dengan
rekan kerja dan atmosfer tempatnya bekerja. Perusahaan harus
mampu menciptakan lingkungan organisasi yang baik untuk
menunjang kinerja karyawan.
3) Faktor lingkungan eksterrnal organisasi
Faktor lingkungan eksternal organisasi merupakan faktor
yang tidak bisa dikendalikan dan berasal dari luar organisasi itu
sendiri. Faktor eksternal dapat mempengaruhi kinerja seorang
karyawan contohnya saja meningkatnya inflasi yang dapat
menurunkan daya beli seorang karyawan. Jika inflasi tidak
diimbangi dengan adanya kenaikan upah kerja maka akan
mendorong tejadinya penurunan kinerja

Dimensi dan indikator kinerja


Adapun beberapa dimensi kinerja karyawan dikelompokan menurut
(Edison, Anwar, & Komariyah, 2016) yaitu :
1) Target
Target merupakan sebuah ketentuan untuk dicapai baik
dalam pencapaian jumlah barang yang harus di penuhi, pemenuhan
jumlah uang atau pencapaian pekerjaan lainya. Biasanya
perusahaan memberikan target kerja sesuai dengan waktu
penyelesaianya agar karyawan tidak merasa terbebani dan dapat
memberikan kinerja terbaiknya untuk perusahaan.
2) Kualitas
Kualitas merupakan elemen utama yang sangat penting,
karena dengan kualitas produk yang baik dapat menggambarkan
kualitas perusahaan yang baik juga dan mampu mendorong
terbentuknya loyalitas konsumen terhadap perusahaan. Kinerja
yang baik tentunya akan menghasilkan kualitas kerja yang baik
juga.
3) Waktu Penyelesaian
Kinerja yang baik dapat digambarkan dengan penyelesaian
pekerjaan yang sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan
dan di tentukan oleh perusahaan dan di sanggupi oleh karyawan.
Karyawan dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik jika dapat
menyelesaikan pekerjaanya sesuai dengan waktu yangtelah
ditentukan.
Adapaun dimensi kinerja menurut Mathis and Jackson (2006)
sebagai berikut :
1) Kuantitas
Kuantitas merupakan sebuah hasil kerja yang telah dilakukan
oleh karyawan dalam suatu periode tertentu. Kuantitas kerja dapat
dilihat dari hasil kerja atas penggunaan waktu serta kecepatanya
dalam menyelesaikan tugas.
2) Kualitas
Kualitas merupakan suatu hasil yang dapat diukur atas tingkat
efektifitas dan efisiensi yang dilakukan oleh karyawan selama
menyelesaikan pekerjaan. Karyawan dengan kinerja yang baik,
yang mampu menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan tepat
tentunya akan menghasilkan kualitas kerja yang tinggi dan dapat
memajukan perusahaan.
3) Keandalan ( ketepatan waktu)
Keandalan merupakan suatu konidisi dimana tugas yang
diberikan mampu diselesaikan sesuai dengan waktu dan
kesepakatan yang telah di tentukan. Dengan kinerja yang baik
karyawan akan mampu menyelesaikan pekerjaanya sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
4) Kehadiran
Kehadiran merupakan bentuk tanggung jawab karyawan dalam
memenuhi tugasnya untuk hadir dan bekerja pada waktu yang telah
di tentukan. Kinerja yang baik dapat digambarkan dengan tingkat
kehadiran karyawan. karyawan yang tidak pernah absen dan selalu
datangtepat waktu mencerminkan karyawan yang mempunya
kinerja yang baik. Perusahaan biasanya mengapresiasi tingkat
kehadiran karyawanya dengan memberikan bonus atau
penghargaan lainya untuk menarik perhatian dan minat karyawan
lain untuk dating tepat waktu dan memberikan kinerja terbaiknya.
5) Kemampuan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama merupakan bentuk dimana karyawan
mampu bekerja dalam sebuah team dengan menyatukan pikiran,
pendapat dan kemampuan untuk menyelesaikan tanggung jawab
pekerjaan

Pengertian Kinerja


Menurut Edison dkk (2016) Kinerja merupakan hasil akhir
dari sebuah proses pekerjaan selama periode tertentu atas dasar
kesepakatan yang telah di tentukan. Jadi bisa di katakan kinerja
adalah pencapaian yang di dapatkan oleh seorang karyawan dalam
melaksanakan tugas dan kewajibanya dalam satu periode dengan
kesepakatan yang telah di tetapkan oleh perusahaan. Sehingga bisa
dikatakan semakin baik kinerja seorang atau sekelompok orang
karyawan maka semakin baik juga pengaruhnya terhadap kinerja
perusahaan. Kinerja karyawan juga mampu mendorong terrjadinya
perkembangan perusahaan.
Menurut Mathis and Jackson (2008) kinerja adalah hasil yang
diberikan oleh karyawan atas hasil yang dilakukan maupun tidak
dilakukan terhadap perusahaan baik berupa kualitas, kuantitas, sikap
kooperatif, jangka waktu dan kehadiran. Jadi dapat disimpulkan
kinerja karyawan tidak hanya dapat dinilai dari hasil yang berupa
kualitas atau kuantitas yang diberikan oleh karyawan terhadap
perusahaan, hal-hal lain yang tidak menghasilkan tetapi masih dalam
bentuk pengabdian karyawan terhadap perusahaan juga bisa
dikatakan sebagai bentuk kinerja seperti tingkat kehadiran, sikap
kooperatif dan loyalitas.
Menurut Hamali (2016) Kinerja adalah suatu hasil dari proses
pekerjaan seorang karyawan berdasarkan pada waktu yang telah
ditetapkan dan berimbas kepada sebuah perusahaan, semakin baik
kinerja seorang karyawan maka akan baik juga kinerja yang
dihasilkan perusahaan. Kinerja karyawan dianggap baik jika apa
yang dia kerjakan sesuai dengan harapan dan terpenuhinya
kebutuhan perusahaan

Dampak Kepuasan Kerja


Menurut Robbins & Judge (2016) terdapat 4 dampak dari ketidak
puasan kerja , seperti :
1) Keluar
Respon keluar mengarah pada maksud mencari posisi baru
yang dianggap seorang individu lebih bisa memberikan
kepuasan kerja yang sesuai dengan apa yang individu tersebut
harapkan,bisa saja karena posisi, jabatan dan jenis pekerjaan
lainya. Respon keluar merupakan respon terburuk yang
mungkin akan karyawan lakukan jika karyawan tersebut benar
– benar tidak mendapatkan kepuasan dari tempatnya bekerja dan
hal ini akan sedikit berdampak buruk bagi perusahaan.
2) Suara
Respon suara mengarah pada menyuarakan atau
mengaspirasikan apa yang di rasakan dan apa yang di inginkan
dari sebuah organisasi yang individu itu harapkan guna untuk
mencapai kepuasan.
3) Kesetiaan
Kesetiaan mengarah pada kegiatan pasif dimana individu tidak
melakukan pergerakan keluar dari perusahaan melainkan lebih
kearah diam dan menunggu keadaan perusahaan menjadi lebih
baik dengan harapan akan mendapat kepuasan yang individu
tersebut harapkan.
4) Pengabaian
Pengabaian mengarah pada kegiatan mengacuhkan setiap
pergerakan atau kemajuan perasaan dengan konotasi negatif
seperti mengabaikan tugas dan kewajiban sevagai
pekerja,ketepatan waktu, yang di dukung dengan berkurangnya
loyalitas terhadap perusahaan.

Faktor–faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja


Faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan
menurut Hasibuan (2014) :
1) Balas jasa yang adil dan layak
Dalam dunia kerja seorang karyawan cenderung
mengharapkan balas jasa yang adil dan layak. Dalam hal balas jasa
dapat direfleksikan dalam bentuk gaji yang diterima dari
perusahaan. Di harapkan balas jasa tersebut sesuai dengan
pekerjaan yang dilakukan tanpa membeda bedakan antara satu
karyawan denan karyawan yang lain.
2) Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
Karyawan yang dihadapkan dengan pekerjaan yang sesuai
dengan keahlian dan kemampuanya cenderung tidak akan
mendapatkan kesulitan yang begitu tinggi jika dibandingkan
dengan karyawan yang dihadapkan dengan pekerjaan yang tidak
sesuai dengan kemampuan dan keahlianya. Orang yang bekerja
sesuai passion akan lebih mencintai dan menghargai pekerjaanya
dan akan merasakan kepuasan atau kesenangan tersendiri jika tetap
bekerja dalam posisi yang sesuai dengan keahlian dan
kemampuanya.
3) Berat – ringanya pekerjaan
Beban kerja berlebih atau pemberian tugas yang melebihi
standar kemampuan seseorang akan mengakibatkan berkurangnya
kepuasan kerja. Pekerjaan yangterlalu berat akan membuat
seseorang kehilangan pandangan positif tentang pekerjaanya,
namun pekerjaan yangterlalu mudah juga akan membuatkaryawan
cepat merasa bosan dan tidak akan meningkatkan kemampuanya
dalam bekerja. Berat – ringanya pekerjaan harus disertai dengan
waktu penyelesaian yang sesuai, agar karyawan bisa memberikan
kualitas yang baik dan merasakan kepuasan tersendiri atas
pencapaianya.
4) Suasana dan lingkungan pekerjaan
Suasana dan lingkungan pekerjaan merupakan faktor
pendukung kepuasan kerja , suasana dan lingkungan kerja yang
produktif bisa mendorong performa kerja menjadi lebih baik dan
mengundang kepuasan kerja. Suasana buruk atau lingkungan
pekerjaan yang kurang baik akan membuat karyawan malas dan
enggan berlama – lama di tempat kerja, hal tersebut dapat
menumbuhkan pandangan negatif terhadap pekerjaan yang
dikerjakanya dan membuat karyawan tidak merasakan kepuasan.
5) Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
Kelengkapan fasilitas penujang pekerjaan merupakan hal yang
penting untuk menunjang kepuasan kerja karyawan . Dengan
tunjangan fasilitass tersebut karyawan tidak akan terlalu merasa
terbebani karena kelengkapan fasilitas mampu membantu dalam
penyelesaian kewajibanya di tempat kerja.
6) Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya
Sikap pimpinan yang baik akan berdampak baik juga terhadap
perasaan,kenyamanan dan kepuasan seorang karyawan. Hubungan
yang baik dengan pemimpin akan mendorong adanya keterbukaan
dalam menyampaikan aspirasi sehingga karyawan akan merasa
lebih bebas dan semakin mencintai pekerjaanya.
7) Sifat pekerjaan monton atau tidak
Setiap manusia mempunyai tingkat jenuh dan rasa bosan yang
berlebih jika berada pada situasi dan kondisi yang pasif , tantangan
dalam sebuah pekerjaan memberikan fantasi lebih bagi para
karyawan dan menimbulkan kesenangan tersendiri jika mereka
mampu mencapainya.

Indikator dan dimensi kepuasan kerja


Edison (2016) menjelaskan bahwa kepuasan kerja memiliki 5
dimensi, yaitu :
1) Upah
Upah yang dimaksud disini adalah gaji atau bayaran yang
harus diterima oleh karyawan yang sesuai dengan pekerjaan
yang dilakukan, dimana upah tersebut digunakan oleh
karyawan untuk memenuhi kebutuhanya. Upah yang diterima
harus mampu meningkatkan semangat karyawan dalam
meningkatkan kinerjanya, selain itu pemberian upah juga
harus adil dan sesuai dengan tanggungjawab serta beban kerja
masing – masing. Seorang karyawan biasanya memandang
upah sebagai sebuah penghargaan mengenai bagaimana cara
perusahaan menghargai segala kontribusi dan keterlibatan
kerjanya untuk kemajuan perusahaan.
2) Pekerjaan itu sendiri
Pekerjaanya itu sendiri merupakan faktor utama yang
sangat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan kerja seorang
karyawan. Kepuasan itu tergantung dari berat atau ringanya
sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang terlalu ringan akan
membuat karyawan cepat merasa bosan dan dirasa tidak dapat
meningkatkan kemampuan dan keahlianya dalam bekerja,
namun pekerjaan yang terlalu berat juga bukan merupakan hal
yang baik bagi karyawan. Pekerjaan yang berat cenderung
akan membuat karyawan merasa terbebani dan dapat
menguras tenaganya secara berlebih.
3) Kesempatan Promosi
Promosi dapat meningkatkan kepuasan kerja seorang
karyawan. Dengan adanya promosi karyawan akan merasa
mendapatkan peluang untuk posisi, jabatan dan masa depan karir
yang lebih baik dalam perusahaan tersebut. Promosi yang
didapatkan berdasarkan kinerja yang baik cenderung akan
membuat karyawan lebih merasa puas jika dibandingkan dengan
promosi yang didapatkan secara senioritas.
4) Penyelia atau pimpinan
Pimpinan dengan cerminan sifat dan sikap yang baik,
mampu berlaku adil terhadap semua karyawan, dapat membimbing,
merangkul dan menjaga hubungan sosial yang baik akan
meningkatkan kepuasan kerja seseorang, karena karyawan akan
cenderung lebih merasa nyaman dalam menyampaikan pendapat,
tidak merasa kaku dan tenang jika dikondisikan dengan posisi kerja
yang harus berhubungan langsung dengan atasan.
5) Rekan kerja
Dalam bekerja terkedang karyawan dihadapi dengan
pekerjaan yang mengharuskan bekerja sama dengan rekan kerja
lainya, dalam hal ini dibutuhkan hubungan sosial yang baik antar
karyawan agar penyelesaian tugas terasa mudah dan
menyenangkan. Rekan kerja yang mudah untuk diajak bekerja
sama, tidak menganggu dan membuat keributan ketika jam
operasional cenderung akan membuat seorang karyawan
merasakan kepuasan kerja karena karyawan tersebut tidak akan
merasa terbebani dan mendapatkan kemudahan dengan dalam
bekerja sama dengan rekan kerjanya.
Adapun indikator kepuasan kerja menurut S.Crow et al
(2012) terdapat 6 butir, diantaranya sebagai berikut :
1) Puas dengan pekerjaanya
Kepuasan yang dirasakan oleh karyawan dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya adalah karena faktor pekerjaanya
itu sendiri. Ketika seseorang menganggap pekerjaanya sebagai hal
yang sesuai dengan dirinya dan menganggap pekerjaanya sebagai
suatu hal yang positif maka akan menjadi sebuah kepuasan bagi
orang tersebut.
2) Lebih menyukai pekerjaanya dibandingkan dari yang lain.
Ketika seseorang merasakan kepuasan dari pekerjaanya, dan
menganggap pekerjaanya sangat sesuai dengan kemampuan dan
keahlianya, maka dirinya akan merasa sebagai orang yang lebih
mampu mengerjakan dan menyukai pekerjaanya lebih dari yang
lain.
3) Menghabiskan waktu untuk bekerja keras
Seseorang yang mencintai pekerjaanya cenderung tidak akan
menganggap segala kesulitan dalam pekerjaan itu sebagai sebuah
beban yang memberatkan dirinya, melainkan akan dianggap
sebagai sebuah tantangan yang akan menaikan kemampuanya dan
akan bekerja keras untuk menyelesaikanya. Pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan dan keahlian karyawan akan mendorong
karyawan tersebut untuk terus bekerja dan menggali hal lain yang
dapat meningkatkan kemampuanya. Hal tersebut didasarkan dari
cerminan dirinya yang menyukai pekerjaan tersebut yang dapat
menghasilkan kepuasan tersendiri untuk dirinya.
4) Merasa dihargai dalam pekerjanya
Setiap orang membutuhkan pengakuan baik dari atasan
maupun rekan kerjanya, secara tidak langsung segala bentuk
pengakuan tersebut dapat membuat seseorang merasa telah
mencapai target yang sesuia dengan apa yang diinginkan oleh
perusahaanya yang dapat menjadi sebuah kepuasan tersendiri bagi
dirinya.
5) Proaktif dalam pekerjaanya
Seseorang yang mendapatkan kepuasan dari pekerjaanya,
cenderung akan melibatkan dirinya lebih dalam terhadap
pekerjaanya sebagai sebuah bentuk cintanya terhadap pekerjaan
tersebut. Hal ini dapat terlihat pada suatu kondisi dimana jika
karyawan diberikan tugas oleh pimpinanya maka dia akan
menyelesaikan pekerjaan tersebut secara cepat dan tepat, karena
hal tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi dirinya.
6) Pekerjaan sangat berarti bagi hidup
Pekerjaan memiliki arti yang besar dalam hidup seseorang,
seseorang yang mendapatkan kepuasan dari pekerjaanya
cenderung akan menganggap pekerjaan itu sebagai hal yang sangat
berarti bagi dirinya. Kepuasan kerja yang tinggi akan membuat
karyawan memilih untuk tetap bekerja di dalam perusahan
tersebut

