Pengertian Whistleblowing (skripsi dan tesis)

Whistleblowing merupakan suatu tindakan melaporkan perilaku tidak etis seseorang kepada pihak ketiga (Dungan, Waytz, & Young, 2015). Whistleblowing secara umum juga sering diartikan sebagai suatu tindakan dari karyawan atau employee yang mengumumkan baik secara publik (terbuka) maupun secara privat (tertutup) jika organisasi atau perusahaannya terlibat kasus baik korupsi maupun aktivitas-aktivitas illegal dan tidak bermoral lainnya yang dapat mempengaruhi organisasi atau perusahaan secara keseluruhan (Nisar, Prabhakar, & Torchia, 2019). Pengertian lain dari whistleblowing yaitu tindakan dari karyawan, anggota organisasi, atau mantan karyawan untuk melaporkan tindakan illegal yang  dilakukan oleh organisasi yang akan memiliki dampak buruk atau negatif bagi kepentingan public (Valentine & Godkin, 2019). Dari berbagai pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa whistleblowing merupakan tindakan melaporkan baikan seseorang maupun organisasi atau perusahaan yang melakukan suatu tindakan illegal yang merugikan baik perusahaan sendiri maupun kepentingan publik (Dungan dkk., 2015; Nisar dkk., 2019; Valentine & Godkin, 2019). Vandekerckhove (2006) mendefinisikan whistleblowing ke dalam enam elemen pembentuk whistleblowing. Enam elemen pembentuk definisi whistleblowing ini yaitu tindakan (action), hasil (outcome), pelaku (actor), subjek (subject), target, dan penerima (recipient). Whistleblowing merupakan suatu tindakan pengungkapan, dengan outcome berupa laporan baik publik maupun nonpublik yang diberikan kepada pihak yang berwenang, yang dilakukan oleh seorang karyawan atau anggota organisasi tentang suatu tindakan ilegal, tidak bermoral, atau kecurangan-kecurangan lain yang dilakukan oleh anggota organisasi maupun orang di luar organisasi (Vandekerckhove, 2006). Seseorang yang melakukan tindakan whistleblowing disebut sebagai seorang whistleblower. Whistleblower yaitu orang yang melaporkan atau mengungkapkan suatu tindakan yang melanggar hukum yang terjadi di dalam organisasinya atau perusahaan tempat dia bekerja (Siringoringo, 2015). Siringoringi (205) menyebut bahwa whistleblower sering kali memiliki akses data dan informasi yang memadai terkait adanya tindakan melawan hukum yang terjadi di dalam organisasinya tersebut.  Semendawai dkk. (2011) menyebut bahwa terdapat dua kriteria mendasar untuk menyebut seseorang sebagai seorang whistleblower. Kriteria pertama yaitu seorang whistleblower menyampaikan informasinya kepada pihak atau otoritas yang berwenang atau kepada media masa (Semendawai dkk., 2011). Pelaporan ini diharapkan dapat mengungkap adanya tindakan kecurangan di dalam organisasi. Pada tahap awal, seorang whistleblower dapat melaporkan tindakan kecurangan pada otoritas yang berwenang secara internal di organisasinya (Semendawai dkk., 2011). Ketika laporan tersebut dirasa tidak mendapatkan tindak lanjut yang memadai, seorang whistleblower dapat membuat laporan ke pihak yang lebih tinggi semisal kepala kantor, direksi, komisaris, bahkan hingga ke media masa walaupun tidak dipungkiri sering kali pihak-pihak internal bukan menindaklanjuti laporan tersebut tetapi justru menutup rapat kasus-kasus yang dilaporkan tersebut (Semendawai dkk., 2011). Kriteria kedua untuk menyebut seseorang sebagai whistleblower yaitu orang tersebut merupakan orang yang berada di dalam organisasi tempat terjadinya tindak kecurangan atau dengan kata lain orang tersebut merupakan “orang dalam” (Semendawai dkk., 2011). Dengan kata lain, tindak kecurangan terjadi di dalam organisasi atau perusahaan tempat whistleblower tersebut bekerja atau berada. Semendawai dkk. (2011) bahkan menyebut jika sering kali whistleblower merupakan bagian dari para pelaku kecurangan yang terorganisir tersebut dan memilih untuk melaporkan tindak kecurangan yang telah terjadi. Dengan demikian, whistleblower merupakan orang yang benar-benar paham dan tahu mengenai tindak  kecurangan yang terjadi karena dia berada di dalam lingkungan di mana tindak kecurangan tersebut terjadi (Semendawai dkk., 2011). Semendawai dkk. (2011) menyebut bahwa whistleblower dapat dikategorisasikan menjadi dua kategori yaitu whistleblower sektor swasta dan whistleblower sektor pemerintahan. Kategori pertama yaitu whistleblower sektor swasta. Whistleblower kategori ini merupakan whistleblower yang bekerja untuk perusahaan atau instansi swasta, bukan instansi pemerintahan. Whistleblower di sektor swasta bermunculan karena saat ini banyak kasus kecurangan di sektor swasta yang memiliki efek atau dampak negatif bagi publik, bukan hanya bagi perusahaan saja (Semendawai dkk., 2011). Hal ini karena walau beroperasi dengan modal sendiri, sering kali pihak-pihak swasta memiliki hubungan kerja atau kepentingan kerja dengan instansi-instansi pemerintah sebut saja kantor pajak, bea cukai, dinas perijinan dan instansi-instansi lain. Kategori kedua yaitu whistleblower di sektor pemerintahan. Whistleblower kategori ini merupakan whistleblower yang bekerja di instansi pemerintahan yang mengungkap adanya tindakan kecurangan di dalam sektor pemerintahan. Semendawai dkk. (2011) menyebut bahwa whistleblower di sektor pemerintahan jumlahnya lebih sedikit disbanding sektor swasta. Hal ini dikarenakan kolegialisme di dalam birokrasi instansi pemerintahan telah menjadi referensi utama di dalam instansi-instansi pemerintah (Semendawai dkk., 2011). Whistleblower pemerintahan sering kali merupakan seorang pelaku atau tersangka tindakan kejahatan yang kemudian di dalam proses peradilan dirinya membongkar pihakpihak mana saja yang terlibat dengan dirinya.