Hak Dan Kewajiban Lansia

Lansia merupakan warga Negara yang memiliki hak yang sama dengan Negara
lainnya. Disebutkan dalam UU nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
menyatakan bahwa lansia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sesuai dengan UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia,
sebagaimana penjelasan pada pasal 5 ayat 2 bahwa, sebagai penghormatan dan
penghargaan kepada lansia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang
meliputi:
1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual.
2. Pelayanan kesehatan.
3. Pelayanan kesempatan kerja.
4. Pelayanan pendidikan dan pelatihan.
5. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum.
6. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hokum.
7. Perlindungan sosial.
8. Bantuan sosial.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 selain hak lansia memiliki
kewajiban yang telah disebutkan dalam dimana lansia mempunyai kewajiban yang sama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan peran dan
fungsinya, lansia berkewajiban untuk, yaitu:
1. Membimbing dan memberi nasihat secara arif dan bijaksana berdasarkanpengetahuan
dan pengalamannya, terutama di lngkungan keluarganya dalam rangka menjaga
martabat dan meningkatkan kesejahteraannya.
2. Mengamankan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan,
kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya kepada generasi penerus.
3. Memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan kepada generasi penerus.

Batasan Penduduk Lansia

Menurut Notoadmodjo, (2007) dalam Karomah, (2016) batasan penduduk lansia
dapat dilihat dari aspek-aspek biologi, ekonomi, sosial dan batasan umur, yaitu:
1. Aspek biologi
Penduduk lansia ditinjau dari aspek biologi adalah penduduk yang telah
menjalani proses penuaan. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahap-tahap menurunnya berbagai fungsi organ tubuh yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian
misalnya pada sistem kardiovaskuler pembuluh darah, pernafasaan, pencernaan,
endokrin dan lain sebagainya (Hawari, 2007). Hal ini disebabkan seiring meningkatnya
usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ
(Notoatmodjo, 2007). Perubahan biologis yang terjadi antara lain adalah kekuatan fisik
berkurang, merasa cepat capek, dan stamina menurun, sikap tubuh yang semula tegap
menjadi bungkuk, kulit mengerut dan menjadi keriput, rambut memutih dan
pertumbuhan berkurang, gigi mulai tanggal satu persatu, perubahan pada mata,
berkurangnya pendengaran, daya cium dan melemahnya indera perasa serta terjadinya
pengapuran pada tulang (Bustan, 2000).
2. Aspek ekonomi
Posisi ekonomi secara keseluruhan dari pra lansia menunjukkkan peningkatan
yang signifikan sejak tahun 1970. Namun, lansia memiliki status ekonomi yang lebih
rendah dari orang-orang dewasa dibawah usia 65 tahun (McKenzie, 2006). Penduduk
yang tergolong lansia dipandang sebagai beban daripada potensi sumber daya bagi
pembangunan. Lansia dianggap warga yang tidak produktif dan perlu ditopang oleh
generasi yang lebih muda. Bagi lansia yang masih bekerja, produktivitasnya sudah
menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan pekerja usia produktif. Akan
tetapi, tidak semua penduduk yang termasuk dalam kelompok lansia ini memiliki kualitas
dan produktivitas rendah (Notoatmodjo, 2007).
3. Aspek sosial
Penduduk lansia merupakan kelompok tersendiri. Di negara barat, penduduk
lansia menduduki strata sosial dibawah kaum muda.Pada masyarakat tradisional di Asia
seperti Indonesia, penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus
dihormati oleh masyarakat yang usianya lebih muda (Notoatmodjo, 2007). Perubahan
status sosial usia lanjut pasti akan membawa akibat bagi yang bersangkutan dan perlu
dihadapi dengan persiapan yang baik dalam menghadapi perubahan tersebut. Aspek
sosial tidak dapat diabaikan dan sebaiknya diketahui oleh lansia sedini mungkin sehingga
dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin (Depkes RI, 2000).
4. Aspek umur
Pendekatan umur atau usia adalah yang paling memungkinkan untuk
mendefinisikan penduduk lansia. Berdasarkan atas Undang-undang No. 13 tahun 1998
dalam Notoatmodjo (2007) batasan usia lanjut adalah 60 tahun. Namun Departemen
Kesehatan RI (2000) membuat pengelompokkan masa lansia seperti dibawah ini:
a. Kelompok usiaprasenilis/virilitas, adalah kelompok yang berusia 45-59 tahun.
b. Kelompok usia lanjut adalah kelompok yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi adalah kelompok yang berusia 70 tahun
atau lebih, atau kelompok yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO) usia lanjut meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45 – 59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-74 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia anatara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun

Pengertian Lansia

Lansia dalam ilmu psikologi yang dikenal dengan istilah lain seperti Old Age atau
Elderly. Lansia adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pada orang- orang yang
sudah menjadi tua. Dalam Psikologi Perkembangan masa tua atau lansia merupakan
suatu harapan terakhir dari rentang kehidupan manusia yang secara teoritis dimulai ketika
seseorang memasuki usia 60 tahun sampai dengan meninggal (Hurlock 1992, dalam
Rahmah, 2015).
Lansia adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan, yang penurunannya
lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan daripada tahap usia bayi. Penuaan merupakan
perubahan kumulatif pada makhluk hidup. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan
perubahan degenerative pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan yang terbatas, mereka lebih rentan
terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan dewasa
lainnya (Hasan, 2006 dalam Rahmah, 2015).
Lansia (lanjut usia) merupakan seseorang yang karena usianya mengalami
perubahan biologis, fisis, kejiwaan dan sosial (UU No. 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan). Pengertian dan pengelolaan lansia menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang lansia sebagai berikut, yaitu:
1. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.
2. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan.
3. Dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
4. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.
Menurut WHO (World Health Organizier), lansia meliputi dari usia pertengahan
yaitu: usia 46-59 tahun, usia lanjut (Elderly) yakni antara usia 60 -74 tahun, Tua (Old) yaitu
antara 75- 90 tahun, dan usia sangat tua (Very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Setiabudhi
1999, dalam Rahmah ST, 2015), sedangkan menurut DepKes RI tahun 1999, umur lansia
terbagi 3 yaitu:
1. Usia pra senelis atau Virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49 tahun.
2. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau
dengan masalah kesehatan

Konsep Kematian Pada Lansia

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya,
Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan yang tersering pada
lansia adalah tentang kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan
rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas. Pada
orang lansia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung
beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai penderitanya mengalami kematian.
Kondisi ini dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
Kecemasan merupakan respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas dalam
cemas diperlukan untuk bertahan hidup, akan tetapi tingkat kecemasan yang parah tidak
searah dengan kehidupan (Stuart & Sundeen 2000 dalam Febrianita, 2017).
Kecemasan khususnya pada lansia semakin hari cenderung semakin meningkat
karena banyakanya faktor dari dalam tubuh lansia yang dapat mempengaruhi kecemasan
misalnya penurunan fungsi organ. Lansia yang berada di panti dapat mengalami
peningkatan kecemasan karena faktor lingkungan dan sosial dalam kehidupan sehari-hari
di panti (Junaidi & Noor, 2010).

Pengukuran Kecemasan

Penilaian untuk menentukan tingkat kecemasan pada lansia dapat menggunakan
alat ukur SDA (Scale Of Death Anxiety) yang telah dikemukakan oleh Templer, (1970)
dalam Saleem, (2015) yang berjudul Journal Death Anxiety Scale; Translation And Validation
In Patient With Cardiovascular Desease. Dalam Scale Of Death Anxiety, pengukuran
kecemasan di sajikan melalui lima sub komponen terdiri dari yaitu death anxiety secara
umum, ketakutan akan sakit, pemikiran mengenai kematian, bergantinya waktu dan
kehidupan yang singkat, dan ketakutan akan masa depan. SDA (Scale Of Death Anxiety)
terdiri dari 5 tanda dan gejala kecemasan yang terdiri dari: 3 pernyataan death anxiety
secara umum (pernyataan nomor 1, 5, dan 7), 4 gejala pernyataan ketakutan akan sakit
(pernyataan nomor 4, 6, 9, dan 11), 3 pernyataan pemikiran mengenai kematian
(pernyataan nomor 3, 10, 14), 3 pernyataan mengenai bergantinya waktu dan kehidupan
yang singkat (pernyataan nomor 2, 8, 12), dan 2 pernyataan ketakutan akan masa depan
(13 dan 15).
Menurut Saleem, (2015) skoring tingkat kecemasan menyatakan kepada individu
seberapa sering mengalami masing-masing gejala selama 1 minggu terakhir. Penilaian
menggunakan tipe skala likert 3 kriteria dengan rentang nilai 1-2 (sangat tidak setuju),
nilai 3-4 (setuju) dan nilai 5 (sangat setuju), adapun cara penilaiannya sebagai berikut:
– Nilai 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)
– Nilai 3 = Netral (N)
– Nilai 5 = Sangat Setuju (SS)
Selanjutnya nilai masing-masing dari 15 pernyataan SDA (Scale Of Death Anxiety)
tersebut diklasifikasikan dalam rentang skor dari 0 sampai 75. Semakin tinggi skor
mengindikasinya semakin tinggi level kecemasan, yang dikategorikan sebagai berikuti:
– Skore <15-35 = kecemasan rendah
– Skore 36-55 = kecemasan sedang
– Skore 56-75 = kecemasan tingg

Indikator Kecemasan

Templer, (1970) dalam Mumpuni, (2014) berpendapat bahwa terdapat keluhan
dan gejala umum dalam kecemasan dibagi menjadi 5 macam-macam indikator, yaitu:
1. Death Anxiety Secara Umum
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 1, 5, dan 7.
2. Ketakutan Akan Sakit
Dalam indikator ini berjumlah 4 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 4, 6, 9, dan 11.
3. Pemikiran Mengenai Kematian
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 3, 10, dan 14.
4. Bergantinya Waktu Dan Kehidupan yang singkat
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 2, 8, dan 12.
5. Ketakutan Akan Masa Depan
Dalam indikator ini berjumlah 2 pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 13 dan 15.
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat 5 indikator
kecemasan, yaitu death anxiety secara umum, ketakutan akan sakit, pemikiran mengenai
kematian, bergantinya waktu dan kehidupan yang singkat, dan ketakutan akan masa
depan.

Cara mengatasi kecemasan

Ramaiah, 2003 (dalam Kurniawati, 2008) memaparkan beberapa pendekatan
untuk mengatasi kecemasan. Pendekatan-pendekatan ini mencakup:
1. Psikoterapi
Istilah ini digunakan untuk banyak sekali metode pengobatan gangguan kejiwaan
dan emosi, lebih banyak dengan teknik-teknik psikologi daripada melalui obat-obatan
atau pengobatan fisik. Ada dua jenis utama psikoterapi untuk mengatasi keadaan
kecemasan. Keadaan ini mencakup psikoterapi wawasan dalam dan psikoterapi
pendukung.
2. Terapi relaksasi
Teknik-teknik relaksasi dapat membantu menenangkan pikiran seseorang yang
mengalami kecemasan jika seseorang tersebut bersedia menerima anjuran dari dokter dan
menerapkannya.
3. Meditasi
Meditasi transcendental atau bentuk-bentuk sederhana lain dari meditasi yang tidak
berhubungan dengan ritus-ritus atau praktek keagamaan, mungkin sekali dapat
digunakan untuk mengurangi gejala-gejala kecemasan. Berbagai studi penelitian di dunia
menunjukkan bahwa meditasi membantu menjaga tingkat optimum fungsi tubuh yang
tidak kita kuasai (seperti jumlah denyut jantung dalam semenit, pernafasan, pencernaan
makanan, dan sebagaianya).
4. Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan biasanya adalah obat penenang atau antidepresan
untuk mengurangi gejala-gejala kecemasan ini. Obat penenang ialah obat untuk
menenangkan saraf atau rasa cemas tanpa berpengaruh pada kesadaran. Obat anti depresan
ialah obat yang menghilangkan depresi dengan menjaga keseimbangan bahan-bahan
kimia dalam system saraf.

Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan menurut Stuart dan Sundeen, (1998) dalam Kurniawati,
(2008) dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kecemasan Ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan
seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
2. Kecemasan Sedang
Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif
namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
3. Kecemasan Berat
Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spsesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal
lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut
memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
4. Tingkat panik dari kecemasan
Berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Panik melibatkan
disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorikdengan
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional.

Jenis-jenis Kecemasan

Menurut Budiraharjo, (1997) dalam Kurniawati, (2008), mengkategorikan
kecemasan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kecemasan Realitas (reality anxiety)
Kecemasan realitas (reality anxiety) adalah kecemasan terhadap bahaya-bahaya
yang datang dari luar, seperti kecemasan terhadap kegagalan perkawinan yang dialami
seseorang saat akan menikah.
Menurut Koeswara (1991:45) menyatakan bahwa, kecemasan realitas berlawanan
dengan kecemasan neurotik. Kecemasan realitas merupakan reaksi terhadap persepsi
bahaya eksternal, terhadap cidera yang diramalkan dan diketahui sebelumnya. Kecemasan
realitas merupakan wujud dari insting perlindungan diri.
2. Kecemasan Neurotik (Neurotic Anxiety)
Kecemasan Neurotik (Neurotic Anxiety) adalah kecemasan terhadap hal-hal yang
ada dalam bayangan seseorang karena pengalamannya. Misalkan seorang anak yang
merasa takut mencuri lagi karena pernah dikurung ibunya di tempat gelap.
Menurut Koeswara (1991:45) menyatakan bahwa, Kecemasan neurotik yaitu
kecemasan atau tidak terkendalinya naluri-naluri primitif oleh ego yang nantinya bisa
mendatangkan hukuman. Orang yang menderita kecemasan neurotik selalu
mengantisipasi hal-hal yang terburuk dari semua akibat yang mungkin ada, mengartikan
semua kesempatan yang muncul sebagai suatu pertanda buruk dan menganggap suatu
ketidakpastian sebagai hal yang buruk.
3. Kecemasan Moral (Moral Anxiety)
Kecemasan Moral (Moral Anxiety) adalah kecemasan yang muncul pada saat
seseorang melanggar nilai moral di masyarakat atau keluarga. Misalkan, seorang anak
merasa cemas setelah berbohong kepada ibunya.
Kartono (1981:117) menyatakan bahwa, kecemasan dibagi dalam dalam dua
kategori, yaitu:
a. Neurotis
Erat kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri yang negatif. Faktor
penyebabnya adalah adanya perasaan beresalah dan berdosa serta mengalami konflik
emosional yang serius dan kronis berkesinambungan, frustrasi dan ketegangan batin.
b. Psikotis
Karena adanya perasaan bahwa hidupnya terancam dan kacau balau, adanya
kebingungan yang hebat disebabkan oleh depersonalisasi dan disorganisasi psikis.
Kecemasan digambarkan sebagai state anxiety atau trait anxiety menurut para ilmuan
(Spielberger, 1972 dalam Clerq, 1994) dapat dijabarkan sebagai berikut:
State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang
dirasakan sebagai suatu ancaman. Trait anxiety menunjuk pada ciri atau sifat seseorang
yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu
keadaan sebagai ancaman yang disebut dengan anxiety proneness (kecenderungan akan
kecemasan). Orang tersebut cenderung untuk merasakan berbagai macam keadaan
sebagai keadaan yang membahayakan atau mengancam, dan cenderung untuk
menanggapi dengan reaksi kecemasan.
Berdasarkan teori-teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa macam-macam
kecemasan meliputi state & trait anxiety, sedangkan kecemasan dalam kaitan dengan
gangguan mental yaitu kecemasan neurotis dan psikotis, berdasarkan sumbernya yaitu
kecemasan realitas, neurotik, dan kecemasan moral

Faktor-faktor Penyebab Kecemasan

Ramaiah, (2003) dalam Kurniawati, (2008) menyebutkan bahwa ada empat faktor
utama yang mempengaruhi perkembangan pola dasar yang menunjukkan reaksi rasa
cemas, yaitu:
1. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi cara berpikir tentang diri sendiri dan orang lain. Hal
ini bisa disebabkan pengalaman seseorang dengan keluarga, dengan sahabat, dengan
rekan sekerja, dan lain-lain. Kecemasan akan timbul jika seseorang merasa tidak aman
terhadap lingkungannya.
2. Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika seseorang tidak mampu menemukan alan keluar
untuk perasaan dalam hubungan personal. Terutama jika seseorang menekan rasa marah
atau frustrasi dalam jangka waktu yang lama sekali.
3. Sebab-sebab fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan
perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.
4. Keturunan
Sekalipun gangguan emosi ada yang ditemukan dalam keluarga-keluarga tertentu,
ini bukan merupakan penyebab penting dari kecemasan.

Pengertian Kecemasan

Menurut Corey, (2003) dalam Kurniawati, (2008) menyatakan bahwa kecemasan
merupakan suatu keadaan tegang yang memotivasi kita untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan Atkinson, 1991 (dalam Kurniawati, 2008) mengemukakan bahwa kecemasan
merupakan bentuk dari emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-
istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami
dalam tingkat yang berbeda.
Kecemasan merupakan ketakutan yang tidak bisa diidentifikasi dengan satu sebab
khusus dan dalam banyak peristiwa mampu mempengaruhi wilayah-wilayah penting
dalam kehidupan seseorang (Kartini Kartono, 2003 dalam Pamungkas Dkk, 2013).
Wilayah-wilayah penting fisik, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Secara keseluruhan
kecemasan yang tidak segera tereduksi akan mempengaruhi aktivitas individu serta
berkurangnya produktivitias.
Kecemasan adalah suatu kondisi emosi yang tidak menyenangkan dimana
individu merasa tidak nyaman, tegang, gelisah, dan bingung. Perasaan cemas yang dialami
dapat mengganggu individu dalam kegiatan sehari-hari. Salah satu bentuk kecemasan
menurut Nugraheni, 2005 (dalam Akbar, 2016) adalah the anxiety of fate and death atau ontic
anxiety yaitu kecemasan akan nasib dan kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan
yang akan datang kapan saja dan terhadap semua makhluk yang ada di dunia ini tanpa
kecuali dan tak satu makhluk pun mampu menolaknya

Pengukuran Tingkat Spiritual

Alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat spiritual pada individu
adalah Daily Spiritual Experience Scale (DSES), untuk mengukur pengalaman spiritual yang
biasa dilakukan setiap hari. DSES terdiri dari 15 item, termasuk konstruksi seperti rasa
takut, rasa syukur, pengampunan, rasa persatuan dengan transenden, cinta kasih, dan
keinginan untuk kedekatan dengan Allah. Prosedur ini adalah untuk menghasilkan model
dua faktor: Faktor 1 ditetapkan sebagai hubungan vertikal (Tuhan atau Transenden),
yang terdiri dari 12 item (misalnya, Pertemuan pada agama atau spiritualitas). Faktor 2
dicirikan sebagai hubungan horizontal (manusia atau orang lain), yang terdiri dari tiga
item (misalnya, Saya merasa peduli tanpa pamrih pada orang lain). Skala diukur pada 6
jenis skala Likert: 6 = berkali-kali sehari, 5 = setiap hari, 4 = hampir setiap hari, 3=beberapa hari, 2 = sekali-sekali, dan 1 = tidak pernah atau hampir tidak pernah, dengan
skor: Rendah = 15-39, Sedang = 40-64, Tinggi = 65-90 (Underwood, 2002 dalam
Nilamastuti, 2016).
Kriteria tersebut menjelaskan apabila seseorang merasakan pengalaman spiritual
dengan skala seringkali (>1 kali/hari) dalam kehidupan sehari-harinya maka tingkat
spiritualitasnya tinggi dan juga begitu sebaliknya. Pengalaman spiritualitas yang dirasakan
seseorang setiap hari (1 kali/hari) dan hampir setiap hari (5-6 kali/minggu) maka sudah
jelas tingkat spiritualitasnya akan tinggi, jika pengalaman spiritualitas yang dirasaka
seseorang kadang-kadang (3-4 kali/minggu ) dan jarang ( 1 – 2 kali/minggu ) maka
tingkat spiritualitas dari seseorang tersebut sedang. Apabila seseorang mengalami
pengalaman spiritualitas hampir tidak pernah (< 1 kali/minggu) makan tingkat
spiritualitasnya rendah (Permatasari, 2017)

Indikator Tingkat Spiritual

Indikator spiritual menurut Burkhandt, (1993) dalam Nilamastuti, (2016)
meliputi:
1. Hubungan dengan diri sendiri
Hubungan diri sendiri merupakan kekuatan yang timbul dari diri seseorang untuk
membantu menyadari makna dan tujuan hidup, seperti meninjau pengalaman hidup
sebagai pengalaman positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan
hidup yang jelas.
2. Hubungan dengan orang lain
Hubungan dengan orang lain terdapat hubungan harmonis dan tidak harmonis.
Keadaan harmonis sendiri meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber,
mengasuh anak, mengasuh orang tua dan mengasuh orang-orang yang sakit, serta
meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis yaitu konflik
dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan
kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian,
keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila
seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat
memberi bantuan psikologis dan sosial.
3. Hubungan dengan alam
Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi
pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan
alam serta melindungi alam tersebut.
4. Hubungan dengan Tuhan
Hubungan dengan Tuhan meliputi agama dan luar agama. Keadaan ini
menyangkut sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan
keagamaan, serta bersatu dengan alam. Disimpulkan bahwa ketika seseorang telah
terpenuhi kebutuhan spiritualnya, apabila sudah mampu merumuskan arti personal yang
positif tentang tujuan keberadaannya di dunia atau pada kehidupan, mengembangkan arti
suatu penderitaan serta meyakini hikmah dari satu kejadian atau penderitaan, menjalin
hubungan yang positif maupun dinamis, membina integritas personal dan merasa diri
sendiri berharga, merasakan kehidupan yang terarah dan melakukan hubungan antar
manusia yang positif.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Spiritual

Menurut Taylor et al., (1997) dalam Astaria, (2010), ada beberapa faktor penting
yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang, yaitu:
1. Tahap perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang
berbeda ditemukan bahwa mereka memiliki konsep spiritualitas yang berbeda menurut
usia, jenis kelamin, agama dan kepribadian anak.
2. Keluarga
Peran orang tua sangat penting dalam perkembangan spiritualitas seorang anak
karena orang tua sebagai role model. Keluarga juga sebagai orang terdekat di lingkungan
dan pengalaman pertama anak dalam mengerti dan menyimpulkan kehidupan di dunia,
maka pada umumnya pengalaman pertama anak selalu berhubungan dengan orang tua
ataupun saudaranya.
3. Latar belakang etnik budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial
budaya. Hal yang perlu diperhatikan adalah apapun tradisi agama atau system keagamaan
yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual tiap individu berbeda dan
mengandung hal unik.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritualitas
seseorang. Selain itu juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara
spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap
sebagai suatu ujian. Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang memerlukan
kedalaman spiritual dan kemampuan koping untuk memenuhinya.
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat memperkuat kedalaman spiritual seseorang. Krisis
sering dialami ketika individu dihadapkan dengan hal sulit. Apabila klien mengalami
krisis, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk melakukan kegiatan spiritual
menjadi lebih tinggi.
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Individu yang biasa melakukan kegiatan spiritual ataupun tidak dapat berkumpul
dengan orang terdekat biasanya akan mengalami terjadinya perubahan fungsi spiritual.