Definisi Kepuasan Kerja


Menurut Robbins & Judge (2016) Kepuasan kerja
merupakan sebuah perasaan dan pandangan positif seseorang
terhadap pekerjaanya yang di hasilkan dari sebuah evaluasi
terhadap karakteristiknya. Perasaan positif tersebut dapat dilihat
ketika seorang karyawan memiliki keterrlibatan yang tinggi
terhadap perrusahaan, tingkat kehadiran yang tinggi dan tidak
menganggap tugasnya sebagai beban yang menggangu dirinya.
Apabila seorang karyawan tidak mempunyai perasaan poitif
terhadap pekerjaanya dan cenderung tidak memiliki kepuasan
maka karyawan tersebut akan menganggap pekerjaanya sebagai
hal yang membosankan dan membebani dirinya.
Menurut Hamali (2016) kepuasan kerja merupakan sikap
positif yang ditunjukan oleh seorang karyawan terhadap
pekerjaan,tanggung jawab ataupun tugas yang diberikan oleh
perusahaan kepadanya. Hal tersebut bergantung pada penilaian
kinerja yang akan diterimanya setelah karyawan tersebut selesai
menjalankan kewajibanya, jika hasil penilaian kerja yang di
dapatkanya baik maka karyawan akan mendapatkan kepuasan
tersendiri dan sebaliknya jika hasil penilaian kerjanya buruk maka
seorang karyawan akan merasakan kecewa yang dapat mendorong
timbulnya ketidak puasan. Puas tidaknya seorang karyawan atas
pekerjaanya tergantung dari sifat pribadi karyawan tersebut dan
pada dasarnya setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang
berbeda – beda.
Menurut Edison dkk (2016) kepuasan kerja akan
menciptakan lingkungan organisasi yang nyaman dan dapat
mendorong semangat kerja yang tinggi. Peran organisasi sangat
dibutuhkan dalam membuat kenyamanan dalam lingkungan
organisasi dan membentuk perilaku positif di tempat kerja seperti
saling menghargai, menghormati dan mempunya sistem
keterbukaan dalam menerima pendapat, gagasan maupun saran
yang diberikan untuk mengambil sebuah keputusan . Pemimpin
juga harus mampu memotivasi, mengarahkan karyawanya dan
membentuk hubungan yang baik. Keberhasilan suatu perusahaan
dapat digambarkan dengan tingginya tingkat kepuasan kerja
seorang karyawan.
Menurut Luthans (2011) kepuasan kerja adalah suatu bentuk
respon emosional yang positif karyawan terhadap pekerjaanya
yang disebabkan dari adanya penghargaan ataupun pengakuan
yang dilakukan oleh perusahaan. Maka dapat disimpulkan
kepuasan kerja merupakan perasaan dan pandangan seseorang
kepada tempat dimana dia bekerja. Kepuasan kerja adalah hasil
dari sebuah interaksi antara seseorang dengan lingkungan kerjanya.
Seseorang yang merasakan kepuasan akan cenderung memiliki
performa kerja yang baik dan tidak menganggap pekerjaanya
sebagai sebuah hambatan dalam kehidupanya dan sebaliknya.
Kepuasan kerja sifatnya adalah individual dan setiap orang
memiliki standar kepuasan yang berbeda beda meskipun orang
tersebut mempunyai kategori kebutuhan yang sama. Kepuasan
kerja terjadi karena adanya kesesuaian antara apa yang diharapkan
dengan apa yang di dapatkan

Faktor–faktor yang mempengaruhi Stres Kerja


Stres kerja akan mengakibatkan buruknya kinerja seorang
karyawan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong terbentuknya stres
kerja yang diakibatkan oleh pekerjaan itu sendiri.
Menurut Hasibuan (2014) terdapat enam faktor yang dapat
mempengaruhi stres kerja diantaranya adalah :
1) Beban kerja yang sulit dan berlebihan
Beban kerja yang melebihi standar kemampuan seorang
karyawan akan mendorong terjadinya stres kerja, karena
karyawan dihadapkan dengan kondisi kerja yang menekan
dirinya untuk dapat menyelesaikan tugas – tugas yang sebenernya
tidak sesuai dengan kemampuanya. Hal tersebut membuat tenaga
dan pikiranya terkuras lebih banyak dari pekerjaan pada kondisi
normalnya.
2) Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar
Pimpinan mempunyai kewajiban untuk mengatur dan
memerintah bawahanya . Pimpinan yang banyak menekan,
menuntut dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan
bawahanya akan menyebabkan karyawan mengalami stres kerja.
Karyawan akan merasakan tertekan, takut dan gelisah jika hasil
kerjanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
pimpinanya yang akan mempengaruhi jejak karirnya dalam
perusahaan tersebut.
3) Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai
Waktu dan peralatan kerja merupakan aspek penunjang
karyawan untuk menyelesaikan pekerjaanya , bilamana dalam
aspek tersebut terdapat masalah maka hal tersebut akan
mendorong karyawan mengalami stres kerja karena hal tersebut
dapat menghambat pekerjaanya .
4) Konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja
Rekan kerja dan pimpinan di tempat kerja merupakan aspek
sosial yang dapat mempengaruhi nyaman atau tidaknya seseorang
berada dalam lingkungan tersebut. Hubungan sosial yang tidak
baik akan menyebabkan seorang individu merasa tidak nyaman
,jika hal tersebut di biarkan begitu saja maka akan menyebabkan
terjadinya stres kerja.
5) Balas jasa yang terlalu rendah
Setiap pekerjaan memiliki resiko dan tanggung jawab yang
berbeda – beda. Di balik pekerjaan yang beresiko tinggi terdapat
harapan seorang karyawan untuk mendapatkan imbalan yang
tinggi juga atau sesuai dengan apa yang di kerjakanya. Upah
merupakan refleksi atau cara perusahaan menghargai
karyawanya, dengan upah yang sesuai dan adil sesuai dengan
beban kerja yang di tanggung akan membuat karyawan merasa
dihargai oleh perusahaan. Upah yang tidak sesuai membuat
karyawan merasakan stres karena usaha yang diberikanya tidak
setimpal dengan balas jasa yang diberikan perusahaan.
6) Masalah – masalah keluarga seperti anak, istri, mertua, dan lain –
lain.
Seorang karyawan yang memiliki masalah pribadi , kondisi
emosinya cenderung tidak stabil dan sulit untuk fokus terhadap satu
hal karena pemikiranya terbagi – bagi. Seorang karyawan yang
memiliki masalah pribadi dan di hadapkan dengan pekerjaan yang
berat akan menyebabkan terjadinya stres kerja

Definisi Stres Kerja


Menurut Hasibuan (2014) menyatakan bahwa stres kerja adalah
suatu ketegangan yang mengakibatkan tidak seimbangnya keadaan
psikologis karyawan yang dapat mempengaruhi cara berpikir, emosi
dan kondisi dirinya sendiri.Stres kerja terjadi karena adanya tuntutan
dan tekanan yang berlebih dari tugas yang diberikan oleh
perusahaan. Semakin tinggi stres kerja karyawan maka semakin
buruk juga dampaknya terhadap kinerja seorang karyawan dan dapat
menghambat pencapaian tujuan dan perkembangan perrusahaan.
Menurut Luthans (2010) mengemukakan stres kerja sebagai
sebuah respon seseorang terhadap keadaan eksternal yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan fisik,psikologis dan
perilaku karyawan dalam sebuah perusahaan atau organisasi.
Keadaan eksternal yang tidak baik akan meningkatkan tingkat stres
seorang karyawan yang bila dibiarkan begitu saja akan mengganggu
proses kerjanya. Perusahaan harus mampu menciptakan keadaan
eksternal yang baik dan mampu menghilangkan atau menurunkan
tingkat stres kerja seorang karyawan.
Mangkunegara (2017) mengartikan stres kerja sebagai suatu
kondisi dimana karyawan merasakan sebuah tekanan dalam
menghadapi pekerjaan. Stres kerja dapat mengakibatkan keadaan
emosi seseorang tidak stabil, rasa cemas berlebih, tegang , gugup
dan gangguan lainya.

Faktor–faktor yang Menyebabkan Stres


Wahjono, Senot Imam (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan stres antara lain :
a. Faktor Lingkungan
Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi perancangan struktur
organisasi, ketidakpastian juga mempengaruhi tingkat stres di kalangan para
karyawan dalam sebuah organisasi. Bentuk_bentuk ketidakpastian lingkungan
ini antara lain ketidakpastian ekonomi berpengaruh terhadap seberapa besar
pendapatan yang diterima oleh karyawan maupun reward yang diterima
karyawan, ketidakpastian politik berpengaruh terhadap keadaan dan
kelancaran organisasi yang dijalankan, ketidakpastian teknologi berpengaruh
terhadap kemajuan suatu organisasi dalam penggunaan teknologinya, dan
ketidakpastian keamanan berpengaruh terhadap posisi dan peran
organisasinya.
b. Faktor Organisasi
Beberapa faktor organisasi yang menjadi potensi sumber stres antara
lain:
1) Tuntutan tugas dalam hal desain pekerjaan individu, kondisi kerja, dan tata
letak kerja fisik.
2) Tuntutan peran yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada
seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam sebuah
organisasi termasuk beban kerja yang diterima seorang individu.
3) Tuntutan antar-pribadi, yang merupakan tekanan yang diciptakan oleh
karyawan lain seperti kurangnya dukungan sosial dan buruknya hubungan
antar pribadi para karyawan.
4) Struktur organisasi yang menentukan tingkat diferensiase dalam
organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan di mana keputusan di ambil.
Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi individu dalam
pengambilan keputusan merupakan potensi sumber stres.
5) Kepemimpinan organisasi yang terkait dengan gaya kepemimpinan atau
manajerial dan eksekutif senior organisasi. Gaya kepemimpinan tertentu
dapat menciptakan budaya yang menjadi potensi sumber stres.
c. Faktor Individu
Faktor individu menyangkut dengan faktor-faktor dalam kehidupan
pribadi individu. Faktor tersebut antara lain persoalan keluarga, masalah
ekonomi pribadi, dan karakteristik kepribadian bawaan. Menurut Robbins
(2006) Setiap individu memiliki tingkat stres yang berbeda meskipun
diasumsikan berada dalam faktor-faktor pendorong stres yang sama.
Perbedaan individu dapat menentukan tingkat stress yang ada. Secara teoritis
faktor perbedaan individu ini dapat dimasukkan sebagai variable intervening.
Ada lima yang dapat menjadi variabel atau indikator yang dapat digunakan
dalam mengukur kemampuan individu dalam menghadapi stres yaitu
pengalaman kerja merupakan pengalaman seorang individu dalam suatu
pekerjaan dan pendidikan yang ditekuninya, dukungan sosial merupakan
dukungan atau dorongan dari dalam diri sendiri maupun orang lain untuk
menghadapi masalah-masalah yang dialaminya termasuk bagaimana motivasi
dari dalam diri individu maupun dari luar individu, ruang (locus) kendali
merupakan cara bagi seorang individu mengendalikan diri untuk menghadapi
masalah yang ada, keefektifan dan tingkat kepribadian orang dalam
menyingkapi permusuhan dan kemarahan.
Tingkat stres juga terkait dengan penerapannya pengelolaan stres di
dalam sebuah organisasi. Pendekatan pengelolaan stres ini dapat dijadikan
variabel penelitian, untuk melihat pengaruh penerapan pendekalan ini terhadap
tingkat stres pada organisasi. Dua pendekatan dan indikatornya sebagai berikut
(Robbins, 2006)
1) Pendekatan Individu
Penerapan pendekatan ini dalam sebuah perusahaan dapat dilihat
dari beberapa indikator yaitu dari pelaksanaan teknik-teknik manajemen
waktu yang efektif dan efisien, adanya latihan fisik nan kompetitif seperti
joging, aerobik, berenang, adanya kegiatan pelatihan pengenduran
(relaksasi) seperti meditasi, hipnotis dan biofeedback, dan adanya
perluasan jaringan dukungan sosial.
2) Pendekatan Organisasi
Penerapan pendekatan ini dalam sebuah perusahaan dapat dilihat
dari beberapa indikator yaitu adanya perbaikan mekanisme seleksi personil
dan penempatan kerja, penggunaan penetapan sasaran yang realistis,
adanya perancangan ulang pekerjaan yang dapat memberikan karyawan
kendali yang besar dalam pekerjaan yang mereka tekuni, adanya
peningkatan keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan, adanya
perbaikan komunikasi organisasi yang dapat mengurangi ambiguitas peran
dan konflik peran, dan penegakan program kesejahteraan korporasi yang
memusatkan perhatian pada keseluruhan kondisi fisik dan mental
karyawan

Dampak Stres

Stres pada dosis yang kecil dapat berdampak positif bagi individu. Hal ini
dapat memotivasi dan memberikan semangat untuk menghadapi tantangan.
Sedangkan stres pada level yang tinggi dapat menyebabkan depresi, penyakit
kardiovaskuler, penurunan respon imun, dan kanker (Jenita DT Donsu, 2017).
Menurut Priyono (2014) dampak stres dibedakan dalam tiga kategori,
yaitu :
a. Dampak fisiologik
1) Gangguan pada organ tubuh hiperaktif dalam salah satu system tertentu
a) Muscle myopathy : otot tertentu mengencang/melemah.
b) Tekanan darah naik : kerusakan jantung dan arteri.
c) Sistem pencernaan : mag, diare.
2) Gangguan system reproduksi
a) Amenorrhea : tertahannya menstruasi.
b) Kegagalan ovulasi ada wanita, impoten pada pria, kurang produksi
semen pada pria.
c) Kehilangan gairah sex.
3) Gangguan lainnya, seperti pening (migrane), tegang otot, rasa bosan, dll.
b. Dampak psikologik
1) Keletihan emosi, jenuh, penghayatan ini merpakan tanda pertama dan
punya peran sentral bagi terjadinya burn-out.
2) Kewalahan/keletihan emosi.
3) Pencapaian pribadi menurun, sehingga berakibat menurunnya rasa
kompeten dan rasa sukses.
c. Dampak perilaku
1) Manakala stres menjadi distres, prestasi belajar menurun dan sering terjadi
tingkah laku yang tidak diterima oleh masyarakat.
2) Level stres yang cukup tinggi berdampak negatif pada kemampuan
mengingat informasi, mengambil keputusan, mengambil klangkah tepat.
3) Stres yang berat seringkali banyak membolos atau tidak aktif mengikuti
kegiatan pembelajaran.

Jenis-jenis Stres


Menurut Jenita DT Donsu (2017) secara umum stres dibagi menjadi dua
yaitu :
a. Stres akut
Stres yang dikenal juga dengan flight or flight response. Stres akut adalah
respon tubuh terhadap ancaman tertentu, tantangan atau ketakutan. Respons
stres akut yang segera dan intensif di beberapa keadaan dapat menimbulkan
gemetaran.
b. Stres kronis
Stres kronis adalah stres yang lebih sulit dipisahkan atau diatasi, dan efeknya
lebih panjang dan lebih.
Menurut Priyoto (2014) menurut gejalanya stres dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Stres Ringan
Stres ringan adalah stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur,
seperti banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan. Situasi stres
ringan berlangsung beberapa menit atau jam saja.
Ciri-ciri stres ringan yaitu semangat meningkat, penglihatan tajam,
energy meningkat namun cadangan energinya menurun, kemampuan
menyelesaikan pelajaran meningkat, sering merasa letih tanpa sebab, kadang-
kadang terdapat gangguan sistem seperti pencernaan, otak, perasaan tidak
santai. Stres ringan berguna karena dapat memacu seseorang untuk berpikir
dan berusaha lbih tangguh menghadapi tantangan hidup.
b. Stres Sedang
Stres sedang berlangsung lebih lama daripada stress ringan. Penyebab
stres sedang yaitu situasi yang tidak terselesaikan dengan rekan, anak yang
sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga. Ciri-ciri stres
sedang yaitu sakit perut, mules, otot-otot terasa tengang, perasaan tegang,
gangguan tidur, badan terasa ringan.
c. Stres Berat
Stres berat adalah situasi yang lama dirasakan oleh seseorang dapat
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan, seperti perselisihan
perkawinan secara terus menerus, kesulitan financial yang berlangsung lama
karena tidak ada perbaikan, berpisah dengan keluarga, berpindah tempat
tinggal mempunyai penyakit kronis dan termasuk perubahan fisik, psikologis
sosial pada usia lanjut.
Ciri-ciri stres berat yaitu sulit beraktivitas, gangguan hubungan sosial,
sulit tidur, negatifistic, penurunan konsentrasi, takut tidak jelas, keletihan
meningkat, tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana, gangguan sistem
meningkatm perasaan takut meningkat

Pengertian Stres


Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh
perubahan dan tuntutan kehidupan (Vincent Cornelli, dalam Jenita DT Donsu,
2017). Menurut Charles D. Speilberger, menyebutkan stres adalah tuntutan-
tuntutan eksternal yang mengenai seseorang misalnya objek dalam lingkungan
atau sesuatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga bias
diartikan sebagai tekanan, ketegangan, gangguan yang tidak menyenangkan yang
berasal dari luar diri seseorang (Jenita DT Donsu, 2017).
Cofer & Appley (1964) menyatakan bahwa stres adalah kondisi organik
seseorang pada saat ia menyadari bahwa keberadaan atau integritas diri dalam
keadaan bahaya, dan ia harus meningkatkan seluruh energy untuk melindungi diri
(Jenita DT Donsu, 2017). Cranwell-Ward (1987) menyebutkan stres sebagai
reaksi-reaksi fisiologik dan psikologik yang terjadi jika orang mempersepsi suatu
ketidakseimbangan antara tingkat tuntutan yang dibebankan kepadanya dan
kemampuannya untuk memenuhi tuntutan itu (Jenita DT Donsu, 2017).
Anggota IKAPI (2007) menyatakan stres adalah reaksi non-spesifik
manusia terhadap rangsangan atau tekanan (stimulus stressor). Stres merupakan
suatu reaksi adaptif, bersifat sanga individual, sehingga suatu stres bagi seseorang
belum tentu sama tanggapannya bagi orang lain (Jenita DT Donsu, 2017). Stres
adalah segala sesuatu di mana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang
individu untuk merespons atau melakukan tindakan (Potter dan Perry, dalam
Jenita DT Donsu, 2017). Menurut Hawari (2008) bahwa Hans Selve menyatakan
stres adalah respon tubuh yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap tuntutan
beban atasnya (Jenita DT Donsu, 2017).
Stres didefinisikan sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang
dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat
dapat mempengaruhi keadaan fisik manusia tersebut. Stres dapat dipandang dalam
dua acara, sebagaiu stres baik dan stres buruk (distres). Stres yang baik disebut 9
stres positif sedangkan stres yang buruk disebut stres negatif. Stres buruk dibagi
menjadi dua yaitu stres akut dan stres kronis (Widyastuti, Palupi, 2004). Menurut
WHO (2003) stres adalah reaksi/respon tubuh terhadap stressor psikososial
(tekanan mental/beban kehhidupan (Priyoto, 2014)

Instrumen Pengukuran Stres Kerja Perawat


Menurut Harsono dalam (Khusnah, 2018) Setiap individu memiliki
tingkatan stres yang berbeda-beda tergantung dari stresor yang dihadapi.
Pengukuran skala stres kerja diperlukan untuk mengetahui sejauh mana
tingkatan stres yang dihadapi oleh seseorang. Ada beberapa pengukuran
stres kerja dari beberapa penelitian diantaranya adalah

