Gaetano Mosca dalam Surbakti (2010:94) menjelaskan distribusi kekuasaan dalam masyarakat menjadi dua kelas, yaitu :
1. Kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan.
2. Kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan. Jumlah orang yang berkuasa atau memerintah dalam suatu masyarakat selalu lebih sedikit daripada yang diperintah. Itu sebabnya mengapa elit politik dirumuskan sebagai sekelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
Diantara elit politik terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti mempertahankan status sebagai elit politik. Non elit yang telah menerima konsensus dasar elit saja yang dapat diterima dalam lingkungan elit. Golongan elit memiliki konsensus mengenai nilai-nilai dasar suatu sistem dan berusaha memelihara serta mempertahankan sistem itu. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh elit politik bukanlah cerminan aspirasi khalayak, juga bukan hasil tuntutan yang diajukan 46 khlayak, melainkan lebih merupakan cerminan nilai-nilai yang dipegang oleh kelompok elit (Surbakti, 2010:95). Mosca menjelaskan hubungan dinamis antara elit dan massa. Dalam pandangannya, para elit berusaha bukan hanya mengangkat dirinya di atas anggota masyarakat lain, tetapi juga mempertahankan statusnya terhadap massa di bawahnya, melalui para “sub-elit” yang terdiri dari kelompok besar dari “seluruh kelompok menengah yang baru, aparatur pemerintahan, manager, administrator, ilmuwan lainnya (Widjaya, 1988). Setiap masyarakat di manapun berada akan selalu dipimpin oleh sekelompok kecil individu yang berkuasa atas sejumlah besar anggota masyarakat lainnya, yang disebut massa, untuk tunduk dan mematuhi perintah-perintahnya. Massa bersedia untuk tunduk dan mentaati perintah-perintah tersebut karena pada diri elit terlekati kekuasaan yang jumlahnya lebih besar ketimbang yang dimilikinya (Darwis, 2011).
Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan yang ada dalam masyarakat tidak terdistribusikan secara merata.Terdapat sekelompok kecil individu dengan jumlah kekuasaan yang lebih besar dibandingkan sejumlah besar individu dengan kekuasaan yang sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali (Haryanto, 2005). Putnam dalam Mas‟oed (2001) menyampaikan bahwa elit merupakan sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik yang lebih dibandingkan dengan yang lain. Fokus kajiannya adalah kekuasaan, yang terbagi ke dalam dua konsepsi. Pertama, kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi individuindividu lain. Kedua, kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif, seperti undangundang. Karena itu, Putnam membagi elit ke dalam dua kelompok, yakni mereka yang memiliki kekuasaan politik “penting”, dan mereka yang tidak memilikinya. Menurut Keller, sebagaimana dikutip oleh Duverger (2006), bahwa studi tentang elit memusatkan perhatian pada empat hal. Pertama, anatomi elit berkenaan dengan siapa, berapa banyak dan bagaimana para elit itu muncul. Kedua, fungsi elit berkenaan dengan apa tanggungjawab sosial elit. Ketiga, pembinaan elit menyangkut tentang siapa yang mendapatkan kesempatan menjadi elit, imbalan apa yang mereka terima, dan kewajiban- 48 kewajiban apa yang menunggu mereka. Keempat, keberlangsungan (bertahannya) elit berkenaan dengan bagaimana dan kenapa para elit itu dapat bertahan, serta bagaimana dan kenapa diantara mereka hancur atau tidak dapat bertahan. Secara konfiguratif, menurut Dogan dalam Darwis (2011), bahwa kategorisasi elit beragam tergantung pada posisi jabatan dan ruang lingkup batas otoritas kekuasaan yang dipegangnya. Menurutnya elit yang monohirarki (mono-hierarchical) dapat dikatakan elitis yang sangat fokus pada puncak kekuasaan. Sedangkan, poliarki (polyarchical) kekuasaan menyebar di berbagai institusi dengan beragam perbedaan kewenangan. Perbedaan sesungguhnya, menurut Dogan dalam Darwis (2011), tergantung sistem politik yang dianut oleh negara itu sendiri. Namun Dogan menegaskan bahwa pada prinsipnya, elit merupakan populasi yang kecil dan pemegang kekuasaan untuk membedakan dengan populasi yang tidak memiliki kekuasaan relatif jumlah besar.
Partai menurut Heywood (2014:392) adalah sebuah kelompok masyarakat yang diorganisasikan untuk tujuan memenangkan kekuasaan pemerintahan, melalui sarana pemilihan atau yang lain. Partai-partai dapat bersifat otoriter atau demokratis, mereka mungkin meraih kekuasaan melalui pemilihan atau melalui revolusi dan mereka mungkin mengusung ideologi-ideologi aliran kiri, kanan atau tengah, bahkan mengingkari ide-ide politik sama sekali. Perkembangan partai-partai politik dan pembentukan sebuah sistem partai telah diakui sebagai salah satu tanda modernisasi politik. Dalam dinamika partai politik diaras lokal, kita temukan “orang kuat partai” yang secara individu memiliki kemampuan untuk menentukan arah dan kebijakan partai. Orang inilah yang disebut Keller (1995) sebagai elite penentu. Orang kuat partai ini secara individual mampu mengekspresikan pengaruh dan memastikan distribusi dan alokasi sumber-sumber kekuasaan bukan karena yang bersangkutan menduduki jabatan tertinggi di puncak piramida elit partai (ketua umum), tetapi meski hanya sebagai pengurus harian partai karena yang bersangkutan memiliki kapasitas pribadi yang mumpuni dibanding orang lain maka orang ini bisa menjadi orang penting di partai. Orang kuat 50 partai ini bahkan bisa menerobos ketentuan partai dan menentukan policy partai karena memiliki kelebihan-kebihan diatas rata-rata pengurus partai lainnya. Meminjam istilah Putnam dalam analisa elit individu seperti ini disebut “orang kuat partai” karena memiliki reputasi dan kontribusi pengambilan keputusan yang lebih besar dibanding posisinya di partai