Indikator komitmen organisasional


Menurut (Meyer & Allen, 1991), indikator komitmen
organisasional sebagai berikut:
1) Komitmen afektif (Affective Commitment), adalah keterkaitan
emosional yang positif antara karyawan dan perusahaan tempat
mereka bekerja.
2) Komitmen berkelanjutan (Continuance Commitment), adalah
komponen kebutuhan atau memperoleh versus kehilangan.
3) Komitmen normatif (Normative Commitment) muncul karena
karyawan merasa bekerja dan menjadi anggota organisasi karena
sudah kewajiban.

Pengertian Komitmen Organisasional


(Meyer & Allen, 1991) merumuskan definisi komitmen
organisasional adalah hubungan karyawan atau anggota organisasi
terhadap organisasinya yang mempunyai pengaruh terhadap
keberlangsungan organisasi dan keputusan individu apakah akan tetap
menjadi anggota di dalam organisasinya. Menurut Wirawan (2017)
komitmen organisasional adalah keterikatan psikologi dan fisik
karyawan terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Komitmen
organisasional adalah situasi dimana karyawan memihak pada
organisasi dan tetap mempertahankan keanggotaannya terhadap
organisasi (Robbins & Judge, 2017)

Indikator Organizational Citizenship Behavior (OCB)


Indikator Organizational Citizenship Behavior (OCB) menurut
Organ et al (2006) yaitu:
1) Altruism, adalah perilaku karyawan yang menolong rekan kerjanya
untuk meringankan pekerjaan.
2) Conscientiousness, adalah perilaku sukarela yang ditunjukkan
dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan.
3) Sportmanship, adalah perilaku toleransi terhadap keadaan yang
tidak ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan
4) Courtesy, perilaku menjaga hubungan baik dengan rekan kerja.
5) Civic virtue, perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada
organisasi.

Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)


Organ et al (2006) berpendapat bahwa organizational
citizenship behavior merupakan perilaku yang bersifat bebas dalam
mengambil keputusan dalam keadaan yang dihadapi secara eksplisit
yang akan mendorong fungsi organisasi menjadi lebih efektif dan
efisien. Perilaku kewargaan menurut Robbins & Judge (2017) adalah
perilaku kebebasan dalam menentukan yang bukan merupakan bagian
dari persyaratan pekerjaan formal karyawan yang berkontribusi pada
lingkungan psikologis dan sosial tempat kerja. Jennifer M. George dan
Gareth R. Jones dalam Tristiani et al (2021) berpendapat bahwa OCB
adalah perilaku yang melampaui panggilan tugas yaitu perilaku secara
tidak langsung diperlukan oleh anggota, tetapi tetap dibutuhkan untuk
efektivitas sebuah organisasi.

Indikator Produktivitas Kerja


Indikator produktivitas kerja menggambarkan hasil dan dampak dari kegiatan
yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Semakin besar yang
dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan, maka
semakin produktif proses kerja suatu perusahaan. Adapun indikator produktivitas
kerja menurut Sutrisno (2020) adalah sebagai berikut:

  1. Kemampuan
    Kemampuan seorang karyawan bergantung pada keterampilan yang dimiliki
    serta profesionalisme mereka dalam bekerja. Hal ini dapat memberikan daya
    kepada karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
  2. Meningkatkan hasil yang dicapai
    Indikator ini dapat dilihat berdasarkan upaya yang dilakukan oleh masingmasing karyawan dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil yang
    optimal sehingga produktivitas meningkat.
  3. Semangat kerja
    Indikator ini dilihat berdasarkan etos kerja yang dimiliki dan hasil yang dicapai
    oleh masing-masing karyawan dibandingkan dengan pencapaian mereka pada
    hari sebelumnya.
  4. Pengembangan diri
    Pengembangan diri bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja. Hal ini
    dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan apa yang akan
    dihadapi.
  5. Mutu
    Mutu merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan kualitas kerja
    seorang karyawan.
  6. Efisiensi
    Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang
    digunakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Aspek-Aspek Produktivitas Kerja


Simamora dalam Sutrisno (2020) mengemukakan bahwa ada tiga aspek yang
menggambarkan tingkat produktivitas kerja karyawan pada suatu perusahaan,
yaitu:

  1. Kuantitas kerja, merupakan hasil yang dicapai oleh karyawan dalam jumlah
    tertentu berdasarkan perbandingan standar sesuai yang telah ditetapkan oleh
    perusahaan.
  2. Kualitas kerja, merupakan suatu mutu atau standar hasil dari produk yang telah
    dihasilkan oleh karyawan, dalam hal ini mencakup kemampuan karyawan
    dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
  3. Ketepatan waktu, yaitu tingkat keberhasilan seorang karyawan dalam
    melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Upaya Peningkatan Produktivitas Kerja


Tingkat produktivitas kerja yang tinggi pada suatu perusahaan. Adapun upayaupaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kerja menurut
Sutrisno (2020) antara lain:

  1. Perbaikan terus menerus
    Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja adalah dengan
    melakukan perbaikan dari kekeliruan yang pernah terjadi secara terus menerus
    pada seluruh komponen perusahaan.
  2. Peningkatan mutu hasil pekerjaan
    Upaya ini berkaitan dengan perbaikan secara terus menerus dan dapat
    dilakukan dengan meningkatkan mutu hasil pekerjaan dari seluruh komponen
    perusahaan.
  3. Pemberdayaan SDM
    Memberdayakan SDM yang ada di perusahaan dapat menjadi salah satu upaya
    dalam meningkatkan produktivitas kerja. Upaya ini dapat dilakukan dengan
    memberikan pendidikan atau pelatihan kepada seluruh karyawan di
    perusahaan.

Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja


Dalam pengukuran produktivitas kerja pada suatu perusahaan, dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Berdasarkan pendapat Sutrisno (2020) faktor-faktor tersebutyaitu:

  1. Pelatihan
    Pelatihan kerja yang dilakukan oleh perusahaan dapat mengasah keterampilan
    yang dimiliki oleh karyawan. Semakin baik keterampilan yang dimiliki
    karyawan, maka semakin baik pula produktivitas kerja yang dihasilkan.
  2. Mental dan kemampuan fisik karyawan
    Keadaan mental dan fisik karyawan merupakan hal yang sangat penting untuk
    diperhatikan oleh perusahaan, sebab hal-hal tersebut berkaitan erat dengan
    produktivitas kerja karyawan.
  3. Hubungan antara atasan dan bawahan
    Hubungan ini termasuk bagaimana pandangan atasan terhadap bawahan akan
    mempengaruhi kegiatan yang dilakukan karyawan sehari-hari. Apabila
    hubungan terjalin baik, maka karyawan akan berusaha melakukan tugasnya
    dengan baik sehingga mampu mencapai hasil yang optimal.
    Adapun menurut Tiffin dan Cormick dalam Sutrisno (2020) mengemukakan
    bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja karyawan dapat
    disimpulkan menjadi 2 (dua) golonganantara lain:
  4. Faktor yang ada pada diri individu, meliputi usia, tempramen, keadaan fisik
    individu, keluhan, motivasi kerja dan kreativitas.
  5. Faktor yang ada di luar individu, meliputi kondisi fisik seperti suasana,
    penerangan, waktu istirahat, lama kerja, upah, struktur organisasi serta
    lingkungan sosial dan keluarga.

Definisi Produktivitas Kerja


Jika suatu organisasi atau perusahaan berhasil mencapai tujuannya, berarti
produktivitas kerja karyawan pada perusahaan tersebut dapat dikatakan cukup
baik. Menurut Wahyudi (2020) produktivitas merupakan perbandingan antara
hasil yang dapat dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan. Untuk
mengetahui lebih dalam mengenai definisi produktivitas kerja, berikut pandangan
beberapa pakar atau sumber mengenai produktivitas kerja.
a. Menurut Sutrisno (2020) produktivitas kerja adalah rasio dari keseluruhan hasil
kerja yang telah ditentukan perusahaan untuk menghasilkan suatu produk atau
jasa dari tenaga kerja.
b. Menurut Kurnia (2019) produktivitas merupakan ukuran efisiensi produktif
yang berarti suatu perbandingan antara hasil keluaran dan masukan.
c. Menurut Pradita (2020) produktivitas merupakan kemampuan untuk
menghasilkan produk (barang atau jasa) yang berkualitas dan sesuai dengan
standar yang ditetapkan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada
dengan efisien.
d. Menurut Mufti (2020) produktivitas adalah ukuran sampai sejauh mana
seorang karyawan mampu menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan kualitas
dan kuantitas yang telah ditetapkan sebelumnya oleh perusahaan.

Pendekatan Motivasi Kerja


Menurut Bangun (2012) dalam nemberikan motivasi kerja kepada karyawan,
terdapat beberapa pendekatan yang dapat diterapkan. Pendekatan tersebut antara
lain:

  1. Pendekatan tradisional, Frederick W. Taylor mengemukakan bahwa
    pendekatan ini dilakukan dengan menitikberatkan pada pengawasan dan
    pengarahan terhadap karyawan.
  2. Pendekatan hubungan manusia, Elton Mayo berpendapat bahwa memotivasi
    karyawan dapat dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan sosial dan
    menjadikan mereka merasa berguna dan paling penting.
  3. Pendekatan sumber daya manusia, McGregor mengemukakan bahwa para
    karyawan dapat dimotivasi melalui berbagai faktor, tidak hanya uang atau
    keinginan untuk mencapai kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk berprestasi
    dan memperoleh pekerjaan yang berani.
  4. Pendekatan kontemporer, pendekatan ini didominasi oleh tipe-tipe motivasi
    teori isi (menekankan pada teori hierarki kebutuhan), teori proses (teori
    hierarki kebutuhan, teori dua fakor, teori ERG) dan teori penguatan (berpusat
    pada bagaimana karyawan mempelajari perilaku kerja yang diinginkan).

Tujuan Motivasi Kerja


Pemberian motivasi kerja kepada karyawan tentu memiliki tujuannya sendiri.
Adapun tujuan pemberian motivasi kerja menurut Hasibuan (2020) antara lain:

  1. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan
  2. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan
  3. Meningkatkan kedisiplinan karyawan
  4. Mempertahankan kestabilan perusahaan
  5. Mengefektifkan pengadaan karyawan
  6. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
  7. Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi.

Definisi Motivasi Kerja


Pada pelaksanaan tugas dan tanggung jawab karyawan dalam sebuah perusahaan,
sebaiknya karyawan memiliki tingkat motivasi yang tinggi, karena dengan adanya
motivasi tersebut dapat mendorong karyawan untuk lebih giat dalam
melaksanakan pekerjaannya sehingga akan menghasilkan pencapaian yang
maksimal. Motivasi kerja juga dapat mempengaruhi semangat seseorang untuk
mencapai keinginannya.
Menurut Bangun (2012) motivasi kerja adalah suatu kondisi yang mendorong
orang lain untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan fungsinya dalam
suatu organisasi. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai definisi motivasi kerja,
berikut pandangan beberapa pakar atau sumber mengenai motivasi kerja.
a. Menurut Hasibuan (2020) motivasi kerja adalah pemberian daya penggerak
yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar dapat bekerja sama secara
efektif dan terintegritas dengan segala daya upayanya untuk mencapai
kepuasan tertentu.
b. Menurut Jufrizen (2018) motivasi kerja dapat diartikan sebagai suatu keadaan
kejiwaan dan sikap mental dalam diri manusia yang memberikan energi,
mendorong perilaku dan menyalurkan perilaku tersebut untuk mencapai
kebutuhan yang memberikan kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.
c. Menurut Abdul dan Hardi (2018) motivasi kerja merupakan proses psikologis
yang timbul diakibatkan oleh faktor-faktor yang bersumber baik dari dalam
maupun luar diri seseorang.
d. Menurut Dewi Susita (2020) motivasi kerja adalah segala aktivitas dan perilaku
karyawan yang bekerja dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
diinginkan oleh perusahaan.

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Menurut Jong dan Hartog dalam Hadi (2020) indicator perilaku kerja inovatif
adalah:

  1. Mengeksplor ide (Idea Exploration)
    Karyawan mampu menemukan kesempatan atau sebuah masalah yang terjadi
    di dalam perusahaan kemudian menciptakan ide-ide baru untuk dijadikan
    solusi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
  2. Mengembangkan ide (Idea Generation)
    Karyawan mampu mengembangkan ide yang telah diciptakan dan
    mengenalkan ide tersebut untuk proses baru kepada rekan-rekan kerja.
  3. Mencari dukungan untuk ide (Idea Championing)
    Karyawan diharapkan terdorong untuk mencari dukungan untuk ide yang telah
    dikembangkan agar dapat mewujudkan ide inovasi baru tersebut.
  4. Menerapkan ide (Idea Implementation)
    Karyawan memiliki keberanian untuk menerapkan ide baru tersebut ke dalam
    proses kerja yang biasa dilakukan di perusahaan.

Dampak Perilaku Kerja Inovatif


Menurut Janssen dalam Berliana (2018) dampak positif dari adanya perilaku kerja
inovatif antara lain:

  1. Dapat menghasilkan gagasan untuk lingkungan kerja
    Dengan adanya perilaku kerja inovatif, akan mendorong karyawan untuk
    menciptakan ide-ide baru untuk memperbaiki lingkungan tempat kerja menjadi
    lebih baik dan menciptakan cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan agar
    lebih efektif dan efisien.
  2. Dapat mempromosikan diri sendiri di dalam pekerjaan
    Seorang karyawan yang memiliki ide inovatif memiliki peluang yang lebih
    besar untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan
    adanya peran serta karyawan tersebut dalam mencipakan ide baru untuk
    menyelesaikan permasalahan yang ada di perusahaan.
  3. Dapat mewujudkan gagasan baru untuk lingkungan kerja
    Perilaku kerja inovatif sebagai tempat dalam diri seseorang untuk
    mengimplementasikan ide-ide baru yang terpendam dan dapat digunakan untuk
    menghadapi permasalahan yang terjadi.

Tahap Pembentukan Perilaku Kerja Inovatif


Menurut Janssen dalam Fitriza (2020) ada 3 (tiga) tahap dalam pembentukan
perilaku kerja inovatif yaitu:

  1. Menciptakan ide (Idea Generation)
    Pada tahap ini, karyawan dapat mengenali masalah yang muncul di perusahaan
    dan kemudian mampu menghasilkan ide-ide baru yang dapat menjadi solusi di
    berbagai bidang. Ide tersebut dapat bersifat asli atau dimodifikasi dari produk
    dan proses kerja yang sudah ada.
  2. Berbagi ide (Idea Promotion)
    Pada tahap ini, karyawan berbagi ide atau solusi yang telah diciptakan kepada
    rekan kerja mereka sehingga ide tersebut dapat diterima. Selain itu, karyawan
    akan mengumpulkan dukungan agar ide tersebut dapat direalisasikan dalam
    perusahaan.
  3. Realisasi Ide (Idea Realization)
    Pada tahap ini, karyawan membuat model dari ide yang mereka miliki menjadi
    sebuah produk dan proses kerja yang nyata sehingga dapat diterapkan pada
    pekerjaan individu, tim atau keseluruhan sehingga dapat meningkatkan
    produktivitas kerja perusahaan

Definisi Perilaku Kerja Inovatif


Perkembangan teknologi yang pesat memberikan dampak terjadinya persaingan
antar perusahaan, sehingga perusahaan membutuhkan inovasi-inovasi yang dapat
dikembangkan agar mampu bertahan dalam persaingan tersebut. Wahono (2016)
berpendapat bahwa inovasi merupakan sebuah strategi yang akan dilakukan
perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing dengan memenuhi permintan
produk-produk sehingga dapat digunakan sebagai keunggulan bersaing untuk
perusahaan.
Menurut Nyoman dan Ardana (2020) perilaku kerja inovatif merupakan sikap
memperkenalkan, mengajukan dan mengimplementasikan ide-ide, produk, serta
prosedur baru ke dalam pekerjaannya. Perilaku kerja inovatif ini penting untuk
menjaga daya saing perusahaan dan meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
(Hammond dalam Widiastuti, 2020). Untuk mengetahui lebih dalam mengenai
definisi perilaku kerja inovatif, berikut pandangan beberapa pakar atau sumber
mengenai perilaku kerja inovatif.
a. Menurut Jong dan Hartog dalam Hadi (2020) perilaku kerja inovatif adalah
suatu perilaku yang meliputi eksplorasi peluang dan ide-ide baru dan
mencakup perilaku mengimplementasikan ide baru tersebut untuk mencapai
peningkatan produktivitas individu maupun perusahaan.
b. Menurut Nurdin (2020) perilaku kerja inovatif merupakan tindakan individu
untuk mengenali suatu masalah, memunculkan dan mengembangkan ide-ide
baru, serta merealisasikan ide atau gagasan tersebut dengan teknik dan
prosedur yang baru dan dapat berguna bagi perusahaan.
c. Menurut Prasetyo (2019) perilaku kerja inovatif merupakan perilaku karyawan
yang secara langsung dan tidak langsung merangsang pengembangan dan
pengenalan inovasi di tempat kerja sehingga perusahaan dapat bertahan pada
persaingan bisnis.
d. Menurut Windiarsih (2019) perilaku kerja inovatif adalah upaya yang sengaja
dilakukan oleh karyawan untuk berinovasi sehingga memberikan manfaat
untuk perusahaan dan dibutuhkan kesediaan individu untuk secara aktif terlibat
dalam pelaksanaannya.

Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan adalah pemenuhan tanggung jawab, tugas atauketerampilan terkait pekerjaan oleh seorang karyawan dalam sebuah perusahaanatau organisasi. Dapat juga dikatakan sebagai kendali individu terhadap dedikasi
atau kontribusinya terhadap tujuan yang harus dicapai (Mann, Budworth&Ismaila, 2012). Kinerja karyawan adalah hasil atau tingkat keberhasilanyang
mencakup efektivitas kerja, kualitas kerja yang semakin tinggi, waktupenyelesaian kerja yang semakin singkat, tingkat kecelakaan yang semakinmenurun serta penurunan biaya (Filippo, 2002). Dessler (2015) menyatakan bahwa kinerja (work perfomance) adalahsuatukegiatan oleh karyawan yang dilakukan untuk mencapai tujuan perusahaandengan berbagai standar sebagai alat ukur perbandingan. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja para karyawan maupun manajer atauorganisasi dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Hasil kerja ini akan menentukan keberhasilan dari suatu perusahaan

Komitmen Organisasional


Robbins (2006) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai tahapdi
mana untuk mempertahankan status sebagai anggota kelompok, karyawan mampumengenali kelompok tertentu. Bahkan, Luthans (2002) mendefinisikan sebagai: (1)
Kesediaan yang kuat untuk tetap sebagai kelompok anggota; (2) Kesediaan untukbekerja keras sebagai aspirasi organisasi; (3) Kesediaan tertentu untuk menerimanilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini adalah perilaku yangmencerminkan loyalitas karyawan kepada organisasi dan tahap selanjutnyadi
mana anggota organisasi mengungkapkan kepedulian terhadap organisasi, keberhasilan, dan pengembangan lebih lanjut. Komitmen organisasional memiliki
hubungan yang kuat dan positif dengan kinerja kerja (Ahmad et al., 2010)
Meyer et al., (2002) mengajukan tiga komponen dimensi komitmenorganisasional dan direfleksikan dalam tiga pokok utama yang terdiri dari: (1)
komitmen afektif, (2) komitmen berlanjut, dan (3) komitmen normatif. Komitmenafektif merupakan salah satu dimensi komitmen organisasi, yang menggambarkanikatan emosional seorang karyawan untuk mengidentifikasikan dan melibatkandirinya dengan perusahaan (Kartika, 2011). Adapun tiga faktor atau dimensi
tersebut antara lain: (1) kemauan pengurus, (2) kesetiaan pengurus, dan(3)
kebanggaan pengurus pada organisasi (Usmanto, Sunaryo, dan Khoirul, 2019). Karyawan akan memiliki keinginan untuk tetap bekerja pada suatuperusahaan apabila memiliki komitmen yang tinggi terhadap perusahaan tersebut. Selain itu, berkeinginan ikut andil dalam berbagai kegiatan perusahaan, berdedikasi untuk menciptakan tujuan perusahaan juga sebagai implementasi dari
karyawan yang berkomitmen terhadap perusahaan atau organiasi (Han et al., 2012). Dengan adanya implementasi dari komitmen organisasional secara afektif
maka perusahaan juga akan mampu terus mendorong kemajuan tujuan perusahaan.

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Berikut merupakan indikator yang mendukung adanya perilaku kerjainovatif (Klysen & Street, dalam De Jong & Hartog, 2010):. 1. Eksplorasi ide (Idea exploration), karyawan dituntut untuk dapat
mendukung masalah dan kebutuhan tempat kerja, serta diharapkanmemunculkan peluang untuk mengubah suatu kondisi yang ada di
lingkungan kerja

  1. Generasi ide (Idea generation), karyawan mampu mengembangkansuatuide inovasi dengan menciptakan dan mengembangkan ide kreatif untukproduk, proses maupun servis baru. 3. Perjuangan ide (Idea championing), dimana karyawan mulai terdoronguntuk mencari koalisi atau mendukung dalam mewujudkan ide baru. 4. Implementasi ide (Idea implementation), dimana karyawan berani dalammenerapkan ide baru pada proses kegiatan kerja rutin yang biasa dilakukanmeliputi pengembangan dan uji coba terhadap ide produk, proses maupunservis baru yangditawarkan.