  1. Occupational Stress Inventory-Revised Edition (OSI-R), merupakan
    alat ukur hasil dari satu model stres yang menggabungkan variabel
    utama yang berdampak pada stres atau hasil dari kegagalan dan
    kuesioner ini berpotensi memberikan data komparatif diseluruh
    kelompok profesional. Terdapat tiga dimensi keseluruhan terkait atau
    faktor yang saling terkait dalam penyesuain pekerjaan seperti tekanan
    kerja, ketegangan pribadi dan sumber daya koping. OSI- R terdiri atas
    25 penyataan dengan 5 skala likert poin yang digunakan (Hicks et al,
    2010)
  2. Nursing Stress Scale (NSS), merupakan instrumen penilaian stres
    pada perawat dalam menjalankan tugasnya yang mempunyai tujuh
    sub-skala yang diukur dengan frekuensi stres yang dialami oleh
    perawat di lingkungan rumah sakit. Nursing Stress Scale terdiri dari 34
    pernyataan dengan alternatif jawaban menggunakan 4 skala likert (Toft
    dan Anderson, 1981)
  3. Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) merupakan instrumen
    penilaian stres khusus bagi perawat dan disesuaikan dengan
    karakteristik pekerjaan perawat. Expanded Nursing Stress Scale terdiri
    atas 57 pertanyaan yang diisi oleh repsonden dengan alternatif
    jawaban menggunakan skala likert 5 poin yang digunakan (French et
    al, 2000). Expanded Nursing Stress Scale merupakan kuesioner
    kombinasi dari Nursing stress Scale (NSS) yang dikembangkan oleh
    Toft dan Anderson (1981) dan Expanded Nursing Stress Scale (ENSS)
    dikembangkan oleh French et al (2000). Expanded Nursing Stress
    Scale versi Bahasa Indonesia tersebut telah divalidasi dan memiliki
    reliabilitas yang baik (Harsono, 2017). Expanded Nursing Stress Scale
    versi Bahasa Indonesia terdiri atas 57 pertanyaan yang diisi oleh
    repsonden dengan alternatif jawaban menggunakan skala likert 5 poin
    yang digunakan, dengan angka mulai dari :
    0 hal yang dimaksud dalam pernyataan yang tidak dijumpai oleh
    responden.
    1 hal yang dimaksud dalam pernyataan tidak menyebabkan stres
    2 hal yang dimaksud dalam pernyataan sesekali/kadang membuat
    stres.
    3 hal yang dimaksud dalam pernyataan sering membuat stres.
    4 hal yang dimaksud dalam penyataan sangat/selalu membuat stres.
    Nilai alpha Cronbach kuesioner dalam penelitian sebelumnya didapat
    dari uji reabilitas yang dilakukan secara bersama terhadap seluruh butir
    pertanyaan dalam angket (kuisioner) peneltian adalah 0,956 (reliabel
    atau konsisten).

Manajemen Stres Dalam Organisasi


Manajemen stres merupakan kemampuan penggunaan sumber
daya secara efektif untuk mengatasi gangguan atau kekacauan mental
dan emosional yang muncul karena tanggapan (respons). Adapun tujuan
dari manajemen stres adalah mencegah timbulnya stres dari karyawan,
menampung akibat fisiologikal dari stres, untuk memperbaiki kualitas
hidup karyawan agar menjadi lebih baik, serta untuk mencegah
berkembangnya stres jangka pendek menjadi stres jangka panjang atau
stres yang kronis (Asih, Widhiastuti dan Dewi, 2018).
Menurut Dyannda (2019) strategi manajemen yang dapat
dilakukan guna mengurangi Stress kerja dalam organisasi diantaranya
sebagai berikut:

  1. Meningkatkan komunikasi. Meningkatkan komunikasi yang efektif
    antara manajer dan karyawan dapat mengurangi ketidakjelasan peran
    dan konflik peran, akan tampak garis-garis tugas dan tanggung jawab
    yang jelas atara keduanya.
  2. Sistem penilaian dan ganjaran yang efektif. Ketika karyawan fungsi
    ganjaran yang diberikan kepada mereka, dengan begitu akan
    menyadari bahwa ganjaran atau penilian yang diberikan berhubungan
    dengan prestasi kerjanya.
  3. Meningkatkan prestasi. Pengelola perlu meningkatkan partisipasi
    karyawan terhadap pengambilan keputusan sehingga setiap karyawan
    yang ada dalam organisasi mempunyai tanggung jawab dan dapat
    meyumbangkan pikiran atau gagasan-gasannya, dengan begitu dapat
    meningkatkan prestasi yang dapat mengurangi stres kerjanya.
  4. Memperkaya tugas. Manajer perlu memberikan dan mempkaya tugas
    kepada karyawan agar mereka dapat lebih bertanggung jawab, lebih
    mempunyai makna tugas yang dikerjakannya dan lebih baik dalam
    melaksanakan pengendalian serta umpan balik terhadap produktivitas
    kerja karyawan.
  5. Mengembangkan keterampilan, kepribadian dan pekerjaan.
    Merupakan salah satu cara untuk mengelola stres kerja.
    Pengembangan keterampilan dapat diperoleh melalui latihan-latihan
    yang sesuai dengan kebutuhan karyawan dan organisasi atau
    pengembangan kepribadian yang dapat mendukung usaha
    pengembangan pekerjaan baik secara kuantitas maupun kualitas

Dampak Stres Kerja


Menurut Asih, Widhiastuti dan Dewi (2018) mengutip dari Waluyo,
(2009:163), pada umumnya stress kerja lebih banyak merugikan karyawan
maupun perusahaan atau organisasi. Pada diri karyawan, konsekuensi
tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi,
frustasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya
berhubungan aktivitas kerja saja, akan tetapi dapat meluas ke aktivitas
lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera
makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya.
Menurut Pangestuningsih (2018), kerugian yang sering dilaporkan akibat
aktivitas kerja, yang berdampak langsung pada produktivitas adalah:

  1. Psikologis: depresi, kelelahan, kegelisahan kronis, konflik pribadi yang
    meningkat akibat pikiran negatif, ketidaksabaran, apatis, amarah, dan
    permusuhan, keletihan (capek, depresi, menarik dirim dan
    ketidakpedulian).
  2. Fisik: naiknya tekanan darah dan masalah sistem kardiovaskular,
    aktivitas pencernaan yang berlebih-kadar asam yang berlebih, tukak
    lambung, usu pedih, diare, sakit kepala, ruam, gatal-gatal, kelelahan
    yang tidak dapat dijelaskan, infeksi yang semakin parah karena sistem
    kekebalan melemah, masalah kesehatan gigi, karena gigi dan rahang
    terkatup rapat
  3. Perilaku (masalah pribadi): reaksi irasional terhadap pernyataan atau
    tindakan rekan, sifat suka memerintah, temperamental, rawan
    kecelakaan karena kurang konsentrasi, penggunaan zat penenang
    alkohol dan rokok, tertawa yang berlebih
  4. Bagi organisasi atau tempat kerja: angka absensi tinggi, produktifitas
    kerja menurun, kualitas layanan dan tingkat kepuasan berkurang,
    penurunan omset/pendapatan, komitmen organisasi dan loyalitas
    berkurang

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja


Munandar Asih, Widhiastuti dan Dewi (2018) mengungkapkan
bahwa faktor pembuat stres dalam lingkungan kerja adalah sebagai
berikut:

  1. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, diantaranya:
    a. Tuntutan fisik (bising, paparan, getaran, dan hygiene). Tuntutan
    fisik diartikan sebagai kondisi fisik kerja yang mempunyai pengaruh
    terhadap kondisi psikologis dan fisiologis diri seorang tenaga kerja.
    Kondisi fisik merupakan penyebab stres (stressor) yang meliputi:
    1) Bising yang dapat menimbulkan gangguan sementara atau
    tetap pada alat pendengaran, juga dapat merupakan sumber
    stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan
    ketidakseimbangan psikologis.
    2) Paparan (exposure) terhadap bising berkaitan dengan rasa
    lelah, sakit kepala lekas tersinggung, dan ketidakmampuan
    untuk berkonsentrasi.
    3) Getaran yang merupakan sumber stres yang kuat yang
    menyebabkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan
    dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan
    neurological.
    4) Hygiene yang merupakan lingkungan yang kotor dan tidak sehat
    merupakan penyebab stres, hal ini dinilai oleh para pekerja
    sebagai faktor tinggi penyebab stres.
    b. Tuntutan tugas (shift kerja,lamanya seseorang bekerja dan beban
    kerja berlebih ataukah sedikit)
    1) kerja shift kerja malam yang merupakan sumber utama dari
    stres kerja yang berpengaruh secara emosional dan biological
    2) Beban kerja terbagi atas dua macam yaitu beban kerja yang
    berlebihan (overload) dan beban kerja yang kurang
    (underoverload). Beban kerja yang berlebihan dapat dilihat
    melalui kondisi dari banyaknya pekerjaan yang harus
    dikerjakan dalam waktu yang terbatas/ ditentukan atau suatu
    pekerjaan yang sulit untuk dikerjakan karena kurangnya
    kemampuan, sedangkan beban kerja yang kurang diakibatkan
    adanya pekerjaan yang secara rutin/ monoton, yang pada
    akhirnya mengakibatkan kebosanan pada pekerja
    3) Paparan terhadap risiko dan bahaya yang dikaitkan dengan
    kelompok jabatan tertentu yang dianggap memiliki risiko tinggi
    dan merupakan sumber stres. Makin besar kesadaran akan
    bahaya dalam pekerjaannya makin besar depresi dan
    kecemasan pada pekerja
  2. Peran individu dalam organisasi, meliputi:
    a. Konflik peran. Stres timbul karena ketidakcakapannya untuk
    memenuhi tuntutan dan berbagai harapan terhadap dirinya. Konflik
    peran yang menimbulkan stres juga karena ketidakjelasan peran
    dalam bekerja dan tidak tahu yang diharapkan oleh manajemen,
    akibatnya sering muncul ketidakpuasan kerja, ketegangan,
    menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk
    meninggalkan pekerjaan.
    b. Ambiguitas peran (role ambiguity). Ambiguitas peran (role
    ambiguity) disarankan jika seorang pekerja tidak memiliki cukup
    informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti
    atau merealisasi harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.
    Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kebingungan peran antara
    lain ketidakjelasan dari sasaran/ tujuan kerja, kesamaran tentang
    tanggung jawab, ketidakjelasan tentang prosedur kerja, kesamaran
    tentang apa yang diharapkan oleh orang lain, dan kurang adanya
    timbal balik atau ketidakpuasan tentang pekerjaan.
  3. Pengembangan karier. Pengembangan karier merupakan penyebab
    stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi
    berlebih, dan promosi yang kurang. Promosi merupakan salah satu
    cara perusahaan dalam meningkatkan kemampuan pekerjaannya.
  4. Hubungan dalam pekerjaan. Hubungan yang baik dengan kelompok
    kerja dianggap sebagai faktor utama dalam menjaga kesehatan
    organisasi. Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-
    gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support
    yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah
    dalam organisasi.
  5. Struktur dan iklim organisasi. Pekerja mempersepsikan kebudayaan,
    kebiasaan, dan iklim organisasi adalah penting dalam memahami
    sumber-sumber stres potensial sebagai hasil dari beradanya mereka
    dalam organisasi. Faktor stres yang ditemukan dalam kategori ini
    terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan
    serta dalam organisasi.
  6. Tuntutan dari luar pekerjaan. Kategori penyebab stres potensial ini
    mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang berinteraksi
    dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu
    organisasi, dan dengan demikian memberikan tekanan pada individu,
    Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan,
    keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara
    tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat
    merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya.
  7. Karakterisitik individu
    a. Umur. Bertambahnya umur maka akan meningkat pula kemampuan
    membuat keputusan, berpikir rasional, semakin bijaksana, mampu
    mengendalikan emosi, lebih toleran, dan terbuka dengan
    pandangan atau pendapat orang lain. Hal tersebut akan terlihat
    saat individu sedang dalam tekanan atau ketika beban kerja
    meningkat, yang bisa memicu terjadinya stres kerja.
    b. Jenis kelamin. Jenis kelamin berhubungan dengan karakteristik
    fisik, psikologis dan sosial antara laki-laki dan perempuan. Tidak
    ada perbedaan yang konsisten antara pada laki-laki dan
    perempuan dalam hal kemampuan berfikir, menyelesaikan
    masalah, menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja, motivasi,
    keterampilan dan analisis. Jadi baik laki-laki maupun perempuan
    bisa saja mengalami stres kerja, tergantung kemampuannya
    menyesuaikan diri dengan dunia kerja dan mekanisme koping.
    Namun, jika dikaitakan dengan peran ganda, pada perempuan
    yang bekerja dan sudah berkeluarga, tentunya tanggung jawabnya
    menjadi lebih besar, tuntutannya lebih tinggi, sehingga bisa
    menyebabkan stres, dan dipengaruhi dengan kemampuan
    beradaptasi dan mekanisme koping dari individu tersebut.
    c. Tingkat pendidikan. Pendidikan merupakan pengalaman seseorang
    dalam mengembangkan kemampuan dan meningkatkan
    intelektualitas, yang artinya semakin tinggi tingkat pendidikan maka
    semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keahliannya dalam
    menyelesaikan masalah yang dihadapi, mengatasi tekanan atau
    beban kerja yang dihadapinya, mampu menyesuaikan diri terhadap
    pekerjaanya, dan pada akhirnya mampu mengontrol stres yang
    dialaminya.
    d. Status perkawinan. Status perkawinan mempunyai hubungan
    dengan tanggung jawab dan kinerja pegawai, bagi yang sudah
    menikah, pekerjaan menjadi hal yang lebih utama dibandingkan
    bagi yang belum menikah. Individu yang sudah menikah jika
    mendapat dukungan dari keluarga, ada pasangan untuk bertukar
    pikiran dan berbagi tentang masalah pekerjaannya, tentunya dapat
    mengurangi stresnya di tempat kerja. Jadi, dukungan keluarga
    bermanfaat untuk menurunkan stres kerja seseorang.
    e. Lama kerja atau masa kerja. Lama kerja berkaitan dengan
    pengalaman kerja, yaitu berbagai peristiwa yang dialami seseorang
    selama bekerja dan hal tersebut bisa dijadikan pelajaran untuk
    meningkatkan kualitas pekerjaan. Pengalaman kerja yang lebih
    lama, akan meningkatkan keterampilan seseorang dalam bekerja,
    semakin mudah menyesuaikan dengan pekerjaannya, sehingga
    mampu menghadapi tekanan dalam bekerja

Tingkatan Stres Kerja


Stres sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Mungkin tidak ada
manusia biasa yang belum pernah merasakan stres. Stres kini menjadi
manusiawi selama tidak berlarut-larut berkepanjangan. Berdasarkan
gejalanya, stres dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

  1. Stres Ringan
    Stres ringan yaitu stresor yang dihadapi setiap orang secara
    teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu-lintas, kritikan dari
    atasan. Situasi seperti ini biasanya berlangsung beberapa menit atau
    jam. Stresor ringan biasanya tidak disertai timbulnya gejala yaitu
    semangat meningkat, penglihatan tajam, namun cadangan energinya
    menurun, kemampuan menyelesaikan pelajaran meningkat, sering
    merasa letih tanpa sebab, kadang-kadang terdapat gangguan sistem
    seperti pencernaan,otot, perasaan tidak santai.
  2. Stres Sedang
    Stres sedang berlangsung lebih lama dari beberapa jam
    sampai beberapa hari. Situasi perselisihan yang tidak terselesaikan
    dengan rekan,anak yang sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari
    anggota keluarga merupakan penyebab stres sedang. Ciri-cirinya yaitu
    sakit perut, mules, otot-otot terasa tegang, perasaan tegang, gangguan
    tidur, badan terasa ringan.
  3. Stres Berat
    Stres berat merupakan situasi kronis yang dapat berlangsung
    beberapa minggu sampai beberapa bulan, seperti perselisihan
    perkawinan terus menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan,
    berpisah dengan keluarga, berpindah tempat tinggal, mempunyai
    penyakit kronis dan termasuk perubahan fisik, psikologis, sosial pada
    usia lanjut. Makin sering dan makin lama situasi stres, maka makin
    tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Stres yang berkepanjangan
    dapat mempengaruhi kemampuan untuk meyelesaikan tugas
    perkembangan. Ciri-cirinya yaitu sulit beraktivitas, gangguan
    hubungan sosial, sulit tidur, penurunan konsentrasi, takut tidak jelas,
    keletihan meningkat, tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana,
    gangguan sistem meningkat, perasaan takut meningkat (Sheila,2020).