Tingkat Spiritual

Menurut Hasan, (2006) dalam Rani, (2011), tingkat spiritualitas manusia ada
tujuh tingkatan dari yang bersifat egoistik maupun yang suci secara spiritual, yang dinilai
bukan oleh manusia, namun langsung oleh Allah SWT, yaitu:
1. Nafs Ammarah
Pada tahap ini, orang yang nafsunya didominasi godaan yang mengarah pada
kejahatan. Pada tahap ini orang yang tidak dapat mengontrol dirinya dan tidak memiliki
moralitas atau rasa kasih. Dendam, kemarahan, ketamakan, gairah seksual, dan iri hati
adalah sifat seseorang yang muncul pada tahap ini. Pada tahap ini kesadaran dan akal
manusia dikalahkan oleh hawa nafsu.
2. Nafs Lawwamah
Orang yang berada pada tahap ini mulai memiliki kesadaran terhadap perilakuperilakunya dan dapat membedakan yang baik maupun benar, dan menyesali kesalahankesalahannya. Akan tetapi masih belum ada kemampuan untuk mengubah gaya
hidupnya. Sebagai langkah awal, mencoba untuk mengikuti kewajiban agamanya, seperti
sholat, berpuasa, membayar zakat dan mencoba berperilaku baik. Nafsu manusia selalu
mengajak hal-hal dalam kejahatan maupun perilaku keji. Pada tahap ini, ada tiga hal yang
dapat menjadi bahaya, yaitu kemunafikan, kesombongan dan kemarahan. Mereka tidak
akan bisa bebas dari godaan setiap kali beraktifitas.
3. Nafs Mulhiman (The Inspireda Self)
Pada tahap ini, seseorang akan merasakan ketulusan dalam beribadah yang benarbenar termotivasi dari cinta dan kasih sayang, serta adanya pengabdian dan nilai-nilai
moral. Tahap ini merupakan dari awal praktik sufisme seseorang, meskipun seseorang
belum tentu terbebas dari keinginan maupun ego pada tahap ini, namun pada tahap ini
motivasi dan pengalaman spiritual terdahulu dapat mengurangi untuk pertama kalinya.
Pada tahap ini adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas dan perilaku tindakan moral
merupakan perilaku yang umum. Secara keseluruhan orang yang berada pada tahap ini,
memiliki emosi yang matang dan menghargai serta dihargai orang.
4. Nafs Muthma’innah
Pada tahap ini, seseorang merasakan kedamaian dalam hidupnya serta pergolakan
pada tahap awal telah lewat. Kebutuhan dan ikatan lama sudah tidak dibutuhkan oleh
seseorang. Pada tahap ini kepentingan seseorang mulai lenyap membuat lebih dekat
dengan TuhanNya. Pada tingkat ini seseorang akan membuat pikirannya terbuka,
bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh kasih sayang. Ketika seseorang menerima segala
kesulitan maupun cobaan dihadapi dengan kesabaran dan ketakwaan, maupun ketika
seseorang mendapatkan sebuah kenikmatan dapat dikatakan seseorang telah mencapai
tingkat jiwa yang tenang. Dari segi perkembangan tahap ini memasuki dalam periode
transisi. Seseorang sudah mulai dapat melepaskan semua belenggu dalam dirinya
sebelumnya dan telah mulai melakukan integrasi kembali pada semua aspek universal
kehidupan.
Seseorang telah merasakan kedamaian, kebahagiaan, kegembiraan dalam
beragama seperti diberi surga di atas dunia. Setiap kata-kata yang diucapkan bersumber
pada Al-Qur’an dan Hadist maupun kata-kata suci lainnya. Ibadah dan pengabdiannya
menghasilkan pada perkembangan spiritualnya.
5. Nafs Radhiyah
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya sendiri, namun juga
tetap bahagia dan tegar melewati keadaan sulit, musibah atau cobaan dalam
kehidupannya. Menyadari kesulitan yang datang dari Allah untuk memperkuat dan
memperkokoh imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak bersifat hedonistik atau
materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada
hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan penghindaran
rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur
kepada Allah berarti seseorang tersebut telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.
Namun hanya sedikit orang yang dapat mencapai tahap spiritual ini.
6. Nafs Mardhiyah
Pada tahap ini, ketika seseorang mengalami kesulitan akan merasakan
kebahagiaan, musibah atau cobaan dalam kehidupannya. Menyadari akan segala kesulitan
yang diberikan dari Allah untuk memperkuat imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak
bersifat hedonistik atau materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami oleh
seseorang yang berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada
hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan penghindaran
rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur
kepada Allah berarti seseorang tersebut telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.
Namun sedikit orang yang dapat mencapai tahap ini. dalam segala kejadian
maupun cobaan adalah atas tindakan Allah yang mencintai mereka dalam setiap situasi.
Ketakwaan, kepasrahan, kesabaran, kesyukuran, dan cinta kepada Allah SWT adalah
cobaan dari Allah untuk menanggapinya dengan cepat ketika hamba-Nya kembali
kepada-Nya.
7. Nafs Safiyah
Seseorang yang telah mencapai tahap akhir ini telah mengalami transedensi diri
yang utuh. Tidak ada nafas yang tersisa, hanya penyatuan dengan Allah. Pada tahap ini
seseorang telah menyadari Kebenaran, “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”, dan hanya
keilahian yang ada, dan setiap indera manusia atau keterpisahan adalah ilusi semata.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam mengembangkan spiritual
seseorang untuk menempuh tahap-tahap perkembangan yaitu dengan suatu cara, sarana
atau siasat yang berdasarkan ajaran Islam

Dimensi Spiritual

Menurut Ginanjar, (2004) dalam Rani, (2011) mengatakan dimensi spiritualitas
ada 3 macam yaitu tanggung jawab, pemaaf, dan pengasih sedangkan dimensi spiritual itu
sendiri merupakan kekuatan dalam diri untuk tertimbulnya rasa kedamaian dan
kebahagiaan pada diri seseorang. Berikut definisi dimensi spiritualitas menurut Ginanjar,
2004 (dalam Rani, 2011), yaitu:
1. Tanggung jawab
Tanggung jawab yaitu kemampuan dalam menyelesaikan semua tugas sebagai
wujud ihsan kepada Al-Wakil. Sedangkan bertanggung adalah sikap dan kewajiban yang
mana dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, Negara dan Tuhan.
2. Pemaaf
Pemaaf merupakan sikap menerima maaf dalam mengikhlaskan masalah sebagai
wujud ihsan pada Al-Ghafar atau orang yang rela memberi maaf kepada orang lain tanpa
sedikit ada rasa benci dan keinginan untuk membalas semua kesalahan-kesalahan yang
pernah mereka perbuat.
3. Pengasih
Pengasih merupakan unsur dorongan dalam menyayangi sesama manusia sebagai
wujud ihsan pada Ar-Rahman atau sebagai perwujudan rasa kasih sayang yang
diwujudkan dalam perlakuan dan sikap diri sendiri maupun ke sesama

Pengertian Spiritual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), spiritual artinya adalah yang
berhubungan dengan sifat kejiwaan (rohani dan batin). Spiritual merupakan kebangkitan
atau pencerahan dalam diri untuk mencapai tujuan dan makna dalam hidup serta bagian
paling pokok dari masalah kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Hasan 2006, dalam
Pustakasari, 2014).
Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang manusia dalam
kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi:
kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri.
Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan
kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian
serta memiliki tujuan hidup yang jelas (Prijosaksono 2003, dalam Astaria, 2010).
Spiritual merupakan keyakinan dalam hubungannya dengan Tuhan YME
maupun Maha Pencipta (Hamid 1999, dalam Astaria, 2010). Spiritual juga bias disebut
sesuatu yang dirasakan diri sendiri dan hubungan dengan orang sekitar, yang terwujud
dalam sikap mengasihi orang lain, baik dan ramah kepada orang lain, menghormati setiap
orang agar orang disekitar merasa senang. Spiritual adalah semua yang mencakup
kehidupan, tidak hanya doa maupun mengenal dan mengakui TuhanNya (Nelson 2002
dalam Astaria, 2010).
Menurut Meckley, et al., (1992) dalam Astaria, (2010) spiritual suatu multi
dimensi yaitu dimensi eksitensi dan deminsi agama. Dimensi eksitensi yaitu fokus dalam
tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama yaitu dominan fokus pada
hubungan seseorang dengan TuhanNya. Spiritual sebagai konsep dua dimensi yaitu
dimensi vertical dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal berperan sebagai hubungan
dengan Tuhan yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal
berperan dalam hubungan diri sendiri dengan orang lain

Upaya Penanggulangan Masalah NAPZA

Menurut Sumiati dan Dinarti (2009), upaya penanggulangan masalah
NAPZA bertujuan untuk menghentikan sama sekali (Abstinensia),
mengurangi frekuensi atau keparahan relaps, memperbaiki fungsi
psikologi dan adaptasi sosial.
1. Preventif
Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan cara:
a. Latihan afirmasi, misalnya mengatakan kepada diri
sendiri “Say No To Drug”, dan tidak pernah mencoba
walaupun hanya 1 kali.
b. Menolak ajakan (Negosiasi) teman, seperti:
1) Menolak ajakan yang tidak bermanfaat (mabuk dan
menonton film porno)
2) Menolak ajakan untuk melakukan perbuatan yang
menakutkan atau mencurigakan (mendengarkan
NAPZA)
3) Menolak pengruh atau ajakan teman tidak harus
dilakukan dengan cara kasar atau marah, tetapi tegas
dan dengan alas an yang masuk akal. Carilah cara
dan alas an yang tepat untuk menolak, tanpa
menyakiti perasaan teman kita.
c. Deteksi dini atau perkenalan sedini mungkin cirri-ciri:
1) Penggunaan NAPZA, misalnya: bohong, mencuri,
dan sering berkelahi.
2) Keluarga yang berisiko, misalnya: kurang
memberikan perhatian dan komunikasi tidak baik.
d. Penyebaran informasi melalui media masa, misalnya
iklan.
e. Pendidikan efektif, misalnya terampil menyelesaikan
masalah secara konstruktif.
f. Pemberian alternative, misalnya mengadakan aktifitas
dan member kesempatan mengembangkan diri dalam
aktifitas tersebut.
g. Latihan ketahanan social, misalnya meningkatkan
pertahanan diri, menolak, membuat permintaan untuk
berdiskusi dengan orang lain.
h. Peningkatan kemampuan, misalnya menyelesaikan
masalahnya dan mengendalikan diri.
.2. Kuratif
Pengobatan dapat dilakukan dengan cara:
a. Detoksikasi untuk mengurangi gejala putus zat,
membantu klien terhindar deri pengobatan sendiri
dengan zat-zat illegal, mempersiapkan untuk program
lanjutan (Rehabilitasi).
b. Maintenance (Pemeliharaan), klien diberikan subsitusi
setelah detoksifikasi untuk jangka panjang, misalnya
dengan naltrekson, bufrenorfin, atau metadon.
c. Terapi psikososial seprti konseling (termasuk
komunikasi terapeutik), psikoterapi, atau terapi
kelompok, terapi keluarga dan lingkungan. Termasuk
juga pemberian pendidikan agama.
.3. Rehabilitatif dan Terapi Psikososial
a. Rehabilitasi keagamaan misalnya pesantren.
b. Terapi komunitas, dilakukan oleh mantan addic
(pengguna NAPZA

Alasan Penggunaan NAPZA dikalangan Remaja

Menurut Sumiati dan Dinarti (2009), alasan remaja menggunakan
NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu alasan
individu, lingkungan, dan NAPZAnya itu sendiri:
1. Alasan Pada Individu
a. Tidak memiliki keterampilan untuk mengatasi
emosional yang agresif.
b. Rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga ada keinginan
untuk coba-coba.
c. Adanya krisis identitas dan ingin diterima dalam
pergaulan.
d. Mempunyai pendapat bahwa NAPZA merupakan cara
untuk mengatasi stress, frustasu, bukti pertisipasi dalam
suatu gaya hidup alat pengakuan diri.
e. Ketidaktahuan akan bahaya NAPZA baik bagi dirinya,
keluarga, lingkungan maupun masa depannya.
2. Alasan Pada lingkungan
a. Terpengaruh oleh iklan yang menampilkan orang-orang
yang menggunakan tampil oke dan keren.
b. Bujukan teman yang lebih dulu menjadi pengguna.
c. Diiming-imingi teman bahwa NAPZA itu nikmat dan
sebagai anak gaul.
d. Kurangnya perhatian dari keluarga maupun pergaulan
temannya.
e. Kurangnya informasi atau pendidikan pengarahan.
2.3.4.3. Alasan Pada NAPZA itu Sendiri
NAPZA sendiri mudah diperoleh dan tersedianya di
pasaran, baik secara resmi maupun tidak resmi

Jenis NAPZA yang sering disalahgunakan

Menurut Sumiati dan Dinarti (2009), NAPZA yang sering
disalahgunakan ialah:
.1. Opiodia
Opiodia dihasilkan dari getah Opium Poppy yang diolah
menjadi Morfin, kemudian dengan proses tertentu sehingga
menghasilkan Putaw, dimana Putaw mempunyai kekuatan
10 kali melebihi Morfin. Opioid sintetik mempunyai
kekuatan 400 kali lebih kuat daripada Morfin. Opioid atau
Opiate biasanya digunakan dokter sebagai analgetika kuat
berupa Perhidin, Methadone, Tawin, Codein, dan lain-lain.
Opioid disalahgunakan dangan cara disuntik atau dihisap,
dengan nama yang terkenal adalah Putaw, Black Heroin,
dan Brown Sugar.
2. Kokain
Kokain adalah zat adiktif yang sering disalahgunakan dan
merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan
alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar
Erythroxylon Coca, yang berasal dari Ameriak Selatan,
dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyahkunyah oleh penduduk setempat untuk mendapat efek
stimulan.
3. Kanabis
Kanabis (ganja) mengandung Delta-9 tetra-hidrokanabinol
(THC). Ganja yang dibentuk seperti rokok merupakan
tanaman yang sudah dikeringkan dan dirajang. Kemudian
dilinting seperti tembakau. Komlikasi yang mungkin terjadi
ialah sindrom amotivasional, yaitu sekumpukan gejala yang
timbul karena penggunaan ganja dalam jangka waktu lama
dan dalam jumlah yang banyak sehingga mengakibatkan
kemampuan bicara, baca, hitung akan menurun,
kemampuan dan keterampilan social terhambat,
menghindari persoalan bukan menyelesaikannya, gerak
anggota badan lambat, perhatian terhadap lingkungan
sekitar berkurang sampai tidak bereaksi sama sekali ketika
dipanggil, mudah percaya mistik, kurang semangat dalam
bersaing dan kerang memikirkan masa depan. Perubahan
fisik juga terjadi seperti mulut kering, hipotensi ortostik,
bronchitis, immunosupresi, penurunan testosteron dan
sperma, gangguan menstruasi dan ovulasi, cemas, paranoid,
dan panic, kesulitan pengambilan keputusan, gangguan
tidur, halusinasi, dan delusi.
.4. Amfetamin
Nama generik Amfetamin ialah D-pseudo efedrin yang
digunakan sebagai dekongestan. Amfetamin terdiri dari 2
jenis yaitu MDMA (Methile Dioxy Methamhetamine) atau
ekstasi dan metamfetamin (sabu-sabu). Penggunaannya
melalui oral dalam bentuk pil. Kristal yang dibakar dengan
menggunakan kertas alumunium foil dan asapnya dihisap
atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang
dirancang khusus (Bong) atau Kristal yang dilarutkan
disuntikan melalui intravena. Komplikasi kesehatan yang
dapat ditimbulkan adalah meningkatnya denyut jantung dan
pernafasan, detak jantung iregular, penurunan fungsi fisik,
demam tinggi, gangguan kardiovaskular, dan cardiac arrest,
dan dampak penuruan psikologis.
.5. Alkohol
Alkohol diperoleh dari proses fermentasi madu, gula, sari
buah, atau umbi-umbian. Hasil fermentasi ini dapat
diperoleh alkohol dengan kadar tidak lebih 15% tetapi
dengan proses penyulingan dapat dihasilkan alkohol dengan
kadar tinggi, bahkan mencapai 100%. Alkohol dapat diserap
dengan cepat oleh saluran pencernaan, tanpa perlu dicerna
lagi. Kecepatan penyerapan tersebut tergantung dari kadar
alkohol serta ada atau tidak adanya makanan dalam
lambung. Masalah kesehatan yang ditimbulkan ialah
kematian akibat overdosis alkohol atau bercampurnya
alkohol dengan zat lain yang mendepresi susunan saraf
pusat, rusaknya jaringan dan organ kronis karena efek
toksik, kerusakan otak, fetal alkohol sindrom, trauma dan
kecelakaan. Alkohol ialah zat yang banyak dikonsumsi
orang melalui minuman (bir 2-5% alkohol, anggur 10-14%,
wiski, vodka 40-50% alkohol)

Jenis-jenis NAPZA

Menurut BNN (2008), NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu
Narkotika, Psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagibagi lagi dalam kelompok:
1. Narkotika
Narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman,
bukantanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai hilang rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan. Berdasarkan UU No.
22 tahun 1997, jenis narkotika dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu:
a. Narkotika golongan I
Dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan.
Dilarang diproduksi atau digunakan dalam proses
produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
contohnya: ganja, morphine, dan putaw (heroin tidak
murni berupa bubuk).
b. Narkotika golongan II
Narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian,
contohnya: Petidin dan turunannya, Benzetidin, dan
Betametadol.
c. Narkotika golongan III
Narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian,
contohnya: Codein dan turunannya.
.2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
memnyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
perilaku. Psikotropika seringkali diginakan tenaga medis
untuk mengobati dang mengurangi gejala gangguan
kejiwaan.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997, Psikotropika
dikelompokan menjadi 4 golongan, yaitu:
a. Psikotropika golongan I
Psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat,
belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, sedang
diteliti khasiatnya. Contoh: ekstasi (menthylendioxy
menthaphetamin dalam bentuk tablet atau kapsul) dan
sabu-sabu (berbentuk Kristal berisi zat
Menthaphetamin).
b. Psikotropika golongan II
Psikotropika dengan daya aktif yang kuat serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh Ampetamin
dan Metapetamin.
c. Psikotropika golongan III
Psikotropika dengan daya adiktif yang kuat serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh:
Lumubal dan Fleenitrazapam.
d. Psikotropika golongan IV
Psikotropika dengan daya adiktif ringan serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya:
Nitrazepam dan Diazepam.
3. Bahan Adiktif lainnya
Golongan adiktif lainnya ialah zat-zat selain narkotika dan
psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan.
Contoh: rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang
dapat memabukan dan ketagihan, thiner, dan zat-zat lain,
seperti lem kayu, aseton, cat, yang bila dihisap, dan dicium
dapat memabukan.