Perilaku Kerja Inovatif (Innovative Work Behavior/IWB)


Perilaku kerja inovatif didorong karena iklim yang diciptakanolehseorang pemimpin dalam organisasi. Ide-ide yang muncul kemudiandituangkan dalam kerja sama yang terjalin dalam organisasi mampu menjadi
salah satu kekuatan dari IWB ini. Bekerja dalam inovasi dan kreatif
terbarukan akan meningkatkan kinerja yang memacu tujuan hasil yangakandicapai. Inovasi telah terbukti sangat penting untuk keberhasilan suatuorganisasi dan kreativitas individu dan inovasi menjadi kunci untuk inovasi
tingkat organisasi (DiLiello & Houghton, 2006). Yang penting, iklimorganisasi dapat memiliki efek positif pada kreativitas dan inovasi dalamorganisasi (Amabile et al., 1996; Cooper, Edgett, & Kleinschmidt, 2004;
Nybakk, Crespell, & Hansen, 2011). Selain itu, manajemen perlu memastikan bahwa iklimorganisasi
mendorong, memelihara, dan meningkatkan individu kreativitas (DiLiello&
16Houghton, 2006; Hunter, Bedell, & Mumford, 2007; Isaksen &Lauer, 2002). Karyawan yang memiliki inovasi dan potensi kreatif paling mungkin untukmempraktikkan inovasi ketika mereka melihat dukungan organisasi yangkuat
(DiLiello & Houghton, 2006). Selanjutnya, jika organisasi mampumengembangkan iklim organisasi yang dianggap positif oleh individu, ini
lebih cenderung menghasilkan tingkat motivasi, komitmen, dan keterlibatankaryawan yang lebih tinggi, yang mengarah ke peningkatan performa kerjakaryawan.

Indikator kepemimpinan transformasional


Untuk memperkuat perilaku kunci oleh Podsakoff, berikut dimensi
kepemimpinan transformasional menurut Pradana (2013):

  1. Pengaruh ideal/karismatik, menilai dari kuatnya visi dan misi yang menjadi
    titik penekanan tujuan serta menumbuhkan kepercayaan karyawan. 2. Motivasi inspiratif, pemimpin yang memberikan motivasi dan menjadi
    panutan bagi karyawannya. 3. Stimulus intelektual, merupakan kemampuan pimpinan untukmenghilangkan rasa enggan yang dimiliki karyawan dalammemberikanide-ide. 4. Perhatian individu, perhatian yang diberikan pimpinan dengan memberikanperhatian khusus untuk mengembangkan kemampuannya. Perilaku kunci kepemimpinan transformasional
    Terdapat enam perilaku kunci yang terkait dengan pemimpintransformasional (Podsakoff, 1990):
  2. Mengidentifikasi dan mengembangkan visi serta peluang masa depan. 2. Memberikan model perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai pemimpinmendukung. 3. Menumbuhkan sikap menerima pendapat kerja sama antar karyawan. 4. Ekspektasi kinerja tinggi yang menunjukkan harapan pemimpinataskeunggulan, kualitas, dan atau kinerja tinggi di pihak eksternal. 5. Memberikan dukungan Individual dengan menghormati pihak laindanpeduli terhadap kebutuhannya. 6. Meningkatkan stimulasi intelektual atas asumsi yang berbed

Kepemimpinan Transformasional


Suatu organisasi berjalan atas pengaruh yang besar dari faktor
kepemimpinan. Dimana posisi seorang pemimpin berada pada bagian sentral padasuatu organisasi atau perusahaan. Pemimpin ditunjuk agar menjadi kunci dalampengelolaan kinerja anggota atau karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Kreitner dan Kinicki (2010) mengemukakan proses dimana seseorang individudapat memberikan pengaruh terhadap orang lain dalam menuju tujuan disebut
dengan kepemimpinan. Teori kepemimpinan transformasional dimulai dengan pendapat yangdiungkapkan oleh Burns (1978), dimana kepemimpinan transformasional
merupakan seorang pemimpin yang mampu mempengaruhi bawahannya dalammembuat perspektif baru karena adanya stimulasi intelektual. Seorang pemimpinmampu membuat persepsi terhadap bawahannya dengan penilaian individualnyamelalui motivasi dan karismatik seorang pemimpin (Bass, 1985). Hal ini diperkuat oleh Zahra (2015) yang menyimpulkan pendapat ahli
manajemen sumber daya manusia tentang kepemimpinan yang merupakankehidupan dari organisasi dapat berjalan. Dimana kepemimpinan adalah prosesmerangsang orang lain untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan bersama, dengan melakukan motivasi individu sebagai jembatan dalamprosesnya. Dalamhal ini akan menuju capaian keinginan atau tujuan dari sebuah organisasi dengan
lebih terarah dan terintegrasi karena diikat oleh sistem yang diatur oleh perankepemimpinan.

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Berikut ini adalah indikator-indikator perilaku kerja inovatif,
menurut (Jong & Hartog, 2010:34):
a. Pembentukan Ide (Idea Generation)
Dalam mencari konsep baru, orang bekerja untuk
memperoleh metode kerja, alat, dan peralatan yang akan
memungkinkan mereka untuk melakukan pekerjaan mereka
dengan lebih efektif dan efisien ketika diterapkan pada
kegiatan organisasi.
b. Pembentukan Koalisi (Idea Promotion)
Karyawan lain secara individu terinspirasi dan
termotivasi untuk antusias dengan saran kreatif yang dapat
memajukan perusahaan.
c. Implementasi Ide (Idea Realization)
Mampu menerapkan ide-ide inovatif yang baru
ditemukan dalam praktik kerja dan mampu secara sistematis
memperkenalkan atau menyampaikannya kepada rekan-rekan
mereka

Pengertian Perilaku Kerja Inovatif


Praktik Kerja Inovatif didefinisikan oleh Jong & Hartog
(2007). Inovasi tempat kerja adalah aktivitas individu dengan tujuan
menemukan konsep praktis untuk produk, layanan, atau proses.
Perilaku kreatif individu di tempat kerja berfokus pada awal
(inisialisasi) konsep baru, proses produksi, atau prosedur yang
bermanfaat bagi norma-norma kerja, kelompok, atau organisasi.
Kemampuan untuk mengevaluasi hal-hal baru dan berguna, apakah
itu ide, proses, produk, atau layanan, serta kesediaan untuk mencoba
hal-hal baru adalah semua karakteristik dari orang yang inovatif
(Hutahaean, 2005: 161). Mereka juga memiliki fokus pada inovasi
dan kemampuan untuk mentolerir ambiguitas.
Perilaku kerja inovatif digambarkan sebagai penelitian,
penciptaan, dan penerapan konsep-konsep segar yang bermanfaat
bagi tempat kerja, tim, atau organisasi dalam mengejar kinerja
puncak (Janssen, 2000: 288). Pendapat para ahli yang disebutkan di
atas dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa orang-orang
yang terlibat dalam perilaku kerja inovatif memiliki keinginan yang
kuat untuk menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat, apakah
itu mengambil bentuk ide, prosedur, produk, atau proses kerja.
Perusahaan dapat memberikan kesempatan kepada karyawan untuk
mengatasi masalah yang sedang dialami saat ini. Oleh karena itu,
karyawan dapat mengembangkan kapasitas mereka untuk inovasi
dengan menghasilkan solusi kreatif untuk masalah.

Indikator Fleksibilitas Kerja


Fleksibilitas kerja meliputi fleksibilitas jadwal, yang
merupakan pengaturan untuk bekerja secara fleksibel dalam arti
jadwal, waktu, dan tempat (Carlson, dkk dalam Imam wicaksono,
2019). Berikut ini adalah indikator fleksibilitas kerja:

  1. Berapa Lama (Time Flexibiity): Kemampuan karyawan untuk
    mengubah durasi pekerjaan. Seperti halnya dengan seluruh
    tenaga penjualan, karyawan bebas memutuskan sendiri berapa
    lama durasinya atau berapa lama kerjanya.
  2. Kapan (Timing flexibility): Ketika karyawan memiliki
    kebebasan untuk merencanakan jadwal kerja mereka. Tenaga
    penjualan bertugas mengatur jam kerja dan waktu mulai mereka
    sendiri.
  3. Dimana (Place flexibility): kebebasan karyawan untuk memilih
    lokasi kerja mereka sendiri. Tenaga penjualan dapat memilih
    lokasi atau tempat kerja di mana mereka menyajikan produk
    untuk dijual.

Faktor yang Mempengaruhi Fleksibilitas Kerja


Fleksibilitas manajemen diperlukan untuk mengelola tenaga
kerja yang fleksibel. Kolaborasi global sangat penting bagi
organisasi modern untuk berhasil di pasar yang sedang mengalami
perubahan cepat. Bagi manajer, fleksibilitas menawarkan banyak
peluang untuk bermain, memperluas bisnis mereka, dan menemukan
kesuksesan (Sushil, 2015). Isu-isu berikut akan berkembang jika
manajemen terus menekankan struktur organisasi konvensional.
(Sushil et al., 2016):

  1. Lambat bereaksi terhadap perubahan
  2. Inovasi yang kurang
  3. Problematika komunikasi dan koordinasi
  4. Peningkatan pembatasan visual dan kompartementalisasi
  5. Struktur dan fungsi yang kaku
  6. Ada sedikit ruang untuk aksi inovatif dan kreatif
  7. Pendekatan manajemen puncak adalah feodal
  8. Tidak terkontrol yang menjadikan proses kinerja yang rendah
  9. Pekerjaan yang statis dalam peluang pengembangan karir.
    Perusahaan swasta yang fleksibel menyadari bahwa sistem
    manajemen yang mereka gunakan dapat berubah dengan cepat dan
    dapat menyesuaikan pekerjaan mereka. Bisnis besar, bagaimanapun,
    selalu terkendala untuk memiliki fleksibilitas yang lebih sedikit.
    Karena hierarki struktural dan prosedur yang ketat, perusahaan
    sektor swasta/publik tidak dapat menerapkan praktik fleksibilitas
    kerja yang memadai, perusahaan sektor publik telah berhasil merintis
    fleksibilitas berkat keterbukaan mereka terhadap perubahan
    teknologi informasi (Sushil et al., 2016)

Tujuan Fleksibilitas Kerja


Livia Arini, (2019) Fleksibilitas kerja mengacu pada berbagai
pekerjaan yang menggantikan jam kerja yang ditetapkan dan tempattempat di mana pekerjaan dilakukan secara sistematis. Aspek kerja
yang fleksibel memiliki tujuan tambahan, seperti berikut ini:

  1. Fleksibilitas dalam penjadawalan jam kerja, pengaturan kerja
    alternatif (seperti jam kerja yang fleksibel dan minggu kerja yang
    terkompresi). Mengenai jadawal shift dan istirahat.
  2. Fleksibilitas dalam jumlah jam kerja, Pembagian beban kerja dan
    tingkat fleksibilitas paruh waktu tertentu juga penting.
  3. Fleksibilitas di tempat kerja, seperti dalam lokasi selain yang
    dipilih oleh perusahaan, seperti di rumah.

Indikator Kinerja Karyawan


Menurut Koopmans (2014), perilaku atau tindakan karyawan
yang sejalan dengan tujuan perusahaan akan menghasilkan pekerjaan
yang membentuk kinerja. Kemampuan karyawan untuk
merencanakan sebelum melakukan pekerjaan mereka, bagaimana
mereka mengelola waktu mereka saat bekerja, dan seberapa baik
mereka dapat beradaptasi dengan situasi baru di tempat kerja adalah
semua faktor yang berkontribusi pada kinerja karyawan yang
optimal, yang juga membutuhkan keterampilan interpersonal dan
komunikasi yang baik. Beberapa aspek kinerja sebagai berikut:
a. Task Performance (TP)
b. Contextual Performance (CP)
c. Adaptive Performance (AP)
d. Counterproductive Work Behavior (CWB)

Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan dipengaruhi oleh faktor kemampuan dan
faktor motivasi, menurut Keith Davis dalam Mangkunegara, (2014).
Menurut Simanjuntak (2005), ada tiga variabel yang
mempengaruhi kinerja karyawan: manajerial, organisasi, dan
individu. Ketiga elemen yang mempengaruhi kinerja karyawan
dijelaskan sebagai berikut:

  1. Faktor Individu
    Bakat dan motivasi seseorang adalah faktor-faktor yang
    mempengaruhi pekerjaan mereka. Di mana keterampilan yang
    paling dibutuhkan adalah kemampuan dan bakat untuk
    melakukan pekerjaan itu.
  2. Faktor Dukungan Organisasi
    Karyawan harus memiliki dukungan dari organisasi di
    tempat kerjanya. Infrastruktur dan kondisi kerja, serta
    kenyamanan tempat kerja, semuanya diatur untuk memberikan
    dukungan ini. Untuk mencapai suatu tujuan, pengorganisasian
    digunakan untuk memperjelas kepada setiap individu apa yang
    harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Harus ada
    deskripsi pekerjaan dan tugas yang jelas yang disadari dan
    dipahami semua orang.
  3. Faktor Dukungan Manajemen
    Keterampilan manajer atau pemimpin juga
    mempengaruhi seberapa baik kinerja perusahaan dan seberapa
    baik kinerja karyawannya, baik dengan menumbuhkan budaya
    keselamatan dan harmoni di tempat kerja dan dalam hubungan
    kerja atau dengan membantu dalam pengembangan potensi
    kinerja karyawan.

Pengertian Kinerja


Kinerja, sebagaimana didefinisikan oleh Sutrisno, (2010),
adalah penyelesaian tugas oleh seseorang, sekelompok orang, atau
organisasi dengan kuantitas, kualitas, dan jumlah waktu yang
dihabiskan untuk menyelesaikan tugas, serta tanggung jawab yang
diberikan kepadanya, semuanya dapat digunakan untuk mengukur
kinerja.
Menurut Koopmans (2011), perilaku atau tindakan karyawan
yang sejalan dengan tujuan perusahaan akan menghasilkan pekerjaan
yang membentuk kinerja. Beberapa aspek kinerja yaitu, kinerja
tugas, kinerja kontekstual, dan kinerja adaptif, Kemampuan
karyawan untuk merencanakan sebelum melakukan pekerjaan
mereka, bagaimana mereka mengelola waktu mereka saat bekerja,
seberapa baik mereka dapat beradaptasi dengan situasi baru di
tempat kerja, dan seberapa berdedikasi mereka terhadap pekerjaan
mereka adalah semua faktor yang berkontribusi pada kinerja
karyawan yang optimal, yang juga membutuhkan keterampilan
interpersonal dan komunikasi yang baik (Koopmans, 2014).

Indikator Kinerja


Kinerja perusahaan dapat digambarkan dalam berbagai aspek, baik dari aspek
keuangan, produktifitas perusahaan, hingga kinerja karyawan. Adapun bebrapa
indikator yang perlu digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik menurut
Dwiyanto (2010:178-180), antara lain yaitu :

  1. Produktivitas
    Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai ratio antara input dan output.
    Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Aceunting Office
    (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang telah luas dengan
    memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan
    salah satu indikator kinerja yang penting. Produktivitas bukan hanya untuk mengukur
    tingkat efisiensi, namun juga mengukur efektivitas pelayanan dalam perusahaan.
    Sedangkan yang dimaksud produktivitas menurut Dewan Produktivitas Nasional,
    adalah suatu lingkup mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan bahwa
    mutu kehidupan hari ini (harus) labih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik
    dari hari ini.
  2. Kualitas Layanan
    Informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan seringkali
    dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik. Kualitas layanan relatif sangat
    tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja birokrasi publik yang mudah dan
    murah dipergunakan. Kepusaan masyarakat dapat menjadi indikator untuk menilai
    kinerja birokrasi publik. Kualitas layanan cenderung menjadi penting dalam
    menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang
    terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan publik terhadap
    kualitas. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan
    indikator kinerja birokrasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan
    masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan
    masyarakat seringkali tersedia secara nudah dan murah.
  3. Responsivitas
    Responsivitas dimaskudkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas
    secara langsung menggambarkan kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan
    misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas
    yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun
    agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan
    publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat. Secara singkat
    responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan
    pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas yang rendah
    ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat.
    Organisasi yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya
    memiliki kinerja yang jelek pula.
  4. Responsibilitas
    Responsibilitas yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan birokrasi publik
    dilakukan sesuai dengan prinsip-prisnip administrasi yang benar dengan kebijakan
    birokrasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa
    saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.
  5. Akuntabilitas
    Kinerja birokrasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang
    dikembangkan oleh birokrasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang
    dikembangkan oleh birokrasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target.
    Kinerja sebaiknya harus dilihat dari ukuran eksternal, seperti norma dan nilai yang
    berlaku di masyarakat. Dalam konteks ini, konteks akuntabilitas publik dapat
    digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik itu
    konsisten dengan kehendak publik. Suatu kegiatan birokrasi publik memiliki
    akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan
    nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Akuntabilitas
    menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik tunduk pada
    para pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya ialah bahwa para pejabat
    politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu
    meprioritaskan kepentingan publik.
    Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan indikator kinerja menurut
    Pasolong (2010:178), yaitu : (1) spesifik dan jelas, (2) dapat menunjukkan
    pencapaian keluaran, hasil, manfaat dan dampak, (3) dapat terukur secara obyektif
    baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (4) efektif yaitu dapat dikumpulkan, diolah
    dan di analisis datanya secara efisien dan efektif. (5) harus cukup fleksibel dan
    sensitif terhadap perubahan. Dan menurut Menurut Klimoski (1989) ada 6 indikator
    untuk mengukur kinerja adalam perusahaan atau organisasi : 1). Kualitas Pekerjaan,
    2). Kuantitas pekerjaan, 3). Sikap, 4). Kerja sama, 5). Komunikasi, 6). Kinerja
    keseluruhan

Arti Penting Kinerja

Setiap organisasi selalu berusaha agar produktivitas kerja karyawan dapat
ditingkatkan. Untuk itu pimpinan perlu mencari cara dan solusi guna menimbulkan
kinerja para karyawan. Hal itu penting, sebab kinerja mencerminkan kesenangan
yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan sehingga pekerjaan lebih cepat
dapat diselesaikan dan hasil yang lebih baik dapat dicapai.
Moekijat (2003) menyatakan bahwa kinerja menggambarkan perasaan
berhubungan dengan jiwa, semangat kelompok, kegembiraan, dan kegiatan. Apabila
pekerja tampak merasa senang, optimis mengenai kegiatan dan tugas, serta ramah
satu sama lain, maka karyawan itu dikatakan mempunyai semangat yang tinggi.
Sebaliknya, apabila karyawan tampak tidak puas, lekas marah, sering sakit, suka
membantah, gelisah, dan pesimis, maka reaksi ini dikatakan sebagai bukti semangat
yang rendah.
Menurut Gondokusumo (2005: 72), kinerja merupakan refleksi dari sikap pribadi
atau sikap kelompok terhadap kerja dan kerja sama. Kinerja berarti sikap individu dan
kelompok terhadap seluruh lingkungan kerja dan terhadap kerja sama dengan orang
lain untuk mencapai hasil yang maksimal sesuai dengan kepentingan perusahaan.
Kinerja adalah kesediaan perasaan yang memungkinkan seseorang bekerja untuk
menghasilkan kerja lebih banyak dan lebih baik. Dengan demikian, kinerja
menggambarkan perasaan senang individu atau kelompok yang mendalam dan puas
terhadap pekerjaan, kerja sama, dan lingkungan kerja serta mendorong mereka untuk
bekerja secara lebih baik dan produktif. 
Kinerja mempunyai peran yang penting bagi perusahaan karena (1) dengan
kinerja yang tinggi dari buruh dan karyawan maka pekerjaan yang diberikan atau
ditugaskan kepadanya akan dapat diselesaikan dengan waktu yang lebih singka atau
lebih cepat, (2) kinerja yang tinggi tentu dapat mengurangi angka absensi atau tidak
bekerja karena malas, (3) kinerja yang tinggi otomatis membuat karyawan akan
merasa senang bekerja sehingga kecil kemungkinan karyawan akan pindah bekerja ke
tempat lain, (4) kinerja yang tinggi dapat mengurangi angka kecelakaan karena
karyawan yang mempunyai kinerja tinggi cenderung bekerja dengan hati-hati dan
teliti sehingga bekerja sesuai dengan prosedur yang ada, (5) dengan kinerja yang
tinggi pihak organisasi memperoleh keuntungan dari sudut kecilnya angka kerusakan
karena semakin tidak puas dalam bekerja, semakin tidak bersemangat dalam bekerja,
maka semakin besar angka kerusakan,(Tohardi, 2002 : 44).