Tahapan stres


Stres memiliki 6 tahapan, yaitu sebagai berikut:

  1. Stres tahap I
    Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan
    biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut:
    a) Semangat bekerja besar, berlebihan (overacting)
    b) Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasa
    c) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari
    biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan
    (allout) disertai rasa gugup yang berlebihan
    d) Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin
    bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi
    semakin menipis.
  2. Stres tahap II
    Dalam tahapan ini dampak stress yang semula “ menyenangkan”
    sebagaimana diuraikan pada tahap I diatas mulai menghilang, dan
    timbul kehilangan keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan
    energy tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu
    untuk istirahat.Istirahat antara lain dengan tidur dengan cukup
    dengan manfaat untuk mengisi atau memulihkan cadamgan
    energi yang mengalami pengurangan. Keluhan-keluhan yang sering
    dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah
    sebagai berikut:
    a) Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa
    segar
    b) Merasa mudah lelah sesudah makan
    siang c) Lekas merasa letih menjelang sore
    hari
    d) Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman
    e) Detakan jantung lebih keras saat biasanya (berdebar-debar)
    f) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa
    tegang
    g) Tidak bisa capek.
  3. Stres tahap III
    Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa
    menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stres
    tahap II diatas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-
    keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu:
    a) Gangguan lambung dan usus semakin nyata, misalnya
    keluhan seperti maag (gastritis), buang air besar tidak teratur (diare)
    b) Ketegangan otot-otot semakin terasa
    c) Perasaan ketidaktenangan dan emosional semakin
    meningkat d) Gangguan pola tidur (insomnia)
    e) Koordinasi tubuh terganggu (kepala terasa oyong dan serasa
    mau pingsan).
  4. Stres tahap IV
    Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri kedokter
    sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III diatas, oleh dokter
    dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik
    pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan bersangkutan terus
    memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala
    stres tahap IV akan muncul:
    a) Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat
    sulit
    b) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan
    mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit
    c) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi
    kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate)
    d) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-
    hari
    e) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi
    yang menegangkan
    f) Daya konsentrasi dan daya ingat menurun
    g) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak
    dapat dijelaskan apa penyebabnya.
  5. Stres tahap V
    Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam
    stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut:
    a) Kelelahan fisik dan mental semakin mendalam
    b) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari
    yang ringan dan sederhana
    c) Gangguan sistem pencernaan semakin
    berat
    d) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang
    semakin meningkat, mudah bingung dan panik.
  6. Stres tahap VI
    Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami
    serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang
    orang yang mengalami stres tahap IV ini berulang kali dibawa ke Unit
    Gawat Darurat (UGD) bahkan ke Intensive Coronary Care Unit
    (ICCU), meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan
    kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap IV ini adalah sebagai
    berikut:
    a) Debaran jantung teramat keras
    b) Susah bernafas (sesak dan megap-
    megap)
    c) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat
    becucuran
    d) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
    e) Pingsan

Gejala stres kerja


Gejala stres diungkapkan oleh (Antonius, 2020) dalam
Mahendra,Sheila Intan (2021) tentang gejala stres meliputi hal-hal sebagai
berikut:

  1. Gejala fisik
    Yang termasuk dalam gejala-gejala fisik diantaranya adalah detak
    jantung dan tekanan darah yang meningkat, sekresi adrenalin dan
    non adrenalin yang meningkat, muncul gangguan perut, timbul
    kelelahan fisik, kematian, munculnya penyakit kardiovaskular,
    munculnya masalah pernafasan, keluar keringat berlebihan, adanya
    gangguan kulit, sakit kepala dan gangguan tidur.
  2. Gejala mental
    Yang termasuk dalam gejala-gejala mental diantaranya adalah
    timbul kecemasan, ketegangan, kebingungan, mudah tersinggung,
    perasaan frustasi, marah, kesal, emosi menjadi sensitif, hiperaktif,
    perasaan menjadi tertekan, kemampuan berkomunikasi secara efektif
    menurun, menarik diri dan depresi, merasa terasingkan, bosan,
    mengalami ketidakpuasaan dalam bekerja, muncul kelelahan mental
    dan menurunnnya fungsi intelektual, kemampuan konsentrasi
    bekurang, spontanitas dan kreativitas menghilang, serta menurunnya
    harga diri.
  3. Gejala sosial atau perilaku
    Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku adalah bermalas-
    malasan dan berupaya menghindari pekerjaan, kinerja dan
    produktivitas kerja menurun, ketergantungan pada alkohol meningkat,
    melakukan sabotase pada pekerjaan, makan berlebihan sebagai upaya
    pelarian diri dari masalah, mengurangi makan sebagai bentuk perilaku
    penarikan diri dan mungkin berkombinasi dengan depresi, kehilangan
    selera makan dan menurunnya berat badan, meningkatnya perilaku
    beresiko tinggi, agresif, hubungan yang tidak harmonis dengan teman
    dan keluarga, kecenderungan untuk melakukan bunuh diri (Antonius,
    2020).

Jenis-jenis Stres


Menurut Asih, Widhiastuti dan Dewi (2018) mengutip dari
Berney dan Selye dalam Dewi (2012), mengungkapkan ada empat jenis
stres:

  1. Eustres (goodstres). Merupakan stres yang menimbulkan stimulus dan
    kegairahan, sehingga memiliki efek yang bermanfaat bagi individu
    yang mengalaminya. Contohnya seperti: tantangan yang muncul dari
    tanggung jawab yang meningkat, tekanan waktu dan tugas yang
    berkualitas tinggi.
  2. Distress. Merupakan stres yang memunculkan efek yang
    membahayakan bagi individu yang mengalaminya, seperti: tuntutan
    yang tidak menyenangkan atau berlebihan yang menguras energi
    individu sehingga membuatnya menjadi lebih mudah jatuh sakit.
  3. Hyperstress. Yaitu stres yang berdampak luar biasa bagi yang
    mengalaminya. Meskipun dapat bersifat positif atau negatif, tetapi stres
    ini tetap saja membuat individu terbatasi kemampuan adaptasinya.
    Contohnya adalah stres akibat serangan teroris.
  4. Hypostress. Merupakan stres yang muncul akibat kurangnya stimulasi.
    Contohnya seperti: stres karena bosan atau karena pekerjaan yang
    rutin

Konsep Stres Kerja


Stres adalah kondisi fisik dan psikologis yang disebabkan karna
adaptasi pada lingkungan (Musu, Murharyati dan Saelan, 2021).
sedangkan menurut. Stres adalah respon tubuh yang sifatnya non-spesifik
terhadap setiap rangsangan atau tekanan (Muafi, 2020), sedangkan stres
kerja menurut Badri (2020) adalah suatu bentuk tanggapan seseorang,
baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan dilingkungannya yang
dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah kemampuan diri
karyawan secara fisiologis maupun psikologis terhadap keinginan atau
permintaan organisasi yang dapat menyebabkan tekanan terhadap
produktivitas dan lingkunan kerja serta dapat mengganggu individu.

Dampak stres


Seperti yang dikatakan Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2003:303), stres
memiliki dampak yang bervariasi. Stres yang berdampak positif, seperti motivasi
diri dan stimulasi untuk memuaskan tujuan individu. Sedangkan stres yang
memiliki dampak negatif bersifat merusak, kontraproduktif dan bahkan secara
potensial berbahaya. Stres digolongkan menjadi 2 (dua jenis) berdasarkan
perbedaan model stres antara yang dihasilkan antara dan individu dan organisasi,
yaitu:

  1. Dampak Individu
    Dampak stres pada individu memiliki 4 (empat) sifat yaitu: bersifat kognitif,
    bersifat perilaku dan fisiologis.
    a. Bersifat kognitif
    Dampak stres yang bersifat kognitif mencakup konsentrasi yang buruk,
    ketidakmampuan untuk mengambil keputusan yang benar atau sama sekali
    tidak dapat mengambil keputusan, hambatan mental, dan penurunan tentang
    perhatian.
    b. Bersifat perilaku
    Seperti kecendrungan untuk mengalami kecelakaan, perilaku impulsif,
    penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang.
    c. Bersifat fisiologis
    Mencakup detak jantung yang meningkat, naiknya tekanan darah, keringat
    yang berlebihan, rasa panas dingin dan tingkat glukosa serta produksi gas
    asam lambung yang meningkat.
    Dalam dampak psikologis dikenal suatu istilah bernama burnout (Ivancevich,
    Konopaske dan Matteson, 2007:307). Burnout merupakan proses psikologis yang
    dihasilkan oleh stres pekerjaan yang tidak terlepaskan dan menghasilkan
    kelelahan emosi, perubahan kepribadian, dan perasaan pencapaian yang menurun.
    Burnout cenderung menjadi masalah tertentu di antara orang yang pekerjaannya
    memerlukan kontak yang mendalam dengan/atau memiliki tanggung jawab atas
    orang lain. Burnout berpusat pada profesi yang melayani masyarakat, dan individu
    yang berkomitmen pada pekerjaan mereka seperti guru, polisi, ahli terapi, dokter,
    pekerja sosial, petugas pengawasan pembebasan bersyarat dan lain-lain. 4 (empat)
    faktor yang pada umumnya merupakan kontributor penting terhadap burnout
    yaitu: tingkat beban kerja yang tinggi, pekerjaan (karir) yang buntu, birokrasi dan
    pekerjaan tulis menulis yang berlebihan, dan komunikasi serta umpan-balik yang
    buruk, terutama berkenaan dengan kinerja pekerjaan (Ivancevich, Konopaske dan
    Matteson, 2007:307).
    Menurut Luthans (2003:396) burnout is concerned, some stres researchers
    contend that burnout is a type of stres and others treat it as having a number of
    components. Menurut De Cenzo dan Robbins (1999:443) Faktor yang mendukung
    terjadinya burnout adalah karakteristik organisasi, persepsi organisasi,
    karakteristik individu dan akibat, organisasi mengurangi tingkat stres karyawan
    sebelum terjadi burnout dengan melakukan identifikasi, pencegahan, mediasi dan
    pemulihan.
  2. Dampak Organisasi
    Stres menyebabkan suatu organisasi mengeluarkan banyak uang. Organisasi harus
    menanggung biaya akibat dampak stres yang dialami karyawannya. Seperti klaim
    asuransi, biaya pengobatan, absen yang meningkat, sabotase dan waktu kerja yang
    hilang. Stres memiliki dampak yang dapat dilihat secara langsung maupun tidak
    langsung. Dampak stres pada pekerja dapat dilihat dari 3 (tiga) gejala, yaitu
    psikologis, phisiologis dan perilaku (Dessler, 2000:587).
    Menurut De Cenzo dan Robbins (1999:40) dikatakan bahwa secara psiologis
    adalah sakit kepala, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Dampak dari
    psikologis yang dialami seseorang yang mengalami stres adalah kegelisahan,
    depresi, dan menurunnya kepuasan kerja. Dan dampak terhadap organisasi adalah
    berupa produktivitas, beban pemeliharaan kesehatan, penurunan prestasi kerja
    secara kualitas dan kuantitas, kemangkiran dan turnover.

Faktor-faktor yang menyebabkan stres:


Menurut De Cenzo dan Robbins (1999:440) ada dua faktor yang mempengaruhi
stres, yaitu:

  1. Individual: faktor individual bisa disebut sebagai faktor pribadi atau internal
    seseorang. Meliputi masalah keluarga, masalah ekonomi dan masalah
    kepribadian karyawan.
  2. Organisasional: berhubungan langsung dengan pekerjaan individu tersebut.
    Seperti beban kerja, tuntutan tugas, waktu kerja, kompensasi, konflik antar
    karyawan dan lain-lain.
    Sedangkan menurut Robbins (2003: 578), kondisi-kondisi yang menyebabkan
    stres disebut stressor. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan stres, yaitu:
    a. Faktor Lingkungan
    Keadaan lingkungan yang tidak menentu dapat menyebabkan pengaruh
    pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam
    faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stres pada karyawan
    yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat membuat
    karyawan harus dapat beradaptasi mengimbangi keadaan tersebut, dimana ketiga
    hal tersebut membuat karyawan akan cepat mengalami stres. Hal ini dapat terjadi,
    misalnya perubahan teknologi yang sangat cepat.
    Perubahan yang baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan
    pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan
    dalam waktu yang cepat, sehingga karyawan mengalami tingkat kecemasan
    dikarenakan ancaman untuk tidak dipakai lagi tenaganya atau di PHK. Keadaan
    politik seperti pelanggaran UU No. 13 tahun 2003 yang berisi tentang paraturan
    terhadap tenaga kerja Indonesia. Contoh-contoh pelanggaran yang sering terjadi di
    Indonesia terutama wanita meliputi: perusahaan tidak menyediakan antar jemput
    bagi pekerja wanitanya, waktu bekerja melebihi 7 jam dalam 1 hari, kurangnya
    transparansi dalam pengupahan, tidak adanya jaminan kehidupan, tidak adanya
    perlindungan dan lain-lain. Sedangkan dalam indikator ekonominya, stres pekerja
    dipicu jika keadaan ekonomi tidak stabil. Keadaan ekonomi yang tidak stabil
    menimbulkan gejolak sosial yang membuat keadaan lingkungan sekitar menjadi
    tidak aman. Seperti terjadinya demo, tuntutan turunnya harga sembako yang
    menutup jalan umum sehingga para pekerja terhambat dalam menjalankan
    tugasnya.
    b. Faktor Organisasi
    Di dalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres, yaitu
    role demands (tuntutan peran), interpersonal demands (tuntutan antar
    perseorangan), interpersonal demands (struktur organisasi) dan organizational
    leadership (kepemimpinan organisasi).
    Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut:
  3. Role demands (tuntutan peran): Tuntutan peran memicu tekanan pada pekerja
    jika peran dan fungsi pekerja dalam pekerjaannya tidak jelas. Role conflicts
    (peran konflik) menimbulkan harapan-harapan yang mungkin susah untuk
    didamaikan. Role overload (peran berlebih) adalah berpengalaman ketika
    pekerja diminta untuk melakukan sesuatu yang lebih. Role ambiguity (peran
    ambigu) timbul saat pengharapan peran tidak dimengerti dan pekerja tidak
    yakin akan apa yang mereka lakukan (Robbins, 2003: 579).
  4. Interpersonal demands (tuntutan antar perseorangan): Tekanan yang
    diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi. (Robbins, 2003: 580).
    Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan
    karyawan lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat.
    Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan
    dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan
    pemikiran antara karyawan satu dengan karyawan lainnya.
  5. Interpersonal demands (struktur organisasi): Mengartikan tingkat perbedaan
    dalam organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi
    ketidakjelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan maka akan
    dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan dalam organisasi (Robbins,
    2003: 580).
  6. Organizational leadership (kepemimpinan organisasi): Berkaitan dengan
    peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi.
    Karakteristik pimpinan menurut The Michigan Group (Robbins, 2001: 316)
    dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau
    menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan
    karyawannya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau
    menekankan pada hal pekerjaan saja.
  7. Task demands (tututan tugas): Faktor-faktor yang berhubungan langsung ke
    pekerjaan yang meliputi desain pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan tata ruang
    pekerjaan. (Robbins, 2003: 579). Job design (desain pekerjaan) menurut
    Stoner, dkk (1996: 55) desain pekerjaan adalah pembagian kerja sebuah
    organisasi di antara para karyawannya. Sedangkan menurut James W. Walker
    (1992:261) work design involves specification of the activities, methodand
    relationship of jobs in order to satisfy performance requirement. Maksud dari
    dilakukannya desain pekerjaan adalah meningkatkan tantangan dan otonomi
    bagi karyawan yang melakukannya atau memberdayakan karyawan untuk
    melakukannya

Gejala-gejala Stres


Menurut Cooper dan Straw (1995:81) terdapat 3 (tiga) gejala stres secara umum,
yaitu:

  1. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab,
    merasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang
    tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.
  2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham,
    tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik,
    kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat
    keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan
    hilangnya minat terhadap orang lain.
  3. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan,
    cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel
    menjadi meledak-ledak.
    Serta gejala-gejala stres kerja yang biasa dialami karyawan dalam menjalankan
    tugasnya, yaitu:
  4. Kepuasan kerja rendah
  5. Kinerja yang menurun
  6. Semangat dan energi menjadi hilang
  7. Komunikasi tidak lancar
  8. Pengambilan keputusan jelek
  9. Kreatifitas dan inovasi kurang
  10. Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif (Cooper dan Straw, 1995:84)

Moderator Stres


Menurut Ivancevich, Matteson dan Konopaske (2007:309) suatu moderator adalah
suatu kondisi, perilaku, atau karakteristik yang mempengaruhi hubungan antara
kedua variabel. Dampaknya dapat memperlemah atau memperkuat hubungan
antar kedua variabel. Variabel-variabel tersebut berupa usia, jenis kelamin, dan
tingkat ketabahan. Tiga tipe moderator tersebut adalah:
a. Kepribadian
Istilah kepribadian merujuk pada serangkaian karakteristik, tempramen, dan
kecendrungan yang relatif stabil yang membentuk kemiripan dan perbedaan dalam
perilaku orang. 5 (lima) model kepribadian itu sendiri adalah:

  1. Extroversion adalah mereka lebih cenderung ramah, mudah bergaul, dan
    memiliki jaringan pertemanan yang lebih luas.
  2. Emotional stability adalah mereka yang lebih mungkin untuk mengalami
    mood positif dan merasa diri dan pekerjaan mereka baik-baik saja. Mereka
    cenderung tidak kewalahan oleh stres dan lebih cepat pulih dari stres.
  3. Agreeableness adalah mereka yang cenderung bersifat antagonis, tidak
    simpatik, dan bahkan kasar terhadap orang lain.
  4. Consientiousness adalah kepribadian yang cenderung mengarah pada kinerja
    dan keberhasilan seseorang. Semakin tinggi mereka memiliki nilai
    conscientiousness maka mereka tidak mengalami stres dalam pekerjaan. Dan
    sebaliknya, mereka yang memiliki nilai rendah dalam conscientiousness akan
    menerima sedikit penghargaan atau bahkan kurang berhasil dalam karir karena
    buruknya kinerja yang dimiliki.
  5. Openess to experience adalah mereka yang memiliki nilai tinggi dalam
    keterbukaan terhadap penalaman karena mereka lebih siap untuk memandang
    perubahan sebagai suatu tantangan dan bukan ancaman.
    b. Perilaku tipe A dan B
    Meyer Friedman dan Ray Rosenman adalah dua ahli kardiologi dan peneliti yang
    menemukan pola perilaku tipe A dan B. Pengertian dari pola perilaku A dan B
    adalah sebagai berikut:
  6. Pola perilaku A cenderung agresif, kompetitif, penuh energi, berbicara dengan
    meledak-ledak, secara kronik berusaha untuk menyelesaikan sesuatu sebanyak
    mungkin dalam waktu singkat, sibuk dengan tenggat waktu, berorientasi pada
    pekerjaan, tidak sabar, tidak suka menunggu karena menganggap itu adalah
    hal yang membuang waktu dan selalu berjuang dengan orang, hal dan
    peristiwa. Tipe perilaku A adalah ketidaksabaran dan keramahan. Dan
    cenderung mengalami serangan jantung koroner lebih banyak.
  7. Pola perilaku B memiliki sifat yang tidak termasuk dalam pola perilaku A.
    Pada umumnya tidak merasakan konflik yang menekan dengan waktu dan
    orang.
    c. Dukungan sosial
    Hubungan sosial yang dimiliki individu dengan orang lain baik secara kualitas
    maupun kuantitas memiliki dampak penting yang potensial. Dukungan sosial
    didefinisikan rasa nyaman, bantuan atau informasi yang diterima seseorang
    melalui kontak formal dan informal dengan individu atau kelompok, serta
    berbentuk dukungan emosi (mengekspresikan kekhawatiran, meningkatkan harga
    diri, mengindikasikan kepercayaan dan mendengarkan); dukungan penilaian
    (menyediakan umpan balik dan afirmasi); dan dukungan informasi (memberikan
    saran, memberikan nasehat dan pengarahan)

Jenis-jenis Stres


Stres menurut Luthans (2002: 396) jika diidentifikasi menurut dampak yang di
timbulkan memiliki dua jenis, yaitu:

  1. Eustress: stres yang memberikan dampak yang positif. Contohnya jika
    seseorang mengalami Eustress maka tidak ada perubahan yang menurun pada
    fisik dan psikologisnya. Semangat untuk mendapatkan yang diharapkannya
    meningkat.
  2. Disstress: stres yang memberikan dampak yang negatif. Contohnya jika
    seseorang mengalami Disstress maka keadaan fisik dan psikologisnya
    menurun, dan semangat kerja menurun.