Pengertian NAPZA

Menurut UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dimaksud
dengan NAPZA ialah Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya. NAPZA berupa zat yang bila masuk dalam tubuh akan
mempengaruhi tubuh, terutama susunan saraf pusat yang dapat
menyebabkan gangguan pada fisik, psikis, dan fungsi social (Sumiati
dan Dinarti, 2009).

Indikator Intensi Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA

Indikator Intensi penyalahgunaan NAPZA ada 17 indikator yang
dikemukakan oleh Gordon (Afiatin, 2010). Adapun ke-17 tanda
tersebut adalah:
1. Nilai sekolah menurun,
2. Motivasi sekolah menurun,
3. Sering bolos,
4. Sering keluar kelas dan tidak kembali ke sekolah,
5. Mengantuk di kelas, sering bosan dan tidak memperhatikan
guru,
6. Sering dipanggil guru karena tidak disiplin,
7. Meninggalkan hobi-hobinya yang terdahulu (misalnya kegiatan
ekstrakurikuler dan olah raga yang sebelumnya sangat
digemari),
8. Mengeluh karena menganggap keluarganya tidak memberikan
kebebasan, atau terlalu keras menegakkan disiplin,
9. Mulai sering berkumpul dengan anak-anak yang bermasalah
disekolah,
10. Sering meminjam uang kepada teman,
11. Sering pergi hingga larut malam atau menginap dirumah teman,
12. Berubahnya gaya berpakaian dan gaya musik yang disukai,
13. Tidak peduli pada kebersihan diri,
14. Menunjukkan sikap tidak peduli,
15. Meninggalkan teman lama,
16. Bila ditanya sikapnya defensif atau penuh kebencian,
17. Mudah tersinggung di sekolah.

Faktor Pembentuk Intensi

Keterkaitan antara intensi untuk berperilaku dengan perilaku aktual
salah satu pendekatannya dapat ditemukan pada teori perilaku
terencana (Theory of Planed Behaviour / TPB). TPB merupakan
salah satu teori yang digunakan untuk mengetahui bagaimana
keyakinan individu untuk memahami apakah mereka jadi
memutuskan untuk bersikap terhadap objek sikap dan bagaimana
keyakinan mereka memprediksi apakah mereka pada akhirnya akan
bersikap (Ajzen, 1991 dalam Albery & Munafo, 2011).
Intensi seseorang untuk berperilaku diprediksi oleh tiga faktor
berbasis keyakinan. Ketiga faktor tersebut antara lain:
1 Sikap
Sikap merupakan keyakinan tentang apakah hasil yang
mestinya individu peroleh jika telah bersikap tertentu. Di
waktu yang sama, individu juga memegang keyakinan
tentang nilai dari hasil itu bagi individu sendiri. Sikap untuk
berperilaku ini meliputi:
a. Keyakinan
Keyakinan berperilaku yaitu bagaimana individu
meyakini tentang apakah hasil yang seharusnya
diperoleh jika sudah bersikap tertentu.
b. Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil merupakan keyakinan tentang nilai hasil
bagi dirinya sendiri dari apa yang telah individu sikapi.
2 Norma Subjektif
Norma subjektif merupakan keyakinan individu tentang apa
yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Persepsi
individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau
tidak melakukan perilaku yang bersangkutan. Norma
subjektif meliputi:
a. Keyakinan Normative
Keyakinan normative yaitu bagaimana keyakinan yang
individu miliki tentang orang lain yang di anggap
penting juga ingin individu bersikap demikian.
b. Motivasi Pencapaian
Motivasi untuk mencapai keinginan mencerminkan
keyakinan bahwa individu ingin melakukan apa yang
orang lain penting bagi individu tersebut ingin individu
melakukannya.
c. Pengendalian perilaku atau kontrol perilaku
pengendalian perilaku merupakan keyakinan-keyakinan
yang berkaitan dengan seberapa banyak kontrol yang
dianggap dimiliki seseorang terhadap perilaku tertentu,
untuk menjelaskan hubungan sikap-perilaku dalam
perilaku tidak dikehendaki.
3 Pengendalian perilaku atau kontrol perilaku
Pengendalian perilaku merupakan keyakinan-keyakinan
yang berkaitan dengan seberapa banyak kontrol yang
dianggap dimiliki seseorang terhadap perilaku tertentu,
untuk menjelaskan hubungan sikap-perilaku dalam perilaku
tidak dikehendaki.
Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masalalu dan
perkiraan individu mengenai mudah sulitnya melakukan
perilaku yang akan dilakukan. Kontrol perilaku ini sangat
penting, artinya ketika rasa percaya diri seseorang sedang
dalam kondisi lemah (Ajzen, 1991 dalam Albery &
Munafo, 2011).

Pengertian Intensi

Kamus Bahasa Indonesia (2003), Kecenderungan atau Intensi dapat
diartikan sebagai niat untuk melakuakn suatu perilaku tertentu dan
juga tinggi rendahnya kemungkinan untuk melakukan sesuatu
dengan keinginannya pada suatu hal.
Menurut Dagun (2006), intensi adalah keinginan bertindak untuk
melakukan atau merubah sesuatu untuk mencapai suatu tujuan.
Sedangkan menurut Ajzen dan Fishbein, (1980) dalam Azwar,
(2005), intensi merupakan niat untuk berperilaku, seseorang akan
melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu
positif dan bila ia percaya dengan orang lain, ia juga ingin agar
melakukannya. Intensi digunakan untuk memprediksi seberapa kuat
keinginan individu untuk menampilkan perilaku. Intensi untuk
berperilaku merupakan kecenderungan seseorang untuk memilih
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Menurut Ajzen, (1988) dalam Azwar, (2005), keyakinan mengenai
tersedia-tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan akan
menentukan intensi untuk berperilaku. Keyakinan dapat berasal dari
pengalaman dengan perilaku yang bersangkutan dimasa lalu, dapat
juga dipengaruhi oleh informasi tak langsung mengenai perilaku
tersebut, misal melihat pengalaman teman atau orang lain yang
pernah melakukannya, dan juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain yang mengurangi atau menambah kesan kesukaran untuk
melakukan perbuatan yang mungkin akan dilakukan. Disamping
berbagai faktor penting seperti hakikat stimulus itu sendiri, latar
belakang, pengalaman individu, motivasi, status kepribadian, dan
sebagainya, memang sikap individu memegang peranan dalam
menentukan bagaimana perilaku seseorang dilingkungannya.
Menurut Fishbein dan Ajzen ( Riyanti 2007) Intensi adalah posisi
seseorang dalam dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan
suatu hubungan antara dirinya dengan beberapa tindakan. Intensi
merupakan faktor motivasional yang mempengaruhi tingkah laku.
Intensi dapat menunjukkan seberapa besar kemauan seseorang untuk
berusaha melakukan suatu tingkah laku tertentu. Intensi tersebut
masih merupakan disposisi untuk bertingkah laku sampai pada saat
ada kesempatan yang tepat.
Intensi terdiri dari empat elemen, yaitu:
a. Tingkah laku yang spesifik
b. Objek target diarahkannya tingkah laku
c. Situasi dilakukan tingkah laku
d. Waktu dilakukannya tingkah laku
Sedangkan Warshaw dan Davis ( Landry, 2003) menjelaskan bahwa
intensi adalah tingkatan dimana seseorang memformulasikan
rencana untuk menunjukkan suatu tujuan masa depan yang spesifik
atau tidak, dan itu semua dilakukan secara sadar. Mereka berdua
juga menambahkan bahwa intensi melibatkan pembentukan
komitmen perilaku untuk menunjukkan suatu tindakan atau tidak,
dimana ada harapan yang diperkirakan seseorang dalam
menunjukkan suatu tindakan bahkan ketika komitmen tersebut
belum dibuat.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Menurut Taylor, Lillis & Le Mone (1997 dalam Hamid, 2008), dan
Craven & Himle (1996), menjabarkan faktor penting yang dapat
mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah:
a. Tahap perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat
agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai
persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda
menurut usia, seks, agama, dan kepribadian anak. Diuraikan
persepsi anak tentang Tuhan mencakup hal-hal: gambaran
tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia
dan saling keterikatan dengan kehidupan; mempercayai bahwa
Tuhan terlibat dalam perubahan dan pertumbuhan diri serta
transformasi yang membuat dunia tetap segar, penuh kehidupan,
dan berarti; meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan merasa
takut menghadapi kekuasaan Tuhan; gambaran cahaya/sinar.
Bayi dan todler (0-2 tahun): tahap awal perkembangan spiritual
adalah rasa percaya yang mengasuh yang sejalan dengan
perkembangan rasa aman dan dalam hubungan interpersonal.
Bayi dan todler belum memiliki rasa salah dan benar serta
keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa
mengerti arti kegiatan yang dilakukan. Usia pra sekolah meniru
apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain.
Menurut Kozier, Erb, Blais, dan Wilkinson (1995 dalam hamid,
2008) pada usia prasekolah ini metode pendidikan spiritual yang
paling efektif adalah memberikan doktrinasi dan memberikan
kesempatan kepada mereka untuk memilih saranya. Usia
sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya, yang salah
akan dihukum dan yang baik akan diberikan hadiah. Pada masa
prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka
menyadari bahwa doa tidak selalu dijawab menggunakan cara
mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima
keyakinan begitu saja. Pada masa remaja, mereka
membandingkan standar orang tua mereka dengan orang tua lain
dan menetapkan standar yang akan di integrasika dalam
perilakunya. Kelompok usia dewasa muda dihadapkan pada
pertanyaan bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari
apa yang pernah diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak
dahulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa daripada waktu
remaja dan masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk
mendidik anaknya. Usia pertengahan dan lansia lebih banyak
waktu untuk kegiatan agama dan berusaha unutk mengerti nilai
agama yang diyakini generasi muda.
b. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritualitas
anak. Anak mempelajari mengenai Tuhan, kehidupan, dan diri
sendiri dari perilaku orang tua mereka. Oleh karena keluarga
merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak
dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, pandangan anak
pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam
berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
c. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang
etnik dan sosial budaya. Pada umumnya. Seseorang akan
mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar
pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral
dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai kegiatan
keagamaan.
d. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat
mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup yang
menyenangkan seperti pernikahan, pelantikan kelulusan,
kenaikan pangkat/jabatan dapat menimbulkan perasaan
bersyukur kepada Tuhan, tetapi ada juga merasa tidak perlu.
Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu
cobaan yang diberikan Tuhan untuk menguji kekuatan iman.
Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang
memerlukan kedalaman spiritual dan kemampuan koping untuk
memenuhinya.
e. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedlaman spiritual
seseorang (Toth, 1992) dan Craven & Hirnle (1996). Krisis
sering ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan,
proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian khususnya
pada klien dengan penyakit terminal. Perubahan dalam
kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan
pengalaman spiritual selain pengalaman yang bersifat fisik dan
emosional.
f. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering membuat
individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan
sisitem dukungan sosial. Kebiasaan hidup yang berubah antara
lain tidak dapat menghadiri acara resmi, melakukan kegiatan
keagamaan, tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman
dekat yang biasa memberikan dukungan setiap saat yang
diinginkan. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual dapat
beresiko terjadi perubahan fungsi spiritualnya.
g. Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai
cara Tuhan unutk menunjukkan kebesarannya walaupun ada
yang menolak intervensi pengobatan. Konflik antara jenis terapi
dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan tenaga
kesehatan.

Aspek Spiritualitas

Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu
aspek eksistensial, aspek kognitif,dan aspek relasional:
a. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk
“mematikan” bagian dari dirinya yang bersifat egosentrik dan
defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini
dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).
b. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi
lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan
dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas
suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk
konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal
yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara
lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi
atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas
yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian
pengetahuan spiritual.
c. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang
merasa bersatu dengan Tuhan dan/atau bersatu dengan cintaNya.
Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan
memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan

Manfaat Spiritualitas

beberapa manfaat yang dirasakan dari keterikatan spiritual (spiritual
connections) yaitu:
a. Meningkatkan perasaan akan kedamaian diri dan kekuatan batin,
meningkatkan kesadaran pribadi, penerimaan yang baik tentang
kehidupan dunia, kemampuan untuk mengatasi ketidakpastian
hidup dan ambiguisitas, kemampuan menerima kondisi seperti
kemerosotan fisik karena usia, kondisi sakit terminal dan
keadaan stres.
b. Kemampuan beradaptasi dengan baik (successful adaptation)
dan pemulihan kesehatan bersama dengan harmoni alam sangat
diperlukan untuk kesehatan. Upaya lain adalah melalui restorasi
doa dengan tuhan sebagai perantara perjanjian dengan tuhannya
sehingga dapat diberikan kesehatan

Karakteristik Spiritualitas

Delgado (2002), mengidentifikasi empat karakteristik spiritualitas
yang dianggap penting, yaitu:
a. Spiritualitas memerlukan sistem kepercayaan (kemauan untuk
percaya) dan apa yang diyakini sebagai kebenaran ( keyakinan
ada kekuatan yang lebih tinggi atau adanya agama berdasarkan
keyakinan inti).
b. Spiritualitas melibatkan kondisi individu dalam pencarian
makna dan tujuan keterikatan transenden atau misi individu
yang merasakan terpanggil karena takdir atau nasib dan bergeser
dari nilai-nilai material kepada nilai-nilai idealis.
c. Spiritualitas meliputi kesadaran keterikatan dengan orang lain
yang didapatkan melalui instropeksi diri. Dalam konteks non
religion, kondisi ini dapat dijelaskan sebagai rasa kagum,
apresiasi dan rasa hormat. Dalam konteks agama, itu termasuk
hubungan yang tinggi dengan Tuhannya yang di hubungkan
dengan doa dan meditasi. Spiritualitas melibatkan proses
rekonsiliasi keyakinan dan praktek pada saat individu
dihadapkan pada kesulitan dan kondisi sakit.
d. Spiritualitas adalah kepercayaan bahwa seseorang dapat
melampaui batas dirinya dalam dimensi yang lebih tinggi,
adanya keinginan untuk sebuah kebenaran dan kesucian dan
keyakinan bahwa seseorang dapat menyelesaikan
kesulitan,kerugian dan rasa sakit dengan kepercayaan tersebut.
(Hanna, 2006)

Pengertian Spiritualitas

Spiritualitas adalah hubungan dengan Yang Maha Kuasa dan Maha
Pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.
Religiusitas adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi
seseorang dalam kehidupannya tanpa memandang suku atau asal
usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi; kebutuhan fisiologi,
keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri.
Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan Spiritual seseorang.
Dimana berlimpah dengan kreatifitas, intuisi, keceriaan, sukacita,
kasih saying, kedamaian, toleransi, kerendahan hati, serta memiliki
tujuan hidup yangjelas (Maslow, 1970, dikutip dari Prijosaksono,
2012).
Menurut Mickley, et al (2011) menguraikan Spiritual adalah sebagai
suatu yang multidimensi yang dimensieksitensial dan dimensi
agama. Dimensi eksitensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,
sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada tujuan dan arti
kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus padahubungan
seseorang dengan Tuhan yang Maha Kuasa. Spiritual sebagai konsep
dua dimensi, dimensi vertical sebagai hubungan dengan Tuhan atau
Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan
dimensi horizontal adalah hubungan dengan diri sendiri, dengan
orang.
Spiritualitas adalah kehidupan, tidak hanya do’a, mengenal, dan
mengakui Tuhan (Nelson, 2012).
Spiritualitas adalah konsep yang luas dengan berbagai dimensi dan
perspektif yang ditandai adanya perasaan keterikatan (koneksitas)
kepada sesuatu yang lebih besar dari diri kita, yang disertai dengan
usaha pencarian makna dalam hidup atau dapat dijelaskan sebagai
pengalaman yang bersifat universal dan menyentuh. Beberapa
individu menggambarkan spiritualitas dalam pengalam-pengalaman
hidupnya seperti adanya perasaan terhubung/transendental yang suci
dan menentramkan, sebagaian individu yang lain merasaan
kedamaian saat berada di masjid, gereja, kuil atau tempat suci
lainnya (Ardian, 2016).

Teori Perilaku Konsumen

Istilah perilaku konsumen mengacu pada perilaku yang ditampilkan
konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan
membuang produk dan layanan yang mereka harapkan akan memuaskan
kebutuhan mereka (Schiffman dan Kanuk, 1994). Perilaku konsumen
dipengaruhi oleh pengaruh eksternal dan internal. Pengaruh eksternal terdiri
dari usaha pemasaran yaitu produk, promosi, harga dan distribusi serta
lingkungan sosial budaya yang terdiri dari keluarga, sumber informasi,
sumber non komersial yang lain, kelas sosial, subbudaya dan budaya.
Pengaruh internal yaitu psikologi konsumen yang terdiri dari motivasi,
persepsi, belajar, kepribadian dan sikap (Schiffman dan Kanuk, 2000).
Seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah, intervening variabel dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori yang digambarkan sebagai konstruksi
perseptual, dan yang digambarkan sebagai konstruksi pembelajaran.
Konstruksi persepsi meliputi:
• Sensitivitas terhadap informasi : sejauh mana pembeli mengontrol
arus informasi stimulus.
• Bias perseptual : distorsi atau perubahan informasi yang diterima
karena konsumen menyesuaikan informasi baru ke dalam set
mentalnya yang sudah ada.
• Cari informasi : pencarian aktif informasi tentang pilihan konsumsi.
Dalam kombinasi konstruk perseptual ini berfungsi untuk
mengontrol, menyaring dan memproses rangsangan yang diterima.

Faktor Promosi

Promosi merupakan suatu aktivitas yang digunakan untuk mempercepat
respon atau membujuk para konsumen mengenai produk yang ditawarkan untuk
mendorong pembelian maupun pembelian ulang. Promosi merupakan suatu
komunikasi informasi antara penjual dan pembeli yang bertujuan untuk merubah
sikap dan tinakah laku pembeli, yang sebelumnya tidak mengenal menjadi
mengenal sehingga menjadi pembeli dan mengingat produk tersebut (Saladin dan
Oesman, 2002). Promosi ialah sejenis komunikasi yang memberi penjelasan dan
meyakinkan calon konsumen mengenai barang dan jasa dengan tujuan untuk
memperoleh perhatian, mendidik, mengingatkan dan meyakinkan calon konsumen
(Buchari, 2006).
Promosi bertujuan untuk menginformasikan, mengingatkan dan
mempengaruhi konsumen (Hendra & Lusiah, 2017). Dimana tujuan utama
melakukan promosi adalah mencari laba. (Rohmaniah, 2019). Beberapa tujuan
dilakukannya promosi yaitu mendidik konsumen agar meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan konsumen dengan melakukan iklan / advertise, hubungan masyarakat
/ public relation, titik pembelian / point of purchase (POP) dan tampilan / display,
bertujuan mengubah sikap, perasaan dan keyakinan konsumen dengan melakukan
iklan kompetitif / competitive advertising, penjualan pribadi / personal selling,
promosi penjualan / sales promotion dan titik penjualan / point of sale (POS) serta
bertujuan untuk menstimulasi konsumen agar melakukan pembelian dengan
memberikan sampel produk, kupon undian dan melakukan program tukar-tambah
(Rangkuti, 2009).

Faktor Harga

Harga merupakan sejumlah uang yang dibebankan atas suatu barang atau jasa
serta jumlah dari nilai uang yang ditukarkan oleh konsumen atas berbagai manfaat
karena memiliki atau menggunakan produk atau jasa (Kotler dan Amstrong, 2013).
Faktor harga merupakan suatu indikator terhadap besar kecilnya nilai kepuasan
seseorang terhadap produk yang dibelinya (Indriyo, 2014). Seseorang akan
membayar suatu produk apabila nilai kepuasan terhadap suatu produk terpenuhi.
Nilai ekonomis dicipatakan oleh kegiatan yang terjadi dalam mekanisme pasar
antara pembeli dan penjual. Strategi penentuan harga (pricing) sangat berpengaruh
dalam pemberian nilai kepada konsumen dan mempengaruhi gambaran suatu
produk serta keputusan pembelian (Lupiyoadi, 2014). Indikator-indikator harga,
keterjangkauan harga, kesesuaian harga dengan kualitas produk, kesesuaian harga
dengan manfaat dan daya saing harga (Kotler dan Amstrong, 2012).