Kinerja Perusahaan


Secara umum kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dapat dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai
dengan tanggung jawab yang dibebankan atau diberikan kepadanya. Istilah kinerja
merupakan pengalih dari bahasa inggris yaitu performance. Bernadin dan Rusel
(1993:378) memberikan definisi performance sebagai catatan tentang hasil-hasil yang
diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu. Kinerja merupakan tingkat
pencapaian tujuan organisasi.
Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa kinerja adalah tingkat pelaksanaan
tugas yang dapat dicapai seseorang, unit atau divisi dengan menggunakan
kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai
tujuan suatu organisasi atau perusahaan. Pengertian lain tentang performance adalah
sebagai hasil kerja atau prestasi kerja, namun kinerja mempunyai makna yang luas,
bukan hanya hasil kerja namun termasuk bagaimana proses pekerjaan
(Wibowo.2009)
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas
dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi
organisasi tersebut (Bastian, 2001). Kinerja perusahaan dapat diukur dengan beberapa
dimensi yang berbeda-beda. Menurut Gomes (2000), kinerja merupakan catatan
terhadap hasil produksi dari sebuah pekerjaan tertentu atau aktifitas tertentu dalam
periode waktu tertentu. Marhiot (2002) berpendapat bahwa kinerja merupakan hasil
kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai
peranannya dalam organisasi. Kinerja juga berarti hasil yang dicapai seseorang baik
kualitas maupun kuantitas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kemudian, Robbins (2006) mendefinisikan kinerja sebagai suatu hasil yang di capai
menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan. Mangkunegara
(2005:67) menyatakan kinerja merupakan hasil kerja baik secara kualitas maupun
kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melakukan tugas sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Rivai (2009:532) mengartikan kinerja
sebagai kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan suatu kegiatan,
dan menyempurnakannya sesuai tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang
diharapkan.
Kinerja perusahaan adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan
selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh
kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya-sumber daya
yang dimiliki. Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk
sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu
periode dengan referensi pada jumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang
diproyeksikan, dengan dasar efisiensi, pertanggung jawaban atau akuntabilitas
manajemen dan semacamnya (Srimindarti,2004)

Indikator Perilaku Inovatif


De Jong dan Hartog (2008:6) mengatakan ada empat dimensi untuk
pengukuran perilaku inovatif di tempat kerja yaitu :
a. Opportunity exploration
Eksplorasi peluang termasuk adalah mencari cara untuk meningkatkan pelayanan
atau proses pengiriman saat ini atau mencoba untuk memikirkan proses kerja,
produk atau pelayanan dengan cara alternatif.
b. Idea generation
Idea generation merupakan elemen berikut dari perilaku Inovatif dan merupakan
tahap pertama dalam mengekploitasi peluang. Untuk dapat berinovasi, selain
mengetahui adanya peluang/kesempatan, kemampuan untuk membangun
cara-cara baru untuk memanfaatkan peluang itu juga penting. Idea generation
merujuk pada pembuatan konsep untuk tujuan peningkatan.
c. Championing
Championing aspek penting lainnya ketika suatu ide telah dihasilkan.
Kebanyakan ide-ide itu perlu dijual. Koalisi sering kali dibutuhkan untuk
menerapkan inovasi; ini adalah bagaimana mendapatkan kekuatan dengan
menjual ide ke rekan potensial.
d. Application
Selanjutnya ide yang telah didukung tersebut perlu diimplementasikan dan
dipraktekkan. Implementasi dapat berarti meningkatkan produk atau prosedur
78
yang telah ada, atau membangun yang baru. Usaha yang keras dan sikap yang
berorientasi hasil diperlukan dari karyawan untuk mewujudkan ide tersebut.
Perilaku dalam aplikasi berkaitan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh
individu untuk dapat menerapkan ide tersebut ke dalam praktek nyata.

Arti Penting Perilaku Inovatif


Perilaku kerja inovatif merupakan rangkaian kegiatan kerja yang secara
bertahap dilakukan oleh pekerja dalam mengembangkan dan meningkatkan perilaku
kerja yang efektif (De Jong & Hertog, 2010). Arti penting dar perilaku innovatif
karyawan sebagai berikut:
Pertama, mengetahui dan memahami lingkup pekerjaan dan potensi
permasalahan yang dihadapi dan yang mungkin akan terjadi.
Ke dua, memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kualitas kerja dan secara kreatif
mengupayakan tindakan solusi.
Ketiga, membangun kerjasama dan komitmen bersama untuk merealisasikan
usulan perbaikan inovatif dalam proses kerja kelompok.
Ke empat, mengaplikasikan usulan perbaikan dalam pekerjaan.
Tahapan perilaku tersebut adalah proses yang harus dilalui karyawan dalam
mengembangkan perilaku kerja inovatif (De jong & Hertog, 2010).

Perilaku Inovatif


Perilaku inovatif menurut Price (1997) pada dasarnya merupakan kemampuan
individu melakukan perubahan cara kerja dalam bentuk mengadopsi prosedur,
praktek dan teknik kerja yang baru dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaanya.
Gaynor (2002), mendefinisikan perilaku inovatif sebagai tindakan individu untuk
menciptakan dan mengadopsi ide-ide/ pemikiran atau cara-cara baru guna diterapkan
dalam pelaksanaan dan penyelesain pekerjaan. Menurut De Jong and Kemp (2003)
inovasi dapat diartikan sebagai semua tindakan individu yang diarahkan pada
kepentingan organisasi dimana didalamnya dilakukan introduksi dan aplikasi ide-ide
baru yang menguntungkan.
Perilaku inovatif bukanlah semata-mata dipengaruhi faktor bawaan atau internal.
Perilaku inovatif dalam bekerja sering muncul manakala seorang karyawan
menghadapi tantangan dalam pekerjaannya, mendapat kewenangan yang luas dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Secara umum, para ahli melihat perbedaan antara perilaku inovatif dan
kreativitas dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni tingkat kebaruan ide dan
tingkat interaksi sosial sebagai konsekuensi aplikasi ide di dalam pekerjaan. Dari segi
proses, kreativitas dipandang sebagai sebuah proses kognitif yang bersifat intra
personal, sedangkan inovasi lebih menekankan pada antar individu dalam kelompok
kerja, Allen (2009).
Setiap inovasi akan selalu diikuti dengan suatu perubahan, walaupun dalam
setiap perubahan tidak akan selalu diikuti dengan munculnya ide baru, yang secara
positif berpengaruh terhadap perubahan, perkembangan dan pertumbuhan suatu
organisasi. Ada persinggungan area antara inovasi, kreativitas, dan perubahan, namun
secara operasional mendifi nisikan ketiganya ada perbedaan yang nyata (West. 1996).
Kreativitas merupakan salah satu aspek gagasan dari inovasi, sedangkan inovasi
mencakup keduanya, yakni ide dan implementasi nyata dari ide yang diajukan (West
& Farr.1990). Meskipun inovasi tidak mengisyaratkan kebaruan absolut, namun bisa
dipandang sebagai sebuah inovasi jika perubahan yang terjadi dianggap sebagai suatu
hal yang baru oleh individu, kelompok atau organisasi. Bentuk Inovasi bisa
bervariasi, mulai dari inovasi yang bersifat minor hingga inovasi yang sifatnya sangat
penting. Inovasi bisa ditemukan mulai dari hanya dalam bentuk perubahan prosedur
administratif-pelayanan hingga inovasi yang terjadi karena adanya perubahan
teknologi.

Indikator Kepercayaan Organisasi


Menurut Omarov, (2009) mengatakan bahwa kepercayaan organisasi terdapat
3 aspek yaitu :

  1. Kepercayaan terhadap atasan
    Kepercayan terhadap atasan merupakan hubungan antara karyawan dengan atasannya
    atau pemimpinnya.
  2. Kepercayaan terhadap rekan kerja
    Kepercayaan terhadap rekan kerja merupakan hubungan sesama karyawan yang
    memiliki level yang sama
  3. Kepercayaan terhadap organisasi
    Kepercayaan terhadap organisasi merupakan hubungan karyawan dengan organisasi
    atau perusahaan di tempat merka bekerja.
    Johnson dan Johnson,( 2000) mengatakan bahwa kepercayaan (trust) terdapat 5
    (lima) aspek, sebagai berikut:
  4. Keterbukaan (Openness) Keterbukaan meliputi kesediaan individu untuk
    berbagi informasi, ide, pemikiran, perasaan, pendapat, dan reaksi terhadap hal
    yang sedang dialami.
  5. Berbagi (Sharing) Berbagi berarti kesediaan individu untuk membagikan
    kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya kepada orang lain untuk
    membantu pencapaian tujuan bersama.
  6. Penerimaan (Acceptance) Penerimaan berarti melakukan komunikasi dengan
    orang lain dan menghargai pendapat orang lain tersebut tentang suatu hal yang
    sedang dibicarakan.
  7. Dukungan (Support) Dukungan meliputi komunikasi yang dilakukan individu
    dengan orang lain sehingga orang lain mengenal kelebihannya dan percaya
    bahwa orang lain tersebut mampu mengatur secara produktif situasi di mana
    mereka berada.
  8. Bekerjasama (Cooperative Intentions) Bekerja sama meliputi harapan
    individu untuk bisa bersikap kooperatif dan bahwa orang lain
    juga akan bersikap kooperatif untuk mencapai tujuan bersama.

Kepercayaan Organisasi


Kepercayaan dalam perusahaan adalah kerelaan organisasi, berdasarkan pada
budaya dan perilaku berkomunikasi dalam suatu hubungan, untuk menjadi organisasi
yang mempunyai keyakinan bahwa mereka kompeten, jujur dan terbuka, peduli,
reliabel, dan teridentifikasi dengan tujuan, nilai dan norma Zalabak (2000).
Janasz (2012) mengatakan bahwa kepercayaan organisasi merupakan sebuah
fondasi penting dalam lingkungan kerja yang sehat. Tanpa adanya kepercayaan
organisasi, karyawan akan berfokus pada self protection yang akan melemahkan
keinginan untuk menjadi kooperatif dan kolaboratif, merusak motivasi, dan
menggagalkan produktivitas dan inovasi dalam bekerja

Jenis Kepercayaan


Menurut Robbins (2001) dan Judge terdapat tiga jenis kepercayaan, yaitu:

  1. Kepercayaan berbasis pencegahan Kepercayaan yang didasarkan pada
    kekhawatiran akan terjadinya pembalasan dendam jika kepercayaan itu
    dikhianati/diingkari.
  2. Kepercayaan berbasis identifikasi Kepercayaan berdasarkan pemahaman atas niat
    orang lain dan menghargai keinginan pihak lain. Kepercayaan ini juga merupakan
    jenis kepercayaan yang idealnya mesti dicapai oleh manajer dalam tim.
  3. Kepercayaan berbasis pengetahuan Kepercayaan didasarkan pada kemampuan
    memprediksi perilaku yang bersumber dari pengalaman interaksi. Kepercayaan ini
    terbentuk jika anda memiliki informasi yang memadai mengenai seseorang sehingga
    anda mengenal mereka dengan cukup baik dan dapat memperkirakan perilaku mereka
    dengan tepat

Arti Penting Kepercayaan


Kepercayaan di dalam perusahaan dapat mempengaruhi anggotanya dalam
perilaku di perusahaan tersebut seperti dalam mengambil keputusan dan keaktifan
dalam bekerja. Kepercayaan di dalam perusahan membuat identitas, keterlibatan dan
loyalitas karyawan semakin membaik. Dengan meningkatnya kepercayaan di dalam
perusahaan akan meningkatkan komitmen karyawan tersebut. (Brockner 1997).
Kepercayaan merupakan hal penting dalam jaringan pertukaran antara
perusahaan dengan perusahaan yang bekerjasama (Morgant. 1994). Secara
psikologi kepercayaan merupakan suatu kemauan dan keyakinan atau dapat
juga disebut sebagai kecenderungan perilaku Moorman, Zaltman & Deshpande,
(Ballester 2003) kecenderungan perilaku ini lah yang memberikan stimulus melalui
strategi yang ditampilkan oleh pemimpin ataupun pihak organisasi perusahaan, hal ini
menunjukan bahwa perilaku karyawan akan dipengaruhi oleh perilaku pemimpinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam konteks perusahaan atau organisasi,
kepercayaan merupakan hal yang kritis di dalam komunikasi yang efektif, dan kerja
sama tim yang sukses pada suatu perusahaan. Sama pentingnya dengan kepercayaan
antara para pemimpin dan bawahannya, dan dapat mengurangi resiko, dan
meningkatkan komitmenpada perusahaan serta meningkatkan produktivitas
(Pucetaite,2016).
Menurut Galois (2010) mengatakan bahwa kepercayaan merupakan sebuah
konsep kepercayaan dalam perusahaan berdasarkan komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang meliputi:
1) Kepercayaan bahwa pihak lain dapat diandalkan, berdasarkan kompetensi,
pengalaman sebelumnya, dan informasi yang dimiliki.
2) Antisipasi terhadap reaksi atau perilaku dari individu-individu di dalam situasi
yang berbeda-beda, seperti kemungkinan masa depan yang dipercaya dapat
dilakukan.
3) kebajikan dari pihak lain selama hubungan pertukaran, yang terinspirasi dari
nilai-nilai moral seperti kejujuran dan integritas.
Kepercayaan memungkinkan karyawan untuk bisa mempercayai
pernyataan-pernyataan dan janji-janji dari organisasi Galois (2010). Serta
kepercayaan berdampak yang menjamin respek yang bertahan lama dari komitmen
bersama yang saling menguntungkan antara entitas-entitas yang terlibat di dalamnya.
(Poerwanto)

Pengertian Kepercayaan


Kepercayaan merupakan kunci utama untuk mewujudkan suatu hubungan yang
sehat atau baik. Kepercayaan dianggap suatu aksi, perilaku atau orientasi, suatu
hubungan. Kepercayaan telah digambarkan sebagai suatu tindakan kognitif (misalnya
bentuk pendapat atau prediksi bahwa sesuatu akan terjadi atau orang akan berperilaku
dalam cara tertentu), afektif (misalnya masalah perasaan) atau konatif (misalnya
masalah pilihan atau keinginan). kepercayaan merupakan elemen dasar bagi
terciptanya suatu hubungan yang baik. (Hanks. 2002)
Kepercayaan sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas
orang lain. Pondasi kepercayaan meliputi saling menghargai satu sama lainnya dan
menerima adanya perbedaan dan menerima adanya perbedaan. (King. 2002). Individu
yang memiliki kepercayaan tinggi cenderung lebih disukai, lebih bahagia, dianggap
sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang memiliki kepercayaan
rendah. (Marriages.2001).
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain dimana
ia memiliki keyakinan padanya. Kepercayaan merupakan kondisi mental yang
didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya. Ketika seseorang mengambil
suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari
orang-orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang ia kurang percayai
(Barners.2003). Kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian
untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari
orang lain. Kepercayaan sebagai penilaian hubungan seseorang dengan orang lain
yang akan melakukan transaksi tertentu sesuai dengan harapan dalam sebuah
lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian. (Pavlou. 2002). kepercayaan terjadi
ketika seseorang yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang yang dipercaya.
Kepercayaan didefinisikan sebagai dimensi dari sebuah hubungan yang menentukan
suatu tingkat dimana sebuah pihak merasa dapat mempercayai integritas dari janji
yang ditawarkan oleh pihak yang lainnya.
Trust akan ada dalam suatu perusahaan atau organisasi jika ditanamkam pada
masing-masing bawahannya. Supaya keyakinan dan harapan terhadap reliabilitas
perusahaan kepada karyawan. Trust yang dibentuk karyawan adalah rasa untuk saling
menghargai dengan karyawan yang ada pada perusahaan, dapat mengerti adanya
perbedaan di lingkungan perusahaan yang ada pada anggota organisasi atau pada
perusahaan. Dapat menerima adanya perbedaan dan menghargai satu sama lain 
membutuhkan menerimaan dan dukungan antar pribadi. Keuntungan dan kerugian
tersebut adalah tergantung pada orang yang dipercaya dan ada kemungkinan bahwa
kerugian yang diperoleh lebih besar dari pada keuntungan, dan sebaliknya ada juga
kemungkinan bahwa keuntungan yang diperoleh lebih besar dari pada kerugian.
(Johnson dan Johnson, 2000) berpendapat bahwa kepercayaan (trust) adalah
adanya rasa yakin bahwa karyawan lain dapat memberikan keuntungan dan terwujud
dengan adanya sifat keterbukaan, berbagi, mendukung, menerima dan kerja sama
dengan anggota kelompok. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di
atas ditarik kesimpulan bahwa definisi trust adalah suatu elemen dasar bagi
terciptanya suatu hubungan baik antara kedua belah pihak yang berisi tentang harapan
dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas seseorang

Indikator Kepemimpinan Otentik


Walumbwa (2008) membuat konsep kepemimpinan otentik sebagai pola perilaku
pemimpin yang berkembang dari dan didasarkan pada karakter psikologis positif
pemimpin dan etika yang kuat. Variabel kepemimpinan diukur dengan menggunakan
4 (empat) indikator :

  1. Kewaspadaan diri (Self-awarenes), merupakan sebuah proses dimana pemimpin
    mengetahui diri mereka sendiri, kekuatan, dan kelemahan, pengaruh dirinya terhadap
    orang lain. Komponen ini mencerminkan nilai, identitas, emosi, motivasi, dan tujuan,
    serta mengetahui dan menyadari akan perasaanya sendiri.
  2. Pengelolaan berimbang (Balanced-Processing) merupakan cara menganalisa
    semua informasi yang relevan secara objektif sebelum membuat keputusan.
    Menganalisa fakta, data, baik eksternal dan self-refential. Hal ini menunjukan bahwa
    pemimpin tidak melebih lebihkan atau mengabaikan informasi, serta secara objektif
    menganalisa data penting sebelum membuat keputusan. Hal tersebut memungkinkan
    pemimpin untuk menghindari bias. Komponen ini dipandang otentik karena
    pemimpin terbuka mengenai prespektif dan juga objektif dalam mempertimbangkan
    prespektif orang lain.
  3. Transparasi hubungan (Relational transparency), merupakan pembagian secara
    terbuka mengenai pemikiran pemimpin, dan perasaan pemimpin pada karyawannya.
    Menjaga hubungan pemimpin dengan karyawan dengan berdasarkan ketulusan dan
    kejujuran. Transparasi hubungan terjadi apabila pemimpin membagikan perasaan,
    motivasi, dan keinginan hatinya dengan orang lain dengan cara yang tepat. Hal
    tersebut termasuk dengan menunjukan sisi positif dan negatif dari pimpinan sendiri
    kepada karyawannya. Inti dari komponen ini adalah komunikasi yang terbuka dan
    nyata dala sebuah hubungan.
  4. Prespekif moral yang terinternalisasi (internalized-moral prespectif), merupakan
    hal mengacu kepada self-regulation (pengaturan diri sendiri) yang dipandu oleh
    standar internal moral, etika dan nilai-nilai dalam menghadapi tekanan dari grup,
    sosial, atau organisasi. Hal tersebut menghasilkan perilaku yang etis dan transparan.
    Komponen ini dipandang otentik karena aksi pemimpin konsisten sesuai dengan
    moral dan keyakinan yang dimiliki.

Kepemimpinan Otentik


Kepemimpinan otentik merupakan seorang pemimpin yang mempunyai
harapan, optimisme, kepercayaan diri, ketahanan dan efisiensi. seorang pemimpin
yang mengadaptasi kepemimpinan otentik mempunyai nilai dan prespektif moral
yang jelas, mempunyai pandangan yang positif kedepan dan menempatkan karyawan
untuk dapat menjadi pemimpin dikepentingan yang tinggi (Avolio.2012). Seorang
pemimpin menyadari bagaimana mereka berpikir dan bertindak di dalam perusahaan
dengan baik dan benar untuk dirinya dan mereka menyadari bagaimana mereka
dinilai orang lain. (Avolio.2004)
Kepemimpinan otentik mampu meningkatkan engagement dan kepuasan
bawahan serta memperkuat identitas yang dimiliki oleh bawahan secara positif
terhadap organisasi. (Avolio.2004), Menurut walumbwa (2008) mengatakan bahwa
kepemimpinan otentik sebagai pola perilaku pemimpin yang mempromosikan baik
kapasitas psikologis yang positif dan iklim etika yang positif, untuk mendorong
kesadaran diri yang besar, prespektif moral yang diinternalisasi, pengolahan
informasi berimbang, dan transparasi relasional pada bagian dari pemimpin dalam
bekerja dengan pengikut, mendorong pengembangan diri.
Pemimpin otentik digambarkan oleh chan (2005), sebagai seorang pemimpin
yang mempunyai kapasitas dalam memproses informasi mengenai diri mereka sendiri
secara efektif, memiliki identitas yang jelas, mampu menyesuaikan perilaku yang
sesuai dengan identitas diri mereka dalam menjalankan kepemimpinan dan mampu
menyelaraskan preferensi yang mereka miliki terhadap tuntutan dari masyarakat.
Kepemimpin yang otentik adalah menyampaikan kepemimpinan yang asli,
memimpin dengan autentisitas hati, dan asli, bukan palsu. Prespektif ini berfokus
pada pengalaman hidup pemimpin dan makna dari pengalaman tersebut, sebagai hal
penting untuk mengembangkan sifat kepemimpin yang otentik.(Shamir.2005).
Menurut Eagly (2005) mengenai kepemimpinan otentik menurut proses antar
pribadi. Prespektif ini menjelaskan kepemimpinan otentik merupakan sesuatu yang
bersifat antar pribadi, diciptakan oleh pemimpin dan bawahannya. Hal itu adalah
proses timbal balik karena pemimpin mempengaruhi pengikut dan pengikut
mempengaruhi pemimpin.
Avolio (2006) tentang kepemimpinan otentik menurut prespektif perkembangan.
Prespektif ini melihat kepemimpinan otentik sebagai sesuatu yang bisa didorong
dalam diri pemimpin, bukan seperti sifat yang pasti. Kepemimpinan otentik
berkembang di dalam diri manusia selama hidupnya dan bisa dipacu oleh peristiwa
besar dalam hidupnya.