Pengertian Stres Kerja


Stres merupakan suatu kondisi yang menekan suatu keadaan psikis seseorang
dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut
terdapat batasan atau penghalang (Robbins, 2001:563). Pendapat Robbins
mengartikan bahwa stres terjadi di saat seseorang mengalami gangguan pada
keadaan psikologisnya jika dalam mewujudkan yang diharapkannya mengalami
masalah. Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stressor psikososial
(tekanan mental atau beban). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk
menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai
berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres. Konteks yang
menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres
semua seperti suatu sistem (www.club sehat.com). Jika dilihat dari berbagai
pengertian stres tersebut menyimpulkan bahwa tubuh manusia akan mengalami
respon jika mendapat suatu tekanan atau beban yang berlebihan. Stres yang
diterima mempengaruhi perilaku dan keadaan tubuh yang memburuk.
Sedangkan Charles D, Spielberger (dalam llandoyo, 2001:63) menyebutkan
bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang,
misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif
adalah berbahaya. Stres juga bisa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau
gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Dari
pengertian tersebut mengartikan bahwa stres berasal dari lingkungan sekitar kita
yang tidak menyenangkan dan membuat kita tertekan. Menurut Ivancevich,
Matteson dan Konopaske (2007:295), stres adalah respon adaptif, dimoderasi oleh
perbedaan individu yang merupakan konsekuensi setiap tindakan, situasi atau
peristiwa dan yang menempatkan tuntutan khusus terhadap seseorang. Menurut
Sweeney dan Macfarlin (2002:253) menjelaskan the term stres is easier to
experience than it is to plain to define. We say this because we’ve all felt pressure,
demains and strains that seems to go hand-in-hand without job. So, at a personal
level we all what stres is. Berdasarkan definisi tersebut menjelaskan bahwa stres
diartikan sebagai tekanan, ketegangan dan gangguan dari lingkungan eksternal
seseorang.

HUBUNGAN STRES KERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN


Stres dapat mengakibatkan dampak positif dan negatif terhadap kinerja karyawan.
Pada saat tingkat stres yang dialami karyawan rendah dan tidak ada stressor sama
sekali, karyawan akan cenderung bekerja pada tingkat prestasi yang akan dicapai.
Stres dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi atau dorongan seseorang untuk
meningkatkan kinerja. Ketika stres mengalami peningkatan sampai tingkat yang
tinggi, kinerja akan semakin menurun disebabkan orang tersebut akan menggunakan
tenaganya untuk mengatasi stres daripada untuk melakukan tugasnya. Veithzal
Rivai (2004) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia untuk
Perusahaan, menyatakan bahwa :Stress adalah suatu kondisi ketergantungan yang
menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi
proses berpikir dan kondisi seorang karyawan, stresss terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan.
Hal ini sudah dibuktikan oleh (Prasetio, 2020) pada penelitiannya dengan judul
Pengaruh Stres Kerja Dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan pada tahun
2020 yang menunjukkan hasil bahwa Stres kerja karyawan pada perusahaan Telkom
Witel Jakarta Utara masuk dalam kategori rendah. Hasil ini dapat dilihat melalui hasil
tanggapan responden mengenai stres kerja karyawan terhadap pekerjaannya. Akan
tetapi perusahaan Telkom Witel Jakarta Utara tetap perlu mengelola stres kerja
karyawan dengan baik agar tidak ada hambatan dalam pekerjaan yang dilakukan
karyawan dan berdampak pada hal lainnya.

Indikator Kinerja Karyawan


Bagi pengelola perusahaan atau organisasi, indikator kinerja karyawan adalah
hal yang sangat penting. Indikator ini berperan penting dalam menentukan kualitas
dan kuantitas dari kinerja karyawan. Indikator kinerja karyawan digunakan sebagai
indikator yang mengukur kinerja karyawan secara individual. Menurut (Robbins P.
S., 2012) terdapat 6 indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja
karyawan, antara lain:Mutu kinerja karyawan diukur dari kualitas dan kesempurnaan
dari tugas terhadap keahlian karyawan. Indikator ini sangat penting untuk suatu
kemajuan atau kemunduran posisi suatu perusahaan atau organisasi

  1. Kuantitas. Kuantitas merupakan jumlah kinerja yang dihasilkan oleh seorang
    karyawan. Jumlah kinerja dapat diukur sesuai dengan target ketika
    perencanaan deskripsi kerja. Sehingga pengukuran kuantitas kinerja akan
    lebih mudah dilakukan oleh pengelola perusahaan atau organisasi.
  2. Ketepatan Waktu. Ketepatan waktu merupakan hal penting dalam kinerja.
    Indikator yang satu ini menjadi kunci yang penting dari ketepatan sebuah
    target.
  3. Efektivitas Penggunaan Sumber Daya. Selain kualitas, kuantitas, dan
    ketepatan waktu, pengelola perusahaan atau organisasi juga dapat menjadi
    efektivitas penggunaan sumber daya sebagai indikator kinerja karyawan.
    Semakin karyawan efektif dalam menggunakan sumber daya seperti tenaga,
    uang, teknologi, dan bahan baku kemudian kinerja yang dihasilkan semakin
    baik maka kinerja karyawan tersebut dapat dikatakan baik. Efektivitas
    penggunaan sumber daya sangat berpengaruh terutama dalam
    mengoptimalkan sumber daya yang ada serta menghasilkan kinerja yang
    maksimal demi pencapaian target perusahaan atau organisasi.
  4. Kemandirian. Kemandirian juga ternyata penting dalam penilaian indikator
    kinerja. Karyawan yang mandiri tidak akan merepotkan rekan kerjanya.
    Namun meski kemandirian penting, tuntutan akan kemampuan bekerja dalam
    tim juga tidak boleh diabaikan. Sehingga faktor yang satu ini dapat dijadikan
    salah satu indikator untuk mengukur kinerja karyawan.
  5. Berkomitmen. Komponen yang satu ini sangat menentukan motivasi
    karyawan untuk melakukan pekerjaannya. Karyawan yang berkomitmen
    cenderung akan lebih termotivasi dan memiliki rasa bertanggung jawab untuk
    mengerjakan pekerjaannya dengan baik

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan


Menurut (Sutrisno, 2016) faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu:

  1. Efektivitas dan Efesiensi
    Dalam hubungannya dengan kinerja organisasi, maka ukuran baik buruknya
    kinerja diukur oleh efektivitas dan efesiensi. Dikatakan efektif bila mencapai tujuan,
    dikatakan efesien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan,
    terlepas dari apakah efektif atau tidak.
  2. Otoritas dan Tanggung Jawab
    Dalam organisasi yang baik wewenang dan tanggung jawab telah
    didelegasikan dengan baik, tanpa adanya tumpang-tindih tugas. Masingmasing
    karyawan yang ada dalam organisasi mengetahui apa yang menjadi haknya dan
    tanggung jawab dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kejelasan wewenang dan
    tanggung jawab setiap orang dalam suatu organisasi akan mendukung kinerja
    karyawan tersebut.
  3. Displin
    Secara umum, displin menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat pada diri
    karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan. Displin meliputi ketaatan dan
    hormat terhadap perjanjian yang dibuat antara perusahaan dan pegawai.
  4. Inisiatif
    Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide
    untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi

Penilaian Kinerja Karyawan


(Robbins P. S., 2012) menyatakan bahwa penilaian kinerja terdiri dari:
1) Pendekatan sikap, pendekatan ini menyangkut penilaian terhadap sifat atau
karakteristik individu.
2) Pendekatan perilaku, melihat bagaimana orang berperilaku. Kemampuan orang
untuk bertahan meningkat apabila penilaian kinerja didukung oleh tingkat perilaku
kerja.
3) Pendekatan hasil, perilaku memfokuskan pada proses, pendekatan hasil
memfokuskan pada produk atau hasil usaha seseorang atau yang diselesaikan
individu.
4) Pengekatan kontingensi, pendekatan ini selalu dicocokkan dengan situasi tertentu
yang sedang berkembang. Pendekatan sikap cocok ketika harus membuat keputusan
promosi untuk calon yang mempunyai pekerjaan tidak sama

Jenis-Jenis Kinerja


Berbagai macam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan tentunya
membutuhkan kriteria yang jelas, karena masing-masing pekerjaan tentunya
mempunyai standar yang berbeda-beda tentang pencapaian hasilnya. Menurut Kasmir
(2016) menyebutkan dalam praktiknya kinerja dibagi ke dalam dua jenis yaitu kinerja
individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu merupakan kinerja yang dihasilkan
oleh seseorang, sedangkan kinerja organisasi merupakan kinerja perusahaan secara
keseluruhan.

Pengertian Kinerja Karyawan


Suatu organisasi perusahaan didirikan karena mempunyai tujuan tertentu yang
ingin dan harus dicapai. Dalam mencapai tujuannya setiap organisasi di pengaruhi
perilaku organisasi. Salah satu kegiatan yang paling lazim di lakukan dalam
organisasi adalah kinerja karyawan, yaitu bagaimana ia melakukan segala sesuatu
yang berhubungan dengan sesuatu pekerjaan atau peranan dalam organisasi.
Pengertian kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan visi dan misi organisasi yang di tuangkan melalui perencanaan strategi
suatu organisasi. Arti kata kinerja berasal dari taka-kata job performance dan di sebut
juga actual performance atau prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang telah di
capai oleh seseorang kariyawan (Moeheriono, 2012) Pengertian kinerja karyawan
atau defisi kinerja atau performance sebagai hasil kinerja yang dapat dicapai oleh
seseorang aau kelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif, sesuai dengan kewewenangan, tugas dan tanggung jawab masing-
masing dalam upaya mencapai tujmuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan moral ataupun etika (Moeheriono., 2010)
Kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian suatu
pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
tuijuan, visi dan misi organisasi yang di tuangkangan melalui perencanaan suatu
strategi organisasi.
Sebenarnya kinerja merupakan sutu konstruk, dimana banyak para ahli yang
masih memilkisudut pandang yang berbeda dalam mendefinisikan kinerja, seperti
yang di kemukakan oleh (Robbins S. P., 2010). Mengemukakan bahwa kinerja
sebagai fungsi interaksi anatra kemampuan dan ability (A) Motivasi atau Motivation
(M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kenerja = f (AxMxO). Artinya
kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesmpatan.
Kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok
dalam suatu kegiatan organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk
mencapai tujuan organisasi dalam periode tertentu. Fungsi kegiatan atau pekerjaan
yang dimaksud disini ialah pelaksanaan hasil pekerjaan atau kegiatan seseorng atau
kelompok yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya dalam suatu organisasi.
Pelaksanaan hasil pekerjaan/prestasi kerja tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan
organisasi dalam jangka waktu tertentu (Pabundu, 2012)

Indikator – Indikator Motivasi Kerja


Indikator motivasi kerja menurut (Mangkunegara A. A., 2009) adalah:

  1. Tanggung jawab yaitu memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi terhadap
    pekerjaannya
  2. Prestasi kerja yaitu melakukan sesuatu/pekerjaan dengan sebaik-baiknya
  3. Peluang untuk maju dan keinginan mendapatkan upah yang adil sesuai dengan
    pekerjaan
  4. Pengakuan atas kinerja yang diwujudkan dengan keinginan mendapatkan
    upah lebih tinggi dari biasanya

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja


(Fredick Hezberg, 2013) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
Motivasi kerja :

  1. faktor intrinsic, yaitu: a) pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih
    (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain
    (ricognition), tanggung jawab (responsible).
  2. Faktor extrinsic yaitu : a) gaji, b) kondisi lingkungan kerja c) Gaji

Jenis – Jenis Motivasi Kerja


Menurut (Hasibuan M. , 2013), terdapat dua jenis motivasi kerja, yaitu:

  1. Motivasi positif. Dalam motivasi positif pimpinan memotivasi (merangsang)
    bawahan dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi di atas
    prestasi standar, dengan motivasi positif ini semangat kerja bawahan akan
    meningkat. Insentif yang diberikan kepada karyawan di atas standar dapat
    berupa uang, fasilitas, barang, dan lain-lain.
  2. Motivasi negatif. Dalam motivasi negatif, pimpinan memotivasi dengan
    memberikan hukuman bagi mereka yang bekerja di bawah standar yang
    ditentukan. Dengan motivasi negatif semangat bawahan dalam jangka waktu
    pendek akan meningkat karena takut dihukum, tetapi untuk jangka waktu
    yang panjang dapat berakibat kurang baik.
    Menurut (Wibiasuri, 2014), terdapat tiga jenis bentuk motivasi kerja, yaitu:
  3. Materiil insentif. Alat motivasi yang diberikan itu berupa uang atau barang
    yang memiliki nilai pasar, jadi memberikan kebutuhan ekonomis. Misal:
    kendaraan, rumah dan lain-lainnya.
  4. Non-materiil insentif. Alat motivasi yang diberikan berupa barang/benda yang
    tidak ternilai, jadi hanya memberikan kepuasan/kebanggaan rohani saja,
    Misalnya: medali, piagam, bintang jasa dan lain-lainnya.
  5. Kombinasi materiil dan non materiil insentif. Alat motivasi yang diberikan itu
    berupa materiil (uang atau barang) dan non materiil /medali dan piagam) jadi
    memenuhi kebutuhan ekonomis dan kepuasan/kebanggaan rohani.

Pengertian Motivasi Kerja


Proses sebagai langkah awal seseorang melakukan tindakan akibat kekurangan
secara fisik dan psikis atau dengan kata lain adalah suatu dorongan yang ditunjukan
untuk memenuhi tujuan tertentu (Fred Luthans, 2012). Motivasi Kerja adalah kondisi
yang berpengaruh dalam membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku
yang berhubungan dengan lingkungan kerja. (McCormick, 2012).
Motivasi Kerja memiliki arti sebagai sikap mental dan keadaan kejiwaan
manusia yang memberikan energi, menggerakkan/mendorong kegiatan dan
mengarah/menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi
kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan (Steiner dan barelson, 2012). Motivasi
Kerja merupakan daya pendorong yang mengakibatkan seorang karyawan mau dan
rela untuk menggerakkan kemampuan dalam membentuk keahlian dan keterampilan
tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi
tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan
dan berbagai sasaran perusahaan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2012).
Motivasi Kerja adalah sesuatu yang mendorong seseorang (baik berasal dari
dalam maupun dari luar diri seseorang), sehingga seseorang tersebut akan memiliki
semangat, keinginan dan kemauan yang tinggi serta akan memberikan kontribusi
yang sebesar besarnya demi keberhasilan mencapai tujuan bersama. Motivasi
merupakan suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk
melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ketercapainya tujuan tertentu, jika
brrhasil dicapai, akan memuaskan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut
(Munandar, 2010).
Motivasi merupakan pemberian atau penimbulan motif, dan hal atau keadaan
yang menimbulkan motif, jadi motivasi kerja merupakan sesuatu yang menimbulkan
semangat atau dorongan kerja, dimana kuat atau lemahnya motivasi kerja seorang
tenaga kerja ikut menbentukan besar kecil prestasi (Wexley, 2012) Motivasi adalah
karakteristik psikologis pada aktifitas manusia untuk memberi kontribusi berupa
tingkat komitmen seseorang termasuk faktor-faktor yang menyebabkan, menyalurkan
dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu untuk mencapai
keinginan. Aktifitas yang dilakukan adalah aktifitas yang bertujuan agar terpenuhi
keinginan individu.
Menurut (Siagian S. P., 2011), motivasi kerja sebagai daya dorong barang
untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya demi keberhasilan organisasi
mencapai tujuannya, dengan pengertian bahwa tercapainya tujuan organisasi berarti
tercapai pula tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkutan. Sementara
(Robbins S. , 2012) mengatakan motivasi kerja sebagai kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi kearah tujuan–tujuan organisasi, yang
dikondisikan oleh kemampuan upaya tersebut untuk memenuhi suatu kebutuhan
individu. Motivasi kerja merupakan suatu modal dalam menggerakkan dan
mengarahkan para karyawan atau pekerja agar dapat melaksanakan tugasnya masing–
masing dalam mencapai sasaran dengan penuh kesadaran, kegairahan dan
bertanggung jawab (Hasibuan M. , 2013). Motivasi merupakan kegiatan yang
mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara perilaku manusia. Motivasi ini
merupakan subjek yang penting bagi manajer, karena manajer harus bekerja dengan
dan melalui orang lain. Manajer perlu memahami orang-orang yang berperilaku
tertentu agar dapat mempengaruhinya untuk bekerja sesuai dengan yang diinginkan
organisasi (Handoko T. H., 2014)