Faktor Produk

Produk ialah suatu faktor utama terjadinya transaksi produsen dengan
konsumen. Produk merupakan sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk
diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan
keinginan atau kebutuhan konsumen (Sudaryono, 2016). Produk ialah segala
sesuatu yang memilki nilai pada suatu pasar sasaran, dimana memilki manfaat dan
kepuasan terhadap suatu barang, jasa ataupun perihal simbolik (Aeker, 2001).
Terdapat dua kelompok klasifikasi produk menurut Tjiptono (2002), yaitu barang
dan jasa. Barang merupakan produk yang berwujud fisik sehingga dapat dilihat,
diraba, disentuh, dipegang dan perlakuan fisik lainnya. Barang tidak tahan lama
atau barang yang terpakai habis (non durable goods) merupakan barang berwujud
yang pada umumnya habis dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali pemakaian.
Barang tahan lama (durable goods) merupakan barang berwujud yang dapat
bertahan sesusai umur ekonomisnya yang pada umumnya memiliki masa jaminan
atau garansi. Sementara itu, jasa merupakan suatu aktivitas atau manfaat atas
kepuasan yang ditawarkan untuk diperjual-belikan

Proses Pengambilan Keputusan

Keputusan pembelian adalah tahap dalam proses pengambilan keputusan,
dimana konsumen benar-benar membeli. Proses keputusan pembelian merupakan
suatu perilaku konsumen untuk menentukan suatu proses pengembangan keputusan
dalam membeli suatu produk (Romadhoni, 2015). Kepuasan dalam membeli barang
dapat diukur setelah produk tersebut dibeli dan digunakan. Proses dalam keputusan
pembelian yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif,
keputusan pembelian dan perilaku setelah pembelian (Sukotjo dan Radix, 2010).
Pengenalan kebutuhan merupakan output dari adanya pencarian informasi
merupakan langkah yang timbul setelah menyadari kebutuhan, evaluasi beberapa
alternatif melalui beberapa kriteria seperti biaya, fitur, merek, keputusan pembelian
mencakup lima sub keputusan pembelian yaitu keputusan merek, pemasok,
kuantitas, kualitas, efektifitas, efisiensi, metode pembayaran dan yang terakhir
adalah perilaku pasca pembelian (Loudon dan Bitta, 1993). Proses pembelian
konsumen dimulai lebih awal sebelum pembelian sesungguhnya dan berlanjut
setelah itu, sehingga pemasar harus focus pada seluruh proses daripada hanya
keputusan membeli saja (Kotler dan Amstrong, 2001

Keputusan Pembelian

Keputusan pembelian konsumen adalah proses penyelarasan yang
menggabungkan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif
dan memilih satu diantaranya (Sartia et al., 2013). Konsumen dalam melakukan
keputusan pembelian mengambil beberapa peran. Peran tersebut antara lain
pengambil inisiatif, orang yang mempengaruhi, pembuat keputusan, pembeli dan
pemakai (Arie et al., 2013). Keputusan pembelian minyak goreng kelapa (coconut
cooking oil) memiliki beberapa tahapan yang muncul setelah ada ketertarikan dan
ingin memakai produk yang dilihat. Tahap pengenalan kebutuhan dimana
responden tertarik membeli minyak goreng untuk kesehatan dan motivasi ingin
sehat. Pemenuhan kebutuhan, pemahaman kebutuhan, proses mencari barang,
proses evaluasi dan pengambilan keputusan pembelian (Dinawan, 2010).
Meningkatnya tingkat pendapatan berpengaruh secara positif terhadap
peningkatan konsumsi. Daya beli kebutuhan tidak pokok dan penghargaan akan
waktu semakin meningkat sehingga menyebabkan konsumen menuntut pada
kenyamanan dalam berbelanja (Setiadi, 2013). Daya beli konsumen merupakan
salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam memenuhi pemahaman subyektif
dari produsen atas sesuatu yang bisa ditawarkan (Brigham dan Huston, 2014).

Hubungan antara persepsi kepercayaan dengan niat pembelian

Kepercayaan membentuk pernyataan secara psikologis yang mempengaruhi
keinginan konsumen untuk berbelanja online pada electronic vendors (Hong dan
Cho, 2011; Pavlou dan Gefen, 2004) dalam Long Wu (2012). Penelitian
sebelumnya telah secara spesifik menghubungkan link antara kepercayaan dan
niat pembelian pada e-commerce. Sedangkan niat pembelian sendiri
membutuhkan rasa percaya satu sama lain antara konsumen dan pihak e-retailer
untuk dapat diimplementasikan pada tindakan

Hubungan antara persepsi keadilan dengan persepsi kepercayaan

Selain niat, persepsi atas keadilan yang secara prosedural disebutkan telah
memiliki pengaruh terhadap persepsi kepercayaan terhadap perusahaan. Menurut
literatur yang sudah ada dari Gefen (2002) menyebutkan bahwa kepercayaan
merupakan faktor utama untuk menghubungkan e-retailers dengan konsumen.
Sedangkan menurut Hong dan Cho (2011) menyatakan bahwa pemilihan
merchant didorong oleh niat ingin membeli yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti nilai, merek, dan kepercayaan satu sama lain.

Hubungan antara persepsi keadilan dengan niat pembelian

Pada keadilan prosedural antara penjual dan pembeli berada di situasi
sama-sama sepakat dengan apa yang ditentukan. Ketika keadilan menjadi isu yang
sensitif, respon dari konsumen dapat berarti positif atau negatif. Menurut
Clemmer (1993) dalam Pei et al. (2014) menyebutkan bahwa keadilan dalam
layanan paska pembeliaan berpengaruh signifikan untuk memprediksi kepuasan
pelanggan secara keseluruhan dan menimbulkan niatan untuk berkunjung
kembali. Mengartikan dari persepsi konsumen atas proses pengembalian, keadilan
prosedural berfokus pada fleksibilitas dan efisiensi dari kebijakan atau aturan
pengembalian (Kuo dan Wu, 2012)

Hubungan antara waktu pengembalian dengan persepsi keadilan

Tingginya pembatasan pengembalian akan menyebabkan resiko tersendiri,
kemungkinan besarnya adalah kehilangan pelanggan, dilihat dari mudahnya
kebijakan pengembalian barang yang merupakan bagian dari proposisi nilai yang
dilakukan peritel (Dholakia et al., 2005). Salah satunya berapa lama peritel
memberi kesempatan pelanggan mengembalikan barangnya jika tidak puas.
Dampaknya adalah kebijakan pemberian tenggang waktu pengembalian tersebut
dianggap adil oleh konsumen jika halnya dilakukan dengan pengembalian barang
sekaligus penukaran langsung. Selain itu pada e-retailers tertentu total biaya
pengiriman kembali barang tersebut diganti sampai dengan 30% oleh pihak ritel.
Kelonggaran waktu yang diberikan e-retailers menjadi pertimbangan pelanggan
dalam membeli produk online termasuk dengan ketentuan lainnya seperti
pengembalian dengan tanda terima, pengembalian sesuai dengan kemasan asli di
awal terima, dan lainnya (Davis et al., 1998)

Hubungan antara waktu pengembalian dengan niat pembelian

Konsumen yang dalam keadaan dimana retailer mengijinkan pelanggannya
membawa kembali barang yang tidak diinginkan dan telah dibayar untuk
dikembalikan ataupun ditukar tidak diperlukan membayar kompensasi apapun
pada retailer (Sullivan dan Adcock, 2002:284). Ketika dalam keadaan seperti itu
konsumen dengan senang menerima konsekuensi mengirim kembali barang yang
dibeli untuk mendapatkan uang kembali atau penggantian barang karena produk
yang mereka terima tidak sesuai ekspektasi. Mereka sadar bahwa kebijakan
pengembalian barang merupakan keuntungan nyata bagi konsumen dan tidak
terdapat nilai negatif yang menyebabkan masalah. Dengan waktu pengembalian
yang longgar membuat konsumen punya keinginan kuat untuk membeli barang
tersebut. Hal ini beralasan karena konsumen punya keyakinan akan keuntungan
yang didapat jika mengalami service failure. Harris et al., (2006)
mendemonstrasikan tingkat pemulihan yang disediakan oleh perusahaan, mencoba
untuk kembali dari insiden kegagalan servis yang mempengaruhi tingkat
kepuasan, niat pembelian lagi, dan niat untuk menyebarkan informasi dari apa
yang diterima konsumen.

Perceived Trust

Kepercayaan hanya akan muncul pada situasi yang punya peluang berisiko
dan tidak akan muncul pada situasi yang sudah pasti dan tanpa risiko.
Kepercayaan konsumen pada e-retailer secara psikologi dikatakan oleh Chen
(2007:61) timbul jika adanya niat konsumen untuk menerima kritikan berdasarkan
ekspektasi positif dari perlakuan e-retailer. Tingkat kepercayaan konsumen
mempengaruhi seberapa besar risiko yang mau diambil oleh konsumen dari
hubungannya dengan e-retailer. Kepercayaan sendiri menjadi pro dan kontra
dalam bisnis e-retail. Menurut Beldad et al., (2010) dalam Suryandari dan
Paswan, (2013) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan sikap dari percaya
diri yang tidak akan dieksploitasi. Jika konsumen tidak cukup merasa aman,
mereka akan memutuskan interaksi dengan e-retailer walaupun hanya sekedar
mencari informasi. (Beldad et al., 2010; Chau et al., 2007). Menurut Suryandari
dan Paswan (2013), walaupun perkembangan cyber security yang sudah ada
membantu untuk meyakinkan kepercayaan konsumen terhadap online retailers,
bagaimanapun juga beberapa konsumen mungkin masih merasa tidak nyaman
untuk menyediakan informasi pribadi kepada e-retailers. Kepercayaan konsumen
pada e-retailer umumnya terkonsentrasi pada proses transaksi yang akan
dilakukan. E-retailer harus bisa meyakinkan konsumen untuk melakukan
transaksi yang aman dan terpercaya. Ini dikarenakan karakteristik transaksi dari e-
commerce, yaitu tidak nyata, tanpa batas, dapat terjadi setiap waktu, dan tidak
secara instan. Kurangnya kepercayaan dikatakan oleh Corbitt dan Thanasankit,
(2003) dalam Zendehdel et al., (2011) menjadi hambatan utama dalam hal
transaksi online dan vendor online pada saat belanja online. Menurut beberapa
penjelasan tersebut persepsi kepercayaan dapat disimpulkan merupakan hasil dari
pertimbangan konsumen akan faktor-faktor resiko yang akan diambilnya untuk
bebrbelanja online

Perceived Fairness

Persepsi keadilan didefinisikan secara luas sebagai kebijakan retailer
yang dipersepsikan sudah pantas, dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan
terhadap layanan, diikuti dengan niat berperilaku (White, Breazeale, and Collier,
2012). Konsep keadilan sendiri secara umum dianggap sebagai perspektif yang
subjektif (Luo, 2007). Menurut Colquitt (2001) sendiri pada beberapa dekade
terakhir ini perkembangan konstruk keadilan mencakup empat dimensi, yakni,
1. Prosedural, merupakan keadilan yang dikendalikan penuh oleh
perusahaan dalam menetapkan solusi apa yang terbaik
2. Distributif, keadilan yang merupakan solusi sebuah masalah didapat
sesuai dengan kebutuhan namun masih dalam kesetaraan yang sama
3. Interpersonal, keadilan yang didapat atas penjelasan dan empati yang
diberikan serta penyelesaian masalah secara personal
4. Informasi, merupakan keadilan yang didapat dari informasi apa yang
diterima oleh kedua belah pihak sehingga relatif sulit dibedakan

Persepsi

Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengorganisasikan, dan
menginterpretasikan sebuah sensasi yang merupakan respon langsung dari alat
indera manusia terhadap rangsangan seperti cahaya, suara, bau, dan tekstur
(Salomon, 83:2011). Sedangkan menurut Schiffman & Kanuk (2012), persepsi
adalah sebuah proses dimana suatu individu, memilih, mengorganisasikan, dan
menafsirkan rangsangan menjadi sebuah gambaran yang bermakna dan masuk
akal mengenai dunia. Rangsangan yang diterima tersebut diproses tergantung dari
apakah rangsangan itu dapat diinterpretasikan atau tidak. Sudut pandang atau
persepsi setiap individu akan berbeda-beda terhadap suatu hal yang dihadapinya.
Dalam niat pembelian konsumen secara online, persepsi merupakan faktor yang
penting terutama rasa adil yang diterimanya jika saat barang atau jasa tidak sesuai
dengan harapan awal. Persepsi yang digunakan untuk menentukan niat pembelian
secara online adalah persepsi kepercayaan (perceived trust) dan persepsi keadilan
dalam kebijakan pengembalian barang (perceived return policy fairness) apabila
barang yang diterima tidak sesuai dengan harapan.

Niat Pembelian

Niat (intention) pada umumnya diartikan sebagai suatu keinginan mendalam
untuk melakukan suatu hal yang sangat diminati oleh seseorang. Pavlou (2003)
dalam Ling et al (2013) menyebutkan bahwa niat pembelian dapat didefinisikan
sebagai rencana untuk membeli barang atau jasa di masa depan. Hal ini mengacu
pada sikap dari konsumen mempunyai keyakinan dan perasaan dalam niat beli
terhadap suatu produk.
Niat pembelian online merupakan tingkat keinginan seseorang untuk
membeli barang dan jasa dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya melalui
situs internet Belch & Belch (2004) dalam Chin et al. (2009). Seorang individu
dapat tertarik pada situs online sehingga berniat melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan situs tersebut dan menimbulkan keinginan untuk membeli
dan memiliki barang dari situs online, maka dapat disebutkan niat pembelian
online. Menurut Salisbury, Pearson, dan Pearson Miller, (2001) dalam Kwek et al,
(2010) konsumen yang memiliki niat pembelian online pada lingkungan situs
belanja tersebut akan menentukan kekuatan seberapa besar niat seseorang untuk
melakukan pembelian yang ditentukan melalui perilaku internet.
Melalui penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku belanja
konsumen pada toko online didasari oleh keinginan yang mendalam sehingga
timbul suatu niat dan merencanakan pembelian di situs online. Dalam proses
pembelian nantinya berkaitan dengan motif yang dimiliki untuk menggunakan
produk tertentu. Konsumen akan memilih produk yang atributnya relevan dengan
apa yang dicari. Faktor penjual juga menjadi pertimbangan konsumen
menentukan akan membeli di mana.

Return Time

Konsumen memiliki akses yang dominan untuk memesan produk dan
menentukan kapan produk akan datang hanya dari rumah mulai produk skala kecil
sampai besar dengan melalui internet. Jika barang yang dipesan tidak sesuai
ekspektasi, maka barang dapat dikembalikan tanpa banyak pertanyaan. Online
retailers yang memperketat kebijakan pengembalian barang dapat berpengaruh
pada kemampuan mereka dalam memunculkan calon pembeli baru, dilihat dari
sisi ketidak untungan bersaing hal ini menyoroti seberapa penting pengembalian
brang pada bisnis online retail (Griffis et al., 2012). Salah satu contohnya seperti
kebijakan waktu pengembalian barang kepada e-retailer oleh konsumen setelah
menerima barang. Waktu yang dijanjikan oleh e-retailer untuk mengembalikan
barang penggantinya kepada konsumen menjadi pertimbangan khusus. Kedua
jenis waktu pengembalian tersebut dapat menjadi tolak ukur konsumen dalam
memilih dan memutuskan pembelian produk yang akan dibayarkan

Konsep Retail

Ritel adalah aktifitas atau kegiatan yang berupaya untuk menambah nilai
barang dan jasa yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Utami,
2008). Menurut Berman dan Evans (2007), ritel merupakan kegiatan bisnis yang
melibatkan penjualan barang dan jasa kepada pengguna baik pengguna
perorangan maupun rumah tangga. Sedangkan pelaku bisnis ritel yang biasanya
disebut dengan retailer didefinisikan oleh Levy dan Weitz (2012) sebagai reseller
dari barang dan jasa dengan menambahkan nilai dan membuat mereka tersedia
dekat dengan kebutuhan konsumen untuk tempat pembelanjaan akhir.
Online retail adalah suatu kegiatan bisnis yang dilakukan secara online
menggunakan media internet untuk memasarkan dan menjual barang maupun
jasa. Toko ritel online berhubungan sangat erat dengan jenis produk, keunikan
pada sebuah produk, dan manfaat dari media internet yang memberikan berbagai
kemudahaan untuk menggunakannya sesuai dengan pendapat dari Hui & Chau
(2002) dan Li & Gerry (2000) dalam Kim et al. (2004). Terdapat dua jenis online
retail atau e-retailers, yaitu :
1. Pure-play e-tailers, sebuah perusahaan yang hanya menjalaskan bisnisnya
melalui online saja dan tidak memiliki toko dalam wujud nyata (seperti
cabang di mall maupun toko fisik), dimana konsumen dapat mengunjungi
toko tersebut untuk membeli produk sehingga konsumen hanya melakukan
transaksi dengan perusahaan tersebut melalui internet saja. Perusahaan
yang bergerak di jangkauan ini harus menemukan cara untuk menarik
konsumen dan melayani kebutuhan konsumen yang berbeda-beda. Adanya
kemudahan layanan internet, perusahaan dalam skala kecil dapat dengan
mudah masuk dan bersaing dengan perusahaa besar yang sudah punya
nama. Toko ritel yang hanya berbasis online ini juga dapat menurunkan
biaya operasional dan biaya pemasaran.
2. Bricks and clicks e-tailers, yaitu sebuah perusahaan yang
mengintegrasikan kedua aspek offline (bricks) dan online (clicks), yang
biasa disebut dengan clicks and mortar. Perusahaan jenis ini
mengoperasikan bisnisnya melalui online dan juga memiliki toko offline
dimana konsumen dapat mengunjunginya secara nyata. Misalnya,
perusahaan menyediakan layanan bagi pelanggan untuk memesan secara
online dan mengambil barangnya di toko terdekat, atau sebaliknya.