Arti Penting Kepemimpinan


Kepemimpinan sangat diperlukan dalam sutau organisasi untuk menentukan
kemajuan atau kemunduran dalam suatu organisasi, serta tidak ada organisasi yang
dapat maju tanpa kepemiminan yang baik Mas’ud (2004). Tanpa kepemimpinan
organisasi hanyalah merupakan kumpulan orang-orang yang tidak teratur dan kacau
balau. Kepemimpinan akan merubah sesuatu yang potensial menjadi kenyataan.
Dengan demikian, keberadaan kepemimpinan dalam organisasi adalah sangat penting
dalam mencapai tujuan dan kemajuan organisasi. Kepemimpinan merupakan proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisai, memotivasi perilaku pengikut
untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki budaya pengikut, dan
proses mengarahkan kedalam aktivitas aktivitas yang positif yang ada hubungannya
dengan pekerjaan dalam organisasi. Menurut mereka kepemimpinan pada perusahaan
dapat mempengaruhi bawahannya lebih bersifat formal, yaitu berdasarkan posisi yang
dimiliki pemimpin dalam organisasi. Dengan demikian pemimpin dalam suatu
perusahaan sangat ditentukan oleh statusnya, yakni sebagai pemimpin formal.
Pemimpin formal sendiri adalah seseorang yang ditunjuk sebagai pimpinan, melalui
pengankatan resmi dan keputusan untuk memangku jabatan dalam struktur yang
ada pada perusahaan, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat berkaitan
dengan posisinya.

Pengertian Kepemimpinan


Pemimpin (Leader) dan kepemimpinan (ladership) adalah dua konsep yang
berbeda. Pemimpin adalah individu yang mampu mempengaruhi anggota kelompok
atau organisasi guna untuk mendorong kelompok atau organisasi tersebut dalam
mencapai tujuan-tujuannya. Sementara kepemimpinan adalah sifat penerapan
pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau organisasi terhadap anggota lainnya
untuk mendorong kelompok atau organisasi dalam mencapai tujuannya.(Lussier,
2010).
Menurut Bateman (2009) pemimpin merupakan orang yang mampu
mempengaruhi dalam upaya pencapaian sasaran atau tujuan. Kepemimpinan dalam
islam dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang mempraktikkan nilai-nilai ajaran
islam, terlepas apakah seorang pemimpin tersebut muslim atau bukan muslim.
Zainuddin (2015).
Kepemimpinan didefinisikan beragam oleh para ahli namun secara umum
kepemimpinan menggambarkan hubungan antara pimpinan (leader) dengan yang
dipimpin (locander, 2002). Dubrin (2005) mengungkapkan bahwa kepemimpinan itu
adalah upaya mempengaruhi banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai
tujuan, cara mempengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah.
Kepemimpinan sebagai suatu pengaruh, seni atau proses mempengaruhi
orang-orang agar mereka secara sukarela dan bersemangat dalam berusaha mencapai
tujuan di dalam suatu organisasi. Siagan (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan
adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain (para bawahannya)
sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau melakukan kehendak pemimpin
meskipun secara pribadi hal itu tidak disenanginya.

Pengaruh Kepercayaan Organisasi Berpengaruh Terhadap KinerjaMelalui Perilaku Inovatif


Ketika seseorang mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan
berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang ia
kurang percayai (Barners.2003). karyawan yang sudah percaya pada organisasi akan
berpengaruh terhadap perilaku innovatif karyawan yang berdampak pada kinerja
perusahaan.
Hal ini didukung oleh penelitian David (2013) yang menunjukan bahwa
kepercayaan pada organisasi, perilaku innovatif dan selanjutnya berpengaruh pada
kinerja organisasi atau perusahaan. Alahakone (2016) mengatakan dalam
penelitiannya bahwa karyawan yang semakin percaya dengan perusahaannya maka
akan semakin terlibat dalam pekerjaan dan semakin berperilaku inovatif yang
berdampak pada peningkatan kinerja dalam perusahaan atau organisasi tersebut.
Penelitian lain dilakukan oleh Ansar (2017) menyatakan bahwa kepercayan
organisasi dan perilaku innovatif berpengaruh positif dan sehingga mempengaruhi
kinerja pada perusahaan dan juga penelitian yang dilakukan Hughes (2018) Innovtive
Behaviour, trsut, and preceived workplace performance Hasil penelitian
menunjuakan bahwa kepercayaan organisasi pada suatu organisasi atau perusahaan
dan inovatif pada karyawan akan berpengaruh terhadap kinerja.

Pengaruh Kepemimpinan Otentik Berpengaruh Terhadap Kinerja MelaluiPerilaku Inovatif


Para pemimpin menyadari bagaimana mereka berpikir dan bertindak inovatif
dengan baik dan benar untuk diri mereka sendiri untuk meningkatkan kinerja dalam
organisasinya.
Hal ini di dukung oleh penelitian Kyoung (2014) menemukan dalam penelitian
yang dilakukannya di korea dan hasil penelitian menunjukan bahwa pengaruh
kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap perilaku karyawan, perilaku inovatif dan
kinerja pada perusahaan tersebut.
Penelitian lain dilakukan oleh Ansar (2017) menyatakan bahwa kepemimpinan
dan perilaku inovatif berpengaruh positif dan sehingga mempengaruhi kinerja pada
perusahaan. Penelitian ini dilakukan di kantor layanan bea dan cukai priok
menggunakan jumlah sampel 78 petugas fungsional di PT Inspektur Bea dan Cukai.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan analisis data
menggunakan analisis jalur. Smith (2009) mengatakan bahwa dalam perusahaan
untuk meningkatkan kinerja maka diperlukan kepemimpinan otentik dan perilaku
inovatif pada karyawan penelitian tersebut dianalisi menggunakan analisis SEM
bahwa kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap kinerja melalui perilaku inovatif.
Menurut penelitian yang dilakukan Tiqwani (2014) menghasilkan bahwa
kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja melalui inovatif, penelitian tersebut
dilakukan dengan cara wawancara dan kuisoner pada 37 staff yang kemudian di
analisis menggunakan SPSS. Penelitian lain menurut Chairany (2011) mengatakan
bahwa kinerja pada suatu perusahaan dipengaruhi oleh kepemimpinan melalui
perilaku inovatif pada karyawan di perusahaan tersebut, kepemimpinan dan perilaku
inovatif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.Penelitian ini dilakukan
pada perusahaan manufaktur di makasar.

Pengaruh Perilaku Inovatif Terhadap Kinerja


De Jong (2003) mengatakan dalam penelitiannya inovasi dapat diartikan sebagai
semua tindakan individu yang diarahkan pada kepentingan organisasi dimana
didalamnya dilakukan introduksi dan aplikasi ide-ide baru yang menguntungkan dan
meningkatkan kinerja perusahaan.
Dorner, (2012) mengatakan hal yang sama dalam hasil penelitiannya menunjukan
bahwa perilaku innovatif sebagai variabel intervaining berpengaruh positif terhadap
kinerja.
Omri (2015) menemukan hasil yang sama dalam penelitiannya bahwa ada
pengaruh antar perilaku inovatif di dalam perusahaan atau organisasi dengan kinerja
perusahaan tersebut.
Susanto (2013) mengatakan bahwa hasil penelitiannya bahwa pemikiran kreatif
dan perilaku innovatif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
perusahaan. Koo (2017) mengatakan bahwa perilaku inovatif berpengaruh terhadap
kinerja dalam suatu perusahaan, penelitian tersebut dilakukan di hotel di korea bahwa
dengan adanya keterlibatan kerja akan bepengaruh terhadap perlikau inovatif dan
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan tersebut.[

Pengaruh Kepercayaan Organisasi Terhadap Kinerja


Kepercayaan organisasi merupakan hal penting perusahaan, dengan adanya rasa
percaya terhadap organisasi nya maka dapat meningkatkan kinerja karyawan didalam
perusahaan.
Hal ini didukung oleh Dalam penelitian Battiston (2006) dalam penelitiannya
menenemukan bahwa dengan model sistem rekomendasi terdistribusi otomatis pada
jejaring sosial dan menyelidiki bagaimana dinamika kepercayaan di antaranya agen
mempengaruhi kinerja sistem. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
kepercayaan dapat meningkatkan kinerja.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Guinot (2014) menemukan bahwa untuk
melihat secara mendalam hubungan di antara keduanya kepercayaan dan kinerja
organisasi, menggunakan kemampuan pembelajaran organisasi sebagai variabel
intervaining. Penelitian ini menghasilkan adanya hubungan yang positif dan
signifikan kepercayaan dan kinerja organisasi ditunjukkan dalam model efek
langsung menjadi tidak signifikan dalam model mediasi.

Pengaruh Kepercayaan Organisasi Terhadap Perliaku Inovatif


Kepercayaan terhadap organisasi atau perusahaan merupakan hal penting dan
harus dimiliki oleh karyawan supaya karyawan dapat bekerja lebih baik dan dapat
memaksimalkan kreatifitas atau perilaku inovatif karyawan. Ada beberapa penelitian
yang mengatakan hal yang sama bahwa kepercayaan organisasi berpengaruh terhadap
perilaku inovatif. Lee (2008) menenmukan dalam penelitian yang dilakukan pada
perusahaan korea menunjukan bahwa hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa
kepercayaan organisasi akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
inovatif pada karyawan dalam perusahaan tersebut.
Hughes (2018) mengatakan dalam penelitiannya juga menemukan hal yang sama
bahwa kepercayaan organisasi berpengaruh terhadap perilaku inovatif sehingga
karyawan yang memilki kepercayaan terhadap perusahaannya akan semakin
berperilaku inovatif didalam bekerja. Spreitzea (2009) mengatakan dalam penelitian
nya dimana kepercyaan organisasi berpengaruh terhadap perilaku inovatif dan juga
konektivitas atau hubungan pada masing-masing karyawan semakin membaik,
sehingga karyawan semakin percaya dengan perusahaan nya maka akan semakin
berperilaku inovatif dalam perusahaan tempat dia bekerja.
Khalid (2018) mengatakan dalam penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa
kepercayaan organisasi akan meningkatkan perilaku inovatif pada karyawan dan juga
meningkatkan keterikatan kerja, selain itu ada penelitian Kim (2015) yang
mengatakan hal yang sama bahwa kepercayaan organisasi dapat meningkatkan
perilaku inovatif dan meningkatkan knowledge sharing sehingga karyawan semakin
baik dalam meningkatkan kreatifitas dalam bekerja.

Pengaruh Kepemimpinan Otentik Terhadap Kinerja


Perlunya kepemimpinan otentik didalam perusahaan atau organisasi untuk
meningkatkan kinerja didalam perusahaan. Hal ini didukung oleh penelitian
Destriandi (2016) melakukan penelitian tentang kepemimpinan otentik terhadap
kinerja perusahaan, dalam penelitian tersebut data responden dianalisis untuk menguji
apakah kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Penelitian
tersebut merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuisoner yang
disebarkan untuk Dinas kelautan dan Perikanan. Hasil analisis menunjukan bahwa
kepemimpinan otentik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja
perusahaan.
Ribeiro (2017) Mengatakan dalam penelitiannya bahwa komitmen afektif
memediasi hubungan antara AL dan kinerja karyawan. Dengan kata lain, keaslian
pemimpin mempromosikan komitmen afektif karyawan yang, pada gilirannya,
meningkatkan individu mereka kinerja.
Smith, (2009) juga mengatakan dalam penelitiannya bahwa Kepemimpinan
otentik mempunyai hubungan yang signifikan dan positif terhadap performance
dengan trust management sebagai variabel mediasi. Khan (2010) mengatakan bahwa
kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap kinerja karyawan melalui perilaku
inovatif.

Dimensi Iklim Inovatif


Berdasarkan pendekatan cognitive scheme dan shared
perception, West mengembangkan four-factor model untuk
mengukur iklim inovasi kelompok. Berikut ini merupakan
penjelasan mengenai dimensi-dimensi iklim inovatif (Anderson &
West, 1998).
1) Vision.
Visi didefinisikan sebagai ungkapan mengenai hasil yang
dihargai yang mewakili tatanan yang paling tinggi serta
memotivasi kekuatan di tempat kerja. Kelompok kerja dengan
tujuan yang jelas cenderung lebih efektif dan mampu
mengembangkan metode kerja sesuai tujuan tertentu karena
usaha mereka memiliki fokus dan arahan.
2) Participative safety.
Participative safety menyiratkan bahwa seorang anggota
merasakan atmosfer interpersonal yang tidak mengancam.
Ketika iklim memiliki dukungan sosio-emosional yang kuat,
maka anggota akan termotivasi untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan karena merasa lingkungannya tidak
mengancam secara interpersonal. Dimensi ini menekankan
bahwa anggota harus merasa aman secara psikologis, sehingga
tidak akan ada hukuman bagi anggota karena menjalankan
gagasan baru atau melanggar status quo.
3) Task oriented.
Merupakan bentuk perhatian antaranggota kelompok
mengenai keunggulan kinerja yang ditandai dengan akuntabilitas
individu dan tim, modifikasi kinerja, sistem kontrol untuk
mengevaluasi, saran antartim, umpan balik dan kerja sama,
pemantauan bersama, penilaian positif-kritis pada kinerja dan
gagasan, serta kriteria hasil yang jelas. Di iklim yang sangat
inovatif, standar kinerja yang tinggi didorong dan beragam
pendekatan untuk mencapai keunggulan dapat ditolerir. Dengan
kata lain, maksimisasi kualitas kinerja menjadi perhatian penting
melalui evaluasi dan perbaikan-perbaikan secara proaktif,
sehingga kelompok senantiasa memberikan kualitas kinerja
terbaik. Faktor ini menggambarkan komitmen umum terhadap
keunggulan kinerja serta iklim yang mendukung penerapan
perbaikan terhadap kebijakan, prosedur, dan metode yang ada.
4) Support for innovation.
Dimensi terakhir berkaitan dengan persetujuan dan
dukungan praktis terhadap upaya untuk mengenalkan cara baru
yang lebih baik dalam melakukan sesuatu. Dalam banyak kasus,
dukungan dilakukan secara artikulatif namun seringkali tidak
terbukti pada ketersediaan waktu dan anggaran. Karena itu,
West membedakan antara dukungan ‘yang diartikulasikan’ dan
‘yang diberlakukan’ untuk inovasi, dimana keduanya diperlukan
dalam upaya mengenalkan keinovasian. Dukungan yang
diartikulasikan, secara implisit, dapat ditemukan dalam
dokumen personalia, pernyataan kebijakan, atau disampaikan
secara verbal. Dukungan yang diberlakukan dapat dijumpai pada
dukungan aktif yang diberikan, misalnya sumber daya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Iklim Inovatif


Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Jing & Zhou
(2010), mereka membagi faktor-faktor yang mempengaruhi iklim
inovatif menjadi tiga aspek, yaitu;
1) Faktor pada level organisasi, diantaranya; strategi organisasi,
struktur organisasi, budaya organisasi, dan mekanisme insentif.
2) Faktor pada level kelompok, meliputi; gaya kepemimpinan,
hubungan anggota, dan struktur kelompok.
3) Faktor pada level kerja, yaitu; suplai sumber daya, karakteristik
pekerjaan, dan praktik manajemen.

Definisi Iklim Inovatif


Psikolog terapan memahami iklim melalui pendekatan cognitive
scheme sedangkan sosiolog organisasi memahaminya melalui
pendekatan shared perception. Dua pendekatan ini mengakibatkan
perbedaan dalam mengonseptualisasikan iklim organisasi. Dari
perspektif cognitive scheme, iklim organisasi didefinisikan sebagai
representasi konstruktif individu atau skema kognitif pada
pengaturan organisasi mereka, yang mencerminkan representasi
psikologis terhadap lingkungan/situasi kerja di sekitarnya (Scott &
Bruce, 1994). Sedangkan pendekatan shared perception,
mendefinisikan iklim organisasi sebagai persepsi bersama anggota
mengenai praktik, prosedur, dan jenis perilaku yang dihargai dan
didukung dalam situasi tertentu (Schneider et al., 1998 dalam Van
der Vegt et al., 2005).
Menanggapi perbedaan itu, Isaksen (2007) berpendapat bahwa
kedua pendekatan tersebut pada prinsipnya kompatibel satu sama
lain dan karenanya tidak saling eksklusif. Menurutnya, iklim
memberi pengaruh pada proses organisasional dan psikologis,
sehingga berpengaruh pula pada kinerja individu dan organisasi pada
tahap selanjutnya. Iklim dalam organisasi, dialami dan dipahami
oleh anggota secara seragam, sehingga berdampak pada karakteristik
tertentu.
Dalam upaya memahami iklim inovatif, banyak hal telah
dilakukan oleh para ahli untuk mendekonstruksi konsep iklim
organisasi ke dalam dimensi-dimensi penyusun/subdomainnya.
Berdasarkan pada pendapat Reichers & Schneider (1983 dalam
Anderson & West, 1998), secara spesifik, iklim organisasi yang
relevan dalam konteks inovasi adalah iklim inovatif. Iklim inovatif
menggambarkan sejauh mana perusahaan mendukung perilaku
inovatif serta menghasilkan ide-ide baru (Kanter, 1983 dalam
Kanter, 1988).

Karakteristik Kepemimpinan Transaksional


Menurut Bass (dalam Yukl, 2010) hubungan pemimpin
transaksional dengan bawahan, dicerminkan oleh 3 (tiga) hal, yakni:
1) Pemimpin mengetahui keinginan bawahan dan menjelaskan apa
yang akan mereka dapatkan apabila kinerjanya sesuai harapan.
2) Pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh bawahan
dengan imbalan.
3) Pemimpin responsif pada kepentingan bawahan selama hal itu
sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukannya.

Karakteristik Kepemimpinan Transformasional


Tichy & Devanna (1986 dalam Luthans, 2006) mengemukakan
beberapa karakteristik dari pemimpin transformasional, antara lain:
1) Mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan.
2) Mendorong keberanian dan pengambilan risiko.
3) Percaya pada orang lain.
4) Mereka dilandasi oleh nilai-nilai.
5) Seorang pembelajar sepanjang hidup.
6) Memiliki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas,
ambiguitas, dan ketidakpastian.
7) Seorang atasan yang visioner.

Unsur-unsur Kepemimpinan Transformasional


Beberapa unsur kepemimpinan transformasional (Iensufiie,
2010), diantaranya:
1) Pemimpin, diantaranya pemimpin memiliki kharisma di mata
pengikut, memiliki visi atau idealisme yang sesuai harapan
pengikut, mampu memberikan pengaruh kepada pengikut.
2) Pengikut, yaitu pengikut memiliki inspirasi dari dalam dirinya
dan memandang pemimpin mampu membawanya mewujudkan
inspirasi tersebut serta pengikut memiliki motivasi dimana
pemimpin mengarahkannya menjadi tujuan bersama.
3) Kerja sama, dimana pemimpin mampu merangsang atau memicu
kreativitas intelektual dari para pengikut.
4) Keputusan, di dalam kerja sama transformasional, pengikut
bebas mengambil keputusan dan bukan karena ada tekanan.

Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan


Kepemimpinan secara konseptual senantiasa mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu seiring riset-riset yang dilakukan
dalam berbagai konteks dan dasar teoritis. Meski demikian, secara
prinsip para ahli setuju bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya untuk
mencapai tujuan tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bryman
(1992), elemen dasar dari kepemimpinan adalah “kelompok”,
“pengaruh” dan “tujuan”. Sehingga kepemimpinan merupakan
proses mempengaruhi orang lain untuk membimbing, mengarahkan
serta mengontrol aktivitas dan hubungan dalam kelompok untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Ahmadi (2007) menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam kepemimpinan, diantaranya; (1)
unsur manusia sebagai pemimpin ataupun yang dipimpin, bagaimana
hubungan mereka dalam situasi kepemimpinan, sifat-sifat seorang
pemimpin dan syarat-syarat kepemimpinan, serta bagaimana
seharusnya memperlakukan manusia; (2) unsur sarana sebagai segala
macam prinsip dan teknik kepemimpinan yang digunakan, termasuk
pengetahuan dan pengalaman individu maupun kelompok; dan (3)
unsur tujuan sebagai arah akhir atau sasaran suatu kelompok akan
digerakkan.
Teori perilaku kepemimpinan membagi dua kategori
kepemimpinan, yaitu kepemimpinan orientasi tugas (struktur) dan
orientasi hubungan (konsiderasi). Pemimpin orientasi tugas dicirikan
melalui banyaknya penjelasan, membuat anggota mengerti apa yang
diharapkan organisasi, merancang tugas-tugas secara detail, meminta
anggota menaati aturan, dan sebagainya. Ciri-ciri pemimpin yang
berorientasi hubungan antara lain melakukan pendekatan terhadap
anggota organisasi, membuat anggota lebih mudah memahami serta
menerima ide dan saran. Orientasi tugas dan orientasi hubungan
merupakan dimensi pokok dalam gaya kepemimpinan (Alwi, 2008).
Gaya kepemimpinan merupakan pendekatan perilaku pemimpin
dalam proses kepemimpinannya berdasarkan situasi-situasi tertentu.
Nawawi (2003) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai
perilaku atau cara yang dipilih dan dipergunakan pemimpin dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota
organisasi. Menurut Carver & Sergiovani (dalam Alwi, 2008) gaya
kepemimpinan yang baik adalah gaya kepemimpinan yang tinggi
orientasi tugas dan tinggi orientasi hubungan manusia. Ungkap
Handoko (1999), pemimpin yang berorientasi tugas akan lebih
memperhatikan pelaksanaan pekerjaan daripada pengembangan dan
pertumbuhan bawahan, sedangkan pemimpin berorientasi karyawan
mencoba untuk lebih memotivasi dibanding hanya mengawasi
karyawannya.