Indikator Stress Kerja


Indikator adalah variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan
ata kemungkinan dilakukan pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
dari waktu ke waktu. Menurut (Robbins P. S., 2017)menyatakan bahwa terdapat tiga
dimensi dan indikator yaitu sebagai berikut:

  1. Stres Lingkungan.
    Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain organisasi, sehingga
    ketidakpastian menjadi beban tersendiri bagi karyawan, terutama saat
    perubahan organisasi berlangsung. Dimensi lingkungan adalah ketidakpastian
    ekonomi , ketidakpastian teknologi dan ketidakpastian politik menyebabkan
    stres kerja karena karyawan merasa tenaganya tidak lagi dibutuhkan.
  2. Stres Organisasi.
    Dimensi organisasi berkaitan dengan situasi dimana karyawan
    mengalami tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan pribadi. Tuntutan tugas
    berkaitan dengan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan membuat
    karyawan merasa kelelahan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tuntutan
    peran berkaitan dengan tekanan-tekanan yang dialami karyawan ketika
    menyelesaikan pekerjaannya. Tuntutan pribadi berkaitan kelompok kerja tidak
    memberikan bantuan teknis jika diperlukan.
  3. Stres Individu.
    Dimensi ini mengenai kehidupan pribadi masing-masing karyawan.
    adalah masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi dan kepribadian
    karyawan

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja


Menurut (Luthans, 2014)ada beberapa penyebab stres kerja:

  1. Stres Ekstraorganisasi. Stres ekstra-organisasi adalah faktor penyebab stres yang
    berasal dari luar perusahaan yaitu mencakup hal seperti di bawah ini:
  2. Perubahan sosial. Perubahan sosial secara umum diartikan sebagai suatu
    proses pergeseran atau berubahnya struktur atau tatanan di dalam
    masyarakat meliputi, kenyamanan dalam lingkungan, pola pikir yang lebih
    inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan
    yang lebih bermanfaat.
  3. Kesulitan menguasai globalisasi. Proses integrasi internasional yang terjadi
    karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek
    kebudayaan lainnya. Dukungan keluarga. Secara umum diakui bahwa
    keluarga mempunyai dampak besar terhadap tingkat stres seseorang.
    Situasi keluarga baik krisis singkat, seperti pertengkaran atau sakit anggota
    keluarga, atau relasi buruk dengan orangtua, pasangan, atau anak-anak
    dapat bertindak sebagai stressor yang signifikan pada karyawan.
  4. Stres organisasi. Selain stressor potensial yang terjadi di luar organisasi,
    terdapat juga stressor organisasi yaitu penyebab stres yang berasal dari
    organisasi itu sendiri. Sering kali perusahaan mengalami intervensi
    perubahan dalam strategi bisnis mereka untuk bersaing dengan perusahaan
    lain, maka ada beberapa akibat yang sering pula timbul ketika perusahaan
    mengalami intervensi.
  5. Stres kelompok. Stressor kelompok dapat di kategorikan menjadi dua area, yaitu:
    1) Rekan kerja yang tidak menyenangkan. Karyawan sangat di pengaruhi oleh
    dukungan anggota kelompok yang kohesif. Dengan berbagi masalah dan
    kebahagiaan bersama-sama, mereka jauh lebih baik. Jika hubungan antar
    rekan kerja ini berkurang pada individu, maka situasi akan ini akan
    membuat stress
    2) Kurangnya kebersamaan dengan rekan kerja. Dengan terjadinya kurang
    kebrsamaan maka pimpinan dapat membahas kohesivitas atau
    “kebersamaan” merupakan hal penting pada karyawan, terutama pada
    tingkat organisasi yang lebih rendah. Jika karyawan tidak mengalami
    kesempatan kebersamaan karena desain kerja, karena di batasi, atau karena
    ada anggota kelompok yang menyingkirkan karyawan lain, kurangnya
    kohesivitas akan menyebabkan stres.

Pengertian Stres kerja


Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan saat menghadapi
pekerjaan (Mangkunegara, 2013). Orang-orang yang mengalami stres menjadi
nervous dan merasakan kekuatiran kronis sehingga mereka sering menjadi marah-
marah, agresif, tidak dapat relaks, atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif
(Hasibuan M. S., 2012)
Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi proses
berpikir, emosi, dan kondisi seseorang, hasilnya stres yang terlalu berlebihan dapat
mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan dan pada akhirnya
akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya (Handoko T. H., 2012) Stres kerja bisa
dipahami sebagai keadaan dimana seseorang menghadapi tugas atau pekerjaan yang
tidak bisa atau belum bisa dijangkau oleh kemampuannya (Sasono, 2014). Jika
kemampuan seseorang baru sampai angka 5 (lima) tetapi menghadapi pekerjaan yang
menuntut kemampuan dengan angka 9 (sembilan), maka sangat mungkin sekali orang
itu akan terkena stres kerja.
Orang-orang yang mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran
kronis sehingga mereka sering menjadi marah-marah, agresif, tidak dapat relaks, atau
memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif (Hasibuan M. S., 2012). Stres yang tidak
bisa diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan orang berinteraksi
sevara positif dengan lingkungannya, bauk dalam lingkungan pekerjaan maupun
lingkungan luarnya. Artinya, karyawan yang bersangkutan akan mengalami berbagai
gejala negative yang pada gilirannya akan berpengaruh pada prestasi kerja

Pengaruh Stres dan Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Guru


Kinerja guru merupakan hasil atau taraf kesuksesan yang dicapai seorang
guru dalam bidang pekerjaannya menurut kriteria tertentu dan dievaluasi oleh
lembaga pimpinan pendidikan terutama kepala sekolah. Kinerja guru juga dapat
ditunjukkan dari beberapa besar kompetensi-kompetensi yang dipersyaratkan
dipenuhi. Lingkungan kerja kondusif yang memberikan rasa aman dan
memungkinkan para guru untuk dapat bekerja optimal dapat mempengaruhi emosi
pegawai, jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana ia bekerja, maka
guru tersebut akan betah di tempat bekerjanya untuk melakukan aktivitas,
sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif dan optimal prestasi kerja guru
juga tinggi.

Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Guru


Lingkungan kerja yang sejuk dan harmonis akan memberikan gairah dan
inspirasi dalam bekerja. Lingkungan kerja yang kondusif membuat hubungan
dengan sesama guru terjalin lebih baik. Baiknya komunikasi ini ditandai dengan
adanya rasa saling percaya untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik, bekerja
sama dalam pelaksanaan kegiatan untuk menciptakan suasana yang lebih baik
kedepannya. Lingkungan kerja yang baik dilihat dari beberapa faktor seperti,
keamanan pada saat bekerja dan hubungan sesama rekan kerja maupun atasan
sehingga menghasilkan kinerja yang efisien (Mamesah, Kawet, & Lengkong,
2016)

Pengaruh Stres Kerja terhadap Kinerja Guru


Harahap (2019) menyatakan stres yaitu suatu keadaan internal yang
ditimbulkan oleh adanya tuntutan fisik atau disebabkan oleh lingkungan dan
situasi sosial yang dinilai membahayakan tidak terkontrol atau mengancam
keberdayaan diri seseorang. Stres dalam kehidupan seseorang merupakan hal yang
baik tapi akan menimbulkan masalah bila stres berlebihan. Stres pada guru
mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti tidak sabaran, baik
dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas, lekas marah, sensitif
atau mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang konsentrasi dalam mengajar,
pelupa, peka terhadap kritik yang ditujukan pada dirinya, atau bisa muncul efek
organisatoris/kelembagaan yaitu sering absen (tidak masuk) kerja dengan berbagai
alasan, menghindari tanggung jawab, produktivitas kerja/mengajar rendah atau
turun, dan justru sering dihinggapi rasa benci terhadap pekerjaan sebagai gejala
yang ekstrim

Faktor yang Mempengaruhi Kinerja


Tolak ukur dari kinerja adalah tuntutan pekerjaan yang menggambarkan
hasil kerja yang ingin dicapai. Seseorang guru yang professional dan memiliki
kinerja tinggi seharusnya mempunyai sikap positif terhadap pekerjaaan yang
dihadapi, sikap tersebut misalnya disiplin, suka bekerja dengan sungguh-sungguh,
menjaga kualitas kerjanya, bertanggung jawab, berdedikasi tinggi, bermotivasi
tinggi dan sebagainya (Wibowo, 2020). Banyaknya faktor yang mempengaruhi
kinerja individu diuraikan Indarti dkk., (2014) dengan mengelompokkan beberapa
variabel seperti berikut:
1) Variabel individu: kemampuan, keterampilan, latar belakang dan demografis.
2) Variabel psikologi: kepribadian, persepsi, motivasi dan kepuasan kerja.
3) Variabel organisasi: kepemimpinan, imbalan, lingkungan dan budaya
organisasi

Pengertian Kinerja Guru


Kinerja Guru pada dasarnya merupakan kinerja atau unjuk kerja Juhji,
2017). “Prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya” (Mangkunegara, 2016). Kualitas kinerja guru
akan sangat menentukan pada kualitas hasil pendidikan (Wijiyono, 2019), karena
guru merupakan pihak yang paling banyak bersentuhan langsung dengan siswa
dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan Sekolah.
Kinerja guru merupakan hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman, kesungguhan, dan penggunaan waktu. Kinerja guru akan baik jika
guru telah melaksanakan unsur-unsur yang terdiri atas kesetiaan dan komitmen
yang tinggi pada tugas mengajar, menguasai dan mengembangkan bahan
pelajaran, kedisiplinan dalam mengajar, kreativitas dalam pelaksanaan
pengajaran, kerjasama dengan semua warga di sekolah, kepemimpinan yang
menjadi panutan siswa, serta tanggung jawab terhadap tugasnya (Janah, Akbar, &
Yetti, 2020).
Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi anak didik (Rusdinal
& Afriansyah, 2018). Kinerja guru dapat diartikan sebagai tampilan prestasi kerja
guru yang ditunjukan atau hasil yang dicapai oleh guru atas pelaksanaan tugas
profesional dan fungsionalnya dalam pembelajaran yang telah ditentukan pada
kurun waktu tertentu. Kinerja guru dapat digambarkan sebagai tugas yang
dilakukan oleh seorang guru pada periode tertentu dalam sistem sekolah untuk
mencapai tujuan organisasi (Adeyemi, 2016: 2).
Kinerja guru adalah keberhasilannya melaksanakan pengajaran yang baik
dan benar, sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang bermutu (beriman,
berilmu dan beramal). Kinerja guru adalah kunci utama pendidikan. Baiknya
kinerja guru menjelaskan semua aspek pendidikan dilaksanakan dengan baik dan
benar dan penuh tanggung jawab, sehingga dampaknya adalah perubahan sikap,
perilaku, cara berpikir dan berbicara siswa, semua hal tersebut adalah esensi dari
pendidikan bermutu (Sopandi, 2019).
Agar guru mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab di atas, maka
guru dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan
keterampilan adalah bagian dari kompetensi profesionalisme guru (Khasanah,
Kristiawan & Tobari, 2019). Kompetensi adalah sebuah kemampuan yang mutlak
dimiliki oleh guru, sehingga menjadi pekerjaannya sebagai seorang pendidik bisa
dilakukan dengan baik. Tugas guru adalah terkait erat dengan peningkatan sumber
daya manusia melalui sektor pendidikan (Irmayani, Wardiah, & Kristiawan, 2018;
Tobari dkk., 2018; Fitria, Mukhtar, & Akbar, 2017; Fitria, 2018). Oleh karena itu
perlu meningkatkan kualitas guru menjadi profesional. Penilaian kinerja penting
dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan kinerja guru itu sendiri dan untuk
sekolah dalam hal menyusun ulang rencana atau yang baru strategi untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional (Lian, Kristiawan, & Fitriya, 2018).
Menurut Susanto (2016: 188), “kinerja guru adalah kemampuan yang
ditunjukkan oleh guru dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya”. Menurut
Supardi (2016: 54), “kinerja guru adalah kemampuan seorang guru dalam
melaksanakan tugas pembelajaran dan bertanggung jawab atas peserta didik di
bawah bimbingannya dengan meningkatkan prestasi belajar peserta didik”.
Sejalan dengan pandapat ini, berdasarkan suatu diagaram kinerja dari Coquitt,
Jefferry, & Michael, (2015: 8) dapat dijelaskan bahwa “secara garis besar kinerja
dipengaruhi oleh empat komponen, yaitu; mekanisme individual, karakteristik
individu, mekanisme kelompok, dan mekanisme organisasi”. Selanjutnya kinerja
seseorang secara langsung dipengaruhi oleh faktor kepuasan kerja (job
satisfaction) dan motivasi (motivation), sementara secara tidak langsung dapat
dipengaruhi oleh budaya organisasi dan kepemimpinan.
Lamatenggo (2014) menyatakan bahwa “kinerja adalah aktivitas seseorang
dalam melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepadanya”. Menurut
Mulyasa (2015) “kinerja guru adalah kegiatan guru dalam mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya”. Sementara Supardi (2016) menyatakan bahwa “kinerja guru
merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran di
madrasah/sekolah dan bertanggungjawab atas peserta didik di bawah
bimbingannya dengan meningkatkan prestasi belajar peserta didik”.
Guru merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan
pendidikan (Khasanah, dkk., 2019: 11). Tugas pokok seorang guru yang menjadi
28
rutinitas adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, mengevaluasi,
melatih dan mengadministrasi dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta
didik (Naydenova & Naydenova, 2016). Hal ini berarti kinerja guru secara
langsung mempengaruhi kualitas pendidikan disetiap negara (Nousiainen,
Kangas, Rikala, & Vesisenaho, 2018). Rendah atau tingginya kinerja guru
dipengaruhi oleh beragam faktor, diantaranya efektifitas kepemimpinan,
komitmen tugas dan lingkungan kerja (Purwoko, 2018). Guru yang memiliki
komitmen tinggi biasanya akan lebih disiplin, rasa memiliki sebagai bagian dari
sekolah dan semangat dalam bekerja (McInerney, dkk., 2015).
Guru harus memiliki komitmen terhadap organisasi, sehingga mampu
menghadirkan semangat visi dan misi organisasi dalam mengemban tugas dan
tanggung jawab yang dipercayakan di sekolah (Yucel & Bektas, 2012). Komitmen
dalam organisasi, diharapkan bukan hanya persoalan tuntutan tetapi suatu dimensi
yang perlu dijaga dengan baik melalui keteladanan pimpinan, terciptanya iklim
organisasi yang kondusif maupun sikap saling percaya. Situasi dan kondisi dari
organisasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen guru
terhadap tugas. Situasi dan kondisi organisasi yang dimaksud seperti karakteristik
dari struktrur organisasi, tingkat kepercayaan, sistem pemberian penghargaan dan
pengambilan keputusan antara pimpinan dan guru (Toom, Pietarinen, Soini, &
Pyhältö, 2017). Apabila dari karakteristik organisasi ini ada yang tidak terpenuhi,
hal tersebut akan menyebabkan rendahnya komitmen guru terhadap tugas dalam
organisasi

Pengertian Kinerja


Definisi kinerja adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan,
kemampuan kerja. Kinerja diberi pengertian “sebagai perilaku nyata yang
ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan
sesuai dengan perannya dalam perusahaan” (Nguyen, Yandi, & Mahaputra, 2020:
646). Pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa karyawan yang bekerja sesuai
peran dan fungsinya dalam suatu organisasi akan menghasilkan prestasi kerja
melalui serangkaian proses perilaku antara orang yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian kinerja juga dapat dimaknai sebagai sesuatu yang benar-benar
dilakukan orang dalam organisasi yang dapat diamati oleh orang lain.
Kata kinerja adalah terjemahan dari bahasa inggris, yaitu performance.
Kata performence berasal dari kata to perform yang artinya menampilkan atau
melaksanakan. Performance berarti penampilan kerja. Kinerja merupakan suatu
wujud perilaku seseorang atau organisasi dengan orientasi prestasi. Kinerja
merupakan konsep yang bersifat tentang operasional suatu organisasi, bagian
organisasi, serta karyawannya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Organisasi pada dasarnya terapkan oleh manusia, maka kinerja
sesungguhnya merupakan perilaku menjalankan perannya dalam organisasi untuk
memenuhi standar yang telah ditetapkan agar dapat membuahkan tindakan serta
hasil yang diinginkan.
Pengertian kinerja berawal dari kata job performance atau actual
performance. Ia menekankan bahwa kinerja adalah kerja secara kualitas dan
kuantitas; yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Widodo, Romsi, &
Murni, 2020: 66). Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, berdasarkan kecakapan,
pengalaman, kesungguhan, dan waktu. Hasil kerja atau prestasi itu merupakan
gabungan dari tiga faktor terdiri dari: (a) minat dalam bekerja, (b) penerimaan
delegasi tugas, dan (c) peran dan tingkat motivasi seorang pekerja (Zulkarnaen,
Supriyati, & Sudiarditha, 2020: 175). Semakin tinggi/baik ketiga faktor tersebut
dalam bekerja maka akan semakin besar/baik prestasi kerja atau kinerja seorang
pekerja/karyawan.
Suminah & Roshayanti (2020: 170); Prabasari, Martini, & Suardika,
(2018: 2) menyatakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah hasil secara kualitas
dan kuatitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Efriyanti, Arafat,
Wahidy, (2021: 4) menyatakan bawha kinerja adalah hasil yang dicapai dari suatu
pekerjaan yang dilaksanakan guru sebagai pengelola proses belajar mengajar
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Riyadi & Mulyapradana (2017: 1)
menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh individu atau
kelompok dalam suatu organisasi sesuai dengan tanggung jawab yang telah
diberikan kepadanya dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
organisasi tersebut.
Melalui definisi dan uraian tentang kinerja di atas, dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya kinerja adalah sesuatu yang dapat dilihat atau diamati.
Perbedaannya adalah jika kinerja yang merujuk sebagai hasil dapat dilihat melalui
kuantitas suatu produk/barang dalam unit tertentu. Kemudian kinerja yang
merujuk sebagai perilaku dapat dilihat melalui pengamatan atau observasi yang
bersifat kualitatif. Perilaku orang atau pegawai dalam bekerja dapat berupa
tindakan, ucapan, sikap, dan perilaku yang sesuai dengan tujuan dan misi
organisasi.