Perilaku Konsumen

Perusahaan yang mempunyai kepentingan disetiap kegiatan manusia dalam
lingkup tertentu perlu untuk memahami perilaku konsumen. Pendekatan yang
selama ini banyak digunakan untuk mengungkap sikap, niat, dan perilaku
konsumen lainnya mengasumsikan bahwa konsumen kebanyakan bersikap
rasional untuk mengambil keputusan pembelian. Perilaku konsumen yang
kompleks terkadang sulit untuk diprediksi, namun dapat diamati polanya.
Hal ini dipertegas dengan pernyataan bahwa studi perilaku konsumen
merupakan proses ketika individu atau kelompok menyeleksi, membeli,
menggunakan, atau membuang produk, pelayanan, ide, dan pengalaman untuk
memuaskan kebutuhannya (Solomon, 2011:7). Sedangkan menurut Hoyer dan
Macinnis (2010:3) perilaku konsumen mencerminkan totalitas keputusan
konsumen sehubungan dengan akuisisi, konsumsi, dan disposisi barang, jasa,
kegiatan, pengalaman seseorang, dan ide-ide oleh manusia dalam mengambil
keputusan dari waktu ke waktu.
Asosiasi Pemasaran Amerika (AMA) mendefinisikan perilaku konsumen
sebagai interaksi yang dinamis dari pengaruh dan kognisi, perilaku, dan
lingkungan dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka.
Dengan kata lain perilaku konsumen perlu melibatkan pemikiran, perasaan, serta
pengalam orang untuk melakukan tindakan dalam proses konsumsi. Merujuk pada
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen merupakan aspek
yang penting dalam pemasaran. Pemasar perlu mengetahui proses yang dilakukan
oleh individu maupun kelompok seperti interaksi antara pemikiran dan perasaan
dalam memilih, membuat keputusan pembelian, menggunakan, hingga membuang
sebuah produk. Sehingga sebagai pemasar paham akan keinginan dan kebutuhan
konsumen secara tepat.
Secara umum perilaku belanja online konsumen mengacu pada proses
tersebut dengan melalui media perantara internet. Faktor yang mempengaruhinya
antara lain :
1. Resiko yang dirasakan serta perlu diantisipasi dalam merenungkan dan
mempertimbangkan keputusan pembeliaan.
2. Sikap dan perilaku konsumen dalam berbelanja yang dipengaruhi oleh
niat, salah satunya dimensi penerimaan internet sebagai saluran belanja.
3. Norma subjektif yang menangkap persepsi konsumen dari pengaruh
orang lain yang signifikan

Keputusan Pembelian

Menurut Kotler &Amstrong (2014: 177) keputusan pembelian adalah keputusan
pembeli tentang merek yang dibeli, sedangkan keputusan menggunakan sendiri di
definisikan sebagai keputusan seseorang untuk menjadi pengguna tetap sebuah produk.
Schifman dan Kanuk (2013:485) menyatakan bahwa keputusan adalah seleksi terhadap dua
pilihan alternative atau lebih. Oleh karena itu, pilihan yang tepat harus tersedia bagi
seseorang apa bila mengambil keputusan. Dalam hal ini, seseorang akan mempunyai pilihan
antara melaksanakan jual beli atau tidak. Sehingga seseorang akan mempunyai cara untuk
mengambil keputusan.
Menurut Olson (2013) keputusan pembelian merupakan suatu keputusan mencakup
suatu pilihan diantara dua atau lebih tindakan atau perilaku alternatif. Oleh karena itu,
pemasaran akan tertarik pada perilaku pembelian, terutama dalam hal mempromosikan
produk melalui label atau merk yang akan di beli. Secara untuk mengambil keputusan
konsumen berarti terjalin proses kerja sama yang digunakan untuk mengkombinasi dua atau
lebih perilaku alternatif dan memilih satu diantaranya yang lebih baik.
Menurut Kotler &Amstrong (2014: 179) ada lima tahap proses keputusan
pembelian, yaitu :
a. Pengenalan kebutuhan: hal ini pada tahapan dasar pertama proses keputusan
pembelian menyadari adanya masalah. Kebutuhan dapat mendorong tingkat
kebutuhan yang tinggi untuk menjadi dorongan. Ataupun bersumber dari iklan dan
bekerjasama dengan teman mengenai produk yang diharapkan.
b. Pencarian informasi: Tahapan kedua ini terdapat keputusan pembeli untuk mencari
informasi dimana informasi tersebut berpengaruh atau bermanfaat secara aktif
sehingga timbul adanya dorongan. Hal ini terdapat dorongan konsumen agar
produknya memuaskan, sehingga konsumen akan berniat membelinya dalam jumlah
yang banyak.
c. Evaluasi alternatif: Tahapan ketiga yaitu proses mengambil keputusan yang sudah
menggunakan informasi yang akurat dan mengevaluasi merek alternative dalam
pilihan tersebut. Yaitu dengan cara mengevaluasi alternative tersebut yang
bergantung pada konsumen dan situasi pembelian tertentu.
d. Keputusan pembelian: Pada umumnya keputusan dalam membeli adalah bagai
mana konsumen membeli merek yang paling disukai, tetapi juga ada beberapa
faktor yang berbeda pada cara membeli dan keputusan pembeli. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi yaitu sikap orang lain dan kondisi yang tidak
memungkinkan.
e. Perilaku pasca pembelian: Tahap tterakhir dalam proses keputusan pembelian
dimana konsumen telah memilih tindakan yang sesuai dan selanjutnya setelah
pemebelian yang didasarkan pada kepuasan saat membeli dan ketidak puasan saat
membeli suatu produk.

Harga

Harga adalah sejumlah uang atau aspek lain yang memiliki kegunaan tertentu untuk
mendapatkan suatu jasa (Tjiptono, 2007 dalam Hartini (2017). Harga juga diartikan sebagai
gabungan antara pemasaran yang dapat menghasilkan pendapatan. Harga merupakan elemen
termudah dalam proses pemasaran untuk di sesuaikan dengan fitur produk, saluran dan juga
komunikasi membutuhkan lebih banyak waktu. Selain itu, harga juga dapat mengkomunikasi
nilai dari produk atau barang perusahaan ke pasar. Sehingga Produk yang yang dipasarkan
dengan baik dapat di jual dengan komposisi harga tinggi untuk menghasilkan keuntungan
yang besar (Kotler dan Keller,2014:67).
Walaupun harga bukan factor utama penentu pembelian produk, harga jual yang lebih
tinggi dari harga pesaing akan membuat konsumen merasa tertipu. Hal ini juga bisa membuat
konsumen tidak akan membeli lagi, dan akan lebih parah lagi dampaknya jika mereka
mengajak konsumen lain untuk melakukan hal yang sama. Menurut Sunyoto (2012:131-132)
mengatakan ada enam langkah dalam menetapkan harga di antaranya, yaitu:
1) Perusahaan harus memperhitungkan secara cermat dalam mempertahankan hidup,
meningkatkan keuntungan pada saat itu, ingin memenangkan pasar, dan kualitas
produk.
2) Perusahaan harus melakukan peramalan tentang permintaan untuk setiap periode
kemungkinan jumlah produk yang akan terjual.
3) Perusahaan harus meramalkan bagaimana biaya akan bervariasi pada tingkat produksi
4) Perusahaan memilih satu dari beberapa metode penetapan harga terdiri dari penetapan
biaya tambah, analisis HPP dan penetapan laba sasaran, penetapan harga nilai yang di
peroleh penetapan harga yang sesuai dengan laju perkembangan dan penetapan harga.
5) Perusahaan dapat memilih harga final yang dalam cara psikologi paling efektif untuk
mempengaruhi bahwa harga sesuai dengan strategi penetapan harga perusahaan dan
sesuai dengan penyalur grosir, distributor, pesaing pemasok dan pemerintah.
Pengukuran variable harga pada penelitian Katemung, Kojo, dan Rumokoy (2018)
menggunakan indicator sebagai berikut:
1) Harga yang di tetapkan
2) Keterjangkauan harga
3) Persaingan harga
4) Kesesuaian antara harga dan kualitas

Indikator keputusan pembelian

Indikator keputusan pembelian, yaitu: (Kotler, 2007:222)
a) Kemantapan pada suatu produk adalah kualitas produk yang sangat
baik akan membangun kepercayaan konsumen sehingga merupakan
penujuang kepuasaan konsumen.
b) Kebiasaan dalam membeli produk, kebiasaan adalah pengulangan
sesuatu secara terus-menerus dalam melakukan pembelian produk
yang sama.
c) Memberikan rekomendasi kepada orang lain adalah memberikan
kepada seseorang atau lebih bahwa sesuatu yang dapat dipercaya,
dapat juga merekomendasikan diartikan sebagai menyarankan,
mengajak untuk bergabung, menganjurkan suatu bentuk perintah.
d) Melakukan pembelian ulang, pengertin pembelian ulang adalah
individu melakukan pembelian produk atau jasa untuk membeli lagi,
maka pembelian kedua dan selanjutnya disebut pembelian ulang.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

Sikap terbentuk melalui pembelajaran yang dilakukan oleh individu.
Oleh karena itu, terbentuknya sikap tidak terlepas dari lingkungan dimana
konsumen melakukan pembelajaran. Menurut Tatik Suryani (2008 : 175)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu :
a) Pengalaman langsung
Pengalaman konsumen memalui objek sikap dari waktu ke waktu
akan membentuk sikap tertentu pada konsumen.
b) Pengaruh keluarga
Keluarga memiliki peran penting dalam membentuk sikap prilaku.
Keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan
lingkungan yang lain.
c) Teman sebaya
Teman sebaya punya tenaga yang cukup besar terutama bagi anak-
anak remaja dalam pembentukan sikap. Adanya kecenderungan untuk
mendapatkan penerimaan dari teman-teman sebaya, mendorong para
anak muda di pengaruhi oleh kelompoknya dibandingkan sumber-
sumber lainnya.
d) Pemasaran langsung
Mulai banyaknya perusahaan yang menggunakan pemasaran
langsung atas produk yang ditawarkan secara tidak langsung
berpengaruh dalam pembentukan sikap konsumen.
e) Tayangan media masa
Media massa yang merupakan saran komunikasi yang hampir setiap
saat dijumpai konsumen dapat membentuk sikap konsumen.
3) Fungsi-Fungsi Sikap
Menurut Daniel Katz (Sangadji dan Sopiah, 2013 : 197-198),
terdapa tempat fungsi sikap, yaitu :
a) Fungsi utilitarian dalam fungsi utilitarian, seseorang
menyatakan sikapnya terhadap suatu objek atau produk
karena ingin memperoleh manfaat (reward) atau
menghindari resiko (punishment) dari produk. Sikap
berfungsi mengarahkan perilaku untuk mendapatkan
penguatan positif (positive reinforcement) atau untuk
menghindari resiko. Manfaat produk bagi konsumenlah yang
menyebabkan seseorang menyukai produk tersebut.
b) Fungsi mempertahankan ego, Sikap berfungsi untuk
melindungi seseorang (citra diri atau self-image) dari
keraguan yang muncul dari dalam dirinya sendiri atau faktor
luar yang mungkin menjadi ancaman bagi dirinya. Sikap
akan menimbulkan kepercayaan diri yang lebih baik untuk
meningkatkan citra diri dan mengatasi ancaman dari luar.
c) Fungsi ekspresi nilai, Sikap berfungsi untuk menyatakan
nilai-nilai, gaya hidup, dan identitassosial dari seseorang.
Sikap akan menggambarkan minat, hobi, kegiatan, dan opini
dari seorang konsumen.
d) Fungsi pengetahuan Keingintahuan adalah salah satu
karakter konsumen yang penting pada fungsi ini, konsumen
selalu ingin mengetahui banyak hal merupakan kebutuhan
konsumen. Sering kali konsumen perlu mengetahui suatu
produk terlebih dahulu sebelum menyukai dan kemudian
membelinya. Pengetahuan yang baik mengenai suatu produk
sering kali mendorong seseorang untuk menyukai produk
tersebut. Oleh karena itu, sikap positif positif terhadap suatu
produk mencerminkan pengetahuan konsumen terhadap
produk tersebut.
4) Indikator sikap konsumen menurut (Kotler dan Amstrong,
2008:246) adalah sebagai berikut:
a) Cognitive component: Kepercayaan konsumen dan presepsi
tentang objek. Objekyang dimaksud adalah atribut produk,
semakin positif kepercayaan terhadap suatu merek atau
produk, maka keseluruhan komponen kognitif akan
mendukung sikap secara keseluruhan menekankan bahwa
kognitif sebagai bentuk atas kepercayaan akan terbentuk
melalui pengetahuan, karena akan melalui proses mengetahui
atribut dan manfaat yang mana mempengaruhi kepercayaan
konsumen.
b) Affective component: emosional yang merefleksikan perasaan
seseorang terhadap suatu objek, apakah objek tersebut diinginkan
atau disukai. Afektif juga mencerminkan motivasi yang mana
seseorang akan mengalami dorongan emosi & fisiologis. Dalam
pembelian impulsif (impulse purchase), perasaan (afektif) yang
kuat akan diikuti dengan tindakan pembelian.
c) Konatifn component: merefleksikan kecenderungan dan
perilaku aktual terhadap suatu objek, yang mana komponen
ini menunjukkan kecenderungan melakukan suatu tindakan,
tindakan pada komponen konatif adalah keinginan
berperilaku (behavioral intention

Faktor yang Menghalangi Hubungan Antara Keyakinan, Sikap dan Perilaku

Para pemasar harus mengetahui saat atau situasi kapan sikap
konsumen kemungkinn tidak berhubungan dengan perilaku. Beberapa
kondisi berikut seperti : kurangnya keterlibatan, kurangnya kelayakan,
kurangnya pengalaman produk secara langsung, kurangnya nilai-nilai dan
keyakinan, perubahan kondisi pasar, aksesibilitas sikap yang buruk

Hubungan Sikap Dengan Prilaku

1) Hubungan antara niat membeli dan prilaku
Niat membeli dapat digunakan untuk memprediksi prilaku yang akan
datang. Artinya bahwa bila konsumen menunjukan niat membeli yang
tinggi, dapat diduga bahwa ia akan melakukan pembelian aktual.
Karena itu pemasar berkepentingan untuk mengidentifikasi niat beli
konsumen.
2) Hubungan antara prilaku dan sikap
Ada tiga situasi yang mungkin menyebabkan perilaku mempengaruhi
sikap yaitu, (a) disonasi kognitif; (b) pembelajaran pasif; (c)
diskonfirmasi harapan

Karakteristik Sikap

Menurut Sangadji dan Sopiah (2013 : 195-196), ada beberapa karakteristik
sikap, yaitu :
a. Sikap memiliki objek
Di dalam konteks pemasaran pemasaran, sikap konsumen harus terkait
dengan objek karena objek tersebut bisa terhubung dengan berbagai
konsep konsumsi dan pemasaran seperti produk, merek, iklan, harga,
kemasan, penggunaan media, dan sebagainya.
b. Konsistensi sikap
Sikap adalah gambaran perasaan dari seorang konsumen, dan perasaan
tersebut akan direfleksikan oleh perilakunya karena sikap memiliki
konsistensi dengan perilaku.
c. Sikap positif, negatif, dan netral
Sikap positif merupakan sikap yang mungkin dapat menerima atau
menyukai suatu hal, sedangkan sikap negatif merupakan sikap yang
tidak menyukai suatu hal. Bersikap netral berarti tidak memiliki sikap
atas suatu hal.
d. Intensitas sikap
Intensitas sikap adalah ketika konsumen menyatakan derajat tingkat
kesukaannya terhadap suatu produk.
e. Resistensi sikap
Resistensi adalah seberapa besar sikap seorang konsumen bisa
berubah. Pemasar perlu memahami resistensi konsumen agar bisa
menerapkan strategi pemasaran yang tepat.
f. Persistensi sikap adalah karakteristik sikap yang menggambarkan
bahwa sikap akan berubah karena berlalunya waktu.
g. Keyakinan sikap
Keyakinan adalah kepercayaan konsumen mengenai kebenaran sikap
yang dimilikinya.
h. Sikap dan situasi
Sikap seseorang terhadap suatu objek sering kali muncul dalam
kontekssituasi. Artinya, situasi akan mempengaruhi sikap konsumen
terhadap suatu objek

Model Multiatribut Sikap

Menurut Schiffman dan Kanuk (Sangadji dan Sopiah, 2013 : 177-
178) ada tiga tipe model multiatribut sikap, yaitu :
a. Model sikap terhadap objekKarakteristik model ini adalah sebagai
berikut :
1) Sikap mempresentasikan kepercayaan atau keyakinan.
2) Sikap bermanfaat untuk mengukur tanggapan konsumen terhadap
objek tertentu, misalnya terhadap produk perusahaan sikap
konsumen bisa positif atau negatif.
b. Model sikap terhadap perilaku
Model ini berkaitan dengan perilaku aktual atau riil dari konsumen.
c. Model teori tindakan beralasan
Model ini lengkap, meliputi tiga komponen (kognitif, afektif,
dankonatif). Model ini juga meliputi norma subjektif konsumen

Pengertian sikap konsumen

Sikap ( attitudes ) konsumen adalah faktor penting yang akan
mempengaruhi keputusan pembelian. Menurut Nugroho (2008:214)
sikap adalah suatu mental dan syaraf sehubung dengan kesiapan
menanggapi.
Menurut Schiffman dan Kanuk (Sangadji dan Sopiah, 2013 : 176),
sikap (attitude) adalah inti dari perasaan suka atau tidak suka seseorang
terhadap suatu objek tertentu. Sikap konsumen adalah tanggapan
perasaan konsumen yang bisa berupa perasaan suka atau tidak suka
terhadap suatu objek tertentu, misalnya bagaimana sikap konsumen
terhadap kinerja produk, bagaimana sikap konsumen terhadap merek
perusahaan, bagaimana sikap konsumen terhadap harga produk,
bagaimana sikap konsumen terhadap iklan produk yang ditayangkan
dan sebagainya.
Menurut J.Paul Peter dan Jerry C.Olson (2013 : 130) sikap
merupakan evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan seseorang atas
suatu konsep. Dari definisi tersebut, dapat diuraikan bahwa sikap
merupakan organisasi keyakinan yang relatif tetap, memiliki
kecenderungan untuk dipelajari, untuk merespons secara konsisten dan
konsekuen menguntungkan atau tidak, positif atau negatif, suka atau
tidak terhadap obyek atau situasi. Seorang individu mempelajari sikap
melalui pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Meskipun sikap
ini dapat dipelajari dan dapat diubah dari waktu ke waktu, pada setiap
saat tidak semuanya memiliki dampak yang setara, dan beberapa sikap
lebih kuat dari sikap lainnya. Ketika konsumen mempunyai sikap yang
negatif terhadap suatu aspek atau lebih pada praktik pemasaran
perusahaan, maka kemungkinan mereka tidak berhenti menggunakan
produk tersebut, tetapi juga mendorong kerabat atau teman-teman
untuk melakukan hal yang sama

Pengertian perilaku konsumen

Menurut Kotler dan Keller (2008:166), perilaku konsumen
adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi
memilih, membeli, menggunakan, dan bagaimana barang, jasa, ide, atau
pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.
Menurut Engel et al (Sangadji dan Sopiah, 2013 : 7), perilaku
konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam pemerolehan,
pengonsumsian, dan penghabisan produk/jasa, termasuk proses yang
mendahului dan menyusul tindakan. Menurut Mowen dan Minor
(Sangadji dan Sopiah, 2013 : 7), perilaku konsumen adalah studi unit-
unit dan proses pembuatan keputusan yang terlibat dalam penerimaan,
penggunaan dan pembelian, dan penentuan barang, jasa dan ide.
Dari beberapa pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa perilaku konsumen adalah tindakan yang dilakukan oleh
konsumen guna mencapai dan memenuhi kebutuhannya baik untuk
menggunakan mengonsumsi, maupun menghabiskan barang dan jasa,
termasuk proses keputusan yang mendahului dan keputusan yang
menyusul (Sangadji dan Sopiah, 2013 : 9).

Sikap

Kotler dan Amstrong (2004:220) mengemukakan sikap adalah evaluasi,
perasaan, dan kecenderungan yang konsisten atas suka atau tidak sukanya
seseorang atas objek atau ide. Beberapa ahli manajemen pemasaran mendefinisikan
sikap adalah perasaan dari konsumen (positif dan negatif) dari suatu objek setelah
dia mengevaluasi objek tersebut.
Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Subagyo (2000:7) sikap berarti perasaan
umum yang menyatakan keberkenaan seseorang terhadap suatu obyek yang
mendorong tanggapannya, baik dalam bentuk tanggapan positif maupun negatif.
Bersikap positif memiliki kecenderungan mengambil tindakan mendekati dan
mengharapkan objek tertentu. Sebaliknya sikap negatif cenderung mengambil
tindakan untuk menjauhi, menghindari objek tertentu.

