Konsep Keterikatan merek yang semakin populer ini sebenarnya bukanlah termasuk konsep yang baru. Konsep Keterikatan merek awalnya berkembang dengan meminjam konsep keterikatan (attachment) dari disiplin ilmu psikologi yang dikenal sebagai teori keterikatan (attachment theory), dicetuskan pertama kali oleh Bowbly (1979) dalam Lucia Malär et al., (2011). Bowbly menyatakan bahwa tingkat keterikatan emosional terhadap suatu objek dapat memprediksi sifat interaksi individu dengan objek tersebut. Misalnya individu yang terikat dengan produk tertentu sangat mungkin untuk berkomitmen dan mau berkorban untuk mendapatkan produk tersebut.
Keterikatan merek didefinisikan oleh Lacoeuilhe dalam Louis dan Lombart (2010) sebagai “variabel psikologi yang memperlihatkan suatu hubungan afektif dengan merek yang langgeng dan tak berubah (perpisahaan adalah menyakitkan) dan menunjukkan hubungan kedekatan secara psikologi dengan merek tersebut”. Mereka berpendapat bahwa keterikatan emosional konsumen terhadap suatu merek dapat memprediksi komitmen konsumen tersebut terhadap merek (misalnya loyalitas merek) dan kerelaan mereka untuk melakukan pengorbanan keuangan untuk mendapatkan merek tersebut (misalnya rela untuk membayar dengan harga premium).
Park et al., (2010) membagi keterikatan merek menjadi dua faktor penting yang mencerminkan sifat konseptual keterikatan merek yaitu brand-self connection (hubungan merek-diri) dan brand prominence (kemenonjolan merek).
1. Brand-self connection adalah hubungan antara merek dan diri yang bersifat kognitif dan emosional. Keterhubungan ini penting untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan utilitarian, experiential dan atau simbolik.
2. Brand prominence adalah sejauh mana perasaan positif dan kenangan tentang obyek keterikatan dirasakan sebagai puncak pikiran (top of mind).