Siagian (2002:435), mengatakan bahwa salah satu patologi birokrasi yang cukup relevan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penghambat pengembangan sumber daya manusia adalah, praktik patronase. Praktik patronase itu terwujud dalam tindakan pilih kasih, diskriminasi, nepotisme, serta ikatan primordial, seperti suku dan agama. Selanjutnya Siagian (2002: 141-142) juga mengajukan, pendapat sebagai berikut.
“Sudah umum diketahui bahwa pengelolaan sumber daya manusia dalam birokrasi modern diupayakan menerapkan prinsip meritokrasi (berdasarkan kriterian yang rasional dan objektif). Jika dalam suatu instansi terjadi sebaliknya, berarti bukan meritokrasi berlaku, melainkan sistem pilih kasih yang dasarnya adalah pertimbangan-pertimbangan yang tidak objektif, tidak rasional, berlakunya primordialisme, sistem konco dan sejenisnya.”
Kekuasaan yang berlebihan pada birokrasi di Indonesia (bureaucratic politic), oleh Chouch (dalam Santoso, 1993:31) dikatakan, mengandung tiga ciri berikut. Pertama, lembaga politik yang dominasi adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok kepentingan, berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomi bersifat pasif, serta merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.
Menurut Muhaimin (dalam Santoso, 1993), “birokrasi patrimonial adalah ketika jabatan dan perilaku keseluruhan hierarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan famili, hubungan pribadi, dan hubungan bapak-anak buah (patron-client)”. Sementara itu, Donald Emerson mencirikan neopatrimonialism sebagai symbiosis antara ciri-ciri modern birokrasi dan sikap perilaku tradisional yang bersumber terutama pada budaya politik Jawa yang bersifat patrimonial (Yahya Muhaimin dalam Sinambela, dkk., 2006: 89). Ciri-ciri birokrasi patrimonial menurut Weber (dalam Hariandja, 1999:56) adalah, sebagai berikut. a). Pejabat-pejabat dijaring atas dasar kriteria pribadi dan politik, b). jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan, c). pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administrasi, karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi, serta d). setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Birokrasi patrimonial lebih sering ditandai dengan adanya penempatan pejabat dalam jabatan atau perilaku pejabat yang didasarkan pada pertimbangan emosional ketimbang rasional (Haryanto dan Amalinda Savirani,2006). Selanjutnya Tjokrowinoto (2001:51) mengatakan bahwa, “kehadiran birokrasi di tengah-tengah masyarakat politik merupakan conditio sine qua non., Yang menjadi persoalan adalah birokrasi dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara dalam kondisi demikian tidak fungsional lagi untuk melayani kepentingan masyarakat. Birokrasi sering memperlihatkan dirinya sebagai tuan atau bos yang berwewenang mengatur mengendalikan dan mengontrol politik rakyat”.