Dimensi Perilaku Kerja Inovatif


Berdasarkan sumber studi dari Kanter serta Scot & Bruce, De
Jong & Den Hartog (2008) menyebutkan terdapat 4 (empat) dimensi
perilaku kerja inovatif, yaitu:
1) Opportunity exploration.
Pada permulaan, seorang individu akan mampu menemukan
masalah ataupun peluang. Identifikasi masalah dapat dilakukan
pada pola kerja yang telah berlangsung, kebutuhan konsumen
yang belum terpenuhi, maupun indikasi kecenderungan yang
sedang berubah. Penemuan peluang dapat berupa
pengembangan atau alternatif produk dan jasa lain. Eksplorasi
peluang mencakup perilaku seperti mencari cara memperbaiki
ataupun memikirkan alternatif produk, jasa atau proses saat ini
(Farr & Ford, 1990 dalam De Jong & Den Hartog, 2008).
2) Idea generation.
Ide akan muncul berdasarkan eksplorasi pada tahap
permulaan yang kemudian konsepnya dikombinasikan dan
direorganisasikan dengan yang telah ada. Ide tersebut
selanjutnya dipakai untuk memecahkan masalah dan/atau
meningkatkan kinerja. Pemunculan ide mengacu pada konsep
pengembangan untuk tujuan perbaikan terkait dengan produk,
jasa atau proses baru, masuknya pasar baru, proses kerja, atau
secara umum, solusi untuk masalah yang teridentifikasi (Kanter,
1988; Van de Ven, 1986; Amabile, 1988).
3) Idea championing.
Kleysen & Street (2001) menerangkan championing sebagai
perilaku seseorang yang mengupayakan realisasi gagasan
kreatifnya. Selain mengupayakan dukungan, seorang inovator
juga harus percaya bahwa ide tersebut akan berhasil. Upaya
tersebut dapat dilakukan dengan cara membujuk,
mempengaruhi, menekan serta menegosiasikannya dengan orang
lain. Dalam mengimplementasikan inovasi kerap dibutuhkan
koalisi agar mendapatkan dukungan dengan cara menjual ide
kepada rekan potensial.
4) Idea implementation.
Proses terakhir mengacu pada keberanian seseorang untuk
menerapkan ide pada proses/aktivitas kerja rutin. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan cara membangun, menguji,
mengembangkan serta mempromosikan ide produk, jasa
maupun proses baru yang ia tawarkan (Van de Ven, 1986;
Kanter, 1988). Perilaku ini berkaitan dengan upaya yang harus
dilakukan seseorang untuk mengembangkan gagasannya agar
diterapkan menjadi proposisi praktis

Anteseden Perilaku Kerja Inovatif


Berdasarkan studinya, Yuan & Woodman (2010) memaparkan
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kerja inovatif, yakni;
(1) budaya organisasi dan iklim,
(2) hubungan dengan atasan,
(3) karakteristik pekerjaan,
(4) konteks sosial/kelompok, dan
(5) perbedaan individu.

Karakteristik Individu yang Memiliki Perilaku Kerja Inovatif


Zhou & George (2001) menyebutkan karakter dari individu yang
memiliki perilaku inovatif, diantaranya;
(1) mencari tahu teknologi baru, proses, teknik dan ide-ide baru,
(2) menghasilkan ide-ide kreatif,
(3) menawarkan dan memperjuangkan ide-ide ke orang lain,
(4) meneliti dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk
mewujudkan ide-ide baru, serta
(5) mengembangkan rencana dan jadwal yang matang untuk
mewujudkan ide baru tersebut.
Sedangkan menurut West (1997 dalam Aditya & Ardana, 2016);
(1) tendensi untuk menciptakan ide-ide baru,
(2) toleran terhadap ambiguitas,
(3) adanya keinginan untuk menjadi efektif, dan
(4) berorientasi pada inovasi serta pencapaian.

Definisi Perilaku Kerja Inovatif


Inovasi diartikan sebagai pengenalan dan penerapan gagasan,
proses, produk atau prosedur baru yang dirancang untuk kinerja yang
lebih baik (menguntungkan) dalam pekerjaan, kelompok kerja,
organisasi atau masyarakat yang lebih luas (West & Farr, 1989
dalam Anderson & West, 1998). King & Anderson (1995)
menganggap inovasi sebagai sesuatu yang baru dalam setting sosial
dimana ia diperkenalkan (individu, kelompok, perusahaan, industri,
masyarakat luas). Sajiwo (2014) mengungkapkan inovasi adalah
suatu proses memikirkan dan mengimplementasikan pemikiran
tersebut, sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa,
proses, cara, kebijakan, dan lain sebagainya. Dalam konteks inovasi
organisasional, salah satu alternatif untuk membentuk organisasi
yang inovatif adalah melalui inovasi oleh anggota (individu)
organisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Van de Ven (1986) basis
dasar inovasi adalah ide, sedangkan yang mampu menghasilkan,
mengembangkan dan memodifikasi ide tersebut adalah manusia.
Perilaku kerja inovatif merupakan perilaku individu yang
bertujuan untuk mencapai inisiasi dan pengenalan yang disengaja
(dalam peran pekerjaan, kelompok atau organisasi) mengenai ide
yang berguna berkaitan dengan proses, produk atau prosedur (De
Jong & Den Hartog, 2008). Purba (2009) mendefinisikan perilaku
inovatif sebagai perilaku yang menekankan pada adanya sikap
kreatif agar terjadi proses perubahan sikap dari tradisional ke
modern, atau dari sikap yang belum maju ke sikap yang sudah maju.
Menurut Yuan & Woodman (2010), perilaku kerja inovatif adalah
keinginan anggota organisasi untuk memperkenalkan, mengajukan
serta mengaplikasikan ide-ide, produk, proses, serta prosedur baru ke
dalam pekerjaannya, unit kerja atau organisasi tempat bekerja.
Kleysen & Street (2001) mendefinisikan perilaku inovatif sebagai
keseluruhan tindakan individu yang mengarah pada pemunculan,
pengenalan, dan penerapan dari sesuatu yang baru dan
menguntungkan pada seluruh tingkat organisasi. Perilaku inovatif
adalah proses bertahap dari pengenalan masalah, pemunculan ide
atau solusi, membangun dukungan atas ide tersebut, dan
implementasi gagasan (Scott & Bruce, 1994).

Karakteristik Iklim Kerja Tim


Karakteristik iklim kerja tim yang efektif ditandai dengan:

  1. Adanya penetapan tujuan bersama yang terarah dan realistis sehingga dapat
    dilaksanakan secara maksimal.
  2. Anggota dan pimpinan memiliki komitmen untuk dapat saling mendukung
    sehingga tim dapat sukses dan berhasil.
  3. Anggota tim memahami prioritas anggota lain dan dapat saling membantu.
  4. Komunikasi yang terbuka, melakukan diskusi tentang cara kerja baru
    ataupun meningkatkan kinerja menjadi lebih baik karena anggota dalam tim
    didorong untuk lebih dapat memikirkan masalah (Rusdinal & Afriansyah,
    2019)

Atribut Iklim Kerja Tim


(Perth et al., 2002) mengemukakan bahwa atribut iklim kerja tim yang efektif
adalah sebagai berikut:

  1. Komitmen terhadap tim sukses dan tujuan bersama: anggota tim memiliki
    komitmen untuk keberhasilan tim dan tujuan bersama mereka untuk proyek
    tersebut. Tim yang sukses termotivasi akan terlibat serta bertujuan untuk
    mencapai tingkat tertinggi.
  2. Saling bergantung atau saling membutuhkan satu sama yang lain: anggota
    tim harus menciptakan lingkungan di mana jika bersama-sama mereka dapat
    berkontribusi jauh lebih banyak dibandingkan jika individualis. Lingkungan
    tim yang saling bergantung secara positif menghasilkan yang terbaik dari
    setiap orang yang memungkinkan tim untuk mencapai tujuan mereka pada
    tingkat yang jauh lebih unggul. Individu mempromosikan dan mendorong
    sesama anggota tim mereka untuk mencapai goals, berkontribusi dan
    belajar.
  3. Keterampilan interpersonal: meliputi kemampuan untuk mendiskusikan
    permasalahan secara terbuka dengan anggota tim yang lain, jujur serta dapat
    dipercaya, mendukung dan menunjukkan rasa hormat serta komitmen
    kepada tim dan individunya. Membina lingkungan kerja yang saling peduli
    merupakan hal yang penting termasuk kemampuan untuk bekerja secara
    efektif dengan anggota tim yang lain.
  4. Komunikasi yang terbuka dan feedback yang positif: secara aktif
    mendengarkan kebutuhan anggota tim yang lain dan menghargai kontribusi
    mereka serta mengungkapkan hal ini membantu menciptakan lingkungan
    kerja yang efektif. Anggota tim harus bersedia memberi dan menerima
    kritik yang membangun serta memberikan feedback yang otentik.
  5. Komposisi tim yang tepat: komposisi tim yang tepat sangat penting di dalam
    penciptaan dan pembentukan tim yang sukses. Anggota tim harus
    sepenuhnya menyadari peran tim mereka dan memahami apa yang
    diharapkan dari mereka dalam hal kontribusi kepada tim dan proyek.
  6. Komitmen terhadap proses tim, kepemimpinan dan akuntabilitas: anggota
    tim harus bertanggung jawab atas kontribusi mereka kepada tim dan proyek.
    Mereka harus menyadari proses tim, praktek yang baik dan ide-ide baru.
    Kepemimpinan yang efektif penting untuk keberhasilan tim termasuk
    pengambilan keputusan bersama dan pemecahan masalah.

Definisi Iklim Kerja Tim


Di dalam perusahaan, kerja sama tim merupakan salah satu elemen utama.
Karena setiap individu di dalam perusahaan memiliki keterbatasan kemampuan
sehingga membuatnya membutuhkan campur tangan orang lain. Nilai kerja sama
tim adalah nilai yang amat penting di dalam upaya meningkatkan kondisi internal
perusahaan. Kerja tim memberikan pelajaran kepada anggota di dalam perusahaan
baik itu atasan ataupun bawahan untuk tidak memenangkan diri mereka sendiri
(Rusdinal & Afriansyah, 2019).
Kerja tim di dalam perusahaan dapat terjadi antara atasan dan bawahan, atau
bawahan dengan bawahan, dalam situasi formal maupun non formal. Dalam
pelaksanaan kerja sama tim harus saling menguntungkan, pelaksanaan kerja sama
tim hanya dapat tercapai jika diperoleh manfaat secara bersama bagi semua pihak
yang ikut terlibat. Jika terdapat salah satu pihak dirugikan di dalam proses kerja
sama tim, maka kerja sama tim tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai profit
ataupun manfaat bersama dari kerja sama tim diperlukan komunikasi yang baik
antara seluruh pihak dan pemahaman yang sama sebagai tujuan bersama tim.
Iklim kerja tim difasilitasi oleh komunikasi dan juga rasa saling percaya.
Dalam bekerja dengan tim, apabila tidak ada komunikasi yang baik maka akan lebih
sulit untuk mencapai tujuan perusahaan. Ini adalah ukuran persepsi yang membantu
dalam mengukur budaya kerja tim yang sebaliknya tidak mudah untuk diukur. Iklim
kerja tim merupakan suasana lingkungan kerja yang terjadi karena terdapat
hubungan interpersonal untuk mencapai tujuan bersama

Manfaat Keberagaman Budaya Organisasi


Menurut (Mazur, 2014), keberagaman budaya organisasi memiliki manfaat
antara lain:

  1. Perusahaan dapat mengambil keputusan yang tepat untuk memanfaatkan
    potensi keberagaman.
  2. Terdapat banyak sudut pandang sehingga dapat melihat persoalan dari
    banyak sisi.
  3. Perspektif dan pendekatan dihargai, dan setiap karyawan didorong untuk
    dapat memberikan kontribusi yang baik dan unik.
    18
  4. Tercipta lingkungan kerja yang inklusif, yang dapat meningkatkan
    produktivitas, kreativitas, kualitas, layanan pelanggan, retensi bakat dan
    kepuasan kerja.
  5. Membantu menangani konflik di masa mendatang serta merespon
    perubahan di lingkungan kerja.

Tujuan Keberagaman Budaya Organisasi


Menurut (Mazur, 2014), tujuan dari keberagaman budaya organisasi antara lain:

  1. Meningkatkan produktivitas, kreativitas, kualitas, layanan pelanggan,
    retensi bakat dan kepuasan kerja dalam perusahaan.
  2. Mencapai solusi terbaik ketika perusahaan dihadapkan pada beberapa
    persoalan, karena terdapat banyak sudut pandang.
  3. Menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberagaman Budaya Organisasi


Keberagaman budaya organisasi memiliki beberapa faktor yang
mempengaruhinya antara lain:

  1. Beliefs: Beliefs atau keyakinan merupakan suatu penerimaan pernyataan
    atau klaim sebagai benar, tergantung pada keadaan serta individu yang
    terlibat dalam perusahaan. Beliefs atau keyakinan dapat berkembang secara
    cepat ataupun lambat, dan juga pengalaman dari individu di perusahaan juga
    memiliki peranan yang besar.
  2. Values: Values atau nilai merupakan hal yang dijadikan pedoman maupun
    acuan di dalam semua keputusan yang diambil pihak perusahaan serta
    tindakan dari anggota perusahaan yang mencerminkan identitas, tujuan
    serta standar penilaian terhadap segala sesuatu.
  3. Rules: Rules atau aturan merupakan suatu norma yang dijadikan sebagai
    pedoman di dalam menyelesaikan segala permasalahan yang sedang
    dihadapi oleh perusahaan serta aturan juga menjadi acuan di dalam
    bertindak dan bersikap sebagai anggota dalam perusahaan (Jankelová,
    Skorková, et al., 2021).

Definisi Keberagaman Budaya Organisasi


Tantangan utama di dalam lingkungan kerja yang identik akan keberagaman
saat ini adalah pencarian prinsip-prinsip untuk dapat membentuk kegiatan bisnis
serta mengarahkan para agen ekonomi, perusahaan dan individu. Keberagaman
telah menjadi topik yang banyak diperbincangkan dan diperdebatkan di dalam teori
serta praktek manajemen dalam beberapa tahun terakhir. Pada awalnya, aspek
hukum dan perubahan demografi pasar tenaga kerja yang menjadikannya subjek
yang sangat penting bagi perusahaan. Keberagaman memiliki nilai-nilai yang luar
biasa dalam kehidupan masyarakat modern.
Keberagaman dalam kehidupan masyarakat modern menimbulkan beberapa
dampak positif. Beberapa teori dalam ekonomi menunjukkan bahwa keberagaman
budaya maupun etnis dapat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (Leng et al., 2021). Keberagaman budaya organisasi merupakan
bagian dari keseluruhan budaya dalam perusahaan yang memiliki orientasi. Fokus
dari penelitian ini ialah pada dua lapisan pertama dari budaya organisasi yaitu
keyakinan dan nilai serta aturan yang begitu penting di dalam pengelolaan
keberagaman yang berkelanjutan. Dengan demikian keberagaman budaya
organisasi merupakan sekumpulan dari keyakinan, aturan dan nilai-nilai yang
digunakan seorang manajer perusahaan untuk dapat menyatakan sikap positifnya
terhadap keberagaman, komitmen terhadap praktik manajemen, pendekatan
keberagaman dan kepemimpinan keberagaman (Jankelová, Skorková, et al., 2021).
Salah satu alat manajemen yang sering digunakan dalam konteks keberagaman
ialah diversity management.
Diversity management memiliki basis penelitian yang cukup luas, terutama
pada bidang bisnis yang telah lama di bahas bahwa diversity management tidak
hanya membahas tentang bagaimana cara mengelola karyawan berdasarkan gender,
usia, ras ataupun etnis tetapi juga tentang bagaimana strategi atau cara untuk dapat
mencapai goals, meningkatkan kinerja karyawan perusahaan, kepuasan kerja,
meningkatkan inovasi serta kinerja umum suatu perusahaan. Diversity management
berarti menggunakan serta memanfaatkan beragam potensi karyawan perusahaan
untuk memenuhi tujuan inovasi dan pengembangan

Definisi Keberagaman Secara Umum


Keberagaman merupakan situasi yang menggambarkan adanya perbedaan
dalam aspek kehidupan. Perbedaan tersebut juga terjadi pada beberapa bidang
seperti bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan lain sebagainya. Secara umum
keberagaman identik dengan perbedaan ras, jenis kelamin, usia, profesi dan lain
sebagainya. Tak jarang pula, dengan adanya perbedaan tersebut juga dapat memicu
konflik antar beberapa pihak. Keberagaman adalah tentang menghilangkan serta
memerangi hal terkait dengan bias, rasisme dan juga prasangka dalam kehidupan
perusahaan, baik perusahaan nasional dan bahkan internasional (Croitoru et al.,
2022). Keberagaman lebih dari sekadar mengidentifikasi perbedaan demografis
seperti halnya usia, gender, ras saja tetapi telah meluas ke berbagai dimensi
keberagaman seperti nilai-nilai kemanusiaan, norma kelompok, kepercayaan,
pendidikan, agama dan bidang tak terlihat lainnya dari manusia yang menjadikan
semuanya inklusif

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Berikut ini merupakan indikator dari perilaku kerja inovatif menurut (J. P.
J. De Jong & Den Hartog, 2007):

  1. Opportunity exploration: proses inovasi ditentukan oleh kesempatan
    dimana kesempatan akan memicu individu untuk dapat mencari strategi
    untuk meningkatkan pelayanan, proses pengiriman, ataupun berusaha untuk
    memikirkan suatu alternatif yang baru tentang proses kerja, produk atau
    pelayanan.
  2. Idea generation: menciptakan konsep untuk peningkatan. Idea generation
    ialah mengelola kembali informasi serta konsep yang telah ada sebelumnya
    untuk meningkatkan performansi.
  3. Championing: melibatkan perilaku untuk dapat mencari dukungan serta
    membangun koalisi seperti mengajak dan mempengaruhi karyawan
    perusahaan atau manajemen serta negosiasi mengenai suatu solusi.
  4. Application: individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif pada suatu hal
    saja tetapi juga mengevaluasi dan mengaplikasikan ide-ide tersebut ke
    dalam tindakan yang nyata.