Dimensi Lingkungan Kerja


Menurut Sedarmayanti (2017) beberapa indikator dari lingkungan kerja
yaitu: penerangan, suhu udara, sirkulasi udara, ukuran ruang kerja, tata letak
ruang kerja, privasi ruang kerja kebersihan, kebersihan, suara bising, penggunaan
warna, dan peralatan kerja. Menurut penelitian Noviyanto & Yuniati (2015)
terdapat 7 indikator lingkungan kerja yaitu:
1) Penerangan
Cahaya disini sangat penting bagi dunia kerja, terutama bagi karyawan hal
ini sangat dibutuhkan demi kelancaran dan keselamatan pada waktu bekerja.
Penerangan yang terang tetapi tidak menyilau ini sangat dibutuhkan.
2) Suhu Udara
Pertukaran udara yang cukup akan memberi kesegaran fisik para
karyawan, karena apabila ventilasinya cukup, maka kesehatan para karyawan
akan terjamin.
3) Suara Bising
Merupakan suatu gangguan terhadap seseorang karena adanya kebisingan,
maka kosentrasi dalam bekerja akan terganggu. Terganggunya konsentrasi ini,
maka pekerjaan yang dilakukan akan menimbulkan kesalahan atau kerusakan.
4) Warna
Merupakan faktor yang paling penting untuk memperbesar efesiensi kerja
para pegawai. Khususnya warna akan mempengaruhi keadaan jiwa mereka.
Dengan memakai warna yang tepat pada dinding ruangandan alat-alat lainnya,
kegembiraan dan ketenangan bekerja para pegawai akan terpelihara.
5) Ruang Gerak
Merupakan penataan yang ada di dalam ruang kerja yang bisa
mempengaruhi kenyamanan karyawan dalam bekerja.
6) Keamanan
Jaminan terhadap keamanan menimbulkan ketenangan. Keamanan akan
keselamatan diri sendiri sering ditafsirkan terbatas pada keselamatan kerja,
padahal lebih luas dari itu termasuk disini keamanan milik pribadi karyawan dan
juga kontruksi gedung tempat mereka bekerja. Keamanan akan menimbulkan
ketenangan yang akan mendorong karyawan dalam bekerja.
7) Hubungan Antar Atasan dan Karyawan
Hubungan berlangsung secara serasi dan bersifat kekeluargaan.
Manajemen haruslah menciptakan hubungan antar personal dalam perusahaan
dengan baik dan dengan rasa kekeluargaan yang tinggi. Contohnya dengan
melakukan kegiatan bersama. Hubungan yang baik antar karyawan akan
membantu perusahaan dalam menciptakan suasana kerja yang harmonis dan
kondusif dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan

Indikator yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja


Indikator yang mempengaruhi lingkungan kerja agar tercapai lingkungan
kerja yang baik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: a) Hubungan
karyawan, b) Tingkat kebisingan lingkungan kerja, c) Peraturan kerja d)
Penerangan, e) Sirkulasi udara, f) Keamanan (Sunyoto, 2018).
Menurut Wahida (2019) faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan
kerja adalah:
1) Fasilitas kerja, lingkungan kerja yang kurang mendukung pelaksanaan
pekerjaan ikut menyebabkan kinerja yang buruk seperti kurangnya alat kerja,
ruang kerja pengap, fentilasi yang kurang serta prosedur yang tidak jelas.
2) Gaji dan tunjangan, gaji yang tidak sesuai dengan harapan pekerja akan
membuat pekerja setiap saat melirik pada lingkungan kerja yang lebih
menjamin pencapaian harapan kerja.
3) Hubungan kerja, kelompok kerja dengan kekompakan dan loyalitas yang
tinggi akan meningkatkan produktivitas kerja, karena antara satu pekerja
dengan pekerja lainnya akan saling mendukung pencapaian tujuan dan atau
hasil

Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan sebagian dari komponen yang sangat penting
ketika guru melakukan aktivitas bekerja. Lingkungan kerja adalah segala sesuatu
yang ada di sekitar guru dan yang mempengaruhi dirinya dalam menjalankan
tugas-tugas yang dibebankan. Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat
penting untuk diperhatikan manajemen. Menurut Sedarmayanti (2017),
lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi,
lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta
pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok.
Lingkungan kerja diartikan sebagai suatu kondisi yang berkaitan dengan
ciri-ciri tempat bekerja terhadap perilaku dan sikap pegawai dimanahal tersebut
berhubungan dengan terjadinya perubahan-perubahan psikologis karena hal-hal
yang dialami dalam pekerjaannya atau dalam keadaan tertentu yang harus terus
diperhatikan oleh organisasi yang mencakup kebosanan kerja, pekerjaan yang
monoton dan kelelahan (Schultz, 2016).
Meskipun lingkungan kerja tidak melaksanakan proses produksi dalam
suatu perusahaan, namun lingkungan kerja mempunyai pengaruh lansung
terhadap para karyawan yang melaksanakan proses produksi tersebut. Lingkungan
kerja adalah suasana dimana karyawan melakukan aktivitas setiap harinya
19
(Karina, Gadzali, & Budiarti, 2020). Lingkungan kerja adalah segala sesuatu (fisik
dan non fisik) yang ada di sekitar para karyawan yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang dibebankan
(Nurhayati, Minarsih, & Wulan, 2016). Hal ini mengakibatkan lingkungan atau
tempat kerja dapat menyebabkan stres kerja. Work environment fit approach
considers that “employee feels job stress when they have poor fit with the working
environment (Singh & Nayak, 2015).
Lingkungan kerja yang nyaman mengakibatkan pegawai akan semangat
untuk bekerja dan sebaliknya, lingkungan kerja yang tidak memuaskan dapat
menurunkan semangat kerja dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja
pegawai serta dapat memicu stres kerja (Dhermawan, Sudibya, IGA, & Utama,
2012). Dinsar (2021) menjelaskan lingkungan kerja yang baik adalah yang aman,
bersih, tidak bising, terang dan bebas dari segala macam ancaman dan gangguan
yang dapat menghambat karyawan untuk bekerja secara optimal. Lingkungan
kerja yang kondusif akan membawa dampak baik bagi kelangsungan karyawan
bekerja, sebaliknya, lingkungan kerja yang kurang kondusif akan membawa
dampak negatif bagi kelangsungan karyawan bekerja.
Wijaya dan Susanty (2017) menjelaskan lingkungan kerja adalah segala
yang berada di sekitar karyawan yang mempengaruhi dirinya dalam menjalankan
dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dalam suatu wilayah.
Lingkungan kerja yang kondusif, akan membentuk karyawan terkait sifat dan
perilakunya. Lingkungan kerja fisik dapat merubah dan membentuk perilaku 
karyawan yang terdapat di dalamnya karena adanya interaksi dan usaha bertahan
dalam lingkungan tersebut (Anita, dkk., 2021)

Indikator Stres Kerja


Sofiana, dkk. (2020) menyatakan indikator stres kerja dapat dibagi
menjadi tiga aspek yaitu:
1) Indikator pada psikologis meliputi: Cepat tersinggung, tidak komunikatif,
banyak melamun dan lelah mental.
2) Indikator pada fisik meliputi: Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah,
mudah lelah secara fisik, pusing kepala, problem tidur.
3) Indikator pada prilaku meliputi: Merokok berlebihan, menunda atau
menghindari pekerjaan, perilaku sabotase dan perilaku makan yang tidak
normal.
Indikator dari stres kerja menurut Robbins (2006) yaitu:

  1. Tuntutan tugas merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang
    seperti kondisi kerja, tata kerja letak fisik. Tugas dan tanggung jawab yang
    dibebankan kepada pegawai terlalu berlebihan
  2. Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang
    sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam suatu
    organisasi.
  3. Tuntutan antar pribadi merupakan tekanan yang diciptakan oleh pegawai.
    Hubungan kerja sama antar pegawai, dan hubungan pegawai dengan pimpinan.
  4. Struktur organisasi merupakan pengakuan organisasi akan adanya kebutuhan
    untuk mengkoordinasikan pola interaksi para anggota organisasi secara formal.
  5. Kepemimpinan organisasi Memotivasi, memimpin, dan tindakan-tindakan
    lainnya yang melibatkan interaksi dengan orang lain.
    Pendapat lain menurut Nasution (2017) bahwa stres kerja dipengaruhi
    oleh:
    1) Job content (uraian pekerjaan) seperti, bekerja secara berlebihan, pekerjaan
    yang rumit, pekerjaan yang monoton, terlalu banyak tanggung jawab,
    ketidakjelasan peran.
    2) Working conditions (kondisi kerja) seperti, kondisi kerja yang buruk, tingkat
    kebisingan, menuntut kerja secara fisik.
    3) Employment conditions (kondisi pegawai) seperti: gaji rendah, prospek karir
    yang rendah, kontrak kerja yang fleksibel, ketidakamanan pekerjaan.
    4) Social relations at work (hubungan sosial di tempat kerja) seperti: gaya
    kepemimpinan yang buruk, kurangnya dukungan sosial, kurangnya partisipasi
    dalam mengambil keputusan, hak, diskriminasi.

Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja


Sofiana, Wahyuarini, & Noviena., (2020) mendefinisikan faktor-faktor
yang mempengaruhi stress kerja ada enam yaitu: 1) Kekhawatiran finansial, 2)
Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak, 3) Masalah-masalah fisik, 4)
Masalah-masalah perkawinan (misalnya perceraian) 5) Perubahan-perubahan
yang terjadi di tempat tinggal, 6) Masalah-masalah pribadi lainnya seperti
kematian sanak saudara. Penyebab stres kerja, antara lain beban kerja yang
dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja
yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang
berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara
pegawai yang frustasi dalam bekerja (Mangkunegara, 2016).
Nasution (2017) menyatakan bahwa stres disebabkan karena
berlebihannya beban kerja, perusahaan memberi tekanan yang tinggi, target tidak
terpenuhi, dan kurang konsentrasi dalam bekerja. Aamodt (Parwoto, 2017)
menyatakan ada tujuh sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya stress
kerja yaitu:
1) Tuntutan atau tekanan dari atasan.
2) Ketegangan dan kesalahan.
3) Menurunnya tingkat interpersonal.
4) Perbedaan konsep pekerjaan dengan atasan.
5) Ketersediaan waktu yang tidak proporsional untuk menyelesaikan pekerjaan.
6) Jumlah pekerjaan yang berlebihan.
7) Tingkat kesulitan pekerjaan

Pengertian Stres Kerja


Istilah stres berasal dari bahasa Inggris Stres. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia stres diartikan dengan gangguan atau kekacauan mental dan
emosional yang disebabkan oleh faktor luar; ketegangan. Stres adalah suatu
kondisi ketegangan yang menciptakan adanya keseimbangan fisik, yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang (Muslim, 2020).
Stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal mengenai seseorang, misalnya objek-
objek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara objektif adalah
berbahaya. Stres juga bisa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan
tidak menyenangkan yang berasal dari luar seseorang.
Ramadhan & Prasetio (2020) menyatakan “stres adalah suatu keadaan
yang menekan diri dan jiwa seseorang di luar batas kemampuannya, sehingga jika
terus dibiarkan tanpa ada solusi maka ini akan berdampak pada kesehatannya”.
Stres yang dibiarkan pasti akan secara langsung mempengaruhi kemampuan
pegawai dalam menjalankan pekerjaannya, dan secara langsung juga akan
memberikan dampak negatif bagi perusahaan. Hanifa & Oktafani (2019)
menjelaskan bahwa stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami pegawai
dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja ini tampak dari tampilan diri, antara
lain, emosi yang tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur,
merokok yang berlebihan, tidak bisa relaks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah
meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan.
Siagian (2015) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi ketegangan
yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik seseorang. Stres
mengakibatkan seseorang mengalami kelelahan kerja yang kemudian berlanjut
pada kelelahan emosionalnya dan akan berpengaruh pada kelelahan secara fisik.
Pegawai yang mengalami stres kerja akan menampakkan diri pada berbagai
perilaku yang tidak normal seperti gugup, tegang, selalu cemas, gangguan
pencernaan, dan tekanan darah tinggi. Pengaruh gejala-gejala tersebut dapat
terlihat pada kondisi mental tertentu seperti sukar tidur, sikap tidak bersahabat,
putus asa, mudah marah, sukar mengendalikan emosi dan bersifat agresif.
Mangkunegara (2016) mendefinisikan stres adalah perasaan tertekan yang
dialami seseorang pegawai dalam menghadapi pekerjaan yang dapat
mengakibatkan emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, menyendiri, sulit tidur.
Pendapat lain dikemukakan oleh Saraswati & Subudi (2017) stres adalah suatu
kondisi dinamis dimana seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau
sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang
hasilnya dipandang tidak pasti dan penting.
Sengkey, Roring, & Dotulong., (2017) mendefinisikan stres merupakan
suatu kondisi keadaan seseorang mengalami ketegangan karena adanya kondisi
yang mempengaruhinya, kondisi tersebut dapat diperoleh dari dalam diri
seseorang maupun lingkungan di luar diri seseorang. Hasibuan (2012),
berpendapat bahwa stres kerja suatu kondisi yang mempengaruhi emosi, proses
berfikir dan kondisi seseorang, orang yang stres menjadi nervous dan merasakan
kekhawatiran kronis.
Menurut Robbins (2008:368). Stres kerja merupakan kondisi dinamis
seorang individu dihadapkan dalam kesempatan, keterbatasan, atau tuntutan
sesuai dengan harapan dan hasil yang ingin dicapai dalam kondisi penting dan
tidak menentu. Stres merupakan isu utama yang menjadi perhatian karena telah
menjadi bagian dari kehidupan pegawai dan sulit untuk menghindari stres dari
pekerjaan (Parvaiz, Batool, Khalid, Aftab Farooqi., 2015)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tipe Kepribadian Hardiness


Williams (dalam Kardum, Knezevic dan Krapic, 2012), menjelaskan
bahwa sejak penelitian yang dilakukan oleh Kobasa pada tahun 1979, beberapa
penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa kepribadian tangguh berhubungan
dengan kesehatan fisik dan mental. Kepribadian tangguh juga membantu
mengurangi respon cardiovascular terhadap stres. Individu yang hardiness
akan lebih sehat secara fisik dan mental karena adanya komitmen, kontrol, dan
tantangan. Individu mempunyai penilaian yang lebih positif terhadap kejadian-
kejadian dalam hidup yang menekan daripada individu yang kurang tangguh.
Individu mampu melakukan tindakan langsung untuk mengatasi kejadian-
kejadian hidup dan mampu mengambil nilai-nilai dari kejadian tersebut untuk
masa yang akan datang.
Selain itu, individu yang tangguh akan menunjukkan penggunaan
strategi coping yang efektif dan aktif, seperti problem focused coping yaitu
mengatasi masalah dengan mempelajari cara-cara, keterampilan-keterampilan
yang baru, dan usaha mencari dukungan sosial. Mereka jarang menggunakan
strategi coping yang berupa penghindaran diri dari masalah. Jika individu
berada dalam situasi yang diduga tidak dapat diubah atau keadaan stressful,
maka beberapa individu menggunakan problem focused coping dengan
memegang teguh potensi kontrol. Lain halnya dengan Emotional focused
coping, coping tersebut biasa digunakan oleh individu yang tidak
berkepribadian tangguh, dimana individu tersebut hanya menerima dan
merasakan akibat dari kejadian-kejadian hidup karena menganggap situasi
tersebut sudah tidak dapat diantisipasi. Peran afektif sangat berpengaruh agar
dapat menerima perubahan dengan lapang dada.
Menurut Maddi dan Kobasa (dalam Soderstrom, Dolbier, Leiferman
dan Steinhardt, 2000), pada umumnya individu menghadapi kejadian yang
penuh stres akan menggunakan 2 macam cara, yaitu transformational coping
dan regressive coping. Transformational coping merupakan mekanisme coping
yang efektif untuk menghadapi stres. Individu mempunyai sikap yang optimis
dan secara aktif berinteraksi dengan kejadian yang penuh stres, sehingga
kejadian tersebut menjadi berkurang kadar stresnya. Sikap optimis tersebut
akan menurunkan ketegangan dengan cara menetralkan kejadian-kejadian
tersebut. Dengan tindakan yang tegas, mereka benar-benar mengubah situasi di
sekeliling, sehingga lamanya kejadian yang menimbulkan stres tersebut
menjadi pendek. Dengan cara ini intensitas dan lamanya ketegangan dikurangi
dengan cara mengubah stresor ke dalam bentuk-bentuk yang tidak lagi
mengandung stres. Transformational coping ini lebih efektif daripada
regressive coping.
Regressive coping merupakan cara-cara kurang efektif karena individu
merasa pesimis dan melakukan tindakan-tindakan pengelakan untuk
menghindari kontak dengan stres. Pada individu yang menggunakan cara-cara
coping ini tidak ada usaha untuk mengubah dan mengendalikan kejadian-
kejadian yang dapat menimbulkan stres. Mereka lebih bersikap pasif dan
merasa tidak berdaya karena perasaan aman mereka terancam. Regressive
coping tidak dapat mengurangi intensitas dan tidak dapat membatasi jangka
waktu suatu kejadian menimbulkan stres, sehingga dapat dikatakan bahwa
regressive coping bukanlah cara yang efektif untuk melindungi diri dari
ketegangan.
Lazarus dan Folkman (dalam Golby dan Sheard, 2004), menyatakan
bahwa kepribadian tangguh sebagai penahan stres diasumsikan sebagai hasil
dari proses kognitif yang adaptif. Individu dengan kepribadian tangguh
merespon stresor dengan kognisi yang positif atau dengan penilaian yang
didasarkan pada tingkat ancaman yang menyerang dan kemampuan mereka
untuk melakukan coping secara efektif. Di lain pihak, individu yang tidak
kepribadian tangguh diasumsikan merespon kejadian yang sama dengan
kognisi yang kurang positif dan dengan pikiran yang lebih negatif.
Dikemukakan juga oleh Silver dan Wortman (dalam Allred dan Smit,
1989) bahwa individu yang menilai situasi negatif yang dihadapinya sebagai
suatu hal yang positif akan mempunyai tingkat stres yang lebih rendah.
Penelitian yang dilakukan di Birmingham melibatkan 373 mahasiswa terdiri
dari 163 laki – laki dan 210 wanita yang mengikuti kursus di Universitas
Alabama Birmingham. Partisipan diminta untuk mengisi kuesioner kurang dari
1 jam. Peneliti menggunakan seriousness of illness rating scale, life
experiences survey, dan fitness questionnare.
Berdasarkan analisis persamaan struktural dinyatakan bahwa
kepribadian tangguh dapat mempengaruhi kesehatan secara tidak langsung.
Tidak terdapat efek langsung pada kesehatan terhadap partisipasi latihan
fitness. Tipe kognisi dari kepribadian tangguh seperti yang dikemukakan di
atas memang ada. Individu dengan kepribadian tangguh lebih cenderung
menerima kejadian-kejadian dalam hidupnya sebagai sesuatu yang positif dan
mereka mampu mengontrolnya dibandingkan dengan individu yang tidak
kepribadian tangguh, walaupun keduanya mengalami kejadian yang sama-sama
mengancam (Rhodewalt dan Agustdotter dalam Auliya dan Darmawanti,
2014).