Persepsi Nilai

Persepsi sendiri diartikan Kotler (2006:189) sebagai proses seseorang
memilih, mengatur, dan mengartikan informasi yang didapat untuk
menggambarkan makna utuh suatu objek. Keputusan pembelian didasari oleh
bagaimana seorang konsumen memiliki persepsi terhadap suatu objek. Penyebab
munculnya persepsi negatif seseorang adalah karena adanya ketidakpuasaan
individu terhadap objek, adanya ketidaktahuan individu serta tidak adanya
pengalaman individu terhadap objek yang dipersepsikan. Begitu pula sebaliknya
bahwa seseorang memiliki persepsi positif karena merasakan kepuasan pada objek,
25
adanya pengetahuan mengenai objek dan karena adanya pengalaman individu
terhadap objek yang dipersepsikan.
Fungsi pemasaran suatu perusahaan adalah untuk menyampaikan produk
yang sesuai dengan target pasar, sehingga persepsi seseorang pada suatu produk
mengenai kualitas produknya dan seberapa besar konsumen mau mengorbankan
materi saat pembelian menjadi bahan evaluasi untuk menghasilkan pembelian dan
kepuasan konsumen. Persepsi konsumen akan kualitas produk dibanding dengan
nilai pengorbanan dibahas oleh para ahli pemasaran sebagai persepsi nilai.
Persepsi nilai yang dirasakan pelanggan didefinisikan sebagai penilaian
keseluruhan konsumen terhadap utilitas dari suatu produk berdasarkan persepsi
tentang nilai yang diterima dan pengorbanan yang diberikan (Zeithaml, 2013:14).
Sementara Kotler (2016:60) mendefinisikan persepsi nilai sebagai
perbandingan perspektif (pandangan/pendapat) konsumen mengenai keuntungan
dan biaya pada sebuah penawaran alternatif.
Indikator persepsi nilai menurut Kotler yaitu: (1) manfaat total pelanggan
(image benefit, personnel benefit, services benefit, dan product benefit), (2) biaya
total pelanggan (psychological cost, energy cost, time cost, monetary cost).
Sehingga tenaga pemasaran dapat meningkatkan persepsi nilai dengan
meningkatkan nilai ekonomi, fungsi, dan nilai emosional dan/atau mengurangi nilai
biaya (Kotler 2016:150)

Perilaku Ramah Lingkungan

Perilaku ramah lingkungan diartikan Kollmus dan Agyeman (2002:249)
sebagai perilaku yang secara sadar dilakukan dalam rangka meminimalisasi
dampak negatif terhadap lingkungan seperti mengurangi penggunaan sumber daya
dan energi, mengurangi limbah produksi, dan sebagainya.
Menurut Krajhanzl (2010:252) perilaku ramah lingkungan diartikan sebagai
perilaku (pada umumnya memahami pengetahuan lingkungan) yang dinilai
masyarakat sebagai cara melindungi lingkungan untuk mencapai lingkungan yang
sehat. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku ramah lingkungan
diantaranya kondisi ekonomi (harga, ketersediaan barang dan sertifikasi produk
organik), hukum (mengenai polusi dan standar konstruksi, pengelolaan limbah dan
penganiayaan hewan), sosial dan budaya (tradisi dan moral, agama, sistem nilai,
pengaruh organisasi, media massa, dan kelompok sosial), dan lingkungan fisik
(keadaan dan kualitas lingkungan, kondisi lingkungan, infrastruktur lalu lintas,
fasilitas sipil, dan pengelolaan limbah). Sementara faktor internal adalah faktor-
faktor psikologis seseorang

Keputusan Pembelian

Jika seorang konsumen dihadapkan antara dua pilihan merek atau
produk yang akan dibeli, maka orang tersebut dalam posisi untuk mengambil
keputusan pembelian (Schiffman dan Kanuk, 2003: 485).
Kotler (2000:170-176) menyatakan konsumen melewati lima proses dalam
keputusan pembelian, yaitu: (1) Pengenalan masalah; (2) Pencarian informasi; (3)
Evaluasi alternatif; (4) Keputusan pembelian; dan (5) Perilaku pasca pembelian.
Sementara Blackwell (dalam Medeiros, dkk, 2015:7) menambahkan tahap
keputusan pembelian menjadi: (1) Pengakuan terhadap kebutuhan atau masalah; (2)
Pencarian informasi; (3) Evaluasi alternatif pra-pembelian; (4) Pembelian; (5)
Konsumsi; (6) Evaluasi pasca konsumsi; dan (7) Pembuangan.
Ma’ruf (2005:14) menambahkan bahwa proses keputusan konsumen tidak
berakhir sampai pembelian, tetapi berlanjut hingga pembelian tersebut menjadi
pengalaman bagi konsumen dalam menggunakan produk tersebut yang nantinya
akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan pembelian di masa
yang akan datang.
Kotler (2000:203) memberikan indikator untuk keputusan pembelian, yaitu:
1. Kemantapan suatu produk, dalam melakukan pembelian, konsumen akan
memilih salah satu dari beberapa alternatif yang ada. Pilihan tersebut
didasarkan pada kualitas, mutu, harga yang terjangkau, dan faktor-faktor lain
yang dapat memantapkan keinginan konsumen untuk membeli produk apakah
produk tersebut benar-benar ingin digunakan atau dibutuhkan.
2. Kebiasaan dalam membeli produk, merupakan faktor yang juga berpengaruh
terhadap keputusan pembelian. Konsumen merasa produk tersebut sudah
terlalu melekat di benak mereka karena mereka sudah merasakan manfaat dari
produk tersebut. Oleh karena itu, konsumen akan merasa tidak nyaman jika
mencoba produk baru dan harus menyesuaikan diri lagi.
3. Memberikan rekomendasi kepada orang lain, dalam melakukan pembelian,
jika konsumen mendapatkan manfaat yang sesuai dengan sebuah produk,
mereka pasti akan merekomendasikan produk tersebut dengan orang lain.
Mereka ingin orang lain juga merasakan bahwa produk tersebut sangat bagus
dan lebih baik dari produk lain.
4. Melakukan pembelian ulang, kepuasan konsumen dalam menggunakan
sebuah produk akan menyebabkan konsumen melakukan pembelian ulang
produk tersebut. Konsumen merasa produk cocok dan sesuai dengan apa yang
mereka inginkan dan harapkan

Mobile Shopping Behavior (Perilaku Pembelian Konsumen)

(Adnan,2019), perilaku pembelian konsumen adalah aktivitas individu yang
berhubungan langsung dengan perolehan dan penggunaan barang dan jasa, termasuk
di dalamnya proses pengambilan keputusan dan persiapan penentu kegiatan-kegiatan
tersebut. Menurut (Prasetyo, 2012) perilaku pembelian adalah bagaimana individu,
kelompok dan organisasi memilih, membeli, menggunakan dan menggunakan
barang, jasa, ide atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan
mereka perilaku pembelian konsumen adalah suatu alasan yang mendorong
bagaimana konsumen untuk melakukan pilihan terhadap pembelian suatu produk
sesuai yang dibutuhkan dengan adanya informasi akurat, penggunaan produk ramah
lingkungan, dan mudah dikenali semakin mendorong perilaku pembelian konsumen
(Prasetyo, 2012)
Menurut (Kotler, 2012) perilaku konsumen merupakan studi tentang cara
individu, kelompok, dan organisasi menyeleksi, membeli, menggunakan, dan
mendisposisikan barang, jasa, gagasan, atau pengalaman untuk memuaskan
kebutuhan dan keinginan mereka

Service Encounter (Pertemuan Layanan)

(Wang, 2014) mendefinisikan service encounter sebagai interaksi antara
konsumen dan penyedia layanan yang berhubungan dengan penawaran layanan ,
termasuk interaksi yang melibatkan penyediaan penawaran layanan itu sendiri.
Pertemuan memiliki banyak bentuk dan dapat dilakukan secara tatap muka maupun
online; mereka juga bisa melalui telepon, melalui surat atau bahkan melalui katalog
(Meuter, et al,. 2020). Istilah service encounter secara luas digunakan untuk
menggambarkan adanya situasi kontak antara pelanggan dengan penyedia layanan
(Luk, 2011). Lalu (Zeithaml et al. 2009) juga mengemukakan bahwa pertemuan
layanan adalah sebagai titik pertemuan antara pelanggan dengan penyedia layanan
dimana terjadi interaksi antara pihak terjadi.
Service encounter sering disebut sebagai the moment of truth, yang akan
meninggalkan kesan tentang perusahaan secara keseluruhan, karena sebagian besar
layanan yang disediakan membutuhkan kehadiran pelanggan, maka terjadinya kontak
dengan pelanggan tidak dapat dihindari (Fatik, 2017) . Menurut (Fatik, 2017) kesan
paling terlihat dari sebuah jasa terjadi dalam setiap service encounter, dimana saat-
saat inilah konsumen menerima penggalan-penggalan kualitas dari sebuah
perusahaan jasa dan setiap penggalan kualitas ini akan menyumbang pada kepuasanAnteseden mobile shopping behavior
konsumen secara total. Sementara dari sudut pandang pemasar, setiap pertemuan
layanan merupakan peluanguntuk menunjukkan kualitas dan meningkatkan
keputusan pembelian konsumen.

Avoidence Of Core Service Failure (Menghindari Kegagalan Pelayanan)

Avoidence service failure didefinisikan sebagai saat dimana organisasi berusaha
menghindari dan memenuhi harapan pelanggan selama pertemuan layanan (Steyn et
al., 2018), service failure yang terjadi dapat disebabkan beberapa hal yakni
pelayanan yang lambat, kesalahan dalam pelayanan, dan masalah pelayanan yang
utama, seperti tidak tersedianya pelayanan. Menurut (Glavee-Geo et al., 2017)
service failure merupakan faktor dalam keputusan pelanggan untuk membeli barang
atau jasa yang ditawarkan perusahaan. Kegagalan layanan (service failure)
merupakan segala jenis kesalahan, kekurangan atau masalah yang terjadi selama
penyediaan layanan. Penyebab kegagalan pelayanan bergantung pada faktor individu
dan situasional, dengan pemahaman yang serius atas kegagalan sebagai faktor
penting dalam memilih strategi pemulihan yang tepat.
Menurut (Situmorang, 2019) empat sumber dari service failure, yaitu: layanan
(layanan yang tidak tersedia, harga layanan keliru dan layanan yang terlalu terlambat,Anteseden mobile shopping behavior
konsumen terlalu lama menunggu, antrean terlalu panjang), penyedia jasa (tindakan
dan perilaku karyawan yang tidak sepatutnya, seperti tidak sopan, kasar, bad mood)
hal-hal yang diluar kendali penyedia jasa. Penelitian yang dilakukan oleh (Tanveer et
al., 2021) menyebutkan bahwa avoidence service failure berpengaruh terhadap
perilaku keputusan pembelian smartphone pada generasi muda di pakistan

Convenience (Kenyamanan)

Menurut (Berry et al., 2017) convenience didefinisikan sebagai persepsi
waktu dan upaya yang dikeluarkan konsumen untuk membuat keputusan pembelian
atau penggunaan layanan. Salah satu faktor yang mendukung kenyamanan dalam
berbelanja adalah suasana (Susanti, 2018) . Suasana atau atmosfer dalam gerai
merupakan salah satu dari berbagai unsur dalam ritel. Desain atau tampilan dalam
toko merupakan salah satu hal yang penting dalam bisnis ritel (Susanti, 2018). Pada
initinya, desain atau tampilan bertujuan memenuhi syarat fungsional sambil
menyediakan pengalaman berbelanja yang menyenangkan sehingga mendukung
terjadinya transaksi. Usaha yang yang tertata rapi dan menarik akan lebih
mengundang pembeli dibandingkan tampilan suasana yang diatur biasa saja (Susanti,
2018). Penerapan suasana yang menarik seperti penentuan warna tampilan bisa jadi
pengaruh ingatan konsumen terhadap pengalaman. Misalnya seperti warna merah,
yang membawa makna positif karena dikaitkan dengan cinta, passion, kekuatan, dan
energi (Lunardo et al., 2021). Hal tersebut menunjukkan, segala macam atribut yang
digunakan ataupun segala bentuk upaya pelayanan yang mengarah kepada
kenyamanan (Duarte et al., 2018) mengatakan bahwa semakin lama waktu tunggu
yang berhubungan dengan pelayanan maka semakin rendah tingkat kenyamanan
pelayanan yang dirasakan konsumen, semakin banyak waktu dan upaya yang
dihabiskan oleh konsumen untuk berbelanja, maka semakin besar potensi frustrasi
konsumen, yang akan memengaruhi keputusan pembelian konsumen..

Pengaruh iklan terhadap perilaku pembelian konsumen

Menurut Moriarty et al., (2011 : 6) “Suatu Iklan yang baik harus dibuat
sedemikian rupa agar dapat menarik minat konsumen. Jika konsumen bereaksi
sebagaimana yang dikehendaki pengiklan, maka Iklan itu dianggap efektif”.
Iklan memiliki peran penting dalam era modern karena itu merupakan
mekanisme untuk membangun perilaku masyarakat mengenai produk. Dengan
bantuan iklan orang dapat menikmati informasi dan membuat keputusan mengenai
produk. Dari aspek emosional seseorang, psikologis dan perilaku memainkan
peran penting selama keputusan pembelian. Terdapat hubungan positif yang
signifikan antara Iklan dengan Perilaku Pembelian Konsumen (Jakstien et al
dalam Malik et al., 2013)

Pengaruh kemasan terhadap perilaku pembelian konsumen

Gonzalez (dalam Sial et al., 2011) mendefinisikan bahwa Kemasan adalah “satu-
satunya hal yang mengkomunikasikan pesan tentang produk kepada pembeli di
toko.”
Konsumen sangatlah sensitif dan tidak ingin kemasan yang mengandung
kuman atau mengakibatkan infeksi. Kemasan juga digunakan konsumen untuk
memeriksa atau mengevaluasi penampilan suatu produk dan memastikan kualitas
produk tersebut sebelum melakukan keputusan pembelian (Grundvag & Ostli
dalam Sial et al., 2011).
Klimchuk & Krasovec (2007 : 46) berpendapat mengenai Kemasan
sebagai berikut :
Kemasan yang mengadung desain efektif membuat konsumen “melihat”
diri sendiri dan keinginan diri sendiri lewat elemen-elemen desain pada
konsumen. Dampak nilai-nilai budaya dan kepercayaan terhadap keputusan
pembelian oleh konsumen tidak bisa dilebih-lebihkan. Tren, kesehatan, mode
pakaian, seni, usia, mobilitas kemajuan, dan etnis, semua lengkap dalam
desain kemasan yang beredar di pasaran

Pengaruh citra merek terhadap perilaku pembelian konsumen

Tatik Suryani (2013 : 86) berpendapat bahwa “Citra Merek mempunyai peran
penting dalam mempengaruhi perilaku pembelian. Konsumen yang mempunyai
citra positif terhadap merek cenderung memilih merek tersebut dalam pembelian.”
Citra yang baik meningkatkan nilai merek di mata konsumen dengan
meningkatkan disukainya atau keinginan serta membedakannya dari merek
pesaingnya (Hsieh, Pan, dan Setiono, dalam Sial et al., 2011).
Hasil lain yang menguntungkan dari citra yang baik terhadap merek adalah
peningkatan loyalitas, ekuitas, Perilaku Pembelian Konsumen dan kinerja
keseluruhan merek (Koo, Keller, Hsieh et al., dan Roth dalam Sial et al., 2011).

Perilaku pembelian konsumen

Keputusan pembelian dapat berupa membeli atau tidak membeli. Menurut Tatik
Suryani (2013 : 13) “keputusan pembelian barang/jasa seringkali melibatkan dua
pihak atau lebih.”
Dilihat dari proses pengambilan keputusan, proses keputusan pembelian
sangat bervariasi. Ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks. Assael
(dalam Tatik Suryani, 2013: 13) membagi dalam dua dimensi yaitu pertama,
tingkat pengambilan keputusan dan kedua, derajat keterlibatan saat membeli.
Berdasarkan kedua dimensi tersebut terdapat empat tipe perilaku konsumen :
1. Proses pengambilan keputusan kompleks. Pada proses ini tingkat
keterlibatan konsumen tinggi dan proses keputusannya diawali dengan
keyakinan, serta evaluasi terhadap merek maupun produk sebelum
melakukan tindakan.
2. Proses pengambilan keputusan kesetiaan pada merek. Pada proses ini
konsumen cenderung tidak lagi memerlukan proses yang rumit pada
pembelian berikutnya atau pembelian selanjutnya karena konsumen sudah
merasa puas pada pemebelian pertama dan telah mengetahui secara
mendalam mengenai merek. Proses ini disebut dengan kesetiaan merek
(brand loyalty).
3. Proses pengambilan keputusan terbatas. Pada proses ini keterlibatan
konsumen pada saat melakukan pembelian suatu merek kecil sekali, tetapi
masih memerlukan pengambilan keputusan karena kayakinan konsumen
yang belum sepenuhnya percaya atas merek tersebut. Sehingga setelah
menggukannnya, konsumen masih melakukan evaluasi untuk melakukan
pengambilan keputusan berikutnya.
4. Pengambilan keputusan inertia. Dalam hal ini konsumen dapat dengan
mudah berpindah dari merek yang satu ke merek yang lain karena
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor situasional, iklan, maupun
bentuk komunikasi pemasaran lain yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan konsumen

Iklan

Menurut Kotler dan Keller (2012: 500) Iklan adalah bentuk persentasi berbayar
nonpersonal serta promosi ide, barang, ataupun jasa oleh sponsor yang
diidentifikasi melalui media cetak (koran dan majalah), media penyiaran (radio
dan televisi), media jaringan (telepon, kabel, satelit, wireless), media elektronik
(rekaman suara, rekaman video, videodisk, CD – ROM, halaman web), dan media
display (billboard, tanda-tanda, poster).
Yusuf et al., (2012 : 35) berpendapat mengenai komunikasi pemasaran
yang dilakukan melalui media sebagi berikut :
Komunikasi melalui media, baik media cetak maupun elektronik,
membedakan iklan dalam bentuk komunikasi lain, seperti komunikasi dari
mulut ke mulut. Sedangkan kata “berbayar” untuk membedakan dengan
misalnya pemberitaan mengenai produk atau jasa di media yang dimuat
karena produk dan jasa tersebut memiliki nilai berita.
Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan ketika memilih media
sebagai tempat beriklan (Hackley dalam Yusuf et al., 2012: 45):
1. Apakah media tersebut banyak digunakan oleh khalayak yang menjadi
target iklan
2. Apakah biaya yang dikeluarkan untuk beriklan pada media tersebut bisa
dipenuhi oleh anggaran yang tersedia
3. Bagaimana pola hubungan dan konteks komunikasi antara media tersebut
dengan konsumen, misalnya pembaca koran tentu lebih fokus dengan
koran yang dibacanya ketimbang seorang pendengar radio yang bisa
melakukan kegiatan-kegiatan lain sambil mendengar radio.

Citra merek

Menurut Tatik Suryani (2013 : 86) “Citra Merek umumnya didefinisikan segala
hal terkait dengan merek yang ada di benak ingatan konsumen.”
Citra Merek mempresentasikan keseluruhan persepsi konsumen terhadap
merek yang terbentuk karena informasi dan pengalaman konsumen terhadap suatu
merek. Citra Merek memiliki peran penting dalam mempengaruhi perilaku
pembelian, karena konsumen yang mempunyai citra positif terhadap merek
cenderung memilih merek tersebut dalam pembeliannya (Tatik Suryani, 2013:
86).
Menurut Philip Kotler (2008 : 346) “Citra Merek adalah persepsi dan
keyakinan yang dilakukan oleh konsumen, seperti tercermin dalam asosiasi yang
terjadi dalam memori konsumen.”
Membangun Citra Merek yang positif dapat dicapai dengan program
marketing yang kuat terhadap produk tersebut, yang unik dan memiliki kelebihan
yang ditonjolkan serta membedakannya dengan produk lain. Kombinasi yang baik
dari elemen-elemen yang mendukung dapat menciptakan Citra Merek yang kuat
bagi konsumen.

Kepercayaan

Kepercayaan merupakan keyakinan satu pihak mengenai maksud dan perilaku
pihak yang lainnya. Dengan demikian kepercayaan konsumen didefinisikan
sebagai harapan konsumen bahwa penyedia dapat dipercaya atau diandalkan
dalam memenuhi janjinya (Sirdesmukh dkk, 2002).
Menrut Ganesan (1994 dalam Maima, 2012) menyatakan kepercayaan sebagai
kredibilitas yaitu sebagai sejauh mana pembeli percaya bahwa pemasok memiliki
keahlian untuk melakukan aktivitas secara efektif dan andal. Kepercayaan
berhubungan dengan niat perusahaan untuk mengandalkan mitra pertukaran
mereka. Selain itu kepercayaan sebagai sebuah kebajikan, karena didasarkan pada
sejauh mana perusahaan percaya bahwa mitranya memiliki niat dan motif-motif
yang menguntungkan.
Bagi pelanggan online, melakukan transaksi dengan vendor secara online akan
mempertimbangkan ketidakpastian dan resiko jika dibandingkan dengan transaksi
jual beli secara tradisional. Pembeli diberikan kesempatan yang sedikit untuk
mengetahui kualitas barang dan melakukan pengujian terhadap produk yang
diinginkan melalui media Web yang disediakan oleh vendor. Ketika pelanggan
melakukan pembelian dari vendor yang tidak dikenal, mereka tidak dapat mengetahui
kualitas barang dan jasa yang di tawarkan apakah masuk akal dan dapat diandalkan
atau tidak. Grabner-Krauter (2002) mengklasifikasikan ketidakpastian didalam e-
commerce: ketidakpastian sistem, dimana disebabkan oleh masalah sekuritas dan
teknis dalam sistem, dan ketidakpastian transaksi yang mana dijelaskan oleh
informasi yang tidak berhubungan mengenai proses transaksi tersebut. Penelitian
terdahulu (Doney, Cannon dan Mullen (2003); Eden (1988) ; Kim, Silvasailam, Rao
(2004)) menunjukan bahwa kepercayaan didefenisikan, salah satu defenisi yang
dianggap paling tepat adalah bahwa seseorang percaya, dan mau bergantung pada
pihak lain (Mcknight dkk.,1998)

Minat Beli

Minat merupakan kecenderungan yang menetap dalam subjek untuk merasa
tertarik pada suatu produk tertentu (Winkell, 1999) dalam (Hutagalung, 2010).
Sedangkan Poerwadarminto (1995), mendefenisikan minat sebagai
kecenderungan yang tinggi terhadap sesuatu, gairah keinginan. Dalam melakukan
segala kegiatan, individu sangat dipengaruhi oleh minat terhadap kegiatan tersebut
sehingga dengan adanya minat yang cukup besar akan mendorong seseorang
untuk lebih mencurahkan perhatiannya (Rustam, 1987) dalam (Hutagalung,
2010).
Minat adalah motif yang menunjukkan arah perhatian individu kepada obyek yang
menarik serta menyenangkan (Woodworth & Marquis, 1961) dalam (Hutagalung,
2010). Sedangkan (Shalahuddin, 1991) dalam (Hutagalung, 2010), minat adalah
perhatian yang mengandung unsur-unsur perasaan, maka minat menentukan sikap
yang menyebabkan seseorang berbuat aktif dalam suatu pekerjaan, dengan kata
lain bahwa minat dapat menjadi sebab dari suatu kegiatan.
Minat beli merupakan bagian dari komponen perilaku dalam sikap
mengkonsumsi. Minat beli adalah tahap kecenderungan responden untuk