Dimensi Perilaku Kerja Inovatif


Menurut (J. De Jong & Den Hartog, 2010), terdapat empat dimensi perilaku
kerja inovatif antara lain:

  1. Idea exploration: karyawan perusahaan mampu untuk menemukan
    kesempatan atau suatu permasalahan.
  2. Idea generation: karyawan perusahaan mampu untuk mengembangkan
    ide-ide inovasi dengan cara menciptakan serta menyarankan ide-ide untuk
    proses yang baru.
  3. Idea championing: karyawan perusahaan diharapkan dapat terdorong
    untuk lebih giat mencari dukungan di dalam mewujudkan ide-ide inovasi
    baru yang telah dihasilkan.
  4. Idea implementation: karyawan perusahaan mempunyai keberanian untuk
    dapat menerapkan ide-ide yang baru tersebut ke dalam proses kerja yang
    telah biasa dilakukan

Definisi Perilaku Kerja Inovatif


Di dalam kelangsungan perusahaan, terdapat kekurangan sumber daya
tersendiri, bukan hanya mengenai persoalan keuangan (financial) ataupun materi,
tetapi juga mengenai personil dalam hal kualitas tenaga kerja serta potensi
inovatifnya. Perilaku kerja inovatif merupakan suatu keinginan pribadi dari
karyawan perusahaan untuk mengenalkan dan menerapkan prosedur yang baru
serta menciptakan ide-ide yang unik dan kreatif dalam pekerjaan sehari-harinya
hingga ke tempat dimana ia bekerja. Menurut (Isa & Muafi, 2022), perilaku inovatif
merupakan keseluruhan perilaku individu yang diarahkan untuk menghasilkan,
memperkenalkan dan menerapkan hal-hal baru yang berguna di berbagai tingkatan
perusahaan. Inovasi dapat tercipta karena adanya ide-ide yang baru dan tujuan
tertentu yang ingin dicapai oleh sebuah perusahaan. Saat ini, karyawan yang
inovatif merupakan aset yang amat penting yang harus dimiliki oleh sebuah
perusahaan serta merupakan faktor yang menjelaskan keberhasilan suatu bisnis.
Perilaku kerja yang inovatif dapat mengubah lingkungan perusahaan menjadi lebih
kooperatif sehingga dapat meningkatkan produktivitas karyawan (Contreras et al.,
2020). Dari sudut pandang individu, beberapa penelitian telah mempelajari tentang 
peran perilaku kerja yang inovatif karyawan dalam perusahaan. Setelah dilakukan
beberapa penelitian, hasilnya memang perilaku kerja inovatif karyawan memiliki
dampak yang positif bagi kemajuan suatu perusahaan.
Di dalam perannya untuk mencapai tujuan dan kemajuan suatu perusahaan,
perilaku kerja inovatif terdiri dari (a) perilaku individu seperti mengeksplorasi,
menghasilkan, memperjuangkan serta mengimplementasikan ide-ide yang kreatif
dan (b) tiga tugas yang saling terkait antara lain penciptaan, promosi dan
implementasi ide (Jankelová, Joniaková, et al., 2021). Hal ini dapat mengambil
berbagai bentuk seperti menyederhanakan rangkaian proses, menggunakan
peralatan serta bahan yang baru, mengenalkan rutinitas baru, meningkatkan kerja
sama ataupun menciptakan penawaran-penawaran yang baru. Karyawan dalam
perusahaan tak harus menjadi bagian dari keseluruhan rangkaian proses, tetapi
diharapkan agar dapat ambil peran mulai dari hal-hal kecil perusahaan. Pada fase
atau tahap implementasi, hal yang penting dalam perilaku kerja inovatif yaitu
tentang cara karyawan dalam perusahaan menemukan ide yang kreatif dan inovatif
yang berpengaruh pada penerapan praktek kerja

Definisi Sumber Daya Manusia


Manajemen sumber daya manusia merupakan tata cara pengelolaan
manusia dalam organisasi agar dapat berperan secara efektif dan efisien.
Manajemen terdiri dari enam (6M) unsur yaitu: Men, Money, Method, Material,
Machine, dan Market. Unsur manusia (Men) berkembang menjadi suatu bidang
ilmu manajemen yang disebut dengan manajemen sumber daya manusia.
Berikut adalah pendapat para ahli tentang pengertian pengembangan
sumber daya manusia: Hasibuan (2014) menyebutkan bahwa manajemen sumber
daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja
agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan
masyarakat. Serta pandangan Rivai dan Sagala (2013) menyatakan bahwa
manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu dari bidang manajemen
umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengendalian, sumber daya manusai dalam sebuah organisasi.
Menurut Bintoro dan Daryanto (2017) menyatakan bahwa manajemen
sumber daya manusia, disingkat MSDM, adalah suatu ilmu atau cara bagaimana
mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh
individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga
tercapai tujuan bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Menurut Herman Sofyandi (2013) menyatakan bahwa manajemen SDM
didefinisikan sebagai suatu strategi dalam menerapkan fungsi – fungsi manajemen
yaitu planning, organizing, leading dan controlling, didalam setiap aktivitas/fungsi
operasional SDM mulai dari proses penarikan, seleksi, pelatihan dan
pengembangan, penempatan yang meliputi promosi, demosi dan transfer, penilaian
kinerja, pemberian kompensasi, hubungan industrial, hingga pemutusan hubungan
kerja, yang ditunjukkan bagi peningkatan kontribusi produktif dari
SDM organisasi terhadap pencapaian tujuan organisasi secara lebih efektif dan
efisien.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen
sumber daya manusia adalah suatu ilmu dalam mengatur dan merencanakan serta
memproses hubungan dan peranan seorang individu atau karyawan dalam
melaksanakan tanggung jawab terhadap perusahaan dengan efektif dan efisien
dalam mencapai tujuan yang diinginkan oleh perusahaan.

Keterikatan kerja (Work Engagement)


Konsep keterikatan kerja (work engagement atau employee
engagement) pertama kali dikemukakan oleh Kahn (1990: 693) yang
mendefinisikan employee engagement sebagai upaya dari anggota
organisasi untuk mengikatkan diri mereka dengan perannya di pekerjaan.
Dalam kondisi ini, orang akan melibatkan dan mengekspresikan dirinya
secara fisik, secara kognitif dan secara emosional selama ia sedang
memainkan peran kerjanya. Aspek kognitif dalam employee engagement
melibatkan kepercayaan karyawan terhadap organisasi, pemimpin dan
kondisi kerjanya. Aspek emosional melibatkan perasaan karyawan
terhadap ketiga hal diatas, apakah karyawan bersikap positif atau negatif
terhadap organisasi dan para pemimpinnya. Aspek fisik melibatkan
seberapa banyak energi fisik yang didayagunakan oleh karyawan dalam
menyelesaikan tugasnya. Kahn (1990: 697) menyimpulkan bahwa,
employee engagement berarti kehadiran karyawan baik secara psikologis
maupun fisik ketika ia menjalankan perannya dalam organisasi.
The Institute of Employment Studies di Inggris mendefinisikan
employee engagement sebagai suatu sikap positif yang dianut oleh
karyawan terhadap organisasi beserta sistem nilai yang ada di dalamnya
(Rich dan Lepine, 2010: 631). Seorang karyawan dengan engagement
yang tinggi akan memiliki kepedulian dan memahami konteks bisnis dan
bekerja bersama rekannya untuk memperbaiki kinerja dalam regu
kerjanya demi keuntungan perusahaan (Rich dan Lepine, 2010: 635).
Seorang karyawan dengan “rasa terikat” yang tinggi sebagai seorang
yang secara psikologis berkomitmen terhadap tugas dan perannya.
Schaufeli et al. (2009: 899) menyatakan bahwa faktor penggerak
paling besar employee engagement adalah bahwa karyawan memiliki
rasa dilibatkan dan dihargai oleh organisasi. Inisiatif-inisiatif perusahaan
dapat memberikan faktor ini, tetapi tetap tergantung pada individu
karyawan serta inisiatif apa yang mereka inginkan. Employee
engagement sebagai perekat atau sesuatu yang melekat pada organisasi,
mendukung strategi dan nilai-nilai perusahaan, sehingga karyawan
termotivasi untuk bekerja keras menuju kesuksesan. Employee
engagement sebagai “kadar sejauh mana orang-orang menikmati
pekerjaannya, yakin akan apa yang dikerjakan, serta merasakan nilai
penting dengan melakukan pekerjaan itu” (May et al., 2004: 25).
Definisi-definisi ini memberikan sejumlah kondisi yang dapat
dijadikan ukuran atau target untuk dicapai oleh sebuah organisasi dalam
upaya untuk menumbuhkan “rasa terikat” pada karyawannya. Definisidefinisi ini juga menunjukkan bahwa peningkatan dalam employee
engagement akan mengarah pada peningkatan produktifitas, perbaikan
yang berkesinambungan, turunnya tingkat turn-over karyawan serta
tumbuhnya komitmen terhadap keberhasilan organisasi.
Literatur psikologi yang tersedia sampai saat ini masih belum
memberikan gambaran yang jelas mengenai konstruk dari employee
engagement. Menurut Halbesleben dan Wheeler (2008: 253) employee
engagement sebagai kontinum atau rangkaian dari stress dan sebagai
antitesis dari burn-out atau kejenuhan karyawan. Salanova dan Schaufeli
(2008: 340) mengatakan bahwa employee engagement adalah kombinasi
dari keterlibatan individu dan kepuasan karyawan dan juga dengan
antusiasme karyawan terhadap pekerjaannya.
Kahn (1990: 694) menempatkan employee engagement sebagai
konstruk yang berbeda dari konstruk lain seperti keterlibatan dalam kerja,
komitmen atau motivasi; Kahn menekankan bahwa employee
engagement berfokus pada pengalaman psikologis dalam pekerjaan,
dapat membentuk proses hadir atau tidaknya pikiran dan hati seorang
karyawan ketika melaksanaan tugas. Kahn berargumen bahwa
engagement adalah konstruk multidimensional, karyawan dapat terikat
dengan pekerjaannya baik secara emosional, secara kognitif atau secara
fisik. Secara kognitif diwakili oleh pernyataan “pekerjaan di tempat kerja
saya hampir menyita seluruh perhatian saya, sehingga saya hampir lupa
hal-hal lainnya selama di tempat kerja”. Dimensi emosional diwakili
dengan pernyataan “Di tempat kerja, saya meletakkan hati saya dalam
pekerjaan”. Sedangkan dimensi fisik diwakili pernyataan “saya
mendayagunakan banyak energi dalam rangka menyelesaikan pekerjaan
saya”. Untuk perilaku psikologis dan perilaku organisasional, dua
dimensi utama adalah emosional dan kognitif. Karyawan dapat terikat
dalam satu dimensi dan tidak terikat dalam dimensi yang lain. Semakin
besar keterikatannya pada tiap dimensi, semakin besar pula
keterikatannya secara pribadi.
Kahn juga menegaskan bahwa karyawan dapat mengalami
dimensi dari keterikatan atau ketidak-terikatan pribadi ini dalam tugas
sehari-hari. Keterikatan terjadi ketika seseorang peduli dengan
pekerjaannya secara kognitif, dan/atau secara emosional terhubung
dengan karyawan lainnya. Karyawan yang tidak terikat (disengaged
employees) memisahkan diri mereka dari peran mereka dan menarik diri
secara emosional dan kognitif. Mereka akan tampil seperti robot, tidak
menunjukkan upaya serta tidak memerankan tanggungjawabnya secara
lengkap (Kahn, 1990: 699).
Dalam teorinya tentang employee engagement dan
Disengagement, Kahn (1990: 691) mengemukakan bahwa bentuk
keterlibatan merupakan ekspresi dari jati diri yang diinginkan oleh
seseorang dan sekaligus bentuk hubungan yang diinginkannya dengan
orang lain. Disengagement merupakan penarikan diri seseorang dari jati
diri yang diinginkannya serta dari perilaku yang diinginkannya, yang
juga mempromosikan lemahnya keterikatan, ketidakhadirannya secara
emosional, serta perilaku pasif. Pilihan untuk mengekspresikan atau
menjauhi jati diri yang diinginkannya, merupakan bentuk dari tindakan
sosial, emosional dan fisik dari employee engagement. Manusia menjadi
terseret ke dalam pekerjaan mereka, secara fisik dan emosional, melalui
cara ia merumuskan dan menampilkan pengalaman kerjanya. Para
peneliti menghubungkan ekspresi diri dengan kreativitas, penggunaan
suara pribadi, ungkapan emosional, keaslian, komunikasi non-defensif,
keasyikan bermain (playfulness), dan perilaku etis (Kahn, 1990: 692).
Konstruk yang penting untuk memahami kondisi engagement
atau dis-engagement dari seorang karyawan di tempat kerja adalah rasabermakna, keamanan, dan ketersediaan dukungan di tempat kerja. Rasa
bermakna didefinisikan sebagai perasaan positif tentang adanya Return
on Investment (pengembalian investasi) dari peran dalam bentuk kinerja
(Kahn, 1990: 696). Keamanan didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menampilkan diri sendiri “tanpa rasa takut atau konsekuensi negatif
terhadap citra diri, status, atau karier (Kahn, 1990: 696). Adapun
ketersediaan dukungan didefinisikan sebagai “rasa memiliki sumber daya
fisik, emosional, dan psikologis yang diperlukan” untuk menyelesaikan
pekerjaan (Kahn, 1990: 697).
Keterikatan kerja (work engagement) selanjutnya berkembang ke
tingkat dimana konstruk psikologis ini dapat dipenuhi (Kahn, 1990: 699).
Teori dua-faktor dari Herzberg berjalan sejajar dengan yang teori
employee engagement; keduanya mengusulkan otonomi dalam
keberadaan, pengakuan atas diri dan pekerjaan, dan perasaan bermakna,
sebagai faktor-faktor intrinsik yang meningkatkan kebersediaan
karyawan untuk terlibat dalam pekerjaan (Saks, 2006: 277). Faktor-faktor
intrinsik (yaitu pentingnya kontribusi, pertumbuhan pribadi), dikatakan
telah benar-benar lebih memotivasi karyawan untuk terlibat dalam
pekerjaan mereka, dibandingkan dengan faktor-faktor ekstrinsik (yaitu
kompensasi, citra perusahaan).
Dalam teori Kahn identifikasi dan pemenuhan dari kebutuhan
individu diakui sebagai komponen penting dari employee engagement,
namun pemahaman tentang kebutuhan individu belum sepenuhnya
dieksplorasi atau dihubungkan dalam sebuah konseptualisasi. Teori
motivasi Maslow menyediakan sebuah kerangka kerja konseptual untuk
memahami kebutuhan dasar manusia serta memberikan konteks untuk
konseptualisasi employee engagement (Saks, 2006: 279).
Selain itu, penelitian Bakker dan Demerouti (2008: 211)
menunjukkan perlunya untuk memahami kebutuhan-kebutuhan manusia
yang berhubungan dengan keterlibatan dalam pekerjaan sebagaimana
yang dikonseptualisasikan dalam teori motivasi Maslow. Pentingnya
teori motivasi Maslow dalam kaitannya dengan employee engagement
adalah konseptualisasi dari masing-masing kebutuhan dasar. Secara
struktural, kebutuhan disusun berdasarkan urutan potensi (Bakker dan
Demerouti, 2008: 219). Kedua, kebutuhan disusun berdasarkan prioritasi
yang lebih mendasar dan penting untuk kelangsungan hidup; apabila
kebutuhan itu semakin penting, maka akan semakin cepat kebutuhan itu
muncul dalam hirarki (Bakker dan Demerouti, 2008: 219). Ketiga,
kebutuhan dipenuhi secara berurutan dari terendah ke tertinggi, sehingga
membentuk suatu hirarki kebutuhan yang dikelompokkan ke dalam dua
kategori, kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Kebutuhan ini, yang
masing-masing diurutkan sebagai kebutuhan fisiologis, keamanan,
kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki, harga diri, dan kebutuhan
aktualisasi diri, dinyatakan sebagai kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan
akan harga diri didefinisikan sebagai “keinginan untuk menghargai diri
sendiri dan orang lain secara stabil, dan dengan dasar yang kuat “.
Kebutuhan aktualisasi diri didefinisikan sebagai penyelesaian pekerjaan
yang sangat memuaskan. Dorongan untuk aktualisasi diri sejajar dengan
konsep employee engagement seperti yang digunakan dalam teori Kahn
dalam konseptualisasi tentang dorongan untuk pemenuhan diri,
kebutuhan yang mendalam untuk kepuasan emosional yang didambakan
manusia, untuk menjadi seorang karyawan yang handal dan
berkemampuan.
Gallup Management Journal (2005 dalam Rich dan Lepine, 2010:
629) berdasarkan survey Q12 nya, membagi karyawan dalam tiga
kategori dengan ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Karyawan yang “terikat” (engaged employees), mereka bekerja
dengan bersemangat dan merasakan hubungan yang dalam dengan
perusahaan mereka. Mereka umumnya menjadi bagian dari lahirnya
ide-ide inovatif yang memajukan perusahaan.
b. Karyawan yang “tidak terikat” (not-engaged employees): secara
praktis mereka tidak lagi memikirkan kemajuan perusahaan. Mereka
seperti orang yang tidur sambil berjalan. Mereka melewatkan waktu
mereka untuk bekerja, tetapi tidak cukup memberikan energi atau
semangat dalam pekerjaannya.
c. Karyawan yang “lepas” (actively disengaged employees): mereka
bukan hanya tidak puas dengan tempat kerjanya, mereka bahkan
secara terbuka menampakkan ketidak-puasannya di tempat kerja.
Setiap hari mereka seolah menumpang atau bahkan menggerogoti apa
yang dihasilkan oleh rekan-rekan kerjanya.
Babcock et al. (2010: 322) mengatakan bahwa employee
engagement merupakan pelibatan karyawan secara intensif dalam
tahapan-tahapan keterikatan yang tinggi yang menciptakan pemahaman,
dialog, umpan balik dan akuntabilitas, membekali orang untuk secara
kreatif menyelaraskan unit kerja mereka dengan unit-unit lain dan
pekerjaan perorangan dengan transformasi perusahaan secara
keseluruhan.
Mengenai arah dan hubungan antara employee engagement dan
variabel-variabel pekerjaan lainnya, beberapa ahli mengatakan bahwa
employee engagement dipengaruhi oleh aspek-aspek yang ada di tempat
kerja, sementara yang lain menekankan bahwa employee engagement
adalah apa yang dibawa seorang karyawan ke tempat kerja (Luthans dan
Peterson, 2002: 382). Yang hampir dapat digeneralisir adalah beberapa
peneliti menunjukkan persetujuan mereka dengan pendapat Kahn dengan
mengatakan bahwa employee engagement adalah kombinasi dari konteks
di tempat kerja dengan aspek lain yang dimediasi secara berbeda oleh
persepsi dan pengalaman karyawan secara kognitif dan emosional
(Markos dan Sridevi, 2010: 122)
Dalam pandangan manajemen, employee engagement
didefinisikan sebagai hubungan dua-arah yang positif antara karyawan
dengan organisasi, dimana kedua pihak sama-sama menyadari kebutuhan
masing-masing, dan saling membantu untuk memenuhi kebutuhan ini
(Markos dan Sridevi, 2010: 127). Karyawan dan organisasi yang merasa
terikat akan menunjukkan upaya kerja yang ekstra, dan masing-masing
meraih keuntungan bersama. Hal senada dinyatakan oleh Lanphear (2004
dalam Lin, 2010: 527): employee engagement adalah perekat antara
karyawan dengan organisasinya, bila seorang karyawan merasa terikat
dengan organisasinya, umumnya mereka akan mengerahkan upaya
ekstra. Teori-teori ini nampak lebih mengarah pada konstruk
discretionary effort, yaitu kebebasan atau keleluasaan dalam mengambil
keputusan atau untuk memberikan upaya yang melebihi apa yang
diharapkan.
Wefald dan Downey (2009: 95) mengidentifikasi empat faktor
yang mempengaruhi employee engagement, yang timbul melalui analisis
dari data penelitian mereka, yaitu: (a) lingkungan kerja, (b) atasan, (c)
karakteristik karyawan, dan (d) kesempatan untuk belajar.
a. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja didefinisikan sebagai karakteristik fisik dan
emosional dari tempat kerja, termasuk hubungan dengan rekan kerja
dan fungsi-fungsi dalam pekerjaan. Bagaimana perasaan seorang
karyawan tentang iklim lingkungan tempat mereka bekerja sangat
mempengaruhi tingkat keterkaitan mereka dengan tempat kerjanya.
Kebutuhan akan rasa aman, seperti merasa terlindungi, bebas dari
rasa takut, dan memiliki keteraturan merupakan kebutuhan dasar
manusia. Karyawan tidak dapat mengabaikan perasaan aman di
tempat kerja, dan bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, mereka dapat
menjadi lumpuh secara mental. Seorang karyawan mungkin hadir
secara fisik untuk bekerja, tetapi tidak demikian dengan mental dan
emosionalnya. Rasa aman juga berkontribusi dalam mengembangkan
perasaan bahwa dirinya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar,
seperti sebuah keluarga.
b. Supervisor
Supervisor didefinisikan sebagai setiap orang yang
bertanggungjawab secara langsung memimpin seorang karyawan atau
kelompok karyawan. Sebagai pengawas lini terdepan, salah satu
tugas penting yang harus banyak dilakukan seorang supervisor adalah
tentang Engagement, bagaimana ia membangun keterikatan antara
karyawan yang ada di bawahnya, dengan pekerjaan mereka. Sebab
utama dari lemahnya employee engagement adalah manajemen yang
buruk. Karyawan melihat perusahaan dari sudut pandang yang sama
sebagaimana mereka melihat atasan mereka.
c. Karakteristik karyawan
Karakteristik, keyakinan, dan filosofi kerja adalah hal-hal
yang unik pada manusia. Karakteristik karyawan didefinisikan
sebagai persepsi karyawan tentang dirinya sendiri, dan persepsi ini
juga diterapkannya secara aktif pada segala perannya dalam
kehidupan. Ada dua karakter unik dari para karyawan yaitu:
kebutuhan akan tantangan dan jiwa wirausaha. Adanya tantangan
akan kinerja tinggi akan meningkatkan keterkaitan mereka terhadap
pekerjaan. Sedangkan “jiwa wirausaha” mendorong keinginan
karyawan untuk suatu saat memiliki usaha sendiri.
d. Kesempatan belajar
Kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru di tempat kerja
merupakan hal yang sangat penting bagi karyawan. Belajar
didefinisikan sebagai “proses pengubahan perilaku, pola pikir, atau
pengaruh yang terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan
lingkungannya”. Sebuah lingkungan belajar di tempat kerja, juga
didefinisikan sebagai lingkungan yang memberikan ruang bagi
karyawan untuk mendapatkan ketrampilan dan pengetahuan yang
baru, tanpa perlu merasa khawatir akan pengaruhnya terhadap citra,
status dan karirnya

