Kepribadian sendiri dapat diartikan secara umum sebagai karateristik suatu benda atau manusia yang membedakannya dengan lainnya. Seperti itu pula yang terjadi pada merek. Kepribadian merek satu dengan yang lainnya sudah pasti berbeda karena setiap merek memiliki karateristik yang berbeda serta memiliki keunggulan dan kelemahan yang berbeda pula. Kepribadian merek berkerja sebagai penguat nilai tambah yang ada pada merek tersebut hingga mendorong konsumen untuk melakukan pembelian terhadap produk dengan merek tersebut.
Menurut Kotler dan Keller (2009) kepribadian merek sebagai “campuran sifat manusia tertentu yang dapat di hubungkan dengan merek tertentu”. Dengan kata lain, kepribadian suatu merek berada di benak atau persepsi konsumen yang terbentuk secara langsung maupun tidak langsung melalui pengalaman langsung dalam menggunakan produk atau melalui usaha pemasaran. Kepribadian merek dibentuk melalui nama merek, simbol atau logo, iklan, atribut produk, dan juru bicara (spokesperson) Grohmann (2009). Dari dua wacana yang diberikan diatas dapat dilihat bahwa kepribadian merek bukan saja dilakukan oleh produk itu saja tapi kepribadian merek juga terjadi karena sikap konsumen terhadap merek tersebut, yang mana membuat perbedaan yang cukup jelas dengan konsumen lainnya. Perbedaan itu membuat persaingan merek-merek dipasar menjadi semakin gencar dan terus memunculkan inovasi baru yang tidak ada hentinya. Dalam hal ini, produsen dan konsumen saling terkait meskipun secara tidak langsung.
Produsen berusaha menangkap nilai-nilai yang diberikan oleh konsumen di pasar luas dan mengubahkan ke dalam sebuah produk yang diharapkan dapat menangkap kembali nilai-nilai dan kesetiaan konsumen pada merek-merek produsen. Aaker sempat memberikan pandangan untuk membagi kepribadian merek menjadi beberapa model guna diberikan penilaian yang berbeda, namun Azoulay dan Kapferer (2004) memberikan definisi kepribadian merek yang lebih tegas dan tepat dalam mengukur kepribadian (personality). Mereka mendefinisikan kepribadian merek sebagai “seperangkat sifat kepribadian manusia yang dapat diterapkan untuk merek dan relevan dengan merek.” Definisi tersebut berupaya memperbaiki skala yang dikembangkan Aaker karena didalam skala Aaker tersebut terdapat beberapa item yang menurut Azoulay dan Kapferer (2004) kurang tepat untuk mengukur kepribadian merek. Skala yang kurang tepat tersebut berkaitan dengan intellectual abilities, gender, dan social class. Memahami bagaimana kepribadian merek yang dimaksudkan dapat dirubah menjadi kepribadian merek yang dirasakan, perlu memahami faktorfaktor yang memudahkan konsumen.
Lucia Malär et al., (2011) memeriksa lima faktor yang dapat meningkatkan kategorisasi dan mendorong keberhasilan pelaksanaan dari kepribadian merek yang dimaksud yaitu:
a.) profil kepribadian merek.
b.) diferensiasi kompetitif yang dirasa.
c.) kredibilitas kegiatan komunikasi merek terkait.
d.) keterlibatan produk.
e.) sikap konsumen terhadap merek.
Merujuk pada banyaknya penelitian dan juga pandangan dari para pakar manajemen, kepribadian dapat memberikan pengaruh yang cukup jelas bagi konsumen yang menggunakan merek tersebut. Bagaimana kepribadian merek yang dirasakan dapat memberikan kekuatan pengaruh yang berbeda bagi konsumen dan juga sikap merek itu sendiri. Konsumen berpendapat secara garis besar bahwa kepribadian merek ini terkait dengan hubungan antara konsumen dengan merek tersebut. Dari pandangan banyak ahli diatas, kepribadian merek dapat disimpulkan menjadi pribadi atau karakter merek yang berbeda-beda yang dapat menimbulkan perbedaan pandangan pula pada konsumen yang menggunakannya. Sehingga beberapa konsumen yang menggunakan merek yang sama dapat memberikan kepribadian yang berbeda terhadap merek tersebut. Tergantung dari sisi mana konsumen tersebut dapat menganggap maksud kepribadian merek yang ditawarkan.