Perilaku Konsumen Online

Internet berpotensi besar sebagai media atau sarana untuk memahami perilaku
konsumen online maupun offline, yang kemudian dijadikan dasar dalam
pengembangan strategi untuk menjalin hubungan saling menguntungkan dalam
jangka panjang (Tjiptono. Diana, 2007)
Menurut Tjiptono. Diana, (2007) berdasarkan tujuan pembelian, konsumen e-
businees bisa dibedakan menjadi dua:
1. Konsumen individual, yang melakukan pembelian untuk keperluan
konsumsi pribadi atau rumah tangganya.
2. Konsumen organisasional, yang mealakukan pembelian untuk tujuan dijual
lagi, disewakan, di proses lebih lanjut, di gunakan untuk melayani
masyarakat, dan tujuan bisnis atau organisasional lainnya. Tipe konsumen
organisasional inilah yang paling banyak berbelanja melalui internet

Harga

Menurut Tjiptono (2001:151), “harga merupakan satuan moneter
atau ukuran lainnya (termasuk barang dan jasa lainnya) yang ditukarkan
agar memperoleh hak kepemilikan atau pengunaan suatu barang atau
jasa”. Sedangkan menurut Kotler (1995: 576), “harga merupakan salah
satu unsur bauran pemasaran paling fleksibel, harga dapat diubah dengan
cepat, tidak seperti tampilan produk dan perjanjian distribusi.
Menurut Mahfoedz (2005:136), “faktor yang mempengaruhi harga
ada dua yaitu faktor internal (tujuan pemasaran, strategi bauran
pemasaran, biaya), dan faktor eksternal (pasar dan Persepsi konsumen)”.
a. Faktor internal
1) Tujuan pemasaran
Perusahaan mempetahankan para pelanggan setia agar tetap loyal
dengan produknya.
2) Strategi bauran pemasaran
Penerapan harga harus dikoordinasikan dengan produk, distribusi,
penetapan promosi untuk membentuk program pemasaran yang
konsisten dan efektif.
3) Biaya
Biaya merupakan faktor yang menjadi dasar penetapan harga
yang diterapkan pada produk.
b. Faktor eksternal
1) Pasar
Konsumen menyeimbangkan antara harga produk atau jasa
dengan manfaat yang dapat diperoleh. Dengan demikian sebelum
harga diterapkan, perusahaan harus memahami antara harga dan
permintaan produknya.
2) Persepsi konsumen
Pada waktu penerapan harga, perusahaan harus
memperimbangkan persepsi konsumen terhadap harga dan cara
persepsi tersebut mempengaruhi keputusan membeli.
Berdasarkan uraian diatas peneliti dapat disimpulkan bahwa harga
sering dijadikan sebagai standarisasi kualitas bagi konsumen. Konsumen
sering memilih harga yang lebih tinggi di antara dua barang karena
mereka melihat adanya perbedaan. Apabila harga lebih tinggi, konsumen
cenderung beranggapan bahwa kualitasnya juga lebih baik

Promosi

Tjiptono (2001:219), mengartikan promosi sebagai berikut: “pada
hakikatnya promosi adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran. Yang
dimaksud dengan komunikasi pemasaran adalah aktivitas pemasaran
yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi / membujuk, dan /
atau mengingatkan pasar sasaran atas perushaan dan produknya agar
bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan
perusahaan yang bersangkutan”. Meskipun secara umum bentuk-bentuk
promosi memiliki fungsi yang sama, tetapi bentuk-bentuk tersebut dapat
dibedakan berdasarkan tugas-tugas khususnya. Beberapa tugas khusus itu
atau sering disebut bauran promosi.
Menurut Swastha dan Irawan (2001:350), Bauran promosi terdiri
dari empat dimensi, sebagai berikut:
a. Periklanan: Bentuk presentasi dan promosi non pribadi tentang ide,
barang, dan jasa yang dibayar oleh sponsor tertentu.
b. Personal Selling: Presentasi lisan dalam suatu percakapan dengan
satu calon pembeli atau lebih yang ditujukan untuk menciptakan
penjualan.
c. Publisitas: Pendorongan permintaan secara non pribadi untuk suatu
produk, jasa, atau ide dengan menggunakan berita komersial di
dalam media massa dan sponsor tida dibebani sejumlah bayaran
secara langsung.
d. Promosi Penjualan: Kegiatan pemasaran-selain personal selling,
periklanan, dan publisitas – yang mendorong pembelian konsumen
dan efektifitas pengecer.

Citra Merek

Menurut Kotler dan Armtrong (2009:281), “merek adalah elemen
kunci dalam hubungan perusahaan dengan konsumen”. Merek
mempresentasikan presepsi dan perasaaan konsumen atas sebuah produk
dan kinerjanya, semua hal tentang arti produk atau jasa kepada
konsumen.
Menurut Kotler dan Keller (2007;340), mengenai “brand image
yaitu berhadapan dengan properti ekstrinsik dari produk atau jasa
termasuk cara merek tersebut memenuhi kebutuhan sosial atau psikologis
pelanggan”. Keterkaitan konsumen pada suatu merek akan lebih kuat
apabila ditandai pada banyak pengalaman untuk mengkomunikasikannya
sehingga akan terbentuk citra merek (brand image). Citra merek (brand
image) yang baik akan mendorong untuk meningkatkan volume
penjualan.
Sedangkan menurut Machfoedz (2005;104) ”membangun kekuatan
iklan menciptakan dan menjaga citra merek”. Citra merek merupakan
representasi dari keseluruhan persepsi terhadap merek dan dibentuk dari
informasi dan pengetahuan terhadap merek itu. Citra terhadap merek
berhubungan dengan sikap yang berupa keyakinan dan preferensi
terhadap suatu merek. Konsumen yang memiliki citra yang positif
terhadap suatu merek akan lebih memungkinkan untuk melakukan
pembelian.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa merek
(brand) berperan sebagai daya pembeda dengan produk yang sejenis
maupun dengan produk yang berbeda jenis. Citra merek menggambarkan
arti yang melekat dari sebuah merek dan dapat timbul di benak konsumen
dengan hanya menyebutkan brand image sebuah produk.
Menurut Tjiptono (2000:41), bahwa ada tiga kriteria dari citra
merek yaitu :
a. Kualitas
Produsen memperkenalkan produknya terutama keunggulan produk
yang tidak dimiliki oleh produk lain.
b. Mudah diingat
Merek yang dipilih hendaknya yang mudah diingat, dan
disebut/diucapkan. Simbol, logo, nama yang digunakan hendaknya
menarik, unik sehingga menarik perhatian masyarakat untuk
diingat dan dikonsumsi.
c. Ciri Khas
Suatau merek membuat kesan unik dan jelas perbedaan dengan
merek lain yang memungkinkan pelanggan dengan memilih merek
tersebut.

Minat Pembelian Ulang

Menurut Howard et al dalam Kurniawa (1988:2), Intention to buy
didefinisikan sebagai pernyataan yang berkaitan dengan batin yang
mencerminkan rencana dari pembeli untuk membeli suatu merek tertentu
dalam suatu periode waktu tertentu. Menurut Simamora dalam Hamka
(2010:2) minat beli suatu produk timbul karena adanya dasar
kepercayaan terhadap produk yang pemasaran dan jajaran luas faktor
lain, perusahaan yang dapat mencapai dan mempertahankan diferensiasi
akan menjadi perusahaan berkinerja di atas rata-rata dalam industri
seandainya premi harganya melebihi biaya ekstra yang diperlukan untuk
menjadi unik.
Berdasarkan uraian diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa
minat pembelian ulang konsumen merupakan suatu proses
pengintegrasian konsumen dalam membeli suatu barang atau jasa yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perilaku membeli
timbul karena didahului oleh adanya minat membeli, minat untuk
membeli muncul salah satunya disebabkan oleh persepsi yang didapatkan
bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang baik. Jadi minat membeli
dapat diamati sejak sebelum perilaku membeli timbul dari konsumen.
Menurut Hasan, Ali (2013:131), minat beli ulang (repeat intention
to buy) dapat diidentifikasi melalui indikator sebagai berikut:
a. Minat transaksional: yaitu kecenderungan seseorang untuk
membeli produk.
b. Minat referensial: yaitu kecenderungan seseorang untuk
mereferensikan kepada orang lain.
c. Minat preferensial: yaitu minat yang menggambarkan perilaku
seseorang yang memiliki preferensi utama pada produk, preferensi
ini hanya dapat diganti bila terjadi sesuatu dengan produk
preferensinya.
d. Minat eksploratif: minat ini menggambarkan perilaku seseorang
yang selalu mencari informasi mengenai produk yang diminatinya
dan mencari informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari
produk yang sama.

Atribut Produk

Atribut produk menjadi pertimbangan konsumen untuk melakukan
pembelian atas produk dan mempunyai pengaruh terhadap minat beli konsumen.
Menurut menurut Tjiptono (2006:103), unsur-unsur atribut produk yang cukup
penting yaitu merek, kemasan, pemberian label, layanan, dan jaminan. Kotler dan
Armstrong (2004:347) menyatakan bahwa atribut produk adalah pengembangan
suatu produk atau jasa melibatkan penentuan manfaat yang akan diberikan.
Kebanyakan produk disediakan pada satu diantara empat tingkatan kualitas, yaitu:
kualitas rendah, kualitas rata-rata sedang, kualitas baik dan kualitas sangat baik.
Beberapa dari atribut diatas dapat diukur secara objektif. Namun demikian dari
sudut pemasaran kualitas harus diukur dari sisi persepsi pembeli tentang kualitas
produk tersebut (Kotler dan Armstrong, 2004:330).
Sebuah produk dapat ditawarkan dengan beraneka macam fitur.
Perusahaan dapat menciptakan model dengan tingkat yang lebih tinggi dengan
menambah beberapa fitur. Fitur adalah alat bersaing untuk membedakan produk
perusahaan dari produk pesaing (Kotler dan Armstrong, 2004:348). Menurut
Ribhan (2006), unsur-unsur atribut produk meliputi aspek produk dan non-produk
dari produk, dimana aspek produk antara lain:
a) Variasi Produk
Faktor ini memiliki pengertian yang luas, tidak hanya menyangkut jenis
produk dan lini produk tetapi juga menyangkut kualitas, desain, bentuk,
merk, kemasan, ukuran, pelayanan, jaminan dan pengembalian yang harus
diperhatikan oleh perusahaan secara seksama terhadap keanekaragaman
(variasi) produk yang dihasilkan secara keseluruhan.
b) Kualitas Produk
Kemampuan sebuah produk untuk memuaskan kebutuhan atau tuntutan
pelanggan.
c) Nama Merek
Istilah yang mengidentifikasikan produk dari penjual dan membedakannya
dari produk pesaing.
d) Warna Produk
Warna adalah salah satu dari dua unsur yang menghasilkan daya tarik
visual, dan kenyataannya warna lebih berdaya tarik pada emosi daripada
akal. Warna produk membantu mengurangi hambatan penjualan dan ini
merupakan faktor vital dalam menciptakan desain grafis yang menjual.
e) Slogan Produk
Pernyataan atau susunan kata tertentu yang menjelaskan singkat suatu
produk atau jasa layanan yang diulang-ulang sehingga mudah diingat
publik.
f) Simbol produk
Icon yang mewakili sekumpulan nilai yang melekat pada produk yang
dihasilkan.
g) Kemasan
Kemasan dapat didefinisikan sebagai seluruh kegiatan merancang dan
memproduksi wadah atau bungkus atau kemasan suatu produk.
h) Desain Produk
Desain adalah totalitas dari keistimewaan yang mempengaruhi cara
penampilan dan fungsi suatu produk dalam hal kebutuhan langganan.
i) Fitur
Fitur adalah alat persaingan untuk membedakan produk perusahaan
terhadap produk sejenis yang menjadi pesaingnya

Social Influence (Pengaruh Sosial)

Social influence adalah efek bahwa orang memiliki kepercayaan atau
keyakinan pada perilaku orang lain (Aaronson, 2004). Social Influence seperti
empati, hubungan, rekomendasi, persetujuan dan kesopanan positif terkait dengan
hasil positif perilaku pembelian (Butcher et al., 2002). Menurut Bearden dan Etzel
(1982), terdapat dua jenis kepekaan pelanggan terhadap social influence. Salah
satunya adalah kepekaan normatif (normative social influence), yang
menunjukkan ketika pelanggan membuat keputusan pembelian berdasarkan
harapan mereka akan terkesan oleh orang lain (Ang et al.2001; Penz dan
Stottinger, 2005) Menurut Aaronson et al (2010:135), normative social influence
adalah pengaruh orang lain yang memicu kita untuk berkonformitas agar disukai
dan diterima oleh mereka. Individu berkonformitas karena mereka tidak ingin
dikucilkan karena ia berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Ia bertindak
sebagaimana yang diharapkan oleh kelompoknya untuk menghindari penolakan
atau agar tidak dianggap remeh oleh kelompoknya, walaupun sebenarnya ia tidak
sependapat atau tidak setuju dengan mereka.
Walaupun konformitas adalah sebuah hal yang umum, orang-orang tidak
selalu tunduk pada konformitas. Aronson et al (2010:137) mengungkapkan bahwa
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan
normative social influence:
a) Ukuran Kelompok
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui bahwa normative
social influence akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
kelompok, namun akan menurun setelah jumlah anggota mencapai empat
atau lima Signifikansi Kelompok
Tekanan normatif akan lebih kuat jika datang dari orang-orang yang kita
cintai, hargai, dan kita jaga pertemanannya. Oleh karena itu, preferensi
kita terhadap sebuah kelompok dapat mempengaruhi konformitas. Sebuah
kelompok yang memiliki keterkaitan lebih dalam terhadap kita akan
memiliki pengaruh yang lebih besar daripada kelompok yang memilki
ikatan yang kecil terhadap kita.
b) Kekompakan Kelompok
Normative social influence sangat terasa kuat ketika semua orang dalam
kelompok mengatakan atau meyakini hal yang sama. Menolak keyakinan
yang sedemikian menyatu sangatlah sulit atau bahkan tidak mungkin.
c) Budaya Kelompok
Dalam penelitian menggunakan metode garis Asch yang dilakukan
terhadap 17 negara, para peneliti menemukan bahwa nilai-nilai budaya
mempengaruhi normative social influence.

Luxury Value (Nilai Kemewahan)

Kemewahan dalam sebuah produk pada dasarnya terdiri atas dua aspek
yaitu tangible dan intangible. Aspek tangible meliputi hal-hal yang dapat dilihat
oleh mata seperti bangunan, mobil, atau barang-barang lainnya. Sedangkan
intangible lebih mengarah pada nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok pelanggan
tertentu.
Hirschman dan Holbrook (2008) menyebutkan empat dimensi nilai
kemewahan:
a) Financial Dimension
Dimensi ini terkait dengan harga, harga jual kembali, nilai investasi dan
lain sebagainya. Harga dan pengorbanan yang diperlukan untuk dapat
membeli sebuah produk/layanan/merek menentuka persepsi konsumen
terhadap mewah atau tidaknya produk/layanan/merek tersebut.
b) Functional Dimension
Terkait dengan fungsi atau manfaat utama dari poduk/layanan/merek itu
sendiri. Di dalamnya terkandung pula kualitas, keunikan, reliabilitas, daya
tahan dan kegunaannya.
c) Individual Dimension
Di dalamnya meliputi materialisme, hedonisme dan nilai-nilai priibadi.
d) Social Dimension
Dengan memiliki atau membeli produk/layanan/merek yang mewah
individu berharap memperoleh pengakuan dari lingkungannya. Dimensi
ini diyakini menjadi dorongan terkuat bagi konsumen untuk membeli
kemewahan

consumer Inertia

Inersia adalah cara yang paling efisien ketika individu percaya bahwa
mereka yakin dapat mengandalkan pada sumber informasi yang ada untuk
mencapai tujuan dalam stabil dan dapat diandalkan lingkungan (Gulati, 1995).
Konsumen yang inersia lebih enggan untuk beralih produk meskipun dihadapkan
dengan alternatif pilihan yang berbeda oleh penyedia (Liu et al., 2007). Jenis
konsumen ini memiliki kecenderungan yang kurang untuk beralih merek dan
membuat perilaku niat pembelian ulang mereka dengan cara yang kurang
disengaja. Tanpa inersia, konsumen akan beralih ke merek lain yang dapat
menawarkan atribut produk lebih baik. Oleh karena itu, faktor consumer inertia
digunakan untuk menguji tingkat hubungan dengan repeat purchase intention
konsumen.

Niat Pembelian Ulang

Niat pembelian ulang pada dasarnya adalah perilaku pelanggan dimana
pelanggan merespons positif terhadap kulitas pelayanan suatu perusahaan dan
berniat melakukan kunjungan kembali atau mengkonsumsi kembali produk
perusahaan tersebut (Cronin et al, 1992). Menurut Suwandi (2007:3), terdapat dua
tipe pembelian konsumen, yaitu pembelian percobaan dan niat pembelian ulang.
Kondisi dimana konsumen membeli suatu produk (atau merek) untuk pertama kali
dan dalam jumlah kecil, dapat dikatakan sebagai pembelian percobaan (trial
purchases). Niat pembelian ulang (repeat purchase) adalah kegiatan
mengkonsumsi kembali suatu produk karena kepuasan yang diciptakan dan dalam
jumlah besar. Menurut Ferdinand (2002:129), niat pembelian ulang dapat
diidentifikasi melalui indikator-indikator sebagai berikut:
a) Minat transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk selalu membeli
ulang produk yang telah dikonsumsinya.
b) Minat referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk mereferensikan
produk yang sudah dibelinya, agar juga dibeli oleh orang lain, dengan
referensi pengalaman konsumsinya.
c) Minat preferensial, yaitu minat yang menggambarkan perilaku seseorang
yang selalu memiliki preferensi utama pada produk yang telah dikonsumsi.
Preferensi ini hanya dapat diganti bila terjadi sesuatu dengan produk
preferensinya.
d) Minat eksploratif, minat ini menggambarkan perilaku seseorang yang
selalu mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari
informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk yang selalu
dibelinya.

Indikator Kepuasan

Indikator dari Kepuasan menurut Tjiptono dan Chandra (2012) adalah :
1) Pelayanan sesuai harapan
Yaitu sesuai atau tidaknya harapan kualitas suatu produk atau jasa
pasca pembelian suatu produk dengan harapan yang diinginkan
pelanggan.
2) Kesediaan pelanggan
Yaitu kesediaan pelanggan akan tetap memakai dan terus membeli
suatu produk apabila tercapainya harapan yang mereka inginkan.
3) Puas atas pelayanan
ungkapan perasaan puas atau tidak puas dari pelanggan saat menerima
pelayanan yang baik dan produk yang berkualitas dari perusahaan

Faktor yang mempengaruhi Kepuasan

Menurut Yoadi (2015). Dalam menentukan kepuasan konsumen
ada lima faktor yang harus diperhatikan oleh perusahaan, antara lain:
1) Kualitas produk, yaitu pelanggan akan merasa puas bila hasil mereka
menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.
2) Kualitas pelayanan atau jasa, yaitu pelanggan akan merasa puas bila
mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang
diharapkan.
3) Emosi, yaitu pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan
keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila
menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung
mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan yang
diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi sosial atau self
esteem yang membuat pelanggan merasa puas terhadap merek tertentu.
4) Harga, yaitu produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi
menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih
tinggi kepada pelanggan.
5) Biaya, yaitu pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan
atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk
atau jasa cenderung puas terhadap produk atau jasa tersebut

Pengertian Kepuasan

Banyak pakar yang mendefinisikan kepuasan konsumen
berdasarkan persepektifnya masng-masing meskipun tidak terdapat satu
definisi tunggal yang menjadi rujukan bersama mengenai kepuasan
konsumen, namun pada intinya mereka menyatakan subtansi yang sama
tentang kepuasan konsumen. Menurut kotler dan keller dalam donni juni
priansah (2017), Menyatakan bahwa kepuasan konsumen adalah perasaan
senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara
kinerja (hasil) produk yang diperkirakan terhadap kinerja (atau hasil) yang
diharapkan. Jika kinerja dibawah harapan, konsumen tidak puas. Jika
kinerja memenuhi harapan, konsumen puas. Jika kinerja melebihi harapan,
konsumen amat puas/senang.
Menurut Oliver dalam Tandon et al. (2018) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah faktor penting untuk
memahami bagaimana kebutuhan dan keinginan pelanggan terpenuhi.
Kotler dan Amstrong (2015:13) mendefinisikan kepuasan pelanggan
adalah tingkatan dimana kinerja produk yang dirasakan memenuhi harapan
pembeli

Indikator Gaya Hidup

Indikator dari Gaya Hidup menurut Mandey (2010) adalah :
1) Kegiatan
Adalah mengungkapkan apa yang dikerjakan konsumen, produk apa
yang dibeli atau digunakan, kegiatan apa yang dilakukan untuk mengisi
waktu luang. Walaupun kegiatan ini biasanya dapat diamati, alasan
untuk tindakan tersebut jarang dapat diukur secara langsung.
2) Minat
Mengemukakan apa minat, kesukaan, kegemaran, dan prioritas dalam
hidup konsumen tersebut. Sehingga hal ini bisa mempengaruhi gaya
hidupnya.
3) Opini
Adalah berkisar sekitar pandangan dan perasaan konsumen dalam
menanggapi isu-isu global, lokal oral ekonomi dan sosial. Opini
digunakan untuk mendeskrifsikan penafsiran, harapan dan evaluasi,
seperti kepercayaan mengenai maksud orang lain, antisipasi
sehubungan dengan peristiwa masa datang dan penimbangan
konsekuensi yang memberi ganjaran atau menghukum dari jalannya
tindakan alternatif.