HUBUNGAN ANTARA KETERIKATAN KERJA DANPERILAKU KEWARGANEGARAAN ORGANISASIONAL



Perilaku extra-role yang dimiliki oleh para karyawan memiliki peran
penting dalam meningkatkan efektifitas sebuah organisasi. Perilaku extra-role
atau yang lebih dikenal dengan organizational citizenship behavior menurut
Organ (Chiang & Hsieh, 2012) merupakan perilaku inisiasi dari individu dalam
sebuah organisasi yang dapat meningkatkan keefektifan organisasi tanpa
adanya sistem imbalan atau reward. OCB yang dimiliki oleh karyawan dapat
memberikan manfaat bagi rekan kerja sebuah organisasi atau bagi organisasi
itu sendiri dengan cara mempengaruhi komitmen anggota organisasi baik
secara psikologis maupun sosial (Ariani, 2013). Dapat diketauhi bahwa OCB
mampu meningkatkan keefektifan, efisiensi, dan keseluruhan kinerja karyawan
dalam sebuah organisasi (Ariani, 2013).
Beberapa faktor yang mampu mempengaruhi OCB dijelaskan oleh
Kusumajati (2014) yaitu faktor budaya dan iklim organisasi, kepribadian,
dukungan organisasi, kualitas interaksi atasan dan bawahan, dan faktor masa
kerja. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana hubungan job
embeddedness dan OCB. Job embeddedness menurut Mitchel dkk (Nafei,
2015) yaitu sebuah kombinasi antara aspek material, finansial, dan aspek
psikologis yang membuat seseorang terikat dengan pekerjaannya. Terdapat
beberapa aspek dalam variabel job embeddedness diantaranya yaitu, fit, links,
dan sacrifice. Sementara pada variabel organizational citizenship behavior
terdapat aspek-aspek diantarnya yaitu altruism, conscientiousness, courtesy,
sportsmanship dan civic virtue.
Aspek fit dalam variabel job embeddedness memiliki arti sejauh mana
kehidupan seseorang sejalan dengan pekerjaan mereka. Individu yang memiliki
aspek ini harus memiliki tujuan, nilai yang sesuai dengan budaya organisasi
serta tuntutan pekerjaan yang dimilikinya. Cho dan Ryu (2009) menemukan
bahwa semakin seseorang merasa ada kecocokan dengan pekerjaannya dan
organisasinya maka OCB akan muncul secara lebih wajar. Karyawan memiliki
cara untuk mempersepsikan karakteristik organisasi yang dapat memicu
timbulnya organizational citizenship behavior. Robbins dan Judge (Nafi &
Indrawati, 2017) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki persepsi positif
mengenai pekerjaannya yang merupakan hasil evaluasi terhadap beberapa
karakteristik pekerjaannya cenderung akan berbicara hal positif mengenai
organisasinya, membantu rekan kerja yang lain, serta karyawan yang memiliki
persepsi positif atas evaluasi terhadap beberapa aspek dalam pekerjannya akan
lebih menunjukkan perilaku extra-role dalam organisasi sebagai respon
pengalaman positif yang mereka miliki.
Aspek job embeddedness yang kedua yaitu links. Links adalah sebuah
hubungan baik formal ataupun informal antara individu, institusi, atau dengan
orang lain dalam sebuah organisasi. Mitchell, dkk (2004) menemukan bahwa
secara khusus seseorang yang merasa memiliki keterkaitan dengan orang lain
baik rekan kerja maupun atasan akan mampu menunjukkan perilaku menolong.
Hal ini dapat dikaitkan dengan aspek OCB yaitu altruism. Altruism merupakan
sebuah perilaku dimana karyawan menolong rekan kerjanya untuk
menyelesaikan masalah yang relevan dengan sebuah organisasi. Aspek ini
mampu terbentuk apabila terdapat hubungan atau interaksi yang baik antara
atasan dan bawahan. Penelitian yang dilakukan oleh Novliadi (2006)
menemukan bahwa interaksi antara atasan dan bawahan yang berkualitas baik
akan memberikan peningkatan dalam produktifitas serta kinerja karyawan dan
juga mampu meningkatkan rasa percaya bawahan kepada atasan sehingga para
karyawan yang mempersepsikan kualitas interaksi atasan dan bawahan secara
positif akan merasa berkewajiban untuk memberikan timbal balik atau merasa
memiliki hutang budi kepada organisasi.
Aspek job embeddedness yang ketiga yaitu sacrifice. Sacrifice memiliki
arti sebagai persepsi individu mengenai pengorbanan baik secara fisik maupun
psikologis ataupun persepsi akan adanya sebuah manfaat yang hilang ketika
meninggalkan pekerjaan tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Mitchell, dkk
(2004) menemukan bahwa apabila seorang karyawan mengabaikan kesempatan
untuk membantu rekan kerja lain ataupun melakukan perilaku extra-role dalam
organisasi maka karyawan tersebut akan kehilangan peluang dan manfaat
untuk membantu organisasi.

Aspek-Aspek Keterikatan Kerja(Job Embeddedness)


Terdapat tiga aspek mengenai job embeddedness yang diungkapkan oleh
Mithcell dkk (Nafei, 2015) diantaranya:
a. Kesesuaian (Fit)
Fit merupakan sejauh mana tingkat kesamaan atau kompatibilitas
antara budaya yang dimiliki individu dengan organisasi serta kesesuaian
ketertarikan yang dimiliki karyawan dengan penghargaan yang
organisasi berikan. Fit juga bisa diartikan sebagai persepsi karyawan
ketika mereka merasa nyaman dengan lingkungan organisasinya. Fit
dapat didefinisikan dengan sejauh mana kehidupan seseorang sejalan
dengan pekerjaan mereka. Individu yang memiliki aspek ini harus
memiliki tujuan, nilai yang sesuai dengan budaya organisasi serta
tuntutan pekerjaan yang dimilikinya. Seseorang yang merasakan adanya
kecocokan dengan organisasi mereka, maka akan semakin sulit untuk
meninggalkannya. Pada intinya fit adalah tingkat kesesuaian, kesamaan
ataupun kecocokan antara individu dengan organisasinya.
b. Hubungan (Links)
Links diartikan sebagai sejauh mana seseorang mempunyai
hubungan dengan orang lain ataupun dengan sebuah pekerjaan/aktivitas.
Links juga bisa dikarakteristikkan dengan sebuah koneksi atau hubungan
baik formal ataupun informal antara individu, institusi, atau dengan
orang lain dalam sebuah organisasi. Aspek ini juga dapat berarti masingmasing individu memiliki koneksi atau hubungan dengan rekan kerja
lain, tim kerja, maupun organisasi dimana mereka terlibat. Semakin baik
hubungan seseorang dengan keluarga, organisasi, atau perusahaannya
maka semakin sulit mereka meninggalkannya dan secara otomatis
mereka mereka dikatakan semakin melekat dengan hal-hal tersebut.
c. Pengorbanan (Sacrifice)
Sacrifice merupakan persepsi individu mengenai pengorbanan
baik secara fisik maupun psikologis ataupun persepsi akan adanya
sebuah manfaat yang hilang ketika meninggalkan pekerjaan tertentu.
Sacrifice dapat berarti sebuah perasaan baik secara fisik maupun
psikologis yang dirasakan ketika meninggalkan organisasi mereka.
Perasaan atau persepsi mengenai pengorbanan ini hanya dapat dirasakan
ketika individu akan berpindah ke organisasi yang baru

Pengertian Keterikatan Kerja (Job Embeddedness)


Job embeddedness menurut argumen yang dikeluarkan oleh Feldman
(Nafei, 2015) adalah ketika individu bisa terjerat dengan situasi sekitarnya
sehingga mereka sulit memisahkan diri dari situasi tersebut. Definisi lain
mengenai job embeddedness juga dikemukakan oleh Granvoetter (Nafei,
2015) yaitu sebuah konsep baru dimana seseorang terikat secara baik dengan
kehidupan sosial di sebuah organisasi. Yao dkk (Crossley, 2007)
mengansumsikan job embeddedness sebagai konstrak yang terdiri dari
kekuatan kontekstual, perseptual yang mengikat individu kepada lokasi,
rekan kerja, serta masalah di tempat kerja.
Mitchell dkk (Crossley, 2007) mendefinisikan job embeddedness dengan
sebuah kekuatan atau power yang dimiliki seseorang sehingga dapat
membuat mereka terhindar dari meninggalkan pekerjaannya. Mitchell (Afsar
& Badir, 2016) menambahkan bahwa job embeddedness merupakan sebuah
gambaran komprehensif yang menggambarkan hubungan antar rekan kerja.
Mitchell juga mengatakan bahwa job embeddedness bersifat mengikat
seseorang dengan organisasi, rekan kerja di organisasi tersebut. Mitchell dkk
(Nafei, 2015) masih berargumen bahwa job embeddedness merupakan
sebuah kombinasi antara aspek material, finansial, dan aspek psikologis yang
membuat seseorang terikat dengan organisasinya.
Berdasarkan beberapa paparan mengenai job embeddedness yang sudah
dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa job embeddedness merupakan
sebuah konsep dimana seseorang merasa terikat kuat dengan organisasinya
sehingga mereka akan lebih memilih untuk tetap berada dan terlibat dalam
suatu perusahaan daripada meninggalkannya

Faktor-Faktor Perilaku Kewarganegaraan Organisasional(Organizational Citizenship Behavior)


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi OCB, diantaranya
(Kusumajati, 2014):
a. Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi
Apabila organisasi mampu memberi sebuah iklim organisasi yang
dipersepsi secara positif oleh karyawannya maka akan memunculkan
perilaku OCB. Iklim organisasi merupakan lingkungan internal
organisasi. Setiap perusahaan pasti memiliki iklim organisasi yang
berbeda. Iklim organisasi yang terbuka akan mampu tercipta apabila
karyawan sebuah organisasi memiliki persepsi positif terhadap
organisasinya. Salah satu hal penting dalam menentukan tingkah laku
individu dalam organisasi adalah iklim organisasi, karena hal tersebut
memuat persepsi seseorang mengenai apa yang telah diberikan oleh
perusahaan (Prihatsanti & Dewi, 2010)
b. Kepribadian
Kepribadian seseorang berperan penting dalam perilaku kerja,
dengan adanya sikap keterbukaan akan sebuah pengalaman, kesadaran
serta adanya stabilitas emosional merupakan ciri kepribadian dalam
memunculkan perilaku OCB.
c. Dukungan Organisasi
Persepsi seseorang mengenai adanya dukungan yang diberikan
oleh organisasi dapat memunculkan perilaku OCB. Karyawan organisasi
20
yang merasa didukung oleh perusahaannya maka akan memberikan
feedback terhadap organisasi tersebut.
d. Kualitas Interaksi Atasan dan Bawahan
Adanya kesediaan seorang atasan menggunakan hak kuasanya
untuk bisa membantu bawahannya menyelesaikan masalah yang timbul
dapat memicu munculnya perilaku OCB. Adanya interaksi antara atasan
dan bawahan yang berkualitas akan memberikan beberapa peningkatan
pada produktifitas kerja dan memicu adanya perilaku OCB.
e. Masa Kerja
Masa kerja bisa dikatakan sebagai predictor adanya perilaku OCB
karena masa kerja dapat mewakili adanya sebuah pengukuran terhadap
investasi karyawan di organisasi.
f. Jenis Kelamin
Adanya perbedaan yang cukup signifikan dalam sikap kerja
seperti menolong orang lain, bersahabat, maupun bekerja sama dengan
orang lain antara laki-laki dan perempuan. Penelitian yang dilakukan
oleh Konrad (Kusumajati, 2014) menyebutkan bahwa wanita memiliki
perilaku OCB yang lebih tinggi dibanding laki-laki.

Aspek-Aspek Organizational Citizenship Behavior (OCB)


Organ (2005) menyebutkan terdapat 5 aspek dari OCB, yaitu:
a. Perilaku Mementingkan Orang Lain (Altruism)
Altruism merupakan kebebasan karyawan dalam berperilaku
dimana karyawan menolong rekan kerjanya untuk menyelesaikan
masalah yang relevan dengan sebuah organisasi. Aspek ini mengarahkan
bahwa perilaku menolong karyawan lain bukalah kewajiban yang
dimilikinya.
b. Perilaku Kewarganegaraan (Conscientiousness)
Conscientiousness adalah kebebasan karyawan untuk berperilaku
dimana perilaku karyawan tersebut melampaui persyaratan minimum
pekerjaan mereka di dalam organisasi yang meliputi beberapa hal,
diataranya yaitu dalam hal mematuhi aturan, absensi, dan regulasi.
c. Perilaku Adil dan Jujur (Sportmanship)
Sportmanship merupakan keinginan karyawan organisasi untuk
memberikan toleransi terhadap keadaan sekitar yang kurang ideal tanpa
mengeluh, mencerca ataupun menentang terhadap hal tersebut. Individu
yang memiliki aspek sportsmanship yang baik maka akan mampu
bertoleransi pada keadaan yang tidak nyaman.
d. Perilaku Menghormati Orang lain (Courtesy)
Courtesy adalah sebuah perilaku yang dilakukan oleh karyawan
perusahaan atau organisasi untuk menghindari konflik interpersonal antar
rekan kerja. Individu yang memiliki courtesy yang baik akan mampu
memperhatikan dan menghargai perilaku rekan kerja dalam satu timnya.
e. Perilaku Berdedikasi (Civic Virtue)
Civic Virtue merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan
yang mengindikasikan adanya tanggungjawab serta partisipasi seorang
karyawan dalam kehidupan organisasinya. Aspek ini mengarahkan pada
tanggungjawab dari organisasi yang diberikan pada karyawannya untuk
meningkatkan kualitas pekerjaannya.

Pengertian Perilaku Kewarganegaraan Organisasional (OrganizationalCitizenship Behavior)


Morman dan Blakely (Prihatsanti & Dewi, 2010) mendefinisikan OCB
sebagai perilaku yang kerap dilakukan oleh karyawan sebuah organisasi atau
perusahaan yang menunjang kepentingan organisasi walaupun tidak secara
langsung membawa keuntungan pada karyawan itu sendiri. OCB menurut
Rotundo & Sackett (Ariani, 2013) merupakan perilaku yang memberikan
kontribusi untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara berpartisipasi
langsung pada lingkungan sosial dan lingkungan psikologis. Ariani (2013)
mengkonsepkan OCB sebagai perilaku positif dan adanya sebuah kemauan
untuk menggunakan energi yang akan memberikan kesuksesan bagi
organisasi. William dan Anderson (Chiang & Hsieh, 2012) mengkonsepkan
OCB sebagai sebuah perilaku kerjasama yang proaktif atau bisa dikatakan
sebagai perilaku membantu diantara sebuah tim kerja dalam organisasi,
perilaku OCB bagi sebuah organisasi dilakukan atau ditunjukkan untuk
mengembangkan organisasi agar menjadi lebih baik lagi.
Organ (2005) mendefinisikan organizational citizenship behavior
sebagai sebuah perilaku yang berusaha untuk memberikan manfaat bagi
organisasi yang melampaui harapan organisasi. Organ (2005) menyatakan
bahwa OCB merupakan bentuk perilaku extra-role yang meningkatkan
afektif pada karyawan organisasi. Organ (Chiang & Hsieh, 2012)
mengatakan bahwa OCB merupakan perilaku inisiasi dari individu dalam
sebuah organisasi yang dapat meningkatkan keefektifan organisasi tanpa
adanya sistem imbalan atau reward. Organ (Cho & Ryu, 2009) juga
mendefiniskan OCB sebagai suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh seorang
karyawan tetapi secara tidak langsung pekerjaan tersebut tidak ada di dalam
job description individu tersebut.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa organizational
citizenship behavior adalah perilaku inisiasi dari karyawan organisasi yang
dilakukan dengan suka rela tanpa adanya sistem reward dan itu memberikan
manfaat bagi keefektifan sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya.

Tujuan Penetapan Harga


Setiap kegiatan pemasaran termasuk penetapan harga harus
diarahkan ketercapainya suatu tujuan. Dengan kata lain, manajemen
harus menentukan lebih dahulu tujuan penetapan harga itu sendiri.
(Kotler, 2012:473) menyatakan bahwa perusahaan dapat
mengejar salah satu dari lima tujuan utama melalui penetapan harga,
yaitu :
1) Survival (Bertahan Hidup)
Tujuan ini dipilih oleh perusahaan jika perusahaan
mengalami kelebihan kapasitas, persaingan yang ketat, atau
keinginan konsumen yang berubah-ubah. Karena itu perusahaan
akan menetapkan harga jual yang rendah dengan harapan pasar
akan peka terhadap harga.
2) Maximum Current Profit (Laba Sekarang Maksimum)
Perusahaan memilih tujuan ini akan memperkirakan
permintaan dan biaya yang berkaitan dengan berbagai alternatif
harga dan memilih harga yang akan menghasilkan laba sekarang,
arus kas, atau tingkat pengembalian investasi yang maksimum.
3) Maximum Market Share (Pangsa Pasar Maksimum)
Perusahaan yang memilih tujuan ini yakin bahwa volume
penjualan yang lebih tinggi kan menghasilkan biaya per-unit yang
lebih rendah dan laba jangka panjang yang lebih tinggi.
Perusahaan menetapkan harga terendah dengan asumsi bahwa
pasar sangat peka terhadap perubahan harga, sehingga harga rendah
tersebut merangsang pertumbuhan pasar, itu disebut harga penetrasi
pasar (market-penetration pricing).
4) Maximum Market Skimming (Menyaring Pasar Secara Maksimum)
Dalam tujuan ini perusahaan menetapkan harga tertinggi bagi
setiap produk baru yang dikeluarkan, dimana kemudian secara
berangsur-angsur perusahaan menurunkan harga untuk menarik
segmen lain yang peka terhadap harga. Tujuan ini dapat diterapkan
dengan adanya kondisi-kondisi atau asumsi-asumsi sebagai berikut:
a) Biaya per unit untuk memproduksi volume kecil tidak terlalu
tinggi.
b) Harga awal yang tinggi tidak menarik lebih banyak pesaing
kepasar.
c) Harga yang tinggi menyatakan citra produk yang unggul.
5) Product-Quality Leadership (Kepemimpinan Mutu-Produk)
Tujuan ini dipilih oleh perusahaan jika perusahaan ingin
menjadi pemimpin pasar dalam hal kualitas produk, dan harga yang
ditetapkan menjadi relatif tinggi untuk menutupi biaya-biaya
penelitian dan pengembangan serta biaya untuk menghasilkan mutu
produk yang tinggi.
Tujuan-tujuan lainnya, harga ditetapkan dengan tujuan
mencegah masuknya pesaing, mempertahankan loyalitas
pelanggan, mendukung penjualan ulang, atau menghindari campur
tangan pemerintah.
Tujuan penetapan harga diatas, memiliki implikasi penting
terhadap strategi persaingan perusahaan. Tujuan yang ditetapkan
harus konsisten dengan cara yang ditempuh perusahaan dalam
menempatkan posisi relatif dalam persaingan. Misalnya,
pemelihan tujuan berorientasi pada laba mengandung makna bahwa
perusahaan akan mengabaikan harga pesaing. Pemilihan tujuan
yang berorientasi pada volume penjualan dilandaskan pada strategi
mengalahkan atau mengatasi persaingan. Sedangkan tujuan yang
berorientasi stabilitas harga didasarkan pada strategi menghadapi
atau memenuhi tuntutan persaingan. Dalam tujuan yang
berorientasi pada volume penjualan dan stabilitas, perusahaan harus
dapat menilai tindakan pesaingnya. Tujuan yang berorientasi pada
citra, perusahaan berusaha menghindari persaingan dengan jalan
melakukan diferensiasi produk atau dengan jalan melayani segmen
pasar khusus

Pengertian harga


Selain inovasi dan kualitas produk hal yang terpenting lainnya
yang harus diperhatikan perusahaan adalah harga produk. Perusahaan
harus mampu menarik konsumen dengan dengan menentukan harga
yang tepat terhadap produk yang akan dipasarkan, karena harga
merupakan faktor yang penting yang dapat menjadi bahan
pertimbangan konsumen untuk memutuskan apakah akan membeli
barang tersebut atau tidak. Price this is most variable sensitiveness
and even become a factor of crisis in the mix of pemasaran (Vera
Clara Simanjuntak : 2016).
Menurut Wicaksono (2016:55) mengemukakan konsep harga
dalam kompetisi pemasaran, dimana harga adalah suatu nilai yang
diberikan terhadap produk untuk memposisikan produknya lebih
unggul daripada produk lain dengan memperhatikan daya beli
konsumen dan daya saing para pesaingnya.
Selanjutnya Sasongko (2013:22) menjelaskan bahwa
konsumen akan menilai harga produk adalah kompetitif apabila harga
yang ditetapkan layak dengan kualitas produknya dan tidak kalah
dengan harga yang ditetapkan para pesaing atas produk.
Dari sudut pandang konsumen harga sering kali dipergunakan
sebagai indikator bilamana harga tersebut dihubungankan dengan
manfaat yang dirasakan atas suatu produk, atau dalam arti kata harga
merupakan pengorbanan bagi konsumen dalam mendapatkan suatu
produk. Namun secara sederhana harga dapat diartikan sebagai
sejumlah uang (satuan moneter) dana atau aspek lain (non moneter)
yang mengandung kegunaan tertentu yang diperlukan untuk
mendapatkan suatu produk / jasa.
Sementara menurut (Sunyoto, 2013:15) harga adalah nilai yang
disebutkan dalam mata uang atau medium monometer lainnya sebagai
alat tukar. Pengertian harga dalam ilmu ekonomi adalah atribut produk
yang berkaitan dengan kegunaan dan nilai suatu produk. Harga
merupakan aspek yang menggambarkan kualitas produk dan
mempengaruhi terhadap persepsi yang akan ditimbulkan oleh
konsumen

