Teori mengenai struktur modal modern bermula pada tahun 1958, ketika
Profesor Franco Modigliani dan Profesor Merton Miller (MM), mempublikasikan
apa yang disebut sebagai artikel keuangan yang paling berpengaruh yang pernah
ditulis, berdasarkan serangkaian asumsi yang sangat membatasi, MM
membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur
modalnya. Dengan kata lain, hasil-hasil MM menyatakan bahwa tidak menjadi
masalah bagaimana perusahaan membiayai operasinya, jadi struktur modal tidak
relevan. Tetapi, studi MM didasarkan pada sejumlah asumsi yang tidak realistis,
antara lain:
1. Tidak ada biaya broker (pialang).
2. Tidak ada pajak.
3. Tidak ada biaya kebangkrutan.
4. Para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga yang sama
dengan perseroan.
5. Semua investor mempunyai informasi yang sama seperti mamajemen
mengenai peluang investasi perusahaan dimasa datang.
6. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan hutang.
Meskipun dari beberapa asumsi-asumsi ini tidak terlihat realistis, hasilhasil
MM yang tidak relevan sangat penting artinya. Dengan menunjukkan
kondisi-kondisi di mana struktur modal tidak relevan, MM juga memberikan
beberapa petunjuk tentang apa yang diperlukan bagi struktur modal agar menjadi
relevan sehingga akan mempengaruhi nilai suatu perusahaan. Riset dalam bidang
ini sangat luas, tetapi garis besarnya yaitu:
a) Efek Pajak; dengan asumsi dapat dikurangkannya bunga untuk tujuan
pajak menguntungkan penggunaan biaya dengan hutang, tetapi perlakuan
pajak yang lebih menguntungkan atas penghasilan dari saham menurunkan
tingkat pengembalian yang disyaratkan pada saham dan dengan demikian
menguntungkan penggunaan pembelanjaan dengan ekuitas.
b) Efek Biaya Kebangkrutan; hasil-hasil MM yang tidak relevan juga
tergantung pada asumsi bahwa tidak ada biaya kebangkrutan. Namun,
dalam praktek kebangkrutan bisa sangat mahal. Perusahaan yang bangkrut
mempunyai biaya hukum dan akuntansi yang sangat tinggi, dan juga
mereka sangat sulit untuk menahan pelanggan, pemasok dan karyawan.
Masalah yang terkait kebangkrutan semakin cenderung muncul apabila
suatu perusahaan menyertakan lebih banyak hutang dalam struktur
modalnya. Karena itu, biaya kebangkrutan menghalangi perusahaan
penggunaan hutang yang berlebihan. Biaya yang terkait kebangkrutan
mempunyai dua komponen: terjadinya probabilitas dan biaya-biaya yang
akan timbul bila kesulitan keuangan telah muncul.
c) Teori Trade-Off; menyeimbangkan manfaat dari pendanaan dengan hutang
(perlakuan pajak perseorangan yang menguntungkan) dengan suku bunga
dan biaya kebangkrutan yang lebih tinggi. Dimana sejauh manfaat dari
penggunaan hutang lebih besar, maka tambahan hutang masih diperbolehkan.
Apabila pengorbanan atas penggunaan hutang sudah lebih besar, tambahan
hutang tidak diperbolehkan. Trade off theory telah mempertimbangkan
berbagai faktor, seperti corporate tax, biaya kebangkrutan dan personal tax
dalam menjelaskan mengapa suatu perusahaan memilih struktur modal
tertentu (Husnan, 2000 dalam Gata Niztiar 2013). Ringkasan teori trade-off
yaitu: penggunaan hutang mengakibatkan peningkatan porsi laba operasi
perusahaan (EBIT) yang mengalir ke investor, sehingga semakin besar
hutang perusahaan, semakin tinggi nilainya dan harga sahamnya. Dalam
kenyataannya, jarang ada yang menggunakan hutang 100 persen. Salah
satu alasannya adalah kenyataan bahwa pemegang saham mendapat
keuntungan modal yang lebih rendah. Lebih penting lagi, perusahaan
membatasi penggunaan hutang untuk menekan biaya-biaya yang berkaitan
dengan kebangkrutan. Tingkat ambang hutang di mana biaya
kebangkrutan mulai menjadi material. Struktur modal optimal, manfaat
marjinal dari perlindungan pajak = biaya kebangkrutan marjinal.
d) Pecking Order Theory ini pertama kali dikemukakan oleh Myers dan
Majluf (1984). Disebut teori pecking order karena teori ini menjelaskan
mengapa perusahaan akan menentukan hierarki sumber dana yang paling
disukai. Secara ringkas teori tersebut menyatakan bahwa (Brealey and
Myers, 1991);
1. Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil
operasi perusahaan).
2. Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian deviden yang
ditargetkan dengan berusaha menghindari perubahan pembayaran
deviden secara drastis.
3. Kebijakan deviden yang relatif segan untuk diubah, disertai dengan
fluktuasi profitabilitas dan kesempatan investasi yang tidak bisa
diduga, mengakibatkan bahwa dana hasil operas kadang-kadang
melebihi kebutuhan dana untuk investasi, meskipun pada
kesempatan yang lain, mungkin kurang. Apabila dana hasil operasi
kurang dari kebutuhan investasi, maka perusahaan akan
mengurangi saldo kas atau menjual sekuritas yang dimiliki.
4. Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka
perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling “aman”
terlebih dahulu yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian
diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi
konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham
baru diterbitkan.
Perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam
jumlah yang sedikit. Hal tersebut bukan karena mereka mempunyai target rasio
hutang yang rendah, tetapi karena memang mereka membutuhkan external
financing yang sedikit. Perusahaan–perusahaan yang kurang profitable cenderung
mempunyai hutang yang lebih besar karena alasan dana internal yang tidak
mencukupi kebutuhan dan karena hutang merupakan sumber eksternal yang lebih
disukai. Pendanaan internal lebih disukai karena hal tersebut memungkinkan
perusahaan untuk tidak membuka diri lagi terhadap pihak luar. Dalam pendanaan
eksternal, hutang lebih disukai daripada modal sendiri karena pertimbangan biaya
emisi obligasi akan lebih murah dibanding dengan biaya emisi saham. Selain itu
manajemen juga mengkhawatirkan apabila melakukan penerbitan saham baru
dipandang sebagai hal yang negatif oleh para pemodal, hal tersebut tentunya
berdampak buruk bagi harga saham (Husnan, 1996 dalam Gata Niztiar 2013).