Faktor yang mempengaruhi Gaya Hidup

Menurut Kotler dan Amstrong (2016:48) menyatakan bahwa
ffaktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2 yaitu faktor yang
berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar
(eksternal).
Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian,
konsep diri, motif, dan persepsi dan adapun dengan penjelasannya sebagai
berikut :
1) Sikap Sikap berarti keadaan jiwa dan keadaan fikir yang dipersiapkan
untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorranisasi
melalui pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku.
Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan,
kebudayaan dan lingkungan sosialnya.
2) Pengalaman dan pengamatan Pengalaman dapat mempengaruhi
pengamatan sosial dalam tingkah laku, pengalaman dapat diperoleh
dari semua tindakannya dimasa lalu dan dapat dipelajari, melalui
belajar orang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil dari
pengalaman sosial akan dapat membentuk pandangan terhadap suatu
objek tertentu.
3) Kepribadian Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik individu dan
cara berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap
individu.
4) Konsep diri sudah menjadi pendekatan yang dikenal amat luas untuk
menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen dengan image
merek. Bagaimana individu memandang dirinya akan mempengaruhi
minat terhadap suatu objek. Konsep diri sebagai inti dari pola
kepribadian akan menentukan perilaku individu dalam menghadapi
permasalahan hidupnya.
5) Motif Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk
merasa aman dan kebutuhan terhadap prestise merupakan beberapa
contoh tentang motif. Jika motif seseorang tentang kebutuhan akan
prestise itu besar maka akan membentuk gaya hidup yang cenderung
mengarah pada gaya hidup hedonis.
6) Persepsi Persepsi adalah dimana proses seseorang memilih, mengatur,
dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk suatu gambar
yang berarti mengenai dunia

Pengertian Gaya Hidup

Menurut Listyorini 2012 menjelaskan bahwa: “Gaya hidup
seringkali digambarkan dengan kegiatan, minat dan opini dari seseorang
(activities, interest, and opinion). Dan lebih menggambarkan perilaku
seseorang, yaitu bagaimana mereka hidup,menggunakan uangnya dan
memanfaatkan waktu yang dimilikinya”. Sedangkan menurut Kotler
(2011) menyatakan gaya hidup seseorang adalah pola hdup seseorang
dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat
dan pendapat (opini).
Gaya hidup custumer yang modern cenderung menjadi lebih
memperhatikan detail pelayanan dan saat terjadi kegagalan layanan
umumnya custumer menjadi lebih partisipatif baik berupa tindakan seperti
mengkonfirmasi atau untuk tingkat yang lebih parah akan berhenti
melakukan pembelian dan melakukan word of mouth kepada orang
terdekatnya yang jelas akan merugikan bagi perusahaan, sehingga
penanganan kegagalan layanan perlu untuk dijadikan suatu perhatian bagi
pemilik usaha (Kumar, dkk 2016)

Indikator Kepercayaan Customer

Menurut Maharani (2010) menyebutkan indikator dari
Kepercayaan Custumer yaitu :
1) Kehandalan
Keandalan merupakan konsisten dari serangkaian pengukuran.
Keandalan maksudnya ialah untuk mengukur konsisten sebuah
perusahaan dalam melakukan usahanya dari dulu sampai sekarang.
2) Kejujuran
Bagaimana perusahaan/pemasar menawarkan produk barang atau jasa
sesuai dengan informasi yang diberikan perusahaan/pemasar kepada
konsumennya secara jujur.
3) Kepedulian
Perusahaan/pemasar yang selalu melayani dengan baik konsumennya,
selalu menerima keluhan-keluhan yang dikeluhkan konsumennya serta
selalu menjadikan konsumen sebagai prioritas.
4) Kredibilitas
Kualitas atau kekuatan yang ada pada perusahaan/pemasar untuk
meningkatkan kepercayaan konsumennya

Faktor yang mempengaruhi Kepercayaan Customer

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan custumer menurut
Priansa (2017) :
1) Integritas (integrity)
Integritas berarti komplit, komplit maksudnya adalah antara yang
dikatakan dan dilakukan perusahaan yang membuat konsumen menjadi
percaya ada kesesuaian.
2) Reliabilitas (reliability)
Dalam melakukan usahanya dari dulu sampai sekarang reabilitas
dimaksudkan untuk mengukur kekonsistenan perusahaan.
3) Kontak pegawai (contact personnel)
Orang yang menghubungkan perusahaan dan konsumen merupakan
kontak pegawai. Contact Personel dalam menyampaikan jasa, dalam
hal seperti resepsionis, operator telepon, sekertaris dal lain-lain dinilai
berdasarkan efektivitas individu.
4) Lingkungan fisik (physical environment)
Dapat diartikan sebagai kondisi dan suatu keadaan sekitar dimana
seseorang tersebut berada

Pengertian Kepercayaan Customer

Kepercayaan pelanggan didefinisikan sebagai harapan pelanggan
bahwa penyedia jasa dapat dipercaya atau diandalkan dalam memenuhi
janjinya (Tatang dan Mudiantono, 2017). Sedangkan menurut Luhmann
(2014) Kepercayaan mendorong keberhasilan transaksi karena hal itu dapat
mengurangi ketidak pastian sosial yang seharusnya terlalu kompleks, jika
bukan tidak mungkin, untuk dipikirkan secara rasional.
Kepercayaan organisasi bisnis lain tersebut akan memberikan
outcome yang positif bagi organisasi bisnis menurut keyakinan organisasi
bisnis terhadap organisasi bisnis lainnya Priansa (2017). Kepercayaan
adalah dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan
bahwa orang yang dipercayainya tersebut sesuai dengan apa yang
diharapkan

Indikator Keputusan Pembelian Ulang

Indikator dari Keputusan Pembelian Ulang menurut Veronika (2017)
adalah :
1) Minat transaksional
Kecenderungan seseorang untuk membeli produk. Hal ini bermaksud
yakni konsumen telah memiliki minat untuk melakukan pembelian
suatu produk tertentu yang ia inginkan.
2) Minat refrensial
Kecenderungan seseorang untuk mereferensikan produk kepada orang
lain. Hal ini bermaksud yakni seorang konsumen yang telah memiliki
minat untuk membeli akan menyarankan orang terdekatnya untuk
juga melakukan pembelian produk yang sama.
3) Minat preferensial
Minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang memiliki
preferensi utama pada produk tersebut. Preferensi ini hanya dapat
diganti jika terjadi sesuatu dengan produk preferensinya.
4) Minat eksploratif
Yaitu minat dalam menggambarkan perilaku seseorang yang selalu
mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari
informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut

Tahapan Keputusan Pembelian Ulang

Kotler dan Keller (2012:176) mengemukakan langkah konsumen
dalam melakukan proses pengambilan keputusan pembelian dapat dilihat
pada gambar berikut:
1) Pengenalan Masalah (Problem Recoqnition)
Proses pembelian terjadi ketika konsumen mengenali
kebutuhan atau masalah sehingga konsumen mendapat dorongan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Para pemasar harus pandai
memprediksi dan mengikuti apa yang menjadi kebutuhan konsumen.
Kebutuhan konsumen perlu diteliti agar pemasar dapat memenuhi
dengan apakah yang dibutuhkan konsumen, apa yang menyebabkan
kebutuhan itu timbul, dan bagaimana kebutuhan tersebut dapat
mendorong konsumen untuk mencari produk tersebut. Konsumen
akan mencari tahu apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya,
baik yang sudah direncanakan maupun yang timbul secara tiba-tiba.
Perbedaan antara keadaan yang diinginkan dengan keadaan yang
sebenarnya, akan membangkitkan timbulnya kebutuhan.
2) Pencarian Informasi. (information Search)
Setelah konsumen menentukan kebutuhannya, konsumen akan
terdorong untuk mencari informasi sebanyak-sebanyaknya tentang
barang atau produk tersebut. Pencarian informasi dibedakan menjadi
dua, yaitu bersifat aktif dan pasif, pencarian informasi yang bersifat
aktif yaitu konsumen melakukan survey langsung ke tempat belanja
umtuk membuat perbandingan harga dan kualitas produk, sedangkan
pencarian informasi pasif hanya dengan membaca iklan yang tertera
tanpa mempunyai rincian khusus tentang gambaran produk yang
diinginkan.
3) Evaluasi Alternatif (Alternative Evaluation)
Evaluasi alternative terdiri dari dua tahap, yaitu menentukan
tujuan pembelian dan menilai dengan cara memilah alternative
pembelian berdasarkan tujuan pembeliannya. Setelah konsumen
mengumpulkan informasi tentang alternative terhadap suatu
kebutuhan, langkah selanjutnya konsumen akan mengevaluasi pilihan
dan menyimpulkan pilihan pada alternative yang ditentukan.
4) Keputusan Pembelian (Purchase Decision)
Konsumen menentukan pengambilan keputusan tentang
kepastian pembelian produk. Keputusan tersebut menyangkut jenis
produk, bentu produk, merek, penjual, kualitas dan sebagainya.
Konsumen biasanya dihadapkan pada beberapa pilihan sub keputusan,
meliputi merek, pemasok, jumlah waktu pelaksanaan, dan metode
pembayaran. Keputusan pembelian meliputi keputusan konsumen
mengenai apa yang dibeli, keputusan membeli atau tidak, waktu
pembelian, tempat pembelian, dan bagaimana cara pembayaran.
5) Perilaku Pasca Pembelian. (Post-Purchase Behaviour)
Pemasar wajib memperhatikan konsumen setelah melakukan
pembelian produk. Konsumen akan merasakan tingkat kepuasan
setelah membeli suatu produk. Ada kemungkinan bahwa pembeli
merasakan ketidakpuasan setelah melakukan pembelian, karena factor
harga barang yang dianggap terlalu mahal, atau karena
ketidaksesuaian antara ekspetasi dan realitanya tentang produk
tersebut. Konsumen akan membandingkan produk atau jasa yang telah
dibeli, dengan produk atau jasa lain. Hal ini dikarenakan konsumen
mengalami ketidakcocokan dengan fasilitas-fasilitas tertentu pada
produk yang telah dibeli, atau membandingkan keunggulan tentang
merek lain. Perilaku ini mempengaruhi pembelian ulang.
c. Faktor yang mempengaruhi Keputusan Pembelian Ulang
Menurut Kotler (2011) mengatakan beberapa faktor yang
mempengaruhi keputusan pembelian ulang sebagai berikut :
1) Faktor Lingkungan yang terdiri atas:
Faktor budaya yang meliputi, Nilai-nilai yaitu norma yang dianut
masyarakat, Persepsi yaitu cara pandang sesuatu, Preferensi yaitu rasa
suka pada satu produk dibandingkan produk lain, Behaviour yaitu
kebiasaan.
2) Faktor Sosial meliputi:
Faktor ini adalah kelompok yang mempengaruhi anggota/komunitas
dalam membuat keputusan terhadappembelian suatu barang atau jasa.
Keluarga Faktor ini adalah juga penting pengaruhnya bagi seseorang
dalam memilih suatu barang atau jasa. Peran dan status seseorang di
masyarakat atau perusahaan akan mempengaruhi pola tindakannya
dalam membeli barang atau jasa.
3) Faktor Teknologi yang meliputi :
Transportasi pribadi, alat rumah tangga. Audio visual, internet dan
seluler.
4) Faktor Pribadi dari:
a) Aspek pribadi yaitu seorang konsumen akan berbeda dari seorang
konsumen lainnya karena faktor-faktor pribadi dalam hal berikut:
usia, pekerjaan, kondisi keuangan, gaya hidup, kepribadian, konsep
diri.
b) Aspek psikologis yaitu faktor kejiwaan atau psikologi yang
mempengaruhi seseorang dalam tindakan membeli suatu barang/jasa
yang terdiri dari: motivasi, persepsi, kepercayaan dan perilaku

Pengertian Keputusan Pembelian Ulang

Keputusan pembelian, menurut Kotler & Armstrong dalam
Zoeldhan (2012) adalah tahap dalam proses pengambilan keputusan
pembelian di mana custumer benar-benar membeli. Untuk mendapat
gambaran mengenai keputusan membeli, berikut ini akan dikemukakan
definisi mengenai keputusan membeli menurut para ahli. Menurut Kotler
(2014) keputusan membeli yaitu: “beberapa tahapan yang dilakukan oleh
konsumen sebelum melakukan keputusan pembelian suatu produk”.
Pengambilan keputusan membeli adalah proses pengenalan masalah
(problem recognition), pencarian informasi, evaluasi (penilaian) dan
seleksi dari alternatif produk, seleksi saluran distribusi dan pelaksanaan
keputusan terhadap produk yang akan digunakan atau dibeli oleh
konsumen (Munandar, 2012)

Bauran Pemasaran Jasa

Keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan tergantung dari susunan strategi pemasaran yang ada di
perusahaan. Setiap perusahaan menggunakan sejumlah alat untuk
mendapat respon konsumen terhadap kegiatan pemasaran yang dilakukan
oleh perusahaan. Salah satu alat yang digunakan perusahaan dalam
menyusun strategi pemasaran dengan menggunakan bauran pemasaran jasa
(marketing mix). Menurut Fandy Tjiptono (2011:39) “bauran pemasaran
jasa merupakan seperangkat alat yang dapat digunakan pemasar untuk
membentuk karateristik jasa yang ditawarkan kepada pelanggan”.
Sedangkan menurut Benyamin Molan (2012:23), “Bauran pemasaran
(marketing mix) adalah perangkat alat pemasar yang digunakan perusahaan
untuk mengejar tujuan pemasarannya”. Selanjutnya Sumarmi dan
Soeprihanto (2010:274) menjelaskan, “Bauran Pemasaran (marketing mix)
adalah kombinasi dari variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari
sistem pemasaran yaitu produk, harga, promosi, dan distribusi.” Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa bauran pemasaran (marketing mix)
merupakan serangkaian alat pemasaran yang saling terkait, diorganisir
dengan tepat yang dikuasai dan digunakan oleh perusahaan untuk mencapai
tujuan pemasran pada pasar sasaran sekaligus memenuhi kebutuhan dan
keinginan pelanggan sehingga dapat mencapai kepuasan pelanggan.
Berikut ini adalah elemen-elemen bauran pemasaran atau marketing
mix menurut Jerome Mc.Charty yang dikutip oleh Kotler dan Armstrong
(2014:76) yaitu:
1) Product
Suatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, agar
produk yang dijual mau dibeli, digunakan atau dikonsumsi yang dapat
memenuhi suatu keinginan atau kebutuhan konsumen.
2) Price
Sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki
atau menggunakan produk atau jasa yang nilainya ditetapkan oleh pembeli
dan penjual melalui tawar menawar, atau ditetapkan oleh penjual untuk
satu harga yang sama terhadap semua pembeli.
3) Place
Tempat meliputi segala aktivitas perusahaan dalam membuat produk yang
akan tersedia untuk konsumen sasaran. Tempat dapat dikatakan sebagai
salah satu aspek penting dalam proses distribusi. Dalam melakukan
distribusi selain melibatkan produsen secara langsung, melainkan akan
melibatkan pula pengecer dan distributor.
4) Promotion
Aktivitas yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi mengenai
produk yang akan dijual kepada konsumen potensial

Pengertian Manajemen Pemasaran

Suatu perusahaan akan menjadi sukses apabila di dalamnya ada
kegiatan manajemen pemasaran yang baik. Manajemen pemasaran pun
menjadi pedoman dalam menjalankan kelangsungan hidup perusahaan.
Proses produksi hingga barang sampai pada custumer peran manajemen
pemasaran tidak bisa terpisahkan karena nantinya apabila dapat
dilaksanakan dengan baik, maka akan menjadi keuntungan bagi perusahaan
khususnya dan custumer pada umumnya.
Menurut Mullins and Walker (2010:14) menyatakan bahwa
manajemen pemasaran adalah “Marketing management is the process of
analyzing, planning, implementing, coordinating, and controlling
programs involving the conception, pricing, promotion and distribution of
product, services, and ideas designed to create and maintain beneficial
exchanges with target markets for the purpose of achieving organizational
objectives” Sedangkan menurut Shultz yang dikutip Alma (2013:130)
adalah: “Manajemen pemasaran adalah merencanakan, pengarahan dan
pengawasan seluruh kegiatan pemasaran perusahaan ataupun bagian dari
perusahaan.”

Pengertian Pemasaran

Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok yang perlu
dilaksanakan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya. Dengan
fungsi pemasaran yang baik, perusahaan mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan kriteria produk sesuai dengan yang diinginkan oleh
custumer. Bagi suatu perusahaan, aktivitas pemasaran mempunyai peranan
yang sangat penting, karena aktivitas pemasaran diarahkan untuk
menciptakan perputaran yang memungkinkan perusahaan dalam
mempertahankan kelangsungan hidup. Selain itu aktivitas pemasaran
dilakukan untuk pencapaian tujuan perusahaan yang sesuai dengan
harapan. Banyak orang yang mendefinisikan bahwa pemasaran sebagai
kegiatan penjualan saja. Padahal hal tersebut hanya sebagian kecil dari
pemasaran.
Dalam kehidupan sehari-hari kita senantiasa dikelilingi oleh usaha-
usaha pemasaran dari berbagai perusahaan yang coba memasarkan produk
dan jasa yang mereka tawarkan. Semua usaha tersebut dilakukan agar para
custumer tertarik terhadap produk mereka dan akhirnya melakukan
pembelian. Pemasaran adalah proses sosial yang didalamnya individu dan
kelompok mendapatkan yang mereka butuhkan dan inginkan dengan
menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk
yang bernilai dengan pihak lain. Hal tersebut sejalan dengan yang
disampaikan oleh Kotler dan Keller (2012 : 27) bahwa “Marketing is the
activity, set of institution, and processes for creating, communicating,
clients, partners and society at large.” Definisi tersebut mengartikan
bahwa “Pemasaran adalah kegiatan, mengatur lembaga, dan proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, memberikan, dan bertukar penawaran
yang memiliki nilai pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat pada
umumnya.” Sedangkan menurut Buchary Alma dan Djaslim Saladin
(2010:2), menyatakan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan
manajerial menyangkut individu atau kelompok untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginannya melalui penciptaan, penawaran dan
pertukaran (nilai) produk dengan yang lain.

Pengertian Manajemen

Manajemen merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sebuah
organisasi untuk mengurus, mengatur, melaksanakan, dan mengelola
kegiatan yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan. Manajemen
mempunyai arti yang sangat luas, dapat berarti proses, seni, ataupun ilmu.
Dikatakan proses karena manajemen terdapat beberapa tahapan untuk
mencapai tujuan, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan. Dikatakan seni karena manajemen merupakan suatu cara atau
alat untuk seorang manajer dalam mencapai tujuan. Dimana penerapan dan
penggunaannya tergantung pada masing-masing manajer yang sebagian
besar dipengaruhi oleh kondisi dan pembawaan manajer. Dikatakan ilmu
karena manajemen dapat dipelajari dan dikaji kebenarannya (Athoillah,
2010).
Menurut Robbins dan Coulter yang dialihbahaskan oleh Bob
Sabran (2010:7) bahwa manajemen adalah “Aktivitas kerja yang
melibatkan koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain,
sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif”.
Sedangkan menurut George R. Terry dalam Afifudin (2013:5)
mendifinisikan manajemen adalah : “Suatu proses khas yang terdiri atas
tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan
pengendalian yang dlakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran
yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan
sumber daya lainnya.”