Inovasi Produk


Inovasi ialah suatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati
sebagai sesuatu yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang, baik
berupa hasil invensi atau diskoveri yang diadakan untuk mencapai tujuan
tertentu. Baru di sini diartikan mengandung ketidaktentuan (uncertainty),
artinya sesuatu yang mengandung berbagai alternatif. Sesuatu yang tidak
tentu masih terbuka berbagai kemungkinan bagi orang yang mengamati,
baik mengenai arti, bentuk, manfaat, dan sebagainya. Dengan adanya
informasi berarti mengurangi ketidak tentuan tersebut, karena dengan
informasi itu berarti memperjelas arah pada satu alternatif tertentu, atau
dengan kata lain Inovasi adalah suatu proses pembaharuan atau
penyegaran dari sebuah produk ataupun jasa yang sudah ada, dengan
suatu hal yang lebih baik. Guna mempertahankan pangsa pasar untuk
dapat lebih diminati konsumen.
Menurut McDaniel, dalam Chyntia dan Hendra,(2014:1217)
Inovasi merupakan proses no-linear dari dua komponen meliputi
implementasi kreativitas dan inovasi. Pada awal proses, kreativitas
mendominasi dan kemudian, akan didominasi oleh proses implementasi
inovasi. Inovasi dalam kewirausahaan terbagi atas dua tipe inovasi yang
membentuk keuntungan bagi suatu usaha dengan cara yang berbeda yaitu
inovasi produk dan inovasi proses.
Sedangkan Kotler & Keller (2012) mengemukakan dimensi
inovasi produk:
a. Main power menyeimbangkan antara kemampuan seseorang dengan
kebutuhan perusahaan,
b. Materials, penyesuaian bahan baku dan bahan penunjang lainnya
dalam pelaksanaan produksi.
c. Machine dibutuhkan untuk membantu kelancaran proses produksi.
Diapun berpendapat bahwa Inovasi dapat terus berkembang apabila
dilakukan perubahan secara terus menerus, hadir dalam ritme
kehidupan modern, dan mutakhir

Indikator Keputusan Pembelian


Menurut Kotler (2016:176) Indikator yang mencirikan
keputusan pembelian yaitu:
1) Kebutuhan dan keinginan akan suatu produk
2) Kesesuaian harga
3) Keinginan mencoba berbagai produk yang bervariasi (Rangsangan
/Motivasi)
4) Kemantapan akan kualitas suatu produk
5) Keputusan pembelian ulang
6) Bonus akhir tahun
7) Gaya hidup dilingkunganya tempat tinggal

Indikator Citra Merek


Menurut Biel M. Anang Firmansyah (2019:81) indicator yang
membentuk citra merek sebagai berikut:
1) Citra pembuat yaitu sekumpulan asosiasi yang dipersiapkan
konsumen terhadap perusahaan yang membuat suatu barang atau
jasa.
2) Citra pemakai yaitu sekumpulan asosiasi yang dipersiapkan
konsumen terhadap pemakai yang menggunakan suatu barang atau
jasa
3) Citra produk yaitu sekumpulan asosiasi yang dipersiapkan
konsumen terhadap suatu barang atau jasa

Manfaat Citra Merek


Menurut Tjiptono (2016) merek juga memiliki manfaat sebagai
berikut:
1) Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau
pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam
pengorganisasian sediaan dan pencatatan akuntansi.
2) Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik.
Merek bisa mendapatkan perlindungan properti intelektual. Nama
merek bisa diproteksi melalui merek dagang terdaftar (registered
trademarks) proses pemanufaktur bisa dilindungi melalui hak paten
dan kemasan bisa diproteksi melalui hak cipta (copyright) dan
desain.
3) Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga
mereka bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi di lain
waktu.
4) Sarana untuk menciptakan asosiasi dan makna unik yang
membedakan produk dari para pesaing.
5) Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan
hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam
benak konsumen.
6) Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa
dating
Selain itu citra merek yang disampaikan, ada pula Sopiah dan
sangadji (2016:74) citra merek memiliki manfaat sebagai:
1) Konsumen dengan citra yang positif terhadap suatu merek, lebih
memungkinkan untuk melakukan pembelian
2) Perusahaan dapat mengembangkan lini produk dengan manfaatkan
citra positif yang telah terbentuk terhadap merek produk lama.

Manfaat Merek


Merek sangat dibutuhkan oleh suatu produk karena selain merekmerek memiliki nilai yang kuat merek juga memilki manfaat bagi
produsen, konsumen dan publik seperti yang dikemukakan Bilson
Simamora dalam buku M. Annang Firmansyah (201;9153), yaitu:
1) Bagi Konsumen manfaat merek yaitu:
Merek dapat menceritakan sesuatu kepada pembeli tentang
suatu mutu produk maupun jasa. Merek mampu menarik perhatian
pembeli terhadap produk-produk baru yang mungkin akan
bermanfaat bagi mereka.
2) Manfaat merek bagi perusahaan
Merek memudahkan penjual dalam mengolah pesanan dan
menelusuri masalah yang timbul. Merek dapat memberikan
perlindungan hukum atas keistimewaan yang dimiliki oleh suatu
produk. Merek memungkinkan untuk menarik sekelompok pembeli
yang setia dan menguntungkan. Merek membantu penjual dalam
melakukan segmentasi pasar.
3) Manfaat Merek Bagi Publik
Pemberian merek memungkinkan mutu produk lebih
terjamin dan lebih konsisten. Merek dapat meningkatkan efisiensi
pembeli karena merek dapat menyediakan informasi tentang produk
dan dimana dapat membeli produk tersebut. Merek dapat
meningkatkan inovasi produk baru, karena produsen terdorong
untuk menciptakan keunikan baru guna mencegah peniruan dari
para pesaing.
Berbicara tentang manfaat merek bagi produsen menurut M.
Anang Firmansyah (2019):
1) Memudahkan perusahaan dalam menangani produk
2) Membantu dalam mengatur persediaan dan laporan keuangan
3) Merek juga membantu dalam memberikan perlindungan hukum
4) Brand name dapat di lindungi melalui merek dagang yang terdaftar 
5) Hak atas kekayaan intelektual menjamin perusahaan dapat denga
naman menanam modal dalam brand dan menuai keuntungan
semua aktivitas berharga

Definisi Merek


Menurut M. Anang Firmansyah (2019:21) Merek adalah suatu
nama, symbol, tanda desain atau gabungan diantaranya untuk dipakai
sebagai suatu perorangan, organisasi, atau perusahaan pada barang atau
jasa yang dimiliki untuk membedakan dengan product jasa lainnya.
Selain itu merek di definisikan dengan UU no.15 Tahun 2001 Pasal 1
ayat 1” menyatakan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar,
nama kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi
dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Indikator Harga


Pengukuran pada variabel Persepsi Harga mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Tjiptono dalam Ferdinan dan Nugraheni
(2013:134), yang terdiri dari:
1) Keterjangkauan Harga
Keterjangkauan harga adalah harga sebenarnya dari suatu
produk yang tertulis di suatu produk, yang harus dibayarkan oleh
konsumen dengan maksud yaitu, konsumen cenderung melihat
harga akhir dan memutuskan apakah akan mendapatkan nilai yang
baik seperti yang diharapkan. Harapan konsumen dalam melihat
harga yaitu:
a) Harga yang ditawarkan mampu dijangkau oleh konsumen
secara financial.
b) Penentuan harga harus sesuai dengan kualitas produk sehingga
konsumen dapat mempertimbangkan dalam melakukan
pembelian suatu produk yang diinginkan.
2) Kesesuaian Harga
Kesesuaian harga adalah penetapan harga yang dilakukan
oleh perusahaan dengan mempertimbangkan sasaran konsumen dan
perubahan situasi.
3) Daya Saing Harga
Daya Saing Harga berhubungan dengan bagaimana
efektivitas suatu perusahaan dalam menentukan harga di pasar
persaingan, dibandingkan dengan perusahaan lainnya yang
menawarkan produk atau jasa-jasa yang sama atau sejenis.
4) Harga Sesuai Manfaat
Harga Sesuai Manfaat adalah bagaimana suatu perusahaan
menetapkan harga sesuai dengan manfaat produk yang dijual

Faktor- Faktor Penentu Harga


Kekuatan utama yang umumnya yang mempengaruhi harga ada
beberapa faktor yang harus dipertimbangkan (Santiago Lopez 2016
:185) :
1) Lifecycle stage of the Service
Harga yang disarankan rendah untuk mencapai mangsa
pasar yang tepat jika merek atau produk yang kita tawarkan tidak
terkenal
2) Elastisitas permintaan fleksibilitas
Perusahaan menetapkan harga produknya dan jasa dibatasi
oleh elastisitas harga dari permintaan. Oleh karena itu organisasi
harus mengetahui apakah permintaan layanan elastis atau inelastic
untuk menentukan harga yang benar
3) Situasi persaingan pangsa pasar dan kekuatan persaingannya
4) Kebijakan harga, dengan demikian penentuan harg harus sesuai
dengan keseluruhan strategi pemasaran 4P

Tujuan Penetapan Harga


Menurut pandangan Murniati dan Sruyaning Bawono (2020):
Penetapan harga didasarkan pada strategi pemasaran yang diadopsi,
biaya struktur, aliran pendapatan, dan kesediaan konsumen untuk
membayar. Penetapan harga harus disesuaikan dengan segmen
konsumen yang dipilih. Selain itu tujuan penetapan harga menurut
Santiago Lopez (2016:154: kebijakan penetapan harga harus memiliki
tujuan yang sejalan dengan sasaran stabilitas. Di antara kemungkinan
yang kita temukan:
1) Pendapatan atau pangsa pasar
2) Pendapatan dan profitabilitas
3) Factor social

Peranan Harga


Harga memainkan peranan penting bagi perekonomian secara
makro, konsumen, dan perusahaan, yaitu (Fandy Tjiptono, 2016:471):
1) Bagi perekonomian. Harga produk mempengaruhi tingkat upah,
sewa, bunga dan laba. Harga merupakan regulator dasar dalam
sistem perekonomian, karena harga berpengaruh terhadap alokasi
faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, tanah, modal, dan
kewirausahaan.
2) Bagi konsumen. Mayoritas konsumen agak sensitif terhadap harga,
namun juga mempertimbangkan faktor lain (seperti citra, merek,
lokasi toko, layanan, nilai (value) dan kualitas). Selain itu, persepsi
konsumen terhadap kualitas produk sering kali dipengaruhi oleh
harga. Dalam beberapa kasus, harga yang mahal dianggap
mencerminkan kualitas tinggi, terutama dalam kategori specialty
products.
3) Bagi perusahaan. Harga produk adalah determinan utama bagi
permintaan pasar atas produk bersangkutan. Harga mempengaruhi
posisi bersaing dan pangsa pasar perusahaan. Dampaknya, harga
berpengaruh pada pendapatan dan laba bersih perusahaan. Singkat
kata, perusahaan mendapatkan uang melalui harga yang dibebankan
atas produk atau jasa yang dijualnya.

Definisi Harga


Harga adalah elemen bauran pemasaran yang dapat
menghasilkan pendapatan melalui penjualan. Oleh karena itu,
perusahaan harus dapat menetapkan harga produknya dengan baik dan
tepat sehingga konsumen tertarik dan mau membeli produk yang
ditawarkan agar perusahaan mendapatkan keuntungan. Selain itu harga
yang ditawarkan juga dapat menjadi factor setiap konsumen untuk
menjadikan patokan perbandingan.
Menurut (Kotler dan keller, 2016:115) Menyatakan bahwa
Harga adalah elemen dalam bauran pemasaran yang tidak saja
menentukan probabilitas tetapi juga sebagai sinyal untuk
mengomunikasikan proposal nilai suatu produk. Harga merupakan
suatu moneter atau ukuran lainnya yang ditukarkan agar memperoleh
hak kepemilikan atau penggunaan suatu barang atau jasa. Dan harga
merupakan unsur satu-satunya dari bauran pemasaran yang
memberikan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan di bilang
unsur bauran pemasaran lainnya.
Definisi merunut para ahli:
1) Menurut Phillip Kotler (2016:65), Harga adalah mirip dengan mata
uang, yang berfluktuasi tergantung pada permintaan pasar
2) Menurut Fandy Tjiptono (2016: 218) menyebutkan bahwa harga
merupakan satu-satunya unsur bauran pemasaran yang
mendatangkan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan.
3) Menurut Shinta dalam jurnal Pertiwi, dkk (2016:181) harga adalah
suatu nilai yang dinyatakan dalam bentuk rupiah guna pertukaran /
transaksi atau sejumlah uang yang harus dibayar konsumen untuk
mendapatkan barang dan jasa.

Definisi Wirausaha


Istilah kewirausahaan berasal dari kata wirausaha. Kata wirausaha
merupakan gabungan dua kata yang menjadi satu, yakni kata wira dan
usaha. Wira yang artinya pahlawan, laki-laki yang bersifat jantan.
Kemudian, usaha artinya perbuatan, ikhtiar, kegiatan untuk menggapai
suatu tujuan. Maka, wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang
melakukan sesuatu.
Anwar (2014) berpendapat bahwa wirausaha adalah orang yang
menjalankan suatu usaha atau perusahaan dengan dua kemungkinan yakni
untung atau rugi. Oleh karena itu, seorang wirausaha harus memiliki
kesiapan mental, baik pada saat mengalami kerugian maupun keuntungan.
Menurut Robert D. Hisrich and Michael P. Peters (2002) dalam (H.
Mahmudin AS, SE., M.Si, Takdir S, SE., MS, & Zaid, SE., M.Si, 2015)
mengemukakan bahwa Entrepreneur is an individual who takes risks and
starts something new. (Pengusaha adalah seorang individu yang mengambil
risiko dan mulai sesuatu yang baru).
Menurut Prawirokusumo dalam (Anwar, 2014) menjelaskan bahwa
wirausaha adalah orang yang melakukan berbagai upaya kreatif dan inovatif
dengan mengembangkan ide serta mengumpulkan sumber daya untuk
menemukan berbagai peluang dan perbaikan hidup.
Menurut Dewi (2017) mengatakan bahwa wirausaha yaitu orang
yang pintar dan memiliki bakat dalam mengenali produk baru, mempunyai
cara produksi baru, membuat susunan operasi untuk pengadaan produk
baru, memasarkan serta mengatur permodalan.

Definisi Kewirausahaan


Menurut Peter Drucker (1994) dalam (H. Mahmudin AS, SE., M.Si,
Takdir S, SE., MS, & Zaid, SE., M.Si, 2015) menyebutkan bahwa istilah
entrepreneur telah digunakan lebih dari 200 tahun. Entrepreneurship
berasal dari kata Perancis “Entreprendre”, yang artinya adalah “between”
and “to undertake” atau “to take” (melaksanakan/menjalankan,
melakukan/mengerjakan sesuatu pekerjaan). Kewirausahaan
(entrepreneurship) adalah suatu proses memulai bisnis baru,
mengorganisasikan sumber daya – sumber daya seperti : sumber daya
manusia (tenaga kerja), sumber daya alam (bahan baku).
Suryana (2006:45) dalam (Maskan, Permatasari, & Utaminingsih,
2018) menjelaskan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan inovatif dan
kreatif yang menjadi dasar, kiat, dan sumber daya untuk memperoleh
peluang dalam mencapai kesuksesan.
Kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk mengelola sesuatu
yang ada dalam diri Anda untuk dimanfaatkan dan ditingkatkan agar lebih
optimal (baik) sehingga bisa meningkatkan taraf hidup Anda di masa
mendatang ( (Ir. Hendro, 2011)
Menurut (Suryana, Kewirausahaan: Kiat dan Proses Menuju Sukses,
2014) terdapat enam hakikat penting dalam kewirausahaan, yaitu :

  1. Kewirausahaan adalah nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang
    dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat,
    proses, dan hasil bisnis.
  2. Kewirausahaan adalah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan
    berbeda.
  3. Kewirausahaan adalah proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam
    memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki
    kehidupan atau usaha.
  4. Kewirausahaan adalah nilai yang diperlukan untuk memulai dan
    mengembangkan usaha.
  5. Kewirausahaan adalah proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan
    berbeda yang dapat memberikan manfaat serta nilai lebih.
  6. Kewirausahaan adalah usaha untuk menciptakan nilai tambah dengan
    jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan
    berbeda untuk memenangkan persaingan. Nilai tambah tersebut dapat
    diciptakan dengan mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan,
    menghasilkan barang dan jasa, memperbaiki produk dan jasa yang
    sudah ada, dan menemukan cara untuk memberikan kepuasan kepada
    konsumen

Keberhasilan UMKM


Meskipun memiliki potensi yang cukup besar, UMKM belum
mampu sepenuhnya mengantisipasi tantangan – tantangan usaha yang
sewaktu-waktu dapat membuat usaha mereka mengalami kerugian. Kondisi
tersebut membuat UMKM belum bisa berperan secara optimal sebagai
tulang punggung perekonomian indonesia.
Menurut (Budiarto & dkk, 2015) Masalah utama yang dihadapi
UMKM ialah permodalan, pemasaran, bahan baku, teknologi, organisasi
dan manajemen. Di luar hal tersebut, masih terdapat tantangan yang lebih
bersifat eksternal, antara lain belum cukup memadainya iklim kondusif
untuk pengembangan UMKM. Salah satu akibatnya ialah UMKM belum
berperan signifikan dalam ekspor nasional.
Menurut Storey dalam (Kristiningsih & Adrianto, 2014)
mengatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam berwirausaha
dipengaruhi oleh beberapa faktor hal itu dapat dilihat dari karakteristik
pengusaha, karakteristik dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta
kontekstual. Berikut penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut:
a. Karakteristik pengusaha meliputi: Umur, Jenis kelamin, Pengalaman
kerja, Pendidikan, Sikap dan mental pengusaha. Karakteristik dari
UMKM adalah hal-hal yang ada di dalam perusahaan dan berkaitan
dengan jati diri atau profil dari perusahaan itu sendiri.
Menurut Ambadar, Abidin, & Isa (2010) mengemukakan bahwa
untuk menjadi seorang wirausaha harus memahami kemampuan diri,
dimana kita harus menumbuhkan potensi diri yakni mengenali kekuatan
dan kemampuan diri sendiri. Selain itu, harus memahami potensi diri
yakni dengan mengenali karakter diri sendiri, dapat mengukur
kemampuan, minat dan bakat, mengenali kunci sukses, dan berfikir
untuk mulai dan melakukan usahanya.
Menurut Fitriati (2015) berpendapat bahwa seorang wirausaha
harus mampu menumbuhkan jiwa kewirausahaan dan budaya kerja,
serta mengembangkan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya
pelaku usaha yang memiliki daya saing.
b. Karakteristik dari UMKM dapat dari beberapa hal, antara lain: Asal
perusahaan, Lama waktu beroperasi, Ukuran Usaha, Sumber modal dan
Lokasi.
c. Kontekstual adalah hal-hal yang berada di sekitar usaha dimana dapat
mempengaruhi perusahaan dan juga hal-hal atau aktivitas yang terkait
dengan perusahaan atau dilakukan oleh perusahaan sebagai berikut:
Pemasaran, Teknologi, Akses informasi, Legalitas, Akses modal,

Dukungan pemerintah, Rencana bisnis, Tim manajemen, Persaingan,
dan Inovasi.

Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah


Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah dalam pasal 3 menjelaskan bahwa usaha mikro dan kecil
bertujuan dalam menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam
rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi yang adil. Hal ini berarti UMKM memiliki peran dalam
membangunan perekonomian nasional melalui kontribusi terhadap
penciptaan lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja.
Peran usaha mikro dalam perekonomian Indonesia menurut Urata
(2000) dalam (Sulistyastuti, 2004) adalah:

  1. Usaha mikro merupakan pemain utama dalam kegiatan ekonomi di
    Indonesia.
  2. Menjadi penyediaan lapangan kerja.
  3. Peran penting dalam mengembangkan ekonomi lokal dan masyarakat.
  4. Menciptakan pasar dan berbagai inovasi..
  5. Memberikan kontribusi dalam meningkatkan ekspor non-migas.
    Menurut Nuhung (2012) mengatakan bahwa prioritas utama untuk
    mengembangkan perekonomian di Indonesia yakni Usaha Mikro Kecil dan
    Menengah (UMKM). Selama ini, UMKM menjadi penopang dalam
    menumbuhkan perekonomian bangsa. UMKM memiliki peran yang sangat
    penting dalam menekan angka pengangguran, menyediakan lapangan kerja,
    mengurangi angka kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan dan
    membangun karakter bangsa.
    Katz & Green (2014) mengungkapkan bahwa bisnis kecil sangat
    penting bagi komunitas Anda dan sering juga bagi perusahaan Anda.
    Sebagian dari ini berasal dari hal-hal baru yang dapat dikontribusikan oleh
    bisnis kecil terhadap ekonomi, terutama pekerjaan dan inovasi baru, serta
    dasar-dasar yang disediakan oleh bisnis kecil untuk kita semua

Definisi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)


Banyak pihak yang memberikan definisi terhadap Usaha, Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal tersebut karena banyaknya pihak yang
berkepentingan terhadap UMKM sehingga masing-masing dari mereka
memberikan definisi sesuai dengan kriteria yang diciptakannya sendiri.
Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bahwa :

  1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
    badan usaha perorangan yang telah memenuhi kriteria Usaha Mikro
    sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
    dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
    merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
    dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
    langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi
    Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
  3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
    yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
    merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
    dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
    dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih
    atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
    ini.