Aspek-Aspek Tipe Kepribadian Hardiness


Beberapa studi ditemukan hubungan dari tiga aspek yang membangun
kepribadian tangguh (Kobasa dalam Kardum, Knezevic dan Krapic, 2012).
a. Komitmen
Komitmen adalah kecenderungan untuk aktif melibatkan diri ke dalam
kegiatan, mudah tertarik dalam kegiatan apapun, menuntun diri untuk
memberikan arti pada setiap kejadian dan tidak akan mudah menyerah pada
tekanan.
b. Kontrol
Kontrol merupakan kecenderungan untuk menerima pengalaman dengan
hal-hal yang tidak terduga. Orang-orang yang memiliki kontrol yang kuat
akan selalu lebih optimis dalam menghadapi masalah-masalah, memiliki
inisiatif dan independensi.
c. Tantangan
Tantangan adalah kecenderungan untuk memandang sesuatu perubahan
dalam hidupnya sebagai sesuatu yang wajar, memandang perubahan itu
sebagai stimulus yang sangat berguna bagi perkembangan, memandang
hidup sebagai suatu tantangan yang menyenangkan dan individu yang
mempunyai tantangan yang kuat adalah orang-orang yang dinamis dan
memiliki kemampuan dan keinginan untuk maju yang kuat.
Bower (dalam Auliya & Darmawanti, 2014) mengungkapkan 3 aspek
umum orang yang memiliki kepribadian hardiness yaitu:
a. Percaya bahwa mereka bisa mengendalikan dan mempengaruhi peristiwa
yang terjadi dalam hidupnya
b. Memiliki perasaan yang dalam atau rasa komitmen yang tinggi terhadap
semua kegiatan yang ada dalam hidupnya
c. Menganggap perubahan sebagai kesempatan untuk berkembang menjadi
lebih baik.

Pengertian Tipe Kepribadian Hardiness


Tipe kepribadian yang mempunyai kemampuan dan daya tahan
terhadap stres adalah kepribadian tangguh (hardiness atau hardy personality)
yang merupakan gagasan konsep dari Kobasa (dalam Soderstrom, Dolbier,
Leiferman dan Steinhardt, 2000). Kepribadian tangguh adalah karakteristik
kepribadian yang mempunyai fungsi sebagai sumber perlawanan pada saat
individu menemui suatu kejadian yang menimbulkan stres.
Individu dengan kepribadian tangguh menyukai kerja keras karena
dapat menikmati pekerjaan yang dilakukan, membuat suatu keputusan dan
melaksanakannya karena memandang hidup ini sebagai suatu yang harus
dimanfaatkan dan diisi agar mempunyai makna. Individu yang tangguh sangat
antusias menyongsong masa depan karena perubahan-perubahan dalam
kehidupan dianggap sebagai suatu tantangan dan sangat berguna untuk
perkembangan. Disebutkan bahwa tipe kepribadian tangguh ini menunjukkan
adanya komitmen, kontrol, dan tantangan. Secara teoritis gabungan dari ketiga
aspek ini merupakan undimensional dan merupakan satu faktor (Funk dan
Houston dalam Allred dan Smit, 1989).
Menurut Kardum, Knezevic dan Krapic (2012) komitmen, kontrol dan
tantangan akan memelihara kesehatan seseorang walaupun berhadapan dengan
kejadian-kejadian yang secara umum dianggap sebagai kejadian yang
menimbulkan stres. Secara lebih spesifik pentingnya kepribadian tangguh
adalah bahwa orang-orang yang memiliki perasaan komitmen, kontrol, dan
tantangan yang kuat cenderung untuk bereaksi kejadian yang penuh stres
dengan cara yang lebih menyenangkan dibandingkan individu yang
mempunyai komitmen, kontrol, dan tantangan yang rendah. Individu yang
mempunyai kecenderungan kepribadian tangguh yang kuat akan melakukan
tindakan-tindakan yang langsung untuk mengetahui kejadian-kejadian dalam
hidup dan dimasukkannya ke dalam kehidupan individu serta belajar dari
kejadian-kejadian tersebut, baik nilai ataupun kegunaannya. Lebih jauh lagi
individu akan melakukan tindakan yang efektif, menggunakan strategi coping
yang aktif seperti problem focused coping
Individu yang mempunyai kecenderungan kepribadian tangguh yang
kuat akan melakukan tindakan-tindakan yang langsung untuk mengetahui
kejadian-kejadian dalam hidup dan dimasukkannya ke dalam kehidupan
individu serta belajar dari kejadian-kejadian tersebut, baik nilai ataupun
kegunaannya. Lebih jauh lagi individu akan melakukan tindakan yang efektif,
menggunakan strategi coping yang aktif seperti problem focused coping
(Shepperd dan Kashani, 1991).
Kepribadian tangguh merupakan prediktor penahan stres diasumsikan
sebagai hasil dari proses kognitif yang adaptif. Individu dengan kepribadian
tangguh merespon stresor dengan kognisi yang positif atau dengan penilaian
yang didasarkan pada tingkat ancaman yang menyerang dan kemampuan
mereka untuk melakukan coping secara efektif. Di lain pihak, individu yang
tidak memiliki kepribadian tangguh diasumsikan merespon kejadian yang
sama dengan kognisi yang kurang positif dan dengan pikiran yang lebih
negatif. Dikemukakan juga oleh Soderstrom, Dolbier, Leiferman dan
Steinhardt (2000) bahwa individu yang menilai situasi negatif yang
dihadapinya sebagai suatu hal yang positif akan mempunyai tingkat stres yang
lebih rendah.

Kepribadian dalam Tinjauan Teori Trait


Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk
memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori
trait. Teori trait merupakan sebuah model untuk mengidentifikasi trait-trait
dasar yang diperlukan untuk menggambarkan suatu kepribadian. Trait di
definisikan sebagai suatu dimensi yang menetap dari karakteristik kepribadian,
hal tersebut yang membedakan individu dengan individu yang lain (Feldman,
2004).
Menurut Pervin, Cervone dan John (2010), trait merupakan pola yang
konsisten sebagai cara individu dalam berperilaku, berasa dan berpikir.
Definisi ini mempunyai tiga fungsi utama yaitu; digunakan untuk meringkas,
memprediksi dan menjelaskan perilaku individu. Sementara itu Larsen dan
Buss (2001), mendefinisikan trait sebagai atribut dari seseorang yang
merupakan karakteristik dari seseorang dan relatif bertahan dari waktu ke
waktu. Para ahli teori trait beranggapan bahwa semua diaplikasikan bervariasi
dan dapat dikuantifikasikan.
Teori trait (trait theories) memiliki beberapa istilah menurut ahlinya
yaitu yang dikemukakan oleh Allport (dalam Alwisol, 2012), kepribadian
adalah organisasi dinamik dalam sistem psikofisik individu yang menentukan
penyesuaian yang unik dengan lingkungannya. Suatu fenomena dinamik yang
memiliki elemen psikologik dan fisiologik, yang berkembang dan berubah,
yang memainkan peran aktif dalam berfungsinya individu. Trait individual
merupakan manifestasi trait umum pada diri seseorang, sehingga selalu unik
bagi orang itu, konstruk yang membimbing, mengarahkan, dan memotivasi
tingkah laku serta penyesuaian yang khas.
Tinjauan psikologi konstitusi menurut Sheldon (dalam Alwisol, 2012),
berakar pada faktor biologi manusia, namun tidak berarti dia menolak adanya
kekuatan lingkungan dan pengalaman masa lalu manusia dalam membentuk
tingkah laku. Sheldon mengakui pentingnya pengalaman sosial tetapi
memutuskan untuk secara sadar dan sengaja mengadopsi premis yang radikal
(bahwa struktur biologis menjadi penentu utama tingkah laku). Sheldon
menamakan penelitian mengenai bentuk dan ukuran tubuh manusia sebagai
psikologi statis atau morfologi (yaitu keseimbangan alamiah antara komponen-
komponen bentuk dan struktur manusia). Menurutnya pemahaman mengenai
konstruksi atau susunan tubuh manusia, dapat dipakai sebagai jalan untuk
memahami bagaimana dinamika manusia (atau bagaimana manusia itu
bergerak, merasa, berfikir dan bertingkah laku)
Teori faktor yang dikemukakan oleh Cattell (dalam Alwisol, 2012), trait
adalah elemen dasar dari kepribadian yang berperan vital dalam usaha
meramalkan tingkah laku. Menurut Cattell kepribadian adalah struktur
kompleks dari traits yang tersusun dalam berbagai kategori yang
memungkinkan prediksi tingkah laku seseorang dalam situasi tertentu yang
mencakup seluruh tingkah laku, baik yang kongkrit maupun yang abstrak
simpulan
Teori-teori sifat ini juga dikenal sebagai teori-teori tipe (type theories)
yang menekankan aspek kepribadian yang bersifat relatif stabil atau menetap.
Teori-teori ini menyatakan bahwa manusia memiliki sifat atau sifat-sifat
tertentu, yakni pola kecenderungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu.
Sifat-sifat yang stabil ini menyebabkan manusia bertingkah laku relatif tetap
dari situasi ke situasi. Pandangan Eysenck (1980) yang luas dan menyeluruh
mengenai kepribadian terjadi pada kenyataan saat ini dan banyak pendapat
yang mengandung persamaan dengan berbagai defenisi

Pengertian Kepribadian


Istilah kepribadian berasal dari kata persona yang artinya topeng, istilah
ini dipakai oleh bangsa Yunani Kuno untuk menyembunyikan identitas aktor
dalam pementasan drama, kemudian diambil alih oleh bangsa Roma, dan
muncul istilah modern personality atau kepribadian (Hurlock, 2004). Menurut
Alwisol (2012), kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem psikofis
yang menentukan penyesuaian diri yang unik dari individu terhadap
lingkungannya. Istilah psikofisis menunjuk pada anggapan bahwa perilaku
manusia maupun pikirannya adalah hasil dari suatu kesatuan yang tidak bisa
dipisah-pisahkan meskipun dapat dibedakan. Kesatuan ini terdiri dari apa yang
disebut aspek psikis (jiwa) dan aspek jasmaniah (fisik) dan apa yang
terorganisir ialah kebiasaan-kebiasaan, refleks-refleks, sikap-sikap dan nilai-
nilai yang dianutnya.
Allport (dalam Barrick dan Ryan, 2003), juga menginterprestasikan
kepribadian sebagai suatu organisasi yang dinamik dalam diri individu yang
merupakan sistem psikopysikal, yaitu suatu mekanisme psikologis yang
menentukan penyesuaian diri individu dalam perilaku secara unik terhadap
lingkungan. Definisi ini menekankan pada atribut eksternal seperti peran
individu dalam lingkungan sosial, penampilan individu, dan reaksi individu
terhadap orang lain.
Pervin, Cervone dan John (2010), mendefinisikan kepribadian sebagai
karakteristik dari seseorang sebagai hasil dari pola yang konsisten dalam
merasakan, berpikir dan berperilaku. Feist dan Feist (2006), mendefinisikan
kepribadian sebagai sebuah pola yang relatif menetap, trait, disposisi atau
karakteristik didalam individu yang memberikan beberapa ukuran yang
konsisten tentang perilaku.
Menurut Eysenck (1980), pembentukan maupun perkembangan
kepribadian manusia, selain ditentukan oleh faktor hereditas, biologis atau
genetik, juga dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam teori kepribadian terdapat
dua perspektif hereditas dan lingkungan. Faktor hereditas mengemukakan
bahwa kepribadian individu ditentukan oleh faktor-faktor biologis dan genetic,
seperti tipe atau konstitusi tubuh dan susunan hormon. Sedangkan faktor
lingkungan adalah segenap faktor yang terdapat dari luar individu atau yang
berasal dari lingkungan dimana individu itu berada, yang selalu memberikan
pengaruh terhadap individu semenjak dimulainya kehidupan seperti lingkungan
alam, kelas sosial, pola asuh dan sosial budaya.
Allport (dalam Alwisol, 2012), mengatakan bahwa kepribadian adalah
organisasi dinamis dari sistem psikofisik individu dalam menghadapi situasi
dengan cara-cara yang khusus. Larsen dan Buss (2001), mengatakan bahwa
kepribadian adalah sekelompok karakteristik dan kecenderungan yang stabil,
yang menentukan persamaan dan perbedaan dalam perilaku psikologi (pikiran,
perasaan, dan tindakan) individu yang mempunyai kesinambungan dengan
waktu dan tidak mudah dipahami sebagai hasil dari tekanan sosial dan biologis
dalam saat tertentu.
Pendapat lain yang mengemukakan tentang definisi kepribadian adalah
Eysenck (1980), yang mengatakan bahwa kepribadian merupakan organisasi
dari sekumpulan ciri sifat yang saling berinteraksi dan akan menentukan
kecenderungan individu untuk melakukan perilaku tertentu. Kepribadian juga
didefinisikan sebagai karakteristik psikologis yang mempengaruhi dan
mencerminkan individual differences dan kepribadian itu bersifat konsisten dan
menetap.

Dampak Stres Kerja


Golizek (dalam Amiruddin dan Ambarini, 2014), menambahkan bahwa
stres akan memicu timbulnya :

  1. Acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar
  2. Menurunnya prestasi
  3. Kelelahan
  4. Kebosanan
  5. Tidak puas dengan pekerjaan
  6. Kurang peka terhadap lingkungan

Dampak Stres Kerja


Golizek (dalam Amiruddin dan Ambarini, 2014), menambahkan bahwa
stres akan memicu timbulnya :

  1. Acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar
  2. Menurunnya prestasi
  3. Kelelahan
  4. Kebosanan
  5. Tidak puas dengan pekerjaan
  6. Kurang peka terhadap lingkungan

Tahapan Stres Kerja


Emberg (dalam Rahardjo, 2014), membagi tahapan stres sesuai dengan
hasil penelitian sebagai berikut :

  1. Tahap I
    Tahap ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai
    dengan perasaan berikut :
    a. Semangat bekerja besar
    b. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya
    c. Merasa mampu menyelasaikan pekerjaan lebih dari biasanya\
    d. Merasa senang dengan pekerjaannya dan semakin bertambah
    semangat.
  2. Tahap II
    Dampak stres yang semula tampak menyenangkan pada stres tahap I mulai
    menghilang dan menimbulkan keluhan yang disebabkan cadangan energi tidak
    lagi cukup, karena kurangnya waktu istirahat sebagai berikut :
    a) Merasa letih sewaktu bangun pagi
    b) Merasa mudah lelah sewaktu makan siang
    c) Lekas merasa letih menjelang sore hari
    d) Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman
    e) Detak jantung lebih keras dari biasanya
    f) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang
    g) Tidak bisa santai
  3. Tahap III
    a. Gangguan usus dan lambung semakin nyata, misalnya keluhan
    penyakit maag dan buang air besar tidak teratur
    b. Ketegangan otot semakin terasa
    c. Perasaan tidak tenang dan ketegangan emosional makin meningkat
    d. Gangguan pola tidur, misalnya sukar untuk mulai tidur (early
    insomnia), atau bangun tengah malam dan susah untuk tidur
    kembali (middle insomnia) atau terbangun terlalu pagi dan sukar
    untuk tidur lagi (late insomnia)
    e. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa lemas dan mau pingsan)
  4. Tahap IV
    a. Kemampuan untuk bertahan sepanjang hari saja terasa sangat sulit
    b. Aktivitas yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan
    menjadi membosankan dan terasa amat sulit
    c. Orang yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan
    kemampuan untuk merespon secara memadai
    d. Ketidakmampuan melakukan kegiatan rutinitas
    e. Gangguan pola tidur disertai mimpi yang menegangkan
    f. Sering kali menolak ajakan karena tidak semangat dan tidak
    bergairah
    g. Konsentrasi dan daya ingat menurun
    h. Timbul perasaan takut dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan
    penyebabnya
  5. Tahap V
    a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin dalam (phsycal and
    psychological exhaustion)
    b. Ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan
    dan sederhana
    c. Gangguan pencenaan yang emakin berat (gastro internal disorder)
    d. Timbulnya perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin tinggi
    dan meningkat
  6. Tahap VI
    Tahapan terakhir adalah tahap klimaks, dimana seorang tersebut akan
    mengalami serangan panik (panic attack) serta perasaan takut mati. Gambaran
    stres tahap ini adalah :
    a) Debaran jantung amat keras
    b) Susah bernafas
    c) Sekujur badan terasa gemetar
    d) Tidak bertenaga dalam mengerjakan hal yang ringan
    e) Pingsan atau kolap